Fraktur Fragilitas
-
Upload
kalaichelviregunathan -
Category
Documents
-
view
163 -
download
4
Transcript of Fraktur Fragilitas
REFERAT
FRAKTUR FRAGILITAS
Oleh :
ANGGITA RAHMA AYU K 0710713042
DAVIN PRATAMA 0710710036
WIDYA PARAMITA QOSIM 0710713039
KALAICHELVI REGUNATHAN 0710714014
RENDRA A. BAHARI 0410710119
Pembimbing 1:
Prof.Dr.dr. Moch Hidayat,Sp.B, Sp.OT
Pembimbing 2 :
dr. Satiyo
LABORATORIUM / SMF BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM dr. SAIFUL ANWAR MALANG
2012
2
Lembar Persetujuan :
FRAKTUR FRAGILITAS
Oleh :
ANGGITA RAHMA AYU K 0710713042
DAVIN PRATAMA 0710710036
WIDYA PARAMITA QOSIM 0710713039
KALAICHELVI REGUNATHAN 0710714014
RENDRA A. BAHARI 0410710119
Disetujui untuk dibacakan pada :
Hari :
Tanggal :
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof.Dr.dr. Moch Hidayat,Sp.B, Sp.OT dr.Satiyo
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur fragilitas atau juga dikenal sebagai fraktur patologis ini adalah
merupakan hilangnya kontinuitas tulang oleh karena suatu sebab patologis yang
telah mengenai tulang sebelumnya. Fraktur patologis ini sebenarnya dapat terjadi
pada semua umur, tergantung pada kelainan lain yang mendasarinya. Apabila
fraktur patologis ini tidak diterapi dengan tepat, maka fraktur ini dapat
menyebabkan banyak kecacatan pada penderita (Solomon, et al., 2001)
Fraktur fragilitas beserta perawatannya memegang peranan penting dalam
bidang kesehatan masyarakat di dunia. Menurut suatu penelitian, dalam setiap
tahunnya terdapat pasien dengan fragile fracture sejumlah sekitar 300.000 orang
di UK (British Orthopaedic AssociatOIn, 2007). Begitu pula di Indonesia, jumlah
kejadian fraktur fragilitas semakin meningkat. Meskipun, fraktur patologis ini
dapat pula mengenai pasien usia muda, sebagian besar jenis fraktur iin terjadi
pada pasien usia tua. Proses patologis yang mendasarinya adalah osteoporosis.
Pada umumnya, osteoporosis ini tidak terdeteksi sebelumnya sehingga terapi yang
tepat untuk osteoporosis pun tidak dapat diberikan. Apabila terjadi fraktur dengan
osteoporosis pada pasien usia tua tersebut, penatalaksanaan fraktur yang tepat
menjadi sulit dipenuhi. Hal ini disebabkan oleh ketidakstabilan hemodinamik
pasien sehingga tidak dapat dilakukan stabilisasi operatif dari fraktur tersebut.
Penatalaksanaan fraktur fragilitas yang baik akan memberikan prognosis
yang baik terhadap pasien. Pencegahan ini tergantung pada kelainan patologis
yang mendasari. Dengan penatalaksanaan yang tepat angka immobilitas pada
pasien berkurang dan pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Dengan
demikian, upaya-upaya awal dalam pencegahan dan penatalaksanaan fraktur
fragilitas memiliki peranan yang sangat penting dalam menghindari angka
kecacatan pada pasien dengan fraktur tersebut. Selain itu, penatalaksanaan yang
tepat juga mampu meningkatan kualitas hidup pasien.
4
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang digunakan dalam makalah ini antara lain sebagai berikut
di bawah ini:
1. Bagaimanakah struktur anatomi dari tulang manusia?
2. Apakah yang dimaksud dengan fraktur?
3. Apakah yang dimaksud dengan fraktur fragilitas dan bagaimana pencegahan
serta penatalaksanaannya?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah antara lain sebagai berikut di bawah ini:
1. Memahami struktur anatomi dari tulang manusia.
2 Memahami tentang fraktur.
3 Memahami tentang fraktur fragilitas beserta pencegahan dan
penatalaksanaannya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tulang
Sistem skeletal adalah sistem yang terdiri dari tulang (rangka) dan struktur
yang membangun hubungan di antara tulang-tulang tersebut (sendi). Rangka
tubuh manusia dibagi menjadi dua, yaitu rangka aksial yang membentuk sumbu
tubuh, meliputi tengkorak, tulang hyoid, auditory ossicles, kolumna vertebralis,
dan toraks) dan rangka apendikular yang meliputi pectoralis girdle, ekstremitas
superOIr, pelvic girdle, dan ekstremitas inferOIr (de Graaff, 2001).
Gambar 2.1 Sistem skeletal manusia, rangka axial ditandai dengan warna
biru.
6
Secara umum fungsi dari sistem skeletal antara lain :
Support
Protection
Body movement
Hemopoiesis
Fat storage
Mineral storage.
Berdasarkan bentuknya dan ukurannya, tulang dapat dibagi sebagai
berikut:
1. Tulang panjang, contoh tulang lengan atas, lengan bawah, tangan, tungkai,
dan kaki (kecuali tulang-tulang pergelangan tangan dan kaki). Badan
tulang ini disebut diafisis, sedangkan ujungnya disebut epifisis.
2. Tulang pendek, contoh tulang-tulang pergelangan tangan dan kaki.
3. Tulang pipih, contoh tulang iga, bahu, pinggul, dan kranial.
4. Tulang tidak beraturan, contoh tulang vertebra dan tulang wajah
5. Tulang sesamoid, contoh tulang yang terdapat di metakarpal 1-2 dan
metatarsal 1
(de Graaff, 2001).
7
Gambar 2.2 Klasifikasi tulang berdasarkan bentuknya
2.1.1 Anatomi tulang panjang secara umum
Epiphysis berhenti ketika kedewasaan tercapai. Seluruh Tulang diperluas
di ujung metapysis, yang terdiri dari trabecular tulang (bagian lunak atau spons)
(Anderson, 1973).
Diaphysis adalah sebuah tabung hampa kortikal tulang (kompak). Rongga
tengah yang berisi suplai arteri medulari dan diduduki terutama sumsum lemak.
Sebagian dari medula beberapa tulang panjang berisi elemen-elemen
hematopoietic, tapi ini ditemukan terutama pada tulang bagian lunak metaphyses
(Anderson, 1973).
Seluruh permukaan tulang panjang, kecuali di ujung di mana ligamen
tulang rawan hadir, ditutupi oleh perOIsteum. PerOIsteum terdiri dari osteogenic
lapisan (Kambium), yang menyediakan appositOInal pertumbuhan sebelum jatuh
tempo, dan lapisan berserat luar yang murni mendukung. Keberadaan Kambium
8
aktif, dengan longitudinal arterOIla, membuat perOIsteum tebal. Namun, untuk
tulang panjang dewasa Kambium atrophic (tipis dan lemah). Kurangnya
longitudinal pembuluh darah di perOIsteum memiliki implikasi bedah yang
penting (Bonucci, 1971).
Seluruh permukaan matang-tulang panjang, di bawah kondisi normal,
perOIsteumnya melekat dengan longgar di bawah otot. Pembuluh darah di daerah-
daerah perOIsteal adalah venula dan kapiler. Di mana fasia tegas melekat pada
diaphysis, sepanjang pegunungan seperti aspera linea tulang paha, pembuluh
darah afferent cukup dilindungi; oleh karena itu, ada mereka dapat mendekati
permukaan kortikal dan masuk. Pembuluh afferent adalah arteri nutrisi utama
(yang mungkin ganda, seperti dalam manusia) dan arterOIla perOIsteal (Marks,
1976).
2.1.2 Sel-Sel Tulang
Tiga komponen utama dari tulang adalah sel-sel osteogenic, matriks
organik dan mineral. Sel-sel osteogenic termasuk Osteoblas, osteocytes, dan
osteoclasts, sementara matriks terdiri dari kolagen dan proteoglikan dan
merupakan sekitar sepertiga dari tulang massa. Mineral yang membentuk sekitar
dua pertiga dari tulang terdiri dari kristal kalsium fosfat disimpan sebagai
hydroxyapatite (Barclay, 1951).
2.1.3 Osteoblas
Osteoblas membentuk lapisan sel atas tulang permukaan yang matriks
yang terbentuk. Sel terpolarisasi, dalam osteoid baru, dirujuk sebagai osteoid
jahitan, disimpan sepanjang permukaan yang berdekatan dengan tulang. Bagian
yang lebih dalam dari jahitan osteoid mengalami lain sepanjang front lain disebut.
Tulang pada dasarnya ditutupi oleh Osteoblas, karena sel dalam kontak dekat
dengan satu sama lain dan persimpangan ketat dan kesenjangan persimpangan
9
telah diamati. Dengan demikian, lapisan osteoblastic kontrol transportasi bahan-
bahan dari ruang ekstraselular ke osteogenic seam (Rhinelander, 1968).
Secara struktural, Osteoblas fitur pelengkap organel karakteristik dari sel
aktif terlibat dalam sintesis protein. Mereka memiliki banyak retikulum
endoplasma, dan berbagai ribosom, dan Badan Golgi dan mitokondria yang cukup
menonjol.Molekul procollagen diproduksi oleh ribosom dan teralir ke dalam
ruang ekstraselular, tetapi hanya sepanjang permukaan yang menghadapi tulang.
