FISIP | Universitas Jenderal Achmad Yani

118

Transcript of FISIP | Universitas Jenderal Achmad Yani

BELA NEGARA; Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi, oleh Dr. Agus Subagyo, S.I.P., M.Si. Hak Cipta © 2014 pada penulis

GRAHA ILMURuko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-882262; 0274-889398; Fax: 0274-889057; E-mail: [email protected]

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memper banyak atau memin-dahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN: Cetakan ke I, tahun 2014

KATA PENGANTAR

Era globalisasi yang diwarnai dengan perdagangan bebas dan pasar bebas telah membawa nilai-nilai individualisme, liber-alisme, materialisme, dan hedonisme yang merangsesk masuk

dalam sendi-sendi dasar kehidupan umat manusia di dunia, terma-suk Indonesia. Nilai-nilai lokal dan nasional seperti gotong royong, musyawarah mufakat, toleransi, dan tenggang rasa telah mengalami degradasi yang teramat sangat sehingga mengancam jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa ketimuran yang memegang teguh nilai-nilai ketimuran. Budaya global Barat telah melunturkan bangunan nasio-nalisme, patriotisme, dan cinta tanah air yang terpatri dalam hati sanu-bari masyarakat Indonesia.

Generasi muda penerus bangsa seolah-olah larut dalam budaya global dominan dan melupakan nilai-nilai budaya lokal dan nasional. gaya hidup, pola hidup, dan perilaku hidup kaum muda telah banyak yang berkiblat pada budaya populer (pop culture) yang sangat bernu-ansa ideologi kapitalisme-liberalisme. Ideologi Pancasila yang meru-pakan warisan para founding fathers seakan-akan dilupakan dan tidak dipedulikan lagi. Segala kehidupan masyarakat sehari-hari telah diwar-nai oleh gaya dan perilaku yang berpusat ke Barat sehingga sangat mengancam nilai-nilai Pancasila.

vi Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Rasa nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air, yang meru-pakan unsur utama dari semangat bela negara kurang mendapatkan prioritas bagi generasi muda. Bela negara hanya ada di tataran retorika para elit politik dan menjadi ornamen dalam setiap pidato politik di berbagai kegiatan publik. Sebagian besar masyarakat Indonesia lebih mementingkan kepentingan indvidu, pribadi, golongan, partai, dan suku dibandingkan pada prioritas kepentingan bangsa dan negara. Negara yang seharusnya dibela oleh warga negara Indonesia justru cenderung diabaikan dan kurang mendapatkan kepedulian dari sege-nap pihak. Yang terjadi justru lebih membela kepentingan sempit yang bersifat jangka pendek, seperti “bela diri”, bela pribadi”, bela partai”, “bela keluarga”, dan bela kelompok”, sehingga bela negara tidak di-indahkan lagi.

Padahal, dinamika era globalisasi yang penuh dengan tantangan ini membutuhkan warga negara yang militan dalam membela negara dari berbagai ancaman musuh, penetrasi asing, dan infiltrasi luar neg-eri yang sangat membahayakan keutuhan NKRI. Negara dibutuhkan oleh warga negara ketika warga negara mengalami kesulitan, namun ketika negara meminta kewajiban warga negara untuk membela ne-gara dari ancaman musuh, maka warga negara justru tiarap dan eng-gan untuk memberikan pembelaan. Sungguh suatu hal yang ironis di negeri yang penuh dengan pejuang pemberani dan gigih di masa lalu. Di era reformasi saat ini, warga negara Indonesia mengalami anomali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kondisi ini diperburuk dengan tingkah polah para pejabat pu-blik, elit politik, dan para pejabat di daerah yang sangat kurang perha-tian terhadap semangat bela negara. Bela negara tidak mendapatkan prioritas dalam program dan kegiatan politik. Para pejabat publik dan elit politik lebih mementingkan kepentingan partainya, kepentingan pemilu, dan hasrat memenangkan pemilukada di setiap daerah de-ngan menjual jargon-jargon politik yang mengarah pada embel-embel bela negara. Bela negara dijadikan komoditas politik kaum elit politik dalam setiap ajang kegiatan politik.

Kata Pengantar vii

Karut marutnya kondisi bermasyarakat, berbangsa, dan berneg-ara kita semakin parah lagi dengan kondisi taraf hidup dan tingkat so sial ekonomi masyarakat yang relatif miskin. Lazim diberitakan bah-wa kondisi masyarakat Indonesia mengalami kondisi kemiskinan, pe-ngangguran, kesenjangan pendapatan, dan keterpurukan. Kesejahter-aan, kemakmuran dan keadilan sosial merupakan barang langka di negeri yang terkenal akan sumber daya alam yang melimpah ini. Bela negara yang harus dimiliki oleh semua warga negara karena merupa-kan hak dan kewajiban setiap warga negara sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945, justru enggan dipraktekan oleh warga negara. Tun-tutan negara kepada warga negara untuk bela negara ditanggap oleh masyarakat secara beragam. Masyarakat yang berada dalam kondisi kemiskinan menganggap bahwa lebih baik membela diri, membela perut, dan membela keluarga untuk mendapatkan pekerjaan yang la-yak dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Membela negara dalam keadaan perut kosong menurut me reka sangat mustahil terjadi. Dalam kaitan ini, membela negara bagi warga negara akan terwujud apabila pemerintah memberikan kehidupan yang layak dan memenuhi kebutuhan hidup terlebih dahulu. Bela negara merupakan sesuatu yang komplek karena menyangkut harkat martaabat bangsa di tengah kondisi kenestapaan warga. Diperlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi untuk menumbuhkan bela negara di kalangan warga negara Indonesia. Penuhi terlebih da-hulu isi perut warga negara apabila menginginkan bela negara di ka-langan masyarakat menjadi tinggi. Bela negara merupakan persoalan yang mudah dan ringan apabila masyarakat telah mengalami kondisi hidup yang layak, makmur, adil dan sejahtera.

Dalam konteks inilah, buku ini hadir di tengah-tengah pembaca sekalian. Buku ini merupakan sebuah risalah yang bertujuan untuk menyadarkan semua komponen bangsa tentang pentingnya menum-buhkan kesadaran bela negara kepada semua masyarakat, khususnya masyarakat di lapisan bawah atau akar rumput. Melalui buku ini akan

viii Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

dipotret bagaimana kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyara-kat bangsa Indonesia di tengah arus globalisasi dan arus reformasi. Pesan yang disampaikan oleh buku ini adalah bahwa bela negara merupakan persoalan komplek, beragam, dan plural, dimana bela negara sangat terkait dengan berbagai dimensi, baik dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Penulis menyadari bahwa buku ini merupakan coretan-coretan pemikiran yang awalnya bersifat parsial dan temporer, namun kemu-dian penulis merangkai menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga diharapkan dapat memotret secara nyata dan riel pelaksanaan bela negara di Indonesia. Harapannya, semoga terbitnya buku ini dapat menambah khazanah pustaka tentang bela negara yang jarang ditemui di berbagai toko buku maupun perpustakaan. Kalaupun ada materi tentang bela negara, maka hal tersebut tertuang dalam buku tentang Pendidikan Kewarganegaraan sehingga bela negara tidak diulas secara detail, terperinci, dan mendasar.

Buku ini terdiri dari enam bab. Bab pertama membahas ten-tang tinjauan umum bela negara yang didalamnya membahas peri-hal filosofi bela negara, regulasi bela negara, wacana wajib militer, relasi bela negara dan wajib militer, serta wajib militer di negara lain. Bab dua mendiskusikan tentang globalisasi, modernitas dan nasion-alisme bangsa Indonesia yang didalamnya dibahas tentang nilai-nilai globalisasi bertautan dengan nilai-nilai lokal dan nasional sehingga melahirkan degradasi nilai-nilai kebangsaan. Bab tiga memaparkan tentang krisis bela negara di tengah arus globalisasi dan reformasi di-mana para pemuda penerus bangsa dan elit politik semakin menipis rasa bela negara dan wawasan kebangsaannya. Bab empat mengulas tentang pelaksanaan bela negara di daaerah konflik Poso dan Papua yang sa ngat berpotensial mengancam keutuhan NKRI apabila tidak di-antisipasi secara cepat dan tepat. Bab lima menguraikan tentang bela negara di wilayah perbatasan Indonesia yang sangat penting untuk di-prioritaskan penanganannya sehingga meningkat rasa nasionalisme,

Kata Pengantar ix

patriotisme dan cinta tanah air. Bab enam menggambarkan mengenai agenda besar bela negara ke depan yang sangat ditentukan oleh si-nergitas antar komponen bangsa dan perlunya melihat sejarah secara sarana refleksi dalam rangka proyeksi bela negara di masa mendatang.

Penulisan buku ini dilakukan pada medio Maret sampai den-gan April 2014 disaat penulis menghadapi ujian hidup yang maha berat dari Allah SWT. Penulis merasakan banyak sekali “kegalauan”, ke terpurukan, kehancuran dan kenestapaan disaat kata demi kata dan kalimat demi kalimat dirangkai dengan penuh cucuran air mata yang menetes secara terus menerus bak mata air yang mengalir dari hulu sampai hilir. Ujian berat tersebut penulis lalui dengan hati yang sabar, tabah, tawakal, dan selalu menyebut nama Allah SWT dalam setiap langkah sehingga penulis berhasil melalui ujian berat tersebut. Penu-lis selalu berpegang teguh pada keyakinan bahwa : “Allah SWT ti-dak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya”. Ujian maha berat dapat penulis hadapi karena adanya dukungan, semangat, dan doa yang tiada henti dari istriku : Erlin Wulandari, S.IP, dan kedua putri kecilku yang sangat aku sayangi : Latisya Aurelly Anindia Sub-agyo dan Davina Valerie Queensha Subagyo.

Buku ini hadir di tengah-tengah pembaca untuk kembali meng-ingatkan bahwa bela negara merupakan modal dasar bagi Indonesia menjadi negara “super power” di dunia. Masih banyak kelemahan dalam buku ini, sehingga kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan buku ini di masa men-datang. Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semua pi-hak yang berkepentingan terhadap kepentingan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Cimahi, November 2014

Agus Subagyo

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

A. Filosofi Bela Negara 1 B. Regulasi Bela Negara 4 C. Relasi Bela Negara dan Wajib Militer 7 D. Wacana “Wajib Militer” 8 E. Wajib Militer di Negara Lain 11

BAB 2 GLOBALISASI, MODERNITAS DAN NASIONALISME 15

A. Modernitas, Humanisme dan Krisis Kemanusiaan 15 B. Multikulturalisme di Tengah Kultur Monolitik dan Uniformitas Global 20 C. Radikalisme Etnis Merembet ke Radikalisme Teroris 25 D. Sumpah Pemuda atau Pemuda Disumpah? 28

BAB 3 KRISIS BELA NEGARA 35

A. Pendidikan Bela Negara 35 B. Bela Negara di Kalangan Generasi Muda 39

xii Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

C. Elit Politik dan Bela Negara 44 D. Empat Pilar Kebangsaan dan Bela Negara 48

BAB 4 MENEROPONG BELA NEGARA DI INDONESIA 55

A. Pendahuluan 55 B. Bela Negara: Pengertian, Nilai dan Dasar Yuridis 58 C. Indonesia: Karut Marut Bela Negara Kita 60 D. Menelisik Faktor Yang Mempengaruhi Bela Negara 62 E. Alternatif Meningkatkan Bela Negara 65

BAB 5 BELA NEGARA DI WILAYAH PERBATASAN 73

A. Karakteristik Masyarakat Perbatasan 73 B. Arti Penting Bela Negara di Perbatasan 77 C. Kesadaran Bela Negara di Perbatasan 81

BAB 6 AGENDA BESAR BELA NEGARA KE DEPAN 87

A. Sinergitas Komponen Bangsa 87 B. Membangun Benteng Terakhir Bangsa 94 C. Belajar dari Sejarah 97

DAFTAR PUSTAKA 103

-oo0oo-

A. FILOSOFI BELA NEGARA

Bela negara adalah sebuah konsep yang menarik untuk diperde-batkan di era globalisasi saat ini. Era globalisasi yang me-ngancam eksistensi bangunan nasionalisme dan fondasi negara

bangsa telah mendorong semua pihak untuk menekankan kepada pentingnya bela negara bagi warga negaranya. Setiap warga negara diminta untuk selalu berpikir, bertindak, berjuang dan berupaya mem-bela negara. Negara perlu dibela agar supaya tidak terancam oleh ber-bagai ancam an dan serangan musuh di era kapitalisme global saat ini. Negara harus diamankan, harus dilindungi, harus dibela karena warga negara selama ini telah dilindungi oleh negara.

Ada ungkapan umum yang dikenal luas, yakni: “kalau bukan kita yang membela negara, maka siapa lagi?” dan “kalau bukan sekarang kita membela negara, maka kapan lagi?”. Ungkapan ini mengandung arti bahwa setiap warga negara harus setiap saat wajib membela ne-gara dan setiap warga negara tanpa memandang jabatan apapun wa-jib membela negara. Harus ada hubungan timbal balik antara negara dan warga negara, dimana negara memberikan keamanan (security) dan kesejahteraan (prosperity) kepada warga negara, sedangkan warga

PENDAHULUAN

B A B 1

2 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

negara harus memberikan pembelaan ketika negara dalam kondisi ter-ancam oleh ancaman musuh yang langsung atau tidak langsung me-nyerang bangunan negara.

Secara filosofis, bela negara merupakan sebuah implementasi dari teori kontrak sosial atau teori perjanjian sosial tentang terben-tuknya negara. Dalam pandangan para penganut teori kontrak sosial dinyatakan bahwa negara terbentuk karena keinginan warga negara atau masyarakat untuk melindungi hak dan kewajibannya dalam ke-hidupan bermasyarakat agar supaya terjalin hubungan yang harmo-nis, damai dan tentram. Setiap warga negara memiliki kepentingan, masing-masing kepentingan pasti berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di tengah masyarakat. Negara dihadirkan oleh kesepakat-an atau perjanjian antara warga negara di tengah masyarakat untuk melindungi hak dan kewajiban warga negara serta untuk menjamin tidak adanya konflik kepentingan antar individu di tengah masyarakat.

Dalam konteks ini, negara memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu menselaraskan kepentingan antar warga negara di tengah inter-aksi masyarakat. Negara menjamin adanya hak dan kewajiban yang dijalankan secara damai, aman dan harmonis di tengah masyarakat. Untuk menjamin tujuan itu tercapai, maka negara membuat aturan main, regulasi, dan aturan hukum yang didalamnya mengatur hak dan kewajiban antar warga negara kaitannya pula dengan negara serta adanya pemberian sanksi atau hukuman bagi siapapun warga negara yang melanggar regulasi atau aturan hukum tersebut. Warga negara diminta mematuhi semua aturan itu dan bagi warga negara yang me-langgar aturan akan diberi sanksi / punishment dan bagi warga negara yang mematuhi aturan akan diberikan reward.

Dalam kaitan ini, sangat jelas bahwa negara lahir karena ada-nya kesepakatan antar warga negara. Negara merupakan produk yang dibuat oleh warga negara. Adanya negara karena kesepakatan dari warga negara. Negara akan kokoh dan kuat apabila dibela oleh warga negara karena warga negara adalah pihak yang mendesain terben-

Pendahuluan 3

tuknya negara. Sangat logis dan masuk akal apabia negara dibela oleh warga negara. Alasannya, negara dibuat oleh warga negara, sehingga ketika negara memerlukan bantuan untuk dibela maka warga negara harus membela negara kapanpun dan dimanapun. Selain itu, mem-bela negara harus dilakukan karena bela negara merupakan tindakan timbal balik antara relasi negara dengan warga negara. Negara hadir di dunia untuk melindungi keselarasan kepentingan antar warga negara, sedangkan warga negara harus membalasnya dengan membela negara ketika negara membutuhkan pembelaan.

Hubungan antara negara dan warga negara dalam konteks bela negara adalah hubungan yang bersifat timbal balik. Negara membu-tuhkan warga negara, sedangkan warga negara membutuhkan negara. Antara warga negara dan negara saling membutuhkan, saling meleng-kapi, dan saling mengisi. Hubungan antara negara dan warga negara bersifat komplementer sehingga dapat memberikan kekuatan yang kuat dan dahsyat apabila kedua pihak bersatu padu membangun ba-ngunan negara bangsa. Negara akan kuat dan kokoh apabila warga negaranya bersatu padu dan solid membela negara. Warga negara akan nyaman, aman, damai dan sejahtera apabila negara kuat dan ko-koh karena adanya jaminan keamanan yang kuat dari negara.

Bela negara harus dipahami dalam konteks yang luas dimana setiap warga negara merupakan entitas yang hidup didalam sebuah bangunan negara sehingga secara hakiki warga negara wajib untuk menjaga, memelihara dan mengayomi setiap pranata, institusi dan perangkat kelengkapan negara. Negara harus dibela sampai titih darah penghabisan apabila memang negara tersebut amanah dalam men-jalankan pemerintahannya. Tidak ada alasan bagi warga negara untuk mengelak dan menghindar dari kewajiban untuk membela negara. Warga negara harus patuh, loyal, taat, dan tunduk pada setiap regulasi yang dibuat oleh negara dalam upaya menggalakkan bela negara.

Beda dengan negara yang otoriter atau negara yang tidak ama-nah terhadap kepentingan rakyat. Negara yang otoriter dan tidak ama-

4 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

nah tidak perlu dibela karena hanya akan melahirkan kepongahan pe-nguasa dalam menjalankan pemerintahannya. Negara yang dijalankan secara otoriter oleh pemerintahnya tentunya akan menimbulkan pro dan kontra bagi warga negara apabila bela negara diwajibkan. Tentu-nya banyak warga negara yang tidak mau membela negara ketika war-ga negara tidak nyaman dengan negara yang diperintah oleh penguasa yang tidak pro warga negara. Kalaupun ada bela negara, maka warga negara melakukan secara tidak ikhlas alias adanya paksaan sehingga tidak murni muncul dari kesadaran masyarakat.

B. REGULASI BELA NEGARA

Bela negara merupakan sebuah kebijakan. Sebagai sebuah kebijakan, maka bela negara tentu memiliki dasar hukum, landasan yuridis, dan regulasi yang tepat dan absah. Bela negara merupakan kebijakan yang dibuat oleh negara atau pemerintah yang bertujuan untuk melindungi negara dari ancaman musuh baik yang datang secara langsung mau-pun tidak langsung. Bela negara harus disosialisasikan kepada semua komponen masyarakat agar supaya dipahami dan dijiwai oleh semua komponen masyarakat, sehingga semua komponen masyarakat secara suka rela membela negara.

Bela Negara adalah sebuah konsep yang disusun oleh perangkat perundangan dan petinggi suatu negara tentang patriotisme seseorang, suatu kelompok atau seluruh komponen dari suatu negara dalam ke-pentingan mempertahankan eksistensi negara tersebut. Secara fisik, hal ini dapat diartikan sebagai usaha pertahanan menghadapi serang-an fisik atau agresi dari pihak yang mengancam keberadaan negara tersebut, sedangkan secara non-fisik konsep ini diartikan sebagai upaya untuk serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, baik melalui pendidikan, moral, sosial maupun peningkatan kesejahteraan orang-orang yang menyusun bangsa tersebut1.

Bela Negara adalah sikap, perilaku, dan tindakan warga neg-ara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Repu-

Pendahuluan 5

blik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya. Dasar hukum bela negara di Indonesia memang sudah sangat jelas termaktub dalam berbagai aturan perundang-undangan, khususnya di dalam UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 Pasal 30 ayat 1 dan ayat 2 menyatakan secara eksplisit tentang bela negara bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagai berikut:

• Pasal 30 ayat 1: “Setiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pertahanan dan keamanan negara”.

• Pasal 30 ayat 2: “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”.

Selanjutnya dalam UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, di pasal 9 diamanahkan secara jelas tentang aturan bela ne-gara bagi masyarakat Indonesia, sebagai berikut:

• Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara.

• Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui: − pendidikan kewarganegaraan; − pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; − pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia

secara sukarela atau secara wajib; dan − pengabdian sesuai dengan profesi.

• Ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang-undang.

Secara lebih detail akan dilihat berbagai aturan yang tertuang dalam regulasi hukum tentang dasar hukum pelaksanaan bela negara yang ada di Indonesia, berikut ini:2

6 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

• Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional.

• Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat.

• Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negara RI. Diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.

• Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dengan POLRI.

• Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI dan POLRI. • Amandemen UUD ’45 Pasal 30 dan pasal 27 ayat 3. • Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Dengan hak dan kewajiban yang sama setiap orang Indonesia tanpa harus dikomando dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti: (1) Ikut serta dalam mengaman-kan lingkungan sekitar (seperti siskamling); (2) Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri; (3) Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn; (4) Mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka. Sebagai warga negara yang baik sudah sepantasnya kita turut serta dalam bela negara dengan mewaspadai dan mengatasi berbagai macam ATHG / ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan pada NKRI / Negara Ke-satuan Republik Indonesia seperti para pahlawan yang rela berkorban demi kedaulatan dan kesatuan NKRI.3

Bela negara merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan bagi semua komponen bangsa Indonesia sehingga tidak perlu diperdebat-kan lagi eksistensinya. Secara yuridis, bela negara telah tercantum dalam berbagai aturan hukum sehingga kuat keabsahannya. Yang paling penting sekarang adalah bagaimana menjabarkan bela negara dalam praktek kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Bela ne-gara harus mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari dan tercermin

Pendahuluan 7

dalam sikap dan perilaku warga negara. Setiap perilaku warga negara yang berbasis bela negara harus mengacu pada unsur-unsur bela nega-ra sebagai berikut: Cinta Tanah Air, Kesadaran Berbangsa & bernegara, Yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara, Rela berkorban untuk bangsa dan negara, dan Memiliki kemampuan awal bela negara.

C. RELASI BELA NEGARA DAN WAJIB MILITER

Masalah bela negara dan wajib militer selalu menarik untuk diperde-batkan setiaap saat dimanapun dan kapanpun serta oleh siapapun. Se-tiap membicaarakan tentang bela negara, maka ujung-ujungnya akan bermuara pada masalah yang berkaitan dengan wajib militer (wamil). Bagi sebagian orang, bela negara sama dengan wajib militer. Sebagian orang lagi menyatakan bahwa bela negara berbeda dengan wajib mili-ter. Sebagian orang lagi menyatakan bahwa wajib militer adalah salah satu contoh riel dan kongkret dari bela negara. Penulis termasuk yang meyakini dan membenarkan bahwa wajib militer adalah salah satu sarana atau wujud dari bela negara.

Bela negara dan wajib militer sangat terkait satu dengan yang lainnya. Wajib militer merupakan salah satu sarana atau instrumen pelaksanaan bela negara. Bela negara lazim diimplementasikan di negara lain melalui wajib militer. Di negara Indonesia, bela negara belum diimplementasikan melalui wajib militer. Hal ini karena masih adanya pro dan kontra tentang wajib militer dan belum adanya aturan yang jelas dan absah tentang pelaksanaan wajib militer di Indonesia.

Wajib militer di negara Indonesia menimbulkan ingatan suram di masa lampu, khususnya di masa Orde Baru. Masyarakat terkesan “trauma” dengan kata dan kalimat wajib militer yang mengingatkan akan kekerasan militer di masa Orde Baru. Wajib militer dipersepsi-kan sebagai “militerisasi” atau dipandang negatif sebagai masuknya militer dalam politik. Wajib militer masih menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak sehingga wajib militer selalu mendapatkan peno-lakan dari sebagian kalangan.

8 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Di era reformasi saat ini, sangat sulit untuk membuat kebijakan yang terkait untuk meningkatkan bela negara melalui wajib militer. Meskipun wajib militer adalah salah satu instrumen atau sarana dalam meningkatkan bela negara di tengah kehidupan masyarakat, namun se-bagian pihak masih “alergi” dengan kata-kata “wajib militer’. Padahal, wajib militer merupakan salah satu wujud dari bela negara dan wajib militer dalam artian yang sesungguhnya adalah bukan menjadikan ru-ang bagi masuknya militer dalam kehidupan politik dan kehidup an masyarakat.

D. WACANA “WAJIB MILITER”

Wacana wajib militer di Indonesia selalu melahirkan pro dan kon-tra di tengah masyarakat. Sebagian besar pihak menyatakan bahwa wajib militer tidak perlu dilaksanakan di Indonesia. Semboyan yang dilontarkan adalah bahwa: “bela negara yes, wajib militer no”. Wa-jib militer merupakan kata yang sudah terlanjur negatif di telinga ma-yoritas masyarakat Indonesia. Wajib militer dipahami secara sempit dan kurang komprehensif sebagai upaya melegalkan militer masuk dalam politik. Persepsi keliru ini sebenarnya perlu diluruskan karena akan merugikan bangsa Indonesia sendiri. Di negara yang demokratis pun seperti Amerika Serikat, wajib militer wajib dilakukan oleh setiap negara. Wajib militer sangat baik tujuannya, yakni untuk melindungi negara dari berbagai ancaman dan meningkatkan soliditas antar kom-ponen bangsa.

Namun demikian, sebagai negara yang baru keluar dari rezim otoriter di bawah pemerintahan Orde Baru, sangat wajar apabila ba-nyak pihak yang khawatir akan kebijakan wajib militer bila diterap-kan di Indonesia. Wajib militer di Indonesia sebenarnya sudah dicoba digagas pada era reformasi saat ini dengan digulirkannya RUU Kom-ponen Cadangan yang sampai dengan saat ini masih dalam proses pembahasan antara pemerintah dan DPR. RUU ini terus mendapatkan sorotan dari berbagai pihak dan sampai dengan saat ini belum ada titik temu antara pemerintah dan DPR sehingga belum menjadi UU.

