FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI …
Transcript of FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI …
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 19
ANALISIS HUKUM TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN DOKTER DALAM
MELAKUKAN TINDAK PIDANA
MALPRAKTEK
Oleh : Dr. Dahris Siregar SH.,MH
Dosen Tetap Ilmu Hukum
Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia Medan
Email : [email protected]
Abstrack
Hukum kedokteran atau hukum kesehatan merupakan cabang ilmu yang masih
tergolong muda di Indonesia. Hukum kedokteran yang baru berkembang dan malpraktek
yang baru dikenal konsepnya ini berbanding terbalik dengan banyaknya sorotan terhadap
hukum kesehatan, khususnya kepada dokter dan rumah sakit. Berangkat dari
permasalahan tersebut, skripsi ini membahas malpraktek medis yang dilakukan dokter
ditinjau dari segi hukum pidana dan mengenai pertanggungjawaban pidana dokter
tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis yuridis-normatif. Teknik
pengumpulan data adalah dengan studi kepustakaan. Data yang dikumpulkan berupa data
sekunder. Data sekunder yang digunakan terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, buku-buku
hukum, serta berbagai kamus. Kesimpulan skripsi ini yaitu malpraktek medis adalah
kelalaian atau ketidakhatihatian seorang dokter dalam pelaksanaan kewajiban
profesionalnya, sementara ruang lingkup malpraktek adalah kelalaian yang menyebabkan
kematian atau luka.
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 20
Kata kunci: Malpraktek, pertanggungjawaban, tindak pidana
Abstrack
Health law is considered a new branch of law in Indonesia. The developing health
law and the newly recognized concept of malpractice are inversely proportional to the
vast attention given to health law, particularly to doctors and hospitals. Departing from
this problem, this thesis discusses about medical malpractice committed by doctor from
criminal law perspective and about doctor’s criminal liability. This research is a
qualitative judicial-normative research. Data collection technique used is literature study.
Data are collected in the form of secondary data. Secondary data used consist of
Indonesian Penal Code, The Law of Republic Indonesia Number 29 of 2004 on Doctor’s
Practice, law textbooks, and various dictionaries. The conclusion of this thesis is that
medical malpractice is doctor’s negligence in doing his professional duties, while the
scope is a negligence that causes harm or death.
Keywords: Malpractice, criminal liability, criminal offense
I. Pendahuluan
Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya
merupakan profesi yang sangat mulia dan
terhormat dalam pandangan masyarakat.
Seorang dokter sebelum melakukan praktek
kedokterannya atau pelayanan medis telah
melalui pendidikan dan pelatihan yang
cukup panjang. Karena dari profesi inilah
banyak sekali digantungkan harapan hidup
dan kesembuhan dari pasien serta
keluarganya yang sedang menderita sakit.
Dokter atau tenaga kesehatan lainnya
tersebut sebagai manusia biasa yang penuh
dengan kekurangan (merupakan kodrat
manusia) dalam melaksanakan tugas
kedokterannya yang penuh resiko ini tidak
dapat menghindarkan diri dari kekuasaan
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 20
kodrat Allah, karena kemungkinan pasien
cacat bahkan meninggal dunia setelah
ditangani dokter dapat saja terjadi, walaupun
dokter telah melakukan tugasnya sesuai
dengan standar profesi atau Standart
Operating Procedure (SOP) dan/atau
standar pelayan medik yang baik. Keadaan
semacam ini seharusnya disebut dengan
resiko medik, dan resiko ini terkadang
dimaknai oleh pihak-pihak diluar profesi
kedokteran sebagai medical malpractice.
Sebagaimana profesi pada umumnya,
pelayanan kesehatan merupakan suatu
profesi yang didasarkan kerahasiaan dan
kepercayaan seperti halnya profesi
pengacara. Menurut Van der Mijn, ciri-ciri
pokok dalam pelayanan kesehatan adalah
sebagai berikut :
1. Setiap orang yang meminta
pertolongan profesional, pada umumnya
berada pada posisi ketergantungan, artinya
bahwa ia harus meminta semacam
pertolongan tertentu dengan maksud untuk
mencapai tujuan khusus. Misalnya, untuk
tujuan peningkatan kesehatannya seseorang
minta pertolongan pada profesi dokter, kalau
seseorang mempunyai tujuan melakukan
suatu tuntutan hukum datang kepada profesi
pengacara, sedang untuk tujuan menyatakan
kehendaknya (membuat wasiat) minta
pertolongan pada profesi notaris.
