Karakteristik Kimia, Fisik, Organoleptik, dan Nilai Gizi...
Transcript of Karakteristik Kimia, Fisik, Organoleptik, dan Nilai Gizi...
Karakteristik Kimia, Fisik, Organoleptik, dan Nilai Gizi Protein Mie Instan
Tersubtitusi Tepung Belalang Kayu (Melanoplus cinereus)
SKRIPSI
Ditujukan untuk menempuh gelar sarjana
Pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
Oleh :
NURUL ASTHAMI
NIM 115100100111040
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
1
RIWAYAT HIDUP
Penulis ini memiliki nama lengkap Nurul Asthami, merupakan anak ke-2
dari 4 bersaudara pasangan Jadi dan Sumiyem yang dilahirkan di Sleman, 01
Agustus 1993. Penulis memiliki 1 kakak laki-laki dan 2 adik laki-laki dan
perempuan. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Bonavita Tangerang.
Penulis lulus pada tahun 2005, dan melanjutkan sekolah menengah pertama di
SMP Negri 1 Tangerang dari tahun 2005 sampai 2008. Penulis kemudian
melanjutkan sekolah menengah atas di SMA Negri 2 tangerang dan lulus pada
tahun 2001. Pada tahun 2011 penulis diterima sebaagai mahasiswa Fakultas
Teknologi Pertanian melalui jalur SNMPTN tulis pada jurusan Teknologi Hasil
Pertanian.
2
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan dibawah ini
Nama Mahasiswa : Nurul Asthami
NIM : 115100100111040
Program Studi : Ilmu dan Teknologi Pangan
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul Skripsi : Karakteristik Sifat Kimia, Fisik, Organoleptik, dan Kualitas
Protein Mie Instan Tersubtitusi Belalang Kayu
(Melanoplus cinereus)
Menyatakan bahwa,
Skripsi dengan judul diatas merupaka karya asli penulis tersebut diatas.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar maka saya bersedia
dituntut sesuai hukum yang berlaku.
Malang, 2015
Pembuat Pernyataan,
Nurul Asthami
NIM. 115100100111040
3
Nurul Asthami. 115100100111040. Karakteristik Sifat Kimia, Fisik, Organoleptik, dan Kualitas Protein Mie Instan Tersubtitusi Belalang Kayu (Melanoplus cinereus). Pembimbing : Dr. Teti Estiasih, STP, MP dan Jaya Mahar Maligan, STP, MP.
RINGKASAN
Masalah gizi di Indonesia yang belum selesai teratasi secara menyeluruh adalah masalah gizi Kurang Energi Protein (KEP). Tercatat pada tahun 2010 prevalensi gizi kurang masih 17,9%. Asupan gizi berbasis protein dijual dengan harga yang cukup mahal karena sumbernya masih terbatas pada susu sapi. Padahal diperlukan alternatif sumber protein tinggi yang murah dan terjangkau oleh semua lapisan masayarakat. Sementara belalang kayu dianggap sebagai hewan liar, hama, dan berpotensi menjadi wabah. Menurut penelitian Wang (2007) belalang mengandung protein sebanyak 654.2 g/kg, pada berat kering sehingga belalang dapat dijadikan sumber protein non-konvesional. Pemilihan mie instan sebagai produk karena tingkat konsumsi mie yang relatif tinggi dan kepraktisan dalam proses pembuatan.
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap. Tahap yang pertama adalah pembuatan mie instan belalang dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang melibatkan 1 faktor dengan 6 level (5%, 10%, 15%, 20%, 25%, dan 30%) dengan 3 kali ulangan sehingga didapat 18 satuan percobaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisa menggunakan analisa ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey dengan taraf 5% menggunakan program minitab. Pemilihan perlakuan terbaik menggunakan metaode Zenleny. Tahap kedua adalah uji lanjut mie belalang perlakuan terbaik berdasarkan parameter kimia, fisik, dan organolaptik. Penelitian tahap dua akan dilakukan dengan metode deskriptif untuk pengujian daya cerna protein secara in vitro dan nilai kimia protein sedangkan untuk penetuan nilai PER dan pemulihan berat badan secara in vivo digunakan metode Pretest – Postest Group Design.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan proporsi tepung belalang berpengaruh nyata terhadap kadar abu, lemak, protein, tingkat kecerahan, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air, daya patah, daya putus, daya serap air, waktu rehidrasi, dan cooking loss. Untuk parameter organoleptik warna dan tekstur berpengaruh nyata namun aroma dan rasa tidak berpengaruh nyata. Perlakuan terbaik mie instan belalang adalah mie belalang dengan proporsi penambahan tepung belalang sebanyak 15% dan tepung terigu sebanyak 85%. Mie belalang perlakuan terbaik untuk parameter kimia memiliki rerata kadar air sebesar 5,85 % kadar abu sebesar 0.86% kadar lemak sebesar 19.90% dan kadar protein sebesar 13.55%. Sedangkan untuk parameter fisik memiliki rerata daya patah 1,45N daya putus 0,13N daya serap air 209,78%; waktu rehidrasi 3,41 menit; cooking loss 0,15%; dan kecerahan 39,91. Sedangkan untuk parameter organolaptik memiliki rerata kesukaan terhadap warna dengan skala 4,60 (suka); aroma dengan skala 4,00 (agak suka); tekstur dengan skala 4,50 (suka); dan rasa dengan skala 3,95 (agak suka). Penelitian tahap dua menunjukan Asam amino pembatas berdasarkan penentuan nilai kimia adalah asam amino treonin dengan nilai 9,19. Peningkatan berat badan kelompok tikus dengan pakan mie belalang adalah 24,25 gram dengan nilai PER sebesar 0,99. Kecernaan protein mie belalang secara in vitro diketahui sebesar 50,89%.
