fraktur-dan-dislokasi-ankle.
-
Upload
naomifetty -
Category
Documents
-
view
112 -
download
11
description
Transcript of fraktur-dan-dislokasi-ankle.
TRAUMA
Ankle fracturesAleksandar Lesic, Marko BumbasirevicInstitute for Orthopaedic Surgery and Traumatology, School of Medicine, Visfegradska 26, 11000 Belgrade, Serbia and Montenegro
Kata Kunci : Fraktur Ankle; Pengobatan; Komplikasi; Prognosis
Rangkuman
Injuri ankle, terutama fraktur maleolus, cukup sering terjadi. Outcome
penanganannya tergantung pada identifikasi mekanisme injuri yang benar dan
realignment fraktur ankle dengan fiksasi yang sesuai. Diagnosis fraktur ankle dapat
ditegakkan pada pemeriksaan radiologis awal dan jika hanya ada satu bagian yang patah
pada ankle mortice, tanpa displacement yang signifikan, maka bisa ditangani dengan
terapi non operatif. Double break ankle mortice ring yang disertai dengan displacement
dan kerusakan tibiofibular memerlukan open reduction dan fixasi internal. Apapun teknik
yang digunakan sebaiknya memberikan fiksasi yang stabil dan kongruensi sempurna pada
ankle joint mortice dan seharusnya diikuti dengan mobilisasi awal.
Pronasi atau Fraktur ankle tipe Weber C dan fraktur pilon dikaitkan dengan skor
outcome yang lebih rendah sementara itu fraktur supinasi-eversi pada klasifikasi Lauge-
Hansen ditandai dengan displacement dan komplikasi yang lebih sedikit.
Sejarah
Fraktur ankle didefinisikan oleh Sir Pervical Pott pada tahun 1768, sebagai fraktur
fibula yang disertai dengan kerusakan deltoid.1 Fraktur bimaleolus didefinisikan oleh
Dupuytren pada tahun 1819 sebagai fraktur ankle tipe supinasi-eversi. Maison-neuve
pada tahun 1840 menjelaskan adanya fraktur spiral pada bagian proksimal fibula, yang
disebabkan oleh rotasi eksternal. Tillaux pada tahun 1872 menemukan terjadinya fraktur
avulse dari insersi tibia ke anterior tibiofibular ligament. Semuanya ini menjadi eponym
tipe tertentu dari fraktur ankle.2
Penanganan dan biomekanika fraktur ankle masih menjadi masalah, walaupun
telah ada berbagai publikasi klasifikasi dan makalah. Tujuan akhir penanganan fraktur
ankle adalah memperoleh posisi anatomi ankle mortice dan ankle joint yang stabil,
mobile, dan bebas nyeri. Injuri ankle sangat sering terjadi dan bisa melibatkan struktur
1
tulang serta ligament.3 Tingkat keparahan trauma bervariasi dari ankle sprain sampai
unstable bi/trimalleolar fracture, pilon, dan open ankle fractures/ dislocations.
Ankle merupakan modified hinge joint yang terdiri dari tiga tulang (tibia, fibula,
dan talus), serta ligamen-ligamen yang mempersatukan tulang-tulang tersebut.4
Stabilitas talocrural ankle joint ditentukan oleh elemen osseus dan ligament yang
kuat. Lateral collateral ligament terdiri dari tiga komponen: anterior talofibular ligament
(ATFL), calcaneofibular ligament (CFL), dan posterior talofibular ligament (PTFL),
sementara itu medial deltoid ligament terdiri dari bagian superficial dan profundus
(bagian yang lebih kuat) yang merupakan medial stabilizers ankle joint.5
Ujung distal fibula berada di tibial groove, diperkuat oleh tibiofibular ligament
dan diberi nama syndesmosis. Bagian yang kompleks ini terdiri dari sekelompok
ligament – anteroinferior dan posteroinferior tibiofibular ligament dan yang paling kuat,
interosseus ligament yang merupakan bagian interosseus membrane yang paling tebal.2,4
Di sekitar ankle joint ada 11 tendon dan elemen neurovaskulernya.6 Tidak ada
perlekatan otot atau active stabilizers, sehingga stabilitas sendi hanya tergantung pada
struktur konfigurasi tulang dan capsuloligament.
Biomekanika
Ligament dan tendon yang berada di sekitar ankle joint memperkuat stabilitas
sendi demikian pula coupled motion pada sagital plane dan lebih sedikit pada frontal
plane. Pergerakan ankle memiliki rentang antara 150 sampai dengan 320 dorsiflexion
sampai 15-300 plantarflexion.7 Untuk langkah normal hanya diperlukan 100 dorsiflexion
dan 200 plantarflexion.8 Juga ada beberapa pergerakan fibula pada bagian distal
tibiofibular joint.9
Ankle merupakan weight bearing joint (sendi yang digunakan untuk menyangga
berat badan) yang dapat menahan beban sampai dengan lima kali lipat berat badan selama
berjalan dan berlari.5 Fibula bisa menahan seperenam berat badan. Fungsi ankle
tergantung pada pemeliharaan hubungan anatomi yang normal antara semua elemen ini,
terutama integritas syndemosis.
Dengan demikian, ankle injuries yang menurunkan tibiotalar contact area akan
menyebabkan peningkatan contact pressure, rasa nyeri pada sendi, dan meningkatkan
2
degenerasi.10 Hal ini sering dijumpai pada syndemotic dan bipolar injuries, dengan talar
displacement dimana ankle joint inkongruen dan rentan terhadap terjadinya perubahan
arthritis tanpa penanganan yang adekuat.
Peran struktur ankle yang berbeda telah diteliti secara luas dan kesimpulannya
primary stabilizer pada ankle joint adalah lateral fibular complex dan talus.11 Tibiofibular
dysfunction menyebabkan talar displacement yang hebat dan berhubungan dengan
perubahan degeneratif.12
Ankle ligament injuries sering terjadi (terutama anterior talofibular ligament) dan
jika terjadi bersamaan dengan fraktur ankle, maka waktu penyembuhan akan menjadi
lebih lama. Dengan demikian, jika nyeri tetap ada untuk waktu yang lama setelah
terjadinya penyembuhan fraktur, maka hal ini mungkin terjadi akibat instabilitas sendi,
reactive synositis atau kompresi saraf. Ankle injuries yang samar-samar (hampir tidak
terlihat secara radiografi) seperti fraktur osteochondral atau chondral bisa menimbulkan
rasa nyeri. Maka dalam hal ini disarankan untuk melakukan magnetic resonance imaging
(MRI).
