Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada ...
Transcript of Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada ...
Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada Pekerjaan Pembangunan Apartemen PT. X Tahun 2017
Azyyati Nabiilah Zahra
Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected]
Abstrak
Kelelahan merupakan salah satu faktor pembentuk kecelakaan tim kerja di konstruksi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran kondisi kelelahan pekerja konstruksi PT.X. Dengan desain penelitian cross sectional, menggunakan kuesioner Industrial Fatigue Research Committee, didapatkan 100% pekerja mengalami kelelahan saat sebelum dan setelah bekerja, dengan proporsi kelelahan diatas rendah meningkat setelah bekerja dari 52,5% menjadi 69,3%, artinya dibutuhkan penilaian lanjut dan perbaikan. Upaya pengendalian yang sudah dilakukan membatasi jam kerja lembur, penyediaan mess, dan olahraga rutin. Upaya lain yang dapat dilakukan memperketat kebijakan jam kerja, promosi perilaku hidup sehat, dan pengendalian faktor lingkungan kerja. Kata Kunci: IFRC; Kelelahan; Kesehatan kerja; Pekerja Konstruksi
Description of Construction Workers Fatigue Condition at PT. X Apartment Development Work Year 2017
Abstract
Fatigue is one of the main factor of worker’s accident in construction. This study aimed to find out the fatigue conditions of PT. X construction workers. Using cross-sectional design and Industrial Fatigue Research Committee Questionnaire, it was found that 100% of workers experience fatigue before and after work, with the prevalence of fatigue above low increased after working from 52.5% to 69.3%, meaning that further assessment and improvement were needed. Control measures that had been done were limiting the overtime hours, providing temporary shelter, and regular exercise. It was suggested to tighten the policy of working hours, promote healthy lifestyle, and control working environment factors.
Keywords: Fatigue; Construction Worker; IFRC; Occupational health
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
Pendahuluan
Data statistik ILO tahun 2005 memperlihatkan, walaupun sektor konstruksi hanya
mempekerjakan 6% -- 10% tenaga kerja di berbagai negara industri, sebanyak 25% -- 40% dari
kematian akibat kerja terjadi di lokasi konstruksi. ILO mengestimasikan setiap tahun terdapat
sedikitnya 60.000 kecelakaan fatal di lokasi konstruksi di seluruh dunia (ILO, 2005). Di
Indonesia, tahun 2010, PT Jamsostek dan Kemenaker Indonesia mencatat bahwa sektor
konstruksi menduduki peringkat pertama dan berkontribusi terhadap 31,9% dari seluruh
kecelakaan kerja di berbagai sektor industri Indonesia (Darisman, 2011).
Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh HSE (2003) terhadap 100 kecelakaan di
konstruksi, ditemukan bahwa salah satu faktor pembentuk kondisi kecelakaan pada tim kerja
adalah kelelahan pekerja. Kondisi pekerja konstruksi yang berisiko mengalami kelelahan dan
berdampak pada konsentrasi berkurang, pengambilan keputusan yang buruk, gagal dalam
menggunakan peralatan kerja, dan perilaku kompromi terhadap peraturan keselamatan kerja,
dapat berkontribusi sebagai penyebab kecelakaan kerja (S. Hide, S. Atkinson, T. Pavitt et al.,
2003 dan Chan. M, 2011).
Di Indonesia, kelelahan kerja merupakan salah satu dari tiga penyebab kejadian cedera dan
kecelakaan akibat kerja di bidang konstruksi (Darisman, 2011). Penelitian yang dilakukan di
perusahaan konstruksi Manado menemukan bahwa dari 40 orang pekerja buruh bangunan,
92,5% pekerja mengalami kelelahan dengan 35% kelelahan berat (Limbong, N., Josephus, J.,
Kawatu, P., 2015). Sementara, penelitian yang dilakukan di Semarang terhadap tenaga kerja
bangunan menemukan 71,43% pekerja mengalami kelelahan ringan pada pengukuran sebelum
bekerja, dan 100% pekerja mengalami kelelahan dengan presentase kelelahan ringan 11,43%,
kelelahan sedang 42,86%, dan kelelahan berat 45,71% saat setelah bekerja (Hastuti, 2015).
Hasil pra survei pada pekerja konstruksi PT. X bulan Mei 2017, menemukan beberapa
aspek pekerjaan yang memiliki potensi risiko kelelahan di tempat kerja, seperti durasi/jam kerja
yang lama, periode/jadwal kerja yang panjang tanpa hari libur, dan frekuensi kerja lembur yang
sering. Dari hasil wawancara terhadap 20 pekerja konstruksi di lapangan, 90% pekerja
melakukan kerja lembur dalam seminggu terakhir, 72,2% (13 orang) diantaranya melakukan
kerja lembur 7 kali dengan rata-rata jam kerja lembur yaitu 5,29 jam per hari, rata-rata bekerja
selama kurang lebih 13 jam sehari atau 91 jam seminggu. Selain itu, ditemukan 80% pekerja
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
yang sering merasa lelah atau pegal di seluruh badan. 60% pekerja sering merasa mengantuk.
Kondisi kelelahan apabila dibiarkan terus menerus akan semakin meningkat, dan sering kali
menimbulkan gangguan kesehatan dan/atau kecelakaan, oleh karena itu dibutuhkan penilaian
kondisi kelelahan pada setiap pekerjaan konstruksi di PT. X.
Tinjauan Teoritis
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh, berupa kondisi letih, jenuh, dan
kekurangan tenaga, dari kerusakan lebih lanjut yang terjadi akibat tingkat pengeluaran energi
yang berlebih, baik secara psikologis maupun fisiologis pada pekerjaan dengan pengerahan
kekuatan fisik dan mental yang berlebihan, tanpa adanya waktu istirahat atau pemulihan yang
cukup sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan secara aman,
efisien, dan efektif (Tarwaka, dkk, 2004; Theron dan Heerden, 2011; Macdonald, 2006; Lewis
dan Wessely 1992 dalam Zhang, et. al, 2015; Grandjean, 1979 dan Safe Work Australia, 2013).
Gejala kelelahan diantaranya merasa lelah, lesu, letih, lemas, mengantuk, enggan bekerja,
persepsi dan proses berpikir yang lebih lamban dan buruk, kurang kewaspadaan, mata terasa
berat dan tidak merasa segar setelah tidur, sakit kepala atau pusing, nyeri/sakit otot dan
pelemahan otot lainnya, gangguan dalam mengambil keputusan dan melakukan penilaian hingga
koordinasi tangan-mata berkurang atau pandangan kabur dan pingsan (Theron dan Heerden,
2011; Safe Work Australia, 2013; Nurmianto, 2004).
Berdasarkan jangka waktunya kelelahan dibedakan menjadi dua, yaitu kelelahan akut
(gejala dirasakan kurang dari 6 bulan) dan kelelahan kronik (gejala dirasakan lebih dari 6 bulan).
Sedangkan, berdasarkan proses fisiologinya kelelahan dibagi menjadi kelelahan mental dan
kelelahan fisik. Kelelahan mental menggambarkan kapasitas psikologis dan kemauan seseorang
yang berkurang untuk bertindak secara memadai yang disebabkan oleh tekanan mental dan fisik
yang didapat sebelumnya (O’Neill dan Panuwatwanich, 2013). Sementara, kelelahan fisik adalah
fenomena rasa sakit/nyeri yang terlokalisasi pada otot akibat tekanan atau beban fisik yang
berlebihan (stress atau kontraksi berlebihan pada otot) yang dapat menyebabkan menurunnya
performa otot dengan karakteristik menurunnya kekuatan/daya kerja, jarak antara stimulasi awal
dengan terjadinya kontraksi menjadi lebih panjang, dan pergerakannya (kontraksi-relaksasi)
menjadi lambat (Grandjean, 1979).
