F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil...

105

Transcript of F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil...

Page 1: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang
Page 2: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

2

F.J. Ismarianto

Story Eater

Page 3: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

3

Untuk Dia yang sekarang duduk di belakangku.

KUKIS PEDAS

Kumpulan Kisah Pendek Fantasi

Karya F.J. Ismarianto

Copyright © November 2013 by Fery Juni Ismarianto

[1. Fantasi. 2. Cerita pendek—antologi. 3. Fiksi—Supernatural. 4.

Fabel. 5. Fiksi—Komedi.]

Buku-e ini bersifat fiksi. Bila ada kesamaan nama, tempat, dan

kejadian, maka hal itu merupakaan ketidaksengajaan atau kebetulan

semata atau ditakdirkan untuk menjadi kebetulan.

Selama bukan untuk tujuan cari duit komersil atau diakui

sebagai karya sendiri, memperbanyak sebagian atau

keseluruhan buku-e ini sangat dianjurkan.

Kecuali untuk nama penulis, font untuk halaman 2 dibuat di cooltext.com.

Cover diperindah dengan menggunakan fitur di pho.to.

Page 4: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

4

1. Sececap Kukis – 5

2. Bocah Penjual Cookies – 7

3. Rencana Orangutan – 23

4. Aku Mengubah Kekasihku Menjadi Keset – 37

5. Paradeso – 55

6. Confession of a Bookaholic – 89

7. Tentang Penulis – 105

Page 5: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

5

Sececap Kukis

Terima kasih pada kak Mery Riansyah, Kastil Fantasi

dan Penggemar Novel Fantasi Indonesia yang telah

secara tak sengaja membuatku "terpaksa" membuat

kelima cerpen ini.

Terima kasih pada Sherina, ponsel terhebat di seluruh

dunia yang selalu menemaniku di saat aku suka mau

pun duka. Please, jangan sakit lagi ya.

Terima kasih pada keluargaku, juga teman-temanku,

juga penggemarku (ish, siapa yang mau jadi

penggemarmu, Jun?) yang telah mendukung hingga

kumcer ini bisa selesai ditulis, dibuatin cover depan

[untuk dipajang di halaman pertama dan goodreads],

dipercantik tata letaknya, hingga diupload ke

goodreads untuk bisa didownload oleh banyak orang.

Terima kasih pada cooltext.com yang telah

menyediakan font yang oke dan gratis untuk

digunakan.

Terima kasih pada pho.to yang membantu

mempercantik cover yang kubuat.

Terima kasih juga padamu. Yang telah mendownload

ebook ini dan menyisihkan sedikit waktumu yang

berharga untuk membaca Kukis Pedas yang masih

jauh dari sempurna ini. Mungkin beberapa dari kalian

sudah pernah membaca cerpen-cerpen dalam buku

Page 6: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

6

digital ini sebelumnya, sebab semua kisah sudah

pernah dimuat di blog pribadiku, di grup Kastil

Fantasi di Goodreads dan di grup Penggemar Novel

Fantasi Indonesia di facebook. Tapi aku jamin, kalian

akan menemukan sesuatu yang baru di dalamnya.

Kini, semuanya terserah kalian. Aku hanya bisa

berharap Kukis Pedas memenuhi ekspektasi kalian.

Selamat menikmati Kukis Pedas!

Jun

Nb. Boleh banget lho kumcer ini direview ;)

Page 7: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

7

Bocah Penjual Cookies

Page 8: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

8

Bocah lelaki itu sengaja melepaskan sepatu bututnya di

luar dapur. Sepatu yang kekecilan itu kadang mendecit

ketika digunakan berjalan. Misinya mengendap-ngendap

di dapur akan gagal bila dia menimbulkan kegaduhan.

Bocah itu berjingkat masuk. Kepalanya berputar kesana-

kemari. Rasa cemas membayang di wajahnya. Pintu dapur

yang terhubung ke luar rumah bisa terbuka kapan saja.

Jendela kaca bisa membuat seseorang yang berada di luar

rumah mengetahui aksinya.

Tanpa sadar dia menahan napasnya.

Satu langkah.

Dua langkah.

Tiga langkah.

Dia berhasil tiba di meja dapur!

Dia kembali menelan kekecewaan saat menemukan satu

piring dan diletakkan tepat di tengah meja. Jauh dari

jangkauan tangan mungilnya.

Bocah itu menatap pintu dan jendela sekali lagi. Masih

tidak ada tanda-tanda orang mendekat.

Perlahan sekali dia menarik salah satu kursi kayu. Tenaga

kecilnya tidak mampu membuat kursi itu bergeser.

Dicobanya lagi. Kali ini dia mengerahkan seluruh

tenaganya. Kursi kayu itu akhirnya menyerah dan

Page 9: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

9

menuruti keinginan si bocah kecil berumur 9 tahun itu,

mundur beberapa puluh senti.

Sebelum dia memanjat kursi yang baru digesernya, bocah

itu memandang sekitarnya lagi. Dia cukup khawatir derit

kursi beradu dengan lantai tadi didengar seseorang.

Seseorang yang ditakutinya setengah mati.

Tapi tidak. Orang itu tampaknya masih sibuk di luar.

Bocah itu berharap semoga orang itu berada selama

mungkin di luar rumah melakukan entah apa.

Tiga buah donat saling bertumpuk di atas piring itu. Baru

saja bocah itu mengangkat salah satu donat. Nyaris saja

mulutnya dibanjiri rasa manis roti dan meisses cokelat.

Pintu yang sejak tadi ditatapnya lekat tertutup. Seseorang

yang ditakutinya muncul dari pintu lain. Pintu dari ruang

tengah. Pintu yang tadi dilewatinya.

"Apa yang kamu lakukan?!" bentak wanita itu. Matanya

yang tajam mengulitinya. Rambutnya yang sebahu

mencuat berantakan, menambah kesan kegarangannya.

Tangannya terangkat. Refleks si bocah merendahkan

kepalanya, pasrah menerima pukulan dari wanita itu. "Itu

bukan buat kamu!"

"Tapi, Bu, saya lapar," rengek bocah itu, sebelah

tangannya mengusap puncak kepalanya yang panas. Air

mata mendesak keluar, membanjiri pipinya yang kurus.

"Saya belum makan."

Page 10: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

10

"Salah sendiri siapa suruh tadi kelayapan," kata wanita itu

yang tak lain dan tak bukan adalah ibu kandung bocah itu.

"Pulang sekolah itu langsung pulang ke rumah. Bukan

main di lapangan. Cepat taruh donat itu kembali!"

"Tapi saya lapar," cicit bocah itu.

"Taruh!" Lagi-lagi wanita itu memukul anaknya. "Atau

kamu nggak dapat makan sampai besok pagi!"

Mendengar ancaman dari ibunya, bocah itu

mengembalikan—dengan tidak rela—donat yang nyaris

dicerna lambungnya kembali ke tempatnya. Setelah itu dia

melompat turun dan mendorong kursi kayu masuk ke

bawah meja.

"Cepat kerjakan tugasmu," kata ibunya, menyodorkan dua

tas plastik berisi kotak-kotak cookies. "Kamu baru boleh

makan setelah menjual semua cookies-cookies ini."

"Semuanya?!" Mata bocah itu membeliak kaget. Bisa

menjual setengahnya saja butuh usaha yang sangat keras.

"Itu hukuman bagi pencuri!" Kata ibu bocah itu terlalu

keras, membuat anaknya makin mengkeret. Dia keluar

sebentar, mengambil baju kotor lusuh yang sebenarnya

lebih layak digunakan sebagai kain lap.

"Cepat gunakan ini. Ini akan membantumu menjual lebih

cepat," kata ibu bocah itu lagi sembari menyerahkan baju

Page 11: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

11

kotor. "Tidak ada tapi-tapian!" imbuhnya cepat sebelum

anaknya sempat melontarkan protes.

Bocah itu segera menuruti perintah ibunya. Cepat-cepat

dilepaskannya seragam sekolahnya dan menggantinya

dengan baju yang disodorkan ibunya.

"Jangan pulang sebelum semuanya terjual!" teriak ibunya

sesaat sebelum si bocah keluar dari ruang depan.

Di teras dia menemukan seonggok tubuh pria pingsan.

Bukan, bukan pingsan. Lebih tepatnya dia mabuk berat.

Bau alkohol, muntah, keringat menguar dari tubuhnya.

Pria itu tiba-tiba terbangun, matanya melotot, lalu

mencekik leher kecil si bocah.

Kantong plastik yang dibawa si bocah terlepas. Sepasang

tangan mungilnya mencoba membuka cengkeraman pria

itu. "A-ayah, ja-jangan..."

"Mati kau, Sal. Mati kau, Sal!" Lelaki yang ternyata ayah

bocah itu berteriak histeris.

"A-a-ayah... A-ku buk-buk-kan om Sal..."

Sal adalah sahabat ayahnya. Dia tidak tahu pasti kenapa

ayahnya jadi benci dengan sahabatnya tersebut, hingga

menginginkan sahabatnya itu mati. Si bocah mau tak mau

juga benci dengan om Sal. Gara-gara dia ayahnya jadi

pemabuk dan tidak pernah membawakannya kertas warna-

warni lagi dari tempatnya mencari nafkah.

Page 12: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

12

Si bocah mendengar suara derap kaki di belakangnya.

Ibunya melangkah cepat ke arah mereka. Dia

menghantamkan sekuat tenaga penggorengan yang

dibawanya ke kepala suaminya. Sungguh ajaib kepalanya

tidak pecah. "Dasar lelaki nggak berguna!" Suaminya

mengerang sekali sebelum jatuh pingsan. "Pergi sana,"

imbuh wanita itu pada anaknya.

Setelah memungut kantong plastik penuh cookies,

mengusap bekas air matanya dengan serampangan, tak

memperdulikan gemuruh halilintar yang mencoba

memperingatkannya, si bocah berjalan gontai menuju

terminal bus yang tak jauh dari rumahnya. Tempatnya

biasa menjajakan jualannya.

Ibunya salah. Tidak ada satupun manusia yang mau

membeli cookiesnya. Gara-gara bau pakaiannya yang

tidak sedap mereka menjauhinya. Bahkan beberapa orang

terang-terangan mengernyitkan hidung, mengibas-ibaskan

tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar,

sambil menghardiknya atau mengusirnya. Beberapa yang

masih punya kesopanan menolaknya dengan halus—

setelah menatap penampilannya dari atas ke bawah.

Bocah itu mengistirahatkan badannya sebentar di depan

warung makan. Mendekap dagangannya erat. Menghirup

aroma cookies cokelat yang nikmat. Juga aroma makanan

yang dijajakan warung makan di belakangnya.

Menenangkan cacing-cacing yang mulai mengigiti

Page 13: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

13

dinding ususnya, saking frustasinya belum diberi jatah

makanan.

"Hei, kamu anak yang jualan cookies tadi, kan?"

Bocah itu mendongak. Seorang gadis cantik belasan tahun

berdiri menjulang di sebelahnya. Senyum manis

menghiasi bibir mungilnya. Bocah itu buru-buru berdiri

dan mengangguk.

"Boleh lihat cookies-cookies kamu?"

Bocah itu bergerak cepat membuka ikatan kantong plastik.

Diambilnya satu kotak cookies, lalu ditunjukkan pada

gadis itu. Ekspresi gadis itu melonjakkan rasa senang si

bocah.

Dia pasti beli banyak, batinnya.

"Satunya berapa?"

Bocah itu menyebutkan harganya. Hanya empat ribu

rupiah. Dan bila gadis itu berniat membeli tiga kotak akan

mendapatkan potongan harga sebesar seribu rupiah.

"Ada berapa kotak?"

Si bocah tersenyum lebar. Dugaannya terbukti benar.

Gadis itu akan beli banyak. Dia kemudian menghitung

jumlah kotak yang dibawanya. Ibunya hanya membuat

empat belas kotak cookies.

Page 14: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

14

"Aku beli semuanya," kata gadis itu, sambil memasukkan

jari-jarinya ke dalam dompernya yang bermotif daun-daun

kecokelatan. "Berapa semuanya?"

Si bocah mulai menghitung dengan tangannya. Tapi dia

kebingungan, karena belum pernah ada yang membeli

semua cookiesnya sekaligus, dia tidak yakin berapa gadis

itu harus membayar. Ibunya tak memberitahunya berapa

potongan harga yang harus diberikan seandainya ada

pelanggan yang membeli lebih dari tiga.

"Totalnya kalau tanpa diskon lima puluh enam ribu. Bila

tiap tiga pembelian dikorting seribu, maka totalnya

berubah. Empat puluh empat ribu, ditambah delapan ribu

karena sisa dua, jadi lima puluh dua ribu," si gadis

membantu menghitungkannya. "Ya kecuali kalau

diskonnya beda."

"Ibu tidak memberi tahu saya, berapa potongan harga

yang harus saya berikan kalau ada yang beli lebih dari

tiga," jawab si bocah.

Si gadis terdiam sebentar. Mengamati wajah si bocah

dengan seksama dengan ekspresi yang susah dibaca. "Oke,

bagaimana kalau kita lupakan soal diskon dan aku beli

semua cookiesmu seharga lima puluh enam ribu."

Si bocah mengangguk.

Si gadis menyodorkan selembar uang seratus ribuan.

"Tapi saya tidak punya kembalian."

Page 15: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

15

"Ambil saja kembaliannya buat kamu," kata gadis itu

sambil mengedipkan sebelah matanya.

Bocah itu mengucap syukur dalam hati. Dia bahkan belum

pernah memegang uang sebanyak itu. Ibunya pasti senang

dan tidak marah-marah lagi padanya. Semua cookiesnya

terjual habis!

Di perjalanan pulang dia melihat toko yang menjual

mainan anak-anak. Sudah lama sekali dia meminta ibunya

membelikannya mobil-mobilan. Ditangannya tergenggam

uang yang cukup besar—menurut ukurannya. Dia bisa

menggunakannya untuk membeli mainan baru. Ibunya

tidak tahu mengenai uang kembaliannya yang banyak.

Kalau pun nanti wanita pemarah itu menanyakan perihal

darimana mainan itu dia bisa bilang dia menemukannya di

jalan.

Mas-mas penjual toko menghampirinya. Nyaris

mengusirnya kalau bocah itu tidak cepat-cepat

menunjukkan uangnya. Kedua ujung bibir mas-mas itu

tertarik ke belakang. Dia mempersilakan bocah itu

melihat-lihat sementara dia membawa uang bocah itu ke

meja kasir.

Mata bocah itu menangkap mobil pemadam kebakaran.

Mobil itu sudah menarik perhatiannya sejak menginjakkan

kakinya di toko. Mobil itu bukanlah mobil-mobilan

terbesar—yang terbesar adalah replika mobil yang bisa

dinaiki, memiliki setir, dan bisa dijalankan karena telah

Page 16: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

16

dilengkapi pedal kaki, tapi mobil pemadam kebakaran

adalah satu-satunya mobil yang mempunyai tangga

panjang yang bisa ditarik-ulur.

Bocah itu tidak tahan membayangkan reaksi teman-

temannya nanti saat dia memboyong pulang mobil

pemadam kebakaran itu. Teman-temannya pasti iri dan

bergantian meminjam mainan barunya.

Ketika hendak menyentuhnya, mas-mas yang tadi kembali

dan memukul tangan mungil bocah itu. Bocah itu kaget

bukan main. Buru-buru dia menyembunyikan tangannya

di balik punggung. Rasa bingung bertengger di wajahnya.

"Kecil-kecil sudah mau nipu orang," dumel si mas-mas.

