Gambaran Umum SDM & Etos Kerja
description
Transcript of Gambaran Umum SDM & Etos Kerja
Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor penting dalam
pembangunan. Secara makro, faktor-faktor masukan pembangunan, seperti sumber
daya alam, material dan finansial tidak akan memberi manfaat secara optimal untuk
perbaikan kesejahteraan rakyat bila tidak didukung oleh memadainya ketersediaan
faktor SDM, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pelajaran yang dapat dipetik dari
berbagai negara maju adalah, bahwa kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa di
negara-negara tersebut didukung oleh SDM yang berkualitas. Jepang, misalnya,
sebagai negara pendatang baru (late comer) dalam kemajuan industri dan ekonomi
memulai upaya mengejar ketertinggalannya dari negara-negara yang telah lebih dahulu
mencapai kemajuan ekonomi dan industri (fore runners) seperti Jerman, perancis dan
Amerika dengan cara memacu pengembangan SDM (Ohkawa dan Kohama 1989).
Di Indonesia terjadi ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan
kerja dimana tentunya lapangan pekerjaan yang jauh lebih sedikit dibandingkan para
pencari kerjanya. Selain itu kondisi ini juga diperparah dengan tingkat pendidikan
angkatan kerja yang ada masih relative rendah dimana stuktur pendidikan angkatan
kerja di Indonesia masih didominasi pendidikan dasar hampir lebih dari 50%. Lesunya
dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan
rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi hal inilah yang
membuat angka pengangguran sarjana makin tinggi. Karena begitu banyaknya lulusan
perguruan tinggi tiap tahunnya tidak diimbangi dengan lapangan kerja yang memadai.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan
selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai.Keterpurukan
ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan
pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM. Maka dari itu pengembangan SDM
pada intinya harus diarahkan dalam rangka meningkatkan kualitasnya, yang pada
gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas. Hasil berbagai studi menunjukkan,
bahwa kualitas SDM merupakan faktor penentu produktivitas, baik secara makro
maupun mikro. Sumber Daya Manusia (SDM) secara makro adalah warga negara suatu
bangsa khususnya yang telah memasuki usia angkatan kerja yg memiliki potensi untuk
berperilaku produktif (dengan atau tanpa pendidikan formal) yg mampu memenuhi
kebutuhan hidup sendiri dan keluarganya yang berpengaruh pada tingkat kesejahteraan
masyarakat di lingkungan bangsa atau negaranya.
Defenisi MSDM dan SDM.
Sumberdaya Manusia (SDM) dalam konteks bisnis, adalah orang yang bekerja
dalam suatu organisasi yang sering pula disebut karyawan. Sumberdaya Manusia
merupakan aset yang paling berharga dalam perusahaan, tanpa manusia maka
sumberdaya perusahaan tidak akan dapat mengahasilkan laba atau menambah nilainya
sendiri.Sumberdaya manusia adalah apa yang terkandung dalam diri manusia yang
digunakan untuk menggerakkan dan menyinergikan sumberdaya lainnya untuk
melakukan kegiatan. SDM merupakan kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya fisik
yang dimiliki individu, perilaku dan sifatnya,serta pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki dalam kehidupan.
Manajemen Sumber Daya Manusia didasari pada suatu konsep bahwa setiap
karyawan adalah manusia, bukan mesin, dan bukan semata menjadi sumber daya
bisnis.Manajemen Sumber Daya Manusia berkaitan dengan kebijakan dan praktek-
praktek yang perlu dilaksanakan oleh manajer, mengenai aspek-aspek Sumber Daya
Manusia dari Manajemen Kerja.
Tidak ada definisi yang sama tentang Manajemen Sumber Daya Manusia, 3 (tiga)
definisi sebagai perbandingan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bagaimana orang-orang dapat dikelola dengan cara yang terbaik dalam
kepentingan organisasi, Amstrong (1994).
2. Suatu metode memaksimalkan hasil dari sumber daya tenaga kerja dengan
mengintergrasikan MSDM kedalam strategi bisnis, Kenooy (1990).
