Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk...

39
ISSN: 0215-7950 191 Volume 12, Nomor 6, November 2016 Halaman 191–198 DOI: 10.14692/jfi.12.6.191 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi: Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Jalan Agatis, Kampus Dramaga IPB, Bogor 16680 Tel: +62251-8622833, Faks:+62251-8622833, Surel: [email protected] Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk Mengendalikan Penyakit Hawar Daun Bakteri Formulation of Rice Phyllosphere Bacteria and Their Application to Control Bacterial Leaf Blight Disease Siska Tridesianti 1 , Alina Akhdiya 2 , Aris Tri Wahyudi 1 * 1 Institut Pertanian Bogor, Bogor, 16680 2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor, 16111 ABSTRAK Xanthomonas oryzae pv. oryzae merupakan bakteri penyebab penyakit hawar daun bakteri (HDB) pada tanaman padi. Bakteri ini dapat menyerang setiap stadia pertumbuhan tanaman padi sehingga mengakibatkan penurunan produksi padi. Pada penelitian sebelumnya telah berhasil diisolasi bakteri filosfer padi nonpatogen anti X. oryzae pv. oryzae. Penelitian bertujuan untuk memformulasi bakteri filosfer dan menguji efektivitas formula dalam mengendalikan HDB di rumah kaca. Penggunaan tiga jenis medium, yaitu kaldu kentang, susu skim molase, dan ekstrak bekatul menunjukkan bahwa kaldu kentang merupakan medium terbaik untuk memperbanyak biomassa sel. Formulasi bakteri filosfer dilakukan menggunakan bahan pembawa utama talk dengan kerapatan sel sekitar 10 9 cfu g -1 bahan pembawa. Aplikasi 8 formula pada tanaman padi varietas IR64 menghasilkan 4 formula terbaik dalam mengendalikan HDB, yaitu BFV 60, BFF 69, BFR 203, dan BFR 153 yang masing-masing mampu mengurangi insidensi penyakit HDB sebesar 40.73%, 39.72%,39.26%, dan 28.07%. Kata kunci: bahan pembawa, efektivitas formula, insidensi penyakit, Xanthomonas oryzae pv. oryzae ABSTRACT Xanthomonas oryzae pv.oryzae is a casual agent of bacterial leaf blight disease (BLB) of rice. The disease can infect every phases of plant growth and can reduce rice production. In the previous study we have isolated nonpathogenic phyllosphere bacteria against X. oryzae pv.oryzae. For further study, in the present work we developed the formulation of the phyllosphere bacteria and tested their effectiveness against BLB in greenhouse trials. Out of three alternative medium used in culturing bacterial cell biomass, it was revealed that potato broth served as the best medium in comparison with skim milk molasses and bran extract. Formulation of phyllosphere bacteria was conducted by using of talc as main carrier, i.e. approximately 10 9 cfu g -1 of main carrier. Application of the formula on rice leaves indicated that BFV 60, BFF 69, BFR 203 and BFR 153 were the best formula for controlling BLB and were able to reduce disease incidence up to 40.73%, 39.72%, 39.26%, and 28.07%, respectively. Key words: disease incidence, formula effectiveness, main carrier, Xanthomonas oryzae pv. oryzae

Transcript of Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk...

Page 1: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

ISSN: 0215-7950

191

Volume 12, Nomor 6, November 2016Halaman 191–198

DOI: 10.14692/jfi.12.6.191ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Jalan Agatis, Kampus Dramaga IPB, Bogor 16680Tel: +62251-8622833, Faks:+62251-8622833, Surel: [email protected]

Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk Mengendalikan Penyakit Hawar Daun Bakteri

Formulation of Rice Phyllosphere Bacteria and Their Application to Control Bacterial Leaf Blight Disease

Siska Tridesianti1, Alina Akhdiya2, Aris Tri Wahyudi 1*1Institut Pertanian Bogor, Bogor, 16680

2Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor, 16111

ABSTRAK

Xanthomonas oryzae pv. oryzae merupakan bakteri penyebab penyakit hawar daun bakteri (HDB) pada tanaman padi. Bakteri ini dapat menyerang setiap stadia pertumbuhan tanaman padi sehingga mengakibatkan penurunan produksi padi. Pada penelitian sebelumnya telah berhasil diisolasi bakteri filosfer padi nonpatogen anti X. oryzae pv. oryzae. Penelitian bertujuan untuk memformulasi bakteri filosfer dan menguji efektivitas formula dalam mengendalikan HDB di rumah kaca. Penggunaan tiga jenis medium, yaitu kaldu kentang, susu skim molase, dan ekstrak bekatul menunjukkan bahwa kaldu kentang merupakan medium terbaik untuk memperbanyak biomassa sel. Formulasi bakteri filosfer dilakukan menggunakan bahan pembawa utama talk dengan kerapatan sel sekitar 109 cfu g-1 bahan pembawa. Aplikasi 8 formula pada tanaman padi varietas IR64 menghasilkan 4 formula terbaik dalam mengendalikan HDB, yaitu BFV 60, BFF 69, BFR 203, dan BFR 153 yang masing-masing mampu mengurangi insidensi penyakit HDB sebesar 40.73%, 39.72%,39.26%, dan 28.07%.

Kata kunci: bahan pembawa, efektivitas formula, insidensi penyakit, Xanthomonas oryzae pv. oryzae

ABSTRACT

Xanthomonas oryzae pv.oryzae is a casual agent of bacterial leaf blight disease (BLB) of rice. The disease can infect every phases of plant growth and can reduce rice production. In the previous study we have isolated nonpathogenic phyllosphere bacteria against X. oryzae pv.oryzae. For further study, in the present work we developed the formulation of the phyllosphere bacteria and tested their effectiveness against BLB in greenhouse trials. Out of three alternative medium used in culturing bacterial cell biomass, it was revealed that potato broth served as the best medium in comparison with skim milk molasses and bran extract. Formulation of phyllosphere bacteria was conducted by using of talc as main carrier, i.e. approximately 109 cfu g-1of main carrier. Application of the formula on rice leaves indicated that BFV 60, BFF 69, BFR 203 and BFR 153 were the best formula for controlling BLB and were able to reduce disease incidence up to 40.73%, 39.72%, 39.26%, and 28.07%, respectively.

Key words: disease incidence, formula effectiveness, main carrier, Xanthomonas oryzae pv. oryzae

Page 2: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Tridesianti et al

192

PENDAHULUAN

Xanthomonas oryzae pv. oryzae me-rupakan bakteri penyebab penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang dapat menurunkan produksi padi secara kualitas maupun kuantitas. Produksi padi menurun hingga 65–95% di India akibat serangan penyakit HDB (Nayak et al. 2008). Pengendalian HDB umumnya dilakukan dengan menggunakan bakterisida dan padi varietas tahan. Namun, penggunaan bakterisida yang berlebihan berdampak negatif terhadap lingkungan dan menginduksi resistensi X. oryzae pv. oryzae. Selain itu, pengembangan teknologi untuk menghasilkan varietas tahan X. oryzae pv. oryzae membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, pengembangan agens hayati sebagai biokontrol merupakan salah satu alternatif dalam pengendalian penyakit HDB.

Delapan isolat bakteri nonpatogen yang memiliki kemampuan antagonisme terhadap X. oryzae pv. oryzae (anti-Xoo) telah berhasil diisolasi dari filosfer padi (Krishanti et al. 2015; Nurfitriani 2014). Pengembangan teknologi berupa pembuatan medium alternatif dan teknologi formulasi ke dalam bahan pembawa diperlukan untuk aplikasi 8 isolat bakteri tersebut dalam skala besar. Medium alternatif yang digunakan harus mencukupi kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan bakteri filosfer. Medium alternatif terbaik merupakan medium yang mampu menghasilkan biomassa sel tertinggi dalam waktu inkubasi tercepat. Bahan pembawa tersebut dapat berfungsi untuk melindungi sel bakteri selama masa penyimpanan sehingga tetap efektif ketika digunakan.

Formulasi bakteri konsorsium talc-A5 yang disemprot langsung pada tanaman padi efektif mereduksi penyakit HDB sebesar 45.76%, tetapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hasil produksi padi dibandingkan dengan kontrol pada penelitian lapangan (Suryadi et al. 2013). Selain itu, formulasi Pseudomonas fluorescens Rbb-11 dengan bahan pembawa talek yang diaplikasi pada biji padi mampu mereduksi penyakit HDB sebesar 84% dan meningkatkan hasil

produksi padi hingga 51.45% (Jambhulkar dan Sharma 2013). Tujuan dari penelitian ini ialah membuat dan menguji formulasi bakteri filosfer untuk mengendalikan HDB di rumah kaca.

BAHAN DAN METODE

Bakteri filosfer merupakan stok kultur dari Laboratorium Penelitian Mikrobiologi Departemen Biologi, FMIPA, IPB, sebagai hasil penelitian sebelumnya. Kode isolat tersebut adalah: BFF (69, 75, 84), BFR (153, 183, 217, 203), dan BFV 60 (Krishanti et al. 2015; Nurfitriani 2014). Bakteri X. oryzae pv. oryzae yang digunakan merupakan stok kultur dari Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetis Pertanian Indonesia (BB Biogen), yaitu isolat Xoo 8004. Semua isolat bakteri secara rutin dikulturkan pada medium luria bertani agar (LA) (Tripton 10 gL-1, NaCl 10 gL-1, ekstrak khamir 5 gL-1 dan agar-agar 2%) pada suhu ruang.

Bioasai Aktivitas Penghambatan Bakteri Filosfer terhadap Xoo 8004

Aktivitas penghambatan bakteri filosfer terhadap Xoo 8004 dilakukan dengan metode streak plate (Lisboa et al. 2006). Kultur bakteri filosfer (24 jam) disentuhkan pada medium LA yang telah diinokulasi dengan 1% (v/v) Xoo 8004 dengan optical density (OD) 0.6–0.8.

Aktivitas penghambatan bakteri filosfer terhadap Xoo 8004 dihitung dengan rumus:

Indeks penghambatan= (a + b) – bb

, dengan

a, diameter zona bening dan; b, diameter koloni.

Optimasi Medium Alternatif sebagai Medium Perbanyakan Biomassa Sel Bakteri Filosfer

Tiga jenis medium yang digunakan adalah kaldu kentang/PDB (kentang 200 g L-1, gula 20 g L-1 dalam 1 L air), susu skim molase/SKM (8 g L-1susu skim, 15 mL L-1 molase, 1.5 g L-1 K2HPO4, 1.5 g L-1 MgSO4 dalam 1 L air),dan ekstrak bekatul (10 g dalam 1 L air).Kultur bakteri pada medium LA (24 jam)

Page 3: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Tridesianti et al

193

diinokulasikan ke dalam medium luria bertani broth (LB) selama 6 jam (108 cfu mL-1),kemudian masing-masing 1% (v/v) kultur bakteri filosfer pada medium LB diinokulasikan ke dalam 50 mL medium alternatif cair dan diinkubasi dalam inkubator bergoyang (120 rpm, ± 27 °C) hingga mencapai populasi sel 108 cfu mL-1. Penghitungan populasi sel menggunakan metode total plate count (TPC) dengan pengenceran berseri.

Medium terbaik dalam memproduksi biomassa sel digunakan sebagai medium perbanyakan biomassa sel bakteri filosfer. Pemanenan biomassa sel dilakukan sesuai kurva tumbuh masing-masing bakteri filosfer.Kurva pertumbuhan bakteri filosfer dilakukan dengan menghitung populasi sel per 3 jamdengan menggunakan hemasitometer. Kultur bakteri filosfer pada medium LB (108 cfu mL-1)masing-masing sebanyak 1% (v/v) di-inokulasikan ke dalam 200 mL medium alternatif terbaik dan diinkubasi dalam inkubator bergoyang (120 rpm, ± 27°C) selama 48 jam.

Formulasi Bakteri Filosfer dalam Bahan Pembawa

Formulasi dilakukan dalam bahan pembawa talek dengan campuran carboxymethyl cellulose (CMC) dan CaCO3 yang disterilisasi sebanyak 3 kali (121 atm, ± 20 menit) (Ardakani et al. 2009). Kultur bakteri filosfer sebanyak 200 mLdihomogenkan dengan bahan pembawa steril (500 g talek, 5 g CMC dan 7.5 g CaCO3) kemudian dikeringanginkan semalaman di dalam laminar. Penghitungan biomassa sel bakteri filosfer dan kadar air bahan pembawa dilakukan setelah formulasi dikeringanginkan semalaman. Penghitungan biomassa sel menggunakan metode TPC dan kadar air dengan metode pengeringan menggunakan oven.

Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama ± 15 menit, lalu didinginkan dan ditimbang sebagai berat cawan kosong. Sebanyak ± 2 g sampel formulasi (berat basah formulasi) dimasukkan ke dalam cawan dan dioven pada suhu 105°C hingga berat konstan, lalu didinginkan dan ditimbang sebagai berat

kering formulasi. Kadar air formulasi dihitung menggunakan rumus:

Kadar air (%) =(C – D)

C × 100%, dengan

C, bobot basah formulasi dan; D, bobot kering formulasi (AOAC 1996).

Uji Aplikasi Formula Bakteri terhadap Xoo 8004 di Rumah Kaca

Aplikasi formula bakteri filosfer di rumah kaca disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan dan 3 kontrol yang diulang sebanyak 5 kali. Uji aplikasi formula terhadap Xoo 8004 dilakukan pada padi varietas IR64. Benih padi IR64 disterilisasi permukaannya menggunakan Natrium-hipoklorit 2% selama 2 menit kemudian dibilas 5 kali dengan akuades steril masing-masing selama 3 menit. Benih yang tenggelam dipilih untuk dikecambahkan dalam growth chamber selama 3 hari dalam ruang gelap lalu ditumbuhkan pada medium persemaian selama 14 hari. Bibit padi berumur 14 hari dipindahkan ke dalam pot berdiameter 30 cm berisi campuran tanah, pupuk kandang, dan NPK (12:5:1). Masing-masing pot ditanami 3 rumpun bibit padi.

Aplikasi formula bakteri filosfer 3% (v/v) dilakukan dengan cara penyemprotan ke tanaman padi IR64 saat berumur 7 dan 14 hari setelah tanam (HST). Tanaman kontrol negatif disemprotkan dengan akuades steril dan larutan talek steril pada 7 dan 14 HST. Tanaman kontrol positif disemprot dengan suspensi Xoo 8004 (106–108 cfu mL-1) pada 17 HST. Pengamatan gejala penyakit HDB dilakukan pada 3, 7, dan 14 hari setelah inokulasi Xoo 8004. Gejala penyakit HDB dikonversi menjadi keparahan penyakit (KP) (Gnanamnickam et al. 1999) dan penghambatan relatif (PR) (Li et al. 2015) dengan rumus:

Panjang gejala HDBTotal panjang daun × 100%KP (%) =

PR (%) =KP kontrol patogen – KP perlakuan

KP kontrol patogen × 100%

Page 4: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Tridesianti et al

194

Analisis StatistikaData yang diperoleh diolah menggunakan

program SPSS 15.0 untuk analisis sidik ragam. Apabila terdapat pengaruh yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf nyata α 0.05 (Steel dan Torrie 1980).

HASIL

Aktivitas Penghambatan Bakteri Filosfer terhadap Xoo 8004

Aktivitas penghambatan bakteri filosfer terhadap Xoo 8004 ditandai dengan adanya zona bening disekitar bakteri filosfer pada medium LA. BFF 75 menghasilkan aktivitas penghambatan terkecil 0.167 sedangkan BFR 153 menghasilkan aktivitas penghambatan terbesar 2.026 (Tabel 1; Gambar 1).

Optimasi Medium Alternatif Untuk Perbanyakan Biomassa Sel Bakteri Filosfer

Medium alternatif (susu skim molase, ekstrak bekatul, dan kaldu kentang) dapat menumbuhkan hampir semua bakteri filosfer. Medium susu skim molase mampu memperbanyak bakteri BFV 60 hingga biomassa sel tertinggi (2.05 × 1010 cfu mL-1) dalam waktu inkubasi

24 jam, tetapi ttidak dapat menumbuhkan bakteri BFR 203. Bakteri filosfer dapat tumbuh mencapai 109cfu mL-1 dalam waktu inkubasi 30 jam pada medium ekstrak bekatul. Kaldu kentang mampu menumbuhkan semua bakteri filosfer dengan biomassa sel mencapai 1010cfu mL-1 dalam waktu inkubasi yang lebih cepat dibandingkan dengan medium alternatif lainnya (Tabel 2). Kaldu kentang dipilih sebagai medium perbanyakan biomassa sel bakteri filosfer.

