FILSAFAT HUKUM
-
Upload
trika-kurnianto -
Category
Documents
-
view
2.080 -
download
2
description
Transcript of FILSAFAT HUKUM
FILSAFAT HUKUM
Disusun oleh :
Nama : Tri Kurnianto
06/200527/EHK/00501
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Filsafat, Pembidangannya dan Letak Filsafat Hukum
Berfilsafat adalah berfikir radikal, radic artinya akar, sehingga berfikir radikal artinya
sampai ke akar suatu masalah, mendalam sampai akar-akarnya, bahkan melewati batas-batas
fisik yang ada, memasuki medan pengembaraan di luar sesuatu yang fisik.
Filsafat atau disebut juga ilmu filsafat, mempunyai beberapa cabang ilmu utama.
Cabang ilmu utama dari filsafat adalah ontologi, epistimologi, tentang nilai (aksiologi),
danmoral (etika).
Obyek Bahasan Filsafat
Filsafat mempunyai obyek bahasan yang sangat luas, meliputi semua hal yang dapat
dijangkau oleh pikiran manusia, dan berusaha memaknai dunia dalam hal makna. Sedangkan
ilmu hukum memiliki ruang lingkup yang terbatas, karena hanya mempelajari tentang norma
atau aturan (hukum). Banyaknya persoalan-persoalan yang berkenaan dengan hukum telah
membangkitkan beberapa pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut yang sangat memerlukan
jawaban mendasar. Permasalahan-permasalahan mendasar tersebut yang tidak dapat dijawab
oleh ilmu hukum menjadi obyek bahasan ilmu filsafat.
Sehingga dengan kata lain Filsafat mempunyai obyek berupa segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh pikiran manusia.
2
B. Pengertian Filsafat Hukum, Manfaat dan Kedudukannya dalam Konstelasi Hukum
Pengertian Filasat Hukum
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu
filsafat tingkah laku atau etika, yang memperlajari hakikat hukum. Atau dapat dikatakan pula
bahwa ilmu yang memperlajari hukum secara filosofis. Sementara itu ilmu hukum hanya
melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh panca indera manusia mengenai
perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan di dalam kehidupan masyarakat.
Sehingga dapat dikatakan bahwa ada dua macam hukum, yaitu hukum yang deskriptif
dan hukum yang preskriptif. Hukum yang deskriptif (descriptif laws) adalah hukum yang
menunjukkan sesuatu itu dapat terjadi, misalnya hukum gravitasi, hukum archimedes atau
hukum yang berhubungan dengan ilmu-ilmu kealaman. Sedangkan prescriptive laws adalah
hukum yang telah ditentukan atau hukum yang memberi petunjuk. Hukum presriptive inilah
yang merupakan bahan penelitian filsafat hukum.
Mengingat obyek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang
dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkisar pada apa-apa yang diuraikan di atas
tadi, seperti hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dan hukum positif,
apa sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai kepada masalah-masalah filsafat
hukum yang ramai dibicarakan pada saat ini (oleh sebagian orang disebut masalah filsafat
hukum kontemporer, suatu istilah yang kurang tepat, mengingat sejak dahulu masalah
tersebut juga telah diperbicarakan) seperti masalah hak asasi manusia dan etika profesi
hukum.
Menurut Apeldorn, ada tiga pertanyaan penting yang dibahas dalam Filsafat Hukum,
yaitu, (a) apakah pengertian hukum yang berlaku umum; (b) apakah dasar kekuatan mengikat
dari hukum, dan (c) apakah yang dimaksud dengan hukum kodrat.
3
Manfaat Mempelajari Filsafat Hukum
Filsafat (termasuk dalam hal ini filsafat hukum), memiliki tiga sifat yang
membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Antara lain adalah, (1) filsafat memiliki karakteristik
yang bersifat menyeluruh; (2) filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar, artinya
dalam menganalisis suatu masalah, kita diajak untuk berfikir kritis dan radikal; (3) sifat
filsafat yang spekulatif, yaitu sifat yang mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum
untuk berfikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Dan ciri lain dari filsafat hukum
adalah bahwa sifat filsafat yang reflektif kritis.
