forensik

61
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ilmu Kedokteran Forensik adalah salah satu cabang spesialistik dari ilmu kedokteran yang mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan 1,2 . Ilmu Kedokteran Forensik memiliki cakupan keilmuan yang terbagi atas berbagai bidang, salah satunya Tanatologi. Tanatologi ialah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut 1,2 . Kematian dari suatu organisme terjadi setelah fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, dan sistem respirasi terhenti, yang dikenal dengan istilah mati somatik 1 . Setelah terjadinya kematian, proses dekomposisi akan dimulai. Proses dekomposisi terdiri dari pemecahan dari jaringan organisme menjadi bentuk yang lebih sederhana 3 . Dalam serangkaian proses kematian tersebut, terjadi perubahan-perubahan kimiawi yang mengakibatkan pelepasan dari berbagai macam zat kimia seperti volatile organic compounds (VOC), maupun ninhydrin reactive nitrogen (NRN) dan lain sebagainya 3 . Salah satu kepentingan dari penelusuran 1

description

forensik

Transcript of forensik

Page 1: forensik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ilmu Kedokteran Forensik adalah salah satu cabang

spesialistik dari ilmu kedokteran yang mempelajari pemanfaatan

ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta

keadilan1,2. Ilmu Kedokteran Forensik memiliki cakupan keilmuan

yang terbagi atas berbagai bidang, salah satunya Tanatologi.

Tanatologi ialah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang

mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah

kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut1,2.

Kematian dari suatu organisme terjadi setelah fungsi ketiga

sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf pusat, sistem

kardiovaskular, dan sistem respirasi terhenti, yang dikenal dengan

istilah mati somatik1. Setelah terjadinya kematian, proses

dekomposisi akan dimulai. Proses dekomposisi terdiri dari

pemecahan dari jaringan organisme menjadi bentuk yang lebih

sederhana3. Dalam serangkaian proses kematian tersebut, terjadi

perubahan-perubahan kimiawi yang mengakibatkan pelepasan dari

berbagai macam zat kimia seperti volatile organic compounds

(VOC), maupun ninhydrin reactive nitrogen (NRN) dan lain

sebagainya3. Salah satu kepentingan dari penelusuran dari zat – zat

kimiawi tersebut ialah sebagai pemeriksaan penunjang dalam suatu

prosedur pemeriksaan forensik. Istilah yang digunakan sejak tahun

1980 untuk bidang keilmuan yang mempelajari zat-zat kimiawi yang

terbentuk pada proses kematian disebut dengan istilah

Thanatochemistry4.

1

Page 2: forensik

Investigasi atas perubahan-perubahan post-mortem terhadap

materi-materi biologis telah dilakukan di institusi-institusi penelitian

Kedokteran Forensik hingga sekitar 40 tahun. Penelitian-penelitian

tersebut mencakup spektrum aspek yang luas. Hal-hal yang telah

diteliti antara lain karakteristik fisiko-kimiawi dari materi biologis

pembusukan, kondisi dari proses pembusukan yang mempengaruhi

pembentukan substansi toksik, terutama etanol, n-butanol,

karboksihaemoglobin dan sianida, proses pembusukan dari

substansi endogen, proses degradasi dari substansi eksogen, dan

peran materi biologis pembusukan terhadap metode deteksi dan

isolasi materi toksik3,4.

Atas dasar ketertarikan akan proses kimiawi kompleks yang

terjadi saat kematian dan potensi zat kimiawi yang ditimbulkan,

maka dibuatlah karya tulis ini. Karya tulis ini akan banyak

membahas tentang zat-zat kimia yang terbentuk dalam proses

kematian, dan pengaruhnya pada hasil pemeriksaan forensik,

terutama pada pemeriksaan laboratorium forensik.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang dapat penulis rumuskan dalam penulisan

referat ini, antara lain sebagai berikut:

1. Apa sajakah zat-zat kimia organik yang terbentuk pada proses

kematian ?

2. Apa hubungan antara zat-zat kimia yang terbentuk pada proses

kematian dengan pemeriksaan forensik, terutama pada

pemeriksaan laboratorium forensik ?

2

Page 3: forensik

3. Bagaimanakah hubungan antara tanda-tanda kematian dengan

senyawa-senyawa kimia organik yang terbentuk pada saat

kematian ?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan referat ini, antara lain sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan senyawa-senyawa yang terbentuk pada proses

kematian.

2. Menjelaskan hubungan antara zat-zat kimia yang terbentuk pada

proses kematian dengan pemeriksaan forensik, terutama pada

pemeriksaan laboratorium forensik.

3. Menjelaskan hubungan antara terbentuknya tanda-tanda

kematian dengan senyawa-senyawa kimia organik yang

terbentuk pada saat kematian.

1.4. Manfaat Penulisan

Secara teoritis hasil penulisan referat ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan bagi perkembangan kajian ilmu

pengetahuan, menambah dan melengkapi karya ilmiah serta

memberikan kontribusi pemikiran tentang korelasi antara zat-zat

yang dihasilkan pada proses kematian dalam pemeriksaan

laboratorium forensik.

Secara praktis hasil dari penulisan referat ini diharapkan dapat

digunakan untuk dapat membangun perkembangan dari ilmu

3

Page 4: forensik

forensik dan berguna bagi pihak dokter dan spesialistik di bidang

keilmuan tersebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Proses Kematian

Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal pada seseorang berupa tanda

kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan tersebut dapat

4

Page 5: forensik

terjadi dini (setelah meninggal atau beberapa menit setelahnya) dan lanjut (beberapa

waktu setelah meninggal) atau yang disebut sebagai tanda-tanda pasti kematian2.

Beberapa perubahan dini kematian yang dapat timbul adalah pernapasan dan

sirkulasi yang berhenti bekerja, kulit pucat, tonus otot menghilang dan relaksasi,

pembuluh darah retina mengalami segmentasi, dan pengeringan kornea2. Sedangkan

perubahan lanjut adalah livor mortis (lebam mayat), rigor mortis (kaku mayat),

perubahan suhu (algor mortis), dan dekomposisi1.

2.1.1. Perubahan Dini Kematian

Adapun perubahan dini kematian antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut5:

Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap komando/perintah,

taktil dan sebagainya.

Tidak ada gerakan otot serta postur, postur dengan catatan pasien tidak sedang

berada dibawah pengaruh obat-obatan kurare.

Tidak ada reflek pupil.

Tidak ada reflek kornea.

Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan.

Tidak ada reflek menelan atau batuk ketika tuba endotrakeal didorong ke dalam.

Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es yang dimasukkan

ke dalam lubang telinga.

Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukup lama

walaupun pCO2 sudah melampaui nilai ambang rangsangan napas (50 torr)

2.1.2. Perubahan Lanjut Kematian

Sedangkan perubahan lanjut kematian, dapat dilihat dari tanda-tanda pasti

kematian yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Livor Mortis

Livor mortis adalah perubahan warna dari tubuh yang muncul yang muncul

karena darah tidak lagi dipompa ke seluruh tubuh oleh jantung, melainkan hanya

dipengaruhi oleh gaya gravitasi6. Livor mortis muncul kira-kira 1 jam setelah

5

Page 6: forensik

kematian6, terkadang dapat muncul dalam 20-30 menit1,2. Intensitas perubahan warna

ini akan semakin meningkat dan terfiksasi sempurna dalam 8-12 jam1,2. Sebelum 8-12

jam darah masih akan dapat berubah posisi sesuai gravitasi, namun setelah itu darah

tidak akan dapat berpindah tempat lagi1,2,6. Fenomena livor mortis tidak akan terjadi

pada bagian tubuh yang tertekan, dikarenakan tertutupnya pembuluh darah pada

daerah penekanan6.

Warna pada livor mortis normal adalah merah keunguan, tetapi pada beberapa

keadaan khusus, warna ini dapat berubah1. Pada pasien anemis, warna livor mortis

lebih muda dikarenakan sedikitnya hemoglobin dalam pembuluh darah6. Pada

keracunan karbonmonooksida (CO) dan sianida (CN), warna livor mortis adalah

merah cerah1,2. Pada keracunan anilin, nitrat, sulfonal, warna livor mortis adalah

kecoklatan2.

Livor mortis perlu dibedakan dengan hematoma (karena trauma). Cara paling

mudah untuk membedakan keduanya adalah dengan melakukan sayatan pada kulit,

kemudian disiram dengan air. Livor mortis akan hilang atau bertambah pucat setelah

penyiraman, sedangkan pada hematoma tidak menghilang1,2,6.