Laju pertumbuhan masing-masing bakteri filosfer pada medium kaldu kentang sangat bervariasi. Berdasarkan kurva tumbuh rata-rata waktu inkubasi untuk mencapai biomassa sel tertinggi ialah 30–36 jam. Bakteri filosfer BFV 60, BFF 69, BFF 84, BFR 203 dan BFR 217 mampu tumbuh hingga biomassa sel mencapai 1011 cfu mL-1 pada medium kaldu kentang (Gambar 2).

Formulasi Bakteri Filosfer dalam Bahan Pembawa

Bakteri filosfer diformulasi dalam bahan pembawa utama, yaitu talek. Formula tersebut mengandung kadar air antara 10 – 12% dengan biomassa sel sebanyak 109 g-1 formula.

Isolat Indeks penghambatan Isolat Indeks penghambatanBFV 60 0.693 ± 0.109 BFR 153 2.026 ± 0.685BFF 69 1.527 ± 0.358 BFR 183 1.148 ± 0.092BFF 75 0.167 ± 0.144 BFR 203 0.940 ± 0.320BFF 84 1.580 ± 0.310 BFR 217 0.652 ± 0.073

Tabel 1 Indeks penghambatan bakteri filosfer terhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo 8004) pada medium luria bertani agar

Gambar 1 Aktivitas penghambatan beberapa isolat bakteri filosfer terhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo 8004). a, BFR 153; b, BFF 84; c, BFF69 dan; d, BFR 183.

a b c d

Page 5: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Tridesianti et al

195

Gambar 2 Pertumbuhan bakteri filosfer pada medium kaldu kentang (120 rpm, 27 °C, selama 48 jam). , BFV 60; , BFF 69; , BFF 84; , BFF 75; , BFR 153; , BFR 183;

, BFR 203 dan; , BFR 217.

Log

Sel

Waktu inkubasi (jam)

12

11

10

9

8

7

60 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Tabel 2 Jumlah biomassa sel bakteri filosfer pada medium kaldu kentang, susu skim molase, dan ekstrak bekatul ekstrak bekatul yang diinkubasi pada inkubator bergoyang (120 rpm, 27 °C)

IndikatorKode Isolat

BFV60 BFF69 BFF 75 BFF 84 BFR 153 BFR 183 BFR 217 BFR 203Kaldu Kentang

Jumlah sel (108 cfu mL-1) 163 167 80 187 168 139 141 150

Waktu inkubasi (Jam) 22 22 22 22 18 18 18 18

Susu Skim MolaseJumlah sel (108 cfu mL-1) 205 106 19 130 60 78 50 0

Waktu inkubasi (Jam) 24 24 24 24 48 48 24 0

Ekstrak BekatulJumlah sel (108 cfu mL-1) 23 65 45 25 43 12 45 54

Waktu inkubasi (Jam) 30 30 30 30 30 30 30 30

Aplikasi Formula Bakteri Filosfer terhadap Xoo 8004 di Rumah Kaca

Penilaian gejala HDB dilakukan dengan membandingkan panjang gejala nekrosis yang terbentuk dan panjang total daun. Gejala HDB mulai terlihat pada hari ke-5 setelah inokulasi Xoo 8004. Keparahan penyakit HDB pada tanaman padi mencapai 84.65% pada kontrol positif selama 34 HST, sedangkan keparahan penyakit HDB tertinggi pada formula BFF 75 mencapai 78.43%. Keparahan penyakit HDB terendah terjadi pada tanaman padi yang diberi

formula BFV 60 (50.17%). Formula BFV 60 (40.73%), BFF 69 (39.72%), dan BFR 203 (39.26%) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dalam menghambat penyakit HDB padi dibandingkan dengan formula bakteri filosfer lainnya (Gambar 3).

PEMBAHASAN

Uji aktivitas antagonisme bertujuan untuk mengonfirmasi kemampuan bakteri filosfer dalam menghambat pertumbuhan

Page 6: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Tridesianti et al

196

Xoo 8004 yang ditandai terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri filosfer. Indeks aktivitas penghambatan bakteri filosfer terhadap Xoo 8004 berkisar antara 0.1–2. Sebanyak 4 bakteri filosfer menunjukkan indeks aktivitas penghambatan > 1. Aktivitas penghambatan ini terjadi diduga karena adanya senyawa antimikrob yang dihasilkan oleh bakteri filosfer yang mampu menghambat atau mematikan sel bakteri Xoo 8004. Mekanisme kerja antimikrob dalam menghambat pertumbuhan bakteri ialah dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri, menghambat fungsi membran sel bakteri, atau menghambat sintesis asam nukleat (Guilhelmelli et al. 2013).

Aplikasi agens biokontrol dalam skala besar dapat dilakukan menggunakan medium yang murah dan berlimpah di alam. Medium tersebut harus mengandung unsur makro (karbon dan nitrogen) dan unsur mikro yang esensial untuk pertumbuhan mikroorganisme (Laleye et al. 2007). Kaldu kentang adalah ekstrak cair rebusan kentang yang mengandung karbohidrat, protein, asam amino, fosfor, kalsium dan unsur mikro lainnya yang berguna untuk mendukung pertumbuhan semua bakteri filosfer yang diuji. Martyniuk dan Oron (2011) melaporkan Sinorhizobium meliloti 330 tumbuh lebih banyak (3.3 × 1010 cfu mL-1)pada medium potato extract-sucrose broth

dibandingkan dengan medium yeast extract-mannitol broth (1.9 × 109cfu mL-1).

Formula bakteri filosfer menghasilkan persentase penghambatan relatif tinggi pada percobaan di rumah kaca. Penghambatan relatif merupakan efektivitas bakteri filosfer yang diformulasi dalam bahan pembawa talek untuk menurunkan infeksi penyakit HDB. Persentase penghambatan relatif dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu rendah (< 10%), sedang (10–25%) dan tinggi (>25%). Formula bakteri filosfer BFV 60, BFF 69, BFR 203, dan BFR 153 dengan persentase penghambatan relatif tertinggi (>25%).Hal ini menunjukkan bahwa keempat formula tersebut lebih efektif dalam mengendalikan penyakit hawar daun bakteri yang disebabkan oleh Xoo 8004. Efektivitas formula tersebut sebagai agens biokontrol sangat dipengaruhi oleh kestabilan populasi sel bakteri dalam bahan pembawa dan penempelan bakteri di filosfer daun padi sehingga mampu berkompetisi dengan bakteri patogen terhadap ruang dan nutrisi.

Pseudomonas fluorescens RRb11 mampu mereduksi serangan penyakit hawar daun hingga 83.37%. P. fluorescens RRb11 diformulasi dalam bahan pembawa talek dan diaplikasikan pada benih padi varietas Pusa Basmati 1 (Jambhulkar dan Sharma 2013). Perbedaan varietas padi dan perbedaan patotipe patogen akan menghasilkan pengaruh formula

Gambar 3 Persentase gejala nekrosis dan penghambatan relatif gejala hawar daun bakteri tanaman padi 34 hari setelah tanam. Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α 0.05. , Keparahan penyakit;

, Penghambatan relatif.

Perlakuan (isolat)

Gej

ala

haw

ar d

aun

bakt

eri

(%)

100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0BFV 60 BFF 69 BFF 75BFF 84BFR 153 BFR 183BFR 203 Kontrol

positifBFR 217

a a a

abbc bc

abc abcd

Page 7: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Tridesianti et al

197

agens biokontrol yang berbeda (Jabeen et al. 2012). Selain itu, metode aplikasi agens biokontrol juga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap efektivitas formula untuk menurunkan serangan HDB.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bakteri filosfer berhasil diformulasi dalam bahan pembawa talek dengan medium alternatif berupa kaldu kentang. Formula BFV 60, BFF 69, BFR 203, BFR 153 efektif untuk mengendalikan penyakit HDB di rumah kaca dengan nilai penghambatan berturut-turut sebesar 40.73%, 39.72%, 39.26%, dan 28.07%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Ristek DIKTI atas dukungan pendanaan penelitian Hibah Kompetensi Tahun 2016.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of official analytical chemists. 1996. Method of analysis association of official analytical chemistry. Washington (US): AOAC.

Ardakani SS, Heydari A, Khorasani NA, Arhmandi R, Ehteshami M. 2009. Preparation of new biofungicides using antagonistic bacteria and mineral compounds for controlling cotton seedling damping-off disease. J Plant Protect Res. 49(1):4955. DOI: https://doi.org/10.2478/v10045-009-0007-3.

Gnanamnickam SS, Priyadarisini VB, Narayanan NN, Vasudevan P, Kavitha S. 1999. An overview of bacterial blight disease of rice and strategies for its management. Curr Sci. 77(11):1435–1443.

Guilhelmelli F, Vilela N, Albuquerque P, Derengowski LS, Silva PL, Kyaw CM. 2013. Antibiotic development challenges: the various mechanisms of action of antimicrobial peptides and of bacterial resistance. Front Microbiol. 4(353): 1–12. DOI: https://doi.org/10.3389/fmicb.2013.00353.

Jabeen R, Iftikhar T, Batool H. 2012. Isolation, characterization, preservation and pathogenicity of Xanthomonas oryzae pv. oryzae causing BLB disease in rice. Pak J Bot. 44(1):261–265.

Jambhulkar PP, Sharma P. 2013. Development of bioformulation and delivery system of Pseudomonas fluorescens against bacterial leaf blight of rice (Xanthomonas oryzae pv. oryzae). J Environ Biol. 35(5):843–849.

Krishanti NPR, Wahyudi AT, Nawangsih AA. 2015. Nonpathogenic phyllosphere bacteria producing bioactive compounds as biological control of Xanthomonas oryzae pv oryzae. Int J Pharm Bio Sci. 6(1):801–810.

Li P, Shi L, Gao M, Yang X, Xue W, Jin L, Hu D, Song B. 2015. Antibacterial activities against rice bacterial leaf blight and tomato bacterial wilt of 2-mercapto-5-substituted-1,3,4-oxadiazole/ thiadiazole derivatives. Bioorg Med Chem Lett. 25(3):481–484.

Laleye SA, Tedela PO, Adesua B, Famurewa O. 2007. Growth of some microorganisms on medium formulated from local raw materials. Res J Microbiol. 2(6):545–549. DOI: https://doi.org/10.3923/jm.2007.545.549.

Lisboa MP, Bonato D, Bizani D, Henriques JAP, Brandelli A. 2006. Characterization of bacteriosin-like substance produced by Bacillus amyloliquefaciens isolated from the Brazilian atlantic forest. Int Microbiol. 9:111–118.

Martyniuk S, Oron J. 2011. Use of potato extract broth for culturing root-nodule bacteria. Polish J Microbiol.60(4):323–327.

Nayak D, Shanti ML, Bose LK, Singh UD, Nayak P. 2008. Pathogenicity association in Xanthomonas oryzae pv. oryzae the causal organism of rice bacterial blight disease. J Agric Biol Sci. 3(1):12–27.

Nurfitriani R. 2014. Penapisan bakteri filosfer penghasil senyawa bioaktif anti Xanthomonas oryzae pv. oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri pada padi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Page 8: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Tridesianti et al

198

Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics: A Biometrical Approach. 2nd edition. New york (US): McGraw-Hill Book Co.

Suryadi Y, Susilowati DN, Kadir TS, Zaffan ZR, hikmawati N, Mubarik NR. 2013.

Bioformulation of antagonistic bacterial consortium for controlling blast, sheath blight, and bacterial blight diseases on rice. Asian J Plant Pathol. 7(3):92–108. DOI: https://doi.org/10.3923/ajppaj.2013.92.108.

Page 9: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

ISSN: 0215-7950

199

Volume 12, Nomor 6, November 2016Halaman 199–208

DOI: 10.14692/jfi.12.6.199

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper, Kampus Dramaga IPB, Bogor 16680Tel: +62251-8629364, Faks:+62251-8629362, Surel: [email protected]

Isolasi, Seleksi, dan Identifikasi Bakteri Endofit sebagai Agens Penginduksi Ketahanan Padi terhadap Hawar Daun Bakteri

Isolation, Selection, and Identification of Endophytic Bacteria as Rice Resistance Inducer to Bacterial Leaf Blight

Ida Parida, Tri Asmira Damayanti, Giyanto*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae menjadi salah satu masalah besar dalam produksi padi di Indonesia. Salah satu upaya pengendalian yang dapat dilakukan ialah dengan pemanfaatan bakteri endofit. Penelitian ini bertujuan menguji kemampuan bakteri endofit yang diisolasi dari akar, batang, dan daun padi dalam menginduksi ketahanan tanaman terhadap penyakit HDB. Hasil seleksi menunjukkan bahwa 370 isolat memiliki viabilitas yang baik dan morfologi koloni yang berbeda. Sebanyak 8 isolat di antaranya mampu menginduksi ketahanan dan 1 isolat mampu memacu pertumbuhan padi di pembibitan. Namun hanya 7 isolat yang tidak menyebabkan reaksi hipersensitif pada tanaman tembakau. Lebih lanjut, 7 isolat bakteri endofit hasil seleksi diuji kemampuannya dalam menginduksi ketahanan padi pada percobaan rumah kaca dengan pengamatan pada peubah ekspresi gen PR1 dan PBZ1, aktivitas enzim peroksidase, periode inkubasi, dan perkembangan penyakit. Tujuh isolat bakteri endofit mampu menginduksi ekspresi gen PR1 dan PBZ1, 4 isolat mampu meningkatkan aktivitas enzim peroksidase, 4 isolat mampu memperpanjang periode inkubasi, dan 2 isolat dapat menghambat perkembangan penyakit. Hanya bakteri endofit isolat EB4 451 yang secara konsisten dapat menginduksi ekspresi gen PR1 dan PBZ1, meningkatkan aktivitas enzim peroksidase, memperpanjang periode inkubasi, serta menekan perkembangan penyakit. Isolat EB4 451 telah diidentifikasi berdasarkan sikuen nukleotidanya sebagai Bacillus subtilis.

Kata kunci: ekspresi gen PR1 dan PBZ1, enzim peroksidase, Xanthomonas oryzae pv oryzae.

ABSTRACT

Bacterial leaf blight caused by Xanthomonas oryzae pv. oryzae is one of the major problems in rice production in Indonesia. One of the control measures for the disease is by the utilization of endophytic bacteria. This study was aimed to determine the ability of endophytic bacteria isolated from the roots, stems and leaves of rice in inducing plant resistance to bacterial leaf blight on rice. Screening of endophytic bacteria showed that 370 isolates have good viability and have different colony morphology. Among them, 7 isolates were able to induce resistance and 1 isolate was able to promote the growth of rice in the nursery. However, only 8 isolates did not cause hypersensitive reaction on tobacco plants. The selected isolates of endophytic bacteria were further examined for their ability to induce resistance of rice in greenhouse experiments. Observation involved several variables, i.e. PR1 and PBZ1 gene expression, peroxidase enzyme activity, incubation period, and disease progression. Seven isolates of endophytic bacteria were able to induce PR1 and PBZ1 gene expression, 4 isolates were able to increase peroxide enzyme activity, 4 isolates could prolong the incubation period, and 2 isolates can inhibit the development of disease. However, only EB4 451 isolate was consistently able to induce PR1 and PBZ1

Page 10: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Parida et al

200

PENDAHULUAN

Hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae menyebabkan kehilangan hasil antara 20% dan 30%, bahkan dapat mencapai 50% (Verdier et al. 2011). Gejala yang ditimbulkan ialah kresek dan hawar pada daun. Patotipe III, IV, dan VIII merupakan patotipe yang mendominasi diantara 12 patotipe X. oryzae pv. oryzae yang ada di Indonesia (Sudir et al. 2009).

Bakteri endofit dapat mengolonisasi bagian internal jaringan tanaman tanpa menyebabkan kerusakan pada inangnya (Ryan et al. 2007). Salah satu mekanisme bakteri endofit dalam pengendalian patogen tanaman dapat melalui induced systemic resistance (ISR). Kemapuan ISR bakteri endofit Pseudomonas fluoresens G8-4 pertama kali diketahui pada tahun 1991 menginduksi ketahanan mentimun terhadap penyakit antraknosa (Wei et al. 1991). Bacillus pumilus INR7 dapat meningkatkan ketahanan mentimun terhadap penyakit layu yang disebabkan Erwinia tracheiphila (Wei et al. 1996), B. subtilis meningkatkan ketahanan tomat terhadap Cucumber mosaic virus (CMV) (Zehnder et al. 2000), dan beberapa bakteri endofit dapat meningkatkan ketahanan bawang merah terhadap penyakit HDB (Resti et al. 2013). Pada padi, induksi ketahanan tanaman terhadap HDB baru diteliti menggunakan rizobakteri sekitar perakaran (Khaeruni et al. 2014). Penelitian ini bertujuan menguji kemampuan bakteri endofit asal tanaman padi sehat sebagai agens penginduksi ketahanan tanaman padi terhadap penyakit HDB.