"Ini—" dia mengembalikan uang bocah itu dengan

melemparnya ke lantai, seolah itu benda paling

menjijikkan di seluruh dunia. Bocah itu cepat-cepat

memungutnya"—uang palsu tidak diterima disini!"

Wajah bocah itu kontan pucat pasi. Bayangan mengenai

teman-temannya yang akan meminjam mainan barunya

meluruh. Digantikan bayangan mengenai ibunya yang

berteriak-teriak sambil membawa kemoceng, lalu

memukuli tubuhnya yang telanjang. Tanpa sadar pipinya

telah basah oleh air mata.

Hujan lebat menyambutnya begitu kakinya menjejak

jalanan di luar toko. Orang-orang di sekitarnya berlarian

mencari tempat berteduh. Beberapa pengendara motor

Page 17: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

17

berhenti, membuka bagasi, dan dengan gerakan secepat

kilat mengenakan jas hujan. Ada juga yang melajukan

motornya lebih cepat, berusaha menggapai daerah kering

sebelum hujan yang menyerbu membuat mereka terlalu

basah.

Bocah itu bisa saja berlari pulang ke rumahnya tanpa takut

badannya basah kuyup—dia tahu jalan mana saja di mana

dia bisa melompat-lompat diantara teras toko dan rumah-

rumah penduduk yang dilengkapi semacam tudung. Tapi

apa yang akan dikatakannya pada ibunya? Bahwa

cookiesnya dibeli dengan uang palsu? Tidak. Dia tidak

berani menampakkan mukanya di rumah. Dia lebih baik

berdiri, menangis, di bawah siraman hujan. Kalau perlu

dia tidak usah pulang lagi.

"Hei, adik kecil!" Seorang pria setinggi 175 senti tiba-tiba

muncul di hadapannya dan menyapanya. Dia mengenakan

jas hujan berwarna abu-abu. "Kok hujan-hujanan. Tidak

takut sakit?"

Si bocah menggeleng. Dia menatap curiga pria asing itu.

Tidak heran, mengingat dia baru saja mengalami hal

buruk.

"Aku melihatnya. Maksudku, aku melihatmu tadi di toko

mainan," kata pria itu. Tangis bocah itu makin menjadi-

jadi. Si pria kontan bingung. "Jangan nangis, oke," dia

berusaha menenangkan bocah itu. "Maaf aku tidak bisa

membelikanmu mainan. Tapi mungkin kamu mau

Page 18: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

18

menukar uang palsumu dengan sedikit makanan. Tidak

baik anak sebaik kamu harus berurusan dengan polisi."

Mendengar polisi disebut-sebut, bocah itu menghentikan

tangisnya. Dia langsung menyerahkan uang palsunya yang

sudah basah terkena hujan. Pria itu tersenyum, lalu

menggiringnya ke teras toko yang masih tutup.

"Mau lihat sedikit sihir?" Tawar pria itu. Si bocah

melongo. Tak mengerti maksud pria dewasa di

sampingnya. "Perhatikan ini."

Pria itu merogoh sakunya. Mengeluarkan botol kecil

mirip-mirip botol obat kulit. Dibukanya tutupnya, lalu

dibuangnya dua tetes ke lantai teras. Tetesan-tetesan itu

bersinar redup, dan sedetik kemudian menyemburkan zat

semacam air yang kemudian memahat diri membentuk

semangkuk cookies yang dipandangi si bocah dengan

takjub.

"Cookies?"

"Cookies cokelat," kata si pria. "Aku dengar cokelat bisa

membuat bahagia pemakannya."

Selama semenit bocah itu ragu mengambil cookies itu.

Diusapnya belakang kepalanya. Teringat kejadian tadi

siang di dapur.

"Kamu tidak suka cookies?" Tanya si pria.

Page 19: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

19

"Suka kok," kata si bocah cepat sambil menggelengkan

kepalanya.

"Kalau begitu, kenapa diam saja?" Si pria tersenyum

ramah. "Dimakan dong."

Bocah itu kemudian menyentuhkan ujung telunjuknya

pada cookies teratas dalam tumpukan. Tahu bahwa

cookies coklat itu bukan ilusi—kalau ilusi tidak mungkin

sepadat itu, bocah itu langsung menyambar dua cookies

dengan kedua tangannya. Memakannya bergantian dengan

cepat.

"Pelan-pelan," kata si pria, geli.

Belum sampai seperempat jam, mangkuknya sudah

tandas. Si bocah sebenarnya masih lapar. Dia ingin

meminta semangkuk cookies lagi. Selain karena tidak

enak, apalagi dia baru mengenal pria itu, dia merasa

mengantuk sekali. Kepalanya entah kenapa tiba-tiba terasa

berat. Seakan-akan batu berukuran raksasa diletakkan di

atas kepalanya.

Dia berusaha melawan rasa kantuknya. Kepalanya

beberapa kali terantuk, tapi buru-buru ditegakkan kembali.

Hei bangun, kamu nanti dimarahi ibumu. Sebuah suara

mencoba memperingatkannya. Mungkin suara itu berasal

dari hati kecilnya.

Page 20: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

20

Sudahlah, dia memang wanita pemarah. Nanti saja

mendengar caci-maki dan merasakan ayunan tangannya.

Suara lain, suara yang lebih lembut, namun nadanya

seperti orang meredam kemarahan yang hendak mencelat

keluar, mengenyahkan peringatan yang tadi terdengar.

"Apa yang kamu lakukan?"

Samar-samar si bocah penjual cookies mendengar suara

seorang perempuan yang berdiri. Suaranya terdengar

sangat familiar. Bocah itu mendongakkan kepalanya,

memekik kecil ketika menyadari sosok yang berdiri di

sebelah lelaki baik yang memberinya cookies.

Gadis itu... Gadis yang tadi memberi uang palsu!

Tapi dia tidak sempat merasakan kemarahan. Matanya

terlalu berat untuk terus-terusan dibuka. Dia akhirnya

menyerah pada kantuk yang menyerangnya. Punggungnya

menyandar pada pintu toko. Matanya pelan-pelan

berangsur-angsur menutup.

"Apa yang kamu lakukan?!" ulang si gadis, kali ini

suaranya lebih tinggi satu oktaf.

Napas si bocah mulai teratur.

"Aku rasa dia pantas mati," jawab si pria datar.

"Kamu sadar apa yang kamu lakukan?" Si gadis mendelik.

"Kamu membunuhnya! Kamu membunuh tambang emas

kita!"

Page 21: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

21

"Dia mungkin malah menyusahkan kita." Si pria tak

terpengaruh paparan emosi si gadis. Nada suaranya tetap

datar.

"Menyusahkan katamu? Tahu apa dirimu soal bocah ini?

Aku yang mengamatinya selama berminggu-minggu. Dan

perlu kamu tahu, dia belum pernah sakit sekali pun! Dia

juga tidak pilih-pilih makanan. Dan yang terpenting, dia

cukup manis. Cukup manis untuk menarik perhatian

seseorang sehingga mau membayarnya dengan harga

mahal. Sekarang lihat ulahmu! Gara-gara kamu... Buzz!

Uang kita menguap!"

Hela. Keluar. Hela. Keluar. Dada si bocah naik-turun

secara perlahan. Makin perlahan. Semakin perlahan.

"Oke, oke! Aku mengaku," pria itu sengaja meninggikan

suaranya guna menghentikan ocehan temannya. "Aku,"

dia menatap si bocah yang makin terlelap, "merasa

kasihan pada bocah ini. Bocah penjual cookies ini."

Si gadis berdecak marah. "Kasihan tidak menghasilkan

uang bagi kita! Sama artinya dengan kita tidak makan.

Kamu masih ingat hari dimana kita diusir dari desa, kan?"

"Aku ingat!" Si pria berkata kaku. Tidak suka diingatkan

dengan hal buruk yang menimpa mereka puluhan tahun

lalu. "Aku kasihan pada bocah ini. Aku hanya ingin

mengakhiri penderitaannya. Dan asal tahu saja, aku tetap

memikirkan keberlangsungan hidup kita. Ketika—"

Page 22: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

22

"Omong-kosong!" Si gadis mendengus. "Pikirkan sebelum

menghabisi nyawa—"

Wajah si bocah memancarkan kedamaian. Senyum

merekah di bibirnya. Senyum terakhir dari bocah penjual

cookies untuk dunia.

"Aku berpikir," potong si pria dengan suara nyaring,

"untuk menjual organ dalam tubuh Bocah penjual cookies

ini."

Page 23: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

23

Rencana Orangutan

Page 24: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

24

Lelaki itu kelabakan mencari tempat perlindungan. Dia

terus mencoba membuka setiap pintu yang ditemuinya.

Tapi semua pintu tidak mau menuruti kehendaknya.

Semua pintu terkunci!

Dia kemudian mundur beberapa langkah, mengambil

ancang-ancang. Dia akan berlari. Dia akan mengerahkan

seluruh sisa tenaganya. Dia berniat mendobrak pintu

terakhir di ujung koridor. Satu-satunya jalan keluar

untuknya—bila terjun dari jendela lantai tiga tidak

dihitung.

Dia menggunakan kaki kirinya sebagai tumpuan. Dua

detik kemudian dia melesat. Cukup cepat untuk ukuran

pria pendek berperut buncit.

Tapi lagi-lagi dia tidak beruntung. Pintu itu hanya bergetar

sebentar. Malahan tubuhnya terpental. Entah karena

pintunya sangat kuat dan tebal, atau sisa tenaga lelaki itu

terlalu lemah untuk menaklukkannya.

Buru-buru dia kembali menegakkan tubuhnya.

Mengguncang-guncangkan kenop pintu dengan kasar,

seolah dengan melakukannya selot pintu rusak dan pintu

bisa diayunkan. Merasa upaya terakhirnya sia-sia, dia

menatap ke balik punggungnya. Menatap tepat ke arahku.

Rasa takut membayang di wajahnya yang dibanjiri

keringat. Mungkinkah dia masih ingat dengan kejadian

beberapa tahun lalu?

Page 25: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

25

Meski belum pernah melihatku sebelumnya—secara

langsung, ini kali pertama kami bertemu, dia pasti ingat

dengan apa yang telah diperbuatnya di masa lalunya.

Menyuruh dan membayar orang untuk membasmi hama

yang mengancam produksi perusahaannya. Dan kebetulan

hama itu adalah kami.

Orangutan.

***

Terdengar bunyi tembakan lagi. Terdengar bunyi ranting

patah karena diinjak dan dihantam peluru. Terdengar

lolongan dari para orangutan yang mencoba melarikan

diri. Memang benar orangutan tidak hidup dalam

kelompok. Beda dengan dua kerabatnya: gorilla dan

simpanse. Tapi karena habitat kami tergencet, jadinya

kami tak pernah terpisah jauh dari orangutan-orangutan

lain. Baik yang suka menyendiri maupun yang bersatu

dalam kelompok kecil—sekitar tiga. Kelompok kecil itu

pun sifatnya hanya sementara.

Mungkinkah karena hal itu orangutan mudah ditangkap?

Mungkinkah karena hal itu orangutan di ambang

kepunahan?

Terdengar suara lain. Suara teriakan para pemburu yang

bersemangat menukar kami—baik dalam keadaan hidup

maupun mati—dengan sejumlah uang. Namun, tak

terdengar suara angin berhembus. Seolah-olah mereka

Page 26: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

26

menyingkir, tidak ingin menyaksikan pembantaian yang

sedang dilakukan oleh para manusia.

Makin banyak bunyi tembakan. Beberapa orangutan

memutuskan untuk melawan. Jantan karena merasa

terusik. Betina karena melindungi anak-anaknya. Mereka

bergelayutan dari pohon ke pohon lalu menjatuhkan tubuh

mereka yang bongsor pada para pemburu dan mulai

mencabik-cabik kulit mereka dengan kuku. Para pemburu

tidak tinggal diam, tentu saja. Mereka makin brutal.

Bersatu-padu, mengarahkan semua senapan demi

menolong teman mereka.

“Cepat pergi!” Kata ayahku. Dia berusaha keras

menyembunyikan kepanikan dalam suaranya. “Mereka

mungkin akan menukarkan bangkai kita. Tapi mereka

akan membawa Aqes hidup-hidup untuk dijual ke pasar

gelap.”

Ibuku bergeming. Aku melontarkan pertanyaan yang

sebenarnya sudah jelas apa jawabannya, “Ayah tidak

ikut?”

“Bawa dia pergi, cepat!” Lengking ayahku pada ibuku.

Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia kini bahkan tidak

lagi menyembunyikan kepanikan dalam suaranya.

“Mereka sudah dekat!”

Aku tahu sangat sulit untuk meyakinkannya, tapi mungkin

ibuku bisa. “Ibu, yakinkan dia untuk ikut.”

Page 27: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

27

Tapi ibuku sudah merengkuhku dalam pelukannya. Secara

naluriah, tangan bergerak melingkari lehernya. Dia

mencium suaminya—mungkin untuk terakhir kalinya.

“Ucapkan selamat tinggal pada ayahmu,” katanya.

Aku tahu hal ini akan terjadi. Maksudku, kebersamaan

kami lazimnya bersifat sementara. Tapi seharusnya tidak

dalam keadaan kacau-balau seperti ini.

“Jangan berhenti,” kata Ayahku, “dan jangan menengok

ke belakang.” Dia lalu memaku tatapannya tepat ke

mataku. “Ikuti perintah ibumu. Apapun itu. Paham?”

Aku tidak punya pilihan selain menganggukkan kepala.

Kami kemudian berpisah. Melompat ke arah yang

berbeda. Aku tidak menuruti perintahnya. Aku

memandang ayahku hingga tubuhnya hilang ditelan

pepohonan. Ibuku berusaha menahan jatuhnya air mata.

Kubenamkan kepalaku ke tubuhnya dan mulai menangis

sejadi-jadinya. Kamu berdua tahu bukan perpisahan yang

menyebabnya. Bagi orangutan perpisahan adalah hal yang

tak terelakkan. Tapi berpisah untuk selamanya, itu baru

hal yang berbeda.

Kami mengira kami sudah cukup jauh merentangkan

jarak. Jadi aku mengusulkan agar kami beristirahat dulu

sejenak. Tapi tak lama terdengar lagi suara ranting diinjak.

Badan kami kontan menegang. Dugaan kami salah.

Manusia pemburu itu tampaknya sangat bernafsu

memburu kami hingga mengejar kami sampai kesini.

Page 28: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

28

Aku menyarankan untuk menyembunyikan diri kami di

semak-semak sebelum para pemburu melihat kami.

Pemburu-pemburu itu pasti tahu sebagian besar hidup

kami adalah di pohon. Bahkan sekarang pun mereka

mendongakkan kepalanya mencari kami.

Ibuku menyetujui ideku. Matanya kemudian menyisir

daerah sekitar kami dengan cepat. Ada banyak semak di

sekitar kami. Tapi tak ada yang cukup besar dan lebar

untuk menyembunyikan kami berdua.

Sementara ibuku memanjat turun pohon peristirahatan

kami, kulirik sekilas tiga manusia yang berjalan ke arah

kami. Sejauh ini mereka belum mengetahui keberadaan

kami. Tapi sebentar lagi, setelah beberapa langkah, pada

akhirnya mereka akan tahu.

Ibuku tanpa sengaja menemukan parit alam. Tubuhnya

nyaris jatuh gara-gara sebelah kakinya terbenam parit

tersebut. Disingkapnya semak yang menutupinya. Cukup

lebar untukku. Terlalu kecil untuknya.

“Disana!” Teriak salah satu manusia.