Gambar 1: Livor mortis

b. Rigor Mortis

Setelah kematian, terjadi perubahan dalam kelenturan otot manusia. Pada

awalnya tubuh akan menjadi lemas (flaccid) setelah mati. Dalam 1-3 jam setelah

6

Page 7: forensik

kematian, otot menjadi kaku (rigid) dan sendi tidak dapat digerakkan (freeze) karena

proses yang dikenal sebagai rigor mortis6. Dalam 1-3 jam pertama, kelenturan otot

dipertahankan oleh adanya cadangan glikogen dalam otot. Energi yang dihasilkan

dari pemecahan glikogen berfungsi mengubah adenosine diphosphate (ADP) menjadi

adenosine triphosphate (ATP) yang menjaga serabut aktin dan miosin tetap lentur1,2.

Pemecahan glikogen yang terjadi dalam proses ini terjadi secara anaerob karena tidak

adanya oksigen, menghasilkan produk sisa asam laktat yang akan menurunkan pH

tubuh7. Setelah cadangan glikogen habis, terjadi penguncian jembatan kimia antara

aktin dan miosin yang menyebabkan kekakuan pada otot dan sendi6.

Rigor mortis terjadi dengan pola tertentu. Kekakuan terjadi secara berurutan

mulai dari sendi yang terkecil sampai sendi yang terbesar. Kekakuan biasanya mulai

terjadi mulai dari jari-jari, kemudian siku, dan diakhiri lutut. Tubuh telah kaku

seluruhnya apabila sendi jari, siku, dan lutut tidak dapat digerakkan. Rigor mortis

komplit biasanya terbentuk pada 10-12 jam paska kematian dalam suhu 70-75oF, dan

bertahan sampai 24-36 jam paska kematian sampai dimulainya proses dekomposisi6.

Beberapa hal dapat mempengaruhi kekuatan serta kecepatan timbulnya rigor

mortis. Kekuatan rigor mortis sangat bergantung pada massa otot yang dimiliki

seseorang. Laki-laki umumnya mempunyai rigor mortis yang lebih kuat daripada

perempuan karena massa otot yang lebih besar. Bayi memiliki rigor mortis yang

buruk karena massa otot yang kecil. Kecepatan timbulnya rigor mortis bergantung

pada suhu lingkungan (semakin tinggi semakin cepat), suhu internal (semakin tinggi

semakin cepat), aktivitas otot sebelum mati (semakin banyak semakin cepat), umur

(anak-anak lebih cepat)1,2,6.

7

Page 8: forensik

Gambar 2: Rigor mortis

c. Algor Mortis

Setelah mati, suhu tubuh akan mencapai equilibrium dengan

lingkungan sekitarnya. Proses ini akan dimulai setelah 30-60 menit

setelah kematian atau saat proses metabolisme benar-benar

terhenti. Algor mortis dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu suhu awal,

suhu keliling, kelembapan udara, ukuran tubuh, posisi tubuh,

pakaian yang dikenakan, lokasi mayat, dan umur1,2,6.

Penurunan suhu selama 18 jam pertama setelah kematian

dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang dikenal sebagai

“rule of thumb”7:

Interval Kematian (jam) = [98,6 - suhu tubuh (oF)] / 1,5

Pola penurunan suhu setelah kematian masih belum dapat

dirumuskan secara tepat, oleh karena banyaknya faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Walaupun demikian, secara garis besar, algor

mortis akan membentuk kurva seperti ditunjukkan pada gambar 3

pada awalnya suhu menurut secara cepat, namun setelah

8

Page 9: forensik

mendekati suhu lingkungan, perubahan suhu akan berlangsung

lebih lambat2.

Gambar 3: Kurva Sigmoid Algor Mortis

d. Dekomposisi

Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi

akibat autolisis dan kerja bakteri. Autolisis terjadi akibat kerja

digestif oleh enzim yang dilepaskan sel paska kematian. Bakteri

yang berperan dalam pembusukan adalah bakteri genus clostridium

(terutama Clostridium welchii)2. Saat masih hidup, manusia memiliki

sistem pertahanan tubuh yang mencegah bakteri-bakteri komensal

colon untuk berkembang2. Setelah manusia mati, bakteri ini masuk

ke dalam pembuluh darah dan berkembang biak. Bakteri ini akan

menghasilkan gas-gas alkana, H2S, HCN, serta asam amino dan

asam lemak6.

Terdapat lima fase dalam dekomposisi, yaitu fase segar (fresh

stage), fase menggembung (bloated stage), fase penghancuran

9

Page 10: forensik

(decay phase), fase setelah penghancuran (post decay stage), dan

fase tulang atau sisa (skeletal or remains stage)7. Berikut ialah

penjabaran spesifik dari masing-masing fase tersebut7:

Fase segar (fresh stage)

Fase segar dimulai segera setelah kematian sampai periode

penggembungan tubuh mulai terlihat. Tanda-tanda yang terlihat

pada fase ini adalah perubahan warna kehijauan yang muncul pada

perut, livor mortis, pecahnya kulit, dan tache noir. Perubahan warna

kehijauan disebabkan warna dari sulmethemoglobin. Karena bakteri

pembusukan berasal dari colon, dengan demikian perubahan warna

biasanya dimulai dari perut kanan bawah dan menyebar ke seluruh

tubuh. Kemudian kulit ari akan terkelupas atau membentuk

gelembung berisi cairan kehijauan yang berbau busuk. Mulai terjadi

invasi dari serangga pada bagian terbuka dalam tubuh seperti

mata, hidung, mulut, hidung, anus, genital, dan luka-luka. Telur-telur

serangga akan diletakkan di dalam beberapa bagian tubuh. Saat

telur-telur ini menetas, serangga-serangga akan mulai memakan

tubuh manusia dari dalam.

10

Page 11: forensik

Gambar 4: Fase segar

Fase menggembung (bloated stage)

Fase menggembung disebabkan adanya aktivitas bakteri

anaerob pada usus dan bagian tubuh lain yang mencerna jaringan

tubuh. Proses metabolik yang terjadi menghasilkan produksi gas.

Pembentukkan gas dalam tubuh dimulai dari lambung dan usus,

mengakibatkan inflasi perut. Proses yang lanjut ditandai dengan

gambaran tubuh yang seperti balon (ballon-like appearance). Selain

perut, gas juga akan terkumpul pada organ-organ lain khususnya

skrotum, payudara, dan sendi. Selanjutnya, rambut menjadi mudah

dicabut dan kuku mudah terlepas, wajah menggembung dan

berwarna ungu kehijauan, kelopak mata membengkak, pipi

tembem, bibir tebal, lidah membengkak. Pada akhirnya wajah

korban tidak lagi dapat dikenali oleh keluarga.

11

Page 12: forensik

Belatung yang timbul akan semakin banyak khususnya pada bagian

internal tubuh. Larva lalat ini biasa muncul 36-48 jam paska

kematian, sehingga dapat menjadi panduan untuk menentukan saat

kematian. Dengan identifikasi spesies dan panjang larva dapat

diketahui usia lalat, dan akhirnya saat kematian korban.

Peningkatan tekanan internal akibat banyaknya gas

menyebabkan merembesnya cairan tubuh dari berbagai bagian

terbuka tubuh dan bau amonia mulai terdekteksi. Adanya amonia di

dalam tubuh ini menyebabkan tubuh menjadi alkali, menyebabkan

tubuh mulai ditinggalkan oleh fauna-fauna yang biasanya ada pada

tanah dalam keadaan normal, sedangkan invasi organisme yang

berhubungan dengan pembusukan justru semakin banyak.

Gambar 5: Fase penggembungan

12

Page 13: forensik

Fase penghancuran (decay phase)

Tanda-tanda dimulai dan berakhirnya fase ini kurang jelas dan

agak subyektif. Tanda-tanda utama dari fase ini adalah lepasnya

bagian luar kulit dan keluarnya gas dari dalam perut menyebabkan

perut mulai berdeflasi. Pada fase ini, bau busuk yang kuat akan

terdeteksi. Larva-larva lalat ordo Diptera akan semakin banyak

muncul baik di luar tubuh dan di dalam tubuh. Larva ini akan

mengkonsumsi daging manusia dan meninggalkan hanya kulit dan

kartilago.

