Fungsi Beschikking Sebagai Pengisi Ketiadaan Aturan
-
Upload
bonethankz -
Category
Documents
-
view
189 -
download
1
Transcript of Fungsi Beschikking Sebagai Pengisi Ketiadaan Aturan
EKSES FUNGSI BESCHIKKING SEBAGAI
PENGISI KETIADAAN ATURAN DALAM
PROSES PELAYANAN PUBLIK
HEDI YANUARDI TRIPRAKOSO
110110090185
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
DIPATIUKUR – BANDUNG
1
DAFTAR ISI
BAB I Latar Belakang 3
BAB II Perumusan Masalah 4
BAB III Landasan Teori Hukum Administraasi Negara 6
BAB IV Pembahasan 11
BAB V Daftar Pustaka 15
2
BAB I
Latar Belakang
Negara Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan Trias Politica, dimana
kekuasaan dalam negara dipisahkan menjadi tiga : eksekutif, legislatif, yudikatif.
Eksekutif bertugas untuk melaksanakan Undang-Undang, legislatif bertugas
untuk membuat Undang-Undang, dan yudikatif yang memiliki kekuasaan untuk
mengadili. Masing-masing kekuasaan tersebut diberikan kewenangan istimewa
agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Menurut teori yang
dikemukakan oleh Montesquieu ini, sebaiknya diantara ketiga kekuasaan
tersebut terpisah secara absolut untuk menciptakan suatu negara yang ideal.
Pemerintah sebagai penyelenggara administrasi negara dan pemegang
kekuasaan eksekutif, difungsikan untuk melaksanakan tugas pelayanan publik,
dan untuk melaksanakan tugasnya maka pemerintah diberi kewenangan untuk
membuat suatu ketetapan atau keputusan yang bersifat administratif, yang
disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Beschikking.
Dengan diberikannya hak istimewa untuk membuat Ketetapan Tata Usaha
Negara, maka pemerintah diharapkan dapat mengisi kekosongan dari suatu
masalah yang belum diatur dan mencegah terjadinya stagnasi dalam
pelaksanaan tugasnya berkaitan dengan pelayanan publik.
3
BAB II
Permasalahan
Perlu diketahui bahwa pada hakikatnya, terdapat perbedaan antara ketetapan
yang dimaksud dalam tulisan ini dengan aturan. Dilihat dari peruntukannya,
ketetapan dibuat untuk menyelesaikan suatu hal konkrit yang telah diketahui
terlebih dahulu oleh administrasi negara, sedangkan peraturan dibuat untuk
menyelesaikan hal-hal yang belum dapat diketahui terlebih dahulu dan yang
mungkin akan terjadi (hal umum).1 Dilihat dari sifatnya, ketetapan atau
beschikking bersifat administratif, tidak bersifat mengatur (regulatif) seperti
peraturan. Ketetapan yang diberikan kepada pejabat administrasi negara
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, tidak bisa bersifat mengatur seperti
Undang-Undang yang hak pembuatannya diberikan kepada DPR sebagai
pemegang kekuasaan legislatif. Tetapi, dengan sistem yang kita anut
(Indonesia), tidak terdapat apa yang disebut dengan pemisahan kekuasaan yang
tegas, walaupun Indonesia tampak seperti menganut sistem trias politica.
Presiden tidak hanya terbatas dalam eksekutif saja melainkan terlibat juga dalam
ranah legistatif, bahkan yudikatif. Kondisi ini menimbulkan keadaan dimana
eksekutif memiliki kekuasaan yang lebih besar dari yang ideal menurut teori trias
politica. Hal-hal tersebut membuat kekuasaan eksekutif yang dipegang
pemerintah melakukan ekses terhadap kekuasaan lain. Dalam praktek, banyak
materi yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang, diatur dalam beschikking.
Dengan demikian, maka jelas bahwa beschikking sebagai produk dari kekuasaan
eksekutif yang memiliki kekuasaan super di Indonesia, sangat besar
pengaruhnya. Maka dari itu, maka tidaklah salah kita berasumsi bahwa rakyat
memiliki harapan yang sangat besar terhadap beschikking untuk dapat
mencegah stagnasi dalam proses pelayanan publik. Tekanan publik sangat
besar, ketepatan dan keefektifan beschikking seringkali dipertanyakan,
mengingat besarnya harapan publik tersebut.