Proteolisis dan polimerisasi dalam ruang ekstraselular hasil dalam pembentukan
kolagen fibril. Kombinasi dari peristiwa intraselular dan ekstraselular ini
mengarah ke produksi osteoid seam. Sebagian besar proteoglikan dikemas dalam
aparatus Golgi, dan vesikel mengandung produk ini kemudian bermigrasi ke
permukaan sel dan melepaskan isinya secara exocytosis. Kombinasi proteoglikan
dan kolagen serat menghasilkan matriks mineralizable (Rhinelander, 1979).
2.1.4 Osteosit
Sekitar 10% dari populasi osteoblastic menjadi tertutup dalam matriks
berkembang dan kemudian disebut sebagai osteosit. Mereka memiliki fitur
struktural yang sangat mirip dengan ketika mereka berada di permukaan matriks,
tetapi retikulum endoplasma mungkin tidak akan begitu berlimpah. Seperti sel
menjadi lebih mendalam tertanam dalam larutan tulang matriks, mereka
sitoplasmik volume dikurangi, sebagai komplemen mereka dari sitoplasmik
organel. Osteocytes memiliki prosessus sitoplasmik yang meluas ke matriks
sekitarnya untuk jarak tertentu dan mengisi sebagian besar canaliculi di mana
mereka disimpan (Rhinelander, 1968).
Proses osteocytes hubungi proses dari osteocytes dan Osteoblas di
permukaan, membentuk persimpangan lainnya. Ini interkoneksi osteoblastic
lapisan sel dengan osteosit jauh di dalam tulang mengatur aliran OIn mineral dari
cairan ekstraselular melalui Osteoblas untuk osteocytes, dari osteocytes cairan
ekstraselular yang mengelilingi mereka, dan akhirnya dari cairan ini ke dalam
10
larutan tulang matriks. Dengan demikian, besar luas permukaan disediakan oleh
hasil osteocytic penduduk di mekanisme regulasi untuk pertukaran OIn mineral
antara cairan ekstraselular dan tulang dengan cara dari sistem canalicular.
Osteocytes tampaknya penting untuk pemeliharaan tulang, karena ketika sel
meninggal, matriks sekitar itu akhirnya akan dihapus (Rhinelander, 1968).
2.1.5 Osteoclast
Osteoclasts ditemukan di situs di mana tulang sedang direnovasi. Mereka
adalah besar, multinucleated sel-sel yang biasanya ditemukan pada atau dekat
permukaan tulang dalam concavities yang mewakili Howship's lacunae. Namun,
ada bukti bahwa sel mononuklear dengan sitoplasmik fitur yang mirip dengan
osteoclasts mungkin meresap kembali tulang (Young, 1963).
Ukuran dan jumlah inti di osteoclasts bervariasi, tetapi masing-masing inti
biasanya dikaitkan dengan aparatus Golgi perinuclear di mana Golgi vesikel
berada dalam semua tahap pembangunan. Sitoplasma penuh dengan vakuola dan
vesikel kecil. Ada sedikit retikulum endoplasma, dan beberapa ribosom, dan
mitokondria hadir lebih banyak daripada di Osteoblas. Zona kontak dari membran
plasma dengan permukaan tulang terdiri dari dua bagian (Young, 1963).
Perbatasan “ruffled” terdiri dari fingerlike membran lipatan yang
memperluas berbagai jarak ke sitoplasma, sementara wilayah penyegelan
dicirikan oleh sitoplasma homogen sangat padat yang mengelilingi situs resorpsi
aktif, yaitu, perbatasan “ruffled”. Membran sitoplasma di wilayah penyegelan erat
diterapkan ke permukaan mendasari larutan tulang, berfungsi untuk mengisolasi
regOIn di bawah perbatasan “ruffled” dan mengizinkan Iysosomal enzim dan OIn
hidrogen yang diproduksi oleh osteoclasts untuk terkonsentrasi di daerah ini.
Asam fosfatase diproduksi oleh osteoclasts, dan mungkin menghasilkan sel-sel
collagenase juga. Mineral pertama dibubarkan, diikuti oleh penghapusan matriks
organik dan gangguan dari larutan matriks hingga kedalaman 1 mm-2 um. Apatit
kristal dan serat kolagen dapat diamati di ruang ekstraselular antara lipatan
11
sitoplasmik. Produk degradasi matriks diperkirakan masuk ke sitoplasma
osteoclasts lewat proses endositosis dan kemudian diangkut melintasi sel dan
masih terjadi ke dalam ruang ekstraselular (Young, 1963).
2.2 Fraktur
2.2.1 Definisi Fraktur
Fraktur atau umumnya patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang atau tulang rawan. Patah tulang dapat terjadi akibat peristiwa
trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang, atau kelemahan abnormal pada
tulang (Solomon, 2001).
Sebagian besar patah tulang disebabkan oleh kekuatan yang secara tiba-
tiba dan berlebihan, seperti pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau
penarikan. Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang
terkena dan jaringan lunak juga pasti rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan
patah tulang melintang dan kerusakan pada kulit di atasnya; penghancuran
kemungkinan akan menyababkan patah tulang kominutif disertai kerusakan
jaringan lunak yang luas. Bila terkena kekuatan tak langsung tulang dapat
mengalami patah tulang pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan
tersebut. Kerusakan jaringan lunak di tempat patah tulang mungkin tidak ada
(Savitri, 2011).
2.2.2 Klasifikasi Fraktur
Fraktur diklasifikasikan menjadi beberapa jenis fraktur yaitu sebagai
berikut di bawah ini:
A. Fraktur komplit tidak komplit
- Fraktur komplit : garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang
12
- Fraktur tidak komplit : garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti :
1. Hairline fracture (patah retak rambut)
2. Buckle fracture atau torus fracture (terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongOIsa dibawahnya)
3. Greenstick fracture (mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak)
B. Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
- Garis patah melintang
- Garis patah oblique
- Garis patah spiral
- Fraktur kompresi
- Fraktur avulsi
C. Jumlah garis patah
- Fraktur kominutif : garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
- Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak
berhubungan. Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifokal.
- Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang
berlainan tempatnya.
D. Bergeser – tidak bergeser (displaced - undisplaced)
- Fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah komplit tetapi kedua
fragmen tidak bergeser. PerOIsteum masih utuh
- Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen-fragmen
fraktur yang juga disebut dislokasi fragmen.
1. Dislokasi ad longitudinam cum contractOInum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping)
2. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
3. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauhi)
13
E. Terbuka – tertutup
Fraktur tertutup : bila tidak ada luka yang menghubungkan fraktur
dengan udara luar atau permukaan kulit.
Fraktur terbuka : bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang
fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.
Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 derajat yang ditentukan oleh berat
ringannya luka dan berat ringannya patah tulang.
a) Grade I : luka biasanya kecil, luka tusuk yang bersih pada tempat
tulang menonjol keluar. Terdapat sedikit kerusakan pada jaringan
lunak, tanpa penghancuran dan fraktur tidak kominutif.
b) Grade II : luka > 1 cm, tetapi tidak ada penutup kulit. Tidak banyak
terdapat kerusakan jaringan lunak, dan tidak lebih dari kehancuran
atau kominusi fraktur tingkat sedang.
c) Grade III : terdapat kerusakan yang luas pada kulit, jaringan lunak
dan struktur neurovascular, disertai banyak kontaminasi luka.
Derajat III dibagi lagi menjadi tiga subtype, yaitu:
a.Derajat IIIA
Tulang yang patah dapat ditutupi oleh jaringan lunak, atau
terdapat penutup perOIsteal yang cukup pada tulang yang patah
b. Derajat IIIB
Kerusakan atau kehilangan jaringan lunak yang luas disertai
dengan pengelupasan perOIsteum dan komunisi yang berat dari
patahan tulang tersebut. Tulang terekspos dengan kontaminasi
yang massif.
c. Derajat IIIC
14
Semua patah tulang terbuka dengan kerusakan vaskuler yang perlu
diberbaiki, tanpa meilhat kerusakan jaringan lunak yang terjadi
(Savitri, 2011).
2.2.3 Penyembuhan Patah Tulang
Penyembuhan patah tulang adalah proses yang sangat menarik dalam
tubuh manusia. Dalam kondisi yang optimal, tulang yang terluka dapat
direkonstruksi tanpa bekas luka hampir identik dengan bentuk
aslinya. Penyembuhan tulang telah berada di bawah penyelidikan ekstensif selama
bertahun-tahun. Fraktur tulang dapat menyebabkan perdarahan pada tempat
terjadinya fraktur. Kumpulan darah disekitar fraktur membentuk gumpalan
spindle. Sel – sel kekebalan tubuh muncul dan memulai proses penyembuhan
dengan membentuk jembatan antara ujung – ujung tulang yang patah. Mereka
membentuk serat – serat kolagen, dimana direorganisasi oleh prekursor sel – sel
tulang dari ujung tulang dirubah menjadi tulang prematur yang disebut osteoid.
Osteoid ini diresapi oleh kalsium untuk membentuk jaringan tulang longgar yang
disebut kalus. Kalus ini kemudian mengalami renovasi selama perpanjangan
normal lapisan jaringan tulang dan berubah menjadi jaringan tulang yang normal
dan keras. Pada kasus patah tulang, biasanya dilakukan penyatuan tulang yang
berbeda dengan menggunakan splint atau tidak. Penyatuan tulang tidak akan
terjadi jika fraktur itu terus bergerak (Frost 1989, Greenbaum & Kanat 1993,
Einhorn 1998).
