forensik
-
Upload
yulius-andi-ruslim -
Category
Documents
-
view
233 -
download
9
description
Transcript of forensik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ilmu Kedokteran Forensik adalah salah satu cabang
spesialistik dari ilmu kedokteran yang mempelajari pemanfaatan
ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta
keadilan1,2. Ilmu Kedokteran Forensik memiliki cakupan keilmuan
yang terbagi atas berbagai bidang, salah satunya Tanatologi.
Tanatologi ialah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang
mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah
kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut1,2.
Kematian dari suatu organisme terjadi setelah fungsi ketiga
sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf pusat, sistem
kardiovaskular, dan sistem respirasi terhenti, yang dikenal dengan
istilah mati somatik1. Setelah terjadinya kematian, proses
dekomposisi akan dimulai. Proses dekomposisi terdiri dari
pemecahan dari jaringan organisme menjadi bentuk yang lebih
sederhana3. Dalam serangkaian proses kematian tersebut, terjadi
perubahan-perubahan kimiawi yang mengakibatkan pelepasan dari
berbagai macam zat kimia seperti volatile organic compounds
(VOC), maupun ninhydrin reactive nitrogen (NRN) dan lain
sebagainya3. Salah satu kepentingan dari penelusuran dari zat – zat
kimiawi tersebut ialah sebagai pemeriksaan penunjang dalam suatu
prosedur pemeriksaan forensik. Istilah yang digunakan sejak tahun
1980 untuk bidang keilmuan yang mempelajari zat-zat kimiawi yang
terbentuk pada proses kematian disebut dengan istilah
Thanatochemistry4.
1
Investigasi atas perubahan-perubahan post-mortem terhadap
materi-materi biologis telah dilakukan di institusi-institusi penelitian
Kedokteran Forensik hingga sekitar 40 tahun. Penelitian-penelitian
tersebut mencakup spektrum aspek yang luas. Hal-hal yang telah
diteliti antara lain karakteristik fisiko-kimiawi dari materi biologis
pembusukan, kondisi dari proses pembusukan yang mempengaruhi
pembentukan substansi toksik, terutama etanol, n-butanol,
karboksihaemoglobin dan sianida, proses pembusukan dari
substansi endogen, proses degradasi dari substansi eksogen, dan
peran materi biologis pembusukan terhadap metode deteksi dan
isolasi materi toksik3,4.
Atas dasar ketertarikan akan proses kimiawi kompleks yang
terjadi saat kematian dan potensi zat kimiawi yang ditimbulkan,
maka dibuatlah karya tulis ini. Karya tulis ini akan banyak
membahas tentang zat-zat kimia yang terbentuk dalam proses
kematian, dan pengaruhnya pada hasil pemeriksaan forensik,
terutama pada pemeriksaan laboratorium forensik.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dapat penulis rumuskan dalam penulisan
referat ini, antara lain sebagai berikut:
1. Apa sajakah zat-zat kimia organik yang terbentuk pada proses
kematian ?
2. Apa hubungan antara zat-zat kimia yang terbentuk pada proses
kematian dengan pemeriksaan forensik, terutama pada
pemeriksaan laboratorium forensik ?
2
3. Bagaimanakah hubungan antara tanda-tanda kematian dengan
senyawa-senyawa kimia organik yang terbentuk pada saat
kematian ?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini, antara lain sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan senyawa-senyawa yang terbentuk pada proses
kematian.
2. Menjelaskan hubungan antara zat-zat kimia yang terbentuk pada
proses kematian dengan pemeriksaan forensik, terutama pada
pemeriksaan laboratorium forensik.
3. Menjelaskan hubungan antara terbentuknya tanda-tanda
kematian dengan senyawa-senyawa kimia organik yang
terbentuk pada saat kematian.
1.4. Manfaat Penulisan
Secara teoritis hasil penulisan referat ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan bagi perkembangan kajian ilmu
pengetahuan, menambah dan melengkapi karya ilmiah serta
memberikan kontribusi pemikiran tentang korelasi antara zat-zat
yang dihasilkan pada proses kematian dalam pemeriksaan
laboratorium forensik.
Secara praktis hasil dari penulisan referat ini diharapkan dapat
digunakan untuk dapat membangun perkembangan dari ilmu
3
forensik dan berguna bagi pihak dokter dan spesialistik di bidang
keilmuan tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Proses Kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal pada seseorang berupa tanda
kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan tersebut dapat
4
terjadi dini (setelah meninggal atau beberapa menit setelahnya) dan lanjut (beberapa
waktu setelah meninggal) atau yang disebut sebagai tanda-tanda pasti kematian2.
Beberapa perubahan dini kematian yang dapat timbul adalah pernapasan dan
sirkulasi yang berhenti bekerja, kulit pucat, tonus otot menghilang dan relaksasi,
pembuluh darah retina mengalami segmentasi, dan pengeringan kornea2. Sedangkan
perubahan lanjut adalah livor mortis (lebam mayat), rigor mortis (kaku mayat),
perubahan suhu (algor mortis), dan dekomposisi1.
2.1.1. Perubahan Dini Kematian
Adapun perubahan dini kematian antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut5:
Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap komando/perintah,
taktil dan sebagainya.
Tidak ada gerakan otot serta postur, postur dengan catatan pasien tidak sedang
berada dibawah pengaruh obat-obatan kurare.
Tidak ada reflek pupil.
Tidak ada reflek kornea.
Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan.
Tidak ada reflek menelan atau batuk ketika tuba endotrakeal didorong ke dalam.
Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es yang dimasukkan
ke dalam lubang telinga.
Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukup lama
walaupun pCO2 sudah melampaui nilai ambang rangsangan napas (50 torr)
2.1.2. Perubahan Lanjut Kematian
Sedangkan perubahan lanjut kematian, dapat dilihat dari tanda-tanda pasti
kematian yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Livor Mortis
Livor mortis adalah perubahan warna dari tubuh yang muncul yang muncul
karena darah tidak lagi dipompa ke seluruh tubuh oleh jantung, melainkan hanya
dipengaruhi oleh gaya gravitasi6. Livor mortis muncul kira-kira 1 jam setelah
5
kematian6, terkadang dapat muncul dalam 20-30 menit1,2. Intensitas perubahan warna
ini akan semakin meningkat dan terfiksasi sempurna dalam 8-12 jam1,2. Sebelum 8-12
jam darah masih akan dapat berubah posisi sesuai gravitasi, namun setelah itu darah
tidak akan dapat berpindah tempat lagi1,2,6. Fenomena livor mortis tidak akan terjadi
pada bagian tubuh yang tertekan, dikarenakan tertutupnya pembuluh darah pada
daerah penekanan6.
Warna pada livor mortis normal adalah merah keunguan, tetapi pada beberapa
keadaan khusus, warna ini dapat berubah1. Pada pasien anemis, warna livor mortis
lebih muda dikarenakan sedikitnya hemoglobin dalam pembuluh darah6. Pada
keracunan karbonmonooksida (CO) dan sianida (CN), warna livor mortis adalah
merah cerah1,2. Pada keracunan anilin, nitrat, sulfonal, warna livor mortis adalah
kecoklatan2.
Livor mortis perlu dibedakan dengan hematoma (karena trauma). Cara paling
mudah untuk membedakan keduanya adalah dengan melakukan sayatan pada kulit,
kemudian disiram dengan air. Livor mortis akan hilang atau bertambah pucat setelah
penyiraman, sedangkan pada hematoma tidak menghilang1,2,6.
Gambar 1: Livor mortis
b. Rigor Mortis
Setelah kematian, terjadi perubahan dalam kelenturan otot manusia. Pada
awalnya tubuh akan menjadi lemas (flaccid) setelah mati. Dalam 1-3 jam setelah
6
kematian, otot menjadi kaku (rigid) dan sendi tidak dapat digerakkan (freeze) karena
proses yang dikenal sebagai rigor mortis6. Dalam 1-3 jam pertama, kelenturan otot
dipertahankan oleh adanya cadangan glikogen dalam otot. Energi yang dihasilkan
dari pemecahan glikogen berfungsi mengubah adenosine diphosphate (ADP) menjadi
adenosine triphosphate (ATP) yang menjaga serabut aktin dan miosin tetap lentur1,2.