Di saat genting itulah ibuku membuat keputusan yang

sama sekali tidak kusukai. “Diam dan jangan membuat

suara!” Desisnya sambil menaruh tubuhku ke dalam parit.

Setelah itu dia bergerak menjauh. “Setelah ini ibu akan

mengalihkan per—”

DOR!

Page 29: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

29

Dia bahkan belum sempat menyelesaikan kata-katanya.

Tapi para manusia yang tak sabaran itu, yang rakus, yang

menganggap kami hama, sudah melontarkan pelurunya

tepat di punggung ibuku. Mereka menembak tidak hanya

sekali. Tapi beberapa kali!

“Ja-jangan k-keluar, s-sayang!” Katanya dengan bahasa

yang hanya bisa dipahami oleh orangutan saja. Di saat

sekarat pun masih sempat-sempatnya ibuku memasang

muka galaknya padaku!

Aku nyaris keluar dari tempat persembunyianku dan

menyerang mereka. Tapi tubuhku terlalu gemetar. Aku

terlalu takut. Tapi aku berusaha mengingat wajah mereka.

Wajah tiga pemburu itu.

Untungnya mereka tidak menyibakkan semak yang

menutupi parit tempatku meringkuk. Kalau tidak,

mungkin aku...

Sesaat setelah mereka pergi, dengan membawa mayat

ibuku, tangisku pecah.

***

Tepat di hari itu keinginan untuk membalas dendam

tumbuh subur di hatiku. Aku, dengan bantuan kawananku

kini, berhasil menemukan tiga pemburu itu. Tapi mereka

hanya orang lokal yang menginginkan hadiah. Bukan otak

dibalik pembantaian orangutan. Meski mereka memiliki

Page 30: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

30

cukup andil, manusia mana sih yang bisa menolak sihir

uang?

Otak dibalik pembantaian kaumku sekarang berdiri

gemetar di hadapanku. Dia sekarang berteriak-teriak panik

memanggil pengawalnya.

“Percuma,” kataku. “Mereka tidak akan datang.”

Dia mendadak berhenti berteriak. Matanya menatap

takjub. “Kamu bisa bicara?!” Reaksinya sama dengan tiga

pemburu yang membunuh ibuku. Mereka tidak percaya

aku bisa bicara.

“Kamu kira apa gunanya mulut ini?”

Dua orang sahabatku yang berdiri di belakangku—berkat

bantuan mereka-lah kami bisa melumpuhkan semua

pengawal di rumah ini—kontan tertawa terbahak-bahak.

“Maksud dia, kenapa kamu bisa bicara bahasa manusia?”

Sahut Septa setelah meredakan tawanya. Disampingnya

Katai masih terpingkal-pingkal sambil memegangi

perutnya.

“Apa... Apa yang kalian inginkan?” Sadar kami bisa

diajak bicara lelaki itu mencoba bernegoisasi dengan

kami. “Kalian ingin uang? Kalian boleh meminta berapa

pun juga—”

Page 31: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

31

“Aku tidak ingin uangmu, Pak Tua!” Aku mendekatinya

dalam satu lompatan. Muka kami sekarang sejajar.

Manusia dan orangutan. “Aku ingin nyawamu.”

Dia menelan ludah. Dengan susah-payah. “T-t-tunggu du-

dulu, aku pu-pu-punya ti-ti-ga istri dan aku—”

Aku menikamkan pisau yang sedari tadi kusembunyikan

di balik punggung. Tepat di jantungnya. Dia tidak

menjerit. Aku menyumpal mulutnya dengan tangan kiriku.

Matanya memancarkan kebencian. Kebencian yang akan

dibawanya hingga ke alam baka.

Kubiarkan pisauku tertanam di dadanya. Aku tidak berniat

memilikinya lagi. Pisau itu sudah terkontaminasi oleh

darahnya yang kotor.

“Kapan kita pergi?” Tanya Katai setelah beberapa saat aku

terdiam memandangi hasil perbuatanku.

“Katai!” Aku tidak melihatnya, tapi aku yakin Septa

melayangkan pandangan memperingatkan.

“Apa?”

Septa mendengus. “Aqes,” dia menyebut namaku. “Kalau

kau ingin sendiri dulu...”

“Tidak,” aku berbalik menatap mereka berdua. “Masih

ada rapat yang mesti aku pimpin.”

***

Page 32: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

32

Sudah banyak orangutan yang berkumpul di ruang rapat.

Ruangan yang mampu menampung hingga 30 orangutan

itu berdinding bambu dan beratap rumbia. Mulut-mulut

yang tadi terbuka langsung tertutup begitu aku dan kedua

temanku masuk dan menempati tempat duduk kami di

depan ruangan. Dua orang orangutan betina berdiri sambil

mengangkat kantong anyaman berisi pisang berukuran

besar lalu membagikannya pada hadirin. Termasuk kami.

Itu sudah menjadi kebiasaan kami. Tapi tak satu pun dari

kami menyentuhnya sebelum rapat selesai.

Lalu kenapa dibagikan bila tak boleh dimakan saat itu

juga? Ini ide Septa. Pembagian pisang ini adalah semacam

tes kesabaran. Selama empat kali rapat, hampir 10

orangutan dikeluarkan, tidak diikutsertakan dalam

rencana. Siapa tahu ketidaksabaran mereka malah

membuat berantakan rencana yang telah disusun dengan

baik.

Aku menunggu dua orangutan betina itu duduk kembali ke

tempatnya sebelum menatap satu-persatu wajah mereka

yang hadir. Mereka balik menatapku. Seolah siap

melakukan apa pun yang sebentar lagi aku ucapkan.

Butuh perjuangan sangat panjang dan melelahkan guna

meyakinkan mereka untuk bergabung. Seperti yang aku

bilang, orangutan bukan spesies yang suka hidup dalam

kelompok, apalagi ketika usia kami menginjak dewasa.

Page 33: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

33

“Hakam, bagaimana perkembanganmu dengan ulat bulu?”

Kepalaku menoleh pada orangutan berbadan ramping dan

tinggi yang duduk di bangku deretan depan di pojok

paling kanan.

“Mereka setuju membantu kita, pak,” jawabnya. “Bahkan

beberapa dari mereka sudah menyerang pemukiman

manusia.”

“Bagus,” kataku sambil manggut-manggut. Hakam

tersenyum bangga. “Kapu?”

Orangutan yang duduk di baris tengah, nomor dua dari

kanan, kontan menundukkan tubuhnya. “Serangga tomcat

tidak bersedia membantu kita,” cicitnya. “Maaf—”

“Kamu tidak perlu meminta maaf,” potongku. “Aku punya

rencana agar mereka mau membantu kita.”

“Bagaimana caranya?” Tanya Katai. Gelombang tanda

tanya tiba-tiba terbentuk di ruangan itu.

“Dengan memanfaatkan wereng dan para tikus,” kataku

dengan nada puas. “Sudah kamu urus kerjasama kita

dengan dua 'pejuang' itu kan, Septa?”

“Tentu saja,” jawab Septa.

“Tapi bagaimana bisa hama seperti mereka...”

“Pejuang,” aku mengoreksi kata-kata Katai. Aku benci

kata hama itu.

Page 34: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

34

“Pejuang,” ulang Katai sedikit sebal.

“Mereka akan membuat panen gagal. Tikus akan merusak

areal persawahan yang merupakan habitat tomcat. Dan

setelah itu...”

“Mereka pindah tempat tinggal ke pemukiman manusia,”

kata beberapa orangutan serempak, termasuk Septa.

Seekor orangutan yang duduk di deretan belakang

mengacungkan tangannya.

“Ya, Meha?” Meha adalah orangutan termuda di ruang

rapat ini.

“Lintah,” kata Meha, tapi suaranya kemudian menghilang.

“Ada apa dengan lintah? Mereka nyaris punah karena ulah

manusia?”

“Jumlah mereka memang menyusut, pak. Tapi bukan itu

yang ingin saya beritahukan pada anda,” dia berhenti

sejenak untuk mendapatkan perhatian seluruh hadirin.

“Mereka setuju ikut bagian dari rencana kita. Dan kini

mereka telah mengerahkan kekuatan penuh di pemukiman

manusia di pesisir pantai kota Demak.”

“Itu berita bagus!” Aku bersorak gembira. Begitu pula

seluruh kawananku yang menghadiri rapat ini. Tampaknya

rencana kami mencari dukungan sebanyak mungkin,

sejauh ini, berjalan dengan baik.

Page 35: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

35

Kebencianku pada manusia tampaknya tumbuh subur jauh

dari perkiraanku. Dalam perjalananku membalaskan

dendam kematian kedua orangtuaku, aku bertemu banyak

hewan yang menyimpan dendam sama besarnya pada

manusia. Mereka tidak terima habitat mereka, keluarga

mereka, keberlangsungan hidup mereka yang seolah tidak

ada artinya bagi manusia—selain bisa menghasilkan uang

untuk memenuhi kantong-kantong mereka yang

menyerupai mulut yang kelaparan, direnggut begitu saja

dari tangan kami.

Kemudian timbul dua pertanyaan di benakku: bagaimana

bila kejadian itu terulang lagi? Bagaimana bila manusia-

manusia dengan senapan apinya datang lagi untuk

membantai kami, mengambil anak cucu kami lalu

menjualnya di pasar gelap?

Dari dua pertanyaan tersebut, terbersitlah ide rencana

mengambilalih bumi di benakku.

Hanya saja, ini yang membuatku kesal setengah mati,

banyak di antara mereka takut mengambil tindakan.

Beberapa menolak, dengan alasan, sudah hukum alam

manusia menjadi makhluk hidup paling superior di muka

bumi ini.

Kutekan kekesalanku, kutebalkan mukaku, demi

membuka mata mereka lebar-lebar. Dan hasilnya... Jauh

melebihi harapanku. Hal ini berkat sifat tamak dan

serakah manusia yang tak pernah puas menghisap habis

Page 36: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

36

sari bumi. Sehingga beberapa hewan setuju membantu

perjuangan kami.

Kami memang kalah jumlah. Jumlah orangutan sendiri

juga nyaris mendekati angka kepunahan. Tapi jumlah

tidak menjadi masalah. Sudah cukup kami

mempercayakan nasib kami pada ras manusia. Sudah

cukup kami mengalah demi memuaskan nafsu mereka.

Memang siapa mereka berani-beraninya melabeli kami

sebagai hama, lalu mengeksekusi kami kapan saja

sekehendak hati mereka?

Sudah saatnya kami menunjukkan kekuatan kami. Sudah

saatnya kami, hewan-hewan yang diberkati,

memperjuangkan hak-hak kami. Memperjuangkan hak

kami sebagai satu dari tiga makhluk hidup penghuni

planet bumi.

Page 37: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

37

Aku Mengubah

Kekasihku Menjadi

Keset

Page 38: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

38

"Pacarmu pulang kampung, dude?" tanya sahabatku

sambil ngupil. Ketika kalian bertemu dengannya, aku

bisa jamin kalian akan terheran-heran—atau kalau

kalian emang error, bisa sampai terkagum-kagum—

dengan ukuran lubang hidungnya selebar gua. Dia

memang biasa ngupil pakai dua jari. Telunjuk dan

jari tengah. Waktu aku tanya dulu, saat awal

pertemanan kami kalau kalian begitu kepo, kenapa

tidak pakai satu jari, jawabnya, "Siji, mana cukup?"

Aku menyemburkan onde-onde isi kacang

tanah yang setengah kukunyah. Untung tidak ada

orang lewat di depanku, kalau ada, mungkin aku

bakal kena sembur atau gampar. Di hari lain aku

mungkin tak keberatan, secara aku yang salah.

Cuman hari ini aku memakai kemeja favoritku, dan

siapa yang bisa menjamin orang yang kena

semburanku tidak menyemburku secara harfiah?

Bagus kalau dia sudah sikat gigi. Apalagi pakai pasta

gigi anak-anak yang wangi buah-buahan. Kalau

belum? Kebayang dong baunya seperti apa?

Aku tahu hari ini akan tiba. Hari di mana akan

ada seseorang yang menyadari pacarku hilang. Yang

sebenarnya bukan hal yang sulit ditebak secara

beberapa hari ini dia tidak masuk kuliah. Dan

beberapa kali malam minggu aku lewatkan di dunia

maya.

Page 39: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

39

"Tidak," jawabku sambil bertanya-tanya dalam

hati, Apa khasiat jamu galian rapet yang aku minum

dalam rangka mengunci rahasiaku rapat-rapat telah

pudar khasiatnya?

"Kenapa, dude?" imbuhku, menggunakan

kalimat tanya yang aman dan tidak bersifat terlalu

defensif.

Dude adalah panggilan khusus kami untuk

menyebut satu sama lain. Pernah sahabatku

mengusulkan dede sebagai nama panggilan khusus

kami. Tapi aku tolak. Takutnya kalau kami sedang

ngos-ngosan, terus panggilan tersebut ketambahan

huruf "H" di belakangnya, ntar dikira kami

pendakwah yang nerima curhat.

Kalau curhatnya benar sih tidak masalah, lha

kalau curhatnya singkatan curahan hajat? Masa aku

perlu menjelaskannya?

"Akhir-akhir ini aku nggak melihat batang

hidung dan batangnya yang lain," kata sahabatku.

"Batangnya yang lain? Emang kamu kira dia

cew—"

"Maksudku batang penanya. Dia kan yang

paling rajin nulis catatan di kelas. Pikiranmu butuh

disapu tuh. Nggak semua batang mengarah ke “itu”

Page 40: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

40

kali," sambungnya sambil cengengesan. "Jadi,

kemana dia?"

Selama sesaat aku ragu. Antara cerita, yang

akan meringankan beban masalah yang aku

tanggung, atau tetap merahasiakannya, dan tersiksa

oleh kesalahan yang disebabkan oleh ulahku sendiri.

Aku memutuskan untuk cerita.

"Aku mengubahnya menjadi keset," kataku.

Dia melongo. Jelas menganggapku sedang

ngebanyol.

Meski terdengar konyol, itulah kenyataannya.

Dan hingga kini aku sedikit menyesalkan kejadian

naas itu1.

Kisah naas ini bermula karena tingkah polah

pacarku yang, sumpah, bikin aku sakit hati. Padahal

saat masa pedekate dulu dan awal-awal kami merajut

kisah kasih kami, dia itu maniiis banget. Bahkan

sirup Ojan kalah manis kalau disandingkan

dengannya. Tapi setelah hubungan kami berjalan

empat bulan, dia berubah. Masih mending kalau

perubahannya dikarenakan serangan Negara Api,

setidaknya—kalau dia jadi korban bakar-bakar dan

1 Meski sebenarnya aku sedikit bersyukur bukan aku yang bertransformasi jadi keset

Page 41: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

41

masih hidup—aku masih mau menerima dia apa

adanya walau kulitnya gosong kayak pantat panci.

Tapi ini, tak ada hujan tak becek tapi banyak ojek,

tiba-tiba saja dia jadi makhluk paling nyebelin di

dunia!

Apa jangan-jangan setelah empat bulan ini, dia

memutuskan memperlihatkan belangnya? Tapi

setahuku kulit pacarku itu semulus dan seputih tapi

tak sedingin pualam. Aku juga yakin banget dia

bukan siluman macan. Dan terakhir aku cek dia

bukan anggota grup penyanyi dangdut, Manis Macan

Grup.

“Kamu mengubah pacarmu jadi apa, dude?”

“Kamu sudah mendengarnya tadi,” sungutku.

