FDG Revisi1

39
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurang gizi merupakan suatu fenomena yang terkait dengan kemiskinan, sehingga penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu prasyarat upaya meningkatkan status gizi suatu masyarakat. Meski demikian tidak berarti untuk menanggulangi masalah gizi hams menunggu sampai penanggulangan kemiskinan tuntas. (Litbang, 2007) Masalah gizi kurang umumnya diderita oleh kelompok rawan biologi yakni bayi, anak, ibu hamil dan ibu menyusui dan kelompok rawan sosial ekonomi yakni masyarakat miskin. Namun, sebenarnya masalah gizi dapat saja terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi dapat mempengaruhi status gizi kelompok umur pada siklus kehidupan berikutnya. Masa kehamilan merupakan periode sangat penting karena akan menentukan kualitas bayi yang dilahirkan yang pada gilirannya menentukan kualitas SDM di masa depan. Tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Perlu diingat status kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan oleh status kesehatan dan gizi pada saat remaja,calon pengantin, usia sekolah, atau bahkan 1

description

fgd

Transcript of FDG Revisi1

BAB I

PENDAHULUANA. Latar BelakangKurang gizi merupakan suatu fenomena yang terkait dengan kemiskinan, sehingga penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu prasyarat upaya meningkatkan status gizi suatu masyarakat. Meski demikian tidak berarti untuk menanggulangi masalah gizi hams menunggu sampai penanggulangan kemiskinan tuntas. (Litbang, 2007)Masalah gizi kurang umumnya diderita oleh kelompok rawan biologi yakni bayi, anak, ibu hamil dan ibu menyusui dan kelompok rawan sosial ekonomi yakni masyarakat miskin. Namun, sebenarnya masalah gizi dapat saja terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi dapat mempengaruhi status gizi kelompok umur pada siklus kehidupan berikutnya. Masa kehamilan merupakan periode sangat penting karena akan menentukan kualitas bayi yang dilahirkan yang pada gilirannya menentukan kualitas SDM di masa depan. Tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Perlu diingat status kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan oleh status kesehatan dan gizi pada saat remaja,calon pengantin, usia sekolah, atau bahkan usia balita dan bayi. Artinya status gizi dalam siklus daur kehidupan seseorang akan terus berlanjut. Jika siklus dimulai dengan status gizi baik, diharapkan dapat dipertahankan dan yang terjadi adalah siklus gizi baik, sebaliknya bila dimulai dengan gizi kurang, maka harus ada upaya khusus untuk dapat keluar dari siklus gizi kurang. Gizi kurang juga dapat terjadi pada kelompok mayarakat yang tidak miskin, karena pengetahuan gizi yang rendah atau kurang, sehingga pengeluarannya lebih diutamakan bukan untuk makanan yang bergizi, misal untuk perhiasan atau pengeluaran lain untuk meningkatkan status sosialnya.Sampai kini, masyarakat Indonesia masih menghadapi empat masalah gizi, yakni kurang energi protein (KEP), kurang vitamin A (KVA), anemia gizi besi (AGB) dan gangguan akibat kurang yodium (GKY). Tiga masalah yang disebut belakangan sering disebut sebagai masalah gizi mikro atau kelaparan tersembunyi (hidden hunger). Dinamakan gizi mikro karena memang ukurannya kecil, yakni dalam mikro gram (ug), dan dibutuhkan dalam jurnlah sedikit, tetapi meski sedikit, sangat penting dan diperlukan untuk kesehatan manusia. Disebut kelaparan tersembunyi, karena pada umumnya pendenta tidak mengetahui atau tidak menyadari kalau yang bersangkutan kekurangan zat gizi tersebut, dan baru diketahui setelah gejala-gejala defisiensi atau kekurangan muncul. Kekurangan gizi biasanya terjadi secara lambat, tersembunyi dan sering kali penderitanya tidak menyadari, luput dari pengamatan biasa, dan penderita dating ke pelayanan kesehatan seperti dokter, Puskesmas, atau rumah sakit, karena sakit dan bukan karena kurang gizi. Salah satu masalah gizi pada anak yang perlu mendapat perhatian adalah defesiensi atau kekurangan vitamin A. Kekurangan vitamin A ini merupakan penyebab utama kebutaan di indonesia. Selain itu, seringkali ditemukan jika anak menderita Kekurangan Kalori Protein (KKP), maka anak itu juga sekaligus menderita kekurangan vitamin A (Arali, 2008).Rabun senja adalah salah satu gejala kekurangan vitamin A. Kurangnya konsumsi vitamin A bisa diakibatkan karena pengetahuan ibu yang kurang tentang kebutuhan vitamin A anaknya dan kemiskinan (Sugiarno, 2010). Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama pada masa pertumbuhan. Salah satu dampak kurang vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumriya terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 4 tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang (Depkes RI, 2003).Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan secara luas. Vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekursor/provitamin A/ karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik sebagai retinol (Almatsier, 2009).Kurang vitamin A akan mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit yang berpengaruh pada kelangsungan hidup anak. Penanggulangan masalah kurang vitamin A saat ini bukan hanya untuk mencegah kebutaan, tetapi juga dikaitkan dengan upaya memacu pertumbuhan dan kesehatan anak guna menunjang penurunan angka kematian bayi dan berpotensi terhadap peningkatan produktifitas kerja orang dewasa (Depkes. RI., 2000).Meski program penanggulangan KVA sudah dirintis sejak tahun 1960-an dan efektif sejak tahun 1970-an, serta Indonesia pemah tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mengatasi masalah KVA sehingga tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sejak krisis 1997, tampaknya masalah KVA mencuat lagi. Makalah ini mengkaji kecenderungan masalah KVA dan prospek penanggulangannya (Puslitbang Gizi dan Makanan 40 Media Litbang Kesehatan Volume XVII Nomor 4 Tahun 2007)Strategi penanggulangan kekurangan vitamin A yaitu dengan cara pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi, yang diberikan pada bayi (6-11 bulan), balita (1-5 tahun) dan ibu nifas. Berdasarkan laporan tahun 2003, cakupan pemberian kapsul vitamin A pada balita masih dibawah 58,81% (Depkes RI 2003). Pada tahun 2004, cakupan pemberian kapsul vitamin A sebesar 57%. sedangkan pada. tahun. 2005 terjadi penurunan cakupan kapsul vitamin A yaitu hanya mencapai 52,26% dengan target yang sama yaitu 65% (Dinkes, 2005).B. Rumusan Masaiah

