Gangguan Dasar Panggul Setelah Persalinan Pervaginam

14
Gangguan dasar panggul setelah persalinan pervaginam Efek dari episiotomy, laserasi perineum, dan persalinan operati Victoria L. Handa, MD, MHS, Joan L. Blomquist, MD, Kelly C. McDermott, BS, Sarah Friedman, MD, and Alvaro Munoz, PhD Tujuan : Untuk meneliti apakah episiotomy, laserasi perineumdan persalinan operatif berhubungan dengan gangguan dasar panggul setelah persalinan pervaginam. Metode : Penelitian ini merupakan analisis data untuk studi kohort dari gangguan dasa Peserta yang telah mengalami paling tidak satu kali persalinan pervaginam direkrut setelah persalinan anak pertama mereka. Tindakan obstetric diklasifikasikan ulang rekam medis.Pada pencatatan, hasil keadaandasarpanggulyang meliputi stress inkontinensia, overactive bladder, inkoninensia alvi, dan prolaps dinilai dengan kuisioner y valid. Penunjang organ panggul dinilai dengan menggunakan system kuantifikasi prola panggul. Analisis regresi logistic digunakan untuk memperkirakan peluang re gangguan dasar panggul dari riwayat obstetric, menyesuaikan untuk penyakit yang rel Hasil : Dari 449 peseta, 71 (16%) mempunyai stress inkontinensia, 45 (10%) menderita overactive bladder, 56 (12%) menderita inkontinensia alvi, 19 (4%) menderita gej dan 64 (14%) menderita prolaps yang menuju atau melewati hymen pada pemeriksaan. Persalinan dengan forceps meningkatkan peluang dari tiap gangguan dasar panggul, kh overactive bladder (rasio peluang [OR] 2.92, 95% interval kepercayaan [CI] 1.44 prolaps (OR 1.95, 95% CI 1.03-3.70). Episiotomi tidak berhubungan dengan panggul. Kontras, wanita dengan riwayat lebih dari satu kali laserasi per signifikan lebih cenderung untuk menderita prolaps yang menuju atau melewa

Transcript of Gangguan Dasar Panggul Setelah Persalinan Pervaginam

Gangguan dasar panggul setelah persalinan pervaginamEfek dari episiotomy, laserasi perineum, dan persalinan operatifVictoria L. Handa, MD, MHS, Joan L. Blomquist, MD, Kelly C. McDermott, BS, Sarah Friedman, MD, and Alvaro Munoz, PhD

Tujuan : Untuk meneliti apakah episiotomy, laserasi perineum dan persalinan operatif berhubungan dengan gangguan dasar panggul setelah persalinan pervaginam. Metode : Penelitian ini merupakan analisis data untuk studi kohort dari gangguan dasar panggul. Peserta yang telah mengalami paling tidak satu kali persalinan pervaginam direkrut 5-10 tahun setelah persalinan anak pertama mereka. Tindakan obstetric diklasifikasikan dengan meninjau ulang rekam medis. Pada pencatatan, hasil keadaan dasar panggul yang meliputi stress inkontinensia, overactive bladder, inkoninensia alvi, dan prolaps dinilai dengan kuisioner yang valid. Penunjang organ panggul dinilai dengan menggunakan system kuantifikasi prolaps organ panggul. Analisis regresi logistic digunakan untuk memperkirakan peluang relative dari tiap gangguan dasar panggul dari riwayat obstetric, menyesuaikan untuk penyakit yang relevan. Hasil : Dari 449 peseta, 71 (16%) mempunyai stress inkontinensia, 45 (10%) menderita overactive bladder, 56 (12%) menderita inkontinensia alvi, 19 (4%) menderita gejala prolaps, dan 64 (14%) menderita prolaps yang menuju atau melewati hymen pada pemeriksaan. Persalinan dengan forceps meningkatkan peluang dari tiap gangguan dasar panggul, khususnya overactive bladder (rasio peluang [OR] 2.92, 95% interval kepercayaan [CI] 1.44-5.93), dan prolaps (OR 1.95, 95% CI 1.03-3.70). Episiotomi tidak berhubungan dengan gangguan dasar panggul. Kontras, wanita dengan riwayat lebih dari satu kali laserasi perineum spontan secara signifikan lebih cenderung untuk menderita prolaps yang menuju atau melewati hymen (OR

