Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

77
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam darah terdapat zat gula yang berguna untuk dibakar menjadi kalori atau energi. Sebagian gula yang ada dalam darah adalah hasil penyerapan dari usus dan sebagian lagi hasil pemecahan simpanan energi dalam jaringan. Kadar gula dalam darah tidak boleh lebih tinggi ataupun lebih rendah. Pada keadaan normal gula darah diatur sedemikian rupa oleh insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas, sehingga kadarnya di dalam darah selalu dalam batas normal. T ingginya kadar gula darah yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, kelainan kerja insulin atau kombinasi keduanya lebih dikenal dengan Diabetes Melitus (DM) (Suyono, Waspadji, Soegondo, et all, 2009). DM merupakan penyakit kronik yang banyak diderita oleh jutaan orang di dunia yang diakibatkan oleh perubahan gaya hidup. Ada empat klasifikasi utama DM, yaitu Diabetes Melitus tergantung insulin (DM Tipe I), Diabetes

description

Mengambarkan tentang tingkat stress yang dialami oleh pasien DM Tipe II

Transcript of Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

Page 1: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam darah terdapat zat gula yang berguna untuk dibakar menjadi kalori atau

energi. Sebagian gula yang ada dalam darah adalah hasil penyerapan dari usus dan

sebagian lagi hasil pemecahan simpanan energi dalam jaringan. Kadar gula dalam

darah tidak boleh lebih tinggi ataupun lebih rendah. Pada keadaan normal gula darah

diatur sedemikian rupa oleh insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas, sehingga

kadarnya di dalam darah selalu dalam batas normal. Tingginya kadar gula darah yang

disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, kelainan kerja insulin atau kombinasi

keduanya lebih dikenal dengan Diabetes Melitus (DM) (Suyono, Waspadji,

Soegondo, et all, 2009).

DM merupakan penyakit kronik yang banyak diderita oleh jutaan orang di dunia

yang diakibatkan oleh perubahan gaya hidup. Ada empat klasifikasi utama DM, yaitu

Diabetes Melitus tergantung insulin (DM Tipe I), Diabetes Melitus tidak tergantung

insulin ( DM Tipe II), Diabetes Melitus yang berhubungan dengan keadaan atau

sindrom, dan Diabetes Melitus Gestasional (GDM). (Suyono, Waspadji, Soegondo,

et all, 2009).

Insiden DM di dunia terus meningkat tiap tahun dan sudah menjadi masalah yang

memerlukan perhatian yang lebih, baik di negara maju maupun di negara

berkembang seperti di Indonesia. (Suyono dalam Soegondo, 2009). Data Badan

Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2013 menerangkan bahwa angka pasien DM

berjumlah 382 juta orang, dan diperkirakan angka ini akan terus mengalami

peningkatan menjadi 592 juta orang pada tahun 2035. Survei International Diabetes

Page 2: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

2

Federation (IDF) tahun 2013 terhadap pasien DM di dunia menerangkan bahwa

Indonesia berada pada peringkat ke-7 dengan pasien DM terbanyak setelah China,

India, Amerika, Brasil, Rusia dan Meksiko dengan rentang batas usia terbanyak 29-

72 tahun Menurut data WHO, tahun 2004 angka kesakitan dan kematian yang

disebabkan oleh DM berada pada peringkat ke 12 yang diprediksi akan mengalami

peningkatan menjadi peringkat ke 7 di dunia pada tahun 2030 ( International

Diabetes Federation, 2013; Global Burden of Disease, 2004).

Berdasarkan penelitian Litbang Depkes 2013 bahwa prevalensi nasional DM di

Indonesia mengalami rata-rata peningkatan yakni, dari 1,1% menjadi 2,1% dalam

rentang waktu 6 tahun. Pravalensi tersebut meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan

negara maju sehingga DM merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius

(www.balitbang.depkes.go.id).

Adapun kasus DM yang paling banyak terjadi adalah DM Tipe I dan DM Tipe

II. Di Indonesia terdapat kurang lebih 5-10% penderita mengalami DM Tipe I

sedangkan DM Tipe II meliputi lebih 90% dari semua populasi Diabetes yang ada.

DM Tipe II pada mulanya dapat diatasi dengan diet dan latihan namun harus

dilengkapi dengan terapi diet dan pemberian obat hipoglikemik oral apabila kadar

glukosa darah tidak tercukupi (Smeltzer & Bare, 2001).

Pada tahun 1998, PERKENNI melakukan Konsensus Nasional menetapkan 5

pilar utama pengelolaan DM yaitu edukasi, perencanaan makan (diit), latihan

jasmani, obat hipoglikemik, dan pemantauan glukosa darah secara mandiri (home

monitoring) yang harus menjadi bagian dari hidup pasien DM. Apabila DM tidak

dikelola dengan baik maka akan dapat mengakibatkan terjadinya berbagai penyulit

menahun, seperti penyakit serebro-vaskular, penyakit jantung koroner, penyakit

pembuluh darah tungkai, dan penyulit pada mata, ginjal dan saraf. Komplikasi

Page 3: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

3

akutnya berupa koma hipoglikemia dan hiperglikemia ketoasidosis atapun non

ketoasidosis. Komplikasi akut ini masih menjadi masalah utama karena angka

kematiannya masih tinggi. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama

kebutaan yang baru diantara penduduk berusia 25 hingga 74 tahun dan juga menjadi

penyebab utama amputasi di luar trauma kecelakaan. Dunia mencatat bahwa DM

berada dalam urutan ke dua belas menjadi penyebab utama kematian akibat penyakit

dan hal ini sebagian besar disebabkan oleh penyakit arteri koroner yang tinggi pada

para pasien DM (Slamet Suyono, Sarwono Waspadji, Sidartawan Soegondo, et all,

2009).

Pasien DM yang mengalami penyakit dan infeksi akibat komplikasi memiliki

kadar glukosa darah yang tidak stabil. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi

penderita DM untuk mengendalikan kadar gula darah karena salah satu faktor yang

dapat mempengaruhi pengendalian gula darah adalah penyakit dan infeksi.

Keadaan sakit dan infeksi dapat memberikan respon berupa stres fisik ( atau

emosional). Apabila stres ini menetap maka akan terjadi peningkatan kadar hormon

yaitu, glukagon, epinefrin, norepinefrin, kortisol dan hormon pertumbuhan. Hormon

hormon ini akan meningkatkan, yaitu glukagon, epinefrin, growth hormone dan

glukokortikoroid yang akan menimbulkan respon tubuh berupa pengaktivasi sistem

syaraf simpatis dan peningkatan kortisol. Kortisol akan meningkatkan konversi asam

amino, laktat, dan piruvat di hati menjadi glukosa, akibatnya stres akan

meningkatkan kadar glukosa darah (Smeltzer & Bare, 2001).

Stres seharusnya dapat dikendalikan dengan baik agar kadar gula darah dalam

tubuh berada dalam batas normal. Stres merupakan gangguan tubuh dan pikiran yang

disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan. Besar atau kecilnya masalah

yang terjadi adalah relatif dan tergantung bagaimana sudut pandang masing-masing

Page 4: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

4

orang untuk memahami dan menghadapinya (Suliswati,et,all, 2005). Banyak orang

yang tidak menyadari bahwa menghindari stres dengan melakukan hal yang salah

akan dapat mengakibatkan kesehatan menjadi buruk, misalnya pasien yang tidak

mengikuti program diit dengan benar (Rasmun, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo I tahun

2010 bahwa sebagian besar pasien DM memiliki tingkat stres dalam kategori berat

yaitu sebanyak 25 responden (52%), selanjutnya sedang sebanyak 20 responden

(42%), dan ringan sebanyak 3 responden (6%). (Septian, Okti , 2010) kemudian pada

tahun 2012 Stres emosional pada pasien DM di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD

Panembahan Senopati, Bantul sebagian besar dalam kategori stres sedang sebesar

69,1% (Amir Rusdi, 2012).

Rumah Sakit Raden Mattaher Jambi merupakan rumah sakit provinsi yang

menjadi arah tujuan rujukan dari beberapa rumah sakit daerah kabupaten yang ada di

wilayah provinsi Jambi tentunya dapat memberi gambaran tentang beberapa

masalah kesehatan terutama DM. Berdasarkan rekam medis, data hasil rekapitulasi

jumlah kunjungan pasien DM rawat inap di RS Raden Mattaher Jambi pada jangka

waktu 3 tahun mengalami peningkatan, yakni sejumlah 148 pasien tahun 2011,

158 pasien tahun 2012 dan 210 pasien pada tahun 2013. Angka kejadian DM yang

tersebut meningkat menjadi masalah yang perlu diatasi baik secara fisik maupun

psikologis karena kadar glukosa darah dapat dikendalikan tidak hanya melalui

latihan fisik,pemberian obat, namun secara psikologis dan emosional penderita juga

harus mampu melatih diri.