Gambar 6: Fase penghancuran

Fase setelah penghancuran (post decay stage)

Pada fase ini tubuh hanya terdiri dari kulit, kartilago, dan

tulang. Ordo lalat Diptera akan pergi dan ordo serangga lain seperti

13

Page 14: forensik

Coleoptera akan semakin berkembang. Serangga ini akan

mengkonsumsi sisa daging dan kartilago, meninggalkan tulang

yang bersih sebagai hasil akhir. Pada fase ini akan muncul berbagai

parasit pada tubuh.

Gambar 7: Fase Penghancuran

Fase tulang atau sisa (skeletal or remains stage).

14

Page 15: forensik

Pada fase ini, bagian yang tersisa dari tubuh hanyalah tulang

dan rambut. Tungau dan Collembola mulai timbul. Fauna-fauna yang

biasa timbul pada tanah tersebut akan kembali. Tidak ada batasan

akhir dari fase ini.

Gambar 8: Fase tulang atau sisa

d.1. Mumifikasi

Mumifikasi adalah pengeringan tubuh akibat suhu sekeliling yang tinggi serta

kelembapan yang rendah. Tubuh akan tampak menyusut dengan kulit yang kering dan

kaku serta berwarna coklat kehitaman1. Mumifikasi terjadi bila suhu hangat,

kelembapan rendah, aliran udara yang baikm tubuh yang dehidrasi dan waktu yang

lama (12-14 minggu)2.

d.2. Adiposera

15

Page 16: forensik

Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau

berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh paska kematian.

Pada adiposera terjadi hidrolisis jaringan lemak tubuh dimana trigliserida tubuh akan

dipecah menghasilkan gliserin dan asam lemak tidak jenuh bebas, palmitat, stearat,

dan oleat. Asam lemak yang tidak jenuh akan mengalami dehidrogenasi menjadi

asam lemak jenuh. Kemudian asam lemak jenuh ini akan berikatan dengan alkali

membentuk sabun yang tidak larut1,2.

Adiposera dapat terbentuk pada berbagai jaringan lemak tubuh, mulai dari

lemak superfisial, sampai lemak dalam hati. Lemak superfisial yang terkena biasanya

pada daerah pipi, payudara, payudara, bokong, batang tubuh, atau ekstremitas2.

2.2. Zat – Zat yang Dihasilkan Pada Proses Kematian

2.2.1. Hidrogen Sulfide (H2S)

Hidrogen sulfida (H2S) merupakan bahan kimia yang tidak

berwarna, sangat beracun, mudah terbakar, dengan karakteristik

berbau seperti telur busuk pada konsentrasi 100 ppm8. Gas ini

merupakan produk dari metabolisme bahan organik saat tidak ada

oksigen (metabolisme anaerob)8. Tubuh manusia juga memproduksi

hidrogen sulfide dalam jumlah sedikit dan berfungsi sebagai

gasotransmitter untuk mengatur relaksasi pembuluh darah8.

Struktur kimia hidrogen sulfida dapat dilihat pada gambar 98.

Gambar 9: Hidrogen Sulfida

Adapun senyawa hidrogen sulfida (H2S) dapat terbentuk dalam proses sebagai

berikut:

16

Page 17: forensik

a. Marblization/Arboressent Line

Pada proses dekomposisi, bakteri memecah sel darah merah menjadi

hemoglobin, bersamaan dengan itu dihasilkan pula hydrogen sulfida oleh bakteri

yang pada akhirnya menjadi sulfhemoglobin. Selama proses ini vena superficial di

kulit menjadi terlihat dan menampakan pola yang disebut ‘arboressent line’ berwarna

ungu kecoklatan. Proses ini dinamakan ‘marblization’ yang umumnya terlihat di

bagian dada, bahu, lengan, dan aspek lateral dari badan, terkadang juga dapat terlihat

di antero-medial paha. Proses ini disebabkan bakteri anaerob menyebar melalui vena

bersamaan dengan hemolisis sel darah merah sehingga mewarnai pola ‘marbling’.

Sementara warna yang tampak disebabkan hemolisis sel darah merah yang beraksi

dengan hydrogen sulfida yang dihasilkan bakteri9,10.

Gambar 10: Subcutaneus Marbling6

b. Perubahan Warna pada Dekomposisi

H2S akan bereaksi dengan hemoglobin (Hb) menghasilkan HbS yang

berwarna hijau kehitaman. Kita akan melihatnya pertama kali berupa warna kehijauan

(HbS) di daerah perut kanan bagian bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu

menyebar ke seluruh perut dan dada dengan disertai bau busuk. Kadar

sulfhemoglobin dipengaruhi obat, diantaranya asetanilid, fenacetin, nitrat,

trinitrotoluen, dan senyawa sulfur (terutama sulfonamid)9,10.

17

Page 18: forensik

Gambar 11: Pewarnaan hijau pada dekomposisi6

c. Bloating Postmortem

Proses putrefaksi merupakan proses enzimatik terhadap jaringan dengan

produksi beberapa jenis zat oleh bakteri saprofit, diantaranya hydrogen sulfida NH3,

merkaptan,CO2 dan sebagainya. Produksi zat berupa gas ini menyebabkan terjadinya

distensi gas pada traktus gastrointestinal, organ – organ dan rongga lain tubuh.

Kegembungan pada tubuh mayat sering terlihat pertama kali pada wajah, dimana

bagian-bagian dari wajah membengkak, mata menjadi menonjol dan lidah menjulur

keluar antara gigi dan bibir9,10.

2.2.2. Asam Lemak

Rumus kimia trigliserida adalah CH2COOR-CHCOOR'-CH2-COOR",

dimana R, R' dan R" masing-masing adalah sebuah rantai alkil yang panjang. Ketiga

asam lemak RCOOH, R'COOH and R"COOH bisa jadi semuanya sama, semuanya

berbeda ataupun hanya dua diantaranya yang sama10.

Pada proses dekomposisi Clostridium welchii menghasilkan enzim lesitinase

yang memecah trigliserid menjadi asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh, dan

asam lemak bebas. Proses ini dinamakan hidrolisis. Dalam kondisi cukup air dan

enzim, hidrolisis trigliserid akan terjadi hingga semua molekul tereduksi menjadi

asam lemak bebas10.

18

Page 19: forensik

Ketika sel terekspos kondisi lembab, hangat dan lingkungan anarob dan invasi

bakteri akan terjadi formasi yang disebut dengan adiposera. Adiposera merupakan

varian dari proses putrefaksi yang merupakan hasil dari hidrolisis dan degenerasi

lemak tak jenuh tubuh (jaringan adiposit) menjadi zat yang berwarna putih

kekuningan, seperti lilin yang terdiri dari asam lemak jenuh. Hal tersebut lebih nyata

pada jaringan subkutan, tetapi dapat terjadi dimana saja bila terdapat lemak10,11.

Hal ini terlihat paling sering pada tubuh yang dibenamkan dalam air atau

dalam keadaan lembab, lingkungan yang hangat. Pada adiposera, lemak mengalami

hidrolisis untuk melepaskan asam lemak jenuh dengan peranan dari lipase endogen

dan enzim bakteri. Enzim bakteri umumnya berasal dari Clostridium perfringens,

yang mengubah asam lemak jenuh ini menjadi asam lemak hidroksi. Adiposera dapat

terjadi dalam waktu beberapa bulan, tetapi juga dapat terjadi secara lebih singkat

dalam kurun beberapa minggu. Hal ini bergantung pada tingkat pertahanan terhadap

bakteri dan degradasi kimiawi10,11.

Normalnya tubuh yang tidak terdekomposisi mengandung sekitar 0.5% asam

lemak bebas. Tetapi pada adiposera, persentase asam lemak bebas dapat mencapai

70% atau lebih tinggi. Asam lemak bebas tak jenuh seperti asam palmitolinoleat dan

asam linoleat, bereaksi dengan hidrogen untuk membentuk asam hidrostearat, asa,

hidroksipalmitat dan senyawa stearat lainnya; proses ini dikenal sebagai saponifikasi

atau “penyabunan”. Produk akhir ini stabil untuk waktu yang panjang karena zat-zat

ini resisten terhadap aktivitas bakteri. Selain itu pembentukan adiposera

meningkatkan keasaman jaringan yang hampir sama dengan kondisi dehidrasi dimana

jaringan kehilangan banyak air sehingga pada proses hidrolisis akan menghambat

bakteri endogen dan memperlambat proses putrefaksi10,11.

19

Page 20: forensik

Gambar 12: Adiposera6

2.2.3. Perubahan pada glukosa setelah kematian

Glukosa merupakan salah satu zat kimia yang paling penting

dalam kehidupan manusia, khususnya dalam proses metabolisme.

Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama pada

mamalia. Glukosa juga merupakan prekursor dari berbagai

karbohidrat dalam tubuh manusia seperti glikogen, ribosa dan

deoksiribosa, galaktosa, dan lain-lain. Struktur kimia glukosa dapat

dilihat pada gambar 1312.

20

Page 21: forensik

Gambar 13: Struktur kimia dari glukosa12

Glukosa merupakan zat yang dapat dengan cepat

dimetabolisme menjadi laktat karena proses glikolisis. Dengan

demikian tidak banyak informasi yang didapat pemeriksaan glukosa

dalam darah. Laju dekomposisi glukosa darah per jam adalah 0,7

mmol/L, dan perubahan glukosa darah menjadi laktat berlangsung

selama 8 jam. Sampai 10 jam setelah kematian, peningkatan kadar

21

Page 22: forensik

laktat 10-15 mg/dL per jam, dan dapat mencapai kadar laktat total

450-680 mg/dL12.

Selain darah, analisis cairan vitreus dan cairan serebrospinal

sering digunakan dalam pemeriksaan postmortem. Jumlah glukosa

pada cairan vitreus berhubungan dengan kadar glukosa

antemortem. Jumlah glukosa cairan vitreus adalah 50% dari jumlah

glukosa darah ante mortem dan 85% dari konsentrasi postmortem.

Cairan vitreus lebih sedikit dipengaruhi berbagai proses setelah

kematian. Hal ini dikarenakan cairan vitreus lebih sedikit

terkontaminasi oleh bakteri, autolisism putrefaksi, dan perubahan

biokimia seperti glikolisis. Dengan demikian, evaluasi biokimia dari

glukosa umumnya juga menyertakan kombinasi glukosa dan laktat

pada cairan vitreus13.

Dalam pemeriksaan kadar gula dalam darah dan cairan

lainnya, perlu diingat adanya beberapa kondisi khusus yang dapat

mengacaukan hasil pemeriksaan. Keadaan seperti tumor ganas,

penyakit inflamasi kronis seperti uremia, insufisiensi napas,

inflamasi susunan saraf pusat dan laktatasidosis karena alkohol,

atau puasa dapat menyebabkan peninggian asam laktat. Kadar

glukosa yang tinggi mungkin disebabkan oleh asfiksia, perdarahan

otak, dan penyakit jantung kongesti13.

Darah yang digunakan dalam pemeriksaan kadar glukosa

darah harus dipilih pada tempat-tempat khusus, karena tempat

yang berbeda akan menunjukkan kadar glukosa yang berbeda pula.

Darah yang diambil dari jantung bagian kanan, venacava inferior,

dan vena hepatika akan memberikan kadar glukosa yang tinggi

karena adanya proses glukoneogenesis yag berlangsung di hati.

22

Page 23: forensik

Darah yang paling baik untuk pemeriksaan glukosa darah adalah

darah dari perifer13.

Stabilitas sampel juga perlu diperhatikan karena sampel darah

tanpa adanya pengawet (natrium flourida inhibitor glikolisis, atau

maleinimid, lithium iodo asetat, atau manosa), degradasi glukosa

menjadi laktat dapat ditemukan. Pada darah yang mengandung

kalsium oksalat sebagai antikoagulan, dan dalam konsentrasi 2,5

g/L atau 4,3 g/L, natrium flourida direkomendasikan sebagai

stabilizer untuk glukosa darah dan latat. Mannosa menghambat

metabolisme glukosa dan dapat diberikan dengan konsentrasi 2 g/L.

Mannosa hanya dapat bekerja selama 4 jam, setelah itu harus

diberikan pula natrium fourida. Konsentrasi gkukosa konstan pada

12 jam pertama. Jika disimpan dalam suhu 4oC, konsentrasi glukosa

tetap konstan dalam 2-6 hari. Dan dapat mencapai berbulan-bulan

bila dalam kondisi beku (-21oC)13.

2.2.4. Ureum dan Kreatinin

Permeabilitas membran sel berubah saat postmortem diikuti otolisis. Namun

demikian kadar ureum dan kreatinin stabil dalam serum hingga 100 jam postmortem.

Sehingga pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin dalam rentang waktu ini dapat

menunjukkan kondisi ginjal antemortem1.

Kadar ureum darah sebagai akibat terjadinya proteolisis akan meningkat, akan

tetapi peningkatan tersebut tidak akan mencapai lebih dari 100 mg/dL dalam waktu

48 jam pertama. Dengan demikian peningkatan kadar ureum yang melebihi 100

mg/dL dapat mempunyai nilai diagnostik yang disebabkan karena azotemia.

Sedangkan kadar kreatinin yang mempunyai makna apabila melebihi 6 mg/dL1.

Didalam penilaian perlu diingat bahwa pada periode agonal, kadar ureum

dapat meningkat sampai 150 mg/dL. Peningkatan kadar ureum lebih dari 300 mg dan

23

Page 24: forensik

kadar kreatinin lebih dari 10 mg, merupakan indikasi yang tidak meragukan lagi

adanya kegagalan ginjal/payah ginjal disertai dengan uremia1,14.

2.2.5. Potasium

Potassium adalah elemen kimia dengan symbol K, dengan nomor atom 19 dan

massa atom 39,098 v. Pada orang dewasa seberat 60 Kg, terdapat 120 gram

potassium14.

Ion potassium dibutuhkan oleh semua sel hidup untuk berfungsi, dapat

ditemukan di jaringan tumbuhan maupun jaringan hewan. Ion potassium terutama

terdapat didalam sel (intrasel)14.

Kation potassium (K+) sangat dibutuhkan untuk menjalankan fungsi neuron

(otak dan saraf), serta juga mempengaruhi keseimbangan osmotik antar sel dan cairan

interstisial, yang di mediasi oleh pompa Na-K-ATPase. Pompa ini menggunakan ATP

untuk mempompa 3 ion Na keluar sel dan 2 ion K masuk ke dalam sel untuk

menciptakan gradien elektrokimia pada membran sel14.

Perubahan permeabilitas sel saat postmortem paling baik diketahui dari kadar

ion Potasium di vitreus humor. Dalam beberapa dekade penggunaan kadar ion

Potasium menjadi indikator interval postmortem. Segera setelah kematian, ion

potassium bergerak melewati membran sel yang permeabel di retina menuju vitreus

humor. Kadar ion Potassium dapat bervariasi pada kedua bola mata, demikian pula

dalam satu bola mata kadarnya dapat bervariasi tergantung seberapa dekat sampel

diambil dari sel-sel retina. Kadar ion potassium ini juga dapat meningkat bila disertai

peningkatan suhu bila dibandingkan pengambilan pada suhu yang rendah11.

Potassium dalam vitreus humour dapat menjadi informasi yang berguna

selama 24 jam pertama setelah kematian. Menurut Medea peningkatannya dapat

mencapai 0,19 mmol/jam sementara Sturner menyatakan 0,14 mmol/jam. Ada dua

formula yang dapat digunakan untuk menentukan waktu kematian dari kadar

Potassium7:

24

Page 25: forensik

1. Sturner’s PMI (hours) = 7.14 x K concentration in mEq/L – 39.1

2. Medea and Henssge’s PMI (hours) = 5.26 x K concentration in mEq/L – 30.9

Tidak seperti Potassium, Sodium dan Klorida menurun kadarnya saat kematian.

2.2.6. Nitrogen

Saat postmortem akan terjadi perubahan kadar nitrogen dalam cairan

serebrospinal. Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan

kematian belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg%

menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10 mg%

masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30 jam11.

Setelah kematian, pH darah dan jaringan akan turun dikarenakan adanya

akumulasi CO2, glikogenolisis dan glikolisis, dengan akumulasi asam laktat dan

fosfor dan pemecahan dari asam amino dan asam lemak. Setelah 24 jam mulai

berubah dari alkalis, karena terbentuknya amonia dari pemecahan enzimatik proteinl

hal ini juga akan menyebabkan peningkatan konsentrasi non-protein nitrogen dalam

serum. Peningkatan non-protein nitrogen tersebut untuk 12 jam pertama adalah

sebesar 50 mg11.

2.2.7. Asam Sitrat

Asam sitrat merupakan asam organik lemah. Dalam biokimia, asam sitrat

dikenal sebagai senyawa antara dalam siklus asam sitrat yang terjadi di dalam

mitokondria, yang penting dalam metabolisme makhluk hidup15.