Kata Kunci: Mie Belalang, Protein, PER, In Vitro
4
Nurul Asthami. 115100100111040. Chemical, Pysical, Organolaptic, and Protein Quality Characteristic Instant Noodle Subtitution with Wood Grasshopper (Melanoplus cinereus). Pembimbing : Dr. Teti Estiasih, STP, MP dan Jaya Mahar Maligan, STP, MP.
SUMMARY
Ploblem of malnutrition in indonesian are still yet to be solved is Protein Energy Malnutrition (PEM). Record in 2010 the pravelency of malnutrition is still 17,9%. In other hand protein source to fullfil the nutrition is expensive, because the source of protein still limited in milk. Wood grasshoper Melanoplus cinereus) is an insect that most of people think that grasshoper is raptor, pest, and pottentialy become epidemic. According to Wang (2007) grasshopper contain 654,2 g/kg protein in dry basis. A high protein content in grasshoper can be used as non conventional protein source to solved PEM. Instant noodle is one popular product that have high level of consuption and easy to cook.
This research is conducted with two stage. The first stage is manufactured grasshopper noodle using Completly Randomized Design (CRD) with one factor, the factor is proportion of grasshoper flour consisting 6 level (5%, 10%, 15%, 20%, 25% and 30%) with 3 replications thus obtained 18 experiment units.The data were analyzed using Analysis of Variance (ANOVA) followed by a further test which is Tukey metodh at 5% level to see the difference among the treatment. The selection of the best treatment will be analyzed by Zeleny Metodh. The best treatment based on parameter of chemical, pysic, and organolaptic will be conducted to second stage to knew protein digestibility and score of amino acid prepared using descriptive metodh whereas Protein Efficiency Ratio and weight recovered prepared using pretest-postest grup design.
The result study of proportion grasshoper flour ratio factor significant effect to the parameter of ash content, fat content, protein content, and intensity of brightness. But proportion grasshoper flour ratio factor not significant effect to the parameter of water content, power break, rehydration (water absorption) ,cooking time, and cooking loss. Parameters of organolaptic for colour and texture has significant effect but for aroma and taste has not significant difference. The best of grasshopper noodle based on three parameters is kind of instant noodle that treatment with grasshoper flour : wheat flour (15:85 ). The best treatment grasshoper noodle based on chemical characteristic showed 5,85% water content; 0,86% ash content; 19,90% fat content; 13,55% protein content; and 59,83% carbohydate content. Physical characteristic grasshoper noodle best treatment showed the breaking of power 1,45N; broken power 0,13N; water absorption 209,78; cooking time 3,41 minutes; cooking loss 1,15% and intensity of brightness 38,91. Organolaptic characteristic grasshoper noodle best treatment showed 4,60 (like) for color; 4,00 (seem like) for aroma; 4,5 (like) for tekstur; 3,95 (seem like) for taste. The second stage showed that score of amino acid of grasshoper noodle is 9,19 with treonin as a limited amino acid, the weight incresed 24,25 g for mouse grup that fed by grasshoper noodle. The value of PER of grasshoper noodle is 0,99. Protein digestibility using in vitro test for grasshopper noodle is 20,89%.
Keyword: Grasshopper Noodle, Protein, PER, In vitro
5
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim,
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dam
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini dengan
baik. Salawat serta salam semoga tercurah pada jujungan Nabi besar
Muhammad SAW.
Selama melaksanakan penelitian hingga selesai, penulis mendapatkan
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT karena dengan rahmat dan ridhon-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan ini.
2. Ibu, Bapak, Kakak, serta Adik yang sudah memberikan dukungan dan
doa sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik.
3. Dr. Teti Estiasih, STP, MP selaku dosen pembimbing pertama dan Jaya
Mahar Maligan, STP, MP selaku dosen pembimbing kedua yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan arah, saran, dan nasihat selama
penyusunan laporan hingga terselesainya laporan ini.
4. Segenap laboran THP Mas agus, Mbak lulu, Mas Bekti, Mbak Fitri, dan
semua laboran untuk semua bantuan.
5. Teman-teman seperjuangan yang tangguh untuk Oliv dan Imma, yang
telah memberikan waktunya untuk membantu penyelesaian laporan ini.
6. Teman-teman THP 2011 Eni, Sinta, Atik, Anna, Ajeng, Dewi Bhayu,
Hanifah, Fitri, Pitrul, Angela, Izmi, dan Sona dan yang lainnya yang
membantu memberikan dukungan sehingga terselesainnya laporan ini.
7. Teman yang saya anggap sebagai keluarga di Bunga Merak untuk Nina,
Inez, Lita, Mbak Dina, Mbak Titi, Mbak Vicky, Mbak Shinta, Intan, Gita,
dan Vianti yang telah menemani selama perantauan di kota Malang.
8. Semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
6
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis menghendaki kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca. Semoga laporan ini dapat bermanfaat.