3. Pendekatan yang khas, terhadap manajemen tenaga kerja yang berusaha
mencapai keunggulan kompetitif, melalui pengembangan strategi dari tenaga kerja yang
mampu dan memiliki komitmen tinggi dengan menggunakan tatanan kultur yang
integrated, struktural dan teknik-teknik personel, Storey (1995).
Dari ke-3 definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, Manajemen Sumber Daya
Manusia berkaitan dengan cara pengelolaan sumber daya insani, dalam organisasi dan
lingkungan yang mempengaruhinya, agar mampu memberikan kontribusi secara optimal
bagi pencapaian suatu organisasi.Akan tetapi, sumber daya manusia secara sederhana
dapat di artikan sebagai kemampuan atau nilai seseorang dalam hal yang kompleks,
karena tidak berdasarkan pada kemampuan seseorang dalam dunia kerja saja
melainkan kehidupan sehari – hari.
SDM yang menguasai ipteks cenderung memanfaatkan teknologinya untuk
menguasai SDA bangsa lain.Dinamika perkembangan masyarakat melaju sangat pesat
seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga menuntut semua
pihak untuk beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dalam di masyarakat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memunculkan paradigma baru dalam
mencapai keberhasilan, yaitu dengan persaingan. Tantangan persaingan yang semakin
tajam pada era globalisasi menuntut kita untuk siap dalam hal teknologi, informasi,
intelektual maupun mental di era globalisasi ini.
Sumber Daya Manusia Indonesia
Terkait dengan kondisi sumber daya manusia Indonesia yaitu adanya
ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan
kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang,
sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada
sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat
terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur
pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar
63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan
kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor
ekonomi. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat
ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi.
Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat.
Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi.
Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak
semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas
angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan
selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya
keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif
(hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung.
Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM
yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini
merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM.
Rendahnya SDM Indonesia diakibatkan kurangnya penguasaan IPTEK, karena
sikap mental dan penguasaan IPTEK yang dapat menjadi subyek atau pelaku
pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu
juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam
SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui
pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah
bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era
sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini
sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi.
Dampak IPTEK Terhadap SDM Indonesia
Pengaruh IPTEK terhadap peningkatan SDM Indonesia khususnya dalam
persaingan global dewasa ini meliputi berbagai aspek dan merubah segenap tatanan
masyarakat. Aspek-aspek yang dipengaruhi, adalah sebagai berikut :
1. Dampak yang ditimbulkan oleh teknologi dalam era globalisasi, khususnya
teknologi informasi dan komunikasi, sangat luas. Teknologi ini dapat menghilangkan
batas geografis pada tingkat negara maupun dunia.
2. Aspek Ekonomi.
Dengan adanya IPTEK, maka SDM Indonesia akan semakin meningkat dengan
pengetahuan-pengetahuan dari teknologi tersebut. Dengan kemajuan SDM ini, tentunya
secara tidak langsung akan mempengaruhi peningkatan ekonomi di Indonesia. Berkaitan
dengan pasar global dwasa ini, tidaklah mungkin jika suatu negara dengan tingkat SDM
rendah dapat bersaing, untuk itulah penguasaan IPTEK sangat penting sekali untuk
dikuasai.
Selain itu, tidak dipungkiri globalisasi telah menimbulkan pergeseran nilai dalam
kehidupan masyarakat di masa kini akibat pengaruh negatif dari globalisasi.
3. Aspek Sosial Budaya.
Globalisasi juga menyentuh pada hal-hal yang mendasar pada kehidupan
manusia, antara lain adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM), melestarikan
lingkungan hidup serta berbagai hal yang menjanjikan kemudahan hidup yang lebih
nyaman, efisien dan security pribadi yang menjangkau masa depan, karena didukung
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak yang timbul diakibatkannya
ikatan-ikatan tradisional yang kaku, atau dianggap tidak atau kurang logis dan
membosankan. Akibat nyata yang timbul adalah timbulnya fenomena-fenomena
paradoksal yang muaranya cenderung dapat menggeser paham
kebangsaan/nasionalisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan meningkatnya
tanggapan masyarakat atas kasus-kasus yang terjadi dinilai dengan didasarkan norma-
norma kemanusiaan atau norma-norma sosial yang berlaku secara umum (Universal
internasional).