Menurut Lily Rasyid, pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum, antara lain
adalah (1) hubungan hukum dan kekuasaan; (2) hubungan hukum dengan nilai-nlai sosial
budaya; (3) apa sebab negara berhak menghukum seseorang; (4) apa sebab orang menaati
hukum; (5) masalah pertanggungjawaban; (6) masalah hak milik; (7) masalah kontrak; dan
(8) masalah peranan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat.
Sehingga jika kita bandingkan antara apa yang dikemukakan oleh Apeldoorn dan Lily
Rasyid tersebut, maka tampak bahwa masalah-masalah yang dianggap penting dalam
pembahasan filsafat hukum terus bertambah. Melalui sifat kritis ini, filsafat hukum berguna
untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian
mempertanyakan jawaban itu secara terus-menerus. Di dalam mempelajari filsafat hukum
juga memuat materi tentang etika profesi hukum. Dengan mempelajari etika profesi hukum
tersebut, diharapkan calon sarjana hukum dapat menjadi pengemban anamat luhur
profesinya. Menurut Radhakrishnan, dalam bukunya The History of Philosophy, manfaat
mempelajari filsafat (tentu saja termasuk mempelajari filsafat hukum) bukan hanya sekedar
mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju.
4
Ilmu-ilmu yang Berobyek Maju
Disiplin hukum oleh Purbacaraka, Soekanto, dan Chidir Ali diartikan sama dengan
teori hukum dalam arti luas yang mencakup politik hukum, filsafat hukum dan teori hukum
dalam arti sempit. Teori hukum dalam arti sempit inilah yang disebut dengan ilmu hukum.
Ilmu hukum dibedakan menjadi ilmu tentang norma (normwissenschaft), ilmu tentang
pengertian hukum (begriffenwissenschaft) dan ilmu tentang kenyataan hukum
(tatsachenwissenchaft).
Ilmu tentang kenyataan hukum antara lain, Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum,
Psikologi Hukum, Perbandingan Hukum dan Sejarah Hukum.
Sejarah Hukum mempelajari tentang perkembangan dan asal usul dari sistem hukum
dalam suatu masyarakat tertentu. Politik Hukum mencakup kegiatan-kegiatan memilih nilai-
nilai dan menerapkan nilai-nilai. Filsafat Hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-
nilai, kecuali itu Filsafat Hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya
penyerasian antara ketertiban dan ketentraman, antara kebendaan (materialisme) dan
keakhlakan (idealisme), antara kelanggengan nilai-nilai lama (kenservatisme) dan
pembaharuan. Sosiologi Hukum mempelajari secara empiris dan analitis hubungan timbal-
balik antara hukum sebagai gejala dengan gejala-gejala sosial lainnya. Antropologi Hukum
mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya baik pada masyarakat sederhana
maupun masyarakat yang sedang mengalami proses modernisasi. Psikologi Hukum
mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan perkembangan jiwa manusia. Perbandingan
Hukum adalah cabang ilmu (hukum) yang memperbandingkan sistem-sistem hukum yang
berlaku di dalam sesuatu atau beberapa masyarakat.
Dapat pula ditambahkan bahwa politik hukum selalu berbicara tentang hukum yang
dicita-citakan (Ius Constituendum) dab berupa menjadikanya sebagai hukum positif (Ius
Constitutum) pada suatu masa mendatang. Dari pembidangan yang diuraikan di atas, tampak
5
bahwa filsafat hukum tidak memasukkan sebagai cabang dari Filsafat Hukum tetapi sebagai
bagian dari teori hukum (legal theory) atau disiplin hukum. Teori hukum dengan demikian
tidak sama dengan Filsafat Hukumm karena yang satu mencakup yang lainnya.
