gangguan pada sistem urinari

19
BAB II TINJAUAN TOERI A. Perubahan Anatomi Fisiologi Pada lansia ginjal berukuran lebih kecil dibanding dengan ginjal pada usia muda. Pada usia 90 tahun beratnya berkurang 20-30% atau 110-150 gram bersamaan dengan pengurangan ukuran ginjal. Pada studi kasus dari McLachlan dan Wasserman tentang panjang, luas dan kemampuan untuk berkembang dari ginjal yang mendapat urogram i.v, mereka menemukan bahwa panjang ginjal berkurang 0,5 cm per dekade setelah mencapai usia 50 tahun. Dengan bertambahnya usia, banyak jaringan yang hilang dari korteks ginjal, glomerulus dan tubulus. Jumlah total glomerulus berkurang 30-40% pada usia 80 tahun, dan permukaan glomerulus berkurang secara progresif setelah 40 tahun, dan yang terpenting adalah terjadi penambahan dari jumlah jaringan sklerotik. Meskipun kurang dari 1% glomerulus sklerotik pada usia muda, persentase ini meningkat 10-30% pada usia 80 tahun. Terdapat beberapa perubahan pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada korteks ginjal, arteri aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi pengurangan jumlah darah yang terdapat di glomerulus. Atrofi arteri aferen dan eferen pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga timbul fistel. Jadi ketika aliran darah di korteks berkurang, aliran di jukstaglomerular akan meningkat. Ini berpengaruh pada

description

gangguan pada sistem urinari, Gerontologi

Transcript of gangguan pada sistem urinari

Page 1: gangguan pada sistem urinari

BAB II

TINJAUAN TOERI

A. Perubahan Anatomi Fisiologi

Pada lansia ginjal berukuran lebih kecil dibanding dengan ginjal pada usia

muda. Pada usia 90 tahun beratnya berkurang 20-30% atau 110-150 gram bersamaan

dengan pengurangan ukuran ginjal. Pada studi kasus dari McLachlan dan Wasserman

tentang panjang, luas dan kemampuan untuk berkembang dari ginjal yang mendapat

urogram i.v, mereka menemukan bahwa panjang ginjal berkurang 0,5 cm per dekade

setelah mencapai usia 50 tahun. Dengan bertambahnya usia, banyak jaringan yang

hilang dari korteks ginjal, glomerulus dan tubulus. Jumlah total glomerulus berkurang

30-40% pada usia 80 tahun, dan permukaan glomerulus berkurang secara progresif

setelah 40 tahun, dan yang terpenting adalah terjadi penambahan dari jumlah jaringan

sklerotik. Meskipun kurang dari 1% glomerulus sklerotik pada usia muda, persentase

ini meningkat 10-30% pada usia 80 tahun. Terdapat beberapa perubahan pada

pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada korteks ginjal, arteri aferen dan eferen

cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi pengurangan jumlah darah yang terdapat di

glomerulus. Atrofi arteri aferen dan eferen pada jukstaglomerulus terjadi tidak

simetris sehingga timbul fistel. Jadi ketika aliran darah di korteks berkurang, aliran di

jukstaglomerular akan meningkat. Ini berpengaruh pada konsentrasi urin yang

berkurang pada usia lanjut akibat gangguan pengaturan sistem keseimbangan.

1. Perubahan aliran darah ginjal pada lanjut usia.

Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per

menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit.

Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit

atau sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih

dari 99% yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5

liter per hari. Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan,

memperlihatkan bahwa setelah usia 20 tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal

kira-kira 10% per dekade, sehingga aliran darah ginjal pada usia 80 tahun hanya

menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari aliran darah ginjal terutama

berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil dari

kombinasi pengurangan curah jantung dan perubahan dari hilus besar, arcus aorta

dan arteri interlobaris yang berhubungan dengan usia.

Page 2: gangguan pada sistem urinari

2. Perubahan fungsi ginjal pada lanjut usia.

Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga

merupakan predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap

memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan fungsi

hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat merusak ginjal.

Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki usia 30

tahun dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan karena

berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya kemampuan untuk regenerasi.

Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada lanjut usia antara lain : (Cox,

Jr dkk, 1985).

a. Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.

b. Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila

dibandingkan dengan usia muda.

c. Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum

yang menurun. Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta

massa otot yang berkurang. Maka yang paling tepat untuk menilai faal ginjal

pada lanjut usia adalah dengan memeriksa Creatinine Clearance.

d. Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun

sejak usia 30 tahun.

