Foto: Titik Susana Ristiawaty/ERCB BANJIR BANDANG DI SALUA, … · Rasa nyaman dan terlebih rasa...
Transcript of Foto: Titik Susana Ristiawaty/ERCB BANJIR BANDANG DI SALUA, … · Rasa nyaman dan terlebih rasa...
KAREBA PALU KOROKABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG
desember 2018 - II edisi #4
Akibat banjir bandang (11/12) di Salua.
Foto: Titik Susana Ristiawaty/ERCB
BANJIR BANDANG DI SALUA, FASILITAS MCK HANYUT
Banjir bandang kembali menerjang Desa Salua, Kecamatan
Kulawi, Kabupaten Sigi, khususnya RT 1 dan RT 2 Dusun 3, pada
Selasa malam (11/12). Peristiwa tersebut terjadi pada pukul 7.30
WITA ketika warga sedang melakukan salat Isya di masjid dan
dikagetkan dengan suara gemuruh air.
"Ketika saya sedang salat Isya semalam, tiba-tiba terdengar
suara perempuan menangis sambil berteriak air sudah masuk
kampung,” kata Jusman Lahudo (59) seorang warga Desa Salua.
Menurutnya, banjir bandang kali ini terbesar dan terparah
semenjak tahun 1992. Beruntung seorang warga yang sedang
sakit, yang rumahnya terisolasi banjir, cepat dievakuasi warga ke
perbukitan di timur kampung Desa.
Dewi Fatimah (29) guru TK Pelangi Salua, yang rumahnya juga
terdampak banjir bandang semalam menuturkan, hujan tidak
terlalu deras dan tidak lama, tapi tiba-tiba air sudah memasuki
kampung dan melewati depan rumahnya. Selain guru TK, Dewi
menjadi relawan yang mengajar di Ruang Ramah Anak bantuan
ERCB.
“Saya panik dan takut karena air semakin besar," kata Dewi.
"Kalau sudah begini kami mau tinggal di mana lagi?" lanjut
Dewi sambil menitikkan air mata melihat rumahnya yang telah
hancur.
Pada banjir bandang kali ini, jumlah kepala keluarga (KK)
terdampak sebanyak 79 KK. Jumlah rumah terdampak 79 unit
dan 40 unit diantaranya tidak layak huni. Ketinggian air yang
bercampur lumpur setinggi lutut kaki orang dewasa. Potongan-
potongan kayu pun bercampur dengan lumpur dan air tersebut.
“Sampai saat ini (12.00 WITA) air masih mengalir di Desa Salua
dan alat berat masih berupaya membersihkan puing-puing
material di sungai dan jembatan,” kata Arul dari Karsa Institute
yang bersama dengan Emergency Response Capacity Building
(ERCB) langsung menuju Desa Salua pada hari Rabu pagi (12/12).
Fasilitas SD dan SMP darurat yang didirikan pasca gempa pun
tidak bisa digunakan lagi karena dipenuhi material banjir serta
ada yang hanyut.
“Kegiatan ujian di Madrasah Ibtidaiyah yang rencananya hari ini
adalah hari terakhir terpaksa dibatalkan,” tambah Arul.
Alat berat sudah diturunkan oleh Bina Warga untuk mengatasi
tumpukan potongan kayu di jembatan yang menghalangi aliran
air sehingga air meluap ke rumah-rumah warga. Menurut Darfian
(50), salah satu pegawai Bina Marga Provinsi Sulawesi Tengah
yang ditemui di lokasi mengatakan, untuk mengatasi dan
menormalisasi Sungai Salua diturunkan 3 alat berat.
Bersambung ke halaman 6...
KAREBA PALU KORO
RUANG RAMAH ANAK, RASA AMAN UNTUK ANAK-ANAK
Kondisi lingkungan pasca bencana yang seringkali tidak layak
biasanya akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Rasa
nyaman dan terlebih rasa aman akan lebih sulit dirasakan dalam
kondisi seperti ini. Seperti halnya yang terjadi di Sulawesi Tengah
pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi.
Dalam kurun waktu 2 bulan pasca bencana, sebagian besar
warga terdampak masih tinggal di posko pengungsian atau
hunian-hunian sementara. Menghadirkan rasa nyaman dan
aman bagi para warga terdampak tersebut menjadi pekerjaan
rumah bersama. Dan rasa nyaman dan aman tersebut harus bisa
dirasakan oleh seluruh anggota keluarga warga terdampak.
