Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

172
1 ade saptomo Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM 2015

Transcript of Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

Page 1: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

1

ade saptomo

Awal Memahami

HUKUM

TEORI HUKUM

&FILSAFAT

HUKUM

2015

Page 2: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

2

Prof. Dr. Ade Saptomo, SH., M.Si selain menulis

buku Awal Pemahaman Hukum Teori Hukum & Filsafat

Hukum ini, juga menulis buku Hukum dan Kearifan Lokal

(2010), Metodologi Penelitian Hukum Empiris (2009),

dan Budaya Hukum dan Kearian Lokal (2014). Buku ini

semata merupakan gambaran perjalanan studi hukum

penulis dalam upaya mengetahui, mengerti, dan

memahami hukum. Awalnya, memahami dalam tataran

idealis, merambah ketataran positivistik dan kemudian

hukum dalam tataran sosiologis. Teori hukum dalam buku

ini tidak dimaknai sebagai seperangkat ilmu dan

pengetahuan hukum saja tetapi juga dimaknai sebagai alat

untuk menjawab permasalahan hukum teoretis maupun

praksis, bahkan dalam konteks metodologi dapat

digunakan sebagai alat menggali data hukum, dan

menganalisis data hukum.

Pemahaman yang baik atas teori hukum diharapkan

setiap karya ilmiah menghasilkan teori hukum baru,

konsep hukum baru, setidaknya sintesa hukum baru.

Pemahaman hukum dan teori hukum tersebut memudahkan

jalan untuk membedakan antara teori hukum dan filsafat

hukum. Setidaknya, keduanya memiliki metodologi dan

metode berfikir berbeda dan tataran abstraksinya pun

berbeda ketinggiannya. Untuk mengetahui hal itu, buku ini

menjadi penting untuk dibaca mahasiswa dan semua

penstudi hukum.

Page 3: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

3

ade saptomo

Awal Memahami

HUKUM

TEORI HUKUM

&FILSAFAT

HUKUM

2015

Page 4: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

4

Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)

Hukum,Teori Hukum & Filsafat Hukum vii, 162 hlm

hukum, teori hukum, ilmu hukum, filsafat hukum,

ISBN 978-602-18880-0-1

diterbitkan FHUP Press, editor I Putranto, lay out Ades

email: [email protected]

Jakarta, 2015

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Dilarang mengutip atau

memperbanyak dengan cara apapun seluruh atau sebagian

dari isi buku ini tanpa seizin penulis dan penerbit.

ade saptomo

Page 5: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

5

PENGANTAR

Buku diberi judul Awal Memahami Hukum, Teori

Hukum & Filsafat Hukum ini semula merupakan bahan

perkuliahan yang terdiri dari sekumpulan pandangan-

pandangan sarjana ternama termasuk pandangan penulis

sendiri dan beberapa penjelasan dari sarjana manca negara

yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

Sementara tujuan dibukukannya bahan perkuliahan

tersebut adalah agar mahasiswa dan pembaca umumnya

dapat memahami dengan mudah tidak saja pengertian

hukum dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga hukum

dalam pengertian kaidah dan bagaimana kaidah dimaksud

menjadi hukum tertulis sehingga mempunyai kewibawaan

yang harus dipedomani.

Untuk memudahkan langkah pemahaman dimaksud,

isi buku ini dipilah-pilah kedalam rangkuman kecil yang

terdiri dari serangkaian bab. Diawali Bab I tentang Apakah

Hukum Itu, yang mencakup pengertian hukum dalam

definisi Idealis, Positivistik, dan Sosiologis; Bab II tentang

ApakahTeori Hukum Itu, yang mencakup Pengertian Teori

Hukum, Jenis Teori Hukum, Fungsi Teori Hukum,

Konsepsi dan Jenis Hukum. Kemudian disusul Bab III

tentang Ilmu Hukum Positif, yang mencakup Pengertian

Ilmu, Ilmu Hukum, Ilmu Hukum Positif, Obyek Ilmu

Hukum Positif.

Page 6: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

6

Bab IV tentang Legalistik dan Penemuan Hukum,

yang mencakup Pengertian umum, Pendekatan Legalisitk,

Penemuan Hukum, Metode Interpretasi dan Metode

Konstruksi Hukum. Bab V tentang Teori Hukum dan

Filsafat Hukum, yang mencakup Antara Teori Hukum dan

Filsafat Hukum, Ilmu Hukum Positivis dan

Fenomenologis, serta kajian Kepastian, Keadilan, dan

Kemanfaatan Hukum, dan diakhiri dengan Bab VI Teori

Hukum sebagai Asumsi yang mencakup. Teori-Teori

Hukum Tata Negara, Teori Ilmu Sosial Tentang Hukum,

Teori Ekonomi.

Terhadap penulis yang nama dan bukunya keliru

sebut maupun belum disebut disebabkan karena kurang

teliti dan cermat pribadi penulis. Untuk itu, dalam

kesempatan ini penulis mohon maaf atas

ketidaknyamanannya. Jika ada satu kata, dua kata, tiga

kata, dan seterusnya masih salah, sekali lagi mohon maaf.

Namun demikian, keseluruhan tulisan dimaksud telah

dijadikan bahan ajar dimana penulis mengajar di berbagai

program studi doktoral dan magister ilmu hukum pada

universitas ternama di Indonesia.

Jakarta, 2015

Page 7: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

7

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................... iii

DAFTAR ISI.......................................................................v

BAB I APAKAH HUKUM ITU......................................1

I.1 Pengertian Hukum .................................................1

I.2 Definisi Hukum .....................................................7

I.2.1 Definisi Idealis ....................................................9

I.2.2 Definisi Positivistik ..........................................15

I.2.3 Definisi Sosiologis ............................................19

BAB II APAKAH TEORI HUKUM ..............................22

II.1 Pengertian Teori Hukum ....................................22

II.2 Jenis-Jenis Teori Hukum ....................................27

II.3 Fungsi Teori Hukum ..........................................30

II.4 Konsepsi dan Jenis Hukum ................................36

BAB III ILMU HUKUM POSITIF ................................44

III.1 Pengertian Ilmu ................................................44

III.2 Ilmu Hukum ......................................................54

III.3 Ilmu Hukum Positif...........................................58

III.4 Obyek Ilmu Hukum Positif ...............................61

BAB IV LEGALISTIK DAN PENEMUAN

HUKUM ...................................................................67

IV.1 Pengertian Umum .............................................67

IV.2 Pendekatan Legalistik .......................................71

IV.3 Pendekatan Penemuan Hukum .........................77

IV.3.1 Metode Interpretasi ........................................82

IV.3.2 Metode Konstruksi Hukum............................85

Page 8: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

8

BAB V TEORI HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM . 90

V.1 Antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum ......... 90

V.2 Ilmu Hukum Positivis dan Fenomenologis ..... 103

V.3 Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan .......... 109

BAB VI TEORI HUKUM SEBAGAI ASUMSI ........ 117

VI.1 Teori-Teori Hukum Tata Negara ................... 117

VI.2 Teori Ilmu Sosial Tentang Hukum ................ 132

VI.2.1 Dalam Sosiologi Hukum ............................. 132

VI.2.2 Dalam Antroplogi Hukum .......................... 144

VI.2.3 Dalam Ilmu Hukum Adat ............................ 148

VI.2.4 Dalam Ilmu Ekonomi .................................. 150

DAFTAR PUSTAKA .................................................... 159

Page 9: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

9

BAB I

APAKAH HUKUM ITU

I.1 Pengertian Hukum

Tampaknya, menjelaskan tentang sesuatu lebih mudah

daripada memberi definisi tentang sesuatu dimaksud.

Namun tidak lazim untuk menjelaskan sesuatu atau

mengkaji sesuatu subyek tertentu tetapi definisinya sendiri

belum jelas. Pada awal mengkaji sesuatu subyek dengan

tanpa pembatasan (definisi) akan beresiko belakangan

karena diskusinya pun tidak akan terarah dengan baik.

Untuk itu, definisi tentang sesuatu yang menjadi subyek

kajian menjadi sangat perlu karena selain sebagai

pembatasan, pengarahan, juga sebagai awal dan akhir dari

kajian sebuah subyek. Dengan demikian, definisi tetap

perlu dan penting untuk dirumuskan. Namun, untuk

memberikan definisi hukum secara pasti memang sulit

karena banyak alasan.

Pertama, dalam semua tingkat perkembangan

masyarakat baik dari masyarakat dengan peradaban rendah

hingga peradaban tinggi masing-masing masyarakat

dimaksud memiliki hukum. Perbedaan terletak antara

hukum dari dua masyarakat tidak hanya dalam satu bentuk

saja tetapi ada tahapan perkembangan yang masing-masing

memiliki karekteristik berbeda sehingga terminologi

hukum berarti dan mencakup hal-hal yang berbeda dalam

setiap masyarakat. Kata-kata terkait law dalam bahasa

Inggris, dalam sistem hindu disebut dharma, dalam sistem

Page 10: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

10

Islam disebut hukum, dalam bahasa Romawi disebut jus,

dalam bahasa Perancis disebut Droit, dan dalam bahasa

Jerman disebut Richt. Makna dan gagasan yang ada dalam

kata-kata tersebut berbeda-beda satu sama lain sehingga

suatu definisi hukum yang gagal mencakup semua makna

dimaksud tidak akan menjadi definisi baik.

Kedua, defnisi berbeda padahal yang didefinisikan

dari hal yang sama, mungkin ini terjadi karena definisi

diberikan dari sudut pandang berbeda dan satu sudut tidak

mengambil pertimbangan dari sudut pandang yang lain.

Dengan demikian definisi yang diberikan oleh lawyer,

filosof dan theologian semakin menjadi besar perbedaan.

Aliran beragam yang dianut penekun hukum telah

mendefinisikan hukum dari sudut berbeda-beda pula.

Beberapa ahli hukum telah mendefinisikannya dengan

mendasarkan pada siapa, dan beberapa ahli hukum

menekankan pada sumbernya, sementara beberapa ahli

hukum yang lain berkenaan dengan pengaruh masyarakat,

sementara beberapa ahli hukum lain berkaitan dengan

akhir atau tujuan. Sebuah definisi yang tidak mencakup

semua ini akan menjadi definisi yang tidak sempurna.

Ketiga, demikian juga dalam tataran ilmu

pengetahuan terutama dalam ilmu sosial. Ilmu sosial yang

dimaksud adalah sebuah ilmu yang tumbuh dan

berkembang bersama masyarakat. Perkembangan

masyarakat mulai dari masyarakat sederhana hingga

modern, terutama era modern yang penuh kemajuan ilmu

dan teknologi tinggi, telah menciptakan problem baru.

Page 11: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

11

Hukum dituntut mencakup bidang-bidang baru dan

bergerak ke arah baru agar mampu menjaga ruangan,

fungsi, dan skope hukum yang selalu berubah. Oleh sebab

itu, sulit untuk memberikan sebuah definisi hukum dalam

pengertian tertentu untuk tetap valid untuk sepanjang

waktu. Sebuah definisi yang tetap dan baku sudah tidak

memungkinkan lagi mengingat definisi yang paling

memuaskan saat ini bisa mempersempit dan tidak lengkap

untuk masa yang akan datang. Oleh karena kesulitan itu,

Hart pernah mengatakan bahwa sejak zaman kuno

kebutuhan akan definisi apa hukum itu telah dibuat dan

jawaban berbeda telah diberikan, diantaranya

“Few questions concerning human society have been

asked with such persistence and answered by serious

thinkers in so many diverse, strange, and even

paradoxical ways as the question What Law is.1

Jawaban atas pertanyaan “apa hukum itu” itu tidak

gampang. Jawaban yang paling baik mendekati persoalan

itu dengan mengemukakan sejumlah ciri dan sifat dari

hukum secara singkat dan mencoba menjelaskannya

sampai pada suatu “pengertian dari hukum itu sendiri.

Ketidakgampangan dimaksud karena suatu analisis hingga

pada perumusan jawaban tidak bebas nilai dan netral,

tetapi terkait pada orientasi kefilsafatan hukum yang

melandasi. Pada umumnya, setiap kali “hukum”

dibicarakan, yang dimaksud adalah hukum yang berlaku

1 Hart H.L.A., 1961. The Concept of Law. hlm. 1

Page 12: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

12

atau biasa disebut hukum positif. Jadi, hukum yang berlaku

diartikan sebagai undang-undang atau keputusan-

keputusan hakim dan tidak tentang salah satu hukum

kodrat atau sistem-sistem hukum ideal lain yang mungkin

memang juga berlaku. Hukum yang dibicarakan di sini

adalah hukum pada umumnya yang setiap hari banyak

orang berurusan dengannya. Ada beberapa ciri objektif

untuk sampai pada apa yang disebut hukum:2

a. Hukum itu untuk bagian terbanyak ditetapkan oleh

kekuasaan atau kewibawaan yang berwenang. Ini

hampir selalu berupa perlengkapan penguasa

(overheads-organ) dari suatu tatanan hukum dan

tatanan negara yang konkret.

b. Hukum memiliki suatu sifat lugas dan objektif. Itu

berarti bahwa ia secara jelas dapat dikenali dan tidak

tergantung pada kehendak bebas yang subjektif. Kita

juga dapat mengatakan bahwa hukum positif modern

itu rasional. Dengan itu Koesnoe maksudkan bahwa

hukum itu tidak timbul dari pewartaan religius

(wahyu), juga tidak lagi memiliki suatu bobot mistik

atau yang irasional, tetapi bahwa ia hampir selalu

merupakan resultat dari suatu prosedur yang diatur

secara cermat. Bila suatu undang-undang dibentuk atau

bila suatu proses di hadapan hakim dijalankan, maka

berbagai argumentasi dihadapkan yang satu terhadap

2 Meuwissen dan K. Larenz, 1979. Richtiges Recht.

Page 13: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

13

yang lain dan dipertimbangkan dengan membanding-

bandingkan yang satu terhadap yang lain. “Rasionalitas

dari hukum” terutama mengandung arti bahwa orang-

orang berupa untuk saling meyakinkan berdasarkan

argument-argumen yang masuk akal. Hal menetapkan

hukum adalah bukan begitu saja suatu keputusan dari

otoritas, tetapi membutuhkan suatu motivasi lebih jauh.

c. Hukum itu berkaitan dengan tindakan-tindakan dan

perilaku manusia yang dapat diamati. Ia primer tidak

berminat pada pertimbangan-pertimbangan atau

perasaan-perasaan subjektif, meskipun hal itu juga

khususnya dalam hukum pidana kadang-kadang

penting. Dalam segi ini, hukum itu dibedakan dari

etika. Untuk etika, suatu pertimbangan pribadi yang

murni, intensi (niat) atau sikap memang penting. Untuk

hukum hal ini baru terjadi (menjadi penting), bila

disposisi yang demikian itu diwujudkan dalam suatu

perilaku (atau pola perilaku) konkret. Jadi hukum itu

mengatur hubungan-hubungan lahiriah antar manusia.

Ia tidak berkaitan dengan hubungan-hubungan atau

kontak-kontak pribadi yang murni.

d. Hukum itu memiliki suatu cara keberadaan tertentu,

yang kita namakan keberlakuan (berlaku, gelding).

Sebagaimana yang akan kita lihat keberlakuan ini

mengenal (memiliki) tiga aspek, yakni aspek moral

aspek sosial, dan aspek yuridis.

e. Hukum itu memiliki suatu bentuk tertentu, suatu

struktur formal. Kita membedakan kaedah-kaedah

Page 14: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

14

hukum, figur-figur hukum dan lembaga-lembaga

hukum (pranata hukum). Termasuk ke dalam kaedah-

kaedah hukum adalah aturan-aturan umum (misalnya

undang-undang) keputusan-keputusan konkret

(misalnya vonis, keputusan-keputusan pemerintah atau

ketetapan) dan asas-asas hukum (misalnya itikad baik,

tuntutan kecermatan kemasyarakatan, pacta sunt

servanda, asas persamaan).

Sementara itu, perbedaan asasi antara aturan-aturan

hukum dan asas-asas hukum tidak ada. Asas itu seperti

aturan memiliki suatu sifat umum, dengan catatan

bahwa isinya kadang-kadang dirumuskan kurang tajam

ketimbang yang terjadi pada aturan. Selanjutnya

misalnya dalam pengertian “aturan” masih dapat

dibedakan berbagai struktur, misalnya keharusan-

keharusan (perintah-perintah), larang-larangan,

pemberian kewenangan-kewenangan. Struktur-struktur

demikian oleh banyak filsuf hukum analitik dijadikan

objek penelitian.

Figur-figur hukum memiliki suatu sifat yang lebih

majemuk. Mereka adalah perangkat-perangkat aturan-

aturan dan keputusan-keputusan atas dasar suatu

substrat ideal aturan-aturan dan keputusan-keputusan

atas dasar suatu substrat ideal atau kemasyarakatan

spesifik (misalnya hak milik, kontrak, perbuatan

melanggar hukum, hak-hak dasar). Lembaga hukum

jauh lebih majemuk lagi : dalam banyak hal ia

mengenal suatu pengaturan kewenangan-kewenangan

Page 15: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

15

yang terjabar masing-masing dengan organ tersendiri.

Contoh, di antaranya, perkumpulan-perkumpulan,

perusahaan-perusahaan, perseroan-perseroan. Lembaga

hukum yang terpenting adalah negara.

f. Ciri yang terakhir dan terpenting dari hukum

menyangkut objek dan isi dari hukum. Hukum itu

memiliki pretensi untuk mewujudkan atau mengabdi

tujuan tertentu. Dalam arti yang sangat formal, kita

menunjuk tujuan ini sebagai idea-hukum (cita-hukum).

Tentang isi dari idea hukum itu di dalam filsafat hukum

terdapat perbedaan pemahaman yang besar. Sebagai

tujuan dari hukum sering dirujuk adalah ketertiban,

perdamaian, harmoni, prediktabilitas, hal dapat

diperhitungkan, kepastian hukum. Oleh yang lain

persamaan dan keadilan juga dipandang penting.

Sebagaimana yang akan diuraikan, menurut pandangan

Koesnoe, dalam hubungan ini kebebasan memiliki arti

penting secara primer. Sementara itu Koesnoe

berpendapat bahwa di sini persoalannya berkenaan

dengan pretensi yang dijalankan oleh hukum. Hukum

selalu menginginkan sekurang-kurangnya prima facie

untuk mewujudkan suatu idea-hukum tertentu.

Penetapan tujuan ini terletak dalam lingkungan

normatif. Apakah penetapan tujuan ini atau

perwujudannya juga secara faktual atau sungguh-

sungguh ada, adalah suatu persoalan yang sama sekali

lain tatanannya. Untuk sebagian ia hanya dapat

ditentukan berdasarkan penelitian empiris. Koesnoe

Page 16: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

16

masih menambahkan padanya bahwa, menurut

pemahaman Koesnoe, hukum itu selalu memiliki

perkaitan dengan hubungan-hubungan lahiriah

antarmanusia bertalian dengan penentuan atas benda-

benda langka. Justru dalam hubungan-hubungan

intersubjektif untuk sebagian tentu saja hukum

bertujuan untuk merealisasikan kebebasan.

Setelah masuk pada kajian ciri-ciri hukum, kembali

ke belakang sejenak untuk mengingatkan betapa penting

definisi hukum yang telah berkembang hingga saat ini.

Definisi hukum dimaksud dapat ditemui dalam beberapa

literatur yang terkait dengan Ilmu Hukum, disana akan

ditemukan beberapa definisi tentang “hukum”, hal itu

dapat pula ditemukan dalam kamus, ensiklopedi ataupun

dari suatu aturan perundang-undangan. Untuk melihat apa

yang dimaksud dengan hukum, berikut akan diurai definisi

“hukum” dari beberapa aliran pemikiran dalam ilmu

hukum, sebab timbulnya perbedaan tentang sudut pandang

orang tentang apa itu “hukum” salah satunya sangat

dipengaruhi oleh aliran yang melatarbelakanginya.

I.2 Definisi Hukum

Mengerti definisi menjadi penting dan perlu karena

mengawali dan mengakhiri kajian suatu bidang ilmu lazim

dengan pengertian definisi bidang ilmu dimaksud. Untuk

memberikan definisi hukum secara perbandingan

merupakan perkerjaan sulit karena banyak alasan, pertama,

dalam semua masyarkat dari bentuk primitif hingga

masyarakat yang telah memiliki peradaban tinggi, maju,

Page 17: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

17

dan modern masing-masing memiliki apa yang disebut

hukum. Itu satu hal, hal lain hampir setiap penekun hukum

baik itu akademisi, praktisi, bahkan pengamat hukum

sekalipun telah berusaha untuk mendefinisikan hukum

dengan sudut pandang berbeda.

Bahkan telah banyak definisi dengan beragam sudut

telah mereka berikan sehingga banyak pilihan definisi

untuk didiskusikan. Oleh karena terdapat banyak definisi,

maka dengan tujuan mengklarifikasi definisi-definisi

hukum tersebut, di bawah ini diklasifikasikan definisi-

definisi dimaksud ke dalam tiga kelompok definisi, yaitu

definisi idealis (idealisitic definition), definisi positivistis

(positivistical definition), dan definisi sosiologis

(sociological definition).

I.2.1 Definisi Idealis

Definisi idiealis dimaksud pada umumnya diberikan pada

zaman Romawi dan ahli-ahli hukum masa silam. Di

antaranya definisi yang diberikan oleh Justinian‟ s Digest

bahwa hukum didefinisikan sebagai the standard of what is

just and unjust. Ulpian mendefinisikan hukum sebagai the

art or science of what is equitable and good. Cicero

mengatakan bahwa hukum law is the highest reason

implanted in nature. Pendek kata keadilan sebagai elemen

utama hukum, merupakan satu hal yang harus ditekankan

dalam semua upaya pengungkapan semua definisi hukum.

Namun demikian, satu hal yang perlu dicatat bahwa apa

saja pandangan teoretis ahli hukum Romawi saat itu

Page 18: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

18

mereka miliki, dalam praktik tidak pernah kebingungan

dalam memisahkan antara hukum dan keadilan.

Pada era Hindu Kuno juga memiliki pandangan

bahwa hukum adalah perintah Tuhan dan bukan perintah

dari kekuatan politik. Pembuatan peraturan itu sendiri juga

terikat pada dan patuh pada hukum, bahkan memiliki

kewajiban untuk melaksanakan hukum tersebut. Jadi

hukum dipandang sebagai dharma. Ini merupakan

pandangan tentang hukum yang ditemukan moral dan

religious injunction mingled up with legal precept.

Artinya, ide keadilan selalu dihadirkan konsep hukum

dalam masyarakat Hindu.

Hukum alam (natural law atau lex naturalis) pun

merupakan idealis karena pada dasarnya merupakan

hukum yang tidak dibuat oleh manusia dan oleh karenanya

berlaku universal (International Encyclopedia of the Social

Sciences). Pemahaman hukum alam ini sering

diasosiasikan bertentangan atau merupakan lawan dari

pemahaman hukum positif, masyarakat, dan pemerintahan

negara. Pemahaman tentang teori hukum alam tidak

terlepas dari pemikiran Aristotle (384 SM-322 SM) yang

menggali filsafat Yunani dengan membedakan antara

“hukum” dan “alam.” Hukum bisa berbeda dari satu

tempat dengan lainnya, sedangkan alam bersifat universal.

Kebutuhan, perilaku, dan hak-hak manusia, pada

prinsipnya bersifat alami atau sesuai dengan hukum alam.

Oleh karena itu, Aristotle mengemukakan faktor

terpenting yaitu aspek keadilan yang bersifat alami atau

Page 19: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

19

universal (ius naturalis). Atas dasar pemikiran dan

kontribusinya dalam perkembangan ilmu hukum, Aristotle

dinobatkan sebagai “bapak hukum alam.” Pandangan

Aristotle tersebut sering dikaitkan dengan sebuah

ungkapan “an unjust law is not a true law” (hukum yang

tidak berkeadilan bukan hukum sebenarnya). Prinsip-

prinsip dari pemikiran Aristoteles tersebut kemudian

dielaborasi lebih lanjut dalam pengembangan ilmu hukum

oleh Thomas Aquinas (1225-1274) dalam bukunya

Treaties on Law3, sehingga menjadi dasar-dasar

pengembangan ilmu hukum pada abad-abad berikutnya.

Menurut pandangan Thomas Aquinas, dalam konteks

hukum, aturan-aturan moralitas pada hakekatnya bersifat

alami dan mengikat bagi seluruh umat manusia. Untuk itu,

Thomas Aquinas mengembangkan teori hukum alam yang

didasari oleh tiga doktrin yaitu:4

(1) Semua hukum yang berkeadilan dapat ditemukan

secara alami;

(2) Aturan-aturan yang bersifat aturan dasar harus

dijadikan pedoman untuk menyelesaikan berbagai

konflik; dan

(3) Hukum hanya dapat dipahami dan dimengerti apabila

didasari oleh prinsip-prinsip moralitas yang telah ada

dan bersifat alami.

3 Lihat McInerny, R. 1996. Thomas Aquinas: Treatise on law (Summa

Theologica, Quesions 90-97). Regnery Publishing Inc, Washington,

D.C. 4 Ibid

Page 20: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

20

Oleh karena sifatnya yang universal, pemikiran

Thomas Aquinas banyak mempengaruhi pengembangan

sistem hukum di dunia, terutama di Inggris dan negara-

negara Anglo-Saxon yang menganut sistem common law.

Definisi tersebut diatas diberikan pada saat ketika belum

ada pembedaan secara jelas antara hukum, moral, dan

agama sehingga seolah ketiganya menyatu ke dalam satu

definisi. Sementara pada saat zaman sudah modern

demikian, hukum pada umumnya telah disekulerisasi dan

telah tumbuh berkembang ke dalam satu cabang yang

independen dalam ilmu sosial. Untuk itu, definisi hukum

diberikan dari sudut teologis.

Namun unsur keadilan masih menjadi elemen penting

dalam beberapa definisi yang diberikan oleh ahli-ahli

hukum modern. Mereka telah mendefinisikan hukum

berkaitan dengan keadilan tetapi konsep keadilan tidak

sama persis seperti keadilan pada zaman kuno. Keadilan,

dalam definisi modern berarti keadilan hukum dan bukan

sebuah keadilan abstrak. Keadilan dapat diperoleh melalui

proses hukum formal, yatu melalui praktik peradilan.

Pandangan demikian telah diklasifikasikan oleh ahli

hukum masih sebagai idealistis meskipun mereka

sebenarnya positivistik.

Definisi yang demikian ini adalah definisi yang

dikemukakan oleh Salmond, bahwa hukum merupakan

prinsip-prinsip yang diakui dan diterapkan oleh negara

sebagaimana tampak dalam administrasi peradilan. Dengan

kata lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui,

Page 21: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

21

dijalankan oleh pengadilan. Ada dua implikasi penting

berkenaan dengan definisi yang demikian ini. Pertama,

bahwa untuk memahami hukum orang harus mengetahui

tujuannya, kedua bahwa untuk mengetahui ciri utama

hukum orang harus masuk ke pengadilan dan tidak ke

lembaga legislasi. Definisi Salmond demikian ini menuai

kritik dari para ahli hukum lain. Di antaranya, Vinogradoff

menyampaikan kritik terhadap definisi Salmond karena

definisi tersebut didasarkan pada sebuah pemahaman

bahwa hukum berlangsung dari tindakan hakim.

Kritik utama terhadap definisi Salmond adalah bahwa

ia merancukan antara keadilan dengan hukum sementara

hukum dan keadilan bukan satu hal sama karena hukum

diterapkan hingga memperoleh kesimpulan apakah baik

atau buruk. Sementara, keadilan merupakan idealisme

yang ditemukan dalam moral manusia. Salmon itu tidak

pernah membicarakan keadilan, tetapi ia mengatakan

bahwa dengan hukum keadilan itu dapat diperoleh. Dengan

demikian, hukum telah didefinisikan oleh Salmond

berkenaan dengan tujuan. Memang mendefinisikan hukum

yang dikaitkan dengan tujuan mungkin membantu namun

ketika hukum dimaknai untuk melayani banyak tujuan,

tentu definisi demikian itu akan memperoleh kesulitan

sendiri. Misalnya saja, jika tujuan hukum adalah keadilan

maka Salmond dianggap telah mempersempit wilayah

kajian hukum.

Kedua, untuk mengerti hukum orang harus pergi ke

pengadilan dan bukan ke lembaga legislasi. Pandangan

Page 22: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

22

demikian ini telah dikritik dengan alasan-alasan sebagai

berikut: Pertama, menurut definisi ini berarti konvensi-

konvensi yang seharusnya dikeluarkan dari hukum karena

konvensi tidak dijalankan pengadilan. Kedua, definisi

Salmon demikian itu telah memunculkan kontroversi

tentang makna pengadilan. Misalnya, apakah peradilan

administrasi yang dalam beberapa kasus telah menetapkan

hak dan tanggung jawab hendak dipertimbangkan sebagai

pengadilan atau bukan. Pada titik ini jelas definisi Salmond

kurang memadai sehingga hal itu merupakan kesulitan

tersendiri bagi Salmond untuk menjawabnya. Ketiga,

pranata-pranata hukum tidak dipertimbangkan sebagai

hukum menurut definisi Salmond karena pranata-pranata

itu tidak lahir di depan pangadilan, demikian pula hukum

internasional, hukum adat, dan seterusnya yang

kesemuanya tidak lahir dan tidak dijalankan oleh

pengadilan, pada hal keseluruhannya menjadi rujukan

bertindak dalam kehidupan sehari-hari .

Dalam aliran Sejarah, Karl Von Savigny mengatakan

bahwa: All law is originally formed by custom and popular

feeling, that is, by silently operating forces. Law is rooted

in a people‟s history: the roots are fed by the

consciousness, the faith and the customs of the people

(Keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui

kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui

pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum

berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan

oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara.

Page 23: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

23

Selain itu, masih terdapat lagi aliran hukum lain,

yaitu aliran hukum alam yang diteorikan oleh Aristoteles.

Menurut aliran hukum alam, hukum didefinisikan sebagai

sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan

mengekspresikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi

untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di

pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap

pelanggar. Selain Aristoteles, Jhon Locke juga berpendapat

bahwa hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga

masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan

mereka, untuk menilai/mengadili mana yang merupakan

perbuatan jujur dan mana yang merupakan perbuatan

curang.