3. Perubahan laju filtrasi glomerulus pada lanjut usia

Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi glomerulus

(GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan karena

total aliran darah ginjal dan pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus.

Pada beberapa penelitian yang menggunakan bermacam-macam metode,

menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja hingga usia 30-35 tahun,

kemudian menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade. Penurunan bersihan

kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan peningkatan konsentrasi

kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari pengeluaran kreatinin di urin)

menurun sejalan dengan penurunan bersihan kreatinin. Untuk menilai

GFR/creatinine clearance rumus di bawah ini cukup akurat bila digunakan pada

usia lanjut. Cratinine Clearance (pria) = (140-umur) X BB (kg) ml/menit

72 X serum cretinine (mg/dl) Cretinine Clearance (wanita) = 0,85 X CC pria.

Page 3: gangguan pada sistem urinari

4. Perubahan fungsi tubulus pada lanjut usia

Aliran plasma ginjal yang efektif (terutama tes eksresi PAH) menurun sejalan dari

usia 40 ke 90-an. Umumnya filtrasi tetap ada pada usia muda, kemudian

berkurang tetapi tidak terlalu banyak pada usia 70, 80 dan 90 tahunan. Transpor

maksimal tubulus untuk tes ekskresi PAH (paraaminohipurat) menurun progresif

sejalan dengan peningkatan usia dan penurunan GFR. Penemuan ini mendukung

hipotesis untuk menentukan jumlah nefron yang masih berfungsi, misalnya

hipotesis yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan

gangguan pada transpor tubulus, tetapi berhubungan dengan atrofi nefron

sehingga kapasitas total untuk transpor menurun. Transpor glukosa oleh ginjal

dievaluasi oleh Miller, Mc Donald dan Shiock pada kelompok usia antara 20-90

tahun. Transpor maksimal Glukosa (TmG) diukur dengan metode clearance.

Pengurangan TmG sejalan dengan GFR oleh karena itu rasio GFR : TmG tetap

pada beberapa dekade. Penemuan ini mendukung hipotesis jumlah nefron yang

masih berfungsi, kapasitas total untuk transpor menurun sejalan dengan atrofi

nefron. Sebaliknya dari penurunan TmG, ambang ginjal untuk glukosa meningkat

sejalan dengan peningkatan usia. Ketidaksesuaian ini tidak dapat dijelaskan tetapi

mungkin dapat disebabkan karena kehilangan nefron secara selektif.

5. Perubahan pengaturan keseimbangan air pada lanjut usia. Perubahan fungsi ginjal

berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan usia maka pengaturan

metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah

total air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia. Penurunan ini

lebih berarti pada perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah penurunan

indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh. Pada

lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat

meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan

volume yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang

mengatur perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di

hypothalamus.

Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang

biladibandingkan dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga

berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan dan

mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi secara intensif. Orang dewasa sehat

mengeluarkan 80% atau lebih dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.

Page 4: gangguan pada sistem urinari

Proses penuaan berdampak pada perubahan-perubahan dihampir semua organ

tubuh termaksuat pada organ berkemih yang mengakibatkan orang usia lanjut lebih

mudah mengalami problem inkontinensia urian. Perubahan-perubahan yang

menyebabkan orang usia lanjut mudah mengalami inkontinensia urin antaranya

adalah:

1. Melemahnya otot dasar panggul yang menyanggah kandung kemih dan pintu

(sfinter) saluran kemih.

2. Timbulnya kontraksi abdomen pada kandung kemih yang menimbulkan

rangsangan untuk berkemih sebelum waktunya.

3. Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan meninggalkan sisa air seni

di dalam kandung kemih yang cukup banyak sehingga dengan pengisian sedikit

saja sudah merangsang orang berkemih.

4. Hipertrofi prostad yang dapat mengakibatkan banyaknya sisa air sini kandung

kemih akibat pengosongan yang tidak sempurna.

B. Masalah – masalah yang timbul pada sistem perkemihan

Dalam hal ini kelompok hanya menyampaikan beberapa penyakit yang biasa

terjadi pada lansia khususnya pada system urinary yaitu urolitiasis (batu saluran

kemih), gagal ginjal kronik, benigna prostat hyperplasia (BPH), Inkontinensia pada

lansia.

