Fix

42
Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Anak Refleksi Kasus Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman RSUD A.W.Sjahranie Samarinda RELAPS ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKEMIA Disusun Oleh: Yusuf Taqwa Muladi 1410029021 Pembimbing: dr. Diane M. Supit, Sp.A Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNMUL

description

all

Transcript of Fix

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Anak Refleksi Kasus

Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman

RSUD A.W.Sjahranie Samarinda

RELAPS ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKEMIA

Disusun Oleh:

Yusuf Taqwa Muladi

1410029021

Pembimbing:

dr. Diane M. Supit, Sp.A

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Anak

FK UNMUL

Samarinda

2015

Refleksi Kasus

ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKEMIAPADA ANAK

Sebagai salah satu syarat untukmengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak

Yusuf Taqwa Muladi

1410029021

Menyetujui,

dr. Diane M. Supit, Sp. A

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAKFAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTERUNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDASEPTEMBER 2015

BAB 1

Identitas pasien

- Nama : An.F

- Jenis kelamin : Perempuan

- Umur : 10 tahun

- Alamat : Tering,sei barang,Kubar

- Anak ke : 1 (tunggal)

- Kamar : 01

- MRS : 30 juni 2015

Identitas Orang Tua

- Nama Ayah : Tn.MS

- Umur : 48 tahun

- Alamat : Tering,sei barang,Kubar

- Pekerjaan : Karyawan Swasta

- Ayah perkawinan ke : 2

- Nama Ibu : Alm.Ny.B

- Umur : suami tidak ingat

- Alamat : Tering,sei barang,Kubar

- Pekerjaan : IRT

- Ibu perkawinan ke : 3

- Riwayat kesehatan : Riwayat Ca.Servik

Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesa pada tanggal 28 Agustus 2015 dengan ayah

kandung pasien.

Keluhan Utama :

Nyeri tulang pada tangan kiri dan kaki kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD A.W Sjahranie dengan keluhan Nyeri tulang pada tangan kiri dan

kaki kiri 1 hari sebelum masuk rumah sakit,sakit dirasakan seperti di remas dan tertindih serta

tidak bisa berdiri maupun berjalan dan dirawat inap.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Awalnya pasien demam naik turun dan dinyatakan menderita penyakit tifus dan dirawat inap di

rumah sakit sandaran pada bulan maret 2013,kubar dan setelah dinyatakan sembuh dan kembali

pulang,beberapa minggu kemudian demam muncul lagi tetapi di diagnosa demam berdarah

sehingga menjalani rawat inap lagi pada bulan april 2013.Pada hasil laboratorium kadar

hemoglobin 9,6 g/dl dan mendapat transfusi PRC.Cek darah lengkap tiap hari tetapi beberapa

hari kemudian kadar hemoglobin turun menjadi 6,4 g/dl sehingga dokter di rumah sakit sandaran

mengatakan pasien mengalami drop dengan gejala panas badan ,akral dingin,kesadaran menurun

sehingga di rujuk ke RSUD A.W Sjahranie.Selama perjalanan menuju samarinda didampingi

oleh perawat.

Ketika di rawat inap di RSUD AW Sjahranie, pasien dilakukan BMP dan ditemukan hasil ALL-

L1.Dan dirawat selama 5 bulan dan mendapat PRC 21 kantong dan TC,setelah itu pasien bisa

pulang dan mengikuti kemoterapi sesuai jadwal dan selesai.Setelah 6 bulan kemudian,muncul

keluhan nyeri pada tangan dan kaki kiri.

Riwayat Penyakit Keluarga :.

Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit serupa

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :

Berat badan lahir : 3500 gram

Panjang badan lahir : -

Berat badan sekarang : 39 kg

Panjang badan sekarang : 150 cm

Duduk : -

Merangkak : -

Berdiri : -

Berjalan : -

Berbicara 2 suku kata : -

Makan dan minum anak

ASI : -

Susu sapi : -

Bubur susu : -

Tim saring : -

Buah : -

Lauk dan makan padat : -

Pemeliharaan Prenatal

Periksa di : Klinik bidan

Penyakit Kehamilan : -

Obat-obatan yang pernah diminum : -

Riwayat Kelahiran :

Lahir di : Rumah sakit

Persalinan ditolong oleh : Dokter

Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan

Jenis partus : Spontan

Pemeliharaan postnatal :

Periksa di : Dokter

Keadaan anak : Sehat

Keluarga berencana : -

IMUNISASI

Imunisasi Usia saat imunisasi

I II III IV Booster I Booster II

BCG + //////// /////// /////// /////// ///////

Polio + + + + - -

Campak + - /////// /////// /////// ///////

DPT + + + /////// - -

Hepatitis B + + + /////// - -

PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2015

Kesan umum : Sakit Ringan

Kesadaran : Composmentis

Tanda Vital

Frekuensi nadi : 98 x/menit, isi cukup, reguler

Frekuensi napas : 18 x/menit

Temperatur : 37,1o C per axila

Berat badan : 39 kg

Panjang Badan : 150 cm

Kepala

Rambut : Hitam

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Refleks Cahaya (+/+),

PupilIsokor (3mm), mata cowong (-/-)