Pemecahan glikogen yang terjadi dalam proses ini terjadi secara anaerob karena tidak
adanya oksigen, menghasilkan produk sisa asam laktat yang akan menurunkan pH
tubuh7. Setelah cadangan glikogen habis, terjadi penguncian jembatan kimia antara
aktin dan miosin yang menyebabkan kekakuan pada otot dan sendi6.
Rigor mortis terjadi dengan pola tertentu. Kekakuan terjadi secara berurutan
mulai dari sendi yang terkecil sampai sendi yang terbesar. Kekakuan biasanya mulai
terjadi mulai dari jari-jari, kemudian siku, dan diakhiri lutut. Tubuh telah kaku
seluruhnya apabila sendi jari, siku, dan lutut tidak dapat digerakkan. Rigor mortis
komplit biasanya terbentuk pada 10-12 jam paska kematian dalam suhu 70-75oF, dan
bertahan sampai 24-36 jam paska kematian sampai dimulainya proses dekomposisi6.
Beberapa hal dapat mempengaruhi kekuatan serta kecepatan timbulnya rigor
mortis. Kekuatan rigor mortis sangat bergantung pada massa otot yang dimiliki
seseorang. Laki-laki umumnya mempunyai rigor mortis yang lebih kuat daripada
perempuan karena massa otot yang lebih besar. Bayi memiliki rigor mortis yang
buruk karena massa otot yang kecil. Kecepatan timbulnya rigor mortis bergantung
pada suhu lingkungan (semakin tinggi semakin cepat), suhu internal (semakin tinggi
semakin cepat), aktivitas otot sebelum mati (semakin banyak semakin cepat), umur
(anak-anak lebih cepat)1,2,6.
7
Gambar 2: Rigor mortis
c. Algor Mortis
Setelah mati, suhu tubuh akan mencapai equilibrium dengan
lingkungan sekitarnya. Proses ini akan dimulai setelah 30-60 menit
setelah kematian atau saat proses metabolisme benar-benar
terhenti. Algor mortis dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu suhu awal,
suhu keliling, kelembapan udara, ukuran tubuh, posisi tubuh,
pakaian yang dikenakan, lokasi mayat, dan umur1,2,6.
Penurunan suhu selama 18 jam pertama setelah kematian
dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang dikenal sebagai
“rule of thumb”7:
Interval Kematian (jam) = [98,6 - suhu tubuh (oF)] / 1,5
Pola penurunan suhu setelah kematian masih belum dapat
dirumuskan secara tepat, oleh karena banyaknya faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Walaupun demikian, secara garis besar, algor
mortis akan membentuk kurva seperti ditunjukkan pada gambar 3
pada awalnya suhu menurut secara cepat, namun setelah
8
mendekati suhu lingkungan, perubahan suhu akan berlangsung
lebih lambat2.
Gambar 3: Kurva Sigmoid Algor Mortis
d. Dekomposisi
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi
akibat autolisis dan kerja bakteri. Autolisis terjadi akibat kerja
digestif oleh enzim yang dilepaskan sel paska kematian. Bakteri
yang berperan dalam pembusukan adalah bakteri genus clostridium
(terutama Clostridium welchii)2. Saat masih hidup, manusia memiliki
sistem pertahanan tubuh yang mencegah bakteri-bakteri komensal
colon untuk berkembang2. Setelah manusia mati, bakteri ini masuk
ke dalam pembuluh darah dan berkembang biak. Bakteri ini akan
menghasilkan gas-gas alkana, H2S, HCN, serta asam amino dan
asam lemak6.
Terdapat lima fase dalam dekomposisi, yaitu fase segar (fresh
stage), fase menggembung (bloated stage), fase penghancuran
9
(decay phase), fase setelah penghancuran (post decay stage), dan
fase tulang atau sisa (skeletal or remains stage)7. Berikut ialah
penjabaran spesifik dari masing-masing fase tersebut7:
Fase segar (fresh stage)
Fase segar dimulai segera setelah kematian sampai periode
penggembungan tubuh mulai terlihat. Tanda-tanda yang terlihat
pada fase ini adalah perubahan warna kehijauan yang muncul pada
perut, livor mortis, pecahnya kulit, dan tache noir. Perubahan warna
kehijauan disebabkan warna dari sulmethemoglobin. Karena bakteri
pembusukan berasal dari colon, dengan demikian perubahan warna
biasanya dimulai dari perut kanan bawah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Kemudian kulit ari akan terkelupas atau membentuk
gelembung berisi cairan kehijauan yang berbau busuk. Mulai terjadi
invasi dari serangga pada bagian terbuka dalam tubuh seperti
mata, hidung, mulut, hidung, anus, genital, dan luka-luka. Telur-telur
serangga akan diletakkan di dalam beberapa bagian tubuh. Saat
telur-telur ini menetas, serangga-serangga akan mulai memakan
tubuh manusia dari dalam.
10
Gambar 4: Fase segar
Fase menggembung (bloated stage)
Fase menggembung disebabkan adanya aktivitas bakteri
anaerob pada usus dan bagian tubuh lain yang mencerna jaringan
tubuh. Proses metabolik yang terjadi menghasilkan produksi gas.
Pembentukkan gas dalam tubuh dimulai dari lambung dan usus,
mengakibatkan inflasi perut. Proses yang lanjut ditandai dengan
gambaran tubuh yang seperti balon (ballon-like appearance). Selain
perut, gas juga akan terkumpul pada organ-organ lain khususnya
skrotum, payudara, dan sendi. Selanjutnya, rambut menjadi mudah
dicabut dan kuku mudah terlepas, wajah menggembung dan
berwarna ungu kehijauan, kelopak mata membengkak, pipi
tembem, bibir tebal, lidah membengkak. Pada akhirnya wajah
korban tidak lagi dapat dikenali oleh keluarga.
11
Belatung yang timbul akan semakin banyak khususnya pada bagian
internal tubuh. Larva lalat ini biasa muncul 36-48 jam paska
kematian, sehingga dapat menjadi panduan untuk menentukan saat
kematian. Dengan identifikasi spesies dan panjang larva dapat
diketahui usia lalat, dan akhirnya saat kematian korban.
Peningkatan tekanan internal akibat banyaknya gas
menyebabkan merembesnya cairan tubuh dari berbagai bagian
terbuka tubuh dan bau amonia mulai terdekteksi. Adanya amonia di
dalam tubuh ini menyebabkan tubuh menjadi alkali, menyebabkan
tubuh mulai ditinggalkan oleh fauna-fauna yang biasanya ada pada
tanah dalam keadaan normal, sedangkan invasi organisme yang
berhubungan dengan pembusukan justru semakin banyak.
Gambar 5: Fase penggembungan
12
Fase penghancuran (decay phase)
Tanda-tanda dimulai dan berakhirnya fase ini kurang jelas dan
agak subyektif. Tanda-tanda utama dari fase ini adalah lepasnya
bagian luar kulit dan keluarnya gas dari dalam perut menyebabkan
perut mulai berdeflasi. Pada fase ini, bau busuk yang kuat akan
terdeteksi. Larva-larva lalat ordo Diptera akan semakin banyak
muncul baik di luar tubuh dan di dalam tubuh. Larva ini akan
mengkonsumsi daging manusia dan meninggalkan hanya kulit dan
kartilago.
Gambar 6: Fase penghancuran
Fase setelah penghancuran (post decay stage)
Pada fase ini tubuh hanya terdiri dari kulit, kartilago, dan
tulang. Ordo lalat Diptera akan pergi dan ordo serangga lain seperti
13
Coleoptera akan semakin berkembang. Serangga ini akan
mengkonsumsi sisa daging dan kartilago, meninggalkan tulang
yang bersih sebagai hasil akhir. Pada fase ini akan muncul berbagai
parasit pada tubuh.
Gambar 7: Fase Penghancuran
Fase tulang atau sisa (skeletal or remains stage).
14
Pada fase ini, bagian yang tersisa dari tubuh hanyalah tulang
dan rambut. Tungau dan Collembola mulai timbul. Fauna-fauna yang
biasa timbul pada tanah tersebut akan kembali. Tidak ada batasan
akhir dari fase ini.