Hakekat Pengembangan SDM
Pengertian SDM ada dua macam, yaitu:
1. Derajat kualitas usaha yang ditampilkan seseorang yang terlibat dalam
proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa, dan
2. Manusia yang memiliki kemampuan kerja untuk menghasilkan produksi,
baik barang atau jasa (Simanjuntak, 1985).
Pengembangan SDM merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan suatu pendekatan bersifat terintegrasi dan holistik dalam mengubah
prilaku orang-orang yang terlibat dalam suatu proses pekerjaan, dengan menggunakan
serangkaian teknik dan strategi belajar yang relevan (Megginson, Joy-Mattews, dan
Banfield, 1993). Konsep ini mengandung makna adanya berbagai unsur kegiatan
selama terjadinya proses mengubah prilaku, yaitu adanya unsur pendidikan, adanya
unsur belajar, dan perkembangan. Unsur pendidikan dimaksudkan untuk menentukan
teknik dan strategi yang relevan untuk mengubah prilaku. Unsur belajar dimaksudkan
untuk menggambarkan proses terjadinya interaksi antara individu dengan lingkungan,
termasuk dengan pendidik. Adapun unsur perkembangan dimaksudkan sebagai proses
gradual dalam perubahan dari suatu keadaan, misalnya dari keadaan tidak dimilikinya
kompetensi menjadi keadaan memiliki kompetensi, yang terjadi dalam jangka waktu
tertentu.
Perbaikan Iklim Ketenaga Kerjaan
Dengan memperhatikan kondisi permasalahan ketenagakerjaan tersebut, Pemerintah
harus melakukan perbaikan iklim ketenagakerjaan. Iklim ketenagakerjaan yang semakin
baik merupakan salah satu upaya untuk mendorong iklim investasi. Dengan demikian,
investasi dapat tumbuh dan membuka kesempatan kerja baru bagi masyarakat
Indonesia. Berkaitan dengan perbaikan iklim ketenagakerjaan, kebijakan yang ditempuh
adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan pasar kerja yang lebih luwes terus diupayakan melalui penyempurnaan
dan perbaikan peraturan ketenagakerjaan, peningkatan fungsi lembaga bipartit dalam
pelaksanaan negosiasi hubungan industrial agar suasana yang seimbang dalam
perundingan antara pekerja dan pemberi kerja dapat tercipta.
2. Dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja memasuki pasar kerja, kualitas dan
produktivitas tenaga kerja ditingkatkan antara lain dengan mengembangkan standar
kompetensi kerja dan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja, menyelenggarakan
pelatihan kerja berbasis kompetensi, dan meningkatkan keterampilan para penganggur.
DEFINISI & BERBAGAI BUDAYA KERJA
Isu tentang pentingnya meningkatkan etos (etika) kerja pada organisasi
pemerintah dan swasta semakin mencuat akhir-akhir ini. Hal itu disebabkan
semakin disadarinya pentingnya pemahaman etos kerja sebagai solusi untuk
memecahkan masalah, terutama yang terkait dengan moral hazard di tempat
kerja sebagai salah satu cara peningkatan kualitas & kinerja SDM
Pengertian Etos Kerja
Menurut K. Bertens (1994), secara etimologis istilah etos berasal dari
bahasa Yunani yang berarti “tempat hidup”. Mula-mula tempat hidup dimaknai
sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi
dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul
pula istilah ethikos yang berarti “teori kehidupan”, yang kemudian menjadi “etika”.
Dalam bahasa Inggris, etos dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian
antara lain starting point, to appear, disposition hingga disimpulkan sebagai
character. Dalam bahasa Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai “sifat
dasar”, “pemunculan” atau “disposisi (watak)”.
-Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai guiding beliefs of a person,
group or institution. Etos adalah keyakinan yang menuntun seseorang, kelompok
atau suatu institusi.
-Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of English Language, etos
diartikan dalam dua pemaknaan, yaitu:
The disposition, character, or attitude peculiar to a specific people, culture
or a group that distinguishes it from other peoples or group, fundamental
values or spirit, mores. Disposisi, karakter, atau sikap khusus orang,
budaya atau kelompok yang membedakannya dari orang atau kelompok
lain, nilai atau jiwa yang mendasari, adat-istiadat.