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Malang, 2015
Penulis
7
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN...................................................................................................... iSUMMARY......................................................................................................... iiKATA PENGANTAR.......................................................................................... iiiDAFTAR ISI ......................................................................................................vDAFTAR TABEL ...............................................................................................viDAFTAR GAMBAR............................................................................................viiDAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................viii
I PENDAHULIAN1.1 Latar Belakang.......................................................................................11.2 Tujuan Penelitian....................................................................................31.3 Manfaat Penelitian..................................................................................31.4 Hipotesis.................................................................................................3
II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Kurang Energi Protein............................................................................42.2 Protein....................................................................................................62.3 Kitin........................................................................................................142.4 Belalang Kayu........................................................................................172.5 Mie Instan...............................................................................................182.6 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Mie................................................23
III METODE PENELITIAN3.1 Waktu dan Tempat.................................................................................253.2 Alat dan Bahan.......................................................................................253.3 Metode Penelitian...................................................................................253.4 Pelaksanaan Penelitian..........................................................................273.5 Diagram Alir Penelitian...........................................................................32
IV HASIL DAN PEMBAHASAN4.1 Analisa Bahan Baku...............................................................................374.2 Analisa Mie Belalang Tahap I.................................................................404.3 Analisa Mie Belalang Tahap II................................................................71
V KESIMPULAN DAN SARAN5.1 Kesimpulan.............................................................................................815.2 Saran......................................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................82
8
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
2.1 Nilai Biologi Berbagai Jenis Protein........................................................102.2 Rekomendasi Jumlah Asam Amino Menurut FAO 1973.........................122.3 Syarat Mutu Mie Instan...........................................................................193.1 Perlakuan Pada Masing-Masing Kelompok............................................263.2 Formulasi ransum Tikus /100g...............................................................273.3 Rekomendasi Nilai Asam Amino untuk Anak-Anak................................294.1 Kandungan Gizi Tepung Belalang..........................................................374.2 Karakteristik Pita Pada Spektrum FTIR Kitin..........................................394.3. Rerata Kadar Air Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi
Tepung Belalang....................................................................................414.4 Rerata Kadar Ab Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi
Tepung Belalang....................................................................................434.5 Rerata Kadar Lemak Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi
Tepung Belalang....................................................................................454.6 Rerata Kadar Protein Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi
Tepung Belalang....................................................................................474.7 Rerata Daya Patah Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi
Tepung Belalang....................................................................................514.8 Rerata Daya Putus Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi
Tepung Belalang....................................................................................534.9 Rerata Daya Serap Air Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................554.10 Rerata Waktu Rehidrasi Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................574.11 Rerata Cooking loss Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi
Tepung Belalang....................................................................................594.12 Rerata Kecerahan (L*) Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................614.13 Rerata Kesukaan terhadap Warna sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi
Tepung Belalang....................................................................................634.14 Rerata Kesukaan terhadap Aroma sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi
Tepung Belalang....................................................................................644.15 Rerata Kesukaan terhadap Tekstur sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi
Tepung Belalang....................................................................................664.16 Rerata Kesukaan terhadap Rasa sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi
Tepung Belalang....................................................................................674.17 Rerata Kesukaan terhadap Rasa sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi
Tepung Belalang....................................................................................694.18 Zeleny Penentuan Perlakuan Terbaik.....................................................704.19 Komposisi Asam Amino Mie Belalang Kayu...........................................714.20 Nilai kimia Mie Belalang.........................................................................734.21 Rerata Pemulihan Berat Badan Tikus.....................................................744.22 Nilai PER untuk Tiap Perlakuan.............................................................774.33 Kecernaan Protein Mie Belalang dan Mie Instan Komersial...................78
9
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
2.1 Gejala Klinik yand Dialami Penderita a. Kwarsiorkor b. Marasmus.........52.2 Instrumentasi Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.....................................82.3 Struktur Kitin...........................................................................................142.4 Proses Penghilangan Gugus Asetil pada Gugus Asetamida..................162.5 Belalang Kayu........................................................................................173.1 Proses Pembuatan Tepung Belalang.....................................................333.2 Proses Pembuatan Mie Instan Belalang.................................................343.3 Pengujian in vivo Mie Belalang Instan....................................................353.4 Pengujian Kecernaan Protein.................................................................364.1 Spektra IR Tepung Belalang...................................................................384.2 Grafik Rerata Kadar Air Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................404.3 Grafik Rerata Kadar Abu Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................424.4 Grafik Rerata Kadar Lemak Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................444.5 Grafik Rerata Kadar Protein Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................464.6 Grafik Rerata Kadar Karbohidrat Mie Belalang sebagai Pengaruh
terhadap Subtitusi Tepung Belalang.......................................................484.7 Grafik Rerata Kadar Kalori Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................494.8 Grafik Rerata Daya Patah Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................504.9 Grafik Rerata Daya Putus Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................524.10 Grafik Rerata Daya Serap Air Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................544.11 Grafik Rerata Waktu Rehidrasi Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................564.12 Grafik Rerata Cooking loss Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................584.13 Grafik Rerata Kecerahan (L*) Mie Belalang sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................604.14 Grafik Rerata Kesukaan terhadap Warna sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................624.15 Grafik Rerata Kesukaan terhadap Aroma sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................644.16 Grafik Rerata Kesukaan terhadap Tekstur sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................654.17 Grafik Rerata Kesukaan terhadap Rasa sebagai Pengaruh terhadap