Proses penyembuhan patah tulang dimulai sejak saat cedera dan proses
cedera, dengan sedikit variasi tergantung pada usia pasien dan lokasi cedera.
Dengan demikian, tingginya kemungkinan kecacatan pada patah tulang
disebabkan oleh cedera tersebut tidak diperbaiki sebelum penyembuhan patah
tulang terjadi (Frost 1989, Greenbaum & Kanat 1993, Einhorn 1998).
15
MalunOIn (Gambar 1) adalah penyembuhan fraktur dalam posisi cacat dan secara
fungsOInal atau kosmetik tidak dapat diterima. Juga untuk memastikan antara
ujung – ujung tulang yang patah setelah trauma mengalami proses penyembuhan.
16
Kegagalan patah tukang untuk bersatu disebut nonunOIn fracture (Gambar 2)
yang sangat resistan terhadap segala bentuk pengobatan (Frost 1989, Greenbaum
& Kanat 1993, Einhorn 1998).
2.2.4 Penyembuhan Patah Tulang Dalam Beberapa Usia
Anak – anak memiliki potensi tertinggi untuk penyembuhan patah tulang.
Bahkan jika ujung patah tulang yang patah jauh dari satu sama lain mereka
cenderung akan bersatu. Jika terjadi deformitas, akan sembuh sendiri selama
beberapa tahun seiring dengan pertumbuhan anak tersebut (Frost 1989,
Greenbaum & Kanat 1993, Einhorn 1998).
Orang tua cenderung untuk terjadi komplikasi seperti non-unOIn, delayed
unOIn, dan sebagainya, setelah patah tulang. Penyembuhan patah tulang dapat
dilakukan dengan operasi (Frost 1989, Greenbaum & Kanat 1993, Einhorn 1998).
2.2.5 Proses Penyembuhan Patah Tulang
Proses penyembuhan patah tulang dapat terjadi dalam dua cara.
Penyembuhan tulang langsung atau primer terjadi tanpa pembentukan
kalus. Penyembuhan tulang tidak langsung atau sekunder terjadi dengan tahap
prekursor kalus (Frost 1989, Greenbaum & Kanat 1993, Einhorn 1998).
Penyembuhan patah tulang primer melibatkan langsung korteks untuk
kembali membangun dirinya setelah terputus. Tulang di salah satu sisi korteks
harus bersatu dengan tulang di sisi lain dari korteks untuk membangun kembali
kontinuitas mekanis. Proses ini tampaknya terjadi hanya saat pemulihan anatomi
dari fragmen fraktur terjadi, dengan fiksasi internal yang kaku, dan ketika
stabilitas pengurangan fraktur telah dipastikan dengan penurunan besar dalam
ketegangan interfragmentary. Dengan kondisi tersebut, tulang-resorbing sel di
salah satu sisi fraktur menunjukkan respon tunneling resorptive, dimana mereka
membangun kembali sistem haversian baru dengan menyediakan jalur untuk
penetrasi pembuluh darah (Crenshaw 1992, Greenbaum & Kanat 1993, Einhorn
1998).
17
Penyembuhan tulang sekunder melibatkan tahap klasik penyembuhan
patah tulang, impaksi yaitu peradangan, pembentukan kalus primer lembut,
mineralisasi kalus dan renovasi kalus (Crenshaw 1992, Greenbaum & Kanat
1993).
Pada tahap impaksi, ketika tulang menyerap energi luar modulus
elastisitas, patah tulang terjadi sepanjang garis yang berlawanan. Dampaknya
dapat melukai sumsum tulang lokal, perOIsteum, jaringan lunak dan tulang yang
berdekatan dan mengganggu pembuluh darah. Pertama, fraktur mensensitisasi sel
lokal yang masih hidup, memungkinkan mereka untuk merespon lebih baik secara
lokal dan sistemik, dan kedua, ia melepaskan bOIkimia lokal dan bOIfisik
setempat untuk membuat sel-sel yang masih hidup merespon. Sensitisasi bOIlogis
ini berlangsung hingga 7 hari (Frost 1989, Greenbaum & Kanat 1993, Einhorn
1998).
Pada tahap peradangan, terjadi hematoma dan perdarahan dari hasil
pembentukan gangguan pembuluh darah perOIsteal dan endosteal di lokasi
cedera. Akhir dari ujung-ujung terbuka dari pembuluh darah mengalami
trombosis. Enzim lisosomal tersebut kemudian dilepaskan dan diikuti oleh pH
asam. Makrofag, leukosit dan sel inflamasi lainnya menginvasi daerah tersebut.
(Greenbaum & Kanat 1993, Einhorn 1998). Secara klinis, tahap ini berhubungan
dengan nyeri, pembengkakan dan panas (Crenshaw 1992).
Pada tahap pembentukan soft kalus primer, sel-sel yang dirangsang dan
peka mulai memproduksi pembuluh darah baru, fibroblas, bahan intraseluler dan
sel – sel lain. Mereka membentuk jaringan granulasi di ruang antara fragmen
fraktur. Setelah itu, makrofag, sel-sel raksasa dan sel lainnya muncul dalam
jaringan granulasi untuk menyerang dan menggantikannya (Einhorn 1998). Tahap
ini berlangsung selama sekitar dua minggu (Frost 1989) dan secara klinis sesuai
dengan waktu ketika unOIn dibentuk oleh jaringan fibrosa atau tulang rawan
(Crenshaw 1992).
Pada tahap mineralisasi kalus, mineralisasi soft kalus dimulai sekitar 1
minggu kemudian, setelah pembentukan soft kalus baru. Peningkatan tekanan
18
oksigen menyebabkan produksi osteoid. Osteoid terutama terdiri dari opaque
kalsium hidroksiapatit, yang membuatnya terlihat dalam gambaran
radiologis. Adanya osteoid menyediakan kekakuan dalam kalus. Jumlah
pembentukan kalus tergantung pada stabilitas relatif dari fragmen fraktur. Kalus
yang lebih besar diperlukan untuk mencegah gerakan lebih pada lokasi fraktur
(Greenbaum & Kanat 1993, Einhorn 1998). Ketika stabilitas dan kekuatan telah
diperoleh di tempat yang patah tulang, pasien dapat melanjutkan aktivitasnya
walaupun terbatas. Pembentukan dan mineralisasi kalus terjadi antara 4 sampai 16
minggu dan merupakan proses yang lebih cepat terutama pada anak-anak dan
spongy bone (Crenshaw 1992).
Tahap remodelisasi kalus terutama terdiri dari penggantian kalus dengan
tulang baru. Osteoklas bertindak untuk merombak permukaan luar tulang dan
mengurangi ukuran kalus. Pasokan pembuluh darah lokal, oksigenasi dan pH
semua kembali normal. Mineralisasi tulang rawan awalnya digantikan oleh woven
bone untuk membentuk spongOIsa primer. selanjutnya digantikan oleh tulang
pipih baru. Kalus yang antara ujung-ujung compact bone digantikan oleh osteons
sekunder terdiri dari tulang pipih. Osteons ini menyelaraskan diri sejajar dengan
tekanan dan regangan yang disebabkan oleh gangguan mekanis dan kekuatan otot
di seluruh fraktur atau osteotomi (Greenbaum & Kanat 1993). BMU adalah
mekanisme mediator tertentu yang berisi berbagai jenis sel, bahan antar sel dan
kapiler, semua khusus diatur dalam ruang dan waktu dan semua berkomunikasi
satu sama lain. BMU menghasilkan osteoklas yang menggantikan jaringan keras
yang sudah terbentuk dan kemudian memproduksi osteoblas yang nantinya akan
mengganti paket tulang yang baru yang telah dibuat (Frost 1989, Einhorn
1998). Penggantian Lengkap kalus dengan tulang pipih fungsOInal yang
kompeten dengan renovasi BMU membutuhkan waktu satu sampai empat tahun
(Frost 1989).
19
2.2.6 Waktu Proses Penyembuhan Tulang
Waktu yang diperlukan untuk proses penyembuhan patah tulang sangat
bervariasi ergantung pada lokasi fraktur serta usia pasien. Waktu penyembuhan
fraktur untuk beberapa patah tulang :
Wrist fracture : 3 - 4 minggu
Fibula fracture : 4 - 6 minggu
Tibia fracture : 4 - 6 minggu
Ankle fracture : 5 - 8 minggu
Rib fracture : 4 - 5 minggu
Jones fracture : 3 - 5 minggu
Foot fracture : 3 - 4 minggu
Metatarsal fracture : 5 - 6 minggu
Metacarpal fracture : 3 - 4 minggu
Hairline fracture : 2 – 4 minggu
Finger fracture : 2 - 3 minggu
Toe fracture : 2 -4 minggu
Beberapa faktor seperti gizi dan tingkat keparahan fraktur juga
menyebabkan penyembuhan fraktur variabel waktu pada orang yang berbeda.
Pada anak – anak sebagian besar patah tulang akan sembuh dalam 3 – 4 minggu,
sedangkan pada orang dewasa 4 – 6 minggu (Frost 1989, Greenbaum & Kanat
1993, Einhorn 1998).
2.3 Fraktur Fragilitas
2.3.1 Definisi
Fraktur fragilitas adalah salah satu jenis fraktur patologis yang biasanya
terjadi oleh karena aktivitas normal dari seorang individu, seperti terjatuh dari
suatu tempat yang tidak terlalu tinggi. Fraktur patologis adalah suatu fraktur yang
disebabkan oleh kondisi atau penyakit yang melemahkan tulang. Proses patologis
ini dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Beberapa penyebab tersebut
20
dapat dijelaskan melalui tabel 2.1 berikut ini (Solomon, et al., 2001).
