Gangguan Stress Pasca Trauma

23
BAB I PENDAHULUAN Setiap manusia memiliki kebutuhan psikologik maupun somatik untuk dapat hidup layak sebagai seorang manusia. Untuk menjamin agar manusia itu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, maka dibutuhkan dorongan. Makin besar keterlibatan secara pribadi manusia itu dalam suatu usaha untuk mencapai kebutuhannya, makin besar pula dorongannya. Dalam mencapai kebutuhan, seorang manusia akan menghadapi penghalang atau kesukaran yang menuntut seseorang untuk menyesuaikan diri. Penghalang atau kesukaran akan mengakibatkan stress, karena itu penghalang atau kesukaran itu disebut stressor. 1 Stress adalah ketegangan fisiologis atau psikologis yang disebabkan oleh rangsangan merugikan, fisik, mental atau emosi, internal atau eksternal, yang cenderung mengganggu fungsi organisme dan keinginan alamiah organisme tersebut untuk menghindar. 2 Setiap manusia memiliki tingkat penyesuaian diri yang berbeda terhadap stress karena penilaiannya terhadap stress itupun berbeda – beda, dan tuntutan atau kebutuhan tiap individu berbeda – beda; ini antara lain tergantung pada: umur, sex, kepribadian, integrasi, emosi, status sosial atau pekerjaan individu itu. Trauma dapat menimbulkan stress melalui hambatannya terhadap kebutuhan manusia yaitu untuk mencapai rasa keamanan. Peristiwa traumatik yang ekstrem, yang bersifat katastrofik dan menakutkan, yang menimbulkan distress pada hampir setiap orang biasanya menimbulkan reaksi yang berkepanjangan. Tidak 1

description

nm

Transcript of Gangguan Stress Pasca Trauma

BAB I

PENDAHULUAN

Setiap manusia memiliki kebutuhan psikologik maupun somatik untuk dapat hidup

layak sebagai seorang manusia. Untuk menjamin agar manusia itu berusaha untuk memenuhi

kebutuhannya, maka dibutuhkan dorongan. Makin besar keterlibatan secara pribadi manusia

itu dalam suatu usaha untuk mencapai kebutuhannya, makin besar pula dorongannya. Dalam

mencapai kebutuhan, seorang manusia akan menghadapi penghalang atau kesukaran yang

menuntut seseorang untuk menyesuaikan diri. Penghalang atau kesukaran akan

mengakibatkan stress, karena itu penghalang atau kesukaran itu disebut stressor.1 Stress

adalah ketegangan fisiologis atau psikologis yang disebabkan oleh rangsangan merugikan,

fisik, mental atau emosi, internal atau eksternal, yang cenderung mengganggu fungsi

organisme dan keinginan alamiah organisme tersebut untuk menghindar.2 Setiap manusia

memiliki tingkat penyesuaian diri yang berbeda terhadap stress karena penilaiannya terhadap

stress itupun berbeda – beda, dan tuntutan atau kebutuhan tiap individu berbeda – beda; ini

antara lain tergantung pada: umur, sex, kepribadian, integrasi, emosi, status sosial atau

pekerjaan individu itu.

Trauma dapat menimbulkan stress melalui hambatannya terhadap kebutuhan manusia

yaitu untuk mencapai rasa keamanan. Peristiwa traumatik yang ekstrem, yang bersifat

katastrofik dan menakutkan, yang menimbulkan distress pada hampir setiap orang biasanya

menimbulkan reaksi yang berkepanjangan. Tidak semua orang yang terlibat dalam peristiwa

itu mengalami reaksi yang berkepanjangan, sebagian besar pulih dalam waktu satu bulan.

Reaksi jangka panjang yang paling sering terjadi adalah gangguan stress pasca trauma. 1

1

BAB II

PEMBAHASAN

I. DEFINISI

Gangguan stress pasca trauma didefinisikan sebagai Anxietas patologis yang biasanya

timbul setelah seorang individu mengalami atau menyaksikan trauma berat yang

menimbulkan ancaman terhadap integritas fisik atau nyawa dari individu tersebut atau orang

lain. 3

II. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi seumur hidup gangguan stress pasca trauma diperkirakan 8 persen populasi

umum, walaupun suatu tambahan 5 sampai 15 persen mungkin mengalami bentuk gangguan

yang subklinis. Di antara kelompok resiko tinggi yang merupakan anggota yang mengalami

peristiwa traumatik, angka prevalensi seumur hidup terentang antara 5 sampai 75 persen. Kira