2. Setiap orang yang meminta
pertolongan dari orang yang tidak
mempunyai profesi yang bersifat rahasia,
pada umumnya tidak dapat menilai keahlian
profesional itu.
3. Hubungan antara orang yang
meminta pertolongan dan orang yang
memberi pertolongan bersifat rahasia dalam
arti bahwa pihak yang pertama bersedia
memberi keterangan-keterangan yang tidak
akan ia ungkapkan kepada orang lain, dan
pihak profesi harus bisa menjaga
kerahasiaan tersebut.
4. Setiap orang yang menjalankan suatu
profesi yang bersifat rahasia, hampir selalu
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 21
memegang posisi yang tidak bergantung
(bebas), juga apabila ia berpraktek swasta.
Malah dalam kasus demikian, ada otonomi
profesi dan hanya ada beberapa
kemungkinan saja bagi pihak majikan untuk
melakukan tindakan-tindakan korektif.
5. Sifat pekerjaan ini membawa
konsekuensi pula bahwa hasilnya tidak
selalu dapat dijamin, melainkan hanya ada
kewajiban untuk melakukan yang terbaik.
Kewajiban itu tidak mudah untuk diuji.1
Disadari oleh semua pihak, bahwa dokter
hanya manusia biasa yang suatu saat bisa
lalai dan salah, sehingga pelanggaran kode
etik bisa saja terjadi, bahkan mungkin
sampai pelanggaran norma-norma hukum.
Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad
berpendapat bahwa belum ada parameter
yang tegas tentang batas pelanggaran kode
etik dan pelanggaran hukum. 2
1 D. Veronika Komalasari, Hukum dan Etika
Dalam Praktek Dokter, Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, 1989, halaman 14-15. 2 Harjo Wisnoewardono, Fungsi Medical
Record sebagai Alat Pertanggungjawaban Pidana
Etika berbeda dengan hukum, karena hukum
dibentuk oleh perangkat pembentuk undang-
undang, ketaatan asas hukum tersebut dapat
dipaksakan dari luar oleh aparat penegak
hukum (law enforcement official) karena
dikandung sanksi bagi pelanggarnya.
Sedangkan etika, ketaatan dan kesadaran
untuk melaksanakannya timbul dari dalam
diri manusia secara pribadi, dari setiap kalbu
insan tidak diperlukan sanksi yang berat.
Etika kedokteran bersama-sama dengan
norma hukum, mempunyai kaitan yang erat
dan saling melengkapi dalam arti saling
menunjang tercapainya tujuan masing-
masing.
Menurut Safitri Hariyanti, bahwa
pelanggaran terhadap butir-butir Kodeki ada
yang merupakan pelanggaran etik semata-
mata, dan ada pula yang merupakan
pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran
Dokter terhadap tuntunan Malpraktek, Malang,
ArenaHukum No. 17, FH Unbraw, 2002, halaman
161.
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 22
hukum yang dikenal dengan istilah
etikolegal.3
Pasien dan keluarganya mengetahui bahwa
kualitas pelayanan yang diterimanya kurang
memadai, seringkali pasien atau keluarganya
lebih memilih diam karena kalau mereka
menyatakan ketidak puasaannya kepada
dokter, mereka khawatir kalau dokter akan
menolak menolong dirinya yang pada
akhirnya menghambat kesembuhan sang
pasien.
Tidak semua pasien memilih diam apabila
pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya
maupun keluarganya terutama bila salah
satu anggota keluarganya ada yang
mengalamai cacat atau kematian setelah
prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter.
Berubahnya fenomena tersebut terjadi
karena perubahan sudut pandang terhadap
pola hubungan antara dokter dan pasiennya.
3 Safitri Hariyani, Sengketa Medik :
Alternatif penyelesaian Perselisihan Antara Dokter
Dengan Pasien, Jakarta Diadit Media, 2005, halaman
48.