Berdasarkan masalah diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti “ Gambaran

Stres Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher

Jambi Tahun 2014”.

Page 5: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, rumusan masalah

dalam penelitian adalah bagaimana Gambaran Stres Pada Pasien Diabetes Melitus

Tipe II di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2014.

C. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Stres Pada

Pasien Diabetes Melitus Tipe II di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Jambi

Tahun 2014.

D. Manfaat

1. Pelayanan Keperawatan

Diharapkan dapat menjadi masukan untuk bahan pertimbangan dalam

perencanan, dapat dijadikan sebagai acuan dalam membuat rancangan

Standar Prosedur Operasional (SPO) terkait pengembangan dan peningkatan

kualitas layanan asuhan keperawatan terutama pada pasien yang mengalami

DM secara komprehensif meliputi, fisik, psikososial, dan spritual.

2. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan

Sebagai awal pengembangan pengetahuan tentang penatalaksanaan

perawatan DM dan diharapkan dalam memberikan Askep yang komprehensif

dan terintegrasi dengan masalah psikologis pasien dan dapat dijadikan

informasi bagi perawat guna menunjang keterampilan dan pengetahuan.

Page 6: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

6

3. Bagi Peneliti lain

a. Dapat dijadikan sebagai acuan dan pertimbangan untuk melakukan

penelitian selanjutnya.

b. Sebagai dasar untuk pendidikan lanjut tentang fakta-fakta yang

mempengaruhi stres pada pasien DM dan treatment yang dapat dilakukan

pada pasien DM.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Provinsi

Jambi. Sasaran penelitian ini adalah Pasien Rawat Inap DM di RSUD Raden

Mattaher Provinsi Jambi Tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian yang

bersifat Deskriptif yang menggunakan desain survey yang bertujuan untuk

mengetahui gambaran stres pada pasien DM yang menjalani manajemen terapi

DM di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi tahun 2014.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan menggunakan

kuesioner Diabetes Distres Scale (DDS). Penelitian ini dilakukan pada 12 Juni-

11 Juli 2014. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat.

Page 7: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Definisi

Diabetes Melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai

dengan kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. DM Tipe II

dikarakteristikan oleh adanya masalah utama yang berhubungan dengan resistensi

insulin dan gangguan sekresi insulin (Smeltzer & Bare, 2001).

2. Etiologi

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi

insulin pada DM Tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan

memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu ada

beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah dan terjadinya

DM Tipe II, diantarnya: (Smeltzer & Bare, 2001)

a. Usia

Umur sangat erat kaitanya dengan kenaikan kadar glukosa darah,

sehingga semakin meningkat usia maka prevelensi diabetes dan gangguan

toleransi glukosa semakin tinggi. DM Tipe II biasanya terjadi setelah usia 30

tahun dan semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun serta akan terus

meningkat pada usia lanjut. Sekitar 6% individu berusia 45-64 tahun dan 11%

individu berusia di atas 65 tahun. Usia lanjut yang mengalami gangguan

toleransi glukosa mencapai 50-92% (Medicastore, 2007; Rochman dalam

Sudoyo, 2006).

Page 8: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

8

Proses menua yang berlangsung setelah umur 30 tahun

mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan

dimulai dari tingkat sel berlanjut ke tingkat jaringan dan akhirnya pada

tingkat organ yang mempengaruhi fungsi homeostatis. Komponen tubuh

yang mengalami perubahan adalah sel β pankreas pengahasil insulin, sel-sel

jaringan target yang menghasilkan glukosa, sistem syaraf, dan hormon lain

yang mempengaruhi kadar glukosa darah. WHO menyebutkan bahwa setelah

usia 30 tahun, maka kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg/dl/tahun pada saat

puasa dan naik 5,6-13 mg/dl/tahun pada 2 jam setelah makan (Rochman

dalam Sudoyo, 2006).

b. Penyakit Penyerta

Separuh dari keseluruhan pasien DM yang berusia 50 tahun ke atas

dirawat di rumah sakit setiap tahunnya, dan komplikasi DM menyebabkan

peningkatan angka rawat inap bagi pasien DM Tipe II. (Smeltzer & Bare,

2001) Pasien DM mempunyai resiko untuk terjadinya jantung koroner dan

penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, 5 kali lebih mudah

menderita ulkus/gangren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal,

dan 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina dari

pada pasien non DM. Kalau sudah terjadi penyulit, usaha untuk

menyembuhkan melalui pengontrolan kadar glukosa darah dan pengobatan

penyakit tersebut ke arah normal sangat sulit, kerusakan yang sudah terjadi

umumnya akan menetap (Waspadji, 2009).

Page 9: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

9

c. Lama menderita DM

DM merupakan penyakit metabolik yang tidak dapat disembuhkan,

oleh karena itu kontrol terhadap kadar glukosa darah sangat diperlukan untuk

mencegah komplikasi baik akut maupun kronis. Lamanya pasien menderita

DM dikaitkan dengan komplikasi kronik yang menyertainya. Hal ini

didasarkan pada hipotesis metabolik, yaitu terjadinya komplikasi kronik DM

adalah sebagai akibat kelainan metabolik yang ditemui pada pasien DM.

Semakin lama pasien menderita DM dengan kondisi hiperglikemia, maka

semakin tinggi kemungkinan untuk terjadinya komplikasi kronik (Waspadji,

2009).

Gejala klinis dapat ringan sampai berat dan tidak jarang ditemukan

Ketoasidosis Diabetik (KAD). Beberapa anak dengan gejala klasik seperti

penurunan berat bada, sedangkan yang lain dapat tanpa gejala dan ditemukan

glikosuria atau hiperglikemia pada saat skrining kesehatan (Jose RL Batu

Bara, 2010).

3. Tanda dan Gejala

Manifestasi klinik DM berhubungan dengan defisiensi relatif insulin. Akibat

defisiensi insulin ini pasien tidak dapat mempertahankan kadar glukosa darah

normal. Apabila hiperglikemia melebihi ambang ginjal (±180 mg/dl), maka timbul

tanda dam gejala glukosuria yang akan menyebabkan diuresis osmotik. Akibat

diuresis osmotik akan meningkatkan pengeluaran urin (poliuri), timbul rasa haus

yang menyebabkan banyak minum (polidipsi). Pasien juga banyak makan (polifagia)

akibat katabolisme yang dicetuskan oleh defisiensi insulin dan pemecahan protein

serta lemak karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami

Page 10: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

10

keseimbangan kalori negatif, akibatnya berat badan menurun. Pasien juga mengalami

gejala lain seperti kelemahan, keletihan, tiba-tiba terjadi perubahan pandangan, kebas

pada tangan atau kaki, kulit kering, luka yang sulit sembuh, dan sering muncul

infeksi (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2008; Soegondo, 2009).

4. Patofisiologi

Pada DM Tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin,

yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat

dengan reseptor khususnya pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin

dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa

di dalam sel. Resistensi insulin pada DM Tipe Ii disertai dengan penurunan reaksi

intrasel. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi

pengambilan glukosa oleh jaringan.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam

darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita

toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang

berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau

sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi

peningkatanan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan

terjadi DM Tipe II (Smeltzer & Bare, 2001).

5. Diagnosis

Adanya kadar glukosa darah meningkat secara abnormal merupakan kriteria

yang melandasi penegakan diagnosis DM. Kadar gula darah plasma pada waktu

puasa yang besarnya di atas 140 mg/dl atau kadar glukosa darah sewaktu yang di atas

Page 11: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

11

200 mg/dl pada satu kali pemeriksaan atau lebih merupakan kriteria diagnostik

penyakit diabetes. Jika kadar gula darah puasanya normal atau mendekati normal,

penegakan diagnosis garus berdasarkan tes toleransi glukosa (Smeltzer & Bare,

2001).

Tes toleransi glukosa oral merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif

daripada tes toleransi glukosa intravena yang hanya digunakan dalam situasi tertentu

(misalnya, untuk pasien yang pernah meninapi operasi lambung). Tes toleransi

glukosa oral dilakukan dengan pemberian larutan karbohidrat sederhana.

Pasien mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat (150-300 g) selama 3 hari

sebelum tes dilakukan. Sesudah berpuasa pada malam hari, keesokan harinya sampel

darah diambil. Kemudian karbohidrat sebanyak 75 g yang biasanya dalam bentuk

minuman diberikan kepada pasien. Pasien diberitahukan untuk duduk diam selama

tes dilaksanakan dan menghindari latihan, rokok, kopi serta makanan lain kecuali air

putih (Smeltzer & Bare, 2001).