BAHAN DAN METODE

Isolasi Bakteri EndofitSampel tanaman padi sehat diambil dari

daerah Sleman (Yogyakarta), Subang (Jawa Barat), dan Barito Kuala (Kalimantan

Selatan). Isolasi bakteri endofit mengikuti metode Munif et al. (2012) dengan modifikasi pada tahap sterilisasi permukaan. Sebanyak 0.1 mL ekstrak dari pengenceran 10-3 dan 10-4 disebar pada medium tryptic soy agar (TSA) 5%, TSA 100%, nutrient agar (NA), King’s B 100%, water-yeast extract-agar (WYE), dan casamino acids yeast extract dextrose agar (YCED) (Schaad et al. 2000). Semua isolat diuji viabilitasnya dengan cara disimpan dalam air steril selama 1 bulan dan ditumbuhkan kembali pada medium yang sama. Bakteri endofit yang tumbuh dalam air steril diamati ciri morfologi koloninya (seperti warna, bentuk, tepian, dan elevasi).

Uji Induksi Ketahanan dan Pemacu Pertumbuhan.

Penelitian disusun menggunakan ran-cangan acak lengkap dengan 3 ulangan, dan setiap ulangan terdiri atas 1 tanaman padi. Perlakuan yang diuji ialah bakteri endofit hasil uji viabilitas dan morfologi koloni diseleksi berdasarkan pengaruhnya terhadap induksi ketahanan dan pemacu pertumbuhan padi di pembibitan.

Benih padi varietas Ciherang disterilkan permukaannya dengan perendaman dalam air steril suhu 55 °C selama 20 menit. Selanjutnya benih direndam dalam suspensi bakteri endofit selama 13 jam dan ditanam pada medium pasir dan kompos (1:1 (v/v)), kemudian ditempatkan dalam ruang tumbuh. Setelah berumur 3 minggu, bagian ujung daun kedua dipotong menggunakan gunting yang telah dicelupkan dalam suspensi X. oryzae pv. oryzae patotipe IV dalam medium Wakimoto cair dengan kerapatan 108 sel mL-1.

Uji Reaksi HipersensitifIsolat bakteri endofit hasil seleksi di

pembibitan diuji reaksi hipersensitifnya pada daun tembakau 'White Barley' umur 2 bulan.

gene expression, increased peroxide enzyme activity, prolonged incubation period, and suppressed the progression of the disease. The EB4 451 isolate was identified based on nucleotide sequence as Bacillus subtilis.

Key words: peroxidase, PR1and PBZ1gene expression, Xanthomonas oryzae pv oryzae

Page 11: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Parida et al

201

Pengujian mengikuti metode yang dilakukan oleh Wahyudi et al. (2011). Gejala diamati maksimal 24 jam setelah inokulasi.

Aplikasi Bakteri Endofit terhadap Karakter ISR

Bibit padi varietas Ciherang yang berumur 2 minggu dipindah tanam pada tanah sawah steril dalam ember berukuran 13.5 cm × 11.5 cm.Pemupukan dilakukan berdasarkan dosis anjuran (Sasmita et al. 2006).

Tujuh bakteri endofit yang diuji ialah isolat EA2 154, EB3 307, EB4 451, EB4 452, EB6 748, ED1 63, dan ED4 467 yang disuspensikan dalam medium luria bertani. Bakteri endofit diaplikasikan pada 3 waktuaplikasi yang berbeda untuk melihat pe-ngaruhnya terhadap induksi ketahanan, yaitu aplikasi bakteri endofit pada benih (W1), aplikasi bakteri endofit pada benih dan 4 MST (W2), dan aplikasi bakteri endofit pada benih, 4, dan 6 MST (W3). Inokulasi X. oryzae pv. oryzae dilakukan pada akhir masa vegetatif (6 MST) dengan cara yang sama seperti pada percobaan di pembibitan. Jumlah anakan yang digunting untuk setiap unit tanaman ialah 5 anakan, selanjutnya tanaman disungkup selama 3 hari. Setiap perlakuan terdiri atas 1 unit tanaman dan diulang 3 kali.

Peubah yang diamati terdiri atas ekspresi gen PR1 dan PBZ1, aktivitas enzim peroksidase, periode inkubasi, dan perkembangan penyakit. Ekspresi gen PR1 dan PBZ1 dianalisis dengan teknik RT-PCR mengacu pada metode Kurnianingsih (2008). Isolasi RNA total dilakukan dari 0.1 g bagian daun tanaman yang diberi perlakuan bakteri endofit sebelum dan setelah diinokulasi X. oryzae pv. oryzae menggunakan peqGOLD Plant RNA kit (peqlab). Amplifikasi gen PR1 dan PBZ1 menggunakan TransScriptTM II One-Step RT-PCR SuperMix (TransGen Biotech). Amplifikasi gen PR1 menggunakan primer spesifik PR1 dengan target amplikon berukuran ± 523 pb; sedangkan amplifikasi gen PBZ1 menggunakan primer spesifik PBZ1 dengan target amplikon berukuran ± 900 pb (Midoh dan Iwata 1996). Intensitas DNA gen PR1 dan PBZ1 diukur menggunakan

perangakt lunak ImageJ (Abramoff et al. 2004).

Analisis aktivitas enzim peroksidase dilakukan pada 2 hari setelah inokulasi X. oryzae pv. oryzae. Analisis menggunakan metode yang digunakan oleh Damayanti et al. (2007). Lama periode inkubasi diamati setiap hari setelah inokulasi patogen. Pengamatan berhenti setelah muncul gejala pertama pada setiap unit percobaan. Perkembangan penyakit diamati dengan menghitung panjang hawar setiap hari dan berhenti setelah gejala hawar sampai pada pangkal daun. Nilai keparahan penyakit dihitung dengan skor kerusakan daun berdasarkan sistem evaluasi baku Standard Evaluation System for Rice (IRRI 1996). Kategori serangan X. oryzae pv. oryzae yang digunakan, yaitu skor 0, tidak ada gejala; 1, skala kerusakan 1–5%; 3, skala kerusakan 6–12%; 5, skala kerusakan 13–25%; 7, skala kerusakan 26–50% dan; 9, skala kerusakan 51–100%. Data keparahan penyakit dianalisis menggunakan formula Area Under Disease Progress Curve (AUDPC) (Van der Plank 1963). AUDPC =

n = 1Ʃi

Ri + Ri+1

2 × (t i+1– t i)[ ] , dengan

Ri, keparahan penyakit waktu i; ti, waktu ke-i.Penelitian ini disusun menggunakan

rancangan acak lengkap dengan faktor pertama ialah 7 isolat bakteri endofit dan faktor kedua ialah waktu aplikasi bakteri endofit.

Identifikasi Isolat Bakteri EndofitIdentifikasi bakteri endofit yang mampu

menginduksi ketahanan tanaman dilakukan berdasarkan runutan gen 16S rRNA. Isolasi DNA total menggunakan GeneJET Genomic DNA purification Kit (Thermo Scientific). Amplifikasi DNA kromosom dengan teknik PCR menggunakan sepasang primer general 16S rRNA untuk prokariot, yaitu 27 F dan 1492R yang digunakan Lane (1991) dengan target amplikon ± 1500 pb. Sekuen parsial nukleotida yang diperoleh dibandingkan dengan sekuen di NCBI Genbank dengan perangkat lunak basic local alignment search tool (BLAST) (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST/).

Page 12: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Parida et al

202

HASIL

Isolasi Bakteri EndofitHasil isolasi diperoleh sebanyak 594 isolat

bakteri endofit, diantaranya dari bagian akar 225 isolat (38%), dari bagian batang 236 isolat (40%), dan dari bagian daun 133 isolat (22%). Hasil seleksi berdasarkan uji viabilitas dan morfologi koloni menyisakan 370 isolat bakteri endofit. Ciri morfologi seperti warna, bentuk, tepian, dan elevasi dari masing-masing isolat berbeda satu sama lain.

Hasil pengujian di pembibitan terhadap 370 isolat bakteri endofit diperoleh 9 isolat potensial. Delapan diantaranya mampu menginduksi ketahanan dengan cara menekan perkembangan gejala hawar (Gambar 1), dan 1 isolat, yaitu ED1 63 memengaruhi tinggi tanaman paling baik (tinggi tanaman = 26.53 cm) dibandingkan dengan semua isolat yang diujikan. Hasil uji reaksi hipersensitif terhadap 9 isolat menunjukkan bahwa 7 isolat tidak bersifat patogen tumbuhan. Ketujuh isolat tersebut adalah EA2 154, EB3 307, EB4 451, EB4 452, EB6 748, ED1 63, dan ED4 467.

Aplikasi Bakteri Endofit terhadap Karakter ISR

Tujuh isolat bakteri endofit mampu menginduksi ekspresi gen PR1 pada saat sebelum inokulasi X. oryzae pv. oryzae dengan intensitas ekspresi yang berbeda-beda (Gambar 2). Ketujuh isolat tersebut konsisten mampu menginduksi ekspresi gen PR1 baik pada perlakuan W1, W2, maupun W3. Intensitas ekspresi gen PR1 pada W1 yang paling tinggi

ialah pada perlakuan EB4 452, yaitu mencapai 28% dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainya. Perlakuan bakteri endofit saja sudah mampu menginduksi ekspresi gen PR1 (Gambar 2a-c). Hal ini menunjukkan bahwa rangsangan yang diberikan oleh bakteri endofit sudah mampu mengaktifkan sistem pertahanan tanaman, khususnya ekspresi gen PR1; sedangkan, ekspresi gen PR1 cenderung mengalami peningkatan pada saat setelah inokulasi X. oryzae pv. oryzae kecuali perlakuan ED1 63 pada W3 (Gambar 2d-f).

Perlakuan bakteri endofit yang mampu menginduksi ekspresi gen PBZ1 pada saat sebelum inokulasi X. oryzae pv. oryzae ialah EA2 154, EB3 307, EB4 451, EB4 452 pada W1, W2, dan W3, serta EB6 748, ED1 63, dan ED4 467 pada W2 dan W3 dengan intensitas ekspresi yang berbeda-beda (Gambar 3a-c). Sama halnya dengan ekspresi gen PR1, ekspresi gen PBZ1 juga cenderung mengalami peningkatan setelah inokulasi X. oryzae pv. oryzae (Gambar 3d-f). Bakteri endofit yang secara konsisten mampu menginduksi ekspresi gen PBZ1 pada sebelum maupun setelah inokulasi adalah EA2 154, EB3 307, EB4 451, dan EB4 452.

Aktivitas enzim peroksidaseWaktu aplikasi yang berbeda cenderung

memengaruhi aktivitas enzim peroksidase. Aktivitas enzim peroksidase dari awal sampai akhir pengamatan cenderung mengalami peningkatan. Perlakuan yang memengaruhi aktivitas enzim peroksidase ialah EB4 451, EB4 452, EB6 748, dan ED1 63 pada W1,

Gambar 1 Pengaruh perlakuan bakteri endofit terhadap rata-rata panjang hawar daun bakteri di pembibitan. Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf keparcayaan 95%.

Bakteri endofitEA2 154 EB3 307 EB4 451 EB4 452 EB6 748 ED4 467 EA5 595 EB5 606 Kontrol

SakitKontrol Sehat

1614121086420

Panj

ang

haw

ar (m

m)

b b b b b b bb

b

a

Page 13: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Parida et al

203

Gambar 3 Ekspresi gen PBZ1 berdasarkan hasil RT-PCR pada perlakuan bakteri endofit sebelum dan setelah inokulasi X. oryzae pv. oryzae. a dan d, perlakuan bakteri endofit pada benih saja; b dan e, perlakuan bakteri endofit pada benih dan 4 MST; c, dan f, perlakuan bakteri endofit pada benih, 4 dan 6 MST.

Gambar 2 Ekspresi gen PR1 berdasarkan hasil RT-PCR pada perlakuan bakteri endofit sebelum dan setelah inokulasi X. oryzae pv. oryzae. a dan d, perlakuan bakteri endofit pada benih saja; b dan e, perlakuan bakteri endofit pada benih dan 4 MST; c, dan f, perlakuan bakteri endofit pada benih, 4 dan 6 MST.

Page 14: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Parida et al

204

serta EB4 451, EB4 452, EB6 748, dan ED4 467 pada W2. Rata-rata nilai absorbansi setiap perlakuan berkisar antara 0.15 sampai 0.3, kecuali EA2 154 dan EB3 307 (Gambar 4).

Periode InkubasiFaktor waktu aplikasi, isolat, dan interaksi

antara waktu aplikasi dan isolat tidak berpengaruh nyata terhadap periode inkubasi HDB. Periode inkubasi penyakit yang lebih panjang ialah perlakuan ED4 467 pada W1,

EA2 154 pada W2, EB4 451 pada W1 dan W2, serta EB6 748 pada W2 dengan rata-rata lama periode inkubasi berkisar antara 7 sampai 8 hari (Gambar 5).

Perkembangan PenyakitInteraksi antara faktor waktu aplikasi

dan isolat berpengaruh nyata terhadap perkembangan penyakit. Hasil uji beda nyata menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan yang memengaruhi perkembangan

Gambar 5 Pengaruh perlakuan bakteri endofit terhadap periode inkubasi hawar daun bakteri. (W1), perlakuan bakteri endofit pada benih saja; (W2), perlakuan bakteri endofit pada

benih dan 4 MST ; (W3), perlakuan bakteri endofit pada benih, 4 dan 6 MST.

Perio

de in

kuba

si (h

ari)

Bakteri endofitEA2 154 EB3 307 EB4 451 ED4 467EB4 452 ED1 63EB6 748 Kontrol

9876543210

Gambar 4 Aktivitas enzim peroksidase pada 3 waktu aplikasi bakteri endofit. W1, perlakuan bakteri endofit pada benih saja; W2, perlakuan bakteri endofit pada benih dan 4 MST; W3, perlakuan bakteri endofit pada benih, 4 dan 6 MST. , EA2 154; , EB3 307;

, EB4 451; , EB4 452; , EB6 748; , ED1 63; , ED4 467 dan; , Kontrol.

Nila

i abs

orba

nsi

Detik ke- .....W1 W3W2

Page 15: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Parida et al

205

penyakit terendah ialah ED1 63 pada W3. Perkembangan penyakit pada perlakuan ini berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali dengan perlakuan EB4 451 pada W1 (Gambar 6).

Berdasarkan hasil seleksi dan pengujian di rumah kaca terhadap beberapa parameter induksi ketahanan seperti ekspresi gen PR1 dan PBZ1, aktivitas enzim peroksidase, periode inkubasi, serta perkembangan penyakit diketahui bahwa 7 isolat bakteri endofit yang diujikan mampu menginduksi ekspresi gen PR1 dan PBZ1, serta 4 isolat (EB4 451, EB4 452, EB6 748, dan ED1 63) diantaranya mampu meningkatkan aktivitas enzim peroksidase. Selain itu terdapat 4 isolat bakteri endofit (EA2 154, EB4 451, EB6 748, dan ED4 467) yang mampu memperpanjang

periode inkubasi, dan 2 isolat (EB4 451 dan ED1 63,) yang dapat menghambat perkembangan penyakit. Namun diantara 7 isolat yang diujikan tersebut, hanya isolat EB4 451 yang paling konsisten menginduksi ketahanan tanaman dibandingkan isolat lainnya. Isolat ini mampu menghambat gejala hawar akibat inokulasi X. oryzae pv oryzae di pembibitan, menginduksi ekspresi gen PR1 dan PBZ1, meningkatkan aktivitas enzim peroksidase, memperlambat periode inkubasi, dan menghambat perkembangan penyakit di rumah kaca.

Identifikasi Bakteri Endofit PotensialHasil identifikasi menunjukkan bahwa

EB4 451 memiliki kemiripan 98% dengan Bacillus subtilis (Tabel 1).