Kedudukan pasien yang semula hanya
sebagai pihak yang bergantung kepada
dokter dalam menentukan cara
penyembuhan (terapi), kini berubah menjadi
sederajat dengan dokter. Dengan demikian
dokter tidak boleh lagi mengabaikan
pertimbangan dan pendapat pihak pasien
dalam memilih cara pengobatan, termasuk
pendapat pasien untuk menentukan
pengobatan dengan operasi atau tidak.
Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan
dalam pelayanan dokter, pasien akan
mengajukan gugatan terhadap dokter untuk
memberi ganti rugi terhadap pengobatan
yang dianggap merugikan dirinya.
Kemajuan teknologi bidang biomedis
disertai dengan kemudahan dalam
memperoleh informasi dan komunikasi pada
era globalisasi ini memudahkan pasien
untuk mendapatkan “second opinion” dari
berbagai pihak baik dari dalam maupun dari
luar negeri, yang pada akhirnya bila dokter
tidak hati-hati dalam memberikan penjelasan
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 23
kepada pasien akan berakibat kurangnya
kepercayaan pasien kepada para dokter
tersebut. Dunia kedokteran yang dahulu
seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan
berkembangnya kesadaran masyarakat akan
kebutuhannya tentang perlindungan hukum,
menjadikan dunia pengobatan bukan saja
sebagai hubungan keperdataan, bahkan
sering berkembang menjadi persoalan
pidana.
Tidak adanya parameter yang tegas antara
pelanggaran kode etik dan pelanggaran
hukum di dalam perbuatan dokter terhadap
pasien tersebut menunjukan adanya
kebutuhan akan hukum yang betul-betul bisa
diterapkan dalam pemecahan masalah-
masalah medis. Maraknya kasus dengan
malpraktek yang dimuat di media massa
maupun elektronik, kalangan kedokteran
karena salahnya praktek atau yang dikenal
luas istilah “malpraktek” semakin banyak
bermunculan. Dunia kedokteran yang dulu
seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan
berkembangnya kesadaran masyarakat akan
kebutuhannya tentang perlindungan hukum,
menjadikan dunia pengobatan bukan saja
sebagai hubungan keperdataan saja, bahkan
sering berkembang menjadi persoalan
pidana.
Pelayanan kesehatan pada dasarnya
bertujuan untuk melaksanakan pencegahan
dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk
didalamnya pelayanan medis yang
dilaksanakan atas dasar hubungan individual
antara dokter dengan pasien yang
membutuhkan kesembuhan namun dokter
sering melakukan tindakan kesalahan yang
berakibat kepada malpraktek terhadap
pasien.1 Persoalan malpraktek, atas
kesadaran hukum pasien yang merasa
dirugikan berakibat terhadap penuntutan
terhadap dokter yang melakukan kesalahan
medis (malpraktek) yang berujung
penuntutan secara pidana terhadap pasien
yang merasa dirugikan, memang disadari
oleh semua pihak bahwa dokter hanyalah
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 24
manusia biasa yang suatu saat bisa lalai dan
salah, sehingga pelanggaran kode etik bisa
terjadi bahkan sampai melanggar peraturan
kesehatan yang berlaku, oleh karena itu agar
tidak menimbulkan kekosongan norma perlu
adanya peraturan baru didalam KUHP yang
secara khusus mengatur tentang
pertanggungjawaban pidana terhadap dokter
yang melakukan malpraktek agar dapat
melindungi hak-hak pasien dari dokter yang
melakukan tindakan malpraktek dan
nantinya pasien yang dirugikan oleh dokter
dapat menuntut secara pertanggungjawaban
pidana terhadap dokter yang melakukan
tindakan malpraktek. Didalam dunia
kedokteran pasti mengenal istlah malpraktik,
Menurut Zulkifli Muchtar Malpraktik adalah
setiap kesalahan medis yang diperbuat oleh
dokter karena melakukan pekerjaan dibawah
standar.2 Soedjatmiko membedakan
malpraktek yuridis dibedakan menjadi 3
bentuk yaitu : 1. Malpraktek Perdata (Civil
Malpractice) terjadi apabila terdapat hal-hal
yang menyebabkan tidak dipenuhinnya isi
perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi
terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya, atau terjadinya perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad)
sehingga menimbulakan kerugian kepada
pasien. Sedangkan untuk dapat menuntut
pergantian kerugian karena kelalaian dokter
maka pasien harus membuktikan adanya 4
unsur berikut yaitu :
a. Adanya suatu kewajiban dokter terhadap
pasien
b. Dokter telah melanggar pelayanan medic
yang telah digunakan
c. Penggugat (pasien) telah menderita
kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya d. Secara faktual tindakan
tersebut dapat disebabkan oleh tindakan
dibawah standar.