1 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, hal. 71.
4
Kesulitan timbul manakala pemerintah tidak dapat memenuhi keinginan dari
seluruh rakyat. Hal tersebut tidak dapat terelakan, bahwa pasti ada kelompok
yang merasa dirugikan, dan ada kelompok yang diuntungkan. Timbul tekanan
dari kelompok yang merasa dirugikan itu, mengakibatkan pemerintah terlihat
seperti tidak bisa untuk melakukan tugasnya dengan baik.
BAB III
5
Landasan Teori
Pemerintah dalam terminologi Bahasa Inggris berarti badan yang terdiri dari
orang-orang yang melaksanakan wewenang dan administrasi hukum dalam
suatu negara. Dalam urusan kenegaraan, pemerintah adalah pemegang
kekuasaan eksekutif. Tugas utamanya adalah mengurusi kepentingan umum.
Kepentingan umum disini adalah kepentingan yang dikehendaki oleh sebagian
besar rakyat, bukan keseluruhan. Dan untuk melaksanakan tugas yang istimewa
tersebut, maka pejabat tata usaha negara diberikan hak untuk membuat suatu
ketetapan berkaitan dengan tugasnya untuk mengurusi kepentingan umum.
Ketetapan yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara itu disebut beschikking.
Di Indonesia, istilah beschikking diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins.2
Menurut Prins, Ketetapan Tata Usaha Negara atau Beschikking adalah suatu
tindakan hukum sepihak dibidang pemerintahan yang dilakukan okeh alat-alat
penguasa berdasarkan kewenangan yang luar biasa.3 Sedangkan Keputusan
Tata Usaha Negara atau beschikking menurut UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No 9
Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Bila definisi dari Prins dagabungkan dengan pengertian beschikking secara
yuridis dalam UU No. 5 Tahun 1986, maka didapat unsur-unsur sebagai berikut :
Kehendak sepihak,
Dikeluarkan oleh bidang pemerintahan,
Didasarkan kepada kewenangan hukum yang bersifat publik,
Penetapan tertulis,
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
2 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, hal. 1443 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, hal 148
6
Bersifat konkret, individual, dan final,
Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Beschikking dikatakan merupakan kehendak sepihak dikarenakan secara teoritis,
hubungan hukum publik senantiasa bersifat sepihak atau bersegi satu. Hukum
publik berbeda dengan hukum perdata yang selalu bersifat dua pihak
dikarenakan adanya kesamaan kedudukan dan asas otonomi yang memberikan
kebebasan pihak yang bersangkutan untuk mengadakan hubungan hukum.4
Jadi, ketetapan merupakan hasil dari tindakan hukum yang dituangkan dalam
bentuk tertulis, sebagai wujud dari motivasi dan keinginan pemerintah.5 Menurut
Soehardjo, beschikking dikatakan bersifat sepihak dikarenakan inisiatif
sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Pemerintah melakukan tindakan hukum
tersebut dengan sepihak, tanpa persetujuan atau kehendak dari pihak lain.
Mengenai sifat beschikking yang konkret, individual dan final sebagaimana
disebutkan dalam penjelasan UU No. 5 Tahun 1986, konkret berarti objek yang
diputuskan dalam beschikking tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat
ditentukan. Individual artinya KTUN tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu,
baik alamat maupun hal yang dituju. Final berarti beschikking sudah definitif,
sehingga dapat menimbulkan akibat hukum.
Pembuatan dan penerbitan ketetapan harus didasarkan kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Wewenang yang dimiliki pemerintah berasal
dari peraturan perundang-undangan, itu berarti tanpa ada perundang-undangan
yang mengaturnya, pemerintah tidak mempunyai dasar kewenangan untuk
melakukan beschikking (walaupun pada akhirnya nanti ada kewenangan bebas
dan diskresi (freies ermessen) yang memiliki syarat-syarat khusus lain atau
melalui atribusi, delegasi, dan mandat).