I.2.2 Definisi Positivistis

Selain itu, masih ada di dalam hukum terdapat pandangan

dari aliran Positivistis. Definisi positivistis sebenarnya juga

telah lama muncul, misalnya saja pernyataan para ahli

filsafat hukum yang mengembangkan teori positivisme

hukum (legal positivist theory),5 terutama Jeremy Bentham

(1748-1832), John Austin (1790-1859), Hans Kelsen

(1881-1973), H.L.A. Hart (1907-1992), dan Joseph Raz

(1939-sekarang). Teori ini didasari oleh 3 prinsip pokok

yaitu:

5 Jeremy Bentham (1748-1832) dikenal sebagai tokoh individualis,

utilitarian, John Austin (1790-1859) dikenal sebagai tokoh aliran

analistis dan bapak Jurisprudence Inggris, Hans Kelsen (1881-1973)

dikenal sebagai tokoh positivis, H.L.A. Hart (1907-1992), dan Joseph

Raz (1939-sekarang).

Page 24: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

24

(1) Tidak ada kaitan langsung antara hukum dan etika

atau moralitas;

(2) Hukum adalah aturan yang dibuat oleh manusia,

disengaja atau tidak;

(3) Hukum harus memberikan kepastian dan

menggunakan ukuran-ukuran pasti, yaitu sangat

ditentukan oleh aturan-aturan dan praktik dalam

kehidupan sosial masyarakat yang memberlakukan

norma sebagai hukum.

Perdebatan antara penganut paham hukum alam

(natural-made) dan positivisme hukum (man-made) selalu

menarik perhatian diantara para ahli filsafat hukum. Para

penganut paham positivisme berpendapat bahwa hukum

didasarkan oleh suatu tindakan, praktik, atau permasalahan

yang di masa lampau tidak bisa dipecahkan; masa yang

akan datang ditentukan oleh suatu tindakan dan keputusan

masa lampau dan masa kini. Teori Bentham yang

dielaborasi lebih tegas oleh salah seorang muridnya yakni

John Austin dalam bukunya The province of jurisprudence

determined (1832), mengemukakan bahwa hukum

merupakan perintah penguasa (kedaulatan) yang

dilengkapi dengan ancaman dan harus dipatuhi oleh

banyak orang atau masyarakat umum.

Menurut John Austin bahwa hukum adalah

seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak

langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga

masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik

independen, dimana otoritasnya merupakan otoritas

Page 25: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

25

tertinggi. Dengan kata lain, hukum merupakan komando,

perintah dari yang berdaulat. Hukum mewajibkan

serangkaian tindakan atau mendorong suatu kewajiban dan

diikuti sebuah sanksi. Dengan demikian, perintah,

kewajiban, dan sanksi merupaka tiga unsur penting dalam

mendefinisikan hukum. Artinya, hukum yang mencirikan

atau meliputi tiga elemen penting ini disebut hukum

positif. Sehubungan dengan itu, definisi John Austin

setidaknya menggambarkan paham positivisme dimaksud.

John Austin membedakan antara hukum positif,

moralitas positif dan jenis-jenis lain aturan yang disebut

hukum. Memang definisi Austin demikian juga tidak luput

dari kritikan dengan alasan-alasan sebagai berikut:

pertama, tidak semua hukum adalah perintah, kedua

kebanyakan hukum memberikan kesempatan daripada

pembatasan (ini berarti bukan sebuah kewajiban). Ketiga,

hukum bukan sanksi semata yang membuat patuh hukum

tetapi juga ada faktor lain. Kelemahan lainnya bahwa

definisi John Austin demikian ini tidak mencakup

kebiasaan dan hukum internasional karena keduanya ini

tidak mempunyai esensi hukum sebagaimana menurut

definisi John Austin. Secara lengkap, Austin mengabaikan

aspek sosial dan faktor psikologis yang memang menjamin

ketaatan seseorang terhadap hukum.

Kemudian Hans Kelsen yang menggunakan

pendekatan the pure theory of law, dapat juga

dikategorikan sebagai positivis. Meskipun ia menganut

aliran positivisme hukum, namun agak berbeda pendapat

Page 26: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

26

dengan sarjana sebelumnya karena ingin memberikan jalan

tengah antara hukum alam dan positivisme hukum.

Menurut Hans Kelsen, hukum tidak dibatasi oleh

pertimbangan moral seperti yang dianut dalam mazhab

hukum alam.6

Menurut A.P. d‟Entreves,7 teori positivisme hukum

dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis yaitu: (i)

imperativisme, yaitu hukum merupakan perintah

kekuasaan yang didukung oleh suatu kebiasaan; (ii)

normativisme, yaitu hukum merupakan kumpulan norma-

norma; dan (iii) realisme (realism), yaitu hukum

merupakan produk manusia yang selalu berkaitan dengan

dunia nyata. Dari ketiga jenis teori tersebut, yang paling

mendapat perhatian besar adalah realisme hukum.

Jika dalam teori hukum positif, pengertian positif

bersifat “tekstual,” maka dalam teori realisme hukum,

pengertian positif bersifat “kontekstual.” Lain lagi

menurut Oliver Wendell Holmes, Jr. (1841-1935) yang

dalam bukunya The common law (1881), dikatakan hukum

bukan semata teks dan kontekstual tetapi hukum lebih

mudah dimengerti dalam praktik sebagaimana yang

dijalankan oleh institusi peradilan, kantor pengacara, dan

6Asshiddiqie, J dan Safa‟at, a., 2006. Teori Hans Kelsen Tentang

Hukum. sekretariat jenderal & kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

R.I. Jakarta. 7Lihat A.P. d‟Entreves, 1951. Natural law: An introduction of legal

philosophy

Page 27: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

27

kantor polisi daripada mempelajari rangkaian aturan yang

tertera dalam dokumen.

I.2.3 Definisi Sosiologis

Sarjana yang pandangannya dapat diklasifikasikan ke

dalam definisi sosiologis adalah Nathan Roscoe Pound

(1870-1964). Ia berpandangan bahwa hukum berasal dari

negara/pemerintah sebagai penguasa karena

negara/pemerintah perlu mengatur berbagai kepentingan,

baik kepentingan publik maupun kepentingan privat.

Meskipun demikian, Pound yang merupakan pioner dalam

gerakan pembangunan hukum untuk tujuan sosial

(sociological jurisprudence), mengemukakan teorinya

bahwa hukum mencerminkan kemauan negara/pemerintah

untuk mengatur masyarakat dalam rangka melakukan

perubahan sosial (social engineering) dan pengendalian

sosial (social control). Lebih jauh dikatakan bahwa

berbagai perubahan sosial masyarakat harus dikendalikan

agar perubahan tersebut membawa manfaat yang lebih

baik.

Dikaitkan dengan perkembangan hukum, pemikiran

Pound mempengaruhi praktik kenegaraan yang misalnya

dalam pembuatan peraturan perundang - undangan tidak

mengakomodasikan hukum asli masyarakat setempat atau

dikenal adat. Selain itu, dalam praktik kenegaraan,

pemikiran Pound juga berpengaruh kuat karena hanya

sedikit inisiatif pembentukan undang-undang yang berasal

dari lembaga legislatif. Pandangan Pound tersebut yang

juga menganut paham realisme hukum, sangat berpengaruh

Page 28: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

28

terhadap perkembangan sistem hukum dan sistem

peradilan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Salah

satu bentuk penerapan dari pemikiran Pound yaitu di

Amerika Serikat dengan pengembangan Criminal Justice

System (CJS) yang mutlak berasal dari keinginan

pemerintah untuk menciptakan keadilan dengan

mengintegrasikan sistem peradilan.

Menurut aliran sosiologis, Nathan Roscoe Pound,

memaknai hukum dari dua sudut pandang, yakni:8

1. Hukum dalam arti sebagai tata hukum

(hubungan antara manusia dengan individu

lainnya, dan tingkah laku para individu yang

mempengaruhi individu lainnya, atau tata sosial,

atau tata ekonomi).

2. Hukum dalam arti kumpulan dasar-dasar

kewenangan dari putusan-putusan pengadilan

dan tindakan administratif (harapan-harapan atau

tuntutan-tuntutan oleh manusia sebagai individu

ataupun kelompok-kelompok manusia yang

mempengaruhi hubungan mereka atau

menentukan tingkah laku mereka).

Hukum bagi Rouscoe Pound adalah sebagai “Realitas

Sosial” dan negara didirikan demi kepentingan umum &

hukum adalah sarana utamanya. Sedangkan menurut

Jhering: Law is the sum of the condition of social life in the

8 Ilmu hukum76.wordpress.com/2008/04/14/beberapa-definisi-hukum/

Page 29: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

29

widest sense of the term, as secured by the power of the

states through the means of external compulsion (Hukum

adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas,

yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui sarana

paksaan yang bersifat eksternal). Sedangkan Bellefroid

berpendapat bahwa: “Hukum yang berlaku di suatu

masyarakat mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan

atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu”.

Dalam aliran Realis, Holmes berpendapat bahwa The

prophecies of what the court will do are what I mean by

the law (apa yang diramalkan akan diputuskan oleh

pengadilan, itulah yang penulis artikan sebagai hukum).

Sedangkan menurut Salmond: Hukum dimungkinkan

untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang

diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan.

Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan

yang diakui dan dilaksanakan pada pengadilan.

Selain aliran sosiologis dan Realis, dari segi

Antropologis, melalui Schapera: Law is any rule of

conduct likely to be enforced by the courts (hukum adalah

setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan

oleh pengadilan). Sedangkankan menurut Gluckman: Law

is the whole reservoir of rules on which judges draw for

their decisions (hukum adalah keseluruhan gudang-aturan

di atas mana para hakim mendasarkan putusannya).

Page 30: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

30

BAB II

APAKAH TEORI HUKUM ITU

II.1 Pengertian Teori Hukum

Apakah Teori? Penulis sering mengatakan di berbagai

tempat dan kesempatan ketika ada diskusi yang

menyangkut Teori. Pertanyaan awal yang juga sering

dikemukakan dalam diskusi itu adalah apa teori itu. Untuk

mejelaskannya, tentu perlu disinggung lebih dahulu

tentang makna kata teori yang kadangkala secara tidak

sengaja terdengar atau mendengar dari pernyataan orang,

misalnya ”Itu hanya teori saja, praktiknya berbeda”. Dalam

percakapan sehari-hari demikian, orang cenderung

menggunakan kata teori untuk mengartikan sebagai

pengetahuan umum, ada juga diartikan sebagai sesuatu

yang masih spekulatif, misalnya orang mengatakan

”penulis mempunyai sebuah teori tentang sesuatu”. Teori

dimaksud pertama tentu bukan teori yang sedang dibahas

dalam tulisan ini mengingat teori dalam bahasan ini adalah

teori ilmiah sebagai disebut kedua sehingga perlu

dibuktikan atau didukung data mutakhir.

Dalam konteks ilmiah, ilmuwan menggunakan istilah

teori untuk mengartikan sebuah pernyataan dari hubungan

antara dua atau lebih fenomena atau variabel yang dapat

diuji kebenarannya. Artinya, sebelum sampai pada teori

berarti telah ada proses verifikasi yang memungkinkan

untuk menemukan penjelasan tentang hubungan-hubungan

dua atau lebih fenomena tertentu dimaksud, dan melalui

Page 31: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

31

pengujian berulang-ulang menunjukka bahwa hubungan

dimaksud teruji hingga pada kesimpulan yang dinyatakan

dengan sebuah pernyataan. Pernyataan dimaksud

merupakan penjelasan padat yang harus dikatakan,

meskipun pernyataan itu masih terbuka dan dapat

diverikasi atau dinegasikan. Dengan demikian, untuk pada

sampai pada teori tertentu, maka teori itu sebenarnya

mempunyai komponen atau bagian-bagian yang terbuka

untuk pengujian, falsifikasi, dan verifikasi. Komponen

dimaksud adalah proposisi, konsep-konsep, definisi-

definisi, dan hipotesa.

Proposisi merupakan pernyataan-pernyataan tentang

ciri kenyataan dimana ciri dimaksud menggambarkan

hubungan antara dua atau lebih fenomena atau peristiwa.

Misalnya, manusia adalah suatu makhluk dan harus makan

jika ingin hidup”. Ini merupakan pernyataan yang amat

proposional dan dengan amat mudah untuk diuji

kebenarannya. Pada tataran yang lebih tinggi, sosiolog

mungkin mengatakan bahwa” Perubahan dalam struktur

ekonomi akan menghasilkan perubahan-perubahan aspek

nonmaterial dalam mayarakat”. Kebenaran pernyataan

demikian ini juga mudah untuk dilakukan pengujian.

Konsep merupakan sebutan-sebutan yang diberikan

atau ditujukan pada peristiwa-peristiwa, fenomena, dan

proses-proses tertentu. Dengan demikian, konsep-konsep

dimaksud merupakan simbol-simbol dan biasa digunakan

ilmuwan sebagai bentuk singkat yang menggambarkan

suatu proses, fenomena, atau perisitiwa. Masing-masing-

Page 32: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

32

masing konsep mengkomunikasikan sebuah rangkaian

pengalaman yang telah diabstraksi dan diklarifikasikan

bagi mereka yang memahami istilah itu sendiri. Misalnya,

status. Status ini merupakan sebuah konsep yang merujuk

pada posisi seseorang dalam masyarakat, ada kemungkinan

ia berada pada tataran tinggi, tengah, rendah. Tataran

demikian ini oleh Max Weber dimaknai sebagai tiga skala,

skala ekonomi, politik, dan prestise. Jadi, konsep dapat

diartikan lebih dari tataran rangking.

Definisi dapat dipandang sebagai turunan teori. Jika

diperhatikan, teori yang dipandang sebagai alat jawab

sementara terhadap permasalahan, juga penuntun dalam

mengklasisifikasi informasi ke dalam data, serta sebagai

alat analisis terhadap data yang terkumpul, maka definisi

merupakan batasan dari suatu pengertian tentang sesuatu

sehingga sesuatu yang dimaksud dapat dimasukkan ke

dalam data. Ada dua tipe definisi yang umum didiskusikan,

pertama, definisi nominal. Definisi nominal merupakan

pengganti dari beberapa obyek kongkrit. Misal kata-kata

mobil sport, dalam faktualnya didefinisikan sebagai sebuah

mobil yang memiliki bentuk langsing, ramping, roda karet

radial dengan kecepatan tinggi. Kedua, definisi riil.

Sementara definisi riil merupakan fenomena yang dapat

diamati, kasad inderawi, dan mempunyai implikasi riil,

dapat diuji, empiris, nyata. Misalnya, presiden mempunyai

status tinggi. Status tinggi ini secara inderawi dapat

diamati, misalnya kemewahan kantornya, mobil dinasnya,

dan dapat diuji pula bagaimana ia mempunyai kekuasaan

Page 33: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

33

ekonomi dan politik mengatur rakyat. Artinya, definisi riil

merupakan gambaran yang terikat pada dunia nyata.

Hipotesa merupakan pernyataan yang merangkai

hubungan antara dua atau lebih faktor-faktor atau

peristiwa-peristiwa, misalnya hujan turun menyebabkan

jalan basah. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah

hipotesa merupakan turunan atau diturunkan dari teori dan

mencoba membuat pernyataan umum dan spesifik. Dari

uraian tersebut di atas, konstruksi teori dapat dilakukan

melalui empat tahap. Pertama; penyebutan suatu fenomena

sebagai konsep; kedua, mendefinisikan konsep ke dalam

istilah yang lebih kongkrit dan dapat diamati; ketiga,

menyatakan asumsi tentang hubungan antara konsep-

konsep; keempat, diturunkan secara logis ke dalam sebuah

hipotesa dan mengujinya.

Namun sebelumnya, perlu dikemukakan

definisi tentang "teori" itu sendiri yang dikemukakan oleh

sarjana-sarjana, diantaranya sebagai berikut:9

1. Fred N. Kerlinger. Teori adalah sekumpulan

konstruksi (konsep, definisi, dan dalil) yang saling

terkait yang menghadirkan suatu pandangan secara

sistematis tentang fenomena dengan menetapkan

hubungan di antara beberapa variabel, dengan

maksud menjelaskan dan meramalkan fenomena.

9 Pandangan tersebut dapat dibaca pada James A. Black dan Dean J.

Champion ( 1992). Sementara pandangan Nasution dapat dibaca pada

. S. Nasution (1995) dan Kartini Kartono pada Kartini Kartono (1990).

Page 34: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

34

2. Braithwaite. Teori adalah sekumpulan hipotesis yang

membentuk suatu sistem deduktif, yaitu yang

disusun sedemikian rupa, sehingga dari beberapa

hipotesis yang menjadi dasar pikiran beberapa

hipotesis semua hipotesis lain secara logis

mengikutinya.

3. Jack Gibbs. Teori adalah sekumpulan pernyataan

yang saling berkaitan secara logis dalam bentuk

penegasan empiris mengenai sifat-sifat dari kelas-

kelas yang tak terbatas dari berbagai kejadian atau

benda.

4. S. Nasution. Teori adalah susunan fakta-fakta yang

saling berhubungan dalam bentuk sistematis

sehingga dapat dipahami. Fungsi dan peranan teori

dalam penelitian ilmiah, mengarahkan, merangkum

pengetahuan dalam sistem tertentu, serta meramalkan

fakta.

5. Kartini Kartono. Teori adalah suatu prinsip umum

yang dirumuskan atau diformulasikan

untuk menerangkan sekelompok gejala gejala yang

saling berkaitan.

Kemudian, setelah mencoba mengerti teori,

pertanyaan berikutnya adalah Apakah Teori Hukum Itu?

Pertanyaan tersebut hingga kini masih terdapat perbedaan

pandangan di antara para pengemban teori hukum. Hal ini

hampir selalu berkaitan dengan titik tolak filsafat (hukum)

yang dipilih. Dengan sedikit berlebihan dapat dikatakan

bahwa tiap filsafat hukum memiliki pandangan sendiri

Page 35: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

35

tentang teori hukum. Di lain pihak beberapa teori hukum

juga memiliki implikasi-implikasi kefilsafatan (hukum).

Hal ini tampak jelas misalnya pada apa yang dinamakan

teori hukum empirik, yang sangat berorientasi pada aliran-

aliran tertentu dari filsafat ilmu modern. Menurut

pandangan hukum empirik ini ilmu hukum harus diemban

dengan bantuan metode-metode empirik.10

Definisi berbeda tersebut menggambarkan bahwa

sangat sukar untuk memberikan suatu definisi dari teori

hukum yang dapat mencakup semua makna diterima oleh

semua pihak. Perbedaan ini terjadi karena secara umum

berkaitan dengan berbagai aliran dalam teori hukum yang

menganut pandangan yang berbeda tentang teori hukum.

Namun penulis berpendapat teori hukum itu dapat

dikategorikan secara singkat menjadi dua, yaitu teori

hukum diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang

berkaitan dengan hukum dan kedua teori hukum sebagai

pernyataan ilmiah, yag uraiannya dapat disimak pada

subbab-subbab di bawah.

II.2 Jenis-Jenis Teori Hukum

Secara umum, banyak aliran dalam teori hukum

diantaranya: 1) Teori hukum empirik yang membicarakan

pengembanan ilmu hukum (pembentukan dan penemuan

hukum), 2) Teori hukum fungsional, misalnya dari

gurubesar Rotterdam, J. ter Heide, Ajaran teori itu

10 Lihat Ade Saptomo, 2009. Pokok-Pokok Metodologi Hukum Empiris

Murni.Jakarta: Usakti Press.

Page 36: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

36

berintikan pandangan bahwa berfungsinya hukum dapat

dipahami sebagai pengartikulasian suatu hubungan yang

ajeg di antara sejumlah variable. Ter Heide menyatakan

hubungan tersebut dalam rumus (formula) “B=fPE”, yang

berarti perilaku para yuris, hakim, pembentuk undang-

undang, warga masyarakat (B) berada dalam suatu

hubungan yang ajeg (f) terhadap di satu pihak berbagai

kaedah hukum (P) dan di lain pihak lingkungan-

lingkungan konkret (E).

Dengan cara ini diperoleh suatu pemahaman (insight)

tentang berfungsinya hukum, dalam arti bahwa ia dipahami

sebagai suatu “data” (keterberian). Dalam suatu konteks

kemasyarakatan, yang di dalamnya tidak hanya keadaan-

keadaan (lingkungan) faktual, tetapi juga kaedah-kaedah,

harapan-harapan, asas-asas mempunyai arti penting.

Dengan latar belakang tersebut, Ter Heide menunjukkan

bahwa tindakan yuridis (perbuatan hukum) itu tidak hanya

menerapkan kaedah-kaedah tetapi juga menetapkan

kaedah-kaedah, ia menciptakan harapan-harapan, ia

megartikulasi “makna” yang terkandung dalam suatu

cakrawala pengalaman tertentu.

Selanjutnya, misal Teori Sistem, di Jerman teori

sistem ini dikembangkan oleh yuris-sosiolog Nikolas

Luhmann dan di Belanda dipropagandakan oleh guru besar

Hukum Tata Negara dari Utrecht, yakni M.C. Burkens.

Menurut teori sistem ini, hukum harus dipahami dengan

latar belakang masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.

Manusia-manusia hidup dalam berbagai hubungan antara

Page 37: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

37

yang satu dengan yang lainnya dan mempunyai harapan-

harapan tentang perilaku masing-masing dan tentang

reaksi-reaksi masing-masing terhadapnya.

Menurut pandangannya, fungsi dari sistem itu adalah

mereduksi kompleksitas (kemajemukan) ini menjadi

struktur-struktur yang kurang-lebih jelas kerangka

umumnya (overzichtelijk). Dengan cara itu kehidupan

menjadi tertata dan kepastian di dalam masyarakat dapat

diciptakan. Sistem itu memperlihatkan sejumlah besar

bentuk-bentuk, misalnya politik, ekonomi, ilmu, hukum.

Daya jangkau dari hukum adalah secara umum untuk

memungkinkan berfungsinya semua sistem (yang lain).

Untuk itu maka hukum harus mengupayakan bahwa di

dalam masyarakat tersedia keputusan-keputusan (hukum)

yang mengikat. Hukum mengambil dari masyarakat pada

satu pihak berbagai keterberian atau data (“input”) dan

mengolahnya menjadi keputusan-keputusan (“output”)

pada pihak lain.

Dalam arti demikian, maka harapan-harapan yang

kompleks direduksi menjadi aturan-aturan hukum yang

dapat diperhitungkan (dipredik) dan berkerangka umum.

Sementara itu, kita tidak boleh mengacaukan pengertian

“sistem” dalam teori hukum ini dengan pengertian “sistem

hukum”. Dengan yang terakhir ini Koesnoe maksudkan

adalah suatu konstruksi (teoretikal), yang di dalamnya

berbagai kaedah hukum dipikirkan dalam suatu hubungan

logik-konsisten menjadi suatu kesatuan tertentu. Dalam

model Luhmann dinyatakan suatu interprestasi tertentu

Page 38: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

38

tentang kenyataan empirical dari hukum. Karena itu,

teorinya juga mempunyai arti penting untuk sosiologi

hukum. Dalam suatu sistem hukum, persoalannya

sesungguhnya lebih untuk merumuskan suatu “pengertian

hukum” tertentu. Contoh dari teori yang demikian itu kita

temukan dalam Reine Rechtslehre dari Hans Kelsen.

Menurut pandangan ini, hukum dipahami sebagai sejenis

“Stufenordnung”, sebagai suatu kesatuan yang konsisten.

Teori hukum politik dari R. Wietholter, guru besar

dari Frankrut, di Belanda meskipun tidak banyak

menemukan gemanya namun tujuannya adalah untuk

membebaskan hukum dari keabstrakannya dan

menonjolkan implikasi-implikasi politik dari hukum itu.

Hukum dipandang sebagai kategori politik, sebagai suatu

sarana untuk mewujudkan suatu pergaulan hidup yang baik

dan adil. Di sini diungkapkan bahwa hukum itu bukan

gejala bebas nilai yang netral, tetapi bahwa di dalamnya

diyatakan perkaitan immanen dengan politik. Hukum itu

selalu merupakan resultat (produk) dari proses politik.

Teori hukum politik menginginkan antara lain

memantapkan perhatian pada hal tersebut.

II.3 Fungsi Teori Hukum

Setelah sampai pada pemahaman apa teori hukum itu,

tampaknya pelu juga disampaikan lebih dahulu fungsi teori

secara umum dan teori hukum pada khususnya mengingat

ada kemungkinan sebagian dari kita belum memahami

dengan baik posisi teori dalam karya ilmiah atau pada

penerapan kasus kongkrit sehingga sering pada tulisan

Page 39: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

39

lainnya yang diharapkan ilmiah tetapi justru kurang ilmiah

gara-gara pemahaman teori itu sendiri. Sehubungan dengan

itu, perlu diketahui bahwa dalam karya ilmiah lebih-lebih

penelitian keberadan teori menjadi penting.

Sebenarnya tanpa teori hanya ada seperangkat

pengetahuan tentang fakta-fakta saja yang tentu tidak akan

menghasilkan pengetahuan baru. Lebih-lebih teori dalam

kegiatan penelitian empiris karena teori-teori itu

mempunyai fungsi penting. Fungsi penting teori

dimaksud11

, pertama, teori berfungi sebagai alat

penggeneralisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan, dalam

konteks ini teori menyimpulkan hubungan korelai antara

fakta-fakta secara induktif. Kedua, teori sebagai kerangka

penelitian, dalam konteks ini teori yang sudah mapan dapat

berfungsi sebagai pendorong proses berfikir yang bergerak

dari alam abstrak ke alam fakta-fakta kongkrit. Artinya,

teori berfungsi sebagai kerangka orientasi analisa dan

klasifikasi atas fakta-fakta yang dikumpulkan dalam

penelitian. Dengan demikian, teori dipakai sebagai

kerangka yang memberi pembatasan-pembatasan terhadap

fakta-fakta kongkrit yang tak terbilang banyaknya dalam

kenyataan kehidupan masyarakat, yang harus diperhatikan.

Ketiga, teori secara deduktif berfungsi sebagai alat

untuk memprediksi atau meramal mengenai fakta-fakta

11 Lihat Hassan dan Koentjaraningrat, 1989. “Beberapa Azas

Metodologi Ilmiah” dalam Koentjarangrat (ed.) Metode-Metode

Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, hlm.1-13

Page 40: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

40

yang akan terjadi, mengingat sebenarnya teori merupakan

generalisasi abstrak dari fakta-fakta kongkrit sebelumnya

sehingga apabila terjadi fakta-fakta sejenis maka teori

dimaksud dapat digunakan sebagai alat prediksi. Artinya,

teori memberi prediksi terhadap gejala baru yang akan

terjadi. Keempat, teori juga berfungsi sebagai alat untuk

mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan tentang

gejala-gejala yang telah atau sedang terjadi. Secara

deduktif, fungsi teori demikian ini tidak jauh berbeda

dengan ilmu sejarah, bahkan pada dasarnya fungsi teori

demikian ini juga sama dengan teori untuk meramalkan

akan timbulnya gejala-gejala baru. Di dalam struktur ilmu

pengetahuan, teori dipandang sebagai alat penjelas

mengenai suatu fenomena tertentu dari dari sudut pandang

sebuah disiplin keilmuan tertentu pula. Menusut penulis,

dalam konteks proposal, teori digunakan sebagai alat

jawab sementara terhadap tesis atau research question,

dalam dalam konteks penelitian sebagai penuntun dan

penyaring informasi menjadi data, dan terakhir sebagai alat

analisa.

Dalam konteks disiplin ilmu hukum, terutama

perkembangan teori argumentasi hukum misalnya, sejak

tiga puluh tahun lalu studi argumentasi telah menjadi

bagian penting dalam penelitian hukum. Teori argumentasi

hukum ini biasa digunakan pada putusan-putusan huum

hakim dimana sebelumnya, peneliti dari beragam tradisi

sedang berusaha menjelaskan ciri-ciri struktural tentang

pembuatan putusan hukum dan justifikasi dari sudat

Page 41: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

41

pandang berbeda. Penekun-penekun tradisi logis tertarik

pada masalah-masalah mengenai validitas legal reasoning.

Penekun-penekun dalam tradisi retorika menganalisa

pembuatan putusan hukum sebagai proses persuasi dan

pendekatannya didasarkan pada teori argumentasi dari Van

Eemeren dan Grootendorst, dimana legal argumentation

dianalisa sebagai bagian dari diskusi kritis.

Dalam diskusi kritis itu, salah satu topik sentralnya

adalah perkembangan instrument untuk merekonstruksi

argumentasi dalam putusan hukum. Untuk itu, kajiannya

difokuskan pada rekonstruksi tipe-tipe argumentasi,

misalnya agumentasi interpretasi yang digunakan untuk

menyelesaikan problem-problem interpretasi berkenaan

dengan hukum. Persoalan sentralnya adalah bagaimana

seseorang dapat mencapai analisis dan evaluasi

argumentasi interpretasi.

Penulis akan membawa audiens pada teori

interpretasi dan argumentasi, terutama ketika seorang

hakim menyelesaikan suatu problem interpretasi dalam

upaya memutus suatu kasus hukum kongkrit. Sebenarnya,

hakim dapat memilih argumentasi interpretasi yang

berbeda untuk membenarkan putusannya. Idealnya,

argumentasi-argumentasi dimaksud dapat diakui dalam

pemebenaran terhadap putusan hukum. Bagi para hakim

bukan hanya diwajibkan untuk menyelesaikan problem

interpretasi, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk

menyatakan alasan-alasan terhadap persoalan-persoalan

interpretasional.

Page 42: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

42

Namun dalam praktik, alasan-alasan dimaksud tidak

selalu dipresentasikan secara eksplisit, dan tidak dalam

bentuk yang terstruktur. Kadang-kadang, hakim tidak

menyatakan semuanya bahwa itu sebenarnya perlu untuk

menjustifikasi putusannya, dan pada saat lain hakim justru

membangun argumentasi yang berlebihan untuk

menjustifikasi putusannya. Bagi pengamat kritis yang

berkeinginan untuk mengevaluasi alasan-alasan dimaksud

justru harus menyelesaikan sejumlah rekonstruksi

persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kasus hukum

kongkrit dimaksud.

Misalnya, Pertama, ia harus mengidentfikasi

argumentasi-argumentasi sebanyak mungkin. Ini berarti

bahwa ia harus menetapkan hasil identifikasi jika pada titik

tertentu dalam argumentasi putusan dianggap sebagai

bukti, maka fungsi argumentasi hukum terpenuhi. Kedua,

ia harus menginterpretasi argumentasi-argumentasi hukum.

Ini berarti bahwa ia harus menentukan propisisi yang harus

dipertahankan sebagai titik bahasan yang ditujukan sebagai

argumentasi secara eksplisit. Ketiga, ia harus menganalisis

argumentasi, yang berarti bahwa ia harus menguji apa yang

terungkap dalam argumentasi tersebut.

