Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

18
FAKTOR YANG MEMENGARUHI USIA NIKAH DAN TINGKAT PERCERAIAN DI SINGAPURA Tanjung Ciptosari Skripsi Pembimbing 1 : Nanang Martono, M.Si. Pembimbing 2 : Tri Rini Widyastuti, M.Si. Penguji : Dra. Sotyania Wardhiana, M.Kes. Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed ABSTRAK Artikel ini menjelaskan hubungan variabel agama, jenis kelamin, dan etnis dengan usia nikah dan tingkat perceraian di Singapura. Ketiga variabel tersebut memengaruhi keuputusan seseorang untuk menikah maupun mengakhiri pernikahan melalui perceraian. Oleh karena itu, pernikahan maupun perceraian tidak hanya dipengaruhi oleh keputusan pribadi, namun juga oleh faktor sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode analisis data sekunder yang diambil dari Biro Statistik Singapura. Data dianalisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan analisis kualitatif berupa studi pustaka. Adanya pengaruh faktor lingkungan sosial tersebut menyebabkan perubahan sosial yang ada pada lingkungan sosial memengaruhi perubahan dalam usia nikah dan tingkat perceraian. Salah satunya adalah pergeseran usia nikah yang semakin meningkat di Singapura. Hal tersebut menyebabkan Pemerintah Singapura terus mencari cara untuk meningkatkan minat warganya untuk menikah dengan mengeluarkan beberapa kebijakan, salah satunya adanya pemberian insentif bagi wara yang bersedia menikah muda. Kesimpulannya terdapat hubungan antara agama dan jenis kelamin dengan usia nikah serta etnis dan jenis kelamin dengan tingkat perceraian. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pernikahan dan perceraian merupakan hak individu. Seorang laki- laki maupun perempuan berhak untuk memutuskan kapan menikah maupun mengakhiri pernikahan melalui perceraian. Namun, ada bermacam-macam faktor yang penting untuk menganalisis pernikahan maupun perceraian. Hal ini dikarenakan ada beberapa adat kebiasan yang memengaruhi pernikahan dan perceraian (Abdurahman, 2004). Pernikahan dan perceraian terkait dengan dua hal. Pertama, keputusan seseorang untuk menikah atau bercerai merupakan keputusan pribadi yang terkait dengan prinsip dan kepribadian seseorang. Kedua, keputusan untuk menikah atau bercerai juga terkait dengan faktor

Transcript of Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

Page 1: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

FAKTOR YANG MEMENGARUHI

USIA NIKAH DAN TINGKAT PERCERAIAN DI SINGAPURA

Tanjung Ciptosari

Skripsi

Pembimbing 1 : Nanang Martono, M.Si.

Pembimbing 2 : Tri Rini Widyastuti, M.Si.

Penguji : Dra. Sotyania Wardhiana, M.Kes.

Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed

ABSTRAK

Artikel ini menjelaskan hubungan variabel agama, jenis kelamin, dan etnis dengan usia nikah dan tingkat perceraian di Singapura. Ketiga variabel tersebut memengaruhi keuputusan seseorang untuk menikah maupun mengakhiri pernikahan melalui perceraian. Oleh karena itu, pernikahan maupun perceraian tidak hanya dipengaruhi oleh keputusan pribadi, namun juga oleh faktor sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode analisis data sekunder yang diambil dari Biro Statistik Singapura. Data dianalisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan analisis kualitatif berupa studi pustaka. Adanya pengaruh faktor lingkungan sosial tersebut menyebabkan perubahan sosial yang ada pada lingkungan sosial memengaruhi perubahan dalam usia nikah dan tingkat perceraian. Salah satunya adalah pergeseran usia nikah yang semakin meningkat di Singapura. Hal tersebut menyebabkan Pemerintah Singapura terus mencari cara untuk meningkatkan minat warganya untuk menikah dengan mengeluarkan beberapa kebijakan, salah satunya adanya pemberian insentif bagi wara yang bersedia menikah muda. Kesimpulannya terdapat hubungan antara agama dan jenis kelamin dengan usia nikah serta etnis dan jenis kelamin dengan tingkat perceraian.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pernikahan dan perceraian merupakan hak individu. Seorang laki-

laki maupun perempuan berhak untuk memutuskan kapan menikah

maupun mengakhiri pernikahan melalui perceraian. Namun, ada

bermacam-macam faktor yang penting untuk menganalisis pernikahan

maupun perceraian. Hal ini dikarenakan ada beberapa adat kebiasan

yang memengaruhi pernikahan dan perceraian (Abdurahman, 2004).

Pernikahan dan perceraian terkait dengan dua hal. Pertama, keputusan

seseorang untuk menikah atau bercerai merupakan keputusan pribadi

yang terkait dengan prinsip dan kepribadian seseorang. Kedua,

keputusan untuk menikah atau bercerai juga terkait dengan faktor

Page 2: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

2

lingkungan sosial, yaitu faktor yang berasal dari lingkungan tempat hidup

individu tersebut tinggal. Pada lingkungan tersebut, terdapat norma-

norma sosial yang telah dipelajari individu melalui sosialisasi, sehingga

norma-norma tersebut dapat memengaruhi keputusan individu untuk

menikah maupun bercerai.

Perilaku manusia memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor di luar

individu, yakni lingkungan sosial. Oleh karena itu, perubahan sosial turut

serta berpengaruh pada perilaku individu, khususnya dalam hal

pernikahan dan perceraian. Beberapa hal yang termasuk dalam

lingkungan sosial yaitu etnis dan agama, sedangkan faktor yang berasal

dari individu itu sendiri salah satunya adalah jenis kelamin.

Agama seringkali dianggap memengaruhi usia nikah dikarenakan

adanya doktrin-doktrin yang dijadikan pedoman oleh umatnya. Hukum

Islam misalnya, mengijinkan seorang gadis dinikahkan tanpa pandang

umur, tetapi konsumasinya (hubungan kelamin yang pertama kali

dilakukan setelah menikah) harus menunggu sampai ia mendapat haid

pertama. Gereja Kristen menuntut agar seorang gadis yang mencapai usia

12 tahun dan seorang jejaka 14 tahun dapat menikah secara resmi (Lucas,

1982).