Klasifikasi
Dengan adanya penelitian mengenai fraktur ankle selama beberapa dekade, maka
ada banyak klasifikasi yang melibatkan mekanisme injuri dan pola fraktur. Klasifikasi
yang paling sering digunakan adalah Lauge-Hansen dan Weber.13 Klasifikasi Weber lebih
mudah digunakan secara klinis, namun terlalu sederhana sehingga tidak bisa menjelaskan
mekanisme injuri/fraktur ankle yang kompleks. Kombinasi kedua klasifikasi ini lebih
disukai karena ahli bedah akan bisa menetapkan hubungan antara radiografi fraktur,
mekanisme injuri dan metode penanganan yang optimal.
Klasifikasi Lauge – Hansen
Saat ini, klasifikasi yang paling bisa diterima adalah yang dibuat oleh Lauge-
Hansen pada tahun 1948. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan percobaan, gambaran klinis
dan radiografi dan menunjukkan bahwa tipe fraktur tergantung pada posisi foot dan arah
gaya saat terjadinya injuri.14-17 Pemahaman klasifikasi Lauge-Hansen merupakan dasar
bagi penanganan fraktur ankle secara rasional.
3
Istilah klasifikasi Lauge-Hansen, yang dibuat berdasarkan penelitian dengan
menggunakan cadaver, saat ini dimodifikasi untuk alasan semantik. Eversi foot diubah
dengan istilah external rotation, yang menekankan mekanisme utama fraktur ankle berupa
rotasi yang berlebihan dan posisi talus pada ankle mortice, pada saat injury.18 Ada lima
kelompok utama fraktur ankle (table 1).
Klasifikasi Danis-Weber
Klasifikasi Danis-Weber dibuat berdasarkan tingkat fraktur lateral/fibula, tingkat
kerusakan syndesmosis tibiofibular, dan kemungkinan instabilitas talus (ankle).19
Berdasarkan system Danis-Weber, setiap tipe fraktur bisa dihubungkan dengan tipe injuri
yang sesuai dengan klasifikasi Lauge-Hansen (Tabel 2).
Pada fraktur tipe A, terjadi fraktur fibula transversal di bawah joint line, dengan
syndemosis yang intak, dan fraktur tipe ini berhubungan dengan fraktur supinasi-aduksi
Lauge-Hansen.
4
Fraktur tipe B berupa fraktur pada tingkat ankle joint line, disertai dengan partial
syndemosis injury. Fraktur ini sesuai dengan supination-eversion injury pada klasifikasi
Lauge-Hansen.
Tipe C merupakan fraktur fibula di bagian proksimal tibiofibular joint yang
berhubungan dengan kerusakan syndesnmosis. Ada dua subtype fraktur yang diketahui:
diaphysis (Dupuytren) dan proksimal (Maisonnevue). Fraktur tipe ini sesuai dengan
fraktur pronation-eversion atau pronation-abduction Lauge-Hansen. Fraktur ini memiliki
instabilitas yang paling lemah.
Weber mengabaikan bagian medial ankle joint dan menekankan syndemosis
fibula dan tibiofibular.
Segi penting klasifikasi apapun tergantung pada kemampuannya untuk
dipraktekkan secara klinis. Harus ditunjukkan struktur mana yang mengalami kerusakan
dan bagian mana yang harus diperbaiki, bahkan walaupun bagian tersebut tidak terlihat
pada X-ray (lesi ligament).
Yang tidak boleh dilupakan adalah ankle sprain yang merupakan injuri yang
paling sering ditemukan pada ankle, namun injuri ini tidak dibahas pada artikel mengenai
fraktur ankle. Sebagian besar ankle sprain terjadi akibat foot inversion dan injuri terletak
pada lateral ligament complex. Sebagian besar ankle sprain, termasuk grade III, bisa
ditangani dengan gips (cast immobilization).
Epidemiologi
External-rotation (eversion) fractures adalah fraktur yang paling sering
terjadi,5,14,20,21 sementara itu fraktur pronation-dorsiflexion (pilon) jarang terjadi (Tabel
3).
5
Diagnosis
Diagnosis fraktur ankle ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
gambaran radiologis.
Pada anamnesis harus ditanyakan mengenai mekanisme injuri, keadaan medis
sebelumnya, dan kegiatan fisik (kebutuhan fungsional pergerakan ankle) yang merupakan
faktor yang paling penting untuk mengambil keputusan metode penanganan apa yang
akan diambil. Mekanisme injuri yang paling sering pada sebagian besar kasus adalah
jatuh (66% kasus pada penelitian kami).21,22
Pemeriksaan fisik mengidentifikasi kasus urgen, open fractures, gangguan
neurovaskuler, dan tanda-tanda terdapatnya sindrom kompartemen. Nyeri tekan lokal dan
stabilitas ankle seharusnya diperiksa.
Gambaran radiologis penting untuk menentukan struktur mana yang mengalami
injuri, dan menentukan rencana terapi, konfirmasi kualitas reduction dan evaluasi hasil
penanganan.
Pemeriksaan X-ray awal meliputi tiga proyeksi: anterior-posterior, lateral, dan
mortice view dengan posisi foot internal rotation 150. Kadang-kadang diperlukan
penekanan gambaran radiografi untuk mencari instabilitas lateral atau medial. Three
dimensional computed tomography (3DCT) berguna untuk fraktur pilon.23 MRI juga
berguna untuk mendeteksi lesi ankle chondral, tendon atau ligamen.
Pada pemeriksaan radiografi, perlu dievaluasi beberapa parameter berikut ini
untuk menilai integritas tibiofibular dan ankle alignment:3,5,24-26
1. medial joint space kurang dari 4 mm, dengan talar tilt kurang dari 2 mm (pada
mortice view)
2. interosseus clear space kurang dari 5 mm (Chaput clear space)
3. overlap antara anterior tibial tubercle dan fibula minimal 10 mm
4. talocrural angle (normal 830 ± 40)
5. talar tilt (00, dengan toleransi perbedaan 50 antara dua ankle joint)
6. tibiotalar line pada radiografi lateral dan AP harus melewati bagian tengah tibia
dan pertengahan talus.
6
7. setelah reduction, hasilnya dievaluasi dengan menggunakan control X ray dan
hasil yang bisa diterima adalah residual displacement sampai dengan 2 mm,
terutama untuk panjang fibula dan sampai dengan 0,5 mm untuk talar
displacement.27,28
Selama follow up, seharusnya dicatat mengenai perubahan arthritis secara radiologis.
Outcome hasil harus dinilai secara kuantitatif dan disajikan dengan menggunakan
sistem skor. Walaupun ada beberapa sistem skor yang digunakan, kami memiliki
pengalaman yang baik dengan sistem Petrone yang mengevaluasi tiga kelompok
skor:29 klinis (100 poin), radiological reduction (35 poin), dan skor arthritis (15 poin).