“Sebenarnya, bukan secara langsung sih. Secara aku

tidak punya tongkat sihir yang memilihku—aku sadar

aku bukan Heli Copter yang sejak lahir sudah punya

darah penyihir di tiap nadinya. Ini kerjaan kakek tua

yang entah muncul dari mana yang mengabulkan

harapanku."

"Mengabulkan harapanmu?" ulangnya,

terdengar setengah tertarik.

"Harapan sepintas lalu sebenarnya. Yang

muncul gara-gara otak dan hatiku sedang panas."

Page 42: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

42

"Kamu pasti nyesel banget ya?"

"Ya," kataku pelan.

"Aku sudah menduganya. Secara apa guna

keset coba? Cuman buat keset doang. Coba kamu

minta dia diubah jadi ferrari atau lambhorgini—"

"Ini bukan saatnya bercanda, dude," kataku

setengah berteriak. "Ini masalah serius!"

Dan untuk mempersempit ruang

ketidakpercayaannya, aku mengeluarkan keset—

yang sudah bisa ditebak benda itu adalah pacarku—

dari tasku.

"Oke," katanya setelah beberapa saat, dengan

mata terpancang pada keset yang kupegang dengan

dua tangan. "Aku mengerti sekarang," katanya lagi.

Kepalanya mengangguk-angguk. "Kamu diputusin

ya? Aku tahu itu bukan hal mudah. Tapi masa sampai

bikin mentalmu terganggu gini?"

"Mental tergang—aku tidak—"

"Penduduk Indonesia masih banyak yang

jomblo. Lupakan dia. Lanjutkan hidup. Cari yang

lain."

Page 43: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

43

"Enak saja," kata sebuah suara yang familiar

bagi kami berdua. "Jun baru boleh cari cewek baru,

kalau mau dia juga boleh cari cowok baru sekalian,

setelah mengubahku kembali menjadi manusia!"

Sahabatku menatap terkejut ke arah keset.

Meski aku tak melihatnya, sebab bagian bawah keset

yang mengarah padaku, aku tahu muncul sebentuk

bibir di bagian atas keset.

"Aku rasa..." kata sahabatku akhirnya, setelah

terdiam cukup lama. Aku melihat kepercayaan di

bola matanya. "Aku siap mendengar keseluruhan

ceritamu."

Karena tak ada meja, kami duduk di salah satu

bangku panjang di halaman kampus, aku

menyampirkan keset yang merupakan pacarku di

atas tas. Kemudian aku berdeham. Bukan buat gaya-

gayaan, tapi kayaknya ada kacang tanah yang

nyangkut di tenggorokanku.

"Tak akan ada asap, kalau tidak ada api,"

mulaiku. Aku masih ingat dengan jelas peristiwa itu.

Aku bahkan masih hapal beberapa kata yang aku dan

pacarku ucapkan.

"Tak akan ada api, kalau tak ada korek api,"

sahut sahabatku.

Page 44: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

44

"Dan tak akan ada korek api kalau John Walker

tak pernah menemukannya," kataku gemas. "Mau

dengar kisahku tidak sih?"

Sahabatku itu cengengesan lagi. Dia memang

tak akan pernah bisa benar-benar serius.

"Aku kira kita bisa langsung ke inti

masalahnya."

"Ah, itu lebih baik," sambut sahabatku.

"Kamu kan tahu aku agak muak dengan sikap

pacarku yang memperlakukanku bagai jongosnya."

"Salahmu sendiri sih tidak menuruti saranku

untuk memutuskannya."

Aku memberinya tatapan agar dia menutup

mulutnya. Tapi tampaknya dia salah menangkap

maksudku. Entah kenapa dia malah tersipu-sipu. Dia

tidak...

Aku menggeleng-gelengkan kepala.

Membuang jauh-jauh pemikiran yang baru melintas

di benakku.

"Suatu hari kami pergi ke mall," aku mulai

lagi.

"Ngapain?"

"Ya belanja, dude, masa menumpang mandi?!"

Page 45: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

45

"Benar juga. Secara kan di mall tidak ada

sumur mau pun ladang."

Untung saja aku berhati baik, berbudi luhur,

rajin menabung dan setampan Sicholas Naputra.

Kalau tidak, sudah aku jitak kepala sahabatku yang

punya penyakit dodol itu dari tadi. Kalau perlu pakai

tiang lampu taman yang, selain untuk keberuntungan,

siapa tahu bisa menyembuhkan penyakitnya tersebut.

"Kok diam? Katanya mau cerita," kata

sahabatku sesaat setelah sadar aku terdiam sejuta

bahasa.

"Percuma. Aku ngomong sepatah, dua patah

kata langsung kamu sela."

"Oke, oke, aku akan mengunci mulutku,"

katanya. Dia membuat gerakan seperti menutup

risleting sepanjang mulutnya.

"Suatu hari kami pergi ke mall," ulangku.

"Seperti biasa, dia belanja banyak banget. Sudah

banyak, minta aku yang bayar, masih juga nyuruh

aku yang membawa seluruh belanjaannya."

Sebelah alis sahabatku berkedut. Aku tahu dia

hendak mengatakan sesuatu. Aku juga tahu dia

hendak mengatakan apa. Setidaknya aku bisa

menebaknya.

Page 46: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

46

"Aku tahu itu sudah pekerjaan kita sebagai

cowok. Aku tak terlalu keberatan, sampai aku tak

sengaja menjatuhkan salah satu tas belanjaannya dan

dia mendampratku. Aku tak masalah dia mengatakan

aku bego, bodoh, idiot, kurang pintar, tapi

kemudian...”

Sahabatku yang telah memfokuskan

perhatiannya secara penuh padaku membuat suara

“mmm-hmm” yang mirip orang ngeden karena BAB-

nya tidak lancar. Tapi aku rasa suara itu bisa

diterjemahan sebagai “Kemudian apa?”

“Kemudian dia menyebutku bukan pacar yang

baik. Katanya aku beruntung bisa mendapatkannya

sebagai pacar.”

Sebelah alis sahabatku naik, dan salah satu

ujung bibirnya tertarik ke belakang. Kalau yang ini

aku tahu artinya, “Sudah kubilangkan?”

“Jelas aku tersinggung. Selama ini aku baik

padanya. Selama ini aku selalu menuruti

kemauannya—“ aku menghentikan kalimatku.

Mungkin inilah saatnya aku menggunakan “kata-kata

itu menampar diriku” tapi aku baru tahu kalimat itu

bisa datang dari diri sendiri.

Page 47: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

47

Tidak heran aku merasa diperlakukan seperti

jongos, kacung, babu, atau apapun sebutan lainnya.

Secara aku secara sadar telah membiarkannya terjadi.

Atau sebenarnya tidak, secara cinta telah

membuatku buta?

Ah, kenapa aku jadi berkonflik dengan diri

sendiri?

Setelah pacarku mengatakan itu, harga diriku

yang teriris-iris sontak memerintah tanganku untuk

membuang semua tas belanjaannya. Bukan di tempat

sampah tentu saja. Secara letaknya jauh. Cukup di

lantai, di sekitar kakiku.

Sudah bisa diduga, dia makin marah. Dia

memungutinya satu-persatu dengan kemarahan yang

menggelegak.

“Aku nggak nyangka dirimu bisa berbuat

begini,” kata pacarku setelah berhasil mengumpulkan

seperempat tas belanjaannya.

“Aku hanya manusia biasa—“

“Memang aku pernah bilang kamu monyet?”

selanya sebelum aku menyelesaikan kalimatku.

“Aku hanya manusia biasa,” ulangku. “Yang

bisa capek dan lelah menghadapi semua tingkah

lakumu.”

Page 48: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

48

Kemudian dia terdiam. Sudut mataku

menangkap adanya bangku kosong yang bisa

kugunakan.

“Saat duduk itulah lelaki tua itu muncul,”

kataku pada sahabatku. “Selama beberapa detik kami

hanya diam. Tak ada yang tergerak untuk memulai

obrolan atau basi-basi. Hingga dia berkata,

‘Seandainya hari ini hari di mana semua harapanmu

dikabulkan, apa yang akan kamu minta?”

Kedua alis sahabatku terangkat. Dan saat

itulah kamu mengatakan harapanmu?

“Saat itulah aku mengatakan harapanku,”

tegasku. ”Aku ingin dia merasakan apa yang aku

rasakan.”

Aku masih ingat bagaimana proses perubahan

pacarku itu. Setelah lelaki tua itu bilang, ‘Oke-lah

kalau begitu,” tubuh pacarku bersinar terang. Seolah-

olah ada jutaan lampu neon nemplok di tubuhnya.

Namun anehnya, tak ada satu orang pun yang

menyadarinya perubahan itu selain aku. Entah karena

mereka tidak peduli, atau mata mereka perlu

dipasangi kacamata kuda, atau entah secara ajaib

mereka memang tidak bisa melihatnya. Padahal kami

berada di pusat keramaiaan!

Page 49: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

49

Pacarku sontak menjatuhkan tas-tasnya dan

mulai menjerit sejadi-jadinya.

Dia memanggil-manggil namaku. Tidak

berulang-ulang. Hanya sekali tapi panjang sekali.

Seolah-olah dia sedang berada dalam slow motion

mode.

“Juuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuun!”

Kedua tangannya mengusap-usap seluruh

badannya. Seolah-olah dengan melakukannya dia

bisa mengusir sinar itu pergi meninggalkan tubuhnya.

Tapi gerakannya seperti irama musik keroncong.

Pelan, kayak orang sedang menggunakan sabun.

Aku meminta tubuhku untuk bergerak, tapi ada

suara lain yang menyuruhku untuk tetap diam di

tempat dan hanya menatapnya dengan mulut terbuka

lebar.

Untuk apa, kata suara lain itu, dia mungkin

memang pantas mendapatkannya.

Tapi dia kekasihku. Aku harus menolongnya.

Aku memutar kepalaku, memandang wajah

lelaki tua itu yang entah bagaimana tak tampak jelas.

Seperti ketika kita melihat seseorang melalui kaca

buram. Alih-alih menanyakan apakah dia penyebab

Page 50: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

50

pacarku histeris, entah kenapa aku malah

meluncurkan kalimat, “Kenapa orang-orang—“

“Tangan kanan memberi. Tangan kiri tidak

boleh tahu,” kata lelaki tua itu sambil tersenyum dan

menunjuk ke arah pacarku.

Aku tak ingin memalingkan muka. Tapi ada

kekuatan tak kasat mata yang memaksaku untuk

melihat proses terakhir sebelum pacarku berubah jadi

keset. Tubuh pacarku mendadak kaku. Dia berdiri,

dengan tangan melekat pada sisi tubuhnya. Lalu,

perlahan-lahan tubuhnya menyusut. Menjadi

seukuran remaja. Menjadi seukuran anak baru gede.

Menjadi ukuran balita. Setelah itu dia resmi berubah

menjadi keset.

“Selamat menikmati harapanmu,” kata si lelaki

tua.

Detik berikutnya aku menoleh ke arahnya, dia

sudah menghilang.

Sahabatku yang sudah tak sabar mengomentari

“pengalaman ajaibku” membuat gerakan yang

menanyakan apakah dia sudah boleh membuka

mulutnya.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

“Aku hanya penasaran,” itu adalah kalimat

pertamanya yang muncul setelah segel imajiner

Page 51: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

51

dibuka. “Apakah kamu menggunakannya”—dia

menatap keset yang merupakan jelmaan pacarku—

“sebagai keset di rumah?”

Aku merasakan dilema lagi. Lalu aku

memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya,

“Ya.”

“Apa?” Mata sahabatku membesar. ”Aku

memang tak terlalu suka padanya, dan aku berharap

kamu putus darinya, tapi kamu kok tega banget sih.”

“Itu justru aku lakukan karena aku sayang

padanya.”

“Dengan menginjak-injaknya?”

“Itu caraku memberinya makan dan minum.”

Mulut sahabatku membentuk huruf “O.”

Mungkin sekarang dia paham kenapa hanya mulut

pacarku saja yang masih ada dalam bentuknya yang

baru. “Apa nggak bisa hanya menuangkan....”

“Tidak. Aku sudah pernah coba menuangkan

air, tapi air itu hanya melewatinya saja.”

Sahabatku terdiam lagi sejenak.

“Apa kamu masih...” sahabatku sengaja

memutus kalimatnya.

“Mencintainya? Tentu saja.”

Page 52: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

52

“Bukan, bukan. Maksudku, dia kan berubah

jadi keset, apa kamu... maksudku kalian... “ Dia

mengerucutkan semua jari tangannya. Kemudian dia

mendekatkan ujung jemari tangan kanan yang

berkumpul dengan ujung jemari tangan kiri.

Aku tahu maksudnya dengan jelas.

“Secara...” sahabatku masih terdengar ragu.

“Secara dia kan kotor.”

Aku tertawa kecil. “Tidak apa-apa kok. Lagian

itu kan kotoranku sendiri.”

Sahabatku manggut-manggut. “Apa usahamu

untuk mengubahnya kembali ke bentuk semula?”

“Sejujurnya aku sudah kehabisan akal. Sudah

banyak orang pintar yang kudatangi, tak ada satu pun

yang berhasil mengembalikannya. Mungkin kamu

punya akal?”

“Coba tanyakan pada rumput yang bergoyang.”

Ngomong-ngomong soal rumput yang

bergoyang, kadang aku bertanya-tanya, kenapa

ketika seseorang tak bisa atau malas menjawab

pertanyaan yang sulit mereka menyarankan untuk

kita bertanya pada mereka? Memang rumput punya

mulut yang digunakan bicara? Atau mungkin

goyangan mautnya sanggup menciptakan bunyi-

bunyian hingga membentuk suara dan bahasa

Page 53: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

53

manusia dalam batas tertentu? Tapi kan kalau tak ada

angin tak akan ada rumput yang bergoyang. Ya,

kecuali memang ada yang sengaja

menggoyangkannya—yang tak mungkin kulakukan

karena... Kalian tahulah, saat melihat orang

mengguncang-guncang rumput sambil bilang, “Cepat

katakan apa yang mesti aku lakukan?!” apa yang

pertama melintas di benak kalian? Yap, pasti ada

yang tak beres dengan isi celananya, eh, maksudku

kepalanya.

“Dirimu nggak coba mencari lelaki tua itu?”

“Apa wajahku seperti orang yang belum

melakukannya?” tanyaku dengan suara sedikit

meninggi.

“Jujur, wajahmu saat ini sebelas dua belas

sama simpanse.” Dan dia pun terkekeh. “Berarti

tinggal satu cara.”

“Apa? Jangan-jangan tanya pada angin yang

berhembus ya?”

Sahabatku memasang muka yang serius.

“Bukan, Jun. Masa sih nggak bisa menebaknya.

Padahal hal ini dilakukan oleh kebanyakan manusia

saat dirundung masalah.”

Ah.

Page 54: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

54

Aku sangat mengerti maksudnya.

Berdoa.

Aku meringis. Dari ekspresiku yang kayak

orang nahan curhat, kelihatan jelas aku belum

melakukannya. Berdoa, maksudku. Bukan

mencurahkan hajat.

Page 55: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

55

Paradeso

Page 56: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

56

Bila bulan tidak sedang purnama, mungkin aku tidak

akan melihat keberadaan makhluk yang melesat cepat

di angkasa. Makhluk itu berkulit hitam, bertubuh

ramping dengan kepala berbentuk runcing, dan dari

ekornya keluar asap putih. Meski jaraknya cukup

jauh dari pantai tempatku kini berdiri, aku sangat

yakin tubuhnya diselimuti baja. Terdapat lingkaran

berwarna merah, ditengah-tengah lingkaran itu ada

lingkaran lain berwarna hitam yang ukurannya tiga

kali lebih kecil, di bawah kepalanya yang langsung

kukenali sebagai mata. Sepasang mata itu

berlenggak-lenggok. Makhluk itu sedang mencari

sesuatu.