Tulang yang mengalami fraktur spontan sebaiknya diduga sebagai fraktur
patologis sampai terbukti tidak. Pada pasien tua, sebaiknya digali riwayat penyakit
atau operasi yang pernah dialami, terutama suatu penyakit keganasan. Jika
terdapat riwayat penyakit keganasan pada pasien, maka dapat diwaspadai adanya
lesi metastatik pada tulang. Berikut ini adalah beberapa riwayat penyakit yang
mengarah kepada kelainan metabolik tulang: riwayat gastrektomi, malabsobsi
intestinal, konsumsi alkohol berkepanjangan, atau penggunaan obat dalam jangka
panjang (Solomon, et al., 2001).
Gambar 2.1 Enam contoh fraktur patologis, disebabkan oleh: (a) chondrosarcoma
primer; (b) infeksi tulang post-operatif pada lubang screw setelah dilakukan
plating pada fraktur intertrochanter; (c) Paget’s disease; (d) metastasis bertebral;
(e) metastasis dari karsinoma pada payudara; dan (f) myelomatosis (Solomon, et
al., 2001).
Fraktur fragilitas ditandai dengan trauma dengan energi rendah dan
mungkin dapat terjadi pada semua tulang di seluruh tubuh. Dalam setiap detik,
wanita dan pria pada usia lebih dari 50 tahun akan mengalami fraktur terkait
dengan osteoporosis. Pasien yang mengalami fraktur ini akan memiliki resiko
yang lebih tinggi terhadap terjadinya fraktur berulang di kemudian hari (Kanis, et
21
al., 2000).
Gambar 2.2 The Battered Baby Syndrome. Lesi metastasis pada setiap humerus
merupakan karakteristik dari sindrom ini (Solomon, et al., 2001).
2.3.2 Etiologi
Proses patologis pada fraktur fragilitas dapat disebabkan oleh berbagai
macam penyebab. Beberapa penyebab tersebut dapat dijelaskan melalui tabel 2.1
berikut ini (Solomon, et al., 2001).
22
Gambar 2.3 Penyebab fraktur patologis (Solomon, et al., 2001).
2.3.2.1 Osteogenesis Imperfecta
2.3.2.1.1. Definisi
Osteogenesis imperfecta (OI) adalah kelainan genetik langka yang, seperti
osteoporosis remaja, ditandai dengan tulang yang mudah patah, sering dari sebab
yang jelas sedikit atau tidak ada. Namun, OI disebabkan oleh masalah dengan
kuantitas atau kualitas kolagen tulang akibat cacat genetik.
Kebanyakan anak dengan OI pernah mencapai massa tulang normal, jadi
menderita osteoporosis sekunder juga. Ada beberapa bentuk yang berbeda OI,
23
mewakili variasi ekstrim dalam keparahan. Sebagai contoh, seseorang dengan OI
mungkin memiliki sedikitnya 10 atau sebanyak beberapa ratus patah tulang dalam
seumur hidup.
2.3.2.1.2. Gejala Klinis
Fitur yang paling umum dari OI termasuk tulang yang mudah patah,
kelemahan ligamen (sendi hypermobile) dan kekuatan otot rendah, riwayat
keluarga OI (hadir di sekitar 65% dari kasus), perawakan kecil di jenis sedang
dan berat, sclera berwarna biru, ungu, atau abu-abu pada sekitar 50% kasus,
gangguan pendengaran mungkin dalam masa kanak-kanak akhir atau tahun
dewasa awal dan gigi rapuh (dikenal sebagai imperfecta dentinogenesis).
Fitur yang paling sering membedakan OI dari osteoporosis remaja adalah
sejarah keluarga penyakit dan biru, ungu, atau abu-abu sklera umum ditemukan
pada pasien dengan OI. Membedakan antara OI dan mungkin memerlukan
pengujian uji genetik atau, dalam beberapa kasus, biopsi tulang.
2.3.2.1.3. Penemuan Laboratorium
Meskipun mayoritas parameter biokimia untuk OI menunjukkan nilai
normal, tetapi beberapa abnormalitas dapat ditemukan pada pasien OI, antara lain:
Peningkatan serum alkalin fosfatase, ditemukan pada OI tipe VI, menun-
jukkan gangguan mineralisasi tulang
Hiperkalsiuria sering ditemukan pada pasien OI anak-anak. Peningkatan
kadar kalsium dalam urin menunjukkan semakin progresifnya penyakit.
Peningkatan ekskresi kalsium melalui urin ditemukan pada 36% pasien
anak dengan OI.
Penanda formasi tulang (C-terminal propeptida dari pro kolagen tipe I)
seringkali menunjukkan nilai yang rendah dan penanda resorbsi tulang (C-
telopeptida dari kolagen tipe I) dapat meningkat pada pasie OI, terutama
pada kondisi klinis yang berat.
24
2.3.2.1.4.Diagnosis
Diagnosis klinis OI ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala seperti yang
sudah disebutkan di atas. Diagnosis dapat langsung ditegakkan jika ada gejala
yang jelas seperti kelemahan tulang, manifestasi ekstra skeletal, maupun riwayat
keluarga yang positif. Tanpa adanya gejala yang jelas, menegakkan diagnosis
menjadi lebih sulit. Manifestasi ekstraskeletal bisa tidak terduga, seperti hilangnya
pendengaran, tidak spesifik (sklera kebiruan hanya muncul pada bayi, sehingga
menyamarkan gejala pada dewasa).
Sampai saat ini masih belum ada tes laboratorium yang definitif untuk OI.
Meskipun demikian, di laboratorium-laboratorium penelitian sedang
dikembangkan metode deteksi dini OI. Dengan menggunakan teknologi genetika
molekuler, struktur dan kuantitas dari kolagen tipe I dapat ditentukan secara in
vitro dari kultur fibroblast yang didapatkan dari biopsi kulit. Abnormalitas baik
pada kuantitas maupun kualitas dari kolagen tipe I ditemukan pada 90% dari
kasus OI. Analisis pada sequence cDNA dari sel darah putih pada pasien-pasien
dengan OI didapatkan mutasi dari COL1A1 dan COL1A2. Penemuan yang
negatif dari tes ini tidak menyingkirkan diagnosis OI karena ada OI yang tidak
berhubungan dengan kolagen tipe I (sebagian kecil berhubungan dengan kolagen
tipe V, VI, VII, dan VIII) dan false negative dari tes genetik ini sekitar 10%.
2.3.2.2 Osteoporosis
2.3.2.2.1 Definisi
Osteoporosis merupakan suatu kondisi fragilitas skeletal dimana tulang
mengalami kelemahan sehingga fraktur dapat terjadi oleh karena trauma yang
minimal (Marcus et al., 2010). Osteoporosis adalah suatu keadaan dimana masa
tulang atau kepadatan tulang per unit volume tulang berkurang (decrease bone
density and mass), mikro arsitektur jaringan tulang menjadi jelek dan
25
mengakibatkan peningkatan fragilitas tulang dengan akibat risiko untuk terjadinya
patah tulang (WHO, 2003).
2.3.2.2.2 Epidemiologi
Osteoporosis terjadi pada 44 juta penduduk Amerika usia di atas 50 tahun.
10 juta dari mereka telah terdiagnosa, sementara 34 juta dalam estimasi memiliki
massa tulang yang rendah (low bone mass) dan menjadikan mereka beresiko. Dari
10 juta penduduk Amerika dengan osteoporosis, hampir 8 juta (80%) adalah
wanita, Sisanya, (20%) adalah pria. Dari 34 juta penduduk Amerika dengan low
bone mass, sekitar 22 juta (65%) adalah wanita dan 12 juta (35%) adalah pria
(National Osteoporosis FoundatOIn 2002, America’s Bone Health).
Hasil analisa data risiko Osteoporosis pada tahun 2005 dengan jumlah
sampel 65.727 orang (22.799 laki-laki dan 42.928 perempuan) yang dilakukan
oleh Puslitbang Gizi Depkes RI dan sebuah perusahaan nutrisi pada 16 wilayah di
Indonesia secara selected people (Sumatera Utara & NAD, Sumatera Barat, Riau,
Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan & Bangka Belitung &
Bengkulu,Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali & NTB & NTT, Kalimantan, Sulawesi & Maluku &
Papua) dengan metode pemeriksaan DMT (Densitas Massa Tulang)
menggunakan alat diagnostik clinical bone sonometer, menunjukkan angka
prevalensi osteopenia (osteoporosis dini) sebesar 41,7% dan prevalensi
osteoporosis sebesar 10,3%. Ini berarti 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki
risiko untuk terkena osteoporosis, dimana 41,2% dari keseluruhan sampel yang
berusia kurang dari 55 tahun terdeteksi menderita osteopenia. Prevalensi
osteopenia dan osteoporosis usia di bawah 55 tahun pada pria cenderung lebih
tinggi dibanding wanita, sedangkan pada kelompok usia di atas 55 tahun,
peningkatan osteopenia pada wanita enam kali lebih besar dari pria dan
peningkatan osteoporosis pada wanita dua kali lebih besar dari pria (Menkes,
2008).
26
Fraktur pada proksimal femur (hip), vertebrae (spine), dan distal forearm
(wrist) merupakan fraktur terkait osteoporosis yang paling sering (WHO, 2000).