Pendahuluan 9

Di Indonesia, kita tidak mengenal adanya wajib militer (wamil), namun ternyata sejak tahun 2002 Indonesia sudah menyiapkan RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang wajib militer yang dalam hal ini disebut dengan RUU Komcad (Komponen Cadangan). Bagaimana bila Indonesia jadi menerapkan wajib militer? Pasukan Komponen Cadangan dibentuk untuk memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemam-puan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dalam upaya penyelenggaraan pertahanan negara. Sesuai dengan pasal yang tertera di dalam RUU Komponen Cadangan ini yang wajib mengikuti wajib militer/komponen cadangan ini adalah warga negara Indonesia yaitu: Pasal 8 ayat (1) Pegawai Negeri Sipil, pekerja dan/atau buruh yang telah memenuhi persyaratan wajib menjadi anggota Komponen Cadangan. Ayat (2) mantan prajurit TNI yang telah memenuhi per-syaratan dan dipanggil, wajib menjadi anggota Komponen Cadangan. Ayat (3) warga negara selain Pegawai Negeri Sipil, pekerja dan/atau buruh dan mantan prajurit TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat secara suka rela mendaftarkan diri menjadi Ang-gota Komponen Cadangan sesuai dengan persyaratan dan kebutuhan.4

Wajib militer ini berlangsung selama 5 tahun sesuai Pasal 17 ayat (1) dalam RUU Komponen Cadangan (1) Anggota Komponen Cadangan wajib menjalani masa bakti Komponen Cadangan selama 5 (lima) tahun dan setelah masa bakti berakhir secara sukarela dapat diperpanjang paling lama 5 (lima) tahun. Masa bakti ini dianggap terlalu lama, karena negara-negara yang sudah dari dulu melakukan wajib militer di nega-ranya seperti halnya Korea Selatan dan Singapura saja masa baktinya hanya 2 tahun. Akhirnya RUU Komponen Cadangan ini pun masih menimbulkan pro dan kontra. Alasan lain mengapa banyak yang me-nolak RUU Komponen Cadangan di Indonesia adalah sanksi menolak wajib militer bagi warga negara ini tidak main-main lagi yaitu pidana penjara paling lama 1 tahun, hal ini ada yang menganggap sebagai pelanggaran hak asasi dan individual. Ada yang menganggap wajib militer tidak relevan untuk kondisi saat ini dimana dunia tidak akan mengarahkan ke perang, tapi dialog bilatetal atau multilateral. Serta

10 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

wajib militer itu diperlukan bagi negara yang memiliki ancaman yang besar dan dalam peperangan, sedangkan Indonesia tidak memiliki an-caman yang cukup berarti.5

Tak hanya kontra, masih banyak juga yang pro bagaimana bila Indonesia jadi menerapkan wajib militer, itu termasuk pejabat, petinggi, dan pemimpin negara ini. Mereka berpendapat, setiap warga negara wajib siaga bila suatu saat terjadi perang dan harus melakukan apa bila diserang. Wajib militer juga bisa meningkatkan rasa nasionalisme kebangsaan bagi pemuda yang kini sudah mulai memudar, selain itu dapat menguntungkan dan menghemat bagi negara dalam hal perekrut-an anggota Tentara Nasional Indonesia dapat diambil dari Komponen Cadangan yang terpilih sesuai kualifikasi nantinya. Komisi Cadangan ini tak hanya disiapkan untuk berperang tetapi juga dapat membantu misalnya terjadi bencana alam seperti gempa di kawasan Indonesia. Dan yang terpenting sesuai Pasal 21 RUU ini, setelah proses kom-ponen cadangan/wajib militer ini mereka bisa kembali lagi bekerja di tempatnya masing-masing, selama proses penugasan tidak terjadi putusnya hubungan kerja dengan tempat mereka bekerja. Mengingat masih banyak nya pro dan kontra tentang bagaimana bila Indonesia jadi menerapkan wajib militer tampaknya RUU ini masih akan lama disah-kan, karena harus menunggu pengesahan RUU Keamanan Nasional terlebih dahulu. Agar semuanya dapat terkendali dengan baik dan ti-dak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya.6

Berdasarkan pro dan kontra di atas, maka dapat dikatakan bahwa RUU Komponen Cadangan dipersepsikan oleh sebagian pihak sebagai cerminan dari kebijakan wajib militer. Ini artinya bahwa dalam benak sebagian pihak bahwa wajib militer merupakan sesuatu yang mena-kutkan dan membahayakan demokrasi dan HAM. Pandangan keliru inilah yang kemudian melahirkan pro dan kontra tentang RUU Kom-ponen Cadangan. RUU ini dikhawatirkan akan melahirkan kebijakan militerisasi sipil sehingga banyak pihak menolak secara ramai-ramai. Wajib militer masih menjadi kebijakan yang sensitif di Indonesia se-

Pendahuluan 11

hingga pasti akan menimbulkan wacana yang tanpa henti, khususnya bagi para aktivis pro demokrasi dan HAM.

E. WAJIB MILITER DI NEGARA LAIN

Alangkah lebih bijaksana kalau kita melihat kebijakan wajib militer di negara lain. Meskipun di Indonesia kebijakan wajib militer belum ada dan belum menjadi keharusan, maka di banyak negara lain ternyata wajib militer merupakan sebuah kewajiban dan keharusan. Negara-negara maju dan demokratis, seperti Amerika Serikat dan Inggris seka-lipun menerapkan wajib militer sebagai sebuah kewajiban bagi setiap warga negaranya masing-masing. Padahal, mereka negara demokratis dan menjunjung tinggi HAM, sehingga sebenarnya tidak ada korelasi antara wajib militer dengan negara yang otoriter. Selama ini orang meyakini bahwa wajib militer akan berpotensi lahirnya pemerintahan yang otoriter, sehingga negara yang demokratis harus menjauhi wajib militer. Pandangan ini ternyata keliru karena banyak negara-negara yang demokratis justru menerapkan wajib militer dan pemerintahan-nya malah demokratis dan sangat menjunjung tinggi HAM.

Wajib militer atau seringkali disingkat sebagai wamil adalah ke-wajiban bagi seorang warga negara berusia muda, biasanya antara 18 - 27 tahun untuk menyandang senjata dan menjadi anggota tentara dan mengikuti pendidikan militer guna meningkatkan ketangguhan dan kedisiplinan seorang itu sendiri. Wamil biasanya diadakan guna untuk meningkatkan kedisiplinan, ketangguhan, kebranian dan kemandirian seorang itu dan biasanya diadakan wajib untuk pria lelaki. Yang harus wamil biasanya adalah warga pria. Warga wanita biasanya tidak diha-ruskan wamil, tetapi ada juga negara yang mewajibkannya, seperti di Israel, Korea Selatan dan Suriname. Mahasiswa juga biasanya tidak perlu ikut wamil. Beberapa negara juga memberi alternatif tugas nasional (Layanan alternatif) bagi warga yang tidak dapat masuk militer karena alasan tertentu seperti kesehatan, alasan politis, atau alasan budaya dan agama7.

12 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Negara-negara yang melaksanakan Wajib Militer di dunia dapat disebutkan sebagai berikut :8

Mesir. Dengan jangka waktu Wajib Militer selama 12 sampai 30 bulan. Wajib Militer di Mesir diwajibkan bagi warga negara yang berusia 18 sampai 30 tahun. Selain itu, untuk menghindari pelang-garan-pelanggaran yang ada. Pemerintah Mesir tidak mengizinkan Warga Negaranya yang berumur kurang dari 25 tahun berpergian ke luar negeri tanpa persetujuan Kementerian Ketahanan dan Keamanan.

Republik Cina (Taiwan). Pada Republik Taiwan sudah ditetapkan sejak tahun 1949. Tetapi pada tahun 2007, masa Wajib Militer di Tai-wan dipotong menjadi lebih pendek menjadi 14 bulan.

Korea Selatan. Berbeda dengan Wajib Militer pada umumnya, di Korea Selatan wajib militer diperbolehkan dengan jangkauan umur 18-35 tahun. Jangka waktu Wajib Militer pun lebih lama, yaitu 24 bulan.

Malaysia. Biasa disebut Program Latihan Khidmat Negara (PLKN) di Malaysia, program ini dilaksanakan untuk Pria yang berumur 18 tahun ke atas. Dengan jangka waktu pendek (3 bulan). Program ini dicanangkan pemerintah Malaysia sejak Desember 2003.

Singapura. Disebut National Service di Singapura. Diwajibkan untuk Pria yang berumur 18 tahun ke atas. Dengan jangka waktu Wa-jib Militer 22 sampai 24 bulan. Program ini dijalankan sejak 1967.

Rusia. Di Rusia, program Wajib Militer diwajibkan bagi seluruh Pria yang berumur 18-27 tahun (tanpa terkecuali). Awalnya Wajib Mi-liter di Rusia mempunyai jangka waktu 18 bulan. Tetapi mulai tahun 2008 jangka waktu wajib militer dikurangi menjadi 12 bulan.

Swiss. Berbeda dengan di negara lain. Di Swiss seseorang boleh saja tidak mengikuti Wajib Militer pada masa hidupnya, tetapi orang tersebut diwajibkan membayar pajak penghasilan 3% lebih banyak daripada orang yang mengikuti wajib militer.

Pendahuluan 13

Brasil. Brazil sudah mempunyai sistem Wajib Militer sejak 1906. Yang diperuntukan bagi pria yang sudah berumur 18 tahun ke atas. Tetapi hukum yang mengatur tentang wajib militer baru disahkan pada tanggal 17 Agustus 1964.

Israel. Israel mewajibkan semua warga negaranya, tanpa ter-kecuali Pria atau Wanita mengikuti Wajib Militer. Pria diwajibkan mengikuti wajib militer selama 30 bulan, sementara wanita selama 18 bulan.

Turki. Banyak peraturan-peraturan unik yang ada pada Wajib Militer di Turki, para Mahasiswa S1 (atau yang akan menempuh S1) di-perbolehkan untuk menunda wajib militernya. Selain itu, mahasiswa S1 atau lebih, diperbolehkan mengikuti Wajib Militer Pelayanan pu-blik dengan jangka waktu singkat yaitu 6 bulan.

Aljazair. Negara ini melaksanakan Wajib Militer sejak 1954 se-iring dengan adanya gerakan kemerdekaan untuk Aljazair.

Adapun negara-negara lain yang melaksanakan Wajib Militer dapat dilihat dalam tabel berikut ini:9

No Negara No Negara1 Angola 17 Norwegia2 Austria 18 Belarus3 Bolivia 19 Kazakhstan4 Chili 20 Armenia5 Eritrea 21 Moldova6 Estonia 22 Uzbekistan7 Finlandia 23 Paraguay8 Georgia 24 Polandia9 Iran 25 Romania

10 Korea Utara 26 Seychelles11 Kroasia 27 Siprus12 Kuba 28 Suriname13 Kuwait 29 Suriah14 Myanmar 30 Swedia15 Thailand 31 Ukraina16 Venezuela 32 Yunani

sumber: http://setya-wa2n.blogspot.com/2013/01/negara-negara-yang-menganut-wajib.html

14 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

1 http://id.wikipedia.org/wiki/Bela_negara2 http://www.organisasi.org/1970/01/kewajiban-bela-negara-bagi-semua-warga-negara-indo-

nesia-pertahanan-dan-pembelaan-negara.html3 http://www.organisasi.org/1970/01/kewajiban-bela-negara-bagi-semua-warga-negara-indo-

nesia-pertahanan-dan-pembelaan-negara.html4 http://www.saranainformasi.com/2013/10/18/bagaimana-bila-indonesia-jadi-menerapkan-

wajib-militer/5 Ibid.6 Ibid.7 http://id.wikipedia.org/wiki/Wajib_militer8 http://setya-wa2n.blogspot.com/2013/01/negara-negara-yang-menganut-wajib.html9 Ibid.

-oo0oo-

A. MODERNITAS, HUMANISME DAN KRISIS KEMANUSIAAN

Modernitas sebagai fajar baru dan manifesto perubahaan sosial dalam sejarah kebudayaan modern Barat pasca re-naissance, reformasi, dan aufklarung (pencerahan, enlight-

ment) telah menjadi mitos laksana sebuah agama baru dalam kehidup-an umat sejagat dewasa ini. Modernitas peradaban Barat pasca abad tengah ini memiliki mata rantai persentuhan dengan kebudayaan di Italia abad ke-14 dan kemudian Inggris, Perancis dan Jerman pada abad ke-17 dan ke-18. Persambungan budaya ini telah menjadikan modernitas hadir sebagai hegemoni baru yang merambah ke seluruh penjuru dunia hingga akhir abad ke-20 dan menjadi kiblat peradaban dunia (core civilization).

Pengaruh proyek modernitas peradaban Barat yang dibalut oleh temali kapitalisme global dan mengangkut nilai-nilai individual-liberal serta dikemas dalam tema globalisasi sangat terasa dan ken-tara dalam kehidupan sosial masyarakat ketimuran. Arus modernisasi telah menggeser, dan mungkin juga melenyapkan, budaya lokal yang saat ini berkembang dan dianut oleh masyarakat lokal setempat dan

GLOBALISASI, MODERNITAS DAN NASIONALISME

B A B 2

16 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

umumnya berada dinegara berkembang yang dikenal dengan struktur masyarakat pinggiran.

Begitu kuat tarikan modernitas telah menciptakan kristalisasi ungkapan yang bisa dibilang naif bahwa jika tidak mengikuti mo-dernisasi ala Barat, maka dapat dikatakan tidak modern alias tradisi-onal. Padahal, jika disimak lebih mendalam dan seksama, kebanyakan orang memahami dan meniru modernitas Barat baru pada dataran “kulit” nya saja, belum sampai pada “daging” dan “hati” nya. Karena itu, gejala demonstration effect ini menjadi aneh, lucu, janggal dan sekaligus menggelikan. Mereka tidak sadar bahwa lokalitas budaya dan identitas ketimurannya telah dinafikan sendiri. Pergulatan antara tradisi dan modernisasi ini menciptakan dikotomi realitas kehidupan, seperti center-periferi, pusat-pinggiran, kota-desa, pengusaha-buruh dan kaya-miskin.

Mitos modernitas yang lahir dan mengalami dinamika percepat-an sejak revolusi industri dan revolusi Perancis telah melahirkan se-deretan kisah-kisah atau cerita-cerita agung (grand narrative) tentang kemajuan kehidupan umat manusia di dunia. Kisah-kisah agung ini berkisar pada kemajuan peradaban Barat yang lebih unggul dari per-adaban-peradaban lainnya. Demokrasi liberal, kapitalisme global, dan hak asasi manusia ala barat yang merupakan produk-produk moder-nitas telah menjadi manifesto politik-ekonomi dunia akhir abad ke-20 dan awal abad ke- 21.

Dalam dataran alam pemikiran, modernitas yang dibingkai oleh faham humanisme-antroposentris ( manusia sebagai pusat alam pe-mikiran dan manusia menjadi pusat titik alam), telah melakukan pem-bongkaran radikal atas alam pikiran teosentrisme (Tuhan sebagai titik pusat alam) yang berkiblat pada faham ketuhanan, khususnya pada filsafat skolastik dan agama kristen abad tengah yang didominasi oleh hegemoni kekuasaan gereja. Di samping itu, modernitas telah pula menggeser pusat peradaban dari peradaban Islam yang mengalami

Globalisasi, Modernitas dan Nasionalisme 17

masa keruntuhan pada 1258 di Bagdad beralih ke peradaban Barat pasca abad tengah.

Modernitas telah menjadi suatu mazhab kemajuan yang berlaku umum dan kerapkali beralih fungsi sebagai alat kategorisasi sosial yang ekstrem atas struktur sosial yang masih tradisionalitas. Bahkan, modernitas telah dijadikan alat verifikasi atau pengujian atas kebenar-an universal dan obat mujarab dalam mengatasi keterbelakangan, kemiskinan, dan kekerasan massal yang seringkali terjadi di negara Dunia Ketiga.

Kisah-kisah agung modernitas yang dirajut oleh para ilmuwan barat tentang kemajuan zaman modern telah melahirkan faham hu-manisme. Hal ini ditandai dengan pergeseran perkembangan manu-sia dari makhluk spiritual menjadi makhluk materiallis. Lewat corong modernitas, humanisme mempromosikan potensi manusia melebihi batas-batas fitrahnya. Manusia bagai superman yang merasa dirinya unggul karena penemuan sains dan teknologi lewat otaknya. Mereka menganggap alam sebagai obyek yang harus dieksploitasi semaksimal mungkin untuk kepentingan manusia tanpa mengindahkan rambu-rambu yang ada. Mereka tidak sadar bahwa dirinya adalah makhluk budaya yang tidak terlepas dari lingkungan alam dan manusia lain di sekitarnya. Akibatnya, terjadi krisis identitas manusia itu sendiri.

Menurut Frans Magnis-Suseno, humanisme modern yang berkembang saat ini sebenarnya telah ada sejak zaman Antik yang ber-pusat di Romawi dua ribu tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, humanisme modern terbelah ke dalam dua sempalan. Pertama, hu-manisme seimbang atau moderat yang menjunjung tinggi keluhuran manusia, keterbukaan nilai, toleransi, universalisme dan religiositas yang dekat dengan alam. Kedua, humanisme sekular atau anti agama. Artinya, agama difahami sebagai takhayul, ilusi, candu, bentuk keter-asingan manusia, dan keterikatan manusia pada irasionalitas sehingga manusia hanya dapat menemukan dirinya apabila membebaskan diri dari agama.

18 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Saat ini, humanisme yang dominan dalam alam pikiran manu-sia adalah humanisme sekular atau anti agama. Akibatnya, manusia mengalami kekosongan nilai sehingga sangat rawan jika melakukan interaksi dengan manusia lain. Gejala ingin menguasai orang lain, an-caman terorisme, munculnya kekerasan massal, dan kerusuhan sosial yang berbau primordialisme merupakan bentuk dan sekaligus kon-sekuensi dari merebaknya humanisme sekular. Modernitas, nihilisme, dan humanisme sekular telah mengalahkan humanisme moderat yang penuh dengan nilai-nilai moral-keagamaan. Menipisnya nilai-nilai moral-keagamaan inilah yang menyebabkan terjadinya krisis kemanu-siaan. Artinya, manusia telah kehilangan identitas dan jati dirinya.

Kecenderungan krisis kemanusiaan ini sebenarnya telah di-sinyalir oleh Erich Fromm, tokoh psikoanalisa yang banyak mereflek-sikan kehidupan manusia modern. Menurut Fromm, Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah mengantarkan manusia pada periode “bebas dari”, tetapi pada saat yang sama manusia tidak “bebas untuk”. Artinya, ilmu pengetahunan dan teknologi memang telah membebaskan manusia dari kemiskinan dan kebodohan. Tetapi, pada sisi yang lain telah membelenggu manusia itu sendiri dan keter-gantungan manusia pada teknologi.

Catatan sejarah menunjukan bahwa kehidupan umat manusia selalu diliputi oleh ancaman dan krisis kemanusiaan. Perang Dunia I dan II, perang Dingin, Perang Vietnam, dan perang Teluk adalah sede-retan contoh krisis kemanusiaan dunia yang memakan banyak korban. Akankah peristiwa mengerikan ini terulang lagi di abad ke-21 ini?. Sulit untuk menjawabnya. Tetapi, yang jelas tragedi WTC dan Pen-tagon, 11 september lalu merupakan awal yang buruk dalam menata kemanusiaan abad ini. Nampaknya, tema terorisme akan muncul ke permukaan dan menjadi musuh bersama (common enemy) bagi selu-ruh bangsa yang cinta perdamaian dan kemanusiaan.

Ciri dan karakteristik modernitas yang lahir dari rahim peradab-an Barat dan menjadi model perilaku umat manusia sebenarnya memi-

Globalisasi, Modernitas dan Nasionalisme 19

liki tiga dimensi kecenderungan. Pertama, dimensi kemanusiaan yang tidak bertuhan (humanisme) yang mengandung gagasan dikotomis un-tuk memisahkan dunia dari akherat. Kedua, dimensi materi yang tidak bertuhan (materialisme) yang menganggap realitas kehidupan ini ha-nya materi. Ketiga, dimensi perilaku yang tidak bertuhan (atheisme). Artinya, manusia tidak punya waktu sedikitpun untuk merenungkan, menghayati dan menuruti perintah Tuhan.

Ketiga dimensi kecenderungan inilah yang telah menyebabkan bangsa Indonesia dihantam oleh badai krisis multidimensional dan terancam dalam jurang kebangkrutan. Meletusnya kerusuhan etnis di Sambas, Sampit, Poso, dan Ambon adalah wujud dari krisis kemanu-siaan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Bahkan, gejala sepa-ratisme dan disintegrasi semakin kuat gemanya diwilayah Aceh dan Papua. Celakanya, para pejabat dan elit politik banyak yang terlibat dalam perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan kepenting-an meraih kekuasaan sehingga lupa terhadap tanggung jawab kema-nusiaannya.

Kompleksitas permasalahan bangsa Indonesia ini harus ditang-gulangi secara cepat dan tepat dengan berpegang teguh pada morali-tas yang tinggi (hi-mo, high morality), bukan teknologi tinggi (hi-tech, high tecnology). Oleh karena itu, perlu pengembangan sebuah etos kemanusiaan baru yang berdasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab sesuai dengan sila kedua dari Pancasila. Cita-cita humanistik ini tidak mesti menjauhkan diri dari norma ketuhanan. Adalah pang-gilan orang-orang beragama untuk membuktikan dengan sikap dan kelakuan nyata bahwa keagamaan bukan halangan bagi sikap yang menghormati martabat manusia dan melihat perbedaan, pluralitas, dan keragaman sebagai sesuatu yang harus diakui dan dihormati.

Pengembangan etos kemanusiaan baru diharapkan dapat men-jadi obat mujarab bagi maraknya aksi kekerasan, kerusuhan, dan ter-orisme anti kemanusiaan–keagamaan yang selama ini mewarnai di-namika kehidupan masyarakat indonesia pasca-reformasi. Masyarakat

20 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

yang memiliki etos kemanusiaan baru bercirikan kemanusiaan yang adil dan beradab dimana secara struktural-institusional, norma-norma hukum, adat istiadat serta moralitas keagamaan dijunjung tinggi oleh individu-individu dalam masyarakat.

Pluralitas dan keragaman masyarakat indonesia harus dibangun dengan nilai-nilai kemanusiaan baru yang menjamin toleransi antar ke-lompok agama, menjaga hak-hak dasar manusia, menolak kekerasan untuk memecahkan masalah bangsa, mengembangkan budaya dialog, dan menjalin solidaritas bangsa yang saat ini mengalami carut marut sebagai konsekuensi dari krisis kemanusiaan. Format dan karakteristik kemanusiaan lama yang dibangun secara bias oleh rezim hegemonik Orde Baru sudah saatnya didekonstruksi karena terbukti hanya men-ciptakan “bom waktu” meledaknya kekerasan kolektif-etnik dan di-ganti dengan etos kemanusiaan baru yang lebih pluralistik, adil dan beradab.

B. MULTIKULTURALISME DI TENGAH KULTUR MONOLITIK DAN UNIFORMITAS GLOBAL

Wacana tentang multikulturalisme mulai menguat dan memperoleh tempat yang utama dalam kajian perubahan sosial dan budaya ketika realitas kehidupan di penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 menunjukkan keanekaragaman budaya dengan berbagai corak bu-dayanya yang hadir ditengah-tengah masyarakat. Multikulturalisme dipakai sebagai perangkat analisa atau perspektif untuk memahami dinamika keanekaragaman latar belakang budaya, perbedaan sejarah, suku, bangsa, rasial, golongan, dan agama.

Masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memi-liki karakteristik heterogen dimana pola-pola hubungan sosial antar individu dalam masyarakat bersifat toleran dan harus menerima ke-nyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co-existence) satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada setiap entitas sosial dan politiknya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa

Globalisasi, Modernitas dan Nasionalisme 21

multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa ma-syarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan ke-kerasan, meskipun didalamnya terdapat kompleksitas perbedaan.

Sebagai sebuah formula dan format baru dalam agenda perubah-an sosial, multikulturalisme dihadapkan pada kenyataan adanya arus globalisasi yang menjangkiti seluruh segmen kehidupan masyarakat baik pada level primordialisme (kedaerahan), nation state (negara bangsa), maupun pada level dunia internasional (world system). Pro-ses mengglobalnya nilai-nilai budaya, life style, falsafah, kebiasaan, dan institusi-institusi yang berasal dari Barat – sebagai asal mula dan sumber globalisasi – kedalam seluruh aspek kehidupan masyarakat mulai dari masalah politik, ekonomi, sosial-budaya, hiburan, pendidik-an, sampai dengan urusan selera “perut” dan “aurat” harus dipahami sebagai proses penyeragaman dan pembaratan budaya .

Globalisasi yang membawa misi homogenisasi, westernisasi, dan uniformitas budaya ini sangat bertentangan dengan gagasan mul-tikulturalisme yang ber platform pluralis, humanis, dan menjaga he-terogenitas budaya sebagai sesuatu yang alamiah (nature). Padahal, globalisasi adalah fenomena yang tidak bisa dipungkiri dan dihindari hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang saat ini sedang mengalami krisis kebudayaan. Globalisasi telah berubah dari sebuah mitos menjadi realitas yang yang bersifat kongkret dan empirik.

Dalam sejarah perkembangannya, globalisasi merupakan suatu mata rantai dan mempunyai persentuhan proses dengan kolonialisme dan imperilaisme di abad ke-16 sampai ke-19, modernisasi diabad ke-20, dan kapitalisme global dipenghujung abad ke-20. Kecanggihan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi mendorong global-isasi mengalami percepatan yang luar biasa pesat.

Menurut Anthony Giddens (1999), globalisasi telah melahirkan ruang sosio-kultural yang spektakuler dalam hubungan antar bangsa dan interkoneksi yang melampaui batas-batas geografis dan kedaulatan negara. Dalam kaitan ini, penetrasi globalisasi membawa tiga dampak

22 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

siginfikan. Pertama, mulai meluntur dan mengendurnya ikatan-ikatan negara bangsa sebagai hasil dari pergulatan antara kedaulatan negara versus kapitalisme global. Pola “tekanan ke atas” penetrasi globalisasi ini cenderung mengarah pada integrasi sosial-budaya dibawah naung-an kultur Barat sebagai kultur yang dominan.

Kedua, pola “tekanan ke bawah”. Artinya, globalisasi telah membuka katub-katub peluang bagi bangkitnya identitas budaya lokal (local culture) yang selama ini sedang terbuai oleh kemasan ikatan nasionalisme budaya yang didasarkan pada negara bangsa. Lokalitas dan kultur monolitik yang mendasarkan diri pada etnisitas, kesukuan, dan primordialisme ini mulai meneguhkan diri vis to vis identitas na-sional yang saat ini mengalami pengenduran. Secara politis, gejala ini diindikasikan dengan merebaknya tuntutan dari berbagai daerah atau wilayah yang ingin melepaskan diri dari ikatan negara bangsa. Gerakan separtisme dan disintegrasi bangsa, khususnya yang saat ini melanda indonesia merupakan salah satu contoh dari penetrasi glo-balisasi jenis ini.

Ketiga, pola “desakan ke samping”. Artinya, kecenderungan penetrasi globalisasi telah menciptakan domain ekonomi dan kul-tural baru yang melintasi batas-batas negara bangsa yang selama ini ada. Penetrasi globalisasi yang membawa slogan-slogan liberalisme pasar dan perdagangan bebas telah membawa Dunia pada blok-blok perdagangan dan aliansi-aliansi ekonomi yang terbungkus dalam kapi-talisme global. Lahirnya Uni Eropa merupakan contoh kongkret dari gelombang sentrifugal globalisasi.

Jika dilihat lebih mendalam, pola-pola penetrasi globalisasi ini menimbulkan suatu paradoks. Disatu sisi, globalisasi melakukan ge-rak meluas ke wilayah global melalui teknologi komunikasi dan in-formasi. Namun di sisi lain, globalisasi telah menstimulan tumbuhnya identitas-identitas lokal yang primordial. Meskipun begitu, yang perlu diwaspadai adalah proses uniformitas nilai yang mengarah pda hege-moni budaya.