ERCB melalui Pusaka Indonesia berupaya untuk membuat
tempat layanan yang aman dan nyaman, terutama untuk anak-
anak. Pasca bencana yang terjadi, anak-anak banyak yang
kehilangan tempat belajar dan bermain. Sekolah banyak yang
rusak sehingga mereka terpaksa belajar di sekolah-sekolah
darurat di tenda. Mereka juga bermain di jalan dan tempat-
tempat yang dapat menimbulkan bahaya, oleh karena itu ruang
ramah anak (RRA) sebagai alternatif tempat bagi anak-anak untuk
bermain. Melalui bentuk-bentuk permainan yang kreatif, anak-
anak tersebut juga diajak untuk belajar.
Sebagai pelaksana tim di lapangan, Marjoko dari Yayasan
Pusaka Indonesia (YPI) mengungkapkan, kelompok paling rentan
ketika terjadi bencana adalah anak-anak, selain juga perempuan,
lansia dan difabel. Menurutnya, pengalaman traumatis akibat
menyaksikan kejadian mengerikan dapat menyebabkan stress
dan trauma yang dapat mengganggu perkembangan fisik, sosial
dan mental anak.
Dalam implementasinya, ERCB mendapat dukungan dari
masyarakat setempat. Hingga saat ini, ERCB melalui program RRA
yang dilaksanakan oleh YPI telah mendampingi 631 anak di 7
Desa dengan melibatkan 25 orang relawan pengajar dan 7 orang
dari unsur pemerintahan desa. RRA yang didirikan ERCB ada di 7
desa, antara lain di Desa Kabonga Besar, Loli Saluran, Loli Pesua,
Langaleso, Omu, Tuva dan Salua.
“RRA sebagai tempat menggerakan partisipasi masyarakat,”
kata Marjoko.
Anak penyintas yang mendapatkan layanan juga menjadi
tanggung jawab masyarakat sehingga masyarakat harus terlibat
dalam setiap proses.
“Dalam hal ini bentuk tanggung jawab masyarakat diwujudkan
dalam bentuk pembangunan RRA,” tambahnya.
“Jadi yang inti adalah bagaimana meningkatkan peran serta
masyarakat dalam perlindungan anak,” kata Marjoko.
“RRA juga memberikan layanan hukum apabila terdapat
tindakan yang menjurus pada tindakan kekerasan, eksploitasi
maupun perdagangan anak khususnya di desa-desa dampingan,”
tambahnya.
Selain melakukan aktifitas bermain, belajar, kreasi dan rekreasi,
YPI melalui RRA juga melakukan pelayanan IDTVR (Identification, Documentation, Tracing, Verification, and Reunification atau
Identifikasi, Dokumentasi, Penelusuran, Verifikasi dan Reunifikasi )
untuk anak yang terpisah dari orang tua/keluarga.
“Selain itu, dengan pelayanan ini diharapkan kami bisa
membantu mendata dokumen-dokumen yang hilang disaat
bencana terjadi,” kata Marjoko. (mdk)
Anak-anak di
Desa Loli Saluran
bermain dan belajar
di ruang ramah
anak agar terhindar
dari trauma pasca
bencana. Foto:
Martin Dody/ERCB
02
KAREBA PALU KORO
Perjalanan jauh telah Rony Oagay tempuh dari Wamena Papua menuju Palu di Sulawesi Tengah. Lebih dari tujuh jam perjalanan pesawat, telah dilaluinya pada Jumat, 23 November 2018. Sebagai seorang dokter, Rony terpanggil untuk menjadi relawan pascabencana gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu, Sigi dan Donggala.
Dr. Rony, yang merupakan putra asli suku Dani dari lembah
Baliem pegunungan Jayawijaya, bergabung dengan Yayasan
Kemah Peduli untuk bisa mewujudkan niatnya itu.
Bersama Yayasan Kemah Peduli, dr. Rony telah pergi ke
puluhan tempat pengungsian di Palu, Sigi dan Donggala.
Diantaranya, dirinya pergi ke desa Bora dan Birumalu. Di sana, dr.
Rony memberikan pelayanan kesehatan bagi para pengungsi.
Dia banyak menemui pengungsi, terutama para ibu yang
menderita sakit, seperti: diare dan tensi yang naik.
Namun, ada juga pengungsi yang sakitnya sulit ditangani.