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan standar DM mencakup pengaturan makanan, latihan jasmani,

obat hipoglikemia, edukasi/penyuluhan, dan pemantauan kadar glukosa darah secara

mandiri (home monitoring). Penatalaksanaan non farmakologis merupakan langkah

pertama dalam pengelolaan DM. Apabila dengan penatalaksanaan non farmakologis

ini sasaran pengendalian glukosan darah belum tercapai, dapat dilanjutkan dengan

terapi farmakologis atau penggunaan obat. Pengelolaan DM sesuai lima pilar utama

pengelolaan DM dijabarkan sebagai berikut: (Smeltzer & Bare, 2001)

Page 12: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

12

a. Edukasi

Melakukan kegiatan pendidikan kesehatan menjadi kewajiban bagi

seluruh tenaga medis untuk membuka mata dan pengetahuan masyarakat

mengenai semua hal yang berkaitan dengan kesehatan. Begitupun dengan

DM, pasiennya atau diabetes harus mengetahui dan mengerti apa yang

dimaksud dengan DM, apa yang menyebabkan penyakit tersebut, kemudian

komplikasi seperti apa yang terjadi jika pasiennya bersikap acuh tak acuh

dalam pengobatan. Pendidikan kesehatan bisa dilakukan lewat media apapun,

secar langsung face to face dengan melakukan seminar atau penyuluhan,

membagikan buletin khusus kesehatan (Basuki, 2009).

b. Perencanaan Makan

Tujuan perencanaan makan pada pasien DM adalah untuk

mengendalikan glukosa, lipid, dan hipertensi. Penurunan berat badan dan diit

hipokalori pada pasien gemuk akan memperbaiki kadar hiperglikemia jangka

pendek dan berpotensi meningkatkan kontrol metabolik jangka panjang.

Penurunan berat badan ringan dan sedang (5-10 kg) dapat meningkatkan

kontrol diabetes. Penuruna berat badan dapat dicapai dengan penurunan

asupan energi dan peningkatan pengeluaran energi (Sukardji, 2009).

Kebutuhan energi pasien diabete tergantung pada umur, jenis kelamin,

berat badan, tinggi badan, kegiatan fisik, keadaan penyakit dan

pengobatannya. Energi yang dibutuhkan dinyatakan dalam satuan kalori.

Komposisi makanan yang dianjurkan adalah 10-20% protein, 20-25% lemak,

dan 45-65% karbohidrat (Sukardji, 2009).

Page 13: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

13

c. Latihan Jasmani

Masalah utama pada pasien DM adalah kekurangan respon reseptor

insulin terhdap insulin, sehingga insulin tidak dapat membawa masuk glukosa

ke dalam sel-sel tubuh kecuali otak. Dengan latihan jasmani secara teratur,

kontraksi otot meningkat yang menyebabkan permeabilitas membran sel

terhadap glukosa juga meningkat. Akibatnya resistensi berkurang dan

sensitivitas meningkat yang pada akhirnya akan menurunkan kadar glukosa

darah (Ilyas, 2009).

Kegiatan fisik dan latihan jasmani sangat berguna bagi pasien diabetes

karena dapat meningkatkan kebugaran, mencegah kelebihan berat badan,

meningkatkan fungsi jantung, paru dan otot serta memperlambat proses

penuaan. Latihan jasmani merupakan salah satu pilar penatalaksanaan

diabetes, sehingga latihan jasmani perlu dibudidayakan. Latihan jasmani yang

dianjurkan untuk pasien diabetes adalah jenis aerobik seperti inap kaki, lari,

naik tangga, sepeda statis, joging, berenang senam aerobik dan menari.

Pasien diabetes dianjurkan melakukan latihan jasmani secara teratur 3-4 kali

seminggu selama 30 menit (Sukardji & Ilyas, 2009).

d. Pemantauan Glukosa Darah

Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri,

pasien DM kini dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar

glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan untuk deteksi dan

pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan berperan dalam

menentukan kadar glukosa darah normal yang memungkinkan akan

mengurangi komplikasi jangka panjang (Smeltzer & Bare, 2001).

Page 14: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

14

e. Obat Hipoglikemik

Pemberian obat dilakukan untuk mengatasi kekurangan produksi

insulin serta menurunkan resistensi insulin. Obat-obatan disini dibagi menjadi

dua, obat oral dan injeksi sesuai Tipe DM yang di derita. DM Tipe I tidak

bisa menghasilkan insulin tetapi untuk pengobatan awal DM Tipe I masih

bisa diberikan obat oral tentunya dengan dosis tinggi (Waspadji, 2009).

Kemudian untuk DM Tipe II. Pertama, obat yang digunakan untuk

membantu produksi insulin yang kurang adalah obat yang dapat merangsang

pankreas untuk meningkatkan produksi insulin. Dan yang kedua, obat yang

digunakan untuk memperbaiki hambatan terhadap kerja insulin atau resistensi

insulin (Waspadji, 2009).

7. Komplikasi

Komplikasi jangka panjang timbul pada semua bentuk diabetes. Adapun macam-

macam jenis komplikasi, antara lain:

a. Komplikasi Akut

Ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang penting dan

berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka

pendek. Ketiga komplikasi itu,yaitu:

1) Hipoglikemia (Reaksi Insulin)

Merupakaan keadaan dimana kadar glukosa darah turun di bawah

50 hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3 mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi

akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi

makanan yang terlalu sedikir atau karena aktivitas yang berat.

Hipoglikemi dapat terjadi setiap saat pada siang dan malam hari. Gejala

Page 15: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

15

hipoglikemi dapat dikelompokan menjadi tiga. Hipoglikemi ringan

ditandai dengan perspirasi, tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan

rasa lapar. Pada Hipoglikemi sedang terjadi ketidakmampuan

berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, konfusi, penurunan daya ingat,

patirasa di daerah bibir serta lidah, bicara pelo, gerakan tidak

terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional,

penglihatan ganda dan perasaan ingin pingsan. Pada Hipoglikemi Berat

geinapya dapat mencangkup perilaku yang mengalami disorientasi,

serangan kejang, sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan

kesadaran (Smeltzer & Bare, 2001).

2) Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau

tidak cukupnya jumlah insulin. Keadaan ini mengakibatkan gangguan

pada metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Ada tiga gambaran

klinis yang penting pada diabetes ketoasidosis,yaitu dehidrasi, kehilangan

elektrolit dan asidosis. Tanda dan gejala ketoasidosis diabetik yang

mengelami hiperglikemia dapat menimbulkan polidipsi, poliuria,

penglihatan kabur, kelemahan dan sakit kepala. Ketosis dan asidosis yang

merupakan ciri khas diabetes ketoasidosis menimbulkan gejala

gastrointestinal seperti anoreksia, mual,muntah nyeri (Smeltzer & Bare,

2001).

3) Hiperglikemik Hiperosmoler Nonketotik (HHNK)

Sindrom Hiperglikemia hiperosmoler nonketosis (HHNK)

merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan

hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran. Kelainan dasar

Page 16: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

16

biokimia pada sindrom ini berupa kekurangan insulin efektif. Keadaan

hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi

kehilangan cairan dan elektrolit.untuk mempertahankan keseimbangan

osmotik, cairan akan berpindah dari ruang intrasel ke sel dalam ruang

ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi, akan dijumpai

keadaan hipernatremia dan peningkatan osmolaritas. Gambaran klinis

sindrom HHNK terdiri atas gejala hipotensi,dehidrasi berat (membran

mukosa kering,turgor kulit jelek) takikardia, dan tanda-tanda neurologis

yang bervariasi (perubahan sensori, kejang-kejang, hemiparesis)

(Smeltzer & Bare, 2001).

b. Komplikasi Jangka Panjang

Komplikasi jangka panjang diabetes dapat menyerang semua sistem

organ dalam tubuh. Kategori komplikasi kronis diabetes dapat dibagi menjadi

tiga macam, yaitu:

1) Komplikasi Makrovaskuler

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar sering

terjadi pada diabetes. Berbagai Tipe penyakit makrovaskuler dapat terjadi,

tergantung pada lokasi lesi aterosklerotik (Smeltzer & Bare, 2001).

a) Penyakit Arteri Koroner

Perubahan arterosklerotik dalam pembuluh darah arteri

koroner menyebabkan peningkatan insiden infark miokard pada

pasien diabetes lebih sering. Salah satu ciri pada penyakit arteri

koroner yang diderita oleh pasien-pasien diabetes adalah tidak

Page 17: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

17

terdapatnya gejala iskemik yang khas dimana keluhan sakit dada atau

gejala khas lainnya tidak dialaminya(Smeltzer & Bare, 2001).

b) Penyakit Serebrovaskuler

Perubahan arterosklerotik dalam pembuluh darah serebral

atau pembentukan embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh

darah yang kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam

pembuluh darah serebral dapat menimbulkan serangan iskemia

sepintas dan stroke. Gejala penyakit serebrovaskuler ini berupa

keluhan pusing atau vertigo, gangguan penglihatan, bicara pelo dan

kelemahan(Smeltzer & Bare, 2001).

c) Penyakit Vaskuler Perifer

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar dan

ekstremitask bawah merupakan penyebab meningkatnya insiden

penyakit oklusif arteri perifer pada pasien-pasien diabetes. Tanda dan

gejala penyakit vaskuler perifer dapat mencangkup berkurangnya

denyut nadi perifer dan klaudikasio intermiten (nyeri pada pantat atau

betis ketika berinap) (Smeltzer & Bare, 2001).