Gambar 8: Fase tulang atau sisa
d.1. Mumifikasi
Mumifikasi adalah pengeringan tubuh akibat suhu sekeliling yang tinggi serta
kelembapan yang rendah. Tubuh akan tampak menyusut dengan kulit yang kering dan
kaku serta berwarna coklat kehitaman1. Mumifikasi terjadi bila suhu hangat,
kelembapan rendah, aliran udara yang baikm tubuh yang dehidrasi dan waktu yang
lama (12-14 minggu)2.
d.2. Adiposera
15
Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau
berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh paska kematian.
Pada adiposera terjadi hidrolisis jaringan lemak tubuh dimana trigliserida tubuh akan
dipecah menghasilkan gliserin dan asam lemak tidak jenuh bebas, palmitat, stearat,
dan oleat. Asam lemak yang tidak jenuh akan mengalami dehidrogenasi menjadi
asam lemak jenuh. Kemudian asam lemak jenuh ini akan berikatan dengan alkali
membentuk sabun yang tidak larut1,2.
Adiposera dapat terbentuk pada berbagai jaringan lemak tubuh, mulai dari
lemak superfisial, sampai lemak dalam hati. Lemak superfisial yang terkena biasanya
pada daerah pipi, payudara, payudara, bokong, batang tubuh, atau ekstremitas2.
2.2. Zat – Zat yang Dihasilkan Pada Proses Kematian
2.2.1. Hidrogen Sulfide (H2S)
Hidrogen sulfida (H2S) merupakan bahan kimia yang tidak
berwarna, sangat beracun, mudah terbakar, dengan karakteristik
berbau seperti telur busuk pada konsentrasi 100 ppm8. Gas ini
merupakan produk dari metabolisme bahan organik saat tidak ada
oksigen (metabolisme anaerob)8. Tubuh manusia juga memproduksi
hidrogen sulfide dalam jumlah sedikit dan berfungsi sebagai
gasotransmitter untuk mengatur relaksasi pembuluh darah8.
Struktur kimia hidrogen sulfida dapat dilihat pada gambar 98.
Gambar 9: Hidrogen Sulfida
Adapun senyawa hidrogen sulfida (H2S) dapat terbentuk dalam proses sebagai
berikut:
16
a. Marblization/Arboressent Line
Pada proses dekomposisi, bakteri memecah sel darah merah menjadi
hemoglobin, bersamaan dengan itu dihasilkan pula hydrogen sulfida oleh bakteri
yang pada akhirnya menjadi sulfhemoglobin. Selama proses ini vena superficial di
kulit menjadi terlihat dan menampakan pola yang disebut ‘arboressent line’ berwarna
ungu kecoklatan. Proses ini dinamakan ‘marblization’ yang umumnya terlihat di
bagian dada, bahu, lengan, dan aspek lateral dari badan, terkadang juga dapat terlihat
di antero-medial paha. Proses ini disebabkan bakteri anaerob menyebar melalui vena
bersamaan dengan hemolisis sel darah merah sehingga mewarnai pola ‘marbling’.
Sementara warna yang tampak disebabkan hemolisis sel darah merah yang beraksi
dengan hydrogen sulfida yang dihasilkan bakteri9,10.
Gambar 10: Subcutaneus Marbling6
b. Perubahan Warna pada Dekomposisi
H2S akan bereaksi dengan hemoglobin (Hb) menghasilkan HbS yang
berwarna hijau kehitaman. Kita akan melihatnya pertama kali berupa warna kehijauan
(HbS) di daerah perut kanan bagian bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu
menyebar ke seluruh perut dan dada dengan disertai bau busuk. Kadar
sulfhemoglobin dipengaruhi obat, diantaranya asetanilid, fenacetin, nitrat,
trinitrotoluen, dan senyawa sulfur (terutama sulfonamid)9,10.
17
Gambar 11: Pewarnaan hijau pada dekomposisi6
c. Bloating Postmortem
Proses putrefaksi merupakan proses enzimatik terhadap jaringan dengan
produksi beberapa jenis zat oleh bakteri saprofit, diantaranya hydrogen sulfida NH3,
merkaptan,CO2 dan sebagainya. Produksi zat berupa gas ini menyebabkan terjadinya
distensi gas pada traktus gastrointestinal, organ – organ dan rongga lain tubuh.
Kegembungan pada tubuh mayat sering terlihat pertama kali pada wajah, dimana
bagian-bagian dari wajah membengkak, mata menjadi menonjol dan lidah menjulur
keluar antara gigi dan bibir9,10.
2.2.2. Asam Lemak
Rumus kimia trigliserida adalah CH2COOR-CHCOOR'-CH2-COOR",
dimana R, R' dan R" masing-masing adalah sebuah rantai alkil yang panjang. Ketiga
asam lemak RCOOH, R'COOH and R"COOH bisa jadi semuanya sama, semuanya
berbeda ataupun hanya dua diantaranya yang sama10.
Pada proses dekomposisi Clostridium welchii menghasilkan enzim lesitinase
yang memecah trigliserid menjadi asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh, dan
asam lemak bebas. Proses ini dinamakan hidrolisis. Dalam kondisi cukup air dan
enzim, hidrolisis trigliserid akan terjadi hingga semua molekul tereduksi menjadi
asam lemak bebas10.
18
Ketika sel terekspos kondisi lembab, hangat dan lingkungan anarob dan invasi
bakteri akan terjadi formasi yang disebut dengan adiposera. Adiposera merupakan
varian dari proses putrefaksi yang merupakan hasil dari hidrolisis dan degenerasi
lemak tak jenuh tubuh (jaringan adiposit) menjadi zat yang berwarna putih
kekuningan, seperti lilin yang terdiri dari asam lemak jenuh. Hal tersebut lebih nyata
pada jaringan subkutan, tetapi dapat terjadi dimana saja bila terdapat lemak10,11.
Hal ini terlihat paling sering pada tubuh yang dibenamkan dalam air atau
dalam keadaan lembab, lingkungan yang hangat. Pada adiposera, lemak mengalami
hidrolisis untuk melepaskan asam lemak jenuh dengan peranan dari lipase endogen
dan enzim bakteri. Enzim bakteri umumnya berasal dari Clostridium perfringens,
yang mengubah asam lemak jenuh ini menjadi asam lemak hidroksi. Adiposera dapat
terjadi dalam waktu beberapa bulan, tetapi juga dapat terjadi secara lebih singkat
dalam kurun beberapa minggu. Hal ini bergantung pada tingkat pertahanan terhadap
bakteri dan degradasi kimiawi10,11.
Normalnya tubuh yang tidak terdekomposisi mengandung sekitar 0.5% asam
lemak bebas. Tetapi pada adiposera, persentase asam lemak bebas dapat mencapai
70% atau lebih tinggi. Asam lemak bebas tak jenuh seperti asam palmitolinoleat dan
asam linoleat, bereaksi dengan hidrogen untuk membentuk asam hidrostearat, asa,
hidroksipalmitat dan senyawa stearat lainnya; proses ini dikenal sebagai saponifikasi
atau “penyabunan”. Produk akhir ini stabil untuk waktu yang panjang karena zat-zat
ini resisten terhadap aktivitas bakteri. Selain itu pembentukan adiposera
meningkatkan keasaman jaringan yang hampir sama dengan kondisi dehidrasi dimana
jaringan kehilangan banyak air sehingga pada proses hidrolisis akan menghambat
bakteri endogen dan memperlambat proses putrefaksi10,11.
19
Gambar 12: Adiposera6
2.2.3. Perubahan pada glukosa setelah kematian
Glukosa merupakan salah satu zat kimia yang paling penting
dalam kehidupan manusia, khususnya dalam proses metabolisme.
Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama pada
mamalia. Glukosa juga merupakan prekursor dari berbagai
karbohidrat dalam tubuh manusia seperti glikogen, ribosa dan
deoksiribosa, galaktosa, dan lain-lain. Struktur kimia glukosa dapat
dilihat pada gambar 1312.
20
Gambar 13: Struktur kimia dari glukosa12
Glukosa merupakan zat yang dapat dengan cepat
dimetabolisme menjadi laktat karena proses glikolisis. Dengan
demikian tidak banyak informasi yang didapat pemeriksaan glukosa
dalam darah. Laju dekomposisi glukosa darah per jam adalah 0,7
mmol/L, dan perubahan glukosa darah menjadi laktat berlangsung
selama 8 jam. Sampai 10 jam setelah kematian, peningkatan kadar
21
laktat 10-15 mg/dL per jam, dan dapat mencapai kadar laktat total
450-680 mg/dL12.