Subtitusi Tepung Belalang......................................................................674.18 Grafik Rerata Kesukaan terhadap Mie Mentah sebagai Pengaruh
terhadap Subtitusi Tepung Belalang.......................................................684.19 Rerata Peningkatan Berat badan...........................................................75
10
DAFTAR LAMPIRAN
Gambar Judul Halaman
1.1 Karakterisasi Kitin dengan Spektrofotometer FTIR.................................891.2 Kadar Air (AOAC, 1995).........................................................................891.3 Kadar Abu (AOAC, 2000).......................................................................891.4 Kadar Lemak (AOAC, 2000)...................................................................901.5 Kadar Protein (AOAC,1995)...................................................................901.6 Kadar Karbohidrat (by difference)...........................................................911.7 Daya Patah.............................................................................................911.8 Daya Putus.............................................................................................911.9 Cooking Loss..........................................................................................911.10 Daya Serap Air.......................................................................................921.11 Waktu rehidrasi......................................................................................921.12 Warna color reader.................................................................................921.13 Kecernaan Protein..................................................................................921.14 Skor Asam Amino...................................................................................931.15 PER (Protein Eficiency Ratio).................................................................932.1 Data Kadar Air Mie Belalang..................................................................942.2 Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kadar Air Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang........................942.3 Data Kadar Abu mie Belalang................................................................952.4 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kadar Abu Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang........................952.5 Data kadar Lemak Mie Belalang.............................................................962.6 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kadar Lemak Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang........................962.7 Data Kadar Protein Mie Belalang...........................................................972.8 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kadar Air Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang........................972.9 Data Daya Patah Mie Belalang...............................................................982.10 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Daya Patah Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang........................982.11 Data Daya Putus Mie Belalang...............................................................992.12 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Daya Putus Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang........................992.13 Data Daya Serap Air............................................................................1002.14 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Daya Serap Air Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang.....................1002.15 Data Waktu Rehidrasi Mie Belalang....................................................1012.16 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Waktu Rehidrasi Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang.....................1012.17 Data Cooking Loss Mie belalang.........................................................1022.18 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey cooking loos Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang.....................1022.19 Data Kecerahan Mie Belalang.............................................................1032.20 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kecerahan Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang.....................1032.21 Data Kesukaan Warna Mie Belalang...................................................104
11
2.22 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kesukaan Warna Mie Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang.....................105
2.23 Data Kesukaan Aroma Mie Belalang...................................................1062.24 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kesukaan Aroma Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang.....................1072.25 Data Kesukaan Tekstur mie Belalang..................................................1082.26 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kesukaan Tekstur Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang.....................1092.27 Data Kesukaan Rasa Matang Mie Belalang........................................1102.28 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kesukaan Rasa Mie Belalang
Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang.....................1112.29 Data Kesukaan Rasa Matang Mie Belalang........................................1122.30 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kesukaan Rasa Mentah Mie
Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang.......1132.31 Hasil Perhitungan Skor Kimia Asam Amino.........................................1142.32 Data Rata-Rata Peningkatan Berat Badan Tikus.................................1152.33 Data Konsumsi Pakan dan Nilai PER..................................................1152.34 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Peningkatan Berat Badan.........1162.35 Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Protein Efficiency Ratio............1173.1 Form Penilaian Uji Organoleptik..........................................................1184.1 Dokumentasi Pembuatan Tepung Belalang........................................1194.2 Dokumentasi Pembuatan Mie Belalang...............................................1194.3 Dokumentasi Analisis Kimia Mie Belalang...........................................1204.4 Dokumentasi Analisis Fisik Mie Belalang............................................121
12
BAB I LATAR BELAKANG
1.1 Latar Belakang
Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang masih didominasi
oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah anemia besi, masalah
gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI), dan masalah kurang vitamin A
(KVA) (PNPM, 2010). Diantara keempat masalah gizi tersebut, Menteri
Kesehatan RI menyatakan masalah KVA, GAKI, dan Anemia Gizi yang terjadi di
Indonesia sudah dapat dikendalikan. Namun, masalah gizi Kurang Energi Protein
(KEP) belum selesai teratasi secara menyeluruh. Kurang Energi Protein (KEP)
merupakan keadaan gizi kurang yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi zat
energi dan zat protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi
Angka Kecukupan Gizi (AKG) (Sutriyanto, 2012). Tercatat pada tahun 2010
prevalensi gizi kurang masih 17,9% dan sebanyak 8 juta anak balita atau 35,6%
jumlah keseluruhan balita Indonesia mengalami gizi buruk kategori “stunting”
(tinggi badan lebih rendah dibanding balita normal) (Indra, 2013). Hal ini
menunjukkan belum optimalnya penanganan kasus gizi kurang di Indonesia.
Perbaikan gizi yang direncanakan Indonesia untuk jangka menengah tahun
2015 adalah menurunkan prevalensi anak balita yang menderita gizi kurang
sebanyak 15,5% dan menurunkan prevalensi anak balita pendek sebesar 23%.
Sedangkan, perbaikan gizi jangka panjang untuk tahun 2025 menurunkan anak
balita pendek sebesar 40% dan menurunkan anak balita kurus sebesar <5%
(Sugihantono, 2014).
Saat ini berbagai produk olahan yang mencukupi asupan gizi protein dijual
dengan harga yang cukup mahal karena sumbernya masih terbatas pada susu
sapi. Padahal, penderita gizi kurang ini didominasi oleh lapisan masyarakat
dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Oleh karena itu, diperlukan
alternatif sumber protein tinggi yang murah dan terjangkau oleh semua lapisan
masayarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, mengingat lebih dari 80%
kasus gizi kurang disebabkan karena faktor kemiskinan (Suyadi, 2009).
Di sisi lain, tingkat konsumsi mie instan di Indonesia semakin meningkat.
Data World Instan Noodles Association (2014) mencatat konsumsi mie instan di
Indonesia merupakan kedua terbesar dunia setelah Cina. Pada tahun 2013,
konsumsi mie instan di Indonesia sebesar 14,9 milliar kemasan (PKPP, 2012).
13
Pada tahun 2008 produksi mie Indonesia mencapai 1,6 juta ton, pada tahun
2013 produksinya telah mencapai 2,0 juta ton dan tahun 2014 mencapai 2,2 juta
ton (Amin, 2014).
Keberadaan mie instan di Indonesia mulai menjadi makanan pokok kedua
setelah beras. Selain praktis dan mudah penyajiannya, harga mie instan cukup
murah dan terjangkau. Akan sangat optimal apabila selera konsumsi mie instan
ini dimanfaatkan sebagai upaya penanggulangan gizi kurang.
