Gedung, Mati Di Bawah Bulan

3
GEDUNG: MATI DI BAWAH BULAN GEDUNG itu lelap berselubung mimpi. Halamannya yang luas, yang di bagian su dutnya ditumbuhi bunga-bungaan yang sesekali berdesah disenggol angin itu, jug a tertidur bagaikan mati. Seolah tangan-tangan kokoh tak terlihat telah melempar kan gedung itu ke tengah sebuah halaman luas, menjadi sebuah bangunan berbe ntuk aneh: menjulang ke langit malam dan menghunjam ke dalam tanah, seperti s ebuah makam di tengah kota kuburan maha luas. Kini, pandang gedung itu dari pojok jalan, dari mana cahaya terang malam bert emu dengan tabir gelap yang bagaikan dinding gelombang mimpi meluas dengan but ir-butir cahaya lampu di kejauhan, di pojok-pojok jalan lain, yang kini lengang tanpa manusia. Gedung itu seperti seseorang yang ingin meneruskan tidur, seraya kesadarannya m enjulur tak henti-hentinya, tenang-tenang, menghirup misteri malam yang tertuan g tak berkesudahan dari atas sana, berupa cahaya warna-warni yang tak tertiruka n cahaya lampu manapun di bumi ini. Siapa di atas sana yang menuangkan serbuk-serbuk cahaya itu, kecuali bulan dan b intang-bintang serta segenap misteri semesta, yang sedang tergenang cahaya wa rna-warni kehidupan malam tak bertepi di jagad raya? Tapi perhatikan kembali gedung itu. Kelihatannya malam gelap yang tenang bagaik an wajah kematian, adalah suatu hal yang luar biasa di sekitar gedung itu. H iruk-pikuk kehidupan sepanjang pagi, siang, sore, yang masih menggaungkan g ema terpendam di setiap ruangan dan lantai gedung tinggi itu, tiba-tiba sere ntak mengabur, sirap, tertelan sunyi malam; atau menyergap keriuhan sendiri, pada detik-detik jam dinding di banyak ruangan. Karena malam yang muncul ka li ini, adalah malam yang begitu asing; hingga siapa pun sungkan menimbulkan suara bahkan sekadar melebihi bisikan -- agar tidak mengganggu ketenangan para p enjaga malam -- yang sedang terkantuk-kantuk di ruang jaga, di samping pintu h alaman yang agak tersembunyi, di balik rimbunan dedaunan pakis yang permukaan daunnya bercahaya laksana beludru hijau di bawah langit malam. Dan dalam keheningan seperti itulah, terdengar suara-suara percakapan entah d i mana, seperti suara dua laki-laki, seperti suara dua perempuan, di antara bangunan-bangunan tinggi dan jalan-jalan kecil dari perkampungan yang be rada di belakang gedung tinggi itu. Suara-suara itu terkadang seperti perdeb atan kecil tentang cuaca dingin, harga-harga bahan makanan yang tak menentu, kecantikan yang sukar dipertahankan, dan para penghuni kota yang semakin meny ukai kesendirian sebagai pelampiasan seksual mereka. Suara-suara itu, terkada ng raib berganti dengan gemerisik beberapa ekor tikus dikejar-kejar kucing malam; lalu sesaat kemudian, muncul dan terdengar kembali, di antara lolongan a njing dari ujung jalan di kejauhan. Dari pojok jalan, terlihat juga: atap-atap bangunan-bangunan yang agak rendah di kiri kanan gedung itu, tampak terang ditimpa cahaya bulan dan bintang-bintang, seakan perhiasan malam disepuh keperakan yang terkadang guram bila dipandang t erlalu lama. Sebuah suara tiba-tiba mengalun seperti kesepian tua yang lahir dari suara me ngeong seekor kucing betina, mengandung penyakit bengek yang semakin memberat d ari tahun ke tahun menyumbat pernafasan dan dada seseorang, yang terbiasa terendam dingin udara malam yang tajam menusuk-nusuk melukai dan mengikis tula ng. Lalu, sebuah kerikil tertendang seseorang, dan menggelinding melintasi jalanan aspal kering yang mulai basah oleh embun, dan secara tak sengaja membentur seb

description

cerpen, kisah

Transcript of Gedung, Mati Di Bawah Bulan

Page 1: Gedung, Mati Di Bawah Bulan

GEDUNG: MATI DI BAWAH BULAN

GEDUNG itu lelap berselubung mimpi. Halamannya yang luas, yang di bagian sudutnya ditumbuhi bunga-bungaan yang sesekali berdesah disenggol angin itu, juga tertidur bagaikan mati. Seolah tangan-tangan kokoh tak terlihat telah melemparkan gedung itu ke tengah sebuah halaman luas, menjadi sebuah bangunan berbentuk aneh: menjulang ke langit malam dan menghunjam ke dalam tanah, seperti sebuah makam di tengah kota kuburan maha luas.