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
Menurut Grandjean (1979), kelelahan dapat disebabkan oleh berbagai faktor penyebab.
Dalam jurnalnya ”Fatigue in Industry”, Grandjean (1979) menganalogikan kelelahan seperti
sebuah bejana yang diisi air dimana terdapat lubang di bagian dasarnya. Dalam ilustrasi ini, air
menggambarkan kumpulan semua tekanan yang membebani seseorang setiap harinya, atau sama
dengan faktor penyebab kelelahan. Tinggi air tersebut dalam bejana, menggambarkan tingkat
kelelahan yang dialami seseorang. Sementara, waktu istrahat dianalogikan dengan aliran air yang
keluar melalui lubang yang terdapat di dasar bejana. Agar bejana tidak terlalu penuh atau
meluap, kita harus memastikan arus air yang masuk dari berbagai sumber (faktor penyebab
kelelahan) minimal harus seimbang besarnya dengan arus air yang keluar melalui pemulihan.
Menurut Grandjean (1979), proses pemulihan terhadap kelelahan sebagian besar terjadi
saat seseorang tertidur di malam hari, namun dapat melalui cara lainnya seperti saat jam istirahat
kerja, atau segala bentuk pemberhentian sementara saat bekerja. Siklus arus masuk dan keluar
tersebut harus terjadi dalam waktu 24 jam. Jika arus masuk berupa faktor penyebab kelelahan
dibiarkan terus menumpuk, akan mengorbankan kesehatan seseorang berupa mulai timbulnya
gejala dan tanda kelelahan.
Faktor risiko kelelahan dapat dibagi menjadi faktor risiko terkait kerja dan tidak terkait
kerja. Faktor risiko kelelahan terkait kerja diantaranya kerja lembur, shift kerja, waktu istirahat,
waktu kerja, beban kerja, desain kerja, pencahayaan, iklim kerja, dan tingkat kebisingan di
tempat kerja. Sementara, faktor risiko tidak terkait kerja yaitu usia, kondisi sakit dan penyakit,
kondisi psikologis, gaya hidup, kualitas dan kuantitas tidur, status gizi, commuting time,
kewajiban sosial dan keluarga, dan kerja sampingan (Grandjean, 1979; Theron & Heerden, 2011;
Safe Work Australia, 2013).
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain studi cross sectional dan metode semi
kuantitatif. Penelitian dilakukan dengan menilai tingkat dan jenis kelelahan beserta faktor
risikonya pada pekerja konstruksi (buruh bangunan) pembangunan apartemen PT. X bulan Mei -
- Juni 2017, dengan menggunakan kuesioner IFRC (kuesioner 30 item gejala kelelahan
subjektif). Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja konstruksi apartemen PT. X tahun 2017.
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
Jumlah sampel penelitian menggunakan rumus besar sampel pada studi deskriptif (Lemeshow,
David, 1997 dan Murti, 2010) dan metode proportional sampling.
𝑛 =𝑁 .𝑍(!!∝/!)! .𝑃 .𝑄
[𝑑! 𝑁 − 1 ]+ [𝑍(!!∝/!)! .𝑃 .𝑄]
Keterangan:
n: besar sampel minimal
Z2(1- α/2): nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan α,
untuk α = 0,05 maka Z = 1,96
P: proporsi pekerja yang mengalami keluhan fatigue berdasarkan penelitian
sebelumnya (P = 0,45)
N: besar populasi (N = 150)
d: tingkat ketetapan absolut yang dikehendaki, nilai d = 0,05
Berdasarkan perhitungan rumus diatas, didapatkan jumlah sampel pada penelitian ini adalah
sebesar 108 orang. Namun saat pengambilan data, terdapat pekerja yang tidak memenuhi kriteria
inklusi, sehingga sampel menjadi 101 orang, yaitu 39 pekerja pembesian, 40 pekerja bekisting, 6
pekerja pengecoran, 4 pekerja MEP, dan 12 pekerja harian.
Analisis data dalam penelitian ini bersifat univariat dengan menilai tingkat kelelahan, jenis
kelelahan, dan distribusi proporsi dari masing-masing variabel faktor risiko kelelahan pada
pekerja. Setelah itu, distribusi proporsi faktor risiko kelelahan yang terkait pekerjaan dan tidak
terkait pekerjaan pada masing-masing jenis pekerjaan konstruksi akan dilihat kemungkinannya
dalam memberikan pengaruh terhadap gambaran kelelahan pekerja yang telah didapatkan.
Hasil dan Pembahasan
Tingkat dan Jenis Kelelahan
Hasil penelitian menemukan, semua pekerja konstruksi mengalami kelelahan saat sebelum
dan setelah bekerja, dan tingkat kelelahan meningkat setelah bekerja dari 52,5% (40,6%
kelelahan sedang, 11,9% kelelahan tinggi) menjadi 69,3% (60,4% kelelahan sedang, 7,9%
kelelahan tinggi, 1% kelelahan sangat tinggi). Sehingga, disimpulkan bahwa secara garis besar
dibutuhkan penilaian lebih lanjut dan perbaikan terhadap tingkat kelelahan pekerja saat sebelum
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
dan setelah bekerja. Sementara, dari hasil analisis prevalensi gejala kelelahan setelah bekerja,
didapatkan jenis kelelahan pada pekerja pembesian, bekisting, dan harian adalah kelelahan beban
fisik (lebih terbebani secara fisik), sementara pada pekerja pengecoran dan MEP adalah
kelelahan umum.
Faktor Risiko Terkait Kerja
Usia
Rata-rata usia pada responden adalah 31 tahun, dengan usia termuda 19 tahun dan usia
tertua 65 tahun. Dari hasil analisis, didapatkan distribusi usia pada pekerja konstruksi tersebut
sebagian besar berada pada kategori lebih besar dari 25 tahun (62,4%), terutama pada pekerja
pembesian dan bekisting. Menurut CCOHS (2012), seseorang akan mencapai keseluruhan
perkembangan atau kematangan fisik sekitar usia 25 tahun dan akan mengalami penurunan
kekuatan otot rata – rata sebesar 15% -- 20% pada usia 20 -- 60 tahun. Selain itu umumnya
kapasitas kardiorespirasi akan mengalami penurunan fungsi sebesar 40% pada usia kisaran 30 --
60 tahun. Sedangkan kapasitas fungsional mental dan sosialnya akan mengalami penurunan pada
usia 45 tahun (WHO, 1996 dalam Sa’abah, 2001). Hal ini berarti, setelah mencapai usia 25
tahun, terjadi penurunan kekuatan otot dan fungsi tubuh lainnya yang menyebabkan risiko
seseorang untuk mengalami kelelahan lebih besar dari sebelumnya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa berdasarkan usianya, sebagian besar responden lebih berisiko terhadap
kelelahan, terutama responden pada kelompok kerja pembesian dan bekisting. Hal ini juga
diperkuat dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa pada kelelahan tinggi, proporsi usia
>25 tahun lebih besar. Selain itu, hanya pekerja usia >25 tahun yang mengalami kelelahan sangat
tinggi.
Status Kesehatan
Masih terdapat 16,8% pekerja yang status kesehatannya berisiko terhadap kelelahan.