Globalisasi, Modernitas dan Nasionalisme 23

Banyak kalangan awam dalam masyarakat , khususnya yang tidak peduli dengan masalah sosial budaya, tidak menyadari bahwa pola kehidupannya sehari-hari telah didominasi oleh kultur asing yang pada tahap-tahap tertentu tidak sesuaii dengan budaya lokal. Mereka tidak sadar bahwa dilingkungan sekitarnya telah terjadi proses unifor-mitas budaya. Mereka larut dan terbius oleh arus budaya pop dan lyfe style yang lagi nge-trend. Padahal, mereka tidak memahami makna dan substansi dari penampilan budaya yang demikian.

Ancaman hegemoni budaya (culture hegemony) yang tersembu-nyi dibalik gelombang globalisasi semakin kuat terasa di era modern sekarang ini. Pada hakikatnya, hegemoni budaya ini sangat berlawan-an dengan multikulturalisme yang lebih menekankan pada pluralitas dan heterogenitas budaya sebagai sebuah mozaik dan kekayaan bang-sa. Hegemoni budaya ingin melakukan proses pendominasian buda-ya yang beranekaragam itu dalam kendalinya. Tentunya, gejala yang demikian sangat membahayakan eksistensi budaya-budaya yang lain.

Secara historis, hegemoni budaya yang saat ini sedang gencar-gencarnya dipropagandakan oleh Barat melalui media globalisasi telah ada sejak masa kolonialisme dan imperialisme. Jika pada abad ke-19, kedatangan bangsa-bangsa Barat membawa modernisasi hadir bersamaan dengan perluasan kapitalisme dan kolonialisme politik ser-ta ekonomi, maka pada penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21, kehadiran budaya universal juga ikut membawa muatan budaya dan peradaban Barat. Gejala seperti ini menurut Huntington akan menim-bulkan titik picu bagi konflik atau benturan peradaban dengan kebu-dayaan-kebudayaan lain.

Saat ini, proses hegemoni budaya sebenarnya telah melanda ke-hidupan masyarakat berbangsa dan bernegara baik yang berdimensi politik, ekonomi, maupun sosial. Secara politis, Demokrasi liberal Barat telah menjadi model yang didambakan setiap negara dalam sistem kenegaraannya. Secara ekonomi, kapitalisme global Barat selalu menjadi referensi bagi negara yang ingin maju pertumbuhan

24 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

ekonominya. Dan secara sosial, masyarakat telah terkooptasi oleh nilai-nilai individualisme Barat, hedonisme, dan konsumerisme. Ini semua tentu sangat berlawanan dengan budaya mereka sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran. Ketidakberdayaan melawan gempuran luar dan ketidakberanian menampilkan identitas budaya sendiri akan mengakibatkan suatu entitas sosial menjadi korban dari hegemoni budaya.

Saat ini bangsa indonesia tengah menghadapi arus ganda per-masalahan seputar identitas nasional kebudayaannya. Di satu sisi, harus menghadapi gempuran gelombang globalisasi yang membawa peradaban universal (universal civilization) beserta dampak ikutan lainnya, seperti uniformitas, homogenisasi, westernisasi, dan hegemo-ni budaya. Di lain sisi, tengah berhadapan dengan masalah-masalah internal dalam kebudayaannya sendiri baik yang muncul sebagai aki-bat dinamika nasional maupun persentuhannya dengan penetrasi glo-balisasi. Contoh dari gejala ini adalah munculnya radikalisme etnik yang cenderung mengarah pada disintegrasi bangsa.

Melihat dua kenyataan dilematis ini, diperlukan suatu format baru dalam menata kembali konstelasi budaya lokal indonesia yang terbungkus dalam mozaik kebudayaan nasional, yang sebenarnya saat ini telah mengalami carut marut dan tercerabut oleh konflik et-nik dan kekerasan kolektif. Oleh karena itu, multikulturalisme (plural culture) seharusnya dijadikan paradigma baru menggantikan konsep masyarakat majemuk (plural society) yang selama ini diterapkan oleh rezim militer Orde Baru. Masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak akan mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis dan sudah saatnya digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme yang mem-punyai cakupan tidak hanya budaya etnik, tapi juga berbagai budaya lokal yang diposisikan secara sederajat.

Multikulturalisme merupakan suatu strategi dari integrasi sosial dimana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati

Globalisasi, Modernitas dan Nasionalisme 25

sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (“tunggal ika”) yang paling potensial akan melahirkan persatuan yang kuat, me-lainkan pe ngakuan akan adanya pluralitas (“bhineka”) budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaharuan sosial yang demokratis.

Dengan demikian, perlu proses penyadaran diantara masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati ke-anekaragaman identitas budaya yang dibalut oleh semangat kerukun-an dan perdamaian. Keanekaragaman budaya ini dapat diilustrasikan bagai bintang-bintang dilangit yang bertebaran bak mutiara menghiasi jagad raya. Dalam konteks ini, peranan negara sebaiknya hanya men-fasilitasi bagi terciptanya toleransi antar entitas sosial budaya, dan bu-kan memainkan perana intervensi-represif yang dapat menimbulkan resistensi dan radikalisasi kultural sebagaimana terjadi pada rezim ko-rporatis Orde baru.

C. RADIKALISME ETNIS MEREMBET KE RADIKALISME TERORIS

Pada masa awal-awal reformasi, radikalisme dan militansi yang mere-bak di Indonesia adalah radikalisme etnik. Hal ini ditandai dengan berbagai kekerasan kolektif dan kerusuhan sosial di Sampit, Poso, dan Ambon. Selanjutnya, radikalisme etnik ini kemudian menjalar pada radikalisme kesukuan, golongan, dan agama. Akhirnya, gejala dis-integrasi bangsa menjadi fenomena penting yang mendapat perhatian serius waktu itu. Bentuk-bentuk radikalisme etnik ini telah menelan korban ratusan, dan bahkan ribuan nyawa melayang.

Saat ini, radikalisme etnik untuk sementara waktu meredup digeser oleh radikalisme teroris. Menguatnya radikalisme teroris ini dalam konteks Indonesia telah ada secara dominatif sejak terjadinya rentetan peristiwa pengeboman di berbagai Gereja pada malam Na-

26 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

tal, peledakan bom di Atrium Senin, pengeboman Masjid Istiqlal, dan bom di Kedubes Filipina di Jakarta. Puncak dari rangkaian aksi penge-boman ini adalah tragedi bom di Legian, Kuta, Bali, I2 Oktober 2002 lalu yang menewaskan lebih dari I80 orang tewas dan 300 orang luka berat ringan, yang kemudian disusul dengan berbagai aksi teroris di berbagai wilayah Indonesia saat ini.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan ke-beragaman, sudah sepatutnya jika kita semua mengutuk berbagai aksi radikalisme teroris yang selama ini menghantui bangsa Indonesia. Biar bagaimanapun juga, dampak dari radikalisme teroris yang menjangkiti berbagai kelompok dan gerakan sosial sangat bertentangan dengan ni-lai-nilai kemanusiaan dan norma-norma keagamaan. Meskipun tujuan dari kelompok-kelompok radikalisme teroris ini ingin menegakkan hukum dan keadilan Tuhan, tapi cara-cara yang mereka pergunakan telah melanggar hukum dan keadilan Tuhan itu sendiri.

Disamping itu, yang perlu dipegang teguh adalah bahwa teror-isme dan segala bentuknya jangan disangkutpautkan dengan agama. Kecenderungan radikalisme teroris terletak pada individu atau per-sonel masing-masing. Bahkan secara lugas dapat dikatakan bahwa para pelaku tindak teroris itu adalah manusia-manusia yang tidak be-ragama dan tidak bertuhan. Sebab, manusia yang beragama tidak akan melakukan perbuatan biadab seperti itu.

Semakin menguatnya gejala radikalisme teroris di Indonesia saat ini tentunya akan berdampak pada terjadinya benturan-benturan antar berbagai kelompok masyarakat dengan pemerintah. Di samping itu, isu-isu terorisme telah mempengaruhi proses penciptaan dan pengem-bangan pluralitas budaya dan manusia. Tatanan sosial masyarakat, yang ketika meletup reformasi bercerai-berai dan ingin ditransformasi dalam wadah multikulturalisme, akan mengalami hambatan serius apabila isu terorisme semakin mempengaruhi struktur sosial masyara-kat.

Globalisasi, Modernitas dan Nasionalisme 27

Konsepsi multikulturalisme yang intinya menekankan pada pe-ngakuan dan penghormatan terhadap kebhinekaan dan perbedaan yang selama ini akan dikembangkan dalam konteks kebangsaan In-donesia akan berhadapan secara tajam dengan isu-isu terorisme yang berkembang akhir-akhir ini. Dikatakan demikian karena radikalisme teroris yang disinyalir menghinggapi sebagian kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan sosial masyarakat tidak mengenal akan perbe-daan dan kebhinekaan.

Perspektif terorisme tidak mengedepankan pada kebersamaan dan pluralisme, melainkan hanya menekankan pada uniformitas yang monolitik. Selain itu, terorisme tidak memprioritaskan pada upaya-upaya dialog, melainkan langsung pada tindak kekerasan yang mem-bahayakan. Hal ini sangat bertentangan dengan perspektif multikul-turalisme yang mendasarkan diri pada saluran dialog, kebersamaan, kemanusiaan, penghormatan antar manusia, dan pengakuan akan per-bedaan.

Bagaimanapun juga, kita semua tidak menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki cap “Republik Teror”. Oleh karena itu,Tragedi bom Bali harus dijadikan momentum yang tepat untuk menyadarkan kepada bangsa Indonesia bahwa isu-isu terorisme akan sangat membahayakan semangat multikulturalisme di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Terorisme adalah musuh baru multikul-turalisme.

Melihat betapa bahayanya permasalahan terorisme di Indonesia ini terhadap persatuan bangsa dan pengembangan multikulturalisme yang sedang dibangun, maka perlu diupayakan sebuah strategi untuk menangkalnya secepat mungkin. Salah satu cara yang efektif untuk itu adalah langkah penguatan masyarakaat sipil (civil sosiety) yang ada dalam masyarakat Indonesia. Seluruh komponen masyarakat sipil mu-lai dari partai politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi So-sial, Organisasi Keagamaan, Komunitas Intelektual Kampus, Masyara-kat Pers dan komponen masyarakat lainnya harus senantiasa bersatu

28 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

padu, saling berdialog, tukar informasi dan merapatkan barisan demi cegah tangkal praktek terorisme.

Konsolidasi masyarakat sipil ini sangat penting mengingat saat ini negara sebagai unit politik formal tidak mampu lagi memberikan rasa aman dan kedamaian pada rakyatnya dari ancaman terorisme. Struktur negara seperti Eksekutif (Birokrasi dan aparat penegak hukum: Polri, Kejaksaan, TNI), Legislatif (MPR/DPR) dan Yudikatif (Lembaga Peradilan) telah gagal dalam menciptakan tertib sosial masyarakat. Padahal, tujuan utama dibentuknya negara adalah kontrak sosial dari seluruh elemen masyarakat untuk secara bersama mendelegasikan kekuasaan kepada negara untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi interaksi hak dan kewajiban antar individu dalam masyarakat.

Merebaknya aksi-aksi terorisme telah menggangu dan meram-pas hak hidup dan hak untuk aman dari rakyat. Sudah selayaknya bagi rakyat menuntut rezim penguasa berkait dengan terganggunya hak-hak mereka. Tidak berhenti disitu saja, segenap elemen masyarakat harus mengonsolidasi diri demi keamanan masing-masing dari anca-man terorisme.

Penguatan masyarakat sipil bisa dilakukan secara nyata dengan saling tukar informasi, saling dialog, saling bekerjasama sehingga akan tercapai suatu kesepakatan dan gerakan moral sosial yang kuat se-hingga persatuan dan kesatuan bangsa bisa terjaga. Selain itu, de ngan ditumbuhkembangkan budaya dialog, diskusi, dan tukar informasi masing-masing komponen masyarakat akan mendorong percepatan timbulnya budaya multikulturalisme yang selama ini ingin dikem-bangkan secara bersama.

D. SUMPAH PEMUDA ATAU PEMUDA DISUMPAH?

Tepat tanggal 28 Oktober 1928, bangsa Indonesia menapaki sebuah perjuangan kemerdekaan yang sangat monumental dan bersejarah. Saat itu, tanpa ada paksaan alias dengan kesadaran hati yang bersih,

Globalisasi, Modernitas dan Nasionalisme 29

berbagai elemen bangsa yang terdiri dari para pemuda dan pemudi pejuang bangsa berkumpul dalam suatu forum dan menyatakan se-buah ikrar yang sangat terkenal sampai saat ini. Para tunas bangsa yang terdiri dari Jong Jawa, Jong Sumatera, Jong Sulawesi, Jong Kali-mantan dan masih banyak lagi jong-jong lainnya bersepakat untuk me-nyatakan diri bersatu dalam satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air Indonesia.

Peristiwa heroik yang memberikan semacam stimulan dan mo dal awal dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kolonial-isme Belanda ini kemudian dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Karena lahirnya sumpah Pemuda ini tepat tanggal 28 Oktober 1928, maka tiap-tiap tanggal bulan tersebut bangsa Indonesia memperingati hari Sumpah Pemuda.

Makna yang dapat kita ambil dari peringatan hari Sumpah Pemu-da kali ini adalah semangat dari para pemuda Indonesia diseluruh ta-nah air ketika itu yang menyatakan diri untuk bersatu dalam tumpah darah bangsa Indonesia. Rasa nasionalisme yang menggelora dalam setiap sanubari para pemuda Indonesia itu patut untuk dijadikan mo-del panutan oleh para pemuda bangsa Indonesia saat ini. Para pemuda bangsa Indonesia yang saat ini dapat dikatakan mengalami krisis nasi-onalisme harus menjadikan peringatan hari Sumpah Pemuda kali ini sebagai momentum untuk mempertebal jiwa nasionalisme bangsa.

Seperti diketahui bahwa ditahun-tahun terakhir ini, khususnya setelah bergulirnya reformasi, bangsa Indonesia mendapat ujian berat masalah nasionalisme bangsa. Beberapa daerah yang rawan konflik sosial secara berentetan menyatakan pernyataan untuk keluar dari ikat an nasionalisme bangsa Indonesia. Daerah-daerah seperti Aceh, Papua, Maluku, dan Riau (meskipun saat ini sudah surut), tanpa di-nyana-nyana sebelumnya menginginkan untuk keluar dari Negara Ke-satuan Republik Indonesia.

Mereka beramai-ramai mengusung bendera primordialisme se-bagai landasan bagi perjuangan untuk melepaskan diri dari bangsa

30 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Indonesia. Singkatnya, bangsa Indonesia mengalami gejala disinte-grasi bangsa yang sangat membahayakan. Berbagai gerakan disinte-grasi bangsa ini banyak didorong oleh adanya fakta lepasnya Timor-Timur dari pangkuan Republik Indonesia melalui jajak pendapat tahun 1999 lalu. Belum lagi ditambah dengan permasalahan konflik politik, kekerasan kolektif dan kerusuhan sosial yang sampai saat ini masih sering terjadi.

Berbagai gejala disintegrasi bangsa ini tentunya harus dipahami sebagai sebuah gejala arus balik. Dikatakan sebagai arus balik karena jika ditelusuri dari aras sejarah bangsa, maka kita akan dapat mengeta-hui bahwa pada tahun 1928 dan 1945, bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai elemen berdasar pluralitas suku, agama, ras, dan golong-an ini melakukan langkah maju dan berani, yakni bersatu dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan gagah berani dan semangat nasionalisme membara, para pejuang bangsa ini ber-satu untuk kemudian menyatakan diri merdeka lepas dari kungkungan penjajahan asing. Sejak saat itulah, tonggak-tonggak negara Indonesia dimulai dan dipancangkan.

Berbagai kalangan pemuda-pemudi pejuang bangsa yang di-pimpin oleh Soekarno dan Hatta meletakan dasar-dasar kenegaraan dan pemerintahan. Ada semacam arus utama yang sangat dahsyat yang mendorong berbagai komponen bangsa dari seluruh pelosok ta-nah air untuk bersatu berdasarkan senasib dan sepenanggungan men-derita dijajah oleh bangsa Belanda.

Namun, saat ini, kita semua melihat terjadinya arus balik. Arti-nya, terjadi suatu kenyataan yang sangat ironis dimana berbagai kom-ponen bangsa yang pada masa perjuangan kemerdekaan bangsa In-donesia melakukan semacam gerakan perkuatan kohesifitas menuju entitas nation state, namun saat ini yang terjadi adalah kebalikannya. Komponen bangsa itu mulai mengalami ketidakbetahan berada dalam bingkai nasionalisme Indonesia. Mereka menginginkan untuk kem-bali lagi seperti dahulu, yakni berjalan sendiri-sendiri. Ini merupakan

Globalisasi, Modernitas dan Nasionalisme 31

suatu hal yang sangat ironis dan memprihatinkan karena gejala terse-but adalah gejala kemunduran, bukan kemajuan.

Paling tidak terdapat dua faktor yang menyebabkan gejala terjadinya arus balik dari proses berbangsa dan bernegara yang di-alami bangsa Indonesia saat ini. Pertama adalah semakin menguatnya fenomena etnisitas dan etnonasionalisme sempit berbasis pada pri-mordialisme. Primordialisme yang saat ini sedang menggejala diham-pir seluruh struktur sosial masyarakat merupakan sebuah antitesa dari konsekuensi represifitas rezim Orde Baru. Rezim militeristik pimpinan Soeharto ini telah menciptakan struktur masyarakat yang sentralitatif, alienatif, marginalitatif, dan monolitik.

Karena itu, begitu hegemoni rezim otoriter itu mulai mengalami kehancuran akibat gelombang reformasi, maka kelompok-kelompok sosial yang merasa terpinggirkan ini mulai menampakan diri untuk menunjukan eksistensinya sembari menyampaikan pesan bahwa mereka ingin menciptakan suatu entitas baru berdasarkan norma dan ideologi yang mereka yakini sebelumnya. Lokalitas bagi mereka merupakan pilihan strategis dibanding tetap bergabung dengan ikatan bangsa Indonesia.

Kedua, kuatnya penetrasi global yang senantiasa masuk melalui media-media tertentu diseluruh dimensi kehidupan. Kekuatan ekster-nal berupa penetrasi politik, ekonomi dan budaya ini telah merasuk ke dalam struktur lokalitas bangsa sehingga mendorong entitas-entitas lokal untuk lebih eksesif dalam menghadapi hegemoni negara yang sentralistik.

Penetrasi politik bisa melalui masuknya nilai-nilai HAM dan de-mokrasi ala Barat yang cenderung bersifat sangat liberal dan menekan-kan pada individualisme. Penetrasi ekonomi berupa mengalirnya alir-an modal, investasi, dan hutang luar negeri yang kian hari kian terasa berat beban untuk mengembalikannya. Penetrasi budaya dapat dilihat dari aneka perilaku dan gaya hidup yang konsumeris diseluruh lapisan masyarakat.

32 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Berbagai penetrasi global ini telah menciptakan suatu tatanan masyarakat yang sangat terbuka sehingga memungkinkan suatu enti-tas lokal untuk berinteraksi dengan dunia global tanpa harus melalui mekanisme perangkat legal negara. Akhirnya, globalisasi yang saat ini sedang menggejala dihampir seluruh pelosok dunia ini telah meng-kondisikan bagi entitas-entitas lokal untuk lebih berani dalam berinter-aksi dengan negara dan bahkan menantang negara yang monolitik.

Melihat serangkaian perubahan yang terjadi dalam kaitan inter-aksi negara dengan masyarakat lokal agar tercapai pemahaman bersa-ma sehingga gejala tarikan disintegrasi bangsa bisa dihindari, maka di-perlukan sebuah formula khusus penangananya. Fenomena arus balik yang merebak di Indonesia saat ini harus dipahami dan didekati dalam konteks sejarah bangsa. Artinya, bangsa Indonesia secara keseluruhan perlu diingatkan kembali akan konteks sejarah bangsa bahwa bangsa ini terbentuk oleh komitmen-komitmen bersama yang dibangun oleh para pemuda-pemudi pejuang bangsa yang dilandasi oleh semangat nasionalisme bangsa.

Maka dari itu, sudah saatnya momentum hari Sumpah Pemuda ini dijadikan wahana bagi seluruh bangsa Indonesia untuk melaku-kan proses refleksi diri akan berbagai masalah yang melanda bangsa Indonesia saat ini. Para pemuda bangsa yang kelak akan menjadi pe-mimpin bangsa sudah selayaknya untuk disumpah agar supaya se-lalu memegang teguh jiwa dan semangat nasionalisme bangsa yang menekankan pada persatuan dan kesatuan bangsa sebagaimana yang telah ditampilkan oleh para pemuda pada tahun 1928 ketika mereka mendeklarasikan Sumpah Pemuda.

Nampaknya, para tunas muda bangsa harus melakukan kem-bali Sumpah Pemuda atau bahkan disumpah sehingga harapannya kejadian yang terjadi saat ini tidak terjadi pada masa mendatang. Hal ini penting dilakukan mengingat sudah semakin menipisnya jiwa nasio nalisme dan semangat kebangsaan yang dimiliki oleh para tunas

Globalisasi, Modernitas dan Nasionalisme 33

muda. Padahal, mereka kelak akan menjadi penerus dan pemimpin bangsa ke depan. Dengan demikian, momentum hari sumpah pemu-da sudah seharusnya dijadikan sebagai sarana untuk refleksi sekaligus ajang untuk menjadikan pemuda disumpah; Sumpah nasionalisme atau Sumpah kebangsaan.

-oo0oo-

A. PENDIDIKAN BELA NEGARA

Sebagai bangsa yang majemuk dan plural, baik dari sisi agama, etnis, suku, maupun kelompok, maka sangat penting bagi bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikan bela negara ke-

pada semua elemen dan komponen bangsa. Pendidikan bela negara sangat penting bagi masyarakat agar supaya semua komponen ma-syarakat memahami, menyadari dan menjiwai tentang nasionalisme, patriotisme dan wawasan kebangsaan. Pendidikan bela negara sangat mendesak untuk segera digalakkan secara cepat, tepat dan sistematis mengingat kondisi bangsa di era reformasi yang sudah karut marut dan centang perentang sehingga diperlukan tumbuhnya semangat bela negara dalam rangka menjaga keutuhan NKRI dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.

Pendidikan bela negara harus ditanamkan kepada semua orang tanpa terkecuali sehingga setiap masyarakat Indonesia memahami dan menyadari akan pentingnya membela negara dan bangsa di atas ke-pentingan pribadi, kelompok dan golongan. Pendidikan bela negara harus mampu diajarkan secara berkelanjutan dan berkesinambungan kepada semua komponen bangsa agar supaya nilai-nilai persatuan, ke-

KRISIS BELA NEGARA

B A B 3

36 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

satuan, cinta tanah air dan wawasan kebangsaan dapat terus terjaga dengan baik, kuat dan kokoh.

Pendidikan bela negara harus diajarkan sejak dini, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pada pendidikan dasar dan menengah, maka materi tentang bela negara ha-rus sudah ditanamkan kepada para siswa TK, SD, SMP dan SMA. Pen-didikan bela negara memang di tingkat pendidikan dasar dan mene-ngah tidak tercantum secara eksplisit dan tekstual dalam suatu mata pelajaran khusus pendidikan bela negara, namun hal ini tidak meng-hambat untuk menyampaikan materi pendidikan bela negara melalui mata pelajaran yang lain, seperti Pendidikan Kewarganegaraan, Pen-didikan Pancasila, Sejarah, dan mata pelajaran lainnya yang relevan.

Siswa yang ada di pendidikan dasar dan menengah merupakan kunci keberhasilan dalam pelaksanaan pendidikan bela negara kare-na dari aspek usia mereka masih muda dan remaja sehingga harus dibekali dulu dengan materi bela negara sehingga menjadi “filter” ke depan apabila ada nilai-nilai lain yang masuk bisa dijadikan pe nyaring yang kokoh dan kuat. Kecenderungan anak muda dan para remaja saat ini yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai ideologi dan budaya lain dari luar yang bertentangan dengan budaya Indonesia sangat penting untuk ditanamkan terlebih dahulu materi tentang bela negara.

Pada pendidikan tinggi di berbagai perguruan tinggi, para maha-siswa harus dibekali dan ditanamkan pendidikan bela negara. Banyak mata kuliah yang dapat menyisipkan materi bela negara kepada para mahasiswa, seperti mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Pancasila. Dua mata kuliah ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan, khususnya UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi wajib ada dan termaktub dalam kurikulum pendidik-an di semua perguruan tinggi di Indonesia, sehingga sangat strategis materi bela negara masuk dalam mata kuliah tersebut.

Krisis Bela Negara 37

Selain masuk dalam kedua mata kuliah tersebut, maka materi bela negara harus pula tercermin dalam berbagai kegiatan kemaha-siswaan, misalnya dalam setiap tahun ajaran baru dimana mahasiswa baru harus menjalani Ospek atau nama lainnya maka bisa dimasukan pelatihan bela negara sebagai salah satu kegiatan dalam Ospek atau nama lainnya. Penanaman nilai-nilai bela negara dalam kegiatan pe-nerimaan mahasiswa baru sangat penting dibandingkan dengan ajang “perploncoan” yang justru malah kontraproduktif dan tidak jarang me-nimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat.

Dalam penyelenggaaraan pendidikan bela negara dan pelatihan bela negara, maka setiap sekolah ataupun perguruan tinggi dapat meli-batkan berbagai instansi terkait, seperti unsur TNI, Polri dan Pemda dalam menyampaikan materi bela negara. Kerjasama dengan aparat pemerintahan dan aparat keamanan pertahanan negara sangat penting dalam memberikan materi berupa ceramah, diskusi interaktif, sampai dengan simulasi bela negara sehingga akan terwujud sinergitas penye-lenggaraan pendidikan bela negara di kalangan siswa dan mahasiswa.

Materi yang diajarkan dalam pendidikan bela negara harus di-sampaikan secara komunikatif, dialogis, dan interaktif sehingga tidak terkesan monologis, monoton, dan doktrinal. Masalah cara penyam-paian materi pendidikan bela negara harus menjadi pekerjaan rumah kita bersama mengingat cara-cara monoton dan doktrinal pasti tidak akan efektif dalam menanamkan nilai-nilai bela negara di kalangan masyarakat. Dalam penanaman nilai-nilai bela negara, maka semua pihak harus berupaya membuat peserta pendidikan bela negara men-jadi “betah”, senang, riang gembira, dan dengan menggunakan baha-sa-bahasa yang mudah diterima oleh kalangan masyarakat. Kesan sela-ma ini bahwa pendidikan bela negara diajarkan dengan menggunakan “bahasa dewa-dewa” sehingga sulit membumi harus dihindari. Semua peserta pendidikan bela negara harus diberi pemahaman yang riel, kongkret, dan mudah dicerna sehingga materi bela negara akan dapat diresapi, dihayati, dan dijiwai oleh semua unsur di tengah masyarakat.