Selain darah, analisis cairan vitreus dan cairan serebrospinal
sering digunakan dalam pemeriksaan postmortem. Jumlah glukosa
pada cairan vitreus berhubungan dengan kadar glukosa
antemortem. Jumlah glukosa cairan vitreus adalah 50% dari jumlah
glukosa darah ante mortem dan 85% dari konsentrasi postmortem.
Cairan vitreus lebih sedikit dipengaruhi berbagai proses setelah
kematian. Hal ini dikarenakan cairan vitreus lebih sedikit
terkontaminasi oleh bakteri, autolisism putrefaksi, dan perubahan
biokimia seperti glikolisis. Dengan demikian, evaluasi biokimia dari
glukosa umumnya juga menyertakan kombinasi glukosa dan laktat
pada cairan vitreus13.
Dalam pemeriksaan kadar gula dalam darah dan cairan
lainnya, perlu diingat adanya beberapa kondisi khusus yang dapat
mengacaukan hasil pemeriksaan. Keadaan seperti tumor ganas,
penyakit inflamasi kronis seperti uremia, insufisiensi napas,
inflamasi susunan saraf pusat dan laktatasidosis karena alkohol,
atau puasa dapat menyebabkan peninggian asam laktat. Kadar
glukosa yang tinggi mungkin disebabkan oleh asfiksia, perdarahan
otak, dan penyakit jantung kongesti13.
Darah yang digunakan dalam pemeriksaan kadar glukosa
darah harus dipilih pada tempat-tempat khusus, karena tempat
yang berbeda akan menunjukkan kadar glukosa yang berbeda pula.
Darah yang diambil dari jantung bagian kanan, venacava inferior,
dan vena hepatika akan memberikan kadar glukosa yang tinggi
karena adanya proses glukoneogenesis yag berlangsung di hati.
22
Darah yang paling baik untuk pemeriksaan glukosa darah adalah
darah dari perifer13.
Stabilitas sampel juga perlu diperhatikan karena sampel darah
tanpa adanya pengawet (natrium flourida inhibitor glikolisis, atau
maleinimid, lithium iodo asetat, atau manosa), degradasi glukosa
menjadi laktat dapat ditemukan. Pada darah yang mengandung
kalsium oksalat sebagai antikoagulan, dan dalam konsentrasi 2,5
g/L atau 4,3 g/L, natrium flourida direkomendasikan sebagai
stabilizer untuk glukosa darah dan latat. Mannosa menghambat
metabolisme glukosa dan dapat diberikan dengan konsentrasi 2 g/L.
Mannosa hanya dapat bekerja selama 4 jam, setelah itu harus
diberikan pula natrium fourida. Konsentrasi gkukosa konstan pada
12 jam pertama. Jika disimpan dalam suhu 4oC, konsentrasi glukosa
tetap konstan dalam 2-6 hari. Dan dapat mencapai berbulan-bulan
bila dalam kondisi beku (-21oC)13.
2.2.4. Ureum dan Kreatinin
Permeabilitas membran sel berubah saat postmortem diikuti otolisis. Namun
demikian kadar ureum dan kreatinin stabil dalam serum hingga 100 jam postmortem.
Sehingga pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin dalam rentang waktu ini dapat
menunjukkan kondisi ginjal antemortem1.
Kadar ureum darah sebagai akibat terjadinya proteolisis akan meningkat, akan
tetapi peningkatan tersebut tidak akan mencapai lebih dari 100 mg/dL dalam waktu
48 jam pertama. Dengan demikian peningkatan kadar ureum yang melebihi 100
mg/dL dapat mempunyai nilai diagnostik yang disebabkan karena azotemia.
Sedangkan kadar kreatinin yang mempunyai makna apabila melebihi 6 mg/dL1.
Didalam penilaian perlu diingat bahwa pada periode agonal, kadar ureum
dapat meningkat sampai 150 mg/dL. Peningkatan kadar ureum lebih dari 300 mg dan
23
kadar kreatinin lebih dari 10 mg, merupakan indikasi yang tidak meragukan lagi
adanya kegagalan ginjal/payah ginjal disertai dengan uremia1,14.
2.2.5. Potasium
Potassium adalah elemen kimia dengan symbol K, dengan nomor atom 19 dan
massa atom 39,098 v. Pada orang dewasa seberat 60 Kg, terdapat 120 gram
potassium14.
Ion potassium dibutuhkan oleh semua sel hidup untuk berfungsi, dapat
ditemukan di jaringan tumbuhan maupun jaringan hewan. Ion potassium terutama
terdapat didalam sel (intrasel)14.
Kation potassium (K+) sangat dibutuhkan untuk menjalankan fungsi neuron
(otak dan saraf), serta juga mempengaruhi keseimbangan osmotik antar sel dan cairan
interstisial, yang di mediasi oleh pompa Na-K-ATPase. Pompa ini menggunakan ATP
untuk mempompa 3 ion Na keluar sel dan 2 ion K masuk ke dalam sel untuk
menciptakan gradien elektrokimia pada membran sel14.
Perubahan permeabilitas sel saat postmortem paling baik diketahui dari kadar
ion Potasium di vitreus humor. Dalam beberapa dekade penggunaan kadar ion
Potasium menjadi indikator interval postmortem. Segera setelah kematian, ion
potassium bergerak melewati membran sel yang permeabel di retina menuju vitreus
humor. Kadar ion Potassium dapat bervariasi pada kedua bola mata, demikian pula
dalam satu bola mata kadarnya dapat bervariasi tergantung seberapa dekat sampel
diambil dari sel-sel retina. Kadar ion potassium ini juga dapat meningkat bila disertai
peningkatan suhu bila dibandingkan pengambilan pada suhu yang rendah11.
Potassium dalam vitreus humour dapat menjadi informasi yang berguna
selama 24 jam pertama setelah kematian. Menurut Medea peningkatannya dapat
mencapai 0,19 mmol/jam sementara Sturner menyatakan 0,14 mmol/jam. Ada dua
formula yang dapat digunakan untuk menentukan waktu kematian dari kadar
Potassium7:
24
1. Sturner’s PMI (hours) = 7.14 x K concentration in mEq/L – 39.1
2. Medea and Henssge’s PMI (hours) = 5.26 x K concentration in mEq/L – 30.9
Tidak seperti Potassium, Sodium dan Klorida menurun kadarnya saat kematian.
2.2.6. Nitrogen
Saat postmortem akan terjadi perubahan kadar nitrogen dalam cairan
serebrospinal. Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan
kematian belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg%
menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10 mg%
masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30 jam11.
Setelah kematian, pH darah dan jaringan akan turun dikarenakan adanya
akumulasi CO2, glikogenolisis dan glikolisis, dengan akumulasi asam laktat dan
fosfor dan pemecahan dari asam amino dan asam lemak. Setelah 24 jam mulai
berubah dari alkalis, karena terbentuknya amonia dari pemecahan enzimatik proteinl
hal ini juga akan menyebabkan peningkatan konsentrasi non-protein nitrogen dalam
serum. Peningkatan non-protein nitrogen tersebut untuk 12 jam pertama adalah
sebesar 50 mg11.
2.2.7. Asam Sitrat
Asam sitrat merupakan asam organik lemah. Dalam biokimia, asam sitrat
dikenal sebagai senyawa antara dalam siklus asam sitrat yang terjadi di dalam
mitokondria, yang penting dalam metabolisme makhluk hidup15.
25
Gambar 14: Struktur Kimia Asam Sitrat
Sifat Fisika dan Kimia
Rumus kimia C6H8O7, atau: CH2(COOH)-COH(COOH)-CH2(COOH)
Nama lain asam 2-hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat
Titik lebur 426 K (153 °C)
Temperatur penguraian
termal
448 K (175 °C)
pKa 3,15
Efek akut Menimbulkan iritasi kulit dan mata.
Efek kronik Tidak ada.