Pekerja yang memiliki status kesehatan lebih berisiko adalah pekerja yang memiliki penyakit
dan/atau pengobatan yang mungkin dapat mempengaruhi kelelahan pekerja. Beberapa jenis
penyakit yang diderita oleh responden diantaranya gangguan (sakit) pinggang dan asma yaitu
terdapat pada pekerja pembesian, penyakit anemia diderita oleh pekerja pembesian dan bekisting,
penyakit maag pada pekeja pembesian dan harian, penyakit gangguan pendengaran pada pekerja
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
pembesian, penyakit hipotensi pada pekerja pengecoran, penyakit gangguan ginjal pada pekerja
bekisting, serta keluhan pusing pada pekerja bekisting, dan pekerja pengecoran.
Menurut Theron dan Heerden (2011), kelelahan yang terjadi secara berkepanjang dapat
menjadi salah satu tanda terdapatnya penyakit yang berperan sebagai penyebab utama kelelahan.
Beberapa penyakit yang dapat menjadi penyebab utama atau memicu kelelahan diantaranya
anemia, gangguan tidur seperti insomnia, sleep apnea, infeksi urin, dll (Safe Work Australia,
2013). Selain itu, kondisi fisik yang mengalami dehidrasi (Tarwaka, 2004) dan keletihan fisik
(O’Neill dan Panuwatwanich, 2013) akan memperparah dampak dari kelelahan.
Secara garis besar, walaupun sebagian besar pekerja status kesehatannya tidak berisiko,
beberapa pekerja lainnya menderita penyakit yang dapat memicu dan memperparah kelelahan
kerja. Diantaranya adalah penyakit anemia, hipotensi, penyakit ginjal, asma, dan keluhan pusing.
Sementara, beberapa penyakit yang mungkin dapat terjadi akibat kelelahan atau beban kerja
berlebih, yaitu maag dan sakit pinggang. Sedangkan, penyakit yang dapat membahayakan
keselamatan dan kesehatan pekerja selama berada di proyek konstruksi yaitu gangguan
pendengaran dan asma.
Status Merokok
Sebagian besar responden adalah perokok (82,2%), bahkan semua pekerja MEP adalah
perokok. Salah satu gaya hidup yang menyebabkan kelelahan secara tidak langsung adalah
merokok, karena melalui nikotin rokok dapat mengurangi aliran oksigen dalam jaringan paru dan
dalam darah. Sementara, untuk menghasilkan energi tubuh kita membutuhkan glukosa dan
oksigen. Sehingga apabila seseorang merokok, proses penghasilan energi menjadi terhambat.
Selain itu, rokok juga dapat menstimulasi sistem syaraf dan dapat mempengaruhi kualitas tidur
(Theron dan Heerden, 2011). Oleh karena itu, promosi kesehatan mengenai bahaya rokok bagi
kesehatan dan anjuran tempat kerja bebas asap rokok juga perlu dibahas atau diberikan bagi
pekerja konstruksi
Konsumsi Minuman Berkafein
Rata-rata konsumsi minuman berkafein pada seluruh responden, adalah 2,64 gelas per hari,
paling banyak yaitu 8 gelas per hari namun ada juga yang tidak minum. Dari hasil analisis
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
didapatkan konsumsi minuman berkafein tertinggi pada kelompok kerja bekisting. Selain itu,
juga ditemukan bahwa sebagian besar responden (69,9%) mengonsumsi kopi sebelum tidur.
Menurut Better Health Channel dalam Theron dan Heerden (2011), minum minuman
berkafein dapat menstumulasi sistem syaraf dan dapat menyebabkan insomnia. Selain itu,
ketergantungan terhadap minuman berkafein akan berkontribusi terhadap kurangnya tidur serta
hanya memberikan dorongan energi sementara pada tubuh, namun energi tersebut menjadi cepat
habis dan memicu kelelahan. Selain itu minum minuman berkafein 1 atau 2 kali dalam sehari
dapat meningkatkan energi dan kewaspadaan mental, akan tetapi, apabila dikonsumsi lebih dari 6
kali dalam sehari membuat rentan terhadap kecemasan, mudah marah atau tersinggung, dan
kinerja yang berkurang. Selain itu, konsumi kopi atau minuman berkafein lainnya akan
berkontribusi terhadap kekurangan tidur apabila diminum dalam rentang 6 jam sebelum tidur.
Jumlah konsumsi kafein pada sebagian besar pekerja sudah cukup baik, dengan tidak
melebihi 6 kali (gelas) sehari. Namun, masih ada pekerja yang minum minuman berkafein
hingga 8 gelas per hari. Selain itu, sebagian besar pekerja, masih mengonsumi kopi dalam
rentang 6 jam sebelum tidur.
Konsumsi Air Minum
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa rata-rata konsumsi air putih pada seluruh
responden adalah 2,24 liter per hari. Konsumsi air putih yang paling sedikit yaitu 0,24 liter per
hari terdapat pada kelompok kerja harian dan paling banyak yaitu 7 liter per hari terdapat pada
kelompok kerja pengecoran.
Menurut Theron dan Heerden (2011), perilaku minum yang kurang dapat menyebabkan
dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh. Apabila tubuh mengalami dehidrasi, fungsinya
menjadi kurang efisien dan meningkatkan risiko atau memperparah kelelahan. Pekerja konstruksi
bekerja pada lingkungan kerja yang panas, lembab, dan didukung dengan beban kerja fisik yang
berat sehingga menjadi lebih rentan terhadap dehidrasi dan heat stress karena memiliki aktivitas
fisik yang berat, suhu tubuh yang tinggi, dan banyak mengeluarkan cairan tubuh melalui
keringat. Dalam EHS Today (2001), penelitian fisiologis menunjukkan bahwa konsumsi cairan
dapat mengurangi suhu tubuh dengan meningkatkan aliran darah pada kulit (skin blood flow)
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
yang lebih tinggi. Oleh karena itu, NIOSH, ACGIH, dan OSHA merekomendasikan pekerja pada
pekerjaan di luar ruang atau yang beririsko tinggi terhadap heat stress untuk minum air
(sebanyak 500-700 ml) setiap 15-20 menit (atau rekomendasi dari OSHA yaitu 1-1,5 liter setiap
jam untuk yang bekerja pada suhu 39-46 oC) (suhu di Depok saat panas yaitu ±30oC -- 35oC
sehingga membutuhkan 0,7 -- 1 liter per jam ) agar tubuh tetap cukup terhidrasi dan agar suhu
tubuh yang aman dapat terjaga (EHS Today, 2001 dan OSHA, n,d). Selain itu, penelitian
mengenai kelelahan yang dilakukan kepada pekerja industri pengecoran logam di Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah yang menemukan bahwa terdapat perbedaan tingkat kelelahan pada pekerja
yang minum air 2 liter dan 4 liter dalam sehari dengan kelelahan yang lebih tinggi dialami oleh
pekerja yang minum air 2 liter per hari (Prianto, 2000).
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan sebanyak 83,2% pekerja merasa haus saat
sebelum dan setelah bekerja. Selain itu, dari wawancara mendapatkan sebagian besar pekerja
mengeluhkan bahwa kuantitas air minum yang disediakan oleh mandor di bidang kerjanya
masing-masing, masih sangat kurang, bahkan ada beberapa pekerja yang mengatakan bahwa air
minum yang disediakan hanya sekitar 1 galon air untuk pekerja yang ada di satu lantai (mencapai
15-20 pekerja) untuk satu hari kerja. Beberapa pekerja juga mengemukakan bahwa mereka
sengaja menahan rasa haus saat bekerja karena untuk mengambil air minum, pekerja merasa
terlalu letih untuk menuruni sekitar 5-6 lantai dan menaik kembali dalam waktu yang singkat.