2) Komplikasi Mikrovaskuler

a) Retinopati Diabetik

Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik

disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil

pada retina mata. Sebagian tanda gejala yang terjadi berupa

penglihatan yang kabur, diplopia, dan glukoma (Smeltzer & Bare,

2001).

Page 18: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

18

b) Nefropati

Pasien diabetes memiliki resiko sebesar 20% hingga 40%

untuk menderita penyakit renal. Khusunya bila kadar glukosa darah

meninggi, maka mekanisme filtrasi ginjal aka mengalami stres yang

menyebabkan kebocoran protein darah ke dalam urin. Akibatnya,

tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan tekanan

tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya

nefropati. Manifestasi klinik yang muncul ditandai dengan pasien

mengalami penurunan ketajaman visus, ulserasi kaki, diare noktural.

3) Neuropati Diabetes

Neuropati dalam diabetes mengacu kepada sekelompok penyakit

yang menyerang semua sistem saraf, termasuk saraf perifer

(sensorimotor), otonom dan spinal. Kelaianan tersebut tampak beragam

dan secara klinis bergantung pada lokasi sistem saraf yang kena. Gejala

permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau

peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khusunya pada malam hari).

Dengan bertambah lanjutnya neuropati, kaki terasa baal (patirasa).

Page 19: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

19

B. Stres

1. Pengertian Stres

Stres merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami ketegangan karena

adanya kondisi – kondisi yang mempengaruhi dirinya. Stres juga merupakan respon

yang datang dari diri seseorang terhadap tantangan fisik maupun mental yang datang

dari dalam ataupun dari luar dirinya. Oleh karena itu, selama kehidupan berlangsung

tidak mungkin manusia terhindar dari stres (Nasrudin, 2010).

Individu menggunakan istilah stres dalam berbagai cara. Stres juga dapat

merupakan bentuk penghargaan atau persepsi dari stresor. Penghargaan (apraisal)

adalah bagaimana individu menginterprestasikan dampak dari stresor pada diri

mereka, apa yang terjadi, dan apa yang mereka dapat lakukan pada hal tersebut.

(Lazarus, 2007). Akhirnya stres merupakan istilah umum yang menghubungkan

kebutuhan lingkungan dan persepsi individu terhadap kebutuhan tersebut sebagai

tantangan, ancaman, atau pengrusakan. (Varcarolis. Carson, dan Shoemaker, 2006).

Stres pada kontek ini ditunjukan pada konsekuensi dari stresor, begitu juga dengan

penghargaan seseorang terhadap stresor.

Hans Selye pada tahun 1950 berpendapat bahwa stres merupakan respon

tubuh yang bersifat tidak spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan stres apabila seseorang mengalami

beban atau tugas yang berat tetapi orang tersebut tidak dapt mengatasi tugas yang

dibebankan itu, maka tubuh akan berespon dengan tidak mampu terhadap tugas

tersebut, sehingga orang tersebut dapat mengalami stres. Sebaliknya apabila

seseorang yang dengan beban tugas yang berat tetapi mampu mengatasi beban

tersebut dengan tubuh berespon dengan baik, maka orang itu tidak mengalami stres

(Aziz Alimul, 2007).

Page 20: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

20

Stres biasanya dipersepsikan sebagai sesuatu yang negatif padahal tidak.

Seseorang yang mengalami stres karena sebuah jabatan disebut sebagai eustres.

Terjadinya stres dapat disebabkan oleh sesuatu yang dinamakan stresor. Bentuk

stresor ini dapat dari lingkungan, kondisi dirinya serta pikiran. Dalam pengertian

stres itu sendiri juga dapat dikatakan sebagai respon artinya dapat merespon apa yang

terjadi, juga disebut sebagai transaksi yakni hubungan antara stresor dianggap positif

karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungan (Aziz Alimul, 2007).

2. Macam-macam Stres

Ditinjau dari penyebabnya, maka stres dibagi menjadi tujuh macam, di antaranya:

(Aziz Alimul, 2007)

1. Stres Fisik

Stres yang disebabkan karena keadaan fisik seperti karena temperatur yang

tinggi atau yang sangat rendah, suara bising, sinar matahari atau kerena arus

listrik.

2. Stres Kimiawi

Stres ini disebabkan karena zat kimia seperti adanya obat-obatan, zat beracun

basa, faktor hormon atau gas dan prinsipnya karena pengaruh senyawa kimia.

3. Stres Mikrobiologi

Stres ini disebabkan karena kuman seperti virus, bakteri atau parasit.

4. Stres Fisiologik

Stres yang disebabkan karena gangguan fungsi organ tubuh diantaranya dari

struktur tubuh, fungsi jaringan, organ dan lain-lain.

Page 21: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

21

5. Stres proses pertumbuhan dan perkembangan

Stres yang disebabkan karena proses pertumbuhan dan perkembangan, seperti

pada pubertas, perkawinan dan proses lanjut usia.

6. Stres psikis atau emosional

Stres yang disebabkan karena gangguan situasi psikologis atau

ketidakmampuan kondisi psikologis untuk menyesuaikan diri seperti

hubungan interpersonal, sosial budaya atau faktor keagamaan

3. Etiologi

Terdapat banyak sumber stres yang secara luas dapat diklasifikasikan sebagai

sumber stresor internal atau eksternal, atau stresor perkembangan atau situasional.

1) Stresor Internal

Sumber stres dalam diri sendiri pada umumnya dikarenakan konflik yang

terjadi antara keinginan dan kenyataan berbeda, dalam hal ini adalah berbagai

permasalahan yang terjadi yang tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu

diatasi, maka dapat menimbulkan stres. Misalnya, demam, kondisi seperti

kehamilan, menopouse atau suatu keadaan emosi seperti,rasa bersalah dan

perasaan depresi (Kozier, Erb, et.all, 2010; Potter, 2005).

2) Stresor Eksternal

Stres ini bersumber dari luar diri seseorang misalnya perubahan dalam

peran keluarga atau sosial, tekanan dari pasangan, dan kematian anggota

keluarga. Pemasalahan ini akan selalu menimbulkan suatu keadaan yang

dinamakan stres (Kozier, Erb, et.all, 2010).

Page 22: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

22

3) Stresor Situasional

Sumber stres ini dapat terjadi di lingkungan atau masyarakat pada

umumnya, seperti lingkungan pekerjaan, adanya permasalahan terorisme disuatu

negara sehingga banyak terjadi ancaman dan peperangan, sehingga dapat

mengakibatkan stres pada masyarakat secara umum disebut sebagai stres pekerja

karena lingkungan fisik, dikarenakan kurangnya hubungan interpersonal serta

kurangnya adanya pengakuan di masyarakat sehingga tidak dapat berkembang

(Kozier, Erb, et.all, 2010; Aziz, 2007).

4. Tanda dan Gejala Berdasarkan Tahapan Stres

Stres yang dialami seseorang dapat melalui beberapa tahapan, menurut Van

Amberg tahun 1979. Tahapan stres dapat terbagi menjadi enam tahap di anataranya:

(Aziz, 2007)

a. Tahap Pertama

Merupakan tahap yang ringan dari stres yang ditandai dengan adanya

semangat bekerja besar, penglihatannya tajam tidak seperti pada umumnya,

merasa mampu menyelesaikan pekerjaan yang tidak seperti biasanya, kemudian

merasa senang akan pekerjaan akan tetapi kemampuan yang dimilikinya

semakin berkurang.

b. Tahap Kedua

Pada stres tahap kedua ini seseorang memiliki ciri sebagai berikut adanya

perasaan letih sewaktu bangun pagi yang semestinya segar, terasa lelah sesudah

makan siang, cepat lelah menjelang sore, sering mengeluh lambung atau perut

tidak nyaman, denyut jantung berdebar-debar lebih dari biasanya, otot-otot

punggung dan tekuk semakin tegang dan tidak bisa santai.