Sakitnya sudah lama, tetapi tidak cepat diobati. Seperti yang
dialami seorang ibu di pengungsian desa Bora. Ibu tersebut
menderita kista sehingga menyebabkan perutnya bengkak dan
tidak bisa berjalan lagi.
“Sungguh kasihan, karena kami juga tidak bisa tangani di
lapangan karena keterbatasan alat medis dan obat. Untuk itu,
kami merujuk ibu tersebut untuk segera dibawa ke rumah sakit,”
ujar dr. Rony.
Mengenai penyakit-penyakit yang sering dirinya temui di
tempat pengungsian, dr. Rony menemukan beberapa pengungsi
mengalami ISPA atau infeksi saluran pernafasan akut dan diare.
Selain itu, persoalan kekurangan kamar mandi dan kakus juga
menjadi hal penting yang harus diperhatikan karena ini berkaitan
erat dengan tingkat kesehatan warga di pengungsian.
Menurut dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas
Cendrawasih Jayapura Papua tahun 2013 ini, penting bagi
pemerintah pusat maupun provinsi, khususnya Dinas Kesehatan
untuk memastikan ketersediaan obat yang cukup dalam situasi
pascabencana seperti ini. Stok obat yang selalu tersedia penting
untuk Rumah Sakit dan Puskesmas dan juga bagi para relawan
tenaga kesehatan yang akan melakukan pengobatan di tempat-
tempat pengungsian.
“Kami, para relawan kesehatan terhalang dengan stok obat
yang kurang. Mungkin Dinas Kesehatan bisa bantu kami.
Mungkin juga ada jalur khusus bagi relawan untuk dapat lebih
mudah mengakses obat. Ketika kami melakukan pelayanan
tetapi tanpa obat, sulit buat kami untuk melakukan pengobatan
di lapangan. Obat yang harus selalu tersedia itu cukup obat-
obatan ringan saja tidak apa-apa, seperti: obat rawat luka, obat
batuk pilek, obat cacing, dan lain lain,” tutur dr. Rony.
“Tidak mungkin kami dari Papua membawa obat sampai kesini.
Itu timbangannya berat,” lanjutnya berkelakar.
Pengalaman pertama
Meski sudah berpengalaman memberikan pelayanan
kesehatan ke daerah-daerah pedalaman dan sulit dijangkau di
tanah Papua, tetapi menjadi relawan untuk wilayah yang baru
saja mengalami bencana alam, ini merupakan pengalaman dr.
Rony yang pertama. Banyak hal menarik dan berkesan baginya
selama berada di Palu dan sekitarnya ini.
“Kami senang sekali karena disini kami bisa melayani kawan-
kawan dari suku lainnya di Indonesia yang berbeda bahasa dan
budaya dengan kami orang Papua. Disini juga kami bisa belajar
tanpa memandang ras, suku dan agama karena kami juga datang
ke Palu untuk membantu,” tutur dr. Rony.
Bersambung ke halaman 7...
DARI BALIEM MENUJU PALU
Dr. Rony Oagay bersama salah seorang
penyintas. Foto: Kabar Sulteng Bangkit
03
KAREBA PALU KORO
Dibutuhkan
ruang dan waktu
yang tepat untuk
melepaskan emosi
atau perasaan
yang dipendam.
Hal tersebut
disampaikan oleh
tim PERDHAKI
yang memberikan
layanan psikososial
beberapa waktu
lalu ketika
mengobrol santai
dengan Kareba Palu
Koro. Ruang dan
waktu yang cukup
luas diberikan pada anggota tim pemberi layanan psikososial ini
kepada warga terdampak di Palu, Sigi, dan Donggala (Pasigala).
Ditemui di GKST Effatha pada Jumat malam (30/11), Maria
Goretti Ivoni Utami dan Hana Wiji Lestari dari PERDHAKI
berkumpul bersama muda-mudi di gereja tersebut dengan
mengangkat tema “Meaningless to be Meaningful”. Sekitar 20
orang muda-mudi diajak berelaksasi di awal kegiatan tersebut.
Mereka diajak seolah-olah berada di pantai untuk merasakan
keberadaan diri mereka, kehadiran orang tua mereka, dan juga
merasakan kesendirian mereka saat orang tua mereka tidak ada di
sekitar mereka. Perasaan sendiri dan tidak berarti inilah yang coba
digali. Beberapa peserta terlihat mulai tersentuh pada sesi ini.