Kuantitas Tidur
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa rata-rata kuantitas tidur setiap hari pada
seluruh responden, adalah 6,79 jam per hari. Berdasarkan hasil analisis di dapatkan bahwa
sebagian besar (53,3%) pekerja tidur per hari ≥7 jam, namun terdapat lebih dari separuh (66,7%)
kelompok harian tidur <7 jam. Selain itu juga didapatkan sebagian besar responden memiliki
gangguan tidur, dengan presentase sebesar 59,4%. Beberapa penyebab gangguan tidur tersebut
yaitu tubuh pegal-pegal / terlalu letih, merasa banyak pikiran, berisik, banyak nyamuk, panas,
insomnia, gelisah, terbiasa tidur malam, terkena asap/fume dari pengelasan, lampu terlalu silau,
mimpi buruk, banyak pekerja yang berlalu-lalang (keamanan). Gangguan berisik, banyak
nyamuk, panas, terkena asap/fume dari pengelasan, lampu terlalu silau, dan banyak pekerja yang
berlalu lalang semua bersumber dari mess pekerja. Selain gangguan tidur hal yang mengurangi
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
atau menjadi gangguan dalam mendapatkan kuantitas tidur yang baik yaitu disebabkan oleh
makan/minum sebelum tidur, ada 63,4% yang makan atau minum tepat sebelum tidur. Beberapa
makan/minuman yang dikonsumsi sebelum tidur yaitu kopi, mie instan, teh, nasi+ lauk pauk,
roti, susu, minuman berenergi, dan gorengan. Konsumsi terbesar pada kopi yaitu sebanyak
46,9%. Selain makanan/minuman sebelum tidur gangguan lainnya yaitu melakukan aktivitas lain
sebelum tidur namun setelah berbaring di tempat tidur, dengan prsentase sebesar 71,3% pekerja
yang melakukannya. Aktivitas yang dilakukan oleh pekerja sebelum tidur namun setelah
berbaring di tempat tidur diantaranya mengoperasikan/melakukan aktivitas dengan handphone
(sms, internet, telepon, dll), mengobrol, menonton TV, merokok, mendengar radio, mendengar
musik.
Menurut CDC (2015) dan Depkes RI, waktu tidur yang dibutuhkan untuk kelompok
masyarakat usia dewasa yaitu 7-8 jam. Kekurangan tidur yang dialami seseorang secara terus
menerus akan mengakibatkan sleep debt atau hutang tidur yang dapat terakumulasi dan
menyebabkan peningkatkan risiko kelelahan (Theroon dan Heerden, 2011; Kuswana, 2014).
Selain itu, kekurangan kuantitas tidur di malam hari juga dapat menyebabkan tingkat kadar
alkohol darah menjadi 0,05% jika terjaga selama 17 jam dan 0,1% jika terjaga selama 20 jam,
sehingga menyebabkan daya kerja dan performa menurun, konsentrasinya hilang, dan
kelelahannya semakin meningkat (Work Cover Tasmania, 2013). Menurut Gupta (2006),
manusia membutuhkan kualitas tidur yang baik dengan beberapa siklus tidur yang terdiri dari
tahap tidur NREM (Non-Rapid Eye Movement) dan tidur REM (Rapid Eye Movement) untuk
memulihkan fungsi otak dan untuk menghindari kondisi kelelahan. Kualitas dan kuantitas tidur
yang tidak teratur atau buruk dapat meningkatkan risiko kelelahan dengan menghilangkan
kesempatan tubuh untuk memulihkan dirinya dari tekanan atau beban kerja yang sebelumnya
dialami.
Status IMT
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa sebagian besar responden memiliki status
IMT normal yaitu 53,5%, dan 46,5% lainnya memiliki statis IMT tidak normal. Diantara seluruh
kelompok pekerja berdasarkan aktivitasnya, kelompok pekerja yang memiliki prevalens status
IMT tidak normal paling banyak adalah kelompok kerja harian, dengan prevalens 66,7%.
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
Menurut Depkes (2011), seseorang yang kekurangan berat badan (kurus) disebabkan
konsumsi energi lebih rendah dari kebutuhannya yang mengakibatkan sebagian cadangan energi
tubuh dalam bentuk lemak akan digunakan. Salah satu kerugian seseorang yang kekurangan
berat badan yaitu mudah lelah dan kurang mampu berkerja keras. Sementara, kelebihan berat
badan terjadi apabila makanan yang dikonsumsi mengandung energi yang melebihi kebutuhan
tubuh. Kelebihan energi tersebut akan disimpan tubuh sebagai cadangan dalam bentuk lemak
sehingga mengakibatkan seseorang menjadi lebih gemuk. Salah satu kerugian seseorang yang
memiliki berat badan yang lebih adalah gerakan yang menjadi tidak gesit atau lambat dan
menyebabkan menurunnya produktivitas kerja. Sedangkan menurut Theron dan Heerden (2011)
pola makan yang tidak sehat seperti pola makan dengan diet rendah karbohidrat atau makan
makanan yang memiliki kandungan gizi yang sedikit menyebabkan tubuh tidak memiliki cukup
bahan bakar untuk menjalankan sistem metabolismenya sehingga dapat memicu kondisi
kelelahan pada seseorang.
Commuting Time
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden memiliki kategori commuting time
≤30 menit, dengan presentase sebesar 99%. Diantara seluruh kelompok pekerja berdasarkan
aktivitasnya, satu-satunya kelompok pekerja yang memiliki satu orang dengan kategori
commuting time >30 menit adalah pekerja pembesian, dimana pekerja tersebut memiliki peran
kerja sebagai mandor utama. Selain pekerja pembesian tersebut, selruh pekerja tinggal di mess
pekerja yang commuting time-nya kurang lebih 5 menit. Hal ini menandakan bahwa pada
variabel ini sudah dilakukan pengendalian dengan baik.
Kerja Sampingan
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden (95%) tidak memiliki kerja
sampingan. Beberapa jenis kerja sampingan yang dilakukan oleh sebagian kecil pekerja
konstruksi diantaranya adalah pembuatan gudang, tukang batu, supir, penjual pulsa elektrik, dan
mandor di proyek konstruksi lainnya.
Kewajiban Sosial dan Keluarga
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
Dari hasil penelitian, sebagian besar responden dengan presentase 67,3% sudah
berkeluarga (memiliki tanggungan/kewajiban untuk menafkahi keluarga), dan 90,1% tidak
memiliki kewajiban sosial saat ini. Jenis kewajiban sosial yang dilakukan oleh pekerja konstruksi
PT. X bulan Mei, tahun 2017 yaitu menjadi anggota karang taruna, anggota organisasi
keagamaan, klub motor, anggota partai, anggota persatuan sepak bola, anggota perserikatan
daerah, serta anggota perserikatan lainnya.
Faktor Risiko Tidak Terkait Kerja
Waktu Kerja dan Kerja Lembur
Hasil penelitian meneukan rata-rata lama waktu kerja total (normal + lembur) pada
responden pekerja konstruksi mencapai 12,17 jam per hari dan 78,36 jam per minggu. Jika
dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian, tingginya rata-rata waktu kerja tersebut sangat
membahayakan karena dapat meningkatkan risiko kelelahan dan kejadian cedera akibat kerja.