25

Page 26: forensik

Gambar 14: Struktur Kimia Asam Sitrat

Sifat Fisika dan Kimia

Rumus kimia C6H8O7, atau: CH2(COOH)-COH(COOH)-CH2(COOH)

Nama lain asam 2-hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat

Titik lebur 426 K (153 °C)

Temperatur penguraian

termal

448 K (175 °C)

pKa 3,15

Efek akut Menimbulkan iritasi kulit dan mata.

Efek kronik Tidak ada.

Keasaman asam sitrat didapatkan dari tiga gugus karboksil COOH yang dapat

melepas proton dalam larutan. Jika hal ini terjadi, ion yang dihasilkan adalah ion

sitrat. Sitrat sangat baik digunakan dalam larutan penyangga untuk mengendalikan

pH larutan. Ion sitrat dapat bereaksi dengan banyak ion logam membentuk garam

sitrat15.

Pada temperatur kamar, asam sitrat berbentuk serbuk kristal berwarna putih.

Serbuk kristal tersebut dapat berupa bentuk anhidrosa (bebas air), atau bentuk

monohidrat yang mengandung satu molekul air untuk setiap molekul asam sitrat.

26

Page 27: forensik

Bentuk anhidrosa asam sitrat mengkristal dalam air panas, sedangkan bentuk

monohidrat didapatkan dari kristalisasi asam sitrat dalam air dingin. Bentuk

monohidrat tersebut dapat diubah menjadi bentuk anhydrous dengan pemanasan di

atas 74 °C15.

Secara kimia, asam sitrat bersifat seperti asam karboksilat lainnya. Jika

dipanaskan di atas 175 °C, asam sitrat terurai dengan melepaskan karbon dioksida

dan air15.

Asam Sitrat dalam Tubuh Manusia

Sekitar 90 % asam sitrat dalam tubuh manusia berada dalam tulang. Asam

sitrat berperan dalam proses kalsifikasi, dimana asam sitrat bereaksi dengan kalsium

menjadi co-precipitated kalsium untuk membentuk kompleks kalsium dalam proses

deposisi16,17.

Asam Sitrat Postmortem

Asam sitrat dapat digunakan sebagai metode yang cukup akurat pada

pemeriksaan forensik untuk mengetahui waktu kematian.Karena zat ini terutama

terkandung dalam tulang,maka hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus dimana

terdapat tulang sebagai bahan pemeriksaan. Asam sitrat terdapat pada korteks tulang

manusia dan hewan dalam bentuk yang bervariasi dengan konsentrasi insial(2.0 ± 0.1

wt %). Konsentrasi sitrat pada tulang postmortem konstan selama 4 minggu,

kemudian menurun secara linear18.

2.2.8. Perubahan Enzimatik pada Kematian

Pada hasil pencarian dari literatur-literatur melalui sumber-

sumber media, didapatkan bahwa pada kematian juga terjadi

perubahan enzim-enzim dalam tubuh manusia paska kematian.

Adapun, enzim-enzim yang mengalami perubahan antara lain,

sebagai berikut19,20:

27

Page 28: forensik

a. Aspartat Aminotransferase

Fungsi dari aminotransferase atau transaminase, adalah

untuk memindahkan gugus amino yang telah ada sebelumnya, dari

satu asam amino ke asam amino lainnya. Ini terjadi saat sintesis

asam amino nonesensial atau pada degradasi asam amino. Fungsi

AST pada katabolisme asam amino yang melibatkan degradasi dari

makanan atau cadangan energi seperti karbohidrat, lipid, dan

protein ke bentuk energi yang dapat disimpan atau digunakan. AST

ditemukan pada jantung dan otot skelet, hepar, ginjal, eritrosit dan

jaringan otak, dan berguna untuk mengkatalisasi reaksi konversi

aspartat menjadi glutamat.

AST kini digunakan di dunia kedokteran sebagai indikator

kerusakan hati dan jantung karena infark otot jantung, proses

kematian dan karsinogenesis. Peningkatan dari kadar serum AST

mungkin terjadi karena kerusakan atau penyakit pada hati, jantung,

otot skelet, ginjal dan eritrosit karena infark otot jantung, hepatitis

virus, nekrosis hati, sirosis dan distrofia otot. Jumlah enzim yang

dilepaskan tergantung derajat kerusakan selular, konsentrasi

intraselular enzim dan massa jaringan yang dipengaruhi. Asal dari

gangguan (infeksi virus, hipoksia, trauma pembedahan atau

mekanis) tidak mempengaruhi pelepasan enzim ke sirkulasi.

Penyebab pelepasan enzim tersebut merefleksikan derajat

kerusakan organ. Kondisi ringan melpaskan enzim sitoplasma

sedangkan kondisi nekrotik melepaskan enzim mitokondria pula.

Pada kerusakan hati yang berat, kadar serum AST sangat tinggi

karena seluruh isoenzim terlepas. Eritrosis mengandung konsentrasi

AST yang tinggi, karena itu hemolisis dapat meningkatkan kadar

AST dalam darah pula.

28

Page 29: forensik

Pada keadaan postmortem, saat terjadi dekomposisi jaringan,

dengan terjadinya degradasi pada jaringan dan lisis sel maka akan

lebih banyak AST yang dilepaskan pada area yang secara langsung

mengelilingi jaringan tersebut. Enticknap pada penelitiannya tahun

1960 melaporkan peningkatan konsentrasi AST yang progresif

paska kematian, dan meningkat drastis dalam 60 jam pertama

paska kematian, sehingga memungkinkan untuk membantu

menentukan interval paska kematian.

b. Alkohol Dehidrogenase (ADH)

Enzim dehidrogenase adalah subkelas dari golongan

oxidoreduktase. Oxidoreduktase mengkatalisis reaksi reduksi

oksidasi sedangkan dehidrogenase mengkatalisis terutama oksidasi

dari alkohol menjadi aldehida. ADH berfungsi pada langkah pertama

dari metabolisme alkohol dengan mengoksidasi etanol menjadi

asetaldehide dan menghasilkan NADH, karena itu hanya ditemukan

pada hati dan hampir hanya terdapat pada sitosol sel parenkim

hati. Ada 3 famili dari aktivitas ADH, salah satunya ditemukan pada

mamalia. Famili ini dikenal sebagai ADH rantai sedang dan rantai

panjang, yang mana kemudian dipecah menjadi 6 kelas yang diberi

kode dari 7 hingga 11 gen dan menghasilkan setidaknya 20

isoenzim yang berbeda. Masing-masing dari isoenzim tersebut telah

ditemukan pada jaringan manusia.

Aktivitas ADH pada hepar secara luas dikenal sebagai proses

utama dengan membuang etanol dari sirkulasi. Karena banyak

asetat yang dibuat dari etanol lepas dari hati ke darah, implikasi

diagnostiknya ialah dengan mendeteksi kadar etanol dalam sirkulasi

29

Page 30: forensik

darah pada kasus intoksikasi etanol, sebagaimanapula pada kasus

keracunan alkohol.

Suatu analisis statistik oleh Briglia dkk. (1992) tidak

menemukan perbedaan signifikan antara lokasi-lokasi tertentu yang

diambil darah untuk pemeriksaan alkohol. Etanol secara alami

terdapat dalam konsentrasi yang rendah pada mamalia karena

fermentasi dari flora gastrointestinal dan produksi endogen,

terutama oleh hati. Produksi alkohol endogen dapat mengakibatkan

peningkatan konsentrasi pada darah setinggi 0.15% pada kasus

tertentu. Pembentukan asetaldehide yang berhubungan dengan

kadar protein pada hati dan darah peminum alkohol dapat berfungsi

untuk memberi petunjuk pada deteksi riwayat alkoholisme.

Tidak ada penelitian yang dapat ditemukan membahas

tentang kadar ADH postmortem dengan implikasi penentuan

interval kematian. Jetter dan Mc Lean (1942) menyatakan bahwa

konsentrasi alkohol pada darah, otak dan urin dapat ditentukan,

kemudian muncul kemungkinan untuk mengasumsikan bahwa

terdapatnya peningkatan konsentrasi ADH pada saat kematian

dapat menjadi suatu indikator kematian. Ekspresi ADH dikendalikan

oleh suatu mekanisme regulasi tertentu, namun fisiologi terjadinya

mekanisme tersebut masih sukar untuk dijelaskan.

c. Kreatin kinase (KK)

Kinase ialah golongan enzim yang mengkatalisis transfer dari

gugus fosfat dari ATP atau nukleosida trifosfat lainnya ke gugus

alkohol atau amino. KK mengkatalisis transfer fosfat dari ATP ke

kreatin untuk membentuk fosfokreatin. KK memiliki 2 isoenzim

yamg terdapat pada jantung dan otot skelet, dan yang berada pada

30

Page 31: forensik

otak. Jika proses metabolik cukup untuk mengejar kebutuhan energi

suatu organisme, sistem creatin fosfokinase berfungsi sebagai

penyeimbang untuk menjaga kadar ATP pada tingkat seluler. Ketika

permintaan tiba-tiba akan energi menghabiskan ATP, fosfokreatin

berfungsi sebagai sumber gugus fosfat untuk mebuat ATP,

membantu menstimulasi respirasi ketika aktivitas otot meningkat.