Beschikking adalah suatu hak istimewa yang diberikan kepada pemerintah, dan
karena pengaruhnya sangatlah besar, maka hak istimewa tersebut tidak
diberikan secara cuma-cuma, tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang
sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Prof. Van der Pot menyebut
4 Amrullah Salim, Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa Menurut Hukum Perdata, hlm. 75 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara hal. 152
7
empat syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan dapat berlaku sebagai
ketetapan sah, yaitu6 :
Ketetapan harus dibuat oleh alat (orgaan) yang berwenang (bevoegd)
membuatnya,
Karena ketetapan itu suatu pernyataan kehendak, maka pembentukan
kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis,
Ketetapan harus diberi bentuk yang ditetapkan dalam peraturan yang
menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga memperhatikan cara
membuat ketetapan itu, bilamana cara itu ditetapkan dengan tegas dalam
peraturan dasar tersebut.
Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan
dasar.
Apabila syarat yang dikemukakan diatas tadi tidak semuanya terpenuhi, belum
tentu juga bahwa beschikking tersebut menjadi tidak sah. Van der Wel
menyimpulkan bahwa kekurangan dibagi menjadi essentieel dan non-essentieel,
dan kekurangan non-essentieel tidak dapat mempengaruhi keberlakuan suatu
ketetapan ( walaupun pendapat ini ditentang keras oleh Stellinga ). Jadi, untuk
melihat sah atau tidaknya suatu beschikking, tidak bisa kita melihat hanya hal-hal
yang umum saja, tetapi harus dijalankan secara kasuistis atau case per case.
Berkenaan dengan kualitas Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat tiga teori
atau metode yang penting untuk dipertimbangkan dalam pembuatan
Beschikking, yaitu Materiele Theorie dari Leopold Popisil, Formelle Theorie dari
Rick Dikerson, dan Filosofische Theorie oleh Jeremy Bentham, yang akan
diuraikan lebih lanjut dibawah :
Materiele Theorie berfikir bahwa produk hukum suatu negara dapat terdiri
dari dua kelompok besar ; dibuat oleh penguasa (authoritarian law) dan yang
hidup dalam masyarakat ( common law). Keduanya memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing yang berbanding terbalik. Dalam teori ini, produk
6 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, hal. 78
8
hukum yang baik adalah hukum yang bermaterikan common law, tetapi
berwadahkan authoritian law.
Formelle Theorie, menganggap bahwa produk hukum yang baik harus
memenuhi tiga syarat, yaitu : tuntas mengatur permasalahannya; sedikit
mungkin memuat delegasi van wetgeving, yaitu pelimpahan kekuasaan
wewenang membuat UU dari badan pembuat UU (legislatif) kepada
administrasi negara; dan sesedikit mungkin memuat ketentuan yang bersifat
elastis.
Filosofische Theorie mengatakan bahwa suatu produk hukum yang baik
harus berlaku secara filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Berkaitan dengan kekuasaan eksekutif yang meluas, terutama dalam hal
pembuatan peraturan perundang-undangan, dicantumkan dalam penjelasan
Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
bahwa ‘peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang bersifat
mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat
bersama Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta
semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, yang juga mengikat
umum’.
Dalam negara kesejahteraan, tugas pemerintah tidak hanya terbatas untuk
melaksanakan Undang-Undang yang telah dibuat oleh lembaga legislatif, tetapi
juga berkewajiban untuk menyelenggarakan kepentingan umum, atau
mengupayakan kesejahteraan sosial yang dalam menyelenggarakan kewajiban
itu pemerintah diberi kewenangan untuk campur tangan dalam kehidupan
masyarakat, dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum.7
Pemisahan yang absolut daripada kekuasaan-kekuasaan seperti yang
dikehendaki oleh Montesquieu (trias politica) sudah terang tidak mungkin.8
Konsep trias politica murni dimana eksekutif hanya berfungsi sebagai pelaksana
Undang-Undang saja tanpa memiliki kewenangan untuk membuat peraturan
perundang-undangan, seiring dengan perkembangan tugas-tugas negara dan
7 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, hal. 138.8 Mac Iver, Negara Modern, hal. 330.
9
pemerintahan, sudah tidak relevan lagi, dan juga menemui banyak kendala
dalam pelaksanaannya. Tiap negara modern membeda-bedakan dan mencoba
sedikit banyak untuk menegaskan ketiga fungsi pemerintahan.9 Di indonesia
misalnya, konsep trias politica tidak dianut secara penuh, tetapi telah disesuaikan
dengan apa yang dirasa lebih tepat untuk kondisi di Indonesia.