Menurut Theron dan Heerden (2011), penelitian membuktikan bahwa risiko terjadinya
insiden/cedera dan gangguan kesehatan akibat kerja meningkat pada pekerja yang bekerja lebih
dari 60 jam dalam seminggu atau lebih dari 12 jam dalam sehari, dengan tingkat kejadian
insiden/cedera akibat kerja dua kali lipat jika dibandingkan dengan pekerja yang bekerja 8 jam
sehari (Queensland Government Department of Employment and Industrial Relations, 2008
dalam Theron dan Heerden, 2011). Selain itu, beberapa penelitian dalam laporan CDC juga
menemukan bahwa pada jam ke-9 dan jam ke-12 dari jam kerja akan terjadi penurunan
kewaspadaan, peningkatan kelelahan, dan penurunan fungsi kognitif pada pekerja (Caruso, et.al.,
2004). Penelitian lain juga menemukan bahwa budaya jam kerja yang panjang (long work hours)
dimana pekerjanya bekerja dalam periode yang lama tanpa istirahat, atau dalam beberapa hari
yang panjang tanpa hari libur (mencapai batas 50 jam perminggu atau lebih), dapat menghasilkan
kondisi kelelahan pada pekerja yang dapat meningkatkan risiko cedera menjadi dua kali lipat
dibandingkan pekerja dengan jam kerja normal (HSE, 2003; Dong, 2005).
Shift Kerja
Hasil penelitian menemukan, distribusi shift kerja pada responden lebih banyak pada
kategori shift pagi, yaitu sebesar 94,1% (95 orang) dan 5,9% lainnya memiliki shift kerja malam.
Hal ini berarti, pada responden, sebagian besar responden memiliki kondisi shift kerja yang
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
cenderung tidak berisiko terhadap kelelahan kerja. Namun, berdasarkan hasil penelitian,
ditemukan bahwa sebagian besar (51%) pekerja konstruksi mengeluhkan bahwa diantara 3 fase
kerja, yaitu bekerja pagi, siang, dan malam, fase yang paling melelahkan adalah bekerja siang
hari (dialami oleh pekerja shift pagi) dengan berbagai alasan, diantaranya karena kondisi
lingkungan yang panas, beban kerja yang lebih berat, terburu waktu, dan kondisi tubuh sudah
mulai letih.
Pada pengaruhnya terhadap kelelahan, jadwal kerja shift akan mengganggu ritme sirkadian
tubuh sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur seseorang, mempengaruhi
kinerja atau performa kerja, serta dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolisme tubuh
(Theron dan Heerden, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh The Circardian Centre di
USA menemukan bahwa pekerja shift, terutama yang bekerja di malam hari, dapat terkena
beberapa gangguang kesehatan, seperti gangguan tidur, kelelahan, penyakit jantung, tekanan
darah tinggi, dan gangguan gastrointestinal, yang ditambah dengan tekanan (stres) yang besar
sehingga meningkatkan risiko kecelakaan (Suma’mur, 2009). Selain itu, pekerja shift malam juga
memliki tingkat kesiagaan yang rendah pada rentang waktu jam 3-5 pagi sehingga dapat
meningkatkan risiko kecelakaan akibat kerja (Workcover Tasmania, 2013). Dengan demikian
dapat disimpulkan, berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, pekerja pada shift kerja malam
cenderung lebih berisiko terhadap kelelahan dibanding dengan pekerja shift pagi.
Masa Kerja
Hasil penelitian menemukan sebagian besar pekerja konstruksi memiliki masa kerja
(waktu bekerja terhitung mulai pertama kali masuk kerja) antara 1 hingga 3 bulan, yaitu dengan
proporsi 61,4% (62 orang), yang artinya sebagian besar pekerja masih tergolong pekerja baru.
Masa kerja dapat memiliki hubungan positif maupun negatif terhadap kelelahan. Peningkatan
masa kerja dapat memiliki dampak negatif terhadap kelelahan melalui efek akumulasi beban
kerja fisik dan tekanan-tekanan kerja yang ditimbulkan, sehingga memicu timbulnya gangguan
pada tubuh seperti penurunan fungsi fisiologi berupa berkurangnya kinerja otot yang ditandai
dengan semakin rendahnya gerakan dan penurunan fungsi psikologi lainnya (Melati, 2013;
Atiqoh, et.al., 2014). Disamping itu, masa kerja juga dapat memiliki dampak positif terhadap
kelelahan. Masa kerja erat kaitannya dengan kemampuan beradaptasi antara pekerja dengan
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
pekerjaan dan lingkungan kerjanya (atau yang biasa disebut sebagai healthy worker effect).
Perbedaan tingkat adaptasi masing-masing pekerja berdasarkan lama kerjanya mempengaruhi
tingkat keluhan kelelahan yang dirasakan. Apabila masa kerja seseorang semakin panjang,
ketegangan yang dirasakan dapat menurun dan aktivitas atau performa kerja dapat meningkat.
Hal tersebut dapat terjadi akibat proses adaptasi pekerja terhadap tekanan atau beban kerja yang
dirasakan selama bekerja. (Atiqoh, et.al., 2014).
Beban Kerja
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden memiliki beban kerja berat yaitu
65,3%, 14,9% memiliki beban kerja sangat berat,sementara 16,8% lainnya memiliki beban kerja
sedang, dan 3% memiliki beban kerja ringan. Diantara seluruh kelompok kerja sesuai aktivitas
kerjanya, kelompok pekerja yang memiliki prevalens pekerja dengan beban kerja berat terbesar
adalah kelompok kerja harian yaitu dengan prevalens 75% (9 orang). Sementara, kelompok
pekerja yang memiliki prevalens pekerja dengan beban kerja sangat berat yang terbesar adalah
kelompok kerja pembesian yaitu dengan prevalens 20,5% (8 orang).
Berdasarkan hasil pengukuran tingkat kelelahan, pekerja harian yang memiliki beban kerja
fisik yang berat dengan prevalens terbesar, termasuk ke dalam kelompok pekerja yang memiliki
proporsi tingkat kelelahan sedang yang tertinggi saat sebelum dan setelah bekerja. Pada
umumnya, aktivitas pekerjaan konstruksi adalah aktivitas kerja yang membutuhkan tenaga ekstra
secara fisik. Artinya, pekerjaan (konstruksi) dengan kerja fisik seperti itu sendiri, sudah dapat
menjadi penyebab meningkatnya risiko kelelahan pada pekerja (Safe Work Australia, 2013).
Belum lagi, jika ditambah dengan beban yang berat. Menurut HSE (n,d) dan Nurmianto (2004),
beban kerja yang berat akan menghasilkan kebutuhan yang berlebihan pada pekerja sehingga
memicu kelelahan, dan menurunkan performa kerja dengan mengurangi kecepatan bekerja dan
meningkatkan risiko terjadinya error saat bekerja. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian pada
pekerja harian yang memiliki tingkat kelelahan sedang dengan proporsi tertinggi diantara
pekerja-pekerja lainnya.
Lingkungan Kerja
Sebagian besar responden merasa iklim kerja di tempat kerjanya saat ini cenderung panas
dengan proporsi 41,6%, sementara 23,8% lainnya merasa iklim kerja di tempat kerjanya saat ini
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
terlalu panas, dan 12,9% (13 orang) merasa iklim kerja saat ini sangat terlalu panas. Alasan yang
banyak dikeluhkan oleh pekerja mengenai klim kerja di tempat kerjanya saat ini adalah cuaca
yang cenderung panas, terlalu panas, dan sangat terlalu panas yang disebabkan oleh faktor alami
yaitu, panas dari uap beton, dan struktur bangunan yang terbuka (memungkinkan matahari
menyorot langsung).
Pada dasarnya, metabolisme tubuh sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan sekitar.
Apabila udara lingkungan panas, tubuh memerlukan banyak istirahat untuk meminimalisasi
metabolismenya. Iklim cuaca yang panas dapat menurunkan kadar cairan dalam tubuh melalui
pengeluaran keringat. Kondisi kehilangan cairan tersebut akan memicu atau meningkatkan
perasaan dan kondisi kelelahan pada seseorang.