Sama halnya dengan masalah usia nikah, doktrin agama juga

mengatur masalah perceraian. Keputusan untuk bercerai jauh lebih sulit

dijalankan daripada keputusan untuk menikah. Hal ini dikarenakan,

adanya “label negatif” mengenai perceraian dari masyarakat. Label

”janda” atau ”duda” seringkali bernilai negatif di mata masyarakat

daripada label ”tuan” ataupun ”nyonya”. Meskipun demikian, hukum

agama menjadi salah satu pertimbangan yang penting dalam

memutuskan untuk bercerai. Di dalam ajaran Katolik, gereja tidak

mengakui perceraian, namun di kalangan ini lazim dikenal istilah

pembatalan pernikahan. Bagi kaum Hindu, perceraian diijinkan di seluruh

India dengan dikeluarkannya Akte Perkawinan Hindu tahun 1955.

Walaupun pada tahun 1966, Kapadia menulis bahwa ”prinsip perceraian

adalah asing bagi pola sosial yang telah dianut kaum Hindu selama

berabad-abad” (Lucas, 1982).

Faktor sosial lain yang dapat memengaruhi pernikahan dan

perceraian adalah faktor etnis. Di beberapa kelompok etnis tertentu,

terdapat sanksi sosial bagi pasangan yang bercerai. Hal ini mungkin tidak

berlaku di kelompok etnis lain. Di Amerika misalnya, perceraian

merupakan hal yang lazim (Weeks, 1992). Di lain pihak, masyarakat

Irlandia, Portugal, Spanyol, dan Itali tidak memperkenankan adanya

perceraian, meskipun orang-orang Protestan di Portugal dan Spanyol

dapat mengadakan perceraian (Goode, 1985).

Jenis kelamin juga memiliki korelasi dengan usia nikah pertama.

Laki-laki dianggap masyarakat memulai pernikahan di usia yang lebih tua

dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki

tanggung jawab untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya. Berbeda

Page 3: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

3

dengan laki-laki, perempuan seringkali menikah di usia yang lebih dini

dikarenakan perempuan memiliki batas usia reproduksi. Selain itu, label

perawan tua dari masyarakat jauh lebih “kejam” daripada label bujang

lapuk.

Agama, etnis, dan jenis kelamin menjadi faktor sosial yang

memengaruhi usia nikah dan perceraian. Doktrin agama maupun norma-

norma sosial dalam suatu etnis merupakan faktor sosial yang turut

menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan usia nikah dan atau

mengakhiri perceraian. Dengan demikian, ketika terjadi perubahan sosial

dalam faktor-faktor tersebut, maka usia nikah dan tingkat perceraian

dapat pula berubah.

Melonjaknya usia nikah merupakan suatu gejala perubahan sosial

untuk wanita di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara (Lucas,

1992). Salah satu negara yang mengalami hal tersebut adalah Singapura.

Keengganan wanita Singapura untuk menikah menyebabkan Pemerintah

Singapura tengah mencari cara untuk meningkatkan minat warganya

untuk menikah di usia yang lebih dini.

Ada beberapa hal yang menarik dari penelitian mengenai faktor yang

memengaruhi usia nikah dan tingkat perceraian di Singapura:

1. Ketersediaan data dari Biro Statistik Singapura mengenai hubungan

antara etnis, agama dan jenis kelamin dengan usia nikah dan tingkat

perceraian.

2. Pemerintah Singapura memberikan insentif bagi para mahasiswa

yang bersedia menikah muda dan memiliki anak (Sereviratne, 2008).

3. Singapura mengalami boom population pascalepas dari Malaysia pada

1965, namun terus mengalami penurunan angka kelahiran seiring

dengan meningkatnya kemajuan bangsa itu.

4. Singapura merupakan negara yang terdiri atas beberapa etnis dan

agama. Etnis di Singapura terdiri dari etnis China, India, dan Melayu

dengan jumlah terbesar dari etnis China. Meskipun China dan India

dianggap sebagai etnis yang paling banyak memiliki anak karena

kedua negara itu memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia, namun

kedua etnis tersebut di Singapura menunjukkan kecenderungan

sebaliknya.

Pemerintah Singapura menganjurkan agar para warganya menikah di

usia yang lebih dini. Namun berkaitan dengan kesehatan reproduksi

perempuan, pernikahan di usia muda seringkali dianggap

mengandung resiko kesehatan bagi perempuan seperti kematian ibu

karena melahirkan (Anonim 1, tanpa tahun).

2. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah hubungan agama dengan usia nikah di Singapura?

b. Bagaimanakah hubungan jenis kelamin dengan usia nikah di

Singapura?

Page 4: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

4

c. Bagaimanakah hubungan etnis dengan tingkat perceraian di

Singapura?

d. Bagaimanakah hubungan agama dengan tingkat perceraian di

Singapura?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. menjelaskan hubungan agama dengan usia nikah di Singapura.

b. menjelaskan hubungan jenis kelamin dengan usia nikah di Singapura.

c. menjelaskan hubungan etnis dengan tingkat perceraian di Singapura.

d. menjelaskan hubungan agama dengan tingkat perceraian di

Singapura.

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dalam

merumuskan kebijakan khususnya di bidang kependudukan bagi

Pemerintah Singapura. Bagi Pemerintah Indonesia, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan masukan di bidang kependudukan

khususnya mengenai pencatatan kependudukan.

B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Teori Kapilaritas (Arsene Dumont)

Menurut teori ini, setiap orang memiliki kecenderungan untuk naik

ke tingkat yang lebih tinggi dalam lingkungan sosialnya. Ketika proses

naik ke atas ini, ia makin lama makin kurang suka memproduksi anak,

dan makin lepas dari lingkungan natural dan dari keluarganya, dan

selanjutnya juga dari kesejahteraan bangsanya. Selain itu, Dumont

mengatakan bahwa gerakan dari kelas ke kelas tersebut merupakan

akibat langsung dari tingkat kelahiran: perkembangan jumlah dalam

suatu bangsa berbanding terbalik dengan perkembangan perorangannya

(Prawiro, 1981).