Mataku kontan melebar ketika mengenalinya.

Bukan makhluk. Tapi benda. Itu misil!

Dia menemukanku. Dia menemukan tempat

persembunyianku!

Padahal aku sudah bersusah payah sampai di

sini. Padahal aku sudah gembira tak menemukan

poster dengan ilustrasi wajahku terpasang di setiap

sudut tempat ini. Padahal aku sudah mengubah

drastis penampilanku, dan aksen bicaraku, agar tak

dikenaliku oleh penduduk setempat.

Tapi tetap saja.

Dengan sumber dayanya yang melimpah—

Ditambah dengan kekayaan yang harusnya

menjadi milikku tapi dirampas olehnya—

Dia berhasil melacak keberadaanku.

Page 57: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

57

Selama dua detik, atau terasa dua abad bagiku,

mataku dan mata si misil saling bersitatap. Detik

berikutnya, misil itu menutup matanya, tanda bahwa

dia telah menemukan targetnya, dan secara tiba-tiba

mengubah arahnya. Dia kini menukik menuju ke

arahku.

Inilah saatnya, pikirku.

Namun... Misil itu melesat terus, membelah

udara di atas kepalaku, melewati pantai tempatku

berdiri.

Tunggu... Bukan ke arahku. Lebih tepatnya ke

arah Paradeso. Misil itu mengarah ke Paradeso!

Oh, tidak...

Mungkinkah beberapa detik cukup untuk

memperingatkan para penduduk?

Belum sempat aku menggerakkan kakiku

barang satu senti pun, tiba-tiba misil itu meledak di

tengah udara sebelum sempat menghantam sesuatu.

Seolah-olah ada dinding tak kasat mata yang

menghentikan lajunya. Seolah-olah ada kekuatan

supernatural yang memaksanya meledak sebelum

menyentuh bangunan atau sejengkal tanah di

Paradeso. Refleks kedua tanganku menutupi telinga.

Meredam suara nyaring yang akan memecahkan

gendang telingaku.

Aku bersorak girang dalam hati.

Hanya sesaat.

Page 58: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

58

Sudah lama tak melihatnya, membuatku lupa

bagaimana cara misil itu bekerja.

Misil itu tidak menghantam sesuatu atau ada

seseorang berkekuatan supernatural yang

menghentikannya. Lagipula mustahil ada dinding

ajaib yang menyelubungi Paradeso. Dan selama

hampir setengah tahun tinggal di sini aku belum

pernah melihat satu pun penduduk dengan bakat

supernatural.

Misil tadi meledak karena memecah diri. Misil

yang awalnya hanya sebuah, berukuran besar,

bertransformasi menjadi misil-misil berukuran mini

berjumlah ratusan!

Menghujani Paradeso.

Bunyi ledakan, teriakan meminta tolong,

teriakan memanggil keluarga, jerit kesakitan

memenuhi udara.

Misil itu melaksanakan tugasnya dengan sangat

baik. Kini giliran api, yang makin lama makin besar,

melahap apapun yang ditemuinya. Rumah, hewan,

bahkan manusia.

Beberapa misil berhasil melubangi tanggul

danau di atas bukit. Air yang bertahun-tahun

ditampungnya mendesak keluar. Seperti tsunami, dia

melewati padang rumput yang rumputnya telah

menguning dan mulai melibas apapun yang berada di

hadapannya. Termasuk penginapan tempatku

tinggal.

Page 59: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

59

Dalam hitungan detik, malam yang remang-

remang berubah menjadi seterang siang. Dalam

hitungan detik, tempat yang dulunya seindah surga

itu berubah menjadi lautan api.

Aku juga baru menyadari kakiku tak bisa

digerakkan. Aku terpaku di tempatku. Di pantai.

Menyaksikan tragedi berlangsung di hadapanku.

Kedua telapak tanganku masih melekat di daun

telingaku.

Kenapa dia melakukan ini?! Kenapa dia tidak

langsung mengarahkan misil itu kepadaku? Aku yang

diincarnya, kematianku yang diidam-idamkannya,

lalu kenapa dia malah menghancurkan Paradeso dan

membinasakan penduduknya yang tak bersalah?

Dia tidak berpikir penduduk Paradeso

menyembunyikanku, kan?

Aku mengira semuanya sudah berakhir. Aku

mengira aku adalah satu-satunya manusia yang

selamat. Ternyata masih ada satu misil mini yang

sejak tadi melayang-layang di sekitarku. Tapi begitu

aku menyadarinya, rasa sakit menjangkitiku, teriakan

terlontar dari tenggorokanku. Beberapa detik

kemudian kegelapan menyergapku.

Aku masih merasakan udara memenuhi rongga

paru-paruku.

Aku juga merasakan kedua tanganku dan

kakiku masih berada di tempatnya. Tidak terlepas

Page 60: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

60

dari jaringannya. Atau lebih buruk lagi, hancur

berkeping-keping.

Itu tandanya aku belum mati.

Aku masih hidup.

Aku masih hidup.

Mimpi barusan anehnya terasa sangat nyata.

Amat sangat nyata hingga aku tak bisa menyadari

aku sedang di alam mimpi. Dengan kemampuan yang

aku miliki, hal itu tidak normal. Aku biasanya dengan

mudah membedakan apakah aku sedang bermimpi

atau tidak. Lalu kenapa mimpi ini berbeda? Kenapa

aku tidak bisa langsung mengenalinya sebagai

mimpi?

Semakin dipikir, semakin membuat kepalaku

pusing.

Aku selalu ingin memiliki kemampuan kebal

terhadap segala hal. Senjata tajam, senjata api, sihir,

dan segala hal bentuk serangan yang dimaksudkan

untuk menyakitiku. Sayangnya, Pencipta Kehidupan

memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang

kita inginkan. Dan Dia memberiku kemampuan yang

aku butuhkan. Kemampuan untuk bertahan hidup.

Kemampuan yang memberiku lebih banyak waktu

untuk menghindar dan menjauh. Kemampuan untuk

mengetahui masa depan melalui mimpi.

Langit jingga menyambutku saat kubuka mata.

Tinggal hitungan menit sebelum malam tiba.

Page 61: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

61

Kelemahan kemampuanku adalah tidak

mengetahui pasti kapan hal buruk—yang tertera

dalam mimpiku—akan terjadi. Aku diharuskan

menganalisa mimpiku. Kesalahan analisa sedikit saja

akan berakibat fatal.

Dulu aku pernah salah menganalisa waktu.

Yang aku kira menjelang sore, ternyata terjadi dua

jam lebih awal. Gara-gara hal itu aku kehilangan

teman perjalananku. Abdiku yang paling setia.

Kutegakkan badanku. Kupandangi sekali lagi

untuk terakhir kalinya kepulangan sang surya. Laut

yang memantulkan cahayanya memperparah

keindahannya. Membuatku nyaris enggan

meninggalkan pantai itu.

Saatnya pergi dari Paradeso. Bila aku tetap di

sini, misil itu akan menemukanku dan Paradeso akan

berubah jadi lautan api.

Hal terakhir yang kuinginkan.

Kuputar badanku. Kubersihkan pakaianku,

juga rambutku, dari pasir yang menempel. Lalu aku

mulai berjalan menuju Kompleks B Paradeso.

Paradeso terdiri dari tiga Kompleks. Kompleks

A berada di bawah bukit. Tepatnya di bawah danau

Leka yang merupakan sumber air minum penduduk

Paradeso. Di Kompleks A kita juga akan menjumpai

rumah kepala desa, kantor pengolahan air minum,

dan penginapan yang jarang sekali mendapatkan

tamu yang dibangun di dekat pintu masuk Paradeso.

Page 62: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

62

Kompleks A dan Kompleks B dihubungkan

oleh jembatan Atotheb. Sejak tiba di Paradeso aku

merasa jembatan itu sudah saatnya untuk diperbaiki.

Kompleks B merupakan kawasan terpadat.

Pelabuhan, meski jarang disinggahi kapal—kadang

seminggu ada kapal yang singgah, atau kadang baru

sebulan baru ada kapal yang mampir—merupakan

pusat perekonomian Paradeso, tepat bersebelahan

dengan pantai Enda. Tempatku kini berada.

Selain penginapan di dekat pintu masuk desa

dari daratan—tempatku tinggal, pantai Enda

merupakan tempat tersering yang aku kunjungi.

Keunikan dari pantai Enda adalah pasir

pantainya berwarna merah jambu. Aku jarang sekali

mengunjungi pantai, pantai bukan tempat yang aman

untuk bersembunyi, tempatnya sangat terbuka. Tapi

aku yakin, jarang ada pantai yang memiliki pasir

berwarna seperti itu. Pantainya juga bersih dari

sampah. Membuat kita tanpa ragu, tanpa

membentangkan alas, merebahkan diri di antara

jutaan pasir.

Tapi itu belum apa-apa bila dibandingkan

dengan pemandangan matahari terbenam yang

ditawarkannya. Lengkungan batu yang membentang

dari bukit hingga ke batu karang yang berdiri kokoh

di tengah lautan memberi sensasi berbeda. Seakan-

akan aku sedang menatap lukisan senja (lengkungan

batu itu adalah bingkai atasnya) alih-alih memandang

kepulangan matahari ke peraduannya.

Page 63: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

63

Kompleks terakhir di Paradeso adalah

kompleks C. Tidak seperti kedua temannya,

kompleks ini terpisah dari daratan utama. Untuk

mencapainya, kita harus menggunakan perahu karena

dia terapung di tengah-tengah lautan. Tidak ada yang

istimewa dari kompleks C selain menjadi tempat

tinggal 30% penduduk Paradeso dan semuanya

berprofesi sebagai nelayan.

Selama perjalanan menuju penginapanku,

beberapa orang menyapaku. (Hei, Rino!)

Kebanyakan orang pemilik kios makanan dan

minuman. Aku membalasnya dengan seulas senyum

dan anggukan. Ada beberapa yang memintaku

mampir. Aku menjawabnya dengan menambahkan

“sedang terburu-buru” di akhir kalimat.

Karena tak tahan mendengar canda tawa

beberapa orang, aku memutuskan untuk berlari. Bila

aku tidak segera angkat kaki dari "surga" ini, maka

beberapa jam lagi senyum dan tawa di wajah

mereka...

Aku tak mau membayangkannya.

Aku ingin sekali mengatakan yang sebenarnya.

Tapi pengalaman di masa lalu mengunci lidahku.

Bahkan orang-orang yang kukira temanku tak pernah

benar-benar percaya padaku.

Sebelumnya aku pernah memperingatkan

orang-orang—yang hanya kulakukan saat aku

kehabisan waktu atau berada di menit-menit akhir

sebelum ramalan mewujud nyata atau ada orang yang

Page 64: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

64

menghalangi pelarian kami (saat aku masih bersama

seorang teman). Tapi mereka malah mentertawai

kami.

“Mimpi itu bunga tidur, nak,” kata salah

seorang dari mereka.

“Jadi setengah jam lagi tempat ini akan rata

dengan tanah?” kata seseorang di kesempatan lain.

“Lebih rata mana dengan hidungnya,” orang itu

menunjuk temannya yang berhidung rata. Sontak

seluruh orang di ruangan tertawa bersamanya.

“Dan aku punya bakat membuat orang jatuh

cinta,” sahut seseorang di kesempatan yang lain lagi.

Dan di kesempatan yang lain lagi, aku sempat

membuka identitasku yang sebenarnya. Bukannya

kaget, atau menangkapku untuk ditukarkan dengan

hadiah di pos prajurit terdekat, mereka malah

menjadikanku bahan lelucon. Menyuruhku supaya

bangun dari mimpi. Memberi nasihat agar aku

menyerahkan diri ke rumah sakit jiwa. Tak sedikit

yang mencercaku habis-habisan. Saat itu aku senang

tapi sekaligus marah. Senang karena penyamaran

kami berhasil—dengan poster wajahku dan sahabatku

terpampang di tiap dinding negeri, marah karena

untuk pertama kalinya aku marah tak ada yang

mengenaliku.

Hingga kemudian ketika aku tak sengaja

bertemu mereka lagi di jalan, mereka menganggapku

pembohong, pembual dan penipu karena ramalanku

terbukti salah.

Page 65: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

65

Namun, tak selamanya kemampuanku

membuatku jadi bahan lelucon. Ada kalanya

kemampuanku itu memudahkan proses pelarian.

Tanpa pikir dua kali mereka menyingkir dan

memberi jalan. Sejauh yang aku tahu kemampuan

mengetahui masa depan melalui mimpi belum pernah

ada sebelumnya. Atau kalau ada, mungkin sangat

sedikit sekali yang memilikinya. Beberapa orang

takut terhadap kemampuanku, bahkan beberapa lagi

berusaha membunuhku, karena aku dianggap

mencuri rahasia Pemberi Kehidupan.

Aku menerjang masuk pintu penginapan. Rira,

gadis yang bekerja sebagai pelayan di penginapan—

satu-satunya orang di lantai satu, menghentikan

kegiatan mengelap mejanya sejenak. Rambut

merahnya yang diekor kuda bergoyang-goyang saat

dia bergerak.

“Tumben kamu sudah pulang,” katanya, rasa

heran terpancar di matanya. “Biasanya baru saat

makan malam batang hi—”

“Aku harus pergi,” kataku tanpa menoleh ke

arahnya. Terus melangkahkan kaki ke lantai dua.

“Kenapa?” Rira terdengar sangat kaget. Sejak

hari pertama aku terdampar di Paradeso—aku datang

ke Paradeso menggunakan perahu—kami sudah

akrab. Obrolan kami mengalir lancar. Seolah kami

telah saling mengenal. Padahal itu perjumpaan

pertama kami. “Kenapa?” Rira mengulang

pertanyaannya di ambang pintu kamarku.

Page 66: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

66

Sebenarnya Rira adalah satu alasan kenapa aku

menetap di Paradeso, di suatu tempat, cukup lama.

Padahal perburuanku tidak mengizinkan hal itu.

“Karena...” Jujur atau bohong? Bila aku jujur,

sangat mungkin sekali aku akan ditertawakan. Tapi,

apa salahnya melihat dia tertawa untuk terakhir

kalinya? Maksudku, bila ini adalah pertemuan

terakhir kami, maka aku ingin membungkus

senyumnya—senyum mengejek sekalipun—dan

menyimpannya di dalam hati. “Karena bila aku tidak

segera pergi dari sini Paradeso akan berubah menjadi

lautan api.”

“Apa maksudmu?” Reaksi Rira jauh dari

perkiraanku. Dia terperanjat alih-alih menunjukkan

tanda-tanda tertawa.

Aku lalu menceritakan semuanya. Tentang

mimpiku. Tentang misil itu. Tentang kebakaran dan

danau yang jebol. Tak ketinggalan, tentang

kemampuanku. Bakatku.

“Kenapa kamu baru menceritakannya

sekarang?”

“Aku baru mendapatkan mimpi itu hari ini.”

“Maksudku, tentang kemampuanmu. Bakatmu

melihat masa depan melalui mimpi.”

“Itu...” Sejujurnya aku malu mengatakan

alasan yang sebenarnya. “Itu... Itu...”

Rira menempelkan telunjuk di depan bibirku.

“Aku rasa kita bisa membicarakannya nanti.

Page 67: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

67

Sekarang kita harus memberitahukan hal ini pada

Kepala Desa.”