Skor ini lebih disukai penggunaannya dengan pertimbangan clinical outcome
(subyektif dan obyektif) yang menyatakan bahwa gambaran radiologis yang buruk
bisa diterima jika pasien merasa lebih baik. Walaupun demikian, aturannya adalah
gambaran klinis berhubungan dengan gambaran radiologis dan observasi ada tidaknya
arthritis.
Penanganan
Penanganan fraktur ankle bisa secara konservatif maupun operatif dan tergantung
pada tipe fraktur, keadaan sirkulasi dan kondisi kulit, kondisi umum pasien dan
kemungkinan ada tidaknya berbagai komplikasi.
Aturan/pedoman yang penting dalam penanganan fraktur ankle adalah sebagai
berikut:5,6
a) fraktur dan fraktur/dislokasi sebaiknya direduksi secepat mungkin pada korban
(pasien) karena gross displacement bisa menyebabkan gangguan sirkulasi perifer,
neuropraxia, dan ischemic loss of skin.
b) Semua permukaan articular harus direkonstruksi secara anatomis, karena
inkongruen bisa menyebabkan post traumatic arthritis
c) Reduksi fraktur harus dipertahankan selama periode penyembuhan, namun
external cast immobilization (gips) yang berlebihan memiliki efek yang sangat
buruk terhadap cartilago
d) Pergerakan ankle seharusnya dimulai pada saat awal untuk mencegah dan
meminimalkan efek imobilisasi yang tidak diinginkan misalnya atropi, kontraktur,
7
perlekatan synovium, degenerasi cartilago, dan perubahan vaskuler yang disertai
dengan edema.30
Apakah penanganan fraktur ankle dilakukan secara open ataupun closed,
keberhasilan penanganan juga tergantung pada keadaan dan penanganan soft tissue serta
kulit. Abrasi yang terjadi dalam periode 12-14 jam bisa menunda pembedahan secara
signifikan, sementara itu ketegangan (tension) pada betis dan peningkatan nyeri saat
passive stretching seharusnya dicurigai oleh ahli bedah sebagai compartment syndrome
pada ankle dan foot.
Penanganan non operatif vs operatif untuk fraktur ankle
Penanganan non operatif
Beberapa penelitian menyatakan bahwa closed reduction dengan cast
immobilization seharusnya ditujukan untuk fraktur yang stabil, non displaced,
anatomically reduced fractured dan untuk para pasien dengan kondisi medis yang buruk.
Di sisi lain, fraktur yang tidak stabil atau fraktur yang disertai dengan displacement
seharusnya ditangani dengan jalan pembedahan.31-36
Pada closed reduction fraktur ankle, reduction dilakukan dengan membalik
mekanisme injuri.37 Hal ini seharusnya dilakukan dengan menggunakan anestesi umum
atau spinal dengan posisi knee in flexion dan lower leg dropped down (menggantung)
pada ujung meja. Dengan posisi ini, maka proses reduksi akan dipermudah dengan
bantuan gaya gravitasi.
Jika ada pembengkakan dan kemungkinan untuk terjadinya redisplacement, maka
sebaiknya diambil X-ray yang kedua dalam waktu 48 jam, tujuh hari, dan empatbelas hari
serta setiap dua minggu kemudian. Jika edema berkurang, maka reduction gagal, dan
pembedahan segera seharusnya dilakukan, serta hal ini akan memberikan hasil yang
sempurna.5 Above knee plaster dipasang pada posisi knee fleksi 150. Setelah tiga sampai
dengan empat minggu,38 dipasang below knee plaster cast. Tergantung pada penilaian ahli
bedah mengenai instabilitas ankle, maka pasien diperbolehkan weight bear dengan
walking cast setelah tiga sampai dengan empat minggu. Fraktur normalnya menyambung
(unites) dalam waktu 12-16 minggu.
8
Penanganan operatif
Prinsip utama di dalam penanganan fraktur ankle adalah stabilisasi ankle ring.
Displaced ankle fractures bisa ditangani dengan open reduction jika anatomic reduction
tidak bisa dilakukan secara closed atau jika tidak mungkin untuk mempertahankan
reduction.
Indikasi open reduction and internal fixation adalah displaced unstable fractures,
terutama jika terjadi talar subluxation, bahkan pada pasien yang berusia lanjut.39
Kontraindikasi open reduction and internal fixation adalah infeksi, paraplegia
(imobilitas pasien), orang usia lanjut, dan pasien dengan kegiatan yang berisiko untuk
mengalami multiple injury.6
Waktu pembedahan penting karena fase pembengkakan dan inflamasi fraktur
akan mempengaruhi outcome. Untuk kasus ini lebih disukai jika dilakukan pembedahan
pada saat awal.40 Setelah 21 hari, anatomic reduction sering kali tidak mungkin dicapai
dan penundaan pembedahan dalam waktu lebih dari 3 minggu akan menyebabkan
outcome yang buruk.41
Outcome setelah penanganan operatif atau non operatif (berdasarkan Pugh5)
disajikan pada tabel 4 (dinyatakan dalam bentuk persentase hasil yang baik atau
sempurna).
Pada fraktur tipe supination-eversion (Weber tipe A), tidak ada perbedaan besar
antara penanganan operatif dan non operatif, namun untuk fraktur tipe pronation (tipe C),
outcome lebih baik pada kelompok operatif. Hasil penanganan fraktur ankle
9
menunjukkan bahwa hasil yang paling buruk, setelah penanganan non operatif,
ditemukan pada kelompok C (injuri tipe pronation-eversion dan pronation abduction)
Pada penelitian kami, sebagian besar fraktur tipe pronation ditangani secara
pembedahan, sementara itu fraktur tipe A (SE) bisa ditangani secara baik dengan closed
reduction and cast immobilization.5,21,25
Dari sudut pandang pembedahan, penting sekali untuk menjelaskan prinsip utama
penanganan operatif untuk tipe fraktur tertentu (dari open ankle fractures sampai mono-,
bi-, dan trimalleolar fractures serta pilon fractures).
Open ankle fractures merupakan injuri yang berat, sering kali disertai dengan
kontaminasi. Penanganan open ankle fractures seharusnya dilakukan berdasarkan prinsip
yang ditetapkan pada tahun 1976 oleh Gustillo dan Anderson.42 Mereka
mengklasifikasikan open fractures menjadi tiga tipe berdasarkan kerusakan soft tissue
dan kontaminasi.
Tipe I – luka bersih – laserasi kurang dari 1 cm
Tipe II – laserasi > 1 cm tapi tanpa kerusakan soft tissue yang luas, skin flaps ataupun
avulsion.