1.Apa yang menyebabkan buta senja?

2. Program apa saja yang dapat direncanakan untuk mengurangi buta senja?3.Apa saja dan bagaimana faktor determinan terjadinya kekurangan vitamin A?

4.Bagaimana pengaruh program yang direncanakan terhadap penderita kekurangan vitamin A?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

a) Terwujudnya Indonesia yang tidak lagi mengalami masalah kurang gizi walaupun didaerah terpencil

2. Tujuan Khusus

a) Untuk mengetahui apa yang menyebabkan rabun senja.b) Merencanakan program yang dapat mengurangi angka kejadian kekurangan vitamin Ac) Meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya ibu untuk mengawasi makanan anaknya.D. Manfaat

Diharapakan dari pembahasan materi ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca sehingga pembaca dapat mengetahui :

1. Permasalahan gizi di Indonesia2. Permasalahan gizi akibat kekurangan vitamin A3. Mengetahui tanda tanda kekurangan vitamin A4. Mengetahui penyebab dari kekurangan vitamin A5. Mengetahui program penanggulangan Vitamin ABAB IIANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Secara EpidemiologiKVA pada anak balita dapat mengakibatkan risiko kematian sampai 20-30%. Mortalitas anak balita yang buta karena keratomalasia dapat mencapai 50-90%. Survei Nasional Xeropthalmia 1978 menemukan prevalensi X1b (bitot spot) pada anak balita 1,34%, dan pada tahun 1992 turun menjadi 0,35%. Angka tersebut masih di bawah kriteria yang ditetapkan WHO sebagai masalah kesehatan masyarakat (0,5%). Survei tersebut juga menemukan 50,2% anak balita mempunyai kadar serum vitamin A < 20 g/dl, lebih tinggi dari batas ambang menurut IVACG sebesar 15%. Helen Keller International (HKI) (1999) melaporkan kejadian buta senja pada wanita usia subur di Propinsi Jawa Tengah sebesar 1-3,5%. Sejak Survei Nasional Xeropthalmia tahun 1992 belum ada lagi data status vitamin A berbasis masyarakat (population based) yang dapat digunakan sebagai dasar acuan untuk perencanaan program gizi mikro, meskipun distribusi kapsul vitamin A kepada anak balita sudah dimulai sejak tahun 1976 (Depkes RI, 2006).Estimasi yang dibuat oleh WHO adalah lebih dari 250 juta anak mengalami kekurangan penyimpanan vitamin A (Sommer, 1996). Prevalensi KVA yang tertinggi ditemukan pada anak prasekolah, ibu hamil dan menyusui. Namun tingkat KVA subklinik juga terlihat banyak pada anak sekolah dan dewasa di beberapa lokasi. Data yang selalu tersedia di setiap negara hanyalah prevalensi dari anak prasekolah yang berarti prevalensi pada kelompok umur lainnya tidak tersedia. (Bloem, dkk, 1998).

Kekurangan vitamin A dalam makanan sehari-hari menyebabkan setiap tahunnya sekitar 1 juta anak balita di seluruh dunia menderita penyakit mata tingkat berat (xeropthalmia) diantaranya menjadi buta dan 60 % dari yang buta ini akan meninggal dalam beberapa bulan. Kekurangan vitamin A menyebabkan anak berada dalam resiko besar mengalami kesakitan, tumbuh kembang yang buruk dan kematian dini. Terdapat perbedaan angka kematian sebesar 30 % antara anak-anak yang mengalami kekurangan vitamin A dengan rekan-rekannya yang tidak kekurangan vitamin A (Unicef,1991 dalam Myrnawati). Angka kebutaan di Indonesia tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan survai kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia 1,5 % dari jumlah penduduk atau setara dengan 3 juta orang. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding Bangladesh (1%), India (0,7 %), dan Thailand (0,3 %) (Gsianturi,2004).