Rumah Kepala Desa tidak jauh dari

penginapan. Cukup lima menit dengan berjalan kaki.

Rumahnya berdiri di atas pulau kecil. Menjulang

tinggi, menurut perkiraanku ada sekitar empat lantai,

melebihi bangunan-bangunan di sekitarnya. Bahkan

dari pantai Enda rumahnya masih bisa dilihat dengan

mata telanjang. Sepetak tanah yang bisa dilalui dua

orang yang berjalan berjajar menjadi penghubung

antara pulau kecil itu dengan daratan utama.

Ini bukan kali pertama aku bertemu dengan

lelaki berkepala plontos itu yang, untuk ukuran

Kepala Desa, masih tampak sangat muda. Mungkin

sekitar 5 sampai 6 tahun lebih tua dariku. Kali

pertama adalah saat dia menyambut kedatanganku di

desanya yang, diakuinya, sederhana. Namun ini

pertama kalinya aku memasuki rumahnya.

Ruang tamunya terkesan sempit dan sumpek.

Juga sedikit kotor—mungkin jarang dibersihkan. Ada

setidaknya tiga lemari, satu yang setinggi pinggang

diletakkans sekitar dua langkah dari anak tangga

tangga terbawah yang mengarah ke lantai dua, dua

lainnya ditempatkan berjajar di dinding di

seberangnya. Salah satunya tak berpintu dan berisi

benda-benda yang tampaknya telah lama rusak. Dua

kursi dan satu meja kayu ditempatkan di dekat

jendela yang menghadap ke laut.

Page 68: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

68

Aku menyerahkan bagian penjelasan pada

Rira. Jelas karena Rira adalah penduduk asli

Paradeso. Aku baru nimbrung ketika Rira

melemparkan pertanyaan padaku. Itu pun hanya

kujawab dengan anggukan dan gelengan. Selama

percakapan Kepala Desa mengangguk-angguk.

Seperti Rira, tampaknya dia langsung percaya dengan

penglihatanku.

“Apa sebaiknya kita memberitahu para

warga?” tanya Rira pada Kepala Desa.

“Jangan!” cegahku. “Maksudku,” imbuhku

cepat-cepat. “Itu akan menimbulkan kepanikan.

Kepanikan biasanya berujung pada malapetaka.”

“Tapi kalau tidak diberitahu mereka tidak akan

tahu. Dan bila mereka tidak tahu mereka bisa mati!

Kamu mau mereka mati?”

“Jangan salah paham, Rira. Aku bisa pergi dari

sini dan misil itu hanya akan melewati Paradeso.”

“Dan membawa serta setengah dari hatiku?”

kata Rira dengan intonasi mantap dan tanpa keraguan

sedikit pun.

“Rira? Kamu...”

“Ya, aku suka sama kamu. Aku juga tahu—”

Rira menundukkan kepalanya “—kamu suka

denganku.”

Jadi selama ini dia tahu? Aku kira aku sudah

cukup baik menyembunyikan perasaanku.

Page 69: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

69

Aku memang sengaja tak menyatakan cinta

padanya karena aku belum bisa memberinya rasa

aman dan kesejahteraan. Apakah sekarang waktu

yang tepat mengakuinya?

“Salah satu alasan yang memperkuat niatku

untuk pergi.”

“Kamu tega meninggalkanku, Rino?”

Aku terdiam. Berpikir sejenak. “Ya,” kataku

akhirnya. Mata Rira membulat sebesar telur ayam.

“Kalau itu bisa membuatmu tetap hidup.”

“Kamu akan tetap pergi meski aku memohon?”

Aku mengangguk.

Rira menggigit bibirnya. “Kalau begitu, ajak

aku.”

“Apa?”

“Ajak aku,” ulangnya. ”Aku tidak punya apa-

apa lagi di sini. Orangtuaku sudah lama meninggal.

Aku tak punya saudara, atau kalau punya aku tak

tahu di mana mereka.” Rira meraih kedua tanganku.

Selama beberapa saat kami menunduk memandang

tangan kami yang bertaut. “Jadi?”

“Hidup dalam pelarian tidaklah semudah—”

“Aku juga tidak akan merasa hidup bila tidak

ada dirimu di sampingku.”

Dehaman sebanyak dua kali menyisip di antara

percakapan kami. Kami nyaris lupa sedang berada di

rumah Kepala Desa.

Page 70: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

70

“Apakah kalian sudah selesai?” tanyanya.

Mukanya jadi sedikit aneh karena menahan senyum

demi tampak berwibawa.

Rira kontan menundukkan kepalanya kembali.

Sementara aku melakukan kebalikannya,

menegakkan kepalaku. Kuabaikan rasa hangat pada

pipiku.

“Aku rasa kalian sudah selesai,” Kepala Desa

menjawab pertanyaannya sendiri. Dia kemudian

mengarahkan pandangannya pada Rira. Mimik

mukanya berubah serius kembali “Rira, panggil

semua Pengantar Pesan, atau yang bisa kamu

temukan, untuk menghadap kepadaku.”

Rira mengangguk sekali lalu berlari keluar.

Setelah Rira berada jauh dari kami, Kepala

Desa berbalik dan menatap langsung ke mataku.

“Nah, Pangeran Aarino—”

Darimana dia tahu identitasku yang

sebenarku?!

“—bisa lebih detail lagi Anda mendeskripsikan

mimpi Anda?”

Kepala desa sejak awal kedatanganku ke

desanya telah curiga mengenai identitasku.

Penyamaran yang aku pilih, yakni sebagai pelajar

tingkat tinggi yang sedang mencari ketenangan

sebelum menyusun tugas akhir, dinilainya payah.

Page 71: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

71

“Coba Anda bilang Anda seorang pelukis,

dengan seringnya Anda di pantai Enda, saya mungkin

tidak akan curiga. Itu pun bila tanpa

memperhitungkan jumlah uang Anda yang

tampaknya cukup untuk biaya makan seluruh

penduduk Paradeso selama sebulan.”

Lalu kemudian aku muncul di hadapannya.

Dengan Rira mengatakan aku punya kemampuan

untuk melihat masa depan. Keraguan yang

menghinggapinya sontak sirna, digeser oleh

keyakinan. Dan dengan ekspresi kagetku, makin

memperkuat bahwa kecurigaannya selama ini benar

adanya.

“Apakah Anda hendak menyerahkan saya pada

paman saya?” tanyaku, tanpa sanggup

menyembunyikan nada menuduh.

Kepala Desa tersenyum. ”Ah ya, saya pernah

mendengar kabar mengenai hal itu. Akan ada

imbalan yang sangat besar bagi yang menyerahkan

Anda hidup-hidup.”

“Jadi?” tanyaku, sebab dia terdiam cukup lama

dan belum menjawab pertanyaanku.

“Apakah saya seperti orang yang hendak

melaporkan Anda?”

Sejujurnya aku tidak tahu. Aku tidak sepandai

Hora'an—sahabatku, temanku, abdiku yang setia—

dalam membaca bahasa tubuh seseorang.

Page 72: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

72

“Banyak berita mengenai Anda di luaran sana,”

kata Kepala Desa sambil duduk di salah kursi

kayunya. Dia membuat gerakan agar aku duduk di

kursi di hadapannya. “Saking banyaknya sampai saya

tidak yakin mana yang benar. Ada yang mengatakan,

Anda pergi dari istana karena tidak betah diejek dan

dijauhi terus-terusan karena bakat unik yang Anda

miliki. Namun ada yang mengatakan bahwa Anda

melarikan diri setelah membunuh Yang Mulia—”

“Bukan saya yang melakukannya!” Aku

melompat dari kursiku. Begitu cepatnya seolah-olah

ada yang menyengat bokongku.

“Saya tidak menuduh Anda, Pangeran” kata

Kepala Desa tenang, tak terpengaruh percikan

kemarahanku. “Saya hanya ingin tahu kebenarannya.

Itu saja.”

“Bukan saya yang melakukannya,” kataku, kali

ini lebih pelan, sambil menghembuskan napas

panjang dan kembali menempati tempat dudukku.

“Paman saya, High-Lord Aajasa, yang

melakukannya.”

Aku teringat lagi hari di mana aku

mendapatkan mimpi itu. Mimpi yang mana pasukan

pamanku menyelinap masuk ke kamarku di tengah

malam, saat aku tertidur lelap, dan menggorok

leherku. Pada awalnya aku tidak bisa menduga niat di

balik pembunuhanku. Kalau dia hendak merebut

tahkta, kenapa aku yang dibunuh dan bukannya ayah.

Tak ada untungnya membunuhku. Setidaknya belum.

Page 73: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

73

Saat menduga-duga itulah eksekutorku datang

melalui jendela. Aku langsung meraih pedangku yang

kusandarkan pada meja di samping tempat tidurku.

Tapi hanya sarung kosong yang kutemukan.

Pedangnya sendiri hilang. Tak ada pertarungan hebat

yang terjadi. Aku yang masih belum sepenuhnya

bangun dikalahkannya dengan mudah hanya dalam

dua gerakan cepat. Beruntung Hora'an, pengawal

pribadiku, yang berjaga di luar kamar, mendengar

bunyi denting pedang yang beradu. Dia sontak

menghambur masuk dan menghantam penyerangku.

Hora'an berhasil membuat musuh tersudut.

Namun sayang, musuh berhasil kabur lewat lubang

kedatangannya.

Kemudian kami mendengar teriakan dari

kamar Raja dan Ratu—orangtuaku. Teriakan yang

keluar dari mulut orang yang sekarang bernafsu

membunuhku: High-Lord Aajasa, adik kandung

ayahku, pamanku. Aku dan Hora'an berlari ke sana.

Tidak hanya terlambat, kami dituduh

bersekongkol membunuh Raja dan Ratu. Aku dituduh

membunuh kedua orangtuaku. Hora'an setengah

melindungiku dari sergapan prajurit setengah

menyeretku pergi. Tapi mataku masih sempat melihat

sekilas pedangku, pedangku yang hilang, tertancap

dalam di dada kiri ayahku.

”Saya rasa Anda berkata jujur, Yang Mulia,”

kata Kepala Desa, mengembalikanku ke dunia nyata.

Untuk kedua kalinya, aku nyaris lupa akan

Page 74: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

74

keberadaannya. Dan untuk pertama kalinya dia

memanggilku dengan Yang Mulia.

Tentu saja, tapi aku tak mengatakannya.

“Maaf bila saya lancang, tapi apakah Anda

tidak marah diperlakukan tidak adil?”

“Memang sejak kapan hidup itu adil?”

”Ah, pertanyaan yang sama rumitnya dengan,

'apakah kedamaian benar-benar ada di dunia ini?'”

Kepala Desa memandang keluar jendela, ke laut,

sebentar. ”Jadi, Anda tidak marah?” kejarnya.

“Tentu saja saya marah. Tapi apa yang bisa

saya perbuat, saya hanya seorang diri. Sekutu saya

satu-satunya telah mengorbankan dirinya demi

menjaga saya tetap hidup. Sementara dia—” aku

menggertakkan gigiku. Kedua telapak tanganku

mengepal. Teringat senyum hangat palsu pamanku.

Kepala Desa masih tetap tenang. Tak

terpengaruh panasnya amarah yang menggelegak di

dalam dadaku.

”Apakah Anda yakin, dengan Anda pergi dari

Paradeso, misil itu akan membatalkan misinya untuk

membumihanguskan Paradeso?” tanyanya.

”Misil kami dilengkapi sensor yang bisa

mendeteksi keberadaan seseorang. Dan dalam kasus,

ini keberadaan saya.”

”Koreksi bila saya salah. Tapi di mimpi Anda,

Anda bilang sedang berdiri di pinggir pantai dan

Page 75: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

75

menyaksikan misil itu memporak-porandakan

Paradeso.”

Gambaran akan mimpiku itu kembali lagi. “Ya,

tapi setelah mata misil itu melihat saya.”

”Bagaimana bila dugaan Anda salah?

Bagaimana kalau seperginya Anda misil itu tetap

meluluh-lantakkan Paradeso?”

Sejujurnya aku tidak tahu. Sejujurnya

kemungkinan itu bisa saja terjadi. Bukan rahasia lagi

bahwa High-Lord Aajasa sering membuat onar,

menghancurkan sebuah desa hanya untuk bersenang-

senang. Atau membunuh pelayannya hanya karena

pelayannya terpeleset dan tak sengaja menyentuh

tubuh bangsawannya.

“Maaf bila sekali lagi saya lancang, tapi

apakah Anda tidak berminat merebut kembali apa

yang menjadi hak anda?”

Dia tahu jawabanku tanpa aku perlu repot-

repot membuka mulutku.

“Kalau Anda berminat, kami bisa dan siap

membantu mengambil kembali tahta Anda,” kata

kepala desa di luar dugaan.

Kalimatnya kali ini benar-benar menarik

perhatianku sepenuhku.

“Maksud Anda dengan kami, apakah warga

Paradeso?” Oke, bilang saja aku meremehkan

mereka. Apa yang bisa nelayan lakukan selain

menangkap dan menjaring ikan?

Page 76: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

76

“Jangan menyepelekan kemampuan seseorang

yang belum Anda kenal betul, Pangeran,” jawab

kepala desa seolah bisa membaca pikiranku. “Kami

bisa menghancurkan puluhan ribuan tentara kalau

kami mau.”

Yang menjadi masalah adalah aku percaya

padanya. Meski kalimatnya sangat sulit untuk

dipercaya. Tapi intonasinya, ketegasan dalam setiap

kalimatnya, seolah mereka pernah benar-benar

mengalahkan 10.000 pasukan!

Apakah Rira tahu soal ini? Tentu saja dia tahu.

Dia penduduk asli Paradeso. Bahkan mungkin dia

salah satu yang membunuh 10.000 pasukan itu!

Namun kenapa Kepala Desa menawariku

bantuan kalau dia dan penduduk Paradeso mampu

mengambil alih kerajaanku?

Sebuah pemahaman tiba-tiba menghantamkan.

“Andai aku mau menerima tawaran baik Anda,

apa yang Anda minta sebagai balasan? Separuh

kerajaanku?” pancingku. Bisa saja seandainya kami

menang, dan berhasil membinasakan Aajasa, dia

berbalik mengkhianatiku.

”Itu tawaran yang menarik.”

Sudah aku duga. Dia meminta lebih!

”Tapi tidak. Kami memang sedang kesusahan.

Tapi itu bukan jenis investasi yang bagus. Kami

hanya meminta satu permintaan kecil saja,” dia

mengalihkan pandangan ke arah pintu rumahnya.

Page 77: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

77

Aku mengikuti arah pandangnya. Di kejauhan

tampak Rira bersama semua Pengantar Pesan—

pemuda-pemudi yang mengenakan ikat warna merah

di lengan kanannya.

“Kami ingin,” lanjut Kepala Desa. ”Paradeso

menjadi bagian dari kerajaan Anda.”

”Kenapa? Bukankah Paradeso baik-baik saja

tanpa menjadi bagian dari kerajaan mana pun?”

”Apa Anda bercanda? Apa Anda tidak melihat

sekitar Anda?”

Melihat apa? Melihat keindahannya? tanyaku,

hanya dalam hati. Aku tak mengatakannya keras-

keras karena aku tak yakin itu yang dimaksud oleh

Kepala Desa, selain aku tak mau terlihat tidak

mengerti Ketatanegaraan. Aku sebenarnya juga tak

mengerti apa maksudnya saat mengatakan "bukan

jenis investasi yang bagus." Maksudku, setengah

kerajaan jumlah yang sangat besar, kenapa disebut

investasi buruk? Tampaknya aku masih harus belajar

banyak soal ekonomi.

