FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA …3. Karakteristik personal pekerja (misalnya locus...
Transcript of FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA …3. Karakteristik personal pekerja (misalnya locus...
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR DENGAN JOB INSECURITY PADA KARYAWAN
DISUSUN OLEH:
Ferry Novliadi, S.Psi, M.Si NIP. 132 316 960
DIKETAHUI OLEH: DEKAN FAKULTAS PSIKOLOGI USU
Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) NIP. 140 080 762
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2009
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ……………………………………………………………… DAFTAR ISI………………………………………………………………………. KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................
I.A. LATAR BELAKANG .............................................................................. I.B. TUJUAN PENULISAN ........................................................................... I.C. MANFAAT PENULISAN .......................................................................
BAB II. LANDASAN TEORI .................................................................................
II.A. JOB INSECURITY................................................................................. II.A.1. Pengertian Job insecurity .................................................................... II.A.2. Aspek-aspek Job insecurity ................................................................. II.A.3. Dampak Job Insecurity ……...……………………………………… II.A.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Job insecurity ......................... II.B. PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR ................. II.B.1. Pengertian Persepsi………………………… ……..………………… II.B.2. Pengertian Organisasi Pembelajar ………………………………... II.B.3. Pengertian Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar ….………... II.B.4. Karakteristik Organisasi Pembelajar ……………………………... II.B.5. Aspek-aspek Pengukuran Organisasi Pembelajar ………………... II.C. HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR
DENGAN JOB INSECURITY ………...…….……..
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………..................... DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
i ii iii 1 1 5 5 6 6 6 6 8 10 11 11 12 14 15 18 22 26 28
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, nikmat, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya tulis ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, karena itu penulis berharap mendapat masukan dari para pembaca untuk
penyempurnaan tulisan ini.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Rektor
Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
yang telah memberi penulis kesempatan untuk mengabdikan diri di lingkungan
Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para
mahasiswa dan rekan-rekan sejawat di tempat penulis bekerja atas dukungan dan
hangatnya persaudaraan.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Iskandar yang
senantiasa mengingatkan dan memberi motivasi kepada penulis untuk segera
menyelesaikan karya tulis ini, semoga Allah SWT membalas dengan yang lebih baik
atas budi baik dan ketulusan yang telah diberikan. Akhir kata penulis berharap semoga
tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi semua pihak.
Amin!
Medan, 02 Februari 2009
Ferry Novliadi, S.Psi, M.Si NIP. 132 316 960
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam era globalisasi ini, Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang
berkembang akan menghadapi tantangan yang berat. Hal ini terjadi karena dalam
era ini negara-negara berkembang berhadapan secara langsung dengan negara-
negara maju yang memiliki keunggulan hampir di segala aspek. Mulai dari
teknologi, modal, dan khususnya sumber daya manusia. Ketiganya mempunyai
arti yang sangat penting. Teknologi adalah jaminan mutu produk, modal adalah
jaminan untuk mengembangkan usaha, namun dari ketiganya yang paling vital
adalah sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan faktor sumber daya manusia
sangat terkait dengan kemampuan untuk menguasai teknologi, mengakses
permodalan, merebut, serta mengelola peluang, dan pada akhirnya menciptakan
produk yang mempunyai nilai tambah, produk yang kompetitif di pasar global
(Moetjoib, dalam Salim dkk, 1997)
Secara kuantitatif, sumber daya manusia yang ada di Indonesia memang
sudah memenuhi tuntutan yang ada dalam era globalisasi ini. Namun, pada
kenyataannya dari segi kualitas tidaklah demikian. Akibatnya tidak mengherankan
jika terjadi “import” tenaga kerja dari luar negeri dan juga terjadi perpindahan
karyawan dari satu perusahaan ke perusahaan lain (Pekerti, dalam Prabowo, 2001)
Di satu sisi pula, dengan tujuan untuk mengurangi biaya, organisasi di
banyak negara industri melakukan pemberhentian pekerja secara merata dan
mengurangi jumlah pekerja untuk penggunaan secara efektif. Selain itu organisasi
juga melakukan downsizing, restrukturisasi, dan merger dengan frekuensi yang
semakin meningkat beberapa tahun terakhir ini (Kinnunen, Mauno, Natti &
Happonen, 2000).
Bagi para pekerja, perubahan-perubahan seperti ini dapat mengakibatkan
perasaan cemas, stres, dan tidak aman dalam memikirkan kesinambungan
pekerjaan mereka (Schweiger & Ivanchevich, dalam Ashford, Lee & Bobko,
1989). Marks (dalam Burke, 2000) menyatakan bahwa salah satu dampak
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
2
psikologis dari merger dan downsizing adalah job insecurity. Meyer (dalam
Burke, 2000) juga menyatakan bahwa merger dan downsizing memiliki banyak
konsekwensi terhadap individu, termasuk job insecurity. Para pekerja memiliki
alasan yang bagus tentang mengapa mereka merasa insecure. Magnet dalam
Walsh (dalam Ashford, Lee & Bobko, 1989) mengemukakan demoralisasi, rasa
curiga, rasa tidak berdaya dan stress sebagai reaksi terhadap pemberhentian.
Penelitian lainnya menggarisbawahi insecurity sebagai hasil utama dari
pemberhentian (Brockner dalam Ashford, Lee & Bobko, 1989).
Job insecurity telah menyebar luas sejak tahun 1990-an, terutama terjadi
pada pekerja profesional. Lebih dari 60% pekerja menyatakan bahwa langkah-
langkah pekerjaan (dan usaha yang harus mereka perbuat terhadap pekerjaan
mereka) telah meningkat. Ketakutan terhadap redundancy bukanlah satu-satunya
aspek dari job insecurity. Walaupun banyak pekerja yang tidak terlalu khawatir
terhadap kehilangan perkerjaannya, mereka sangat khawatir terhadap hilangnya
nilai tampilan kerja mereka, seperti status dalam organisasi dan kesempatan
mereka untuk promosi (Burchell, Day, Hudson, dan Ladipo, 1999).
Dalam hal ini, job insecurity diartikan sebagai tingkat di mana pekerja
merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apa
pun terhadap situasi tersebut (Ashford dkk, 1989). Job insecurity dirasakan tidak
hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga
kehilangan dimensi pekerjaan (Ashford dkk, 1989). Sebagai tambahan, Hartley,
Jacobson, Klandermans, Van Vuuren (1991) menyatakan bahwa job insecurity
dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seorang dengan
tingkat security yang ingin diperolehnya. Job insecurity juga mempunyai dampak
terhadap menurunnya keinginan pekerja untuk bekerja di suatu perusahaan
tertentu dan yang akhirnya mengarah kepada keinginan untuk berhenti kerja
(Ashford dkk, 1989).
Greenhalgh & Rosenblatt (dalam Kinnunen dkk, 2000) telah
mengkategorisasikan penyebab job insecurity ke dalam 3 kelompok sebagai
berikut:
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
3
1. Kondisi lingkungan dan organisasi (misalnya perubahan organisasional
dan komunikasi organisasional)
2. Karakteristik individual dan jabatan pekerja (misalnya usia, gender, status
sosial ekonomi)
3. Karakteristik personal pekerja (misalnya locus of control, self esteem)
Dari penjelasan di atas, dapatlah diketahui bahwa kondisi lingkungan dan
organisasi berpengaruh terhadap job insecurity. Selain komunikasi organisasional,
kondisi organisasi yang dimaksud dapat pula dijelaskan dengan adanya organisasi
pembelajar.