Satu hal yang penting dalam diskusi sekarang ini

adalah poblem kritis berikutnya, yaitu bagaimana penekun

atau pengamat hukum menemukan kriteria yang dapat

digunakan untuk mengevaluasi justifikasi intepretasi

putusan hakim. Misalnya, apa saja yang menjadi kebiasaan

argumentasi interpretasi itu digunakan dan kapan

Page 43: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

43

argumentasi interpretasi dapat diterapkan secara benar.

Dalam tulisan ini, untuk menjawab itu sebenarnya penulis

memperkenalkan sebuah teori yang dapat dikatakan

mutakhir dalam kajian hukum. Teori dimaksud

dimaksudkan sebagai alat untuk menganalisis dan

mengevaluasi argumentasi interpretasi dalam putusan

hukum. Teori dimaksud dikenal dengan Teori Argumentasi

Hukum Dialektika Pragma.12

Teori dialektikal pragma merupakan studi

argumentasi yang menggunakan pendekatan empat premis

utama, dimana masing-masing pendekatan berangkat dari

perspektif argumentasi. Sedangkan ciri-ciri argumentasi

teori dimaksud adalah sosialisasi, fungsionalisasi,

eksternalisasi, dan dialektika.

Pertama, sosialisasi dalam konteks ini adalah bahwa

argumentasi diambil dalam konteks sosial ketika ada

proses penyelesaian masalah. Argumentasi ini merupakan

bagian dari proses interaksi antara dua atau lebih pengguna

bahasa. Dalam analisa interpretasi argumentasi,

perhatiannya ditekankan pada klaim (claim) dan klaim

balik (counter claim) pihak-pihak yang berbeda dalam

diskusi hukum. Perhatiannya, khususnya dapat diarahkan

pada apa yang dilakukan oleh hakim dalam putusannya

mengingat dalam diskusi yuridis, tugas hakim adalah

menggunakan hukum sebagai sebuah sistem aturan.

12 Teori ini diperkenalkan oleh Harm Kloosterhuis, 2006.

Reconstructing Interpretative Argumentation in Legal Decisions A

pragma-dialectical Approac. Amsterdam: Rozenberg.

Page 44: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

44

Kedua, fungsionalisasi dimana deskripsi yang

memadai dan evaluasi argumentasi hanya dapat diberikan

jika ada interaksi. Artinya, teori ini mengonsentrasikan

pada fungsi dalam upaya mengelola penyelesaian

ketidaksetujuan-ketidaksetujuan argumentasi dimaksud.

Dalam penyelesaian problem interpretasi, seorang hakim

menggunakan argumentasi fungsional pada saat ada

interaksi antara argumentasi hukum satu dan yang lain.

Ketiga, eksternalisasi, pada poin ketiga ini kita harus

memfokuskan pada posisi para pihak sekaligus posisi

hakim, apakah posisi hakim telah diungkapkan secara

eksplisit dalam putusan hukumnya.

Keempat, dialektifikasi. Dalam point ini yang

dimaksud adalah rasionalitas dimana suatu argumentasi

merupakan kemampuan mengakomodasi reaksi kritis yang

berkembang. Untuk menegaskan apakah argumentasi

dalam putusan hukum suatu kasus dapat dipandang sebagai

bagian dari diskusi yang dilakukan sesuai dengan kriteria

diskusi kritis. Tentu, selain persoalan substansi

akseptabilitas premis dan persoalan formal tentang

validitas logis dalam membangun interpretasi, juga yang

perlu diperhatikan adalah apakah dalam kasus kongkrit

argumentasi interpretatif merupakan cara paling baik untuk

menyelesaikan problem interpretasi.

II.4 Konsepsi dan Jenis Hukum

Satu hal yang perlu dipahami, apakah perbedaan antara

teori dan konsep? Sebelum sampai pada tataran ini penulis

bermaksud menampilkan konsep-konsep hukum yang

Page 45: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

45

berkembang. Konsep-konsep dimaksud dapat dipetakan

secara lengkap seperti pada tabel berikut di bawah ini.

Pada peta konsep hukum di bawah dapat dibaca bahwa,

pertama, hukum dipandang sebagai asas-asas kebenaran

dan keadilan kodrati dan berlaku universal yang berada

dalam kajian filsafat hukum. Sementara, logika yang

digunakan dalam penelitian adalah logika-deduksi yang

berpangkal pada premis normatif, penekunnya dapat

dikategorikan sebagai pemikir mengingat berorientasi ke

filsafat. Artinya, hukum merupakan azas moralitas atau

azas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian

inheren sistem hukum alam, atau bahkan tak jarang

dipandang sebagai bagian dari kaedah-kaedah

supranatural.

Kedua, hukum dipandang sebagai norma-norma

positif di dalam sistem perundang-undangan hukum

nasional, tipe kajian diarahkan pada ajaran hukum murni

yaitu hukum sebagaimana tertulis dalam buku (law as it is

written in the books).

Page 46: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

46

No Konsep

Hukum

Tipe Kajian Logika Penekun Kebenaran

1. sebagai

kebenaran,

prinsip, dan

nilai universal

Filsafat Hukum

Legal Philosophy

Deduksi, etik Kontemplator Phenomeno logy

personal

2. sebagai apa

yang tertulis

dalam buku,

undang-

undang.

Hukum murni

Pure of law,

Doctrinal

Deduksi, etik Ahli Hukum,

Kontinental

Positivism

documenta tion

3. sebagai apa

yang

diputuskan

oleh hakim

lewat proses

peradilan

Hukum terapan

ke dalam,

Doctrinal

Deduksi,

Induksi, Etik,

Internal

Emik

Ahli Hukum,

Anglo-Saxon

Positivism

Application Internal

Page 47: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

47

4. sebagai apa

yang berlaku

dalam

kehidupan

sosial

Hukum terapan

ke luar,

Doctrinal-Non

Doctrinal

Deduksi,

Induksi,

Etik-

Eksternal

Emik

Ahli Hukum,

Pengamat

dalam Ilmu

Hukum

Positivism

Application external

5. sebagai apa

yang ada

dalam

masyarakat

secara

terlembaga

Sosiologi Hukum,

Non Doctrinal

Induksi,

Emik

Ilmuwan,

sosiolog

Hukum,

Positivism

6. sebagai apa

yang ada

dalam

interaksi

Antropologi

Hukum, Non

Doctrinal

Induksi,

Emik

Grounded

Ilmuwan,

Antropolog

Hukum

Phenomeno logy

Sumber: dikembangkan dari Wignyosoebroto, 1992.

Page 48: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

48

Tentu, pengkajiannya menggunakan metode

penelitian doktrinal dengan logika deduktif mengingat

kajian dimaksud bertujuan untuk membangun sistem

hukum positif. Para penekunnya adalah para ahli hukum

kontinental. Ini berarti bahwa hukum merupakan kaedah

positif yang berlaku umum pada suatu waktu tertentu dan

di suatu wilayah tertentu dan menjadi sumber suatu

kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi atau lebih

dikenal dengan hukum nasional atau hukum negara yang

berorientasi filsafat posivistis.

Ketiga, hukum dipandang sebagai apa yang

diputuskan oleh hakim in cincreto (judge-made-law). Arah

kajian menuju kepada American Sociological

Jurisprudence atau mengkaji law as it is decided by judges

through judicial prosess dengan metode kajian doktrinal.

Namun demikian, juga non-doktrinal bersaranakan logika

induktif untuk mengkaji court behaviours, penelitinya

american lawyer dan orientasinya behaviour socio-

psichologik. Ini berarti bahwa hukum merupakan

keputusan-keputusan yang diciptakan oleh hakim in

concreto. Hal ini dapat dilihat dalam proses peradilan

sebagai bagian dari upaya hakim untuk menyelesaikan

perkara mengingat keputusan dimaksud mempunyai

kemungkinan dijadikan sebagai preseden bagi perkara-

perkara berikutnya.

Keempat, hukum merupakan pola-pola perilaku

sosial yang terlembaga eksis sebagai variabel sosial

Page 49: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

49

empiris, tipe kajiannya sosiologi hukum mangkaji “law as

it is in society” dengan menggunakam metode kajian non-

doktrinal dengan pendekatan yang terkuantifikasi. Peneliti

demikian ini biasa disebut sosiolog hukum. Artinya,

hukum merupakan institusi sosial riil dan fungsional di

dalam sistem kehidupan masyarakat, baik dalam proses

pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun

dalam proses-proses pengarahan dan pembentukan pola

perilaku yang baik.

Kelima, hukum merupakan manifestasi makna-

makna simbolik para pelaku sosial sebagai tampak dalam

interaksi antar mereka, tipe kajiannya sosiologi dan/atau

antropologi dengan menggunakan kajian non-doktrinal.

Analisis yang digunakan adalah kualitatif mengingat

orientasinya kepada simbolik interaksional. Artinya,

hukum merupakan makna-makna simbolik sebagaimana

termanifestasi dalam dan dari interaksi warga masyarakat.

Konsep pertama, kedua dan ketiga dalam literatur

hukum disebut sebagai konsep-konsep normatif. Dalam

konsep normatif ini hukum adalah norma, baik yang

diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius

constituendum), ataupun norma yang telah terwujud

sebagai perintah eksplisit dan yang secara positif telah

terumus jelas (ius constitutum) untuk menjamin

kepastiannya. Selain itu, juga berupa norma-norma yang

merupakan produk dari seorang hakim (judgment) pada

waktu hakim itu memutuskan suatu perkara dengan

memperhatikan terwujudnya kemanfaatan dan

Page 50: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

50

kemaslahatan bagi para pihak yang berpekara. Karena

setiap norma baik yang berupa asas moral keadilan,

ataupun yang telah dipositifkan sebagai hukum perundang-

undangan maupun yang judgmade selalu eksis sebagai

bagian dari suatau sistem doktrin atau ajaran (ajaran

menyelesaikan perkara), maka setiap penelitian hukum

yang mendasarkan hukum sebagai norma ini dapat disebut

sebagai penelitian normatif atau doktrinal dan metodenya

disebut sebagai metode doktrinal.

Konsep keempat, kelima, dan keenam bukan

merupakan konsep normatif melainkan sesuatu yang

normologik dimana hukum di sini bukan dikonsepkan

sebagai rules tetapi sebagai keteraturan (regularities) yang

terjadi dalam kehidupan segari-hari atau dalam alam

pengalaman. Di sini hukum berupa tingkah laku atau aksi-

aksi dan interaksi manusia yang secara aktual dan potensial

akan terpola. Karena setiap perilaku atau aksi itu

merupakan suatu realitasosial yang terjadi dalam alam

pengalaman indrawi dan empiris, maka setiap penelitian

yang mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai

tingkah laku atau perilaku dan aksi ini dapat disebut

sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris atau

penelitian non doktrinal. Tipe kajian ini adalah kajian

keilmuan dengan maksud hanya hendak mempelajari saja

dan bukan hendak mengerjakan sesuatu doktrin sehingga

metodenya disebut sebagai metode non-doktrinal.

Untuk menguraikan dan menjelaskan masing-masing

metode yang doktrinal maupun yang non-doktrinal pada

Page 51: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

51

setiap tipe kajian yang berjumlah lima disejajarkan dengan

lima konsep hukum yang telah dikemukakan di muka,

maka kelima tipe kajian tersebut ialah tipe-tipe kajian yang

(1) berupaya menemukan ius constituendum, (2) berupaya

menemukan ius cinstitutum, (3) berupaya menemukan

hukum yang judge made, (4) berupaya menemukan hukum

yang termanifestasi secara empiris sebagai suatu pola

perilaku dan yang mungkin telah terinstitusionalisasi, (5)

berupaya menemukan hukum sebagai fenomena simbolik

sebagaimana terwujud dalam aksi-aksi atau interaksi antar

manusia dalam masyarakat.

Dengan keanekaragaman konsep hukum tersebut di

atas selain menyebabkan juga keragaman tipe kajian, juga

berimplikasi pada metodologinya sehingga metode

penelitian hukum itu pun menjadi beragam. Hal ini akan

dapat dijumpai dalam praktek pelaksanaannya. Namun

demikian, pada dasarnya metode dalam penelitian hukum

itu dapat dibedakan secara umum ke dalam dua kategori

penelitian, yaitu penelitian doktrinal dan non-doktrinal,

tetapi penulis membedakan antara penelitian hukum murni

(legal research, doctrinal), penelitian hukum sosiologis

(socio-legal research, non doktrnal), juga penelitian

hukum empiris murni (legal anthro research).13

13 Lihat Ade Saptomo, 2009. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian

Hukum Empiris Murni. Jakarta: Usakti Press

Page 52: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

52

BAB III

ILMU HUKUM POSITIF

III.1. Pengetian Ilmu

Dalam mengawali penelusuran apa itu ilmu, perlu

ditampilkan lebih dahulu peta pengertian-pengertian ilmu

yang pernah disebutkan sejumlah sarjana, setidak-tidaknya

yang pernah penulis singgung dalam buku Pokok Pokok

Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni

sebelumnya14

. Di dalam Kata Pengantar buku itu juga

disebutkan bahwa ada perbedaan antara terminologi

metode dan metodologi. Perbedaan terminologi ini juga

penting untuk mengawali pembahasan apakah ilmu itu

mengingat disana telah tergambar implikasi perbedaan

kedua terminologi tersebut. Namun dalam awal tulisan ini

juga perlu dikemukakan pandangan sarjana lain tentang

perbedaan makna yang membawa implikasi metodologis

tertentu. Noeng Muhadjir, misalnya, menyebutkan bahwa

sering dicampuradukkan antara metodologi dan metode

sehingga dalam buku tertentu berjudul metodologi namun

isinya metode, yang langsung berisi pembahasan tentang

populasi, teknik sampling dan seterusnya15

,.

14 Lihat Ade Saptomo, 2009. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian

Hukum Empiris Murni. Jakarta: Usakti Press. 15

Lihat Noeng Muhadjir, 1990. Metode Penelitian Kualitatif.

Yogyakarta: Rake Sarasin, hlm. 24

Page 53: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

53

Tentu, itu menjadi kerisihan sendiri bagi penstudi

filsafat ilmu yang hampir selalu menempatkan landasan

filsafat ilmu sebagai landasan standar metodologi yang

digunakan dalam penelitian. Jika tidak demikian,

dimungkinkan peneliti dimaksud akan menerapkan saja

pola penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh

sarjana sebelumnya, baik itu dalam skripsi, tesis, dan

disertasi atau laporan-laporan penelitian lainnya.

Kelemahan akan segera tampak ketika ada perubahan-

perubahan data lapangan dan yang membutuhkan

perubahan metodologi. Atau mungkin, ia juga tidak

mampu membangun argumentasi logis dan nalar jika ada

pertanyaan mengapa harus ada atau tidak ada judul,

mengapa harus ada permasalahan, mengapa permasalahan

dibentuk dalam kalimat pertanyaan, mengapa harus ada

kerangka teori, lokasi, dan seterusnya.

Jawaban atas pertanyaan mengapa demikian itu yang

membedakan antara metode dan metodologi. Pertanyaan

metode tidak memerlukan ilmu, sementara metodologi

menampilkan ilmu. Sehubungan dengan itu, tentu, satu

pertanyaan mendasar dalam konteks epistemologi adalah

apakah yang dimaksud ilmu itu. Sebelum menemukan

jawaban ini, ada beberapa kamus yang menyebutkan

padanan arti seperti dalam bahasa Inggris ditemukan

terminologi science (ilmu), dalam bahasa Latin ditemukan

terminologi scientie (pengetahuan), scire (mengetahui).

Sementara dalam kamus bahasa Indonesia Ilmu diartikan

sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun

Page 54: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

54

secara sistematis menurut metode-metode tertentu yang

dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala

tertentu.16

Selain itu, berbagai pengertian tentang ilmu juga

dapat dijumpai, misalnya dari pandangan sejumlah sarjana

sebagai berikut17

:

1. Mohammad Hatta mendefinisikan ilmu sebagai

pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum

kausal dalam suatu golongan masalah yang sama

tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari

luar maupun menurut bangunannya dari dalam.

2. Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag mengatakan

bahwa ilmu adalah yang empiris, rasional, umum, dan

sistematik dan keempatnya serentak.

3. Karl Pearson mengatakan bahwa ilmu adalah lukisan

atau keterangan yang komprehensif dan konsisten

tentang fakta pengalaman dengan istilah yang

sederhana.

4. Asley Montaqu, Guru Besar Antropologi di Rutgers

University menyimpulkan bahwa ilmu adalah

pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang

berasal dari pengamatan, studi, dan percobaan untuk

menentukan hakekat dan prinsip tentang hal yang

sedang dikaji.

16 Wihadi Admojo, 1998. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka, hlm. 324 17

Pandangan sarjana demikian ini dapat dijumpai pula pada Amsal

Bakhtiar, 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Press, hlm. 15-16

Page 55: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

55

5. Harsoyo, Guru Besar Antropologi di Universitas

Pajajaran menerangkan bahwa ilmu adalalah akumulasi

pengetahuan yang disistematikan, suatu pendekatan

atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia

empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan

waktu. Ia pada prinsipnya dapat diamati oleh panca

indera manusia, suatu cara menganalisis yang

mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan

sesuatu proposisi dalam bentuk Jika…, maka….;

6. Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia

mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan manusia

tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia

mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan

hukum-hukum, yang ketepatannya dan kebenarannya

diuji dengan pengalaman praktis.

7. Amsal Bachtiar menarik kesimpulan dari penjelasan

sarjana di atas bahwa yang dimaksud ilmu adalah

sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri dan syarat

tertentu, yaitu sistematik rasional, empiris, universal,

obyektif, dapat diukur, terbuka, dan komulatif.

Sementara dalam bidang kajian Filsafat Ilmu atau

biasa disebut sebagai ajaran tentang metode keilmuan atau

teori keilmuan (wissenschaftheorie) mengandung ajaran

meta ilmu berupa hakekat (ontologi), cara memperoleh

hakekat (epistemologi), dan kemanfaatannya (aksiologi).

Sehubungan dengan kandungan makna yang demikian itu,

selain pertanyaan apakah ilmu itu, maka pertanyaan

berikutnya adalah apakah hakekat ilmu itu, bagaimana

Page 56: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

56

ilmu dimaksud dikonstruksi berikut batasan-batasannya,

dan bagaimana ilmu itu harus dipertanggungjawabkan.

Jika demikian halnya, dapat dikatakan bahwa ilmu

pada dasarnya merupakan refleksi mendasar tentang

hakekat yang di dalamnya termuat pengetahuan tentang

ilmu, wujud ilmu, dan kedudukan ilmu dimaksud di antara

ilmu-ilmu lain, cara menarik kesimpulan, dan sarana yang

diperlukan dengan cara dan alur berfikir ilmiah, serta

jangan lupa generalisasinya.

Pandangan-pandangan di atas dapat digolongkan ke

dalam pandangan statis, sementara pandangan yang

dinamis menyebutkan sebagaimana disampaikan oleh Paul

Friedmand dalam buku The Principles of Scientific

Research bahwa ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia

yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh

suatu pengetahuan tentang alam di masa lampau, kini dan

kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat

untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah

lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.18

Demikian pula pandangan Carles Siregar bahwa ilmu

adalah proses yang membuat pengetahuan.19

Ini berarti ia

menekankan pada sebuah proses bukan pada produk.

Sarjana lain yang senada dengan pandangan demikian

adalah Suryasumantri yang mengatakan bahwa ilmu lebih

18 The Liang Gie, 1977. Pekerjaan Umum, Keinsinyuran, dan

Administrasi Pemerintahan. Yogyakarta: Karya Kencana, hlm. 163-

164 19

Ibid., hlm. 45

Page 57: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

57

bersifat kegiatan daripada sekedar produk yang siap

dikonsumsikan.20

Sementara penulis sendiri menyebutkan

bahwa ilmu adalah proses penalaran yang bergerak

menurut alur dialog fikir tesis, anti tesis, dan sintesa.21

Dialog tesis dan antitesis merupakan proses berfikir

sementara sintesa adalah produk sehingga ilmu mencakup

proses berfikir sejak tesis, antitesis hingga sintesis.

Paradigma dinamis yang mendasari pengertian terakhir ini

yang digunakan untuk mewarnai uraian tulisan dalam buku

ini mengingat dengan cara demikian ini pula sebenarnya

dapat dibedakan antara ilmu dan pengetahuan bukan ilmu

pengetahuan.

Mari kembali ke alur untuk mengawali pemahaman

apa itu Ilmu, untuk itu di bawah ini diantarkan ke awal

pemahaman filsafat ilmu dari tiga konsepsi ilmu alam

(natural science), yaitu positivisme, realisme, dan

konvensionalisme. Analisis terhadap posisi ketiga konsep

ini perlu dilakukan dengan merujuk pada pandangan-

pandangan para penekun filsafat ilmu dari Anglo-America

yang memang telah mengembangkan dan mempertahankan

posisi keilmuan mereka dalam era abad keduapuluh.

Posisi-posisi yang mereka pertahankan dimaksud

mempunyai hubungan penting dengan pandangan sejarah

20 Lihat Jujun S. Suriasumantri, 1981. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta:

PT. Gramedia, hlm. 9 21

Lihat Saptomo, 2005 “Menunggu Kematian Ilmu Hukum” dalam

Pidato Ilmiah Dies Natalis ke 56, Fakultas Hukum Universitas

Andalas, Padang.

Page 58: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

58

dan filsafat ilmu, demikian juga dengan pergerakan

intelektual dan pemikiran filosofis pada umumnya.

Namun, dalam konteks filsafat ilmu dicoba memberi

uraian ringan posisi ketiga konsep tersebut.

Pertama, Positivisme. Kaum positivis memandang

bahwa ilmu merupakan upaya untuk memperoleh

pengetahuan prediktif dan eksplanatoris mengenai dunia

eksternal, sebuah dunia yang berada di luar dirinya. Dunia

luar dipandang sebagai sumber kebenaran sehingga ia

menuntun arah pikiran orang dimaksud. Untuk melakukan

ini, orang harus mengkonstruksi teori, yang terdiri dari

pernyataan-pernyataan umum, yang mengungkapkan

keteraturan hubungan yang didapatkan, memang ada, di

dunia ini. Pernyataan-pernyataan umum seperti misalnya

hukum, memberikan pemahaman kepada kita bahwa untuk

memprediksi dan menjelaskan suatu fenomena yang kita

temukan dapat digunakan suatu sarana pengamatan

sistematis dan eksperimen-eksperimen laboratoris secara

teratur. Artinya, untuk menjelaskan sesuatu, seseorang

harus menunjukkan bahwa sesuatu itu merupakan

peristiwa yang berada dalam keteraturan atau keajegan,

dan kita dapat memprediksi apa yang akan terjadi

sebelumnya atas dasar landasan atau pijakan yang sama.

Pernyataan-pernyataan yang mengungkapkan

keteraturan merupakan sebuah kebenaran yang memang

harus ada, jadi bukan sekedar persoalan logika dan bukan

pula diketahui dengan sarana apriori, tetapi pernyataan-

pernyataan itu kebenarannya diuji secara obyektif dengan

Page 59: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

59

sarana eksperimen laboratoris dan pengamatan inderawi.

Langkah demikian ini merupakan sarana untuk

memperoleh kebenaran yang sumbernya berasal dari

kepastian, keteraturan, dan pengetahuan empiris.

Oleh sebab itu, tujuan ilmu sebagaimana apa yang

dilakukan positivis bukan ingin memperoleh apa yang ada

di belakang atau di luar fenomena yang terungkap melalui

pengalaman, dan bukan pula bertujuan untuk memberikan

pengetahuan yang memiliki sifat yang tidak dapat diamati,

atau esensi-esensi yang some how necessitate fenomena

demikian ini. Bagi positivis, yang penting adalah

keteraturan, dan keteraturan itu dapat ditampilkan secara

sistematis ke dalam hukum universal sehingga proses

keteraturan itu sendiri digunakan sebagai alat untuk

menjelaskan suatu fenomena dan keberhasilan penjelasan

itu akan menghasilkan teori ilmiah.

Kedua, Realisme. Kaum realis memandang bahwa

ilmu merupakan proses bekerjanya sebuah struktur dan

mekanismenya suatu fenomena yang dikaji. Realis berbeda

dengan positivis mengingat ia amat membedakan antara

prediksi dan penjelasan sebagaimana rujukan kaum

positivis dalam mengejar kebenaran. Penjelasan, bagi

realis, merupakan unsur utama dalam ilmu, dan untuk

menjelaskan fenomena bukan dengan menunjukkan

keteraturan-keteraturan yang amat mapan (well-established

regulerities) sebagaimana positivis lakukan, tetapi dengan

mengkaji secara teliti hubungan antar fenomena ketika

Page 60: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

60

struktur dan mekanismenya bekerja. Dengan melakukan

kajian demikian ini akan diperoleh pengetahuan esensi.

Artinya, dengan kerja seperti ini berarti perumusan

asumsi keberadaan entitas oleh realis, adalah bukan yang

teramati (observasi) dan prosesnya memang tidak biasa

bagi positivis yang mengandalkan eksperimen untuk

menemukan keteraturan. Dengan kata lain, realis dalam

upaya mencapai esensi melakukan apa yang diperoleh

bukan dari penampilan luar suatu fenomena atau benda

yang menjadi kajian tetapi esensi dari hubungan antar

fenomena. Dengan demikian, realis berpandangan bahwa

suatu pernyataan disebut sebagai suatu teori ilmiah apabila

ia merupakan gambaran hubungan esensi antara fenomena

satu dan yang lain.

Dengan kata lain, teori ilmiah merupakan suatu

deskripsi struktur dan mekanisme yang secara kausalitas

mengeneralisasi fenomena-fenomena yang teramati. Ilmu,

bagi realis, adalah sebuah deskripsi yang memberikan

kesempatan pada kita untuk menjelaskan. Untuk itu, realis

mampu menjawab pertanyaan mengapa (why) suatu

peristiwa dapat terjadi. Pertanyaan mengapa ini jelas tidak

dapat dijawab oleh positivis karena argumentsi positivis

hanya menekankan kekuatan prediksi terjadinya suatu

peristiwa tertentu dan pengetahuan prediktif ini

mengabaikan pentingya eksplanasi esensi mengapa terjadi

suatu peristiwa.

Ketiga, Konvensionalisme. Pemahaman positivis

dan realis di atas memang menggambarkan perbedaan

Page 61: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

61

posisi yang jelas meskipun keduanya sama-sama berada

pada wilayah empiris yang sama mengingat keduanya

memiliki ciri-ciri sama dan telah dikembangkan dalam

tradisi filsafat empiris pula. Kegagalan membedakan posisi

keduanya tentu amat riskan dalam dunia ilmiah mengingat

dalam empirisme telah ada perkembangan yang

membedakan, positivisme dan realisme. Positivisme,

misalnya, sering digunakan sebagai sinonim dari

naturalisme, pada hal tidak demikian persis dan bahkan

sering pula diterapkan pada tradisi intelektual pada

umumnya. Kini, positivisme memang telah lazim menjadi

tradisi keilmuan, yang tidak saja mengadopsi ilmu alam,

tetapi juga sebagai pelegitimasian bentuk-bentuk

pengetahuan humaniora, termasuk hukum.

Bagi konvensionalis, apa yang dikemukakan oleh

positivis dan realis dengan beragam perbedaan tipis

tersebut bukan merupakan alat ukur untuk menentukan

kebenaran ilmu karena ilmu dipandang hanya sebagai

konvensi semata. Konvensionalis memandang bahwa ilmu

tidak lebih dari instrumen, suatu alat pembenar yang

kebenarannya amat tergantung pada kepentingan pragmatis

semata-mata. Berkenaan dengan ini, instrumentalisme

biasa merujuk pada suatu pandangan tentang tujuan umum,

yang bertujuan untuk memberikan kekuatan manipulatif

dan prediktif terhadap lingkungan pisik yang

mengelilinginya. Artinya, justifikasi aktivitas ilmiah

terletak pada hasil praktis dan teori dikatakan ilmiah

apabila kemanfaatannya betul-betul dapat diakses.

Page 62: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

62

Jadi, bukan persoalan kebenaran dan kesalahan yang

dikontrol oleh hasil pengamatan dan keteraturan

sebagaimana positivis lakukan dan bukan esensi dari

hubungan antar fenomena seperti realis lakukan, tetapi

adakah kepentingan praktis dari teori yang dimaksud.

Prinsipnya, konvensionalis menekankan pada ada tidaknya

kepentingan kolektif praktis, kepentingan kolektif praktis

ini menjadi sebuah kriteria bagi diterima atau tidak

diterimanya suatu teori. Dengan demikian, ilmu, bagi

konvensionalis, adalah ada atau tidak kemanfaatan dari

suatu teori, dengan kata lain kepentingan praktis

III.2 Ilmu Hukum

Pengalaman menunjukkan bahwa masih banyak penekun

Ilmu Hukum yang belum mampu menjelaskan secara

jernih tentang jawaban atas pertanyaan apakah ilmu hukum

itu sama dengan teori hukum, apakah keduanya berbeda

dengan filsafat hukum. Jika jawabannya mengatakan

bahwa ilmu hukum dan teori hukum dikatakan sama atau

identik, maka pernyataan demikian perlu dikaji ulang,

direnung ulang. Sebagaimana disebut di atas bahwa Ilmu

merupakan proses dialog antara tesis dan anti tesis yang

menghasilkan sintesa. Dengan demikian, jawabannya

adalah Ilmu merupakan proses sementara teori merupakan

salah satu produk dari proses itu sendiri. Artinya, ilmu

hukum, teori hukum, dan filsafat hukum jelas berbeda

posisinya.

Di negara yang menganut sistem hukum Anglo

Sakson, ilmu hukum dikenal dengan istilah jurisprudence

Page 63: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

63

yang berarti ilmu hukum, tetapi pada sisi lain juga dikenal

istilah legal theory yang di Indonesia diistilahkan dengan

teori hukum. Membicarakan hukum sebagai ilmu (ilmu

hukum), secara umum terfokus pada tiga bidang atau objek

kajian, yaitu:

Ilmu tentang kaedah hukum (normwissenschaft) atau

ilmu hukum normatif, mempelajari dan menganalisis

peraturan hukum (UU) secara "das sollen" atau apa

yang seharusnya dilakukan dan yang seharusnya

tidak boleh dilakukan. Misalnya, ilmu hukum pidana,

ilmu hukum perdata, ilmu hukum tata negara, dan

sebagainya. Ilmu tentang sosiologi hukum atau

kenyataan hukum empiris (tatsachenwissenschaft),

mempelajari dan menganalisis hukum dalam

kenyataan (law of fact) atau "sein", dan apakah

hukum mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat,

demikian pula sebaliknya. Sosiologi Hukum tidak

melakukan penilaian tentang benar-salahnya suatu

peristiwa atau gejala hukum yang terjadi, dan hanya

menggambarkannya sebagai mana kenyataannya.