38 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Persepsi semua kalangan masyarakat yang menyatakan bahwa materi bela negara sangat membosankan, hanya begitu-begitu saja, dan sulit dipahami secara riel dan kongkret harus dihapuskan. Semua pihak harus memikirkan bagaimana membuat paket penyampaian yang nyata dengan cara yang nyaman, senang, dan “fun” sehingga akan mudah dipahami oleh semua komponen masyarakat. Substansi dan isi materi bela negara tetap sama dan memang tidak boleh di-rubah secara ruh nya, namun cara menyampaikannya harus dirubah dan direvisi dengan inovasi dan kreasi modern sehingga dapat lang-sung menyentuh hati dan pikiran semua komponen masyarakat.

Pendidikan bela negara sangat penting untuk dimiliki oleh se-tiap rakyat Indonesia. Bela negara merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan bagi setiap warga negara. Warga negara harus memi-liki rasa dan sikap bela negara yang tinggi. Negara yang kuat membu-tuhkan prasyarat bela negara yang kuat dari warga negaranya. Siapa lagi yang akan membela negara kalau bukan warga negaranya sendiri. Bela negara adalah komponen penting dalam sebuah tegaknya negara menjadi berdaulat, adil dan makmur. Tanpa bela negara yang kuat dan kokoh, maka setiap negara tidak akan mampu menjadi super power. Kita harus ingat bersama bagaimana semangat bela negara warga ne-gara Amerika Serikat yang tinggi terhadap negaranya yang ditunjukkan dalam berbagai peristiwa yang terekam melalui berbagai pemberitaan di media massa. Bela negara yang tinggi dari warga negaranya men-dorong Amerika Serikat untuk mudah mewujudkan diri sebagai ne-gara super power, negara adi daya dan polisi dunia yang ditakuti oleh semua negara di dunia.

Oleh karena itu, pendidikan bela negara ke depan harus ma-suk dalam kurikulum pendidikan nasional baik di tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan bela negara mutlak diajarkan pada semua level pendidikan di Indonesia yang disupervisi oleh Ke-menterian Pendidikan Nasional dan berbagai lembaga atau instansi terkait lainnya. Sedangkan pelatihan bela negara harus terus ditingkat-

Krisis Bela Negara 39

kan di semua level ormas, LSM dan berbagai organisasi sosial politik lainnya. Pelatihan bela negara harus masuk dalam setiap program dan kegiatan yang ada di lingkungan pemerintahan, lingkungan perusa-haan, lingkungan kemsyarakatan dan berbagai instansi, organisasi, lembaga dan institusi negeri maupun swasta.

Pelatihan bela negara harus masuk dalam setiap elemen masyara-kat sehingga akan dipahami dan diamalkan oleh setiap masyarakat. Pelatihan bela negara yang ada di ormas, LSM dan berbagai organi sasi sosial kemasyarakatan lainnya harus digalakkan dan di supervisi oleh Kesbangpol Pemda Propinsi dan Kabupaten/kota di setiap daerah agar berjalan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Di dalam pe-rusahaan, pelatihan bela negara harus disupervisi oleh Kementerian BUMN yang membawahi setiap perusahaan di Indonesia sehingga akan dapat terjamin efektifitasnya. Pelatihan bela negara di berbagai partai politik harus dilakukan secara rutin kepada para pengurus, ka-der, dan simpatisan sehingga akan dapat terwujud rasa nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air yang tinggi terhadap NKRI.

B. BELA NEGARA DI KALANGAN GENERASI MUDA

Kalangan pemuda generasi penerus bangsa sangat penting dalam meneruskan cita-cita perjuangan bangsa sehingga mutlak harus di-jaga pemikirannya, pandangannya, dan pengetahuannya, agar supaya dilandasari oleh semangat perjuangan bangsa dan rasa nasionalisme yang tinggi terhadap keutuhan NKRI. Para pemuda generasi penerus bangsa merupakan aset strategis dan aset vital bagi bangsa Indonesia untuk terus dididik, dilatih, ditempa dan dimatangkan pola pikir, pola tindak dan kematangan berpikirnya sehingga diharapkan ke depan mampu mengawaki bangsa Indonesia di tengah arus globalisasi dan persaingan global dewasa ini.

Kunci sukses dalam bersaing di tengah arus globalisasi dan membawa nama Indonesia di tengah percaturan global adalah lan-

40 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

dasan semangat bela negara yang tinggi bagi generasi muda penerus bangsa. Anak muda Indonesia harus memiliki daya tangkal dan daya saing tinggi dalam mengarungi arus globalisasi yang telah melanda Indonesia. Semangat bela negara harus tumbuh dan menguat ditengah terpaan angin globalisasi. Nilai-nilai bela negara harus terbalut dan ter-patri dalam hati sanubari bangsa Indonesia, khususnya para pemuda generasi penerus bangsa.

Pemuda sangat besar perannya dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Bentangan sejarah perjuangan Indonesia mulai tonggak-tonggak nasionalisme yang tercermin dari peristiwa 20 Mei 1908 yang didalamnya terdapat semangat Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, proklamasi kemerdekaan Bangsa Indone-sia tanggal 17 Agustus 1945, semangat gerakan 1966, sampai dengan gerakan arus reformasi 1998, merupakan suatu peristiwa besar dalam sejarah bangsa Indonesia yang sangat ditentukan oleh para pemuda, khususnya para mahasiswa bersama rakyat Indonesia. Peran pemuda sangat besar dalam upaya pembelaan negara. Pentingnya pemuda ini dalam konteks negara sampai ada adagium terkenal, yakni: “siapa yang menguasai pemuda, maka ia akan menguasai masa depan suatu bangsa”. Ditambah lagi dengan pernyataan daari tokoh proklamator Indonesia, Bung Karno, yang menyatakan tentang hebatnya peran pemuda, yakni: “beri padaku sepuluh orang pemuda, maka akan ku-goncangkan dunia”. Pernyataan ini tentu harus dicermati para pemuda Indonesia tentang pentingnya peran pemuda dalam perjalanan masa depan bangsa, khususnya dalam upaya pembelaan negara.

Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa para pemuda ge-nerasi penerus bangsa telah banyak diracuni oleh nilai-nilai global barat, seperti kapitalisme, liberalisme, individualisme, dam material-isme yang sangat bertentangan dengan ideologi Pancasila. Pola pikir, pola tindak dan pola perilaku generasi muda telah terkooptasi oleh nilai-nilai dari luar sehingga semangat bela negara sangat terancam. Generasi muda Indonesia sudah banyak terjebak oleh berbagai akti-

Krisis Bela Negara 41

fitas dan kegiatan yang mengarah pada kegiatan destruktif seperti ke-nakalan remaja, pengaruh narkoba, tawuran antar kampung, dan aksi kriminalitas lainnya.

Para generasi muda seperti enggan untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan bela negara. Sebagian besar pemuda sudah larut dalam budaya pasar dan pop culture yang berkiblat ke Barat sehingga sulit untuk membuat program dan kegiatan yang meng-arah pada terwujudnya bela negara. Kegiatan-kegiatan kepemudaaan, se perti pramuka, karang taruna, dan keorganisasian pemuda sudah kurang diminati oleh para pemuda penerus bangsa. Para pemuda le-bih suka nongkrong di mall, hang out di cafe, hura-hura dan foya-foya di berbagai tempat hiburan malam sehingga sangat membahayakan semangat bela negara.

Ruh dan jati diri pemuda yang seharusnya selalu mengalir dalam darah para pemuda sudah mulai terkikis oleh berbagai nilai, budaya dan ideologi asing yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Para pemuda lebih banyak terjebak pada kegiatan pragma-tis jangka pendek dan terkooptasi oleh kepentingan politik elit yang menawarkan berbagai limpahan materi yang menggiurkan dan melu-pakan semangat bela negara. Kalangan pemuda sebagai agen perubah-an kadangkala sudah terjebak pada kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan organisasi, dan lambat laun meninggalkan ke-pentingan bangsa, kepentingan masyarakat, dan kepentingan negara. Semangat membela negara mulai goyah dan bergeser mengarah pada pembelaan terhadap pribadi, kelompok, golongan, dan kepentingan lain yang bersifat sempit dan jangka pendek.

Para pemuda generasi penerus bangsa yang terlibat dan berke-cimpung dalam berbagai organisasi kepemudaan seringkali sudah larut dalam kepentingan politik dan menjadikan organisasi yang di-awakinya sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan tertentu, misal-nya kendaraan menjadi anggota DPR dan DPRD serta kendaraan men-jadi pejabat politik. Organisasi kepemudaan yang seharusnya netral

42 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

dari kepentingan politik dan bersifat mandiri serta independen dalam berkarya justru malah menjadi “underbow” dari partai politik tertentu sehingga program dan kegiatan yang dijalankannya terjebak pada ke-pentingan partai politik dan jauh dari kepentingan membela negara.

Para pemuda generasi bangsa tidak memiliki wawasan kebang-saan dan jiwa nasionalisme dalam mementingkan kepentingan bangsa dan negara. Hal ini terjadi karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap para pemuda untuk dididik dan dilatih bela negara yang benar. Bela negara kurang disosialisasikan oleh pemerintah kepada para pemuda sehingga yang terjadi adalah para pemuda lebih memilih bela diri, bela kelompok, bela saudara, dan bela organisasinya, tanpa memperhatikan dan memprioritaskan kepada bela negara. Pemuda sebagai tulang punggung negara mulai rapuh dan kurang konsisten sehingga hal ini sangat membahayakan kelangsungan bangsa dan negara, karena harapan dan cita-cita bangsa banyak sekali bergantung pada para pemuda generasi penerus bangsa.

Kalangan pemuda sekarang ini telah tergelincir pada sikap pragmatis, hedonis, materialistis, dan apatis sehingga jauh dari karak-ter pemuda yang seharusnya yang digambarkan bahwa pemuda itu berkarakter, progresif, idealis, revolusioner, radikal, dan inovatif. Masa depan bangsa Indonesia sangat bergantung pada generasi muda penerus bangsa. Negara menaruh harapan yang besar terhadap pemu-da untuk memimpin bangsa di masa depan. Para pemuda tidak boleh terjebak pada kepentingan jangka pendek, kepentingan sempit, dan larut dalam politik praktis sehingga menghilangkan independensi dan jati diri pemuda itu sendiri.

Pengaruh globalisasi, kapitalisme, liberalisme dan berbagai ni-lai-nilai budaya global barat telah mempengaruhi pemuda pada pu-saran hedonisme dan materialisme. Para pemuda mengalami rapuh dalam sikap, pendirian, etos kerja, dan semangat juang. Para pemuda tidak lagi mampu secara cepat membaca perubahan dan ancaman ter-hadap negara. Para pemuda kurang waspada dan cenderung lengah

Krisis Bela Negara 43

dalam merespon ancaman terhadap keutuhan NKRI. Budaya global barat langsung dijadikan sebagai gaya hidup, pola hidup dan paradig-ma berpikir tanpa ada filterisasi yang matang sehingga membahaya-kan “mindset” berpikir kaum muda. Kaum muda justru banyak yang mendambakan hal-hal yang berbau barat, kurang bangsa terhadap produk dalam negeri, dan cenderung merasa inferior apabila berha-dapan dengan sesuatu yang berasal dari luar, khususnya Barat. Hal inilah yang tentunya mengkahawatirkan semua pihak tentang bahaya budaya global Barat terhadap eksistensi pemuda, jati diri pemuda, dan ideologi pemuda Indonesia yang berbasis pada Pancasila.

Di era modern sekarang ini, posisi pemuda mengalami dilema, disatu sisi mereka dituntut untuk memiliki semangat bela negara yang tinggi terhadap NKRI, namun disisi lain diwajibkan oleh kondisi untuk mencari pekerjaan yang layak selepas SMA atau lulus dari perguruan tinggi. Di era kompetisi global saat ini, para pemuda sulit untuk di-minta membela negara, memprioritaskan kepentingan negara di saat mereka sendiri belum “aman” secara ekonomi. Dalam kondisi ma-syarakat, khususnya pemuda Indonesia yang sulit mencari pekerjaan, banyaknya pengangguran dari para generasi muda, dan sulitnya akses terhadap sektor pekerjaan, maka para pemuda lebih mementingkan kepentingan pribadi terlebih dahulu dibandingkan dengan kepenting-an negara.

Masih banyak angka pengangguran yang terjadi pada kalangan pemuda mendorong para pemuda untuk mengejar pekerjaan, men-cari pekerjaan, dan berupaya untuk melakukan berbagai hal asal-kan mendapatkan pekerjaan yang layak. Sebagian mungkin berhasil mendapatkan pekerjaan yang layak, namun sebagian pemuda yang lain tidak mendapatkan pekerjaan, sehingga mereka menjadi pe-ngangguran ditengah himpitan ekonomi yang sangat ketat. Apa yang terjadi pada para pemuda yang menganggur? Mereka mengalami keputusasaan karena untuk mandiri berwirausaha maka mereka ter-kendala oleh modal yang tidak ada, keahlian untuk berwirausaha yang

44 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

kurang mumpuni, dan perhatian pemerintah yang relatif kurang. Hal inilah yang membuat para pemuda generasi bangsa mulai sedikit demi sedikit mengalami frustasi, stres, dan akhirnya putus asa yang pada akhirnya akan menilai negatif terhadap “pemerintah” karena diang-gap tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Bagaimana kita mau mewajibkan para pemuda untuk membela negara dalam kondisi pemuda yang menganggur seperti ini?.

Semua pihak harus proporsional dalam melihat kalangan pemu-da karena banyak para pemuda Indonesia saat ini tengah berupaya ke luar negeri menjadi TKI untuk mencari pekerjaan di negeri orang. Ada yang berangkat dengan dokumen keimigrasian yang sah dan ti-dak sedikit pula para pemuda yang berangkat tanpa dilengkapi dengan dokumen keimigrasian yang sah alias ilegal. Mereka mengadu nasib di negeri orang untuk mencari pekerjaan demi masa depan mereka. Mereka mengorbankan segalanya untuk merengkuh kehidupan yang lebih baik di tengah pemerintah Indonesia yang tidak bisa mencip-takan lapangan pekerjaan bagi semua pemuda Indonesia. Beginilah potret pemuda Indonesia yang kita “gadang-gadang” akan menjadi pe-mimpin penerus bangsa. Sebuah ironi di negeri yang kaya raya akan sumber daya alam.

C. ELIT POLITIK DAN BELA NEGARA

Berbicara tentang elit politik dan bela negara memang sebuah pembi-caraan yang menarik. Para elit politik yang seharusnya memiliki wa-wasan yang luas, pengetahuan yang mendalam, dan pengalaman yang hebat dibidang politik, pemerintahan, dan kebangsaan, sudah saatnya dikedepankan dalam menghadapi krisis bela negara. Para elit politik inilah yang sudah saatnya menjadi garda terdepan dalam mening-katkan bela negara di tengah kehidupan masyarakat. Ditangan para elit politik inilah kemajuan bangsa Indonesia dipertaruhkan. Mereka yang menjadi elit politik merupakan supra struktur politik yang mem-produksi kebijakan dan aturan perundang-undangan sehingga merah

Krisis Bela Negara 45

birunya negeri ini saat ini sangat ditentukan oleh elit politik yang ada di lingkungan eksekutif dan legislatif baik di pusat maupun di daerah.

Dalam perspektif teori elit, dinyatakan secara jelas bahwa elit adalah segelintir atau minoritas orang yang menguasai mayoritas ma-syarakat. Elit adalah sekelompok orang yang terdidik, terlatih, dan terampil dari aspek ilmu pengetahuan, teknologi, relasi, dan jaringan pendanaan sehingga mampu mempengaruhi massa dalam jumlah yang besar. Elit memiliki “power’ yang dapat menggerakan orang ke-manapun dia mau. Elit politik sangat strategis pengaruh, kewenangan, dan legitimasinya di tengah masyarakat, sehingga sangat baik untuk di-gerakkan dalam meningkatkan semangat bela negara. Sumber-sumber daya yang dimiliki oleh para elit politik sudah saatnya diberdayakan untuk menumbuhkan semangat bela negara, cinta tanah air, wawasan kebangsaan dan patriotisme di tengah masyarakat.

Posisi elit politik sebenarnya sangat berpengaruh dalam me-numbuhkan semangat kebangsaan, rasa nasionalisme, dan cinta tanah air. Namun, bagaimana kiprah elit politik saat ini? Dalam menjawab pertanyaan ini maka tidak bisa langsung dijawab secara cepat. Perlu kehati-hatian karena memang ada sebagian elit politik yang memang memikirkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan prib-adi, kelompok dan partainya. Namun tidak sedikit para elit politik di era reformasi saat ini yang justru lebih mementingkan kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, kepentingan golongan, dan kepenting-an partainya di atas kepentingan bangsa dan negara.

Tanpa mengurangi kredibilitas dan integritas para elit politik yang saat ini duduk di pemerintahan dan di DPR, lazim diketahui para sebagian besar elit politik kita justru bergelimang dengan harta tanpa memikirkan kepentingan rakyat. Para elit politik hanya menjual janji tanpa memberikan bukti. Berjanji untuk tidak korupsi namun dalam kenyataannya jelas-jelas melakukan korupsi milyaran dan bahkan trili-unan rupiah. Negara benar-benar ditipu oleh para elit politik. Negara dibohongi oleh para penguasa. Negara dikhianati oleh para pemilik

46 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

kekuasaan di negeri ini. Para elit politik justru memandang jabatan bu-kan sebagai amanah, melainkan sebagai kesempatan untuk mengeruk harta, mengejar kepentingan pribadi dan menguasai segala sumber daya pemerintahan. Para elit politik tidak sadar bahwa uang hasil ko-rupsi adalah uang rakyat yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat melalui berbagai fasilitas dan pemberian bantuan kepada masyarakat miskin.

Dalam catatan pemberantasan korupsi, sudah tidak terhitung para elit politik melakukan korupsi. Mereka terbukti di pengadilan melakukan praktek korupsi bersama “konco-konconya”. Para elit poli-tik di lingkungan pemerintahan, mulai dari camat, bupati, walikota, gubernur, sampai dengan menteri melakukan tindak pidana korupsi. Belum lagi elit politik yang ada di lingkungan parlemen, seperti ang-gota DPRD tingkat propinsi dan kabupaten/kota serta anggota DPR RI yang sudah jelas-jelas melakukan praktek korupsi sehingga menim-bulkan antipati masyarakat terhadap para elit politik. Para elit politik yang seharusnya menjadi panutan, suritauladan, dan role model bagi semua komponen masyarakat justru melakukan tindakan melanggar etika dan melanggar hukum.

Perilaku korupsi para elit politik tentu saja telah mengkhianati negara. Negara telah dibohongi dan ditipu oleh para elit politik. Elit politik menggunakan “jargon” untuk kepentingan rakyat dan negara dalam setiap tindakan dan perilakunya, namun dalam kenyataannya jauh dari kepentingan negara dan rakyat. Perilaku korupsi telah meno-dai semangat bela negara yang didengung-dengungkan oleh para bapak pendiri bangsa ini. Sudah saatnya para elit politik menyadari kesalahan yang dilakukan selama ini dan melakukan semacam “taubat nasuha” agar jangan sampai terulang kembali perilaku melanggar hu-kum, seperti melakukan tindak pidana korupsi. Hendaknya para elit politik malu terhadap rakyat yang berada dalam kondisi kemiskinan namun tetap peduli dengan negara dan mementingkan kepentingan negara apabila negara membutuhkan rakyat untuk membela.

Krisis Bela Negara 47

Dalam budaya masyarakat Indonesia yang ketimuran dan me-megang teguh etika moral, sangat tidak pantas apabila para elit poli-tik menampilkan perilaku yang tidak bermoral dengan melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara dan rakyat. Para elit politik tidak mampu mengembangkan budaya malu (quilt culture) dan budaya salah (shame culture). Budaya malu dan budaya salah su-dah saatnya ditumbuhkan, dikembangkan, dan digelorakan kedalam kehidupan riel sehari-hari di tengah masyarakat sehingga akan men-jadi ruh dalam etika bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Para elit politik harus malu kepada rakyat Indonesia yang meskipun dalam kondisi kekurang an, melarat dan kekurangan, namun ketika harkat, martabat, dan kedaulatan Indonesia dihina oleh bangsa lain, maka seluruh rakyat kompak dan marah serta siap untuk membela negara dari berbagai ancaman musuh. Elit politik yang memiliki pengalaman, pengetahuan, dan sumber daya malah “kabur” tidak membela negara dan justru ketakutan asetnya hilang sehingga lebih memilih membela asetnya dibandingkan membela negaranya. Sebuah ironi yang sulit dibayangkan terjadi di negeri kita tercinta.

Para elit politik pandai beretorika, pandai bermanis muka, pan-dai berpidato, dan pandai membuat pencitraan di depan rakyat. Me-lalui media massa, baik media cetak dan media elektronik, mereka melakukan pencitraan dengan jargon-jargon kepentingan rakyat, ke-pentingan bangsa, dan kepentingan negara. Mereka mengklaim mem-bela negara, membela bangsa, dan membela rakyat. Mereka mengaku cinta tanah air, memiliki semangat nasionalisme, dan terpatri ruh pa-triotisme. Namun, dalam kenyataannya, mereka dalam berpikir, ber-tindak, berbuat dan berperilaku sangat jauh dari apa yang diharapkan. Mereka justru merampok uang negara, mementingkan kepentingan pribadi, dan melakukan pengkhianatan terhadap negara.

Negara yang dalam perkembangannya harus diperkuat, dikukuh-kan, dan ditumbuhkembangkan menjadi organisasi yang kokoh justru dirusak, dinodai, dan dikhianati oleh segelintir elit politik. Negara

48 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

yang seharusnya dibela mati-matian oleh para elit politik justru diting-galkan ketika negara membutuhkan pembelaan di tengah ancaman asing dalam arus globalisasi, pasar bebas dan perdagangan bebas. Negara merasa sendiri tanpa ada yang menemani, negara merasa ter-asing karena elit politik pada “ngacir” entah kemana di saat negara membutuhkan bantuan dan pembelaan. Semangat bela negara tidak terpatri dalam diri sanubari para elit politik.

Elit politik yang seharusnya memproduksi regulasi bela nega-ra justru lari tidak membela negara. Rakyat dituntut oleh elit politik untuk membela negara, namun pada kenyataannya, elit politik yang tidak memiliki rasa bela negara. Rakyat dijadikan sebagai martir un-tuk membela negara ketika ancaman musuh akan datang. Rakyat akan dikorbankan jikalau musuh menyerang kedaulatan negara. Rakyat ke-cil yang tidak tahu apa-apa dipermainkan, diperalat, dan dikorbankan untuk kepentingan elit politik yang pada gilirannya elit politik yang akan meraup keuntungan dari pengorbanan rakyat dalam membela negara.

D. EMPAT PILAR KEBANGSAAN DAN BELA NEGARA

Di tengah arus reformasi sekarang ini, ada salah satu prakarsa yang patut diapresiasi oleh semua pihak tentang gagasan MPR RI bersama lembaga-lembaga negara lainnya untuk mensosialisasikan “empat pi-lar kebangsaan” kepada semua komponen bangsa Indonesia. Empat pilar kebangsaan tersebut adalah: Pancasila, UUD RI 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Keempat pilar kebangsaan tersebut merupakan “harga mati” yang tidak bisa diganti kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun. Empat pilar kebangsaan ini merupakan konsensus nasional yang merupakan produk yang telah dibuat, diperjuangkan, dan dipatrikan oleh para founding fathers Indonesia sehingga harus diketahui, dipahami, dijiwai, diamalkan, dan diperjuangkan sampai kapanpun juga.

Krisis Bela Negara 49

Empat pilar kebangsaan merupakan ruh bangsa Indonesia yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Empat pilar kebangsaan merupakan soko guru kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan ber-negara yang harus terus dipupuk, ditumbuhkembangkan dan diper-tahankan dalam kondisi apapun. Empat pilar kebangsaan merupa kan jati diri bangsa Indonesia di tengah konstelasi global yang tidak di-miliki oleh negara lain selain Indonesia. Empat pilar kebangsaan meru-pakan identitas, kebanggaan dan kehormatan bangsa Indonesia yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Empat pilar ke-bangsaan harus disosialisasikan dan dinternalisasikan ke semua ge-nerasi bangsa Indonesia sehingga dapat diterapkan dalam sendi-sendi dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Empat pilar kebangsaan sangat terkait dengan bela negara. Em-pat pilar kebangsaan merupakan salah satu sarana yang dapat menum-buhkembangkan semangat bela negara. Bela negara membutuhkan empat pilar kebangsaan sebagai bangunan yang kokoh sehingga akan menjadi pegangan bagi semua pihak dalam menjalankan bela negara. Materi-materi bela negara yang diajarkan dan dilatihkan kepada semua komponen bangsa harus memuat isi, esensi dan substansi empat pilar kebangsaan. Empat pilar kebangsaan harus dijadikan sebagai materi inti dalam penyelenggaraan pendidikan bela negara dan pelatihan bela negara. Materi bela negara harus mengungkapkan tentang garis-garis besar empat pilar kebangsaan yang harus dipahami oleh semua peserta pendidikan bela negara di seluruh Indonesia.

Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa empat pilar kebangsaan masih belum dapat tersosialisasikan secara luas kepada seluruh kom-ponen bangsa. Empat pilar kebangsaan yang sangat penting bagi ke-hidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat masih mengalami hambatan dalam sosialisasi di tengah masyarakat. Selama ini memang lembaga MPR dan DPR berupaya untuk mensosialisasikan empat pi-lar kebangsaan ke semua komponen bangsa. Namun, kendala alo-kasi anggaran sosialisasi menjadi hambatan. Kendala anggaran untuk

50 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

mensosialisasikan empat pilar kebangsaan kepada semua komponen bangsa sangat minim dan terbatas.

Alokasi anggaran yang minim setiap tahunnya untuk sosialisasi empat pilar kebangsaan menjadi salah satu kendala sehingga beraki-bat pada tidak terjangkaunya sosialisasi kepada semua komponen masyarakat, khususnya masyarakat yang ada di wilayah perbatasan, pulau kecil terluar, masyarakat pedesaan, dan pedalaman. Masih ada masyarakat di wilayah perbatasan, pulau terluar, terpencil dan pedalam an yang belum tersentuh oleh sosialisasi empat pilar kebang-saan sehingga mereka tidak mengetahui tentang empat pilar kebang-saan. Hal ini tentu harus menjadi perhatian semua pihak mengingat wilayah Indonesia yang dari sabang sampai merauke sangat luas se-hingga semua masyarakat dimanapun adanya harus diberi sentuhan empat pilar kebangsaan.

Peranan dari pemerintah daerah, baik pemerintah Propinsi, Ka-bupaten dan Kota sangat penting pula dalam membantu pemerintah dan MPR dalam mensosialisasikan empat pilar kebangsaan ke semua elemen masyarakat. Pemerintah daerah, yang didalamnya terdapat Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) atau sejenisnya harus memprogramkan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan empat pilar kebangsaan. Tanpa bantuan pemerintah daaerah, maka sosialisasi empat pilar kebangsaan yang dicanangkan oleh pemerintah akan sia-sia dan menemui banyak kendala. Harus disadari oleh semua pihak bahwa sosialisasi empat pilar kebangsaan merupakan tanggung-jawab semua pihak, tidak hanya pemerintah pusat semata, melain-kan harus didukung oleh pemerintah daerah melalui Kesbangpol nya masing-masing.

Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa sebagian kecil pemerintah daerah masih ada menganggap bahwa sosialisasi empat pilar kebangsaan merupakan program pemerintah pusat dan tidak terkait langsung dengan pemerintah daerah. Ini yang salah dan perlu diluruskan bahwa sosialisasi empat pilar kebangsaan merupakan tu-

Krisis Bela Negara 51

gas dan tanggungjawab semua elemen bangsa sehingga membutuh-kan sinergitas dari seluruh komponen bangsa. Pemerintah daerah di era otonomi daerah dan desentralisasi sangat penting peranannya se-hingga bantuan, dukungan dan partisipasi pemerintah daerah dalam mensukseskan sosialisasi empat pilar kebangsaan sangat menentukan.

Apabila kita ke berbagai daerah di seluruh Indonesia, masih sa-ngat minim kegiatan sosialisasi empat pilar kebangsaan di tengah ma-syarakat akar rumput. Jarang sekali baliho, spanduk atau baner yang dipasang di berbagai pelosok kota yang menyuarakan tentang empat pilar kebangsaan. Yang muncul justru baliho, spanduk, dan baner para penguasa daerah, para pimpinan daerah, dan para elit politik lainnya. Banyak elit politik di daerah yang justru disibukan oleh sosialisasi pribadi guna dikenal atau populer di mata masyarakat sehingga dapat terpilih kembali menjadi gubernur, bupati, walikota ataupun anggota legislatif lainnya. Mereka justru lebih memprioritaskan untuk menso-sialisasikan diri sendiri, memasarkan sosok pribadinya, dan memamer-kan kegagahannya di depan masyarakat melalui spanduk, baliho, dan baner yang terpasang di sepanjang jalan. Kepentingan sosialisasi em-pat pilar kebangsaan yang merupakan prioritas kepentingan negara justru dikalahkan dengan kepentingan pribadi, kepentingan partai dan kepentingan kelompoknya masing-masing. Inilah yang melahirkan kri-sis bela negara di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, plural dan komplek ini.

Para pemangku kepentingan di daerah tidak menyadari bahwa empat pilar kebangsaan merupakan obat mujarab dalam menghadapi berbagai potensi konflik yang ada di tengah masyarakat. Empat pi-lar kebangsaan masih belum menjadi prioritas bagi daerah karena mereka menganggap bahwa sosialisasi empat pilar kebangsaan tidak berhubungan langsung dengan pendapat daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pandangan keliru para pemangku kepentingan di daerah ini terjadi karena dalam bayangan mereka bahwa keberhasilan pem-bangunan daerah sangat ditentukan oleh pendapatan daerah dan me-

52 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

ningkatnya kesejahteraan masyarakat. Mereka tidak menyadari bahwa pembangunan daerah yang dibangun tidak akan berhasil tanpa ada-nya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai pembangunan yang tercermin dalam empat pilar kebangsaan. Pembangunan daerah dapat terhambat oleh berbagai konflik, ketegangan dan kekerasan di te ngah masyarakat yang semuanya itu tidak akan terjadi apabila terdapat pemahaman yang sama dari tengah masyarakat terhadap empat pilar kebangsaan.

Sudah saatnya pemerintah daaerah memberdayakan Kesbang-pol di masing-masing daerahnya untuk membuat program dan ke-giatan yang mengarah pada sosialisasi empat pilar kebangsaan dan bela negara. Tanpa adanya program dan kegiatan yang bernuansa empat pilar kebangsaan dan kegiatan bela negara, maka niscaya ma-syarakat akan apatis, cuek, dan acuh tak acuh dengan empat pilar ke-bangsaan. Kesadaran masyarakat akan empat pilar kebangsaan sebagai sarana menumbuhkan rasa bela negara harus segera dilakukan meng-ingat bangsa Indonesia sekarang ini berada di tengah pusaran global-isasi sehingga membutuhkan “filter” berupa empat pilar kebangsaan yang dapat menghadang gempuran nilai-nilai budaya global barat. Kita semua tentunya tidak menginginkan berbagai budaya warisan nenek moyang yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia hancur dan hilang ditelah bumi karena digempur oleh budaya-budaya global barat. Sudah tugas dari kita semua, khususnya pemerintah daerah un-tuk membentengi budaya lokal dan budaya daerah melalui sosialisasi empat pilar kebangsaan.

Pemerintah daerah harus mendesain Kesbangpol menjadi agen utama dan ujung tombak di daerah dalam mensosialisasikan empat pilar kebangsaan. Kesbangpol memerankan fungsi strategis di dae-rah mengingat ormas, LSM, organisasi kepemudaan, dan berbagai tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, dan tokoh adat be-rada dalam jalur pembinaan Kesbangpol di daerah. Kalangan ormas, LSM, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat dapat dijadikan

Krisis Bela Negara 53

sebagai penjuru dalam mensosialisasikan empat pilar kebangsaan di tengah masyarakat. Peran mereka sangat sentral dalam kegiatan so-sialisasi empat pilar kebangsaan sehingga dari mereka lah kemudian mengalir sosialisasi di tengah akar rumput.

Pemerintah pusat harus mendorong pemerintah daerah untuk terus tanpa henti mensosialisasikan empat pilar kebangsaan. Peme-rintah pusat harus memberi perhatian lebih terhadap daerah-daerah yang dinilai memiliki potensi kerawanan tinggi. Pemerintah pusat ha-rus membuat pemetaan terhadap daerah yang rawan konflik, daerah rawan teroris, daerah rawan separatis, dan daerah rawan lainnya se-hingga “treatment” nya antar daerah berbeda-beda karena karakteristik masyarakat di berbagai daerah berbeda-beda.

Daerah-daerah yang rawan konflik seperti Papua, Aceh, Poso, Ambon dan sekitarnya harus mendapatkan sosialisasi empat pilar kebangsaan yang intensif di tengah masyarakat. Wilayah ini harus mendapat perhatian lebih karena sering terjadi konflik, mudah disulut konflik, dan mudah diprovokasi sehingga timbul kekerasan kolektif. Oleh karena itu, sosialisasi empat pilar kebangsaan sangat penting dijadikan sebagai benteng dalam mencegah konflik, kekerasan dan kerusuhan yang berpotensi timbul di beberapa daerah ini. Pengalam-an menunjukkan bahwa terjadinya kekerasan dan kerusuhan massal sebenarnya akibat ulah dari para oknum tertentu yang memancing emosi dan memprovokasi massa untuk kepentingan politik tertentu. Masyarakat harus disadarkan dengan bela negara yang tinggi untuk tidak mudah dipengaruhi untuk kepentingan pribadi dan kelompok serta senantiasa mementingkan kepentingan negara.

Akar persoalan bela negara yang lemah di masyarakat bawah memang sudah terang benderang, yakni kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Masyarakat di berbagai daerah merasa bahwa me-reka miskin, pengangguran dan merasa mendapatkan ketidakadilan dalam hidup sehari-hari dimana jurang antara si kaya dan miskin sa-ngat terasa, khususnya di era otonomi daerah yang menimbulkan raja-

54 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

raja kecil. Mereka kecewa dengan kebijakan pemerintah daerah yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat akar rumput sehingga mu-dah sekali bagi kelompok tertentu untuk melakukan provokasi, infil-trasi dan adu domba di tengah masyarakat. Mereka sulit sekali diminta untuk menjiwai empat pilar kebangsaan dan membela negara dite-ngah kesulitan ekonomi yang mendera mereka sehari-hari. Jangankan membela negara, membela diri saja untuk bertahan hidup kesulitan. Mereka lebih memilih mementingkan membela peut mereka dari an-caman kelaparan dibandingkan membela negara dari ancaman musuh dari luar. Ini adalah fakta riel yang terjadi di tengah masyarakat yang sedang bergulat dan berjuang mendapatkan kemapanan ekonomi demi sesuap nasi, sehingga bela negara merupakan barang yang ma-hal bagi mereka sehingga cenderung dikesampingkan dalam kondisi perut kosong. Dalam pemikiran rakyat kecil: “Jangan Berbicara Bela Negara Dalam Perut Kosong”.

Oleh karena itu, sudah menjadi tugas dan tanggungjawab semua pihak untuk mensejahterakan masyarakat. Sulit sekali bangsa Indone-sia menguat rasa dan semangat bela negara nya di tengah kesulitan ekonomi masyarakatnya. Masyarakat akan enggan diminta membela negara di tengah kemiskinan, pengangguran dan kesusahan ekono-mi. Mereka akan lebih mementingkan kepentingan pribadi, seperti kepentingan perut mereka dibandingkan kepentingan negara. Kepen-tingan negara akan dijadikan sebagai kepentingan kesekian kali dan bahkan tidak dipentingkan sama sekali di tengah himpitan ekonomi masyarakat yang nestapa. Empat pilar kebangsaan merupakan elemen penting dalam bela negara. Bela negara yang kokoh hanya akan terjadi di negara yang sejahtera dimana masyarakatnya tidak lagi memikirkan urusan perut masing-masing sehingga dapat diminta berkonsentrasi memikirkan kepentingan negara.

-oo0oo-

A. PENDAHULUAN

Semangat kebangsaan Indonesia mulai mengkristal dan mencapai tahapan yang baru sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sejak saat itu,

para pemuda Indonesia bersepakat untuk berikrar tentang satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia. Gugusan kepulauan Indone-sia yang terdiri dari ratusan etnis dan suku dinyatakan menjadi sebuah bangsa yang disebut bangsa Indonesia. Meskipun demikian, gagasan awal yang mendorong munculnya Sumpah Pemuda ini dapat ditelu-suri sejak lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908.1

Komitmen nasional dalam kerangka Sumpah Pemuda kemudian menjadi dasar yang sangat kuat bagi bangsa Indonesia untuk mem-proklamirkan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Barat pada tanggal 17 Agustus 1945 yang terepresentasikan oleh Soekarno dan Hatta. Sejak saat itulah, bangsa Indonesia berdiri kokoh sebagai se-buah negara bangsa atau nation state yang berdaulat dan tidak diinter-vensi oleh pihak asing manapun.

Konsepsi kebangsaan “Bhineka Tunggal Ika” yang merupakan salah satu senyawa dari ideologi bangsa Indonesia, yakni Pancasila,

MENEROPONG BELA NEGARA DI INDONESIA

B A B 4

56 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

merupakan sebuah cerminan betapa Indonesia menghargai dan meng-hormati perbedaan, keragaman, dan kemajemukan dalam kerangka persatuan dan kesatuan Indonesia. Para “founding father” bangsa Indo-nesia sangat menyadari bahwa bangsa Indonesia ini terbentuk karena didasarkan pada persamaan nasib, persamaan sejarah, dan persamaan perjuangan.2 Artinya, nasib, sejarah, dan perjuangan bangsa Indone-sia dari Sabang sampai Merauke inilah yang mendorong terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, bukan persamaan etnis, suku, agama, dan golongan yang melahirkan Indonesia.

Dalam konteks inilah, kesadaran bela negara dan semangat ke-bangsaan yang menghargai perbedaan, kemajemukan, pluralisme dan keanekaragaman harus dijunjung tinggi dan ditanamkan secara simul-tan kepada anak cucu generasi penerus bangsa Indonesia agar supaya mereka menyadari hakekat bangsa Indonesia yang luas dan bervariasi ini.3 Nasionalisme, patriotisme dan cinta tanah air harus terus dikobar-kan dalam hati sanubari setiap warga negara Indonesia sebagai modal dasar dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI.

Hal ini sangat penting mengingat saat ini ada kecenderungan di kalangan generasi penerus bangsa Indonesia mulai menipis ke-sadaran bela negara dan semangat kebangsaan dan bahkan tidak tahu makna dan hakekat dari “perbedaan dalam kesatuan” yang dilahirkan oleh bapak pendiri bangsa Indonesia ini. Maraknya konflik politik, kekerasan kolektif dan kerusuhan massal yang terjadi di Indonesia pada penghujung abad 20 ini telah mengindikasikan mulai menguat-nya gejala disintegrasi bangsa yang bermuara pada gerakan-gerakan separatisme, terorisme, radikalisme, dan anarkisme secara sporadis di beberapa daerah di Indonesia.

Realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini menunjuk-kan bahwa yang terjadi bukan “wawasan kebangsaan” di kalangan sebagian besar masyarakat Indonesia, melainkan “wawasan kegloba-lan” dan “wawasan kedaerahan”. Akibatnya, yang terjadi adalah krisis

Meneropong Bela Negara di Indonesia 57

ekonomi, krisis politik dan krisis kepercayaan yang kemudian meng-ancam keutuhan bangsa. Pemahaman wawasan kebangsaan belum diimplementasikan dalam kehidupan nyata masyarakat Indonesia, se-hingga belum menghasilkan kekuatan untuk membangun keutuhan bangsa.4

Di era reformasi saat ini, kesadaran bela negara masyarakat In-donesia sedang diuji. Maraknya konflik vertikal dan horizontal yang berdimensi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang terjadi di ber-bagai daerah menunjukkan bahwa kepentingan individu, kepentingan kelompok dan kepentingan partai lebih ditonjolkan daripada kepen-tingan bangsa dan negara. Nilai-nilai Pancasila yang mengutamakan gotong royong, musyawarah mufakat, dan tenggang rasa, cenderung diabaikan dalam kehidupan sehari-hari baik oleh para elit maupun di kalangan masyarakat5. Pancasila dipandang oleh sebagian masyarakat Indonesia sebagai ornamen dan slogan dalam setiap pidato dan ke-giatan formalistik lainnya dan kurang diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Arus globalisasi yang melanda seluruh bangsa Indonesia juga telah melunturkan semangat bela negara yang ada di tengah masyara-kat Indonesia. Pada bidang ideologi, globalisasi telah memunculkan ideologi liberalisme-kapitalisme yang dianut oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Pada bidang politik, globalisasi mendorong munculnya isu demokrasi dan HAM yang menjadi isu global. Pada bidang ekonomi, globalisasi melahirkan pasar bebas dan perdagangan bebas yang mengintegrasikan dunia. Pada bidang sosial budaya, glo-balisasi menyebarkan nilai-nilai budaya universal (individualisme, ma-ma-terialisme, konsumerisme, hedonisme). Pada bidang pertahanan kea-konsumerisme, hedonisme). Pada bidang pertahanan kea-manan, globalisasi menciptakan ancaman baru, yakni ancaman non militer/non konvensional/non tradisional. Pada bidang ilmu penge-tahuan dan teknologi, globalisasi mendorong peralatan dunia maya (cyber space), intelijen cyber, dan spionase cyber.6

58 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Di tengah arus globalisasi dan reformasi yang makin komplek, banyak pihak yang mempertanyakan tentang kesadaran bela negara. Bela negara merupakan salah satu wujud nasionalisme yang harus ada dalam setiap warga negara. Tanpa kesadaran bela negara yang tinggi, maka niscaya suatu bangsa akan rapuh dan bahkan kalah dalam bersa-ing dengan negara-negara lain di dunia7. Ancaman terhadap negara yang sangat komplek dan beragam, mendorong negara untuk mening-katkan kesadaran bela negara yang kuat dan kokoh terhadap seluruh warga negaranya. Bela negara yang kuat dan kokoh pada masyarakat Indonesia diharapkan dapat melahirkan persatuan dan kesatuan serta menghindarkan dari konflik.

Asumsinya, semakin tinggi bela negara yang ada dalam hati sa-nubari masyarakat Indonesia, maka semakin rendah potensi konflik yang terjadi. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah bela negara dalam hati sanubari masyarakat Indonesia, maka semakin tinggi po-tensi konflik yang terjadi. Penulis meyakini bahwa terdapat korelasi antara bela negara dengan konflik. Artinya, berbagai konflik yang ter-jadi menunjukkan bahwa semangat dan kesadaran bela negara dari masyarakatnya rendah. Masyarakat yang kesadaran bela negara-nya tinggi, maka akan sulit diprovokasi oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan perilaku konfliktual yang mengarah pada kekerasan massal karena masyarakatnya akan mementingkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kepentingan kelompok dan ke-pentingan partai.

B. BELA NEGARA: PENGERTIAN, NILAI DAN DASAR YURIDIS

Dalam tataran teoritis, banyak sekali sebenarnya definisi atau penger-tian tentang bela negara yang dapat ditampilkan dalam tulisan ini. Banyak pakar dan ilmuwan mendefinisikan bela negara dari berbagai aspek sehingga dapat menjadi gambaran betapa luasnya bela negara.

Meneropong Bela Negara di Indonesia 59

Menurut Richard Asley, bela negara adalah suatu pemikiran, perilaku dan tindakan yang dilakukan oleh setiap warga negara untuk membela bangsa dan negara nya.8 Kenny Erlington mengatakan bah-wa bela negara adalah sikap warga negara yang berupaya memper-tahankan negara ketika menghadapi berbagai ancaman yang meng-ganggu kepentingan negara-nya.9 John Mc Kinsey menambahkan bahwa bela negara merupakan wujud nyata dari nasionalisme, patrio-tisme dan cinta tanah air yang tercermin dalam setiap warga negara sehingga mutlak dimiliki oleh warga negara agar supaya negaranya menjadi kuat.10

Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bela negara sebenarnya merupakan sebuah keharusan bagi setiap warga negara. Artinya, membela negara merupakan sebuah kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap warga negara. Membela negara harus diutama-kan dibandingkan dengan membela diri pribadi dan keluarganya. Di beberapa negara di dunia, wujud nyata bela negara tercermin dalam “wajib militer” yang dilakukan secara wajib bagi seluruh rakyatnya. Negara-negara yang menerapkan wajib militer, antara lain, Amerika Serikat, Inggris, Korea Selatan, dan Singapura.11

Dalam konteks Indonesia, bela negara dipahami sebagai sikap dan perilaku warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan ber-lanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran ber-bangsa dan bernegara serta keyakinan akan Pancasila sebagai ideologi negara guna menghadapi ancaman baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri yang membahayakan dan mengancam kedaulatan baik kedaulatan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara12. Nilai-nilai dasar yang tercermin dalam bela negara adalah: cinta tanah air, sadar berbangsa dan ber-negara, yakin pada pancasila sebagai ideologi negara, rela berkorban untuk bangsa dan negara, dan memiliki kemampuan awal bela negara secara psikis maupun fisik.13

60 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Sedangkan dasar hukum bela negara adalah: Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi ”Bahwa tiap warga negara berhak dan wa-jib ikut serta dalam upaya bela negara”. Selain itu, terdapat pula Pasal 30 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang berbunyi ”Bahwa tiap warga nega-ra berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, dan usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta oleh TNI dan Kepolisian sebagai Komponen Utama, Rakyat sebagai Komponen Pendukung”. Selanjutnya dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6 B juga dinyatakan bahwa ”Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara, sesuai dengan keten-tuan yang berlaku”. UU No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Ne-gara Pasal 9 Ayat (1) menegaskan bahwa ”Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara”. Selanjutnya pada Pasal 9 Ayat (2) ditegaskan lagi bahwa ”Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara dimaksud ayat (1) diselenggarakan melalui: pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran, pengabdian sebagai prajurit TNI secara sukarela atau wajib dan pengabdian sesuai dengan profesi.

C. INDONESIA: KARUT MARUT BELA NEGARA KITA

Bagaimana kondisi nyata bela negara yang ada di Indonesia saat ini? Pertanyaan ini tentunya akan panjang sekali jawabannya dan masing-masing orang tentu beragam dalam melukiskan jawabannya. Namun demikian, dapat diambil gambaran singkat bahwa di era reformasi dan globalisasi saat ini, kesadaran bela negara yang ada di tengah masyara-kat Indonesia sangat memprihatinkan. Dikatakan memprihatinkan karena setiap hari kita melihat, mendengar dan membaca kehidupan sehari-hari para pejabat, elit politik, dan sebagian besar masyarakat yang kurang mencerminkan semangat dan kesadaran bela negara dalam berbagai aspek kehidupan.

Meneropong Bela Negara di Indonesia 61

Pada aspek ideologi, yang didapati dalam kehidupan sehari-hari adalah pemandangan memprihatinkan berupa sikap dan perilaku yang bukan membela Pancasila sebagai ideologi negara, melainkan membela ideologi lain, seperti “bela kapitalisme”, “bela liberalisme”, “bela komunisme”, “bela anarkisme”, dan “bela radikalisme”. Sema-ngat “bela Pancasila” hanya ada dalam tataran retorika politik para elit sehingga nilai-nilai Pancasila laksana bahasa dewa-dewa yang sulit membumi (down to earth). Dalam prakteknya, Pancasila sebagai ide-ologi negara tidak dipraktekkan, diaplikasikan, dan diamalkan dalam kehidupan riel sehari-hari sehingga Pancasila hanya menjadi “orna-men” dalam ruangan dan “pemanis” dalam setiap pidato politik.

Pada aspek politik, kehidupan politik Indonesia semakin hari se-makin memprihatinkan dimana setiap elit politik, politisi, dan pejabat politik tidak pernah mendorong politik negara yang santun, beretika, dan toleransi politik. Yang terjadi adalah semangat membela diri dan kelompoknya yang tercermin dalam sikap dan perilaku, seperti “bela partai”, “bela korupsionisme”, “bela kleptokrasisme”, “bela ormas”, “bela LSM”, “bela diri”, dan “bela kelompok”. Hampir tidak ada upa-ya untuk membela negara dalam setiap aktifitas politik dan tidak ada pula mempraktekkan kehidupan politik negara yang mencerminkan masyarakat ketimuran.

Pada aspek ekonomi, sangat nyata terlihat betapa praktek ekono-mi kerakyatan yang berbasis pada Pancasila sudah tidak lagi tercermin dalam kehidupan ekonomi nyata di tengah masyarakat. Kehidupan ekonomi yang sudah dikooptasi oleh pasar bebas dan perdagangan bebas dbalut oleh bingkai globalisasi telah melahirkan kompetisi yang tidak sehat dan menimbulkan kesenjangan antar masyarakat. Akibat-nya, yang terjadi adalah sikap dan perilaku, seperti “bela usahanya”, “bela bisnisnya”, “bela kongsinya”, “bela perusahaannya”, “bela uang-nya”, “bela investasinya”, dan “bela hasil korupsinya”.

Pada aspek sosial budaya, kehidupan sosial budaya di tengah masyarakat Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan dimana ke-

62 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

hidupan umat beragama, kerukunan sosial, solidaritas sosial, toleransi, tenggang rasa, dan musyawarah mufakat yang merupakan cerminan nilai-nilai Pancasila sudah tidak terwujud dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Yang ada sekarang adalah sikap dan perilaku, seperti “bela agamanya”, “bela konconya”, “bela keluarganya”, bela dinastinya, “bela sukunya”, “bela etnisnya”, dan “bela daerahnya”. Nasionalisme sempit berupa semangat primordialisme dan pemahaman yang salah terhadap putra daerah juga telah melunturkan kesadaran bela negara sehingga mengancam semangat persatuan dan kesatuan bangsa.

D. MENELISIK FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELA NEGARA

Bela negara merupakan sebuah semangat yang bersifat dinamis, di-mana bela negara yang ada di tengah masyarakat bersifat lentur, bisa berubah kapan saja, dimana saja dan dalam kondisi apa saja. Bela negara merupakan sebuah kesadaran diri akan negara dan bangsanya yang mana masing-masing orang ataupun masing-masing masyarakat tentu berbeda tingkat kesadaran bela negaranya, sehingga bela negara dapat dikatakan sebagai sebuah kesadaran yang bersifat dinamis, ter-gantung oleh kondisi, ruang dan waktu.

Ada kalanya bela negara di satu daerah lebih tinggi dibanding-kan dengan bela negara di masyarakat yang lain, dan ada pula bela negara orang yang satu lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang lain. Tingkat kesadaran bela negara dan tingkat kualitas pemahaman bela negara antar satu pihak dengan pihak lain tentunya berbeda-be-da, tergantung dari berbagai faktor. Memang masih menjadi perde-batan tentang bagaimana cara mengukur bela negara antar satu orang dengan orang lain atau antar masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Parameter, ukuran dan skor ataupun bobot dalam varia-bel bela negara memang belum ada kesepakatan universal sehingga masing-masing pihak masih berbeda dan beragam dalam mengukur bela negara sehingga kadangkala menimbulkan perdebatan antar ber-

Meneropong Bela Negara di Indonesia 63

bagai ilmuwan dan peneliti di perguruan tinggi maupun di lembaga penelitian.

Dalam konteks masih lemahnya bela negara di Indonesia, maka terdapat beberapa faktor penyebab yang harus dicermati dan diwaspa-dai oleh pemerintah dan berbagai pihak, antara lain:

Pertama, faktor ideologi. Artinya, maraknya ideologi liberalisme, kapitalisme, sosialisasme, komunisme dan berbagai ideologi lain yang berbasis pada agama telah mempengaruhi pola pikir dan mind set ber-pikir dari sekelompok masyarakat Indonesia yang pada gilirannya me-nyebabkan lemahnya bela negara. Ideologi yang bersifat ekstremisme, radikalisme, dan fundamentalisme telah mengancan ideologi Pan-casila sebagai ideologi negara, dimana terdapat keingin sekelompok orang atau sekelompok masyarakat tertentu yang ingin memerdekan diri atau mengubah dasar negara menjadi berbasis pada agam tertentu yang tentunya sangat bertentangan dengan ideologi Pancasila. Adanya kelompok ekstrem di tengah masyarakat yang kadangkala melakukan kegiatan kekerasan dan menghalalkan segala cara serta menggunakan instrumen teror sebagai upaya mencapat target sangat membahayakan keutuhan NKRI, sehingga menyebabkan bela negara lemah.

Kedua, faktor politik. Artinya, kegiatan politik praktis yang seringkali dipenuhi dengan ketegangan, konflik, kekerasan, provokasi dan mobilisasi sangat membahayakn persatuan dan kesatuan bang-sa dan menganggu solidaritas sosial di tengah masyarakat. Kegiatan politik para politisi yang hanya mengejar kepentingan pribadi dan ke-pentingan kelompok, tanpa mementingkan kepentingan bangsa dan negara sangat membahayakan terhadap keutuhan NKRI dan sangat menghambat terwujudnya pembangunan nasional. kegiatan politik praktis dan aktifitas para politisi yang kerapkali tidak mengindahkan berbagai nilai dan norma di tengah masyarakat telah mendorong le-mahnya bela negara yang ada di Indoensia.