Keasaman asam sitrat didapatkan dari tiga gugus karboksil COOH yang dapat
melepas proton dalam larutan. Jika hal ini terjadi, ion yang dihasilkan adalah ion
sitrat. Sitrat sangat baik digunakan dalam larutan penyangga untuk mengendalikan
pH larutan. Ion sitrat dapat bereaksi dengan banyak ion logam membentuk garam
sitrat15.
Pada temperatur kamar, asam sitrat berbentuk serbuk kristal berwarna putih.
Serbuk kristal tersebut dapat berupa bentuk anhidrosa (bebas air), atau bentuk
monohidrat yang mengandung satu molekul air untuk setiap molekul asam sitrat.
26
Bentuk anhidrosa asam sitrat mengkristal dalam air panas, sedangkan bentuk
monohidrat didapatkan dari kristalisasi asam sitrat dalam air dingin. Bentuk
monohidrat tersebut dapat diubah menjadi bentuk anhydrous dengan pemanasan di
atas 74 °C15.
Secara kimia, asam sitrat bersifat seperti asam karboksilat lainnya. Jika
dipanaskan di atas 175 °C, asam sitrat terurai dengan melepaskan karbon dioksida
dan air15.
Asam Sitrat dalam Tubuh Manusia
Sekitar 90 % asam sitrat dalam tubuh manusia berada dalam tulang. Asam
sitrat berperan dalam proses kalsifikasi, dimana asam sitrat bereaksi dengan kalsium
menjadi co-precipitated kalsium untuk membentuk kompleks kalsium dalam proses
deposisi16,17.
Asam Sitrat Postmortem
Asam sitrat dapat digunakan sebagai metode yang cukup akurat pada
pemeriksaan forensik untuk mengetahui waktu kematian.Karena zat ini terutama
terkandung dalam tulang,maka hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus dimana
terdapat tulang sebagai bahan pemeriksaan. Asam sitrat terdapat pada korteks tulang
manusia dan hewan dalam bentuk yang bervariasi dengan konsentrasi insial(2.0 ± 0.1
wt %). Konsentrasi sitrat pada tulang postmortem konstan selama 4 minggu,
kemudian menurun secara linear18.
2.2.8. Perubahan Enzimatik pada Kematian
Pada hasil pencarian dari literatur-literatur melalui sumber-
sumber media, didapatkan bahwa pada kematian juga terjadi
perubahan enzim-enzim dalam tubuh manusia paska kematian.
Adapun, enzim-enzim yang mengalami perubahan antara lain,
sebagai berikut19,20:
27
a. Aspartat Aminotransferase
Fungsi dari aminotransferase atau transaminase, adalah
untuk memindahkan gugus amino yang telah ada sebelumnya, dari
satu asam amino ke asam amino lainnya. Ini terjadi saat sintesis
asam amino nonesensial atau pada degradasi asam amino. Fungsi
AST pada katabolisme asam amino yang melibatkan degradasi dari
makanan atau cadangan energi seperti karbohidrat, lipid, dan
protein ke bentuk energi yang dapat disimpan atau digunakan. AST
ditemukan pada jantung dan otot skelet, hepar, ginjal, eritrosit dan
jaringan otak, dan berguna untuk mengkatalisasi reaksi konversi
aspartat menjadi glutamat.
AST kini digunakan di dunia kedokteran sebagai indikator
kerusakan hati dan jantung karena infark otot jantung, proses
kematian dan karsinogenesis. Peningkatan dari kadar serum AST
mungkin terjadi karena kerusakan atau penyakit pada hati, jantung,
otot skelet, ginjal dan eritrosit karena infark otot jantung, hepatitis
virus, nekrosis hati, sirosis dan distrofia otot. Jumlah enzim yang
dilepaskan tergantung derajat kerusakan selular, konsentrasi
intraselular enzim dan massa jaringan yang dipengaruhi. Asal dari
gangguan (infeksi virus, hipoksia, trauma pembedahan atau
mekanis) tidak mempengaruhi pelepasan enzim ke sirkulasi.
Penyebab pelepasan enzim tersebut merefleksikan derajat
kerusakan organ. Kondisi ringan melpaskan enzim sitoplasma
sedangkan kondisi nekrotik melepaskan enzim mitokondria pula.
Pada kerusakan hati yang berat, kadar serum AST sangat tinggi
karena seluruh isoenzim terlepas. Eritrosis mengandung konsentrasi
AST yang tinggi, karena itu hemolisis dapat meningkatkan kadar
AST dalam darah pula.
28
Pada keadaan postmortem, saat terjadi dekomposisi jaringan,
dengan terjadinya degradasi pada jaringan dan lisis sel maka akan
lebih banyak AST yang dilepaskan pada area yang secara langsung
mengelilingi jaringan tersebut. Enticknap pada penelitiannya tahun
1960 melaporkan peningkatan konsentrasi AST yang progresif
paska kematian, dan meningkat drastis dalam 60 jam pertama
paska kematian, sehingga memungkinkan untuk membantu
menentukan interval paska kematian.
b. Alkohol Dehidrogenase (ADH)
Enzim dehidrogenase adalah subkelas dari golongan
oxidoreduktase. Oxidoreduktase mengkatalisis reaksi reduksi
oksidasi sedangkan dehidrogenase mengkatalisis terutama oksidasi
dari alkohol menjadi aldehida. ADH berfungsi pada langkah pertama
dari metabolisme alkohol dengan mengoksidasi etanol menjadi
asetaldehide dan menghasilkan NADH, karena itu hanya ditemukan
pada hati dan hampir hanya terdapat pada sitosol sel parenkim
hati. Ada 3 famili dari aktivitas ADH, salah satunya ditemukan pada
mamalia. Famili ini dikenal sebagai ADH rantai sedang dan rantai
panjang, yang mana kemudian dipecah menjadi 6 kelas yang diberi
kode dari 7 hingga 11 gen dan menghasilkan setidaknya 20
isoenzim yang berbeda. Masing-masing dari isoenzim tersebut telah
ditemukan pada jaringan manusia.
Aktivitas ADH pada hepar secara luas dikenal sebagai proses
utama dengan membuang etanol dari sirkulasi. Karena banyak
asetat yang dibuat dari etanol lepas dari hati ke darah, implikasi
diagnostiknya ialah dengan mendeteksi kadar etanol dalam sirkulasi
29
darah pada kasus intoksikasi etanol, sebagaimanapula pada kasus
keracunan alkohol.
Suatu analisis statistik oleh Briglia dkk. (1992) tidak
menemukan perbedaan signifikan antara lokasi-lokasi tertentu yang
diambil darah untuk pemeriksaan alkohol. Etanol secara alami
terdapat dalam konsentrasi yang rendah pada mamalia karena
fermentasi dari flora gastrointestinal dan produksi endogen,
terutama oleh hati. Produksi alkohol endogen dapat mengakibatkan
peningkatan konsentrasi pada darah setinggi 0.15% pada kasus
tertentu. Pembentukan asetaldehide yang berhubungan dengan
kadar protein pada hati dan darah peminum alkohol dapat berfungsi
untuk memberi petunjuk pada deteksi riwayat alkoholisme.
Tidak ada penelitian yang dapat ditemukan membahas
tentang kadar ADH postmortem dengan implikasi penentuan
interval kematian. Jetter dan Mc Lean (1942) menyatakan bahwa
konsentrasi alkohol pada darah, otak dan urin dapat ditentukan,
kemudian muncul kemungkinan untuk mengasumsikan bahwa
terdapatnya peningkatan konsentrasi ADH pada saat kematian
dapat menjadi suatu indikator kematian. Ekspresi ADH dikendalikan
oleh suatu mekanisme regulasi tertentu, namun fisiologi terjadinya
mekanisme tersebut masih sukar untuk dijelaskan.
c. Kreatin kinase (KK)
Kinase ialah golongan enzim yang mengkatalisis transfer dari
gugus fosfat dari ATP atau nukleosida trifosfat lainnya ke gugus
alkohol atau amino. KK mengkatalisis transfer fosfat dari ATP ke
kreatin untuk membentuk fosfokreatin. KK memiliki 2 isoenzim
yamg terdapat pada jantung dan otot skelet, dan yang berada pada
30
otak. Jika proses metabolik cukup untuk mengejar kebutuhan energi
suatu organisme, sistem creatin fosfokinase berfungsi sebagai
penyeimbang untuk menjaga kadar ATP pada tingkat seluler. Ketika
permintaan tiba-tiba akan energi menghabiskan ATP, fosfokreatin
berfungsi sebagai sumber gugus fosfat untuk mebuat ATP,
membantu menstimulasi respirasi ketika aktivitas otot meningkat.