Peningkatan kadar KK dihubungkan dengan infark otot

jantung, dan menjadi nyata pada 4 – 6 jam setelah onset nyeri data,

dan memuncak 18 – 30 jam, dan bertahan hingga 10 hari. KK bocor

dari sel jantung yang rusak dan merupakan enzim yang pertama

muncul dalam darah setelah Infark miokardial. Kadar KK diatas

kadar normal juga dihubungkan dengan insiden distrofia otot,

hipotiroidisme, penyakit hati, anemia pernisiosa, infark paru, dan

penyakit serebrovaskular akut. Jetter dan Mc Lean pada tahun 1942

mengatakan bahwa sejumlah kecil kreatin terdapat pada urin anak-

anak dan kadang di urin wanita dewasa normal, namun kadar yang

tinggi mengindikasikan pemecahan jaringan tubuh pada kasus

seperti kelaparan, diabetes, goiter, demam, aktivitas otot dan

sebagainya. Mereka juga menyebutkan bahwa kreatin tidak

terbentuk pada urin setelah kematian sebagai akibat dari proses

postmortem.

Bollinger dan Carrodus pada 1938 menjadi yang pertama

untuk mengobservasi peningkatan serum kreatinin pada periode

paska kematian. Naumann dan Karkela kemudian mendukung hasil

penelitian tersebut dengan temuan yang sama pada cairan

serebrospinal. Naumann menyebutkan bahwa, walaupun ada

korelasi yang “kasar” antara peningkatan kadar kreatinin dengan

interval postmortem hingga pada jam ke 10 setelah kematian,

31

Page 32: forensik

variasi pada kasus individu menunjukkan bahwa reaksi enzimatik

tidak tergantung pada waktu saja, dan karena itu sulit digunakan

untuk mengestimasikan secara akurat tentang waktu kematian.

d. Laktat Dehidrogenase

Peran LDH pada metabolisme ialah untuk mengkatalisis tahap

akhir dari glikolisis dalam kondisi anaerob untuk menghasilkan

NAD+ untuk proses glikolisis. Piruvat direduksi untuk L-Laktat dan

NADH dioksidasi untuk NAD+. LDH juga berperan tahap pertama

proses glukoneogenesis dengan mengkonversi laktat kembali

menjadi piruvat. LDH ditemukan pada otot skelet dan otot jantung,

hepar, ginjal, eritrosit, pankreas dan paru-paru. LDH ialah suatu

enzim tetramer yang mengandung 2 subunit yang berbeda yang

mana ditandai H untuk jantung, dan M untuk otot. 2 subunit

berbeda ini digabungkan dalam 5 cara yang berbeda dan diberi

angka LDH1 hingga LDH5. Peningkatan kadar setiap isoenzim

tersebut mengindikasikan gangguan tertentu: infark miokard, infark

korteks renal, anemia pernisiosa, hemolisis, distrofi otot stadium

lanjut (LDH 1 dan LDH 2, sering LDH1 > LDH2), penyakit hati,

kerusakan otot skelet dan kanker tertentu (LDH5), beberapa proses

neoplastik, kelainan limfoproliferatif dan kelainan terkait trombosit

(peningkatan LDH3, sering LDH3 > LDH2), infark paru (LDH2 dan

LDH3), dan kerusakan jaringan yang luas (peningkatan seluruh

isoenzim).

Enticknap pada tahun 1960 menemukan pola peningkatan

pada aktivitas LDH dalam 60 jam setelah kematian. Dia

merumuskan hal tersebut dalam perhitungan Wrobleski unit dari

LDH:

32

Page 33: forensik

Wrobleski unit LDH/1000 = 2.69 + 0.24 (waktu setelah

kematian dalam jam)

Dia menemukan bahwa akumulasi LDH pada kadaver dalam 3

fase, dimulai dengan peningkatan cepat pada beberapa jam

pertama, kemudian melambat dan biasanya bersifat linear hing 2 –

3 hari kematian, dan terakhir memuncak pada hari ke 4

postmortem.

Schleyer pada tahun 1963 kemudian menambahkan tentang

sel darah merah merupakan sumber utama dari LDH serum, dan

peningkatan yang terjadi pada periode postmortem semestinya

berhubungan dengan otolisa eritrosit. Karkela pada tahun 1993

mempelajari perubahan postmortem pada LDH di cairan cisterna,

dan menyimpulkan bahwa aktivitas total LDH meningkat secara

linear dan signifikan secara statistik setelah kematian dan bahwa

pembekuan dan penyimpanan sampel dapat mengurangi aktivitas

LDH.

e. Fosfatase Alkali

Naumann menunjukkan bahwa kadar fosfatase alkali

mencapai mean konsentrasi 5.3 unit Bodansky pada 14 kasus 10,5

jam setelah kematian (antemortem normat berkisar 1.5 – 4 unit

Bodansky). Enticknap menggunakan King Armstrong unit dan

menunjukkan bahwa konsentrasi meningkat dari 8 kA sesaat

setelah kematian hingga 40 unit kA setelah 30 jam dan kemudian

memuncak pada 40 jam setelah kematian sebesar 70 kA dan

kemudian mengalami penurunan. Coe berpendapat bahwa

konsentrasi fosfatase alkali hampir 2 kali dan pada 8 jam paska

kematian dan 3 kali pada 18 jam paska kematian.

33

Page 34: forensik

f. Amilase

Enticknap mendemonstrasikan bahwa kadar amilase setelah

kematian mengalami peningkatan yang bersifat bifasik; Amilase

meningkat dari 100 Somoghiunit segera setelah kematian hingga

350 unit 6 jam setelah kematian, dan kemudian menurun hingga

150 unit setelah 30 jan dan kemudian mengalami peningkatan

dengan puncak lebih dari 350 unit 40 jam setelah kematian dan

kemudian menurun hingga 200 unit setelah 50 jam kematian.

Reddy melaporkan peningkatan 3 hingga 4 kali pada kadar amilase

serum, pada hari kedua setelah kematian.

g. Fosfoglutamutase

Dixit PC dkk mempelajari hubungan antara fosfoglutamutase pada darah

postmortem dihubungkan dengan waktu dan penyebab kematian. Mereka

menyimpulkan bahwa estimasi waktu kematian tergantung pada banyak faktor,

termasuk kondisi lingkungan.

h. Stabilitas Enzim setelah Kematian

Secara umum, adalah terbaik untuk melakukan enzyme assay dalam jangka waktu 4

jam dari waktu pengambilan darah. Seluruh enzim dapat disimpat semalaman dalam

suhu 0 – 4 oC. Fosfatase Asam hendaknya tidak disimpan dalam suhu ruangan.

Aldolase dan Alanin Aminotransferase bersifat tidak stabil bila dibekukan pada -

250C, tetapi tidak mengalami kerusakan pada suhu 4oC.

2.2.8. Aspek Biokimia pada Proses Pembusukan/Putrefaksi

Proses pembusukan manusia dimulai sejak kurang lebih 4

menit setelah kematian terjadi. Onset pembusukan dimulai oleh

34

Page 35: forensik

proses yang disebut autolysis atau self digestion. Ketika sel-sel

tubuh kekurangan oksigen. Maka kadar karbon dioksida di darah

akan meningkat, yang diikuti peningkatan pH dan penumpukan

hasil samping metabolism yang dapat ‘meracuni’ sel. Secara

bersamaan, enzim-enzim seluler seperti lipase, protease, amylase,

mulai melarutkan sel-sel dari dalam keluar, yang menyebabkan sel

menjadi rupture dan melepaskan cairan yang kaya akan nutrient.

Proses ini dimulai dan berlanjut secara cepat pada jaringan yang

memiliki kadar enzim yang tinggi seperti hati, dan kadar air yang

tinggi seperti otak, namun secara umum proses ini berlangsung

pada seluruh sel di tubuh. Setelah sekian jumlah sel ruptur dan

cairan kaya nutrisi tersedia, maka akan dimulai proses yang disebut

putrefaksi4.