The governing or central principles in a movement, work of art, mode of
expression, or the like. Prinsip utama atau pengendali dalam suatu
pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau sejenisnya.
Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan seperangkat
pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar
mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara
berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan
yang sama.
Nilai-nilai budaya Kerja Pegawai dari Eropa
Pada umumnya organisasi/perusahaan multi national corporation (MNC) yang
induknya dari Eropa, merupakan perusahaan yang paling demokratis, karena revolusi
industri dimulai dari revolusi di Perancis, sehingga MNC Eropa memiliki budaya kerja
untuk pegawai/karyawan dengan pembagian tugas dan tanggung jawab yang sudah
tertata rapi, terstruktur, jelas hak dan kewajiban, lebih individual, sehingga para pegawai
yang memiliki kinerja yang menonjol masih berada pada koredor tugas dan tanggung
jawabnya, maka reaksi Direktur Utama tentunya positif terhadap kinerja pegawai yang
berprestasi selaku bawahannya, karenanya Direktur Utama tidak merasa terancam dan
tersaingi oleh Direktur atau pegawai yang berkinerja positif.
Nilai-nilai budaya Kerja Pegawai dari Jepang
Meskipun sama sama organisasi/perusahaan multi national corporation (MNC)
yang sudah tertata rapi, tetapi apabila induknya berada di belahan timur (eastern),
katakanlah induknya berasal dari Jepang, maka budaya kerja pegawai/karyawan MNC
Jepang ini akan membawa budaya kerja Jepang yang bersifat kolektif, sehingga setiap
kinerja positif otomatis dianggap sebagai kinerja posiif secara kolektif. Maka tabu bagi
seorang Direktur selaku bawahan mengklaim bahwa kinerjanya positif, tetapi dia akan
mengedepankan bahwa tidak ada kinerja terbaiknya, yang ada adalah kinerja terbaik
secara kolektif atau kinerja organisasi
Nilai-nilai budaya Kerja dari China
Organisasi atau Perusahaan multi national corporation (MNC) yang berasal dari
China akan membawa budaya kerja yang bersifat kelompok atau lebih di utamakan
bangsa china yang bekerja dalam organisasi/perusahaan tersebut, budaya kerja
pegawai/karyawan memiliki budaya kerja dengan pembagian tugas dan tanggung jawab
yang sudah tertata rapi secara kekeluargaan, terstruktur, jelas hak dan kewajiban, lebih
individual, sehingga bawahan yang memiliki kinerja yang menonjol masih berada pada
koredor tugas dan tanggung jawabnya.
Dengan mengenal 4 (empat) budaya kerja dari suatu negara maka agar supaya
kreativitas untuk menghasilkan kinerja terbaiknya dan tidak terkekang dalam bekerja
maka seorang pegawai harus pandai bersikap dan menyesuaikan diri dengan situasi
dan kondisi dimana mereka bekerja baik di perusahaan swasta maupun dipemerintahan.
BUDAYA KERJA DI INDONESIA
Mesti diakui dalam praktek ada cara-cara yang telah terorganisasi, kepercayaan,
norma, nilai-nilai budaya implisit, serta premis-premis yang mendasar dan mengandung
suatu perintah yang tumbuh dalam kurun waktu yang lama dan menentukan arti menjadi
anggota suatu organisasi. Banyak kalangan kemudian menyebutnya budaya kerja,
sebagai sistem nilai-nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi yang dipelajari,
diterapkan dan dikembangkan secara berkesinambungan, berperan sebagai sistem
perekat dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
Dari sisi fungsi, budaya kerja memiliki beberapa fungsi :
1. Pertama, budaya mempunyai suatu peran pembeda. Hal itu berarti bahwa
budaya kerja menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan
organisasi yang lainnya.
2. Kedua, budaya kerja membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota
organisasi.
3. Ketiga, budaya kerja mempermudah timbulnya pertumbuhan komitmen pada
sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual.