– kira 30 persen veteran Vietnam mengalami gangguan stress pasca trauma, dan tambahan 25

persen mengalami bentuk gangguan subklinis. Walaupun dapat tampak pada segala usia,

gangguan stress pasca trauma paling menonjol pada dewasa muda. Trauma untuk laki – laki

biasanya pengalaman peperangan, sedangkan pada wanita paling sering adalah penyerangan

atau pemerkosaan.4

Pada survei yang dilakukan antara Februari 2001 dan April 2003 di Amerika,

dilakukan wawancara pada 9,282 warga negara amerika yang dianggap representatif yang

berusia 18 tahun keatas. Gangguan stress pasca trauma dinilai pada 5,692 orang dengan

menggunakan kriteria DSM-IV. Prevalensi gangguan stress pasca trauma pada pria adalah

3,6% dan pada wanita 9,7%. Hal ini menunjukkan bahwa wanita memiliki resiko yang lebih

tinggi (2,6:1) untuk menderita gangguan stress pasca trauma.5

Di Indonesia telah terjadi berbagai macam kejadian yang dapat menimbulkan

gangguan stress pasca trauma. Salah satu dari kejadian tersebut adalah tsunami yang terjadi di

Aceh. Pada penelitian yang dilakukan pada 482 anak yang berusia antara 11 sampai 19 tahun

yang mengalami tsunami, 54 anak (11,2%), 124 anak (25,7%), 196 anak (40,7%), 103 anak

(21,4%), dan 5 anak (1%) secara berturut – turut menunjukkan none, mild, moderate, severe,

dan very severe symptoms dari gangguan stress pasca trauma. Hasil dari studi ini

penyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi keparahan gejala gangguan stress pasca

trauma adalah jenis kelamin, kehilangan orangtua, dukungan sosial yang rendah, dan respons

somatik berat. Perempuan menunjukkan gejala gangguan stress pasca trauma yang lebih

2

menonjol dibanding dengan laki – laki. Studi ini juga menyimpulkan bahwa usia dan tingkat

pendidikan tidak mempengaruhi gejala gangguan stress pasca trauma. 6

III. ETIOLOGI

Penyebab utama gangguan stress pasca trauma adalah stressor yang berupa peristiwa

traumatik yang extreme.1 Walaupun stressor diperlukan, stressor tidak cukup untuk

menyebabkan gangguan. Klinisi harus mempertimbangkan juga faktor biologis individual

yang telah ada sebelumnya, faktor psikososial sebelumnya, dan peristiwa yang terjadi setelah

trauma. Penelitian terakhir pada gangguan stress pasca trauma telah sangat menekankan pada

respon subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stressor itu sendiri. 4

Beberapa faktor predisposisi bagi seseorang individu untuk mengalami gangguan

stress pasca trauma adalah:

Adanya gangguan psikiatrik sebelumnya baik pada individu maupun keluarganya

Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual

Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir

Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial

Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem

menyesuaikan diri

Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna

Terpapar oleh kejadian kejadian yang luar biasa sebelumnya baik tunggal maupun

ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang bersangkutan sebagai suatu

kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.7

IV. PATOMEKANISME

Gejala – gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons

biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari

beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. 7

Faktor Biologik

Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons

takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang

dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala

merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala mengaktivasi beberapa

3

neurotransmitter serta bahan – bahan neurokimiawi di otak sebagai respons tubuh terhadap

trauma. Hal ini akan menimbulkan stimulus berupa tanda darurat kepada:

1. Sistem Saraf Simpatis

Sistem saraf simpatis akan membuat tubuh menjadi “siaga” dengan meningkatkan

denyut jantung dan tekanan darah, sehingga seseorang mampu untuk menghadapi

trauma tersebut.

2. Sistem Saraf Parasipatis

Sistem saraf parasimpatis bereaksi dengan membatasi reaksi sistem saraf simpatis

pada beberapa jaringan tubuh.

3. Aksis Hipotalamus-Hipofisis-kelenjar Adrenal (HPA)

Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico – Releasing Factor (CRF) dan beberapa

neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan

mengeluarkan adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi

pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Hormon kortisol berfungsi untuk

menghentikan respons tubuh yang bersifat defensif terhadap stress.