6
BAB II
PENGERTIAN TRADISIONAL TENTANG HUKUM
Pengertian Hukum di Yunani Kuno
Pada abad 5 Sebelum Masehi, masih primitif. Di mana hukum dipandang sebagai
keharusan alamiah (nomos) baik semesta alam maupun manusia. Contohnya : laki-laki
berkuasa, budak adalah budak, dan sebagainya. Lalu pada abad 4 SM, Plato (427-347 SM)
menulis buku Politeia dan Nomoi. Di dalam bukum Politeia, dilukiskan model negara yang
adil. Dalam negara terdapat kelompok-kelompok. Keadilan adalah jika tiap-tiap kelompok
berbuat dengan apa yang sesuai dengan tempat dan tugasnya. Pada buku Nomoim ditulis
petunjuk dibentuknya tata hukum, dimana peraturan-peraturan yang berlaku ditulis dalam
kitab perundang-undangan. Karena jika tidak, maka penyelewengan dari hukum yang adil
sulit dihindarkan.
Pada zaman itu, Aristoteles, yang hidup pada tahun 348-322 sebelum masehi, menulis
buku Politika. Menurut Aristoteles, manusia merupakan “makhluk polis” (zoon politicon),
dimana harus ikut dalam kegiatan politik dan taat pada hukum polis. Aristoteles membagi
hukum menjadi dua, yakni (1) Hukum Alam (kodrat), mencerminkan aturan alam, selalu
berlaku dan tidak pernah berubah. (2) Hukum Positif, yang dibuat manusia. Dimana
pembentukan hukum harus selalu dibimbing rasa keadilan, yaitu rasa yang baik dan pantas
bagi orang yang hidup bersama. “Kepada yang sama penting diberikan yang sama, kepada
yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama”.
7
Hukum Romawi
Pada abad 8 SM, peraturan Romawi hanya untuk kota Roma dan kasuistik, kemudian
meluas dan menjadi universal (ius gentium) sebagai pedoman para gubernur wilayah (yang
berperan juga sebagai hakim). Beberapa pendapat para sarjana di masa itu, seperti Cicero,
Galius dan Ulpenus, mengatakan bahwa Filsafat Hukum (bersifat idiil) yang menerangkan
dan mendasari sistem hukum bukanlah hukum yang ditentukan (hukum positif/leges),
melainkan hukum yang dicita-citakan dan yang dicerminkan dalam leges tersebut (hukum
sebagai ius). Ius belum tentu ditemukan dalam peraturan, tetapi terwujud dalam hukum
alamiah yang mengatur alam dan manusia. Oleh kaum Stoa, hukum alam adalah pernyataan
kehendak Ilahi.
Hukum Romawi dikembangkan oleh kekaisaran Romawi Timur (Byzantium). Tahun
258-534 dikodifiksi oleh Kaisar Yustinianus: Codex Iuris Rumani/Codex IustinianusCorpus
Iuris Civilis. Kemudian dikembangkan oleh sarjana Barat, hingga oleh Napoleon (1804)
menjadi “Code Civil”.
Pengertian Hukum pada Abad Pertengahan
Ancilla Theologiae
Menurut Imam Syafi’i, hukum berhubungan dengan wahyu secara langsung, sehingga
hukum dipandang sebagai bagian dari wahyu. Sedangkan menurut Agustinus, hukum
berhubungan dengan wahyu secara tidak langsung, yaitu hukum yang dibuat manusia,
disusun di bawah inspirasi agama dan wahyu.
Lima jenis hukum
1. Hukum Abadi (Lex aeterna)
8
Rencana Allah tentang aturan semesta alam. Hukum abadi itu merupakan suatu
pengertian teologis tentang asal mula segala hukum, yang kurang berpengaruh atas
pengertian hukum lainnya.
2. Hukum Ilahi Positif (lex divina positiva)
Hukum Allah yang terkandung dalam wahyu agama, terutama mengenai prinsip-prinsip
keadilan.
3. Hukum Alam (lex naturalis)
Hukum Allah sebagaimana nampak dalam aturan semesta alam melalui akal budi
manusia.
4. Hukum Bangsa-bangsa (Lex gentium)
Hukum yang diterima oleh semua atau kebanyakan bangsa. Hukum itu yang berasal dari
hukum Romawi, lambat laun hilang sebab diresepsi dalam hukum positif.