Ilmu tentang pengertian-pengertian pokok hukum

(begriffenwissenchaft), mempelajari, menganalisis

pengertian pengertian dasar hukum, asas hukum,

sistem hukum, dan sebagainya.

Sebagaimana dikemukakan, bahwa objek ilmu

hukum itu cukup luas cakupannya dan bukan hanya hukum

normatif atau hukum tertulis saja, sehingga akan lebih

eksis apabila melihat dan memamahi pengertian ilmu

hukum oleh beberapa juris. Memang, dalam kepustakaan

hukum, bahwa "ilmu hukum" itu dikenal dengan sebutan

Page 64: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

64

dalam bahasa Inggris jurisprudence. Berasal dari kata Jus

atau Juris yang artinya “hukum atau hak, kata prudence

berarti "melihat ke depan atau mempunyai keahlian". Arti

harfiah secara umum dari kata jurisprudence adalah "ilmu

yang mempelajari hukum".

Untuk memberikan gambaran dan pemahaman

tentang arti sesungguhnya dari ilmu hukum, di bawah ini

sejumlah juris mengemukakan pendapatnya,22

sebagai

berikut:

1. Ulpian menyebutnya sebagai pengetahuan

mengenai masalah yang berifat surgawi dan

manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan

yang tidak benar. Stone mengatakan ilmu hukum

merupakan penyelidikan oleh para ahli hukum

tentang norma-norma, cita-cita dan teknik-teknik

hukum dengan menggunakan pengetahuan yang

diperoleh dari berbagai disiplin di luar hukum yang

mutakhir.

2. Fitsgerald mengatakan nama yang diberikan kepada

suatu cara untuk mempelajari hukum, suatu

penyelidikan yang bersifat abstrak, umum dan

teoritis, yang berusaha untuk mengungkapkan asas-

asas yang pokok dari hukum dan sistem hukum.

3. E. Bodenheimer menjelaskan ilmu yang membahas

objeknya secara luas sekali, meliputi hal-hal yang

22 Lihat Satjipto Rahardjo, 1986, hlm.11-12

Page 65: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

65

filsafati, sosiologis, historis, maupun komponen-

komponen analitis dari teori hukum.

4. Llewellyn menyebut ilmu hukum adalah pemikiran

yang diteliti dan bobotmengenai semua tingkat

kehidupan hukum, dan pemikiran itu menjangkau

ke luar batas pemecahan terhadap suatu problem

yang konkrit. Jadi ilmu hukum itu meliputi semua

macam generalisasi yang jujur dan dipikirkan

masak-masak di bidang hukum.

5. Jolowic mengartikan ilmu hukum adalah suatu

diskusi teoretis yang umum mengenai hukum dan

asas-asasnya, sebagai lawan dari studi mengenai

peraturan-peraturan hukum yang konkret.

Sementara John Austin mengartikan ilmu hukum

(jurisprudence) dalam tiga aspek,23

yaitu:

1. Ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum

positif yang otonom dan dapat mencakupi dirinya

sendiri.

2. Ilmu hukum tentang hukum berurusan dengan

hukum positif atau dengan hukum-hukum lain yang

secara tegas diterima, tanpa memperhatikan

kebaikan atau pun kejelekannya.

3. Ilmu hukum hanyalah untuk menganalisis unsur-

unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum

modern. Sekalipun diakui, bahwa ada unsur-unsur

23 Op.Cit hlm. 238-239

Page 66: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

66

yang bersifat historis di dalamnya tetapi unsur-

unsur tersebut tidak diperhatikan.

III.3 Ilmu Hukum Positif

Dalam subbab ini ada dua terminologi, ilmu hukum dan

positif. Ilmu hukum dimaksud merupakan Ilmu Hukum

yang sesungguhnya, yaitu Ilmu Hukum yang mengkaji

suatu peraturan perundang-undangan. Mengapa perlu

disebut ilmu hukum yang sesungguhnya? Pertanyaan ini

berkaitan dengan perkembangan ilmu hukum itu sendiri.

Secara historis, ilmu hukum ini sudah ada dan diterima

sejak zaman Romawi Kuno yang pada saat itu Ilmu

Hukum yang sesungguhnya dimaksud disebut sebagai jus.

Tentu, jus dalam pengertian sempit dan tidak termasuk

dalam pengertian luas yang mencakup pengertian-

pengertian yang dilihat dari ilmu sosial. Dalam lingkungan

Ilmu Hukum di Eropa Barat bagian Kontinen Ilmu Hukum

dimaksud diberi sebutan selain Ilmu Hukum dalam Arti

Sempit, juga "Ilmu Hukum yang sesungguhnya, atau "Ilmu

Hukum Sistematis" atau "Ilmu Hukum Dogmatis, atau

Ilmu Hukum Positif".

Sementara istilah positip di sini dapat diterjemahkan

ke dalam pengertian berlaku (validity-english, geltung-

german, geldang-netherland) di sini dan waktu ini. Ketika

positif diartikan sebagai berlaku atau yang berlaku, maka

sasaran ilmu hukum yang berlaku adalah terciptanya tertib

secara sosial, ekonomi, politik, dan tentu tertib hukum

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara. Artinya, sasaran Ilmu Hukum Positip adalah

Page 67: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

67

Tertib Hukum Positip atau Tertib Hukum yang berlaku di

sini dan waktu ini.24

Untuk mengetahui tertib hukum dimaksud, salah satu

caranya adalah dengan mengamati pelaksanaan suatu

peraturan tertentu dalam suatu masyarakat tertentu pula.

Dalam pelaksanaan secara nyata itu akan dapat diketahui

secara persis apakah peraturan tertentu dapat atau tidak

diterima oleh masyarakat. Artinya, ukurannya datang dari

masyarakat dimana peraturan itu dilaksanakan. Jika

masyarakat itu tertib berarti menerima, maka ilmu hukum

sesungguhnya itu atau peraturan itu positif. Dengan kata

lain, berlaku.

Namun demikian perlu diperhatikan perbedaan antara

diberlakukan dan berlaku. Terminologi disebut pertama

mengandung makna bahwa suatu peraturan dilakukan atau

diharuskan berlaku atau wajib diberlakukan oleh pihak

yang mempunyai kewenangan secara sepihak. Dengan

pengertian demikian ini lahir terminologi penegakan

hukum (law enforcement). Sementara terminologi kedua

mengandung makna bahwa masyarakat telah menerima

dan berinteraksi dengan peraturan dimaksud.

24Dalam lingkungan ilmu sosial, yang mendasarkan diri pada fakta

empiris yang terdapat dan terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-

hari, istilah "berlaku" diberi arti dalam hubungannya dengan apa yang

sering terlaksana dalam praktek kehidupan bermasyarakat. Di satu

ilmu sosial mengikatkan isi pengertian berlaku pada penerimaan dan

pelaksanaannya sesuatu di dalam praktek kehidupan.

Page 68: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

68

Dalam konteks penegakan hukum, ketika seorang

Sarjana Hukum melihat suatu peristiwa hukum, maka

pertanyaan yang timbul adalah pertanyaan preskriptif,

yaitu bagaimana itu hukumnya suatu peristiwa hukum.

Artinya bagaimana bunyi ketentuan Hukum yang dapat

diterapkan pada suatu peristiwa hukum yang bersangkutan.

Dalam konteks, peradilan, yang diperhatikan sesara khusus

ialah bagaimana menemukan unsur-unsur hukum atau

"menghukumi" peristiwa hukum dimaksud; artinya

dipertanyakan "normativitas" peristiwa yang bersangkutan.

Untuk itu dicarinya kaitan logisnya unsur-unsur

peristiwa yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan

yang terdapat dalam alam kaedah Hukum yang

dimaksudkannya. Dia mencari dari fakta yang

bersangkutan segala unsur-unsur yang ada relevansinya

dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh

ketentuan-ketentuan normatip yang terdapat dalam Tata

Hukum masyarakat yang bersangkutan.

Dalam hal ditemukan unsur-unsur peristiwa yang

dapat memenuhi tuntutan persyaratan sesuatu ketentuan

normatip dari suatu kaedah Tata Hukum yang

bersangkutan maka dikatakan bahwa kaedah atau peraturan

Hukum tertentu itu kena atau “berlaku" bagi peristiwa

(Hukum) yang bersangkutan. Peristiwa itu menjadi

dikuasai oleh kaedah Hukum tersebut. Dari itu " berlaku "

dalam Ilmu Hukum yang sesungguhnya berarti berkaitan

secara logis dengan suatu persyaratan yang ditetapkan oleh

suatu kaedah Hukum dengan sesuatu ketentuan yang lebih

Page 69: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

69

konkrit. "Berlaku” dalam Hukum, berarti tidak cukup

hanya dengan sudah dipenuhinya persyaratan yang dituntut

oleh sesuatu kaedah yang konkrit. Kaedah konkrit itu juga

seterusnya harus berkait logis dengan ketentuan yang lebih

umum dan begitu seterusnya.

Persoalan "berlaku" dalam Ilmu Hukum, menurut

Koesnoe, merupakan persoalan tentang dasar

pembenarannya yang logis. Dengan lain perkataan

merupakan persoalan "legitimasi ". Untuk itu, berlaku

berarti bagaimana dasar pembenarannya. Bagaimana

legitimasinya sesuatu perhubungan konkrit dalam

masyarakat. Bagaimana tempatnya dan kesesuaiannya

dalam tatanan keseluruhan ketentuan dalam tata hukum

yang sifatnya normatif.

III.4 Obyek Ilmu Hukum Positif

Obyek Ilmu Hukum Positip adalah Hukum Positip.

Sehubungan dengan itu, jika mempelajari Hukum Positip,

maka yang mendapat tekanan adalah istilah Hukum yang

dimaksud perlu mendapat perhatian khusus terlebih

dahulu. Ini perlu mengingat dalam masyarakat suatu istilah

hukum dapat diberi arti berbeda-beda. Di antaranya ada

pengertian yang tidak ada urusannya dengan isi yang

dipelajari oleh Ilmu Hukum Positip. Ilmu Hukum Positif

berobyekkan peraturan (peraturan tertulis sebagai tesis,

pelaksanaan peraturan (proses sebagai anti tesis), dan tertib

hukum (produk sebagai sintesa). Sekedar sebagai contoh

dapat disebut di sini mengenai arti yang diberikan oleh

masyarakat kita tentang istilah Hukum.

Page 70: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

70

Pertama.

Hukum dihubungkan dengan soal sifat yang "ajeg"

(regulerities, tetap terus-menerus sama) yang ada pada

suatu peristiwa atau benda. Misalnya dalam persoalan Ilmu

Alam seperti halnya dengan Hukum Boyle, Hukum

Newton. Arti Hukum yang diberikan dalam hubungannya

dengan soal soal sifat benda atau peristiwa alam seperti itu

tidak sama dengan arti Hukum yang dimaksud dalam

lingkungan Ilmu Hukum Positip. Pengertian arti Hukum di

dalam mana disyaratkan ada unsur "ajeg" mempunyai

kemiripan saja dengan arti pengertian Hukum yang

diterima oleh Ilmu Hukum Positip. Artinya, hukum dalam

pengertian Ilmu ini juga menuntut terpenuhinya

kontinuitas dalam aturannya.

Kedua.

Istilah-istilah Hukum diterima sebagai pendapat dari

seorang yang memegang kekuasaan yang kemudian

melahirkan keputusan (hukum yang diputus oleh

Pemegang Otoritas formal). Dalam hal ini kita ingatkan

kepada hal-hal sebagai berikut: Pemegang kekuasaan resmi

seperti Hakim, Polisi, Jaksa, Gubernur, Bupati, Carik,

Lurah dan seterusnya dalam kehidupan sehari-hari

dikatakan bahwa terhadap sesuatu peristiwa, oleh pejabat

tersebut telah dihukumi demikian. Di sini penggunaan

istilah "Dihukum" disamakan dengan pendapat dari pejabat

yang bersangkutan dalam persoalan yang dihadapi, yang

sudah tidak dapat ditawar tawar lagi.

Page 71: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

71

Ketiga.

Istilah Hukum sering dihubungkan dengan keputusan

Hakim (jugde made law). Hal ini terlihat dalam

penggunaan istilah "dihukum" yang terdapat dalam setiap

isi keputusan Pengadilan. Dalam arti yang ketiga ini

terlihat adanya satu Pengertian arti Hukum yang sudah

lebih dekat pada apa yang menjadi sasaran studi para

sarjana Hukum yaitu bahwa disamping kesimpulan yang

dinyatakan oleh Hakim, di dalamnya juga terkandung

unsur memaksa yaitu yang oleh yang terkena keputusan itu

dituntut untuk melaksanakan atau dipaksa untuk

melaksanakan bilamana tidak dikerjakan.

Keempat.

Hukum juga sering dikaitkan dengan peraturan tertulis

(law in the book) yang ditetapkan oleh kekuasaan resmi

yang ditugaskan untuk itu yaitu yang memang berwenang

membuat peraturan tertulis berupa Undang-Undang; dalam

hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Terhadap Undang-Undang, masyarakat melihat itu sebagai

Hukum, karena didasarkan kepada aturan yang lebih tinggi

yaitu Undang-Undang Dasar. Di sini Hukum identik

dengan Undang-Undang.5)

Kelima.

Ada lagi yang memberi arti Hukum dalam hubungannya

dengan yang lebih abstrak misalnya Hukum Alam. Dalam

hal ini arti yang terkandung di dalamnya memuat tentang

bekerjanya hubungan kausal dalam kejadian fisik dalam

Page 72: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

72

alam. Misalnya dalam konteks orang Jawa, seorang yang

salah pasti seleh. Penggunaan istilah Hukum alam arti ini

sangat dekat dengan arti yang dipakai kalangan ajaran

Budha yaitu Hukum Karma.

Keenam.

Lebih abstrak lagi ialah pemakaian istilah Hukum dengan

arti sebagai kehendak Tuhan yang sudah pasti dalam soal

hidup manusia. Di dalam lingkungan ajaran Islam Hukum

dalam arti ini disebut dengan istilah syariat.

Ketujuh.

Ada lagi dalam masyarakat yang memberi arti hukum se-

bagai ketentuan-ketentuan tingkah laku obyektip yang be-

kerja dan dipertahankan dalam masyarakat. Sebagai

ketentuan tingkah laku yang obyektip di dalammya

mengandung keharusan, artinya tuntutan untuk

dilaksanakan dalam praktek kehidupan sehari-hari oleh

semua anggauta masyarakat yang bersangkutan, sebagai

kewajiban. Menjalankan kewajiban, tidak mungkin dapat

terlaksana bilamana yang terkena kewajiban tidak

mempunyai sarana untuk melaksanakan itu.

Bilamana ada sarana padanya, dia masih perlu ke-

kuasaan untuk melaksanakan kewajibannya. Segala sarana

yang disediakan semacam itu bagi anggota masyarakat dan

juga kekuasaan yang diberikan dinamakan sebagai hak.

Hukum dalam hubungannya dengan arti ini merupakan

suatu keseluruhan hak dan kewajiban yang diterima dan

dipertahankan oleh sesuatu masyarakat secara menyeluruh

atas dasar keyakinan yang dianut masyarakat itu.

Page 73: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

73

Kedelapan.

Ada lagi satu pengertian yang diberikan oleh masyarakat

mengenai istilah Hukum. Dalam hal ini, ingat pada

kebiasaan yaitu bahwa apa yang terjadi di dalam

masyarakat berbentuk perbuatan sebagai bentuk

pelaksanaan sesuatu hak dan kewajiban itu yang dilakukan

berulangkali. Kebiasaan itu adalah nyata, dapat dilihat

dalam wujud perbuatan dalam pergaulan masyarakat.

Perbuatan tidak berdiri sendiri akan tetapi berhubungan

dengan motif yang menggerakkannya yaitu yang

merupakan kesadaran hak-kewajiban yang bersangkutan.

Perbuatan semacam itu juga dinamakan Hukum pula. Di

sini Hukum dilihat sebagai Gejala yang terjadi dalam

masyarakat, ringkasnya gejala sosial.

Misalnya, di dalam sesuatu masyarakat di Indonesia

(di Madura) kalau orang melepaskan sapinya untuk

diserahkan sepenuhnya kepada orang lain singkatnya:

menjual sapi, maka bilamana telah disepakati harganya

oleh masing-masing fihak (penjual-pembeli), dalam

menyerahkan uang, si pembeli menepuk ditanah terlebih

dahulu tumpukan uangnya dan kemudian diserahkan

kepada fihak penjual-nya. Kemudian kedua-duanya

menyatakan secara lisan dan dapat didengar orang lain

yang ada di satu "uang penulis serahkan" sedang fihak lain

menyatakan "uangnya penulis terima". Demikian juga

dalam hal menyerahkan sapinya.

Itu semua adalah merupakan apa yang dinamakan

"ijab-kabul" nya dalam jual beli. Perbuatan: menepukkan

Page 74: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

74

uang yang dipakai sebagai pembeliannya dan tingkah laku

berjasatun tangan dengan ucapan seperti itu adalah

kebiasaan; artinya dalam setiap dual beli sapi perbuatan-

perbuatan tersebut dapat dilihat berulangnya. Dan itu

semua dapat dijangkau oleh penglihatan dan pendengaran,

dapat diobservasi. Perbuatan itu sering pula dimaksudkan

sebagai Hukum-nya jual beli dalam arti yang kedelapan.

Aliran ini tidak begitu memperhatikan motif-motif yang

abstrak, yang tidak terlihat. Hukum dalam artinya seperti

ini, dapat menjadi perhatian khusus dari Para sarjana

hukum, tetapi dalam kasus-kasus tertentu.

Page 75: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

75

BAB IV

LEGALISTIK DAN PENEMUAN HUKUM

\

IV.1 Pengertian Umum

Sering dipermasalahkan mengenai istilah “penemuan

hukum” apakah tidak lebih tepat istilah pelaksanaan

hukum, penerapan hukum, pembentukan hukum atau

pencitaan hukum. Pelaksanaan hukum dapat bearti

mejalankan hukum tanpa ada sengketa atau pelanggaran.

Ini meliputi pelaksanaan hukum dari setiap warga negara

dan juga oleh aparat setiap hari yang tidak disadarinya dan

juga oleh aparat negara, misalnya seorang polisi yang

berdiri diperempatan jalan mengatur lalu lintas (law

enforcement). Disamping itu pelaksanaan hukum dapat

terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh

hakim. Ini sekaligus merupakan penegakan hukum.

Penerapan hukum tidak lain berarti menerapkan

peraturan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya.

Menerapkan (peraturan) hukum pada peristiwa konkrit

secara langsung tidak mungkin. Peristiwa konkrit itu harus

dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan

hukumnya dapat diterapkan. Di waktu lampau dikatakan

bahwa hakim adalah corong undang-undang, karena

kewajibannya hanyalah menerapkan Undang-undang.

Lain lagi dengan penemuan hukum, penciptaan

hukum, pembentukan hukum, yag disebut terakhir ini

adalah merumuskan peraturan-peraturan umum yang

berlaku umum, bagi setiap orang. Kalau lazimnya

Page 76: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

76

pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk undang-

undang, maka hakim dimungkinkan pula membentuk

hukum. Kalau hasil penemuan hukumnya itu kemudian

merupakan yurisprudensi tetap yang diikuti oleh para

hakim, maka ia merupakan pedoman bagi masyarakat,

yaitu putusan yang mengandung asas-asas hukum yang di

rumuskan dalam peristiwa konkrit, dan memperoleh

kekuasaan berlaku umum. Jadi satu putusan dapat

sekaligus mengandung dua unsur yaitu satu pihak putusan

merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa

konkrit dan di lain pihak merupakan peraturan hukum

umum waktu mendatang.

Sedangkan istilah penciptaan hukum kiranya kurang

tepat karena memberi kesan bahwa hukumnya itu sama

sekali tidak ada kemudian diciptakan, dari tidak ada

menjadi ada. Hukum bukan selalu berupa kaedah baik

tertulis, maupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku

atau peristiwa. Di dalam perilaku itulah terdapat

hukumnya. Dari perilaku itulah harus ditemukan atau

digali hukumnya. Maka kiranya penemuan hukumlah yang

tepat. Menurut Sudikno Mertokusumo penemuan hukum

adalah „proses pembentukan hukum hakim, atau aparat

hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan

hukum umum pada peristiwa hukum konkrit.

Mencermati terdapatnya fenomena ditengah-tengah

masyarakat yang menyatakan putusan hakim tidak

mencerminkan rasa keadilan masyarakat, pendapat

demikian tidak dapat diabaikan karena yang menjadi salah

Page 77: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

77

satu sasaran dari vonis hakim adalah masyarakat, terutama

pencari keadilan. Setiap orang ingin melihat hakim-hakim

bertindak benar (properly) menurut undang-undang dan

mempertimbangkan keadilan masyarakat sehingga

menghasilkan putusan adil. Meskipun demikian, tidak

jarang putusan hakim, baik di tingkat Pengadilan Negeri,

Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung seringkali

dirasakan kurang adil atau tidak adil oleh pihak yang

berperkara. Persoalan seperti yang diuraikan di atas

merupakan permasalahan signifikan disebabkan karena

pengadilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan (the

last fortress) kurang memiliki wibawa karena vonis yang

dijatuhkan dirasakan oleh masyarakat tidak mencerminkan

rasa keadilan masyarakat.

Tulisan ini terinspirasi secara normatif oleh makna

Undang-Undang Nomer 14 tahun 1970 tentang Pokok-

Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal (27) sebagaimana

diperbaiki oleh Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman, menjadi Pasal 28 Ayat (1),

dikatakan bahwa "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa kadilan yang hidup

dalam masyarakat”25

Oleh sebab itu, tulisan ini akan lebih

menitikberatkan tugas-tugas hakim sebagai salah satu

unsur penegak hukum dibanding penegak hukum lainnya.

25 UU RI No. 4 Tahun 2004 Tenlang Kekuasaan Kehakiman,

Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor S, Pasal 28 ayat (1). Lihat

juga Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman Pasal 5.

Page 78: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

78

Kini pertanyaannya, mengapa hakim mempunyai

kewajiban menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai

hukum yang hidup dalam masyarakat.

Secara normatif pula, jawabannya merujuk pada

pengertian Pasal 22 Algemeene Bepalingen (AB)

disebutkan :

“Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu

perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan,

tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat

dituntut untuk dihukum karena menolak

mengadili.”

Maknanya adalah hakim memang wajib memeriksa

dan mengadili perkara perdata/perdata adat yang diajukan

kepadanya. Prinsip demikian ini yang dipegang teguh oleh

hakim sehingga hakim dianggap tahu hukumnya atas kasus

hukum kongkrit yang diajukan kepadanya. Prinsip ini di

dalam ajaran asas biasa dikenal dengan asas Ius Curia

Novit yang biasa diartikan hakim diangap tahu hukum.

Namun dalam kenyataannya, amat dimungkinkan bahwa

hukum yang terdiri seperangkat aturan normatif itu tidak

lengkap atau bahwa hukum belum mengatur. Jika hal ini

yang terjadi, maka pertanyaannya adalah apa yang harus

dilakukan hakim dalam mengadili kasus hukum kongkrit.

Dalam mengadili perkara-perkara hukum kongkrit

dimaksud, maka hakim akan melakukan tiga langkah

alternatif pendekatan, sebagai berikut:

1. Pendekatan legalistik, jika dalam kasus hukum

kongkrit yang dihadapi hukumnya atau undang-

Page 79: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

79

undangnya sudah ada dan jelas, maka hakim secara

preskriptif tinggal menerapkan saja hukum yang

dimaksud;

2. Dalam kasus hukum kongkrit yang hukumnya tidak

atau kurang jelas, maka hakim harus menemukan

hukumnya dengan cara menafsirkan hukum atau

undang-undang yang masih samar-samar dimaksud

melalui metode penafsiran yang sudah lazim dalam

kajian ilmu hukum;

3. Dalam kasus hukum kongkrit yang hukumnya belum

ada atau undang-undang belum mengatur, maka hakim

harus menemukan hukum dengan cara menggali,

mengikuti, dan menghayati nilai-nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat.

IV.2 Pendekatan Legalistik

Pendekatan legalistik di atas biasa disebut pula pendekatan

yuridis normatif formal sebagaimana tampak dominan

dalam penyelesaian kasus hukum kongkrit. Bahkan sejak

awal pendidikan hukum di perguruan tinggi. pengamatan

terhadap kelulusan pendidikan hukum menunjukkan kesan

kuat bahwa masyarakat luas masih mengharapkan agar

fakultas-fakultas hukum di lingkungan universitas dan

sekolah tinggi ilmu hukum memproduksi sarjana hukum

yang mempunyai ketrampilan dalam menggarap persoalan-

persoalan hukum kongkrit.

Artinya, pendidikan hukum diharap menghasilkan

sarjana hukum yang keilmuannya dapat digunakan untuk

mengelola fenomena hukum kongkrit atau hukum untuk

Page 80: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

80

hukum, bukan hukum untuk fenomena lain. Sehubungan

dengan itu, studi dan pengajaran yang berlangsung di

perguruan tinggi, khususnya di fakultas hukum dan

sekolah tinggi ilmu hukum, masih didominasi oleh

pengajaran ilmu hukum positif preskriptif.

Jika demikian halnya, maka ini berarti pengajaran

ilmu hukum positif preskritif di Indonesia ke depan masih

terus dominan. Kondisi demikian, tentu, membawa

konsekuensi logis pada ajaran ilmu hukum yang diberikan

kepada mahasiswa dimana pada proses pengajaran

ditekankan pada aspek preskriptif, yaitu memberikan

seperangkat pengetahuan tentang apa hukumnya bagi suatu

peristiwa hukum kongkrit serta bagaimanakah

mengoperasionalkan hukum dimaksud. Salah satu contoh

praktis bagaimanakah mengoperasionalkan sperangkat

peraturan perundang-undangan dimaksud dalam suatu

kasus kongkrit tertentu adalah praktik hakim dalam

mengadili suatu perkara di pengadilan. Di pengadilan,

hakim menghadapi suatu persoalan konkrit individual

dengan mempraktikkan pendekatan yuridis-normatif. Di

sinilah letak kegiatan ilmu hukum positif dimaksud.

Hasil kegiatan ilmu hukum positif tersebut bilamana

diperhatikan, maka ada kemungkinan bahwa dalam

menjalankan tugas untuk menemukan putusan obyektif

terhadap perkara kongkrit yang dihadapkan kepadanya,

mindset hakim dapat terpengaruh ukuran hukum dalam tata

hukum Indonesia. Di antara praktik-praktik hakim yang

dapat dikategorikan ke dalam upaya penyelesaian suatu

Page 81: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

81

perkara hukum konkrit menurut pendekatan yuridis-

normatif yang menurut penulis yuridis normatif formal,

pernah disampaikan Koesnoe adalah berikut.

Pengertian Hukum Normatif dapat ditelusuri sebelum

seseorang diangkat menjadi hakim atau seorang hakim

ditunjuk untuk menangani suatu perkara konkrit, pertama-

tama, yang bersangkutan harus sudah memiliki,

menguasai, dan menghayati dengan baik hukum positif

atau seperangkat peraturan, ilmu hukum, serta serangkaian

konsep dan teori hukum. Dalam hal ini, satu hal yang perlu

diperhatikan dengan baik adalah apa yang dimakdud

dengan hukum. Hukum harus diartikan secara yuridis,

yaitu seperangkat kaedah hukum positif dalam sistem tata

hukum suatu negara. Seperangkat kaedah inilah yang harus

digunakan sebagai landasan dasar dan rujukan hakim

dalam menangani perkara yang dihadapkan kepadanya.

Sehubungan dengan itu, satu hal pokok yang harus

dilakukan hakim lebih lanjut adalah mempelajari dan

menguasai hukum positif yang relevan. Misalnya,

mempelajari bahan hukum tertulis, baik berupa buku berisi

tentang undang-undang yang berlaku, putusan-putusan

pengadilan terkait, dan buku-buku ilmiah tentang

pemikiran-pemikiran hukum yang tersebar di kalangan

sarjana berilmu pengetahuan hukum, baik kalangan ilmu

hukum positif maupun kalangan teori, dan filsafat hukum.

Dengan penguasaan dan penghayatan bahan-bahan

pengetahuan hukum dimaksud, selain hakim akan dapat

melakukan pendekatan terhadap sesuatu persoalan konkrik

Page 82: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

82

secara yuridis normatif, juga dimungkinkan untuk

menghadapi suatu persoalan konkrit dengan tolok ukur

jelas yang mengacu pada realisasi kaedah hukum positif

bersangkutan.

Di dalam melaksanakan tugas mengadili perkara

konkrit misalnya, hakim selalu bergerak dari kegiatan

mencari, memilah, memilih, dan kemudian menemukan

unsur-unsur peristiwa hukum. Hasilnya dirumuskan

sedemikian rupa sehingga mampu menjawab pertanyaan

bagaimana kasus tertentu yang dihadapi dapat diukur

dengan kaedah hukum positif dimaksud. Dalam

keseluruhan kegiatan itu, aspek penting yang harus

dilakukan hakim adalah selain aspek ketelitian, terutama

ditujukan kepada terpenuhinya keseluruhan unsur peristiwa

berupa fakta-fakta, juga aspek kegiatan interpretatif.

Dengan tindakan interpretasi, suatu “peristiwa hukum”

yaitu peristiwa yang akibat-akibatnya diatur oleh hukum

positif yang bersangkutan, dapat ditetapkan.

Ketelitian untuk melengkapi segala unsur-unsur

berupa fakta-fakta dari peristiwa hukum menjadi perhatian

utama dari hakim dalam persidangan. Ketelitian demikian

ini tidak sama dengan ketelitian dan kelengkapan dari

peristiwa menurut ukuran pengertian umum. Peristiwa

lengkap sampai sekecil-kecilnya untuk ukuran umum yang

dalam teori hukum Jerman biasa disebut Rumphtatbestand

tidak diperlukan oleh hakim. Bagi hakim, dari peristiwa

sederhana itu hanya dipilih unsur-unsur perbuatan yang

Page 83: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

83

ditentukan di dalam kaedah hukum positif yang digunakan

sebagai dasar rujukan dalam menyelesaikan suatu perkara.

Dalam pendekatan legalistik atau yuridis normatif

formalpun sebenarnya dilakukan kegiatan interpretasi

hukum. Di sini diberikan contoh bagaimana pemikiran

hakim yang seringkali melakukan interpretasi hukum.

Pemikiran yuridis normatif atas fakta-fakta yang dihadapi

oleh hakim akan dapat ditemukan ketika fakta-fakta yang

dihadapi dikumpulkan, dan disusun ke dalam suatu

kesatuan peristiwa hukum dengan memperhatikan apa

yang ditentukan oleh kaedah hukum yang bersangkutan.