Mulut : Lidah kotor (-),faring Hiperemis(-), mukosa bibir basah, pembesaran

Tonsil (-/-), gusi berdarah

Leher

Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB submandibular (-/-),

Thoraks

Inspeksi : Bentuk dan gerak dinding dada simetris dextra = sinistra, retraksi (-),

Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Fremitus raba dekstra = sinistra, Ictus cordisteraba icv V MCLS

Perkusi : Sonor di semua lapangan paru

Batas jantung

Kiri : ICS V midclavicula line sinistra

Kanan : ICS III para sternal line dextra

Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-),S1S2 tunggal reguler,

bising (-)

Abdomen

Inspeksi : Tampak datar

Palpasi :Soefl, nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-) splenomegali (-),

turgor kulit kembali cepat

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Nyeri tekan pada ekstermitas superior sinistra dan ekstermitas inferior

sinistra, Akral hangat (+), oedem (-), capilary refill test < 2 detik,

sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-), pembesaran KGB inguinal

(-/-)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah tepi menunjukkan tanggal 31 Juli 2015

Eritrosit :Normokrom normositik,anisositosis

Leukosit :Kesan jumlah meningkat,limfositosis,sel blast (+) 70 %

Trombosit :Kesan jumlah menurun

Kesan/kesimpulan hasil darah tepi :

Bisitopenia dengan lekositosis dan adanya sel blast 70 % ec susp Acute leukemia ec ALL?

Saran :Retikulosit,BMP

Fungsi Hati tanggal 3 Agustus 2015

Fungsi Hati Hasil Nilai normal

LDH (anak) 574 U/L 1-6 tahun < 615

7-12 tahun <580

13-17 tahun <436

Hasil Bone marrow Punction tanggal 6 Agustus 2015

Darah lengkap :

HBC 10,8 g/dl

WBC 70.460 /ul

PLT 143.000 /ul

HCT 32 %

MCV 99 fl

MCHC 34 gr/dl

MCH 34 pg

Darah tepi :

Eritrosit Normokrom anisositosis

Leukosit Kesan meningkat,sel limfoblast 85 %

Trombosit Kesan jumlah normal

Bone marrow punction

Selularitas Hiperseluler

Rasio M:E 4:1

Sistem eritropoises Aktivitas sangat menurun

Sistem granulopoises Aktivitas sangat menurun

Sistem megakarioposies Aktivitas baik

Cadangan Fe Negatif

Pemerk.sitokimia Negatif (dominan)

Lain-lain Terdapat proliferasi sel-sel limfoblast yang

homogen berukuran besar ± 95 %

Kesimpulan :Gambaran darah tepi dan sumsum tulang menunjukkan suatu acute lymphocytic

leukemia (ALL-L1) relaps

Darah Lengkap

Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit

30 Juli 2015 57.600 12,2 35,5 106.000

31 Juli 2015 24.900 9,9 29,1 110.000

18 Agustus 2015 99.900 9,5 26,3 28.000

19 Agustus 2015 114.070 7,8 24,5 68.000

21 Agustus 2015 119. 600 8,4 24, 6 40.000

23 Agustus 2015 47.400 7,7 22,5 14.000

26 Agustus 2015 16.400 10,0 28,9 70.000

28 Agustus 2015 2.700 10,4 29,9 45.000

1 September 2015 1.400 9,3 26, 6 26.000

2 September 2015 900 8,2 23,7 37.000

3 September 2015 1.000 10,7 31, 6 57.000

Diagnosa Kerja

Relaps Acute Lymphoblastik Leukemia L1

Penatalaksanaan IGD

- IVFD D5 ½ NS 2000 cc/ 24 jam

- Transfusi TC 10 cc/kgbb 2 hari berturut-turut (400 cc)

Penatalaksanaan ruangan

- IVFD D5 ½ NS 2000 cc/24 jam

- Inj.Paracetamol 3 x 400 mg iv

- Inj.Ceftriaxone 2 x 1gr

- Rencana Kemoterapi sesuai protokol ALL kategori High Risk

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. Leukimia Limfoblastik Akut

2.1 Definisi dan Epidemiologi

Leukemia akut adalah keganasan primer di sumsum tulang , pada anak merupakan 35 %

dari kanker anak. Delapan puluh persen merupakan Leukemia Limphoblastik Akut (LLA) dan 20

% Leukemia mieloblastik akut (LMA) . Leukemia limfoblastik akut adalah penyakit keganasan

yang berciri khas infiltrasi progresif dari sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ

limfatik yang dikenal sebagai limfoblas .Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 80.000.000 anak

dibawah usia 15 tahun. Diperkirakan ada sekitar 3000 kasus LLA baru anak setiap tahunnya.

Mostert dkk tahun 2006 di Yogyakarta melaporkan bahwa dari semua penderita LLA, 35 %

menolak pengobatan, 23% mengalami kematian yang berhubungan dengan pengobatan, 22%

mengalami perburukan atau kekambuhan dan 20 % mengalami event- free survival. Temuan ini

kurang lebihnya juga menggambarkan situasi di Indonesia secara umum (Indonesian ALL

Childhood Protocol, 2013).