Salah satu negara yang tengah mengalami hal tersebut adalah

Singapura. Saat ini Singapura bukanlah negara miskin, tapi telah

berkembang pesat. Singapura giat mendorong negaranya untuk lebih

maju dalam perekonomian (Wong, 1999).

“Singapore is remarkable success story of a country. It has recorded enormous economic gowth that it has been dubbed one of Asia’s strongest economies. In 1959 its per capita GNP was US$ 443, and in 1999 it reached US$ 32.810. Modern economic growth, as emphasised by Nobel Kuznets, is always accompanied by structural change”.

Pertumbuhan ekonomi modern tersebut, seperti yang dinyatakan

oleh Kuznets, diikuti oleh perubahan struktural. Meningkatnya

perekonomian Singapura menyebabkan tingginya usia nikah sehingga

angka kelahiran rendah. Pascalepas dari Malaysia tahun 1965, Singapura

mengalami krisis ekonomi dan sosial. Pemerintah Singapura kemudian

Page 5: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

5

mendirikan Program Keluarga Berencana dan berusaha menggerakkan

bangsanya menuju roda perekonomian yang jauh lebih baik (Anonim 2,

tanpa tahun). Kebijakan ini berhasil menurunkan angka kelahiran dan

sedikit demi sedikit memperbaiki roda perekonomian Singapura. Namun

kesempatan ekonomi yang semakin luas membuat penduduknya lebih

memilih untuk mengembangkan karier mereka dengan menunda

pernikahan. Selain itu, kesempatan karier yang semakin luas ini juga

menyebabkan keputusan untuk bercerai semakin mudah. Hal ini

dikarenakan peningkatan karier menyebabkan tingkat ketergantungan

antarpasangan makin menurun. Oleh karena itu, teori kapilaritas ini

dapat berlaku di Singapura. Pernyataan Dumont bahwa perkembangan

jumlah suatu bangsa berbanding terbalik dengan perkembangan

perorangannya berlaku di Singapura.

2. Faktor yang Memengaruhi Usia Nikah

Menurut Biro Statistik Singapura pernikahan adalah ikatan sah

antara dua orang berlainan jenis yang telah dicatatkan pada instansi

pemerintah dan merupakan pernikahan pertama. Pada sebagian

masyarakat perempuan melakukan hubungan seks pada masa remaja

karena mereka diharapkan menikah dan melahirkan anak pada usia

muda. Pada masyarakat lainnya, pernikahan biasanya dilangsungkan

pada usia sedikit tua, tetapi seks pranikah sudah biasa. Sebagian

masyarakat dipastikan sedang berada dalam masa transisi dari norma

sosial yang satu ke yang lain (Anonim 1, tanpa tahun). Menurut

Wongkaren (2000) pendidikan menjadi salah satu faktor yang

memengaruhi usia nikah. Adanya program wajib belajar dari pemerintah

misalnya, membuat para pelajar menunda usia nikah karena bersekolah.

Hasil penelitian Dommaraju (tanpa tahun) menunjukkan bahwa

kelompok perempuan yang menikah muda merupakan yang paling

sedikit mendapat pendidikan dibanding dengan kelompok lain.

Hasil penelitian Davis dan Blake (dalam Singarimbun, 1982)

menunjukkan bahwa pada masyarakat berkembang pada umumnya

memiliki suatu tingkat reproduksi yang tinggi dari masyarakat industri.

Akibat terancamnya masyarakat-masyarakat pra-industri oleh mortalitas

yang tinggi, Sebaliknya, masyarakat industri memperlihatkan nilai

fertilitas yang rendah untuk variabel-variabel yang menyangkut tingkat-

tingkat permulaan proses produksi, khususnya usia kawin, proporsi yang

berstatus kawin dan penggunaan kontrasepsi.

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Perceraian

Perceraian adalah pernyataan wakil masyarakat bahwa perkawinan

itu telah dibatalkan. Perceraian juga diartikan sebagai perubahan dari

status kawin menjadi status cerai. Perkawinan yang sah dapat berubah

atau rusak karena bercerai, ditinggal mati salah satu pasangan atau

ditangguhkan. (Edeng, 2004). Perceraian yang dimaksudkan dalam

penelitian ini berakhirnya masa perkawinan yang telah diputuskan oleh

Page 6: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

6

pengadilan. Perceraian di sini hanya melihat perceraian yang dicatatkan

di biro statistik.

Menurut Wongkaren (2000), perceraian disebabkan oleh beberapa

faktor. Namun, penyebab perceraian lebih beragam dan bervariasi.

Penyebab tersebut dapat berupa masalah keuangan, anak,

ketidakcocokan latar belakang dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan

Olson dan Defrain (dalam Wongkaren, 2000) menyebutkan ada empat

penyebab umum perceraian: penyelewengan, hilangnya perasaan cinta,

masalah emosional dan masalah keuangan.

Becker (dalam Wongkaren, 2000) menyebutkan peningkatan

pendidikan, independensi dan pendapatan perempuan, serta perubahan

institusi masyarakat berkaitan dengan meningkatnya perceraian. Dahulu,

perempuan sangat terikat pada laki-laki dalam pernikahan. Peningkatan

partisipasi angkatan kerja perempuan membuat perempuan tidak lagi

selalu harus tergantung pada suami. Kebijakan pemerintah tentang

perceraian dapat berpengaruh pada tingkat perceraian di suatu negara.

Hasil penelitian Ong (2003) menyebutkan bahwa di Singapura,

permohonan perceraian dalam tiga tahun pertama tidak diizinkan,

kecuali adanya izin dari pengadilan atas dasar bahwa pernikahan

tersebut menimbulkan penderitaan pada pemohon atau terjadinya suatu

kejahatan. Adanya kebijakan tersebut merupakan salah satu cara untuk

menekan tingginya angka perceraian.