Hal ini dilakukan agar suatu peristiwa dapat

dikualifikasikan sebagai suatu peristiwa hukum yang

dimaksud oleh kaedah hukum bersangkutan. Caranya,

fakta-fakta tersebut diteliti dengan cermat tentang wujud

dan isi unsur-unsurnya. Hasil pemeriksaan dari setiap fakta

tersebut dinilai dan diseleksi. Kemudian, hasilnya

disatukan ke dalam suatu kesatuan sehingga menimbulkan

ide-ide yang menggambarkan berbagai macam peristiwa

yang relevan dengan kaedah-kaedah hukum positif.

Mengkaitkan hubungan logis antara peristiwa dan

kaedah hukum positif tersebut merupakan kegiatan

interpretasi. Hasil akhirnya adalah sebuah peristiwa

dimaksud dapat ditetapkan sebagai wujud peristiwa

hukum. Bilamana peristiwa itu sudah dikualifikasikan

sebagai wujud peristiwa hukum dengan baik, sekali lagi

menurut ukuran kaedah hukum bersangkutan, maka hakim

segera menanjak satu tahap lagi kepada upaya memahami

Page 84: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

84

arti dari segala unsur peristiwa yang bersangkutan. Dalam

kegiatan interpretatif tersebut, hakim akan dihadapkan

kepada berbagai kemungkinan dalam melihat dan

menafsirkan setiap unsur yang berupa fakta yang telah

didapatkan. Setelah itu, hakim sampai kepada usaha

menghubungkan segala unsur peristiwa yang berupa fakta

itu.

Dalam usahanya tersebut, hakim dibimbing oleh

penilaiannya terhadap setiap unsur peristiwa berupa fakta

untuk mendapatkan ide-ide yang mungkin memberikan

gambaran tentang unsur-unsur itu. Ide berupa gambaran

terhadap kesatuan unsur-unsur yang berupa fakta-fakta itu,

tidak hanya akan terdiri dari satu gambaran, tetapi berbagai

variasi gambaran. Berlandaskan pada sejumlah variasi

tersebut, alur pikiran hakim dibimbing oleh suatu

keyakinan yang apabila diukur dari kebiasaan-kebiasaan

mapan, diterima, dan diikuti oleh kalangan akademisi dan

praktisi pengadilan.

Kemudian, hakim mulai melangkah kepada

pemikiran yang mendasarkan diri dan mengacu pada

realisasi kaedah dalam sistem hukum yang berlaku.

Dengan jalan demikan, akhirnya hakim akan sampai

kepada pandangan tentang kualitas peristiwa yang dihadapi

menurut ukuran kaedah hukum yang bersangkutan sebagai

peristiwa hukum. Hakim selain menentukan suatu

peristiwa hukum dengan kualifikasinya itu, juga dapat

mencari kaedah mana dan bagaimana konsekuensi hukum

yang harus diikatkan pada peristiwa dimaksud.

Page 85: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

85

Tahap berikutnya, dilakukan pemilihan dan

pemilahan dari berbagai ide itu tentang kualitasnya yang

dapat dikategorikan sebagai peristiwa hukum. Penentuan

kualitas demikian itu juga harus memperhatikan,

mendasarkan, dan mengacu pada realisasi ketentuan

kaedah yang ada di dalam tata hukum negara. Kualifikasi

tersebut dilakukan dengan memperhatikan bagaimana

hubungan antara unsur satu dan yang lain. Selain itu,

bagaimana kemungkinan lain yang dapat memenuhi

persyaratan untuk dinyatakan dalam suatu pengertian

hukum yang yuridis relevan (juridis relevante

rechtsbegrippen).

IV.3 Pendekatan Penemuan Hukum

Sementara nomer dua dan tiga diatas merupakan

pendekatan penemuan hukum yang dilandasai asumsi

bahwa dalam kenyataan yang ada Undang-Undang tidak

ada yang sempurna dan lengkap untuk mengatur segala

kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Dalam upaya

menegakkan keadilan dan kebenaran hakim harus dapat

melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).26

Dengan

demikian, hakim mempunyai kewenangan untuk

menemukan hukum (rechtsvinding) dan bahkan

menciptakan hukum (judge made law), terutama terhadap

kasus-kasus hukum kongkrit yang hukumnya masih samar-

26 Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan

hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi

tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkrit.

Lihat Sudikno Martokusumo, Op.cit. hlm. 32

Page 86: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

86

samar atau bahkan yang sama sekali belum ada

hukumnnya, tetapi telah masuk ke pengadilan.

Jika nilai hukum yang dimaksud telah ditemukan dan

dirumuskan sedemikian rupa maka selanjutnya dituangkan

sebagai dasar pertimbangan dalam proses pengambilan

putusan untuk menyelesaikan perkara yang sedang

diadilinya. Nilai hukum itu diposisikan sebagai sebagai

hukum (premis mayor) untuk menyelesaikan suatu kasus

hukum kongkrit atau pokok perkara (premis minor) dan

dituangkan dalam amar putusan sebagai klonklusi.27

Dalam memeriksa dan mengadili kasus-kasus hukum

kongkrit yang belum ada aturan hukumnya, hakim wajib

mengali nilai-nilai hukum yang hidup dan dipelihara baik

di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai hukum yang

hidup dan dipelihara baik ditengah-tengah masyarakat.

Nilai-nilai hukum yang hidup itu antara lain: nilai-nilai

ajaran agama, nilai-nilai adat istiadat yang masih

terpelihara baik, budaya dan tingkat kecerdasan

masyarakat, keadan sosial dan ekonomi masyarakat.

Hakim juga mempunyai kewenangan untuk

menyimpang selain dari hukum yang hidup juga ketentuan

hukum tertulis atau jika aturan hukum yang tertulis telah

telah usang ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu

memenuhi rasa keadilan masyarakat. Cara ini disebut

"contra legem”. Hakim dalam menggunakan lembaga

27 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty,

Yogyakarta, 2003: hlm.62

Page 87: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

87

contra legem, harus mencukupi pertimbangan hukumnya

secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan

berbagai aspek kehidupan hukum. Keputusan hakim yang

berisikan suatu pertimbangan-pertimbangan sendiri

berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pasal 22 AB,

yang kemudian menjadi dasar putusan hakim lainnya di

kemudian hari untuk mungadili perkara yang memiliki

unsur-unsur yang sama dan selanjutnya putusan hakim

tersebut menjadi sumber hukum di pengadilan. Putusan

hakim demikian disebut "Hukum Yurisprudensi".

Tujuannya adalah untuk menghindari "Disparitas" putusan

hakim dalam perkara yang sama.28

Persoalan yang dihadapi berkaitan dengan Pasal 28

ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman adalah dimana hakim diwajibkan

untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Nilai-nilai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat

bersifat lokal, berbeda daerah atau masyarakat yang satu

dengan lainnya. Pepatah mengatakan “lain lubuk lain

ikannya, lain padang lain belalang”. Ada sifat-sifat spesifik

dari nilai-nilai yang dianut dan hidup di tengah

masyarakat.

Sebagian hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri

datang dari berbagai kultur yang melatar belakangi

28 H. Ahmad Koesnoel dkk, 2004. Kaedah-Kaedah Hukum

Yurisprudensi. Prenada Media, Jakarta. hlm. 8-9

Page 88: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

88

kehidupannya, kemudian bertugas selaku hakim didaerah

yang sebelumnya hukum adatnya belum mereka kenal

secara mendalam, mereka harus memutus perkara

berdasarkan perintah Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang

Nomo 4 tahun 2004. Dalam tulisan ini, diuraikan tentang

apa yang dimaksud nilai hukum dimaksud dan bagaimana

cara menggali, mengikuti, memahami nilai hukum

dimaksud.

Dalam upaya menegakkan keadilan dan kebenaran

hakim harus dapat melakukan penemuan hukum

(rechtsvinding). Dalam melakukan penemuan hukum oleh

hakim tidak semata-mata menyangkut penerapan

peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit.

Tetapi juga penciptaan hukum dan pembentukan

hukumnya sekaligus.9

Menurut Achmad Ali, ada perbedaan

pandangan tentang metode dan cara penemuan hukum oleh

hakim yaitu menurut Yuris yang berasal dari sistem hukum

Eropa Kontinental dan yuris dari Anglo Saxon. Pada

umumnya para Yuris dari kalangan penganut sistem Eropa

kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode

interpretasi dan metode konstruksi. Sedangkan Yuris yang

berasal dari Anglo Saxon membuat pemisahan secara tegas

antara metode interpretasi dan metode konstruksi.10

9 Jhon J. Loudoe, 1985. Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta.

Jakarta: Bina Aksara, hlm. 66 10

Jazim Hamidi, 1993. Hermenutika. Hukum Teori Penemuan Hukum.

Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm 14 – 19

Page 89: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

89

Dasar pemikiran bagi kelompok yang memisahkan

secara tegas dalam teori penemuan hukum, antara metode

interpretasi dengan metode konstruksi adalah, metode

interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya

sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada

peristiwa konkrit. Interpretasi terhadap teks peraturanya

pun masih tetap berpegang pada bunyi teks itu. Sedangkan

metode konstruksi hukum dilakukan dalam hal

peraturannya memang tidak ada. Jadi terdapat kekosongan

hukum (rechtsvacum). Untuk mengisi kekosongan undang-

undang, biasanya hakim menggunakan penalaran logisnya

yang berupa metode analogi, metode argumentum a-

contrario metode pengkonkritan hukum dan fiksi hukum.11

IV.3.1 Metode Interpretasi

Adapun yang termasuk metode interpretasi (penafsiran)

hukum adalah:12

1. Interpretasi Gramatikal. Interpretasi gramatikal adalah

menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai

kaedah bahasa dan kaedah hukum tata bahasa. Metode

interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran yang

paling sederhana untuk mengatur makna yang

terkandung di dalam pasal undang-undang.

2. Interpretasi Historis. Interpretasi historis merupakan

penjelasan menurut terjadinya undang-undang. Jadi

11 Ibid. hlm. 54

12 Sudikno Mertokusumo, 1993. Bab – Bab Tentang Penemuan

Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm 14-19

Page 90: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

90

undang-undang ditafsirkan dengan cara sejarah

terjadinya, karena setiap ketentuan perundang-

undangan mempunyai sejarahnya sendiri. Karena itu

bagi hakim yang bermaksud mengetahui makna kata

atau kalimat dalam suatu undang-undang dia harus

menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran

pasal tertentu dirumuskan.

Ada dua macam interpretasi historis, yaitu: pertama,

interpretasi memuat sejarah pengaturannya atau

sejarah undang-undangnya. Jadi dalam interpretasi

ini kehendak pembentuk undang-undang sangat

menentukan. Kedua, interpretasi yang memuat

sejarah hukumnya yaitu metode interpretasi yang

ingin memahami undang-undang dalam konteks

seluruh sejarah hukumnya, khususnya yang terkait

dengan kelembagaan hukumnya.

3. Interpretasi sistematis. Interpretasi sistimatis adalah

metode yang menafsirkan undang-undang sebagai

bagian dari keseluruhan sisten perundang-undangan.

Artinya tidak satupun dari peraturan perundangan

dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri. Tetapi

ia harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan

jenis peraturan yang lain.

4. Interpretasi sosiologis atau teleologis. Intepretasi

sosiologis artinya apabila makna undang-undang

ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatanya.

Melalui interpretasi ini hakim dapat menyelesaikan

Page 91: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

91

adanya perbedaan hukum (rechtspositiviteit) dengan

kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid)

5. Interpretasi Komparatif. Interpretasi komparatif

adalah penafsiran dengan jalan membandingkan

antara berbagai sistem hukum. Terutama bagi hukum

yang timbul dari perjanjian internasional. Karena

dengan pelaksanaan yang seimbang atau seragam

direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian

internasional sebagai hukum objektif atau sebagai

kaedah hukum umum untuk beberapa Negara

6. Interpretasi Futuristik. Intepretasi Futuristik atau

metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi

adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan

berpedoman pada undang-undang yang belum

mempunyai kekuasan hukum. Seperti suatu

rancangan undang-undang yang masih dalam proses

pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin bahwa

Rancangan Undang -Undang itu akan diundangkan.

7. Interpretasi Restriktif. Interpretasi Restrktif adalah

metode interpretasi yang sifatnya membatasi.

Misalnya menurut interpretasi Gramatikal kata

“tetangga” dalam Pasal 666 KUHPerdata, dapat

diartikan setiap tetangga termasuk seorang penyewa

dari pekarangan sebelahnya,ini berarti hakim telah

melakukan interpretasi restriktif.

8. Interpretasi Ekstensif. Interpretasi Ekstensif adalah

metode penafsiran yang membuat interpretasi

melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal.

Page 92: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

92

Contoh, perkataan “menjual” dalam Pasal 1576 KUH

Perdata ditafsirkan secara luas yaitu bukan semata-

mata hanya berarti jual beli, tetapi juga menyangkut

peralihan hak

9. Interpretasi Otentik atau Resmi. Pada Interpretasi ini,

hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran

dengan cara lain selain dari apa yang telah

ditentukan, pengertiannya di dalam undang-undang

itu sendiri. Contoh, pasal “X” yang ada dalam suatu

undang-undang sudah sangat jelas, tegas, definitif

maksud yang dituju, sehingga tidak perlu penafsiran

lagi dalam penerapannya.

10. Interpretasi interdisipliner. Interpretasi jenis ini

biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang

menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini

digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang

ilmu hukum. Contoh yang menyangkut kejahatan

“korupsi” hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal

ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum

Pidana, Administrasi negara dan Perdata.

11. Interpretasi Multidisipliner. Dalam interpretasi

multidisipliner, seorang hakim harus juga

mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain

di luar ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim

membutuhkan verivikasi dan bantuan dari lain-lain

disiplin ilmu.

Page 93: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

93

IV.3.2 Metode Konstruksi Hukum.

Metode konstruksi hukum digunakan oleh hakim pada saat

dia dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum

atau kekosongan undang-undang. Karena pada prinsipnya,

hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan

dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum

mengaturnya.13

Menurut Rudolph Von Jhering

sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali ada 3 syarat utama

untuk melakukan konstruksi hukum yaitu.14

1. Konstruksi hukum harus mampu meliput semua bidang

hukum positif.

2. Dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada

pertentangan logis di dalamnya atau tidak boleh

membantah dirinya sendiri.

3. Konstruksi mencerminkan faktor keindahan yaitu

konstruksi bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat

dan konstruksi harus mampu memberi gambaran yang

jelas tentang sesuatu hal.

Ada 4 metode konstruksi hukum yang biasa

digunakan oleh hakim pada saat melakukan penemuan

hukum yaitu : 15

a. Metode Argumentum Peranalogium (analogi)

Analogi ini merupakan metode penemuan hukum

dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari

13 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi

Hukum. Bandung: Alumni, hlm. 8 14

Jazim Hamidi, Op.Cit, hlm. 59 15

Ibid, hlm. 59

Page 94: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

94

sebuah peristiwa hukum atau pembuatan hukum baik

yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang

belum ada peraturannya.

Contoh pasal 1576 KUHPerdata hanya mengatur

bahwa “jual beli tidak memutuskan sewa menyewa. “

Dalam Praktek hakim dihadapkan kasus lain, yaitu

hibah. Pertanyaannya apakah ia tidak memutuskan

sewa menyewa. Dalam hal ini hakim wajib melakukan

penemuan hukum, karena peraturannya tidak mengatur

masalah hibah. Supaya ada putusan yang dapat

dikeluarkan oleh hakim langkah yang ditempuh hakim

ialah mencari esensi dari jual beli itu apa, ternyata

esensinya adalah “peralihan hak.” Kemudian apa yang

menjadi esensi dari hibah. Ternyata juga “peralihan

hak” jadi ditemukan jawabannya bahwa peralihan

hukum merupakan “genus” (peristiwa umum).

Sedangkan jual beli dan hibah masing-masing sebagai

“spesiesnya” (peristiwa khusus) kesimpulannya, hibah

juga tidak memutuskan sewa menyewa.

b. Metode Argumentum a Contrario

Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim

untuk menemukan hukum dengan petimbangan bahwa

apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu

untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas

pada peristiwa tertentu dan untuk peristiwa di luarnya

berlaku kebalikannya. Jadi esensinya mengedepankan

cara penafsiran yang dihadapi dengan peristiwa yang

diatur dalam undang-undang. Pada metode

Page 95: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

95

argumentum a cantrario ini titik berat diletakkan pada

ketidaksamaan peristiwanya. Contoh : masa tunggu

(masa iddah) bagi janda yang hendak kawin lagi karena

perceraian dengan suaminya. Menurut pasal 39 PP No.

9 tahun 1975, masa tunggu bagi janda di tetapkan 130

hari. Bagaimana halnya dengan duda yang hendak

kawin lagi setelah bercerai dengan istrinya. Solusinya,

hakim dapat menerapkan metode argumentum a

contrario, sehingga seorang duda tidak perlu menunggu

waktu tertentu (masa iddah) untuk menikah lagi.

c. Metode Penyempitan/Pengkonkritan hukum

(rechtvervinding)

Metode ini bertujuan untuk mengkonkritkan/

menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu

abstrak, luas dan umum, supaya dapat diterapkan

terhadap suatu peristiwa.

d. Fiksi Hukum

Menurut Paton sebagaimana dikutip Achmad Ali,

metode penemuan hukum melalui fiksi hukum

bersumber pada fase perkembangan hukum dalam

periode menengah, yaitu setelah berakhirnya periode

hukum primitif esensi dari fiksi hukum merupakan

metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-

fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi baru.

Fungsi dari fiksi hukum disamping untuk memenuhi

hasrat menciptakan stabilitas hukum. Juga utamanya

untuk mengisi kekosongan undang-undang. Dengan

kata lain, fiksi hukum bermaksud untuk mengatasi

Page 96: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

96

konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem

hukum yang ada.

Page 97: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

97

BAB V

TEORI HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM

V. 1 Antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum

Apa hubungan antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum?

Apakah Filsafat Hukum itu? Pertanyaan yang seolah

bersifat peringatan itu sering didengar dan terdengar dalam

wacana komunitas yang mencoba memasuki kajian

filosofis atas suatu obyek ilmu. Apa benar sedemikian sulit

untuk menjawabnya? Mungkin jawabannya tidak selalu

demikian mengingat Filsafat dapat dipelajari, dimengerti,

dipahami dengan baik, dan yang paling penting secara

substansial pernah dialami oleh setiap orang. Pengertian,

pemahaman, pengalaman dimaksud sebenarnya dapat

dimulai dari apa itu filsafat dan hal ini dapat diketahui dari

makna terminologinya.

Kemudian dalam konteks Filsafat Hukum, maka

yang perlu diketahui lebih dahulu adalah filsafat dalam arti

umum, baru memasuki wilayah Filsafat Hukum karena

Filsafat Hukum dapat diartikan sebagai filsafat umum yang

diterapkan pada hukum atau fenomena hukum. Secara

umum, pertanyaan-pertanyaan paling dalam yang biasa

dibahas dalam filsafat adalah hubungan antara kenyataan

dengan makna yang ada di balik kenyataan itu sendiri,

landasan atau sesuatu yang mendasari suatu kenyataan,

struktur atau inti, hakehat suatu kenyataan, dan sejenisnya.

Dalam filsafat hukum, pertanyaan-pertanyaan demikian ini

difokuskan pada pemaparan-pemaparan yuridis atas suatu

Page 98: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

98

hukum. Jika hukum (peraturan perundang-undangan) yang

dipaparkan, maka yang perlu dimunculkan adalah apa

makna yang ada di baik peraturan dimaksud.

Dari sini, dapat diketahui bahwa ada dua hal penting.

Pertama, proses, dan, kedua, hasil. Proses yang dimaksud

adalah kegiatan berfikir, yang mencakup dialog antara

tesis–antitesis, yang memproduksi sintesa (konsep baru,

teori kecil). Selanjutnya, sintesa ini menjadi tesis yang

akan dipertemukan lagi dengan antitesa, dan menghasilkan

sintesa. Inilah kegiatan berfikir yang dimaksud di atas.

Memang dalam kepustakaan, masih terdapat beragam

pengertian filsafat hukum. Misalnya Filsafat Hukum yang

didefinisikan oleh beberapa sarjana, sebagai berikut:

Sebagai sebuah disiplin yang berkenaan dengan

penalaran-penalaran yang bersifat spekulatif dan yang

menyibukkan diri dengan upaya pencarian latar

belakang dari suatu pemikiran Untuk itu, penalaran-

penalaran spekulatif dimaksud tidak selalu harus diuji

secara rasional (I. Tammelo);

Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang

hukum yang “benar”, hukum yang adil (J.Schnidt,

H.Kelsen);

Sebagai sebuah refleksi mendasar dari suatu kenyataan

yuridis. Refleksi dimaksud merupakan suatu bentuk

berfikir sistematis yang hanya akan merasa puas dengan

hasil-hasil yang timbul dari pemikiran. Artinya, filsafat

merupakan kegiatan berfikir yang mencari suatu

hubungan teoretis antara gejala satu dan yan lain

Page 99: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

99

sehingga gejala-gejala hukum dapat dimengerti dan

dipikirkan (D. Meuwissen);

Sebagai diisplin ilmu yang mencari pengetahuan tentang

hakekat dari keadilan, tentang bentuk keber-ada-an,

transenden dan immanen dari hukum, tentang nilai-nilai

yang di dalamnya hukum berperan, dan tentang

hubungan antara hukum dan keadilan, tentang struktur

dari pengetahuan, tentang moral dan ilmu hukum, dan

tentang hubungan antara hukum dan moral (J. Darbelly).

Definisi-definisi tersebut menggambarkan bahwa

pemahaman terhadap Filsafat Hukum cukup beragam.

Namun secara umum dapat dikatakan bahwa filsafat

hukum merupakan sebuah disiplin yang berupaya untuk

menjawab pertanyaan mendalam yang berkaitan dengan

hukum dan kenyataan-kenyataan hukum. Pengertian

filsafat hukum demikian ini sesungguhnya juga masih

kabur dan terlalu luas mengingat belum jelas apa yang

diartikan dengan “pertanyaan mendalam” itu. Untuk dapat

membatasi pengertian Filsafat Hukum, maka diperlukan

didudukkan terlebih dahulu tentang wilayah ajaran apa

sajakah yang seharusnya ditelaah dalam filsafat hukum.

Wilayah ajaran filsafat hukum dapat dibagi ke dalam

sejumlah wilayah sebagai berikut:

a. Ontologi hukum, yaitu ajaran tentang ada (zijnsleer).

Ajaran ini menekankan pada upaya untuk menemukan

“hakekat”, misalnya hakekat dari hukum, hakekat

demokrasi, tentang hubungan antara hukum dan moral.

Page 100: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

100

b. Epistemologi Hukum, ajaran tentang pengetahuan

(kennileer). Ajaran ini berupaya menjawab pertanyaan

sejauh mana pengetahuan tentang “hakekat” dari

hukum atau masalah-masalah lain didapat. Artinya,

bagaimanakah sesuatu itu menjadi mungkin. Jadi, ini

adalah suatu bentuk dari meta-filsafat.

c. Aksiologi Hukum, ajaran tentang nilai (waardenleer).

Ajaran ini menekankan pada upaya penentuan tentang

isi dan nilai-nilai, seperti kekayaan, persamaan,

keadilan, kebebasan, kebenaran, penyalahgunaan hak.

d. Ideologi Hukum (harafiah: ajaran idea, ideeenleer):

pengolahaan wawasan menyeluruh atas manusia dan

masyarakat yang dapat berfungsi sebagai landasan

dan/atau sebagai legitimasi bagi pranata-pranata hukum

yang ada atau yang akan datang, sistem-sistem hukum

seutuhnya atau bagian-bagian sistem tersebut (misalnya

tatanan-tatanan hukum kodrat, filsafat hukum

marxistik).

e. Teleologi Hukum (ajaran finalitas, finaliteitsleer): hal

menentukan makna dan tujuan dari hukum.

f. Ajaran ilmu (wetenschapsleer) dari hukum: ini adalah

meta-teori dari ilmu hukum, yang di dalamnya

diajukan dan dijawab pertanyaan-pertanyaan antara

lain dalam hubungan kriteria bagi keilmiahan (sejauh

mana pengetahuan ilmiah tentang hukum itu

dimungkinkan?) dan dalam hubungan dengan

klasifikasi Ilmu Hukum (bukan klasifikasi hukumnya

itu sendiri). Juga metodologi dari Filsafat Hukum

Page 101: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

101

sendiri (dengan mengecualikan metodologi dair

cabang-cabangIlmu Hukum lain) dapat dimasukkan ke

dalamnya.

g. Logika Hukum (rechtslogika): penelitian tentang

aturan-aturan berfikir hukum dan argumentasi yuridis,

bangunan logikal serta struktur hukum sistem hukum.

Logika hukum telah berkembang menjadi sebuah

cabang Filsafat Hukum mandiri dan bahkan menjadi

sebuah disiplin snediri dalam ilmu hukum, yang di

dalamnya ia mengambil tempat sendiri disamping

Filsafat Hukum. Logika hukum lebih jauh akan

dibicarakan tersendiri dan untuk selebihnya di sini

tidak akan dibahas.

Satu hal yang mencolok pada Filsafat Hukum adalah

bahwa hasil dari penalarannya tidak dapat diuji, secara

empirik untuk keseluruhannya, dan secara rasional untuk

sebagian. Penalaran-penalaran filosofikal sendiri memang

harus selalu memenuhi syarat-syarat minimum tertentu

dari rasionalitas, yakni harus tepat secara logikal dan

terbuka bagi diskusi rasional.

Syarat pertama, yaitu berkaitan dengan keberlakuan

logikal dari penalaran filsafat hukum, tidak memerlukan

komentar lebih jauh mengingat aturan-aturan logika

berlaku untuk semua penalaran dan dengan demikian pasti

untuk penalaran-penalaran yang mengklaim keilmiahan,

atau yang sekurang-kurangnya harus berfungsi sebagai

landasan bagi penalaran-penalaran ilmiah. Demikianlah,

filsafat lazimnya tidak dikualifikasi sebagai sebuah “ilmu”,

Page 102: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

102

melainkan lebih sebagai sebuah “meta-disiplin”, yang

antara lain menjadikan ilmu-ilmu ini sendiri sebagai

obyeknya, namun secara umum disyaratkan bahwa filsafat

harus mematuhi suatu metode ilmiah. Memang dapat

ditetapkan sejumlah syarat-syarat minimal pada tataran

argumentasi, dengan kata lain, pada tataran logika. Jika

dalam filsafat tidak pernah dapat dijamin konsensus atas

dasar landasan rasional semata-mata berkenaan dengan

hasil-hasil dari penalaran-penalaran, maka suatu konsensus

rasional yang demikian pada asasnya dimungkinkan jika

ihwalnya berkenaan dengan metode-metode dan argumen-

argumen yang digunakan.

Syarat kedua, yang berkenaan dengan keberadaan

dari kemungkinan untuk menjalankan suatu diskusi

rasional berkaitan dengan penalaran kefilsafatan tentang

hukum, dapat dipandang sebagai pasangan dari tuntutan

dapat diuji (secara empirikal) hasil-hasil dalam ilmu-ilmu

yang menjelaskan (ilmu eksplanatif). Ketidakmungkinan

untuk memverifikasi atau memfalsifikasi dalil-dalil dan

teori-teori Filsafat Hukum tidak boleh menyebabkan

bahwa dalil-dalil dan teori-teori ini menjadi imun (kebal)

terhadap kritik rasional. Sama seperti tiap ilmu yang

berkembang dalam dan oleh suatu diskusi permanen

diantara para ilmuwan berkenaan dengan teori-teori yang

ada, maka suatu perkembangan maju dari filsafat hukum

dan suatu perluasan dari pemahaman-pemahaman

kefilsafatan tentang hukum hanya mungkin terjadi jika

teori-teori kefilsafatan tentang hukum membuka ruang

Page 103: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

103

bagi suatu diskusi rasional tentang titik-titik tolak, isi,

pengolahan/penjabaran dari teori-teori ini, yang

berlandaskannya dapat dikembangkan lagi gagasan-

gagasan kefilsafatan tentang hukum yang baru.

Suatu diskusi rasional dan terbuka yang demikian itu

adalah syarat yang mutlak perlu untuk mencapai suatu

konsensus intersubyektif yang demikian adalah alternatif

yang mutlak perlu untuk suatu pengujian ilmiah, dalam

hal-hal yang di dalamnya pengujian ilmiah yang demikian

itu tertutup. Itu terutama berlaku jika ihwalnya berkenaan

dengan pengandaian nilai-nilai kaedah-kaedah dan

ideologi-ideologi. Untuk memungkinkan diskusi rasional

mengenai teori-teori kefilsafatan tentang hukum, juga

mutlak diperlukan bahwa teori ini (misalnya yang

berkaitan dengan “hakekat” dari hukum) sesuai dengan

pengetahuan ilmiah yang berlaku pada saat itu. Jika

ihwalnya tidak demikian, maka diskusi rasional memang

akan tidak mungkin dijalankan.

Di luar dua syarat rasionalitas ini, maka teori-teori

dalam filsafat hukum tidak dapat dikontrol. Hal ini kurang

lebih tampak jelas berkenaan dengan Aksiologi Hukum,

Ideologi hukum dan Teologi Hukum. Sebab pada bidang-

bidang bagian dari Filsafat Hukum ini tidak dibuat

putusan-putusan tentang kenyataan, melainkan diolah

nilai-nilai dan/atau kaedah-kaedah tertentu, yang diterima

terlebih dahulu sebagai landasan untuk aturan-aturan

hukum positif dan sistem-sisten hukum. Ihwalnya jelas

bahwa nilai-nilai dan kaedah-kaedah pada dirinya sendiri

Page 104: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

104

tidak terbuka bagi pengujian empirikal dan rasional. Hanya

rasionalitas, ini adalah konsistensi internal, dari sebuah

ideologi atau koherensi diantara berbagai nilai dan kaedah

yang bersama-sama dipandang sebagai berlaku yang dapat

dikritik berdasarkan kriteria obyektif.

Dalam optik yang sama orang juga dapat menguji

rasionalitas dari nilai-nilai dan kaedah-kaedah pada tataran

hubungan dengan “sarana-tujuan”: nilai-nilai dan kaedah-

kaedah selalu terhubung dengan penetapan tujuan (orang

memandang misalnya suatu persamaan maksimal antar-

manusia, diantaranya pada bidang pendapatan, sebagai

nilai dan/atau kaedah karena orang berpendapat bahwa

dengan itu maka kehidupan orang rata-rata (doorsnee-

mens) akan menjadi lebih nyaman dan lebih bahagia.