2.34, 95% CI 1.13-4.86). hasil multivariable kami memberi kesan bahwa satu dari tiap 8 wanita yang mengalami paling tidak satu persalinan dengan forceps akan mengalami perkembangan ke arah prolaps (dibandingkan dengan melahirkan semua anaknya dengan persalinan spontan pervaginam. Kesimpulan : Persalinan pervaginam dan laserasi perineum, namun bukan episiotomy,

mempunyai hubungan dengan gangguan dasar panggul setelah 5-10 tahun dari persalinan pertama. Diantara wanita para, persalinan section caesaria mengurangi peluang dari gangguan dasar panggul pada masa yang akan dating. Namun, sebagian besar wanita Amerika Serikat melkukan persalinan pervaginam. Oleh karena itu, adalah penting untuk mengenali intervensi persalinan yang mana akan meningkatkan resiko dari gangguan dasar panggul setelah persalinan pervaginam. Satu daerah yang menjadi perdebatan penting adalah peranan dari episiotomy dan laserasi perineum spontan. Walaupun 80 tahun yang lalu, episiotomy diusulkan sebagai cara untuk mencegah laserasi spontan dan dengan demikian mengurangi relaksasi panggul.2 Secara spesifik, penunjang superior organ panggul telah diamati selama 6 minggu postpartum diantara wanita yang mengalami episiotomy.2-4 Namun, penelitian baru banyak yang memberi kesan bahwa episiotomy kemungkinan meningkatkan peluang dari gangguan dasar panggul. 5-7 Dengan demikian peranan dari episiotomy belum dapat dipastikan. Tinjauan ulang sistematik tahun 2005 menyimpulkan bahwa efek episiotomy pada perkembangan gangguan dasar panggul masih belum diketahui.

Masih menjadi perdebatan juga hubungan antara persalinan operatif dan gangguan dasar panggul. Walaupun sejumlah penelitian member kesan bahwa persalinan opertaif secara bermakna meningkatkan peluang untuk gangguan dasar panggul, penelitian lain menunjukkan bahwa persalinan operatif bukan merupakan predictor kuat untuk inkontinensia urin prolaps organ panggul (POP)7. Pada penelitian ini, kami meneliti factor resiko putative untuk gangguan dasar panggul setelah 5-10 tahun dari persalinan diantara wanita yang paling tidak pernah mengalami persalinan pervaginam. Hal ini direncanakan sebagai tujuan kedua dari penelitian Mothers Outcome After Delivery, sebuah penelitian longitudinal kohort dari gangguan dasar panggul setelah persalinan. Pada analisa, kami berfokus pada apakah persalinan operatif, episiotomy, dan laserasi perineum spontan mempunyai hubungan dengan perkembangan lanjut dan gangguan dasar panggul diantara wanita yang bersalin secara pervaginam. Tujuan kami adalah untuk mengenali factor resiko obstetric yang dapat dimodifikasi untuk gangguan dasar panggul. METODE DAN BAHAN PENELITIAN Penelitian Mothers Outcome After Delivery adalah penelitian prospektif kohort dari hasil penilaian terhadap daar panggul pada wanita yang direkrut 5-10 tahun setelah persalinan anak pertama mereka.1 Perekrutan wanita untuk penelitian dimulai pada tahun 2008. Metode perekrutan telah dijelaskan secara detail. Agar meyakinkan, wanita harus melahirkan anak pertamanya di pusat kesehatan Greater Baltimore dalam waktu 5-10 tahun sebelum pencatatan. Peserta diidentifikasi dari rekam medic obstetric rumah sakit, untuk verifikasi dan konfirmasi jenis persalinan, setiap karte rumah sakit telah diperiksa oleh anggota tim peneliti yang juga merupakan ahli obstetric.9-14