4. Hubungan Agama dengan Usia Nikah

Agama dalam penelitian ini adalah suatu kepercayaan yang dianut

umat beragama yang mana agama tersebut diakui oleh pemerintah,

dalam hal ini pemerintah Singapura. Selain agama, usia nikah juga

memiliki beberapa pengertian. Ahli demografi seringkali membedakan

usia nikah dengan usia konsumasi perkawinan. Usia nikah merupakan

usia saat seseorang berumah tangga, sedangkan usia konsumasi

perkawinan merupakan usia saat pertama kali melakukan hubungan

seksual setelah menikah (Lucas, 1982). Usia nikah yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah usia saat seseorang menikah untuk pertama kali dan

tidak melihat usia konsumasi seseorang.

Doktrin agama seringkali dianggap memengaruhi usia nikah

penganutnya. Nilai-nilai yang ada dalam ajaran agama tersebut

merupakan pedoman hidup bagi penganutnya. Salah satu contoh menurut

Goode (1985) adalah adanya fenomena kawin pada anak-anak di

kalangan Hindu. Dalam agama Hindu bahwa semua gadis sudah harus

menikah sebelum pubertas, dan hal itu memang dijalankan. Tahun 1891

umur rata-rata wanita pada waktu menikah ialah 12,5 tahun. Angka ini

tidak berubah-rubah sampai sekitar 1930. Namun, hasil penelitian Jones

(tanpa tahun) menunjukkan bahwa tingginya jumlah perempuan yang

masih melajang tidak terbatas pada satu kelompok agama atau etnis.

Terbukti, tren tidak terjadi dalam seluruh wilayah yang sama. Bahkan di

Page 7: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

7

Filipina dan Thailand, proporsi perempuan yang belum menikah di usia

30 dan 40-an pada kedua negara tersebut relatif tinggi.

5. Hubungan Jenis Kelamin dengan Usia Nikah

Jenis kelamin dibedakan menjadi dua hal yaitu secara biologis dan

secara sosial yang sering disebut dengan gender (Weeks, 1990). Secara

biologis, jenis kelamin merupakan suatu kondisi untuk melihat laki-laki

dan perempuan dengan melihat ciri fisik yang melekat. Secara sosial, jenis

kelamin atau konstruksi sosialnya disebut gender, merupakan sifat yang

dilekatkan oleh masyarakat pada laki-laki dan perempuan. Pada

penelitian ini, jenis kelamin yang dimaksudkan adalah perbedaan secara

fisik (sex) antara laki-laki dan perempuan yang dapat dilihat, namun juga

melihat pandangan masyarakat terhadap kedua jenis kelamin tersebut.

Laki-laki diposisikan sebagai kepala rumah tangga saat ia menikah.

Artinya, ia memiliki beban sosial untuk menafkahi keluarga. Alasan itulah

yang seringkali menyebabkan laki-laki lebih lama mempertimbangkan

untuk menikah, sehingga usia nikahnya lebih tua daripada usia nikah

perempuan. Goode (1985) menyebutkan bahwa negara-negara di Afrika

Utara dan timur Tengah, pria menikah pada usia yang relatif lebih tua

daripada wanita di negara yang sama, bila dibandingkan dengan negara-

negara Eropa Barat.

6. Hubungan Etnis dengan Tingkat Perceraian

Etnis merupakan suatu kelompok atau kategori sosial yang

perbedaannya terletak pada kriteria kebudayaan, bukan biologis

(Sanderson, 1993). Pada penelitian ini, yang dimaksudkan dengan etnis

adalah sekelompok orang yang berbeda secara budaya.

Tingkat perceraian diartikan oleh Soekanto (1983) sebagai rasio

perceraian yang terjadi dengan rata-rata penduduk selama periode

tertentu. Tingkat perceraian diartikan secara demografi sebagai suatu

angka perbandingan yang didalamnya terkait perceraian yang terjadi

dalam jangka waktu tertentu (Prawiro, 1981). Pada penelitian ini, yang

dimaksud dengan tingkat perceraian adalah rasio mengenai perceraian

yang terjadi pada rata-rata penduduk dalam satuan tahun.

Setiap etnis memiliki norma-norma sosial masing-masing. Salah satu

norma tersebut berkaitan dengan masalah perceraian. Perceraian di

suatu etnis tertentu dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar, bahkan

merupakan suatu aib. Namun, di etnis yang lain, perceraian dianggap

sebagai sesuatu yang wajar. Sebagai contoh di kalangan masyarakat

timur, perceraian merupakan suatu hal yang memalukan karena kalangan

ini masih menganggap bahwa pernikahan merupakan suatu lembaga

yang sakral, sehingga bila terjadi perceraian hal itu merupakan suatu

malapetaka. Selain itu, dalam kelompok etnis tertentu, penyebab

perceraian juga telah “ditetapkan” dalam norma masyarakat. Sebagai

contoh di Cina kuno (Goode, 1985) kekurangajaran seorang wanita

Page 8: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

8

terhadap sanak suaminya yang lebih tua dipandang sebagai alasan yang

cukup kuat untuk bercerai.

7. Hubungan Agama dengan Tingkat perceraian

Perceraian merupakan hal yang tidak diharapkan oleh pasangan

suami isteri. Namun, suatu pernikahan memiliki resiko untuk bercerai

bila ada hal yang mendukungnya. Hasil penelitian Goode (1985)

menunjukkan adanya pengaruh ajaran agama terhadap keputusan untuk

bercerai. Penelitian ini tidak menunjukan sepatuh mana seseorang

terhadap ajaran agamanya, tetapi hanya mengatakan status perkawinan

atau pengalaman perceraian terhadap hubungan gereja yang formal. Hasil

penelitian tersebut menyatakan bahwa umumnya perkawinan

antarpasangan yang berasal dari satu gereja sedikit kemungkinannya

untuk bercerai. Jika kedua-duanya sama agamanya, sedikit atau tidak ada

perbedaan terlihat antarangka-angka orang Yahudi, Protestan atau

Katolik, menurut tiga penelitian yang ada.

C. METODE PENELITIAN

1. Objek Penelitian

Data sekunder berupa data statistik dari Biro Statistik Singapura pada

tahun 2005 hingga tahun 2007.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dengan

metode analisis data sekunder (ADS), sedangkan pendekatan kualitatif

dengan menggunakan studi pustaka. ADS merupakan metode penelitian

kuantitatif dengan memanfaatkan ketersediaan data pada beberapa

dokumen statistik seperti yang dikeluarkan BPS atau masih berupa data

mentah yang belum diolah sama sekali (Prasetyo dan Jannah, 2005).