Organisasi pembelajar didefinisikan oleh Argyris (dalam Yuwono dkk,
2005) adalah suatu proses deteksi dan koreksi kesalahan. Dalam definisi ini,
organisasi dikatakan organisasi pembelajar apabila organisasi tersebut melakukan
pemantauan terhadap perilakunya, melakukan deteksi terhadap kesalahan yang
dilakukannya, dan segera membuat koreksinya.
Organisasi pembelajar merupakan sebuah organisasi yang memfasilitasi
pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransfomasi
diri (Pedler, Boydell & Burgoyne, 1991). Mereka mendefinisikan dan menguji
kelayakan gagasan mengenai perusahaan pembelajar sebagai pendekatan yang
tepat untuk strategi bisnis dan pengembangan sumber daya manusia pada tahun
1990-an.
Menurut Peter Senge (1990), organisasi pembelajar adalah:
“organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together”.
Ditambahkan pula oleh Farago dan Skyrme (1995), organisasi pembelajar
didefinisikan pula sebagai:
“those that have in place systems, mechanisms, and process, that are used to continually enchance their capabilities and those who work with it or for it, to achieve sustainable objectives for themselves and the communities in which they participate”.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
4
Dari definisi yang dijelaskan oleh Farago dan Skyrme di atas dapat dicatat
butir-butir berikut ini, yaitu bahwa organisasi pembelajar: (1) Adaptif terhadap
lingkungan eksternalnya; (2) Secara terus-menerus menunjang kemampuannya
untuk berubah; (3) Mengembangkan baik pembelajaran individual maupun
kolektif; dan (4) Menggunakan hasil pembelajarannya untuk mencapai hasil yang
lebih baik.
Organisasi pada saat ini menghadapi lingkungan yang terus-menerus
berubah yang menuntut organisasi usaha untuk terus beradaptasi. Organisasi akan
menghadapi saingan dari organisasi-organisasi sejenis lainnya. Organisasi harus
terus mencari cara kerja baru dan mengambil resiko yang diperhitungkan. Dalam
hal ini organisasi dituntut untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi,
meningkatkan mutu produknya, menghasilkan produk (barang atau jasa) yang
baru (Munandar, 2003).
Semua orang setuju bahwa satu karakteristik kunci organisasi pada abad
21 ini adalah kemampuan belajar. Banyak orang bahkan percaya bahwa
kemampuan belajar akan menjadi keuntungan kompetitif bagi suatu organisasi
(Yuwono dkk, 2005). Ditambahkan pula oleh Susanto (2004), bila organisasi
relatif lamban untuk berubah maka keputusan-keputusan serta praktek-praktek
yang dibawa sejak organisasi berdiri masih tetap berlaku. Akibatnya, ketika
lingkungan eksternal berubah dengan cepat, keselarasan antara organisasi dengan
lingkungannya akan menurun, menyeret organisasi tersebut pada keusangan. Agar
organisasi berkembang dan memiliki keunggulan kompetitif, organisasi harus
mempunyai tradisi sebagai organisasi pembelajaran dan mempunyai kemampuan
untuk mengelola pengetahuan (knowledge management) dengan baik.
Sekarang banyak perusahaan mulai menyadari manfaat dari upaya
pembelajaran sambil terus mengembangkan modal intelektualnya terhadap
organisasi mereka. Selain itu banyak pula survey dan penulisan yang dilakukan
untuk melihat organisasi-organisasi yang mampu menciptakan organisasi
pembelajar dan mampu mengungguli organisasi-organisasi lain dalam hal modal
intelektual dan penciptaan kekayaan perusahaan.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
5
I.B TUJUAN PENULISAN
Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara persepsi
terhadap organisasi pembelajar dengan job insecurity pada karyawan dalam suatu
perusahaan.
I.C. MANFAAT PENULISAN
Dari penulisan ini diharapkan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:.
1. Memperkaya pengetahuan tentang Psikologi Industri dan Organisasi,
khususnya dalam pengelolaan sumber daya manusia terutama mengenai
hubungan antara persepsi terhadap organisasi pembelajar dengan job
insecurity pada karyawan.
2. Sebagai bahan masukan bagi perusahaan dalam upaya pengembangan potensi
karyawan dan menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia
sebagai pusat kebijakan bisnis dalam dunia usaha.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
6
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. JOB INSECURITY
II.A.1. Pengertian Job Insecurity
Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu
tingkat di mana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak
berdaya untuk melakukan apa pun terhadap situasi tersebut. Job insecurity
dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan,
tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan (Ashford dkk, 1989).
Joelsen dan Wahlquist (dalam Hartley dkk, 1991) menyatakan bahwa job
insecurity merupakan pemahaman individual pekerja sebagai tahap pertama dalam
proses kehilangan pekerjaan. Kenyataannya, populasi yang mengalami job
insecurity adalah selalu dalam jumlah yang lebih besar daripada pekerja yang
benar-benar kehilangan pekerjaan. Sebagai tambahan, Hartley (1991) menyatakan
bahwa job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang
dialami seseorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya.
Selain itu, Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Hartley dkk, 1991)
mendefinisikan job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan
kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam. Dengan
berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan sangat mungkin
merasa terancam, gelisah, dan tidak aman karena potensi perubahan untuk
mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang
diterimanya dari organisasi.
Dapat disimpulkan bahwa job insecurity merupakan penilaian pekerja
terhadap suatu keadaan di mana mereka merasa terancam dan mereka merasa
tidak berdaya untuk mempertahankan kesinambungan pekerjaan tersebut.
II.A.2. Aspek-aspek Job Insecurity
Konstruk job insecurity terdiri dari dua dimensi, yaitu besarnya ancaman
(severity of threat) atau derajat ancaman yang dirasakan mengenai kelanjutan
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
7
situasi kerja tertentu. Ancaman ini dapat terjadi pada berbagai aspek pekerjaan
atau pada keseluruhan pekerjaan, dan yang kedua adalah powerlesness
(Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Ashford dkk, 1989), di mana efeknya dapat
dijelaskan dengan kalkulasi sebagai berikut:
job insecurity = perceived severity of the threat X perceived powerless to resist the threat.
Ruvio dan Rosenblatt (1999) kemudian memperjelas kembali kedua
dimensi tersebut, sebagai berikut: pertama adalah perasaan terancam pada total
pekerjaan seseorang, misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah
dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam
organisasi atau diberhentikan sementara. Pada sisi lain kehilangan pekerjaan
mungkin dapat terjadi secara permanen atau seseorang mungkin dipecat atau
dipaksa pensiun terlalu awal.
Yang kedua adalah perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job
features). Misalnya, perubahan organisasional mungkin menyebabkan seseorang
kesulitan untuk mengalami kemajuan dalam organisasi, mempertahankan gaji atau
pun meningkatkan pendapatan. Hal ini mungkin berpengaruh terhadap posisi
seseorang dalam perusahaan, kebebasan untuk mengatur pekerjaan, penampilan
kerja, dan signifikansi pekerjaan. Ancaman terhadap tampilan kerja mungkin juga
berperan dalam kesulitan mengakses sumber-sumber yang sebelumnya siap
dipakai.
Ketiga, job insecurity mungkin berperan dalam perasaan seseorang
terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadian-
kejadian di lingkungan kerjanya yaitu perasaan tidak berdaya (powerlesness).
Namun, di dalam penulisan ini dimensi powerlesness yang dikemukakan
Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Hartley dkk, 1991) tidak digunakan karena ada
penulisan yang membuktikan bahwa dimensi powerlesness tidak berhubungan
secara statistik dengan dimensi lainnya dalam pengukuran job insecurity.