2. Malpraktek Pidana (Criminal
Malpractice) terjadi apabila pasien
meninggal dunia atau mengalami cacat
akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 25
kurang hatihati, malpraktek pidana yaitu: a.
Malpraktek pidana karena kesengajaan
(intensional), misalnya pada kasus
melakukan aborsi tanpa indikasi medis,
enthanasia, membocorkan rahasia
kedokteran, tidak melakukan pertolangan
pada kasus gawat darurat padahal diketahui
bahwa tidak ada orang lain yang bisa
menolong, serta memberikan surat
keterangan dokter yang tidak benar. b.
Malpraktek pidana karena kecerobohan
(recklessness) misalnya melakukan tindakan
yang tidak lega artis atau tidak sesuai
dengan standar profesi serta melakukan
tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan
medis. c. Malpraktek pidana karena
kealpaan (negligence), misalnya terjadi
cacat atau kematian pada pasien akibat
tindakan dokter yang kurang hati-hati atau
alpa dengan tertinggalnya alat operasi
didalam rongga tubuh pasien.
Malpraktik dan Resiko Medik Dalam
Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka,
Jakarta, h.34.
4 Soedjatmiko, op.cit, h.35.
3. Malpraktek Administrasi (Administrative
Malpractice) terjadi apabila dokter atau
tenaga kesehatan lain melakukan
pelanggaran terhadap hukum administrasi
Negara yang berlaku, misalnya menjalankan
praktek dokter tanpa lisensi atau ijin
praktek, melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan lisensi atau ijinnya,
menjalankan praktek dengan izin yang
sudah daluarsa, dan menjalankan praktek
tanpa membuat catatan medik.
II. Hasil pembahasan
Hasil dari pembahasan ini tidak dapat
dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah
diuraikan diata yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Sebagai sumbangan pemikiran dan
pengembangan bidang ilmu hukum
pidana, khususnya dalam menambah
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 26
wawasan dan ilmu pengetahuan
serta memberikan kontribusi
pemikiran kepada mahasiswa,
masyarakat, lembaga pemerintah
dan aparat penegak hukum yang
menyoroti dan membahas tentang
pertanggung jawaban dokter
terhadap tindak pidana malpraktek.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk Mengetahui apakah
pengaturan hukum pidana positif
di Indonesia dalam
menanggulangi tindak pidana
malpraktek oleh Dokter sudah
tepat pemberlakuannya.
b. Untuk mengetahui bagaimana
bentuk pertanggungjawaban
dokter baik secara perdata,
pidana maupun dalam hukum
administrasi terhadap tindak
pidana malpraktek yang banyak
terjadi dewasa ini.
c. Untuk mengetahui kebijakan
penegakan hukum pidana yang
tepat dalam menanggulangi
tindak pidana malpraktek yang
dilakukan dokter.
Keterikatan dokter terhadap ketentuan-
ketentuan hukum dalam menjalankan
profesinya merupakan tanggungjawab
hukum yang harus dipenuhi dokter salah
satunya adalah pertanggungjawan hukum
pidana terhadap dokter diatur dalam Kitab
UndangUndang Hukum Pidana yaitu dalam
Pasal 90, Pasal 359, Pasal 360 ayat (1) dan
(2) serta Pasal 361 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.6 Salah satunya Pasal 360
KUHP menyebutkan : 1. Barangsiapa karena
kekhilafan menyebabkan orang luka berat,
dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya satu tahun. 2. Barang siapa karena
kekhilafan menyebabkan orang luka
sedemikian rupasehingga orang itu menjadi
sakit sementara atau tidak dapat
menjalankan jabatan atau pekerjaannya
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 27
sementara, dipidana dengan pidana penjara
selamalamanya Sembilan bulan atau pidana
dengan pidana kurungan selama-lamanya
enam bulan atau pidana denda setinggi-
tingginya empat ribu lima ratus rupiah. Jika
berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, jika
diterapkan pada kasus.