3. Metode Pengumpulan Data

Dokumentasi berupa data statistik Singapura mengenai grooms by age group, bride by age group, divorces by ethnic group of couple, female divorce by age group, dan male divorces by age group.

4. Metode Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan

analisis kualitatif. Tabel distribusi frekuensi menurut Gulo (1983)

merupakan suatu susunan data di mana semua data dari objek

pengamatan termasuk dalam salah satu kategori atau kelompok. Tren

dianalisis dengan melihat tabel distribusi frekuensi untuk mengetahui

hubungan antar dua variabel.

D. PEMBAHASAN

1. Hubungan Agama dengan Usia Nikah

Ada beberapa agama yang diakui di Singapura, yaitu Islam, Kristen,

Khatolik, Budha, Tao, Konghucu, Hindu dan beberapa agama minoritas

Page 9: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

9

seperti Zoroaster, Yahudi, Sikh, serta Jains. Setiap agama tersebut

memiliki norma dan nilai yang berbeda dalam memandang pernikahan.

Salah satunya mengenai usia nikah. Hubungan antara agama dengan usia

nikah dapat dilihat pada grafik berikut:

Gambar 1. Hubungan agama dengan usia nikah di Singapura tahun 2005

Gambar 2. Hubungan agama dengan usia nikah di Singapura tahun 2006

Gambar 3. Hubungan agama dengan usia nikah di Singapura tahun 2007

Ketiga grafik tersebut menunjukkan doktrin agama berhubungan

dengan usia nikah pemeluknya. Penduduk yang menikah di bawah usia

24 tahun lebih banyak Muslim daripada non-Muslim. Proporsi usia nikah

Muslim di bawah 24 tahun dari tahun 2005-2007 cukup besar (30 persen

untuk tahun 2005, 29 persen untuk tahun 2006, dan 27 persen untuk

tahun 2007), sedangkan proporsi usia nikah non-Muslim di bawah 24

tahun hanya separuh dari proporsi usia nikah Muslim di usia yang sama

(15 persen untuk tahun 2005, 14 persen untuk tahun 2006, dan 13

persen untuk tahun 2007). Mayoritas penduduk Muslim dan non-Muslim

menikah di usia 25-29 tahun, meskipun demikian jumlah Muslim yang

menikah pada usia tersebut lebih sedikit daripada jumlah penduduk non-

Muslim. Secara umum, tren usia nikah baik Muslim maupun non-Muslim

mengalami kenaikan.

400

451

2.018

5.369

2.590 1.183

8.993

672

3.846

446

2.119

290

1.121

0% 20% 40% 60% 80% 100%

muslim

non muslim

<20 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 >50

354

407

1.873

5.226

2.668

16.154

1.264

9.542

637

3.973

507

1.931

276

1.165

311

1.124

0% 20% 40% 60% 80% 100%

muslim

non muslim

<20 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 >50

323

436

1.888

4.802

2.916

16.080

1.251

9.827

660

4.205

529

2.061

340

1.137

319

1.158

0% 20% 40% 60% 80% 100%

muslim

non muslim

<20 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 >50

Page 10: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

10

Banyaknya jumlah penduduk Muslim yang menikah di bawah usia

24 tahun daripada penduduk non-Muslim menunjukkan bahwa doktrin

agama Islam berpengaruh terhadap usia nikah pemeluknya. Doktrin

agama Islam menekankan umatnya untuk segera menikah begitu

memasuki usia baligh. Salah satu doktrin tersebut adalah adanya hadits

yang berisi anjuran untuk segera menikah. Jones (tanpa tahun) juga

menyatakan bahwa banyak artikel yang menekankan Islam mewajibkan

umatnya untuk menikah dan memiliki keluarga besar.

Tren usia nikah yang semakin tinggi baik bagi penduduk Muslim

maupun non–Muslim menunjukkan bahwa selain doktrin agama, ada

faktor lain yang berpengaruh. Hasil penelitian Jones (tanpa tahun)

menunjukkan bahwa tingginya usia nikah tidak terbatas pada salah satu

kelompok agama saja. Salah satu faktor tersebut adalah struktur sosial

yang turut membentuk perilaku masyarakat sekitarnya. Struktur

penduduk di Singapura, kebanyakan dari mereka adalah imigran dari

China dan India. Kedua etnis tersebut datang ke Singapura setelah

Singapura melepaskan diri dari Malaysia. Sejarah menunjukkan bahwa

Singapura pernah mengalami baby boom pada tahun 1960an. Namun,

kondisi Singapura yang belum stabil pascamerdeka, membuat

Pemerintah Singapura khawatir dengan jumlah penduduk yang besar.

Pemerintah Singapura melihat pertumbuhan penduduk yang cepat

sebagai sebuah ancaman bagi kehidupan dan stabilitas politik. Hal ini

dikarenakan dengan banyaknya anak-anak dan kaum muda, maka

diperlukan kemampuan ekonomi yang kuat untuk menyediakan pelayan

kesehatan, pendidikan, dan penyediaan lapangan kerja. Kondisi ekonomi

Singapura belum memungkinkan karena baru saja lepas dari Malaysia

dan mengalami krisis ekonomi, politik, dan sosial. Oleh karena itu,

Pemerintah Singapura kemudian memperkenalkan Program Keluarga

Berencana pada tahun 1965 (Anonim 2, tanpa tahun).

Kebijakan Pemerintah Singapura pada Program Keluarga Berencana

menekan warganya untuk memiliki keluarga kecil jika ingin mendapat

fasilitas kesehatan dan pengurangan biaya hidup. Hal ini membuat warga

Singapura mengharuskan diri mereka untuk memiliki keluarga kecil

sesuai dengan program tersebut. Apalagi selain program ini, pemerintah

juga berusaha menekan angka kelahiran dengan cara sterilisasi dan

aborsi sukarela yang telah disahkan Pemerintah Singapura pada 1970

(Anonim 2, tanpa tahun). Program tersebut menunjukkan bahwa di

Singapura terdapat ”tuntutan” sosial untuk memiliki keluarga kecil.