Ditambahkan oleh Hartley (1991) bahwa powerlesness boleh tidak
dimasukkan sebagai komponen ketiga dalam pengukuran job insecurity sejak
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
8
diketahui bahwa powerlesness dapat digolongkan sebagai bagian dari
kemungkinan kehilangan pekerjaan, karena powerlesness dalam menghadapi
ancaman akan membuat perasaan kehilangan semakin besar. Jika karyawan
merasa bahwa mereka mempunyai kekuatan, maka kemungkinan akan merasa
kehilangan pekerjaan akan menurun. Sehingga menurut Brown-Johnson (dalam
Hartley dkk, 1991), powerlesness tidak berbeda secara konseptual dengan
kemungkinan kehilangan pekerjaan, baik untuk keseluruhan kerja maupun
tampilan kerja.
II.A.3. Dampak Job Insecurity
Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Ashford dkk, 1989)
mengkonseptualisasikan job insecurity sebagai suatu sumber stress yang
melibatkan ketakutan, kehilangan potensi, dan kecemasan. Salah satu akibat dari
stress tersebut adalah dalam bentuk permasalahan somatis, seperti tidak bisa tidur,
dan kehilangan selera makan. Taber, Walsh, dan Cooke (dalam Ashford dkk,
1989) menyatakan bahwa perasaan job insecurity dapat meningkatkan
permasalahan somatis dan hipertensi.
Berdasarkan penulisan Ashford dkk (1989), diketahui bahwa job insecurity
yang tinggi yang dirasakan karyawan akan berhubungan dengan:
a. Keinginan untuk mencari pekerjaan baru
Ketegangan yang dipengaruhi oleh job insecurity juga penting disebabkan
karena efeknya terhadap turnover. Seperti stressor yang lainnya, job
insecurity mungkin berhubungan dengan respon penarikan diri - sebuah
usaha untuk menghindari stress. Oleh karena itu, job insecurity seharusnya
mempunyai hubungan yang positif dengan keinginan untuk bekerja.
Orang yang mengalami job insecurity mungkin juga meninggalkan
pekerjaan demi alasan yang masuk akal. Hal ini akan masuk akal bagi
karyawan yang khawatir terhadap kesinambungan pekerjaan mereka,
kemudian mencari kesempatan karir yang lebih aman (Greenhalgh dan
Rosenblatt dalam Ashford dkk, 1989)
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
9
b. Komitmen organisasi yang rendah
Penulisan telah mengindikasikan bahwa orang-orang mengembangkan
pendekatan efektif dalam sikap terhadap perusahaan sepanjang waktu
(Mowday, Steers, & Porter, dalam Ashford dkk, 1989), yang ditunjukkan
sebagai level komitmen, kepuasan dan kepercayaan yang tinggi. Perasaan
job insecurity dapat mengancam pendekatan tersebut terhadap perusahaan.
Karyawan mengharapkan perusahaan dapat diandalkan untuk menegakkan
akhir dari kontrak psikologis di antara mereka (Buchanan, dalam Ashford
dkk, 1989). Penerimaan job insecurity mungkin merefleksikan persepsi
individu bahwa perusahaan telah membatalkan kontrak psikologis, dalam
hal ini tampilan penting terancam, pekerjaan berada dalam bahaya (bahkan
keduanya) dan kesetiaan dipengaruhi secara negatif (Romzek dalam
Ashford dkk, 1989).
c. Trust organisasi yang rendah.
Individu yang merasa bahwa perusahaan tidak dapat diandalkan untuk
menghasilkan komitmen terhadap karyawannya, dapat mengurangi
komitmen karyawan terhadap organisasi. Job Insecurity akan berhubungan
secara negatif dengan komitmen karyawan dan kepercayaan mereka
terhadap perusahaan (Forbes dalam Ashford dkk, 1989). Hubungan ini
akan terjadi karena karyawan yang insecure akan kehilangan kepercayaan
dan keyakinan bahwa perusahaan dapat diandalkan dan pendekatan
mereka terhadap perusahaan mereka akan berkurang.
d. Kepuasan kerja yang rendah
Persepsi terhadap job insecurity akan berhubungan secara negatif dengan
pengukuran kepuasan kerja. Dari penulisan sebelumnya (Oldham, Julik,
Ambrose, Stevina, & Brand dalam Ashford dkk, 1989) dapat diketahui
bahwa karyawan dengan tingkat persepsi terhadap job insecurity yang
rendah akan kurang puas dengan pekerjaan mereka. Para peneliti telah
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu respon afektif terhadap
pekerjaan dan tugas-tugas (Locke dalam Ashford dkk., 1989). Orang
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
10
berespon secara afektif terhadap pekerjaan dalam kondisi di mana mereka
secara kognitif merepresentasikan atau menerima pekerjaan tersebut
(Hackman & Oldham dalam Ashford dkk, 1989).
II.A.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Insecurity
Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Ashford dkk, 1989) telah
mengkategorikan penyebab job insecurity ke dalam tiga kelompok sebagai
berikut:
a. Kondisi lingkungan dan organisasi
Kondisi lingkungan dan organisasi ini dapat dijelaskan oleh beberapa
faktor, misalnya: komunikasi organisasional dan perubahan
organisasional. Perubahan organisasional yang terjadi antara lain dengan
dilakukannya downsizing, restrukturisasi, dan merger oleh perusahaan.
Senge (1990) dan Denton dan Wisdom (1991) mengatakan bahwa
organisasi yang paling sukses dalam menghadapi perubahan-perubahan
yang terjadi adalah organisasi yang menciptakan tradisi pembelajaran.
Susanto (2004) mengatakan bahwa organisasi pembelajar merupakan
organisasi yang siap menghadapi perubahan dengan mengelola perubahan
itu sendiri (managing change).
b. Karakteristik individual dan jabatan pekerja
Karakteristik individual dan jabatan pekerja terdiri dari: usia, gender,
senioritas, pendidikan, posisi pada perusahaan, latar belakang budaya,
status, sosial ekonomi, dan pengalaman kerja.
c. Karakteristik personal pekerja
Karakteristik personal pekerja yang dapat mempengaruhi job insecurity
misalnya: locus of control, self esteem, dan perasaan optimis atau pesimis
pada karyawan.
Jumlah variansi dalam penerimaan job insecurity yang dijelaskan oleh
predictor ini adalah sekitar 20%. Predictor terbaik biasanya adalah faktor-faktor
posisional, seperti pengalaman pengangguran sebelumnya, atau kontrak kerja
sementara (Kinnunen & Naetti dalam Ashford dkk, 1989), faktor-faktor personal
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
11
(Roskies & Louisguerin dalam Ashford dkk, 1989) dan tanda-tanda ancaman,
contohnya rumor mengenai reorganisasi atau perubahan manajemen (Ashford
dkk, 1989).
Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa salah satu faktor yang dapat
menyebabkan job insecurity pada karyawan adalah kondisi lingkungan dan
organisasi.
II.B. PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR
II.B.1. Pengertian Persepsi
Menurut Anoraga dan Widyanti (1993), persepsi adalah proses seseorang
individu memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan masukan-masukan
informasi untuk menciptakan sebuah gambar yang bermakna tentang dunia.
Persepsi tergantung bukan hanya pada sifat-sifat rangsangan fisik, tetapi juga pada
hubungan rangsangan medan sekelilingnya dan kondisi dalam diri individu.