Insiden ALL di Amerika sebesar 3.7-4.9 kasus per 100.000 anak dengan usia 0-14 tahun

(Vikramjit, 2014). Puncak insiden ALL terjadi pada usia 2-5 tahun (Ching, et al, 2008). Insiden

penyakit ini akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Dengan kemajuan teknik

diagnosis dan terapi, angka kesembuhan pada anak yang menderita ALL saat ini mencapai 90%

(Ribera, 2009). Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada kulit putih dibandingkan kulit hitam

(Vikramjit, 2014).

2.2 Patogenesis

Menurut Permono (2005), meskipun LLA sering dihubungkan dengan sindroma

gangguan genetik, namun penyebab utama LLA sampai saat ini masih belum diketahui. Faktor

lingkungan yang memperberat resiko terjadinya LLA adalah pemaparan terhadap radiasi ion dan

elektromagnetik.Selain itu beberapa jenis virus juga berkaitan dengan insiden LLA, terutama

infeksi virus yang terjadi pada masa prenatal seperti virus influenza dan varicella. Leukemia

limfoblastik akut juga dapat terjadi pada anak dengan gangguan imnunodefisiensi kongenital

seperti Wiscot-Aldrich Syndrome, congenital Hypogammaglobulinemia danAtaxia-

Telangiectasia.

Virus penyebab LLA akan mudah masuk ke tubuh manusia jika struktur antigennya

sesuai dengan struktur antigen manusia. Struktur antigen manusia terbentuk oleh struktur antigen

dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan

tubuh.World Health Association (WHO) telah menetapkan istilah HL-A Human leucocyte locus

A.Sistem HL-A individu ini diturunkan menurut hukum genetika sehingga adanya peranan faktor

ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat diabaikan (Permono & Bambang, 2005).

Menurut Anderson & Sylvia (2006), manifestasi klinis LLA adalah adanya bukti anemia,

pendarahan dan infeksi, seperti demam, pucat, petekie dan pendarahan, nyeri sendi dan tulang,

nyeri abdomen yang tidak jelas,pembesaran dan fibrosis organ-organ sistem retikuloendotieal

hati limfa dan limfonudus. Kemudian adanya peningkatan tekanan intrakranial karena infiltrasi

meningens, seperti sakit kepala,muntah bahkan penurunan kesadaran.

Limfosit imatur berproliferasi dalam susunan tulang dan jaringan parenkim dan

mengganggu perkembangan sel normal. Akibatnya hematopoesis normal terhambat

mengakibatkan penurunan jumlah sel darah merah dan trombosit.Pemeriksaanawal yang dapat

dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Biasanya akan ditemukan leukositosis

(leukosit>10.000/uL), neutropenia, anemia dan trombositopenia. Pemeriksaan penunjang

umumnya berupa apusan darah tepi dan pemeriksaan biopsi sumsum tulang (Sugondo et al.,

2007).

Pembagian LLA menurut sistem klasifikasi French American British (FAB) berdasarkan

atas morfologi:L1: Limfoblast kecil, sitoplasma sedikit, dan nukleolus yang mencolok,

merupakan kasus LLA terbesar pada anak, mencakup 85%.L2: Sel limfoblas lebih besar daripada

L1. Gambaran sel menunjukkan adanya heterogenitas ukuran dengan nukleolus yang menonjol

serta sitoplasma yang banyak dan merupakan 14% kasus LLA pada anak.L3: Limfoblas besar,

sitoplasma basofilik. Terdapat vakuola pada sitoplasma dan menyerupai gambaran limfoma

Burkitt, L3 mencakup 1% kasus LLA pada anak (Hasyimzoem, 2014).

Patogenesis dari ALL merupakan sebuah proses yang kompleks dan mencakup berbagai

macam faktor (genetic, imun, lingukangan, dan obat). Terdapat tiga hal utama yang merupakan

kunci dari pathogenesis dari penyakit ini yaitu : monoclonal origin yang proliferasi sel yang

tidak terkontrol akibat self-stimulasi secara terus-menerus pada reseptor pertumbuhan, tidak

adanya respon untuk memberikan sinyal inhibitor pertumbuhan, dan perpanjangan umur sel

akibat dari penurunan proses apoptosis (Galegos, 2013).

Gambar 2.1 Cell Origin and Evolution of a Cancer Stem Cell (Galegos, et al, 2013)

Gambar 2.2

Infection Based Model dalam Patogenesis ALL (Ching, et al, 2008)

Gambar 2.3 Distribusi Kelainan Genetik pada ALL (Galegos, et al, 2013)

2.3 Diagnosis

Diagnosis LLA berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium berupa

karakteristik morfologi dan pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum tulang. Pemeriksaan

morfologi menggunakan klasifikasi FAB ( French American British ). Persentase sel blast yang

ditemukan pada sumsum tulang minimal 25%. Jika mungkin, dilakukan pemeriksaan

immunophenotyping (Indonesian ALL Childhood Protocol, 2013).

