evaluasi nilai gizi
-
Upload
suci-mayang-sari -
Category
Documents
-
view
25 -
download
7
description
Transcript of evaluasi nilai gizi
![Page 1: evaluasi nilai gizi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020102/563db802550346aa9a8fb25f/html5/thumbnails/1.jpg)
3. Faktor - Faktor Penanganan Pasca Panen hasil pertanian
Untuk menerapkan penanganan pasca panen hasil pertanian secara
baik dan benar, maka perlu diketahui faktor - faktor yang
mempengaruhinya.
Faktor - faktor yang mempengaruhinya adalah :
a. Faktor Biologi
1. Respirasi
Respirasi merupakan suatu proses pemecahan unsur organik (karbohidrat, protein dan lemak) menjadi energi. Pemecahan substrat dasar ini menggunakan oksigen dan menghasilkan karbondioksida.
2. Produksi Etilen
Etilen merupakan hormon tanaman berbentuk gas yang mempengaruhi proses fisiologis tanaman, dihasilkan secara alami dari metabolisme tanaman, serta oleh jaringan dalam tanaman dan mikroorganisme. Untuk mencegah pematangan yang begitu cepat maka hindari penyimpanan dengan produk yang mempunyai produksi etilen tinggi.
3. Perubahan Komposisi Kimia
Perubahan komposisi kimia terjadi pada saat perkembangan dan masa kematangan, dimana perubahan komposisi ini masih terus berlangsung setelah panen. Perubahan komposisi yang terjadi antara lain pada klorofil, karotenoid, antosianin, karbohidrat, lemak, protein dan asam amino, dimana perubahan ini dapat mempengaruhi mutu hasil pertanian.
4. Transpirasi
Kehilangan air merupakan penyebab utama dari kerusakan hasil pertanian yang akan menyebabkan penurunan kesegaran hasil pertanian. Kehilangan air dapat menyebabkan penyusutan secara kualitas dan kuantitas hasil pertanian (kekerutan, pelunakan, hilangnya kerenyahan dan susut bobot).
b. Faktor Lingkungan
1. Suhu
Suhu merupakan faktor eksternal yang sangat mempengaruhi laju penurunan mutu hasil pertanian sebab berpengaruh terhadap reaksi biologi. Pengontrolan suhu dalam rangka pengendalian laju respirasi dari produk sangat penting sehubungan dengan usaha memperpanjang umur simpan dari komoditas yang disimpan.
2. Kelembaban
Laju kehilangan air dari hasil pertanian sangat tergantung dari defisit tekanan uap yang dihasilkan antara komoditi dan udara sekeliling yang dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban.
![Page 2: evaluasi nilai gizi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020102/563db802550346aa9a8fb25f/html5/thumbnails/2.jpg)
3. Komposisi Atmosfir
Secara umum, efek komposisi atmosfir tergantung dari jenis komoditi,
kultivar, umur fisiologis, tingkatan O2 dan CO2, suhu dan lamanya
penyimpanan.
Penurunan nutrisi saat pengolahan
Makanan dari hasil panen dan pengolahannya mempuyai nilai maksimum dari zat gizi yang dikandungnya. Komposisi itu akan dapat menurun karena waktu penanganan yang lama atau lebih tinggi / pemrosesan yang lebih berat. Sebaliknya bahan makanan yang sulit dicerna perlu proses sehingga dapat dicerna dalam tubuh. Pengolahan ini juga berguna untuk menghilangkkan racun atau faktor-faktor anti nutrien lainnya yang dapat menyebabkan hasil negatif.
Dalam suatu penelitian, pada sayur-sayuran hijau yang disimpan dalam suhu 68-75 0F, akan hilang sejumlah asam korbat (vitamin C) dalam waktu 3 hari, yaitu pada bayam akan hilang sebanyak 83% dan beras sebanyak 35%. Sedangkan pada suhu yang lebih rendah akan didapat nilai gizi yang lebih baik.
Penggunaan panas dan waktu dalam proses pemanasan bahan pangan
sangat berpengaruh pada bahan pangan. Dalam pengolahan bahan pangan,
penggunaan panas seringkali dilakukan dengan tujuan untuk menambah citarasa
dan memperpanjang daya simpan produk pangan tersebut. Di dalam kehidupan
sehari-hari jenis proses termal yang biasa dilakukan adalah penggorengan,
perebusan, pengukusan, dan pemanggangan. Di tingkat industri, kita mengenal
beberapa jenis pengolahan pangan dengan menggunakan panas seperti blansir,
pasteurisasi dan sterilisasi dengan maksud agar bahan makanan dapat lebih awet
disimpan. Pada umumnya semakin tinggi jumlah panas yang diberikan semakin
banyak mikroba yang mati.
Tetapi penggunaan panas pada pengolahan bahan pangan juga dapat
mempengaruhi nilai gizi bahan pangan tersebut, termasuk zat gizi mikro (vitamin
dan mineral). Umumnya vitamin-vitamin (khususnya vitamin larut air) dan
![Page 3: evaluasi nilai gizi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020102/563db802550346aa9a8fb25f/html5/thumbnails/3.jpg)
mineral tidak stabil terhadap panas. Beberapa jenis bahan pangan seperti halnya
susu dan kapri serta daging, sangat peka terhadap suhu tinggi karena dapat
merusak warna maupun rasanya.
Penggorengan merupakan salah satu jenis pengolahan pangan dengan
menggunakan panas. Suhu yang digunakan biasanya adalah 160oC, sehingga
dapat merusak vitamin dan mineral. Kandungan ß-karoten (pro-vitamin A)
minyak sawit merah (minyak goreng) juga mengalami penurunan selama proses
pemanasan (penggorengan). Hal ini tergantung dari suhu yang digunakan. Hasil
penelitian melaporkan bahwa pemanasan minyak sawit merah pada suhu 150 0C
mampu mempertahankan kandungan ß-karoten yang lebih baik dibandingkan
suhu yang lebih tinggi (160, 170 dan 180 0C). Penurunan kandungan vitamin
yang terjadi pada pemanasan minyak goreng disebabkan terjadinya reaksi oksidasi
minyak dan degradasi asam lemak akibat suhu pemanasan yang tinggi dan lama
pemanasan.
Pengukusan dan perebusan adalah metode konvensional lainnya yang telah
lama dikenal untuk memasak. Pada proses perebusan dapat menurunkan nilai gizi
suatu bahan makanan lebih banyak dibandingkan dengan pengukusan. Bahan
makanan yang langsung terkena air rebusan akan menurunkan nilai gizinya
terutama vitamin-vitamin larut air (B kompleks dan C), sedangkan vitamin larut
lemak (ADEK) kurang terpengaruh.
Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan dalam proses pengalengan buah dan sayuran dengan tujuan untuk memperbaiki mutunya sebelum dikenai proses lanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses blansir dapat menurunkan nilai gizi suatu produk pangan terutama vitamin, mineral, dan komponen-komponen yang larut air lainnya. Besarnya kerusakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: 1) Varietas, 2) Tingkat kemasakan/kematangan, 3) Metode penanganan (terutama tingkat pemotongan, pengirisan, dan lain-lain, yang mempengaruhi rasio luas permukaan/ volume bahan), 4) Penggunaan medium pemanas dan pendingin, 5) Lama dan suhu pemanasan, dan 6) Rasio air/bahan yang diblansir (terutama jika digunakan air sebagai medium pemanas atau pun pendingin). Pengaruh penggunaan metode blansir terhadap kandungan vitamin C