atau

Tindakan obstetric dipisah dari ringkasan rekaman persalinan untuk tiap peserta. Perhatian utama adalah persalinan dengan forceps dan vakum, episiotomy, dan laserasi perineum spontan, hasil ini diklasifikasikan setelah ringkasan table. Jika data yang relevan hilang dari rekam medis, maka pemanggilan kembali peserta dilakukan untuk mengklasifikasikan jenis persalinannya. Dengan perhatian terhadap laserasi dan episiotomy, kami mempertimbangkan factor berikut sebagai factor ekslusif pada tingkat persalinan; perineum intak, episiotomy (dengan atau tanpa perluasan ke tingkat 3-4); dan tingkatan 1-2 pada laserasi spontan perineum (dengan atau tanpa perluasan ke tingkat 3-4). Persalinan tanpa episiotomy atau laserasi diklasifikasikan sebagai perineum intak. Episiotomy midline dan mediolateral dipertimbangkan sebagai satu grup karena hanya 8% dari episiotomy pada populasi ini yang diklasifikasikan sebagai mediolateral. Walaupun tindakan perineum ini (episiotomy, laserasi, atau intak) didefinisikan dalam kategori ekslusif mutual pada tiap persalinan, mereka dikombinasikan untuk masing-masing wanita diseluruh persalinannya untuk analisis tambahandata bstetri yang diambil dari karte obstetric, meliputi durasi dari kala II dan berat lahir. Durasi dari kala II ( waktu dari dilatasi sempurna sampai persalinan) diklasifikasikan sebagai kala II lama jika lebih dari 2 jam. Makrosomia didefinisikan sebagai kelahiran dengan berat 4000 gram atau lebih. Walaupun semua peserta melahirkan pada institusi kami, beberapa melahirkan anak berikutnya di rumah sakit yang berbeda, untuk persalinan ini, kami berpegang pada laporan deskripsi peserta untuk semua kejadian obstetrinya. Sebagai tambahan untuk tindakan obstetric, kami mempertimbangkan perancu berdasarkan suku bangsa, paritas, umur ibu saat persalinan pertama, dan obesitas. Suku bangsa dan paritas langsung dilaporkan saat pencatatan. Obesitas juga dinilai saat pencatatan. Secara spesifik, setiap berat badan dan tinggi badan peserta diukur dan dihitung indeks masa tubuhnya

[BB (Kg)/tinggi (m)2]. Obesitas didefinisikan sebagai indeks masa tubuh lebih dari atau sama dengan 30. Hasil yang menarik perhatian adalah ada atau tidaknya gangguan dasar panggul, yang dievaluasi pada pencatatan, kami menggunakan kuisioner epidemiology of prolaps and incontinence, sebuah kuisioner self-administered yang valid.15 Untuk mengenali wanita dengan gejala yang mengganggu dari gangguan dasar panggul, kuisioner ini menghasilkan skor untuk 4 gangguan dasar panggul : inkontinensia urin, overactive bladder, inkontinensia alvi, dan prolaps organ panggul. Pada tiap kasus, ambang nilai yang valid digunakan untuk menentukan wanita yang memiliki criteria dari gangguan tersebut. Skor yang lebih besar dari nilai ambang menunjukkan secara klinis bermakna gejala dari gangguan dasar panggul. Kami menggunakan ambang nilai untuk membedakan wanita dengan atau tanpa tiap-tiap gangguan dasar panggul. Sebagai tambahan untuk kuisioner penelitian, pemeriksaan ginekologis dilakukan untuk menilai penunjang organ panggul dengan menggunakan sistem pemeriksaan Pelvic Organ Prolapse Quantification.16 Pemeriksaan dilakukan oleh dokter dan perawat. Tiaptiap dokter dan perawat menunjukkan kompetensinya dalam melakukan pemeriksaan sebelum penelitian dimulai, dan kompetensi dikonfirmasi ulang disepanjang penelitian. Pada waktu setiap pemeriksaan, klinisi tidak diberitahu akan riwayat persalinan dan gejala wanita tersebut. Wanita yang diklasifikasikan sebagai pemilik bukti objektif dari prolaps organ panggul jika sebagian besar titik penggantung dari dinding vagina atau serviks mendekati atau melewati hymen.1.17.18 Dalam pencatatan medis menuju penelitian kohort kami, peserta ditanyakan mengenai penanganan sebelumnya dari gangguan dasar panggul, meliputi pembedahan dan latihan otot panggul (jika program tersebut diawasi secara professional). Peserta juga ditanyakan mengenai