Pada pasien yang mengalami gangguan stress pasca trauma, dihipotesis terjadi

hipersensitivitas dari ketiga sistem yang teraktivasi di atas sehingga seseorang menjadi

mudah untuk mengalami gejala – gejala tersebut.7,4

Faktor Psikodinamik

Dihipotesis bahwa pada gangguan stress pasca trauma, terjadi reaktivasi konflik

psikologik yang belum terselesaikan di masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik

yang dialami, maka konflik – konflik psikologis yang belum diselesaikan itu akan

tereaktivasi kembali. Sistem ego akan kembali teraktivasi dan berusaha untuk mengatasi

masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi. Hal – hal yang berkaitan dengan aspek

psikodinamik gangguan stress pasca trauma adalah:

1. Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari peristiwa

traumatik yang dialami oleh seseorang.

2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik – konflik psikologis

pada peristiwa trauma di masa kanak.

3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem

afeksinya.

4

4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam somatisasi

atau aleksitimia.

5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan gangguan

stress pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi, disosiasi, dan rasa

bersalah.

6. Model relasi objek yang digunakan adalah proojeksi dan introjeksi dari berbagai

peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang omnipoten. 7,4

V. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis utama gangguan stress pasca trauma adalah mengalami kembali

secara involunter peristiwa traumatik dalam bentuk mimpi atau “bayangan” yang intrusif,

yang menerobos masuk ke dalam kesadaran secara tiba –tiba (kilas balik atau flashback . Hal

ini sering dipicu oleh hal – hal yang mengingatkan penderita akan peristiwa traumatik yang

pernah dialami. Kelompok gejala yang lain adalah tanda – tanda meningkatnya keterjagaan

berupa anxietas yang hebat, iritabilitas, insomnia, dan konsentrasi yang buruk. Anxietas akan

bertambah parah saat terjadi kilas balik. Gejala – gejala disosiatif merupakan kelompok

gejala lainnya berupa kesulitan mengingat kembali bagian – bagian penting dari peristiwa

traumatik, perasaan bukan bagian dari peristiwa itu (detachment), ketidakmampuan untuk

merasakan perasaan (emotional numbness). Kadang – kadang terjadi depersonalisasi dan

derealisasi.

Perilaku menghindar merupakan bagian dari gejala gangguan stress pasca trauma.

Pasien menghindari hal – hal yang dapat mengingatkan dia akan peristiwa traumatik tersebut.

Gejala – gejala depresi kerap kali didapatkan dan penyintas (survivor) sering merasa

bersalah. Perilaku maladaptif sering terjadi berupa rasa marah yang persisten, penggunaan

alkohol atau obat – obat yang berlebihan dan perbuatan mencederai diri yang sebagian

berakhir dengan bunuh diri.1

VI. DIAGNOSIS

Kriteria diagnostik untuk gangguan stress pascatraumatik menurut DSM IV:

1. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini

terdapat:

a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau

kejadian – kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang

5

sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik

diri atau orang lain.

b. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau

horor.

2. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali satu (atau lebih)cara berikut:

a. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian,

termasuk angan, pikiran atau persepsi.

b. Mimpi menakutkan berulang tentang kejadian.

c. Berkelakuan atau merasa seakan – akan kejadian traumatik terjadi kembali.

d. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau

eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian

traumatik.

e. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang

menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

3. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku

karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma) seperti yang

ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:

a. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang

beerhubungan dengan trauma.

b. Usaha untuk menjauhi aktivitas, tempat, atau orang yang menimbulkan

rekoleksi dari trauma.

c. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.

d. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.

e. Merasa terpisah atau lain dari orang – orang di lingkungannya.

f. Rentang afek yang terbatas.

g. Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.

4. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih)

berikut :

a. Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur.

b. Iritabilitas atau ledakan kemarahan.

c. Sulit berkonsentrasi.

d. Respon kejut yang berlebihan.

e. Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan.

6

f. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau

gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.

Kriteria Diagnostik menurut PPDGJ III (F 43.1):

1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan

setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu

sampai beberapa bulan, jangan sampai melampaui 6 bulan).

Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat

kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan,asal saja manifestasi klinisnya

adalah khas dan tidak terdapat alternatif kategori gangguan lainnya.

2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang- bayang atau mimpi-

mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks)

3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat

mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

4. Suatu “sequelae” manahun yang terjadi lambat setelah stres syang luar biasa,

misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori

F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).9

VII. DIAGNOSA BANDING

Gejala gangguan stress pasca trauma dapat sulit dibedakan dengan gejala gangguan

panik dan gangguan cemas menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan dengan

kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Kunci untuk membedakan gangguan stress pasca

trauma adalah relasi waktu antara kejadian traumatik dan gejala, dan terngiang-ngiang akan

trauma yang tidak terjadi pada dua kelainan lainnya. Depresi mayor juga sering terjadi

bersamaan dengan gangguan stress pasca trauma. Hal ini perlu dicatat karena akan

mempengaruhi terapi gangguan stress pasca trauma.

Gangguan stress pasca trauma harus dibedakan dengan beberapa kelainan terkait yang

dapat menimbulkan kemiripan seperti borderline personality disorder, dissociative disorder,

dan factitious disorder. Gangguan kepribadian ambang sulit dibedakan dengan gangguan

stress pasca trauma. Dua kelainan sisanya dapat terjadi secara bersamaan atau menjadi

kelainan yang terkait. Pasien dengan gangguan kepribadian dissosial biasanya tidak memiliki

7

kelainan autonom, penghindaran, dan riwayat trauma seperti yang didapatkan pada pasien

dengan gangguan stress pasca trauma.4

VIII. PENATALAKSANAAN

Saat klinisi dihadapkan dengan pasien yang telah mengalami trauma berat,

pendekatan yang dianjurkan adalah dukungan, memberikan semangat untuk mendiskusikan

kejadian tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme – mekanisme penenangan diri.

Penggunaan sedatif dan hipnotik biasanya membantu. Pada pasien yang telah mengalami

peristiwa traumatik di masa lalu dan sekarang memiliki gangguan stress pasca trauma,

penatalaksaan harus lebih ditekankan pada edukasi mengenai kelainan dan pengobatannya,

baik farmakologis maupun psikologis.4

Psikoterapi

Psikoterapi yang bersifat psikodinamik biasanya memberikan hasil baik pada pasien

gangguan stress pasca trauma. Pada beberapa kasus, terapi rekonstruksi kejadian dengan

pelepasan dan pembersihan dapat memberikan hasil yang baik, tapi psikoterapi harus

diindividualisasikan karena mengalami kembali kejadian traumatik kadang – kadang

menakutkan pasien. Psikoterapi pada pasien dengan gangguan stress pasca trauma terdiri dari

terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnotis. 4

Adapun berbagai macam teknik psikoterapi pada gangguan stress pasca trauma, yaitu

sebagai berikut :

1. Manajemen ansietas, yaitu mengajarkan berbagai kemampuan kepada pasien untuk

mengurangi stress yakni dengan cara latian relaksasi ( latihan untuk mengurangi

ketegangan berbagai otot), latihan pernapasan ( latihan untuk melakukan

hiperventilasi), berpikir positif, dan melatih untuk berhenti memikirkan segala hal

yang dapat menyebabkan kecemasan.

2. Terapi kognitif, digunakan untuk mengurangi berbagai pikiran dan kepercayaan yang

tidak realistik yang dapat mengganggu fungsi dan emosi pasien. Misalnya pada pasien

korban bencana alam, sebaiknyta diberikan terapi kognitif dengan memberikan

berbagai penjelasan yang realistik sehingga dapat membantu untuk mengurangi

gangguan stress pada pasien.

8

3. Exposure Theraphy, membantu pasien dengan mengkonfrontasikan berbagai situasi

yang dialami sebelumnya, baik itu orang, objek, ingatan, atau emosi yang

berhubungan dengan stressor pasien.

4. Play Theraphy, diugunakan pada anak-anak berupa permainan yang dapat

memberikan dan mengarahkan anak pada stressor dengan cara perlahan-lahan,

sehingga tidak memperburuk stress yang dialami.

5. Psikoedukasi, yaitu dengan mengedukasikan kepada pasien dan keluarga pasien

tentang gejala-gejala dan berbagai pengobatan pada gangguan stress pasca trauma.