Selain itu, peningkatan usia nikah juga merupakan konsekuensi

tersendiri dari pembangunan ekonomi di Singapura. Krisis sosial,

ekonomi dan politik yang dialami Singapura di awal ”kelahirannya”

membuat Pemerintah Singapura ”mengorbankan” peningkatan jumlah

penduduk dengan berbagai program. Hal ini justru dianggap oleh warga

Singapura sebagai nilai yang dianut selain doktrin ajaran agama mereka.

Oleh karena itulah, teori Dumont (dalam Prawiro, 1981) mengenai

Page 11: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

11

perkembangan jumlah suatu bangsa berbanding terbalik dengan

perkembangan perorangannya berlaku di Singapura. Peningkatan

ekonomi yang diprioritaskan pemerintah telah membuat warga

Singapura lebih memilih meningkatkan karier mereka daripada menikah.

2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Usia Nikah

Di Singapura, laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan

yang sama di bidang pendidikan maupun karier. Oleh sebab itu, kedua

jenis kelamin tersebut sama-sama memiliki keputusan yang sama untuk

menikah. Hubungan antara jenis kelamin dan usia nikah di Singapura

dapat dilihat pada grafik berikut:

Gambar 4. Hubungan jenis kelamin dengan usia nikah tahun 2005

Gambar 5. Hubungan jenis kelamin dengan usia nikah tahun 2006

Gambar 6. Hubungan jenis kelamin dengan usia nikah tahun 2007

Ketiga grafik tersebut menunjukkan penduduk yang menikah pada

usia kurang dari 20 tahun kebanyakan adalah perempuan. Semakin tinggi

usia nikah, jumlah laki-laki yang menikah semakin banyak, sebaliknya

jumlah perempuan yang menikah semakin sedikit.

731

120

5.331

2.056

9.634

7.936

4.216

5.960

1.645

2.873

770

1.795

398

1.108

267

1.144

0% 20% 40% 60% 80% 100%

perempuan

laki-laki

<20 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 >50

636

125

5.114

1.985

10.317

8.505

4.479

6.327

1.681

2.929

825

1.613

277

1.158

0% 20% 40% 60% 80% 100%

perempuan

laki-laki

<20 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 >50

643

116

4.791

1.899

10.528

8.468

4.680

6.398

1.825

3.040

819

1.771

399

1.078

281

1.196

0% 20% 40% 60% 80% 100%

perempuan

laki-laki

<20 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 >50

Page 12: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

12

Secara biologis, usia 20an merupakan usia emas reproduksi

perempuan. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang tidak memiliki batas

usia reproduksi. Secara sosial, label perawan tua di kalangan masyarakat

mengandung arti yang negatif dibandingkan label bujang lapuk. Laki-laki

dianggap sebagai pencari nafkah utama yang harus menafkahi isteri dan

anak-anaknya. Hal ini membuat laki-laki harus menyiapkan materi

terlebih dahulu sebelum menikahi seorang perempuan.

Mayoritas laki-laki dan perempuan di Singapura menikah di usia 25

tahun ke atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa program insentif dari

pemerintah untuk mendorong mahasiswanya menikah di usia muda

kurang berhasil. Pada usia 25 ke atas biasanya mahasiswa telah

menyelesaikan kuliahnya. Oleh karena itu, kebanyakan penduduk

Singapura menikah setelah menyelesaikan pendidikan di bangku

perguruan tinggi.

Grafik di atas juga menunjukkan bahwa penduduk Singapura yang

menikah di usia 30 tahun ke atas lebih banyak laki-laki daripada

perempuan. Ada beberapa faktor untuk menjelaskan hal tersebut.

Pertama adalah pendidikan. Hasil penelitian Dommaraju (tanpa tahun)

menyatakan bahwa kelompok perempuan yang menikah muda

merupakan kelompok yang paling sedikit mendapat pendidikan

dibanding dengan kelompok lain. Artinya, kelompok perempuan yang

masih melajang atau yang menikah di usia yang lebih tinggi merupakan

kelompok yang berpendidikan lebih tinggi.

Terdapat dikotomi pola perkawinan di Singapura antara laki-laki

dan perempuan yang belum menikah di usia 30 hingga 40an, yaitu laki-

laki dengan pendidikan rendah dan perempuan dengan pendidikan tinggi.

Laki-laki berpendidikan tinggi cenderung lebih suka menikahi

perempuan yang lebih muda darinya dengan pendidikan di bawah

pendidikannya, tetapi perempuan berpendidikan tidak ingin menikahi

laki-laki yang pendidikannya di bawah dirinya, dan laki-laki dengan

pendidikan rendah juga grogi bila menikahi perempuan dengan

pendidikan yang lebih baik dari dirinya. Oleh karena itu, pada situasi di

mana tingkat pendidikan mengalami kenaikan dengan cepat, ada

kecenderungan perempuan berpendidikan tinggi dan laki-laki

berpendidikan rendah mengalami kesulitan untuk menemukan jodoh

sesuai keinginan mereka karena kekurangan secara jumlah yang tersedia

dan kecocokan (Jones, tanpa tahun). Hal tersebut terjadi karena adanya

budaya patriarkhi yang terbangun dalam masyarakat. Laki-laki Singapura

beranggapan bahwa mereka merupakan makhluk yang akan menjadi

pemimpin untuk rumah tangganya kelak, sehingga standar pasangan

hidupnya harus berada di bawahnya. Hasil penelitian Jones (tanpa tahun:

16) menyebutkan bahwa laki-laki Singapura berpandangan pendidikan

tinggi tidak membuat seorang perempuan menjadi isteri yang baik.

Perempuan dengan pendidikan tinggi juga ”terikat” dengan budaya

patriarkhi. Standar pasangan hidup yang pantas bagi mereka adalah laki-

Page 13: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

13

laki dengan pendidikan dan usia yang lebih dari dirinya. Oleh karena itu,

menikah dengan laki-laki yang lebih muda dan berpendidikan lebih

rendah dapat ”menurunkan” martabat diri.