Demikianlah nilai-nilai dan kaedah-kaedah sebagai

demikian tidak dapat “diuji”, namun orang dapat menelaah

sejauh mana (dalam derajat apa) nilai-nilai dan kaedah-

kaedah ini relevan, dapat digunakan, berguna atau mutlak

diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah

ditetapkan terlebih dahulu (diandaikan). Antara lain demi

relasi dari nilai-nilai dan kaedah-kaedah dengan penetapan

tujuan tertentu ini, yang sering diterima secara umum,

maka pilihan pada nilai-nilai dan kaedah-kaedah tertentu

atau pada ideologi tertentu untuk sebagian dapat

diargumentasi secara rasional. Argumentasi rasional ini

juga untuk keseluruhan atau untuk sebagian akan sudah

bertumpu pada putusan-putusan nilai atau butir-butir

keyakinan yang lain.

Page 105: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

105

Jika orang, misalnya mengopsi (memilih) suatu

ideologi hukum sosialistik maka orang lain bertumpu pada

putusan nilai bahwa adalah hal yang dikehendaki bahwa

semua orang sebanyak mungkin sama, sementara manusia

juga, terutama dalam suatu optik marxistik, betolak dari

keyakinan bahwa di dalam sejarah terdapat (berlangsung)

suatu perkembangan positif menuju pada suatu masyarakat

yang demikian. Karakter filsafat hukum yang sebagian

besar bersifat spekulatif dengan merenung ini juga sama

kurang bukti nyata pada bidang Ontologi Hukum, dan pada

bidang ajaran pengetahuan (epsistemologi) serta Ajaran

Ilmu dari Hukum. Karena itu, tiap aspek-bagian dari

filsafat hukum ini akan dibahas secara sama singkatnya.

Ajaran tentang hal ada (zijnsleer) atau Ontologi dari

hukum mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang

“hakekat” dari hukum, tentang isi pokok (basisinhoud) dari

pengertian hukum, tentang “cita-hukum”. Isi pokok ini

misalnya dicari dalam nilai-nilai fundamental seperti

kebebasan, keadilan dan kepastian hukum. Jadi, di sini

ihwalnya tidak terutama berkenaan dengan upaya mencari

pengetahuan tentang hukum ketimbang berkenan dengan

hal menetapkan suatu nilai dasar atau sebuah kaedah dasar

(basisnorm), yang demikian berfungsi sebagai titik tolak

untuk menentukan nilai-nilai dan kaedah-kaedah yang

lainnya dan untuk membangun (onderbouw) bagi

legitimasi dari aturan-aturan hukum, pranata-pranata

hukum dan sistem-sistem hukum yang ada atau yang

dipropagandakan.

Page 106: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

106

Ketika orang tampaknya mencari apa yang menjadi

(merupakan, yang adalah) inti dari apa yang yuridisial,

dalam kenyataan sesungguhnya orang menunjukkan apa

yang seharusnya dipandang sebagai nilai yang paling

esensial dari hukum. Orang mengklaim hanya melakukan

sekedar suatu refleksi merenung, tentang hakekat dari

hukum, namun dalam kenyataannya orang dengan ini

menyatakan putusan-putusan normatif yang terselubung.

Orang berkata: “hukum bertujuan untuk mewujudkan

keadilan” padahal yang paling sesungguhnya dinyatakan:

“hukum (se)harusnya(nya) memperjuangkan keadilan”.

Dengan begitu maka Ontologi Hukum memperlihatkan

ciri-ciri yang sama seperti aksiologi, ideologi dan ajaran

finalitas dari hukum, sehingga pengujian obyektif terhadap

hasil-hasilnya menjadi tertutup dan paling jauh hanya

dapat dicoba untuk mencapai konsensus intersubyektif.

Dalam perspektif Epistemologi Hukum atau Ajaran

Pengetahuan dari hukum ditelaah sejauh mana

dimungkinkan pengetahuan tentang “hakekat” dari hukum

atau tentang masalah-masalah kefilsafatan tentang hukum

lainnya. Di sini dengan demikian kita berhadapan dengan

meta-filsafat dari filsafat hukum. Jika misalnya Ontologi

Hukum mengajukan pertanyaan tentang “hakekat” dari

hukum maka Epistemologi Hukum meneliti kemungkinan-

kemungkinan untuk dapat menjawab pertanyaan yang

demikian itu. Jadi di sini jelas ihwalnya tidak berkenaan

dengan pengandaian nilai-nilai dan kaedah-kaedah

tertentu, melainkan dengan upaya menemukan batas-batas

Page 107: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

107

dari pengetahuan (yang mungkin) tentang kenyataan

(yuridisal). Jadi, pada pandangan pertama seolah-olah di

sini suatu pengujian empirikal akan harus dimungkinkan.

Ini untuk sebagian juga memang benar.

Jika seseorang mengajukan bahwa hal memperoleh

pengetahuan tentang “hakekat” dari hukum, adalah

sepenuhnya tertutup, maka pernyataan ini adalah sebuah

dalil yang secara prinsipiil terbuka bagi falsifikasi. Dalam

kenyataan, hal ini juga akan tidak mungkin, karena aturan

dasar pengetahuan dari setiap “pengetahuan” tentang

“hakekat” dari hukum yang diajukan akan selalu dapat

diragukan. Misalkan, orang menerima bahwa, seperti

dikemukakan diatas, Ontologi hukum tidak bertujuan

untuk memperoleh pengetahuan tetapi mengejar suatu

pilihan nilai-nilai dan/atau kaedah-kaedah yuridis

fundamental, maka akan selalu dapat disangkal

(geloochend) bahwa hasil-hasil penelitian dari Ontologi

Hukum mempunyai hubungan dengan pengetahuan tentang

hukum. Karena itu, jawaban atas pertanyaan tentang batas-

batas dari pengetahuan kita (yang mungkin) tentang

kenyataan (yuridisal) juga secara esensial akan selalu

menyandang sifat spekulatif.

Sebagai wilayah-bagian dari Filsafat Hukum yang

terakhir kini masih akan dibahas Ajaran Ilmu. Ketika di

atas pada pengurutan wilayah-wilayah bagian dari Fisalfat

Hukum sebagai wilayah keenam disebut “Ajaran Ilmu dari

Hukum”, maka sesungguhnya perlu disinggung bahwa

uraian ini sedikit banyak dapat menyesatkan. Dipandang

Page 108: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

108

secara historikal ihwalnya memang demikian bahwa ajaran

ilmu dari hukum secara integral dipandang sebagai obyek

studi khas dari Filsafat Hukum. Namun kini ajaran ilmu ini

untuk sebagian dapat dimasukkan ke dalam wilayah dari

Teori Hukum, khusus ajaran ilmu dari Dogmatika Hukum.

Pertanyaan krusialnya, yang dalam perjalanan dua abad

terakhir selalu tampil kembali untuk didiskusikan, yakni

tentang sifat keilmuan dari Dogmatika Hukum, dewasa ini

secara umum dipandang sebagai sebuah tema penelitian

dari Teori Hukum dan tidak (lagi) dari Filsafat Hukum.

Bukankah Teori Hukum itu adalah meta-teori terhadap

Dogmatika Hukum.

Karena itu, yang termasuk ke dalam wilayah dari

Filsafat Hukum itu bukanlah ajaran ilmu dari hukum,

dipandang dalam arti luas, melainkan hanya ajaran ilmu

dari Teori Hukum. Mengingat Filsafat Hukum itu sendiri

tidak mempunyai meta-disiplin di atasnya, maka ia juga

harus melakukan penelitian sendiri terhadap masalah-

masalah yang berkaitan dengan karakter keilmuan dan

metodologi dari filsafat Hukum. Jadi, di sini Filsafat

Hukum harus melakukan perenungan diri (zelfreflektie).

Pada medan berkiprah dari Filsafat Hukum ini, pemikiran

spekulatif tidak dipandang sebagai ciri utama dari

pendekatan kefilsafatan tentang hukum. Pemikiran tentang

keilmuan dan tentang metodologi tidak dapat (sulit untuk

diterima) bersifat spekulatif murni. Namun unsur

spekulatif di sini juga akan memainkan peranan penting,

khususnya karena pertanyaan-pertanyaan yang

Page 109: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

109

terhadapnya oleh ilmu sendiri secara a priori tidak dapat

diberikan jawaban, digeser ke Filsafat Hukum. Sebuah

masalah inti dalam Ajaran Ilmu adalah misalnya,

pertanyaan sejauh mana berbagai ilmu dapat bebas-nilai.

Ini antara lain telah manimbulkan “perjuangan metode”

(methodenstrijd) dalam Sosiologi yang terkenal ini.

Dalam Teori Hukum juga mulai berkembang

perjuangan metode yang demikian itu. Tentang hal ini akan

dibahas dalam bab berikutnya, yang di dalamnya antara

lain akan ditampilkan pertentangan antara apa yang

dinamakan Teoti Hukum “Empirikal” dan Teori Hukum

“Normatif”. Pilihan berkenaan dengan masalah ini, harus

dilakukan atas dasar suatu pilihan antara nilai-nilai,

kaedah-kaedah, ideologi-ideologi dan bukan putusan-

putusan tentang kenyataan yang sudah terbukti (dan untuk

sementara tidak dapat dibuktikan). Dengan demikian, juga

pada tataran Ajaran Ilmu, pemikiran spekulatif dalam

Filsafat Hukum akan memainkan peranan penting lagi.

Sebagai penutup dari paragraf ini yang di dalamnya

telah diberikan ikhtisar dari wilayah Filsafat Hukum, dapat

ditetapkan bahwa Filsafat Hukum dalam hakekatnya

dicirikhaskan (ditengarai) dengan karakter spekulatif dari

pemikiran kefilsafatan tentang hukum, dan ini pada semua

wilayah-bagian dari Filsafat Hukum.

Page 110: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

110

V.2 Ilmu Hukum Positivis dan Fenomenologis29

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa positivis juga

sudah merambah pada pengetahuan humaniora. Ketika

positivis memasuki wilayah ini sebenarnya yang dikaji

sudah berbeda mengingat humaniora dekat dengan

perilaku manusia yang sumber kebenarannya ada dalam

diri manusia yang menekankan pada faktor internal yang

penulis sebut sebagai fenomenologis. Untuk memasuki

wilayah kedua paham ini, ditampilkan ledih dahulu wanti-

wanti yang pernah disampaikan Amselek bahwa

“legal science must seek to observe, objectively, the

“intersubjectivity” of juridical norms instead of

being content like classical technological theory,

with “prediction” or “certainty”.

Di balik pesan dimaksud Amselek tampak telah risau

dengan kerangka berfikir ilmu hukum yang terjebak pada

kegiatan ramal meramal dan mengejar kepastian.30

29 Dalam pemahaman kalangan komunitas filsafat, filsafat hukum

positivistis ini mendasarkan pada filsafat analitis (ought, is atau das

sollen-das sein) dan fungsionalis sebagaimana dianut oleh filsafat yang

bersumber dari Amerika Serikat (Roscoe Pound, Hart, Fuller). Ini

berbeda dengan filsafat yang dianut di daratan Eropa Barat yang biasa

disebut filsafat metafisis, fenomenologis atau hermenetis. Lihat

Koesnoe, 1997. Pengantar Kerah Pemikiran Filsafat Hukum.

Surabaya: Ubhara Press, hlm 1. Review atas dua aliran ini telah pernah

dilakukan oleh Saptomo, 2002. Jamin: Konstruksi Sosial Integrasi

Sukubangsa Jawa dengan Minangkabau, Disertasi. Yogyakarta: PPS

UGM, hlm. 10-25 30

Kepastian dalam perspektif posivistik diartikan sebagai keajegan,

keteraturan, predictable, namun dalam perspektif sosio-kultural justru

sebaliknya bahwa apa yang dikatakan sebelumnya itu ketidakajegan,

Page 111: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

111

Kemapanan apa yang dirisaukan ini menjadikan hampir

dapat dipastikan bilamana seseorang berlatarbelakang

pendidikan formal hukum, segala aspek kehidupan sosial

yang dihadapi akan selalu dilihat dan dimasukkan ke

dalam kerangka berpikir normatif formal.

Kerangka berpikir demikian memang mudah terbawa

kemana saja pergi meskipun yang bersangkutan telah

memasuki wilayah sosial. Bahkan, setelah sekian lama

hidup dalam habitat sosial, semua pengalaman dan

pengetahuan berspektif ilmu sosial yang baru saja dimiliki

belum tentu mampu menempatkan posisi paradigma

dirinya secara tepat sebagai sosok sosiatif sebagaimana

ilmuwan sosial yang sejak semula telah lahir dan berada di

wilayah sosial. Kekaburan penempatan posisi paradigmatik

demikian ini akan semakin menjadikan yang bersangkutan

sebagai sosok yang sedang berada dalam alam

kebingungan, terutama di saat-saat dihadapkan pada satu

pilihan sehingga yang ada dalam dirinya sebuah kecamuk

dialog ke dalam dengan selalu menanyakan kepada diri

sendiri, manakah yang harus dipilih kembali ke normatif

atau ke sosiatif.

Di tengah kebingungan antara dua pilihan itu tentu

segera dicari jalan pikir untuk memutus jaring-jaring

semrawut dimaksud mengingat keburaman penentuan titik

pijak arah berpikir akan tidak menguntungkan. Ketika

ketidakaturan, unpredictable, sehingga sulit mengontrol. Mengenai hal

ini lihat Saptomo, 2006 “Potensi Lokal dalam Pengelolalaan Sumber

Daya Alam” dalam Tanah Masih Di Langit. Jakarta: Yayasan Kemala.

Page 112: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

112

pilihan jatuh pada perspektif sosiatif, maka yang segera

diputuskan selanjutnya adalah sebuah keharusan

pembalikan paradigma agar dapat melihat bangunan rumah

normatifnya sendiri dari luar pagar normatif. Tentu,

pembalikan paradigma dimaksud tidak semudah membalik

dua buah telapak tangan bagaikan sulapan dan beli cabe di

pasar. Pembalikan paradigma berpikir dari angle yuridis

normatif, deduktif, etik, kuantitatif, dan positivistik ke

paradigma sosiatif, induktif, emik, kualitatif, dan

fenomenologis, membutuhkan waktu panjang dan ini

merupakan persoalan yang amat mendasar tersendiri.

Mengapa amat mendasar demikian tentu mengingat

hal ini menyangkut penggantian roh akademik sang

intelektual. Proses penggantian roh akademis dimaksud

harus dilalui dengan sabar, tekun, teliti, tegas dan tentu

tidak menunjukkan rasa kelelahan dalam mengukir,

melukis, memoles, membersihkan, dan mewarnai alam

pikiran dari roh akademik yuridis positivistis ke roh

sosiatif fenomenologis. Proses pembalikan paradigma

dimaksud merupakan konstruksi alam pikiran normatif

positvistis menjadi sebuah alam pikiran sosiatif

fenomenologis.

Dari titik yang disebut terakhir ini mulai terlihat

bahwa di sana ilmu hukum31

nyaris selalu dilihat dari angle

31 Ilmu hukum dianggap sebagai terjemahan dari jurisprudence, yang

berasal dari paduan dua kata jus, juris (hukum atau hak), prudence

(melihat ke depan atau mempunyai keahlian). Dengan demikian

jurisprudence diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari

Page 113: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

113

epistemologi positivistik, sebuah epistemologi yang

berpandangan bahwa kapan saja orang berinteraksi akan

menghasilkan suatu realitas hukum, sebuah dunia fakta

hukum yang dipahami sebagai kenyataan obyektif.

Pandangan demikian ini menjadi kurang bermakna

mengingat ia tidak mengungkap isi pengetahuan hukum

subyek yang diteliti, yang berarti tidak diketahui logika

hukum yang ada di dalam kepala pelaku hukum. Dalam

konteks penelitian, meskipun ia sebenarnya telah berada

pada posisi analisis, namun ia masih berada pada posisi

analitical positivism sehingga kelemahan kerangka berfikir

positivistis lainnya pun lahir mengingat hasil penelitiannya

tidak dapat menjelaskan dengan baik pola perilaku

hukum. Artinya, segala hal yang berkaitan dengan hukum yang

menurut Rahardjo, 1982, dalam Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, hlm.

3, ia mencakup sepuluh bidang yang pengklasifikasiannya berdasarkan

atas tujuan dari ilmu itu sendiri. Demikian pula gambaran dan

batasannya tidak begitu jelas sebagaimana disampaikan Curzon yang

dikutip Raharjo (Ibid:11) bahwa berbagai sarjana telah berpandangan

yang satu sama lain berbeda penekannannya. Namun pertanyaan yang

menarik adalah sebagaimana disampaikan oleh Bruggink, Apakah Ilmu

Hukum itu Ilmu? Untuk menjawabnya diajukan dua pendekatan,

positivistik dan normatif. Masing-masing pendekatan ini berpijak pada

teori kebenaran berbeda, korespondensi dan pragmatik. Selanjutnya

mengenai hal ini lihat Bruggink, 1999 dalam Refleksi tentang Hukum

(alih bahasa-Arief Sidharta). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm.

183-199. Sementara Ilmu dalam Ilmu Hukum yang dimaksud di sini

adalah pengetahuan baru tentang hakekat hukum yang diperoleh

melalui proses interpretatif atas interpretasi dengan cara dialog logis.

Bandingkan pula apa yang dimaksud ilmu dengan berbagai definisi

tentang ilmu dari sarjana-sarjana dikemukakan oleh Bakhtiar, 2004,

dalam Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 12-20

Page 114: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

114

manusia; kurang informatif karena pandangan orang yang

diteliti tidak diketahui; penelitian semacam ini

beranggapan bahwa manusia tidak berbeda dengan hewan,

padahal ada sebuah premis penting bahwa manusia adalah

animal symbolicum atau binatang yang mampu

menggunakan simbol-simbol untuk berkomunikasi dan

memberikan makna hukum pada lingkungan dan

perilakunya.

Ketika hukum dipahami lewat epistemologi

positivisme demikian, hukum dipandang sebagai taken for

granted social world.32

Tentu ini berbeda dengan ketika

hukum dipahami dari angle epistemologi fenomenologi

dimana hukum dibangun oleh interaksi antarpelaku hukum

sendiri. Jika pilihan terakhir demikian yang dipilih, maka

pengetahuan normatif yang ada di dalam kepala orang

sebagai pelaku hukum menjadi penting untuk digali.

Dengan demikian, fenomenologi memandang bahwa

hukum dibentuk oleh pikiran-pikiran normatif lewat proses

interaksi dalam berbagai tempat dan kesempatan.

Konsekuensi metodologisnya, apa yang dilihat dalam

interaksi dimaksud bukan proses pendangkalan horisontal

dengan cara data dicocok-cocokkan dengan kategori-

kategori teoretis seperti dalam paradigma positivisme,

tetapi dilihat dengan cara mengacu kepada makna di balik

32 Artinya, positivisme berpandangan bahwa kapan saja orang

berinteraksi akan menghasilkan suatu realitas, sebuah dunia fakta

sosial dan merupakan kenyataan obyektif. Lihat Walsh, 1972.

Positivism. Amsterdam: Rouldge.

Page 115: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

115

aktivitas aktual dinamis warga masyarakat sebagai pelaku

hukum itu sendiri. Dengan cara ini, tentu mereka

membangun sebuah dunia hukum, yaitu dunia yang isinya

subjektivikasi hukum.33

Sehubungan dengan pandangan terurai di atas, jika

kajian hukum yang dilakukan didasarkan pada paradigma

yuridis normatif positivistis maka ia tidak mampu

menggali pengetahuan normatif dalam diri kepala orang

atau sekelompok orang yang terlibat, juga tidak menjawab

hakekat hukum di balik interaksi itu sendiri.34

Oleh sebab

kelemahan demikian ini, kajian hukum dengan perspektif

fenomenologis mendesak dan penting dilakukan jika tidak

ingin melihat perkembangan ilmu hukum berada pada titik

nadir. Selain itu, dengan perspektif epistemologi ini

33 Dalam perspektif kebudayaan, hukum merupakan bagian dari

kebudayaan mengingat pemahaman konsep kebudayaan seperti ini

membedakan dengan konsep kebudayaan dalam perspektif

positivisme. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat, misalnya,

diartikan sebagai suatu gagasan yang harus diikuti suatu aktivitas

sosial, dan hasil karya. Artinya, dalam perpektif positivisme

kebudayaan dipandang sebagai given, barang jadi, dan selesai yang

sudah seharusnya dipedomani. 34

Di sini subyek penelitian disebut sebagai orang, bukan sebagai

manusia. Manusia dikatakan orang di saat secara sosial ia dikenal atau

mengenal lingkungan sosialnya sehingga dalam dirinya terikat hak dan

kewajiban sosial. Praktek pemenuhan sebagian hak dan kewajiban

sosial tersebut melahirkan aksi dan reaksi dari orang yang berada di

dalam lingkungan sosial bersangkutan. Di dalam proses interaksi sosial

tersebut, manusia telah beridentitas sehingga ia disebut orang. Istilah

manusia telah biasa digunakan dalam wacana antropologi forensik dan

biologi, sementara dalam komunitas sosial istilah orang terasa lebih

bersifat sosial daripada istilah manusia.

Page 116: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

116

hakekat interaksi dapat dipahami dengan baik sehingga

kelahiran ilmu hukum baru dapat diharapkan.35

Namun

demikian, paradigma filosofis adalah persoalan pilihan dan

pertanggungjawaban apa yang telah dipilih merupakan hal

yang ditunggu-tunggu.

V.3 Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan.

Dalam kehidupan sehari-hari, jikalau orang berbicara

hukum, lebih-lebih yang sedang mengalami atau ketimpa

persoalan hukum, umumnya yang dipikirkan adalah

keadilan apa yang akan dirumuskan oleh hakim ke dalam

putusan. Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum

sebelum menjatuhkan putusan memperhitungkan setidak-

tidaknya tiga unsur, yaitu adanya unsur kepastian hukum

(Rechtszekerheit). Artinya, hukum harus dilaksanakan dan

ditegakkan. Setiap orang mengharapkan diterapkan hukum

yang tepat dalam hal terjadi peristiwa hukum konkrit.

Dengan demikian, dalam konteks peradilan hakim

dan aparat penegak hukum lainnya hanya memainkan

peran sebatas sebagai hamba udang-undang yang bertugas

untuk melaksanakan undang-udang dimaksud. Ada

pandangan dari Michel Steven Green bahwa

“Decisions can not be all there is to the law, for

courts deciding cases are guided by the law-by the

legal rules that can be found in constitutions, statues,

35 Dengan model dialektika seperti ini tentu mendatangkan atau

menghasilkan pengetahuan berabstrak tinggi. Mengenai pengertian

dialektika itu sendiri dapat dibaca pada Lorens Bagus 2006, Kamus

Filsafat, hlm. 162-164

Page 117: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

117

regulations and past judicial opinions. The

philosophical community agreed. The realists‟ theory

of law was, in the philosophers‟ words, „deeply

implausible,‟ open to easy refutation, and a

jurisprudential joke”.36

Apa hukum yang harus diterapkan tidak boleh

menyimpang dari aturan hukum yang mengaturnya

sehingga semboyan Fiat Justitia et Pereat Mundus

(meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan)

betul-betul diwujudkan. Pandangan positivistik demikian

ini memang amat popular mengingat masyarakat amat

mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan

adanya kepastian hukum masyarakat akan berada dalam

keadaan tertib.

Meskipun demikian, apakah sebuah produk hukum

seperti putusan hakim dalam proses peradilan juga serta

merta memenuhi rasa keadilan bagi pesengketa khususnya

dan umumnya masyarakat. Untuk itu pertanyaannya,

keadilan yang bagaimanakah yang harus dipenuhi oleh

hakim dalam putusannya? Keadilan itu hendaknya

dikaitkan dengan fakta bahwa orang yang mengajukan

perkara hukum kongkrit ke pengadilan selain bertujuan

untuk mengembalikan hak-haknya yang untuk sementara

dirampas atau terampas oleh pihak lain. Jika tidak, ia

merasa keadilannya terampas. Dengan kata lain, ia bisa

36 Pandangan sarjana ini dimuat dalam bukunya Michael Steven

Green, 2005. Legal Realism as Theory of Law. Williamsburg: William

& Mary Law Review, Vol. 46.

Page 118: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

118

disebut sebagai pencari keadilan. Harapan pencari keadilan

yang mengajukan perkara ke pengadilan adalah hasil

penyelesaian perkara yang adil seperti keadaan semula.37

Di sini mulai muncul permasalahan tentang apa yang

dimaksud keadilan itu, dan apa ada alat ukurnya untuk

mengatakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa

keadilan.

Di bawah ini disebutkan beberapa sarjana yang

mencoba mendefinisikan keadilan. Secara akademik,

perbedaan dan perdebatan memang menarik mengingat

perdebatan itu justru sering menghasilkan sintesa sebagai

calon tesis kecil baru. Dalam perspektif Hegelisme ilmu itu

bisa cepat berkembang jika proses dialog tersebut terjadi.

Adil dan Keadilan. Guna memahami nilai-nilai keadilan

dalam hukum dimulai dari memahami apa arti adil dan

keadilan itu sendiri. Menurut Kahar Masyhur apa yang

dinamakan adil tersebut adalah:

1. Adil ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya.

2. Adil ialah menerima hak tanpa lebih dan memberikan

hak orang lain tanpa kurang.

3. Adil ialah memberikan hak setiap yang berhak secara

lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang

berhak, dalam keadaan yang sama, dan penghukuman

37Lihat J.Johansyah, 2001. Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi.

Jakarta: Gramedia, hlm. 42

Page 119: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

119

orang jahat atau melanggar hukum, sesuai dengan

kesalahan dan pelanggarannya.18

Seorang tokoh filsafat hukum alam, Thomas Aquinas,

mengelompokan keadilan menjadi dua, yaitu :19

1. Keadilan umum yaitu keadilan menurut kehendak

Undang-undang yang harus ditunaikan demi

kepentingan umum.

2. Keadilan khusus, yaitu keadilan yang didasarkan pada

asas kesamaan atau proposionalitas. Keadilan khusus ini

dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Keadilan distributif (justitia distributiva)

Adalah keadilan yang secara proposional diterapkan

dalam lapangan hukum publik secara umum contoh,

negara hanya akan mengangkat seseorang menjadi

hakim apabila orang itu memiliki kecakapan untuk

menjadi hakim.

b. Keadilan komutatif adalah keadilan dengan

mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi

c. Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal

menjatuhkan hukum atau ganti kerugian dalam

tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia

dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya

hukuman yang telah ditentukan atas tidak pidana

yang dilakukannya.

19.Kahar Masyur, 2004. “Membina moral dan Akhlak, Hukum”,

M.Muchsin. 2004. Ikhtisar Materi Pokok Hukum. Jakarta: STIH

IBLAM, hlm. 83

Page 120: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

120

Menurut Aristoteles keadilan dapat dibedakan

menjadi dua macam, yaitu:20

1. Keadilan korektif, keadilan dengan menyamakan

antara prestasi dan kontra prestasi, keadilan ini

didasarkan pada prestasi baik yang sukarela maupun

tidak, misalnya dalam perjanjian tukar menukar.

2. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang membutuhkan

distribusi atas penghargaan

Menurut Tasrif sebagaimana dikutip oleh Lili Rasyidi

dan Arief Sidharta ada empat syarat minimum agar

keadilan mendapat pernyataannya yaitu : 21

1. Yang adil itu adalah sekaligus tengah-tengah dan

kesebandingan;

2. Dalam sifatnya sebagai tengah-tengah, ia harus

mempunyai dua ujung dan diantara dua ujung itu ia

berada;

3. Dalam sifatnya sebagai yang sebanding, kesebandingan

itu harus dinyatakan dalam dua bagian yang sebanding,

kesebandingan itu harus dinyatakan dalam dua bagian

yang sebanding dari apa yang dibagi;

4. Dalam sifatnya yang adil harus ada orang-orang

tertentu untuk siapa hal itu adil.

Sebetulnya yang dibicarakan di masyarakat adalah

keadilan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.

20 Ibid, hlm. 85

21 Lili Rasjidi dan B. Arief sidarta, Filsafat Hukum, Mazhab dan

Refleksinya dalam.M. Muchsin, 2004. Ikhtisar Materi Pokok Filsafat

Hukum. Jakareta: STIH IBLAM, hlm. 87

Page 121: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

121

Misalnya tidak ada keadilan bagi rakyat kecil pencari

keadilan atau tidak ada keadilan bagi wanita dan anak-

anak, tidak ada keadilan bagi pegawai negeri karena

gajinya kecil. Keadilan seperti ini oleh Lawrance Friedman

disebut sebagai Total Justice yakni Justice Without

Response.

Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum

dalam menjatuhkan putusan harus memperhitungkan Tiga

unsur.

1. Pertama, unsur kepastian hukum (Rechtszekerheid).

Artinya hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan.

Setiap orang mengharapkan ditetapkannya hukum

dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana

hukumnya inilah yang harus berlaku. Pada dasarnya

tidak boleh menyimpang, Fiat Justitia et Pereat

Mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus

ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian

hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan

yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang. Yang

berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh

sesuatu yang diharapkan dalam keadilan tertentu.

Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum,

karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat

akan tertib.

2. Kedua, kemanfaatan (Zweckmassigheit). Artinya

dalam pelaksanaan penegakkan hukum harus memberi

manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Sampai di sini,

sering putusan pengadilan yang dianggap sebagai track

Page 122: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

122

kepastian hukum menemukan persolan tersedniri karena

masyarakat memandang bahwa hukum Negara bukan

hukum masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat

memiliki hukum yang disebut hukum adat sehingga

hukum yang menghadirkan kemanfaatan tentu hukum

mereka sendiri yang biasa disebut hukum adat.

3. Unsur ketiga adalah keadilan (rechtvaardigheid).

Artinya bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan

hukum keadilan masyarakat diperhatikan. Hukum tidak

identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum

mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan dan

menyeragamkan. Dalam menegakkan hukum harus

kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur

tersebut harus mendapat perhatian secara proporsional

seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah

mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang

antara ketiga unsur itu.38

Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum

dalam membuat putusan harus memperhatikan konsep

keadilan seperti yang telah diuraikan. Meskipun demikian,

keadilan yang bagaimanakah yang harus dipenuhi oleh

hakim dalam putusannya? Masyarakat seringkali

menghubungkan antara keadilan dengan moral. Artinya

hakim dalam menjatuhkan putusan harus memberikan

38 Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan

Hukum, Citra Aditya Bakti. Bandung, hlm. 1-2

Page 123: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

123

keadilan moral justice. Meskipun dalam praktek, hakim

melihat keadilan dari sisi legal justice system.