Gambar 6 Pengaruh perlakuan bakteri endofit terhadap perkembangan penyakit hawar daun bakteri. (W1), perlakuan bakteri endofit pada benih saja; (W2), perlakuan bakteri endofit pada benih dan 4 MST; (W3), perlakuan bakteri endofit pada benih, 4 dan 6 MST. Huruf yang sama pada diagram dengan tipe arsiran yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Bakteri endofit

120

100

880

60

40

20

0

Perk

emba

ngan

pen

yaki

t (A

UD

PC)

EA2 154 EB3 307 EB4 451 ED4 467EB4 452 ED1 63EB6 748 Kontrol

g-h

g-h b-f

a-ba-f

d-f

a-f

f-h

h-i

b-f

a-c

f-hb-f

a

f-h

a-b

a-f

i

a-f

g-he-f

a-da-e

e-h

Spesies Galur Asal Query cover (%)

Identitas (%)

No. Aksesi

Bacillus subtilis LZHC10 Cina 100 98 GQ861469.1Bacillus subtilis j8 Cina 100 98 HQ166109.1Bacillus subtilis EB41 Cina 99 98 JX683721.1Bacillus subtilis sub sp. subtilis

WSR-KSU310 Saudi Arabia 99 98 HM753632.1

Tabel 1 Tingkat kemiripan basa nukleotida 16S rRNA isolat EB4 451 dengan isolat Bacillus subtilis yang terdaftar pada GenBank berdasarkan hasil BLAST

Page 16: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Parida et al

206

PEMBAHASAN

Bakteri endofit dapat diisolasi dari bagian akar, batang, dan daun tanaman padi. Menurut Rosenblueth dan Martinez-Romero (2004) akar umumnya merupakan bagian yang paling banyak dikolonisasi bakteri endofit dibandingkan dengan bagian tanaman lain yang berada di atas permukaan tanah. Penelitian ini menunjukkan bahwa bakteri endofit asal padi cenderung lebih banyak terisolasi dari bagian batang dibandingkan akar dan daun. Menurut Reinhold-Hurek dan Hurek (1998) batang juga merupakan bagian yang banyak dikolonisasi bakteri endofit terutama pada bagian pembuluh xilem. Bakteri endofit mengolonisasi jaringan inang melalui celah atau luka yang terbentuk saat munculnya akar lateral atau zona pemanjangan akar serta diferensiasi akar dan selanjutnya menyebar ke bagian tanaman yang lain seperti batang dan daun.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bakteri endofit mampu menginduksi ekspresi gen PR1 dan PBZ1 pada saat sebelum terjadi infeksi patogen X. oryzae pv. oryzae. Berdasarkan informasi ini dapat diketahui bahwa perlakuan beberapa bakteri endofit pada W1, yaitu aplikasi bakteri endofit pada benih saja sudah cukup untuk menginduksi ekspresi gen PR1 dan PBZ1. Hal ini berkaitan dengan kecepatan ekspresi gen PR1 dan PBZ1. Menurut Kurnianingsih (2008) kecepatan ekspresi gen PR1 dan PBZ1 sangat berperan dalam sistem pertahanan padi terhadap P. grisea. Diduga hal yang sama juga terjadi terhadap X. oryzae pv. oryzae. Aktifnya gen ketahanan yang lebih cepat bermanfaat untuk mengatasi penyakit HDB sejak awal infeksi. Bakteri endofit mampu menginduksi aktifnya kedua gen ketahanan tanaman sebelum infeksi X. oryzae pv. oryzae sehingga saat diinfeksi patogen, tanaman lebih siap mengatasinya yang ditunjukkan dengan periode inkubasi yang lebih panjang dan penghambatan perkembangan penyakit.

Menurut Heldt (2005) enzim peroksidase berperan sebagai enzim yang mereduksi H2O2 yang merupakan kelompok senyawa peroksida

menjadi air (H2O) yang tidak lagi beracun bagi tanaman. Umumnya enzim peroksidase pada tanaman terdapat dalam membran tilakoid dan berfungsi sebagai antioksidan pada sel tanaman. Secara umum aktivitas enzim peroksidase pada perlakuan bakteri endofit tidak terlalu berbeda nyata dengan kontrol kecuali pada beberapa perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan ketahanan tanaman akibat perlakuan bakteri endofit tidak selalu berasosiasi dengan peningkatan aktivitas enzim peroksidase. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Syukur et al. (2009) pada tanaman cabai yang mengalami peningkatan ketahanan terhadap penyakit antraknosa, tetapi peningkatan ketahanan tersebut tidak berasosiasi dengan peningkatan aktivitas enzim peroksidase.

Selain mampu menginduksi ekspresi gen PR1 dan PBZ1 serta meningkatkan aktivitas enzim peroksidase, perlakuan bakteri endofit juga mampu memperpanjang periode inkubasi dan menghambat perkembangan keparahan penyakit HDB. Semakin panjang periode inkubasi dan terhambatnya perkembangan keparahan penyakit menunjukkan tanaman semakin tahan terhadap penyakit HDB.

Diantara beberapa bakteri endofit yang digunakan dalam peneitian ini, diperoleh satu isolat yang potensial sebagai penginduksi ketahanan tanaman padi terhadap penyakit HDB, yaitu EB4 451. Hasil identifikasi molekuler diketahui bahwa EB4 451 ialah B. subtilis. Bakteri endofit ini dapat menghambat gejala hawar di pembibitan, menginduksi ekspresi gen PR1 dan PBZ1, meningkatkan aktivitas enzim peroksidase, memperpanjang periode inkubasi, dan menghambat per-kembangan keparahan penyakit HDB di rumah kaca. B. subtilis dilaporkan dapat menginduksi ketahanan Arabidopsis thaliana terhadap P. syringae (Ryu et al. 2003) dan tomat terhadap infeksi CMV (Zehnder et al. 2000). Berdasarkan penelitian ini B. subtilis mampu menginduksi ketahanan padi terhadap X. oryzae pv. oryzae dan dapat dipertimbangakan sebagai agens hayati untuk pengendalian HDB.

Page 17: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Parida et al

207

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Program KKP3N, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian atas pendanaan penelitian ini sebagai bagian dari kerjasama dengan nomor kontrak: 50/PL.220/I.1/2014.K10, serta beasiswa pendidikan dari Provinsi Jawa Barat dengan nomor kontrak: 073/08/Yansos dan 1683/IPB/DL/2013.

DAFTAR PUSTAKA

Abramoff MD, Magalhaes PJ, Ram SJ. 2004. Image processing with image. J Biophoto Inter. 11(7):36–42.

Damayanti TA, Pardede H, Mubarik NR. 2007. Utilization of root-colonizing bacteria to protect hot-pepper against Tobacco Mosaic Virus. Hayati. 14(3):105–109.

Heldt HW. 2005. Plant Biochemistry. Ed ke-3. Calofornia (US): Elsevier Academic Press.

IRRI [International Rice Research Institut]. 1996. Standard Evaluation System for Rice. Ed ke-4. Manila (PH): International Rice Research Institut. hlm 52.

Khaeruni A, Rahim A, Syair, Adriani. 2014. Induksi ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi di lapangan menggunakan rizobakteri indigenos. J HPT Tropika. 14(1):57–63.

Kurnianingsih R. 2008. Ekspresi Gen PR1 dan PBZ1 yang terlibat dalam sistem toleransi tanaman padi terhadap penyakit blas (isolat 173) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Lane DJ. 1991. 16S/23S rRNA sequencing. In: Nucleic acid techniques in bacterial systematics. Stackebrandt E, Goodfellow M, editor. New York (US): John Wiley and Sons. hlm 115–175.

Midoh N, Iwata M. 1996. Cloning and characterization of a probenazole inducible gene for an intraseluler pathogenesis related protein in rice. Plant Cell Physiol. 37(1):9–18. DOI: https://doi.org/10.1093/oxfordjournals.pcp.a028918.

Munif A, Wiyono S, Suwarno. 2012. Isolasi bakteri endofit asal padi gogo dan

potensinya sebagai agens biokontrol dan pemacu pertumbuhan. J Fitopatol Indones. 8(3):57–65.

Reinhold-Hurek B, Hurek T. 1998. Interactions of gramineous plants with Azoarcus spp. and other diazotrophs: Identification, localization, and perspectives to study their function. Crit Rev Plant Sci.17(1):29–54. DOI: https://doi.org/10.1016/S0735-2689(98)00355-4.

Resti Z, Habazar T, Putra DP, Nasrun. 2013. Skrining dan identifikasi isolat bakteri endofit untuk mengendalikan penyakit hawar daun bakteri pada bawang merah. J HPT Tropika. 13(2):167–178.

Rosenblueth M, Martinez-Romero E. 2004. Rhizobium etli maize populations and their competitiveness for root colonization. Arch Microbiol. 181(5):337–344. DOI: https://doi.org/10.1007/s00203-004-0661-9.

Ryan RP, Germaine K, Franks A, Ryan DJ, Dowling DN. 2007. Bacterial endophytes: recent developments and application. [ulasan]. FEMS Microbiol Lett, 278(2008):1–9. DOI: https://doi.org/10.1111/j.1574-6968.2007.00918.x.

Ryu C-M, Hu C-H, Reddy MS, Kloepper JW. 2003. Different signaling pathways of induced resistance by rhizobacteria in Arabidopsis thaliana against two pathovars of Pseudomonas syringae. New Phytol. 160:413–420. DOI: https://doi.org/10.1046/j.1469-8137.2003.00883.x.

Sasmita P, Purwoko BS, Sujiprihati S, Hanarida I, Dewi IS, Chozin MA. 2006. Evaluasi pertumbuhan dan produksi padi gogo haploid ganda toleran naungan dalam sistem tumpang sari. Bul Agron. 34(2):79–86.

Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2000. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Minnesota (US): APS Press.

Sudir, Triny SK, Suprihanto. 2009. Identifikasi patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri padi di sentra produksi padi di Jawa. J Litbang Tanaman Pangan. 28(3):131–138.

Syukur M, Sujiprihati S, Koswara J. 2009. Ketahanan terhadap Antraknosa yang

Page 18: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Parida et al

208

Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum pada Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) dan Korelasinya dengan Kandungan Kapsaicin dan Peroksidase. J Agro Indones. 37(3):233 – 239.

Van der Plank JE. 1963. Plant Disease: Epidemics an Control. London (UK): Academic Pr.

Verdier V, Cruz CV, Leach JE. 2011. Controlling rice bacterial blight in Africa: needs and prospects. J Biotech. 159(4):320–328. DOI: https://doi.org/10.1016/j.jbiotec.2011.09.020.

Wahyudi AT, Meniah S, Nawangsih AA. 2011. Xanthomonas oryzae pv. oryzae bakteri penyebab hawar daun pada padi: isolasi, karakterisasi, dan telaah mutagenesis dengan transposon. Makara Sains. 15(1):89–96.

Wei G, Kloepper JW, Tuzun S. 1991. Induction of systemic resistance of cucumber to

Colletotrichum orbiculare by select strains of plant growth-promoting rhizobacteria. Phytopathology. 81:1508–1512. DOI: https://doi.org/10.1094/Phyto-81-1508.

Wei G, Kloepper JW, Tuzun S. 1996. Induced systemic resistance to cucumber diseases and increased plant growth by plant growth-promoting rhizobacteria under field conditions. Phytopathology. 86:221–224. DOI: https://doi.org/10.1094/Phyto-86-221.

Zehnder GW, Yao C, Murphy JF, Sikora EJ, Kloepper JW. 2000. Induction of resistance in tomato against cucumber mosaic cucumovirus by plant growth-promoting rhizobacteria. BioControl. 45(1):127–137. DOI: https://doi.org/10.1023/A:1009923702103.

Page 19: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

ISSN: 0215-7950

209

*Alamat penulis korespondensi: Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia. Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Jalan Tentara Pelajar 3A Bogor 16111 Tel:0251 8337975, Faks:0251 8338820, Surel: [email protected].

Waktu Inkubasi pada Derajat Distilasi Kitosan Enzim dan Efektifitas Penghambatannya terhadap Penyakit Antraknosa

Incubation Time on the Degree Deacetylation of Enzymatic Chitosan and Its Effectiveness on the Inhibition of Anthracnose Disease

Yadi Suryadi1*, Tri Puji Priyatno1, I Made Samudra1, Dwi Ningsih Susilowati1,Hermawati Nurzulaika2, Syaefudin2

1Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor 161112Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Salah satu alternatif untuk pengendalian penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum sp. pada buah-buahan, yaitu menggunakan kitosan sebagai pelapis permukaan saat pascapanen. Penelitian ini bertujuan mendapatkan produksi optimal kitosan yang dihidrolisis secara enzimatik (KE) menggunakan kitinase asal Burkholderia cepacia isolat E76 sebagai bahan anticendawan untuk mengendalikan antraknosa. Waktu inkubasi terbaik untuk menghasilkan KE ialah 2 jam dengan hasil 3.52 ± 0.38 g.Nilai derajat distilasi (DD) kitosan dan KE diperoleh masing-masing sebesar 66.91% dan 80.91%. Uji in vitro menunjukkan bahwa KE 2% efektif menghambat pertumbuhan Colletotrichum sp. dengan penghambatan sebesar 94.22%, sedangkan kitosan 3% menekan patogen dengan penghambatan sebesar 55.26%. Perlakuan KE 2%, menekan perkecambahan konidium paling tinggi sebesar 74.12%. Uji in vivo KE 2% menunjukkan penghambatan tertinggi terhadap Colletotrichum sp. pada pepaya sebesar 88.88%, sedangkan pada cabai menunjukkan penghambatan terbaik sebesar 55.55% masing-masing pada konsentrasi KE 2% dan 3%.

Kata kunci: Cabai, Colletotrichum sp., kitinase, kitosan, pepaya

ABSTRACT

The use of chitosan as a coating agent of harvested fruits is an alternative method in controlling anthracnose disease (Colletotrichum sp.). This study aimed to obtain an optimal enzymatic chitosan (EC) that hydrolyzed using chitinase from Burkholderia cepacia isolate E76. The optimal incubation condition to produce EC was 2 h with the yield of 3.52 ± 0.38 g. The degree of deacetylation (DD) chitosan and EC was 66.91% and 80.91%, respectively. Based on in vitro assays, EC 2% was the most effective in inhibiting the growth of Colletotrichum sp. (94.22%) than chitosan, while the highest inhibition for chitosan 3% was 55.26%. Moreover, the EC 2% showed the highest inhibition of spore germination (74.12%). The in vivo assay revealed that EC 2% showed the highest inhibition on the fungal growth (88.88%), compared to the other concentrations. On the other hand, the EC 2% and 3% gave similar results on inhibition of Colletotrichum sp.of chili (55.55%).

Key words: chilli, chitinase, chitosan, Colletotrichum sp., papaya

Volume 12, Nomor 6, November 2016Halaman 209–217

DOI: 10.14692/jfi.12.6.209

Page 20: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Suryadi et al.

210

PENDAHULUAN

Pengembangan teknologi pengendalian penyakit antraknosa Colletotrichum sp. harus mempertimbangkan keamanan pangan dan mempertahankan kualitas buah agar dapat meningkatkan daya saing di pasar global. Penggunaan kitosan sebagai pelapis produk hasil panen tanaman hortikultura seperti buah-buahan untuk mengendalikan penyakit sudah dilakukan seperti pada pepaya (Gonzalez-Aguilar et al. 2009), jeruk (Rappussi et al. 2009), mentimun (Ben-Shalom et al. 2003) dan tomat (El-Mohamedy et al. 2013)

Kitosan (poliβ 1,4-D glukosamina) merupakan suatu amina polisakarida hasil proses distilasi kitin. Senyawa ini merupakan biopolimer alam yang bersifat polikationik dan banyak direkomendasikan dalam industri ramah lingkungan karena memiliki sifat biokompatibel, biodegradasi, nontoksik (Aranaz et al. 2009), dan biofungisida (El Ghaouth et al.1992).

Efektivitas anticendawan kitosan di-pengaruhi oleh jenis cendawan, konsentrasi, pH, pelarut, dan bobot molekul kitosan. Penelitian lanjut untuk aplikasinya diperlukan. Bakteri Burkholderia cepacia E76 dipilih sebagai penghasil kitinase karena bakteri endofit ini bersifat antagonis terhadap cendawan patogen, seperti Rhizoctonia solani (Wartono et al. 2012), Ganoderma sp. dan Pyricularia oryzae (Suryadi et al. 2014). Kitinase yang dihasilkan B. cepacia E76 berpeluang digunakan untuk memecah molekul kitosan dengan memotong ikatan glikosidik pada residu N-asetil glukosamina. Hilangnya residu N-asetil glukosamina pada kitosan dapat meningkatkan derajat distilasi kitosan yang menentukan kemampuannya sebagai antibakteri dan anticendawan (Zhong et al. 2009).

Penelitian ini bertujuan menggunakan kitinase asal B. cepacia isolat E76 pada hidrolisis kitosan untuk memproduksi kitosan enzimatik (KE), serta memperoleh konsentrasi kitosan yang efektif sebagai anticendawan untuk mengendalikan penyakit antraknosa.