Peningkatan kadar KK dihubungkan dengan infark otot
jantung, dan menjadi nyata pada 4 – 6 jam setelah onset nyeri data,
dan memuncak 18 – 30 jam, dan bertahan hingga 10 hari. KK bocor
dari sel jantung yang rusak dan merupakan enzim yang pertama
muncul dalam darah setelah Infark miokardial. Kadar KK diatas
kadar normal juga dihubungkan dengan insiden distrofia otot,
hipotiroidisme, penyakit hati, anemia pernisiosa, infark paru, dan
penyakit serebrovaskular akut. Jetter dan Mc Lean pada tahun 1942
mengatakan bahwa sejumlah kecil kreatin terdapat pada urin anak-
anak dan kadang di urin wanita dewasa normal, namun kadar yang
tinggi mengindikasikan pemecahan jaringan tubuh pada kasus
seperti kelaparan, diabetes, goiter, demam, aktivitas otot dan
sebagainya. Mereka juga menyebutkan bahwa kreatin tidak
terbentuk pada urin setelah kematian sebagai akibat dari proses
postmortem.
Bollinger dan Carrodus pada 1938 menjadi yang pertama
untuk mengobservasi peningkatan serum kreatinin pada periode
paska kematian. Naumann dan Karkela kemudian mendukung hasil
penelitian tersebut dengan temuan yang sama pada cairan
serebrospinal. Naumann menyebutkan bahwa, walaupun ada
korelasi yang “kasar” antara peningkatan kadar kreatinin dengan
interval postmortem hingga pada jam ke 10 setelah kematian,
31
variasi pada kasus individu menunjukkan bahwa reaksi enzimatik
tidak tergantung pada waktu saja, dan karena itu sulit digunakan
untuk mengestimasikan secara akurat tentang waktu kematian.
d. Laktat Dehidrogenase
Peran LDH pada metabolisme ialah untuk mengkatalisis tahap
akhir dari glikolisis dalam kondisi anaerob untuk menghasilkan
NAD+ untuk proses glikolisis. Piruvat direduksi untuk L-Laktat dan
NADH dioksidasi untuk NAD+. LDH juga berperan tahap pertama
proses glukoneogenesis dengan mengkonversi laktat kembali
menjadi piruvat. LDH ditemukan pada otot skelet dan otot jantung,
hepar, ginjal, eritrosit, pankreas dan paru-paru. LDH ialah suatu
enzim tetramer yang mengandung 2 subunit yang berbeda yang
mana ditandai H untuk jantung, dan M untuk otot. 2 subunit
berbeda ini digabungkan dalam 5 cara yang berbeda dan diberi
angka LDH1 hingga LDH5. Peningkatan kadar setiap isoenzim
tersebut mengindikasikan gangguan tertentu: infark miokard, infark
korteks renal, anemia pernisiosa, hemolisis, distrofi otot stadium
lanjut (LDH 1 dan LDH 2, sering LDH1 > LDH2), penyakit hati,
kerusakan otot skelet dan kanker tertentu (LDH5), beberapa proses
neoplastik, kelainan limfoproliferatif dan kelainan terkait trombosit
(peningkatan LDH3, sering LDH3 > LDH2), infark paru (LDH2 dan
LDH3), dan kerusakan jaringan yang luas (peningkatan seluruh
isoenzim).
Enticknap pada tahun 1960 menemukan pola peningkatan
pada aktivitas LDH dalam 60 jam setelah kematian. Dia
merumuskan hal tersebut dalam perhitungan Wrobleski unit dari
LDH:
32
Wrobleski unit LDH/1000 = 2.69 + 0.24 (waktu setelah
kematian dalam jam)
Dia menemukan bahwa akumulasi LDH pada kadaver dalam 3
fase, dimulai dengan peningkatan cepat pada beberapa jam
pertama, kemudian melambat dan biasanya bersifat linear hing 2 –
3 hari kematian, dan terakhir memuncak pada hari ke 4
postmortem.
Schleyer pada tahun 1963 kemudian menambahkan tentang
sel darah merah merupakan sumber utama dari LDH serum, dan
peningkatan yang terjadi pada periode postmortem semestinya
berhubungan dengan otolisa eritrosit. Karkela pada tahun 1993
mempelajari perubahan postmortem pada LDH di cairan cisterna,
dan menyimpulkan bahwa aktivitas total LDH meningkat secara
linear dan signifikan secara statistik setelah kematian dan bahwa
pembekuan dan penyimpanan sampel dapat mengurangi aktivitas
LDH.
e. Fosfatase Alkali
Naumann menunjukkan bahwa kadar fosfatase alkali
mencapai mean konsentrasi 5.3 unit Bodansky pada 14 kasus 10,5
jam setelah kematian (antemortem normat berkisar 1.5 – 4 unit
Bodansky). Enticknap menggunakan King Armstrong unit dan
menunjukkan bahwa konsentrasi meningkat dari 8 kA sesaat
setelah kematian hingga 40 unit kA setelah 30 jam dan kemudian
memuncak pada 40 jam setelah kematian sebesar 70 kA dan
kemudian mengalami penurunan. Coe berpendapat bahwa
konsentrasi fosfatase alkali hampir 2 kali dan pada 8 jam paska
kematian dan 3 kali pada 18 jam paska kematian.
33
f. Amilase
Enticknap mendemonstrasikan bahwa kadar amilase setelah
kematian mengalami peningkatan yang bersifat bifasik; Amilase
meningkat dari 100 Somoghiunit segera setelah kematian hingga
350 unit 6 jam setelah kematian, dan kemudian menurun hingga
150 unit setelah 30 jan dan kemudian mengalami peningkatan
dengan puncak lebih dari 350 unit 40 jam setelah kematian dan
kemudian menurun hingga 200 unit setelah 50 jam kematian.
Reddy melaporkan peningkatan 3 hingga 4 kali pada kadar amilase
serum, pada hari kedua setelah kematian.
g. Fosfoglutamutase
Dixit PC dkk mempelajari hubungan antara fosfoglutamutase pada darah
postmortem dihubungkan dengan waktu dan penyebab kematian. Mereka
menyimpulkan bahwa estimasi waktu kematian tergantung pada banyak faktor,
termasuk kondisi lingkungan.
h. Stabilitas Enzim setelah Kematian
Secara umum, adalah terbaik untuk melakukan enzyme assay dalam jangka waktu 4
jam dari waktu pengambilan darah. Seluruh enzim dapat disimpat semalaman dalam
suhu 0 – 4 oC. Fosfatase Asam hendaknya tidak disimpan dalam suhu ruangan.
Aldolase dan Alanin Aminotransferase bersifat tidak stabil bila dibekukan pada -
250C, tetapi tidak mengalami kerusakan pada suhu 4oC.
2.2.8. Aspek Biokimia pada Proses Pembusukan/Putrefaksi
Proses pembusukan manusia dimulai sejak kurang lebih 4
menit setelah kematian terjadi. Onset pembusukan dimulai oleh
34
proses yang disebut autolysis atau self digestion. Ketika sel-sel
tubuh kekurangan oksigen. Maka kadar karbon dioksida di darah
akan meningkat, yang diikuti peningkatan pH dan penumpukan
hasil samping metabolism yang dapat ‘meracuni’ sel. Secara
bersamaan, enzim-enzim seluler seperti lipase, protease, amylase,
mulai melarutkan sel-sel dari dalam keluar, yang menyebabkan sel
menjadi rupture dan melepaskan cairan yang kaya akan nutrient.
Proses ini dimulai dan berlanjut secara cepat pada jaringan yang
memiliki kadar enzim yang tinggi seperti hati, dan kadar air yang
tinggi seperti otak, namun secara umum proses ini berlangsung
pada seluruh sel di tubuh. Setelah sekian jumlah sel ruptur dan
cairan kaya nutrisi tersedia, maka akan dimulai proses yang disebut
putrefaksi4.