Page 124: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

124

BAB VI

TEORI HUKUM SEBAGAI ASUMSI

VI.1 Teori-Teori Hukum Tata Negara39

Teori sebagai asumsi adalah jawaban-jawaban sementara

terhadap permasalahan yang diajukan dalam sebuah karya

ilmiah. Misalnya dalam hukum tata negara, ada

permasalahan kekuasaan legisilatif umumnya dan

pemegang kekuasaan negara khususnya yang setelah

reformasi ini sering dipertanyakan keabsahannya. Dalam

konteks akademis, dapat dijelaskan dengan beberapa teori.

Terkait dengan hal itu, ada dua hal yang menjadi fokus

perhatian, yaitu (a) siapa yang memegang kekuasaan

tertinggi dalam negara; dan (b) apa yang dikuasai oleh

pemegang kekuasaan tertinggi itu.40

Dalam konteks negara

Indonesia, pemikiran tentang Kekuasaan di bidang legislasi

menurut UUD 1945 dapat dibahas berdasarkan teori

kedaulatan rakyat (demokrasi) sebagai teori utamanya

(grand theory). Selanjutnya untuk memperkuat teori

tersebut digunakan teori sistem pemerintahan sebagai teori

pendukung (middle range theory). Kemudian berdasarkan

kedua teori tersebut di atas, digunakan teori aplikatif

(applied theory) yaitu teori legislasi.

39 Disarikan dari proposal Disertasi Dr. Pataniari

40 Jimly Asshiddiqie, 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam

Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru

Van Hoeve, hlm. 9.

Page 125: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

125

Namun sebelum sampai pembahasan, dibawah ini

diperkenalkan lebih dahulu beberpa teori terkait.

Diantranya adalah:

1. Teori Kedaulatan

Istilah kedaulatan, menurut Sri Soemantri

Martosuwignjo adalah sesuatu yang tertinggi di dalam

negara. Jadi kedaulatan dapat diartikan sebagai

kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan yang tidak di

bawah kekuasaan yang lain.41

Dalam ilmu hukum tata

negara dikenal ada 5 (lima) teori kedaulatan yang

menjelaskan mengenai hal tersebut. Kelima teori itu

adalah: (a) Kedaulatan Tuhan; (b) Kedaulatan Raja; (c)

Kedaulatan Negara; (d) Kedaulatan Rakyat; dan (e)

Kedaulatan Hukum.42

Mengenai tata urutan kelima teori kedaulatan

tersebut, antara para sarjana hukum di Indonesia

mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Menurut

Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih misalkan,

mereka membagi dan mengurutkan kelima teori tersebut

dengan urutan sebagai berikut (a) Kedaulatan Tuhan;

(b) Kedaulatan Raja; (c) Kedaulatan Rakyat; (d)

Kedaulatan Negara; dan (e) Kedaulatan Hukum.43

41 Eddy Purnama, 2007. Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis

Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya

dengan Negara-Negara Lain Jakarta: Nusamedia, hlm. 9. 42

Ibid. 43

Mohammad Koesnardi & Bintan R. Saragih, 1988. Ilmu Negara,

Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 118.

Page 126: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

126

Sedangkan menurut Hamid Attamimi, ia membagi dan

mengurutkan teori kedaulatan menjadi 5 (lima)

kelompok tetapi untuk Kedaulatan Tuhan tidak ia sebut,

sebagai gantinya ia menggunakan istilah ajaran

kedaulatan dalam lingkup sendiri.44

Adapun menurut

Wirjono Prodjodikoro, kedaulatan terdiri dari (a)

Kedaulatan Negara; (b) Kedaulatan Tuhan; (c)

Kedaulatan Rakyat; dan (4) Kedaulatan Hukum.45

Dalam perkembangan saat ini, berkaitan dengan

teori-teori kedaulatan tersebut dapat dikatakan bahwa

90% (sembilan puluh persen) negara di dunia dengan

tegas telah mencantumkan dalam konstitusinya masing-

masing bahwa kedaulatan itu berada di tangan rakyat,

dan kekuasaan pemerintah bersumber kepada kehendak

rakyat. Inilah prinsip dasar yang kemudian dikenal

dengan konsep demokrasi.46

44 Hamid S. Attamimi, 1991. ”Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,” Disertasi,

Jakarta: Fakultas Pascasarjana UI, hlm. 129-130. 45

Wirjono Prodjodikoro, 1989. Azas-azas Hukum Tata Negara di

Indonesia,Jakarta: Dian Rakyat, hlm.5-6. 46

Masykuri Abdillah, 1999. Demokrasi di Persimpangan Makna

Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi

1966-1993, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, hlm. 73, yang menyatakan

bahwa ”demokrasi mengandung unsur-unsur: kekuasaan mayoritas,

suara rakyat dan pemilihan yang bebas, dan bertanggung jawab.”

Page 127: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

127

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah

”demokrasi” diartikan sebagai pemerintahan rakyat.47

Pada awalnya pelaksanaan konsep gagasan tersebut

dilakukan secara langsung khususnya ketika pada masa

pemerintahan Yunani ketika pada waktu itu bentuk

negara masih berwujud polis. Artinya, rakyat terlibat

langsung dalam proses pemerintahan. Namun seiring

dengan bertambahnya jumlah penduduk dan luasnya

suatu negara, maka hal itu menjadi sulit untuk

dilakukan.

Dari sinilah kemudian muncul konsep yang

dinamakan demokrasi tidak langung atau perwakilan.

Artinya, rakyat tidak lagi terlibat langsung dalam proses

pemerintahan. Dalam konsep tersebut, rakyat

diharuskan menentukan atau memilih para wakil-

wakilnya untuk menduduki posisi tertentu dalam

pemerintahan.

2. Teori Perwakilan

Berdasarkan hal itu kemudian berkembang beberapa

teori yang menjelaskan mengenai hubungan antara si

wakil dengan para orang yang diwakilinya. Menurut

Gilbert Abcarian, ia membagi keberadaan wakil rakyat

ke dalam empat perspektif, yaitu:

47 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.2002. Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Edisi III, Cetakan Ke-. Jakarta: Balai Pustaka, hlm.

249.

Page 128: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

128

(1) wakil rakyat bertindak sebagai wali (trustee), di sini

ia bebas bertindak untuk mengambil keputusan

menurut pertimbangannya sendiri tanpa

berkonsultasi dengan yang wakilinya;

(2) wakil rakyat bertindak sebagai utusan (delegate), di

sini wakil bertindak sebagai utusan atau duta dari

wakilnya, di wakil selalu mengikuti instruksi dan

petunjuk dari yang diwakilinya;

(3) wakil rakyat bertindak sebagai politico, di sini si

wakil kadang bertindak sebagai wali dan ada

kalanya bertindak sebagai utusan yang tergantung

isu; dan

(4) wakil rakyat bertindak sebagai partisan, di sini si

wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau

program dari partai si wakil. Setelah si wakil

terpilih maka lepaslah hubungan dengan

pemilih/rakyat dan mulailah hubungan dengan

partai yang mencalonkannya dalam Pemilu

tersebut.

Selanjutnya ada beberapa teori yang menyangkut

hubungan si wakil dengan yang diwakilinya yang antara

lain dikemukakan oleh Bintan Saragih.

1. Teori mandat, dimana si wakil yang duduk di

lembaga perwakilan karena mandat dari rakyat

sehingga di sebut mandataris.

2. Teori organ, yang menyatakan bahwa negara

merupakan suatu organisme yang mempunyai alat-

alat kelengkapan seperti eksekutif, parlemen, dan

Page 129: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

129

mempunyai rakyat yang kesemuanya mempunyai

fungsi masing-masing dan saling tergantung sama

lain. Setelah rakyat memilih wakilnya, tidak perlu

lagi mencampuri lembaga perwakilan tersebut dan

lembaga itu bebas melakukan fungsinya menurut

undang-undang dasar.

3. Teori sosiologi Rieker yang menganggap bahwa

lembaga perwakilan bukan merupakan bangunan

politis tetapi merupakan bangunan masyarakat

(sosial). Si pemilih akan memilih wakil-wakilnya

yang benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan dan

yang akan benar-benar membela kepentingan si

pemilih sehingga terbentuk lembaga perwakilan.

4. Teori hukum obyektif dari Duguit yang menyatakan

bahwa pada dasarnya hubungan antara rakyat dan

parlemen adalah solidaritas. Wakil rakyat dapat

melaksanakan tugas kenegaraannya hanya atas nama

rakyat. Sedangkan rakyat tidak akan dapat

melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya tanpa

mendukung wakilnya dalam menentukan wewenang

pemerintah. Jadi ada pembagian kerja.48

Berdasarkan teori-teori sebagaimana tersebut di

atas, terdapat satu hal pokok yaitu bahwa seorang wakil

rakyat bertindak mewakili dan mengikuti atau

mewujudkan aspirasi rakyat dalam sebuah lembaga

48 Bintan R. Saragih, 1987. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan

Umum di Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 82-86.

Page 130: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

130

perwakilan yang merupakan bangunan masyarakat yang

memiliki keahlian dalam melaksanakan tugas, fungsi,

dan wewenang tertentu sebagaimana layaknya tugas

pokok lembaga perwakilan di dalam bangunan negara

demokrasi.49

Dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan

pemerintahan oleh rakyat mengalami berbagai

penyempurnaan. Dalam tahap perkembangan tersebut,

mulai dikenal ada teori pendistribusian kekuasaan.

Salah satu teori yang monumental mengenai hal itu

adalah teori trias politica yang dikemukakan oleh

Montesquieu. Menurut Montesquieu, perlu ada

pemisahan antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan

legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Kalaupun tidak bisa,

maka setidaknya mempertahankan agar kekuasaan

yudikatif tetap independen.50

Menurut Ismail Sunny,

teori trias politica yang digagas oleh Montesquieu

merupakan perkembangan ajaran bentuk negara dari

monarki-tirani ke bentuk negara demokrasi. Dalam

negara modern, hubungan antara ketiga macam

kekuasaan tersebut sering merupakan hubungan yang

kompleks. Trias politica atau biasa disebut Trichotomy

sudah merupakan kebiasaan, kendati batas pembagian

49 DPR RI, 2006. Hasil Laporan Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR

RI. Jakarta: Sekjen DPR RI, hlm. 7-9. 50

Montesquieu, 2007. Kontrak Sosial. Jakarta: Nusamedia, hlm. 187.

Page 131: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

131

itu tidak selalu sempurna bahkan saling

mempengaruhi.51

3. Teori Sistem Pemerintahan

Sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas,

perkembangan pemerintahan oleh rakyat telah

melahirkan teori trias politica yang memisahkan antara

kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan

kekuasaan yudikatif. Berkaitan dengan hal tersebut,

selanjutnya berkembang berbagai teori yang

menjelaskan mengenai sistem pemerintahan. Sistem

pemerintahan merupakan sistem yang berkaitan dengan

regeringsdaad penyelenggaraan kekuasaan eksekutif

dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Sistem

pemerintahan yang dikenal di dunia secara garis besar

dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu:

a) sistem pemerintahan presidensil (presidential

system);

b) sistem pemerintahan parlementer (parliamentary

system); dan

c) sistem campuran (mixed system atau hybrid system).

Sistem presidensil merupakan sistem pemerintahan

yang terpusat pada jabatan Presiden sebagai kepala

pemerintahan (head of goverment) sekaligus sebagai

kepala negara (head of state). Dalam sistem

parlementer, jabatan kepala negara (head of state) dan

51 Ismail Suny, 1981. Mencari Keadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia,

hlm. 15.

Page 132: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

132

kepala pemerintahan (head of goverment) itu dibedakan

atau dipisahkan satu sama lain. Kedua jabatan tersebut,

pada hakekatnya merupakan sama-sama cabang dari

kekuasaan eksekutif.

Oleh sebab itu menurut C.F. Strong, kedua jabatan

eksekutif itu dibedakan antara pengertian nominal

executive dan real executive. Istilah nominal executive

ditujukan untuk jabatan kepala negara. Sedangkan

istilah real executive ditujukan untuk jabatan kepala

pemerintahan.52

Adapun dalam sistem campuran, unsur-

unsur dari kedua sistem itu tercampur dan sama-sama

dianut. Banyak studi telah yang dilakukan untuk

membedakan antara sistem presidensil, sistem

parlementer, dan sistem campuran. Menurut Douglas V.

Verney, dari ketiga sistem tersebut, sistem parlemenlah

yang banyak dianut oleh berbagai negara, sehingga

timbul banyak ragam corak parlementarisme yang

dipratikkan di dunia. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada 9

(sembilan) prinsip pokok yang menjadi ciri dari sistem

presidensil. Kesembilan prinsip pokok itu adalah:

a) terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara

cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif;

b) presiden merupakan eksekutif tunggal;

c) kepala pemerintahan sekaligus bertindak selaku

kepala negara atau sebaliknya;

52 C.F. Strong, 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Jakarta:

Nusamedia, hlm. 100.

Page 133: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

133

d) presiden mengangkat para menteri sebagai

pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung

jawab kepadanya;

e) anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan

eksekutif dan demikian pula sebaliknya;

f) presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa

parlemen;

g) jika dalam sistem parlemen berlaku prinsip

supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensil

berlaku prinsip supremasi konstitusi. Sebab itu,

pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada

konstitusi;

h) eksekutif bertanggung jawab langsung kepada

rakyat yang berdaulat; dan

i) kekuasaan tersebar secara tidak terpusat, tidak

seperti dalam sistem parlemen yang terpusat pada

parlemen.

Amerika Serikat merupakan salah satu contoh

negara yang menganut sistem presidensil. Bahkan

Amerika Serikat sering disebut sebagai salah satu

contoh ideal sistem presidensil di dunia. Namun

demikian, Charles O. Jones mengkritik pemberian

istilah ”presidensil” untuk sistem yang dipratikkan di

Amerika Serikat. Menurutnya, sebutan yang lebih

tepat bagi sistem tersebut adalah a sparated system of

goverment dan bukan a presidential system of

government. Sistem pemisahan kekuasaan (separation

of power) dengan prinsip checks and balances itulah

Page 134: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

134

yang menurut Charles O. Jones lebih menggambarkan

kenyataan. Setiap kekuasaan saling mengkontrol dan

mengimbangi satu sama lain.53

Lebih lanjut dikatakan

oleh Jimly Asshiddiqie, bahwa untuk sistem

pemerintahan parlementer terdapat sejumlah prinsip

pokok, yaitu:

a) hubungan antara lembaga parlemen dan

pemerintah tidak murni terpisah;

b) fungsi eksekutif dibagi ke dalam dua bagian, yaitu

sebagai kepala pemerintahan (the real executive)

dan kepala negara (the nominal executive);

c) kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara;

d) kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri

sebagai satu kesatuan institusi yang bersifat

kolektif;

e) menteri biasanya merupakan anggota parlemen;

f) pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen,

tidak kepada rakyat pemilih;

g) kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat

kepada kepala negara untuk membubarkan

parlemen;

53 Jimly Asshiddiqie, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara

Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, hlm.

316-317.

Page 135: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

135

h) dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga

kedudukan parlemen dianggap lebih tinggi

daripada bagian-bagian dari pemerintahan; dan

i) sistem kekuasaan terpusat pada parlemen.54

Terkait dengan negara Indoneia, sistem pemerintahan

yang dianut adalah sistem pemerintahan presidensil.

Sebab, kesembilan prinsip yang ada pada sistem

pemerintahan presidensil tersebut, ada pada sistem

pemerintahan di Indonesia sebagaimana ternyata

dalam UUD 1945. Bahkan, jika dibandingkan dengan

sistem presidensil yang dianut oleh UUD 1945

sebelum perubahan, maka sistem presidensil yang

dianut sekarang (setelah perubahan UUD 1945) dapat

dikatakan sebagai sistem pemerintahan presidensil

yang lebih murni sifatnya. Presiden Republik

Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala

pemerintahan dengan tugas dan wewenangnya

masing-masing menurut UUD 1945. Sebab itu,

kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan

tidak perlu dibedakan atau dipisahkan.55

4. Teori Legislasi

Teori legislasi atau lazim dikenal dengan sebutan teori

perundang-undangan menunjuk kepada cabang,

54 Ibid., hlm. 315-316.

55 Ibid., hlm. 317.

Page 136: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

136

bagian, segi atau sisi dari ilmu perundang-undangan

yang bersifat kognitif dan berorientasi pada

mengusahakan kejelasan atau memberi pemahaman,

khususnya pemahaman yang bersifat mendasar di

bidang perundang-undangan, yaitu antara lain

pemahaman mengenai undang-undang, pembentukan

undang-undang, perundang-undangan dan lain

sebagainya. Sebab itu, karakter teori perundang-

undangan suatu negara sangat terkait sekali dengan

sistem pemerintahan negara dari negara itu. Fungsi

perundang-undangan bukan hanya memberi bentuk

nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan hidup

dalam masyarakat, dan juga bukan hanya sekadar

produk fungsi negara di bidang pengaturan.

Kekuasaan pembentuk undang-undang, hendaknya

berusaha memberi bentuk terhadap pengubahan moral

masyarakat dan watak bangsa sesuai dengan yang di

cita-citakan. Kekuasaan pembentuk undang-undang

kini tidak lagi ”berjalan di belakang” mengikuti atau

membuntuti perkembangan masyarakat tetapi

”berjalan di depan” membimbing dan memimpin

perkembangan masyarakat. Pembentukan undang-

undang tidak lagi mengarah kepada upaya melakukan

”kodifikasi” melainkan ”modifikasi”.56

Dalam

56 Hamid S. Attamimi, 1992. ”Teori Perundang-undangan Indonesia:

Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia Yang

Menjelaskan dan Menjermihkan Pemahaman,” Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar. Jakarta: FHUI,hlm. 116-117.

Page 137: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

137

melakukan ”modifikasi” terhadap masyarakat,

pembentuk undang-undang harus benar-benar

memperhatikan hirarki perundang-undangan dan

karakter produk hukum yang dibentuknya (responsif,

otonom, atau represif).

Kerangka teori tersebut di atas, digambarkan dalam

ragaan sebagai berikut:

Page 138: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

138

Kedaulatan Rakyat/

Demokrasi

Langsung Tidak Langsung

Sistem

Pemerintahan

Legislasi

Kekuasaan

Membentuk UU

menurut UUD 1945

Presidensil Parlementer Hybrid

Grand Theory

Middle Range Theory

Applied Theory

Analisis dan Sintesa

Page 139: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

139

VI. 2 Teori Ilmu Sosial Tentang Hukum

Dalam subab ini dikemukakan teori-teori klasik ilmu sosial

terhadap hukum baik dalam kajian sosiologi hukum seperti

dalam pandangan Max Weber, Emille Durkheim, dan Karl

Marx, maupun dalam kajian Antropologi Hukum dan Ilmu

Hukum Adat. Pengemukaan teori-teori dari tokoh-tokoh

tersebut dilakukan mengingat peran sebagian

pandangannya ditujukan pada hukum menjadi basis

perkembangan hukum ditilik dari perspektif ilmu sosial.

Selain itu, pandangan-pandangannya juga bermuatan

erat dan konsen dengan perkembangan masyarakat, bentuk

hukum, pemikiran-pemikiran hukum, dan subyek juridis

lainnya. Pemahaman teori klasik tersebut di bawah ini

diharapkan akan memberi basis kuat kepada peminat

hukum untuk mengerti munculnya perspektif sosiologi

terhadap hukum.

VI.2.1 Dalam Sosiologi Hukum

VI.2.1.1 Dalam Pandangan Max Weber

Salah satu tokoh klasik yang tidak dapat ditinggalkan

ketika seseorang mencoba mempelajari ilmu sosial,

terutama sosiologi hukum, adalah Max Weber (1864-

1920). Ia dilahirkan di negeri Jerman yang keseluruhan

hidupnya dimanfaatkan untuk menekuni segenap karya

intelektual dan politik. Ia memperoleh pendidikan ketika

aliran jurisprudence menjadi populer di Jerman. Dalam

perjalanan pendidikan itu, ia belajar hukum Roman,

Hukum Hindu, Hukum Inggris, dan Hukum Eropa.

Serangkaian hukum tersebut menjadikan ia

Page 140: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

140

berpengetahuan tidak saja hukum normatif, tetapi juga

mencakup sistem hukum yang berkembang dalam

peradaban kuno.

Selain kelengkapan pengetahuan yang mendalam

dan luas menjadikan dirinya mampu menaklukan

pertanyaan-pertanyaan hasil dialog internal yang diangkat

sendiri. Keintelektualannya selain dipengaruhi oleh ajaran

sejarah juga terpengaruh oleh ajaran Karl Max yang

berkembang di Jerman saat itu, dan bahkan ia juga

menerapkan pemahaman bahwa struktur ekonomi ikut

serta berperan dalam menentukan politik, seni, hukum,

filsafat.

Teori Weber yang berkenaan dengan hukum adalah

ketika ia berpandangan bahwa perkembangan masyarakat

senantiasa selaras dengan perkembangan hukumnya.

Pandangan demikian ini memperlihatkan bahwa teorinya

diwarnai oleh pengalaman empirisnya di negeri Jerman,

ketika di sana masyarakatnya tidak pernah mengalami

perubahan yang sifatnya revolusioner. Weber menguji

proposisinya melalui tulisan-tulisan khususnya yang

termuat dalam buku yang ia sebut sebagai economic and

society. Dalam buku ini ia tidak setuju dengan pandangan

Karl Marx tentang determinasi ekonomi, tetapi ia juga

berpendapat bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang

paling penting di antara faktor-faktor politik, agama dsb.

Oleh karena pandangan demikian ini, ia menganggap

dirinya sebagai seorang liberal namun tetap sadar akan

Page 141: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

141

kataristik kontradiktori dan destruktif. Akibatnya, ia

diidentifikasikan sebagai Marxis borjuis.

Di dalam bidang hukum, ada dua aktifitas dasar

yang menciptakan hukum dan menemukan hukum.

Artinya, ia membedakan pendekatan legal terhadap hukum

dan pendekatan sosiologis terhadap hukum. Pendekatan

pertama peduli dengan cara dimana perilaku aktual hakim,

pengacara, penjahat, dan penduduk mengukur norma-

norma ideal sistem hukum. Mereka menggunakan hukum

sebagai standar nilai untuk mengukur perilaku orang,

sementara pendekatan sosiologis memandang aturan

hukum sebagai komponen kenyataan dan peduli dengan

bagaimana hukum sebagai motif orang untuk

melaksanakan dan sebagai faktor motif bagi orang yang

mentaatinya. Hukum menurutnya didefinisikan sebagai

suatu tatanan, tatanan akan di sebut hukum jika secara

eksternal dijamin oleh kemungkinan paksaan fisik dan

psikologis untuk menghasilkan kenyamanan yang akan

diterapkan oleh orang yang secara khusus dipersiapkan

untuk tujuan itu.

Weber menyajikan suatu pendekatan hukum dan

masyarakat dimana hukum didefinisikan berkenaan dengan

norma-norma hukum dan pranata-pranata hukum yang

mengatur tingkah laku bagi para pelaku hukum, baik itu

individu-individu maupun asosiasi-asosiasi. Satu hal

penting dari pemikiran Weber adalah hukum dipandang

sebagai kumpulan norma atau aturan yang dikombinasikan

dengan konsensus dan penerapan paksaan. Dua unsur

Page 142: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

142

tersebut merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam

hukum. Dengan demikian, hukum merupakan kombinasi

antara beberapa langkah kesepakatan, suatu persetujuan

tentang prosedur-prosedur, proses-proses melalui apa

hukum dibuat, dan pelaksanaan melalui organisasi

kekuasaan negara.

VI.2.1.2 Teori Solidaritas Dalam Pandangan Emille

Durkheim

Tokoh ilmu sosial lain yang memiliki konsen terhadap

hukum adalah Emile Durkheim (1858-1917). Ia seorang

Perancis yang menulis buku The Rules of Sociological

Method (1895). Dalam tulisannya, ia memberikan

perhatian lebih pada masyarakat daripada individu,

mengingat manusia dipandang hanya semata-mata sebagai

individu yang hidup dalam masyarakat dan kehidupan

individu dilahirkan dari masyarakat. Pendekatan dasar

yang ia gunakan dalam mengkaji segala sesuatu adalah

menemukan fakta sosial dan pandangan yang ada dalam

fakta sosial. Perhatian utama Durkheim demikian dapat

diketahui dalam tulisan-tulisannya yang berkenaan dengan

persoalan solidaritas sosial, integrasi sosial, dan apa yang

dimaksud masyarakat itu sendiri. Artinya, pendekatan yang

digunakan adalah anti individualistik.

Dalam konteks hukum, pandangannya dapat di baca

ketika ia mengawali studi tentang hukum dan masyarakat

dengan mengangkat pertanyaan-pertanyaan sosiologis

penting seperti berikut.

Page 143: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

143

What is about human society whit its over more

complex interrelationship, structures and

institutions which ensures not only its continuity an

cohesion but also its transformation? (Apakah

sesungguhnya yang terdapat di dalam masyarakat

yang sedemikian rumit hudungan-hubungannya,

struktur-struktur dan pranata-pranatanya yang

menjamin tidak hanya kontinuitas sebuah kohesi

tetapi juga tranformasinya)

Durkheim kemudian mempertanyakan What holds

society together? (Apa sebenarnya yang menyebabkan

masyarakat terikat menjadi satu kesatuan). Kemudian ia

menjawab sendiri The primary of the social collective life

is not born from individual life, but it is no the contrary the

second which is born what of the first (Penyebab terpokok

adalah sosial. Kehidupan kolektif tidak lahir dari

kehidupan individual, melainkan sebaliknya kehidupan

individual lahir dari kehidupan kolektif). Menurutnya,

social life, especially where it exists durably, tend

inevitably to assume a define form and to organize

itself an law is nothing also than this very

organization in so far it has greater stability and

precision (kehidupan sosial, khususnya dimana

hukum dapat bertahan terus menerus cenderung

untuk mengasumsikan sebuah bentuk terbatas dan

masyarakat mampu mengorganisir dirinya sendiri

dimana hukum merupakan salah satu sarana

pengorganisasian dan karena ada hukum, masyarakat

dapat stabil).

Page 144: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

144

Di dalam karyanya tentang metodologi dan melalui

studi tentang hubungan antara hukum dan masyarakat, ia

menganalisis faktor-faktor sosial yang menentukan pola-

pola hukum yang berbeda-beda dan cara-cara

menfungsikan hukum untuk mempertahankan tipe-tipe

masyarakat berbeda-beda. Dalam konteks ini, ia

berpandangan bahwa hukum menjadi lebih independen

dari kondisi-kondisi sosialnya dan juga menjadi lebih

berbeda mengingat masyarakat senantiasa berubah-ubah

dari organisasi dan asosiasi yang relatif berbentuk

sederhana menjadi organisasi dan asosiasi yang memiliki

pola-pola kompleks. Dalam perkembangan dari

masyarakat sederhana ke kompleks tersebut,

perkembangan hukum juga berubah dari masyarakat

sederhana ke kompleks. Dalam konteks ini Durkheim

memberi konsep perubahan hukum dan masyarakat.

Teori Perubahan Hukum dan Masyarakat. Durkheim

dalam karya bukunya De la Division dan Les Regles

memberi perhatian besar pada persoalan pembagian kerja

dalam perubahan sosial. Durkheim melihat bahwa dalam

peningkatan jumlah penduduk harus serentak dengan

peningkatan kepadatan materi, derajad konsentrasi

penduduk pada wilayah tertentu, dan terutama pada

persoalan moral atau kepadatan dinamis. Artinya, menurut

Durkheim, jumlah individu yang memelihara hubungan

satu sama lain bukan saja bersifat lugas, melainkan juga

bersifat moral, yaitu melayani kehidupan bersama.

Page 145: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

145

Kepadatan itu ditingkatkan oleh adanya konsentrasi

penduduk dalam wilayah tertentu, oleh pembentukan

kuota-kuota dan oleh peningkatan jumlah dan kesepakatan

sarana-sarana komunikasi. Akhirnya, Durkheim melihat

bahwa pertumbuham volume dan kepadatan dimaksud

melakukan pembagian kerja. Artinya, ia mempertajam

perjuangan hidup dan konflik-konflik sosial hanya

mungkin diletakkan, paling tidak dikurangi jika orang

melakukan spesialisasi. Jadi, Durkheim melihat

peningkatan pembagian kerja sebagai daya penggerak

kemajuan dan yang kesemuanya berproses secara mekanis

dan berlangsung terlepas dari kemauan individu.

Kemudian, Durkheim membedakan dua tipe

solidaritas sosial. Pertama, solidaritas mekanis. Solidaritas

mekanis merupakan ciri masyarakat dimana taraf

pembagian kerjanya masih rendah dan sifat masyarakatnya

relatif masih utuh. Di sini hukum bersifat refresif. Di

dalam tipe ini, di antara warga masyarakat memiliki

keterikatan besar dan keterikatan ini menjadi dasar

berdirinya masyarakat sederhana. Di dalam masyarakat

jenis ini tidak bisa ditolerir timbulnya perbedaan sehingga

hubungan-hubungan di dalamnya bersifat mekanis.

Seandainya terjadi penyimpangan atau kelalaian, maka

cara berfikir mereka menyebabkan kelumpuhan

keseluruhan sendi masyarakat. Oleh karena itu, hukum

yang dapat menjamin kelangsungan tipe masyarakat

seperti ini adalah hukum represif dengan sanksi yang

bersifat pidana.

Page 146: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

146

Kedua, solidaritas organis. Solidaritas organis

merupakan ciri masyarakat kompleks dengan taraf

pembagian kerja tinggi. Dalam masyarakat kompleks,

penggunaan sanksi restitutif sangat dominan. Selain itu,

masyarakat kompleks memperlihatkan sebuah struktur

sosial yang terdiri atas unsur-unsur yang interdependen,

dimana masing-masing unsur memberikan budaya-budaya

khusus (subculture). Di dalam masyarakat kompleks ini

pula diferensiasi kepentingan warga masyarakat tampak

lebih tegas dan sangat spesialis dibanding masyarakat

sederhana. Masyarakat seperti ini mengandalkan pada

kebebasan dan kemerdekaan, yang sekaligus menjadi dasar

berdirinya masyarakat kompleks. Durkheim melihat

hukum yang cocok dalam masyarakat kompleks adalah

hukum restitutif. Jadi, hukum bukan bekerja dengan cara

menindak, tetapi hukum bekerja dengan mengembalikan

pada keadaan semula.