Hasil penelitian menemukan, sebagian besar responden yaitu 67,3% merasa pencahayaan
di tempat kerjanya sudah cukup terang, 17,8% merasa terang, 8,9% merasa gelap, 4% merasa di
tempat kerjanya terlalu terang, dan 2% merasa terlalu gelap. Alasan pekerja yang merasa
pencahayaan berlebihan yaitu karena sinar matahari langsung (silau) dan lampu yang terlalu
dekat di basement. Sementara, beberapa alasan yang banyak dikeluhkan pekerja terkait dengan
pencahayaan yang kurang diantaranya karena lampu di bawah lantai 1, lantai 1, dan lantai 2
kurang terang atau terkadang mati saat malam hari.
Pada dasarnya, pencahayaan yang baik di ruang kerja memungkinkan tenaga kerja dapat
melihat objek yang dikerjakannya secara jelas, cepat, dan tanpa upaya yang tidak perlu
(Suma’mur, 2009). Pekerja yang sering atau secara terus menerus bekerja di bawah cahaya yang
redup (insufisiensi) dalam jangka pendek akan mengalami ketidaknyamanan pada mata (eye
strain), berupa nyeri atau kelelahan mata, sakit kepala, mengantuk, dan fatigue (kelelahan)
(Kurniawidjaja, 2012).
Hasil penelitian menemukan, 44,6% responden merasa tingkat kebisingan di tempat
kerjanya cenderung bising, sedangkan 26,7% lainnya merasa agak bising, 9,9% merasa sangat
terlalu bising, 9,9% merasa tidak bising, dan 8,9% merasa terlalu bising. Beberapa alasan yang
paling banyak dikeluhkan adalah akibat suara alat kerja dan perilaku pekerja bongkaran.
Menurut Suma’mur (2009), kebisingan dapat mengakibatkan meningkatnya kelelahan.
Kebisingan di tempat kerja dapat mengganggu konsentrasi seseorang, menyebabkan pengalihan
perhatian (menurunkan tingkat fokus), melemahkan motivasi untuk berfikir dan bekerja,
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
menyebabkan rasa terganggu, dan dapat mempengaruhi sistem pencernaan, sistem
kardiovaskuler, atau sistem faal tubuh lainnya.
Simpulan dan Saran
Simpulan
1. Semua pekerja konstruksi mengalami kelelahan saat sebelum dan setelah bekerja, dan
tingkat kelelahan meningkat setelah bekerja dari 52,5% (40,6% kelelahan sedang, 11,9%
kelelahan tinggi) menjadi 69,3% (60,4% kelelahan sedang, 7,9% kelelahan tinggi, 1%
kelelahan sangat tinggi). Jenis kelelahan pada pekerja pembesian, bekisting, dan harian
adalah kelelahan beban fisik, sementara pada pekerja pengecoran dan MEP adalah
kelelahan umum.
2. Faktor risiko terkait kerja yang mempengaruhi tingkat kelelahan pekerja konstruksi yaitu
usia diatas 25 tahun, perokok, konsumsi minuman berkafein diatas 5 gelas per hari,
konsumsi air minum dibawah 2 liter per hari, dan kewajiban keluarga (sudah berkeluarga).
3. Beberapa faktor risiko tidak terkait kerja yang mempengaruhi tingkat kelelahan pekerja
konstruksi jam kerja lembur diatas 3 jam per hari dan 14 jam per minggu, waktu kerja
diatas 8 jam per hari dan 40 jam per minggu, masa kerja kurang dari 1 bulan, beban kerja
berat, iklim kerja panas, cahaya kerja terlalu terang, dan tingkat kebisingan yang tinggi.
4. Upaya pengendalian yang telah dilakukan PT. X untuk menurunkan risiko kelelahan kerja
yaitu membatasi pekerja yang bekerja lembur hingga pagi hari (hingga pukul 04.00 WIB)
agar tidak masuk kerja sebelum jam 16.00 WIB keesokan harinya, menyediakan mess
pekerja, dan mengadakan kegiatan senam rutin.
Saran
• Kebijakan mengenai waktu kerja maksimal sebaiknya kembali diperketat agar sesuai
dengan UU No. 13 tahun 2003 atau setidaknya diubah perlahan menjadi maksimal 11 --
12 jam dalam siklus 24 jam sehari, maksimal 60 jam seminggu.
• Menambah jumlah pekerja lapangan (buruh konstruksi) agak proses produksi dapat terus
berjalan sementara pekerja tetap bekerja dengan jam kerja (normal + lembur) yang baik
bagi kesehatan dan keselamatannya
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
• Memberikan waktu istirahat kerja (terutama pada jam ke-9 bekerja) dan waktu break
diantara waktu-waktu istirahat kerja
• Melakukan pengenalan situasi dan pelatihan pra-kerja pada pekerja yang direkrut
perusahaan sebelum mulai bekerja.
• Apabila pada lantai 1, 2, dan basement terlalu gelap, sebaiknya fasilitas penerangan seperti
lampu kerja ditambah jumlahnya atau diganti dengan radius sinar yang lebih luas.
• Disarankan agar disediakan minum bagi pekerja setiap lantai atau setiap 2 lantai untuk
memudahkan akses pekerja meminumnya, minimal 4-5 liter perorang.
• Sebaiknya, kondisi mess dapat diperbaiki suhu ruangnya dengan ventilasi, di fogging
secara rutin, dan tidak diperbolehkan melakukan aktivitas kerja seperti pengelasan, di
dekat mess.
• Menyediakan makanan yang sehat dan bergizi dengan harga yang terjangkau sebagai
makan yang dijual di kantin pekerja
• Memberikan pengetahuan kepada pekerja mengenai waktu kerja yang baik dan risiko yang
dapat terjadi apabila memaksakan tubuh untuk tetap bekerja saat tubuh seharusnya sudah
beristirahat (risiko kelelahan kerja).
• Disarankan melakukan promosi kesehatan mengenai healthy lifestyle
• Melakukan pemeriksaan kesehatan, terutama pada penyakit-penyakit yang berbahaya
(hazard-based) jika diderita oleh pekerja di proyek konstruksi (termasuk penyakit yang
dapat menjadi penyebab utama, memicu, atau memperparah kelelahan).
Daftar Pustaka
Adiatmika, I. (2009). Total Ergonomic Approach in Decreasing Quality of Fatigue of Metal Crafters. Indonesian Psychological Journal, 25(1), pp.71-78.
Anonim. (2013). Mengatasi DOMS (Delayed Onset Muscle Soreness) / Pegal Setelah Bangun Tidur | Cycling Indonesia. [online] Tersedia di: http://www.cycling-id.com/threads/mengatasi-doms-delayed-onset-muscle-soreness-pegal-setelah-bangun-tidur.993/ [Diakses pada 10 Juli 2017].
Atiqoh, J., et al. (2014). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja pada Pekerja Konveksi Bagian Penjahitan di CV Aneka Garment Gunungpati Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol.2(2) pp.1-8.
Australian Safety and Compensation Council, 2006. Summary of Recent Indicative research: Work-Related Fatigue. Australian : Australian Government.
Beurskens, JHM 2000, ‘Fatigue among working people: validity of a questionnaire measure’ Occupational Environment Medicine, vol. 57, pp. 353 -- 357.
Biro Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumhan Rakyat Republik Indonesia, (2016). Ekspor Jasa Konstruksi Indonesia Ditargetkan Mencapai Rp 6 Triliun. [online] PU-Net. Tersedia di: http://pu.go.id/m/main/view/11175 [Diakses pada 14 Desember 2016].
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
Biswas, L. (2013). 8 Work-Phase of a Building Construction Project, BCT-2. [online ]Tersedia di: http://www.acivilengineer.com/2013/10/Work-Phases-of-a-building-Construction-BCT-2.html [Diakses pada 2 Januari 2017].