4. Keempat, budaya kerja itu meningkatkan kemantapan sistem sosial dalam
organisasi. Budaya yang kuat meletakkan kepercayaan-kepercayaan, tingkah
laku, dan cara melakukan sesuatu tanpa perlu dipertanyakan lagi.
Karena berakar dari tradisi, budaya mencerminkan apa yang dilakukan dan
bukan apa yang akan berlaku. Dengan pemahaman seperti ini jelas terlihat bahwa
keunggulan suatu organisasi tidak semata-mata ditentukan oleh hal-hal yang kasat mata
(tangible) seperti struktur organisasi, personil, seragam, gedung, armada, laporan
keuangan, dan sebagainya melainkan juga oleh hal-hal yang tidak kasat mata
(intangible). Bahkan hal-hal yang tidak kasat mata tersebut menjadi kekuatan
tersembunyi yang jika dikelola dengan benar akan mendongkrak kinerja organisasi
secara menyeluruh.
Mengapa produktivitas kerja SDM Indonesia tergolong rendah di ASEAN atau
cuma sekitar dua pertiganya ketimbang SDM Singapura, Malaysia, Thailand, dan
Filipina? Apakah terkait dengan budaya kerjanya? Budaya kerja merupakan sistem nilai,
persepsi, perilaku dan keyakinan yang dianut oleh tiap individu karyawan dan kelompok
karyawan tentang makna kerja dan refleksinya dalam kegiatan mencapai tujuan
organisasi dan individual. Kalau dalam suatu perusahaan maka tujuannya tercermin
dalam nuansa mencapai profit yang maksimum.
Sementara dari sisi individu adalah mencapai kinerja maksimum untuk meraih
kepuasan (utility) yang maksimum. Budaya kerja diturunkan dari budaya organisasi.
Budaya organisasi itu sendiri merupakan sistem nilai yang mengandung cita-cita
organisasi sebagai sistem internal dan sistem eksternal sosial. Hal itu tercermin dari isi
visi, misi dan tujuan organisasi.
Dengan kata lain, seharusnya setiap organisasi termasuk para anggotanya
memiliki impian atau cita-cita. Setiap anggota memiliki identitas budaya tertentu dalam
organisasinya. Dalam perusahaan dikenal sebagai budaya korporat dimana di dalamnya
terdapat budaya kerja. Seperti dalam suatu perusahaan, cita-cita (visi) sebagai identitas
organisasi, misalnya menjadikan dirinya sebagai bisnis terkemuka dengan ciri-ciri
berdaya inovasi tinggi, pionir dalam bidangnya, penggunaan teknologi dan sumberdaya
manusia yang tangguh, mampu beradaptasi pada lingkungan global termasuk berperan
di dalam peningkatan kesejahteraan lingkungan.
Untuk mencapai itu maka posisi mutu SDM karyawan menjadi sangat penting
karena karyawan adalah pemeran utama dan bukan yang lain. Karena itu, dalam bekerja
maka setiap karyawan hendaknya memiliki cita-cita yang berupa kehendak mengenai
sesuatu yang ingin dituju dan dicapai. Sebagai tujuan antara misalnya dapat berbentuk
keinginan untuk memperoleh status sosial, pengembangan karir, dan memperoleh
kompensasi; Sedang sebagai tujuan akhir adalah keinginan untuk mencapai
kesejahteraan sosial ekonomi yang maksimum bagi diri dan keluarganya.
Untuk mencapai cita-cita yang dikehendaki maka tiap karyawan perlu
mengoptimumkan mutu sumberdayanya. Bentuk ukuran SDM karyawan yang optimum
yaitu produktivitas kerja yang maksimum. Dalam konteks budaya kerja, produktivitas
tidak dipandang hanya dari ukuran fisik tetapi juga dari ukuran produk sistem nilai.
Karyawan unggul menilai produktivitas atau produktif adalah sikap mental: Hari ini harus
lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik daripada sekarang. Jadi kalau
seorang karyawan bekerja, dia akan selalu berorientasi pada ukuran nilai produktivitas
atau minimal sama dengan standar kinerja perusahaan. Dengan kata lain, bekerja
produktif sudah merupakan panggilan jiwa dan disemangati dengan amanah atau
komitmen tinggi sehingga menjadi bagian dari etos kerja keseharian (terinternalisasi):
Tanpa diinstruksikan atasan karyawan seperti ini akan bertindak produktif. Inilah yang
disebut sebagai budaya kerja.