Tipe IIIa – laserasi soft tissue atau flaps yang luas namun tulang masih tertutup soft tissue
Tipe IIIb – laserasi soft tissue atau flaps yang luas sampai kelihatan bagian tulangnya.
Tipe IIIc – open fracture disertai dengan vascular injury yang memerlukan pembedahan.
Pada saat pemeriksaan awal, seharusnya dilakukan kultur dengan bahan wound
swab, luka sebaiknya ditutup, dan diberikan profilaksis tetanus serta antibiotic. Pada
fraktur tipe II dan III juga diberikan aminoglikosida. Penanganan pembedahan pada open
ankle fractures dilakukan dalam tiga tahapan.43
i. Irigasi dan debridemen luka
ii. Fiksasi internal atau eksternal pada fraktur
iii. Evaluasi soft tissue dan penutupan defek kulit
Penutupan luka ditunda dalam waktu 48 – 72 jam setelah debridemen awal.
Waktu yang sebenarnya untuk penutupan luka secara definitive tergantung pada keadaan
luka. Penutupan kapsul merupakan hal yang penting, sementara itu kulit bisa ditutup
kemudian.44,45 Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan internal fixation pada saat
awal, namun pada grade II dan III lebih baik menggunakan external fixation dan kulit
10
ditutup pada saat awal (gambar 1a dan b). Defek soft tissue sulit ditutup namun bisa
digunakan rotational or free muscle flaps. Walaupun telah diberikan profilaksis, angka
kejadian infeksi sangat tinggi: 2% pada grade I, 6% pada grade II dan 30% pada
grade III.42
Lateral malleolar fractures: fraktur ini bias terjadi tanpa disertai dengan fraktur
yang lainnya namun paling sering dihubungkan dengan bimalleolar and trimalleolar ankle
fractures. Minimal displacement, yaitu kurang dari 2 mm, memberikan outcome yang
baik/sempurna setelah dilakukan penanganan konservatif.28 Pada displaced fractures,
diindikasikan untuk penanganan operatif. Konfigurasi fraktur menentukan tipe alat fiksasi
yang digunakan. One third tubular plates bias ditempatkan di bagian lateral (gambar 2)
dengan atau tanpa interfragmentary screws atau jika ada fraktur oblik yang berukuran
kecil maka bisa digunakan posterior antigrade plate.46
11
Beberapa ahli lebih suka menggunakan tension wiring fixation untuk fragmen
distal fibula yang berukuran kecil, namun jika terjadi displacement yang lebih lebar pada
fraktur tipe ini maka bisa digunakan one third tubular plate, yang ditempatkan di bagian
permukaan lateral maupun posterolateral fibula. Hal ini terutama diindikasikan pada
tulang yang telah mengalami osteoporosis.47 Juga telah digunakan intramedullary rods.
Cedel menyarankan penggunaan non rigid fixation disertai dengan minimal fixation
device (gambar 3).
Sekarang, alat semacam ini tidak digunakan secara luas lagi karena tidak dapat
mengontrol rotasi fibula dan bisa menyebabkan malunion, namun beberapa ahli masih
menyarakan penggunaannya.48
Isolated medial malleolar fractures: Chapman dan Nuney menemukan sedikit
bukti untuk membenarkan penggunaan fiksasi internal pada undisplaced medial malleolar
fractures. Walaupun demikian, mereka merekomendasikan penggunaan fiksasi untuk
displaced fractures pada medial malleolus karena anatomic reduction ujung medial ankle
joint merupakan hal yang penting. Demikian pula, karena bagian anteromedial kapsul
sendi diinsisi, maka cavitas sendi dicuci dan fragmen-fragmen kecil dipertahankan.
Medial malleolus selanjutnya difiksasi dengan menggunakan rigid internal fixation
system yang terdiri dari dua cannulated malleolar 4 mm screws atau 4,5 mm malleolar
screw (gambar 4).
12
Pada kasus fragmen yang berukuran kecil, atau tulang yang mengalami osteoporosis,
maka tension wire construct mungkin merupakan metode yang lebih nyaman (gambar 3).
Akhir-akhir ini, malleolar fractures telah difiksasi dengan menggunakan biodegradable
screws.49,50
Robekan deltoid ligament: kondisi ini jarang terjadi secara tersendiri, namun lebih
sering dihubungkan dengan fraktur fibula (sehingga diberi nama bimalleolar equivalent).
Yablon menyatakan bahwa injuri deltoid saja tidak menyebabkan instabilitas ankle dan
tidak perlu di-repair.
Bimalleolar fractures: keputusan penanganan dibuat berdasarkan kebutuhan
individu, risiko, dan akseptabilitas radiografi post reduksi. Closed reduction bisa
dilakukan terutama pada pasien berusia lanjut dengan fraktur supinasi-eversi. Namun
pada pasien yang berusia lebih muda dengan supination-abduction and pronation-
eversion type of fractures, metode operasi lebih disukai.21 Lateral malleolus merupakan
kuncinya dan penting distabilisasi dahulu untuk mencegah lateral talar subluxation,
selanjutnya diakukan fiksasi pada sisi medial. Jika tidak, maka pemendekan dan rotasi
13
fibula bisa menyebabkan peningkatan contact pressure,10 dan terjadinya arthritis pada saat
awal kadang-kadang memerlukan fusi ankle.
Reduksi fraktur diperkuat dengan lima sampai dengan enam semitubular plate
yang ditempatkan pada ujung posterolateral fibula. Kadang-kadang bagian dital plate
harus dibengkokkan. Pada high fibular fracture with comminution, IC-DCP plate yang
lebih kuat diperlukan untuk meningkatkan stabilitas. Medial malleolus difiksasi dengan
dua screws.
Trimalleolar fractures: Trimalleolar fractures meliputi bimalleolar fracture yang
disertai dengan fraktur posterior lip tibia. Fragmen ini memiliki ukuran yang bervariasi
dan penanganannya tergantung pada ukuran posterior malleolar fragment.51 Untungnya
fragmen ini berukuran kecil pada sebagian besar kasus, dan sering kali, dengan reduksi
lateral malleolus, fragmen posterior bisa dikembalikan ke posisi yang bisa diterima.
Namun jika fragmen posterior melibatkan lebih dari 25% reduksi permukaan sendi, maka
direkomendasikan untuk melakukan fiksasi internal (Gambar 5a, b, dan c) untuk
mencegah subluksasi talus ke posterior (instabilitas anterior) dan arthritis post traumatik.
14
Tibiofibular disruption (injuries of the tibifibular syndesmosis): sebagian besar
pronation-eversion fractures dengan high fibular fracture (3-4 cm di atas joint line)
diklasifikasikan unstable dan syndesmosisnya harus distabilkan52,54 untuk mencegah
pelebaran ankle dan perubahan menjadi arthritis selanjutnya. Stabilitas fibula harus
dievaluasi intraoperatif, secara manual dan radiografi.