Boylan, I. (2011). Fatigue Management in the Workplace. [online] Tersedia di: http://www.bssnz.co.nz/files/d7d6b154869a5ea1097895f2b723727bn/47/Fatigue%20management%20-%20Better%20sleep%20solutions%20BSSNZ%20Expo16.pdf [Diakses pada 28 Desember 2016].
Bridger, R.S. (2003). Introduction to Ergonomics 2nd Edition. London: Taylor & Francis. Broemmel, M. (2010). Smoking & Fatigue. [online] livestrong.com. Available at: http://www.livestrong.com/article/261182-
smoking-fatigue/ [Diakses pada 25 April 2017]. Brown, J. and Antuñano, M.D., M. (n.d.). Circadian Rhythm Disruption and Flying. [online] Tersedia di:
https://www.faa.gov/pilots/safety/pilotsafetybrochures/media/Circadian_Rhythm.pdf [Diakses pada 27 Desember 2016]. Buckworth, J 2013, Exercise Psychology (2nd Ed), Champaign IL: Human Kinetics. Cambridge Dictionary, (n.d.). Commute Meaning in the Cambridge English Dictionary. [online] Dictionary.cambridge.org.
Tersedia di: http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/commute [Diakses pada 1 Januari 2017]. Cambridge University Press, (2015). Workload. [online] Tersedia di: http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/workload
[Diakses pada 31 Desember 2016]. Canadian Centre for Occupational Health and Safety, (2012). Aging Workers. [online] Tersedia di:
https://www.ccohs.ca/oshanswers/psychosocial/aging_workers.html [Diakses pada 1 Januari 2017]. Canadian Centre for Occupational Health and Safety. (2012). Fatigue. [online] Tersedia di:
https://www.ccohs.ca/oshanswers/psychosocial/fatigue.html [Diakses pada 15 Desember 2016]. Caruso CC 2004, Overtime and Extended Work Shifts: Recent Findings on Illnesses, Injuries, and Health Behaviours [online]
Tersedia di: http://www.cdc.gov/niosh/docs/2004-143/pdfs/2004-143.pdf [Diakses pada 27 Desember 2016]. Centers for Disease Control and Prevention. (2015). Insufficient Sleep is a Public Health Problem. [online] Tersedia di:
http://www.cdc.gov/features/dssleep/ [Diakses pada 26 Desember 2016]. Darisman, M. (2011). OSH Status Report - Indonesia: Invisible Victims of Development. [online] Tersedia di:
http://www.amrc.org.hk/sites/default/files/Indonesia_1.pdf [Diakses pada 15 Desember 2016]. Departemen Kesehatan RI 2011, Pedoman Praktis Memantau Status Gizi Orang Dewasa [online] Tersedia di:
http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/10/pedpraktis-stat-gizi-dewasa.doc [Diakses pada 28 Desember 2016]. Departemen Pekerjaan Umum RI, (2008). Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Konstruksi. [online] Tersedia di:
http://pu.go.id/uploads/services/infopublik20120418140900.pdf [Diakses pada 2 Januari 2017]. EHS Staff. (2001). Construction Supplement: Hydration -- Keeping Workers Cool and Comfortable. [online] Tersedia di:
http://ehstoday.com/news/ehs_imp_34497 [Diakses pada 10 Juli 2017]. Farlex, (2012). ergotropic. [online] Tersedia di: http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/ergotropic [Diakses pada 27
Desember 2016]. Gov.UK, (2016). Rest breaks at work [online] Tersedia di: https://www.gov.uk/rest-breaks-work/overview [Diakses pada 28
Desember 2016]. Grandjean, E 1979, ‘Fatigue in Industry’ British Journal of Industrial Medicine, vol. 36, pp. 175 -- 186. Gupta, AK 2006, Industrial Safety & Environment, New Delhi: Laxmi Publication (P) Ltd. Harper Collins Publishers, (n.d.). Commuting | Definition, meaning & more | Collins Dictionary. [online] Available at:
https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/commuting [Accessed 1 Jan. 2017]. Hastuti, D. (2015). Hubungan Antara Lama Kerja dengan Kelelahan Pada Pekerja Konstruksi di PT. Nusa Raya Cipta
Semarang. [online] Tersedia di: http://lib.unnes.ac.id/23122/1/6411411206.pdf [Diakses pada 16 Desember 2016]. Health and Safety Executive, (n.d.). What breaks am I entitled to under the working time regulations?. [online] Tersedia di:
http://www.hse.gov.uk/contact/faqs/workingtime.htm [Diakses pada 28 Desember. 2016]. Hide, S. et.al. (2003). Causal Factors in Construction Accidents. [online] Tersedia di:
http://www.hse.gov.uk/research/rrpdf/rr156.pdf [Diakses pada 15 Desember 2016]. Hill, R. (1998). Stress and Fatigue Their Impact on Health and Safety in the Workplace. [online] Tersedia di:
http://www.worksafe.govt.nz/worksafe/information-guidance/all-guidance-items/stress-and-fatigue-their-impact-on-health-and-safety-in-the-workplace/stress.pdf [Diakses pada 28 Desember 2016].
Human and Safety Executive, (n.d.). Human Factors: Workload. [online] Tersedia di: http://www.hse.gov.uk/humanfactors/topics/workload.htm [Diakses pada 31 Desember 2016].
ICAO. 2002. Fundamental Human Factors Concepts. Civil Aviation Authority. International Labour Office Geneva, (2004). Overtime. [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---
ed_protect/---protrav/---travail/documents/publication/wcms_170708.pdf [Diakses pada 27 Desember 2016].
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
International Labour Office Geneva, (2004). Rest Periods. [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_protect/---protrav/---travail/documents/publication/wcms_170718.pdf [Diakses pada 28 Desember 2016].
International Labour Organization, (2004). Shift Work [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_protect/---protrav/---travail/documents/publication/wcms_170713.pdf [Diakses pada 26 Desember 2016].
International Labour Organization, (2005). Facts on Safety at Work. [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/documents/publication/wcms_067574.pdf [Diakses pada 14 Desember 2016].
International Labour Organization, (2011). Working time in the twenty-first century [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_protect/---protrav/---travail/documents/publication/wcms_161734.pdf [Diakses pada 25 Desember 2016].
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, (n.d.). Informasi Cerdik: Istirahat. [online] Tersedia di: http://promkes.depkes.go.id/wp-content/uploads/pdf/publikasi_materi_promosi/Informasi%20CERDIK/6.%20Istirahat%20Cukup_285x285mm.pdf [Diakses pada 1 Januari 2017].
Keputusan Menteri Nomor 102 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur. Kroemer, K.H.E. & Grandjean, E. (1997). Fitting the Task to the Human 5th edition. Philadelphia: Taylor & Francis. Kurniawidjaja, L.M. (2011). Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. UI Press Kuswana, W.S. (2014). Ergonomi dan K3. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Künn-Nelen, A. (2015). Does Commuting Affect Health?. Health Economics, 25(8), pp.984-1004. Labour Department Occupational Safety and Health Branch Hong Kong, (2003). Guide on Rest Breaks. [online] Tersedia di:
http://www.labour.gov.hk/eng/public/os/D/B129.pdf [Diakses pada 28 Desember2016]. Lemeshow, S. and David, J. (1997) Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Limbong, N.et.al. (2015). Gambaran Pengukuran Kelelahan Kerja dengan Metode Objektif dan Subjektif Pada Tenaga Kerja di
PT. Sastramas Estetika Megamas Kota Manado. [online] Tersedia di: http://fkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/Jurnal-Nugrah-Y.-Limbong.pdf [Diakses pada 16 Desember 2016].