Aktualisasi budaya kerja produktif sebagai ukuran sistem nilai mengandung komponen-
komponen yang dimiliki seorang karyawan (Moeljono, 2004) yakni:
(1) pemahaman substansi dasar tentang makna bekerja,
(2) sikap terhadap pekerjaan dan lingkungan pekerjaan,
(3) perilaku ketika bekerja,
(4) etos kerja,
(5) sikap terhadap waktu, dan
(6) cara atau alat yang digunakan untuk bekerja.
Semakin positif nilai komponen-komponen budaya tersebut dimiliki oleh seorang
karyawan maka akan semakin tinggi kinerjanya, ceteris paribus. Agar budaya kerja
dapat tumbuhkembang dengan subur di kalangan karyawan dan staf maka dibutuhkan
pendekatan-pendekatan melalui tindakan manajemen puncak dan proses sosialisasi.
(1) Tindakan manajemen puncak• Apa yang dikatakan manajemen puncak akan menjadi
panutan karyawan.• Bagaimana manajemen puncak berperilaku akan menunjukkan
karyawan bersikap dalam berkomunikasi dan berprestasi untuk mencapai standar
kinerja perusahaan.• Bagaimana manajemen puncak menegakkan norma-norma kerja
akan menumbuhkan integritas dan komitmen karyawan yang tinggi.• Imbalan dan
hukuman yang diberikan manajemen puncak akan memacu karyawan untuk
meningkatkan semangat dan disiplin kerja.
(2) Proses sosialisasiProses sosialisasi dilakukan dalam bentuk advokasi bagi karyawan
baru untuk penyesuaian diri dengan budaya organisasi. Sosialisasi dilakukan ketika
mereka sedang dalam tahap penyeleksian atau prakedatangan. Tiap calon karyawan
mengikuti pembelajaran sebelum diterima. Setelah diterima para karyawan baru melihat
kondisi organisasi sebenarnya dan menganalisis harapan-kenyataan, antara lain lewat
proses orientasi kerja. Pada tahap ini para karyawan berada dalam tahap “perjuangan”
untuk menentukan keputusan apakah sudah siap menjadi anggota sistem sosial
perusahaan, ragu-ragu ataukah mengundurkan diri.
Ketika karyawan sudah memutuskan untuk terus bekerja, namun proses
perubahan relatif masih membutuhkan waktu yang lama maka tiap karyawan perlu
difasilitasi dengan pelatihan dan pengembangan diri secara terencana. Dalam hal ini,
karyawan harus membuktikan kemampuan diri dalam penguasaan keterampilan kerja
yang disesuaikan dengan peran dan nilai serta norma yang berlaku dalam kelompok
kerjanya sampai mencapai tahap metamorfosis.
Secara keseluruhan keberhasilan proses sosialisasi akan sampai pada tahap
internalisasi yang diukur dari (1) produktivitas kerja, (2) komitmen pada tujuan
organisasi, dan (3) kebersamaan dalam organisasi.
Hasil penelitian Harvard Business School (Kotter dan Heskett,1992) dalam
Moeljono (2004), menunjukkan bahwa budaya korporat mempunyai dampak kuat
terhadap prestasi kerja suatu organisasi. Ada empat alasan mengapa pengaruh itu
terjadi:
(1) Budaya korporat mempunyai dampak nyata pada prestasi kerja ekonomi perusahaan
dalam jangka panjang.
(2) Budaya korporat bahkan mungkin merupakan faktor yang lebih penting di dalam
menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu perusahaan dalam dekade mendatang.
(3) Budaya korporat yang menghambat prestasi keuangan yang kokoh dalam jangka
panjang adalah tidak jarang juga ditemukan; Budaya itu berkembang dengan mudah dan
bahkan dalam perusahaan yang penuh dengan orang yang bijak dan cerdas.
(4) Walaupun sulit diubah, budaya korporat dapat dibuat untuk lebih meningkatkan
prestasi.