Menurut Chaplin (2001), persepsi adalah proses mengetahui dan
mengenali objek dan kejadian objek dengan bantuan indera kesadaran dan proses-
proses organisasi. Suatu kelompok penginderaan dengan penambahan arti-arti
yang berasal dari pengalaman di masa lalu atau kesadaran implisit mengenai
kebenaran langsung antar keyakinan serta merta mengenai sesuatu.
Menurut Levine & Shefner (1991), persepsi mengacu pada cara yang kita
tempuh untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan informasi yang diterima
dari alat indera kita.
Davidoff (Walgito, 2001) mengatakan bahwa stimulus yang diindera oleh
individu diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan sehingga individu
menyadari, mengerti apa yang diindera itu dan selanjutnya menghasilkan persepsi.
Persepsi juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana individu
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna
kepada lingkungan mereka. Apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari
kenyataan yang objektif. Persepsi penting dalam dunia usaha karena perilaku
orang-orang didasarkan pada persepsi mengenai realitas, bukan mengenai realitas
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
12
itu sendiri. Dunia yang dipersepsikan adalah dunia yang penting dari segi perilaku
(Robbins, 2001).
Berdasarkan beberapa pengertian tentang persepsi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses yang melibatkan aspek
kognitif dan afektif, untuk melakukan pemilihan, pengaturan, dan pemahaman,
serta menginterpretasikan terhadap rangsang inderawi menjadi suatu gambaran
objek tertentu secara utuh. Persepsi berkaitan erat dengan proses inderawi, yakni
melihat dengan menggunakan mata, mencium dengan hidung, merasa dengan
kulit. Dari yang dirasakan oleh inderawi individu tersebut, ia selanjutnya
memberikan makna dari apa yang dirasakan.
II.B.2. Pengertian Organisasi Pembelajar
Istilah organisasi pembelajar sebagian berasal dari gerakan “In Search of
Excellence” dan selanjutnya digunakan oleh Garrat (Dale, 2003). Namun
Geoffrey Holland (Dale, 2003) selanjutnya menyatakan bahwa:
“jika kita mau bertahan hidup secara individual atau sebagai perusahaan, ataupun sebagai bangsa kita harus menciptakan tradisi perusahaan pembelajaran.” Pengertian pertama mengenai organisasi pembelajar datang dari Argyris
(Argyris & Schön, 1977), yang menyatakan bahwa pembelajaran organisasi
adalah suatu proses deteksi dan koreksi kesalahan. Dalam definisi ini, organisasi
dikatakan organisasi pembelajar apabila organisasi tersebut melakukan
pemantauan terhadap perilakunya, melakukan deteksi terhadap kesalahan yang
dilakukan, dan segera membuat koreksinya.
Selanjutnya organisasi pembelajar didefinisikan oleh Pedler, Boydell, dan
Burgoyne (dalam Dale, 2003) sebagai sebuah organisasi yang memfasilitasi
pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransfomasi
diri. Mereka mendefinisikan dan menguji kelayakan gagasan mengenai
perusahaan pembelajar sebagai pendekatan yang tepat untuk strategi bisnis dan
pengembangan sumber daya manusia pada tahun 1990-an.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
13
Menurut Senge (1990), organisasi pembelajar adalah:
“organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together”.
Oleh Farago dan Skyrme (1995), oganisasi pembelajar didefinisikan pula
sebagai:
“those that have in place systems, mechanisms, and process, that are used to continually enchance their capabilities and those who work with it or for it, to achieve sustainable objectives for themselves and the communities in which they participate”.
Dari definisi ini dapat dicatat butir-butir berikut, yaitu bahwa organisasi
pembelajar:
a. Adaptif terhadap lingkungan eksternalnya.
b. Secara terus-menerus menunjang kemampuannya untuk berubah.
c. Mengembangkan baik pembelajaran individual maupun kolektif
d. Menggunakan hasil pembelajarannya untuk mencapai hasil yang lebih
baik.
Garrat (2000) mendefinisikan organisasi pembelajar sebagai suatu
organisasi yang dijalankan dengan proses belajar yang keras dan teratur,
umumnya melalui debat dan review secara terbuka dan kritis pada seluruh level
dari organisasi tersebut yang dilakukan secara terus-menerus sebagai bagian dari
pekerjaan sehari-hari.
Menurut Robbins (2001), organisasi pembelajar adalah suatu organisasi
yang membangun kapasitasnya secara terus-menerus untuk beradaptasi dan
melakukan perubahan.
Osland, Kolb, dan Rubin (2001) mendefinisikan organisasi pembelajar
sebagai suatu keterampilan organisasi dalam menciptakan, mendapatkan,
mentransfer pengetahuan, dan memodifikasi perilakunya untuk menghasilkan
pengetahuan dan pemahaman-pemahaman baru.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
14
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa organisasi
pembelajar merupakan suatu organisasi tempat di mana orang-orangnya secara
terus-menerus memperluas kapasitas menciptakan hasil yang sungguh-sungguh
mereka inginkan, di mana pola berpikir baru dan ekspansif ditumbuhkan, aspirasi
kolektif dibiarkan bebas, dan terus-menerus berupaya belajar bersama.
II.B.3. Pengertian Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar
Pembelajaran yang dilakukan di dalam organisasi merupakan hal yang
penting, mengingat perubahan merupakan hal yang akan terus terjadi. Untuk
menghadapi perubahan itu kita harus berubah, selalu antisipatif dengan
kemungkinan-kemungkinan baru dan kreatif menghadapi perubahan tersebut. Satu
hal konkret yang bisa kita lakukan adalah dengan belajar. Organisasi pembelajar
hanya dapat terjadi apabila individu-individu dalam organisasi tersebut memiliki
kemauan untuk belajar.
Dalam menginterpretasikan organisasi pembelajar tersebut, di dalam diri
karyawan terjadi proses kognitif dan afektif. Karyawan akan menginterpretasikan
apakah perusahaan mendukung atau malah menghambat adanya pembelajaran
dalam dirinya. Jika harapan dan kebutuhan-kebutuhan karyawan terpenuhi maka
persepsinya terhadap organisasi pembelajar akan semakin positif. Sebaliknya jika
karyawan menginterpretasikan bahwa organisasi pembelajar yang diterapkan
perusahaan tidak dapat memenuhi harapan-harapan dan kebutuhannya maka
persepsinya terhadap organisasi pembelajar akan semakin negatif.
Dari konsep persepsi dan konsep organisasi pembelajar dapat disimpulkan
bahwa persepsi terhadap organisasi pembelajar adalah suatu proses mengamati
dan memperhatikan yang melibatkan aspek kognitif dan afektif individu dalam
menginterpretasikan suatu organisasi tempat di mana orang-orangnya secara
terus-menerus memperluas kapasitas menciptakan hasil yang sungguh-sungguh
mereka inginkan, di mana pola berpikir baru dan ekspansif ditumbuhkan, aspirasi
kolektif dibiarkan bebas, dan terus-menerus berupaya belajar bersama.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
15
II.B.4. Karakteristik Organisasi Pembelajar
Karakteristik dari organisasi pembelajaran menurut Schein (1992), yaitu:
a. Budaya pembelajaran. Iklim organisasi yang mengasuh
pembelajaran.
b. Proses-proses yang mendorong interaksi antar batas-batas
(boundaries).
c. Peralatan dan teknik-teknik. Metode-metode yang membantu
pembelajaran individual dan kelompok.
d. Keterampilan dan motivasi untuk belajar dan menyesuaikan diri.