Mie instan merupakan salah satu produk berbasis karbohidrat yang tinggi
kalori/energi. Kandungan kalori/energi dalam mie instan berkisar antara 320-360
kkal (Susanti, 2006). Tetapi, kandungan protein dalam mie instan masih rendah.
Kandungan protein dalam mie instan berkisar antara 7-8 gram per sajian yang
hanya memenuhi 14% AKG berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal (Susanti,
2006).
Sementara belalang kayu dianggap sebagai hewan liar, hama, dan
biasanya dimanfaatkan sebagai makanan burung. Tetapi di beberapa daerah
yang kekurangan bahan pangan seperti Afrika dan sebagian Asia, belalang kayu
sudah dimanfaatkan sebagai bahan pangan karena kandungan nutrisinya yang
tinggi. Belalang juga dapat berpotensi menjadi wabah, karena ledakan
populasinya yang tinggi dan mengakibatkan kelaparan karena belalang
mengkonsumsi tanaman pangan. Madagaskar merupakan salah satu negara
yang pernah mengalami wabah belalang yang mengakibatkan 60% populasi
penduduknya mengalami keadaan gizi buruk (CNN, 2013). Menurut penelitian
Wang (2007) belalang mengandung protein sebanyak 654.2 g/kg, pada berat
kering. Belalang merupakan sumber protein non-konvesional atau sumber
protein yang belum banyak dikonsumsi oleh masyarakat sehingga perlu
penelitian lebih mendalam mengenai kualitas protein yang dikandung oleh
belalang. Kualitas protein yang baik dapat digunakan untuk membentuk dan
memperbaiki jaringan tubuh. Kualitas protein dapat diketahui dengan pengujian
secara in vivo dan in vitro.
Pemanfaatan belalang sebagai komposisi dari mie instan diduga dapat
meningkatkan kualitas dari produk mie instan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian untuk mengukur tingkat subtitusi tepung belalang kayu pada mie
instan yang menghasilkan respon terbaik dari sifat fisik, kimia, organoleptik
dengan mengukur kelengkapan asam amino yang terkandung, daya cerna
14
protein secara in vitro, nilai PER dan pemulihan berat badan secara in vivo untuk
terapi diet penderita gizi kurang.
1.2 Tujuan Penelitian
1. Mentukan tingkat subtitusi tepung belalang kayu yang digunakan dalam
pembuatan mie instan yang menghasilkan respon sifat fisik, kimia, dan
organoleptik terbaik.
2. Menentukan nilai bio-assay, daya cerna protein secara in vitro, dan
kandungan asam amino pada produk mie instan perlakuan terbaik.
1.3 Manfaat Penelitian
Pemanfaatan belalang sebagai bahan baku pembuatan mie instan yang
dapat menghasilkan produk mie instan yang mengandung protein lebih tinggi
dibandingkan mie instan yang berada di pasaran sebagai alternatif untuk
mengatasi permasalahan Kurang Energi Protein.
1.4 Hipotesis
Diduga penambahan belalang akan mempengaruhi kandungan protein mie
instan secara kualitas dan kuantitas serta karakteristik fisik dari mie instan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
15
1.1 Kurang Energi Protein
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan keadaan kurang gizi yang
disebabkan kerena rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan
sehari-hari atau disebabkan karena adanya gangguan penyakit sehingga tidak
dapat memenuhi angka kecukupan gizi (I.D. Nyoman, 2002). Menurut Jellife
(1966) dalam Supriasa, KEP juga dapat dikatakan istilah umum dari malnutrisi.
Kurang Energi Protein akan menimbulkan keadaan kwashiorkor dan marasmus
pada tahapan yang ekstrim, stunting pada tahapan kronik, dan wasted pada
tahapan ringan hingga sedang (Neumann, 2011).
Apabila makanan yang diperlukan tubuh tidak mencukupi maka
organisme akan beradaptasi dengan cara menurunkan tingkat pertumbuhan.
Pada keadaan tersebut organisme secara perlahan akan menurunkan berat
badan, sehingga berat badan merupakan indikator tingkatan malnutrisi pada
tahap ringan hingga sedang. Anak yang memiliki berat dibawah rata-rata usia
sebaya disebut dengan istilah wasted dan tingkatan wasted mengindikasikan
tahapan malnutrisi yang dialami seorang anak (Simkiss et al., 2006).
Penurunan tingkat pertumbuhan karena proses adaptasi juga
memengaruhi tinggi badan, apabila penurunan pertumbuhan mempengaruhi
tinggi maka seseorang akan berpostur pendek. Anak yang memiliki tinggi
dibawah rata-rata usia sebaya disebut dengan istilah stunting. Tinggi badan yang
berada dibawah rata-rata usia sebaya mengindikasikan bahwa kondisi malnutrisi
berlangsung lama (Simkiss et al., 2006).
Kekurangan protein banyak terjadi pada masyarakat sosial ekonomi
rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat akan menyebabkan
kwarshiorkor pada balita. Kwarsiorkor diambil dari bahasa Ghana, Afrika yang
artinya penyakit yang diperoleh anak pertama, bila anak kedua sedang ditunggu
kelahirannya. Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan
kurang energi yang menyebabkan kondisi marasmus. Gabungan antara dua
jenis kekurangan ini sering disebut dengan kurang energi protein (Almatsier,
2003).
Kwashiorkor dan maramus dapat terjadi karena terjadi defisiensi nutrisi
yang ekstrim. Walaupun penyebab dari penyakit tersebut sama namun keduanya
merupakan penyakit yang berbeda. Kwashiorkor terjadi karena terjadi difisiensi
16
protein namun asupan energi cukup sedangkan maramus terjadi karena
kekurangan energi, protein dan nurtisi lainnya (Neumann, 2011).
Gambar 2.1. Gejala Klinik yang Dialami Penderita (a) Kwashiorkor (b)Marasmus(Simkiss et al., 2006).