Markkanen, P. (2004). Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia. [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/publication/wcms_120561.pdf [Diakses pada 15 Desember 2016].
Melati, S. (2013). Hubungan Antara Umur, Masa Kerja dan Status Gizi dengan Kelelahan Kerja Pada Pekerja Mebel di Cv. Mercusuar dan Cv. Mariska Desa Leilem Kecamatan Sonder Kabupaten Minahasa. [online] Tersedia di: http://fkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2013/08/Jurnal-Srini-Melati-091511186-KESKER.pdf [Diakses pada 31 Desember 2016].
Meterissian, S. (2008). Toil and Trouble?: Should Residents be Allowed to Moonlight?. Can Fam Physician, vol 54(10) pp.1367-1369.
Millar, M. (2012). Measuring Fatigue [online] Tersedia di: http://www.icao.int/safety/fatiguemanagement/FRMSBangkok/4.%20Measuring%20Fatigue.pdf [Diakses pada 27 Desember 2016].
Morrow, LS. (2010). The Psychosocial of Commuting: Understanding Relationships Between Time, Control, Stress, and Well-Being [Disertasi] Program Doktor, Filosofi Universitas Connecticut, Amerika Serikat.
Murti, B. (2010). Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. National Health Service. (2015). Water, drinks and your health - Live Well - NHS Choices. [online] Tersedia di:
http://www.nhs.uk/Livewell/Goodfood/Pages/water-drinks.aspx [Diakses pada 10 Juli 2017]. National Health Service. (2015). Why am I tired all the time? - Live Well - NHS Choices. [online] Tersedia di:
http://www.nhs.uk/Livewell/tiredness-and-fatigue/Pages/why-am-I-tired.aspx [Diakses pada 10 Juli 2017]. O’Neill, C, Panuwatwanich, K 2013, The Impact of Fatigue on Labour Productivity: Case Study of Dam Construction Project in
Queensland ‘4th International Conference on Engineering, Project, and Production Management, pp. 993 -- 1005. Occupational Safety and Health Administration United States, (n.d.). Illumination. - 1926.56 | Occupational Safety and Health
Administration. [online] Tersedia di: https://www.osha.gov/pls/oshaweb/owadisp.show_document?p_table=STANDARDS&p_id=10630 [Diakses pada 31 Desember 2016].
Occupational Safety and Health Administration United States, (n.d.). OSHA's Campaign to Prevent Heat Illness in Outdoor Workers | Protective Measures to Take at Each Risk Level - Actions for High Risk Conditions: Heat Index is 103 degrees
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
F to 115 degrees F | Occupational Safety and Health Administration. [online] Tersedia di: https://www.osha.gov/SLTC/heatillness/heat_index/protective_high.html [Diakses pada 10 Juli 2017].
Parrington, T. (n.d.). Smoking & Fatigue. [online] eHow. Available at: http://www.ehow.com/about_5467658_smoking-fatigue.html [Diakses pada 25 April 2017].
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 70 Tahun 2016 tentang Standar dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor
Kimia di Tempat Kerja. Priatno, T. (2000). Perbedaan Kelelahan Dengan Pemberian Air Minum Pada Pekerja Industri Pengecoran Logam Kembar Jaya
Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. Price, M 2011, The Risks of Night Work [online] Tersedia di: http://www.apa.org/monitor/2011/01/night-work.aspx [Diakses
pada 28 Desember 2016]. Sa'abah, M. (2001) Bagaimana awet muda dan panjang usia. Jakarta: Gema Insani, pp.13-22. Safety Institute of Australia (SIA), 2012. OSH Body of Knowledge: Psychosocial Hazard Fatigue. Australian OHS Education
Accreditation Board. Safe Work Australia, (2013). Guide for Managing the Risk of Fatigue at Work [online] Tersedia di:
http://www.safeworkaustralia.gov.au/sites/SWA/about/Publications/Documents/825/Managing-the-risk-of-fatigue.pdf [Diakses pada 29 Desember 2016].
Safe Work Australia, (2015). Work-Related Injuries and Fatalities in Construction, Australia, 2003 to 2013. [online] Tersedia di: http://www.safeworkaustralia.gov.au/sites/SWA/about/Publications/Documents/926/fatalities-in-construction.pdf [Diakses pada 15 Desember 2016].
Saito, K. (1999). Measurement of Fatigue in Industries. Industrial Health, vol.37(2) pp.134-142. Skapinakis, Petros. Glyn, dan Howard Meltzer. 2000. Clarifying The Relationship Between Unexplained Chronic Fatigue and
Psychiatric Morbidity: Results From a Community Survey in Great Britain. Am J Psychiatry; 157:1492-1498. Sucita, I. K., Broto, A. B., 2011, Identifikasi dan Penanganan Risiko K3 Pada Pryek Konstruksi Gedung. Poli Teknologi Vol. 10
No.1, pp. 83 -- 92. Suma’mur, P.K. (2009). Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Sagung Seto. Susetyo, et.al. (2012). Pengaruh Shift Kerja Terhadap Kelelahan Karyawan dengan Metode Bourdon Wiersma dan 30 Items of
Rating Scale. Jurnal Teknologi AKPRIND, 5(1). Suyatno. (2009). Penentuan Status Gizi. [online] Tersedia di: suyatno.blog.undip.ac.id/files/2009/11/pengertian-penentuan-
status-gizi.pdf [Diakses pada 26 Desember 2016]. Tarwaka, et.al 2004, Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Produktivitas, Surakarta: Uniba Press. Tarwaka (2010). Ergonomi Industri Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi dan Aplikasi di Tempat Kerja. Solo: Harapan Press
Solo. Theron, WJ, Heerden, GMJ 2011, ‘Fatigue Knowledge – a new lever in safety management’ The Journal of The Southern
African Institute of Mining and Metallurgy, vol. 111, pp.1 -- 10. Toyib, Y. (2015). Rencana Strategis 2015-2019 Menjadi Pembina Konstruksi dan Investasi yang Berintegritas Tinggi, Andal,
dan Kokoh. [online] Tersedia di: http://binakonstruksi.pu.go.id/v2/file/1456739044-renstra2015.pdf [Diakses pada 14 Desember 2016].
Tucker, P, Folkard, S 2012, Working Time, Health and Safety: a Research Paper Study [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_protect/---protrav/---travail/documents/publication/wcms_181673.pdf [Diakses pada 28 Desember 2016].
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. White, J, Beswick, J 2003, Working Long Hours [online] Tersedia di: http://www.hse.gov.uk/research/hsl_pdf/2003/hsl03-02.pdf
[Diakses pada 25 Desember 2016]. Winwood, Peter.C, Kurt Lushington, Anthony H. Winefield. 2006. Further Development and Validation of The Occupational
Fatigue Exhaustion Recovery (OFER) Scale. JOEM. Volume 48 Number 4 WorkCover Tasmania. (2013). Fatigue Management. [online] Tersedia di:
http://worksafe.tas.gov.au/__data/assets/pdf_file/0004/288202/Fatigue_management_fact_sheet.pdf [Diakses pada 26 Desember 2016].
Work Safe New Zealand, (2014). Fatigue in Construction. [online] Tersedia di: http://www.worksafe.govt.nz/worksafe/information-guidance/all-guidance-items/fatigue-in-construction-fact-sheet/fatigue-in-construction-fact-sheet [Diakses pada 16 Desember 2016].
World Health Organization. (1996). Penuaan dan Kapasitas Kerja. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017
Zhang, M. et.al. (2015). Influence of Fatigue on Construction Workers’ Physical and Cognitive Function. [online] Tersedia di: http://occmed.oxfordjournals.org/content/early/2015/02/20/occmed.kqu215.full.pdf [Daikses pada 16 Desember 2016].
Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017