Schein (1992) dalam pembahasannya mengenai organisasi pembelajaran,
mengajukan ciri-ciri budaya pembelajaran, sebagai berikut:
a. Dalam hubungan dengan lingkungannya, organisasilah yang harus
lebih dominan.
b. Manusia hendaknya berperilaku proaktif.
c. Manusia pada dasarnya makhluk yang baik.
d. Manusia pada dasarnya dapat diubah.
e. Dalam hubungan antar manusia, individualisme dan ‘groupism’
sama-sama penting.
f. Dalam hubungan atasan bawahan, kesejawatan / partisipatif dengan
otoritatif / paternalistik sama-sama pentingnya.
g. Orientasi waktu lebih berorientasi pada masa depan yang pendek
h. Untuk penghitungan waktu lebih digunakan waktu satuan waktu
yang medium.
i. Jaringan informasi dan komunikasi bersinambung secara lengkap
j. Orientasi hubungan dan orientasi tugas sama-sama pentingnya.
k. Proses pemikiran sistemik penting.
Megginson dan Pedler (dalam Dale, 2003) memberikan sebuah panduan
mengenai konsep perusahaan pembelajaran, yaitu suatu ide yang dapat bertindak
sebagai “bintang petunjuk”, di mana ia bisa membantu orang berpikir dan
bertindak bersama menurut apa maksud gagasan semacam ini, bagi mereka saat
ini dan di masa yang akan datang. Seperti halnya semua visi, ia bisa membantu
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
16
menciptakan kondisi di mana sebagian ciri-ciri perusahaan pembelajar dapat
dihasilkan.
Kondisi-kondisi tersebut di atas adalah:
a. Strategi pembelajaran;
b. Pembuatan kebijakan partisipatif;
c. Pemberian informasi (yaitu teknologi informasi digunakan untuk
menginformasikan dan memberdayakan orang untuk mengajukan
pertanyaan dan mengambil keputusan berdasarkan data-data yang
tersedia);
d. Akunting formatif (yaitu sistem pengendalian disusun untuk membantu
belajar dari keputusan);
e. Pertukaran internal;
f. Kelenturan penghargaan;
g. Struktur-struktur yang memberikan kemampuan;
h. Pekerja lini depan sebagai penyaring lingkungan;
i. Pembelajaran antarperusahaan;
j. Suasana belajar;
k. Pengembangan diri bagi semua orang.
Selanjutnya oleh Farago dan Skyrme (1995) menyatakan bahwa budaya
pembelajaran mencakup beberapa hal, yaitu:
a. Future, external orientation
b. Free exchange and flow of information
c. Commitment to learning, personal development
d. Valuing people
e. Climate of openness and trust
f. Learning from experience
Dengan melakukan semua ini bukan berarti bahwa suatu organisasi telah
menjadi organisasi pembelajar. Perlu dipastikan bahwa tindakan-tindakan tersebut
tidak dilakukan hanya sekali-sekali saja. Tindakan-tindakan tersebut harus
ditanamkan, sehingga menjadi cara kerja sehari- hari yang rutin dan normal yang
dapat dibiasakan.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
17
Dalam upaya pengembangan organisasi pembelajaran, Farago dan Skyrme
(1995) menyarankan hal-hal sebagai berikut:
a. Dapat mulai dari atas (The Top)
b. Dapat mulai dengan masalah yang chronic
c. Dirikan satuan tugas
d. Mulai dengan organizational diagnosis.
e. Hubungkan dengan proses atau inisiatif yang ada (existing)
f. Tinjau kembali sistem dan proses yang ada
g. Pengembangan produk yang baru.
Menurut Osland, Kolb, dan Rubin (2001), organisasi pembelajar memiliki
karakteristik-karakteristik, sebagai berikut:
a. Pemecahan masalah yang sistematis
b. Eksperimentasi
c. Belajar dari pengalaman masa lalu
d. Belajar dari organisasi lain
Day, Peters, dan Race (1999) mengkarakteristikkan organisasi pembelajar
ke dalam sepuluh karakteristik, yaitu:
a. Mengidentifikasikan kebutuhan belajar anggotanya pada saat ini.
b. Mengidentifikasikan kebutuhan belajar anggotanya pada masa yang
akan datang.
c. Melakukan sesuatu untuk mengatasi adanya kebutuhan belajar saat ini
dan yang akan datang melalui kesempatan belajar yang distrukturkan.
d. Menggunakan pengalaman kerja sehari-hari sebagai dasar untuk
belajar.
e. Mendapatkan dan mengklarifikasikan pengetahuan di dalam organisasi
yang diperoleh dalam suatu wadah yang sistematis.
f. Menyediakan kesempatan agar pengetahuan yang diperoleh tersebut
digunakan, disalurkan, dan dimanfaatkan.
g. Menggunakan beragam pendekatan dalam belajar
h. Melakukan respon (mengevaluasi, memberi umpan balik, mereview
belajar yang telah dilakukan)
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
18
i. Perangkat organisasi pembelajar terfokus pada hasil akhir sebagaimana
juga prosesnya.
j. Perangkat organisasi pembelajar menyukai belajar dan
mempercayainya sebagai kunci untuk masa depan yang kompetitif.
Rosengarten (dalam Yuwono dkk, 2005) menyimpulkan beberapa elemen
yang harus ada dalam organisasi pembelajar, yaitu sebagai berikut:
a. The Learning Process
b. Elemen ini merupakan bagian integral dari hampir semua definisi.
a. Knowledge acquisition or generation
c. Elemen ini menunjuk bahwa proses pembelajaran sebagai
incorporating pengetahuan dari luar organisasi dan creating
pengetahuan dari dalam, paling banyak melalui trial dan error. Elemen
ini dinyatakan oleh Huber (1991) dan Dixon (1994) dengan menyebut
knowledge acquisition, dan Nonaka dan Takeuchi (1995) sebagai
knowledge generation.
a. Individual Learning
d. Elemen ini dimasukkan sebagai prerequisite pembelajaran organisasi
seperti yang dinyatakan oleh Argyris & Schon (1978) dan Pawlowsky
(1992).
a. Teams Learning
e. Elemen ini dimasukkan berdasarkan pertimbangan bahwa beberapa
penulis seperti Senge (1990), Dixon (1994), dan Pawlowsky (1992),
menyebutkan bahwa team learning sebagai faktor penting terjadinya
pembelajaran organisasi.
a. Organizational Knowledge
f. Elemen ini dinyatakan oleh mayoritas penulis dan menjadi suciffient
condition untuk terjadinya organizational actions.
II.B.5. Aspek-Aspek Pengukuran Organisasi Pembelajar
Menurut Senge (1996), terdapat lima disiplin yang menjadi dasar untuk
sebuah organisasi pembelajar, yaitu:
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
19
a. Berpikir Sistem (Systems Thinking)
Berpikir sistem (systems thinking) adalah suatu kerangka kerja
konseptual, yaitu suatu cara dalam menganalisis dan berpikir tentang suatu
kesatuan dari keseluruhan prinsip-prinsip organisasi pembelajar. Tanpa
kemampuan menganalisis dan mengintegrasikan disiplin-disiplin organisasi
pembelajar, tidak mungkin dapat menterjemahkan disiplin-displin itu ke dalam
tindakan (kegiatan) organsasi yang lebih luas.
Disiplin ini membantu kita melihat bagaimana kita mengubah sistem-
sistem secara lebih efektif, dan bertindak lebih selaras dengan proses-proses
yang lebih besar dari alam dan dunia ekonomi.
Berpikir secara sistem adalah kemampuan untuk melihat dalam
gambaran yang besar, keterkaitan pada suatu sistem, sehingga terjadi proses
yang terus-menerus untuk dipelajari.