BAHAN DAN METODE

Pembuatan Kitinase dari B. cepacia E76 dan Derajat Distilasi

Isolat bakteri kitinolitik B. cepacia E76 diperoleh dari kultur koleksi Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Culture Collection. Sebanyak 1 mL inokulum B. cepacia E76 berumur 48 jam diremajakan dalam 100 mL medium luria broth (LB) dan diinkubasikan selama 18 jam. Untuk memproduksi enzim, sebanyak 1 mL biakan bakteri diperbanyak dalam 200 mL medium kitin cair (Suryadi et al. 2014), diinkubasikan dalam alat pengocok dengan kecepatan 75 rpm pada suhu ruang selama 48 jam. Suspensi sel bakteri disentrifugasi pada kecepatan 8400×g selama 15 menit. Enzim diekstraksi dari supernatan menggunakan metode presipitasi amonium sulfat 70%. Campuran enzim disentrifugasi (Hitachi Himac CR 21F) dengan kecepatan 8400×g selama 20 menit, pelet yang diperoleh dilarutkan dalam 50 mL PBS pH 6.8.

Penentuan kadar protein dilakukan menggunakan bovin serum albumin sebagai standar (Bradford 1976). Aktivitas enzim dinyatakan dalam unit dengan mengukur produksi N-Acetil Glukosamina (GlcNAc) yang ditentukan pada absorbansi 420 nm menggunakan spektrofotometer (Hitachi U2800, Japan). Satu unit enzim dinyatakan sebagai jumlah enzim yang dihasilkan 1 mol GlnNAc per menit.

Sebanyak 6 g serbuk kitosan (Sigma Aldrich; BM 600 kDa) dilarutkan dalam 100 mL asam asetat 1% dan dikocok menggunakan pengaduk magnetik (Fisher Sci, USA) selama 24 jam untuk menghasilkan larutan kitosan 6%. Larutan ditambahi NaOH 2N 1:1 (v/v) dan hasil hidrolisis dipresipitasi dengan sentrifugasi (Hitachi Himac CR 21F, Japan) pada kecepatan 8400×g selama 20 menit.

Penyiapan kitosan enzimatik (KE) dibuat dari larutan kitosan 6% yang dihidrolisis menggunakan filtrat kitinase yang berasal dari B. cepacia E76. Perbandingan volume yang digunakan antara enzim kitinase dan larutan kitosan 6% ialah 1:100 (v/v). Larutan ini diinkubasi pada suhu 37 °C dengan variasi

Page 21: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Suryadi et al.

211

waktu 1, 2, 3, 4, dan 5 jam. Proses hidrolisis, presipitasi, dan sentrifugasi sama dengan penyiapan kitosan. Pelet kitosan dan KE hasil sentrifugasi dibilas beberapa kali dengan akuades hingga pH netral, lalu disimpan dalam kulkas untuk uji lanjut (Kumar et al. 2007).

Derajat distilasi (DD) diukur dengan metode spektrofotometri mengunakan larutan GlcNAc dalam 0.01 N asam asetat sebagai standar (Yuan et al. 2011). Nilai absorbannya dibaca menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Hitachi U2800, Japan) pada panjang gelombang 202 nm. Nilai DD (%) dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:

konsentrasi GlcNAc terbacakonsentrasi kitosan yang digunakanDD = 100% –

Uji Colletotrichum sp. secara in Vitro pada Medium Agar-agar Mengandung Kitosan

Jaringan buah pepaya (ukuran ± 1 cm × 1 cm)dari bagian tepi buah bergejala antraknosa/sehat, ditumbuhkan pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK) (Difco, USA) dengan penambahan streptomisin sulfat 0.2%. Cendawan yang memiliki ciri-ciri Colletotrichum sp. sesuai dengan panduan Barnett dan Hunter (1998) dimurnikan menggunakan metode spora tunggal.

Uji in vitro dilakukan dengan metode difusi agar-agar (Salinas et al. 2007). Sebanyak 30 µL masing-masing konsentrasi kitosan dan KE (1, 2, 3, 4, dan 5%) dicampurkan ke dalam 15 mLADK cair pada cawan Petri (diameter 9 mm). Kontrol disiapkan tanpa menggunakan kitosan. Potongan kecil (± 0.5 cm × 0.5 cm) biakan Colletotrichum sp. diletakkan di tengah medium ADK dan kitosan dalam cawan Petri, dan diinkubasi pada suhu ruang selama 4–7 haridengan kondisi gelap-terang (interval 12 jam). Percobaan ini diulang sebanyak 3 kali.

Diameter koloni Colletotrichum sp. diukur hingga perlakuan kontrol tumbuh memenuhi medium agar-agar. Tingkat hambat relatif pertumbuhan cendawan (THRc) dihitung menggunakan rumus:

THRc = A–BA ×100%, dengan

A, diameter koloni kontrol; B, diameter koloni perlakuan.

Pengaruh KE terhadap Daya Kecambah Konidium Colletotrichum sp.

Biakan suspensi konidia Colletotrichum sp. berumur 5 hari disuspensikan dengan air steril disaring dengan kasa bersih, selanjutnya suspensi konidium diteteskan pada gelas kaca untuk dihitung konidiumnya. Kerapatan konidium diatur menjadi 105 konidium mL-1. Sebanyak 5 mL suspensi konidium dicampur dengan kitosan dalam berbagai konsentrasi (1, 2, 3, 4 dan 5%). Masing-masing campuran suspensi konidium dan konsentrasi kitosan diletakkan pada gelas kaca datar sebanyak satu tetes dan dituangkan 10 µL medium ADK cair. Gelas kaca diinkubasikan selama 24 jam dan konidium yang berkecambah dihitung menggunakan mikroskop. Percobaan ini diulang dua kali. Persentase perkecambahan (PP) konidium dihitung dengan rumus:

PP (%) = ∑ konidium berkecambah∑ konidium yang diamati × 100

Pengaruh KE terhadap Colletotrichum sp. pada Uji in Vivo

Buah pepaya var. California dan cabai var. Hot Chili yang seragam (secara morfologi, tingkat kematangan, serta sehat secara visual) dicuci bersih. Selanjutnya sebanyak 1 mL suspensi konidium Colletotrichum sp. (105 konidium mL-1) diinokulasikan dengan cara menyuntikan inokulum secara merata pada seluruh permukaan buah menggunakan suntikan steril. Buah dikeringanginkan selama 20 menit, kemudian direndam dalam larutan kitosan pada konsentrasi 1, 2, 3, 4, dan 5%, lalu dikeringanginkan kembali selama 20 menit. Buah selanjutnya disimpan dalam wadah yang ditutup untuk menjaga kelembapannya.

Pertumbuhan Colletotrichum sp. diamati berdasarkan pada skor tingkat keparahan penyakit. Skor keparahan ditetapkan dalam 5 skala yang dimodifikasi dari prosedur James (1971), yaitu buah sehat: 0; 1–20%: 1; 21–40%: 2; 41–60%: 3; 61–80%: 4 dan; 81–100%: 5. Nilai keparahan penyakit antraknosa (Colletotrichum sp.) dihitung dengan rumus:

Z × NKP = × 100, dengan(ni × vi)∑

k

i=1

Page 22: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Suryadi et al.

212

KP, keparahan penyakit (tingkat kerusakan buah); k, banyaknya kategori skoring keparahan penyakit; ni, jumlah buah dalam setiap kategori; vi, nilai skala keparahan penyakit; Z, nilai skala dari keparahan penyakit tertinggi; N, jumlah buah contoh yang diamati.

Tingkat hambat relatif (THR) dihitung dengan rumus:

THR=KPk–KPp

KPk × 100, dengan

KPk, keparahan penyakit pada kontrol; KPp, keparahan penyakit pada perlakuan.

Penelitian in vivo disusun dalam rancangan acak lengkap dengan 4 kali ulangan. Data dianalisis menggunakan program Sirichai v 6.0 dan uji beda rata-rata dinyatakan pada taraf α 5%.

HASIL

Kitinase B. cepacia E76Kitinase yang dihasilkan oleh bakteri B.

cepacia E76 memiliki aktivitas enzim sebesar 39.661 U, kadar protein sebesar 218.213 ppm, dan aktivitas spesifik enzim sebesar 0.18 U mg-1.Kitosan yang dihasilkan berbentuk koloid pasta berwarna putih kekuningan, dengan total bobot massa sebesar 9.455 g. Total bobot KE hasil hidrolisis dalam larutan asam asetat 1% dan kitinase dihasilkan sebanyak 28.25 g. Waktu inkubasi efektif untuk menghasilkan kitosan enzimatik (KE) terbanyak adalah selama 2 jam inkubasi dengan rata-rata bobot massa yang dihasilkan sebesar 3.52 ± 0.38 g (Gambar 1). Nilai DD KE diperoleh sebesar 80.91%, yaitu lebih tinggi 14% dibandingkan dengan nilai DD kitosan sebesar 66.91%. Hal

ini mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh yang jelas pada penambahan enzim terhadap besarnya peningkatan nilai DD kitosan (Gambar 2).

Tingkat Hambat Relatif Colletotrichum sp. pada Uji in Vitro

Uji in vitro kitosan menunjukkan penghambatan Colletotrichum sp. tertinggi pada konsentrasi 3%, sedangkan KE pada konsentrasi 2% (Gambar 3). Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa kitosan konsentrasi 3% paling optimal dalam menghambat pertumbuhan Colletotrichum sp. secara in vitro dengan penghambatan sebesar 55.26%, sedangkan daya hambat terbesar KE terhadap patogen pada konsentrasi 2% sebesar 94.22%. Konsentrasi kitosan 3% terbukti efektif dapat menghambat pertumbuhan patogen, tetapi selanjutnya menurun pada konsentrasi lebih besar dari 3%. Demikian pula dengan konsentrasi optimum KE yang efektif dalam menghambat patogen ialah 2%, dan terlihat menurun pada konsentrasi lebih besar dari 2%.

Daya Kecambah Konidium Colletotrichum sp.Ada variasi penghambatan perkecambahan

konidium oleh konsentrasi kitosan. Hal ini dibuktikan pada masing-masing perlakuan KE menunjukkan tingkat hambat relatif yang berbeda-beda. Daya kecambah konidium pada kontrol (tanpa kitosan) sebesar 82.27% (Tabel 1). Konidium dengan perlakuan KE 1% menghambat perkecambahan konidium 46.24%, dan pada konsentrasi 2% dapat menekan perkecambahan konidium paling tinggi (74.12%). Selanjutnya daya hambat

Gambar 1 Pengaruh lama waktu inkubasi kitinase terhadap produksi kitosan enzimatik.

Waktu inkubasi (jam)

Bob

ot (g

)

4.03.53.02.52.01.51.00.50.0

1 2 3 4 5

Page 23: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Suryadi et al.

213

perkecambahan konidium tersebut menurun pada konsentrasi KE yang lebih tinggi (3, 4, dan 5%), yaitu masing-masing sebesar 24.99, 24.05, dan 17.98%.

Pengaruh KE terhadap Colletotrichum sp. pada Uji in Vivo

Konsentrasi KE yang paling baik untuk menghambat pertumbuhan patogen Colletotrichum sp. pada pepaya ialah 2%, sedangkan pada cabai pada perlakuan konsentrasi 2 dan 3% (Tabel 2).

PEMBAHASAN

Proses distilasi kitosan secara enzimatik dapat menghasilkan kitosan dengan bobot

molekul yang relatif lebih rendah, dibuktikan dari peningkatan nilai DD. Nilai DD ialah ukuran besarnya penghilangan gugus asetil (dinyatakan dalam %) pada gugus asetamida pada kitin menjadi gugus amina. Nilai DD kitin ialah <50%, sedangkan pada kitosan ialah >50%. Aktivitas kitosan sangat dipengaruhi oleh nilai DDnya. Semakin tinggi DD kitosan, maka semakin tinggi aktivitas antibakteri dan anticendawannya (El-Mohamedy et al. 2013). Kitosan dengan DD yang tinggi lebih efektif sebagai antimikrob daripada kitosan yang lebih banyak mengandung gugus amino yang terasetilasi karena peningkatan kelarutan yang tinggi (Khan et al.2002). Hasil penelitian Tikhonov et al. (2006) menyatakan bahwa perbedaaan aktivitas antimikrob kitosan yang

Gambar 3 Pengaruh kitosan ( ) dan kitosan-enzimatik ( ) terhadap tingkat hambat relatif Colletotrichum sp. pada uji in vitro.

Gambar 2 Konsentrasi GlcNAc (A) dan Derajat distilasi kitosan dan kitosan-enzimatik (KE) (B) pada waktu inkubasi 2 jam.

Kitosan KE

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0

Der

ajat

dis

tilas

i (%

)

Kitosan KE

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0

Kon

sent

rasi

Glc

NA

c (p

pm)

BA

120

100

80

60

40

20

0

Ting

kat h

amba

t rel

atif

(%)

5320 1 4Konsentrasi (%)

Page 24: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Suryadi et al.

214

disiapkan secara enzimatik disebabkan adanya perbedaan distribusi grup N-asetil pada ikatan polimer kitosan.

Grafik perbandingan pertumbuhan patogen pada uji in vitro menunjukkan bahwa KE mampu menghambat pertumbuhan Colletotrichum sp. lebih efektif dibandingkan dengan kitosan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan efek penghambatan yang sama, maka KE memerlukan konsentrasi lebih rendah (1%) dibandingkan dengan kitosan. Park et al.(2011) dalam penelitiannya mengatakan bahwa kitosan tidak dapat terlarut sempurna dalam air, sedangkan KE diduga memiliki bobot molekul yang lebih rendah sehingga dapat lebih mudah larut dalam air dan memiliki perbedaan nyata dibandingkan dengan kitosan dalam hal aktivitasnya sebagai antimikrob.

Semakin tinggi konsentrasi kitosan yang digunakan, daya hambatnya terhadap

pertumbuhan patogen menurun. Hal ini diduga karena terlalu banyak molekul kitosan, maka gugus amino reaktif juga akan semakin banyak sehingga kemampuan kitosan untuk menempel pada permukaan patogen semakin menurun.

Perlakuan KE 2% menunjukkan daya hambat kecambah konidium Colletotrichum sp. paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi lainnya, yang berarti bahwa KE konsentrasi 2% lebih efektif dalam menghambat perkecambahan konidium patogen. Hasil uji perkecambahan konidium menguatkan hasil uji in vivo, yaitu KE 2% adalah konsentrasi paling efektif dalam menghambat pertumbuhan Colletotrichum sp. Hasil penelitian sejalan dengan Hernandez-Lauzardo et al. (2010), konsentrasi kitosan 2% menghambat perkecambahan spora Rhizopus stolonifer. Hasil penelitian Meng et al. (2010) juga menyatakan bahwa aplikasi oligokitosan

Konsentrasi KE Perkecambahan konidiumrerata ± SD

(%)

Penghambatan konidium(%)

Kontrol (tanpa KE) 82.27 ± 3.89 -KE 1% 44.23 ± 19.9 46.24KE 2% 21.29 ± 2.41 74.12KE 3% 61.71 ± 0.68 24.99KE 4% 62.48 ± 17.41 24.05KE 5% 67.47 ± 16.57 17.98

Tabel 1 Pengaruh konsentrasi kitosan enzimatik (KE) terhadap perkecambahan konidium Colletotrichum sp. pada uji in vitro

Konsentrasi KE Pepaya Cabai

Keparahan penyakit (%)

THR (%)

Keparahan penyakit(%)

THR (%)

Kontrol (tanpa KE) 90 a 0.00 90 a 0.00KE 1% 80 ab 11.11 70 ab 22.22KE 2% 10 d 88.88 40 c 55.55KE 3% 40 c 55.55 40 c 55.55KE 4% 60 bc 33.33 60 b 33.33KE 5% 70 ab 22.22 60 b 33.33CV % (KK) 17.81 - 14.63 -

Tabel 2 Pengaruh konsentrasi kitosan enzimatik (KE) terhadap keparahan penyakit antraknosa (Colletotrichum sp.) pada pepaya dan cabai secara in vivo

KE, kitosan enzimatik; THR, tingkat hambat relatif; Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada α 5%.

Page 25: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Suryadi et al.

215

sangat menghambat perkecambahan spora dan pertumbuhan miselium Alternaria kikuchiana dan Phylospora puricola pada buah pir.