Kini, pandang gedung itu dari pojok jalan, dari mana cahaya terang malam bertemu dengan tabir gelap yang bagaikan dinding gelombang mimpi meluas dengan butir-butir cahaya lampu di kejauhan, di pojok-pojok jalan lain, yang kini lengang tanpa manusia.

Gedung itu seperti seseorang yang ingin meneruskan tidur, seraya kesadarannya menjulur tak henti-hentinya, tenang-tenang, menghirup misteri malam yang tertuang tak berkesudahan dari atas sana, berupa cahaya warna-warni yang tak tertirukan cahaya lampu manapun di bumi ini.

Siapa di atas sana yang menuangkan serbuk-serbuk cahaya itu, kecuali bulan dan bintang-bintang serta segenap misteri semesta, yang sedang tergenang cahaya warna-warni kehidupan malam tak bertepi di jagad raya?

Tapi perhatikan kembali gedung itu. Kelihatannya malam gelap yang tenang bagaikan wajah kematian, adalah suatu hal yang luar biasa di sekitar gedung itu. Hiruk-pikuk kehidupan sepanjang pagi, siang, sore, yang masih menggaungkan gema terpendam di setiap ruangan dan lantai gedung tinggi itu, tiba-tiba serentak mengabur, sirap, tertelan sunyi malam; atau menyergap keriuhan sendiri, pada detik-detik jam dinding di banyak ruangan. Karena malam yang muncul kali ini, adalah malam yang begitu asing; hingga siapa pun sungkan menimbulkan suara bahkan sekadar melebihi bisikan -- agar tidak mengganggu ketenangan para penjaga malam -- yang sedang terkantuk-kantuk di ruang jaga, di samping pintu halaman yang agak tersembunyi, di balik rimbunan dedaunan pakis yang permukaan daunnya bercahaya laksana beludru hijau di bawah langit malam.

Dan dalam keheningan seperti itulah, terdengar suara-suara percakapan entah di mana, seperti suara dua laki-laki, seperti suara dua perempuan, di antara bangunan-bangunan tinggi dan jalan-jalan kecil dari perkampungan yang berada di belakang gedung tinggi itu. Suara-suara itu terkadang seperti perdebatan kecil tentang cuaca dingin, harga-harga bahan makanan yang tak menentu, kecantikan yang sukar dipertahankan, dan para penghuni kota yang semakin menyukai kesendirian sebagai pelampiasan seksual mereka. Suara-suara itu, terkadang raib berganti dengan gemerisik beberapa ekor tikus dikejar-kejar kucing malam; lalu sesaat kemudian, muncul dan terdengar kembali, di antara lolongan anjing dari ujung jalan di kejauhan.

Dari pojok jalan, terlihat juga: atap-atap bangunan-bangunan yang agak rendah di kiri kanan gedung itu, tampak terang ditimpa cahaya bulan dan bintang-bintang, seakan perhiasan malam disepuh keperakan yang terkadang guram bila dipandang terlalu lama.

Sebuah suara tiba-tiba mengalun seperti kesepian tua yang lahir dari suara mengeong seekor kucing betina, mengandung penyakit bengek yang semakin memberat dari tahun ke tahun menyumbat pernafasan dan dada seseorang, yang terbiasa terendam dingin udara malam yang tajam menusuk-nusuk melukai dan mengikis tulang.

Lalu, sebuah kerikil tertendang seseorang, dan menggelinding melintasi jalanan aspal kering yang mulai basah oleh embun, dan secara tak sengaja membentur seb

Page 2: Gedung, Mati Di Bawah Bulan

uah tiang listrik hingga menimbulkan suara dencing tajam yang bersipongang cukup lama sampai ke halaman gedung sunyi itu. Maka kesucian malam pun sesaat seakan ternodai oleh kaki kurang ajar yang tak kelihatan itu. Dari keributan selintas itu, seseorang seakan menginginkan kehadirannya dikenangkan pada malam yang senyap itu. Seseorang seperti ingin diketahui keberadaannya secara pasti, di antara gedung-gedung di kota itu, di tengah kefanaan di bawah gemerlap lampu-lampu iklan bumbu masak, mobil, kamera, rokok dan sebuah hunian tenang di luar kota yang memberikan undian keliling dunia.