Nilai-nilai Budaya Kerja Pegawai dari Indonesia:
Budaya kerja pegawai suatu organisasi/perusahaan di Indonesia, dalam
pengelolaannya masih melibatkan pemilik suatu oraganisasi/perusahaan, maka apapun
jabatan para pekerja atau pegawai, mulai dari staf lower manajemen, midle manajemen,
top manajemen hingga jabatan Direktur Utama, masih selalu di bawah bayang bayang
pemilik perusahaan/organisasi dan keturunannya, walaupun bawahan yang menonjol
dalam kinerja, katakanlah dengan jabatan Direktur, akan dirasakan ancaman bagi
Direktur Utama selaku atasan, karena Direktur merasa terancam kridibilitasnya di mata
pemilik organisasi/perusahaan (owner), rasa terancam dari Direktur Utama tersebut
akan semakin parah apabila pembagian tugas dan tanggung jawab serta struktur
organisasi belum tertata rapi.
Peningkatan budaya kerja
Peningkatan budaya kerja kearah yang lebih baik tentunya sangat diperlukan
didalam organisasi pemerintah. Ada beberapa faktor atau unsur yang dapat
mempengaruhi budaya kerja, antara lain:
1. Kepemimpinan; Kepemimpinan memegang peran yang penting dalam
suatu organisasi. Pemimpin yang dapat memberikan suri tauladan yang
baik akan dicontoh oleh aparaturnya dan diharapkan organisasi tersebut
akan menjadi baik pula. Demikian pula sebaliknya, bila pemimpin tidak
bisa memberi contoh yang baik, maka jalannya organisasi juga akan
menjadi tidak baik;
2. Hukum; merupakan dasar dari suatu organisasi untuk melakukan
eksistensinya, tidak peduli apakah organisasi tersebut merupakan
organisasi Negara atau organisasi masyarakat yang hanya memilki
jumlah anggota yang kecil. Dengan hukum maka bentuk organisasi
tersebut menjadi jelas, dan kemudian tatanan dan jalannya organisasi
juga memiliki dasar yang jelas.
3. Teknologi; merupakan unsur luar yang dipergunakan secara langsung
oleh organisasi dalam beraktivitas. Dengan teknologi maka kerja
organisasi akan menjadi semakin baik, dan pada akhirnya budaya
organisasi juga akan berubah karena teknologi yang digunakan
menghendaki hal yang demikian.
4. Reward and punishment; merupakan hal yang berpengaruh secara
langsung pada aparatnya. Dengan reward yang memadai maka aparat
akan tenang dalam bekerja, bahkan dengan reward yang jelas maka
budaya-budaya baru dapat dibentuk. Demikian pula dengan punishment .
Unsur ini merupakan penjaga bagi organisasi secara umum dan aparatur
secara khusus untuk bekerja berdasarkan aturan yang ada. Bila aturan
tersebut dilanggar maka punishment segera menanti. Dengan pengaturan
punishment yang jelas, maka budaya kerja dapat dirubah.
5. Politik merupakan unsur yang seharusnya tidak berpengaruh pada
aparatur Negara, tetapi ketika demokrasi mulai menjadi dasar dan
dijalankan dengan konsekuen, maka sebagian dari organisasi harus bisa
“diserahkan” kepada tokoh politik. Tokoh ini mungkin saja membawa
perubahan pada budaya kerja bagi aparatur, tetapi bisa saja tidak terjadi
perubahan apa-apa.
Unsur-unsur inilah yang bisa membentuk dan menjadikan perilaku individu-
individu di lingkungan pegawai negeri Sipil. Sementara itu menurut Iswandi Ananda, Msi.
(staf Ahli Meneg PAN Bidang Budaya Kerja), paling tidak ada lima syarat yang harus
dipenuhi dalam rangka meningkatkan budaya kerja PNS. Pertama, ada nilai yang
mendukung pencapaian visi. Kedua, ada motivasi yang mampu memacu kerja seorang
pegawai. Ketiga, ada ide dan strategi yang tepat. Keempat, ada tujuan bersama yang
jelas. Kelima, etika kerja yang ditumbuhkan melalui sistem (meritokrasi, remunerasi, dan
lain sebagainya).