Setelah sesi relaksasi tersebut, mereka diajak untuk
merefleksikan diri terkait apa yang mereka rasakan dalam
kesendirian dan tidak berarti. Dalam kelompok-kelompok kecil,
dibantu oleh beberapa fasilitator, muda-mudi gereja Effatha ini
mengeluarkan apa yang selama ini terpendam. Tidak sedikit yang
hanyut dalam perasaan mereka ketika mengungkapkan perasaan
mereka ketika merasa tidak berguna atau tidak dihargai dan
bagaimana mereka bangkit untuk mengatasinya dan memberikan
semacam pembuktian atas apa yang mereka sudah capai.
“Mereka ini butuh untuk didengarkan, butuh tempat untuk
mencurahkan apa yang selama ini mereka rasakan tapi tidak bisa
mereka ungkapkan,” kata Ivon. Thomas Aquinus yang lebih akrab
dipanggil Nino dari Bina Swadaya dan Titik Susana Ristiyawati
dari Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) yang
membantu sesi tersebut sepakat dengan hal itu.
“Uniknya mereka ini percaya dengan kami, yang baru saja
mereka kenal, untuk menceritakan segala yang mereka rasakan,”
kata Titik.
“Yang berkaitan dengan orang tua pun banyak yang tersentuh.
Kehadiran orang tua sangat dibutuhkan,”sambung Nino.
Menurut Florensius, pengurus pemuda GKST Klasis Palu,
metode yang diterapkan cukup efektif.
“Yang seharusnya dilakukan selama tiga hari, namun bisa
dilakukan hanya dalam waktu dua jam dengan hasil yang baik,”
kata Florensius.
“Muda-mudi yang mengikuti bisa menyampaikan segala
persoalan sebelumnya tidak bisa mereka ungkapkan,” tambahnya.
“Namun demikian, kita sebagai pendengar, harus menjaga
kerahasiaan mereka. Agar mereka juga yakin bahwa kita ini bisa
dipercaya sehingga mereka pun merasa nyaman ketika curhat,”
pesan Ivon.
Ketua muda-mudi tersebut, Nover Lambo, menyambut baik
kegiatan layanan ini.
“Temanya cukup mengena sehingga bisa memotivasi kami
kembali. Juga acara ini menjadi semacam media sehingga
perasaan yang selama ini kami simpan bisa kami keluarkan,”
katanya.
Hanya Nover menyayangkan waktu yang dirasa terlalu pendek.
Namun demikian, tim psikosial dari PERDHAKI berkenan untuk
menyediakan waktu untuk berkonsultasi melalui telepon.
“Jadi kapanpun mereka ingin konsultasi, bisa melalui nomor
telepon yang sudah saya berikan,” kata Ivon. (mdk)
Menjadi Berarti
Muda-mudi gereja
berkumpul di
GKST Effatha
untuk mengikuti
pelayanan
psikososial oleh tim
PERDHAKI. Foto:
Martin Dody/ERCB
04
KAREBA PALU KORO
“Sigi Bangkit, Kulawi kuat!” Yel-yel
tersebut berkumandang di Gedung Serba
Guna yang terletak di Desa Bolapapu,
Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi saat
Rahmat Saleh, Direktur Karsa Institute,
atau yang lebih dikenal dengan panggilan
Oyong, memberikan sambutan dalam
acara penyerahan bantuan untuk 4 desa di
Kecamatan Kulawi tersebut.
Ada sebuah pesan yang menarik
yang disampaikan Rahmat kepada para
penyintas yang hadir. “Kita harus bangkit
untuk menjadi lebih baik,” pesan Rahmat.
Pesan tersebut dimaksudkan agar para
penyintas di Kulawi segera keluar dari
rasa keterpurukan akibat bencana dan
berbenah untuk masa depan lebih
baik serta tidak terus bergantung pada
bantuan dari luar.
Acara yang diselenggarakan
bersama oleh Konsorsium Emergency
Response Capacity Building (ERCB) yang
beranggotakan lembaga-lembaga non-
pemerintah seperti Pusaka Indonesia,
Lembaga Pengembangan Teknologi
Pedesaan (LPTP), Bina swadaya, Persatuan
Karya Dharma Kesehatan Indonesia
(PERDHAKI) serta mendapatkan dukungan
luar biasa dari lembaga-lembaga setempat
seperti Karsa Institute, Awam Green,
dan Yayasan Merah Putih dimaksudkan
untuk memberikan bantuan berupa beras
sebanyak 16 ton, water purifier, bedding
kits minyak kelapa, hygiene kits, dan pipa.