Adapun teknik-teknik psikoterapi tersebut digunakan sesuai dengan gejala-gejala yang

timbul pada pasien, yang tampak pada tabel dibawah ini :

Tabel 1. Teknik Psikoterapi berdasarkan gejala target

9

Adapun teknik psikoterapi berdasarkan umur adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Teknik psikoterapi terbaik yang digunakan berdasarkan umur11

Dari berbagai macam psikoterapi untuk gangguan stress pasca trauma, yang paling

diterima adalah psikoterapi kognitif – perilaku. Teknik spesifik pada terapi ini adalah dengan

pengeksposan dan restrukturisasi kongnitif. Terapi pengeksposan berfungsi untuk membantu

pasien menghadapi dan mengontrol terhadap ketakutan dan kesakitan yang sangat pada

trauma, dan harus dilakukan dengan sangat hati – hati, jangan sampai membuat pasien

menjadi semakin trauma. Pada sebagian kasus, seluruh trauma dapat dihadapi bersamaan

(“flooding”), sedangkan pada sebagian kasus pasien lebih memilih untuk menghadapi trauma

satu per satu dari trauma terkecil sehingga yang terparah dengan teknik relaksasi

(“desensitization”). Termasuk dalam restrukturisasi kognitif adalah mengidentifikasi cara

berpikir, merasakan, dan sikap yang tidak rasional (tapi dapat dimengerti) yang muncul

setelah kejadian traumatik. Psikoterapi kognitif – perilaku tambahan adalah dengan

mempelajari teknik untuk menghadapi kecemasan.10

Selain dari psikoterapi kognitif – perilaku, teknik psikoterapi lainnya adalah

psikoterapi berkelompok. Teknik ini baik digunakan pada pasien gangguan stress pasca

trauma dengan trauma perang seperti para veteran Vietnam. 10 Psikoterapi lainnya yang

bersifat kontroversial adalah eye movement desensitization and reprocessing (EMDR)

dimana pasien memfokuskan pada pergerakan ke lateral jari klinisi sambil mempertahankan

gambaran mental mengenai traumanya. Masyarakat umum mempercayai bahwa gejala dapat

dihilangkan bila pasien melewati peristiwa traumatik tersebut dengan relaksasi dalam. Pasien

10

– pasien yang telah melakukan terapi ini mengatakan bahwa terapi ini sangat efektif dan

mereka lebih memilih terapi ini untuk penyembuhan mereka.4

Farmakoterapi

Bukti efikasi obat tertentu untuk gangguan stress pasca trauma masih terbatas,

meskipun kondisi komorbiditas harus diobati dengan intervensi spesifik.1

Selective Serotinin Reuptake Inhibitor (SSRI) dianggap sebagai lini pertama yang

dapat menghilangkan gejala – gejala gangguan stress pasca trauma.

Trisiklik belum terbukti memberikan hasil yang baik untuk penanganan gangguan

stress pasca trauma, walaupun begitu, pasien yang memberi hasil positif terhadap obat

ini sebaiknya mengkonsumsi obat ini selama satu tahun sebelum dilakukan usaha

untuk menraik obat.

Benzodiazepin dan Monoamine Oxidase Inhibitor (MAOI) belum terbukti

memberikan hasil yang baik untuk terapi gangguan stress pasca trauma.

Antipsikotik hanya digunakan sebagai kontrol jangka pendek untuk sikap agresif yang

berat dan agitasi. Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik

pada penderita gangguan stress pasca trauma.4

Pada terapi farmakologi, adapun terapi yang digunakan berdasarkan keefektifan dan

keamanan penderita adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Terapi farmakologi berdasarkan keektifan dan keamanannya

11

Adapun berbagai obat yang digunakan pada gangguan stress pada pasca trauma

berdasarkan gejala klinis yang menonjol pada pasien.

Tabel 4. Terapi farmakologi berdasarkan gejala yang menonjol pada pasien

12

Adapun dosis yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :

IX. PROGNOSIS

Sampai 50% kasus akan pulih pada tahun pertama, namun sampai 30% perjalanan

penyakitnya akan kronis. Tampaknya hasilnya bergantung pada keparahan gejala awal.