Malpraktek yang dilakukan oleh dokter, ada
3 unsur yang menonjol yaitu : 1. Dokter
telah melakukan kesalahan dalam
melaksanakan profesinya 2. Tindakan dokter
tersebut dilakukan karena kealpaan atau
kelalaian 3. Kesalahan tersebut akibat dokter
tidak mempergunakan ilmu penegtahuan dan
tingkat keterampilan yang seharusnya
dilakukan berdasarkan standar profesi 4.
Adanya suatu akibat yang fatal yaitu
meninggalnya pasien atau pasien menderita
luka berat.7
Oleh karena itu setiap kesalahan yang
diperbuat oleh seseorang , tentunya harus
ada sanksi yang layak untuk diterima
pembuat kesalahan, agar terjadi
keseimbangan dan keserasian didalam
kehidupan sosial.
Dalam rangka mengembangkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh penulis selama
mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Pembinaan Masyarakat
Indonesia maka penulis menuangkannya
dalam judul skripsi yang berjudul: “Analisis
Hukum Terhadap Pertanggungjawaban
Dokter Dalam Melakukan Tindak Pidana
Malpraktek”
Dilihat dari permasalahan serta tujuan yang
hendak dicapai melalui penulisan skripsi ini,
maka dapat dikatakan bahwa judul skripsi
ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum
Universitas Pembinaan Masyarakat
Indonesia. Hal ini sejalan dengan
pemeriksaan yang dilakukan oleh Fakultas
Hukum Universitas Pembinaan Masyarakat
Indonesia mengenai keaslian judul penulisan
skripsi ini. Dengan demikian dilihat dari
permasalahan dan tujuan penulisan yang
ingin dicapai dalam penulisan ini, maka
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 28
dapat dikatakan bahwa skripsi ini
merupakan karya sendiri yang asli.
III. Kesimpulan dan saran
A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dari
keseluruhan bab yang ada dalam skripsi ini
adalah :
1. Tindak pidana malpaktek yang
ditinjau dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP),
yakni :
a. Tindak pidana malpraktek yang
berkaitan dengan kesengajaan
dan kealpaan. Pasal yang
berkaitan dengan kesengajaan
diatur dalam Bab XII Pasal 267
KUHP, Bab XIV Pasal 294, 299
KUHP, Bab XV Pasal 304, 531
KUHP, Bab XVII Pasal 322
KUHP, Pasal 344-345, Bab XIX
Pasal 346-349 KUHP.
Sedangkan yang berkaitan
dengan kealpaan diatur dalam
Bab XXI Pasal 359, 360 (1,2).
b. Dalam hal tindak pidana
pemberatan pidana dan pidana
tambahan diatur dalam 361
KUHP.
2. Berdasarkan sanksi pidana yang
dilakukan dokter telah diuraikan
diatas, maka dapat disimpulkan hal-
hal sebagai berikut:
a. Pengertian malpraktek tidak
terdapat dalam Undang-Undang
manapun, akan tetapi setelah
melihat berbagai definisi
malpraktek dari berbagai sumber
maka dapat disimpulkan bahwa
malpraktek medis adalah
kelalaian atau ketidak hati-hatian
seorang dokter dalam
pelaksanaan kewajiban
profesionalnya. Ruang lingkup
malpraktek adalah kelalaian yang
menyebabkan kematian atau luka
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 29
dalam bentuk apapun, misalnya
tidak sengaja memotong salah
satu urat nadi saat melakukan
operasi kemudian lupa
menjahitnya kembali.
b. Dokter akan
dipertanggungjawabkan secara
pidana apabila melakukan hal-hal
dalam ruang lingkup malpraktek,
dimana pasal-pasal yang relevan
dengan ruang lingkup malpraktek
tersebut terdapat dalam dua
undang-undang yaitu KUHP dan
Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran pasca uji materi
Mahkamah Konstitusi.