Pada kasus syndesmosis disruption, fibula harus direduksi dan ditransfiksasi
menggunakan transfixion screw atau pada kasus comminution atau osteoporotic bone,
screw ditempatkan pada semitubular plate (Gambar 6).
Transfixion screw harus ditempatkan sekitar 2 cm di atas joint line di bagian posterior
dan superior supaya bisa melewati tibia. Sebelum ‘mengencangkan’ (memperkuat)
syndesmosis screw, semua elemen fraktur ankle harus distabilkan dengan posisi ankle 900
karena posisi ini memberikan gerakan ankle yang paling penuh (sempurna). Masih ada
beberapa kontroversi seperti misalnya berapa cortices yang digunakan dan dia
mengangkat syndesmotic screw setelah 6 minggu. Myerson mengangkat screw-nya
setelah 3 bulan.
Pada kasus neglected tibiofibular disruption, bisa dilakukan fibular osteotomy di
bagian proksimal joint line. Fragmen distal ditarik ke arah distal dengan internal rotation.
15
Ditambahkan bone graft dan difiksasi dengan plate. Pasien berjalan menggunakan brace
atau walking cast selama empat sampai dengan enam minggu dan setelah cast diangkat,
maka terapi fisik dimulai. Pasien harus membatasi aktivitasnya selama 3 bulan.
Posterior tibial lip fracture: fraktur ini jarang terjadi secara tersendiri. Juga dikenal
dengan nama posterior third malleolus fracture. Avulsion fractures dan fraktur yang
melibatkan lebih dari 25% permukaan sendi memerlukan penanganan operasi.8,20 Setelah
reduksi melalui posterior approach, fragmen posterior difiksasi secara temporer dengan
K-wires dan kontrol X-ray, cannulated screw ditempatkan dari anterior ke posterior.55
Anterior tibial lip fracture: lebih jarang terjadi dibandingkan dengan posterior
tibial lip fracture. Bisa dibagi ke dalam tiga bentuk: yang pertama adalah avulsion
(berupa anterior margin avulsion pada anterior joint capsule), yang kedua berupa fragmen
yang lebih kecil dari 25% permukaan sendi dan yang ketiga adalah fraktur dengan
fragmen yang lebih besar dari 25%. Fraktur ini disebabkan oleh benturan aksial (axial
blow and impaction) dan memerlukan fiksasi internal dengan screw. Kadang-kadang,
pada kasus comminution, fiksasi anterior lip fracture sulit atau bahkan tidak mungkin
dilakukan.
Posterior tibial lip fracture – Pilon fractures: istilah ini pertama kali diperkenalkan
oleh Destaut pada tahun 1911. Tibial pilon/plafond fractures merupakan fraktur pada
bagian distal tibia dengan adanya kemungkinan kerusakan permukaan sendi tibiotalar
joint. Fraktur ini disebabkan oleh axial compression force (high energy trauma), yang
menyebabkan talus bergerak ke arah tibia. Fraktur pada bagian distal tibia merupakan
fraktur ankle yang paling berat, yang menyebabkan terjadinya kerusakan epifisis dan
sendi.
Klasifikasi AO pilon fractures ditegakkan berdasarkan tingkat keparahan
comminuition dan displacement.
Pilon fractures paling baik dilihat dengan menggunakan three dimensional
computed tomography (gambar 7).23
16
Menurut Yablon, jika pilon fracture melibatkan kurang dari 20% permukaan
sendi, atau displacement- nya kurang dari 2 mm, maka bisa ditangani secara non operatif.
Indikasi lainnya untuk tidak melakukan pembedahan adalah peripheral vascular disease,
diabetes mellitus, kerusakan kulit, paralisis comminution berat dan kondisi soft tissue
yang buruk. Semua hal ini memiliki risiko tinggi terjadinya infeksi setelah dilakukan
fiksasi internal.8
Setelah fiksasi internal klasik (dengan prinsip AO), angka kejadian komplikasi
yang tinggi dilaporkan pada lebih dari 40% kasus. Walaupun Miller menyarankan untuk
melakukan open reduction and internal fixation, Teeny melaporkan hasil yang buruk
sebanyak 50% dan infeksi profundus sebanyak 26% pada type C pilon fractures.3,58
Ovadia dan Beals59 hanya menemukan 22% hasil yang baik sampai sempurna setelah
dilakukan conventional rigid internal fixation dengan T plate dan bone graft.
Komplikasinya signifikan, antara lain infeksi, hilangnya kulit, dan amputasi.5 Oleh karena
itu, debridement dan external fixation adalah pilihan yang masuk akal.
External fixation dilakukan pada comminution fractures dengan cara bridging
pada ankle joint sehingga terjadi rigid fixation pada kedua sisi fraktur dan ankle joint.
Fiksasi eksternal ini hanya bersifat temporer. Sekarang ada metode dynamic joint fixation
dengan minimal internal fixation yang memampukan pergerakan ankle dan meningkatkan
17
regenerasi cartilago sendi (gambar 8).60,61 Kami hanya memiliki dua kasus non union atau
infeksi dalam dari 28 kasus yang ada yang ditangani dengan dynamic external fixation
pada type C pilon fractures.62
Walaupun demikian, fiksasi eksternal mungkin hanya bersifat temporer dan bisa
diikuti dengan delayed interna fixation dan bone grafting defek metafisis.25,26
Akhir-akhir ini, arthtroscopy ankle bisa dilakukan dalam waktu 48-72 jam,
melalui distraction dengan external fixator,6 fragmen sendi bias dimanipulasi dan
difiksasi dengan menggunakan canulated screw atau thin olive wires yang dilekatkan
pada external fixator. Primary tibiotalar arthrodesis tampaknya tidak sesuai untuk
prosedur primer pilon fracture. Penanganan kasus pilon fracture yang kronis dengan
arthrosis ankle yang disertai dengan rasa nyeri adalah dengan arthrodesis atau
replacement.
Komplikasi
Komplikasi fraktur ankle, baik ditangani secara operatif maupun non operatif, ada
banyak antara lain malunion, non-union, distal tibia synostosis, infeksi, wound
dehiscence, arthritis, algodystrophy, deep venous thrombosis, emboli, dan compartment
syndrome.63
Malunion
18
Hal ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan non-union dan menimbulkan rasa
nyeri serta arthritis ankle joint. Penyebab utama malunion pada ankle adalah kegagalan
fibular reduction dengan pemendekan dan rotasi fibula yang menyebabkan lateral talar
displacement. Kadang-kadang residual talar instability bisa menyebabkan nyeri dan
selanjutnya arthritis. Oleh karena itu, sebagian besar ahli menyarankan fibular oseotomy,
distal advancement dan derotasi dengan bone graft and plate fixation.64 Keputusan
mengenai tipe penanganan operasi mana yang akan diberikan pada kasus fibular
malunion (rekonstruksi vs fusi ankle) tergantung pada derajat kerusakan sendi dan
kebutuhan pasien itu sendiri (gambar 9a-c).