Page 23: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

23

c. Tahap Ketiga

Pada tahap ketiga ini apabila seseorang mengalami gangguan seperti

pada lambung dan usus seperti adanya keluhan gastritis, buang air besar tidak

teratur, ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak tenang, gangguan pola

tidur seperti sukar mulai untuk tidur, terbangun tengah malam dan sukar kembali

tidur, lemah, terasa seperti tidak memiliki tenaga.

d. Tahap Keempat

Tahap ini seseorang akan mengalami gejala seperti segala pekerjaan yang

menyenangkan terasa membosankan semula tanggap terhadap situasi menjadi

kehilangan kemampuan untuk merespon secara adekuat, tidak mampu

melaksanakan kegiatan sehari-hari, adanya gangguan pola tidur, sering menolak

ajakan karena tidak bergairah, kemampuan mengigat dan konsentrasi menurun

karen adanya perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak diketahui

penyebabnya.

e. Tahap kelima

Stres tahap ini ditandai dengan adanya kelelahan fisik secara mendalam,

tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ringan dan sederhana, gangguan

pada sistem pencernaan semakin berat dan perasaan ketakutan dan kecemasan

semakin meningkat.

f. Tahap Keenam

Tahap ini merupakan tahap puncak dan seseorang mengalami panik dan

perasaan takut mati dengan ditemukan gejala seperti detak jantung semakin

keras, susah bernafas, terasa gemetar seluruh tubuh dan berkeringat,

kemungkinan terjadi kolaps atau pingsan.

Page 24: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

24

5. Respon Fisiologis

a. Respon Stimulasi oleh Otak

Respon fisiologis terhadap stresor merupakan mekanisme protektif

dan adaptif untuk memelihara keseimbangan homeostasis dalam tubuh.

Dalam respon stres, impuls aferen akan ditangkap oleh organ pengindra

(mata, telinga, hidung,kulit) dan pengindra internal (baroreseptor,

kemoreseptor) ke pusat saraf di otak. Stres mungkin diterima oleh berbagai

pusat saraf yang berbeda mulai dari korteks sampai ke batang otak, yang

pada gilirannya akan menyampaikan informasi tersebut ke hipotalamus.

Respons terhadap persepsi stres tersebut terintegrasikan di dalam

hipotalamus, yang akan mengkoordinasikan penyesuaian yang diperlukan

untuk mengemablikan ke keadaan keseimbangan homeostasis. Derajat dan

durasi respon sangat bervariasi, stres mayor akan membangkitkan baik

respon simpatis maupun pituitari adrenal (Smeltzer & Bare, 2001).

b. Respon Neuroendokrin

Jalur neural dan neuroendokrin di bawah kontrol hipotalamus akan

diaktifkan dalam respon stres. Pertama, akan terjadi sekresi sistem saraf

simpatis kemudian diikuti oleh sekresi simpatis-adrenal-meduler, dan

akhirnyam bila stres masih tetap ada, sistem hipotalamus-pituitari akan

diaktifkan (Smeltzer & Bare, 2001).

Respon sistem saraf simpatis bersifat cepat dan singkat kerjanya.

Norepinefrin dikeluarkan pada ujung saraf yang berhubungan langsung

dengan ujung organ yang dituju mengakibatkan peningkatan fungsi organ

vital yang dituju mengakibatkan peningkatan fungsi organ vital dan keadaan

perangsangan tubuh secara umum. Frekuensi jantung meningkat. Terjadi

Page 25: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

25

vasokontriksi perifer, mengakibatkan kenaikan tekanan darah. Darah juga

akan dialirkan keluar dari organ abdomen. Tujuan aktivitas tersebut adalah

untuk memperoleh perfusi yang lebih baik pada organ vital (otak,jantung,

otot skelet). Glukosa darah meningkat dan menyediakan sumber energi siap

pakai yang lebih banyak. Pupil akan berdilatasi, dan aktivitas mental akan

meningkatkan rasa kesiagaan menjadi lebih besar. Kontriksi pembuluh

darah pada kulit akan membatasi perdarahan bila terjadi trauma. Secara

subjektif kita akan merasa kaki dingin, kulit dan tangan lembab, menggigil,

berdebar-debar dan kejang pada perut. Secara khas, kita akan merasa

tegang, dengan otot leher, punggung atas, dan bahu menegang, pernapasan

dangkal dan cepat, dengan diafragma yang menegang (Smeltzer & Bare,

2001).

Selain efek langsungnya terhadap organ mayor akhir, sistem saraf

langsungnya terhadap organ mayor akhir, sistem saraf simpatis (SNS) juga

menstimulasi medula kelenjar adrenal untuk mengeluarkan hormon

epinefrindan norepinefrin ke aliran darah. Aksi hormon tersebut mirip

dengan yang ada pada sistem saraf simpatis dan mempunyai efek

memperlambat dan memperlama aksinya. Epinefrin dan norepinefrin juga

menstimulasi sistem saraf dan menghasilkan efek metabolik yang akan

meningkatkan kadar glukosa darah dan meningkatkan laju metabolisme.

Efek tersebut disebut reaksi “fight or fight” (Smeltzer & Bare, 2001).

Fase dengan kerja terlama pada respon fisiologis, yang biasanya

terjadi pada stres yang menetap, melibatkan jalur hipotalamus piyuitari.

Hipotalamus mensekresikan corticotropin-releasing factor, yang akan

menstimulasi pituitari anterior untuk memproduksi adrenocorticotropic

Page 26: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

26

hormone (ACTH). Kemudian ACTH akan menstimulasi pituitari anterior

untuk memproduksi glukokortikoid, terutama kortisol. Kortisol akan

menstimulasi katabolisme protein, melepaskan asam amino, menstimulasi

ambilan asam amino oleh hepar dan konversinya menjadi glukosa

(glukogenesis) dan menginhibisi ambilan glukosa (aksi anti-insulin) oleh

berbagai sel tubuh selain otak dan jantung. Efek metabolisme yang

diinduksi kortisol ini akan menyediakan sumber energi yang siap pakai

selama keadaan stres. Terdapat berbagai implikasi penting terhadap efek ini,

orang yang menderita diabetes bila mengalami stres, seperti akibat infeksi,

akan membutuhkan insulin lebih banyak dari biasanya. Setiap pasien yang

mengalami stres (penyakit, pembedahan, stres psikologis yang

berkepanjangan) akan mengkatabolisme protein tubuh dan sehingga

memerlukan tambahan. Anak yang mengalami stres berat akan mengalami

retardasi pertumbuhan (Smeltzer & Bare, 2001).

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres pada Pasien Diabetes Melitus

Stres fisiologik seperti infeksi dan pembedahan turut menimbulkan hiperglikemia

dan dapat memicu diabetes ketoasidosis. Stres emosional dapat memberi dampak

yang negatif terhadap pengendalian diabetes. Peningkatan hormon “stres” akan

meningkatkan kadar glukosa darah, khusunya bila asupan makanan dan pemberian

insulin yang tidak diubah. Di samping itu, pada saat terjadi stres emosional, pasien

diabetes dapat mengubah pola makan, latihan, dan penggunaan obat yang biasanya

dipatuhi. Keadaan in turut menimbulkan hiperglikemia (misalnya, pada pasien

dengan insulin atau obat hipoglikemia oral yang berhenti makan sebagai reaksi

terhadap stres emosional yang dialaminya).

Page 27: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

27

Pasien diabetes harus menyadari kemungkinan kemunduran pengendalian

diabetes yang menyertai stres emosional. Bagi mereka diperlukan motivasi agar

sedapat mungkin mematuhi rencana terapi diabetes pada saat-saat stres. Di samping

itu, strategi pembelajaran untuk memperkecil pengaruh stres dan mengatasinya

ketika hal ini terjadi merupakan aspek yang penting dalam pendidikan diabetes

(Smeltzer & Bare, 2001).

Page 28: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

28

C. Kerangka Teori

Sebagai bahan acuan dalam penelitian ini, kerangka teori stres kesehatan yang di

pergunakan adalah sebagai berikut:

Skema 2.1 Kerangka Teori

Sumber : (Smeltzer; 2001)

Diabetes Melitus (DM)

Ambilan Glukosa oleh

Sel

Kadar Glukosa Darah

Komplikasi Akut Komplikasi Kronis

Hipoglikemia Ketoasidosis

Diabetik (KAD)

Hiperglikemik Hiperosmoler Nonketotik (HHNK)

Makrovakuler Mikrovaskuler Neuropati

Penyakit Arteri Koroner

Penyakit Serebrovaskuler

Penyakit Vaskuler Perifer

Retinopati Nefropati

Sensori Motorik Otonom

Stres

Page 29: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori pada BAB II, maka kerangka konsep

penelitian ini disesuaikan dengan pendapat Smeltzer, Kozier dan Aziz, yaitu stres

dapat meningkatkan kadar gula darah pada pasien DM yang bersumber dari

stresor internal,stresor eksternal, dan stresor fungsional. Maka kerangka konsep

penelitian ini yaitu, stres pada pasien DM.