Hasil uji in vivo sejalan dengan uji in vitro bahwa konsentrasi KE 2% paling baik menghambat pertumbuhan Colletotrichum sp. Berbeda dengan hasil penelitian Sitorus et al. (2014) yang melaporkan bahwa pelapisan buah jambu biji dengan kitosan pada konsentrasi 3% terlihat paling efektif dalam menghambat pertumbuhan patogen. Pelapisan pepaya dengan kitosan konsentrasi lebih tinggi (>3%) pada penelitian ini yang kurang efektif. Hal ini diduga karena pori pada permukaan buah tertutup rapat oleh kitosan yang terlalu tebal sehingga buah berfermentasi dan menjadi busuk. El Ghaouth et al. (1992) menyatakan pertumbuhan miselia R. stolonifer dihambat oleh perlakuan kitosan 3 mg mL-1. Demikian pula Xu et al. (2007) menyatakan bahwa oligokitosan lebih efektif dibandingkan dengan kitosan dalam menghambat per-tumbuhan Phytophthora capsici karena adanya perbedaan bobot molekul yang memengaruhi aktivitas anticendawannya. Pada bakteri, aktivitas kitosan bergantung pada grup amino yang reaktif, namun jika grup amino terlalu banyak maka kemampuan untuk menempel pada permukaan bakteri semakin menurun (Liu et al.2001). Kitosan dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas kitinase dan β1-3 glukanase pada tanaman tomat terinfeksi Ralstonia solanacearum (Algam et al. 2010). Selain itu kitosan dapat mengimbas akumulasi fitoaleksin yang menghasilkan respons anticendawan dan meningkatkan perlindungan terhadap infeksi patogen lebih lanjut (Uthairatanakij et al. 2007; Sanchez-Dominguez et al. 2011).

Berdasarkan hasil penelitian ini produksi KE yang dihasilkan secara enzimatik menggunakan kitinase asal B. cepacia E76 ialah sebanyak 3.52 ± 0.38 g dengan waktu inkubasi 2 jam. Derajat distilasi (DD) KE lebih tinggi (80.91%) dibandingkan dengan DD kitosan (66.91%). KE 2% lebih baik dalam menghambat pertumbuhan patogen Colletotrichum sp. (penghambatan 94.22%), sedangkan kitosan 3% menunjukkan peng-

hambatan sebesar 55.26% pada uji in vitro. Perlakuan KE 2% menekan perkecambahan konidium sebesar 74.2%. Pada uji in vivo KE 2% menunjukkan penghambatan terbaik terhadap Colletotrichum sp. pada pepaya (88.88%), sedangkan penghambatan terbaik (55.55%) pada cabai ditunjukkan pada perlakuan KE konsentrasi 2% dan 3%.

DAFTAR PUSTAKA

Algam SAE, Xie G, Li B, Yu S, Su T, Larsen J. 2010. Effects of Paenibacillus strains and chitosan on plant growth promotion and control of Ralstonia solanacearum wilt in tomato. J Plant Pathol. 92(3):593–600.

Aranaz I, Mengibar M, Harris R, Panos I, Miralles B, Acosta N, Galed H, Heras A. 2009. Functional characterization of chitin and chitosan. Curr Chem Biol. 3:203–230. DOI: https://doi.org/10.2174/187231309788166415.

Barnett H L, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi, Fourth Edition. St. Paul (US): APS.

Ben-Shalom N, Ardi R, Pinto R, Aki C, Fallik E. 2003. Controlling gray mould caused by Botrytis cinerea in cucumber plants by means of chitosan. Crop Prot. 22(2):285–290. DOI: https://doi.org/10.1016/S0261-2194(02)00149-7.

Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microorganisms quantities of protein in utilizing the principle of protein-dye binding. Anal Biochem. 72:248–254. DOI: https://doi.org/10.1016/0003-2697(76)90527-3.

El Ghaouth A, Arul J, Grenier J, Aselin A.1992. Antifungal activity of chitosan on two postharvest pathogens of strawberry fruits. Phytopathol. 82:398–402. DOI: https://doi.org/10.1094/Phyto-82-398.

El-Mohamedy Riad SR, Abdel-Kader MM, Abd-El-Kareem F, El-Mougy NS. 2013. Inhibitory effect of antagonistic bio-agents and chitosan on the growth of tomato root rot pathogens in vitro. J Agric Technol. 9(6):1521–1533.

Page 26: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Suryadi et al.

216

Gonzalez-Aguilar G, Valenzuela-Soto E, Lizardi-Mendoza J, Goycoolea F, Martinez-Tellez MA, Villegas-Ochoa MA, Monroy-Garcia IN, Ayala-Zavala JF. 2009. Effect of chitosan coating in preventing detioration and preserving the quality of fresh-cut papaya Maradol. J Sci Food Agric. 89(1):15–23. DOI: https://doi.org/10.1002/jsfa.3405.

Hernandez-Lauzardo AN, Velazquez-del Valle MG, Guerra-Sanchez MG. 2011. Current status of action mode and effect of chitosan against phytopathogens fungi. Afr J Microbiol Res. 5(25):4243–4247. DOI: https://doi.org/10.5897/AJMR.

James WC. 1971. An illustrated series of assessment keys for plant diseases, their preparation and usage. Can Plant Dis Surv. 51(2):39–65.

Khan TA, Peh KK, Ching HS. 2002. Reporting degree of deacetylation values of chitosan: the influence of analytical methods. J Pharm Pharmaceut Sci. 5(3):205–212.

Kumar ABV, Varadaraj MC, Gowda LR, Tharanathan RN. 2007. Low molecular weight chitosan-preparation with the aid of pronase, characterization and their bactericidal activity towards Bacillus cereus and Escherichia coli. Biochim Biophys Acta.1770(4):495–505. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.bbagen.2006.12.003.

Liu XF, Guan YL, Yang DZ, Li Z, Yao KD. 2001. Antibacterial action of chitosan and carboxymethylated chitosan. J Appl Polym Sci. 79(7):1324–1335. DOI: https://doi.org/10.1002/1097-4628(20010214)79 :7<1324 : :AID-APP210>3.0.CO;2-L.

Meng X, Yang L, Kennedy JF, Tian S. 2010. Effects of chitosan and oligochitosan on growth of two fungal pathogens and physiological properties in pear fruit. Carbohyd Polym. 81(1):70–75. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.carbpol.2010.01.057.

Park JK, Chung MJ, Choi HN, Park YI. 2011. Effects of the molecular weight and the degree of deacetylation of chitosan oligosaccharides on antitumor activity.

Int J Mol Sci. 201112(1):266–277. DOI: https://doi.org/10.3390/ijms12010266.

Rappussi MCC, Pascholati SF, Benato EA, Cia P. 2009. Chitosan reduces infection by Guignardia citricarpa in postharvest Valencia oranges. Braz Arch Biol Technol. 52(3):513–521. DOI: https://doi.org/10.1590/S1516-89132009000300001.

Salinas J, Palma-Guerrero J, Jansson HB, Lopez-Llorca LV. 2007. Effect of chitosan on hyphal growth and spore germination of plant pathogenic and biocontrol fungi. J Appl Microbiol. 104(2):541–553. DOI: https://doi.org/10.1111/j.1365-2672.2007.03567.x.

Sanchez-Dominguez D, Rios MY, Castillo-Ocampo P, Zavala-Padilla G, Ramos-Garcia M, Bautista-Banos S. 2011. Cytological and biochemical changes induced by chitosan in the pathosystem Alternaria alternata-tomato. Pestic Biochem. Physiol. 99(3):250–255. DOI: https://doi.org/10.1016/j.pestbp.2011.01.003.

Sitorus RF, Karo T, Lubis Z. 2014. Pengaruh konsentrasi kitosan sebagai edible coating dan lama penyimpanan terhadap mutu buah jambu biji merah. J Rekayasa Pangan Pertanian. 2:37–46.

Suryadi Y, Susilowati DN, Lestari P, Priyatno TP, Samudra IM, Hikmawati N, Mubarik NR. 2014. Characterization of bacterial isolates producing chitinase and glucanase for biocontrol of plant fungal pathogens. J Agric Technol. 10(4):983–999.

Tikhonov VE, Stepnova EA, Babak VG, Yamskov IA, Palma-Guerrero J, Janson HB, Lopez-Llorca LV, Salinas J, Gerasimenko DV, Avdienko ID, Verlamov VP. 2006. Bactericidal and antifungal activities of a low molecular weight chitosan and its N-/2(3) –(dodec-2-enyl) succinoyl/derivatives. Carbohydr Polym. 64(1):66–72. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.carbpol.2005.10.021.

Uthairatanakij A, Texeira da Silva JA, Obsuwan K. 2007. Chitosan for improving orchid production and quality. Orchid Sci Biotechnol. 1:1–5.

Page 27: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Suryadi et al.

217

Wartono, Suryadi Y, Susilowati DN. 2012.Keefektifan formulasi bakteri Burkholderia cepacia isolat E76 terhadap Rhizoctonia solani Kuhn pada pertumbuhan tanaman padi di laboratorium. J Agrotropika. 17(2):39–42.

Xu J, Zhao X, Han X, Du Y.2007. Antifungal activity of oligochitosan against Phytophthora capsici and pathogenic fungi in vitro. Pestic Biochem Phys. 87(3):220–228. DOI: https://doi.org/10.1016/j.pestbp.2006.07.013.

Yuan Y, Chesnutt BM, Haggard WO, Burngardner JD. 2011. Deacetylation of chitosan: material characterization and in

vitro evaluation via albumin adsorption and pre-osteoblastic cell cultures. Materials. 4:1399–1416. DOI: https://doi.org/10.3390/ma4081399.

Zhong Z, Li P, Xing R, Liu S. 2009. Antimicrobial activity of hydroxylbenzenesulfonailides derivatives of chitosan, chitosan sulfates and carboxymethyl chitosan. Int J Biol Macromolec. 45(2):163–168. DOI: https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2009.04.020.

Page 28: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

ISSN: 0215-7950

218

Volume 12, Nomor 6, November 2016Halaman 218–223

DOI: 10.14692/jfi.12.6.218

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper Kampus IPB Dramaga, 16680 Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

Dampak Penyakit Tanaman terhadap Pendapatan Petani Kubis-kubisan di Daerah Agropolitan

Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

The Impact of Plant Disease to Cruciferous Vegetables Farmer’s Income in Agropolitan Area of Cianjur Regency, West Java

Teguh Pratama, Gede Suastika, Ali Nurmansyah*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Sayuran kubis-kubisan merupakan komoditas pertanian yang dapat meningkatkan pendapatan petani. Usaha budi daya sayuran jenis ini menghadapi kendala utama, yaitu tingginya infeksi patogen yang dapat menyebabkan penurunan pendapatan petani. Penelitian dilakukan untuk menentukan jenis patogen utama kubis-kubisan dan dampaknya terhadap pendapatan petani di daerah Agropolitan, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan melalui 3 kegiatan, yaitu survei petani, identifikasi patogen, dan pengukuran intensitas penyakit. Hasil penelitian menunjukkan ada 3 patogen utama kubis-kubisan, yaitu Plasmodiophora brassicae (penyakit akar gada), Alternaria brassiccicola (penyakit bercak daun alternaria), dan Xanthomonas campestris (penyakit busuk hitam) dengan intensitas penyakit berturut-turut 16.7%, 18.7%, dan 15.1%. Penyakit akar gada merupakan penyakit yang paling berpengaruh terhadap penurunan produksi kubis-kubisan dan pendapatan petani. Insidensi penyakit akar gada dengan rata-rata keparahan penyakit sebesar 16.7% dapat menyebabkan penurunan pendapatan usahatani sebesar 24%–28%.

Kata kunci: akar gada, bercak daun alternaria, busuk hitam, intensitas penyakit

ABSTRACT

Cruciferous vegetables are very important agricultural commodities for increasing farmers income. The main obstacles in their cultivation involved among others high level of pathogen infestation that may cause reduction in farmer’s income. This research was conducted to determine the main pathogens and their impact on farmer income in Agropolitan area of Cianjur Regency, West Java Province. The research was conducted through three activities, i.e. farmer survey, identification of the main pathogens, and measurement of disease intensity. The results showed that there were three main pathogens on assessed cruciferous vegetables, i.e. Alternaria brassiccicola (alternaria leaf spot), Plasmodiophora brassicae (clubroot), and Xanthomonas campestris (black rot), with disease intensity of 16.7%, 18.7%, and 15.1%, respectively. Clubroot disease was the most affecting disease in decreasing the production of cruciferous vegetables and the farmer income. Incidence of clubroot disease with an average disease intensity of 16.67% might lead to the decrease of farming income about 24%–28%.

Key words: alternaria leaf spot, black rot, clubroot, disease intensity

Page 29: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Pratama et al

219

PENDAHULUAN

Usaha tani sayuran kubis-kubisan merupakan salah satu sumber pendapatan petani. Dengan asumsi produktivitas sebesar 21 ton ha-1 (Ditjenhor 2015), setiap petani yang memiliki luas lahan 0.4 ha mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 12.6 juta per musim. Usaha tani brokoli dapat memberikan pendapatan petani hingga mencapai Rp. 34.8 juta ha-1 (Wijaya et al. 2012). Usaha tani sayuran sawi memberikan pendapatan petani yang paling besar dibandingkan dengan sayuran kangkung, bayam, dan daun selada (Marsudi 2014).

Budi daya tanaman sayuran menghadapi banyak kendala dan salah satunya adalah serangan penyakit yang dapat menggagalkan panen (Srivastava et al. 2011). Akar gada yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae merupakan penyakit utama dengan tingkat serangan yang dapat mencapai 46–89% (Towaki 2014). Nugroho (2012) melaporkan kejadian penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh X. campestris di Desa Kopeng, Kabupaten Semarang mencapai 61% yang mengakibatkan penurunan volume dan kualitas produksi. Kondisi ini berdampak pada rendahnya pendapatan yang diterima oleh petani.

Berbagai penelitian yang berkaitan dengan identifikasi dan pengendalian penyakit serta analisis usaha tani kubis-kubisan telah dilakukan. Sementara itu, kajian mengenai pengaruh penyakit terhadap pendapatan petani belum banyak dilakukan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis penyakit utama yang menyerang pertanaman kubis-kubisan di daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dan mengukur dampaknya terhadap pendapatan petani.

BAHAN DAN METODE

Penelitian lapangan dilakukan dengan metode wawancara pada petani dan pengukuran intensitas serangan patogen

di Desa Sukatani, Kecamatan Pacet dan Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas, di daerah Agropolitan, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Wawancara petani dilakukan menggunakan kuesioner terstruktur yang berisi pertanyaan tentang karakteristik petani, teknik budi daya tanaman, serangan penyakit, teknik pengelolaannya, dan nilai ekonomi dari serangan penyakit tanaman. Jumlah petani responden terdiri atas 68 orangdari Desa Sukatani dan 32 orang dari Desa Sindangjaya. Petani responden tersebut dipilih secara acak sistematis dengan cara menemui petani yang sedang bekerja di lahannya.

Pengukuran Insidensi dan Keparahan Penyakit

Insidensi dan keparahan penyakit diamati pada tanaman kubis-kubisan yang terserang oleh penyakit bercak daun alternaria, akar gada, dan busuk hitam. Insidensi penyakit (IP) dihitung dengan rumus:

IP= ab × 100%, dengan

a, jumlah tanaman terserang dan; b, jumlah tanaman yang diamati. Keparahan penyakit (KP) dihitung dengan rumus:

Z × NKP = × 100, dengan(ni × vi)∑

k

i=1

k, banyaknya kategori skoring keparahan penyakit; ni, jumlah tanaman yang terserang dalam kategori skor; vi, nilai skala untuk setiap kategori serangan; Z, nilai skala tertinggi dari kategori gejala serangan dan; N, jumlah tanaman yang diamati.

Perhitungan keparahan penyakit dilakukan menggunakan sistem skoring sesuai dengan jenis penyakit yang diamati. Banyaknya tanaman contoh untuk menghitung insidensi penyakit dan keparahan penyakit ini ditentukan berdasarkan rumus:

n= 1+Ne2N ,dengan

n, ukuran tanaman contoh; N, ukuran populasi tanaman dan; e, tingkat kesalahan (ketidakefektifan dalam pengambilan contoh), yaitu 5%. Pengambilan setiap individu tanaman dari ke-n tanaman dilakukan secara acak sistematik dengan pola zig zag.

Page 30: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Pratama et al

220

Identifikasi PenyakitIdentifikasi dilakukan pada 5 tanaman

contoh yang bergejala pada kubis, pakcoy, brokoli, dan sawi. Jenis patogen yang ditemukan kemudian ditumbuhkan ke dalam medium buatan, medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK) (untuk cendawan) dan medium nutrient agar (NA) (untuk bakteri). Koloni yang tumbuh kemudian diamati dan diidentifikasi. Cendawan dan bakteri yang diperoleh diidentifikasi berdasarkan buku identifikasi berturut-turut Watanabe (2002)dan Schadd et al. (2000). Pengamatan untuk penyakit akar gada yang ditemukan dilakukan dengan cara mengamati tanaman kubis yang mengalami pertumbuhan abnormal misalnya kelayuan, kerdil, atau terjadi pembengkakan akar. Tanaman yang terinfeksi dibawa ke laboratorium untuk diamati morfologi akar yang terinfeksi dan pengamatan mikroskopis penyebab penyakit akar gada.