Putrefaksi adalah penghancuran jaringan lunak dari tubuh

oleh akibat kerja mikro-organisme (bakteri, jamur dan protozoa)

yang menyebabkan terjadinya katabolisme jaringan menjadi gas,

cairan dan molekul sederhana. Tanda pertama dari putrefaksi yang

muncul adalah perubahan warna kehijauan pada kulit karena

adanya pembentukan sulfahaemoglobin pada darah. Jika proses ini

berlanjut maka akan terjadi pembentukan berbagai gas (hydrogen

sulfide, karbon dioksida, methane, ammonia, sulfur dioksida, dan

hidrogen) yang terjadi terutama di usus besar. Hal ini terjadi

berhubungan dengan adanya proses fermentasi anaerobik yang

terutama terjadi pada usus, dengan hasil samping berupa volatile

fatty acids, terutama butyric dan propionic acid. Akumulasi gas dan

cairan pada intestinal menyebabkan penumpukan pada rektum,

namun penumpukan yang cepat dan banyak dapat menyebabkan

kulit robek dan menimbulkan post-mortem injuries tambahan.

35

Page 36: forensik

Setelah proses pengeluaran gas akibat putrefaksi terjadi, maka

proses pembusukan aktif dimulai4.

Dekomposisi lanjut dari lemak dan protein menghasilkan

phenolic compounds (2-methylindole atau skatole, putrescine,

cadaverine)dan gliserol. Pada saat ini, elektrolit secara cepat

merembes keluar tubuh, kedua bakteri aerob dan anaerob berada

pada jumlah besar, aktivitas serangga, dan karnivora, berperan

aktif dalam proses pembusukan. Putrefaksi juga menghasilkan

senyawa amines seperti putrescine dan cadaverin21.

Amines sendiri adalah salah satu derivate ammonia, dimana

satu atau lebih atom hydrogen pada ikatan digantikan dengan grup

alkil atau aryl. Pada proses dekomposisi, amines yang dihasilkan

adalah putrescine dan cadaverin21.

Putrescine adalah zat kimia organic dengan bau yang tidak

sedap dengan rumus bangun N H 2(CH2)4NH2 (1,4-diaminobutane

atau butanediamine). Zat ini yang bertanggung jawab menimbulkan

bau busuk pada proses pembusukan setelah kematian, juga

berkontribusi terhadap bau pada halitosis dan vaginosis bacterial21.

Gambar 14 : Putrescine

Cadaverin merupakan zat dengan bau busuk juga yang

diproduksi dari hidrolisis protein sewaktu terjadi putrefaksi dari

jaringan. Cadaverine merupakan diamine toksik dengan rumus

36

Page 37: forensik

bangun NH2(CH2)5NH2 , dengan nama lain 1,5-pentanediamine

dan pentamethylenediamine21.

Gambar 15 : Cadaverin

2.3. Pemeriksaan Laboratorium

Seperti telah dijelaskan di atas, ada banyak senyawa biokimia

yang dihasilkan dalam proses kematian, mulai dari elektrolit, enzim-

enzim, maupun senyawa lainnya. Adanya senyawa tersebut yang

terdeteksi dapat berhubungan dengan pemeriksaan forensik, yang

salah satunya ialah pemeriksaan untuk mengetahui waktu

kematian. Hal ini pun sebenarnya masih banyak diteliti di berbagai

pusat penelitian kedokteran forensik. Adapun, dari hasil pencarian

literatur yang penulis lakukan melalui berbagai sumber, peran

pemeriksaan zat-zat yang terbentuk pada proses kematian di

laboratorium untuk kepentingan forensik antara lain sebagai

berikut:

a. Tes Microchemical Inorganic Ion

Meskipun telah ada instrumen analitik canggih untuk

mengidentifikasi material yang dicurigai mengandung

microchemical, namun tes laboratorium dengan mikroskop masih

sering dilakukan karena sederhana, murah, cepat dan reliable.

Hampir semua tes kimiawi dengan analisis kualitatif menggunakan

slide mikroskop untuk pemeriksaannya. Pada prinsipnya

microchemical tes terdiri dari 6 langkah utama yaitu22:

37

Page 38: forensik

1. Reagent Mixing

Merupakan pencampuran sampel tes dengan reagennya di slide

mikroskop

2. Solubility

Menambahkan air atau pelarut lain yang dibutuhkan

3. Evaporasi

Memanaskan slide mikroskop di atas api

4. Dekantasi

Memisahkan dan dipanaskan presipitat dari pelarut dengan

menggunakan microspatula

5. Sublimasi

Merupakan perubahan dari bentuk solid ke gas tanpa melalui

bentuk cair. Sublimasi akan terjadi setelah proses pemanasan

yang akan menghasilkan formasi kristal

6. Fusi

Pada proses ini sampel dicampur dengan agent yang membuat

Kristal berwarna.

b. Pemeriksaan Humor Vitreus

Pemeriksaan potasium dilakukan melalui cairan vitreus. Cara

pengambilan humor vitreus tidaklah sulit, yaitu dengan mengambil

2 ml dari tiap mata dengan jarum lunak no. 20. Sering didapati

perbedaan kadar potasium antara mata kiri dan mata kanan dalam

satu individu. Selain itu bila aspirasi dilakukan secara paksa atau

terlalu dekat dengan retina dapat mengubah nilai dari hasil

pemeriksaan oleh karena potassium mencapai vitreus dengan jalan

38

Page 39: forensik

menembus retina. Pengaruh suhu juga masih menjadi perdebatan

yang penting23.

Elektrolit lain yang dapat diperiksa dari humor vitreus ialah

konsentrasi sodium dan klorida, dimana konsentrasi elektrolit-

elektrolit ini mengalami penurunan sesudah kematian, dan ini dapat

digunakan untk memeriksa reabilitasnya satu sama lain, misalnya

kadar potassium adalah < 15 mmol/l maka kadar sodium dan

klorida dapat diperkirakan, dimana penurunan klorida kurang dari 1

mmol/l/jam dan sodium adalah 0.9 mmol/l/jam, sehingga penurunan

sodium disini tidak signifikan pada beberapa jam pertama, berbeda

dengan potassium yang peningkatannya terjadi secara bermakna.

Sturner menemukan cara pengukuran yang paling populer dalam

penentuan potassium vitreus untuk penentuan saat mati dengan

menggunakan rumus23:

7.14 x konsentrasi potassium (mEq/L) – 3.91

Hasilnya akan lebih memuaskan apabila tubuh diletakkan

pada temperatur yang stabil dan tidak lebih dari 10oC. Sturner dan

Gantner mengemukakan sejauh masih menyangkut kematian yang

sifatnya mendadak atau yang tidak diharapkan, dikuatirkan akan

terdapat hubungan yang linier aritmetrik antara potassium dalam

vitreus juga interval postmortem yang melebihi 100 jam akan

terdapat standard error 4 – 7 jam. Jadi penggunaan metoda ini

sangat berguna pada kasus dimana interval postmortem tidak lebih

dari 24 jam – 36 jam pertama sesudah kematian. Pada neonatus,

kadar potassium ini akan meningkat lebih cepat dari pada dewasa

walaupun keduanya dipengaruhi temperatur postmortem23.

39

Page 40: forensik

Tehnik analisa yang digunakan untuk menentukan potassium

sering memberi hasil yang berbeda pula, sebagai contoh Coe pada

tahun 1985 mengatakan bahwa penggunaan metode flame

fotometrik memberikan nilai 5 mmol/l kurang untuk sodium, 7

mmol/l kurang untuk potassium dan 10 mmol/l kurang untuk klorida

bila dibandingkan dengan pemeriksaan denga menggunakan

metode spesifik elektrode modern. Pada orang yang mengalami

saat mati yang lama seperti pada penyakit-penyakit kronis dengan

retensi nitrogen memberi hasil yang berbeda bila dibandingkan

dengan kematian mendadak. Agaknya gangguan elektrolit

premortal pada pasien juga mempengaruhi hasil pemeriksaan. Hasil

dari pemeriksaan dengan menggunakan flame fotometri dalam

mmol/l bila sodium > 155, klorida > 135 dan urea > 40 ini

dipercaya sebagai indikasi dehidrasi antemortem23.