Berikut adalah perkiraan kejadian fraktur terkait osteoporosis:
2.3.2.2.3 Etiologi
Osteoporosis dibagi menjadi dua golongan besar menurut penyebabnya,
yaitu: Osteoporosis Primer adalah osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu
penyakit (proses alamiah), dan Osteoporosis sekunder, yaitu osteoporosis yang
disebabkan oleh berbagai penyakit tulang (chronic rheumatoid, artritis, tbc
spondilitis, osteomalacia, dll), pengobatan steroid jangka panjang, astronot tanpa
gaya berat, paralise otot, tidak bergerak untuk periode lama, hipertiroid, dan lain-
lain (Menkes, 2008).
Osteoporosis primer kemudian dibagi menjadi 2, yaitu osteoporosis tipe I
dan osteoporosis tipe II. Osteoporosis tipe I disebabkan oleh berkurangnya
trabekular tulang setelah mengalami menopause. Sedangkan osteoporosis tipe II
disebabkan oleh berkurangnya trabekular dan korteks tulang baik pada pria
maupun wanita sebagai akibat dari proses penuaan (age-related bone loss).
Sehingga, osteoporosis tipe I dikaitkan dengan kekurangan estrogen endogen,
27
sementara osteoporosis tipe II dikaitkan dengan remodeling tulang yang tidak
efisien, adekuasi diet kalsium dan vitamin D, absorbsi mineral intestinal, renal
mineral handling, serta sekresi hormon paratiroid (WHO, 2010).
Gambar 1. Faktor resiko osteoporosis postmenopause (Solomon et al.,
2001).
Gambar 2. Penyebab-penyebab osteoporosis sekunder (Solomon et al.,
2001).
2.3.2.2.4 Patofisiologi
28
Fase-fase perubahan tulang dipengaruhi oleh proses hormonal dan proses-
proses lokal yang terjadi dalam tulang sendiri. Tulang mengalami “remodeling”
terus menerus dalam pertumbuhannya. Proses ini terjadi di dalam massa tulang
yang dikenal sebagai “bone remodelling units”. Tulang secara umum terdiri dari
zat organik dan anorganik. Zat organik sebanyak 30 % terdiri dari matriks kolagen
dan kolagen nonglikoprotein, fosfoprotein, fosfolipid dan mukopolisakarida yang
bersama-sama membentuk osteoid yang terdiri dari kurang lebih 95 % dari total
volume, sedangkan 5 % dari organik terdiri dari sel-sel osteoblas (Tanjung, 1997;
Prabowo, 1997; Mc Phee et al., 1995; Lanes & Gunczler, 1992).
Siklus “remodeling” dimulai oleh osteoklas, timbul pada permukaan
tulang yang sebelumnya inaktif dan mengabsorpsi jaringan tulang dengan
melepaskan asam dan enzim-enzim proteolitik, mengakibatkan terbentuknya
rongga mikroskopik atau lakuna howship (Prabowo, 1997; Christiansen & Riis,
1990). Osteoklas menghilang dan sel-sel pembentuk tulang (osteoblas),
mengadakan migrasi ke daerah ini dan mengganti kekurangan dengan matriks
organik yang telah mengalami mineralisasi. Sebagian osteoblas menjadi bagian
dari matriks dan dikenal sebagai osteosit, sedangkan sisa-sisanya berangsur-
angsur berubah bentuk, menjadi sel pembatas. Tulang yang baru terbentuk masih
terus mengalami mineralisasi. Untuk satu proses “remodeling” sempurna melalui
waktu 4 – 6 bulan (Prabowo, 1997; Lanes & Gunczler, 1992).
Pada masa pertumbuhan proses “remodelling” berlangsung cepat dan
tulang yang terbentuk lebih besar dari tulang yang hilang. Proses “remodeling”
berlangsung lebih cepat pada tulang trabekular bila dibandingkan dengan tulang
kortikal. Pada seorang dewasa muda yang tidak tumbuh lagi jumlah matriks yang
hilang seimbang dengan jumlah matriks yang terbentuk. Walaupun mekanisme
hilangnya tulang yang tepat belum diketahui, osteoporosis terjadi karena terdapat
gangguan proses “remodelling” sehingga resorpsi jaringan tulang melebihi
pembentukannya, sehingga secara keseluruhan terjadi kehilangan tulang
(Prabowo, 1997; Lanes & Gunczler, 1992).
29
2.3.2.2.5 Diagnosis
a. Anamnesis
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diwaspadai kemungkinan
osteoporosis ialah:
1) Adanya faktor risiko (faktor predisposisi)
2) Terjadi patah tulang secara tiba-tiba karena trauma yang ringan atau tanpa
trauma
3) Timbul rasa nyeri yang hebat sehingga pasien tidak dapat melakukan
pergerakan
4) Tubuh makin pendek dan bungkuk (kifosis dorsal bertambah) untuk
melengkapi anamnesis kita dapat menggunakan formulir tes semenit resiko
osteoporosis yang dikeluarkan oleh OIF (International Osteoporosis
Foundation)
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dengan mengamati penurunan tinggi badan dan postur
tubuh.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Kadar serum (puasa) kalsium (Ca), fosfat (PO4) dan fosfatase alkali
b) Bila ada indikasi, dianjurkan juga untuk melakukan pemeriksaan fungsi
(rutin) tiroid, hati dan ginjal.
c) Pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam berguna untuk menentukan
pasien malabsorpsi kalsium (total ekskresi 24 jam kurang dari 100 mg)
dan untuk pasien yang jumlah ekskresi kalsium sangat tinggi (lebih dari
250 mg/24 jam) yang bila diberi suplemen kalsium atau vitamin D atau
metabolismenya mungkin berbahaya.
30
d) Bila dari hasil klinis, darah dan urin diduga adanya hiperparatiroidisme,
maka perlu diperiksa kadar hormon paratiroid (PTH). Bila ada dugaan
ke arah malabsorpsi maka perlu diperiksa kadar 25 OH D.
2) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologis umumnya terlihat jelas apabila telah terjadi
osteoporosis lanjut, atau jika hasil BMD yang diperoleh dari pemeriksaan
dengan menggunakan alat densitometer menunjukkan positif tinggi.
3) Pemeriksaan densitometer (Ultrasound)
Pemeriksaan dengan densitometer untuk mengukur kepadatan tulang
(BMD), berdasarkan Standar Deviasi (SD) yang terbaca oleh alat tersebut.
Densitometer merupakan alat test terbaik untuk mendiagnosis seseorang
menderita osteopeni atau osteoporosis, namun tes ini tidak dapat
menentukan cepatnya proses kehilangan massa tulang.
Dengan demikian, jika densitometer ultrasound menunjukkan nilai
rendah (Tscore dibawah -2,5), sebaiknya disarankan menggunakan
densitometer X-ray (rontgen).
Penilaian Osteoporosis dengan alat densitometer :
- Kondisi normal : Kepadatan tulang (BMD) antara +1 sampai -1
31
- Osteopenia : Kepadatan tulang (BMD) antara - 1 sampai -2,5
- Osteoporosis : Kepadatan tulang (BMD) <-2,5.
.2.3.2.2.6 Pengobatan
Kesadaran dan menghindari faktor-faktor risiko, disertai diet cukup dan
olahraga sangat penting. Jauh lebih mudah mencegah daripada mengobati
osteoporosis, oleh karena itu lebih baik memulai pengobatan sedini mungkin pada
wanita yang mempunyai risiko untuk menghindari agar tidak terjadi osteoporosis
(Prabowo, 1997).
Estrogen sebagai terapi
Pengobatan wanita postmenopause dengan estrogen akan menghentikan
kehilangan tulang (perlindungan terhadap terjadinya osteoporosis) pada wanita
usia 50, 60 atau 70 tahun. Terapi estrogen dihentikan bila tidak ada peningkatan
massa tulang. Pengobatan dengan estrogen memberikan gambaran efek terapi
pada kasus osteoporosis (Rahman et al., 1996; Snabes & Herd, 1996; Ettinger &
Bainton, 1997). Estrogen dianggap dapat menghambat resorpsi tulang, terapi
pemberian estrogen sebagai pencegahan terhadap osteoporosis berdasarkan
observasi sebagai berikut (Tanjung, 1997; Lindsay, 1987; Serdar & Erenus, 2000).
1. Kejadian osteoporosis meningkat postmenopause
2. Wanita yang mengalami ooforektomi bilateral memperlihatkan gejala
osteoporosis lebih dini dan hebat
3. Penderita yang mengalami osteoporosis umumnya berkurang dengan
pemberian estrogen
Pemberian estrogen merupakan dasar pencegahan dan pengobatan
kehilangan tulang postmenopause. Suatu penelitian telah membuktikan bahwa
terdapat korelasi bermakna antara kadar estradOIl dengan persentasi kenaikan
densitas tulang belakang 1 tahun setelah pemberian implan 75 mg estradiol dan
100 mg testosteron. Pemberian estrogen oral, transdermal atau implan
32
kesemuanya dapat meningkatkan densitas tulang secara bermakna dan secara
epidemOIlogik dibuktikan bahwa terapi ini menurunkan angka kejadian patah
tulang oleh karena osteoporosis pada panggul dan tulang punggung (Prabowo,
1997; Mikkola & Viinikka, 2000).
Belum ada kesepakatan, bagaimana estrogen dapat mencegah kehilangan
tulang dan masih merupakan teori. Kemungkinan estrogen mencegah osteoporosis
dengan cara sebagai berikut di bawah ini (Jones, 1990; Christiansen dan Riis,
1990; Samsulhadi, 1997; Serdar dan Erenus, 2000).