Gambar 2.4 Gambaran Hapusan Darah dan BMP ALL – L1, L2, L3 (Pathologyoutlines,

2015)

2.4 Penatalaksanaan

Penatalaksaan ALL yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini mengacu pada Protokol

ALL yang diterbitkan oleh Indonesian Childhood ALL pada tahun 2013. Penatalaksanaan ALL

terbagi menjadi dua yaitu : persiapan sebelum mengawali pemberian sitostatika kemudian

dilanjutkan dengan pemberian sitostatika. Berikut pembahasan lebih detail mengenai kedua

tahapan tersebut.

2.4.1 Persiapan sebelum mengawali pemberian sitostatika

Persiapan ini ditujukan untuk mencegah akan kerusakan ginjal lebih lanjut karena

pengrusakan oleh sel leukemia selama induksi. Awal terdiagnosis sebaiknya pasien diberikan

hidrasi yang adekuat dengan mempertahankan diuresis 1-2 ml/kg/jam.

Untuk pasien dengan jumlah leukosit > 100.000 /mm3 atau sudah terjadi tanda sindrom

lisis tumor diberikan terapi hiperhidrasi. Hidrasi dilakukan dengan cairan parenteral glukosa 5%

dalam 0,225% normal salin, sebanyak 2-3 kali kebutuhan cairan rumatan atau 2-3 liter/m2/hari

untuk mendapatkan diuresis minimal 3 cc/kg/hari. Alkalinisasi urin dilakukan dengan

menambahkan sodium bikarbonat ke dalam cairan parenteral sebanyak 40-60 meq/L untuk

mempertahankan pH urin antara 7,0-7,5.2 Dengan kenaikkan pH urin tersebut menyebabkan

asam urat terionisasi sehingga mencegah pembentukan kristal asam urat. Namun bila terjadi

alkalinisasi yang berlebihan, dapat menyebabkan deposisi kompleks kalsium-fosfat yang

kemudian akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus. Oleh karena itu perlu dilakukan

pemantauan ketat pH urin. Pemberian allopurinol dengan dosis 200-300 mg/m2/ hari atau 10

mg/kgBB/hari ditujukan untuk menurunkan konsentrasi asam urat plasma. Obat ini diberikan

sampai didapatkan pH urin mencapai sekitar 7,5 (Endang & Caroline, 2002).

Transfusi dianjurkan untuk mempertahankan kadar hemoglobin> 10 g/dl selama

pelaksanaan kemoterapi. Catat berat badan guna mengontrol kelebihan cairan, bila perlu beri

furosemide. Kadar Hb optimal untuk pemberian sitostatika adalah > 8 g/dl. Namun setelah

pemberian sitostatika selesai, transfusi komponen sel darah merah diberikan hingga kadar Hb

mencapai > 10 g/dl (oksigenasi jaringan dianggap cukup optimal pada kadar Hb 8 – 12 g/dl )

(untuk lebih jelasnya lihat lampiran transfusi darah). Saat pemberian intratekal yang pertama,

bila trombosit < 50.000/mm3, beri transfusikomponen trombosit.

Dianjurkan untuk memeriksa immature plateletfraction (IPF). Bila ada trombositopenia

disertai dengan tanda perdarahan mutlak diberitransfusi konsentrat trombosit. Jika

trombositopenia berkepanjangan, dapat diberikan transfusi trombositbersamaan tindakan

intratekal (IT), atau segera setelah selesai melakukan IT. Transfusi plasma segar beku menjadi

pilihan bila ada perdarahan yang disebabkan karena faktor koagulasi yang dibuktikan dengan

pemanjangan dari jalur intrinsic dan atau ekstrinsik dari pemeriksaan faal hemostasis.

Direkomendasikan untuk pemberian nutrisi yang adekuat sebelum memulai kemoterapi

terutama pada kasus malnutrisi, intake kalori harus dipastikan, jangan ragu menggunakan NGT

(nasogastric tube). Pengendalian infeksi juga perlu diperhatikan. Pengendalian infeksi ini

meliputi :wajib mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa pasien, periksa rutindan

menjaga kebersihan mulut dan mandi sikat gigi,hindari terjadinya luka dan perdarahan gusi

dengan jangan menggosok gigi terlalu keras, tidak diperlukan profilaksis antibiotik,maupun anti

jamur (utamanya derivat azol ; flukonazol,itrakonazol) maupun dekontaminasi usus. Jika

terdapat sepsis, pemberian sitostatika menunggu perbaikan keadaan umum minimal 3x24 jam

dengan pemberian antibiotika intravena, jika infeksi ringan, pemberian sitostatika bersamaan

dengan antibiotika. Oral Hygiene : sikat gigi, kumur dengan antiseptik apapun. Kontrol ke dokter

gigi untuk perawatan gigi /kebersihan mulut/ bebas dari fokus infeksi pada saat sakit dan tiap 6

bulan. Bila perlu konsul sejawat ahli THT untuk mencari fokus infeksi. Parasit : obat cacing

(mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 2x100 mg selama 3 hari; albendazol 200 mg dosis

tunggal; pirantel pamoat 10-12,5 mg/kgBB) dapat diberikan pada anak yang baru didiagnosis.