Hingga kemudian, dari sebuah pojok lain, seekor anjing malam lari terkaing-kaing dikejar seseorang atau sesuatu, dan sama-sama menghilang di sebuah gang kecil setelah meninggalkan suara ganjil seperti dinding seng dipukuli berulang-ulang.

Gelap semakin tebal, lembab, menyesakkan dada, sementara dari atas sana langit terus memantulkan sinar bulan dan bintang-bintang cemerlang keperakan. Dan pandang gedung itu dari sebuah pojok jalan: masih lelap seperti mati.

Ketika seseorang menyalakan rokok, maka segulungan asap putih berbau harum pun mengambang di udara gelap. Dan terlihat kemudian, ujung rokok itu berkali-kali mengerdip dalam kegelapan.

Bulan dan bintang-bintang bersinar sedemikian hebatnya, hingga seseorang dapat saja berpikir: bahwa bulan dan bintang-bintang yang megah itu ingin lebih cemerlang dari segala lampu-lampu kota di bawah sini atau di manapun di permukaan bumi. Dan lihat gedung tinggi itu, pandang dari sebuah pojok jalan: seakan-akan ditaburi debu-debu emas yang memantul dari langit berupa kemeriahan malam hari, seakan ingin mengulangi kesibukan manusia-manusia tanpa henti dari pagi, siang dan sore harinya. Suara-suara yang tadinya seolah teredam di dinding-dinding, kini seakan menggaung kembali. Langkah-langkah kaki dan suara-suara kesibukan serta kesiapan mengikuti jadwal jam kerja yang ketat, menggema berulang-ulang dari beberapa ruangan. Percakapan dan teriakan saling mengejar, silih berganti, tumpang-tindih dan menyelinap secara singkat. Dan kini, dari kegelapan dinding-dinding gedung itu, seolah-olah beribu pasang mata sedang menyorotkan cahaya ingin tahu, menembusi kegelapan yang melingkupi mereka.

Lalu, kembali terdengar tawa lembut dari kesenyapan yang bersipongang di sekitar gedung dan mengarahkan siapa pun yang hadir di tempat itu terperangah menyimak. Tawa lembut itu kini serak di ujungnya. Seperti tawa seorang perempuan kedinginan, yang tiba-tiba menjelma menjadi lenguhan seorang lelaki dewasa; yang terbatuk karena mengisap rokok yang kurang disukainya, namun beraroma memabukkan dan ia tergoda mencoba dan menyedotnya secara tak sabar.

Dan kembali pula terdengar anjing terkaing, seakan sekelumit kisah kekejaman dari kegelapan kumuh itu harus diperdengarkan secara berulang, seolah jeritan anjing itu adalah kecipak misteri di balik genangan sepi yang menenggelamkan sebuah kapal raksasa, atau ia adalah jilatan kilat api menghanguskan sebuah kompleks perumahan yang sedang tertidur, atau ia adalah persenggamaan kasar dua manusia jalanan di balik tabir malam, keras dan terburu-buru, mendesak dan mendengus-dengus, penuh keringat dan menyakitkan. Lalu, seseorang berdiri cepat-cepat dan lenyap ditelan kelam, sebagaimana ia muncul tiba-tiba dan tak terduga dari arah mana; seperti sebilah bintang yang bersinar berkelap-kelip di atas sana, tak terkenali, kecuali warna-warni keperakan yang terkadang melesat mempertontonkan ekornya yang indah, menimbulkan sipongang cahaya di atas langit malam yang meluas bagai beludru biru di tengah keheningan tersaput angin dingin, yang terus meneteskan butir-butir air dan embun seolah akan hujan dan seolah tidak akan hujan malam itu.

Pandang gedung tinggi itu sekali lagi, dari pojok jalan yang terang. Gedung itu lelap seperti makam di tengah kota kuburan yang meluas di bawah bulan dan bi

Page 3: Gedung, Mati Di Bawah Bulan

ntang-bintang keperakan di atas sana. Dan kenangkan lenguhan mirip suara kucing betina itu!*****

Bekasi Timur, 1998