Putrefaksi adalah penghancuran jaringan lunak dari tubuh
oleh akibat kerja mikro-organisme (bakteri, jamur dan protozoa)
yang menyebabkan terjadinya katabolisme jaringan menjadi gas,
cairan dan molekul sederhana. Tanda pertama dari putrefaksi yang
muncul adalah perubahan warna kehijauan pada kulit karena
adanya pembentukan sulfahaemoglobin pada darah. Jika proses ini
berlanjut maka akan terjadi pembentukan berbagai gas (hydrogen
sulfide, karbon dioksida, methane, ammonia, sulfur dioksida, dan
hidrogen) yang terjadi terutama di usus besar. Hal ini terjadi
berhubungan dengan adanya proses fermentasi anaerobik yang
terutama terjadi pada usus, dengan hasil samping berupa volatile
fatty acids, terutama butyric dan propionic acid. Akumulasi gas dan
cairan pada intestinal menyebabkan penumpukan pada rektum,
namun penumpukan yang cepat dan banyak dapat menyebabkan
kulit robek dan menimbulkan post-mortem injuries tambahan.
35
Setelah proses pengeluaran gas akibat putrefaksi terjadi, maka
proses pembusukan aktif dimulai4.
Dekomposisi lanjut dari lemak dan protein menghasilkan
phenolic compounds (2-methylindole atau skatole, putrescine,
cadaverine)dan gliserol. Pada saat ini, elektrolit secara cepat
merembes keluar tubuh, kedua bakteri aerob dan anaerob berada
pada jumlah besar, aktivitas serangga, dan karnivora, berperan
aktif dalam proses pembusukan. Putrefaksi juga menghasilkan
senyawa amines seperti putrescine dan cadaverin21.
Amines sendiri adalah salah satu derivate ammonia, dimana
satu atau lebih atom hydrogen pada ikatan digantikan dengan grup
alkil atau aryl. Pada proses dekomposisi, amines yang dihasilkan
adalah putrescine dan cadaverin21.
Putrescine adalah zat kimia organic dengan bau yang tidak
sedap dengan rumus bangun N H 2(CH2)4NH2 (1,4-diaminobutane
atau butanediamine). Zat ini yang bertanggung jawab menimbulkan
bau busuk pada proses pembusukan setelah kematian, juga
berkontribusi terhadap bau pada halitosis dan vaginosis bacterial21.
Gambar 14 : Putrescine
Cadaverin merupakan zat dengan bau busuk juga yang
diproduksi dari hidrolisis protein sewaktu terjadi putrefaksi dari
jaringan. Cadaverine merupakan diamine toksik dengan rumus
36
bangun NH2(CH2)5NH2 , dengan nama lain 1,5-pentanediamine
dan pentamethylenediamine21.
Gambar 15 : Cadaverin
2.3. Pemeriksaan Laboratorium
Seperti telah dijelaskan di atas, ada banyak senyawa biokimia
yang dihasilkan dalam proses kematian, mulai dari elektrolit, enzim-
enzim, maupun senyawa lainnya. Adanya senyawa tersebut yang
terdeteksi dapat berhubungan dengan pemeriksaan forensik, yang
salah satunya ialah pemeriksaan untuk mengetahui waktu
kematian. Hal ini pun sebenarnya masih banyak diteliti di berbagai
pusat penelitian kedokteran forensik. Adapun, dari hasil pencarian
literatur yang penulis lakukan melalui berbagai sumber, peran
pemeriksaan zat-zat yang terbentuk pada proses kematian di
laboratorium untuk kepentingan forensik antara lain sebagai
berikut:
a. Tes Microchemical Inorganic Ion
Meskipun telah ada instrumen analitik canggih untuk
mengidentifikasi material yang dicurigai mengandung
microchemical, namun tes laboratorium dengan mikroskop masih
sering dilakukan karena sederhana, murah, cepat dan reliable.
Hampir semua tes kimiawi dengan analisis kualitatif menggunakan
slide mikroskop untuk pemeriksaannya. Pada prinsipnya
microchemical tes terdiri dari 6 langkah utama yaitu22:
37
1. Reagent Mixing
Merupakan pencampuran sampel tes dengan reagennya di slide
mikroskop
2. Solubility
Menambahkan air atau pelarut lain yang dibutuhkan
3. Evaporasi
Memanaskan slide mikroskop di atas api
4. Dekantasi
Memisahkan dan dipanaskan presipitat dari pelarut dengan
menggunakan microspatula
5. Sublimasi
Merupakan perubahan dari bentuk solid ke gas tanpa melalui
bentuk cair. Sublimasi akan terjadi setelah proses pemanasan
yang akan menghasilkan formasi kristal
6. Fusi
Pada proses ini sampel dicampur dengan agent yang membuat
Kristal berwarna.
b. Pemeriksaan Humor Vitreus
Pemeriksaan potasium dilakukan melalui cairan vitreus. Cara
pengambilan humor vitreus tidaklah sulit, yaitu dengan mengambil
2 ml dari tiap mata dengan jarum lunak no. 20. Sering didapati
perbedaan kadar potasium antara mata kiri dan mata kanan dalam
satu individu. Selain itu bila aspirasi dilakukan secara paksa atau
terlalu dekat dengan retina dapat mengubah nilai dari hasil
pemeriksaan oleh karena potassium mencapai vitreus dengan jalan
38
menembus retina. Pengaruh suhu juga masih menjadi perdebatan
yang penting23.
Elektrolit lain yang dapat diperiksa dari humor vitreus ialah
konsentrasi sodium dan klorida, dimana konsentrasi elektrolit-
elektrolit ini mengalami penurunan sesudah kematian, dan ini dapat
digunakan untk memeriksa reabilitasnya satu sama lain, misalnya
kadar potassium adalah < 15 mmol/l maka kadar sodium dan
klorida dapat diperkirakan, dimana penurunan klorida kurang dari 1
mmol/l/jam dan sodium adalah 0.9 mmol/l/jam, sehingga penurunan
sodium disini tidak signifikan pada beberapa jam pertama, berbeda
dengan potassium yang peningkatannya terjadi secara bermakna.
Sturner menemukan cara pengukuran yang paling populer dalam
penentuan potassium vitreus untuk penentuan saat mati dengan
menggunakan rumus23:
7.14 x konsentrasi potassium (mEq/L) – 3.91
Hasilnya akan lebih memuaskan apabila tubuh diletakkan
pada temperatur yang stabil dan tidak lebih dari 10oC. Sturner dan
Gantner mengemukakan sejauh masih menyangkut kematian yang
sifatnya mendadak atau yang tidak diharapkan, dikuatirkan akan
terdapat hubungan yang linier aritmetrik antara potassium dalam
vitreus juga interval postmortem yang melebihi 100 jam akan
terdapat standard error 4 – 7 jam. Jadi penggunaan metoda ini
sangat berguna pada kasus dimana interval postmortem tidak lebih
dari 24 jam – 36 jam pertama sesudah kematian. Pada neonatus,
kadar potassium ini akan meningkat lebih cepat dari pada dewasa
walaupun keduanya dipengaruhi temperatur postmortem23.
39
Tehnik analisa yang digunakan untuk menentukan potassium
sering memberi hasil yang berbeda pula, sebagai contoh Coe pada
tahun 1985 mengatakan bahwa penggunaan metode flame
fotometrik memberikan nilai 5 mmol/l kurang untuk sodium, 7
mmol/l kurang untuk potassium dan 10 mmol/l kurang untuk klorida
bila dibandingkan dengan pemeriksaan denga menggunakan
metode spesifik elektrode modern. Pada orang yang mengalami
saat mati yang lama seperti pada penyakit-penyakit kronis dengan
retensi nitrogen memberi hasil yang berbeda bila dibandingkan
dengan kematian mendadak. Agaknya gangguan elektrolit
premortal pada pasien juga mempengaruhi hasil pemeriksaan. Hasil
dari pemeriksaan dengan menggunakan flame fotometri dalam
mmol/l bila sodium > 155, klorida > 135 dan urea > 40 ini
dipercaya sebagai indikasi dehidrasi antemortem23.