Di sisi lain, malunion medial malleolus lebih jarang terjadi dan timbul setelah
incomplete reduction. Ada penyempitan pada anterior ankle joint yang menyebabkan
talus impingement pada medial malleolar margin. Pada kondisi nyeri semacam ini,
osteotomi medial malleolus melalui garis fraktur awal dilakukan dengan koreksi posisi
dan fiksasi.
19
Non-union
Hal ini paling sering terjadi pada medial malleolus setelah closed reduction
(gambar 10). Bisa bersifat asimtomatik. Jika disertai dengan rasa nyeri, tempat terjadinya
non-union difiksasi memakai screw atau plate. Diperlukan bone graft untuk lateral
malleolus.65,67
Arthritis post traumatic
Hal ini lebih sering ditemukan pada gambaran radiologi dibandingkan dengan
yang diperkirakan dan terjadi sekitar 30% kasus.68 Walaupun demikian, beberapa pasien
bisa mengatasi keadaan ini. Pada kasus yang lainnya jika disertai dengan rasa nyeri, maka
diindikasikan untu melakukan arthrodesis atau arthroplasty (gambar 11).
20
Distal tibial synostosis
Hal ini timbul setelah fraktur fibula atau neglected tibiofibular disruption. Pada
tempat major soft injury terbentuk tulang baru (gambar 11). Osifikasi heterotropik
asimtomatik pada sebagian besar kasus namun jika disertai dengan rasa nyeri, maka
dilakukan eksisi tulang heterotropik dan ini akan membawa hasil yang menguntungkan.9
Syndesmosis malunion
Hal ini ditandai dengan tibiofibular diastasis. Pada sebagian besar kasus
diperlukan penanganan operasi.
Infeksi
Setelah open reduction and internal fixation, infeksi terjadi pada sekitar 1%
pasien.69 Kultur dari aspirasi ankle atau luka harus dilakukan. Berikut ini adalah pilihan
penanganan yang bisa dikerjakan setelah terjadinya infeksi ankle:
a) Pada kasus infeksi superficial, hanya penanganan luka dan antibiotik yang sesuai
yang diperlukan37
b) Pada kasus deep ankle infection, jika fixation device longgar, maka harus
diangkat dan fraktur distabilisasi dengan menggunakan external fixator. Jika
tempat fraktur cukup ‘aman’, maka fixation device dibiarkan di tempatnya sampai
terjadinya fraction union. Penanganan antibioitik diberikan selama 4-6 minggu
kemudian.
Wound dehiscence
Hal ini sering terjadi pada aspek lateral ankle joint karena kurangnya jaringan
subkutan. Setelah fiksasi dengan plate, kadang-kadang sulit sekali untuk dilakukan
penutupan luka. Satu-satunya kemungkinan terapi yang bisa diberikan adalah elevasi
ekstremitas dengan menggunakan overhead frame yang akan menjamin terjadinya
drainase secara fisiologis. Elevasi bantal saja tidak cukup.
Diabetic foot
21
Ini adalah kondisi khusus dengan angka kejadian infeksi empat kali lipat lebih
tinggi, bahkan pada para pasien yang ditangani secara non operatif. Angka komplikasi
dua sampai tujuh kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes yang
fraktur ankle-nya dioperasi.70
Deep venous thrombosis dan emboli paru
Hal ini biasa terjadi setelah fraktur ankle.71
Compartment syndrome
Ini merupakan komplikasi penting yang biasa terjadi pada ankle dan foot.
Penyebab utamanya adalah perdarahan dan edema atau plaster cast yang dipasang terlalu
ketat, yang menyebabkan gangguan mikrosirkulasi. Tekanan compartment normal
biasanya kurang dari 10 mmHg. Tekanan yang lebih tinggi dari 30 mmHg dianggap
abnormal dan pada tekanan 50 mmHg harus dilakukan fasciotomy. Compartment
syndrome dilaporkan terjadi pada minor ankle fractures yang ditangani dengan
pemasangan gips.72
Algodystrophy
Komplikasi lainnya yang terjadi setelah fraktur ankle adalah algodystrophy yang
bahkan bisa terjadi setelah injuri minor. Kondisi ini ditandai dengan nyeri tumpul yang
bersifat konstan. Juga terjadi edema, penurunan rentang pergerakan ankle, dan kekakuan
yang timbul pada fase akhir penyakit ini. Penanganan terdiri dari prosedur fisik
(fisioterapi), obat-obatan anti depresan, anti konvulsif atau adrenergik. Calcium blockers
juga bisa digunakan karena memiliki masa kerja yang panjang.
Komplikasi yang lainnya
Faktor-faktor yang lainnya bisa memiliki pengaruh terhadap outcome antara lain
subtalar sprain, kesalahan diagnosa tendon injuries di sekitar ankle, lesi synovium atau
osteochondral yang bisa ditemukan selama arthroscopy.73-76 Juga kepribadian pasien bisa
menerangkan terjadinya beberapa kesenjangan antara hasil klinis dan gambaran
radiologis. Bisa timbul evaluasi subyektif yang buruk karena beberapa gejala post
22
traumatic stress disorders (PTSD) mungkin ditemukan pada pasien yang menderita
trauma.77,78
Kesimpulan
Faktor-faktor yang signifikan secara statistik, yang telah dipastikan dengan
analisis multivariat saya dan mempengaruhi outcome akhir antara lain: umur pasien
(pasien yang berusia lebih muda memiliki hasil yang lebih baik), tipe fraktur (tipe pronasi
memiliki outcome yang lebih buruk), parameter radiologis tertentu seperti talocrural
angle, subluksasi talus, reduksi anatomi yang sebenarnya (tanpa tibiofibular diastasis),
dan ukuran posterior malleolus (Tabel 5).
References
23
1. Bonnin JG. Injuries to the ankle. London: William Heinemann Medical Books Ltd.;
1950.
2. Kelkian H, Kelikan A5. Disorders of the ankle. Philadelphia, London, Toronto,
Mexico City, Rio de Janeiro, Sydney, Tokyo: WB Saunders Cc; 1985.
3. Miller SD. In: Mayerson MS, editor. Ankle fractures in foot and ankle disorders.
Philadelphia: WB Saunders; 2000. p. 1341-66.
4. Sarrafian SK. Anatomy of the foot and ankle, 2nd ed. Philadelphia: JB Lippincott
Company; 1993.