Nilai Ekonomi Usaha TaniNilai ekonomi dari usaha tani pada masing-

masing jenis sayuran dihitung menggunakan analisis finansial yang meliputi biaya produksi, total penerimaan, pendapatan, nisbah R/C, dan nisbah B/C.

Analisis Dampak Serangan Patogen terhadap Pendapatan.

Pengaruh serangan 3 patogen utama sebagai salah satu faktor pembatas produksi tanaman dianalisis menggunakan model regresi berganda berikut:

Y1= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ⋯ + bnXn , dengan

Y1, produksi tanaman (kg); X1, luas lahan (ha),X2, benih (g); X3, pupuk anorganik (kg); X4, pupuk organik (kg); X5, kapur (kg); X6, pestisida (Rp.); X7, tenaga kerja (HOK); X8, intensitas penyakit ke-1(%); X9, keparahan penyakit ke-2 (%) dan; Xn, keparahan penyakit ke-n (%).

Besarnya penurunan pendapatan petani akibat serangan 3 patogen utama diprediksi menggunakan persamaan regresi linier berganda berikut:

Y1= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ⋯ + bnXn ,dengan

Y2, pendapatan petani (Rp.); X1, keparahan penyakit ke-1 (%); X2, keparahan penyakit ke-2 (%) dan; Xn, keparahan penyakit ke-n (%).

HASIL

Penyakit UtamaBerdasarkan hasil wawancara dan

pengamatan di lahan penelitian ditemukan 3 penyakit utama pada kubis-kubisan, yaitu penyakit bercak daun alternaria, akar gada, dan busuk hitam (Tabel 1). Penyakit bercak daun alternaria ditandai dengan adanya bercak-bercak berwarna kecokelatan berbentuk bulat berukuran kecil yang menyebar ke seluruh daun dan menyebabkan daun berlubang-lubang dengan rata-rata keparahan penyakit sebesar 18.7 ± 22.0% dan insidensi penyakit sebesar 38.1 ± 46.0%. Penyebab penyakit bercak daun alternaria ialah Alternaria brassicae.

Penyakit akar gada ditandai dengan tanaman mengalami kelayuan seperti kekurangan air atau suhu yang ekstrem panas. Ketika tanaman dicabut, akar membengkak seperti gada. Di dalam jaringan tanaman yang masih hidup ditemukan spora berbentuk bulat atau agak lonjong. Rata-rata keparahan penyakit ini sebesar 16.7 ± 13.3% dan insidensi penyakitnya sebesar 35.5 ± 27.9% (Tabel 1).

Penyakit busuk hitam ditandai dengan daun menguning yang berbentuk huruf V di sepanjang tepi daun yang mengarah ke tengah daun dan akhirnya seluruh daun menguning. Rata-rata keparahan penyakit ini sebesar 15.1 ± 21.8% dengan insidensi penyakitnya sebesar 32.5 ± 44.3% (Tabel 1). Penyakit busuk hitam ini disebabkan oleh Xanthomonas campestris.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa simpangan baku memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan data hasil perhitungan keparahan penyakit (Tabel 1). Hal ini menunjukkan adanya variasi data sampel yang beragam artinya memiliki nilai yang rendah sampai dengan nilai yang cukup tinggi.

Page 31: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Pratama et al

221

Nilai Ekonomi Usaha Tani Kubis-KubisanUsaha tani kubis-kubisan mampu meng-

hasilkan nisbah R/C lebih dari 3 (Tabel 2). Dari semua jenis komoditas sayuran kubis-kubisan di atas, brokoli mampu menghasilkan nisbah R/C mendekati 7, yang berarti mampu mendatangkan penerimaan hampir 6 kali lipat dari total biaya produksi. Berdasarkan keuntungan dan biaya yang dikeluarkan, nilai nisbah B/C dari seluruh jenis komoditas ialah 2.8–5.6 (Tabel 2). Hal ini memberi gambaran bahwa setiap biaya yang dikeluarkan untuk usaha tani kubis-kubisan sebesar Rp. 1 juta ha-1

memberi keuntungan sebesar Rp. 2.8 juta sampai Rp. 5.6 juta ha-1.

Pengaruh Serangan Penyakit terhadap Pendapatan Petani

Hasil analisis regresi terhadap hubungan analisis faktor-faktor produksi dan keparahan penyakit terhadap faktor produksi tanaman kubis-kubisan menunjukkan bahwa luas lahan, benih, pupuk organik, kapur, dan penyakit akar gada memengaruhi produksi tanaman secara nyata. Sementara itu, 5 faktor produksi lainnya (pupuk anorganik, pestisida, tenaga kerja, penyakit bercak daun alternaria, dan penyakit busuk hitam) tidak berpengaruh nyata terhadap terhadap produksi tanaman (Tabel 3). Berdasarkan nilai koefesien regresinya, faktor-faktor produksi memiliki

tanda positif yang berarti terjadi peningkatan produksi tanaman kubis-kubisan, sedangkan faktor lingkungan biotik (penyakit akar gada) bertanda negatif menurunkan produksi tanaman. Setiap peningkatan 1% keparahan penyakit akar gada akan menurunkan produksi tanaman sebesar 0.169 ton ha-1 (Tabel 3).

Dampak terhadap penurunan produksi tanaman akibat serangan penyakit akar gada juga berimplikasi langsung pada penurunan pendapatan petani. Peningkatan keparahan penyakit akar gada 1% menyebabkan penurunan pendapatan petani sebesar Rp 1 531 247 atau sebesar 1.6%. Ketika terjadi peningkatan 1% keparahan penyakit dari ketiga patogen tersebut, maka serangan ketiga penyakit tersebut menyebabkan penurunan pendapatan sebesar Rp 2 234 007 ha-1

atau sebesar 2.3% (Tabel 4). Pada luas lahan rata-rata kepemilikan

petani sebesar 0.18 ha, pendapatan yang diperoleh petani kubis-kubisan ketika tidak ada serangan ketiga penyakit utama berkisar Rp. 13 010 895 – 21 603 750. Ketika terjadi serangan akar gada dengan rata-rata keparahan sebesar 16.7%, pendapatan petani menurun menjadi berkisar Rp 3 125 429 – 6 063 896 atau setara dengan tingkat penurunan 24–28% dari pendapatan usaha tani kubis-kubisan.

Komoditas Biaya Produksi (Rp. ha-1)

Penerimaan (Rp. ha-1)

Keuntungan (Rp. ha-1) Nisbah R/C Nisbah B/C

Kubis 21 550 737 81 122 655 59 571 917 4.5 3.6Brokoli 18 632 459 95 350 265 76 717 805 6.6 5.6Pakcoy 14 813 648 49 813 696 34 993 256 3.8 2.8Kubis lain 17 707 121 73 128 787 55 421 666 4.7 3.7

Tabel 2 Analisis usaha tani sayuran kubis-kubisan dalam satu musim tanam di daerah Agropolitan, Kabupaten Cianjur

Jenis Penyakit Insidensi penyakit Keparahan penyakitAkar gada 35.5 ± 27.9 16.7 ± 13.3Bercak daun alternaria 38.1 ± 46.0 18.7 ± 22.0Busuk hitam 32.5 ± 44.3 15.1 ± 21.8

Tabel 1 Insidensi dan keparahan penyakit utama tanaman kubis-kubisan di daerah Agropolitan, Kabupaten Cianjur

Page 32: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Pratama et al

222

PEMBAHASAN

Keparahan dan insidensi tiga penyakit utama di daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur Jawa Barat tidak menimbulkan kerugian yang berarti. Keadaan tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti pengendalian yang dilakukan oleh petani yang 85% di antaranya menggunakan benih yang tahan penyakit ('Grand 22' dan 'Greenova' untuk benih kubis, 'Sakata' untuk benih brokoli, dan 'Flaminggo' untuk benih pakcoy), melakukan pertanaman secara tumpang sari (brokoli dengan bawang daun), rotasi tanaman (tomat, daun bawang), melakukan pengolahan tanah, yaitu membalikkan tanah sedalam ± 1 m untuk mendapatkan tanah yang masih baru dan belum terkontaminasi patogen, dan pemberian kapur. Namun, seluruh petani responden masih sepenuhnya bergantung

pada penggunaan pestisida sintesis berbahan aktif propineb, klorpirifos, klorantraniliprol, profenofos, mankozeb, dan flusulfamide.

Nilai nisbah R/C dan B/C dari usaha tani kubis-kubisan menunjukkan bahwa sayuran kubis-kubisan di daerah Agropolitan, Kabupaten Cianjur, bernilai ekonomi tinggi. Tingginya nilai nisbah R/C dan B/C berarti bahwa petani telah melakukan efesiensi yang baik terhadap biaya yang dikeluarkan saat melakukan usaha tani kubis-kubisan. Petani mampu memperoleh penerimaan 3.8–6.6 kalilipat dari total biaya produksi. Dengan demikian, usaha tani kubis-kubisan layak diusahakan di daerah tersebut.

Faktor-faktor produksi, yaitu luas lahan, benih, pupuk organik, dan kapur memengaruhi peningkatan produksi kubis-kubisan. Dewi (2012) juga melaporkan faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi kubis ialah

Model Koefisien Nilai PKonstanta 96 151 792 0.000Bercak daun alternaria -330 526 0.182Akar gada -1 531 247 0.000Busuk hitam -372 234 0.138R2 : 0.32R2 yang telah disesuaikan : 0.10F Hitung : 4.67

Tabel 4 Pengaruh keparahan penyakit terhadap pendapatan petani

Model Koefisien Nilai PKonstanta 7.6141 0.0000Lahan 17.7226 0.0000Benih 0.0084 0.0214Pupuk Anorganik 0.000005 0.9774Pupuk Organik 0.0002 0.0236Kapur 0.0006 0.0320Pestisida 0.0000001 0.5322 Tenaga kerja 0.0048 0.4726Bercak daun alternaria -0.041 0.0619Akar gada -0.1692 0.0000Busuk hitam -0.0218 0.3228R2 : 0.71R2 yang telah disesuaikan : 0.51 F Hitung : 11.65

Tabel 3 Hubungan analisis faktor-faktor produksi dan serangan penyakit terhadap produksi tanaman kubis-kubisan

Page 33: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Pratama et al

223

luas lahan, benih, dan pupuk organik. Penyakit akar gada berpengaruh terhadap penurunan tingkat produksi kubis-kubisan. Penyakit ini menyebabkan bengkak pada akar yang dapat mengganggu fungsi akar dalam penyerapan air dan unsur hara sehingga tanaman tidak mampu menghasilkan akar fungsional yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya.

Penyakit akar gada memberikan dampak nyata pada penurunan pendapatan petani. Cicu (2006) menjelaskan bahwa penyakit akar gada merupakan penyakit penting pada tanaman kubis-kubisan dan akan selalu menjadi faktor pembatas utama dalam budi daya kubis-kubisan. Penyakit akar gada akan semakin menurunkan pendapatan petani ketika populasi P. brasicae terus meningkat karena petani terus menerus menanam kubis-kubisan. P. brassicae dapat bertahan di dalam tanah lebih dari 20 tahun dengan membentuk spora istirahat (Hadiwiyono et al. 2011). Sementara itu, penyakit bercak daun alternaria dan busuk hitam tidak memberikan pengaruh terhadap pendapatan petani. Kedua penyakit ini hanya menyerang sebagian daun tanaman dan gejala yang ditimbulkan sering terjadi pada daun yang lebih tua. Akibatnya, tanaman yang terserang tidak akan menurunkan kualitas kubis-kubisan, seperti perubahan karakteristik krop (warna dan bentuk krop) sehingga tanaman masih bisa dipanen dan dijual.

DAFTAR PUSTAKA

Cicu. 2006. Penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) pada kubis-kubisan dan upaya pengendaliannya. J Litbang Pert. 25(1):16–12.

Dewi RK. 2012. Analisis efesiensi ekonomi pengunaan faktor-faktor produksi pada usaha tani kubis di Kabupaten Karanganyar [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.

[Ditjenhor] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2015. Statistik produksi hortikultura tahun 2014 [Internet]. http://www. pertanian.go.id/ap_pages/mod/datahorti[diakses 21 Oktober 2015].

Hadiwiyono, Sholahuddin, Sulastri E. 2011. Efektivitas caisim sebagai tanaman perangkap patogen untuk pengendalian akar gada pada kubis. J HPT Tropika. 11(1):22–27.

Marsudi E. 2014. Analisis pendapatan beberapa usaha tani sayuran daun di Kabupaten Pidie. J Sains. 1(1):1–14.

Nugroho A. 2012. Eksplorasi bakteriofage virulen terhadap Xanthomonas campestris pv. campestris asal Kopeng untuk mengendalikan busuk hitam kubis [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.

Schadd NW, Jones JB, Chun W. 2000. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Minnesota (US). APS Press.

Srivastava M, Gupta SK, Saxena AP, Shittu LAJ, Gupta SK. 2011. A Review of occurrence of fungal pathogens on significant brassicaceous vegetable crops and their control measures. Asian J Agri Sci. 2(3):70–79.

Towaki F, Ratulangi MM, Manengkey GSJ, Makal HVG. 2014. Insidensi penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae wor.) pada tanaman kubis di Desa Rurukan dan Kumelembuay Kecamatan Tomohon Timur Kota Tomohon. Cocos J. 4(6):1–8.

Wijaya D, Putra SU, Cahyadinata I. 2012. Analisis pendapatan dan pemasaran Usaha tani brokoli (Brassica oleraceae) di Desa Muara Perikan, Kecamatan Pagaralam Selatan Kotamadya Pagaralam. Agrisep. 11(2):173–186.

Watanabe T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi: Morphologies of Cultured Fungi and Key to Species. Ed ke-2. New York (US). CRC Press.

Page 34: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

ISSN: 0215-7950

224

Volume 13, Nomor 6, November 2016Halaman 224–229

DOI: 10.14692/jfi.13.6.224

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Jalan Flora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281.Tel: 0274-563062, 6491298, Faks: 0274-563062, Surel: [email protected]

KOMUNIKASI SINGKAT

Identifikasi Molekuler Cowpea mild mottle virus pada Tanaman Kedelai di Jawa

Molecular Identification of Cowpea mild mottle virus on Soybean in Java

Umi Kulsum1, Sedyo Hartono2*, Sri Sulandari2, Susamto Sumowiyarjo2

1Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan, Karawang 413742Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281

ABSTRAK

Kedelai (Glycine max) merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia, tetapi produksinya belum memenuhi kebutuhan nasional. Salah satu faktor pembatas produksi ialah infeksi oleh Cowpea mild mottle virus (CPMMV). Infeksi CPMMV dapat menimbulkan berbagai gejala pada tanaman kedelai seperti mosaik, klorosis, nekrosis, distorsi, dan kerdil. Tujuan penelitian ialah mendeteksi dan mengidentifikasi CPMMV secara molekuler dari kedelai varietas Anjasmoro, Argomulyo, Grobogan, dan dua kedelai Edamame varietas lokal. Sampel bergejala diperoleh secara acak dari berbagai lokasi sentra tanaman kedelai di Jawa. Amplifikasi pita DNA menggunakan primer spesifik selubung protein CPMMV hanya berhasil diperoleh dari sampel daun kedelai varietas Argomulyo asal Malang yang bergejala mosaik, vein-clearing dan klorosis. Analisis lebih lanjut berdasarkan sikuen asam amino dan nukleotida isolat CPMMV tersebut menunjukkan tingkat homologi yang tertinggi (99%) dengan isolat CPMMV dari kacang buncis asal Cina.

Kata kunci: amplifikasi, mosaik, selubung protein, varietas Anjasmoro

ABSTRACT

Soybean (Glycine max) is an important food crops in Indonesia, but the production is considered low. Infection of Cowpea mild mottle virus (CPMMV) may affect to the productivity of the crops. The virus cause a variety of symptoms on soybean such as mosaic, chlorosis, necrosis, distortion, and leaf dwarf. The aims of this study were to detect and identify CPMMV by molecular technique from some varieties of soybeans, i.e. ‘Anjasmoro’, ‘Argomulyo’, ‘Grobogan’, and two local Edamame varieties. Symptomatic samples was obtained randomly from main soybean growing areas in Java. DNA amplification using specific primer for coat protein of CPMMV was only successfully gained from leaf samples of var. Argomulyo from Malang which showing mosaic on the leaf surface, vein clearing, and chlorosis. Further amino acid and nucleotide sequence analysis showed that this CPMMV isolate has highest homology (99%) to CPMMV isolate of French bean from China.