Pengobatan cotrimoxasolprofilaksis (dosis 4mg/kg trimethoprim dan 20mg/kg sulfamethoxazole)

dosis 2 kali per hari selama 3 hari per minggu merupakan rekomendasi kuat untuk mencegah

infeksi dari jerovecii,diberikan segera setelah selesai fase konsolidasi. Pemeriksaan status gizi

senantiasa dilakukan pada awal pengobatan, setelah induksi, konsolidasi, reinduksi, dan rumatan

sebelum blok steroid. Pemeriksaan status nutrisi termasuk : anamnesa riwayat tumbuh kembang,

antropometri. Serta dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa evaluasi hitung jenis, Na, K, Ca,

P, ureum, kreatinin, albumin SGOT, SGPT, bilirubin direk, bilirubin total, asam urat, dan pH

urin.

2.4.2 Pemberian Sitostatika

1. Fase Induksi

Sitostatika yang digunakan pada pengobatan induksi terdiri dari prednisone (PRED),

vincristine (VCR), L-Asparaginase (L-Asp), Daunorubicin (DNR), dan methotrexate ( MTX )

intratekal. Prednisone digunakan pada Risiko Biasa (RB) dan Risiko Tinggi (RT). Pada RB,

window period diberikan dosis 60 mg/m2 per oral dibagi dalam 3 dosis selama 1 minggu.

Selanjutnya diberikan 40 mg/m2 selama 5 minggu (total 6 minggu). Setelah 5 minggu dosis

harus diturunkan setiap 3 hari menjadi separuh dosis sebelumnya, dan berhenti pada hari ke 42.

Pada RT dosis ditingkatkan secara bertahap. Jika BMP tertunda hingga 7-10 hari setelah

prednisone selesai, harus diwaspadai terjadinya risiko rebound cell ( hematogones ).

Gambar 2.5 Protokol Fase Induksi ALL Risiko Biasa (Indonesian Childhood ALL, 2013)

Pada tanda bintang, bila BMP tidak remisi, induksi dilanjutkan sesuai denganminggu ke-

5 protokol RT. Bila tidak dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor , terapi intratekal hanya

menggunakan MTX, Bila dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor,menggunakan MTX

tripledrug (MTX/deksametason/ara-C ), 2x seminggu dilakukan sampai negatif 3x berturut-turut.

Apabila terjadi relaps CNS akan dikelola secara khusus. Dosis 30 mg/m2, bila tidak ada dapat

diganti Doxorubicin 20 mg/m.

Gambar 2.6 Protokol Fase Induksi ALL Risiko Tinggi (Indonesian Childhood ALL, 2013)

Vinkristin (VCR) :

- Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 (dalam 10 ml NaCl

0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit).

Daunorubisin (DNR)intravena :

- untuk risiko biasa diberikan 2 x selama induksi yaitu hari ke 21 dan ke 28 dengan dosis 30

mg/m2.

- untuk pasien risiko tinggi dosis 30 mg/m2 , diberikan 4 kali pada hari ke-21, 28, 35,dan ke

42( DNR dilarutkan dalam NaCl 0,9 % 100 cc diberikan secara drip IV dalam 1 jam ). Bila tidak

tersedia adanya DNR, dapat diganti dengan Daunorubicin dengan dosis 20 mg/m2.

L-Asparaginase (L-Asp) (jenis L-Asp E coli) :

- Pada risiko biasa dan risiko tinggi diberikan mulai hari ke 1 minggu ke 4 hingga akhir minggu

ke 5 (untuk RB), minggu ke enam untuk RT

- Diberikan 3 kali selang sehari dalam seminggu, sehingga total pemberian dalam 2 minggu

adalah 6 kali, dan 9 x untuk penderita RT

- Dosis 7500 Unit/m2 subkutan maksimal 2 mL per lokasi suntikan. Sebaiknya meggunakan

paronal karena waktu paruh dan keefektivan (toksisitas) berbeda dengan merk lain dari

Asparaginase.

- Bisa diberikan secara iv dalam 100 ml cairan diberikan dalam 1-2 jam, atau i.m dengan

kompres es 15 menit sebelum injeksi, atau setelah L-Asp diaspirasi dalam syringe, ditambahkan

0,5 –1 ml lidocain dalam syringe yang sama (tidak dikocok agar tidak tercampur), kemudian

berikan im pelahan-lahan.

- Dalam kasus alergi L-Asp, harus diberikan L-Asp dari Erwinia dengan dosis 20000

IU/m2/dosis.

- Risiko hipersensitif/anafilkasis terhadap L-Asp umumnya tidak terjadi pada pemberian awal /

fase induksi, tapi lebih sering bila diberikan pada fase reinduksi.

- Jika ada trombositopenia dalam pemberian im, maka berikan transfusi trombosit terlebih

dahulu.

Metotreksat (MTX) triple drug intratekal.

- Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28

- Dosis yang digunakan tergantung umur (dikeluarkan 3-5 ml liquor). Gunakan 3 ml pelarut

NaCl, dberikan intrathecal.