Pandangan Durkheim lebih lanjut adalah bahwa apa

yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat tergantung

pada tertib sosial. Artinya, kebebasan itu tidak ada dalam

individu, tetapi kebebasan itu berada dalam kerangka

masyarakat. Jika dilihat dari teori Durkheim, maka bentuk

masyarakat Indonesia sudah benar, dan justru bentuk

masyarakat individualistik ala barat salah.57

Meskipun

demikian, teori Durkheim dalam konteks sosiologi hukum

57 Lihat Ahmad ,1993. Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum.

Jakarta: PT. Yarsif, hlm 299

Page 147: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

147

menjadi penting karena ia termasuk tokoh awal yang

melihat peranan hukum dalam membentuk masyarakat.

Hanya saja tiada gading yang tak retak, teori Dukheim pun

di alam kenyataan kevaliditasannya diragukan karena pada

masyarakat sederhana jenis hukumnya bersifat represif,

dan pada masyarakat sederhana umumnya didominasi oleh

hukum restitutif karena di dalam masyarakat demikian ini

cenderung mengutamakan keharmonisan.

Dalam buku The rules of sociological Method (1895),

ia lebih menekankan perhatian masyarakat daripada

individu karena manusia hanya semata-mata sebagai

individu yang hidup dalam masyarakat dan kehidupan

individu dilahirkan dari masyarakat. Pendekatan yang ia

gunakan adalah menemukan fakta sosial dan pandangan

yang ada dalam fakta sosial. Perhatian utama Durkheim

dapat diketahui lewat tulisan-tulisannya yang berkenaan

dengan persoalan solidaritas sosial, integrasi sosial, dan

apa yang dimaksud nasyarakat itu sendiri.

Pendekatannya adalah anti individualistik dan

menyarankan adanya penjelasan-penjelasan psikologis.

Dalam konteks hukum, pandangannya dapat dibaca ketika

perhatian utamanya adalah sosiologi murni dimana disana

diberi contoh pernyataan bahwa manusia ada semata-mata

karena dia hidup di dalam masyarakat. Kehidupan kolektif

tidak lahir dari kehidupan individual, tetapi sebaliknya

kehidupan individual lahir dari kehidupan kelektif.

Ia berpandangan tentang kemungkinan mengkaji

masyarakat secara ilmiah dengan pertimbangan adanya

Page 148: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

148

fakta sosial sebagai sesuatu nyata. Faktor sosial tersebut

dicirikan dengan kemampuannya untuk menahan

perubahan. Mereka mempunyai kualitas paksaan dan

pelanggaran-pelanggaran. Hukum dipandang sebagai fakta

sosial namun hukum juga sebagai simbol yang tampak

merefleksikan ciri solidaritas sosial. Sehubungan dengan

itu, cara baik untuk mempelajari masyarakat adalah dengan

mempelajari hukum karena ia merupakan indikator

solidaritas obyektif.

VI.2.1.3 Teori Kelas

Pendekatan Marxis terhadap sosiologi hukum datang dari

dua bentuk. Hukum dan pikiran hukum berasal atau

sebagai produk dari pemegang kelas. Selain itu, dia

berargumentasi bahwa bentuk hukum relatif otonom dari

harapan kapitalisme. Sementara pada saat yang sama ia

menyediakan sebuah lingkungan bagi eksploitasi bagi

pekerja. Hukum dipandang selain sebagai alat yang

digunakan untuk memaksimalkan kepentingan kelas

penguasa dalam masyarakat, juga mengontrol kelas

pekerja. Dalam pernyataan klasiknya, disebutkan bahwa

manusia adalah manusia semata-mata yang hidup di dalam

masyarakat. Kehidupan kolektif tidak lahir dari kehidupan

individual, tetapi sebaliknya kehidupan individual lahir

dari kehidupan kolektif.

Ia berpandangan tentang kemungkinan mengkaji

masyarakat secara ilmiah dengan pertimbangan adanya

fakta sosial sebagai sesuatu nyata. Fakta sosial tersebut

dicirikan dengan kemampuannya untuk menahan

Page 149: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

149

perubahan. Dalam konteks hukum, hukum dipandang

sebagai fakta sosial, namun hukum juga sebagai simbol

yang merefleksikan ciri solidaritas sosial. Sehubungan

dengan itu, hukum dipelajari karena ia merupakan

indikator solidaritas obyektif.

Pendekatan kedua, pendekatan struktural. Pendekatan

yang dimaksud menyebutkan bahwa hukum bukan

merupakan sebuah instrumen kelas penguasa namun

hukum mempunyai derajad ketertidakgantungan terhadap

elit-elit tertentu. Pandangan ini dikenal sebagai otonom

relatif. Dengan kata lain, ada sejumlah kekuatan yang

menghasilkan efek-efek tertentu di dalam masyarakat.

Kini, Kedua pendekatan pertama disebut sebagai

commodity exchange perspective dan kedua disebut

sebagai structural interpolation perspective.

Page 150: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

150

Teori Perubahan Hukum dan Sosial

No. Theory Thesis Key figure

1. Evolution of Law three stages: archaic law, pre-modern high

culture, positivisation of law

N Luhmann

2. Living Law a set of knowledge which is referred to guide

behaviorism

Eugen Erhlich

3. Social

Engineering

balancing of interests in a society, law can be a

tool of social engineering

Roscoue Pond

4. Functional of

Law

social reality influences law Dean Pound

5. Structural

Functionalism

law is a normative behavior expectation, social

system needs a form of law that reflects its

degree of complexity

N Luhmann

6. Behavior of law law related to socio-political stratification Donald Black

Page 151: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

151

VI.2.2 Dalam Antropologi Hukum

VI.2.2.1 Teori Evolusionistik

Pendiskusian antropologi hukum modern biasa dikaitkan

dengan awal karya Maine yang dikenal dengan Ancient

Law (1861) dan Bachofens dalam Das Mutterrecht (1861).

Pengkaitan dimaksud berawal dari pandangan kedua

sarjana tersebut tentang teori-teori evolusionistik tentang

masyarakat dan hukum dalam masyarakat itu sendiri.

Tentu, dapat dibayangkan bahwa hukum yang dianut saat

itu oleh masyarakat tribal adalah hukum sederhana.

Sementara, penekun hukum Eropa tidak menemukan

hukum dimaksud dalam sejarah hukum pada awal atau

permulaan masyarakat mereka dalam rentangan evolusi

panjang. Bahkan, lebih panjang dari waktu yang dikenal

orang Eropa itu sendiri, misalnya hukum Romawi dan

Yunani. Bahkan, hukum yang lebih tua seperti hukum

yang dikenal oleh orang Mesir dalam teks Bibel sekalipun.

Hukum pada masyarakat permulaan merupakan pusat

perhatian munculnya kajian antropologi hukum. Setidak-

tidaknya, fokus teoretikus adalah bagaimanakah mereka

menyelidiki dengan tepat ke dalam rentangan waktu

dimaksud, misalnya bentuk organisasi sosial dan hukum

yang ada pada saat itu. Hanya pada saat itu, metodologi

dominan yang dilakukan adalah armchair anthropology.

Artinya, suatu karya dikerjakan di atas meja dengan duduk

di depan meja dimana semua bahan didasarkan atas

sumber-sumber tertulis, seperti laporan tertulis yang

diperoleh dari eksplorer, traveller, missionaris dan pejabat

Page 152: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

152

sipil dan tentara. Namun demikian, ternyata apa yang

dilakukan mereka berimplikasi pada pemahaman tentang

imperalisme, kolonialisme, etnosentrisme, superiotas

peradaban masyarakat satu terhadap yang lain.

Berangkat dari pemahaman demikian, meskipun

kajian sejenis telah dapat disebut antropologi hukum,

namun demikian ia disebut sebagai antropologi

kontemporer. Sebutan demikian muncul mengingat fokus

kajiannya pada proses perubahan dalam rentangan waktu

panjang sehingga sistem hukum tetap merupakan topik

penelitian menarik. Oleh sebab itu, pertanyaan tentang

hukum pada ratusan tahun lalu tetap menarik, namun

demikian ia berbeda dengan karya antropologi hukum pada

masa kekinian. Perbedaan demikian juga menarik,

terutama dimanakah letak perbedaannya.

VI.2.2.2 Teori Fungsionalisme

Perbedaan dimaksud semakin tampak ketika terjadi

perubahan radikal, terutama munculnya penelitian

lapangan oleh antropolog di tengah-tengah masyarakat

yang mereka kaji. Di antara peneliti demikian ini adalah

Malinowski dan Thurnwald. Mereka, hingga saat ini,

barang kali merupakan sarjana besar yang profesional

dalam penelitian lapangan. Perubahan radikal itu berkaitan

dengan metode dan tentu diikuti dengan teori-teori relevan.

Dengan perubahan dimaksud, ambisi kajian evolusionistik

dan universalistik dikesampingkan, kajian mulai bergeser

kepada fokus masyarakat tunggal atau desa tunggal

tertentu.

Page 153: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

153

Deskripsi dan penjelasan tentang masyarakat tunggal

dimaksud menjadi lebih utama. Teori-teori baru

dikembangkan lewat pemilahan-pemilahan masyarakat

menjadi bagian-bagian lebih kecil dan kemudian dianalisis,

terutama fungsi bagian-bagian dimaksud terhadap bagian

lain dalam konteks keseluruhan bagian suatu masyarakat.

Bertitik tolak dari kajian demikian ini, lahir teori

fungsionalisme dan bersamaan dengan itu pula kajian-

kajian komparatif dan sejarah mulai berkurang pelan-

pelan.

Semenjak itu, salah satu karakter baru dalam kajian

antropologi pada pengkhususan pada bidang hukum. Hal

terjadi mengingat kaum fungsionalis mulai memilah-milah

bidang kajian, salah bidang kajian dimaksud adalah hukum

sehingga mucul kajian antropologi hukum. Hanya saja saat

itu, kajian masih mengarah pada wilayah proses sengketa,

penyelesaian konflik, ajukasi, dan sejenisnya. Dengan

demikian, antropologi hukum saat itu menjadi antropologi

penyelesaian sengketa.

VI.2.2.3 Teori Realisme

Dalam perkembangan waktu berikutnya, sebuah era

monografi klasik dimulai, terutama setelah muncul karya

Max Gluckmann tentang masyarakat Barotse atau Lozi,

Bohannan tentang masyarakat Tiv, Gulliver tentang

masyarakat Arusha dan Ngendeuli, Faller tentang

masyarakat Soga, Pospisil tentang masyarakat Kapauku

Papuan. Sejumlah monografi karya sarjana-sarjana tersebut

mulai memperdebatkan tentang konsep hukum, dimana

Page 154: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

154

hukum difokuskan tidak saja pada proses-proses

sebagaimana disebut sarjana-sarjana sebelumnya, tetapi

mereka mulai mengartikan lain. Oleh mereka hukum

diartikan sebagai aturan-aturan yang diberi sanksi dalam

sebuah prosedur yang terorganisasi rapi.

Perkembangan dimaksud telah memperoleh

masukan-masukan baru dari berbagai pemerhati hukum

lain. Masukan dimaksud menjadikan sarjana-sarjana di atas

merasa perlu membedakan hukum dari tujuan-tujuan

deskriptif dan analitik sebagaimana dilakukan ilmuwan

dengan hukum untuk tujuan-tujuan pragmatis. Hal ini

semakin menjadi perlu ketika segenap pemerhati hukum

pragmatis seperti mereka yang berprofesi sebagai

pengacara, hakim, dan administrator di daerah-daerah

Koloni. Mereka di daerah-daerah dimaksud dihadapkan

pada persoalan keberlakuan nilai-nilai tradisionalitas atau

hukum adat masyarakat sederhana setempat dan

komunitas-komunitas desa.

Di sana, mereka diberi tugas untuk menerapkan

hukum kebiasasan-kebiasaan masyarakat tempatan. Oleh

sebab tugas itu, saat itu mereka dihadapkan pada upaya

pendefinisian hukum kebiasaan dan bagaimana metode

tepat untuk menemukannya. Berkaitan dengan tugas itu

pula, mereka berupaya keras memadankan definisi-definisi

yang tentu dipengaruhi oleh teori-teori yang berkembang

di Amerika. Misalnya, teori realisme hukum yang ditokohi

oleh pemikir seperti Holmes, Gray, Llewellyn. Tentu,

teori-teori dimaksud mempunyai pengaruh kuat pada

Page 155: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

155

Antropologi Hukum Anglo-Amerika dan Ilmu Hukum

Adat di Negeri Hindia Belanda.

VI.2.3 Dalam Ilmu Hukum Adat

VI.2.3.1 Teori Hukum Tidak Tertulis

Ketika antropologi hukum mulai berkembang di Indonesia

1990-an tidak sedikit sarjana hukum Indonesia yang

memberi komentar bahwa antropologi hukum bukan

hukum, selain itu dikatakan pula bahwa antropologi hukum

sama dengan ilmu hukum adat. Komentar itu tentu tidak

benar seluruhnya dan sebaliknya sebagian menunjukkan

kesamaan. Betapa tidak, ilmu hukum adat lahir dari ilmu

hukum pada awal abad ke-20. Ia terbit berkaitan dengan

beberapa tulisan seperti tulisan C. Snouck Hurgronje dan

Cornellis van Vollenhoven yang berisi kritikan terhadap

kebijakan pemerintahan jajahan Belanda di Indonesia.

Pada awalnya, kritik itu ditujukan kepada mereka

selama membina hukum di negeri jajahan dimaksud

mengira bahwa hukum adat Indonesia adalah sama dengan

hukum Islam ditambah beberapa adat. Ilmu hukum adat

Indonesia mula bergerak mantap ketika setelah perang

Dunia I terbit tiga buku karya van Vollenhoven berjudul

Het Adatrecht van Nederlandsch Indie (1918-23). Pada

umumnya, hukum adat tidak ditulis kalaupun tertulis

berupa deskripsi tentang hukum adat berbagai masyarakat

etnik Indonesia. Deskripsi itu mirip dengan etnografi

dalam antropologi sehingga batas-batas hukum adat

dengan adat begitu tipis.

Page 156: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

156

VI.2.3.2Teori Keputusan

Menurut cacatan, dalam dasawarsa 1930-an mulai ada

pendekatan baru terhadap metode deskripsi suatu sisitem

hukum adat, khususnya hukum perdata tak tertulis.

Pendekatan baru dimaksud dimulai oleh B. Ter Haar

sebagaimana tampak pada karangannya yang

mendeskripsikan hukum adat dalam kebudayaan tertentu.

Dengan mengambil keputusan-keputusan hakim atau tokoh

pemimpin adat yang berkuasa dalam pengadilan adat

sebagai sumber pokok deskripsi sistem hukum adat dalam

suatu masyarakat Indonesia.

Pendekatan Ter Haar terhadap deskripsi hukum adat

di Indonesia dimaksud merupakan awal upaya ahli hukum

untuk menentukan secara tajam norma-norma tata

kehidupan sosial yang disebut hukum adat dan yang

mempunyai perasaan hukum (rechtsgevolgen), akibat-

akibat hukum dari tata hukum kehidupan sosial berupa

adat istiadat. Dalam kaitan ini, Ter Haar mencari

perbedaan hukum dari adat-istiadat di Pengadilan Adat,

berupa keputusan-keputusan hakim atau para tokoh

pemimpin adat yang kemudian lahir apa yang disebut teori

keputusan. Ia mencari apa yang disebut wibawa (gezag),

wewenang, dan kekuasaan. Ketiga hal tersebut merupakan

ciri paling menonjol dari norma-norma atau hukum

kehidupan sosial yang disebut hukum.

Page 157: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

157

VI.3 Dalam Ilmu Ekonomi (Teori Investasi)

VI.3.1 Teori Kindleberger

Sebagaimana disebut oleh Pramono58 bahwa Kindleberger

menyebutkan bahwa aspek yang paling sensitif dalam

perekonomian internasional kini adalah aspek investasi

langsung atau direct investment. Amerika Serikat dan

Inggris berusaha membatasi investasi langsung oleh

perusahaan-perusahaan yang berdomisili di dalam batas-

batas kedua negara ini untuk membatasi tekanan pada

neraca pembayaran mereka. Larangan-larangan dan

pembatasan-pembatasan ditentukan terhadap investasi

dalam garis-garis kegiatan tertentu yang dianggap

memboroskan, seperti sumber-sumber daya alam,

perbankan, surat-surat kabar, perdagangan eceran, dan

minuman ringan. Ditentukan persyaratan-persyaratan

bahwa harus ada partisipasi dari pihak dalam negeri, valuta

asing harus dibawa masuk, latihan harus diberikan, suku

cadang harus dibeli setempat, riset dalam negeri, ekspor,

dan sebaginya. Di samping itu, masih saja terdapat

kecenderungan untuk internasionalisasi perusahaan.

Teori mengenai investasi langsung mempunyai banyak

implikasi, yaitu:

58 Seperti diketahui bahwa prasyarat investasi adalah security,

kepastian hukum, kelancaran birokrasi, one stop service, insentif pajak,

repatriasi, transfer pricing, dan sebagainya serta adanya Undang-

Undang Investasi yang baik. Lihat, Nindyo Pramono, 2006. Bunga

Rampai Hukum Bisnis Aktual. FHUGM:. hlm. 190.

Page 158: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

158

a. Investasi langsung tidak akan terjadi dalam industri di

mana ada persaingan murni.

b. Perusahaan penanam modal tidak berkepentingan

untuk mengadakan usaha bersama atau joint venture

dengan pengusaha setempat karena akan berusaha

untuk memiliki sendiri selruh keuntungan dan pada

saat bersamaan para penanam modal setempat tentu

tidak akan mau membeli saham-saham dari perusahaan

induk serta penghasilan atas keseluruhan penanam

modal menjadi kabur atau samar-samar dibandingkan

dengan keadaan setempat yang dapat membawa

banyak keuntungan, sebagaimana mereka lihat.

c. Investasi langsung terjadi menurut dua arah industri

yang sama. Hal ini tidak akan terjadi apabila kegiatan

didasarkan atas tingkat-tingkat laba umum. Hal ini

untuk sebagian merupakan kejadian yang khas dalam

persaingan oligopoli, yaitu setiap perusahaan harus

bertindak seperti dilakukan perusahaan-perusahaan

yang lain untuk menghindarkan agar perusahaan lain

tidak mendapatkan laba secara tidak terduga.

VI.3.2 The Product Cycle Theory atau Teori Siklus

Produk

Teori ini paling cocok diterapkan pada investasi asing

secara langsung (foreign-direct investment) dalam bidang

manufacturing. Biasanya merupakan usaha ekspansi awal

dari perusahaan-perusahaan negara maju seperti Amerika

dengan mendirikan pabrik-pabrik untuk membuat barang-

barang yang sama atau sejenis di negara lain termasuk

Page 159: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

159

negara-negara berkembang. Hubungan antara induk

perusahaan dan pabrik-pabrik sejenisnya di negara lain

tersebut disebut “hirozontaly integrated”. Teori ini

mengatakan bahwa setiap teknologi atau proses produksi

biasanya dikerjakan melalui tiga fase:

Pertama, fase permulaan atau inovasi;

Kedua, fase perkembangan proses; dan

Ketiga, fase pematangan atau fase standardisasi.

Dalam setiap fase tersebut, berbagai tipe perekonomian

negara mempunyai keunggulan komparatif atau a

comparative advantage di dalam memproduksi barang-

barang atau komponen-komponen produksinya. Fase

pertama cenderung bertempat di negara atau negara-negara

industri paling maju, seperti Inggris pada abad ke-19,

Amerika Serikat pada awal pasca perang dunia sekitar

tahun 1942, dan Jepang pada akhir abad ke-20. sekitar

tahun 1942, dan Jepang pada akhir abad ke-20.Perusahaan-

perusahaan tersebut biasanya memagang posisi oligopoli di

negaranya masing-masing yang mengakibatkan

mempunyai keunggulan komparatif di dalam

mengembangkan produk-produk baru dan proses-proses

industrinya karena adanya permintaan pasar dalam negeri

yang besar dan banyaknya persediaan sumber produksi

sampai diperolehnya hasil produksi yang layak untuk

dipasarkan. Biasanya negara-negara majulah yang

mempunyai cukup dana dalam fase inovasi ini.

Pada fase awal ini, perusahaan-perusahaan di negara

maju seperti Amerika Serikat mempunyai suatu posisi

Page 160: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

160

monopoli karena kemampuan teknologi yang belum

tersaingi. Oleh karena permintaan pasar dari luar negeri

terhadap produk mereka meningkat, perusahaan-

perusahaan itu kemudian meningkatkan ekspor produknya

ke pasar luar negeri. Dampak dari penyebaran produk

tersebut di luar negeri, sudah barang tentu akan terjadi

penyebaran teknologi ke negara-negara lain termasuk

negara berkembang. Akibatnya, lama-kelamaan muncul

pesaing-pesaing luar negeri yang cukup potensial. Pesaing-

pesaing ini kemudian mampu membuat rintangan-

rintangan dagang atau trade barrier yang kemudian dapat

”memaksa” perusahaan negara-negara maju tersebut

memproduksi barang-barang yang sama di luar negeri.

Berarti mereka mau tidak mau harus mendirikan

pabrik atau cabang perusahaan di negara lain atau di luar

negeri termasuk di negara-negara berkembang. Akibat

selanjutnya, proses manufacturing dan tempat produksi

cenderung berkembang di luar negeri yang semula

kemasukan aliran modal asing tersebut. Akhirnya, dalam

fase ketiga, dibuatlah standardisasi proses manufacturing

yang memungkinkan peralihan lokasi-lokasi produksi ke

negara-negara yang sedang berkembang, terutama negara-

negara industri baru (Newly Industrializing Countries),

yang mempunyai keunggulan komparatif berupa tingkat

upah yang rendah.

Produk-produk dari negara-negara berkembang ini

pun kemudian diekspor ke pasaran global. Singkatnya, the

product cycle theory ingin membantu menjelaskan bahwa

Page 161: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

161

perusahaan multinasional dan persaingan oligopoli,

perkembangan, dan penyebaran teknologi industri

merupakan unsur-unsur penentu utama terjadinya

perdagangan dan penempatan lokasi-lokasi aktivitas

ekonomi secara global melalui investasi dan timbulnya

strategi perusahaan yang mengimplementasikan

perdagangan dan produksi di luar negeri.

Page 162: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

162

MODEL SIKLUS PRODUK (VERNON, 1966)

Kelu

ar

an

PRODUK BARU

PRODUK YG

MENJADI DEWASA PRODUK

DISTANDARDISASI

0

MEMPRODUKSI DI

DLM NEGERI

MEMPRODUKSI DI LUAR NEGERI

a. Oleh cabang (FDI) b. Dengan perlisensian

0 EKSPOR IMPOR

0 Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3

MODEL BARU (VERNON, 1977)

Kelu

a

ran

Berdasarkan

INOVASI

OLIGOPOLI

DEWASA OLIGOPOLI

MENUA

0 Tahap 1 Tahap 2

Tahap 3

Page 163: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

163

VI.3.3The Industrial Organization Theory Vertical

Integration atau Teori Organisasi Industri Integrasi

Vertikal

Teori ini banyak diterapkan pada new multinationalism

country atau negara multinasionalisme baru dan pada

investasi yang terintegrasi secara vertikal, yakni produksi

barang-barang di beberapa pabrik menjadi input bagi

pabrik-pabrik lain dari suatu perusahaan yang sejenis.

Teori ini berawal dari pemahaman bahwa biaya-biaya

untuk melakukan bisnis di luar negeri dengan investasi,

baik direct maupun indirect harus memperhitungkan

mencakup biaya-biaya lain yang harus dipikul oleh

perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan itu harus memiliki

beberapa ”keunggulan kompensasi” atau ”compensating

advantages” atau ”keunggulan yang spesifik bagi

perusahaan”, seperti keahlian teknis manajerial, keadaan

perekonomian yang memungkinkan perolehan sewa secara

monopoli untuk operasi perusahaannya di negara-negara

lain.

Menurut teori ini, investasi dapat dilakukan dengan

cara integrasi secara vertikal, yaitu dengan menempatkan

beberapa tahapan produksi di beberapa lokasi yang

berbeda di seluruh dunia. Motivasi utamanya adalah untuk

mendapatkan keuntungan berupa biaya produksi yang

rendah, memanfaatkan kebijaksanaan pajak lokal juga

untuk membuat ”rintangan perdagangan” bagi perusahaan

yang lain.

Page 164: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

164

Banyak faktor yang menentukan tingkat aliran

modal, skill, teknologi, dan keahlian negara maju atau

pemodal asing ke negara penerima modal atau negara

berkembang, antara lain:

Iklim penanaman modal di negara penerima modal;

Prospek perkembangan usaha di negara penerima

modal;

Tingkat perkembangan ekonomi di negara penerima

modal;

Stabilitas politik di negara penerima modal;

Tersedianya prasarana dan sarana yang diperlukan oleh

si pemodal;

Aliran modal cenderung mengalir kepada negara

dengan tingkat pendapatan nasional per kapita yang

tinggi;

Tersedianya bahan baku, tenaga kerja yang relatif

murah dan potensi pasar dalam negara penerima modal

tersebut.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar

Modal

Menimbang:

c. bahwa agar Pasar Modal dapat berkembang dibutuhkan

adanya landasan hukum yang kukuh untuk lebih

menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang

melakukan kegiatan di Pasar Modal serta melindungi

kepentingan masyarakat pemodal dari praktik yang

merugikan;

Page 165: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

165

Pasal 4

Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh Bapepam

dengan tujuan mewujudkan terciptanya kegiatan Pasar

Modal yang teratur, wajar, dan efisien serta melindungi

kepentingan pemodal dan masyarakat.

Page 166: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

166

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, 1998. Perubahan Masyarakat, Perubahan

Hukum dan Penemuan Hukum. Ujung Pandang:

Hasanuddin University Press.

_______, 1990. Mengembara di Beberapa Hukum. Ujung

Pandang: Hasanuddin University Press.

Bambang Sutiyoso dkk, 2005. Aspek-Aspek Perkembangan

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta:

UTJ Press.

Bambang Waluyo. 1996. Penelitian Hukum. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Black, Donald. 1976. The Behaviour of Law. New York:

Academic Press.

Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System: A Social

Science Perspective. New York: Russell Sage

Foundation.

Friedmann, Wolfgang. 1967. Legal Theory. New York:

Columbia University Press.

H.Ahmad Koesnoel dkk, 2004. Kaedah-kaedah Hukum

Yurisprudensi. Jakarta: Prenada Media.

Hari Chand, 1994. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur:

International Law Book Services.

Page 167: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

167

J.Johansyah, 2001. Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi.

Jakarta: Gramedia.

Jan Gijsels mark van Hoeke, 1982. Wat is rechsteorie

(terjemahan B. Arief Sidharta) Bandung:

Universitas katolik Parahyangan.

Tripati, Bijai Narain Mani, 1984. Jurisprudence (legal

Theory). Delhi: Allahabad Law Agency.

Jazim Haimidi, Teori Penemuan Hukum Baru dengan

Intreprestasi Teks. Yogyakarta: UII Press.

John Z. LODGE, 1985. Menemukan Hukum Melalui Tafsir

dan Fakta. Jakarta: Bina Aksara.

Kelsen, Hans, 2008. Dasar- Dasar Hukum Normatif

(terjemahan: Nurulita Yusron). Bandung:

Nusamedia.

Kelsen, Hans, 2008. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar

Ilmu Hukum Normatif (terjemahan: Raisul

Muttaqien). Bandung: Nusamedia.

Koesnoe, Moch. 2006. Dasar dan Metode Ilmu Hukum

Positif. Surabaya: Ubhara.

Meuwissen, 2008. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,

Teori Hukum, dan Filsafat Hukum (terjemahan: B.

Arief Sidharta). Bandung: Refika Aditama

Moh. Taufik Makarao, 2004. Pokok-pokok Hukum Acara

Perdata. Jakarta: Rineka Cipta.

Page 168: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

168

Munir Fuady, 2003. Aliran Hukum Kritis Paradigma

Ketidakberdayaan Hukum. Bandung: Citra Aditya

Bakti.

R.Subekti, 1992. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Jakarta: Pradnya Paramitha.

Riduan Syahrani, 2004. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum.

Bandung: Citra Aditiya Bakti.

Satjipto Raharjo, 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni

Soejono dkk, 1997. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:

Rineka Cipta.

Soerjono Soekanto, 2001. Pokok-pokok Sosiologi Hukum.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto, 1984. Pengantar Penelitian Hukum.

Jakarta: Universitas Indonesia.

Sudikno, Mertokusumo dan Pitlo. Bab-bab tentang

Penemuan hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

______, 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.

Yogyakarta: Liberty.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan

Konstruksi Hukum. Bandung: Alumni.

Page 169: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

169

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Lembaran Negara RI tahun 2009

Nomor 157

Page 170: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM
Page 171: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

Penulis lahir di Klaten, 02/12/1957, Pendidikan Sarjana

Hukum 1984 dari Universitas Gadjah Mada, Magister legal

Anthropology 1995 Sandwich Program Universiteit te Leiden dan

Universitas Indonesia, dan Doktor Ilmu Budaya 2002 diperoleh

dari Fakultas Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Guru Besar Ilmu Hukum diperoleh dari Fakultas Hukum

Universitas Andalas pada 1 Maret 2006, sejak 2012 sebagai Staf

Ahli Hukum Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

dan Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia, selain itu mengajar dan sebagai Dekan

Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta.

Dengan bekal pengalaman transendensialisasi ilmu dan

pengetahuan secara lintas bidang ilmu menjadikan penulis amat

mengetahui, mengerti, dan memahami dan menghayati secara

mendalam tentang hukum baik dari sudut ilmu sosial, budaya,

filsafat maupun ilmu hukum sendiri. Oleh sebab ini pula, penulis

dipercaya memegang mata kuliah Perbandingan Budaya Hukum,

Filsafat Hukum, Metodologi Penelitian Hukum, Hukum dan

Kearifan Lokal oleh Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas

Gadjah Mada, Universitas Pancasila Jakarta, Universitas Andalas

Padang, dan Program Pascasarjana Universitas ternama lainnya.

Selain buku Awal Pemahaman Hukum Teori Hukum &

Filsafat Hukum ini, penulis juga menulis buku: Hukum dan

Kearifan Lokal (2010), Metodologi Penelitian Hukum Empiris

Murni (2009), dan Budaya Hukum (2012). Penulis juga aktif

sebagai nara sumber seminar nasional dan internasional, sebagai

nara sumber dialog-dialog aktual stasiun televisi nasional,

Page 172: Awal Memahami HUKUM TEORI HUKUM &FILSAFAT HUKUM

memiliki pengalaman sebagai saksi ahli dalam perkara tindak

kejahatan Sumber Daya Alam, sebagai asesor BAN-PT sejak

2004, pernah sebagai detaser Pengelolaan Perguruan Tinggi

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI 2007-

2008.