1. Estrogen menempati reseptor osteoklas yang akan mempengaruhi fungsi
osteoklas dalam menurunkan kehilangan tulang.
2. Estrogen menurunkan kecepatan perubahan tulang normal yang
menyebabkan efek positif terhadap keseimbangan kalsium.
3. Estrogen akan memperbaiki absorpsi kalsium.
4. Estrogen mengatur produksi interleukin 1 dan 6 yang merupakan “bone
resorbing”. Estrogen juga mengatur bahan-bahan yang merangsang
pembentukan tulang seperti Insulin like growth factor I dan II, serta
Growth factor beta.
5. Estrogen merangsang sintesa kalsitonin yang dapat menghambat resorpsi
tulang.
6. Estrogen meningkatkan reseptor vitamin D di osteoblas.
Ada beberapa keadaan yang harus diperhatikan sebelum memulai
pemberian estrogen pada wanita untuk mencegah proses osteoporosis yang
progresif antara lain adalah keadaan tekanan darah, hasil pemeriksaan sitologi
(pap’s smear), pembesaran uterus, adanya varises yang berat di ekstremitas bagian
bawah, adanya obesitas, fungsi kelenjar tiroid (BMR), kadar Hb, kolesterol total,
HDL, trigliserida, kalsium, fungsi hati (Baziad dan Rachman, 1993; Berek et al.,
1996).
Beberapa prinsip pemberian estrogen yang dapat dijadikan patokan adalah
sebagai berikut di bawah ini (Baziad & Rachman, 1993; Agrawal & Prelevic,
2000).
33
1. Mulailah selalu dengan estrogen lemah (estriol) dan dengan dosis rendah
yang efektif.
2. Pemberian estrogen dilakukan secara siklik.
3. Usahakan selalu pemberian estrogen dikombinasi dengan progesteron.
4. Perlunya diberikan pengawasan ketat selama pemberian (6 – 12 bulan)
5. Apabila selama pemberian estrogen tersebut terjadi perdarahan atopik,
maka perlu dilakukan dilatasi dan kuretase.
6. Dilakukannya kerjasama dengan bagian Penyakit Dalam apabila dalam
masa pengobatan atau sebelum masa pengobatan ditemukan adanya
keluhan nyeri dada, hipertensi kronik, hiperlipidemia, dan diabetes
mellitus atau peningkatan kadar gula darah.
Secara epidemiologik manfaat estrogen dalam pengobatan hormon
pengganti pada wanita dapat menurunkan risiko terjadi patah tulang belakang
sampai 90% dan fraktur Colley’s dan paha sampai 50% (Jones, 1990; Christiansen
dan Riis, 1990).
Dosis minimum estrogen yang disarankan untuk mempertahankan tulang
adalah 0,625 mg dan 1 – 2 mg estradiol per hari dan hanya diperlukan setengah
dosis bila digabung dengan kalsium (Rahman et al., 1996; Riggs, 1987; Jones et
al., 1988). Dari kepustakaan dikatakan bahwa pemberian estrogen jangka pendek
sekitar 6 – 10 tahun tidak efektif, sedangkan pemberian 7 tahun saja hanya
memberikan efek pencegahan patah tulang panggul selama 10 – 20 tahun
(Tanjung, 1997).
Adapun standar dosis estrogen yang dibutuhkan untuk mencegah
kehilangan massa tulang adalah sebagai berikut (Chin, 1997).
Tabel 2.1 Standar dosis estrogen yang dianjurkan
Estrogen Standar dosis
1. Conjugated equine 0,625 mg
34
oestrogens
2. Piperazine oestrone sulphate
3. Oestradiol valerate
4. Oestradiol transdermal
5. Oestradiol implant
1,25 mg
1 – 2 mg / hari
50 μg 2 kali seminggu
50 – 100 mg selama 6 – 8
bulan
Ada beberapa rute pemberian estrogen sebagai terapi sulih hormon, yaitu
sebagai berikut di bawah ini (Chin, 1997).
1. Oral: tablet kombinasi yang terpisah atau tergabung antara estrogen dan
progestogen.
2. Parenteral: transdermal (patch atau jel), implan subkutan, injeksi
intramuskular, krim/tablet topikal.
Estrogen oral mengalami metabolisme lintas pertama di hati, diubah
menjadi estron. Campuran estron dan estradiol (30%) banyak dibuang lewat
empedu. Untuk mengatasi bioavailabilitas yang rendah ini, preparat terapi sulih
hormon oral mengandung estrogen dengan dosis lebih tinggi dibandingkan dosis
dalam sediaan transdermal (Mikkola dan Viinikka, 2000).
Terapi sulih hormon yang ideal adalah yang mencakup beberapa hal
seperti yang tercantum di bawah ini (Serdar dan Erenus, 2000; Agrawal dan
Prelevic, 2000).
1. Meredakan gejala klimakterium
2. Melindungi endometrium
3. Mengatur siklus dengan baik
4. Mencegah osteoporosis
5. Protektif terhadap pembuluh darah otak dan jantung
6. Tidak meningkatkan risiko kanker payudara
7. Mudah diaplikasi
Dosis minimum pemberian transdermal untuk mencegah hilangnya tulang
35
50 mg/hari dan telah dibuktikan bahwa dosis terendah penggunaan implan adalah
25 mg, akan meningkatkan densitas tulang punggung 5,56% dan tulang panggul
3,34%. Terdapat beberapa bukti bahwa progesteron juga meningkatkan massa
tulang. Mungkin mempunyai efek sinergik pada pengobatan kombinasi, tetapi
jelas tidak dapat menggantikan estrogen (Jones, 1990; Prabowo, 1997;
Christiansen dan Riis, 1990).
Efek pemberian estrogen bukan hanya sementara, tetapi berlangsung terus
selama pemberiannya diteruskan (Prabowo, 1997). Pencegahan osteoporosis ini
sangat tergantung pada densitas massa tulang pada saat wanita tersebut dalam
masa pertumbuhan. Pemberian kalsium yang cukup pada masa pertumbuhan,
menghindari rokok, menghindari alkohol dan olahraga yang cukup akan
memperbaiki massa tulang. Massa tulang yang terbentuk dengan baik pada saat
pertumbuhan ikut berperan terhadap pencegahan osteoporosis pada usia lanjut.
Sebaliknya wanita-wanita dengan menopause prekoks baik secara alami atau
akibat operasi (bilateral salfingoooforektomi), wanita dengan pengobatan
kortikosteroid yang lama, oligo atau amenore berat, riwayat (keluarga) patah
tulang patologis/osteoporosis, merupakan wanita berisiko tinggi untuk terjadinya
osteoporosis dan merupakan indikasi kuat untuk diberikan pengobatan hormon
pengganti (Samsulhadi, 1997).
Yang perlu diketahui dari pengobatan dengan mempergunakan estrogen ini
adalah bahwa tidak semua keluhan dapat dihilangkan hanya dengan estrogen,
sehingga perlu dicari juga faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan keluhan
seperti adakah faktor psikis, sosiobudaya, atau memang benar kekurangan
estrogen sehingga apabila memang ada maka harus diterapi sesuai dengan faktor
penyebabnya.
2.3.2.3 Penyakit Tulang Metabolik
36
Penyakit tulang metabolik merupakan istilah umum yang mengacu pada
kelainan tulang yang disebabkan oleh spektrum yang luas dari gangguan.
Umumnya gangguan ini disebabkan oleh kelainan mineral seperti kalsium,
magnesium fosfor, atau vitamin D menyebabkan gangguan klinis dramatis yang
umumnya reversibel setelah cacat mendasar telah diobati.
Gangguan ini harus dibedakan dari kelompok yang lebih besar kelainan
tulang genetik di mana ada cacat dalam sistem sinyal tertentu atau jenis sel yang
menyebabkan gangguan tulang. Mungkin ada tumpang tindih. Sebagai contoh,
genetik atau keturunan hypophosphatemia dapat menyebabkan gangguan
metabolisme tulang osteomalacia . Meskipun saat ini belum ada pengobatan untuk
kondisi genetik, penggantian fosfat sering mengoreksi atau memperbaiki kelainan
tulang metabolik.
Kondisi dianggap sebagai penyakit tulang metabolik adalah sebagai berikut.
osteoporosis
Paget penyakit tulang
osteomalasia (dewasa) & rakhitis (anak)
osteitis fibrosa cystica
2.3.2.4 Myelomatosis
Sebuah tulang sumsum berbasis plasma sel neoplasma ditandai oleh
protein monoklonal serum dan penghancuran tulang dengan lesi osteolitik, fraktur
patologis, nyeri tulang, hiperkalsemia, dan anemia. Varian klinis termasuk non-
sekretorik myeloma, membara myeloma, malas myeloma, dan leukemia plasma
sel. (WHO, 2001) - 2003 - (Sumber – Disease Database)
Sel-sel myeloma cenderung untuk mengumpulkan di sumsum tulang dan
di bagian keras luar tulang. Kadang-kadang mereka kumpulkan hanya dalam satu
tulang dan membentuk suatu massa tunggal, atau tumor, yang disebut
plasmacytomaa. Dalam kebanyakan kasus, bagaimanapun, sel-sel myeloma
mengumpulkan di banyak tulang, sering membentuk tumor banyak dan
37
menyebabkan masalah lain. Ketika ini terjadi, penyakit ini disebut multiple
myeloma.