Ketiga, faktor ekonomi. Artinya, kondisi kemiskinan, pengang-guran dan ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat sangat men-

64 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

dorong lemahnya bela negara di tengah masyarakat. Demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat cenderung mengabaikan kepentingan bangsa dan negara. Dalam perspektif pola pikir mereka bahwa: buat apa mementingkan kepentingan negara di saat kepentingan pribadi mereka diabaikan dan buat apa mengurusi negara dalam keadaan perut yang masih kosong dan lapar. Kondisi ekonomi masyarakat yang miskin, timpang, dan menganggur mendo-rong masyarakat untuk berpikir pragmatis dan mencoba untuk melaku-kan berbagai upaya untuk memperbaiki ekonomi keluarga tanpa me-mikirkan kepentingan bangsa dan negara.

Keempat, faktor sosial budaya. Artinya, kondisi sosial budaya masyarakat yang sekarang ini telah dihinggapi dan dijangkiti oleh virus hedonisme, konsumerisme, individualisme, dan materialisme telah menyebabkan masyarakat Indonesia tidak lagi hirau dan peduli dengan semangat bela negara. Bela negara dinilai sebagai barang yang kuno dan klasik sehingga kurang diperhatikan dan dibahas. Euforia budaya pop dan berbagai gaya hidup yang glamour dan mewah telah menjebak sebagian masyarakat dalam kegelimangan kemewahan yang bersifat fatamorgana sehingga melupakan nilai-nilai yang tertu-ang dalam bela negara. Bela negara sulit diterapkan dalam kondisi masyarakat yang sedang mabuk dalam euforia budaya pop.

Faktor-faktor tersebut telah menyebabkan kondisi bela negara di Indonesia menjadi menurun sehingga menyebabkan ancaman ter-hadap keutuhan NKRI. Semua pihak harus mampu mencermati dan mewaspadai berbagai gejala maupun fenomena yang mengarah pada ancaman terhadap menurunnya nasionalisme dan patriotisme. Bela negara mutlak harus dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia. Bela negara merupakan modal dasar dalam pembangunan seluruh aspek ke-hidupan. Betapa bagusnya pembangunan ekonomi dan pembangun an politik di Indonesia, maka tanpa adanya semangat dan kesadaran bela negara, maka akan sia-sia dan bahkan akan rapuh. Kita semua wajib untuk melakukan berbagai upaya dan cara yang dapat menciptakan bela negara yang tinggi di Indonesia.

Meneropong Bela Negara di Indonesia 65

Pemerintah bersama dengan berbagai komponen bangsa harus mampu mengantisipasi dan mencegah berbagai gangguan, ancaman, dan hambatan yang mengarah pada terganggunya peningkatan bela negara. Bela negara harus mampu disosialisasikan kepada semua kom-ponen bangsa sejak dini, sehingga apapun ancaman yang menghan-tam, apabila bela negara dalam masyarakat terpatri kuat dalam hati sanubari, maka akan sulit untuk merontokan bela negara bangsa Indo-nesia. Bela negara merupakan filter bagi negara bangsa apabila negara tengah menghadapi gempuran non fisik di era globalisasi. Tanpa ada-nya bela negara yang kuat, maka niscaya Indonesia hanya akan men-jadi penonton dalam globalisasi, dan akan kesulitan untuk menjadi pemain dalam arus globalisasi yang sangat kompetitif.

E. ALTERNATIF MENINGKATKAN BELA NEGARA

Melihat gambaran umum bela negara di Indonesia , maka sangat pen-ting dan menjadi prioritas untuk melakukan upaya peningkatan bela negara di tengah masyarakat agar supaya tidak mudah tersulut konflik dan terprovokasi untuk melakukan aksi separatisme, radikalisme dan terorisme. Setiap berbicara bela negara di Indonesia, maka akan ter-ingat kita terhadap aksi separatisme, gejala disintegrasi, konflik agama, terorisme, dan konsep jihad. Ingatan yang buruk ini sudah saatnya dihapus dalam benak setiap masyarakat Indonesia. Wilayah Indoensia yang sangat rawan terjadinya konflik harus dibebaskan dari stigma, citra, dan bayangan separatisme dan terorisme, yang tentunya meng-ganggu proses pembangunan di semua wilayah Indonesia.

Tingkat bela negara di masyarakat Indonesia harus ditingkatkan. Caranya dengan membuat kebijakan yang komprehensif, holistik, dan integralistik. Mekanisme koordinasi, komunikasi, dan diskusi antar pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI, Polri, pelaku usaha, dan berbagai elemen masyarakat harus ditingkatkan sehingga akan men-ciptakan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan yang ada di te ngah masyarakat. Pendekatan keamanan dan kesejahteraan merupakan senyawa yang harus dipegang teguh bagi para pengambil kebijakan

66 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

dalam mengelola bela negara di tengah masyarakat. Bela negara yang rendah harus diupayakan untuk ditingkatkan sehingga akan menjadi modal dasar dalam membentengi diri dari pusaran konflik dan meng-akselerasi proses pembangunan daerah.

Oleh karena itu, alternatif meningkatkan kesadaran bela negara di tengah masyarakat Indonesia dapat dipetakan sebagai berikut:

No Aspek Alternatif Upaya Meningkatkan Bela Negara

1 Ideologi • Meningkatkan sosialisasi empat pilar kebangsaan di tengah masyarakat, khususnya kepada tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh intelektual, dll.

• Meningkatkan sosialisasi empat pilar kebangsaan di berbagai lembaga pendidikan agama, mulai dari TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi melalui revisi kurikulum atau muatan mata pelajaran Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.

• Membuat leaflet, brosur, pamflet, baliho, dan spanduk tentang empat pilar kebangsaan yang disebarkan dan dipasang di berbagai tempat umum sehingga dapat diakses oleh setiap masyarakat.

• Melakukan pelatihan TOT Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Bela Negara kepada tokoh adat dan tokoh agama sebagai alat yang ampuh untuk mensosialisasikan empat pilar kebangsaan di tengah masyarakat.

• Melakukan sosialisasi dan pelatihan empat pilar kebangsaan, wawasan kebangsaan, bela negara dan cinta tanah air kepada para caleg Pemilu 2014 di tengah masyarakat.

2 Politik • Meninjau kembali berbagai perda, seperti Perdasus dan Perdasi yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan serta mendorong perda, Perdasus dan Perdasi yang bernuansa NKRI.

• Membuat brosur, leaflet, dan berbagai media lain yang isinya tentang penulisan sejarah Indonesia dalam bingkai NKRI untuk dibagikan kepada

Meneropong Bela Negara di Indonesia 67

No Aspek Alternatif Upaya Meningkatkan Bela Negara

seluruh siswa di lembaga pendidikan sehingga dapat memahami sejarah Indonesia secara benar.

• Melakukan pengawasan yang ketat, transparan dan akuntabel terhadap proses penyaluran dana otonomi daerah dan otonomi khusus sehingga sesuai dengan peruntukannya.

• Mendorong Pemda dan DPRD untuk selalu turun ke tengah masyarakat melakukan dialog dan diskusi dengan elemen masyarakat tentang pentingnya nasionalisme, patriotisme dan bahaya terorisme.

• Memberdayakan resolusi konflik dengan menggali kearifan lokal, adat istiadat dan nilai-nilai lokal di tengah masyarakat dalam memfilter potensi konflik sosial.

3 Ekonomi • Menciptakan lapangan kerja yang layak kepada masyarakat sehingga tidak ada lagi pengangguran.

• Mendorong masuknya investasi di di berbagai daerah, khususnya daerah konflik dan daerah perbatasan sehingga akan menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan.

• Memberdayakan UMKM dan Koperasi di berbagai daerah sehingga akan terwujud pemberdayaan ekonomi masyarakat.

• Meningkatkan pembangunan infrastruktur fisik dan sarana prasarana jalan, jembatan dan lain-lain dalam menunjang kegiatan dunia usaha dalam rangka pembangunan di daerah.

• Menumbuhkan semangat enterprenurship (kewi-rausahaan) di kalangan masyarakat sehingga akan melahirkan industri kreatif berbasis kearifan lokal.

• Menggali sumber kekayaan alam, potensi pariwi-sata dan potensi ekonomi lainnya guna menun-jang pembangunan daerah.

• Meyakinkan kepada masyarakat bahwa sumber kekayaan alam yang melimpah di Indonesia untuk kemakmuran masyarakat Indonesia.

68 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

No Aspek Alternatif Upaya Meningkatkan Bela Negara

• Memberikan bantuan dana yang mencukupi untuk pembangunan daerah sehingga masyarakatnya maju dan tidak mudah diprovokasi oleh para pelaku teror dan lain-lain.

4 Sosial Bu-daya

• Memberdayakan forum keagamaan, forum adat, dan forum budaya antar masyarakat guna mence-gah potensi konflik sosial.

• Meningkatkan akses masyarakat dalam sektor pen-didikan dan kesehatan sehingga terwujud kehidu-pan sosial masyarakat yang layak.

• Melakukan sosialisasi kerukunan antar umat be-ragama, solidaritas sosial, bhineka tunggal ika, dan kesetiakawanan sosial di tengah elemen ma-syarakat.

• Melakukan sosialisasi deradikalisasi melalui ustadz dan dai di setiap pesantren di tengah masyarakat dan sosialisasi wawasan kebangsaan dan pro NKRI melalui pastur dan pendeta.

• Melakukan advokasi dan pendampingan terhadap masyarakat korban konflik sehingga tidak timbul rasa dendam dan tidak terprovokasi kelompok tertentu untuk melakukan pembalasan dendam.

5 Pertahanan-Keamanan

• Menjamin kepastian rasa aman masyarakat yang dilakukan oleh TNI-Polri sehingga masyarakat merasa aman dan nyaman.

• Menggerakan siskamling, poskamling dan roda keliling di lingkungannya, dan kewajiban tamu wajib lapor RT setempat untuk mendeteksi aksi separatisme dan terorisme di tengah masyarakat.

• Menggerakkan gerakan pramuka, menwa, karang taruna, serta berbagai kegiatan lainnya di tengah masyarakat, khususnya generasi muda untuk meningkatkan bela negara.

• Memberdayakan berbagai ormas, LSM, dan tokoh masyarakat sebagai garda terdepan dan perisai hidup dalam memerangi separatisme dan teror-isme.

Meneropong Bela Negara di Indonesia 69

No Aspek Alternatif Upaya Meningkatkan Bela Negara

• Melakukan penegakan hukum yang transparan, akuntabel, tegas dan cepat terhadap berbagai aksi separatisme dan terorisme.

• Melakukan pengetatan dan pengawasan terhadap orang asing yang masuk di wilayah Indonesia guna mendeteksi pergerakan para provokator gerakan separatisme dan terorisme.

• Melakukan operasi gabungan TNI-Polri melalui patroli terkoordinasi secara rutin untuk mencegah aksi dan gerakan terorisme dan separatisme.

Masalah bela negara merupakan masalah seluruh warga negara Indonesia karena bela negara merupakan amanat dalam konstitusi ne gara yang harus dipahami, dihayati, diamalkan dan diaplikasikan dalam kehidupan riel sehari-hari. Bela negara memang tidak iden-tik dengan wajib militer. Wajib militer adalah salah satu dari sekian banyak perwujudan bela negara. Bela negara harus diwujudkan oleh semua komponen bangsa dengan mencintai tanah air Indonesia, meyakin Pancasila sebagai ideologi negara, mendukung empat pilar kebangsaan, dan bekerja sesuai dengan profesinya masing-masing.

Bela negara di berbagai daerah, khususnya daerah konflik, dae-rah perbatasan, dan daerah terpencil serta pulau terluar/terdepan me-mang harus mendapatkan perhatian yang sangat serius. Adanya aksi terorisme, separatisme, radikalisme, dan konflik sosial yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia merupakan dampak dari rendahnya bela negara. Untuk mencegah aksi terorisme, separatisme, radikalisme, dan konflik sosial di wilayah Indonesia agar supaya tidak mengarah pada ancaman terhadap NKRI, maka harus dilakukan upaya meningkatkan bela negara di tengah masyarakatnya. Konflik, kekerasan, dan keru-suhan yang mengarah pada separatisme, terorisme, radikalisme dan anarkisme tidak akan terjadi apabila kesadaran bela negara masyarakat kuat dan kokoh. Untuk meningkatkan kesadaran bela negara, maka diperlukan kebijakan komprehensif baik secara ideologi, politik, eko-nomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

70 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Pemerintah harus mampu memberikan perhatian yang lebih ter-hadap berbagai daerah di Indonesia, khususnya daerah perbatasan, daerah pulau terdepan, daerah terpencil maupun daerah konflik, baik perhatian masalah ekonomi maupun sosial sehingga akan dapat menjadi filter dalam menghadapi berbagai gempuran yang berbahaya dari pentrasi asing yang akan merobohkan semangat bela negara ma-syarakat Indonesia. Masyarakat harus sejak dini dikenalkan dengan ber bagai atribut dan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme sehing-ga akan mampu mengarah pada terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka keutuhan NKRI.

Dalam kaitan ini, sangat tepat kiranya apabila mengutip pendapat dari seorang mahaguru bela negara, Presiden AS Jonh F. Kennedy, yang salah satu ajarannya banyak diingat, dikenang, dan di-hayati oleh setiap orang sampai saat ini, yaitu: ”Jangan tanyakan apa yang dapat negara berikan kepadamu, tetapi tanyalah apa yang sudah Anda berikan kepada negara.” Kita semua harus mampu merenungi bahwa salah satu faktor yang utama yang menyebabkan bangsa Ameri-ka menjadi bangsa yang besar, maju, super power dan adidaya karena mereka telah memiliki semangat bela negara yang tinggi dimana jiwa patriotisme dan nasionalisme tertanam dalam hati sanubari setiap warga negaranya. Berkaca pada pengalaman Amerika Serikat, maka Indonesia harus mampu bangkit dengan modal bela negara sehingga akan mampu menjadi “macan” Asia dan bahkan “macan” dunia di masa yang akan datang.

1 Wawasan kebangsaan bukanlah sesuatu yang bersifat statis dan tak berubah dari waktu ke waktu, sebaliknya ia bersifat dinamis. Namun bukan berarti juga wawasan kebangsaan tersebut dapat diubah-ubah sekehendaknya. Seperti halnya bangun suatu rumah tangga, ada bagian yang tak mudah untuk diubah dan ada bagian yang relatif mudah berubah”, Susilo Bambang Yudhoyono, Menuju Negara Kebangsaan Modern, Jakarta, 2004, hlm. 25

2 Anderson mengatakan bahwa lahirnya sebuah negara bangsa, termasuk Indonesia, meru-pakan hasil dari proses penjajahan dimana masyarakat yang multietnik, multiagama, multi-budaya, dan multsuku, mengikrarkan diri untuk mengikat tali persatuan dan kesatuan kare-na sama-sama merasa satu nasib, satu penderitaan, dan satu perjuangan, dalam melawan kolonialisme. Dengan demikian, berdirinya Indonesia tidak didasarkan pada persamaan agama, persamaan suku, dan persamaan budaya, melainkan persamaan sejarah yang sama-

Meneropong Bela Negara di Indonesia 71

sama dijajah oleh bangsa penjajah. Dirangkum dalam buku Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal. 67.

3 Agus Subagyo, “Revitalisasi Wawasan Kebangsaan”, Jurnal Karya Vira Jati Seskoad, Edisi IV, No. 1, Tahun 2005, hal. 7

4 Proses terbentuknya nilai-nilai kebangsaan banyak dipengaruhi oleh jati diri dan nilai-nilai yang disepakati oleh komunitas dalam nation state. Masyarakat dalam sebuah bangsa di-tuntut untuk meneguhkan diri dalam semangat patriotisme, heroisme, dan nasionalisme sehingga ikatan kebangsaan akan kuat dan tidak goyah diterpa isu disintegrasi bangsa. Di-kutip dari Martin Griffith, Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional, Jakarta, Murai Kencana, 2001, hal. 63.

5 Dikalangan generasi muda, Pancasila sebagai ideologi negara dianggap sebagai sesuatu yang membosankan, menjenuhkan, dan monoton. Berbicara tentang Pancasila dinilai se-bagai hal yang klasik, kuno dan tidak nge-trend. Lihat dalam Agus Subagyo, “Revitalisasi Pancasila Di Era Reformasi dan Globalisasi”, Jurnal Jipolis FISIP UNJANI, Vol. X, No. 35, Tahun 2009, hal. 13.

6 Dalam perkembangan akhir, globalisasi akan melahirkan pemerintahan dunia (world gov-ernment) dimana batas-batas antar negara menjadi hilang dan kedaulatan negara menjadi sirna. Globalisasi sangat mengancam kedaulatan negara bangsa sehingga setiap negara yang akan mengikuti globalisasi harus siap menerima tekanan deras kekuatan pasar bebas dan perdagangan bebas sehingga melenyapkan organisasi “nation state” yang dibangun se-jak Perjanjian Westphalia 1648. Lihat dalam Kenichi Ohmae, The End of The Nation State: The Rise of The Regional Economies, New York: The Free Press, 1995, hal. 65.

7 Lihat dalam Benedict Anderson,”Kebutuhan Indonesia: Nasionalisme Dan Menumpas Ke-serakahan”, dalam Joesoef Ishak, 100 Tahun Bung Karno, Jakarta: Hasta Mitra, 2001, hal. 26.

8 Lihat dalam Richard Asley, State, Revolutions and Anarchy, New York: The Free Press, 1992, hal. 78.

9 Lebih jauh dapat dibaca dalam Kenny Erlington, Nationalisme Etnic and National Interest, Oxford: Oxford Univesity Press, 1996, hal. 53.

10 Baca dalam John Mc Kinsey, The Idea of Nationalism, Toronto: Cillier Books, 1986, hal. 8111 Lihat dalam Agus Subagyo, “Bela Negara atau Negara Di Bela: Mengapa Negara Perlu Di-

bela?”, dalam Jurnal Jipolis FISIP UNJANI, Vol. V, No. 14, Tahun 2006, hal. 24.12 Lebih lanjut baca dalam Wiryono Amin, Pendidikan Kewarganegaraan: Bab X Bela Negara,

Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, halm. 62.13 Baca dalam Irwan Maulana, Nasionalisme, Patriotisme dan Bela Negara: Sketsa Pemikiran

Untuk Indonesia Abad 21, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2005, hal. 42.

-oo0oo-

A. KARAKTERISTIK MASYARAKAT PERBATASAN

Indonesia memiliki wilayah perbatasan dengan 10 negara, baik perbatasan darat maupun perbatasan laut. Batas darat wilayah Re-publik Indonesia bersinggungan langsung dengan negara-negara

Malaysia, Papua New Guinea, dan Timor Leste. Perbatasan darat In-donesia tersebar di tiga pulau, empat provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda-beda. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Ma-laysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Austra-lia, Timor Leste, dan Papua New Guinea. Di antara wilayah-wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga, terdapat 92 pulau-pulau kecil. Ada 12 pulau-pulau kecil yang menjadi prioritas pengelolaan karena mempunyai nilai yang sangat strategis dari sisi pertahanan ke-amanan dan kekayaan sumber daya alam. 12 Pulau-Pulau Kecil Ter-luar (PPKT) tersebut adalah Pulau Rondo di NAD, Pulau Berhala di Sumatera Utara, Pulau Nipa dan Sekatung di Kepulauan Riau, Pulau Marampit, Pulau Marore dan Pulau Miangas di Sulawesi Utara, Pulau Fani, Pulau Fanildo dan Pulau Brass di Papua, serta Pulau Dana dan Batek di Nusa Tenggara Timur.1

BELA NEGARA DI WILAYAH PERBATASAN

B A B 5

74 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Besarnya wilayah Indonesia apabila dilihat secara geografis dengan jumlah penduduk yang sangat besar serta sumber daya alam yang melimpah mendorong berbagai kepentingan asing untuk men-coba masuk untuk melakukan eksploitasi dan berupaya menancapkan kekuatannya di Indonesia melalui berbagai cara. Upaya kepentingan asing melakukan berbagai cara untuk masuk ke Indonesia demi me-raup keuntungan sumber daya alam sangat penting untuk dicermati dan diwaspadai oleh berbagai pihak sehingga Indonesia akan aman baik dari aspek kedaulatan negara maupun dari aspek sumber daya alam.

Kewaspadaan bangsa Indonesia terhadap berbagai pihak dan kepentingan asing harus ditingkatkan oleh semua komponen bangsa, termasuk masyarakat yang ada di wilayah perbatasan, pulau kecil ter-luar dan wilayah pedalaman. Wilayah perbatasan Indonesia yang sa-ngat luas baik di darat maupun di laut yang tidak semua dapat terjaga secara optimal oleh TNI karena keterbatasan personil dan peralatan tentunya harus mendapatkan prioritas. Masyarakat di wilayah perba-tasan yang setiap hari bersentuhan dengan orang asing dari negara yang berbatasan dengan Indonesia tentunya harus meningkatkan ke-waspadaan mengingat wilayah perbatasan merupakan pintu masuk bagi berbagai kegiatan orang ke dalam wilayah yurisdiksi Indonesia.

Kewaspadaan yang tinggi dari masyarakat di wilayah perbatasan sangat penting karena karakteristik masyarakat perbatasan tentunya berbeda dengan masyarakat di perkotaan dan pedesaan lainnya. Ma-syarakat perbatasan sangat rawan dengan berbagai pentrasi dan infitra-si asing karena secara geografis langsung bersentuhan dengan negara lain dan secara ekonomi terdapat interaksi atau transaksi ekonomi serta secara sosial kultural terdapat hubungan kekerabatan yang erat. Kompleksitas permasalahan masyarakat di perbatasan sangat rawan disusupi oleh berbagai kepentingan asing yang dapat mengancam per-satuan dan membahayakan keutuhan NKRI.

Bela Negara di Wilayah Perbatasan 75

Karakteristik masyarakat di wilayah perbatasan di lihat dari as-pek ideologi adalah masih rendahnya pemahaman terhadap ideologi negara Pancasila, masih kurang memahami empat pilar kebangsaan, masih lemah rasa nasionalisme, patriotisme, cinta tanah air. Ideologi Pancasila masih belum kuat sekali dipahami, dijiwai, dan dihayati oleh sebagian masyarakat di wilayah perbatasan. Pancasila diakui oleh masyarakat perbatasan sebagai ideologi negara, namun proses pengamalannya harus diperhatikan dan bisa saja mudah goyah pema-hamannya terhadap ideologi Pancasila. Hal ini penting dipahami oleh masyarakat perbatasan karena dapat dilihat di perbatasan Papua de-ngan Papua Nugini dimana banyak sekali wilayah perbatasan tersebut dijadikan sebagai basis gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) un-tuk melakukan aksi-aksinya melawan aparat TNI dan Polri.

Dalam aspek politik, dapat digambarkan bahwa masyarakat di wilayah perbatasan sangat terkesan apatis dalam kehidupan politik, dimanfaatkan oleh elit politik lokal untuk mobilisasi suara ketika pe-milukada dan pemilu dilaksanakan, masih rendahnya sosialisasi poli-tik kepada ormas dan LSM di wilayah perbatasan, dan masih ada se-bagian kecil yang tidak memahami lambang negara, bendera negara, pahlawan nasional, dan para tokoh-tokoh nasional lainnya. Dalam perspektif politik, masyarakat di wilayah perbatasan jauh dari hiruk pikuk politik praktis sehingga sangat mudah dipengaruhi dan dimobil-isasi oleh elit politik lokal untuk kepentingan politik tertentu.

Dalam aspek ekonomi, dapat diuraikan bahwa masyarakat di wilayah perbatasan sangat memprihatinkan. Gambaran umum ma-syarakat perbatasan yang sering terlihat dan terdengar adalah adanya kesenjangan ekonomi, kemiskinan, pengangguran, terbatasnya sarana transportasi, sarana komunikasi, sarana informasi, beredarnya mata uang ringgit di perbatasan Kalimantan, tergantung bahan baku dari Malaysia, dan barang-barang kebutuhan pokok mahal. Masyarakat di wilayah perbatasan yang relatif miskin ditambah lagi dengan akses terhadap pekerjaan yang layak sangat sulit, jaringan dengan pranata

76 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

politik dan pemerintahan sangat terbatas, dan sulitnya akses informasi tentang dunia luar sehingga menjadikan masyarakat di wilayah perba-tasan mengalami kemiskinan yang sangat akut.

Dalam aspek sosial budaya, dapat dilukiskan tentang bagai mana potret rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesehatan, ma-sih kuatnya primordialisme, sentimen etnik, dan rawan konflik so sial. Masyarakat di wilayah perbatasan kesulitan untuk mengakses pendi-dikan. Banyak yang hanya lulus SD sampai dengan SMP sehingga su-lit untuk mendapatkan pekerjaan karena hanya lulusan SD dan SMA. Mereka mengatakan bahwa sekolah itu mahal, termasuk akses untuk menuju ke sekolah juga sulit dijangkau sehingga banyak yang tidak mengeyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Akses masyara-kat terhadap kesehatan juga rendah dimana masih jarang puskesmas, dokter, mapun tenaga medis lainnya di wilayah perbatasan sehingga banyak penyakit yang sulit disembuhkan karena tiadanya obat, tenaga medis, dan mahalnya biaya kesehatan / pengobatan.

Dalam aspek pertahanan keamanan, dapat diterangkan bahwa masyarakat di wilayah perbatasan sangat rawan terhaadap aksi ke-jahatan, khususnya kejahatan transnasional (ilegal fishing, ilega log-ing, ilegal mining), jalur perlintasan terorisme, dan jalur perlintasan separatisme. Banyaknya jalan “tikus” yang ada di wilayah perbatasan menyulitkan bagi aparat TNI dan Polri dalam menangkap berbagai pihak atau organisasi kejahatan yang sudah membentuk semacam ja-ringan atau mafia sehingga sangat membahayakan keutuhan NKRI di wilayah perbatasan. Luasnya wilayah perbatasan yang umumnya san-gat sulit diakses dengan berbagai sarana transportasi telah membuat mudah nya para pelaku kejahatan transnasional melakukan aksinya di wilayah perbatasan dan menyulitkan bagi aparat TNI dan Polri dalam melakukan operasi penangkapan.

Dinamika karakteristik masyarakat di wilayah perbatasan ini ten-tunya sangat penting untuk diperhatikan, diprioritaskan, dan dibina agar supaya dapat menjadi daya tangkal yang ampuh dalam mengha-

Bela Negara di Wilayah Perbatasan 77

dapi kekuatan asing yang potensial mengancam keutuhan NKRI dan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Karakter masyarakat perbatasan harus dibina, dilatih dan didik secara cepat dan tepat se-hingga tidak mudah terpengaruh pada kepentingan atau pihak asing yang mencoba masuk ke wilayah NKRI dengan segala agenda yang diusungnya. Masyarakat di wilayah perbatasan harus mendapatkan prioritas untuk dilatih dan didik dengan bela negara yang kompre-hensif sehingga akan dapat menjadi daya tangkal yang hebat dalam menghaadapi infiltrasi dan pentrasi asing yang masuk melalui wilayah perbatasan. Masyarakat di perbatasan harus menjadi perisai hidup dalam menghadapi aksi seperatisme, terorisme dan radikalisme yang marak belakangan ini.