terapi saat ini, meliputi obat-obatan atau inkontinensia urin atau pemakaian pesarium saat ini untuk terapi prolaps. Wanita yang dilaporkan memiliki riwayat pembedahan sebelumnya, latihan otot panggul sebelumnya, atau setiap bentuk terapi untuk gangguan dasar panggul yang spesifik dipertimbangkan untuk mempunyai kondisi itu, dan tidak dipengaruhi oleh gejala saat ini. Tabel kontingensi digunakan untuk memperkirakan hubungan univariabel antara tiap tindakan yang diteliti dengan pembaur yang mungkin ada, dan kemudian dengan tiap gangguan dasar panggul. Nilai P didapatkan dengan menggunakan tes fisher. Kemudian, model regresi logistic digunakan untuk memperkirakan kelainan relative dan tiap gangguan dasar panggul spesifik, riwayat persalinan dengan forceps atau vakum, episiotomy, dan laserasi perineum spontan. Pada analisis ini, tiap-tiap dari 5 gangguan dasar panggul yang diteliti (inkontinsia urin, overactive bladder, inkontinensia alvi, gejala prolaps organ panggul, dan prolaps organ panggul melalui pemeriksaan) dipertimbangkan secara terpisah. Model logistic diatur untuk pembaur yang relevan, yang ditentukan dalam analisis multi variable. Pada model yang memperkirakan kelainan relative yang berhubungan dengan episiotomy, grup referensi tidak mengalami episiotomy (tanpa memperhatikan riwayat laserasi perineum spontan pada persalinan lainnya) dan terdapat dua perbandingan kelompok, satu kali episiotomy dan lebih dari satu kali episiotomy. Pendekatan serupa diambil dengan memperhatikan bentuk dari kelainan relative yang berhubungan dengan laserasi perineum spontan, untuk semua analisis, p o.50 dipertimbangkan bermakna secara spesifik. HASIL Penelitian ini berfokus pada 451 peserta yang mengalami paling tidak satu kali persalinan pervaginam dan telah menyelesaikan pendaftaran penilaian pada analisis ini. Pada 451 peserta ini

dilaporkan total persalinan pervaginam sebanyak 820, dan section caesaria sebanyak 86. Secara keseluruhan, dokumentasi rekam medis tidak cukup untuk mengklasifikasikan 100 persalinan (12%) dengan perhatian pada paling tidak satu atau tindakan yang diteliti (episiotomy, laserasi, atau persalinan operatif), termasuk 56 persalinan yang dilakukan pada rumah sakit lain. Pada kasus tersebut, pemanggilan kembali ibu berkaitan dengan riwayat persalinan dilakukan untuk klasifikasi tindakan ini. Namun, bahkan setelah pemanggilan kembali ibu, 2 wanita tidak dapat diklasifikasikan dengan perhatian pada tindakan yang diteliti, dan 2 wanita tersebut oleh karena itu dikeluarkan, meninggalkan 449 wanita untuk analisis ini. Dalam pencatatan, median umur adalah 40 tahun ( dengan kisaran 22.7-54.4), 51 (11%) adalah afrika-amerika, dan 122 (27%) mengalami persalinan pertamanya setelah usia 35 tahun. Juga, 337 (75%) adalah multipara dan 74 (16%) diklasifikasikan memiliki obesitas. Interval median antara persalinan pertama sampai pencatatan adalah 7.5 tahun (kisaran 5.1-11.0). Dari 449 peserta, 125 (28%) memiliki riwayat paling tidak satu kali persalinan operatif dan 6 wanita memiliki dua persalinan operatif (49 memiliki riwayat persalinan vakum ekstraksi, 71 dengan forceps, dan 5 mengalami baik vakum dan forceps). 273 wanita (61%) pernah mengalami paling tidak satu episiotomy dan 256 wanita (61%) pernah mengalami paling tidak satu laserasi perineum spontan. 68 wanita (15%) mengalami lebih dari satu episiotomy dan 88 wanita (20%) mengalami lebih dari satu laserasi perineum spontan, hanya 14 wanita (3%) mengalami persalinan tanpa adanya laserasi atau episiotomy meliputi keeluruhan persalinan. 94 wanita (21%) memiliki riwayat baik episiotomy maupun laserasi perineum spontan. Laserasi spinkter ani dialami oleh 96 wanita (21%). Hasil ini secara bermakna berhubungan dengan riwayat persalinan operatif (42% dibandingkan 13%; P