5. Pugh KJ. In: Fitzgerald RH, Kaufer H, Malkani AL, editors. Fractures and soft tissue
injuries about the ankle in orthopoedics. St. Louis, London, Philadelphia, Sydney,
Toronto: Mosby; 2002. p. 419-31.
6. Nuney JA. In: Coughlin MC, Mann RA, editors. Fracture and fracture- dislocations
of the ankle in surgery of the
foot and ankle. St, Louis, Baltimore, Boston: Mosby; 1999. p. 1398-421.
7. Lindsjo U, Danckwardt-Lilliestrom G, Sahlestedt B. Measurement of the motion
range in the loaded ankle. Clin Orthop Relat Res 1985;199:68.
8. Yablon I, Forman ES. In: Helal B, Rowley D, Gracchiolo A, Mayerson MS, editors.
Ankle fractures in surgery of disorders of the foot and ankle. London: Martin Dunitz;
1996. p. 679-96.
9. Karrholm J, Hansson LI, Selvik G. Mobility of the lateral malleolus, roentgen
stereophotogrametric analysis. Acta Orthop Scand 1985;56:479-83.
10. Ramsey PL, Hamilton W. Changes in tibiotalar area of contact caused by lateral.
talar shift. J Bone Joint Surg 1976;58A:356- -7.
11. Yablon IG, Heller FG, Shouse L. The key role of the lateral maleolus in the
displaced fractures of the ankle. J Bone Joint Surg 1977;59A:169-73.
12. Mitchell WG, Shaftan GW, Sclafani SJA. Mandatory open reduction: its role in
displaced ankle fractures. J Trauma 1979;19(8):602-15.
13. Lindsjo U. Classification of ankle fractures: the Lauge Hansen or AO system? Ctin
Orthop Relat Res 1985;199:12-6. 14. Lauge-Hansen N. Fractures of the ankle:
analytic historic survey as a basis of new experimental, roentgenological and clinical
investigations. Arch Surg 1948;56:259-315.
24
15. Lauge Hansen N. Fractures of the ankle II: combined experimental--surgical and
experimental roentgenotogicat investigation. Arch Surg 1950;60:957-85.
16. Lauge-Hansen N. Fractures of the ankle IV Clinical use of genetic roentgen
diagnosis and genetic reduction. AMA Arch Surg 1952;64:488-500.
17. Lauge-Hansen . Fractures of the ankle-V pronation-dorsiflexion fractures. AMA
Arch Surg 1953;67:813-20.
18. Mizel M5, Miller RA, Scioli MW. Foot and ankle 2. Orthopaedic Knowledge
Update. Rosement, IL: American Academy of Orthopaedic Surgeons; 1998. p. 185-
99.
19. Mutter ME, Allgower M, Schneider R, et al. Manual of internal fixation, 3rd ed.
New York: Springer; 1991.
20. Trafton PG, Bray TJ, Simpson LA. Fractures and soft tissue injuries of the ankle.
In: Browner BD, Jupite JB, Levine AM, Trafton PG, editors. Skeletal trauma, vol. II.
Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WB Saunders Co; 1992.
p. 1871-941.
21. Lesic A, Milovic I, Bumbasirebic M, Simic A. Operative and nonoperative
treatment of malleolar fractures. Srp Arch Celok Lek 1992;120:341-4.
22. Bauer M, Bengner U, Jahnell 0, Redlund-Johnell I. Supination-eversion fractures of
the ankle joint: changes in incidence over 30 years. Foot Ankle 1987;8(1):26-8.
23. Magid D, Michelson JD, Ney DR, et al. Adult ankle factures: comparison of plain
films and interactive two and threedimensional CT scans. AJR Am J
Roentgeno( 1990;154: 1017-23.
24. Adelaar RS, editor. Complex foot & ankle trauma. Philadelphia, New York:
Lippincott-Raven; 1999.
25. Kelikian A5, Rinella A5. Ankle fractures. In: Kelikian A5, editor. Operative
treatment of the foot and ankle. Stanford, Connecticut: Appleton Et Lange; 1999. p.
255-83.
26. Larsen E. Experimental instability of the ankle, a radiographic investigation.
Clinical Orthop Relat Res 1986;204:193-200.
27. Joy G, Patzakis MJ, Harvey Jr JB. Precise evaluation of severe ankle fractures,
technique and correlation with end result. J Bone Joint Surg 1974;56(A):979-97.
25
28. Michetson JD, Magid D, Ney DR, Fishman EK. Examination of the pathologic
anatomy of the ankle fractures. J Trauma 1992;32:65-70.
29. Pettrone FA, Gail M, Pee D, Fitzpatrick T Van Herpe LB. Quantitative criteria for
prediction of the results after displaced fractures of the ankle. J Bone Joint Surg 1983;
45A:667-77.
30. Salter RB, Semmonds DE, Malcolm BW, Rumble EJ, MacMitchel D, Clement ND.
The biological effect of continuous passive motion on the healing of full-thickness
defects on articular cartilage. J Bone Joint Surg 1980;62A: 1232-51.
31. Burnwell HN, Charntey AD. The treatment of displaced fractures at the ankle by rigid
internal fixation and early joint movement. J Bone Joint Surg 1965;47B:634-60.
32. Yde J, Kristensen KID. Ankle fractures: supination- eversion fractures of stage IV.
Primary and late repair of operative and non-operative treatment. Acta Orthop Scand
1980; 51:981--90.
33. Kristensen KID, Hansen T. Closed treatment of ankle fractures--stage II supination -
eversion fracture followed 20 years. Acta Orthop Scand 1986; 56:107-9.
34. Yde J, Kristensen KID. Ankle fractures: supinaion-eversion fractures stage II, primary
and late results of operative and nonoperative treatment. Acta Orthop Scand 1980;51:
695-702.
35. Cedell CA.Supination-outwardrotation injuries of theankle.A clinical and
roentgenological study with special reference to the operative treatment. Acto Orthop
Scond 1967;110(suppl):1-148.
36. Cedell CA. Is closed treatment of ankle fractures advisable? Quest editorial. Acta
Orthop Scand 1985;56:101-2.
37. Wilson FC. Fractures of the ankle. In: Rockwood Jr CA, Green DP, Bucholz RW,
Heckman DJ, editors. Rockwood and Green's fractures in adults. Philadelphia: JB
Lippincott-Raven Publishers; 1996. p. 201.
38. Segal D, Wiss DA, Whitelaw GP. Functional bracing and rehabilitation of the ankle
fractures. Clin Orthop Re(ot Res 1985;199:39-45.
39. Beuchamp CG, Clay NR, Thexton PW. Displaced ankle fractures in patients over 50
years of age. J Bone Joint Surg 1983;65B:329-32.