Gambar 2.7 Dosis MTX (Indonesian Childhood ALL, 2013)

Beberapa hal yang perlu diingat :

1. Luas permukaan tubuh bisa dilihat dari tabel perkiraan permukaan tubuh berdasarkan dari

BB dan TB dari Gehan dan George Pada bayi (anak dibawah 1 tahun dengan BB < 10kg),

dosis yang diberikan berdasarkan formula sbb ;

Dosis =dosis dalam mg/m2=.....mg/kg

30

BB < 6 kg : reduksi 50%

BB 6 -10 kg/< 1 tahun : reduksi 30%

2. Ikutilah protokol secara tepat selam induksi ini. Lekopeni atau trombositopeni bukan

merupakan indikasi untuk mengurangi dosis VCR, deksametason dan L-Asp pada fase ini.

Begitu juga dosis DNR pada risiko tinggi harus diberikan secara penuh terlepas dari

parameter hematologi.

3. Ketika terjadi reaksi alergi terhadap L-Asparaginase (produk dari E-coli), terapi tetap bisa

dilanjutkan dengan L-Asp dari Erwinia Caratova dengan dosis yang sama atau bisa diberikan

antihistamin sebagai profilaksis. Penggunaan L-asp dihentikan bila terjadi gangguan fungsi

hati yang berat, pankreatitis atau hiperglikemia simtomatis. Jika sudah mencapai nilai

normal, L-Asp bisa dilanjutkan kembali dan dapat diberikan setengah dosis. Jika terjadi

hipofibrinogenemia (<50 mg %), bisa diberi FFP.

4. Setiap akan melakukan tindakan intratekal, hitung trombosit harus lebih dari 50.000/mm3

dan tidak ada perdarahan, serta faal hemostasis normal

5. Setelah pemberian obat intratekal,dianjurkan injeksi 2-5 ml saline. Pasien harus tetap

berbaring terlentang dengan posisi kepala lebih rendah dari tungkai selama 2-4 jam setelah

penyuntikan dengan maksud agar obat menyebar sampai ke ruang araknoid (arachnoid

space).

6. Periksa glukosa urin minimal 1 kali seminggu.

7. Bila jumlah lekosit ≥ 100.000/mm3, ada organomegali dan atau hiperurikemia : beri

allopurinol 200 mg/m2/hari p.o. selama 3 –7 hari.

-Minggu pertama :

-Stabilisasi kondisi pasien. Masalah yang paling sering ditemukan adalah infeksi, anemia,

trombositopenia, dan neutropenia.

- Beri antibiotika dengan spekrum luas jika demam dan jumlah netrofil rendah.

- Bila anemia,dibutuhkan tranfusi.Jika Hemoglobin < 4g% dengan ancaman dekompensasi

cordis , maka tranfusi diberikan pelan-pelan disertai diuretik.

- Timbang berat badan secara secara berkala untuk mengetahui adanya kelebihan cairan .

- Pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan sindroma tumor lisis

Pemeriksaan urine lengkap, ukur produksi urin, danperiksa serum elektrolit (Na,K, Ca,

P)kreatinin serum, jika ada sindroma tumor lisis terapkan managemensindroma tumor lisis .

-Netropenia yang terjadi saat induksi disebabkan karena leukemianya, bukan karena steroid,

vincristine, L-Asp, karena itu , steroid dan vincristine dapat dilanjutkan.

- Amati tanda-tanda infeksi

- Jika suhu tubuh oral atau aksila> 38C, lakukan pemeriksaan fisik, cek CRP, dan kultur

darah, , urine, swab tenggorok dan lesi kulit ,termasuk lesi anal dan sekitarnya dengan jumlah

netrofil 500-1000dan tidak ada fokus infeksi, pasien tidak pada kondisi sakit akut, tunggu

beberapa jam kemudian cek CRP dan kultur darah ulang. Jika tidak didapatkan fokus infeksi

tapi panas,segera

Berikan antibiotika spektrum luas.

- Pasien dengan jumlah netrofil < 500,

- lakukan pemeriksaan laboratorium dan kultur dan berikan antibiotika iv dengan segera.

-Antibiotika spectrum luas harus mencakup gram positif dan gram negative. Penggunaaan

antibiotika berdasar pada hasil tes kepekaan antibiotik (TKA) dan

antibiotika yang tersedia dimasing –masing rumah sakit .

- Jika setelah 72 jam, masih panas, neutropenia < 500 dan anak tidak membaik,

dianjurkan pemberian anti jamur. Pada masa induksi, eradikasi sel leukemia merupakan hal

yang terpenting, sehingga sitostatika : PRED, VCR, dan L-Asp diberikan dengan dosis

penuh, mungkin DNR bisa ditunda sementara.

2. Fase Konsolidasi

Pada fase konsolidasi, pemberian metotreksat dosis tinggi (HD-MTX)dengan leukovorin

rescue memerlukan perhatian yang khusus.