Pemulihan akan dibantu dengan: dukungan sosial yang baik, tidak ada tanggapan negatif dari

orang lain, tidak ada mekanisme coping yang maladaptif, serta tidak adanya peristiwa

traumatik berikutnya, termasuk kesehatan fisik, disabilitas, kecacatan, relasi yang terputus,

masalah keuangan dan proses hukum.1

Kebanyakan individu yang menjalani terapi medik dan psikiatrik yang sesuai dan

sembuh sempurna (atau hampir sempurna). Walaupun begitu, ada individu yang mengalami

gejala yang semakin parah dan bunuh diri bahkan dengan terapi yang intensif. Pada pasien

gangguan stress pasca trauma yang menjalani pengobatan, gejala bertahan rata – rata dalam

36 bulan, dibandingkan dengan 64 bulan pada pasien yang tidak mendapat terapi. Walaupun

begitu, lebih dari sepertiga pasien yang menderita gangguan stress pasca trauma tidak pernah

sembuh sempurna.3

BAB III13

KESIMPULAN

Gejala – gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari

respons biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena

aktivasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada

seseorang. 7 Pada pasien yang mengalami gangguan stress pasca trauma terdapat gangguan

faktor biologis, dimana dihipotesis terjadi hipersensitivitas dari ketiga sistem yang teraktivasi

(sistem saraf simpatis, parasimpatis, dan aksis HPA) sehingga seseorang menjadi mudah

untuk mengalami gejala – gejala tersebut. Pada gangguan faktor psikologik, dihipotesis

bahwa pada gangguan stress pasca trauma, terjadi reaktivasi konflik psikologik yang belum

terselesaikan di masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik yang dialami, maka

konflik – konflik psikologis yang belum diselesaikan itu akan tereaktivasi kembali.7,4

Manifestasi klinis utama gangguan stress pasca trauma adalah mengalami kembali

secara involunter peristiwa traumatik dalam bentuk mimpi atau “bayangan” yang intrusif,

yang menerobos masuk ke dalam kesadaran secara tiba –tiba (kilas balik atau flashback . Hal

ini sering dipicu oleh hal – hal yang mengingatkan penderita akan peristiwa traumatik yang

pernah dialami.1

Pada pasien yang telah mengalami peristiwa traumatik di masa lalu dan

sekarang memiliki gangguan stress pasca trauma, penatalaksaan harus lebih ditekankan pada

edukasi mengenai kelainan dan pengobatannya, baik farmakologis maupun psikologis.4

Prognosis gangguan stress pasca trauma bergantung pada keparahan gejala awal,

faktor lingkungan, dan terapi yang diterima pasien. Jika ketiga hal tersebut dipenuhi dengan

baik, maka prognosis pasien baik.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Maramis, W. F.; Albert A. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed 2;

Surabaya: Airlangga University Press.

2. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Ed. 29. Jakarta: ECG.

3. T Allen Gore, MD, MBA, CMCM, DFAPA. 2011. Posttraumatic Stress Disorder.

[cited 3 April 2012]. Available from: http://www.emedicinehealth.com/post-

traumatic_stress_disorder_ptsd/article_em.htm

4. Kaplan, H. I., dkk. 2007. Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical

Psychiatry. Ed 10. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

5. Jaimie L. Gradus, DSc, MPH. 2007. Epidemiology of PTSD. [cited 3 April 2012].

Available from: http://www.ptsd.va.gov/professional/pages/epidemiological-facts-

ptsd.asp

6. E. N. Agustini BN, I. Asniar BN MN4, H. Matsuo MD PhD. 2011. The prevalence of

long-term post-traumatic stress symptoms among adolescents after the tsunami in

Aceh. Journal. [cited 3 April 2012]. Available from:

http://pubget.com/paper/21749561

7. Elvira, S. D., dkk. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI.

8. Frances, A., M. D., Pincus, H. A., M. D., dkk. 1994. Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorders. Ed 4. Washington DC: American Psychiatric

Association.

9. Maslim, R., 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Bagian Ilmu

Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.

10. Cohen, H., Ph. D., 2008. Psychotherapy Treatment for PTSD. [cited 4 April 2012].

Available from: http://psychcentral.com/lib/2006/treatment-of-ptsd/

11. Edna Foa, Jonathan Davidson, Allen Frances. The Expert Consensus Guideline

Series, Treatment of Posttraumatic Stress Disorder. The Journal of Clinical Psikiatry,

Volume 60. 1999.

15