Berpikir sistem juga merupakan paradigma yang tidak hanya
memberikan penekanan pada suatu pola perubahan (pattern of change),
melainkan pada cara berpikir yang dinamis dan sistemik. Oleh karena itu,
organisasi yang dibangun dengan pola berpikir sistem akan mampu melihat
pola perubahan secara keseluruhan dengan pandangan bahwa segala usaha
manusia saling berkaitan, saling mempengaruhi, dan membentuk sinergi.
b. Keahlian Pribadi (Personal Mastery)
Keahlian pribadi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan
individu untuk berkembang dalam menguasai dan memahami aspek tertentu.
Seseorang yang memiliki keahlian pribadi yang cukup tinggi, akan dapat
secara konsisten mewujudkan apa yang ia inginkan.
Keahlian pribadi merupakan suatu disiplin yang antara lain
menunjukkan kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami
visi pribadi, memfokuskan energi, mengembangkan kesabaran, dan
memandang realitas secara obyektif.
Keahlian pribadi juga merupakan kegiatan belajar untuk meningkatkan
kapasitas pribadi kita untuk menciptakan hasil yang paling kita inginkan dan
menciptakan suatu lingkungan organisasi yang mendorong semua anggotanya
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
20
mengembangkan diri mereka sendiri ke arah sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan
yang mereka pilih.
Setiap anggota tim memilih visi pribadinya dan kemudian secara terus-
menerus mengukur kesenjangan antara kecakapan yang sekarang dimilikinya
dengan yang diinginkannya sesuai dengan visi tersebut, sehingga terus-
menerus melatih dan meningkatkan keahliannya hingga hasil yang
diinginkannya dapat terinternalisasi.
Unsur ini merupakan aspek yang esensial dari organisasi pembelajar.
Manusia yang memiliki keahlian pribadi yang tinggi mempunyai karakteristik
yang positif. Mereka akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap tujuan
yang melatarbelakangi visinya. Individu yang memiliki karakteristik yang
demikian akan melihat visinya sebagai panggilan, bukan hanya sekedar
pemikiran yang cemerlang.
c. Model Mental (Mental Models)
Model mental adalah suatu prinsip yang mendasar dari organisasi
pembelajar, karena dengannya organisasi dan individu yang ada di dalamnya
diperkenankan untuk berpikir dan merefleksikan struktur dan arahan
(perintah) dalam organisasi dan juga dari dunia luar selain organisasinya.
Disebutkan pula oleh Senge bahwa model mental adalah suatu
aktivitas perenungan, terus menerus mengklarifikasikan, dan memperbaiki
gambaran-gambaran internal kita tentang dunia, dan melihat bagaimana hal itu
membentuk tindakan dan keputusan kita. Model mental dapat diartikan
sebagai asumsi yang mendalam, generalisasi ataupun pandangan yang
mempengaruhi bagaimana manusia memahami dunia realita di sekelilingnya
dan bagaimana manusia mengambil tindakan.
Model mental terkait dengan bagaimana seseorang berpikir dengan
mendalam tentang mengapa dan bagaimana dia melakukan tindakan atau
aktivitas dalam berorganisasi. Model mental merupakan suatu pembuatan peta
atau model kerangka kerja dalam setiap individu untuk melihat bagaimana
melakukan pendekatan terhadap masalah yang dihadapinya. Dengan kata lain,
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
21
model mental bisa dikatakan sebagai konsep diri seseorang, yang dengan
konsep diri tersebut dia akan mengambil keputusan terbaiknya.
Manusia sering tidak sadar akan model mental yang dimilikinya
ataupun pengaruhnya terhadap perilaku. Keingintahuan (inquiry) dan advokasi
(advocacy) merupakan salah satu strategi untuk perubahan model mental.
Dengan strategi ini model mental akan muncul ke permukaan dan orang akan
mampu berdiskusi secara produktif melalui keterbukaan.
d. Membangun Visi Bersama (Building Shared Vision)
Visi bersama adalah suatu gambaran umum dari organisasi dan
tindakan (kegiatan) organisasi yang mengikat orang-orang secara bersama-
sama dari keseluruhan identifikasi dan perasaan yang dituju.
Dengan visi bersama organisasi dapat membangun suatu rasa
komitmen dalam suatu kelompok dengan membuat gambaran-gambaran
bersama tentang masa depan yang coba diciptakan, dan prinsip-prinsip serta
praktek-praktek penuntun yang melaluinya kita harapkan untuk bisa mencapai
masa depan. Membangun visi bersama sangat vital dalam organisasi
pembelajar karena visi dapat memberikan fokus dan energi bagi proses
belajar.
Seluruh anggota organisasi harus memahami, saling berbagi, dan
berkontribusi pada visi organisasi, dan berupaya membuatnya menjadi
kenyataan. Visi bersama perlu terus dipelihara dan dikaji ulang oleh karena
kehidupan organisasi sangat dipengaruhi oleh perubahan eksternal organisasi.
Kekuatan visi pribadi diperoleh dari kepedulian yang dalam dari orang
tersebut, sedangkan kekuatan visi bersama diperoleh dari kepedulian bersama.
e. Pembelajaran Tim (Team Learning).
Pembelajaran tim merupakan kekuatan yang vital di dalam
mewujudkan organisasi pembelajaran. Pembelajaran tim pada dasarnya
merupakan proses peningkatan kapasitas tim, sehingga tercipta hasil-hasil
yang merupakan perwujudan dari keinginan dan kerja sama setiap individu
dalam tim. Oleh karena itu pengertian tim tersebut mangandung makna
sekelompok manusia yang bekerja sama sebagai suatu kesatuan yang utuh,
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
22
saling mempercayai, saling menghargai, dan menjunjung tinggi kelebihan
yang ada pada tim, sehingga sesama anggota tim dapat saling mengisi dan
berkontribusi demi terwujudnya hasil kerja tim yang diinginkan.
Pembelajaran tim terfokus pada kemampuan belajar dalam suatu
kelompok. Sesama anggota tim sebagai orang dewasa saling belajar dan
mengungkapkan mengenai suatu masalah, membuat asumsi-asumsi, dan
memperoleh umpan balik dari timnya dan hasil dari diskusi tersebut. Dengan
demikian pembelajaran tim berkaitan dengan keterampilan dan keahlian
individu secara kolektif, yang menghasilkan pemikiran yang lebih berkualitas
dari pemikiran individu. Pembelajaran tim akan berjalan secara optimal
apabila terlaksana diskusi dan dialog yang efektif antara individu yang ada
dalam tim tersebut.
II.C. HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR
DENGAN JOB INSECURITY.
Job insecurity diartikan sebagai tingkat di mana pekerja merasa
pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apa pun
terhadap situasi tersebut (Ashford dkk, 1989). Job insecurity dirasakan tidak
hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga
kehilangan dimensi pekerjaan (Ashford dkk, 1989). Sebagai tambahan, Hartley,
Jacobson, Klandermans, dan Vuuren (1991) menyatakan bahwa job insecurity
dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan
tingkat security yang ingin diperolehnya. Job insecurity juga mempunyai dampak
terhadap menurunnya keinginan pekerja untuk bekerja di suatu perusahaan
tertentu dan yang akhirnya mengarah kepada keinginan untuk berhenti bekerja
(Ashford dkk, 1989).