Bantuan tersebut diberikan kepada para
penyintas di Desa Bolapapu, Boladangko,
Tangkulowi, dan Lonca.
Hadir pula dalam kesempatan tersebut
kepala desa dari keempat desa yang
mendapatkan bantuan, Camat Kulawi,
Kapolsek dan Danramil Kulawi, serta
Wakil Bupati Sigi. Setelah sambutan
dari Focal Point Person ERCB, Agung
Prasetyo, Roli Bagalatu, S.Sos., selaku
Camat Kulawi menyampaikan apresiasi
atas upaya dari pemerintah setempat
yang bersinergi dengan lembaga-
lembaga non pemerintah, salah satunya
ERCB, sehingga wilayah Kulawi bisa
mendapatkan bantuan. “Air mata saya
sudah habis. Sejak tanggal 30 September
berjibaku dengan situasi dan kondisi yang
sangat memprihatinkan,” kata Roli. “Tetapi
Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.
Bukti nyata kehadiran Tuhan: hadirnya
pemerintah, hadirnya teman-teman
LSM untuk membantu mengangkat
penderitaan masyarakat,” tambahnya.
Diakhiri dengan penyerahan secara
simbolis oleh Wakil Bupati Sigi,
Paulina, S.E., M.Si., kepada para pejabat
setempat yang hadir, bantuan kemudian
didistribusikan kepada warga keempat
desa tersebut.
Ditemui selesai acara, Wakil Bupati
Sigi, Paulina, S.E., M.Si., menyampaikan
bahwa fokus utama pemerintah daerah
Kabupaten Sigi pada tahap rehabilitasi dan
rekonstruksi adalah pembangunan Hunian
Sementara (Huntara) dan kemungkinan
pembangunan Hunian Tetap (Huntap).
Prioritas pembangunan huntara tersebut
untuk para penyintas yang wilayah tempat
tinggalnya hancur, seperti di Desa Jono
Oge dan Langaleso. “Pembangunan
huntara tersebut tidak harus berkonsep
komunal,” kata Paulina. “Namun demikian
kami juga masih menunggu hasil riset
para ahli untuk menentukan dimana saja
zona aman untuk pembangunan huntara,”
tambahnya.
Ditanya tentang harapan pemerintah
daerah dalam menghadapi masa
rehabilitasi dan rekonstruksi, Paulina
menyampaikan bahwa pemerintah
daerah, khususnya pemerintah daerah
Kabupaten Sigi, mengharapkan lembaga-
lembaga non pemerintah, seperti ERCB,
untuk tetap membantu dalam tahapan
tersebut. “Sangat diharapkan kehadiran
dan bantuan dari teman-teman LSM
agar tahap rehabilitasi dan rekonstruksi
berjalan dengan lebih baik,” tutup Paulina.
(mdk)
SIGI BANGKIT,KULAWI KUAT Wakil Bupati Sigi, Paulina hadir dalam penyerahan
bantuan untuk warga Sigi. Foto: Martin Dody/ERCB
05
KAREBA PALU KORO
Sambungan halaman 1...“Proses evakuasi, pengamanan serta normalisasi dipimpin langsung oleh Wakapolsek Kulawi, IPDA Deny Senewe yang dari semalam
memantau terus situasi yang ada,” lapor Florensius dari Karsa Institute.
Menurut IPDA Deny Senewe tidak ada korban jiwa dalam kejadian banjir bandang kali ini. "Anggota saya masih mencari tahu dan
menghitung berapa besar kerugian warga, khususnya warga Dusun 3," kata IPDA Deny Senewe.
Fasilitas MCK dan ruang ramah anak yang dibangun oleh ERCB ikut hanyut terbawa banjir bandang ini.
“MCK 4 kamar masing-masing di Dusun 3, satu titik di lorong pasar satu titik lagi di RT 02 serta satu unit ruang ramah anak terdampak
banjir bandang semalam,” kata Titik Susana Ristiyawati dari Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP). (ma/fl/tsr/mdk)
Infografis sebaran
respons gempa
tsunami dan
likuifaksi di
Kabupaten Sigi,
Sulteng.
Banjir Bandang...
06
KAREBA PALU KORO
Sambungan halaman 3...