Secara skematis kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan

sebagai berikut:

Skema 3.1

Kerangka Konsep Penelitian

B. Variabel dan Definisi Operasional

Berdasarkan variabel pada kerangka konsep penelitian, maka penulis

memberikan batasan-batasan dalam definisi operasional sebagai berikut:

Stres pada Pasien DM

Page 30: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

30

Tabel 3.1 Variabel, Definisi Operasional dan Cara Ukur

Variabel Definisi Operasional Cara/Alat/Skala

Stres pada

Pasien DM

Stres merupakan suatu keadaan

dimana responden mengalami

ketegangan karena adanya kondisi –

kondisi yang mempengaruhi dirinya

dalam menjalani terapi DM, yang

dinilai berdasarkan Diabetes Distres

Scale (DDS).

Cara : Wawancara

Alat : Kuesioner DDS

Skala : Nominal

Hasil :

1. Tidak Stres, jika

total skor < 18

2. Stres Ringan, jika

total skor 18-50

3. Stres Sedang, jika

total skor 51-84

4. Stres Berat, jika

total skor 85-102

Ji

1.

C. Desain Penelitian

Desain penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan desain

Survey. Suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan atau

mendeskripsikan fenomena yang terjadi mengenai Gambaran Stres pada Pasien

DM Tipe II di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi tahun 2014,

dan semua objek penelitian dilakukan pada waktu yang sama.

Page 31: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

31

D. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher

Provinsi Jambi pada 12 Juni – 11 Juli 2014.

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi menurut Arikunto (2010) adalah keseluruhan subjek

penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah suluruh pasien DM Tipe II di

Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi tahun 2014. Adapun

jumlah populasi untuk di rawat inap sebanyak 210 pasien pada tahun 2013.

2. Sampel

Menurut Arikunto (2010) Sampel adalah sebagian atau wakil populasi

yang diteliti. Cara pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik

accidental sampling. Sampel pada penelitian ini adalah pasien DM di Rawat

Inap RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi tahun 2014. Untuk menentukan

besarnya sampel dalam penelitian ini, digunakan rumus Lameshow. Jumlah

sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

n =Z21-ɑ/2 P2N

D2 (N-1)+Z21-ɑ/2 P2

Page 32: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

32

Ket:

n = Jumlah sampel yang dibutuhkan

Z21- ɑ/2 = Nilai z pada derajat kepercayaan 1- ɑ/2 deviasi normal 95%

(1,96)

P = Proporsi tidak diketahui maka p yang dipilih adalah 50% =

0,5 , sehingga P (1-P) adalah 0,5

D = Presisi absolute yang diinginkan sebesar 15% (0.15)

N = Jumlah populasi 210 orang

Perhitungan:

Kriteria Inklusi responden yaitu;

a. Pasien DM yang dirawat di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Provinsi

Jambi dan telah mengetahui manajemen perawatan DM

b. Bersedia menjadi responden

c. Dapat diajak berkomunikasi dan kooperatif

Kriteria Ekslusi

a. Pasien DM yang mengalami gangguan kejiwaan berat seperti skizoprenia.

b. Pasien Lansia yang berusia lebih dari 65 tahun.

n =(1,96)2 (0,5)(0,5)(210)

(0,15)2 (799-1)+1,96 2.(0,5)2

n = 35,61

Jadi sampel dalam penelitian ini sebanyak 36 orang

Page 33: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

33

F. Pengumpulan Data

1. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer

Yaitu pengumpulan data yang dikumpulkan langsung dari sumbernya.

Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu data tentang

stres pada pasien yang menjalani manajemen terapi DM.

b. Data Sekunder

Yaitu pengumpulan data penunjang atau pelengkap yang diambil dari

RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.

G. Pengelolahan dan Teknik Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah melalui tahapan,

sebagai berikut:

1. Editing

a. Memeriksa kelengkapan data yaitu memeriksa kelengkapan semua

pertanyaan yang diajukan.

b. Memeriksa kesinambungan data yaitu memeriksa apakah ada

keterngan data yang bertentangan antara satu dengan lainnya.

c. Memeriksa apakah semua pertanyaan sama.

2. Coding

Memberikan kode pada setiap data yang ada, maksudnya adalah

memberikan kode berupa angka atau hurufnya.

Page 34: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

34

3. Scoring

Scoring dilakukan dengan menetapkan skor (nilai) pada setiap

pertanyaan kuesioner dan pada saat pengkategorian setiap variabel stres.

Pernyataan stres terdiri dari 17 item pertanyaan. Penilaian

terhadap stres menggunakan skala Likert. Untuk mengukur stres

digunakan skala 6 tingkat yang terdiri dari:

a. Nilai 1-2 : tidak ada masalah

b. Nilai 3-4 : masalah sedang

c. Nilai 5-6 : masalah berat

Interprestasi stres yang dialami responden berdasarkan jumlah skor

jawaban. Jika total skor jawaban benar 85-102 dikategorikan stres berat,

51-84 dikategorikan stres sedang, 18-50 dikategorikan stres ringan dan

<18 dikategorikan tidak stres.

4. Enty Data

Data yang telah diperiksa dan diberi kode dimasukkan ke dalam

program komputer untuk dianalisa.

5. Cleaning

Dilakukan untuk memastikan bahwa keseluruhan data sudah

dientry dan tidak terdapat kesalahan dalam memasukkan data sehingga

siap untuk di analisis.

Page 35: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

35

H. Analisa Data

Analisa data dilakukan secara Univariat, yaitu menyederhanakan atau

memudahkan intervensi data ke dalam bentuk penyajian. Penelitian ini bertujuan

untuk melihat gambaran distribusi stres.

Dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

P = Presentase

F = Frekuensi nilai jawaban

N = Jumlah pernyataan

P=F

X 100%N

Page 36: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

36

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian “Gambaran Stress pada

Pasien Diabetes Melitus Tipe II di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Jambi

Tahun 2014”, yang telah dilaksanakan pada 12 Juni -11 Juli 2014. Adapun hasil

dari penelitian ini disajikan dalam bentuk presentase, sehingga kita memperoleh

data dari apa yang telah diteliti. Persentase hasil penelitian diperoleh dengan

menggunakan pengisian kuesioner oleh responden. Dalam hal ini responden

diberi penjelasan terlebih dahulu, tentang bagaimana pengisian kuesioner.

Analisa dari penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Analisis

Univariat dimana hasil penelitian akan dilihat dalam bentuk distribusi frekuensi.

A. Hasil Analisis Univariat

1. Gambaran Umur Responden

Dari 36 responden pasien DM Tipe II yang dirawat di Rawat Inap

RSUD Raden Mattaher Jambi didapat usia responden yang terendah adalah 40

tahun dan tertinggi 62 tahun. Gambaran mengenai distribusi frekuensi

responden berdasarkan umur dikategorikan menjadi 3 kelompok, yakni usia

22-49 tahun untuk dewasa awal, 50-59 tahun untuk dewasa akhir, dan lebih

dari 60 tahun dikategorikan sebagai lansia yang dapat dilihat pada Tabel 4.1

berikut ini:

Page 37: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

37

Tabel 4.1Distribusi Responden Berdasarkan Umur di RSUD Raden Mattaher

Jambi Tahun 2014(n=36)

Umur (Th) N %Dewasa Awal Dewasa Akhir

Lansia

14148

38,938,922,2

Total 36 100

Berdasarkan tabel 4.1 distribusi frekuensi responden berdasarkan umur

di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher dapat disimpulkan bahwa sebagian

besar responden berumur dewasa awal sebanyak 14 responden (38,9%) dan

dewasa akhir sebanyak 14 responden (38,9%)

2. Gambaran Status Pendidikan Responden

Gambaran hasil penelitian tentang jumlah responden berdasarkan

status pendidikan pada tabel 4.2 berikut ini

Tabel 4.2Distribusi Responden Berdasarkan Status Pendidikan di RSUD Raden

Mattaher Jambi Tahun 2014(n=36)

Status Pendidikan N %

SD

SMP

SMA

12

11

13

33,3

30,6

36,1

Total 36 100

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi berdasarkan status

pendidikan di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Jambi, sebagian besar

responden berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 13

responden (36,1%).

Page 38: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

38

3. Gambaran Tingkat Stress

Gambaran mengenai stres pasien Diabetes Melitus (DM) Tipe II di

Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Jambi diperoleh melalui pengisian

kuesioner, yang memiliki skoring disetiap masing-masing jawaban.

Hasil penelitian berdasarkan gambaran stress pada pasien DM Tipe II

di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Jambi ada 4 kategori yaitu, stres berat

sekali bila skor 85-102, stres sedang bila skor 51-84, stres ringan bila skor 18-

50 dan tidak stres bila skor < 18. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel

4.3 berikut:

Tabel 4.3Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Stres Pasien Diabetes Melitus (DM) Tipe II di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2014

(n=36)Tingkat Stres N %

Stres Ringan

Stres Sedang

Stres Berat

8

14

14

22,2

38,9

38,9

Total 36 100

Berdasarkan data distribusi jawaban dari 36 responden yang telah

diteliti berdasarkan tingkatan stres pasien Diabetes Melitus (DM) Tipe II di

Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Jambi, didapat bahwa sebagian besar

pasien mengalami stres berat sebanyak 14 responden (38,9%) dan stres

sedang sebanyak 14 responden (38,9%).