Sverke, Hellgren, dan Naswall (dalam WHO, 2003), mengatakan bahwa
job insecurity menghasilkan konsekuensi yang negatif terhadap sikap kerja, sikap
organisasi, kesehatan pekerja dan dalam beberapa kasus dapat merusak hubungan
pekerja dengan organisasi.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
23
Seperti yang telah diuraikan dalam landasan teori dikatakan bahwa salah
satu penyebab dari job insecurity adalah kondisi lingkungan dan organisasi,
misalnya komunikasi organisasional dan perubahan organisasional. Perubahan
organisasional yang sering terjadi antara lain dengan dilakukannya downsizing,
restrukturisasi, dan merger dengan frekuensi yang semakin meningkat oleh
perusahaan. Perubahan organisasional ini terjadi dengan harapan untuk
mengurangi pengeluaran perusahaan dan demi meningkatkan efesiensi kerja (Hitt,
Keats, Harback & Nixon, 1994). Bagi para pekerja, perubahan-perubahan seperti
ini dapat mengakibatkan perasaan cemas, stress, dan tidak aman dalam
memikirkan kesinambungan pekerjaan mereka (Schweiger & Ivanchevich, dalam
Ashford, Lee & Bobko, 1989). Marks (dalam Burke, 2000) menyatakan bahwa
salah satu dampak psikologis dari merger dan downsizing adalah job insecurity.
Job insecurity juga dapat memperkuat keinginan seorang karyawan untuk
meninggalkan perusahaan tersebut (turn over). Dampak dari job insecurity ini
jelas sangat mengancam suatu organisasi untuk dapat bertahan hidup.
Senge (1990) dan Denton dan Wisdom (1991) mengatakan bahwa
organisasi yang paling sukses dalam menghadapi perubahan-perubahan yang
terjadi adalah organisasi yang mampu menciptakan tradisi pembelajaran. Susanto
(2004) mengatakan bahwa organisasi pembelajar merupakan organisasi yang siap
menghadapi perubahan, dengan mengelola perubahan itu sendiri (managing
change). Geoffrey Holland (dalam Dale, 2003) selanjutnya menyatakan bahwa
jika kita mau bertahan hidup secara individual atau sebagai perusahaan, ataupun
sebagai bangsa, kita harus menciptakan tradisi perusahaan pembelajaran.
Ruvio dan Rosenblatt (1999) menjelaskan bahwa job insecurity memiliki
dua dimensi yaitu: (1) Perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang,
misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi,
dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam organisasi atau
diberhentikan sementara; dan (2) Perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job
features). Misalnya, perubahan organisasional mungkin menyebabkan seseorang
kesulitan untuk mengalami kemajuan dalam organisasi, mempertahankan gaji atau
pun meningkatkan pendapatan. Hal ini mungkin berpengaruh terhadap posisi
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
24
seseorang dalam perusahaan, kebebasan untuk mengatur pekerjaan, penampilan
kerja, dan signifikansi pekerjaan, serta kesulitan mengakses sumber-sumber yang
sebelumnya siap dipakai.
Senge (1990), penyusun buku “The Fifth Discipline Fieldbook”,
mengutarakan bahwa gagasan organisasi pembelajaran perlu disebarluaskan guna
mencapai kinerja tinggi dan memenangkan persaingan, hubungan dengan
pelanggan lebih baik, menghindari penurunan, memperbaiki kualitas,
memunculkan inovasi, memenuhi kebutuhan pribadi dan spiritual, meningkatkan
kemampuan kita dalam mengelola perubahan, memperluas batasan-batasan,
memperoleh kebebasan, dan menghargai saling ketergantungan.
Selanjutnya Senge (1990) dalam bukunya, “The Fifth Discipline: The Art
and Practice of the Learning Organization”, mendeskripsikan bahwa salah satu
elemen dari organisasi pembelajar adalah keahlian pribadi (personal mastery).
Keahlian pribadi diartikan sebagai kemampuan individu untuk berkembang dalam
menguasai dan memahami aspek tertentu. Seseorang yang memiliki keahlian
pribadi yang cukup tinggi, akan dapat secara konsisten mewujudkan apa yang ia
inginkan. Keahlian pribadi merupakan suatu disiplin yang antara lain
menunjukkan kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi
pribadi, memfokuskan energi, mengembangkan kesabaran, dan memandang
realitas secara obyektif. Keahlian pribadi juga merupakan kegiatan belajar untuk
meningkatkan kapasitas pribadi kita untuk menciptakan hasil yang paling kita
inginkan, dan menciptakan suatu lingkungan organisasi yang mendorong semua
anggotanya mengembangkan diri mereka sendiri ke arah sasaran-sasaran dan
tujuan-tujuan yang mereka pilih. Manusia yang memiliki keahlian pribadi yang
tinggi mempunyai karakteristik yang positif. Mereka akan memiliki komitmen
yang tinggi terhadap tujuan yang melatarbelakangi visinya.
Organisasi pembelajar adalah organisasi yang memberikan kesempatan
dan mendorong setiap individu yang ada dalam organisasi tersebut untuk terus
belajar dan memperluas kapasitas dirinya. Ditambahkan pula oleh Wick, Calhoun,
Leon, dan Stanton (1993), bahwa alasan suatu perusahaan mendirikan organisasi
pembelajar, di antaranya adalah: (1) karena kita menginginkan tampilan kerja
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
25
yang baik (superior performance); (2) untuk meningkatkan kualitas (improve
quality); (3) untuk keuntungan dalam berkompetisi (competitive); (4) sebagai
energi dalam komitmen kerja (an energized, committed workforce); dan (5) untuk
mengelola perubahan (managing change).
Dari penjelasan di atas, perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang,
misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi,
dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam organisasi atau
diberhentikan sementara, dapat direduksi dengan adanya organisasi pembelajar
yang mampu membentuk tampilan kerja yang baik (superior performance) dan
menciptakan suasana kompetisi (competitive). Selanjutnya, perasaan terancam
terhadap tampilan kerja (job features), misalnya, perubahan organisasional, dapat
direduksi dengan adanya organisasi pembelajar yang mampu meningkatkan
kualitas kerja seorang karyawan (superior performance), menciptakan suasana
kompetisi (competitive), membentuk komitmen kerja (an energized, committed
workforce), dan demi mengelola perubahan yang terjadi (managing change).
Berdasarkan penjelasan organisasi pembelajar yang diungkapkan oleh
Wick dkk. (1993) dan Senge (1990) di atas, penerapan organisasi pembelajar
ditujukan agar mampu mencapai kinerja yang tinggi, memenangkan persaingan,
dan sekaligus meningkatkan kemampuan kita dalam mengelola perubahan yang
akan terjadi. Dengan adanya penerapan organisasi pembelajar yang baik, maka
suatu perusahaan akan mampu manghadapi perubahan organisasional yang terjadi,
sehingga dapat mengurangi suatu keadaan di mana para karyawan merasa
terancam dan mereka merasa tidak berdaya untuk mempertahankan
kesinambungan pekerjaannya di perusahaan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan dilaksanakannya organisasi
pembelajar yang baik dalam perusahaan, maka akan mengurangi suatu keadaan di
mana para karyawan merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untuk
mempertahankan kesinambungan pekerjaannya di perusahaan.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
26
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
III.A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini sebagai berikut:
1. Organisasi pembelajar merupakan variabel yang berhubungan dengan job
insecurity. Dengan menerapkan atribut-atribut organisasi pembelajar pada
suatu perusahaan, maka akan berpengaruh pada menurunnya job insecurity
yang dirasakan oleh karyawan.
2. Organisasi pembelajar merupakan suatu organisasi yang penuh dengan
orang-orang yang bekerja dengan antusias, berkembang dan maju, serta
mengembangkan visi dan misi perusahaan. Ada suatu kemudahan,
kenyamanan, dan tidak ada kesulitan dalam melaksanakan berbagai hal,
serta orang-orang akan merasa senang dan bangga dalam setiap aspek
dalam perusahaan.