Masyarakat di pengungsian juga antusias, ramah dan sangat
menghormatinya. Mereka senang menerima para relawan,
terutama saat mengetahui bahwa dirinya seorang dokter dari
tanah Papua.
“Ketika kami datang ke tempat pengungsian di desa-desa, kami
selalu disambut hangat dan bahkan disediakan makan. Ketika
mereka senang, kami juga gembira. Sebab, itulah tujuan kami
agar mereka bisa tertawa juga bersama kami dan melupakan
sejenak peristiwa bencana yang telah mereka alami,”lanjut dr.
Rony.
Mengenai Yayasan Kemah Peduli, ini merupakan yayasan yang
relawannya terdiri dari hampir seluruh wilayah di Indonesia.
Selain dari Papua, juga ada relawan yang berasal dari Jawa, Bali,
Nusa Tenggara, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
Kepada Yayasan Kemah Peduli, dr. Rony juga menyampaikan
terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk bisa menjadi
relawan di Palu hingga 15 Desember 2018, saat dirinya harus
kembali ke bumi Cendrawasih, Papua.
Menurut dr. Rony, motivasinya datang ke Palu ini untuk saling
menolong sesama saudara setanah air yang sedang mengalami
musibah. Namanya bencana, lanjut pria kelahiran tahun 1986 ini,
bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Karena itu, butuh banyak
orang untuk membangun kembali kerusakan akibat bencana
terutama trauma psikis pascabencana.
“Bisa saja suatu saat bencana terjadi di Papua, dan kami juga
butuh bantuan dan para relawan seperti kami saat ini. Kami
juga bersyukur dengan wadah Yayasan Kemah Peduli yang bisa
menyatukan kami dari berbagai pelosok Indonesia untuk dapat
menolong saudara-saudara kami disini,” ujarnya.
Dirinya juga berharap masyarakat Sulawesi Tengah, khususnya
Palu, Sigi dan Donggala tetap semangat dan bangkit lagi dalam
membangun kembali wilayah tempat tinggal mereka.
“Pace-mace, adik-kaka dorang semua, kita datang dan mari
sama-sama bangun kembali Palu dengan semangat. Tanpa kalian
semangat, para relawan juga tidak akan semangat. Jika kalian
semangat, pasti relawan juga akan lebih semangat lagi untuk
membantu. Seperti semboyan dalam bahasa suku asli saya,
suku Dani: Yogotak huwuluk motok honorogo, hari esok harus
lebih baik lagi dari hari ini,” begitu harapannya. (Firmansyah MS/Internews. Sumber: Kabar Sulteng Bangkit)
Dari Baliem...
Berita Foto
Warga Dusun 3, Desa Langaleso memanfaatkan limpahan air dari mata
air untuk kegiatan mencuci. Foto: Martin Dody/ERCB
07
KAREBA PALU KORO
Kareba Palu Koro adalah media penyebaran informasi terkait penanganan bencana di Sulawesi Tengah yang dikelola oleh Jaringan Emergency Response Capacity Building (ERCB) pada masa tanggap darurat hingga masa rehabilitasi pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi 28 September 2018 di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Media ini didukung oleh pendanaan dari SHO dan Cordaid dan terbit dua mingguan.
Pemimpin Redaksi: Arfiana Khairunnisa (KARINA Yogyakarta)
Redaksi: Martin Dody Kumoro, Moh. Arul,Florensius, Titik Susana Ristiyawati (tim ERCB)
Saran dan masukan dapat dikirimkan melalui [email protected] atau dialamatkan ke Jl. Karanja Lembah, Lorong BTN Polda, Samping Perum Kelapa GadingDesa Kalukubula, Kec. Sigi Biromaru, Kab. Sigi, Sulteng
REDAKSIONALINFOGRAFIS DISTRIBUSI BANTUAN ERCB DI SULTENG
Infografis distribusi bantuan Konsorsium ERCB di Palu, Sigi, dan Donggala (PASIGALA)
Sulawesi Tengah sampai dengan 9 Desember 2018. Bantuan yang diberikan berupa bahan
makanan seperti beras, ikan asin, minyak goreng dan juga non-food item seperti tangki air,
tempat sampah, hygiene kits, family kits, terpal, palet, pipa, fasilitas MCK (mandi, cuci dan
kakus) serta pelayanan kesehatan dan psikososial. (mdk)
08