3. Hubungan Etnis dengan Tingkat Perceraian di Singapura

Ada tiga etnis yang paling dominan di Singapura yaitu China, Melayu

dan India. Ketiga etnis tersebut memiliki norma masing-masing. Norma-

norma tersebut juga ada yang berkaitan dengan perilaku perceraian

kelompok etnis tersebut. Beberapa grafik berikut menunjukkan

hubungan antara etnis dan tingkat perceraian di Singapura:

Gambar 7. Hubungan etnis dengan tingkat perceraian tahun 2005

Gambar 8. Hubungan etnis dengan tingkat perceraian tahun 2006

Gambar 9. Hubungan etnis dengan tingkat perceraian tahun 2007

Ketiga grafik di atas menunjukkan bahwa etnis Melayu merupakan

etnis yang paling banyak bercerai. Etnis China menempati posisi terbesar

kedua yang paling banyak bercerai, sedangkan etnis India merupakan

22%

37%

2%

9%

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40%

China

Melayu

India

Etnis lain

22%

37%

3%

7%

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40%

China

Melayu

India

Etnis lain

23%

32%

3%

6%

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35%

China

Melayu

India

Etnis lain

Page 14: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

14

etnis yang paling sedikit bercerai. Meskipun demikian, tren yang terjadi

di masing-masing etnis berlainan. Tren pada etnis Melayu cenderung

turun, sedangkan tren pada etnis China dan India cenderung mengalami

kenaikan.

Penyebab tingginya perceraian di kalangan etnis Melayu lebih

disebabkan aspek sosial dan struktur keluarga etnis tersebut. Hasil

penelitian Jones (1981) menyebutkan bahwa ada beberapa aspek sosial

dan struktur keluarga pada etnis Melayu yang memudahkan terjadinya

perceraian, yaitu: 1) ketidakmatangan pasangan saat menikah; 2)

pandangan bahwa perceraian merupakan solusi alami jika pernikahan

tidak lagi berjalan dengan baik, sehingga kalangan etnis Melayu

mentolerir adanya perceraian; 3) tradisi kurang dekatnya pertalian suami

isteri; 4) fokus pada individu masing-masing pasangan, bukan pada

tujuan bersama sebagai suami isteri; 5) tradisi persamaan hak suami

isteri pada hubungan perkawinan, perempuan memegang peranan

penting dalam perekonomian dan memiliki tingkat kemandirian yang

tinggi; 6) mudahnya penerimaan pernikahan yang kedua di kalangan

etnis Melayu. Faktor-faktor tersebut menurut Jones merupakan beberapa

alasan yang mendasari terjadinya perceraian di kalangan etnis Melayu.

Sumber dari penyebab perceraian tersebut adalah budaya yang

berkembang dalam etnis tersebut.

Perceraian di kalangan etnis China lebih disebabkan tingginya

tingkat independensi perempuan. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan

perempuan etnis China lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat

pendidikan perempuan etnis Melayu dan India. Artinya, tingkat

ketergantungan perempuan etnis China lebih rendah daripada tingkat

ketergantungan perempuan etnis lain terhadap suaminya. Etnis China

juga memegang peranan yang dominan di bidang ekonomi, sosial, politik

dan budaya. Pada hal ini termasuk juga kaum perempuannya. Peran

kaum perempuan dari etnis ini di berbagai bidang lebih tinggi dari peran

perempuan dari etnis lain (Lee dan Alvarez, 1991).

Nilai budaya yang dianut etnis China yaitu adanya tingkat

independensi perempuan etnis China menyebabkan ia semakin memiliki

keberanian untuk mengatur dirinya sendiri. Ketika keluarga suami yang

lebih tua ikut mencampuri masalah keluarga, maka bukan tidak mungkin

sang isteri mengajukan keberatan.

Etnis India di Singapura merupakan etnis dengan proporsi terkecil

yang melakukan perceraian. Ada beberapa faktor yang mendasari hal

tersebut. Faktor-faktor tersebut juga berasal dari tradisi dan budaya yang

berkembang di kalangan etnis India. Hasil penelitian (Anonim 5, tanpa

tahun) menyebutkan bahwa salah faktor tersebut adalah etnis India

memegang teguh tradisi untuk merawat orang tua sampai usia lanjut.

Tradisi ini menyebabkan orang tua dan anak hidup satu atap dan

hubungan keduanya menjadi solid.

Page 15: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

15

Budaya pada etnis India yang berpandangan bahwa pernikahan

merupakan faktor utama untuk perlindungan sosial ekonomi bagi

perempuan (Kitamura, 2000). Pandangan tersebut menjadikan

perempuan lebih memiliki ”daya tahan” dalam mempertahankan

pernikahan atau dengan kata lain tingkat ketergantungan isteri pada

suami pada etnis ini tinggi. Tingkat ketergantungan yang tinggi tersebut

menjadikan hubungan suami isteri menjadi lebih dekat.

4. Hubungan Agama dengan Tingkat Perceraian di Singapura

Setiap agama memiliki norma-norma tersendiri yang mengatur

perceraian umatnya. Hubungan antara agama dengan tingkat perceraian

di Singapura dapat dilihat pada grafik berikut:

Gambar 10. Hubungan agama dengan tingkat perceraian tahun 2005

Gambar 11. Hubungan agama dengan tingkat perceraian tahun 2006

Gambar 12. Hubungan agama dengan tingkat perceraian tahun 2007

Ketiga grafik di atas menunjukkan bahwa proporsi Muslim yang

bercerai lebih banyak daripada proporsi non-Muslim. Meskipun

demikian, tren yang terjadi di kalangan Muslim cenderung mengalami

penurunan. Sebaliknya, tren yang terjadi di kalangan non-Muslim

cenderung mengalami kenikan.

26%

47%

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50%

non-muslim

muslim

25%

49%

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

non-muslim

muslim

26%

42%

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45%

non-muslim

muslim

Page 16: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

16

Tingginya perceraian di kalangan Muslim disebabkan oleh beberapa

faktor. Pertama, ketidakmatangan pasangan saat menikah. Penduduk

Singapura yang menikah di bawah usia 24 tahun kebanyakan adalah

Muslim. Pada usia ini, pasangan belum terlalu matang untuk membina

sebuah rumah tangga. Ketidakmatangan pasangan saat menikah juga

menjadi salah satu penyebab tingginya perceraian di kalangan etnis

Melayu. Diasumsikan mayoritas etnis Melayu beragama Islam. Kedua,

adanya doktrin agama Islam yang memperbolehkan untuk bercerai,

meskipun hal tersebut merupakan perbuatan yang dibenci oleh Alloh.