Page 39: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

39

Tabel 4.4Distribusi Tingkat Stres Responden Berdasarkan Sumber Masalah di Rawat

Inap RSUD Raden Mattaher Jambi (n=36)

Karakteristik

Skala Tingkat Stres

1(%)

2(%)

3(%)

4(%)

5(%)

6(%)

Diabaetes menyita terlalu banyak energi baik mental maupun fisik setiap harinya.

00

00

12,8

925,4

719,4

1952,8

Merasa marah, takut dan merasa tertekan ketika berpikir tentang hidup dengan diabetes.

00

00

12,8

513,9

925,0

2158,3

Merasa mengalami komplikasi jangka panjang yang serius, dan tidak peduli dengan apa yang dilakukan.

00

00

12,8

513,9

925,0

2158,3

Merasa diabetes mengontrol hidup 12,8

00

00

38,3

1130,6

2158,3

Merasa kewalahan dengan peraturan hidup dengan diabetes.

00

00

00

25,6

1336,1

2158,3

Merasa petugas kesehatan tidak cukup memahami tentang diabetes dan perawatan diabetes

1027,8

925,0

00

25,6

1233,3

38,6

Merasa petugas kesehatan tidak mengarahkan dengan jelas bagaimana cara mengelola diabetes

1130,6

1027,8

00

12,8

1233,3

25,6

Merasa petugas tidak menganggap masalah diabetes serius

1130,6

1130,6

12,8

25,6

1130,6

00

Tidak mempunyai petugas kesehatan yang dapat memeriksa diabetes dengan teratur

1027,8

925,0

25,6

38,3

1233,3

00

Merasa tidak yakin akan mampu mengelola diabetes dalam keseharian

25,6

12,8

12,8

411,1

925,0

1952,8

Tidak mengukur gula darah dengan teratur

1233,3

513,9

00

25,6

1541,7

25,6

Merasa sering gagal melakukan manajemen diabetes

00

00

25,6

616,7

822,2

2055,6

Merasa tidak mengikuti perencanaan makan yang baik

12,8

00

411,1

38,3

1027,8

1850,0

Merasa tidak termotivasi menjaga manajemen diabetes

411,1

12,8

00

616,7

1027,8

1541,7

Merasa teman atau keluarga tidak mendukung penuh upaya perawatan diri

822,2

2261,1

411,1

25,6

00

00

Merasa teman dan keluarga tidak menghargai bagaimana sulitnya dapat hidup dengan diabetes

822,2

2261,1

411,1

25,6

00

00

Merasa teman atau keluarga tidak memberi dukungan emosional

822,2

2261,1

411,1

25,6

00

00

Page 40: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

40

Berdasarkan tabel 4.4 diatas, menjelaskan bahwa stresor pasien DM yang

tertinggi berasal dari internal atau dalam diri pasien sendiri yakni, sebanyak 21

responden (58,3%) memilih skala 6 dan 13 responden (36,1%) memilih skala 5

yang menyatakan bahwa mereka merasa kewalahan dengan peraturan manajemen

DM. Sumber stres tertinggi lainnya masih berasal dari internal juga yakni, 21

responden (58,3%) memilih skala 6 dan 11 responden (30,6%) memilih skala 5 yang

merasa diabetes mengontrol hidupnya, merasa mengalami komplikasi jangka panjang

yang serius, dan tidak peduli dengan apa yang dilakukannya dan merasa marah, takut

serta tertekan ketika berpikir tentang hidup dengan DM.

Nilai stres terendah berasal dari hubungan interpersonal yakni, 22 responden

(61,1%) pasien DM menilai skala 2 dan 8 responden (22,2%) menilai skala 1 yang

menyatakan bahwa mereka merasa teman atau keluarga yang tidak mendukung

penuh upaya perawatan dirinya, tidak menghargai sulitnya hidup dengan diabetes

dan tidak memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan.

Page 41: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

41

BAB V

PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Penelitian mengenai “Gambaran Stres pada Pasien Diabetes Melitus

(DM) Tipe II di Rawat Inap RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2014”, ini

memiliki keterbatasan dalam waktu dan tempat yang tersedia. Dalam

keterbatasan waktu yang ada, penelitian ini dilakukan penetapan dengan jumlah

36 responden dan ruang lingkup Rawat Inap nya hanya mencangkup 3 ruang

rawat saja yang terbatas pula jumlah pasiennya, dan peneliti hanya meneliti

gambaran stres pada pasien Diabetes Melitus (DM) Tipe II di Rawat Inap RSUD

Raden Mattaher Jambi Tahun 2014.

Pelaksanaan pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara

pengisian kuesioner sehingga kualitas yang diperoleh sangat tergantung dari

kerjasama responden dalam menjawab setiap pertanyaan yang sudah disediakan

dalam kuesioner sedangkan observasi yang dilakukan oleh peneliti juga sangat

tergantung dari objektivitas peneliti sendiri. Pada saat penelitian dibantu oleh 2

teman dari Poltekkes Jurusan Keperawatan.

B. Umur

Berdasarkan hasil penelitian dari karakteristik umur, dari 36 responden

yang diteliti di rawat inap RSUD Raden Mattaher Jambi rentang usia penderita

DM yang ditemukan berada pada usia 40-61 tahun, yaitu dengan pengkategorian

berdasarkan tingkat perkembangan maka jumlah tertinggi pada umur dewasa

Page 42: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

42

awal sebanyak 14 responden (38,9%), dewasa akhir sebanyak 14 responden

(38,9%) dan lansia sebanyak 8 responden (22,2%).

Ditinjau dari umur responden, nampak bahwa sebagian besar responden

tergolong dalam kelompok usia produktif (40 – 50 tahun). Seseorang yang

berada pada usia produktif memiliki tingkat produktivitas yang baik dalam

bentuk rasional maupun motorik.

Golberg dan Coon dalam Rochman (2006) menyatakan bahwa umur

sangat erat kaitannya dengan kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin

meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa

semakin tinggi. DM Tipe II biasanya terjasi setelah usia 30 tahun dan semakin

sering terjadi setelah usia 40 tahun serta akan terus meningkat pada usia lanjut.

Sekitar 6% indivisu berusia 45-64 tahun, dan 11% individu berusia 65 tahun.

Proses menua yang berlangsung setelah umur 30 tahun mengakibatkan

perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel

berlanjut ke tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang

mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh mengalami perubahan

adalah sel β pankreas penghasil insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan

glukosa, sistem syaraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa

darah. WHO menyebutkan bahwa setelah usia 30 tahun, maka kadar glukosa

darah akan naik 1-2mg/dl/tahun pada saat puasa dan baik 5,6-13 mg/dl/tahun

pada 2 jam setelah makan (Rochman dalam Sudoyo, 2006).

Page 43: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

43

C. Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian status pendidikan di Rawat Inap RSUD

Raden Mattaher Jambi, menunjukkan bahwa sebagian besar responden

berpendidikan SMA sebanyak 13 responden (36,1%), SMP sebanyak 11

responden (30,6%), dan SD sebanyak 12 responden (33,3%).

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan

manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan

kebahagian. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-

hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup

(Notoadmodjo, 2005).

Perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar didukung oleh

meningkatnya kualitas hidup dapat menyebabkan daya beli juga semakin tinggi

sehingga pola makan telah bergeser dari pola makan yang tradisional ke pola

makan kebarat-baratan yang banyak mengandung protein, lemak, garam, gula

dan sedikit mengandung serat. Kurangnya aktivitas gerak dan pola makan yang

tidak baik dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah dan kegemukan

yang merupakan faktor-faktor penunjang pasien terdiagnosis DM (Smeltzer,

2001).

Page 44: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

44

D. Gambaran Tingkat Stress

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 responden yang telah diteliti

tingkat stres pasien pada pasien DM Tipe II di Rawat Inap RSUD Raden

Mattaher Jambi, didapat bahwa tingkat stres berat sebanyak 14 responden

(38,9%), stres sedang sebanyak 14 responden (38,9%), dan stres ringan sebanyak

8 responden (22,2%).

Stres merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik terhadap setiap

tuntutan atau beban atasnya atau dapat dikatakan stres apabila seseorang

mengalami beban atau tugas yang berat tetapi orang tersebut tidak dapat

mengatasi tugas yang dibebankan itu, maka tubuh akan berespon dengan tidak

mampu terhadap tugas tersebut, sehingga orang tersebut dapat mengalami stres.

Terjadinya stres dapat disebabkan oleh sesuatu yang dinamakan stresor. Bentuk

stresor ini dapat dari lingkungan, kondisi dirinya serta pikiran (Rasmun, 2004).