Pengaturan dalam KUHP yang
berkaitan dengan malpraktek
medis yang masih berlaku hingga
saat ini adalah kelalaian yang
menyebabkan kematian dengan
ancaman pidana maksimal lima
tahun penjara atau satu tahun
kurungan dan kelalaianyang
menyebabkan luka dengan
ancaman pidana maksimal
sembilan bulan penjara atau
enam bulan kurungan atau denda
Rp 4.500,00. Pengaturan dalam
Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran pasca uji materi
Mahkamah Konstitusi yang
berkaitan dengan malpraktek
medis yang masih berlaku hingga
saat ini adalah melakukan
praktek tanpa memiliki Surat
Tanda Registrasi (STR) dengan
ancaman pidana maksimal denda
Rp 100.000.000,00, melakukan
praktek tanpa memiliki Surat Izin
Praktek (SIP) dengan ancaman
pidana maksimal denda Rp
100.000.000,00, dan memberikan
pelayanan yang menimbulkan
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 30
kesan dokter yang bersangkutan
memiliki STR/SIP dengan
ancaman pidana maksimal
penjara lima tahun atau denda Rp
150.000.000,00.
c. Pada kenyataannya sulit bagi
dokter untuk dibawa ke
pengadilan pidana. Sekalipun
dibawa ke pengadilan pidana,
belum tentu dokter tersebut
terbukti bersalah. Selanjutnya
sekalipun dokter tersebut terbukti
bersalah, belum tentu ia dijatuhi
pidana badan berupa pidana
penjara. Hal ini bisa dilihat
ternyata tidak ada dokter yang
mendapatkan pidana badan
berupa pidana penjara. Pidana
yang dijatuhkan hanya berupa
pidana denda.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat
disarankan sebagai berikut:
1. Sebaiknya dibuat rumusan yang pasti
mengenai malpraktek medis didalam sebuah
undang-undang sehingga semua pihak
mengerti batasan-batasan mengenai
malpraktek medis tersebut dan agar
menghindari kerancuan.
2. Sebaiknya para penegak hukum bisa lebih
tegas dalam membuat tuntutan atau putusan
karena pidana denda saja dikhawatirkan
kurang cukup dalam mencegah dokter lain
melakukan tindak pidana serupa mengingat
pidana denda tidak sebanding dengan
kerugian yang telah diderita pasien, dan
denda yang dicantumkan dalam pasal-pasal
pidana tentang dokter kurang membebani
dokter secara finansial. Pidana yang lebih
tepat dijatuhkan pada pelaku malpraktek
menurut penulis adalah pidana kurungan
atau pidana tambahan berupa pencabutan
hak-hak tertentu (pencabutan STR/SIP).
3. Bagi penegak hukum sebaiknya benar-
benar mempelajari kasus yang ditanganinya
dan ketentuan-ketentuan yang dapat
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 31
digunakan bagi dokter yang terkena kasus
malpraktek. Profesi sebagai dokter tidaklah
mudah karena banyak dokter dalam
dunianya sering melakukan tindakan
malpraktek sehingga berakibat kepada
kesalahan medis yang menyebabkan pasien
cacat ataupun meninggal dunia, maka
didalam praktek agar tidak menimbulkan
kesemena-menaan dari seorang dokter
terhadap pasiennya perlu diadakannya
pertanggungjawaban hukum secara pidana,
yang dimana jika dikaji dari KUHP terhadap
dokter yang melakukan tindakan malpraktek
dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya
dengan Pasal 360 KUHP pada ayat (1) dan
(2) sehingga terhadap dokter yang
melakukan tindakan medis yang berakibat
menimbulkan luka berat atau kematian
karena kelalaian dokter terhadap pasiennya
dapat mempertanggungjawabkan secara
pidana, dengan tujuan untuk melindungi hak
terhadap korban yang mendapatkan tindakan
malpraktek , akan tetapi peraturan yang
mengatur tindak pidana malpraktek didalam
KUHP belum secara jelas mengatur
kualifikasi dan jenis-jenis tindakan
malpraktek yang ada dalam bidang
kedokteran, peraturan didalam KUHP hanya
mengatur lebih kepada akibat dari perbuatan
malpraktek tersebut, sehingga perlu adanya
peraturan baru didalam KUHP yang secara
khusus mengatur tentang kualifikasi
tindakan malpraktek yang dilakukan dokter,
sehingga dokter tersebut dapat
mempertanggungjawabkan tindakannya
secara pidana dan penegak hukum dapat
memiliki landasan yuridis yang jelas dalam
menegakan peraturan didalam KUHP
terhadap dokter yang melakukan tindakan
malpraktek.