BAB IV
Pembahasan
9 Mac Iver, Negara Modern, fal. 331.
10
Pemerintah dalam konsep negara kesejahteraan, tidak hanya bertugas
melaksanakan Undang-Undang yang dibuat oleh legistaltif, tetapi juga harus
melaksanakan kepentingan umum. Dalam rangka melaksanakan tugasnya
melaksanakan kepentingan umum tersebut, pemerintah juga harus diberi suatu
kewenangan untuk membuat suatu ketetapan, tidak hanya yang bersifat
administratif, tetapi juga yang bersifat regulatif. Bila melihat kondisi tersebut,
menurut saya istilah beschikking sekarang sudah meluas, tidak terbatas hanya
pada pembuatan ketetapan, tetapi juga pembuatan aturan. Dalam praktik, diakui
bahwa organ legislatif tidak memiliki instrumen pelaksana, waktu, dan sumber
daya yang memadai untuk merumuskan secara detail berbagai hal yang
berkenaan dengan Undang-Undang sehingga diserahkan kepada organ
eksekutif.10 Dan sebenarnya, kewenangan tersebut didapatkan oleh
pemerintahan dari Undang-Undang yang dibuat oleh legislatif.
Kewenangan untuk membuat suatu ketetapan (beschikking dalam arti luas),
diberikan kepada pemerintah dengan harapan beschikking dapat mengisi
ketiadaan aturan, sedangkan hal yang akan dilakukan pemerintah tidak memiliki
dasar hukumnya, padahal hal tersebut berkaitan dengan pelaksanaan tugas
pemerintah mengenai proses penyelenggaraan kepentingan umum. Legislatif
tidak memiliki sumber daya sebagus yang dimiliki pemerintah mengenai hal
konkret yang sedang terjadi, sehingga dalam hal proses pelayanan publik,
pemerintah lebih mengerti. Maka dari itu, didasari oleh pemikiran tadi,
pemerintahlah yang seharusnya membuat ketetapan (termasuk aturan)
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kepentingan umum. Bila
kita mengikuti jalan pemikiran tersebut, maka tepatlah perluasan dari beschikking
yang diberikan kepada pemerintah, dan karenanya seharusnya pemerintah dapat
lebih maksimal dalam mengurusi kepentingan umum, terutama yang berkaitan
dengan proses pelayanan publik. Proses pelayanan publik menjadi lebih lancar,
tanpa terhambat oleh kekosongan aturan. Kekosongan aturan tersebut
dampaknya akan terasa oleh publik sebagai objek, sehingga proses pelayanan
publik yang merupakan tugas pemerintah menjadi terhambat dikarenakan
pemerintah tidak memilik payung hukum untuk melakukan itu.
10 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, hal. 139
11
Berangkat dari hal-hal yang dikemukakan diatas, menurut saya sekiranya kurang
tepat apabila pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, dikatakan
melakukan ekses terhadap kekuasaan lain. Mungkin bila kita melihat dari teori
trias politica, terdapat ketidaksesuaian dikarenakan seharusnya untuk
melaksanakan sebuah negara yang stabil, dilakukan pemisahan kekuasaan
secara mutlak. Tetapi bila kita melihat UUD 1945 sebagai dasar negara
Indonesia, pemerintah telah melakukan tugasnya sesuai dengan apa yang
diamanatkan oleh UUD 1945. Maka dari itu, di Indonesia tidak bisa hal-hal
mengenai pembuatan beschikking yang bersifat mengatur, dikatakan melakukan
ekses terhadap fungsi legislatif, dikarenakan UUD yang mengamanatkannya.
Selain itu, beschikking yang sah juga wajib untuk patuh kepada syarat-syarat
yang ditentukan, yang sejatinya berada di Undang-Undang yang dibuat legislatif,
agar dianggap sah. Maka sekarang tampak lebih jelas lagi bahwa pemerintah
hanya melaksanakan tugasnya, yaitu melaksanakan Undang-Undang, yang
mana didalam Undang-Undang tersebut prmerintah diberikan wewenang untuk
membuat suatu ketetapan yang bersifat administratif dan juga mengatur. Singkat
kata, pemerintah membuat suatu peraturan, karena diberikan kewenangan oleh
peraturan yang lebih tinggi.