Kondisi emosi secara umum berbeda antara responden yang sudah lama

didiagnostis DM dan subjek yang baru didiagnostis DM. Responden yang sudah

lama DM umumnya sudah merasa ikhlas dan pasrah dengan kondisi dirinya

sedangkan responden yang baru terdiagnostis DM akan merasa cemas dan

ketakutan dengan kondisinya. Tahap penerimaan dapat dikatakan akan sukses

terjadi apabila pasien mampu mengontrol gula darahnya dan melakukan

manajemen DM dengan baik.

Terdapat banyak sumber stres yang secara luas dapat diklasifikasikan

sebagai sumber stresor internal atau eksternal, atau stresor perkembangan atau

situasional. Stresor yang berasal dari dalam diri sendiri pada umunya

dikarenakan konflik yang terjadi antara keinginan dan kenyataan berbeda, dalam

Page 45: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

45

hal ini terjadi berbagai permasalahan yang tidak sesuai dengan dirinya dan tidak

mampu diatasi, maka dapat menimbulkan stres (Aziz Alimul, 2007)

Berdasarkan hasil penelitian 21 responden (58,3%) mengatakan bahwa

sumber stresor yang paling berat berasal dari dalam diri mereka sendiri yakni,

mereka merasa DM mengontrol hidup mereka sedangkan sumber stres dari dalam

masyarakat atau dari lingkungan sendiri hasil penelitian menunjukkan bahwa 12

responden (33,3%) memilih skala 6 dengan kategori masalah berat untuk

mengambarkan bahwa mereka merasa petugas kesehatan tidak cukup memahami

tentang diabetes dan perawatan diabetes.

Sumber stres lain yang masih berasal dari luar namun bersumber dari

interpersonal atau hubungan dengan sesama. Dari hasil penelitian menunjukkan

bahwa 22 responden (61,1%) memberikan penilaian pada skala 2 pada rentang

tidak adanya masalah yang dapat disimpulkan bahwa mereka merasa teman dan

keluarga telah mendukung, menghargai dan memberikan dukungan emosisonal

yang mereka butuhkan dalam perawatan DM tersebut.

Dalam pelaksanaan manajemen DM, 20 responden (55,6%) memberikan

penilaian skala 6 dalam kategori masalah berat berpendapat bahwa mereka sering

gagal dalam melaksanakan manajemen DM khususnya dalam mengatur pola

makan.

Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin

dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi

vaskuler serta neuropatik. Lima komponen dalam penatalaksanaan DM, yakni

diet,latihan,pemantauan, terapi, dan pendidikan kesehatan merupakan

penanganan yang harus dijalani sepanjang perjalanan penyakit DM yang

menyebabkan terjadinya perubahan gaya hidup, keadaan fisik dan mental

Page 46: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

46

emosional penderitanya. Kepatuhan jangka panjang terhadap perencanaan makan

merupakan salah satu aspek yang paling menimbulkan tantangan dalam

penatalaksanaan DM. Meskipun tim kesehatan telah mengarahkan penanganan

tersebut, namun pasien sendirilah yang harus bertangung jawab dalam

pelaksanaan terapi yang kompleks itu sendiri setiap harinya.

Pemahaman responden tentang penyakitnya yang tidak dapat

disembuhkan dengan sempurna juga merupakan salah satu penyebab munculnya

kekhawatiran penderita DM akan peran dan fungsinya dalam keluarga dan

masyarakat. Penyakit DM yang diderita menimbulkan berbagai perubahan atau

gangguan baik fisik maupun psikologis bagi penderita. Penderita DM harus

tergantung pada terapi pengelolaan DM. Hal tersebut dapat menimbulkan

permasalahan misalnya pasien merasa lemah karena harus membatasi diet.

Perubahan pasien dalam memandang dirinya secara negatif, misalnya pasien

merasa putus asa dan tidak dapat menerima keadaannya akan mempengaruhi

kosep diri pasien. Pasien merasa stress dan terganggu yang akhirnya dapat

memperberat keadaan sakitnya, Pinci (2008) juga menyebutkan bahwa rasa tidak

berdaya sering terjadi pada individu dengan penyakit kronis. Ketidakberdayaan

merupakan suatu persepsi bahwa tindakan seseorang tidak akan mempengaruhi

hasil. (Budi & Arini, 2011)

Penyakit DM termasuk penyakit kronis yang memerlukan perawatan

sepanjang hidupnya, sehingga diperlukan penanganan yang holistik, bila

penanganannya tidak tepat akan memiliki dampak yang luas, baik terhadap

pasien maupun keluarganya. Kepatuhan pasien Diabetes Mellitus terhadap

program pengobatan terutama pasien yang berada di rumah sangat penting,

Page 47: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

47

karena dengan pengendalian kadar glukosa darah yang baik akan mencegah

timbulnya komplikasi.

Meskipun penatalaksanaan DM sangat kompleks, penderita yang mampu

melakukan perawatan dirinya dengan optimal akan dapat mengendalikan glukosa

darahnya, bertolak belakang dengan mereka yang tidak mampu mengendalikan

kadar glukosa darah dengan baik, berbagai masalah akan muncul seperti luka

gangren, penurunan penglihatan dan neuropati. Pengendalian Diabetes juga

sangatlah penting dilaksanakan sedini mungkin, untuk menghindari biaya

pengobatan yang sangat mahal dan gangguan fungsi pada keluarga. Keluarga

juga memiliki peranan yang penting dalam memberikan motivasi, support system

dan perawatan pada anggota keluarganya yang menderita DM.

Selain itu, perawatan pada pasien dengan diabetes mellitus dan

komplikasinya membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit,

sehingga dapat menimbulkan beban pada pasien dan keluarga. Oleh karena itu,

dengan adanya perubahan perilaku untuk melakukan perawatan mandiri, keluarga

dan pasien mempunyai kemampuan untuk mengelola kesehatannya sendiri

termasuk dalam mengontrol kadar glukosa darah dan melalui perawatan mandiri

juga, diharapkan angka harapan hidup dan produktifitas penderita DM tetap

tinggi. Oleh karena itu, pemahaman diabetes harus dilakukan secara menyeluruh,

baik faktor risikonya, diagnosanya, penanganannya maupun komplikasinya.

Salah satu usaha pencegahan adalah dengan pendidikan kesehatan yang

mendorong kemandirian pasien sehingga mampu mengelola kesehatannya secara

mandiri (Warsi et al,2004).

Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan, memiliki peranan yang

strategis dalam memberikan kemampuan kepada keluarga dan pasien dalam

Page 48: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

48

melakukan penanganan secara mandiri. Sejumlah penelitian eksperimental

memperlihatkan bahwa perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh

terhadap perilaku pasien Dengan memberikan pemahaman yang benar dan

memberdayakan keluarga dan pasien dalam berpartisipasi untuk dapat melakukan

perawatan diri secara mandiri (self-care), berbagai komplikasi yang mungkin

akan muncul dapat dikendalikan dan pasien memiliki derajat kesehatan yang

optimal.

Page 49: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

49

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari 36 responden yang telah diteliti

tingkat stres pasien pada pasien DM Tipe II di Rawat Inap RSUD Raden

Mattaher Jambi, didapat kesimpulan, yaitu responden yang mengalami Stres

berat sebanyak 14 responden (38,9%), stres sedang sebanyak 14 responden

(38,9%), dan stres ringan sebanyak 8 responden (22,2%) dengan sumber stres

atau stresor tertinggi berasal dari internal atau dalam diri pasien sendiri yakni,

sebanyak 21 responden (58,3%) memilih skala 6 dan 13 responden (36,1%)

memilih skala 5 yang menyatakan bahwa mereka merasa kewalahan dengan

peraturan manajemen DM sedangkan stesor lain berasal dari lingkungan

sebanyak 12 responden (33,3%) memilih skala 6 dengan kategori masalah

berat untuk mengambarakan bahwa petugas kesehatan tidak cukup memahami

tentang DM dan perawatannya.

B. Saran

1. Pelayanan Keperawatan

Agar mengupayakan peningkatan pemahaman dan pengetahuan

tentang DM dan manejemennya agar kualitas pelayanan keperawatan dan

asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien efektif dan holistik,

khusunya dalam bentuk edukasi terstruktur untuk pasien DM, keluarga dan

masyarakat.

Page 50: Gambaran stres pada Pasien DM Tipe II

50

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan agar dapat meningkatkankan kemampuan mahasiswa

dalam memberikan edukasi tentang manajemen DM hingga stres pasien.

3. Bagi Peneliti

Diharapkan dapat mengembangkan hasil penelitian melalui penelitian

lebih lanjut dengan desain varibel yang berbeda dan dapat melakukan

penelitian mengenai manajemen stres yang efektif pada klien DM Tipe II yang

dapat memberikan efek positif yang dapat menurunkan kadar glukosa darah.