Kekurangan vitamin A (defisiensi vitamin A) yang mengakibatkan kebutaan pada anak-anak telah dinyatakan sebagai salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Kebutaan karena kekurangan vitamin A terutama dikalangan anak pra sekolah masih banyak terdapat didaerah-daerah. Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2010 Pada pasca persalinan, atau masa nifas, ibu yang mendapat kapsul vitamin A hanya 52,2 persen (rentang: 33,2% di Sumatera Utara dan65,8% di Jawa Tengah). Berdasarkan tingkat pendidikan, cakupan Ibu nifas yang tidak sekolah mendapat kapsul vitamin A hanya 31 persen dibanding yang tamat PT (62,5%). Demikian pula kesenjangan yang cukup lebar antara ibu nifas di perkotaan dan perdesaan, serta menurut tingkat pengeluaran. Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir. Persentase distribusi kapsul vitamin A untuk anak umur 6-59 bulan sebesar 69,8%. Persentase tersebut bervariasi antar provinsi dengan persentase terendah di Papua Barat (49,3%) dan tertinggi di Di Yogyakarta (91,1%).Masalah kesehatan di Provinsi Sulawesi Selatan yang cukup serius adalah gangguan mata. Proporsi low vision di Sulawesi Selatan cukup tinggi 9,8%, dua kali lipat dari angka nasional, bahkan di Kota Makassar, angka proporsi low vision sangat tinggi (31,1%). Demikian juga proporsi kebutaan di Sulawesi Selatan adalah 2,6%, hampir tiga kali lipat dari angka nasional (0,9%). Secara keseluruhan di Sulawesi Selatan cakupan distribusi kapsul vitamin A untuk anak umur 6 - 59 bulan sebesar 74,2%, sedikit lebih baik dari angka nasional (71,5%) sepertiterlihat dalam tabel 3.36. Cakupan tersebut bervariasi antar kabupaten dengan cakupan terendah di Bone (53,8%) dan tertinggi di Enrekang (90,9%).B. Analisis Secara Etiologi

Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap defiiensi vitamin A. Penyebab paling penting dari defisiensi vitamin A pada anak adalah rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin A (termasuk pemberian ASI yang tidak memadai) dan infeksi yang berulang, khususnya campak, diare, dan infeksi pernafasan.

a. Asupan makanan kaya vitamin A yang kurang memadai,

b. Infeksi berulang, khususnya campak, diare, dan infeksi pernapasan akut

c. Pemberian ASI yang tidak memadai dalam jangka lama

d. Pemberian makanan pelengkap yang tidak sesuai waktunya (seperti pengenalan makanan padat yang rendah nilai gizinya)

e. Tingkat pendidikan keluarga yang rendah

f. Kurangnya kewaspadaan dan pengetahuan tentang peran penting vitamin A terhadap kesehatan anak

C. Faktor Determinan KVASeperti telah disebutkan sebelumnya, KVA tercatat sebagai salah satu masalah gizi yang pemah berhasil ditanggulangi sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat pada tahun 1992, dan hal itu ditandai dengan penghargaan Trophy Helen Keller yang diterimakan kepada pemerintah Indonesia. Sejak krisis tahun 1997, bermunculan lagi kasus-kasus KVA (xerophtalmia) di berbagai wilayah Indonesia. KVA tingkat berat dapat mengakibatkan keratomalasia, dan kebutaan. Telah diketahui vitamin A berperan pada integritas sel epitel, imunitas, dan reproduksi. KVA pada anak Balita dapat mengakibatkan risiko kematian sampai 20-30%. ' 2> 3 Mortalitas anak Balita yang mengalami buta karena keratomalasia dapat mencapai 50-90%.4 Survei nasional Xerophtalmia 1978 menemukan prevalensi X Ib (Bitot spot) pada anak Balita 1,34%. Sekitar 14 tahun kemudian, yakni pada tahun 1992, prevalensi xerophtalmia dapat diturunkan menjadi 0,35%, Angka ini lebih rendah dari kriteria yang ditetapkan WHO sebagai masalah kesehatan masyarakat yakni Xlb > 0,5%. Keberhasilan ini antara lain karena program gizi utamanya distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI) kepada anak balita setiap bulan Februari dan Agustus dapat menjangkau sebagian besar atau bahkan hampir seluruh anak Balita. Komponen program lainya yakni fortifikasi vitamin A ke dalam makanan dan pendidikan atau penyuluhan gizi belum memberikan kontribusi yang bermakna. Data survei vitamin A tahun 1978 dan survei tahun 1992, menunjukkan bahwa diperlukan waktu sekitar 14-20 tahun untuk dapat bebas dari xerophtalmia sebagai masalah kesehatan masyarakat.Meski angka xerophtalmia sudah berhasil ditekan sampai pada tingkat di bawah batas ambang masalah kesehatan masyarakat, tetapi masih ditemukan separuh (50%) anak Balita dengan serum vitamin A