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 32
IV. Daftar Pustaka
Saleh Roslan, 1987 Sifat Melawan Hukum
Dari Perbuatan Pidana. Penerbit Aksara
Baru, Jakarta.
Sugandhi.R,1981 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Dengan
Penjelasanya, Usaha Nasional, Surabaya.
Simons,2009, Tindak Pidana (Strafbaarfiet)
Perbuatan Melawan Hukum Suara Rakyat.
Soebekti , Tjitrosoedibjo, 1969, Kamus
Tentang Hukum. Penerbit PT.Pradnya
Paramita,Jakarta.
Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar
negara Indonesia1945.
Pompe WPJ, 1987 Hukum Pidana. Penerbit
PT. Aditam, Bandung.
Erdianto Efendi,2011, Hukum Pidana
Indonesia Suatu Pengantar. Penerbitkan
PT. Aditama, Bandung.
Mertokusumo Sudikno,1988. Mengenal
hukum suatu pengantar, Liberty
Yogyakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, Edisi 2008, Keempat, PT.Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Siahaan Hotman M, 1997, Main Hakim
Sendiri (Eigenrichting) di Tinjau dari
Sosiologi Hukum, Bulan Bintang, Jakarta.
Soerjono Soekanto,1988.Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Simons, 2009, Tindak Pidana (strafbaarfiet)
perbuatan Melawan Hukum, Suara Rakyat,
Bandung.
Satjipto Rahardjo,2001, Sosiologi Hukum
Esai-Esai Terpilih, Genta Publishing,
yogyakarta.
Prodjodikora Wirjono. Azas-Azas Hukum
Pidana di Indonesia halaman 87.
Abidin farid. Zaenal,1995, Hukum Pidana
kesatu, Edisi pertama, PT. Sinar Grafika,
Jakarta.
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 33
R.E. Barimbang,2001,Catur Wangsa Yang
Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan
Supermasi Hukum, Pusat Kajian Reformasi,
Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 1986, Hukukm dan
Perubahan Sosial, Alumni, Bandung.
A. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 29 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Undang-Undang Negara Republik
Indonesia tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab undang-Undang Hukum acara
Pidana.
B. Jurnal
Zudan Arif Fakrullah “Membangun Citra
Hukum Melalui Putusan Hakim Yang
Berkualitas”, Artikel, Jurnal Keadilan,
Vol 1 Nomor 3, September 2001.
Nyoman Serikat Putra Jaya “Aspek Hukum
Terhadap Tindakan Anarkis Dan Main
Hakim Sendiri Dalam
Masyarakat”Artikel, Jurnal Keadilan.
Januari 2007.
C. Internet
Anonim,”Fenomena Main Hakim Sendiri”,
dalam situs http://www.
Internet.com.diakses 21 September 2016.
Pidana bagi pelaku main hakim sendiri
(HTML) diakses tanggal 18 Oktober 2016.
T. Gayus Lumbuun” Main Hakim Sendiri
dan Budaya Hukum”, kompas, online
diakses selasa 20 september 2016.
Pidana bagi pelaku main hakim sendiri
(HTML) diakses tanggal 02 november
2016.
Hukumonline.com/klinik/detail/Pidana bagi
Pelaku main Hakim sendiri.
Jogja.tribunnews.com.Pidana Bagi Pelaku
Main Hakim Sendiri.
Pidana bagi pelaku main hakim sendiri
(HTML).
FOCUS HUKUM UPMI e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 No. 1 EDISI 2020
Jurnal Hukum UPMI 19-34 Page 34
http://www. Penegakan Hukum. Blogspot.
com, diakses, tanggal 25 Oktober 2016.
http://www. Lodaya.web.id/?p=18372.
http://www. Hukumonline.
Com/klinik/detile/lt 50221cc74649
pengertian-sistem-peradilan-pidana.