Mengenai tekanan yang dilakukan oleh kelompok yang merasa dirugikan,
menurut saya sampai kapanpun hal itu akan selalu ada, menjadikannya sebuah
bumbu utama didalam jalannya pemerintahan. Pemerintah tidak dapat, secara
sempurna, melaksanakan keinginan dari keseluruhan rakyat tanpa
mengorbankan apapun. Dalam pencapaiannya, seringkali pemerintah membuat
sebuah ketetapan, dimana ketetapan tersebut menargetkan hanya kepada
kelompok tertentu saja, dan kelompok lain merasa dirugikan. Tugas pemerintah
adalah melaksanakan kepentingan publik, dan arti dari kepentingan publik itu
sendiri bukanlah kepentingan keseluruhan, tetapi sebagian besar. Pemerintah
harus tetap memilih mana yang sekiranya lebih berpengaruh dalam hal
mewujudkan kesejahteraan sebesar-besarnya untuk orang sebanyak-banyaknya,
seperti yang dikatakan oleh Jeremy Bentham. Maka dari itu, tugas dari
pemerintah adalah memilih mana yang termasuk kepentingan publik, mana yang
dampaknya lebih baik terhadap kesejahteraan, dan setelah mengetahui apa
12
yang hendak dicapai, barulah pemerintah mengupayakannya dan membuat
suatu beschikking yang merupakan suatu komitmen dari pemerintah dalam
tugasnya melaksanakan kepentingan publik.
Maka dari itu, tidak tepatlah pemerintah – dalam melaksanakan fungsi
beschikking – dikatakan melakukan ekses terhadap kekuasaan lainnya, selama
beschikking tersebut memenuhi syarat-syaratnya dan dinyatakan sah, dan juga
harus logis, dapat diterima oleh rakyat. Kelogisan tersebut dapat diperoleh
dengan cara transparansi, memberitahukan kepada masyarakat tentang kondisi
yang sebenarnya, karena kepentingan merekalah yang diatur. Rakyat harus
mengetahui apakah pemerintah – yang telah diberikan tugas oleh rakyat untuk
mengatur kepentingannya – telah melakukan tugasnya dengan baik. Rakyat
sebagai stakeholder terbesar dalam negara, sebaiknya mengetahui apa yang
hendak dicapai, apa pilihan yang tersedia, apa resikonya bila tidak dicapai,
kesulitan-kesulitan yang mungkin akan timbul, dll.
Dengan segala kewenangan istimewa yang diberikan kepada kekuasaan
eksekutif ini, maka menurut saya jelas bahwa Indonesia menganut konsep
welfare state. Maka dari itu, tugas pemerintah tidak terbatas dalam
melaksanakan Undang-Undang, tetapi juga menyelenggarakan kepentingan
publik. Beschikking, sebagai salah satu dari alat pemerintah untuk melakukan
tugasnya tersebut, dan didalamnya bukan hanya terdapat unsur-unsur yuridis
saja, tetapi juga ada harapan masyarakat yang sangat besar. Maka dari itu, perlu
diingat bahwa beschikking diberikan kepada pemerintah untuk mengisi
kekosongan aturan, yang pada akhirnya kembali lagi ke rakyat, yaitu mencegah
stagnasi proses pelayanan publik yang diakibatkannya.
Selain itu, perlu diperhatikan pula metode-metode yang harus dipertimbangkan
agar beschikking yang dibuat oleh pemerintah efektif, menggunakan tiga metode
yaitu Materiele Theorie dari Leopold Popisil, Formelle Theorie dari Rick Dikerson,
dan Filosofische Theorie oleh Jeremy Bentham.
Dengan itu semua, maka seharusnya beschikking benar-benar dapat mengatasi
kekosongan hukum dari peraturan yang dibuat oleh legislatif – yang sifatnya
13
umum-abstrak – dan menciptakan nuansa dalam proses pelayanan publik
menjadi baik dan efektif.
BAB V
Daftar Pustaka
Basah, Sjahran. Ilmu Negara. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997.
14
HR., Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
2006.
Iver, Mac. Negara Modern. Jakarta : Aksara Baru, 1982.
Utrecht, E. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Jakarta : PT.
Ichtiar Baru, 1990.
15