5. Hukum Positif (lex humana positif)
Hukum sebagaimana ditentukan oleh yang berkuasa : tata hukum negara. Hukum ini pada
zaman modern ditanggapi sebagai hukum yang sejati.
9
BAB III
PENGERTIAN HUKUM ZAMAN MODERN
Zaman Renaissance
Pengertian hukum pada zaman Renaissance diawali dengan penjelasan mengenai
kronologi sejaran pada masa Kekhalifahan Bani Umayyah yang masuk ke Spanyol (Cordova)
tahun 711. Di mana pada saat itu Abdurrahman ad-Dakhil (755 M) membangun masjid,
sekolah dan perpustakaan di Cordova.
Beberapa tokoh filsafat pada masa itu antara lain adalah : Ibnu Majah, lahir di
Saragosa, wafat pada tahun 1136 Masehi. Ia menulis buku “Tadbir al-Muawahhid” (masalah
etos dan eskatologis). Lalu Abu Bakr ibn Tufail, yan lahir di Granada, wafat tahun 1185,
menulis buku “Hay ibn Yuqzhan”. Kemudian pemikir terkenal Ibn Rusyd (1126-1196) yang
merupakan pengikut Aristoteles, menulis buku “Bidayah al-Mutahid”, beliau melahirkan
aliran filsafat baru tersediri di Eropa, yakni Avoreisme. Lalu terdapat pula filsuf Petraca
(1303-1374), Desiderius Erasmus (1469-1537), Thomas More (1478-1535) yang melahirkan
gagasan Humanisme untuk bangsa Eropa yang terbelakang.
Kelahiran sejarah pada zaman Renaissance ini diawali dengan refoemasi agama
Kristen, yang melahirkan agama baru Protestan (1517) oleh Maarten Luther (1483-1546),
dan Johannes Calvin (1509). Kemudian terdapat periwtiwa penting dalam sejarah, yakni
ditemukannya benua baru Amerika pada tahun 1492 dan lahirnya negara nasional.
Percikan pemikiran pada masa ini adalah : (a) hukum bagian dari kebijakan manusia,;
(b) negara tertib hukum; dan (c) pencipta hukum raja. Tokohnya adalah Macchiavelli (1469-
1527), Jean Bodin (1530-1596), Hugo Grotius (1583-1645) dan Thomas Hobbes (1588-
1679).
10
Zaman Aufklarung
Zaman Aufklarung disebut pula zaman rasionalisme, zaman pencerahan, atau zaman
terang budi. Perintis zaman Aufklarung adalah Rene Descrates (1596-1650). Descrates
berpendapat bahwa manusia sebagai subyek dijadikan titik tolak seluruh pandangan hidup.
Zaman ini melahirkan paham inividualisme dan kapitalisme di Eropa pada masa itu.
Aliran Filsafat zaman aufklarung adalah : (a) Rasionalisme, yang mengunggulkan ide-
ide akal murni. Tokohnya adalah Wolff (1679-1754), Montesqieu (1689-1755), Voltaire
(1694-1778), JJ Rousseau (1712-1778) dan Immanuel Kant (1724-1804). (b) Empirisme,
yang mementingkan perlunya basis empiris semua pengertian. Tokohnya adalah John Locke
(1632-1704) dan Davis Hume (1711-1776).
Percikan pemikiran zaman Aufklarung adalah bahwa hukum dimengerti sebagai bagian
suatu pikiran yang lengkap yang bersifat rasional, unsich.Ide dasar konsepsi “negara ideal
adalah negara hukum”. Di mana menurut John Locke diartikan hak warga negara. Menurut JJ
Rousseau, manusia sebagai subjek hukum. Sedangkan menurut Immanuel Kant,
pembentukan hukum untuk kehidupan bermoral.
11
*) Makalah singkat ini disusun oleh penulis dari berbagai sumber dan referensi, untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Hukum oleh Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, SH., MHum, dosen & Direktur Pascasarjana Magister Kenotariatan FH-UGM.
12