HD-MTX

- Sehari sebelum pemberian HD-MTX, pasien harus dalam kondisi klinis yang baik(adekuat)

dengan hasil pemeriksaan lab :

•Lekosit ≥ 2000/mm3

•Trombosit ≥ 75000/ mm3

•Fungsi ginjal normal (ureum dan kreatinin tidak > 4 kali batas normal)

•Peningkatan kimia enzim hati (S tidak lebih dari 10 kali dari batas atas nilainormal.

•Alkaline urine (pH >6.5 tapi < 8.0)

•Tidak ada infeksi, diare, mucositis

•Tidak ada gangguan kencing

- Seminggu sebelum pemberian HD MTX, diberikan bicnat oral.

- Saat pemberian HD-MTX

•Berikan alkalinisasi urine dengan cara memberikan cairan hidrasi 2-3 L/m2/24 jam ditambah

bicnat 40 meq/L selama 4 jam sehingga pH urine dibawah 8.

• Pemberian HD-MTX- selama 24 jam, kemudian hidrasi dilanjutkan selama 24 jam, Leucovorin

(injeksi/oral) diberikan 42 jam sejak dimulainyaHD-MTX, diberikan selama 2 hari berturut-turut

setiap 6 jam.

Tanda-tanda toksisitas: ulkus pada mulut (oral ulcer), toksisitas pada ginjal, toksisitas pada liver

( >5x normal transaminase), atau infeksi, dan pemberian tambahan 3 dosis tiap 6 jam.

cotrimoksazol oral sementara dihentikan pada saat pemberian HD-MTX.

•Jika muncul efek samping yang berat (uncontrolled side effect), seperti gagal liver, gagal ginjal,

atau gangguan neurologi, pemberian HD-MTX dan semuanya ditunda.

•Hindri pemberian cotrimoksazol, obat anti inflamasi non steroid (NSAID), dan penisilin

bersamaan dengan HD-MTX. Leucovorin diberikan 15 mg/m2 iv pada 42,48, dan 54 jam setelah

dimulainya HD-MTX.

• Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya dengan dosis yang maksimal dapat ditoleransi.

Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut kosong (setidaknya 30

menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan bukan dengan susu. Pemeriksaan fungsi

hati selama pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan.

Metotreksat (MTX) triple drug intrathecal.

- Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28

- Dosis yang digunakan tergantung umur (dikeluarkan 3-5 ml liquor).

- Gunakan 3 ml pelarut NaCl, dberikan intrathecal.

Cyclophosphamide

-Dosis 1000 mg/m2, diberi awal minggu ke 9 dan 13, tanpa dibarengi dengan pemberian Mesna.

Gambar 2.8 Protokol Fase Konsolidasi ALL Risiko Biasa (Indonesian Childhood ALL,

2013)

Gambar 2.9 Protokol Fase Konsolidasi ALL Risiko Tinggi (Indonesian Childhood ALL,

2013)

3. Fase Intensifikasi

Pemberian Citarabin secara IV bolus 3x seminggu berturut-turut.

Prednison (PRED) :

- Diberikan sesudah makan dengan dosis 40 mg/m2 selama 4 minggu. Setelah 4 minggu (akhir

minggu ke 16) dosis harus diturunkan setiap 3 hari menjadi separuh dosis sebelumnya, dan

berhenti pada akhir minggu ke 17.

Vincristine :

- Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada awal minggu 14,15,16,17 (dalam 10 ml cairan

normal saline secara IV pelan dalam 5 menit).

- Selesai intensifikasi, konsul neurologi.

Daunorubicin (DNR)intravena :

- Diberikan 2 x awal minggu ke 14 dan 16 dengan dosis 30 mg/m2(dalam 1 jam IV).

Citarabine

- Dosis : 75 mg/m2, diberikan pada minggu ke 15 dan 17, 3 kali dalam seminggu.

Pada fase ini mulai diberikan cotrimoksazol profilkasis dengan dosis 2-3 mg/kgbb/dosis

(maksimal 2 x 80 mg/hari) diberi 3 kali seminggu.

MTX i.t

- MTX it triple drug diberikan pada minggu ke 15 dan 17 (cara pemberian dan pedoman

pemberian intratekal ini sama seperti pada fase induksi dan konsolidasi).

Gambar 2.10 Protokol Fase Intensifikasi ALL Risiko Tinggi (Indonesian Childhood ALL,

2013)

4. Fase Rumatan

- Untuk risiko biasa (RB), fase rumatan dimulai pada minggu ke 13 dan berakhir pada minggu

110, sementara yang risiko tinggi (RT) dimulai minggu ke 18, dan akan berakhir pada minggu ke

118

- Agar mendapat outcome yang baik , pemberian dosis yang tepat pada fase rumatan merupakan

hal yang esensi. Bergantung pada kondisi sensitifitas anak terhadap kemoterapi.

- Persyaratan untuk mengawali rumatan.

•kondisi umum baik.

•tidak ada infeksi.

•Hematologi baik, Hb 10 g/dl, minimal hitung ANC 500, trombosit >50.000/mm3 tidak ada

perdarahan.

•fungsi hati dan ginjal baik.

6 MP dan MTX

- Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya menggunakan dosis maksimal yang dapat

ditoleransi.

- Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut kosong (setidaknya 30

menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan bukan dengan susu.

- Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan. Bila ada

indikasi dapat dilakukan setiap saat.

- Disarankan pemberian MTX p.o malam hari. Hentikan pemberian obat ini bila terjadi kenaikan

SGOT/SGPT > 10 kali nilai normal. Pengobatan dengan MTX ini juga harus dihentikan bila ada

pneumonia.

- Pertahankan jumlah lekosit diantara 2000 - 4000/mm3 pada saat terakhir pemberian 6-MP.

Deksametason

- Selama pemberian deksametason nilai lekosit akan meningkat, itu merupakan reaksi yang

normal. Catatan, bahwa hal tersebut dapat menjadi indikasi untuk menurunkan ataupun

menaikkan dosis.

Catatan Penting :

- Ajusted dose diatas selalu sama pada kedua jenis obat .

- Pada pengobatan fase rumatan ini, leukopenia (lekosit < 2000/mm3 ) dapat berkaitan dengan

sensitivitas individu terhadap kemoterapi, infeksi, efek samping cotrimoksazol, atau kondisi

relaps hematologi.

- Pada leukopenia persisten , yang tidak disebabkan infeksi atau relaps, pemberian obat

sitostatika lebih diprioritaskan dibandingcotrimoksazol. Hentikan pemberian cotrimoksazol, bila

tidak ada peningkatan lekosit setelah 1 minggu pemberian 6 MP dan MTX.

Gambar 2.11 Protokol Fase Rumatan ALL (Indonesian Childhood ALL, 2013)

2.5 Prognosis

Berikut ini faktor-faktor yang berpengaruh terhadap buruknya prognosis ALL adalah

sebagai berikut :

1. Jumlah leukosit awal >50.000/mm3

2. Umur pasien saat diagnosis dan pengobatan kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun

3. Jenis kelamin laki-laki

4. Ras African-American dan Hispanic

5. Translokasi kromosom 9 dan 22, 1 dan 19, atau 4 dan 11

6. Respon yang buruk pada saat pemberian kemoterapi inisial dilihat dari BMP dimana sel

blast >1000/mm3

7. Kelainan jumlah kromosom dengan indeks DNA>1.16 atau > 50 kromosom

8. Penyebaran pada cerebrospinal fluid

9. Masa mediastinal

10. Prednisone poor response

11. Immunophenotype B-cell

12. Ekspresi CD 10 menunjukkan prognosis baik

(Endang & Caroline, 2002; Caroline, et al, 2008; Sri & Silvia, 2009; Indonesian ALL Childhood

Protocol, 2013)

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Leukemia limfoblastik akut adalah penyakit keganasan yang berciri khas infiltrasi

progresif dari sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik yang dikenal sebagai

limfoblas. Diagnosis ALL berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium berupa

karakteristik morfologi dan pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum tulang. Pemeriksaan

morfologi menggunakan klasifikasi FAB ( French American British ). Persentase sel blast yang

ditemukan pada sumsum tulang minimal 25%. Jika mungkin, dilakukan pemeriksaan

immunophenotyping. Pengobatan ALL di Indonesia saat ini mengikuti Indonesian Childhood

ALL Protocol 2013. Prognosis dari penyakit ini dipengaruhi banyak faktor.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. hlm. 170.

Caroline, et al. (2008). Prognostic Factors for Leukemic Induction Failure in Children With Acute Lymphoblastic Leukemia and Outcome After Salvage Therapy: The FRALLE 93 Study. American Society of Clinical Oncology. Diunduh 17/2/15 dari http://jco.ascopubs.org/content/26/9/1496.full

Ching, H. P., Leslie, L. P., Thomas, A. L. (2008). Acute Lymphoblastic Leukaemia. Lancet, 371,

1030-1043.

Endang, W., Caroline, M. (2002). Gangguan Metabolik pada Leukemia Limfositik Akut dengan

Hiperleukositosis. Sari PediatriI, 4(1), 31-35.

Gallegos, et al. (2013). Pathophysiology of Acute Lymphoblastic Leukemia. Diunduh 17/2/2015

dari http://www.intechopen.com/books/clinical-epidemiology-of-acute-lymphoblastic-

leukemia-from-the-molecules-to-the-clinic/pathophysiology-of-acute-lymphoblastic-

leukemia.

Gambar HDT dan BMP ALL L1-3 diunduh 17/2/15 dari http://www.pathologyoutlines.com.

Hasyimzoem, N. C. (2014). Leukemia Limfoblastik Akut pada Dewasa Dengan Multiple

Limfadenopati . Medula, 2(1), 30-38.

Indonesian Childhood ALL Protocol (2013)

Permono, Bambang. 2005. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm. 145-151.

Sri, M., Silvia, M. (2009). Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak Usia di Bawah Satu Tahun.

Sari Pediatri, 11(3), 219-222.

Vikramjit, S. K. (2014). Pediatric Acute Lymphoblastic Leukemia. Diunduh tanggal 17/2/2015

dari http://emedicine.medscape.com/article/990113-overview#aw2aab6b2b3aa.