B. ARTI PENTING BELA NEGARA DI PERBATASAN

Masyarakat perbatasan sangat penting dalam kaitannya dengan bela negara. Masyarakat perbatasan yang secara geografis berdekatan de-ngan negara lain memiliki potensi untuk diberdayakan dalam aspek bela negara. Hal ini masuk akal karena apabila negara kita berperang dengan negara lain, sebagai contoh berperang dengan Malaysia mi-salnya, maka masyarakat di wilayah perbatasan akan langsung secara otomatis berhadap-hadapan dengan masyarakat Malaysia yang ada di perbatasan. Wilayah perbatasan akan menjadi medan peperangan an-tara militer kita dengan militer Malaysia sehingga sangat penting untuk diberidaya dan diberdayakan dalam konteks bela negara.

Secara geografis, masyarakat di wilayah berbaatasan sangat dekat dengan negara lain, sehingga potensi infilitrasi dan penetrasi as-ing sangat kuat terasa di wilayah perbatasan. Masyarakat Indonesia yang ada di wilayah perbatasan setiap hari bertemu, berinteraksi dan bahkan bersaudara dengan masyarakat di negara lain, misalnya Ma-laysia, Papua Nugini, dan Timor Leste sehingga rawan akan goyah rasa nasionalisme, patriotisme dan cinta tanah airnya. Masyarakat di wilayah perbatasan Kalimantan sangat rawan terkena pengaruh Malay-

78 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

sia karena secara ekonomi masyarakat Malaysia di wilayah perbatasan relatif lebih maju dan makmur dibandingkan dengan masyarakat Indo-nesia. Di perbatasan Kalimantan, masyarakat perbatasan yang berasal dari Indonesia sangat banyak tergantung kebutuhan hidupnya dari Ma-laysia, mulai dari sembilan bahan pokok, alat elektronik, alat transpor-tasi, alat informasi dan berbagai kebutuhan hidup lainnya. Masyarakat Indonesia yang ada di perbatasan banyak yang disuplai kebutuhan makanannya dari Malaysia dan bahkan merak banyak yang berbelanja kebutuhan pokok dari Malaysia, seperti masyarakat Sebatik yang lebih mudah dan murah belanja kebutuhan sehari-hari ke Tawau, Malaysia dibandingkan dengan ke Ibu Kota Kabupaten Nunukan yang mahal dan terbatas.

Hal ini tentu berbeda memang dengan perbatasan Indonesia dengan Timor Leste dan Indonesia dengan Papua Nugini. Di kedua wilayah perbatasan ini, kita masih relatif maju secara ekonomi di-bandingkan dengan kedua negara ini. Masyarakat perbatasan yang be-rasal dari Timor Leste dan Papua Nugini relatif miskin dibandingkan dengan Indonesia, bahkan banyak kebutuhan pokok sehari-hari yang suplai nya berasal dari Indonesia. Masyarakat perbatasan Timor Leste dan Papua Nugini sangat tergantung pada pasokan kebutuhan pokok dari Indonesia sehingga memang tidak terlalu mengkhawatirkan. Na-mun demikian, tetap saja yang namanya wilayah perbatasan tentu sa-ngat rawan secara ideologis dan politis, khususnya wilayah perbatasan ini banyak dilalui oleh para pelaku kejahatan transnasional dan para pelaku aksi separatisme serta terorisme yang melintas batas di jalan-jalan tikus sehingga sulit untuk dideteksi secara dini oleh aparat TNI dan Polri.

Dalam konteks ini, memang masyarakat di wilayah perbatasan harus dibekali dengan bela negara yang kuat. Masyarakat perbatasan memiliki arti penting yang sangat besar dalam konteks bela negara. Masyarakat perbatasan merupakan benteng pertahanan utama dalam melawan berbagai ancaman, berupa infiltrasi dan penetrasi asing yang

Bela Negara di Wilayah Perbatasan 79

masuk ke wilayah Indonesia sehingga mengancam kedaualatan ne-gara. Masyarakat perbatasan harus diberi kesadaran akan pentingnya membela negara di wilayah perbatasan. Masyarakat perbatasan harus mampu menciptakan sistem peringatan dini dan deteksi dini secara mandiri sehingga akan dapat menangkal berbagai pengaruh asing yang masuk ke wilayah Indonesia.

Perbatasan negara yang merupakan etalase negara, jendela negara dan pintu gerbang negara harus terus ditanamkan oleh semua pihak sehingga akan tercipta pusat-pusat pertumbuhan di wilayah perbatasan sehingga akan menstimulan terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach) harus dikedepankan secara simultan sehingga akan mencapai sasaran yang ditentukan, yakni ter-wujudnya kesadaran bela negara yang tinggi pada seluruh lapisan ma-syarakat di wilayah perbatasan.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa masyarakat per-batasan kurang mendapatkan prioritas bagi pemerintah dalam pe-nyelenggaraan pembangunan nasional. pemerintah pusat memandang bahwa masalah pembangunan di wilayah perbatasan adalah urusan pemerintah daerah, baik pemerintah daerah propinsi maupun kabu-paten/kota yang ada di wilayah perbatasan, khususnya di era otono-mi daerah dan desentralisasi, sehingga permasalahan pembangunan di wilayah perbatasan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengatakan bahwa masalah perbatasan sangat ter-kait dengan pertahanan negara. Masalah pertahanan negara merupak-an urusan pusat sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, sehingga justru pemerintah pusat yang harus bertanggungjawab dalam mengelola pembangunan di wilayah perbatasan. Saling serang dalam konflik kewenangan ini tentunya ti-dak harus terjadi apabila semua pihak mementingkan kepentingan nasional yang lebih besar sehingga tidak sampai mengorbankan ma-syarakat di wilayah perbatasan karena adanya ego sektoral antar in-stansi pemerintah.

80 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Terbentuknya Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) sangat diharapkan dapat mengelola wilayah perbatasan secara cepat, tepat, komprehensif dan terintegrasi sehingga mampu menghilangkan saling serang konflik kewenangan antar instansi dalam membangun wilayah perbatasan.BNPP diharapkan dapat berfungsi pula selain membangun aspek ekonomi, sosial, dan infrastruktur di wilayah per-batasan bersama-sama dengan pemerintah pusat dan daerah, maka harus pula memberikan nilai-nilai yang bermuatan bela negara ke-pada seluruh lapisan masyarakat di wilayah perbatasan. Sudah men-jadi tanggungjawab semua pihak untuk menciptakan kesadaran bela negara di kalangan masyarakat perbatasan sehingga akan terwujud perekonomian yang kokoh dan maju di wilayah perbatasan.

Warga negara berperan sangat penting dalam mengembangkan potensi ekonomi di wilayah batas Negara, namun pada saat ini begitu banyak permasalahan yang dihadapi warga Negara di wilayah perba-tasan khususnya di wilayah batas Negara Indonesia dengan Malay-sia di pulau Kalimantan terutama bidang sosial budaya dan ekonomi, adapun permasalahan tersebut antara lain: Kesatu adanya paradigma ’Kawasan perbatasan sebagai halaman belakang’ Paradigma pengelo-laan kawasan perbatasan di masa lampau sebagai ”Halaman Belakang” wilayah NKRI membawa implikasi terhadap kondisi kawasan perba-tasan saat ini yang tersolir dan tertinggal dari sisi sosial dan ekonomi. Munculnya paradigma ini, disebabkan oleh sistem politik dimasa lampau yang sentralistik dan sangat menekankan stabilitas keamanan. Di samping itu secara historis, hubungan Indonesia dengan bebera-pa negara tetangga pernah dilanda konflik, serta seringkali terjadinya pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri. Konsekuensinya, persepsi penanganan kawasan perbatasan lebih didominasi pandang-an untuk mengamankan perbatasan dari potensi ancaman dari luar (external threat) dan cenderung memposisikan kawasan perbatasan sebagai sabuk keamanan (security belt). Hal ini telah mengakibatkan kurangnya pengelolaan kawasan perbatasan dengan pendekatan ke-

Bela Negara di Wilayah Perbatasan 81

sejahteraan melalui optimalisasi potensi sumberdaya alam, terutama yang dilakukan oleh investor swasta.2

C. KESADARAN BELA NEGARA DI PERBATASAN

Kesadaran bela negara di wilayah perbatasan sangat penting ditumbuh-kan oleh berbagai pemangku kepentingan mengingat wilayah perba-tasan merupakan wilayah pintu gerbang dan wajah bangsa Indonesia dalam bertatap muka atau berhadapan langsung dengan negara lain di dunia. Kesadaran bela negara bagi masyarakat perbatasan merupakan keniscayaan dan keharusan yang harus terus ditumbuhkan dan dikem-bangkan sampai kapanpun. Masyarakat di perbatasan sangat penting dalam konteks pertahanan negara, khususnya strategi pertahanan ne-gara dalam menghadapi musuh, sehingga harus terdidik, terlatih, dan terampil dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pertahanan, ke-amanan, dan aspek kemiliteran lainnya. Masyarakat perbatasan harus terus mengembangkan dan menumbuhkan semangat bela negara agar supaya tidak mudah goyah oleh provokasi, hasutan maupun iming-iming dari kekuatan atau pihak asing yang ingin menjatuhkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.

Kejadian beberapa tahun yang lalu dimana diberitakan oleh media massa bahwa masyarakat Indonesia yang ada di wilayah per-batasan Kalimantan diindikasikan telah direkrut oleh Tentara Diraja Malaysia sebagai laskar wathoniyah yang dilatih, dididik dan diberi keterampilan khusus secara dasar kemiliteran guna kepentingan per-tahanan Malaysia. Masyarakat Indonesia yang bergabung menjadi las-kar wathoniyah diberi gaji atau pendapatan per bulan oleh pemerintah Malaysia meskipun secara legal formal mereka ini warga negara In-donesia. Mereka didesain untuk menjaga keamanan di wilayah per-batasan dan mengangkat senjata apabila Indonesia berperang dengan Malaysia. Sesuatu yang bersifat ironi di tengah kobaran api nasional-isme yang dikobarkan oleh seluruh rakyat Indonesia.

82 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Mengapa mereka mau bergabung dalam laskar wathoniyah? Jawabannya sangat simpel dan singkat, yakni masalah perut. Arti nya, mereka masuk menjadi laskar wathoniyah yang ditawarkan oleh Ma-laysia karena tuntutan perut dan kebutuhan ekonomi mengingat men-jadi laskar wathoniyah akan mendapatkan penghasilan setiap bulan sehingga masyarakat perbatasan berbondong-bondong untuk menjadi anggota laskar wathoniyah. Dalam kaitan ini, laskar wathoniyah di-anggap sebagai sebuah pekerjaan untuk menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah maraknya pengangguran di wilayah perbatasan. Mereka tidak peduli ketika masuk menjadi laskar wathoniyah melanggar kedaulatan dan dituduh tipis rasa nasionalisme dan semangat patriotismenya. Dalam logika berpikir masyarakat per-batasan adalah bahwa urusan perut lebih penting dibandingkan de-ngan nasionalisme. Dalam otak mereka akan berpikir: “buat apa ber-bicara nasionalisme dalam perut kosong”. Prioritas kebutuhan mereka sekarang ini adalah urusan perut, urusan pekerjaan, urusan kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi saat itu juga dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. Nasionalisme dianggap sebagai barang yang “mahal” bagi mereka sehingga mereka tidak akan menghiraukan apa itu nasional-isme, patriotisme, cinta tanah air dan bela negara.

Dalam konteks ini, kita semua harus memetik hikmah dari pe-lajaran tersebut dimana nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air yang merupakan komponen utama dari bela negara sangat terkait de-ngan kesejahteraan masyarakat. Artinya, pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan di tengah masyarakat akan sangat mempengaruhi tinggi rendahnya bela negara di wilayah perbatasan. Bahkan, dapat dikatakan bahwa aspek kesejahteraan masyarakat kuat dan kemakmur-an ekonomi yang tinggi merupakan fondasi kuatnya bela negara di dalam masyarakat. Meskipun gencarnya pemerintah bersama kompo-nen yang lain menggalakkan sosialisasi pelaksanaan bela negara di wilayah perbatasan, apabila masyarakat di wilayah perbatasan masih dalam kondisi yang serba terbatas, serba nestapa dan serba kesulitan

Bela Negara di Wilayah Perbatasan 83

secara ekonomi, maka upaya meningkatkan bela negara akan menjadi sia-sia belaka.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan bela negara di masyarakat wilayah perbatasan, maka yang harus pertama dan utama dilakukan adalah perbaikan kondisi ekonomi masyarakat, lebarkan lapangan pe-kerjaan, buat penyerapan kerja, dan bangun masyarakat yang mak-mur dan sejahtera sehingga masyarakat di wilayah perbatasan akan mau menaruh perhatian tentang bela negara. Program bela negara harus dibarengi dengan program-program ekonomi dan pengentasan kemiskinan di wilayah perbatasan. Kesadaran masyarakat perbatasan akan bela negara semakin kuat dan kokoh apabila taraf hidup ekonomi masyarakat perbatasan tercapai kemakmuran dan kesejahteraan yang tinggi.

Pembinaan kesadaran bela negara terus dilakukan Kementerian Pertahanan (Kemhan) di perbatasan. Pembinaan itu melalui Desk Pe-ngendali Pusat Kantor Pertahanan (PPKP) di daerah. Salah satunya di-lakukan di Provinsi Kalimantan Barat melalui Koordinator Daerah (Kor-da) yang melaksanakan kegiatan Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN), karya bhakti dan bhakti sosial di daerah perbatasan RI – Ma-laysia, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Menurut Kapuskom Pu-blik Kemhan Kolonel (Kav) Bambang Hartawan, kegiatan dilaksanakan di dua tempat yaitu di Dusun Camar Bulan, Desa Temajuk, Kecamatan Paloh dan Dusun Aruk, Desa Sebunga, Kecamatan Sajingan. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kesadaran bela negara dan cinta tanah air, kesejahteraan masyarakat dan derajat kesehatan bagi masyarakat di perbatasan. Khususnya yang berada di Kecamatan Paloh dan Kecamatan Sajingan Kabupaten Sambas, Provinsi Kalbar. Kegiatan PKBN, karya bhakti dan bakti sosial meliputi dua kegiatan yaitu kegiatan fisik yang dimulai pada 16 November sampai 10 De-sember 2012 dan kegiatan non fisik dimulai pada 16 November sam-pai 18 November 2012.3

84 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Kegiatan fisik dilakukan seperti karya bakti oleh TNI dibantu ma-syarakat dengan melakukan pekerjaan pembetonan jalan sepanjang 1000 meter, dan pembangunan lapangan voley di Dusun Camar Bu-lan, serta pipanisasi sepanjang 3000 meter dan pembuatan bendungan air di Dusun Aruk. Sedangkan untuk kegiatan non fisik, yaitu kegiatan PKBN berupa pemberian materi tentang wawasan kebangsaan dan empat pilar kebangsaan kepada masyarakat dan lingkungan pendidik-an. Selain itu, dilaksanakan pula bhakti sosial berupa pengobatan ma-ssal dan pemberian bantuan perangkat alat sekolah.Kegiatan ini dilak-sanakan sebagai upaya untuk menumbuhkan nilai-nilai bela negara bagi seluruh warga negara.4

Melihat kondisi pada era demokrasi saat ini, ada kecenderun-gan melemahnya ikatan kebangsaan dan kesadaran bela negara di lingkung an masyarakat, maka pembinaan kesadaran bela negara ha-rus di intensifkan dan dikembangkan dengan berbagai metode dan kegiatan, sehingga kecintaan masyarakat terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 semakin meningkat. Hal itu dilakukan guna mewujudkan sasaran kesadaran bela negara kepada seluruh masyara-kat dan generasi muda secara dini. Juga dalam rangka menumbuhkan semangat, tekad dan sikap serta perilaku seluruh masyarakat yang di-jiwai oleh kecintaan kepada NKRI yang berdasarkan kepada Panca-sila dan UUD 1945. Selain itu, sikap rela berkorban demi menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara, perlu diselenggarakan pembi-naan kesadaran bela negara bagi masyarakat khususnya bagi masyara-kat yang berada di wilayah perbatasan.5

Selain itu, berbagai sosialisasi, penyuluhan, dan pendidikan bela negara harus terus dikembangkan dan ditingkatkan oleh selu-ruh instansi pemerintahan dengan sasaran generasi muda di wilayah perbatasan. Anak-anak sekolah, mulai dari SD, SMP, dan SMA harus terus ditanamkan nilai-nilai bela negara agar supaya tertanam kesada-ran bela negara yang besar sehingga kecintaan terhadap NKRI akan

Bela Negara di Wilayah Perbatasan 85

semakin kokoh. Berbagai Ormas, LSM, organisasi kepemudaan, or-ganisasi sosial, dan tokoh masyarakat lainnya harus dijadikan sebagai ujung tombak dalam meningkatkan kesadaran bela negara di tengah masyarakat perbatasan. Mereka harus dilatih, dididik, dan dibekali dengan materi bela negara sehingga mereka akan daapat menularkan-nya kepada masyarakat di lingkungannya masing-masing.

Tanpa partisipasi masyarakat dalam meningkatkan bela negara di wilayah perbatasan, maka mustahil pemerintah akan mampu mem-berikan kesadaran bela negara yang tinggi kepada masyarakat bawah. Di tengah budaya masyarakat perbatasan yang masih memegang teg-uh tokoh adat, maka peran tokoh adat harus dikedepankan sehingga akan mampu membawa efek berganda bagi para masyarakat yang ada di akar rumput untuk bersama-sama membela negara demi NKRI tercinta. Program dan kegiatan bela negara harus dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan sehingga akan mampu mening-katkan kesadaran bela negara yang kuat, kokoh dan optimal. Bela negara merupakan landasan kuat dan modal awal dalam membangun ekonomi masyarakat perbatasan. Sangat mengkhawatirkan apabila di-lakukan pembangunan ekonomi yang gencar di wilayah perbatasan tanpa dibarengi dengan upaya menumbuhkan semangat bela negara bagi masyarakatnya.

1 http://www.setkab.go.id/artikel-7605-komitmen-pemerintah-membangun-wilayah-perba-tasan.html.

2 http://www.bekangdam-mulawarman.mil.id/artikel/118-konsep-meningkatkan-rasa-nasi-onalisme-warga-sekitar-batas-negara-di-wilayah-kalimantan-agar-mau-berpartisipasi-dalam-bela-negara-melalui-kegiatan-binter.

3 http://forum.detik.com/kemhan-bangun-kesadaran-bela-negara-di-perbatasan-t568652.html4 Ibid.5 Ibid.

-oo0oo-

A. SINERGITAS KOMPONEN BANGSA

Bela negara merupakan semangat seluruh warga negara untuk men-cintai tanah air Indonesia yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD NRI 1945. Bela negara harus dimiliki oleh semua warga negara Indonesia dimanapun, sampai kapanpun dan siapapun. Bela negara merupakan modal dasar bagi bangsa Indonesia mencapai cita-cita sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945. Tanpa bela negara maka bangsa Indonesia tidak akan dapat berdiri kokoh. Tanpa bela negara maka bangsa Indonesia akan rapuh dan mudah goyah oleh hempasan arus globalisasi, pasar bebas dan perdagangan bebas.

Bela negara akan mampu memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Bela negara akan mampu menangkal lunturnya nasionalisme yang saat ini terjadi pada bangsa Indonesia oleh gempuran budaya global barat yang sangat merasuk dalam sendi-sendi dasar kehidupan manusia Indonesia. Bela negara dapat didesain untuk melindungi jati diri dan identitas bangsa yang kian lama kian mengalami degradasi karena masuknya budaya asing sehingga menggerus budaya lokal dan

AGENDA BESAR BELA NEGARA KE DEPAN

B A B 6

88 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

budaya nasional yang selama ini kita pupuk dan kita kembangkan se-cara bersama-sama.

Bela negara dapat pula dijadikan sebagai “filter” bagi ancaman separatisme, terorisme, dan radikalisme yang marak akhir-akhir ini. Bangsa Indonesia di era reformasi sangat terkoyak dan dipenuhi de-ngan aksi konflik, kekerasan dan kerusuhan yang membahayakan per-satuan bangsa sehingga perlu didorong untuk menumbuhkan sema-ngat bela negara yang tinggi. Semua warga negara harus diwajibkan mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan kelompok, golongan dan partainya. Aksi-aksi kekerasan dan kerusuhan yang ter-jadi di berbagai daerah merupakan wujud nyata bahwa bela negara bangsa Indonesia masih lemah.

Dalam rangka meningkatkan bela negara di seluruh lapisan komponen bangsa, maka diperlukan kerjasama, komunikasi, dan koordinasi antar stakeholder terkait. Tanpa adanya kerjasama antar komponen bangsa maka semangat bela negara akan sulit digelorakan dari Sabang sampai Merauke. Semangat bela negara sangat ditentukan keberhasilannya oleh sinergitas antar komponen bangsa. Semua pihak harus saling bahu membahu menumbuhkan semangat bela negara, melalui berbagai penyuluhan bela negara, pendidikan bela negara dan pelatihan bela negara.

Selama ini kita semua mengetahui bahwa hampir seluruh instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah melaksanakan ber bagai program dan kegiatan bela negara dengan sasaran semua komponen bangsa, khususnya masyarakat lapisan bawah. Namun demikian, ber-bagai program dan kegiatan tersebut dilakukan secara sendiri-sendiri, kurang terprogram, kurang terintegrasi, dan kurang komprehensif. Hal ini terjadi karena tidak adanya kerjasama, koordinasi, komunikasi dan sinergitas antar instansi pemerintah dalam menyelenggarakan bela negara kepada semua komponen bangsa.

Pemerintah pusat, mulai dari Kementerian Dalam Negeri, Ke-menterian Pertahanan, Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan

Agenda Besar Bela Negara ke Depan 89

Keamanan, Bappenas, BNPT, BNPP, DPR, MPR dan berbagai lemba-ga, instansi, dan kementerian lainnya memiliki program dan kegiatan yang terkait dengan peningkatan semangat bela negara. Alokasi ang-garan digelontorkan secara besar-besaran untuk meningkatkan bela negara ke berbagai daerah setiap tahunnya. Hal ini memang sudah ba-gus dan baik apabila dilihat dari komitmen untuk meningkatkan bela negara dengan adanya program dan kegiatan yang dianggarkan setiap tahunnya. Namun demikian, program dan kegiatan yang diselengga-rakan masih belum sepenuhnya terfokus dan terintegrasi sehingga ter-kesan jalan sendiri-sendiri, sporadis, dan parsial.

Di daerah juga hampir sama dimana pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota sangat bagus komitmennya untuk meningkatkan bela negara di daerahnya masing-masing. Pemerintah daerah melalui Kesbangpol nya masing-masing selalu membuat pro-gram dan kegiatan yang terkait dengan peningkatan bela negara, mu-lai dari program sosialisasi empat pilar kebangsaan, sosialisasi bela negara, pelatihan pendidikan kewarganegaraan bagi guru-guru, so-sialisasi kerukunan antar umat beragama, dan berbagai program dan kegiatan lainnya yang berbau bela negara. Namun demikian, program dan kegiatan ini terkesan masih belum menyentuh ke semua lapisan masyarakat. Masih banyak ormas, LSM, OKP di berbagai daerah yang merasa bahwa sosialisasi bela negara yang dilakukan oleh Kesbangpol Pemda masih belum merata ke seluruh lapisan masyarakat di tingkat akar rumput. Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian semua pi-hak, khususnya pemerintah daerah yang tahu betul kondisi dan karak-ter wilayahnya masing-masing.

Dalam kaitan ini, sangat penting dilakukan sinergi antara peme-rintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pro-gram bela negara di berbagai daerah sesuai dengan kondisi wilayah dan karakteristik masyarakanya masing-masing. Pemerintah pusat me-lalui lemhanas misalnya harus membuat modul pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bela negara secara berbeda kepada semua lapisan

90 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

masyarakat. Harus diberikan materi dengan penekanan yang berbeda antar daerah karena memang masing-masing daerah memiliki karakter khusus sehingga modul peningkatan bela negara juga harus berbeda.

Sebagai contoh, modul bela negara untuk masyarakat Papua dan Papua Barat tentu harus berbeda dengan modul bela negara un-tuk masyarakat di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat. Me ngapa harus berbeda? Karena masyarakat Papua dan Papua Barat secara pendidikan masih relatif rendah sehingga perlu modul bela ne-gara dengan gaya bahasa yang simpel dan mudah dipahami mereka. Selain itu, secara historis, masyarakat Papua dan Papua Barat pernah mengalami perjalanan sejarah yang sedikit berbeda dengan wilayah lain di Indonesia dimana sampai dengan saat ini masih ada gerakan separatis yang tergabung dalam OPM. Selanjutnya, penekanan modul bela negara nya juga harus dirancang secara khusus agar supaya bisa dipahami, dihayati dan diamalkan oleh seluruh masyarakat Papua.

Dalam konteks ini, perlu ditekankan bahwa modul bela negara harus dirancang oleh pemerintah pusat sebagai leading sector yang dengan melibatkan pemerintah daerah masing-masing. Secara umum, modul bela negara muatannya semua sama berisi tentang persatuan dan kesatuan bangsa, nasionalisme, cinta tanah air, dan wawasan ke-bangsaan. Namun, dalam modul tersebut perlu ada penekanan ma-sing-masing untuk tiap-tiap daerah. Sebagai misal adalah modul bela negara dibuat secara terperinci dimana terdapat modul bela negara untuk daerah konflik, modul bela negara untuk daerah rawan, modul bela negara untuk daerah aman, dan lain sebagainya. Bahkan, perlu pula misalnya modul bela negara untuk daerah perbatasan, modul bela negara untuk daerah pulau kecil terluar, modul bela negara un-tuk daaerah pesisir, modul bela negara untuk daerah pedalaman, dan lain sebagainya. Modul-modul bela negara ini harus didesain sesuai dengan kondisi wilayah, karakter masyarakat, dan struktur sosial buda-ya masyarakat setempat sehingga pasti akan mengena kepada semua lapisan masyarakat.

Agenda Besar Bela Negara ke Depan 91

Modul bela negara harus dirancang dengan melibatkan ber bagai pakar dari berbagai perguruan tinggi, ahli dari berbagai lembaga, serta melibatkan unsur TNI dan Polri sehingga akan terwujud modul bela negara yang komprehensif, kongkret, dan riel. Selama ini banyak ma-syarakat yang merasakan dan menyatakan bahwa sosialisasi bela ne-gara terkesan membosankan, monoton, dan monologis, dimana peserta penyuluhan bela negara kadangkala ngantuk dan kurang bersemangat mengikuti penyuluhan bela negara. Ha ini terjadi karena modul bela negaranya ditulis dengan sangat abstrak, tidak disertai dengan contoh-contoh kasus, bahasa yang tinggi terkesan seperti bahasa dewa-dewa yang sulit membumi alias “down to earth” sehingga dianggap oleh masyarakat terkesan elitis, politis, dan jauh dari realistis.

