Fisiologi Berkemih dan Defekasi pada Lanjut Usia
-
Upload
dian-ajeng-atikaningrum -
Category
Documents
-
view
388 -
download
9
Transcript of Fisiologi Berkemih dan Defekasi pada Lanjut Usia
Fisiologi Berkemih pada Lanjut Usia
Pada dasarnya proses berkemih dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase penyimpanan dan
fase pengosongan. Fase penyimpanan ialai fase di mana kandung kemih terisi oleh urin hingga
mencapai nilai ambang batas. Setelah nilai ambang tersebut dicapai, maka akan masuk ke dalam
fase kedua yaitu fase pengosongan atau disebut dengan refleks mikturisi. Refleks ini
dikendalikan oleh sistem saraf otonom tetapi dapat dihambat atau difasilitasi oleh pusat-pusat
saraf di korteks serebri atau batang otak. Kedua proses tersebut melibatkan struktur dan fungsi
komponen saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.
Persarafan kandung kemih dikendalikan oleh saraf-saraf pelvis, berhubungan dengan
pleksus sakralis terutama segmen S-2 dan S-3. Perjalanan impuls melalui dua jalur, sensorik dan
motorik. Peregangan yang terjadi pada dinding kandung kemih akan dibawa oleh saraf sensorik
kemudian diteruskan ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat saraf subkortikal
menyebabkan dinding kandung kemih semakin meregang sehingga menunda desakan untuk
segera berkemih. Sedangkan, pusat saraf kortikal akan memperlambat produksi urin. Sehingga,
proses berkemih dapat ditunda. Gangguan pada pusat saraf tersebut menurunkan kemampuan
seseorang untuk menunda berkemih.
Proses berkemih akan terjadi bila otot destrusor kandung kemih berkontraksi. Kontraksi
ini disebabkan oleh aktivitas saraf parasimpatis yang dibawa oleh saraf-saraf motorik pelvis.
Sedangkan pada fase pengisian, saraf simpatis akan menghambat kerja parasimpatis dan dinding
kandung kemih.
Mekanisme berkemih pada usia dewasa dan usia lanjut tidak jauh berbeda. Hanya saja,
akibat proses penuaan, fungsi dan fisiologis berkemih mengalami penurunan. Pada usia tua
terjadi penurunan kadar hormon estrogen pada wanita dan androgen pada pria. Akibatnya, terjadi
perubahan anatomis dan fisiologis termasuk pada struktur saluran kemih. Misalnya, penurunan
elastisitas pada otot polos uretra sehingga menurunkan tekanan penutupan uretra dan tekanan
outflow. Melemahnya otot dasar panggul yang berperan dalam mempertahankan tekanan
abdomen dan dinamika miksi menyebabkan prolapsnya kandung kemih dan melemahnya
tekanan akhiran pengeluaran urin.
Seperti halnya berkemih, proses defekasi juga melibatkan koordinasi dari sistem saraf,
otot dan kesadaran. Ketika feses sampai di rektum akan memberikan respon keinginan untuk
defekasi. Reaksi ini diawali dengan perangsangan pada saraf enterik setempat. Kemudian impuls
akan disebarkan oleh pleksus mienterikus sehingga terjadi gerakan pendorongan feses.
Penghambatan oleh pleksus mienterikus terhadap sfingter ani internus akan menyebabkan
sfingter berelaksasi. Dan jika, sfingter ani eksternus yang dipersarafi oleh nervus pudendus
secara sadar berelaksasi maka akan terjadi defekasi. Selain itu, kontraksi otot-otot abdomen juga
akan membantu mendorong feses ke rektum dan secara bersamaan juga menyebabkan otot dasar
pelvis berelaksasi ke bawah dan menarik cincin anus keluar untuk mengeluarkan feses.
Daftar pustaka:
Guyton A.C. and Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC,
pp:330; 830
Pranarka K. dan Andayani R. 2007. Konstipasi dan inkontinensia alvi. Dalam: Sudoyo A.W.,
Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M. dan Setiati S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, halaman:1403
Setiati S. dan Pramantara I.D.P. 2007. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam:
Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M. dan Setiati S. (editor). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, halaman:1392-3