26
40. James LA, Sookhan N, Subar D. Timing of operative intervention in the management
of acutely fractured ankles and the cost implications. Injury 2001;32:469-72.
41. Fogel GR, Morrey BF Delayed open reduction and ankle fixation. Clin Orthop Relot
Res 1987;215:187-95.
42. Gustilo RB, Anderson JT. Prevention of infection in the treatment of the one thousand
and twenty-five open fractures of long bones: retrospective and prospective analysis. J
Bone Joint Surg 1976;58A:453-8.
43. Court-Brown CM, McQuen MM, Quaba AD. Management of open fractures. London:
Martin Dunitz, Mosby; 1996.
44. Chapman MW, Olson SA. Open fractures, in fractures of the ankle. In: Rockwood Jr
CA, Green DP, Bucholz RW, Heckman DJ, editors. Rockwood and Green's Fractures in
adults. Philadelphia: JB Lippincott-Raven Publishers; 1996. 305.
45. Kenzora JE, Edwards CC, Browner BD, Gamble JG, DeSilva JB. Acute management
of major trauma involving the foot and ankle with Hoffman internal fixation. Foot
Ankle 1981;1(6):348-63.
46. Schaffer JJ, Manoli A. The antiglade plate for distal fibular fixation. J Bone Joint Surg
1987;69A:596-604.
47. Fernandez GN. Internal fixation of the oblique, osteoporotic fractureof the lateral
malleolus.lnjury 1988;19:257-8.
48. McLennan JG, Ungersma JA. A new approach to the treatment of ankle fractures,
the inyo nail. Clin Orthop Relat Res 1986:213:125-36.
49. Bucholz RW, Henry S, Henley ME. Fixation with bioabsorbable screws for the
treatment of fractures of ankle. J Bone Joint Surg 1994;76A:319-24.
50. Bostman 0, Vainiopaa S, Hirvensalo E, Makela A, Vihtonen K, Tormala P,
Rakkonen P. Biogradable internal fixation for malleolar fractures. A prospective
randomised trial. J Bone Joint Surg 1987;69B:615-9.
51. Macko VW, Matthews LS, Zwirkoski P, Goldstein SA, Arbor A. The joint-contact
area of the ankle: the contribution of the posterior malleolaus. J Bone Joint Surg
1991;73A:347-51.
27
52. Boden SD, Labropoulos PA, McCowin P, Lestini WF, Hurwitz SR. Mechanical
consideration for the sindesmosis crew---a cadaver study. J Bone Joint Surg
1989;71A:1548-55.
53. Smith MGH. Inferior tibio-fibular diastasis treated by cross screwing. J Bone Joint
Surg 1963;45B:737-9.
54. Edwards GS, DeLee JC. Ankle diastasis without fracture. Foot Ankle
1984;4(6):305--12.
55. Hansen TS. Functional reconstruction of the foot and ankle. Philadelphia:
Lippincott Williams & Willkins; 2000. p. 43-64. 56. McFerran MA, Smith SW,
Boulas HJ, Schwartz HS. Complications encountered in the treatment of piton
fractures. J Orthop Trauma 1992;6:195--200.
57. Dillin L, Slabaugh F Delayed wound heating, infection, and non-union following
open reduction and internal fixation of tibia[ plafond fractures. J Trauma
1986;26:1116-9.
58. Teeny SM, Wiss DA. Open reduction and internal fixation of tibial piton fractures.
Clin Orthop 1993;292:108-17.
59. Ovadia DN, Beats RK. Fractures of the tibia[ plafond. J Bone Joint Surg
1986;68A:543-51.
60. Mast JW, Spiegel PG, Pappas JN. Fractures of the tibia[ , piton. Clin Orthop Relat Res
1988;230:68-82.
61. Gaudinez RF, Matlik AR, Szporn M. Hybrid external fixation in tibia[ plafond
fractures. Clin Orthop 1996;329:223-32.
62. Mitkovic M, Bumbasirevic M, Lesic A, Golubovic Z. Dynamic external fixation of
comminuted intra-articular fractures of the distal tibia (type C piton fractures). Acto
Orthop Belg 2002;68(5):508-14.
63. Yablon IG. Complication and their management. In: Yablon G, Leach SD, editors.
Ankle injuries. New York: Churchill Livingstone; 1983. p. 103-12.
64. Offierski CM, Graham JD, Hall JH, Harris WR, Schatzker JL. Late revision of
fibular malunion in ankle fractures. Clin Orthop Relat Res 1982;171:145-9.
65. Sneppen 0. Long-term course in 119 cases of pseudoarthrosis of the medial
maleolus. Acta Ortoped Scand 1970;40:807-16.
28
66. Sneppen 0. Pseudoarthrosis of the lateral malleols. Acta Orthop Scand
1971;42:187-200.
67. Sneppen O. Treatment of pseudoarthrosis involving the malleolus, a prospective
followup of 34 cases. Acto Orthop Scand 1971;42:210-6.
68. Bauer M, Johnsson K, Nilsson B. Thirty-year follow up of ankle fractures. Acto
Orthop Scond 1985;56:103-6.
69. Meyer Jr TL, Kumler KW. ASIF technique and ankle fractures. Clin Orthop
1980;150:211-6.
70. Blotter RH, Connolly E, Wasan A, Chapman WM. Acute complications in the
operative treatment of isolated ankle fractures in patients with diabetes meltitus.
Foot Ankle Int 1999;20:687-94.
71. Wang F, Wera G, Knoblich G0, Chou LB. Pulmonary embolism following operative
treatment of ankle fractures: a report of three cases and review of literature. Foot Ankle
Int 2002;23:406-10.
72. Hawkins BJ, Bays PN. Catastrophic complication of simple cast treatment: case report.
J Trauma 1993;34:76Q2.
73. Meyer JM, Garcia J, et al. The subtalar sprain-a rcentgenographic study. Clin Orthop
Relot Res 1988;226:169--73. 74. Martin JW, Thompson GH. Achilles tendon--
occurrence with closed ankle fracture. Clin Orthop Re(ot Res 1986;110:216- 9. 75.
Parisien JS, Vangsness T Operative arthroscopy of the ankle, the three years's
experience. Clin Orthop Relot Res 1985;199:4(r-53.
76. Loren GJ, Ferkel RD. Arthroscopic assessment of occult intra-articular injury in acute
ankle fractures. Arthrosopy 2002;18:412-21.
77. Opalic P, Lesic A. Psyche and physical trauma. Beograd: CIBIF-Medicinski Fakultet;
2001.
78. Opalic P, Lesic A. Investigation of psychopathological state of patients depending on
specific clinical character istics of physical trauma. Panmierva Med 2002;44(1): 11 -7.
29