Diperlukan modul bela negara yang disajikan secara kongkret, riel, dan aplikabel sehingga dapat dipahami oleh masyarakat secara jelas dan nyata. Bahasa yang digunakan dalam modul juga harus baha-sa yang mudah dipahami oleh masyarakat bawah. Metode penyuluh-an, pendidikan dan pelatihan bela negara juga harus bersifat dialogis, interaktif dan “having fun” sehingga semua lapisan masyarakat tidak tegang, tidak ngantuk, dan tidak membosankan. Berbagai metode pelatihan yang bersifat monoton harus diubah dimana para peserta pelatihan harus dirancang sebagai pemain utama dalam pelatihan bela negara, diberikan game atau permainan yang terkait dengan bela negara, terdapat simulasi atau praktek langsung yang berhubungan dengan bela negara sehingga semua pihak dapat aktif dalam pelatihan bela negara.

Kementerian pendidikan dan Kebudayaan RI juga harus melaku-kan sinergi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk melakukan berbagai program untuk mendesain silabus, SAP dan GBPP dalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan setiap tahunnya kepada semua murid di tingkat dasar, menengah dan atas. Para guru pendidikan kewarganegaraan berperan penting dalam mensosialisasikan bela negara kepada semua murid se-

92 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

jak dini. Sekolah-sekolah di berbagai daerah merupakan motor peng-gerak yang sangat efektif untuk mensosialisasikan bela negara secara dini kepada murid-murid di berbagai sekolah yang ada di Indonesia.

Sosialisasi bela negara yang termuat dalam pelajaran Pendidik-an Kewarganegaraan di setiap sekolahan mulai dari SD, SMP dan SMA atau yang sederajat sangat strategis untuk dilakukan secara rutin dan intensif. Oleh karena itu, peran guru-guru PKN sangat potensial untuk diberdayakan dalam rangka menumbuhkan semangat bela negara ke-pada para murid. Pemerintah daerah yang didalamnya ada Dinas Pen-didikan dan Kebudayaan harus menyelenggarakan semacam pelatih-an, pendidikan, dan penyuluhan kepada semua guru-guru di sekolah melalui supervisi dari Kemendikbud tentang muatan materi bela ne gara yang harus diajarkan secara dini dalam pendidikan kewarga negeraan sehingga semua murid mampu memahami, menghayati, dan menga-malkan nilai-nilai bela negara.

Muatan materi PKN di setiap daerah juga tentu berbeda-beda, dimana ada penekanan untuk daerah-daerah tertentu, seperti daerah Propinsi Nanggoe Aceh Darusalam (NAD), Propinsi Papua, Propinsi Papua Barat, dan Propinsi Maluku. Di ketiga propinsi ini tentunya ma-ter muatan bela negara harus ditekankan secara kuat karena banyaknya pengaruh asing dan provokasi dari pihak-pihak tertentu yang kadang-kala mengaburkan sejarah. Dalam pelajaran PKN di ketiga wilayah ini, perlu dibuat secara hati-hati dan diajarkan secara jelas tentang sejarah Indonesia dalam menghadapi penjajah bersama-sama dengan para pahlawan nasional lainnya sehingga dapat melakukan “counter” ter-hadap provokasi pihak tertentu yang berusaha membuat sejarah lain yang bertentangan dengan kenyataan yang terjadi selama ini. Jangan sampai pelajaran PKN dijadikan sebagai ajang bagi pihak-pihak ter-tentu untuk mengaburkan sejarah Indonesia dan memutarbalikan fakta sejarah yang justru mendeskreditkan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pelajaran PKN yang diajarkan oleh para guru PKN harus benar-benar selektif dan diajarkan secara benar dan bertanggungjawab.

Agenda Besar Bela Negara ke Depan 93

Kementerian Agama juga harus melakukan sinergi dengan pemerintah daerah, MUI, dan berbagai lembaga keagamaan lainnya dalam memasukan muatan materi bela negara ke dalam struktur pen-didikan di lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Agama. Berbagai pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indone-sia yang mengajarkan pendidikan agam kepada semua santrinya harus mengajarkan muatan materi bela negara kepada santrinya. Lembaga pondok pesantren harus didesain oleh Kementerian Agama dan Kan-wil Agama di daerah untuk mengajarkan nilai-nilai bela negara yang komprehensif kepada para santrinya masing-masing.

Kementerian Agama harus menjalin kerjasama dan sinergi de-ngan MUI untuk membuat rancangan kurikulum di pondok pesantren, khususnya silabus, SAP dan GBPP materi PKN yang didalamnya ter-dapat muatan materi bela negara. Bela negara mutlak harus diajarkan kepada para santri sehingga para santri tidak hanya dibekali tentang ilmu-ilmu agama, melainkan juga dibekali dengan nilai-nilai bela negara yang berbasiskan kepada nilai-nilai keindonesiaan. Para dai, ustazd dan kyai yang mengajarkan mata pelajaran PKN di berbagai pondok pesantren harus diberi arahan, pembekalan dan penyuluhan tentang materi bela negara yang harus diajarkan setiap mengajar di depan santri. Para santri harus diberi pemahaman tentang nilai-nilai bela negara sehingga selain memahami nilai agama, maka santri juga memahami nilai-nilai bela negara.

Menjadi tugas berat pemerintah ke depan bersama dengan in-stansi terkait lainnya untuk menciptakan pembelajaran bela negara yang dapat diterima oleh semua kalangan secara “having fun” dimana terdapat permainan, game, simulasi dan semacam “outbound” bela negara yang justru lebih manjur dan lebih menyerap dalam hati sanu-bari seluruh bangsa Indonesia, dibandingkan dengan teori-teori yang sifatnya normatif dan pelajaran di kelas yang terkesan membosankan di kalangan para remaja dan anak-anak sekolah. Metode pembelajaran bela negara yang efektif namun mengena harus diterapkan sehingga

94 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

akan dapat memberikan kenyamanan bagi para peserta pelatihan bela negara.

Semua itu bisa terjadi dan terwujud apabila terdapat rajutan si-nergi antara berbagai pihak terkait dalam melaksanakan penyeleng-garaan bela negara yang dilakukan secara simultan dan sinergis. Ber-bagai pihak, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bahu membahu melakukan kerjasama, koordinasi, komunikasi, dan sinergi untuk menumbuhkan semangat bela negara di semua level komponen bangsa. Persatuan dan kesatuan antar komponen bangsa sangat pen ting dalam menumbuhkan semangat bela negara yang di-dalamnya terdapat nilai-nilai nasionalisme, patriotisme, wawasan ke-bangsaan dan rasa cinta tanah air.

B. MEMBANGUN BENTENG TERAKHIR BANGSA

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memerlukan benteng terakhir bangsa mengingat berbagai ancaman baik yang datang secara militer dan non militer dan berasal dari dalan negeri dan luar negeri yang membahayakan keutuhan NKRI. Semua lapisan bangsa Indonesia se-benarnya harus menjadi benteng terakhir bangsa apabila bangsa In-donesia menghadapi peperangan dengan negara lain sehingga segala daya upaya harus dilakukan agar supaya keutuhan NKRI dapat terjaga dan persatuan kesatuan bangsa dapat terwujud. Namun demikian, me-mang diperlukan salah satu komponen bangsa yang terlatih, terdidik, dan terampil sebagai garda terdepan dalam menghadapi ancaman mu-suh sehingga dapat menjadi andalan dan senjata pamungkas mengha-dapi setiap serangan musuh.

Satu-satunya harapan yang kita harapkan potensial menjadi benteng terakhir bangsa adalah komponen TNI. Dalam perspektif per-tahanan negara, TNI adalah komponen utama pertahanan negara yang dapat diandalkan dalam menghadapi berbagai upaya dan gerakan yang ingin menghancurkan bangsa Indonesia. TNI merupakan komponen bangsa yang sangat strategis menjadi benteng terakhir bangsa yang

Agenda Besar Bela Negara ke Depan 95

selalu komitmen dan teguh dalam menjaga keutuhan NKRI, persatuan dan kesatuan bangsa, nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air. Negara Indonesia yang plural, jamak, beragam dan sangat komplek dari aspek suku, agama, ras, dan antar golongan sangat membutuhkan ikatan emosional yang satu padu menghadapi ancaman musuh. Ikatan yang kuat untuk membingkai keragaman ini harus didesain agar su-paya tidak terjadi kehancuran yang membahayakan eksistensi NKRI.

TNI merupakan komponen penting dalam struktur NKRI sebagai garda terdepan menghadapi berbagai ancaman yang muncul sangat komplek di era globalisasi saat ini. Sebagai komponen bangsa, TNI telah terlatih dan teruji dalam menyelamatkan bangsa dan negara dari berbagai aancaman dan berjasa sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Di saat komponen bangsa yang lain banyak terlena oleh arus globalisasi, liberalisasi, kapitalisasi, material-isme, dan hedonime, komponen bangsa seperti TNI masih tetap kon-sisten memegang teguh komitmen dalam menjaga keutuhan NKRI. TNI merupakan aset negara yang harus ditumbuhkembangkan dalam menggelorakan semangat bela negara, nyawa wawasan kebangsaan, dan ruh nasionalisme.

Personil TNI yang tersebar dari sabang sampai merauke meru-pakan aset yang terus berdaya guna menumbuhkan semangat bela negara ke seluruh lapisan masyarakt di tengah kesejahteraan praju-rit yang masih relatif rendah dan alokasi anggaran pertahanan yang sangat terbatas. Konsistensi TNI dalam semangat bela negara harus diajungi jempol dan didorong terus agar supaya selalu semangat men-ciptakan berbagai program dan kegiatan bela negara di tengah ke-hidupan masyarakat. Sebagai benteng terakhir bangsa, TNI menjadi sangat strategis dalam pergerakan kehidupan sejarah bangsa Indonesia dari jaman penjajahan sampai dengan era reformasi. Reformasi TNI mampu menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara dan mam-pu mengukuhkan TNI untuk selalu komitmen terhadap bela negara di atas kepentingan sempit apapun.

96 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Di tengah arus globalisasi dimana penjajahan ekonomi, penjajah an politik, penjajahan sosial budaya dan penjajahan paradig-ma berpikir masyarakat semakin merajalela saat ini, TNI mengemban tugas berat untuk memberikan kesadaran kepada semua komponen bangsa tentang pentingnya menumbuhkan semangat bela negara. TNI selalu menyuarakan tentang bela negara melebihi kepentingan individu, kepentingan kelompok, kepentingan partai dan kepentingan sempit lainnya. TNI berdiri di atas semua kelompok dan golongan se-hingga mampu menjadi katalisator dalam menumbuhkan semangat bela negara yang ada di tengah masyarakat.

TNI menghadapi tugas yang teramat berat, berupa memberikan kesadaran masyarakat akan pentingnya memprioritaskan kepenting an negara sebagai bagian dari perwujudan bela negara. Di tengah ma-syarakat yang sudah banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai liberalisme, invidualisme, hedonisme, dan kapitalisme, maka sangat berat bagi komponen bangsa seperti TNI memberikan penyadaran akan penting-nya bela negara. Lunturnya semangat keindonesiaan di tengah ma-syarakat dan memudarnya jati diri bangsa Indonesia saat ini mendo-rong TNI untuk bergerak tiada henti menjadi garda terdepan dalam menghadapi gempuran musuh yang datang secara latent dan tidak ke-lihatan, namun sangat terasakan pengaruhnya terhadap jati diri bangsa Indonesia. TNI merupakan alternatif dalam membentengi diri bangsa ini dari ancaman musuh, dimana sangat tepat jika TNI merupakan benteng terakhir bangsa.

Oleh karena itu, perhatian pemerintah terhadap TNI harus lebih dalam upaya menciptakan semangat bela negara yang tinggi. Kon-disi nyata selama ini tidak terelakan dimana TNI yang ditugaskan di daerah perbatasan, pulau kecil terluar dan wilayah terpencil lainnya mengemban tugas membela negara dengan cara menjaga wilayah per-batasan dari ancaman musuh sembari memberikan penyuluhan bela negara kepada masyarakat di wilayah tugasnya masing-masing. Suara TNI dalam mendendangkan nilai-nilai bela negara sangat nyaring ter-

Agenda Besar Bela Negara ke Depan 97

dengar di telinga seluruh masyarakat Indonesia sehingga harus diper-tahankan, didukung dan didanai secara maksimal.

TNI dan bela negara ibarat dua sisi dari satu keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Artinya, apabila ber-bicara TNI maka kita semua akan selalu teringat dengan bela negara. Sudah menjadi citra di pemikiran masyarakat bahwa TNI sangat dekat dengan bela negara. TNI selalu menyuarakan bela negara. TNI sela-lu berkomitmen untuk membela negara di atas kepentingan apapun. TNI merupakan motor penggerak dalam menyuarakan bela negara ke semua lapisan masyarakat bawah. Tanpa TNI maka bela negara yang ada di tengah masyarakat akan mengalami hambatan karena se-lama ini satuan-satuan kewilayahan TNI, khususnya TNI AD, seperti Kodam, Korem, Kodim, Koramil, sampai Babinsa selalu melakukan pelaksanaan program dan kegiatan yang mengarah pada terwujudnya semangat bela negara di tengah masyarakat Indonesia.

Kita semua harus menghapus stigma dan trauma sejarah masa lalu, khususnya masa Orde Baru dimana TNI dijadikan sebagai alat untuk kepentingan politik tertentu ketika itu, kita semua harus jernih dalam melihat TNI dimana TNI sendiri secara institusi tidak salah, yang salah adalah oknum tertentu ketika itu yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk membawa TNI ke ranah politik praktis dan men-jauhkan TNI dari politik negara. Politik TNI adalah politik negara, di-mana apa yang terbaik bagi negara maka TNI akan lakukan sampai titik darah penghabisan. TNI di era reformasi sangat komit dan konsisten menjaga nilai-nilai reformasi dan selalu mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan apapun. Kepentingan membela negara merupakan keunikan TNI yang harus dijaga, dihormati dan diapreas-iasi oleh semua pihak, khususnya pemerintah.

C. BELAJAR DARI SEJARAH

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai sejarah. Itu-lah kira-kira kata pepatah yang sering kita dengar untuk menunjukkan

98 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

kepada semua orang tentang betapa pentingnya belajar pada sejarah. Melihat sejarah bukan berarti selalu berpandangan ke belakang, na-mun dengan melihat sejarah maka kita akan dapat memetik setiap ke-jadian yang terjadi pada masa lalu sehingga dapat dijadikan sebagai hikmah dan pelajaran yang berharga demi jalan yang akan dihadapi di masa depan. Melalui sejarah akan dapat merefleksi semua kejadian, peristiwa, dan gejala yang telah terjadi selama ini sehingga akan dapat menjadi proyeksi di masa depan.

Sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia harus selalu in-gat terhadap sejarah bangsa, khususnya sejarah perjalanan perjuangan bangsa melawan penjajahan hinga mencapai kemerdekaan sampai dengan bagaimana sejarah mengisi kemerdekaan selama ini. Sejarah akan memberikan kepada kita tentang bagaimana memperlakukan para pendiri bangsa, mengenang para founding fathers, dan mempo-sisikan pada tempat tertinggi kepada semua pahlawan nasional yang telah gugur di medan peperangan selama masa perjuangan mengusir penjajah di era kolonialisme dan imperalisme.

Melalui belajar terhadap sejarah maka kita semua akan lebih ar-ief dan bijaksana dalam menghadapi perjalanan bangsa di masa men-datang. Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang sehingga sa ngat penting kiranya bagi generasi muda penerusa bangsa untuk belajar pada sejarah bangsa dan selalu mengambil setiap hikmah dari setiap peristiwa dalam perjalanan sejarah bangsa. Kealpaan bangsa akan ni-lai-nilai sejarah akan membawa bangsa tanpa arah yang jelas sehingga justru akan menciptakan kepongahan negara dalam menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan. Sejarah harus dijadikan sebagai rambu-rambu bagi para penyelenggara negara untuk lebih arief dan bijakn dalam mengarahkan perjalanan bangsa di masa mendatang.

Jati diri bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sejarah masa lalu yang tidak bisa dipungkiri telah membawa bangsa Indonesia maju sampai saat ini. Krisis jati diri akan melanda bangsa Indonesia apabila bangsa Indonesia melupakan sejarah. Ingat pidato

Agenda Besar Bela Negara ke Depan 99

Bung Karno agar supaya semua masyarakat Indonesia selalu melihat dan belajar pada sejarah. Ungkapan terkenal, seperti “Jas Merah” atau Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah”, merupakan salah satu ungkap-an yang terkenal yang keluar dari mulut Bung Karno dalam pidatonya di depan rakyat ketika itu. Artinya, sejarah merupakan refleksi masa lalu yang akan dapat terulang di masa mendatang sehingga kejadian yang akan datang sangat terkait dengan kejadian masa lalu dan saat ini.

Dalam perspektif sejarah, dikatakan bahwa “sejarah akan ter-ulang”. Artinya, berbagai peristiwa yang terjadi saat ini merupakan ulang an kejadian masa lalu dan akan terjadi kembali di masa yang akan datang. Kejadian yang terjadi di masa lalu, akan terjadi pada saat ini, dan berakibat pada masa depan. Sejarah merupakan pola perulang an yang akan terjadi di masa kini dan masa depan. Setiap kejadian merupakan rangkaian mata rantai yang saling bertautan dan berkaitan. Orang yang bijak adalah orang yang belajar sejarah, khu-susnya sejarah masa lalu dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sejarah memberikan pedoman betapa kejadian di masa kini dan masa depan akan terulang kembali.

Dalam konteks ini, bangsa Indonesia harus belajar sejarah ten-tang bagaimana perjuangan gigih para pahlawan nasional Indonesia dalam merebut kemerdekaan di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Generasi muda sekarang harus belajar sejarah masa lalu dan meniru ketokohan dan keuletan para pahlawan nasional serta diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehar-hari. Artinya, para pemuda sekarang ha-rus ulet, gigih, arief, bijaksana dan memiliki mental baja dalam meng-isi kemerdekaan sebagaimana halnya para pahlawan nasional yang gigih dan ulet melawan penjajahan. Para pemuda Indonesia harus mengambil hikmah dari perjuangan para pahlawan dengan mengisi kemerdekaan melalui berbagai prestasi dan profesi masing-masing.

Bela negara merupakan salah satu contoh bagaimana aplikasi dari pentingnya belajar sejarah. Negara yang kita diami ini merupakan

100 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

hasil jerih payah para pejuang nasional yang gugur membela nega-ra dari tangan penjajah. Kita sebagai orang muda yang hidup untuk meng isi kemerdekaan harus sadar akan hal tersebut dan berupaya mensyukuri hal ini dengan kegiatan yang positif dan berupaya mem-buat nama harum bangsa Indonesia di kancah internasional. Setiap generasi mudah harus mensuritauladani ketokohan dan kepribadian para phlawan nasional yang rela dan mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dengan terjun ke medan peperang-an dengan taruhan nyawa dan meninggalkan anak istri demi NKRI. Kita sebagai generasi muda harus menjadikan semangat tersebut un-tuk mengisi kemerdekaan dan membawa bangsa Indonesia maju, se-jahtera, adil, dan makmur.

Kita semua harus melihat pengalaman sejarah negara Eropa Timur yang bernama Yugoslavia yang hancur berkeping-keping men-jadi beberapa negara merdeka. Yugoslavia merupakan negara gagal dimana berbagai wilayahnya memerdekakan diri dan mendorong Yu-goslavia hilang dari peredaran bumi digantikan dengan negara-negara kecil pecahan dari Yugoslavia. Hal ini terjadi salah satunya karena ti-dak ada ikatan kuat dalam bingkai nasionalisme dan bela negara yang ada dalam warga negaranya. Wawasan kebangsaan di Yugoslavia ti-dak kuat terpatri dalam hati sanubari warga negaranya.

Hal ini tentu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi bang-sa Indonesia agar supaya tidak terpecah-pecah menjadi berkeping-keping sehingga keutuhan NKRI mengalami kehancuran. Banyak pi-hak meramalkan bahwa bangsa Indonesia di masa mendatang akan menjadi beberapa negara sehingga keutuhan NKRI akan terancam. Kita semua sebagai komponen bangsa harus membuktikan bahwa bangsa Indonesia tetap dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas sampau Pulau Rote. Semangat kepahlawanan nasional yang memerdekakan bangsa Indonesia harus terus dipegang teguh sebagai senyawa untuk terus bersatu padu mempertahankan keutuhan NKRI.

Agenda Besar Bela Negara ke Depan 101

Hanya semangat perjuangan yang telah ditorehkan oleh para pejuang bangsa lah yang dapat dipetik, dihayati, dan diaplikasikan dalam kehidupan riel sehari-hari sehingga akan dapat ditransforma-sikan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan dengan tetap dalam bingkai NKRI. Berbagai provokasi, infiltrasi, dan penetrasi asing memang masuk dan sulit dielakkan di era globalisasi saat ini, namun yang paling penting bagi kita semua adalah mengaplikasikan sema-ngat perjuangan, nilai-nilai kejuangan, dan keteladanan para pahla-wan untuk ditransformasikan dalam kehidupan riel sehari-hari. Hanya dengan menghayati sejarah, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar, menjadi super power di masa mendatang.

Sangat tepat apabila bangsa Indonesia belajar dari negara-negara Asia Timur yang maju pesat secara ekonomi sejak dekade tahun 1980-an sampai saat ini. Bangsa-bangsa di Asia Timur, seperti Korea Selatan, Jepang, China, Taiwan dan Hongkong merupakan entitas yang sangat maju secara ekonomi dan sejahtera secara sosial sehingga menimbul-kan keajaiban Asia atau “Asian Miracle”. Bangsa-bangsa Asia Timur maju pesat karena salah satunya adalah belajar dari sejarah. Mereka sangat menghargai sejarah, menghormati budaya, dan menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai sejarah, norma sejarah, dan bu-daya ketimuran menjadi semangat kuat bagi mereka untuk maju dan menjadikan negaranya sebagai negara kuat.

Budaya malu (shame culture) dan budaya salah (quilt culture) selalu dipegang teguh oleh para pemimpin pemerintahan di negara-negara Asia Timur. Mereka selalu memegang nilai-nilai ketimuran dan menghargai sejarah tradisi yang dilahirkan oleh para leluhur. Buda-ya samurai, religi tokugawa, nilai-nilai konfusianisme dan semangat bushido merupakan nilai-nilai kental di wilayah Asia Timur yang di-lestarikan sampai dengan saat ini meskipun mereka telah sangat maju, sangat canggih dan sangat modern. Prinsip hidup: “mengikuti mo-dernisasi tanpa meninggalkan tradisi”, merupakan prinsip yang sangat kuat terpatri dalam hati sanubari bangsa-bangs di Asia Timur sehingga

102 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

mendorong kekuatan besar yang menjadikan mereka menjadi negara maju sejajar dengan negara-negara Barat lainnya.

Dalam kaitan itu, bangsa Indonesia harus memahami bahwa lahirnya bela negara merupakan sesuatu yang tidak datang secara instant atau tiba-tiba, melainkan merupakan sebuah akumulasi per-jalanan sejarah yang panjang sehingga mengkristal dalam balutan ikatan yang terpatri dalam setiap sanubari insan manusia Indonesia. Bela negara merupakan sebuah sikap dan perilaku kecintaan terha-dap Indonesia yang berlangsung melalui proses yang panjang. Ke-cintaan warga negara terhadap bangsa Indonesia harus dirancang, didesain, dan dipatrikan secara cepat dan tepat dalam hati sanubari bangsa Indonesia melalui berbagai peringatan terhadap peristiwa se-jarah, menggali ketokohan pahlawan nasional, dan mengaplikasikan sema ngat kejuangan ke dalam kehidupan riel sehari-hari. Budaya ke-satria, pantang menyarah, gigih, ulet, dan militansi yang kuat meru-pakan nilai-nilai sejarah yang ada pada para pejuang bangsa yang ha-rus di aplikasikan oleh para generasi muda Indonesia saat ini sehingga menjadi se mangat untuk membawa bangsa Indonesia menjadi negara yang maju dan sejahtera.

-oo0oo-

Agus Subagyo, “Bela Negara atau Negara Di Bela: Mengapa Negara Perlu Dibela?”, dalam Jurnal Jipolis FISIP UNJANI, Vol. V, No. 14, Tahun 2006.

Agus Subagyo, “Revitalisasi Pancasila Di Era Reformasi dan Global-isasi”, Jurnal Jipolis FISIP UNJANI, Vol. X, No. 35, Tahun 2009.

Agus Subagyo, “Revitalisasi Wawasan Kebangsaan”, Jurnal Karya Vira Jati Seskoad, Edisi IV, No. 1, Tahun 2005

Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001

Benedict Anderson, ”Kebutuhan Indonesia: Nasionalisme Dan Me-numpas Keserakahan”, dalam Joesoef Ishak, 100 Tahun Bung Karno, Jakarta: Hasta Mitra, 2001.

John Mc Kinsey, The Idea of Nationalism, Toronto: Cillier Books, 1986.

Kenichi Ohmae, The End of The Nation State: The Rise of The Re-gional Economies, New York: The Free Press, 1995.

DAFTAR PUSTAKA

104 Bela Negara: Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi

Kenny Erlington, Nationalisme Etnic and National Interest, Oxford: Oxford Univesity Press, 1996.

Martin Griffith, Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional, Ja-karta, Murai Kencana, 2001

Richard Asley, State, Revolutions and Anarchy, New York: The Free Press, 1992.

Susilo Bambang Yudhoyono, Menuju Negara Kebangsaan Modern, Jakarta, 2004

Wiryono Amin, Pendidikan Kewarganegaraan: Bab X Bela Negara, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001.

Internet:

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/04/30/mm24h3-bpk-segera-audit-dana-otsus-papua-dan-papua-barat. http://economy.okezone.com/read/2013/10/25/20/886934/dana-otonomi-khu-sus-apbn-2014-disetujui-rp16-14-triliun.

http://id.wikipedia.org/wiki/Bela_negara

http://www.organisasi.org/1970/01/kewajiban-bela-negara-bagi-semua-warga-negara-indonesia-pertahanan-dan-pembelaan-negara.html

http://www.organisasi.org/1970/01/kewajiban-bela-negara-bagi-semua-warga-negara-indonesia-pertahanan-dan-pembelaan-negara.html

http://www.saranainformasi.com/2013/10/18/bagaimana-bila-indone-sia-jadi-menerapkan-wajib-militer/

http://id.wikipedia.org/wiki/Wajib_militer

http://setya-wa2n.blogspot.com/2013/01/negara-negara-yang-menga-nut-wajib.html

Daftar Pustaka 105

http://www.setkab.go.id/artikel-7605-komitmen-pemerintah-memban-gun-wilayah-perbatasan.html.

http://www.bekangdam-mulawarman.mil.id/artikel/118-konsep-me-ningkatkan-rasa-nasionalisme-warga-sekitar-batas-negara-di-wilayah-kalimantan-agar-mau-berpartisipasi-dalam-bela-negara-melalui-kegiatan-binter.

http://forum.detik.com/kemhan-bangun-kesadaran-bela-negara-di-per-batasan-t568652.html

-oo0oo-