Nilai. Berbagai pihak meyakini bahwa nilai dapat menggerakkan etos seseorang.
Dengannya seseorang dapat menjadi gigih, sungguh-sungguh dalam bekerja, memiliki
komitmen yang tinggi, dan lain sebagainya. Banyak contoh dapat disebut di sini untuk
menunjukkan bahwa nilai sangat berpengaruh bagi seseorang dalam bekerja maupun
berusaha. Keberhasilan gerakan sosialisme, kapitalisme, gender, dan termasuk
keberhasilan Indonesia merdeka dari kolonialisme adalah karena bermula dari
keyakinan terhadap kebenaran suatu nilai yang diperjuangkannya.
Mengapa nilai begitu berpengaruh? Penyebabnya tidak lain adalah karena pada
dasarnya hampir tidak ada seorang pun yang tidak memiliki suatu makna hidup.
Pekerjaannya sekarang adalah menginternalisasikan suatu nilai terhadap segenap
aparatur secara sistematif. Disinilah diperlukan pemikiran cerdas, cermat serta
pragmatis konsepsional dalam rangka transformasi nilai dalam upaya membangun
budaya kerja yang progresif.
Motivasi. Tanpa adanya motivasi, bekerja menjadi hampa. Efek negatifnya
bekerja menjadi lambat selesai, sering meleset dari target waktu yang telah ditentukan
dan tidak efektif. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana motivasi itu tumbuh.
Orang bijak mengatakan bahwa motivasi itu ada dalam diri seseorang jika kepentingan
seseorang tersebut ada didalamnya. Untuk itu, dibutuhkan kerja cerdas bagaimana
mengemas kepentingan-kepentingan setiap individu secara apik tanpa mengorbankan
kepentingan lain yang lebih besar. Di sinilah dibutuhkan kearifan membuat kebijakan
dan menyusun program kerja sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan organisasi
yang mudah dimengerti, dipahami, dan dilaksanakan oleh setiap orang dalam organisasi
tersebut.Ide dan strategi tepat. Ide adalah gagasan tentang sesuatu hal. Sedangkan
strategi adalah cara pencapaian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan obyektif
(sosial, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya). Dalam hal ide dan strategi ini, satu
hal yang mesti dimiliki oleh pegawai negeri adalah adanya jiwa berwirausaha atau
entreprenuer. Yaitu kermampuan menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk
memaksimalkan produktivitas dan efektivitas (David Obsborne: 2000; 18). Dengan
modal ini para pegawai akan senantiasa mampu menbaca peluang secara positif untuk
menggerakkan segenap kemampuannya dalam rangka pencapaian mission organitation.
Tujuan bersama. Adalah mustahil sebuah misi akan tercapai kalau orang-orang
yang ada di dalamnya memiliki tujuan yang berbeda. Meneg PAN Taufiq Effendi selalu
mengatakan bahwa guna mencapai pada sesuatu yang dicita-citakan bersama maka
harus ada kesamaan persepsi dan juga kesamaan tujuan. Dengan kesamaan ini maka
seluruh energi akan tercurah pada satu titik yang menjadi cita-cita bersama tersebut. Di
sinilah sebenarnya dibutuhkan komunikasi intensif, keterbukaan dan kebersamaan.
Etika kinerja. Dalam rangka memantapkan etika kinerja, hal mendasar yang perlu
ditegaskan adalah soal job discription. Masing-masing pegawai harus memahami secara
baik apa saja yang menjadi tugas pekerjaannya. Jangan sampai seorang pegawai
menjadi sangat sibuk tetapi tidak mengerjakan pekerjaan pokoknya. Di sinilah tugas
seorang atasan senantiasa bersangkutan. Hal lain yang harus ditegaskan juga kaitannya
dengan masalah etika kerja ini adalah soal reward and punishment. Untuk menjalankan
reward and punishment ini perlu dibarengi memberikan arahan-arahan pegawai yang
menyangkut tugas pokok dan fungsi pegawai yang dengan kejelasan pola karier jabatan,
penempatan berdasarkan keahlian, remunerasi dan meritokrasi.