Key word: amplification, coat protein, mosaic, variety Anjasmoro

Page 35: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Kulsum et al.

225

Kedelai (Glycine max) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia. Biji kedelai banyak dimanfaatkan untuk berbagai jenis olahan. Kebutuhan kedelai cukup tinggi terbukti pada tahun 2014 produksi kedelai di Indonesia mencapai 954 997 ton dan meningkat pada tahun 2015 menjadi 982 967 ton (BPS 2015), tetapi produktivitas kedelai belum memenuhi kebutuhan nasional. Salah satu pembatas produksi kedelai ialah adanya penyakit tanaman termasuk infeksi Cowpea mild mottle virus (CPMMV).

Gejala infeksi CPMMV pada tanaman berbeda-beda bergantung pada jenis dan varietas tanaman (Demski dan Kuhn 1989). CPMMV merupakan penyebab mosaik pada tanaman kacang-kacangan dan mampu menurunkan produksi tanaman kacang tunggak (Vigna unguiculata) hingga 10–15% dengan keparahan penyakit mencapai 15–40% (Akin 2003). Secara umum, gejala CPMMV pada beberapa tanaman diantaranya tulang daun memucat (vein-clearing), daun mengeriting, daun menggulung, daun belang atau burik, klorosis, mosaik, kerdil, nekrosis dan distorsi pada daun (Almeida et al. 2005; Tavasoli et al. 2009; Zanardo et al. 2014). Gejala khas CPMMV pada tanaman buncis (Phaseolus vulgaris) ialah daun belang, malformasi, dan kerdil, sedangkan pada tanaman kacang tunggak gejala khasnya tulang daun menjadi klorosis. Pada tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea) gejala khas berupa klorotik pada daun dan gejala khas pada tanaman kedelai berupa mosaik pada tulang daun dan mosaik merata pada daun (Iizuka et al. 1984; Mukoye et al. 2015). Infeksi CPMMV pada kedelai mengakibatkan penurunan bobot biji kering dan biji tidak normal pada varietas Wilis (Akin 2003).

Gejala infeksi CPMMV pada kedelai di lapangan secara spesifik tidak dapat dibedakan dengan gejala mosaik yang disebabkan oleh infeksi virus lainnya. Tersedianya metode deteksi dan identifikasi secara molekuler dengan RT-PCR dan perunutan DNA akan membantu mengetahui identitas virus dengan cepat dan akurat sebagai langkah awal dalam

penentuan strategi pengelolaan virus yang tepat sasaran. Tujuan penelitian ini untuk mendeteksi dan mengidentifikasi CPMMV dari beberapa varietas kedelai secara molekuler.

Kedelai bergejala berupa mosaik, nekrosis, klorosis dan kerdil diambil dari varietas Grobogan asal Kabupaten Bantul, Yogyakarta; varietas Anjasmoro asal Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta; kedelai edamame varietas lokal asal Kabupaten Magelang, Jawa Tengah; dan varietas Argomulyo asal Kabupaten Malang, Jawa Timur (Gambar 1). Varietas-varietas yang diperoleh merupakan varietas yang biasa ditanam oleh petani setempat. Gejala pada masing-masing varietas hampir sama berupa gejala mosaik pada seluruh permukaan daun. Gejala yang ditemukan diduga disebabkan oleh CPMMV, tetapi perlu diidentifikasi lebih lanjut.

Identifikasi virus dilakukan secara molekuler menggunakan metode RT-PCR dengan tahapan ekstraksi RNA total, sintesis cDNA, amplifikasi dan perunutan DNA. Ekstraksi RNA total menggunakan Kit Gene Aid Plant Virus RNA (Geneaid Biotech, New Taipei City, Taiwan) mengikuti protokol yang disediakan produsen kit. RNA total selanjutnya disintesis menjadi cDNA menggunakan kit Revert Aid First Strand cDNA Synthesis (Thermo Scientific, Waltham, MA USA) mengikuti protokol pada kit. Sintesis cDNA dilakukan pada mesin PCR thermocycler dengan program inkubasi pada suhu 65 °C selama 5 menit, dilanjutkan pada suhu 42 °C selama 60 menit dan diakhiri dengan suhu 70 °C selama 5 menit dan 4 °C (∞). cDNA selanjutnya diamplifikasi dengan menggunakan primer spesifik gen selubung protein CPMMV yang dirancang berdasarkan pada kemiripan sikuen gen selubung protein CPMMV. Adapun primer yang digunakan ialah pasangan primer CPMMV (CP) F(5’-AATTAAGGATCCGAGTTGATTTAAATAAGT-3’) dan CPMMV (CP) R(5’-AATTAAGAATTCCTTGTGATTGAAATTGCG-3’) dengan produk PCR berukuran 820 pb. Amplifikasi DNA mengunakan kit KAPA Taq Extra Hotstart Readymix PCR (KAPA biosystem, USA). Program amplifikasi yang

Page 36: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Kulsum et al.

226

digunakan terdiri atas tahap pre-denaturasi pada suhu 94 °C selama 3 menit, sebanyak 35 siklus pada suhu denaturasi 94 °C selama 30 detik, tahap penempelan primer pada suhu 53 °C selama 25 detik, ekstensi pada suhu 68 °C selama 1 menit, dan ekstensi akhir pada suhu 72 °C selama 3 menit.

DNA hasil amplifikasi dielektroforesis pada gel agarosa 1% yang dilarutkan dalam 0.5 × Tris-Borate EDTA (TBE) pada tegangan 50 volt selama 45 menit. Gel agarosa kemudian direndam dalam larutan etidium bromida (EtBr) selama 15 menit, divisualisasi pada UV transluminator dan didokumentasi dengan kamera digital. Selanjutnya DNA dikirim ke First Base Malaysia melalui PT. Genetika Science Jakarta untuk perunutan nukleotida. Homologi urutan basa nukleotida dianalisis menggunakan basic local alignment

search tool (BLAST) pada situs National Center for Biotechnology Information (NCBI) (www.ncbi.nlm.nih.gov), sedangkan pohon filogenetika dibuat dengan program MEGA versi-6 menggunakan 500 kali bootstrap.

CPMMV hanya dideteksi dari kedelai varietas Argomulyo asal Kabupaten Malang saja, meskipun gejala yang ditunjukkan oleh semua tanaman uji mirip satu sama lain. DNA spesifik CPMMV diamplifikasi pada 820 pb (Gambar 2). Diagnosis virus berdasarkan gejala tidak dapat menentukan identitas virus sehingga virus yang sama bisa saja menghasilkan gejala yang berbeda atau gejala yang sama dapat juga disebabkan oleh virus yang berbeda (Hull 2002).

Selanjutnya sampel yang positif CPMMV diinokulasi balik pada tanaman kedelai varietas Argomulyo yang sehat. Inokulasi balik CPMMV menghasilkan gejala yang

Gambar 1 Kemiripan gejala infeksi Cowpea mild mottle virus pada beberapa varietas kedelai berupa mosaik pada seluruh permukaan daun tanaman, klorosis, nekrosis dan kerdil. 1a dan 1b, varietas Grobogan asal dari Kabupaten Bantul; 2a dan 2b, Varietas lokal kedelai Edamame asal Kabupaten Magelang, 3, varietas Argomulyo asal Kabupaten Malang; 4a dan 4b, varietas Anjasmoro asal Kabupaten Gunung Kidul; 5a dan 5b, varietas lokal kedelai Edamame asal Kabupaten Magelang.

Page 37: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Kulsum et al.

227

bervariasi (Gambar 3), tetapi CPMMV hanya berhasil dideteksi dari sampel dengan gejala mesaik dan klorosis (Gambar 4). Kemampuan virus menginfeksi tanaman harus memenuhi beberapa syarat, salah satunya ialah adanya respons dari tanaman. Respons tanaman akan memunculkan gejala khas yang merupakan efek adanya infeksi virus terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai, seperti terganggunya fungsi fisiologi,

sehingga terjadi perubahan atau penyimpangan fungsi organ tanaman.

Analisis filogenetika berdasarkan sikuennukleotida gen selubung protein menunjukkan bahwa CPMMV dari kedelai varietas Argomulyo asal Kabupaten Malang berada pada kelompok yang sama dengan CPPMV dari negara lain dengan homologi mencapai 99% dengan isolat CPMMV kacang buncis asal Cina. CPMMV isolat Malang

Gambar 2 Pita DNA hasil amplifikasi dengan primer spesifik Cowpea mild mottle virus (CPMMV) dari gejala CPMMV pada beberapa varietas kedelai. 1, Varietas Grobogan asal Kabupaten Bantul; 2 dan 5, Varietas lokal kedelai Eamame asal Kabupaten Magelang; 3, Varietas Argomulyo asal Kabupaten Malang; 4, Varietas Anjasmoro asal Kabupaten Gunung Kidul dan; M, Penanda DNA 0.1 kb (Thermo Scientific).

820 pb

Gambar 3 Gejala infeksi Cowpea mild mottle virus pada varietas Argomulyo. 1, Gejala mosaik sepanjang tulang daun dan vein-clearing pada sebagian daun; 2, Gejala mosaik yang merata pada seluruh permukaan daun diikuti dengan transparan pada daun saat ada pencahayaan; 3, Gejala klorosis pada seluruh daun sehingga warna daun sebagian besar menjadi lebih gelap; 4, Gejala nekrosis fase awal pada sebagian permukaan daun kedelai dan; 5, Gejala tanaman menjadi kerdil dengan daun sebagian keriting dan menggulung ke bawah dan; 6, Daun sehat.

Page 38: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Kulsum et al.

228

Gambar 4 Pita DNA hasil amplifikasi dengan primer spesifik Cowpea mild mottle virus (CPMMV) dari berbagai gejala CPMMV pada tanaman kedelai varietas Argomulyo bergejala; 1, Kerdil; 2, Mosaik sepanjang tulang daun; 3, Nekrosis pada sebagian permukaan daun; 4, Mosaik merata pada seluruh permukaan daun; 5, Klorosis pada seluruh permukaan daun dan; M, Penanda DNA 100 pb (Thermo Scientific).

820 pb

Gambar 5 Pohon filogenetika Cowpea mild mottle virus yang menginfeksi kedelai varietas Argomulyo asal Kabupaten Malang Indonesia. Pohon filogenetika dibuat dengan perangkat lunak MEGA versi-6.

menunjukkan kemiripan dengan CPMMV asal Cina dan India sedangkan dengan isolat dari Amerika membentuk kelompok terpisah (Gambar 5). Infeksi CPMMV merupakan tipe gejala sistemik, yaitu infeksi virus yang sudah menyebar pada seluruh tanaman. Variasi gejala pada beberapa sampel yang positif teridentifikasi CPMMV dapat menjadi acuan untuk mengetahui gejala khas infeksi CPMMV pada tanaman kedelai varietas Argomulyo. Homologi isolat CPMMV yang diuji dengan isolat CPMMV asal negara lain menunjukkan kemiripan mencapai 98.9% (Gambar 5).

Kedelai varietas Agromulyo merupakan varietas asal Thailand yang dirakit oleh PT.

Nestle Indonesia pada tahun 1988 dengan nama asal Nakhon Sawan I. Kedelai tersebut berbiji besar, daun oval, dan memiliki kandungan protein sebesar 39.5%. Kandungan protein yang tinggi memudahkan multiplikasi virus.

Faktor ketahanan pada varietas lainnya berpengaruh terhadap beberapa karakter morfologi, anatomi dan agronomi varietas kedelai lainnya. Faktor yang sangat berperan dalam epidemi CPMMV pada berbagai varietas tanaman, yaitu adanya peran serangga vektor kutukebul (Tavasoli et al. 2009). Populasi kutukebul yang tinggi akan memengaruhi tinggi rendahnya keparahan penyakit akibat infeksi CPMMV pada beberapa varietas

Page 39: Formulasi Bakteri Filosfer Padi dan Aplikasinya untuk ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-12-no.6.pdf · Institut Pertanian Bogor. ... lalu didinginkan dan ditimbang

J Fitopatol Indones Kulsum et al.

229

tanaman kedelai. Kedelai varietas Argomulyo termasuk rentan terhadap serangan kutukebul (Marwoto 2014).

Faktor lain yang menyebabkan varietas kedelai lainnya tidak terinfeksi CPMMV ialah ketahanan inang. Pengaruh ketahanan inang dapat menyebabkan adanya stimulasi pertahanan seluler inang di daerah terjadinya inisiasi infeksi (Hull 2002). Perubahan pada sikuen nukleotida genom virus akan memengaruhi pada jenis kisaran inangnya (Wahyuni 2005). Tanaman tidak terinfeksi oleh virus dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu bergantung pada galur virus, varietas tanaman, dan faktor lingkungan (Matthews 1993). Hasil metabolisme tanaman berupa enzim atau protein juga mampu menghambat perkembangan virus terutama zat penghambat pertumbuhan yang terdapat pada tanaman inang, sehingga tanaman menjadi resisten (Mujoko et al. 2000).

Berdasarkan hasil tersebut di atas, CPMMV pada kedelai varietas Argamulyo asal Malang memiliki gejala yang khas, yaitu mosaik, mosaik disertai dengan vein-clearing dan klorosis. Isolat CPMMV asal Malang (Indonesia) memiliki kekerabatan lebih dekat dengan isolat dari Negara Cina berdasarkan pada perunutan gen selubung protein.

DAFTAR PUSTAKA

Akin HM. 2003. Respon bebera pagenotipe kedelai terhadap infeksi CPMMV (Cowpea mild mottle virus). J HPT Tropika. 3(2):40–43.

Almeida AMR, Piuga FF, Marin SRR, Kitajima EW, Gaspar JO, Oliveira TG, Moraes TG. 2005. Detection and partial characterization of a carlavirus causing stem necrosis of soybean in Brazil. Fitopatol Bras. 30(2):191–194. DOI: https://doi.org/10.1590/S0100-41582005000200016.

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2015. Produksi kedelai menurut provinsi (ton) 1993–2015. BPS [Online]. www.bps.go.id. [diakses tanggal 1 Des 2015].

Demski JW, Kuhn CW. 1989. Cowpea mild mottle virus.Di dalam Compendium Of

Soybean Diseases. Ed ke-3. St. Paul (US): APS.

Hull R. 2002. Matthew’Plant Virology. Ed ke-4. Tokyo (JP): Academic Press.

Iizuka N, Rajeshwari R, Reddy DVR, Goto T, Muniyappa V, Bharathan N, Ghanekar AM. 1984. Natural occurrence of a strain of Cowpea mild mottle virus on Groundnut (Arachis hypogeal) in India. J Phytopathol Zeitschrift. 109(3):245–253. DOI: https://doi .org/10.1111/j .1439-0434.1984.tb00714.x.

Marwoto. 2014. Waspadai serangan bemisia tabaci pada kedelai musim kemarau 2014. Seminar hasil penelitian tanaman pangan. Malang (ID): Balai Penelitian Tanaman kacang-kacangan dan Umbi-umbian

Matthews REF. 1993. Diagnosis of Plant Virus Disease. Florida (US):CRC Press.

Mujoko T, Suryawinarsih P, Laksono, RJ. 2000. Pengaruh waktu inokulasi Peanut stripe virus (PSTV) terhadap produksi beberapa varietas tanaman kedelai (Glycine max L). Mapeta. 2(5):10–14

Mukoye B, Mangeni BC, Leitich RK, Wosula DW, Omayio DO, Nyamwamu PA, Arinaitme W, Winter S, Abang MM, Were HK. 2015. First report and biological characterization of Cowpea mild mottle virus (CPMMV) infecting groundnuts in Western Kenya. J Agri Food App Sci. 3(1):1–5.

[NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2015. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. [Diakses 20 November 2015]

Tavasoli M, Shahraeen N, Ghorbani SH. 2009. Serological and RT-PCR detection of Cowpea mild mottle carlavirus infecting soybean. J Gen Mol Virol. 1(1):7–11.

Wahyuni WS. 2005. Dasar-Dasar Virologi Tumbuhan. Yogyakarta(ID): Gadjah Mada University Press.

Zanardo LG, Silvia FN, Lima ATM, Milanesi DF, Castilho U, Almeida AMR, Zerbini FM, Carvalho CM. 2014. Molecular variability of Cowpea mild mottle virus infecting soybean in Brazil. Arch Virol. 159(4):727–737. DOI: https://doi.org/10.1007/s00705-013-1879-0.