Aku jadi menyesal termakan desas-desus yang

beredar di lingkungan sekolahku. Bahwa yang belajar

ilmu pengetahuan sosial adalah mereka yang

kecerdasannya di bawah rata-rata. Sekarang aku ada

ditengah-tengah masalah sosial, dan aku kebingungan

bagai anak ayam kehilangan induknya.

”Maaf bila saya sekali lagi lancang, tapi mau

sampai kapan Anda berlari dan hidup berpindah-

pindah?” tanya Kepala Desa, kembali memusatkan

Page 78: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

78

pandangannya kepadaku. ”Paman Anda tak akan

berhenti. Dia akan selalu menemukan Anda. Sebab

seperti yang kita semua tahu, tak pernah benar-benar

ada tempat yang aman dan damai di dunia ini.”

Dulu saat Hora'an masih hidup, dan aku terlalu

nyaman berada di suatu tempat, dia sering

mengatakan hal yang sama, ”Rasa aman itu ilusi,

Pangeran. Bahkan di tempat paling damai sekali pun,

selalu ada bahaya mengintai.” Yang kadang ada

imbuhannya, ”Terkadang malah dari tempat yang tak

terduga. Orang yang kita pikir peduli dengan kita.”

Sejujurnya aku sudah bosan terus-terusan

berlari dan hidup berpindah-pindah. Dicekam rasa

takut. Selalu was-was. Tak pernah mampu tidur

nyenyak. Kadang aku berpikir untuk membiarkan

pamanku berhasil membunuhku. Tapi itu sama saja

dengan aku menyerahkan hidupku, sementara masih

banyak hal yang ingin aku lakukan. Dan, sama

seperti kebanyakan orang, aku takut pada kematian.

”Jadi, apa keputusan Anda, Pangeran?” desak

Kepala Desa.

Rira dan para Pengantar Pesan sedang

menyeberangi jembatan.

Namun alih-alih menjawabnya, aku malah

melontarkan, “Apakah Rira—”

Kepala Desa menggelengkan kepalanya.

Page 79: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

79

”Dia sama seperti Anda,” katanya singkat,

sebelum berpaling menyambut tamu yang baru saja

datang.

Pengantar Pesan, yang jumlahnya sekitar dua

puluh orang, telah diberi instruksi yang cukup jelas.

Bahwa Paradeso akan kedatangan tamu yang sangat

tidak ramah. Bahwa mereka mesti bersiap-siap

menyambutnya. Bahwa mereka mesti menjamu tamu

tersebut dengan sikap yang sama.

Orang tua, wanita, anak-anak dan orang-orang

yang tidak bisa bertempur berbondong-bondong

masuk ke rumah Kepala Desa. Rumahnya jauh lebih

besar dari kelihatannya. Ruang bawah tanahnya—

sebuah bunker bertingkat, begitulah kata

pemiliknya—mampu menampung dua kali jumlah

seluruh penduduk Paradeso.

Aku sempat meminta Rira untuk berlindung

bersama mereka. Tapi dia bersikeras untuk tetap

berada di sampingku. Dia sama skeptisnya denganku

mengenai kemampuan Paradeso menangani senjata

mematikan seperti misil.

Yang aku heran, mereka melakukannya tanpa

pertanyaan (seperti, kenapa misil itu menyerang

kita?) mau pun protes.

Rira sama herannya denganku. Juga kaget.

Sama sekali tak menyangka tempat tinggalnya

Page 80: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

80

selama beberapa tahun terakhir ini... Lebih dari yang

dibayangkannya.

Setelah memerintahkan Pengantar Pesan

mengabarkan berita mengenai kedatangan tamu yang

tidak diundang, Kepala Desa mengarahkanku dan

Rira ke puncak rumahnya. Bertepatan dengan

langkah kami menaiki tangga, ada suara benda

bergeser. Kata Kepala Desa, itu suara dinding-

dinding kayu lantai teratas, juga atap, yang bergerak

ke bawah.

”Wow...” Aku mendengar Rira menyuarakan

ketakjubannya. Dan memang tak ada kata yang lebih

tepat lagi untuk menggambarkannya.

Bisa dibilang tempat itu sangat pas untuk

melihat bintang. Sebab semua dindingnya, bahkan

atapnya, yang ketika tidak digunakan ditutupi oleh

dinding kayu, terbuat dari kaca. Kaca yang sangat

bening yang kebeningannya nyaris menyamai air.

Memberi pandangan ke seluruh Paradeso sekaligus

memudahkan mata misil melihatku. Mengirim pesan

yang sangat jelas pada pamanku bahwa aku

menantangnya.

Begitulah rencana Kepala Desa.

Aku baru ingat. Dalam mimpiku, rumah

Kepala Desa, yang puncaknya tinggi sekali hingga

tampak dari pantai, sama sekali tidak terbakar atau

roboh terkena gempuran misil dan air danau.

“Tempat ini diselubungi kaca yang sangat

tebal,” jelas Kepala Desa tanpa diminta. “Bisa

Page 81: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

81

menahan hampir semua serangan. Termasuk bom

terkuat buatan manusia.”

Bila Klompleks A menjadi tempat

perlindungan, Kompleks B dan Kompleks C bertugas

menangkal serangan dan menyerang balik.

Yang paling mengejutkanku, dan menghapus

keraguanku akan kemampuan mereka, adalah

Kompleks C. Kompleks C melebar. Rumah-rumah

bergerak ke pinggir pulau, membentuk lingkaran,

membuka lubang besar yang mereka sembunyikan.

Dari lubang itu muncul menara yang puncaknya

ditenggeri oleh empat kristal bening yang bertumpuk.

Menurut Kepala Desa, menara yang disebutnya

Pensil itu-lah yang merupakan senjata andalan

Paradeso. Aku belum pernah melihat senjata seperti

itu sebelumnya. Apa kira-kira keandalan senjata itu

hingga Kepala Desa yakin misil yang hendak

mengarah kemari bisa dihancurkan bahkan sebelum

menyentuh sejengkal tanah Paradeso?

Matahari telah terbenam sepenuhnya. Kini

tugas bulan untuk menerangi dunia.

Harusnya misil itu sebentar lagi akan

menunjukkan moncongnya yang runcing.

Dan benar saja.

Ekor mataku menangkap garis kecil di langit

barat.

Akhirnya datang juga.

Page 82: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

82

Kepala Desa, juga Rira, mengikuti arah

tatapanku. Tangannya yang sedari tadi memegang

cangkang kerang terangkat. Aku mengenali cangkang

kerang itu sebagai alat komunikasi. Aku pernah

melihat beberapa pengejarku, orang-orang suruhan

pamanku, pernah menggunakannya. Di dekatkannya

cangkang kerang itu ke mulutnya.

“Semua siap di posisi,” katanya.

Seperti yang aku lihat di dalam mimpi, misil

besar itu membelah diri menjadi ratusan misil mini—

“Tahan,” kata Kepala Desa pada alat

komunikasinya.

Misil-misil itu menanjak naik, tampaknya

sedikit terkejut dengan landskap baru Paradeso,

menembus awan—

“Tahan,” kata Kepala Desa lagi, kali ini

suaranya terkontaminasi ketegangan. Matanya

memandang dengan intensitas tinggi ke arah langit,

ke arah misil-misil yang menghilang.

Keringat dingin menuruni punggungku. Rira

makin mengeratkan pelukannya pada tubuhku.

Membenamkan wajahnya di dadaku. Matanya

terpejam. Aku bisa merasakan degup jantungnya

yang berdetak cepat dan napasnya yang memburu.

“Tembak!” seru Kepala Desa tepat saat

puluhan misil jatuh bersamaan dari awan seperti

hujan.

Page 83: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

83

Pasukan atau orang-orang—aku tidak yakin

bagaimana harus memanggilnya—di Kompleks B

menembakkan senjata mereka dari atap-atap rumah

mereka. Beberapa misil meledak di udara. Beberapa

lagi lolos dan menghantam rumah Kepala Desa.

Banyak misil menabrakkan diri. Tapi kaca

yang menyelimuti rumah Kepala Desa masih sama

mulusnya. Tidak ada goresan. Tidak ada retakan.

Bahkan tak setitik debu pun. Suara ledakan juga

teredam. Malahan, aku tidak merasakan getaran sama

sekali.

Misil-misil yang memiliki mata itu mengubah

formasi, berkelit di antara desingan peluru, terbang

lebih tinggi jauh dari jangkauan tembakan. Dan

ketika melihat kesempatan, mereka menjatuhkan diri

dan memporak-porandakan apa saja yang diciumnya.

”Mana Pensil-ku?” teriak Kepala Desa pada

alat komunikasinya. ”Aku butuh Pensil segera

membabat habis misil-misil sialan itu!”

”Pensil masih belum siap, Pak,” jawab seorang

pria.

Kepala Desa mengumpat.

Lima bangunan di Kompleks B hancur. Dua

bangunan di Kompleks C tenggelam. Warga yang

kurang beruntung, yang belum sempat melemparkan

diri ke jalanan atau bangunan di sebelahnya,

tubuhnya terbakar. Beberapa yang lain meledak

menjadi potongan-potongan kecil.

Page 84: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

84

Kepala Desa mengumpat lagi.

Aku menutupkedua mataku. Meski telah

menyaksikan banyak hal mengerikan, aku masih

belum juga terbiasa. Aku bersyukur ada Rira di

dekapanku. Seandainya Rira tidak memelukku,

mungkin aku sudah terduduk lemas.

Melihat situasinya yang semakin lama semakin

parah, tampaknya kami akan kalah. Tampaknya

Paradeso akan tetap menjadi lautan api. Persis seperti

di mimpiku.

”Rino,” panggil Rira lirih. Cukup lirih hingga

hanya aku yang bisa mendengarnya.

”Ya?”

Sebuah misil lagi-lagi menabrakkan dirinya ke

dinding kaca. Tapi dinding itu masih belum

tergoyahkan.

”Menurutmu...” Suara Rira menurun saat

mencapai suku kata terakhir. Seakan-akan tak yakin

akan apa yang hendak diucapkannya. ”Menurutmu,

sampai kapan dinding rumah ini bisa bertahan?”

”Aku tidak tahu. Kaca itu bisa pecah sewaktu-

waktu,” kataku, apa adanya. ”Aku rasa ini saatnya

kamu ke lantai bawah—”

”Tidak,” potong Rira. ”Bila memang hari ini

adalah hari terakhirku hidup. Aku ingin berada di

sampingmu.”

Kali ini dua buah misil menghantam dinding

berbarengan.

Page 85: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

85

Sejujurnya aku senang Rira memutuskan untuk

tinggal. Sadar atau tidak, dia menjadi salah satu

alasanku aku masih tegak berdiri. Meski di sisi lain,

aku ingin dia berada di tempat yang lebih aman.

Ada tiga misil yang hendak menabrak dinding

bersamaan, namun di detik-detik terakhir, mereka

merubah arah dan kembali menuju langit. Lagi-lagi

menyembunyikan diri di balik awan.

”Mungkinkah mereka menyerah?”

Namun, sebelum aku sempat merespon kata-

kata Rira yang penuh harap, alat komunikasi Kepala

Desa berbunyi nyaring.

”Pensil sudah siap, Pak,” kata pria yang sama.

”Persiapkan diri kalian,” kata Kepala Desa,

entah pada kami atau pria yang barusan berbicara via

kerang komunikasi. ”Mereka akan menyerang rumah

ini dengan kekuatan penuh.”

Dan benar saja.

Seluruh sisa misil yang selamat dari tembakan

Kompleks B bergerak cepat menuju ke arah kami!

Dua puluh meter.

Tujuh belas meter.

”Tahan...” Kali ini Kepala Desa tak

menyembunyikan ketegangannya. Suaranya bergetar.

Empat belas meter.

Sebelas.

Page 86: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

86

Sepuluh.

Sembilan.

Delapan.

”Tembak!”

Empat kristal bening menara Kompleks C

bersinar. Sinar itu kemudian menyatu membentuk

bola. Berkedip sedetik sebelum meledak dan sinarnya

menyebar ke segala arah.

Misil-misil yang mengenai sinar itu, yang aku

kira bakal meledak di tengah udara, begitu tersentuh

sinar Pensil langsung berubah menjadi serpihan.

Tersisa satu misil terakhir.

Melayang sendirian di langit malam dalam

posisi vertikal.

Matanya berada di sisi bawah.

Pensil siap membidiknya. Namun, di luar

dugaan, dia meledakkan dirinya sendiri.

Sayup-sayup telingaku menangkap bunyi

sorakan kegembiraan di Kompleks B dan Kompleks

C.

Kepala Desa bersorak. Dia melempar senyum

pongahnya padaku. Seakan-akan mengatakan, ”Lihat

apa yang bisa kamu lakukan?”

Sementara Rira... Dia meneteskan air mata

bahagia.

Page 87: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

87

Aku tahu aku harusnya ikut gembira karena

serangan High-Lord Aajasa ke Paradeso, atau lebih

tepatnya serangan padaku, berhasil digagalkan. Tapi

aku merasa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang

luput dari perhatianku.

Misil terakhir yang kulihat di mimpi. Misil

yang menyerangku setelah misil-misil yang lain

mengubah Paradeso menjadi lautan api, ukurannya

sama besarnya dengan misil pertama sebelum

memecah diri menjadi berkali lipat.

Tunggu sebentar.

Misil pertama...

Misil pertama!

Oh, tidak.

”Rino?” tanya Rira yang menyadari

perubahanku.

Di kejauhan, mataku menangkap beberapa

garis hitam berekor merah.

Melihat mataku membulat lebar, Rira

mengikuti arah pandangku, ”Oh, tidak.”

Beberapa... Tidak hanya satu. Tapi dua, tiga,

lima... jumlahnya lima!

Kalimat singkat Rira menarik perhatian Kepala

Desa. Dan untuk ketiga kalinya, Kepala Desa yang

tak memiliki rambut di kepalanya itu mengumpat.

Namun yang ketiga ini jauh lebih keras dibanding

dua pendahulunya.

Page 88: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

88

Tidak heran. Secara satu misil saja sudah

membuat Paradeso kewalahan. Gimana dengan lima

misil?!

”Setidaknya kegigihan paman Anda bisa kita

tiru,” kata Kepala Desa padaku, sebelum kembali

ngobrol dengan orang-orangnya via kerang

komunikasi.

Tunggu dulu—

Ternyata masih ada dua lagi.

Kepala Desa tertawa hambar.

Rira kembali membenamkan kepalanya di

dadaku.

”Matilah kita,” kataku, setelah menelan ludah

dengan susah payah.

Tujuh misil berkekuatan dahsyat sedang

melesat cepat ke arah kami!

”Malam ini akan menjadi malam yang sangat

panjang,” gumam Kepala Desa.

Page 89: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

89

Confession of

a

Bookaholic

Page 90: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

90

Jika kamu menemukan surat ini, tentunya

kamu sedang membacanya sekarang, itu

artinya aku sudah mati. Atau aku masih

hidup, tapi telah berada di alam lain,

bukan sebagai manusia lagi. Tapi sebagai

sesuatu yang lain. Sesuatu yang mungkin

kamu takuti.

Sebelumnya, aku ingin

memperkenalkan diriku. Namaku Erri.

Aku seorang kutu buku. Atau aku rasa

julukan itu terlalu sederhana bagiku yang

sangat mencintai buku lebih dari apapun.

Kecuali ibuku, tentu saja.