2.3.2.5 Paget’s Disease
Penyakit Paget Pada Tulang (Osteitis deformans) adalah suatu penyakit
metabolisme pada tulang, dimana tulang tumbuh secara tidak normal, menjadi
lebih besar dan lunak. Kelainan ini dapat mengenai tulang manapun, tetapi yang
paling sering terkena adalah tulang panggul, tulang paha, tulang tengkorak, tulang
kering, tulang belakang, tulang selangka dan tulang lengan atas (Ooi dan Fraser,
1997).
Dalam keadaan normal, sel-sel yang menghancurkan tulang tua (osteoklas)
dan sel-sel yang membentuk tulang baru (osteoblas) bekerja seimbang untuk
mempertahankan struktur dan integritas tulang. Pada penyakit Paget, aktivitas
osteoblas dan osteoklas di beberapa daerah tulang menjadi berlebihan dan tingkat
pergantian pada daerah inipun meningkat dengan sangat hebat. Daerah tersebut
akan membesar tapi strukturnya menjadi tidak normal dan menjadi lebih lemah
daripada daerah yang normal (Ooi dan Fraser, 1997).
Biasanya penyakit paget terdiri dari tiga fase. Fase pertama adalah adanya
aktivitas osteoklas yang terus menerus sehingga menyebabkan resorbsi tulang
diikuti oleh fase kedua yaitu osteolitik-osteoblastik dimana osteoblas yang
diproduksi sangat berlebihan pada jaringan tulang tetapi mineralnya tidak ada,
sehingga sampai pada fase terakhir yaitu adanya densitas kortek dan trabekula
tulang dipenuhi oleh deposit osteoblas sehingga tulang mengalami sclerosis,
disorganisasi dan rapuh (Ooi dan Fraser, 1997).
2.3.3 Pemeriksaan
38
Tanda-tanda lokal dari penyakit tulang (sinus yang terinfeksi, skar yang
lama, pembengkakan atau deformitas) tidak boleh dilupakan. Lokasi fraktur
mungkin dapat menunjukkan diagnosis. Pasien dengan osteoporosis involusional
biasanya mengalami fraktur pada corpus vertebra dan pada cocticocancellous
junction dari tulang panjang. Fraktur pada batang dari tulang panjang pada pasien
tua adalah fraktur patologis sampai terbukti sebaliknya (Solomon, et al., 2001).
Pemeriksaan umum dapat memberikan banyak informasi penting.
Congenital dysplasia, fibrous dysplasia, Cushing’s syndrome, dan Paget’s disease
menunjukkan beberapa karakteristik khusus. Pasien mungkin akan mengalami
penurunan berat badan dan menjadi semakin lemah (kemungkinan karena
penyakit keganasan). Lymph node atau liver dapat membesar. Yang tidak boleh
dilupakan adalah pemeriksaan fisik untuk mengetahui apakah terdapat massa pada
abdomen atau pelvis. Pemeriksaan rektal dan vaginal merupakan suatu keharusan
(Solomon, et al., 2001).
Penyebab paling sering dari fraktur fragilitas pada pasien muda (usia
kurang dari 20 tahun) adalah tumor dan kista tulang jinak. Sebaliknya, penyebab
tersering dari fraktur fragilitas pada pasien tua (usai lebih dari 40 tahun) adalah
myelomatosis, karsinoma sekunder, dan Paget’s disease (Solomon, et al., 2001).
2.3.3.1X-ray
Hal yang harus diamati pada pemeriksanan x-ray adalah kondisi
tulang yang mengalami fraktur, daerah di sekitar tulang, dan beberapa
gambaran khusus seperti bentukan kista, erosi kortikal, trabekulasi yang
abnormal, dan penebalan periosteal. Tipe fraktur juga penting untuk
diidentifikasi. Fraktur kompresi vertebra mungkin disebabkan oleh
osteoporosis atau osteomalasia yang berat, atau dapat juga disebabkan oleh
metastasis skeletal atau myeloma. Pada pria dewasa, tidak seperti pada
wanita, gambaran osteoporotik bukanlah merupakan hal yang normal.
Tanda x-ray dari hilangnya densitas tulang dan kompresi vertebra pada
pria berusia kurang dari 75 tahun sebaiknya dikelompokkan ke dalam
fraktur patologis sampai terbukti sebaliknya (Solomon, et al., 2001).
39
2.3.3.2Pemeriksaan Tambahan Lainnya
Pemeriksaan x-ray untuk anggota tubuh lainnya sebaiknya
dilakukan. Pemeriksaan tersebut antara lain foto tulang lainnya, paru, dan
traktus urogenitalia. Pemeriksaan ini penting untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit keganasan (Solomon, et al., 2001).
Pemeriksaan darah dan urine sebaiknya juga dilakukan.
Pemeriksaan darah meliputi hitung darah lengkap, laju endap darah
(LED), elektroforesis protein, dan tes untuk sifilis dan kelainan metabolik
tulang. Pemeriksaan urine dapat menunjukkan adanya darah yang berasal
dari tumor pada traktur urogenitalia, atau protein Bence-Jone pada
myelomatosis (Solomon, et al., 2001).
Local radiogy mnnuclide imaging dapat membantu menegakkan
diagnosis. Whole body scanning penting untuk mencari dan
menyingkirkan beberapa penyebab fraktur fragilitas (Solomon, et al.,
2001).
Beberapa lesi bersifat tipikal sehingga biopsi biasanya tidak
diperlukan (solitary cyst, defek kortikal fibrosa, Paget’s disease). Beberapa
jenis lesi lainnya mungkin memliki gambaran yang tidak begitu jelas,
untuk itu biopsi dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Jika reduksi
terbuka dari fraktur diindikasikan, biopsi dapat dilakukan pada waktu yang
sama (Solomon, et al., 2001).
2.3.4 Pencegahan
Perawatan fraktur femur yang tepat telah terbukti mempercepat proses
penyembuhan. Penatalaksanaan yang cepat, efektif, dan multidisipliner dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien dan juga menurunkan biaya perawatannya.
Berikut ini adalah beberapa elemen dasar dalam perawatan pasien fraktur
patologis (British Orthopaedic Association, 2007).
Perujukan segera di pusat perawatan ortopedik.
Penilaian komprehensif yang cepat – medis, pembedahan, dan anestesi.
40
Penundaan minimal operasi.
Pembedahan yang akurat dan dilakukan dengan baik.
Mobilisasi segera.
Rehabilitasi segera.
Pemulangan pasien dengan didukung oleh rehabilitasi di komunitas.
Pencegahan sekunder, kombinasi antara proteksi tulang dan penilaian
kegagalan terapi.
Sebagian besar pasien fraktur dengan usia tua berada dalam kondisi yang
lemah dan memiliki permasalahan medis yang kompleks. Mereka membutuhkan
perawatan khusus dan rehabilitasi dini oleh ahli orthogeriatri. Perawatan pada
pasien tersebut harus meliputi berbagai bagian. Manfaat perawatan kolaboratif
antara lain sebagai berikut di bawah ini (British Orthopaedic Association, 2007).
Peningkatan standar perawatan medis secara keseluruhan.
Meminimalkan penundaan operasi oleh karena berbagai masalah medis.
Meningkatkan penatalaksanaan komplikasi medis perioperatif.
Koordinasi yang lebih baik dalam kelompok kerja multidisipliner.
Meurunkan angka kejadian adverse events.
Pencegahan sekunder dari fraktur fragilitas:
Fraktur fragilitas meningkatkan resiko fraktur di masa yang akan datang
dan meskipun pencegahan sekunder sudah dilakukan, hanya sebagian kecil
pasien yang mendapatkan manfaat dari intervensi ini.
Pasien tua dengan fraktur sebaiknya dilakukan pemeriksaan osteoporosis
dengan axial bone densitometry. Pada pasien dengan osteoporosis, resiko
fraktur di kemudian hari dapat diturunkan dengan terapi anti-resorptif.
Sebagian besar fraktur berasal dari trauma jatuh, dan intervensi untuk
menurunkan resiko jatuh sangat efektif dalam mencegah kejadian fraktur
selanjutnya.
Idealnya, pencegahan sekunder yang komprehensif sebaiknya meliputi
41
penilaian dan terapi osteoporosis bersamaan dengan penilaian resiko jatuh
pada pasien.
2.3.5 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan fraktur adalah REDUCE, HOLD, EXERCISE.
Akan tetapi, metode yang dipilih untuk setiap fraktur tergantung kondisi dari
tulang. Kelainan patologis yang mendasari fraktur mungkin membutuhkan terapi
sesuai penyakit tersebut (Solomon, et al., 2001).
Gambar 2.3 Penatalaksaan fraktur patologis (a) Pasien dengan deposit sekunder
di bawah trochanter minor disarankan untuk dilakukan prophylactic nailing (b)
dan diikuti dengan pemberian radioterapi (c, d) Fraktur oleh karena metastasis
pada mid-shaft femur, difiksasi dengan menggunakan intramedullary nail
(Solomon, et al., 2001).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
42
3.1 Kesimpulan
1. Tulang merupakan salah satu penyokong tubuh manusia selain sebagai
bagian anggota gerak. Tulang dapat berfungsi sebagai penyokong karena
struktur-struktur anatomis dan histologis yang khas pada tulang
diantaranya sel osteosit, osteoblast, dan osteoklas. Keseimbangan dari
ketiganya akan mempengaruhi kekuatan dari tulang.
2. Patah Tulang dapat terjadi akibat faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal yang sering menyebabkan fraktur adalah trauma baik
trauma tumpul maupun trauma tajam.