III.B. SARAN
Berdasarkan pembahasan teori dan kesimpulan maka diajukan beberapa
saran sebagai berikut:
1. Mengingat besarnya pengaruh organisasi pembelajar terhadap job insecurity
yang dirasakan oleh karyawan (berdasarkan hasil penulisan), maka perusahaan
diharapkan memelihara situasi-situasi yang mampu menciptakan suasana
pembelajaran dan antusias para karyawan terhadap perkembangan perusahaan.
2. Pihak manajemen perusahaan diharapkan memberikan pemahaman yang
mendalam tentang perusahaan, misalnya dengan memberikan penjelasan
tentang perkembangan perusahaan ataupun menanamkan arti penting dari visi
dan misi perusahaan.
3. Meningkatkan pengetahuan ataupun keterampilan yang dimiliki lewat
pemberian pelatihan / magang ataupun pendidikan lanjutan, sehingga
perusahaan akan memberikan kesempatan dan mendorong setiap individu
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
27
yang ada dalam organisasi tersebut untuk terus belajar dan memperluas
kapasitas dirinya.
4. Perusahaan diharapkan memberikan reward (upah dan penghargaan / pujian)
yang adil sesuai dengan prestasi karyawan, sehingga tidak terdapat suatu
kesenjangan antara para karyawan, maupun karyawan dengan perusahaan.
5. Melakukan fasilitasi dan pelayanan kepada individu dan kelompok agar
mereka mampu belajar bagaimana menggunakan apa yang sudah mereka
ketahui, bagaimana menyadari apa yang belum diketahui, dan bagaimana
mempelajari apa yang mereka butuhkan untuk diketahui. Hal ini akan
meningkatkan inisiatif dan sifat inovatif pada diri karyawan.
6. Perusahaan juga diharapkan mau memberikan kesempatan bagi karyawannya
untuk menunjukkan potensi yang dimiliki, menjalin hubungan yang baik di
antara sesama karyawan ataupun antara karyawan dengan pimpinannya, serta
untuk melakukan diskusi kelompok secara terbuka dan penuh kepercayaan.
Keadaan ini akan menciptakan suasana perasaan dihargai dalam diri karyawan
dan tentu akan menciptakan suasana organisasi pembelajaran yang baik.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
28
DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, P., Widiyanti, N. (1993). Psikologi dalam perusahaan. Jakarta: Rineka Cipta.
Argyris, C., & Schön, D. (1977) Organizational learning: A theory of action perspective, Reading, Mass: Addison Wesley.
Ashford, S., Lee, C., & Bobko, P. (1989). Content, causes, and consequences of job insecurity: A theory-based measure and substantive test. Academy of Management Journal, 32 (4), 803-829.
Burchell, B.J. (1994). The effects of labour market position, job insecurity and
unemployment on psychological health. In Gallie, D, Marsh, C and Vogler, C (eds) Social Change and the Experience of Unemployment, Oxford: Oxford University Press.
Burchell, J.B. (1998). The unequal disstribution of job insecurity, 1966-1986.
Paper given relates to the CBR Research Programme on Corporate Governance, Contracts, and Incentives. Cambridge, June 1998.
Burke, Ronald. J. (2000). The organization in crisis: downsizing, restructuring,
and privatization. UK: Blackwell Publisher Ltd. Chaplin, J.P., (2001). Kamus lengkap psikologi. (edisi I, cetakan VII). Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada. Dale, M. (2003). Developing management skill (Terjemahan). Jakarta: PT.
Gramedia. Day, A., Peters, J., Race, P. (1995). 500 tips for developing a learning
organization. London: Kogan Page. Denton, D.K., Wisdom, B.L. (1991). The learning organization involves the entire
work force. Quality Progress.
Garrat, B. (2000). The learning organization. London: Herper Collins Publishers.
Gibson., Ivancevich., Donnely. (1998). Organizations : behavior, structure, processes. (9th ed.). Times Mirror Higher Education Group, Inc.
Grantham, C.E., & Nichols, L.D. (1993). The digital workplace: Designing
Groupware Platforms. New York: Van Nostrand Reinhold.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
29
Hartley J, Jacobson D, Klandermans B, Van Vuuren T. (1991). Job insecurity: coping with jobs at risk. London: Sage.
Hitt, M., Keats, B., Harback, H., & Nixon, R. (1994), ‘Rightsizing-building and
maintaining strategic leaderschip: a long-term competitiveness’, Organizational Dynamics, Vol. 23, pp. 18-32.
Hui, C. & Lee, C. (2000). Moderating effects of organization-based self-esteem
on organizational uncertainty: employee response relationships. Journal of Management, 26 (2), 215-232.
Hurlock, E. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan (edisi ke-5). Jakarta: Erlangga. Kinnunen, U., Mauno, S., Natti, J., & Happonen, M. (2000). Organizational
antecendents and outcomes of job insecurity: a longitudinal study in organizations in finland. Journal of Organizational Behaviour, 21 (4), 443.
Levine & Shefner. (1991). Fundamental of sensation & perception. Second
Edition. California: Brooks / Cole Publishing. Munandar, A.S. (2003). Learning organization dan penerapannya dalam dunia
usaha makalah seminar industri kolokium di makassar (Tidak Diterbitkan) Osland, Kolb, & Rubin. (2001). Organizational behaviour. an experimental
approach. 7th edition. New Jersey: Prentice Hall International, Inc. Pedler, M., Boydell, T., & Burgoyne, J. (1991). The learning company: a strategy
for sustainable development. McGraw-Hill. Pfeffer, M. 1996. The art to maintance human resources. New York: Mc.Graw
Hill Company. Prabowo, S. (2001). Mengapa seseorang bertahan dalam organisasi.
psikodimensia kajian ilmiah psikologi, Volume 1, No.2 hal. 111-117. Robbins, S. (2001). Organizational behaviour. 9th edition. New Jersey: Prentice
Hall International, Inc. Ruvio, A., & Rosenblatt, Z. (1999). Job insecurity among israeli schoolteachers
sectoral profiles and organizational implications. Journal of Educational Administration, 37 (2), 139.
Salim, E., Swassono,E.S, Swassono, Y., Abeng, T., Achir, A,C., & Sumampouw,
P.M. (1997). Manajemen dalam era globalisasi. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
30
Schein, E.H. (1992). Organizational culture and leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.
Senge, P.M. (1990). The fifth discipline: the art and practice of the learning
organization. Great Britain: Random House.
Smith, M.R. (1999). Insecurity in the labour market: the case of Canada since the second world war. Canadian Journal of Sociology, 24 (2), 193-224.
Standing, G. (1999). Global Labour Flexibility: Seeking Distributive Justice. London : Palgrave.
Tremblay D-G. (2002). Unemployment and Transformation of the Labour Market: Issues of Security and Insecurity. Paper given at The Social Determinants of Health Across the Life-Span Conference, Toronto, November 2002.
Tremblay D-G., Chevrier, C. (2002). La situation des femmes dans kes universités du Québec; une analyse statistique différencieé selon le genre. Montréal: Direction de la recherche.
Walgito, Bimo. (2001). Pengantar psikologi umum, edisi ketiga. Yogyakarta: Andi.
Wick, Calhoun, Leon, & Lu Stanton. (1993). The learning edge. McGraw-Hill. Yuwono, I., Suhariadi, F., Handoyo, S., Fajrianthi, Muhammad, B.S., Septarini,
B.G. (2005). Psikologi industri dan organisasi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009