Buku sudah seperti napas kedua

bagiku. Buku sudah menjadi menu wajib

saat aku melakukan apapun (kecuali saat

aku mandi, bekerja dan tidur). Buku sudah

menjadi bagian dari hidupku. Sahabatku.

Teman hidupku. Motivator pribadiku.

Pengelola suasana hatiku.

Ya, aku rasa kamu bisa menebaknya.

Buku telah menjadi candu bagiku. Narkoba

favoritku. Sehari saja tidak menyentuhnya,

membaui aroma tubuhnya, membaca

Page 91: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

91

jalinan kata-katanya, menelusuri susunan

kalimat-kalimatnya, tenggelam di dalam

dunia yang dibangun oleh penulisnya,

rasanya aku seolah menghembuskan napas

terakhirku.

Berlebihan memang. Aku tak

berharap kalian langsung

mempercayainya. Tapi aku berani

bersumpah demi semua bukuku yang

kumiliki bahwa begitulah kenyataannya.

Aku memang seorang bookaholic kelas

berat.

Bahkan ada yang pernah nyeletuk,

"Erri mungkin bakal menikahi buku-

bukunya," pada acara kumpul keluarga,

saat aku dilempari pertanyaan, "Kapan

kawin?" (Pertanyaan yang mulai muncul

tiga tahun lalu, semenjak usiaku menginjak

seperempat abad).

Suatu malam, saat aku menghadiri

acara kumpul bareng sesama pecinta buku,

salah seorang peserta menggumamkan

sesuatu yang menganggu pikirannya

Page 92: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

92

beberapa minggu terakhir, "Terlalu banyak

buku, sementara waktu terlalu sedikit."

Beberapa orang mengiyakannya.

Beberapa lagi menggumamkan kata-

kata semacam, "Makanya jangan buang-

buang waktu baca buku sampah" atau

"Tampaknya mulai sekarang aku hanya

akan membaca jenis buku favoritku saja."

Tapi mungkin tidak ada yang seperti

aku.

Aku merasa seolah ditampar dengan

keras oleh gumaman itu.

Usiaku sudah nyaris tiga puluh tahun.

Usia hidup rata-rata manusia sekitar 60

sampai 70 tahun. Itu artinya aku sudah

menghabiskan hampir setengah hidupku.

Padahal baru sedikit buku yang kubaca.

Aku belum menyelesaikan daftar 1001 buku

yang kudu dibaca sebelum maut

menjemput. Seperempatnya saja belum.

Ditambah lagi masih ada lanjutan buku-

buku serial yang belum juga dirilis—dengan

skenario terburuk naskahnya belum kelar

Page 93: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

93

ditulis, yang "menjebakku" dalam lingkaran

penasaran yang tak terpuaskan hingga

kata tamat muncul.

Aku kemudian pamit pulang lebih

awal dari acara itu. Aku bahkan masih

ingat alasan yang kugunakan (sakit

kepala!). Dan coba tebak apa yang aku

lakukan pertama kali sesampainya aku di

rumah?

Sudah bisa ditebak, aku langsung

menuju perpustakaan. Tempat favoritku di

rumah. Yang juga merupakan sanctuary

buatku, bila boleh kutambahkan.

Saat aku sendirian, buku-buku

menemaniku. Saat aku hendak belajar

sesuatu, buku-buku mengajariku—bahkan

aku selalu bisa menemukan pelajaran baru

dari buku fiksi. Saat aku suntuk, buku-buku

menghiburku. Dan, saat aku nyaris bunuh

diri, buku-buku menyadarkanku,

memotivasiku.

Aku mondar-mandir menyusuri tiap

sudutnya. Menghela dalam-dalam

atmosfirnya. Kadang menarik buku dari

Page 94: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

94

raknya, lalu membelainya dan

memeluknya dengan sayang seolah buku

itu adalah anakku sendiri. Aku tahu aku

kelihatan gila, tapi aku tidak peduli. Aku

memang cinta pada buku-bukuku. Aku

tidak mau berpisah dengan mereka.

Kuhempaskan diriku di lantai di

tengah-tengah perpustakaan. Waktu. Usia.

Andai aku bisa menyuapnya. Atau kalau

ada yang menjualnya, aku mau sekali

membelinya.

Masih banyak buku yang belum

kubaca sama sekali. Masih banyak buku

yang ingin kubaca ulang. Di salah satu sisi

lemari aku menempelkan daftar buku-buku

yang hendak kubeli nanti.

Kebanyakan didominasi judul-judul

buku sekuel dari serial yang aku suka.

Daftar itu, sementara ini, berhenti di

nomor 117—dan masih akan terus

bertambah kalau kalian mau tahu.

Bagaimana aku bisa membaca

semuanya bila waktuku habis di dunia ini?

Page 95: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

95

Atau, mungkin aku bisa menerima

aku bisa mati kapan saja, tapi kenapa tidak

ada pemberitahuan kapan tepatnya aku

tutup usia sehingga aku bisa

mempersiapkan diri?

Kemudian, entah darimana, Saniver

muncul. Hingga hari ini, hari dimana aku

menulis surat ini, empat hari sebelum Hari

Penjemputan-ku, aku yakin nama itu,

Saniver, bukan namanya sebenarnya.

Hingga hari ini juga, aku masih terkesima

oleh perkenalan dirinya.

Aku masih ingat, kedatangannya

saat itu tepat ketika aku sedang duduk di

beranda rumah, menikmati langit malam

yang cerah. Malam itu tepat enam hari

dari acara kumpul-kumpul bersama

komunitas pecinta buku. Bintang

bertaburan. Bulan sabit menghiasi

bentangan gelap seperti sebuah senyuman.

Aku juga ingat bunyi tawaku yang

membahana ketika dia mengaku dirinya

iblis.

Page 96: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

96

Tentu saja saat itu aku

menganggapnya sedang bercanda.

Maksudku, siapa yang bakal percaya pada

orang asing yang tiba-tiba datang sambil

bilang, "Namaku Saniver, dan aku iblis

kelas tiga?" Apa kalian langsung

mempercayainya?

Kalau aku jelas percaya dia sedang

berusaha melucu, atau kalau boleh ge-er

dikit, dia sedang menarik perhatianku.

Membuatku terkesan dengan cara

berkenalannya yang sedikit tidak biasa.

Aku tahu aku tak seharusnya tertawa, tapi

aku tak bisa menghapus pikiran "Emang

iblis sekolah juga ya?" dari benakku.

Mendadak udara jadi lebih dingin.

Bulu kudukku meremang. Tawaku kontan

menghilang. Kedua tanganku secara refleks

menyilangkan diri di depan dada. Tiba-tiba

aku mendambakan selembar selimut

hangat.

Pada awalnya, aku mengabaikan

jeritan peringatan tubuhku itu. Aku

menduga, mungkin aku terlalu lama

Page 97: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

97

berada di luar hingga tak sadar bahwa

malam telah larut dan angin malam yang

sedingin es kutub mulai aktif membekukan

tulang.

Baru belakangan, aku tahu itu bukan

karena malam.

Tapi karena dia.

Karena Saniver.

Saniver, yang mungkin tersinggung

aku menganggapnya melawak, kemudian

mengubah dirinya menjadi sosok yang lebih

besar. Kulitnya berwarna hijau kacang

polong. Gigi taringnya mencuat keluar dari

mulut. Sosok pria muda tampan berjas dan

berdasi yang tadi diperlihatnya hilang

tanpa bekas. Lalu bibirnya bergerak,

meloloskan sebuah kalimat, "Atau kamu

lebih suka dengan penampilanku yang ini?"

Menyaksikan perubahan itu di depan

mataku sendiri, jelas membuatku langsung

percaya.

Ternyata dia memang benar-benar

iblis!

Page 98: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

98

Secara harfiah.

Aku menggeleng cepat. Mulutku

terlalu kelu untuk digunakan.

Detik berikutnya, raksasa hijau itu

diselimuti angin puting-beliung dan

sosoknya kembali menjadi pria muda

tampan.

Baru aku menyadari ada yang aneh

dengan matanya. Matanya... Bersinar.

"Aku dengar kamu punya masalah

besar," katanya.

"Da-da-ri du-du-lu..." Aku berdeham,

membersihkan tenggorokanku, menelan

ludah dengan susah payah. Masih

terkesima dengan transformasinya.

"Hanya... orang mati... yang tidak punya

masalah."

"Jangan terlalu yakin dulu," katanya.

"Perkenalkan namaku Saniver,” dia

mengulang perkenalan dirinya. “Dan aku

bisa membantumu menyelesaikan masalah

besarmu."

Page 99: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

99

"Masalah... Besar? Aku sedang... tidak

dalam masalah besar."

"Jadi keterbatasan waktu bukan

masalah besar?"

"Keterbatasan waktu?" ulangku, masih

belum paham maksudnya.

"Berapa banyak buku yang ingin

kamu baca?"

Berapa banyak buku... Keterbatasan

waktu... OH! "Kamu mau membantuku

hidup abadi?"

"Tentu saja tidak. Bukan aku yang

memiliki waktu."

Dia menawarkan sesuatu yang lain.

Sesuatu yang tak bisa kutolak: kemampuan

membaca cepat.

Aku tahu kemampuan itu bukan solusi

yang tepat untuk memecahkan masalah

keterbatasan waktuku. Tapi aku terpana

saat dia mendemonstrasikan (dia

menyentuh bahuku dengan tangannya)

kemampuan itu. Dia mengambil sebuah

buku tebal dari ketiadaan. Aku melihat

Page 100: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

100

sekilas judul buku yang dipegangnya dan

aku hapal sekali buku itu punya jumlah

halaman yang lumayan fantastis—

tepatnya 1200 halaman.

Hanya dengan menyentuhnya, buku

yang tebalnya 1200 halaman itu habis

terbaca dalam waktu kurang dari 10 menit!

Bahkan tanpa membolak-balik

halamannya!

Bahkan aku juga bisa mencium aroma

kertas buku itu!

Bahkan aku juga merasakan sensasi

debaran, termasuk sensasi membuka tiap

membalik halaman demi halaman, yang

sama saat aku membaca buku dengan

kecepatan normal!

Kalau begitu, aku tidak perlu membeli

sebuah buku lagi. Cukup datang dan

menyentuh buku dan aku telah

membacanya!

Aku, yang masih dipenuhi gejolak

muda saat itu, tanpa pikir panjang,

menerimanya.

Page 101: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

101

Namun, tentu saja, semua ada

harganya. Saniver akan datang 10 tahun

mendatang untuk mengambil jiwaku

sebagai ganti “hadiah”-nya.

"Kamu yakin mau menerima

bantuanku?" tanyanya untuk terakhir kali

sebelum mengulurkan tangannya.

Keyakinanku sebenarnya hanya

sebesar 80% saja. Tapi mengingat aku bisa

membaca cepat, tanpa kehilangan sensasi

"nikmat" saat membaca dalam kecepatan

biasa, tanpa ba-bi-bu juga be-bo tanpa ragu

aku berkata, "Ya."

Kamu tahu berapa banyak buku yang

kubaca di hari pertama aku memiliki

kemampuan membaca super kilat? 198

buku!

Salah satunya, aku penasaran ingin

mencoba, adalah buku telepon yang saking

tebalnya bisa digunakan sebagai bantal.

Aku membabatnya habis dalam waktu

kurang dari 15 menit!

Page 102: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

102

Dana yang biasa kusisihkan untuk

membeli buku, yang biasanya minta

tambahan uang utama—uang yang ada di

dompetku untuk kebutuhan sehari-hari,

hanya tersentuh seperempatnya saja. Aku

hanya membeli, atau bisa kalian sebut

mengoleksi, buku-buku yang kuanggap

bagus saja. Aku jadi bisa membelikan

hadiah untuk ibuku—tentu saja beliau

tidak tahu-menahu soal perjanjianku

dengan Saniver. Ibuku senang. Dia

mengira, akhirnya aku sadar untuk tidak

menimbun banyak buku lagi, sebab rumah

kami, kalau aku masih meneruskan

kegemaranku, lama-kelaman tidak punya

banyak tempat lagi untuk menampung

buku-bukuku.

Ketika sendirian dan sedang tidak

ada buku baru, terkadang aku sedikit

menyesal kenapa dulu aku mengambil

perjanjian itu. Menyesal kenapa aku begitu

egois dan membiarkan ibuku menghadapi

tragedi. Hidup lebih lama dari anaknya.

Tapi aku tidak bisa membatalkan

Page 103: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

103

perjanjian. Janji tetap janji. Mau tak mau,

jiwaku harus kuserahkan pada...

Entah kenapa mendadak aku tak

sanggup menuliskan lagi namanya.

Nah, sekarang kamu tahu rahasiaku.

Belum ada yang tahu mengenai perjanjian

yang aku buat dengan pria muda tampan

yang sempat menjelma jadi raksasa

berkulit kacang polong itu.

Siapa pun kamu, aku harap kamu

lebih bijaksana dariku dalam membuat

pilihan. Aku sendiri merasa pilihan yang

aku buat tidak sepenuhnya salah, sebab aku

sempat mencicipi nikmatnya kebahagiaan

yang tidak akan kutukar dengan apapun.

Tapi pilihanku juga tidak sepenuhnya

benar. Pilihan yang kuambil terlalu

terburu-buru dan tanpa pikir panjang,

hingga menyisakan penyesalan.

Sebelum kututup suratku ini, aku

ingin berterima kasih padamu karena telah

menyisihkan waktu sedikit untuk membaca

surat pengakuanku yang tidak penting ini,

dan bukannya membakarnya atau (lebih

Page 104: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

104

parah lagi) menggunakannya sebagai

pengganti kertas tisu.

Sekali lagi terima kasih.

Yang ingin menjadi temanmu,

ERRI

Page 105: F.J. Ismarianto - s3.amazonaws.com · tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar, sambil menghardiknya atau mengusirnya. ... Seorang gadis cantik belasan tahun berdiri menjulang

105

Tentang Penulis

Fery Juni Ismarianto, atau yang sering, atau lebih suka, dipanggil Jun

oleh teman-teman online-nya (iya, online, kalau di dunia nyata

kebanyakan memanggilnya dengan pangeran nama depan), adalah

seorang pemuda yang jatuh cinta setengah mati pada buku-buku (juga

film-film) yang berbau [jangan tanya baunya seperti apa, itu hanya

istilah] fantasi atau fiksi ilmiah. Menurutnya, fantasi dan fiksi ilmiah

membantunya dalam mengungkapkan secara terselubung jeritan

hatinya, yang dianggap tabu dan tidak layak untuk diperbincangkan

apalagi dikupas secara tajam setajam parang. Menurutnya juga, fantasi

dan fiksi ilmiah menantang logikanya yang kadang mempertanyakan

banyak hal, termasuk hal-hal "lingkaran" yang tak ada jawabannya.

Saat ini, tepatnya bulan November tahun 2013, dia masih memikirkan

seseorang yang belum membalas perasaannya. Doakan saja dia

berjodoh dengannya. Atau kalau mereka tidak berjodoh, doakan Jun

supaya dia mudah melupakan seseorang yang menguasai hati dan

pikirannya tersebut—meski mungkin susah atau butuh waktu lama

untuk dilakukan. Atau bisa juga, doakan dia segera menemukan

seseorang yang tepat untuknya, yang dicintainya dan mencintainya.

Bukan seorang pembohong, apalagi yang pura-pura punya penyakit

kanker. Bukan yang anti komitmen. Bukan petualang cinta. Bukan pula

yang terus teringat dan terus membicarakan mantannya di setiap

kesempatan.

Jun bisa dihubungi lewat twitternya di @FJrean atau di blog pribadinya

di http://junnotes.blogspot.com