3. Fraktur Fragilitas adalah terjadinya patah tulang oleh karena faktor
internal yaitu rusaknya struktur matrik tulang. Fraktur jenis ini sering
mengenai tulang pinggul, head femur, maupun tulang panjang seperti
tulang paha dan tulang lengan.
4. Osteoporosis merupakan penyebab tersering dari fraktur fragilitas dengan
insiden yang meningkat dengan pertambahan usia. Osteoporosis pada
wanita terutama terjadi setelah menopause yang berkaitan dengan
hormon estrogen.
5. Penatalaksanaan dari fraktur fragilitas sangat tergantung dari
penyebabnya. Osteoporosis dapat dicegah dengan asupan makanan dan
olahraga serta dapat diobati dengan terapi estrogen.
3.2 Saran
1. Masalah osteoporosis harus menjadi perhatian yang serius seiring dengan
peningkatan insiden dan tingginya mortalitas dan morbiditas.
2. Penatalaksanaan yang cepat dan tepat akan mampu mengurangi mortalitas
dan morbiditas dari osteoporosis.
3. Dengan kemajuan alat deteksi medis maka akan semakin cepat deteksi
dini dapat dilakukan dengan prognosis yang semakin baik.
43
DAFTAR PUSTAKA
44
Agrawal, R & Prelevic, G. 2000. Serum vascular endothelial growth factor
concentratOIns in postmenopausal women: the effect of hormone
replacement therapy.Fertility and Sterility;73:56–60
Anderson HC: Calcium-accumulating vesicles in the intercellular matrix of bone.
In Hard Tissue Growth, Repair and RemineralizatOIn. Ciba FoundatOIn's
Symposium 11, North Holland, Excerpta Medica,1973
Barclay AE: MicroangOIgraphy and Other Radiological Techniques Employed in
BOIlogical Research. Oxford, Blackwell Scientific PublicatOIns, 1951
Baziad, A. & Rachman, A.I. 1993. Endokrinologi ginekologi. Edisi pertama.
Jakarta: KSERI; 147-154
Berek, J.S., Adashi, E.Y., & Hillard, P.A. 1996. Novak’s gynecology. 12 th ed.
Baltimore: Williams & Wilkins, 1996;981-1011
Bonucci E: The locus of initial calcificatOIn in cartilage and bone. Clin Orthop
78:108, 1971
British Orthopaedic AssociatOIn. 2007. The Care of Patient with Fragility
Fracture. British Orthopaedic AssociatOIn.
Brookes M: The osseous circulatOIn. BOImed Engin 2:294, 1967
Chin, H.G. 1997. On call obstetrics and gynecology. W.B. Saunders company: 7-
18
Christiansen, C. & Riis, B.J. 1990. Postmenopausal osteoporosis. NatOInal
osteoporosis society and the european foundatOIn for osteoporosis and
bone disease, 1990; 9-16, 27-32, 36-39, 53-75.
Crenshaw AH (1992) General principles of fracture treatment. In Crenshaw AH
(ed) Campbell´s operative orthopaedics 8th ed. Mosby-Year Book Inc., St.
Louis.
Egol et al., 2010. Handbook of Fractures Fourth EditOIn. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins
Einhorn TA (1998) The cell and molecular bOIlogy of fracture healing. Clin
Orthop: S7-21.
45
Ettinger, B. & Bainton, L. 1997. Comparison of endometrial growth produces by
unopposed conjugated estrogens or by micronized estradOIl in
postmenopausal women. Am. J. Obstet Gynecol;176:112-117
Frost HM (1989) The bOIlogy of fracture healing. An overview for clinicians.
Part I. Clin Orthop: 283-293.
Greenbaum MA & Kanat OI (1993) Current concepts in bone healing. Review of
the literature. J Am Podiatr Med Assoc 83: 123-129.
Hosono, N., Yonenobu, K., & Fuji, T. 1995. Orthopaedic Management of Spinal
Metastases. Clinical Orthopaedics 312: 148-159.
Jones, D.L. 1990. Osteoporosis. In: Burgen H and Boulet M. A Portrait of the
menopause. The Parthenon Publishing Group, 1990; 83-101.
Jones, H.W., Wentz, A.C., Burnett, L.S. 1988. Novak’s text book of gynecology.
Eleventh EditOIn. William and Wilkins. Baltimore-Hongkong-London-
Sydney, 1988; 420-429
Kanis, J.A. & Glüer, C.C. An Update on The Diagnosis and Assessment of
Osteoporosis with Densitometry. Osteoporosis Int. 2000: 11: 192-202.
Lanes, R. & Gunczler, P. 1992. Decreased bone mass despite long-term estrogen
replacement therapy in young women with Turner’s syndrome and
prevOIusly normal bone density. Fertility and sterility 1999;72:896-899
25. Hillard C Timothy MRCOG, Bourne H Thomas MRCOG. Differential
effects of transdermal estradOIl and sequential progestrogens on
impedance to flow within the uterine arteries of postmenopausal women.
Fertility and sterility 1992;58:959-963
Lindsay, R. 1987. Estrogen therapy in the preventOIn and management of
osteoporosis. Am J Obstet Gynecol; 156: 1347-1351.
Marcus et al., 2010. Fundamentals of Osteoporosis. London : Elsevier inc
Marks SC Jr: Osteopetrosis in a rat cured by spleen cells from a normal litter
mate. Am J Anat 146:331,1976
Mazzaferri, L.E. 1997. EvaluatOIn and management of common thyroid disorders
in women. Am. J Obstet Gynecol;176:507–513
46
Michele et al., 2002. The Silver Book®: Osteoporosis. Amerika : NatOInal
Osteoporosis FoundatOIn
Mc. Phee SJ, Lingappa VR, Ganong WF, Lange JD. 1995. PathophysOIlogy of
disease an introductOIn to clinical medicine. First EditOIn. Prentice Hall
InternatOInal Inc. San Francisco-California; 414-419.
Mikkola, T. & Viinikka, L. 2000. AdministratOIn of transdermal estrogen without
progestin increases the capacity of plasma and serum to stimulate
prostacyclin productOIn in human vascular endothelial cells. Fertility and
sterility;73:72-74
Ooi, C.G. & Fraser, W.D. Paget’s Disease of Bone. Postgrad Med J. 1997:73:70.
Owen M, Melick R, Triffitt J: Plasma proteins and bone tissue fluids. Ninth
European Symposium on Calcified Tissues, abstr, p 49. Vienna, Verlag
der Wiener Medizinischen Akademie, 1972
Prabowo, R.P. 1997. Osteoporosis pada wanita posmenopause. Maj Obstet dan
Gynekol 1997; 6: 1-9.
Rahman IA, Bongguk R, Surjana EJ. 1996. Peranan Vit. D3, kalsium dan obat
hormon pengganti pada penatalaksanaan osteoporosis pascamenopause.
Dalam: Kumpulan makalah KOGI X. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK.
UI/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta; 1-9.
Ravnikar VA. Hormonal management of osteoporosis. Clin Obstet and Gynecol
1992; 35: 913-922.
Rhinelander FW: The normal microcirculatOIn of diaphyseal cortex and its
response to fracture. J Bone Joint Surg 50A:784, 1968
Rhinelander FW: CirculatOIn in bone. Bourne G (ed): The BOIchemistry and
PhysOIlogy of Bone, vol. 2, chap 1. New York, Academic Press, 1972
Rhinelander FW: Tibial blood supply in relatOIn to fracture healing. Clin Orthop
105:34, 1974
Rhinelander FW, Stewart CL, Wilson JW: Bone vascular supply. In Skeletal
Research, pp 367-395. New York, Academic Press, 1979
47
Riggs BL. Pathogenesis of osteoporosis. Am J Obstet Gynecol 1987; 156: 1342-
1346
Samsulhadi. 1997. Pengobatan hormon pengganti. Maj Obstet dan Ginekol; 6: 15-
21
Serdar, A. & Erenus, M. 2000. Effect of a single dose of oral estrogen on left
ventrcular diastolicfunctOIn in hypertensive postmenopausal women with
diastolic dysfunctOIn.Fertility and Sterility 2000;73:66–71
Snabes & Herd, A. 1996. In normal postmenopausal womwn physOIlogic
estrogen replacement therapy fails to improve exercise tolerance: A
randomized, double-blind, placebo-controlled, crossover trial. Am. J.
Obstet Gynecol 1996;175:110-113
Solomon, L., Warwick, D.J., & Nayagam, S. 2001. Apley’s System of
Orthopaedics and Fractures, 8th editOIn. New York: Oxford University
Press.
Tanjung FA. 1997. Penanggulangan osteoporosis dilihat dari aspek orthopaedi.
Dalam: Makalah lengkap PIT X. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK. UI/
RSUPN Dr. Cito Mangunkusumo Jakarta; 66-82.
WHO. 2003. PreventOIn and Management of Osteoporosis. Geneva: World
Health OrganizatOIn
Young RW: Nucleic acids, protein synthesis and bone. Clin Orthop 26:147, 1963
NORMALVASCULAR ANATOMY
Savitri, Cininta. 2011. Pola Distribusi Patah Tulang Panjang Terbuka
Berdasarkan Derajat dan Lokasi Patah Tulang Serta Usia Pasien di RSUD A. W
Sjahranie PerOIde 2008-2010. Samarinda: Universitas Mulawarman.
De Graaff, Van. 2001. Human Anatomy Sixth EditOIn. The McGraw-Hill
companies