Bila sodium dan klorida adalah normal, tetapi urea 150, maka
diagnosis uremia dapat dipertimbangkan. Angka ini berbeda dengan
dekomposisi postmortem dimana konsentrasi sodium adalah < 130,
klorida < 105 dan potassium > 20. Problem umum yang sering
ditemukan dalam otopsi adalah mendiagnosa diabetes yang tidak
terkontrol dan hipoglikemia, glukosa pada cairan vitreus biasanya
turun setelah kematian dan akan mencapai angka nol dalam
beberapa jam. Coe pada tahun 1973 melakukan 6000 analisa, dan
dia mendapatkan glukosa vitreus kurang dari 11.1 mmol/l adalah
indikator yang tidak variabel dari diabetes ringan antemortem,
tetapi berapapun konsentrasinya interpretasi ini tidak memiliki
reliabilitas yang cukup untuk dapat digunakan sebagai pegangan.
Pada hipotermia juga terdapat peningkatan glukosa vitreus, tetapi
tidak lebih besar dari 11.1 mmol/L23.
40
c. Pemeriksaan Enzim (Enzim Assay)
Telah diutarakan sebelumnya, bahwa pemeriksaan enzim juga
sedang diteliti penggunaannya untuk penentuan waktu kematian.
Namun bukti yang didasarkan pada studi-studi eksperimental masih
banyak yang bersifat kontroversial tentang kepentingan
pemeriksaan enzim dalam penentuan waktu kematian. Karly Laine
Buras pada tahun 2006 pada thesis yang dibuatnya menyatakan
bahwa dalam penelitian yang dilakukannya terhadap 4 enzim,
antara lain AST, Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase dan Alkohol
Dehidrogenase, dihasilkan suatu kesimpulan bahwa keempat enzim
tersebut tidak memiliki reliabilitas yang cukup untuk menjadi
indikator interval post mortem. Hal ini terkait properti biologis
enzim yang mana sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
misalnya suhu (pemanasan dan pembekuan), aktivitas antemortem,
penyakit penyerta dan sebagainya. Selain itu, cara penyimpanan
sampel, cara pengambilan sampel dan saat pengambilan sampel
juga mempengaruhi hasil pemeriksaan. Hal-hal tersebut diatas
dapat menjadi suatu faktor perancu (confounding factors) dalam
pemeriksaan enzim19,20.
Memang sudah terdapat beberapa penelitian dari abad ke –
19 tentang fungsi enzim untuk menentukan waktu kematian,
namun terjadi beberapa pertentangan. Pertentangan terjadi karena
pemilihan sampel untuk penelitian berbeda satu dengan penelitian
lain yang mana dimaksudkan disini ialah hewan karena penelitian
enzimatik tersebut dilakukan terhadap jenazah hewan yang
dianggap representatif terhadap manusia, dan populasi studi
menginklusikan jumlah sampel yang berbeda satu sama lain yang
41
mana sampel yang digunakan, sehingga perlu adanya suatu
penelitian yang multisentris sehingga dapat dicapai suatu
kesimpulan akhir yang dapat diterapkan secara umum dalam
lingkup ilmu kedokteran forensik19,20.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Adapun, dari karya tulis ini, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai
berikut:
Dalam proses kematian yang terdiri atas proses yang kompleks
terdapat perubahan sejumlah senyawa seperti hidrogen sulfide,
nitrogen, ureum, kreatinin, Potassium, enzim-enzim dan senyawa
lainnya yang mana masing-masing memiliki pola perubahan
yang spesifik berbanding dengan waktu.
Dari senyawa-senyawa yang dihasilkan paska proses kematian,
ada beberapa zat yang digunakan secara forensik untuk
memperkirakan interval postmortem, antara lain Potassium,
elektrolit lainnya dan enzim, namun masih terdapat kontroversi
42
antar pusat yang berbeda karena zat-zat tersebut dipengaruhi
oleh sejumlah variabel perancu.
3.2. Saran
Saran yang dapat penulis berikan setelah pembuatan dari karya
ilmiah ini ialah sebagai berikut:
Pemeriksaan laboratorium forensik untuk mendeteksi zat-zat
yang berhubungan dengan proses kematian dan perannya dalam
menentukan interval kematian masih harus diteliti lebih lanjut
lagi dengan populasi sampel yang lebih representatif dan
bersifat multisentris sehingga dapat dicapai suatu standard baku
dalam mendeteksi interval kematian secara laboratorium.
Makna zat-zat yang terbentuk dalam proses kematian secara
klinis di bidang keilmuan Forensik masih harus diteliti lebih jauh
lagi untuk memperkaya bidang keilmuan Forensik terutama di
cabang Thanatochemistry.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sofwan D. Ilmu Kedokteran Forensik, Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. Cetakan VI :
2008.
2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, et. al, Ilmu Kedokteran
Forensik. Edisi ke I. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1997.
43
3. Kala M, Chudzikiewicz E. The Influence of Post-Mortem Changes in
Biological Material on Interpretation of Toxicological Analysis Results.
Problems of Forensic Sciences. Vol. LIV, 2003: 32 – 59.
4. Robison R. Thanatochemistry and Forensic Entomology: The Chemical
Interaction between Decomposing Organisms and Insects. Diunduh dari :
http://www.colostate.edu/Depts/Entomology/courses/en570/papers_2010/
robison.pdf [diakses tanggal 29 Maret 2011].
5. Arif RS. Thanatologi. Dalam: Abraham S, Arif RS, Bambang PN, dkk. Tanya
Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi ke 2 Cetakan 1. Semarang : Bagian
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2010.
6. Dix J, Graham M. Time of Death, Decomposition and Identification: an Atlas.
Boca Raton: CRC Press LCC; 2000.
7. Goff ML. Early post-mortem changes and stages of decomposition in exposed
cadavers. Exp Appl Acarol 2009;49:21–36
8. Gadalla MM, Snyder SH. Hydrogen sulfide as gasotransmitter. J. Neurochem
2010;113:14–26.
9. Cox WA. Early Postmortem Changes and Time of Death. Diunduh dari :
http://forensicmd.files.wordpress.com/2009/12/early-postmortem-changes.pdf
[diakses tanggal 29 Maret 2011].
10. Cox WA. Late Postmortem Changes/Decomposition. Diunduh dari :
http://forensicmd.files.wordpress.com/2010/02/late-postmortem-changes.doc
[diakses tanggal 29 Maret 2011].
11. Dimaio VJ, Dimaio D.2001. Forensic Pathology Second Edition. Florida:
CRC Press LLC
12. Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Harper's Illustrated Biochemistry
27th Edition. New York: McGraw-Hill Companies; 2006.
13. Hess C, Musshoff F, Madea B. Disorders of glucose metabolism–post mortem
analyses in forensic cases: part I. Int J Legal Med 2011;125:163–70.
44
14. Idries, AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Jakarta:
Binarupa Aksara; 1997 hlm. 74 – 77.
15. Anonim. Potassium. Wikipedia, free encyclopedia. Diunduh dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/ Potassium [diakses tanggal 4 April 2011].
16. Anonim. Citric acid. Wikipedia, free encyclopedia,updated 8 March 2011.
Diunduh dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Citric_acid [diakses tanggal 4
April 2011].
17. Dixon F, Perkins HR. Citric Acid and Bone Metabolism. London: Institute of
Orthopaedics; 1952. Diunduh dari :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1197978/pdf/biochemj00901-
0115.pdf [diakses 4 April 2011].
18. Schwarcz HP, Agur K, Jantz LM. 2010. A new method for determination of
postmortem interval: citrate content of bone. Forensic Sci. 2010
Nov;55(6):1516-22. Available
from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20681964
19. Buras KL. Are Enzymes Accurate Indicators of Postmortem Interval ? : A
Biochemical Analysis. Lousiana : Department of Geography and
Anthropology; 2006.
20. Garg SP, Garg V. Serum Enzymes Changes after Death and Its Correlation
with Time Since Death. J Indian Acad Forensic Med, 32 (4).
21. McMurry JE. (1992), Organic Chemistry (3rd ed.), Belmont:
Wadsworth, ISBN 0-534-16218-5
22. PW Barbara, JW Lori. Practical forensic microscopy: a
laboratory manual. Singapore: Wiley Blackwell; 2008.
23. Basbeth F. Perkiraan Saat Mati : Perkiraan Saat Mati dan
Aspek Medikolegalnya. Diunduh dari:
http://www.freewebs.com/forensicpathology/index.htm
[diakses : 4 April 2011].
45
46