Perceraian di kalangan non-Muslim lebih disebabkan karena faktor

anak. Hasil penelitian Lim (tanpa tahun) menunjukkan bahwa banyak

pasangan non-Muslim yang bercerai di usia 50 ke atas cenderung tidak

memiliki tanggungan, dalam hal ini anak dengan usia di bawah 18 tahun.

Artinya anak-anak mereka telah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri.

Perceraian yang terjadi di kalangan usia tua ini salah satu

penyebabnya adalah anak-anak yang dewasa. Anak-anak yang berusia di

atas 18 tahun menunjukkan bahwa mereka tak lagi memiliki tingkat

ketergantungan yang tinggi pada orangtuanya. Oleh karena itu, solidaritas

antara suami isteri dalam merawat anak tak lagi seerat saat anak-anak

masih berusia di bawah 18 tahun. Mereka merasa bahwa tidak ada lagi

alasan untuk melanjutkan pernikahan karena anak yang selama ini

menjadi alasan kebersamaan dalam perkawinan tidak ada lagi.

E. PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Terdapat hubungan antara agama dengan usia nikah pemeluknya di

Singapura. Penduduk yang menikah di bawah usia 24 tahun lebih

banyak Muslim daripada non-Muslim. Mayoritas penduduk Muslim

dan non-Muslim menikah di usia 25-29 tahun, meskipun demikian

jumlah Muslim yang menikah pada usia tersebut lebih sedikit

daripada julmlah non-Musim.

b. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan usia nikah di

Singapura. Perempuan di Singapura cenderung menikah di usia yang

lebih muda dari laki-laki dikarenakan beberapa faktor. Pertama, aspek

biologis yang berkaitan dengan reproduksi; kedua, berkaitan dengan

aspek sosial yaitu adanya nilai yang menyatakan bahwa laki-laki

merupakan pencari nafkah utama.

c. Terdapat hubungan antara etnis dengan tingkat perceraian di

Singapura. Etnis Melayu merupakan etnis dengan proporsi bercerai

paling banyak, disusul etnis China dan etnis India. Tren perceraian

pada etnis Melayu cenderung turun, sedangkan tren pada etnis China

dan India cenderung naik. Budaya dan tradisi yang berkembang dalam

suatu etnis tertentu memengaruhi perilaku masyarakat etnis tersebut.

d. Terdapat hubungan antara agama dengan tingkat perceraian di

Singapura. Proporsi tertinggi yang paling banyak bercerai adalah

Page 17: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

17

Muslim daripada non-Muslim. Tren yang terjadi di kalangan Muslim

cenderung menurun, sementara di kalangan non-Muslim meningkat

dikarenakan perceraian di kalangan Muslim lebih disebabkan adanya

doktrin agama yang memperbolehkan perceraian.

2. Saran

Meningkatnya kemakmuran masyarakat Singpura ternyata diiringi

oleh semakin tidak populernya perkawinan. Hal ini dikarenakan mind set warga Singapura telah membentuk pemikiran bahwa pernikahan dan

anak merupakan beban. Diperlukan suatu upaya untuk mengubah mind set tersebut. Salah satunya dengan cara mengkampanyekan nilai-nilai

keluarga yang juga terkandung dalam Asian Values. Nilai-nilai tersebut

antara lain bahwa anak merupakan ”investasi” di hari tua. Selain

bertujuan untuk meningkatkan minat warga Singapura untuk

berkeluarga, kampanye tersebut juga bertujuan untuk mengurangi

tingkat perceraian.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1. ”Kontrol Populasi Kebijakan”. http://countrystudies.us/singapore.

Diakses pada Rabu, 11 Maret 2009.

Anonim 2. ”Marriage and Family Formation Patterns”. Situs:

http://translategoogle.co.id. diakses 26 Desember 2009.

Gulo, W. 1983. Dasar-dasar Statistika Sosial. Satyawacana. Semarang.

Johnson, Doyle Paul 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta (diterjemahkan dari: Sociological Theory: Classical and Modern, oleh: Robert M.Z Lawang ).

Jones, Gavin W. Tanpa tahun. The “Flight from Marriage” in South-east and East Asia, National University of Singapore, Singapore.

--------. 1981.”Malay Marriage and divorce in Peninsular Malaysia: Three Decades of Changes”. dalam: Population and Development Reviews, The Center of Policy Studies of the Population Studies, New York.

Kitamura, Yuri. 2000. “Anthropological Study of ‘Gender and Development in India: The Women’s Movement in Kerala”. dalam: APC Journal of

Asian Pacific Studies, Momochihama2-Chome Sawaruku, Japan.

Lee, Sharon M dan Alvarez, Gabriel. 1991. Fertility Decline and Pronatalist Policy in Singapore. A Publication of The Alan Guttmacher Institute.

USA.

Lim Soon Hock. “In Singapore State of the Family”. http://www.nfc.org.sg.

Diakses pada Kamis, 26 November 2009.

Prasetyo, Bambang dan Jannah, Lina Miftahul. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.

Page 18: Faktor Yang Memengaruhi Usia Nikah Dan Tingkat Perceraian Di Singapura

18

Prawiro, Ruslan H. 1983. Kependudukan: Teori, Fakta, dan Masalah. Penerbit

Alumni. Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1983. Kamus Sosiologi. PT. Raja Grafindo Persada.

Jakarta.

Tamura, Keiko T. 2000. “Women and Labor in Singapore: Changing Economic Policy and Images the Ideal Women”. dalam: The APC Journal of Asian

Pacific Studies, Momochihama 2-Chome Sawara-ku, Japan

Wong Kan Seng. “New Insentif untuk Married Pasangan Have more untuk

Anak”. Situs: www.pap.org.sg, diakses 11 Maret 2009.

Yearbook Statistics of Singapore 2008. 2008. Biro Statistik. Singapura.

▼▼▼▼▼▼