1. Urolitiasis

Urolitiasis (batu saluran kemih) adalah adanya batu pada saluran kemih yang

bersifat idiopatik, dapat menimbulkan statis dan infeksi (Brunner.2002).

2. Gagal ginjal kronik

Gagal ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut

secara bertahap Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu

mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan

pemulihan fungsi tidak dimulai(Brunner.2002).

3. Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,

disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat

meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan

penyumbatan uretra pars prostatik(Brunner.2002).

Page 5: gangguan pada sistem urinari

4. Inkontensia urin

a. Pengertian

Inkontinensia urin adalah salah satu keluhan utama pada penderita

lanjut usia. Seperti halnya dengan keluhan pada suatu penyakit, bukan

merupakan diagnosis, sehingga perlu dicari penyebebnya(brocklehurst

dkk.1987).

Inkontensia urin adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari

dalam jumlah dan frekuensi yang cukup, sehingga mengakibatkan masalah

gangguan kesehatan atau sosial(Nugroho.2002).

inkontinesia adalah berkemih diluar kesadaran pada waktu dan tempat

yang tidak tepat serta menyebabkan masalah kebersihan atau

social(Maryam.2008).

Kami simpulkan Inkotinesia Urine (IU) adalah pengeluaran urien

involunter (tidak disadari) dalam jumlah yang cukup dan sangat menyebabkan

masalah bagi lansia.

b. Klasifikasi

Menurut Maryam 2008 Inkontenensia urine diklasifikasikan menjadi dua,

yaitu:

1. Inkontenensia urine akut

Penanganan IU akut pada usia lanjut berbeda tergantung

kondisi yang dialami pasien. Penyebab IU akut antara lain terkait dengan

gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin

meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. IU akut

juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab.

Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus

dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa

diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti

kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab

produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai.

Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik,

trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus

diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.

Page 6: gangguan pada sistem urinari

Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus

disingkirkan dengan terapi nonfarmakologik atau farmakologik yang tepat.

2. Inkontenensia urine persisiten

Menurut Nugroho 2002 Inkontinensia yang persisten atau kronik/menetap

dapat dibagi menjadi empat tipe :

a) Tipe stress

Inkontinensia tipe stres ditandai dengan keluarnya urin diluar

pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit akibat

peningkatan tekanan intra-abdominal. Misalnya saat bersin, tertawa

atau olahraga. Inkontinensia ini banyak terdapat pada wanita lanjut

usia. Kadang terjadinya tidak terlalu sering, dan urin yang keluar

hanya sedikit dan tidak berpengaruh kepada kualitas kehidupan

penderita serta tidak membutuhkan pengobatan khusus. Tetapi juga

dapat sedemikian banyak dan menggangu, sampai dibutuhkan

tindakan pembedahan untuk mengatasinya. Seperti sudah disinggung

diatas, peristiwa seperti ini seringkali berkenaan dengan kelemahan

jaringan sekitar muara kandung kemih dan uretra. Hilangnya

pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai dengan tindakan

opembedahan merupakan salah satu faktor predisposisi. Obesitas dan

batuk kronik juga sering memegang peranan.

Inkontinensia tipe stres jarang pada pria. Dapat terjadi setelah

mengalami operasi lewat uretra (trans-uretral) atau misalnya akibat

terapi radiasi yang merusak struktur jaringan dari spingter (kane dan

kawan-kawan, broklehuresete dan kawan-kawan).

b) Tipe urgensi

Inkontinensia tipe urgensi ditanfai dengan pengeluaran urin

diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya dengan jumlah

banyak karena ketidakmampuan menunda berkemih, begitu sensasi

penuhnya kandung kemih diterima oleh pusat yang mengtur proses

berkemih terdapat gangguan pengaturan rangsangan dan instabilitas

dari otot-otot destrusor kandung kemih. Inkontinensia ini terdapat

pada gangguann sistem saraf pusat misalnya pada struk, demensia,

sindrom parkinson dan kerusakan mredula spinalis.

Page 7: gangguan pada sistem urinari

Gangguan lokal dari saluran urogenital misalnya sistitis, batu dan

diveretikulum dari kandung kemih juga dapat mencetuskan

inkontinensia tipe urgensi.

c) Tipe luapan

Inkontinensia tipe luapan (over flo) ditandai dengan kebocoran

atau keluarnya urin/keluarnya urin, biasanya dalam jumlah sedikit,

karena desakan mekanik akibat kandung kemih yang sudah sangat

teregang. Penyebab umum dari inkontinensia ini adalah antara lain :

1. Sumbatan akibat kelenjar prostat yang membesar atau adanya

kistokel, dan penyempitan darai jalan keluarnya urin.