Bila sodium dan klorida adalah normal, tetapi urea 150, maka

diagnosis uremia dapat dipertimbangkan. Angka ini berbeda dengan

dekomposisi postmortem dimana konsentrasi sodium adalah < 130,

klorida < 105 dan potassium > 20. Problem umum yang sering

ditemukan dalam otopsi adalah mendiagnosa diabetes yang tidak

terkontrol dan hipoglikemia, glukosa pada cairan vitreus biasanya

turun setelah kematian dan akan mencapai angka nol dalam

beberapa jam. Coe pada tahun 1973 melakukan 6000 analisa, dan

dia mendapatkan glukosa vitreus kurang dari 11.1 mmol/l adalah

indikator yang tidak variabel dari diabetes ringan antemortem,

tetapi berapapun konsentrasinya interpretasi ini tidak memiliki

reliabilitas yang cukup untuk dapat digunakan sebagai pegangan.

Pada hipotermia juga terdapat peningkatan glukosa vitreus, tetapi

tidak lebih besar dari 11.1 mmol/L23.

40

Page 41: forensik

c. Pemeriksaan Enzim (Enzim Assay)

Telah diutarakan sebelumnya, bahwa pemeriksaan enzim juga

sedang diteliti penggunaannya untuk penentuan waktu kematian.

Namun bukti yang didasarkan pada studi-studi eksperimental masih

banyak yang bersifat kontroversial tentang kepentingan

pemeriksaan enzim dalam penentuan waktu kematian. Karly Laine

Buras pada tahun 2006 pada thesis yang dibuatnya menyatakan

bahwa dalam penelitian yang dilakukannya terhadap 4 enzim,

antara lain AST, Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase dan Alkohol

Dehidrogenase, dihasilkan suatu kesimpulan bahwa keempat enzim

tersebut tidak memiliki reliabilitas yang cukup untuk menjadi

indikator interval post mortem. Hal ini terkait properti biologis

enzim yang mana sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,

misalnya suhu (pemanasan dan pembekuan), aktivitas antemortem,

penyakit penyerta dan sebagainya. Selain itu, cara penyimpanan

sampel, cara pengambilan sampel dan saat pengambilan sampel

juga mempengaruhi hasil pemeriksaan. Hal-hal tersebut diatas

dapat menjadi suatu faktor perancu (confounding factors) dalam

pemeriksaan enzim19,20.

Memang sudah terdapat beberapa penelitian dari abad ke –

19 tentang fungsi enzim untuk menentukan waktu kematian,

namun terjadi beberapa pertentangan. Pertentangan terjadi karena

pemilihan sampel untuk penelitian berbeda satu dengan penelitian

lain yang mana dimaksudkan disini ialah hewan karena penelitian

enzimatik tersebut dilakukan terhadap jenazah hewan yang

dianggap representatif terhadap manusia, dan populasi studi

menginklusikan jumlah sampel yang berbeda satu sama lain yang

41

Page 42: forensik

mana sampel yang digunakan, sehingga perlu adanya suatu

penelitian yang multisentris sehingga dapat dicapai suatu

kesimpulan akhir yang dapat diterapkan secara umum dalam

lingkup ilmu kedokteran forensik19,20.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Adapun, dari karya tulis ini, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai

berikut:

Dalam proses kematian yang terdiri atas proses yang kompleks

terdapat perubahan sejumlah senyawa seperti hidrogen sulfide,

nitrogen, ureum, kreatinin, Potassium, enzim-enzim dan senyawa

lainnya yang mana masing-masing memiliki pola perubahan

yang spesifik berbanding dengan waktu.

Dari senyawa-senyawa yang dihasilkan paska proses kematian,

ada beberapa zat yang digunakan secara forensik untuk

memperkirakan interval postmortem, antara lain Potassium,

elektrolit lainnya dan enzim, namun masih terdapat kontroversi

42

Page 43: forensik

antar pusat yang berbeda karena zat-zat tersebut dipengaruhi

oleh sejumlah variabel perancu.

3.2. Saran

Saran yang dapat penulis berikan setelah pembuatan dari karya

ilmiah ini ialah sebagai berikut:

Pemeriksaan laboratorium forensik untuk mendeteksi zat-zat

yang berhubungan dengan proses kematian dan perannya dalam

menentukan interval kematian masih harus diteliti lebih lanjut

lagi dengan populasi sampel yang lebih representatif dan

bersifat multisentris sehingga dapat dicapai suatu standard baku

dalam mendeteksi interval kematian secara laboratorium.

Makna zat-zat yang terbentuk dalam proses kematian secara

klinis di bidang keilmuan Forensik masih harus diteliti lebih jauh

lagi untuk memperkaya bidang keilmuan Forensik terutama di

cabang Thanatochemistry.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sofwan D. Ilmu Kedokteran Forensik, Pedoman Bagi Dokter dan Penegak

Hukum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. Cetakan VI :

2008.

2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, et. al, Ilmu Kedokteran

Forensik. Edisi ke I. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 1997.

43

Page 44: forensik

3. Kala M, Chudzikiewicz E. The Influence of Post-Mortem Changes in

Biological Material on Interpretation of Toxicological Analysis Results.

Problems of Forensic Sciences. Vol. LIV, 2003: 32 – 59.

4. Robison R. Thanatochemistry and Forensic Entomology: The Chemical

Interaction between Decomposing Organisms and Insects. Diunduh dari :

http://www.colostate.edu/Depts/Entomology/courses/en570/papers_2010/

robison.pdf [diakses tanggal 29 Maret 2011].

5. Arif RS. Thanatologi. Dalam: Abraham S, Arif RS, Bambang PN, dkk. Tanya

Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi ke 2 Cetakan 1. Semarang : Bagian

Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro. Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2010.

6. Dix J, Graham M. Time of Death, Decomposition and Identification: an Atlas.

Boca Raton: CRC Press LCC; 2000.

7. Goff ML. Early post-mortem changes and stages of decomposition in exposed

cadavers. Exp Appl Acarol 2009;49:21–36

8. Gadalla MM, Snyder SH. Hydrogen sulfide as gasotransmitter. J. Neurochem

2010;113:14–26.

9. Cox WA. Early Postmortem Changes and Time of Death. Diunduh dari :

http://forensicmd.files.wordpress.com/2009/12/early-postmortem-changes.pdf

[diakses tanggal 29 Maret 2011].

10. Cox WA. Late Postmortem Changes/Decomposition. Diunduh dari :

http://forensicmd.files.wordpress.com/2010/02/late-postmortem-changes.doc

[diakses tanggal 29 Maret 2011].

11. Dimaio VJ, Dimaio D.2001. Forensic Pathology Second Edition. Florida:

CRC Press LLC

12. Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Harper's Illustrated Biochemistry

27th Edition. New York: McGraw-Hill Companies; 2006.

13. Hess C, Musshoff F, Madea B. Disorders of glucose metabolism–post mortem

analyses in forensic cases: part I. Int J Legal Med 2011;125:163–70.

44

Page 45: forensik

14. Idries, AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Jakarta:

Binarupa Aksara; 1997 hlm. 74 – 77.

15. Anonim. Potassium. Wikipedia, free encyclopedia. Diunduh dari:

http://en.wikipedia.org/wiki/ Potassium [diakses tanggal 4 April 2011].

16. Anonim. Citric acid. Wikipedia, free encyclopedia,updated 8 March 2011.

Diunduh dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Citric_acid [diakses tanggal 4

April 2011].

17. Dixon F, Perkins HR. Citric Acid and Bone Metabolism. London: Institute of

Orthopaedics; 1952. Diunduh dari :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1197978/pdf/biochemj00901-

0115.pdf [diakses 4 April 2011].

18. Schwarcz HP, Agur K, Jantz LM. 2010. A new method for determination of

postmortem interval: citrate content of bone. Forensic Sci. 2010

Nov;55(6):1516-22. Available

from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20681964

19. Buras KL. Are Enzymes Accurate Indicators of Postmortem Interval ? : A

Biochemical Analysis. Lousiana : Department of Geography and

Anthropology; 2006.

20. Garg SP, Garg V. Serum Enzymes Changes after Death and Its Correlation

with Time Since Death. J Indian Acad Forensic Med, 32 (4).

21. McMurry JE. (1992), Organic Chemistry (3rd ed.), Belmont:

Wadsworth, ISBN 0-534-16218-5

22. PW Barbara, JW Lori. Practical forensic microscopy: a

laboratory manual. Singapore: Wiley Blackwell; 2008.

23. Basbeth F. Perkiraan Saat Mati : Perkiraan Saat Mati dan

Aspek Medikolegalnya. Diunduh dari:

http://www.freewebs.com/forensicpathology/index.htm

[diakses : 4 April 2011].

45

Page 46: forensik

46