Kwarsiorkor lebih banyak terjadi pada usia dua hingga tiga tahun karena
terlambat menyapih sehingga komposisi gizi makanan tidak seimbang terutama
asupan protein. Kwarsiorkor dapat terjadi pada konsumsi energi yang cukup atau
lebih. Penderita kwarsiorkor memiliki gejala seperti pertumbuhan terhambat, otot-
otot berkurang dan melemah, edema, dan gangguan psikomotor. Edema
terdapat pada perut dan tangan yang erat kaitannya dengan albumin yang ada
dalam serum (Almatsier, 2003). Selain itu gejala klinik yang biasa dialami oleh
penderita kwashiorkor adalah kegagalan pertumbuhan, lemak hati, kesulitan
berjalan, muka bulan karena efek edema, kehilangan nafsu makan, perubahan
kulit dan rambut (Belachew, 2001).
Marasmus berasal dari kata yunani yang berarti wasting/merusak. Marasmus
biasa terjadi pada bayi setahun pertama karena terlambat pemberiaan makanan
tambahan, formulasi pengganti ASI yang terlalu encer, atau infeksi terutama
gastroenteritis. Marasmus berpengaruh jangka panjang terhadap mental dan fisik
dan sukar untuk diperbaiki (Almatsier, 2003). Marasmus memiliki gejala klinik
seperti berkurangnya otot dan lemak yang didapat dari pengukuran lingkar
lengan, lipatan kulit daerah bisep, trisep, skapula dan umbikal. Selain itu gejala
lain seperti pertumbuhan berkurang atau terhenti, wajah berusai tua, bola mata
cekung, dan perubahan suasana hati (Belachew, 2001).
1.2 Protein
17
a b
Protein merupakan markomolekul yang tersusun dari asam amino. Asam
amino yang menyusun protein ada 20 macam. Protein terdapat dalam sistem
semua organisme baik yang berada pada tingkat rendah maupun organisme
tingkat tinggi. Analisis elementer protein menghasilkan unsur-unsur C, H, N, O
dan juga S (Katili, 2009).
Berdasarkan strukturnya protein dibagi menjadi empat kelas yaitu struktur
primer, struktur skunder, struktur tersier, dan struktur kuartener. Berdasarkan
kualitasnya protein dibagi menjadi tiga yaitu protein sempurna, protein kurang
sempurna dan protein tidak sempurna. Protein sempurna adalah protein yang
mengandung asam amino esensial yang lengkap dari jenis dan jumlahnya,
protein sempurna dapat digunakan untuk pertumbuhan dan mempertahankan
jaringan. Protein kurang sempurna adalah protein yang mengandung asam
amino esensial yang lengkap macamnya namun jumlahnya tidak mencukupi,
protein tidak sempurna dapat digunakan untuk mempertahankan jaringan namun
tidak cukup digunakan sebagai pertumbuhan. Protein tidak sempurna adalah
protein yang mengandung asam amino kurang lengkap dari jenis dan jumlahnya,
protein tidak sempurna tidak cukup digunakan untuk pertumbuhan dan
mempertahankan jaringan (Anonimus, 2009).
Protein berfungsi sebagai katalis enzimatik, semua reaksi kimia dalam sistem
biologi dikatalisator oleh sebuah makromolekul yang tersusun atas satu jenis
protein. Protein dapat berfungsi sebagai pengangkut dan penyimpan molekul
seperti oksigen dalam eritrosit oleh hemoglobin/miogoblin yang merupakan salah
satu dari jenis protein. Protein berperan dalam kordinasi gerak terutama jenis
protein yang berbentuk filamen. Protein fibrosa berfungsi sebagai penjaga
ketegangan kulit dan tulang. Protein kolagen merupakan salah satu komponen
pembentuk komponen tulang, kulit, tendon, tulang rawan, dan gigi. Protein juga
dapat berperan dalam sistem kekebalan/imunitas karena protein memiliki
kemampuan untuk dapat mengenali dan mengkombinasi dengan benda asing
seperti virus, bakteri, dan sel yang berasal dari organisme lain. Protein juga
dapat berfungsi sebagai respon sel saraf karena penghantar impuls saraf adalah
protein reseptor seperti rodopsin yang terdapat pada sel batang retina (Katili,
2009).
1.2.1 Asam Amino
18
Asam amino merupakan komponen utama penyusun protein, terbagi
dalam dua kelompok yaitu asam amino esensial dan non-esensial. Asam amino
esensial tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga perlu penambahan dalam
bentuk makanan, sedangkan asam amino non esensial dapat diproduksi dalam
tubuh. Asam amino bersifat larut dalam air namun tidak larut dalam pelarut
organik non polar (Winarno, 2008).
Jenis asam amino esensial adalah Arginin, Histidin, isoleusin, Leusin,
Metionin, Phenylalanin, Threonin, Tryptophan, Valin sedangkan jenis asam
amino non esensial adalah asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, alanin,
prolin, tirosin, dan sistein (Winarno, 2008).
Secara umum asam amino memiliki peranan pokok dalam proses biologis
dalam tubuh diantaranya.
1. Sebagian jenis α-asam amino dan turunannya memiliki peranan sebagai
penyambung dalam reaksi. Asam amino jenis glisin, glutamat, γ-asam amino
butirat, serotin dan melatonin bertindak sebagai neurotransmiter atau zat
yang dilepaskan dari satu sel syaraf yang dapat mempengaruhi fungsi sel
saraf lainnya atau sel otot. Thyroxine merupakan hormon, yang memberi
sinyal untuk membentuk sel baru kemudian membantu menjaga fungsi dari
sel yang lain (McKey, 2009).