2. Gangguan kontraksi kandung kemih akibat gangguan dari

persarafan misaknya pada penyakit diabetes militus.

d) Tipe fungsional

Inkontinensia tipe fungsional ditandai dengan keluarnya urin

secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih

karena gangguan fisik atau kognitf maupun macam-macam hambatan

situasi/linkungan yang lain, sebelumnya siap untuk berjkemih. Faktor-

faktor psikologik seperti marah-marah, depresi juga dapat

menyebabkan inkontinensia tipe ini.

Macam-macam tipe dari inkontinensia tipe ini dapat terjadi pada satu

penderita secara bersamaan, sehingga membawa dampak juga pada

strategi pengelolahannya.

c. Etiologi

Menurut nugroho 2002 yang merupakan etiologi inkontinensia urine adalah :

1. Melemahnya otot dasar panggul yang menyangga kandung kemih dan

memperkuat sfingter uretra.

2. Kontarksi abnormal pada kantung kemih

3. Obatdiuretik yang mengakibatkan sering berkemih dan obat penenang

terlalu banyak.

4. Radang kantung kemih

5. Radang saluran kemih

6. Kelainan control pada kantung kemih

7. Kelainan persyarafan pada kantong kemih.

Page 8: gangguan pada sistem urinari

8. Akibat adanya prostat

9. Faktor psikologis.

d. Patofisiologi

Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:

1. Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila

batuk atau bersin. Bisa juga disebabkan oleh kelainan di sekeliling daerah

saluran kencing.

2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung

kemih.

3. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih,

urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan.

Inkontinensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada

lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan

bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi Lower Motor

Newron (LMN) dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat

bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi

detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow.

e. Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium

Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk

menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.

2. Catatan berkemih (voiding record).

Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini

digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami

inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan

inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3

hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan

juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan

pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada

dirinya.

Page 9: gangguan pada sistem urinari

f. Penatalaksanaan

Menurut Martono. 2010 penatalaksanaan pada inkontinensia urine diantaranya

adalah :

1. Manfaat kartu catat berkemih

Kartu catat berkemih merupakan kertu yang dapat digunakan oleh usia

lanjut yang mempunyai masalah inkontinensia urin. Pada kertu ini akan

dicatat waktu dan urin yang keluar,baik yang keluar secara normal maupun

yang keluar karena tak tertahankan . selain itu juga akan dicatat waktu,

jumlah, jenis minuman yang diminum. Pencatatan pemasukan dan

pengeluaran cairan ini dilakukan setiap saat sepanjang hari selama tiga hari

berturut-turut. Tujuan pencatatan ini adalah agar diketahui pola berkemih

dan dapat diduga tipe inkontinensia urinnya. Dengan diketahui tipe

inkontinensia urin yang diderita, masalah ini dapat dikelolah dengan baik

dan benar.

2. Terapi non farmakologi.

Terapi nonfarmakologi dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang

mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hipertropi prostat, skibala,

infeksi saluran kemih, diuretic, gula darah tinggi, dan lain-lain.beberapa

terapi yang digunakan adalah:

a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang waktu kemih)

dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuensi barkemih 6-7

kali per hari.pasien dapat menahan keinginan/ sensasi untuk berkemiah

bila belum waktunya.pasien diinstruksikan untuk berkemih pada

interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya interval

berkemih diperpanjang secara bertahap samapi pasien ingin berkemih

setiap 2-3 jam.teknik latihan ini memerluka motivasi yang kuat dari

pihak pasien.

b. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan

sesuai dengan kebiasaan pasien. Teknik ini membutuhkan keterlibatan

petugas kesehatan dan atau pengasuh pasien.

c. Prompted voidingdilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali

kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau

Page 10: gangguan pada sistem urinari

pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien

dengan gangguan fungsi berfikir.

d. Melakukan latihan otot dasar panggul, dengan berkontraksi berulang-

ulang otot dasar panggul.hal ini dimaksutkan agar otot dasar panggul

menjadi lebih kuat dan uretra dapat tertutup dengan baik sebelum

pasien menjalani latihan,harus dilakukan lebih dahulu pemeriksaan

lubang kemaluan (perempuan) atau rektumuntuk menetapkan apakah

mereka dapat mengkontreksikan otot dasar punggungnya.

e. Pasien dengan trauma mandula spinalis, strok, atau demensi

memerlukan pemasangan kateter jangka panjang atau selamanya.

Terapi nonfarmakologi ini harus disertai dengan evaluasi fisik

dan lingkungan social pasien seperti kemudahan mencapai

toilet.,pakayan dalam atau celana yang mudah dibuka , system bel

untuk memanggil pengasuh/petugas kesehatan yang mudah dijangkau

usia lanjut, dan sebagainya.

3. Terapi farmakologi

Terapi dengan menggunakan obat-obatan dapat dilakukan bila terapi non

farmakologi tidak dapat menyelesaikan masalah inkontinesia urin. Obat-

obatan yang dapat diberikan adalah antikolinerik (relaksasi kandung

kemih) yang dapat diberikan pada inkontinensia urogensi dan agonis alfa

yang dapat diberikan pada inkontinensia stress.

4. Terapi pembedahan

Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress

tipe campuran stress dan urgensi, bila terapi nonfarmakologi dan

farmakologi tidak berhasil. Inkontinensia urin tipe overflow umumnya

memerlukan tidakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin.

5. Modelitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medic yang

menyebabkan inkontinensia urin ini, dapat pula digunakan beberapa alat

bantu yang dapat digunakan oleh usia lanjut yang mengalami

inkontinensia urin. Diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu

toilet (seperti urinal, dan bedpan).

Page 11: gangguan pada sistem urinari

a. Pampers

Pampers dapat digunakan baik pada kondisi akut maupun pada kondisi

dimana pengobatan sudah tedak berhasil mengatasi inkontinensia urin.

Namun demikian, pemasangan pampers juga dapt menimbulkan

masalah seperti timbul luka lecet bila jumlah air seni berlebihan daya

tempung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit dalam

pampers terus menerus lembab, sementara pasien tidak dapat

bergegerak karena penyakitnya.

b. Kateter

Kateter menetap (indwelling cathether) tidak diajurkan untuk

digunakan secara rutin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih,

pembentukan batu, abses, dan kebocoran.

Kateter menetap dipasangi bila:

1. Terdapat inkontinensia overflow, infeksi somatic atau gangguan

fungsi ginjal akibat retensi urin

2. Retensi urin yang tidak dapat dikoreksi secara pembedahan atau

obat-obatan.

3. Retensi urin tidak dapat diatasi dengan kateterisasi intermitan.

4. Luka dikubitus atau iritasi yang terkontaminasi oleh inkontinensia

urin.

5. Perawatan pasien dengan penyakit terminal yang mengalami

kesulitan menggenti pakaian/celana.

Selain kateter menetap, terdapat akteter sementara yang merupakan

alat yang secara rutin digunakan intuk mengosongkan kandung

kemih. Teknik ini digunakan pada pesien yang tidak dapat

mengosongkan kandung kemih.namun teknik ini juga beresiko

untuk terjadinya infeksi saluran kemih.

c. Alat bantu toilet

Alat bantu toilet, seperti urinal, kondom dan bedpen

dapatdiginakan olehorang usia lanjut yang tidak mampu bergerak atau

menjalani tirah baring. Alat-alat bantu tersebut akan menolong akan

menolong mereka terhindar dari jatuh dan akan membantu

memberikan kemandirian pada usia lanjut dalam menggunakan toilet.

Page 12: gangguan pada sistem urinari

Urin umumnya digunakan oleh laki-laki, tetapi ada pula jenis

tertentuyang dapat digunakan oleh wanita. Dalam penggunaan urin ini

diperlukan adanya motivasi agar dapat menggunakan urin sendiri dan

bila tidak mampu baru dibantu.

Kondom merupakan alat bantu berupa kersi yang berlubang

dialas duduknya, dibawah lubang tersebut terdapat pen tempat

menampung air seni dan/atau tinja. Komod adalah alat bantu yang baik

untuk pasien yang tidak mampu pergi ketoilet tetapi dap bangun dari

tempat tidur. Bedpen digunakan untuk seseorang yang tidak dapat

bangun dari tempat tidur. Alat ini diselipkan dibawah bokong pada saat

pasien akan berkemih. Pasien diminta atau dibantu untuk menggkat

bagian tubuh bawahnya termasuk bokongnya dan kemudian bedpan

diletakan dibawah bokong.