2. Asam amino merupakan prekusor dalam berbagai molekul kompleks yang
mengandung nitrogen. Contohnya nukleutida, asam nukleat, heme (zat besi
yang mengandung komponen organik yang dibutuhkan dalam proses
metabolisme), dan klorofil (pigmen yang berfungsi dalam proses fotosintesis)
(McKey, 2009).
3.Beberapa asam amino berperan dalam metabolit intermediet. Contohnya
arginin, sitrulin, ornithin yang merupakan komponen dari siklus urea (McKey,
2009).
Untuk dapat mengetahui kandungan asam amino yang berada pada bahan
pangan bisa menggunakan metode pemisahan menggunakan kromatografi.
Kromatografi adalah proses pemisahan dari campuran menjadi komponen-
komponen menggunakan fase diam dan fase gerak. Prinsip dari pemisahan
dapat berlangsung secara partisi atau adsorbsi. Fase diam bisa berupa padat
19
atau cair sedangkan fase gerak bisa berupa cair atau gas. Apabila fase diam
berupa padatan maka prinsip pemisahannya adalah adsorpsi dan apabila fase
diam berupa cairan maka prinsip pemisahannya adalah partisi (Lavanya et al.,
2011).
Salah satu jenis kromatografi yang dapat digunakan untuk mengetahui
komponen asam amino adalah Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT),
merupakan suatu metode kromatografi yang menggunakan padatan, cairan resin
penukar ion, atau polimer berpori sebagai fase diamnya sedangkan fase
geraknya berupa cairan yang melewat kolom pada tekanan tinggi (Sherii, 2008).
KCKT akan memisahkan senyawa yang terlarut dalam larutan senyawa dengan
meninjeksikannya pada kolom. Pemisahan terjadi karena campuran analit yang
diinjeksikan akan dialirkan oleh fase gerak cair bertekanan tinggi sehingga
mendorong analit melalui kolom yang berisi fase diam. Analit akan terpisah
karena perbedaan afinitas terhadap fase diam dan fase gerak (Jonathan et al.,
2008)
Gambar 2.2. Instrumentasi Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Agilent, 2011)
Komponen utama alat yang dipakai dalam KCKT antara lain adalah
reservoir zat pelarut untuk fase mobil, pompa, injektor, kolom, detektor, dan
rekorder. Kolom merupakan komponen terpenting dalam KCKT karena didalam
kolom terjadi proses pemisahan dalam fase diam dan fase gerak yang dialirkan
dengan bantuan pompa (Lavanya et al., 2011).
1.2.2. Evaluasi Nilai Gizi Protein
Komposisi dari berbagai protein yang berbeda-beda yang akan berpengaruh
berbeda pada fungsi fisiologis pada tubuh manusia. Kualitas protein menjadi
penting diketahui ketika ingin mengambil manfaat dari protein yang dikonsumsi.
20
Kualitas protein dapat diketahui dari komponen asam amino, daya cerna, dan
bioavialabilitas dari asam amino (Hoffman and Falvo, 2004).
Protein yang dikonsumsi dari dalam bahan pangan akan mengalami proses
pencernaan yang akan menghasilkan unit-unit penyusunnya yaitu asam amino.
Asam amino kemudian diserap melalui usus halus kemudian diedarkan
keseluruh tubuh untuk pembentukan dan perbaikan jaringan yang rusak. Dari
sekitar 22 asam amino yang berada di alam, ada delapan macam (sepuluh
macam untuk bayi dan anak) jenis asam amino yang tidak dapat disintesis tubuh.
Berdasarkan kandungan asam amino esensialnya maka suatu bahan pangan
dapat dinilai apakah bernilai gizi tinggi atau gizi rendah. Suatu protein bernilai gizi
tinggi apabila mengandung asam amino esensial lengkap dan komposisinya
sesuai dengan kebutuhan tubuh (Astawan, 1992).
Evaluasi nilai gizi protein dapat dilakukan dengan berbagai cara, secara garis
besar digolongkan menjadi dua macam yaitu metode secara in vitro dan metode
secara in vivo. Metode in vitro adalah cara yang digunakan untuk mengevaluasi
komposisi protein secara kimia, mikrobiologis, atau enzimatis, sedangkan
metode in vivo adalah cara yang digunakan untuk mengetahui komposisi protein
secara biologis menggunakan hewan percobaan termasuk manusia (Astawan,
1992).
Berikut adalah beberapa parameter yang dapat dihunakan untuk mengetahui
kualitas dari protein.
1. Jumlah Protein Kasar
Untuk mengetahui jumlah protein dalam bahan pangan biasanya
digunakan metode Kjedal, metode ini dilakukan dengan mengukur kadar N
total pada sampel. Hasil yang didapat kemudian dikalikan dengan faktor
pengkoreksi untuk mendapatkan kadar protein dalam bahan pangan.
Sebagian besar protein mengandung 16% nitrogen, oleh karena itu total N
biasanya dikalikan dengan 6,25 untuk mengetahui kadar protein kasar
(Hoffman and Falvo, 2004).
2. Nilai Biologi
Nilai biologi (NB) adalah jumlah nitrogen yang ditahan tubuh yang
dipergunakan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh yang berasal dari
jumlah nitrogen yang diabsorbsi. Pengukuran ini didasarkan pada asumsi
21
bahwa nitrogen akan lebih banyak ditahan tubuh bila asam amino esensial
hadir dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan (Almatsier, 2003).
Nilai biologi adalah perhitungan untuk mengetahui kualitas protein
dengan cara menghitung nitrogen yang dibutuhkan untuk membentuk
jaringan dibagi dengan nitrogen yang diserap makanan. Hasilnya kemudian
dikalikan dengan 100 yang akan menunjukkan nilai sebagai presentasi dari
nitrogen yang dimanfaatkan oleh tubuh. Nilai biologi juga dapat menunjukkan
efisiensi tubuh dalam menyerap protein yang dikonsumsi. Bahan pangan
yang memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap akan
berbanding lurus dengan nilai biologi. Protein hewani memiliki nilai biologi
yang lebih tinggi dari protein nabati (Hoffman and Falvo, 2004).
Makanan yang memiliki NB 70 atau lebih dianggap mampu memberi
pertumbuhan bila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dengan diimbangi
konsumsi energi. Berikut adalah NB dari berbagai produk pangan.
Tabel 2.1. Nilai biologi berbagai jenis protein
Jenis Protein Nilai BiologiDagingKaseinTelurSusuProtein kedelaiGluten gandumProtein whey
8077
100917464
104Sumber : Hoffman and Falvo, 2004
3. Daya Cerna Protein
Daya cerna protein adalah salah satu faktor yang menentukan kualitas
protein karena menentukan ketersediaan asam amino secara biologis.
Protein hewani akan lebih mudah diserap tubuh dibandingkan protein nabati
karena enzim pencernaan akan lebih sulit mencerna protein nabati karena
kandungan selulosa dan zat kayu yang dimiliki tumbuh-tumbuhan ( KKM,
2005). Proses pemasakan juga berpengaruh pada kecernaan protein seperti
22
NB= Nitrogen ditahan = N makanan – (N urin – N feses) Nitrogen diabsorbsi N makanan – N feses
pemanasan yang berlebihan. Penentuan daya cerna protein dapat dilakukan
secara in vivo ataupun in vitro (Muchtadi, 1993).
Penentuan daya cerna protein secara in vivo dinyatakan dengan
mengukur retensi dari penyerapan nitrogen. Nilai didapat dari perbandingan
jumlah N yang diserap dengan jumlah N yang dikonsumsi tanpa
memperhatikan nilai N yang ada dalam urin. Perhitungan daya cerna hanya
memperhatikan nitrogen yang ada dalam feses yang mencerminkan jumlah
protein yang dicerna oleh tubuh (Muchtadi, 1993). Perhitungan daya cerna
hampir sama dengan nilai biologi perbedaannya daya cerna mengukur
berapa banyak nitrogen yang dibuang, sedangkan nilai biologi mengukur
berapa banyak nitrogen yang dicerna (KKM, 2005).
Penentuan daya cerna protein secara in vitro diukur menggunakan
enzim-enzim pencernaan dan membuat kondisi yang mirip dengan yang
sesungguhnya terjadi dalam pencernaan tubuh manusia. Enzim protease
yang digunakan adalah enzim pepsin, pankreatin, tripsin, kimotripsin,
peptidase, atau menggunkan campuran beberapa macam enzim (multi
enzim). Nilai daya cerna protein juga dapat diamati dari terbentuknya asam
amino pada proses hidrolisis enzim-enzim protease pencernaan tersebut.
Enzim protease dalam sistem pencernaan akan menghidrolisis ikatan peptida
yang akan membebaskan ion-ion hidrogen sehingga menyebabkan
penurunan pH. Oleh karena itu penentuan daya cerna secara in vitro juga
dapat dianalisis berdasarkan penurunan pH (Muchtadi, 1993).
Daya cerna protein dapat dipengaruhi oleh faktor eksogenus dan faktor
endogenus. Faktor eksogenus adalah faktor yang disebabkan adanya
interaksi protein dengan polifenol, fitat, karbohidrat, lemak, dan protein
inhibitor. Faktor endogenus berkaitan dengan karakterisasi struktur protein
seperti struktur tersier, kuartener, ataupun struktur yang rusak karena adanya
pemanasan atau reduksi. Protein merupakan senyawa yang reaktif karena
beberapa jenis asam amino memiliki sisi aktif yang dapat berinteraksi dengan
komponen lain seperti gula pereduksi, polifenol, atau lemak. Asam amino
yang terikat dengan komponen lain dapat menurunkan daya cerna protein
karena senyawa gabungan tersebut lebih susah dicerna oleh enzim-enzim
pencernaan (Muchtadi, 1993).
23
4. PER (Protein EfficiencyRatio )
PER adalah nilai yang menunjukkan efektivitas protein melalui
pengukuran pertumbuhan hewan coba. Teknik ini dilakukan pada tikus uji
kemudian mengukur berat badan dalam gram per konsumsi protein yang
dikonsumsi dalam gram. Kemudian nilai yang didapat dibandingkan dengan
standar kasein yaitu 2.7, apabila nilai yang dihasilkan menunjukan nilai lebih
dari 2.7 maka protein tersebut merupakan sumber protein yang baik. Nilai
PER dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hoffman and Falvo,
2004).
5. Nilai Kimia Protein
Nilai kimia protein didasari oleh nilai biologis protein yang dibatasi oleh
asam amino esensial yang terdapat didalamnya. Mitchaell dan Block (1946)
membandingkan masing-masing asam amino yang terkandung dalam bahan
dengan protein telur sebagai standar. Pada perkembangannya komposisi
asam amino telur memiliki kekurangan karena nilainya yang tidak selalu
sama dipengaruhi oleh banyak faktor, oleh sebab itu perhitungan nilai kimia
protein menggunakan referensi FAO (1973)
Tabel 2.2. Rekomendasi Jumlah Asam Amino Menurut FAO (1973).
Asam Amino Rekomendasi FAO mg/g ProteinThreonineMetionin+SisteinValinIsoleusinLeusinLisinTriptophan
40354540705510
Sumber: Muchtadi, 1993
Nilai kimia menunjukkan kualitas protein makanan. Untuk menghitung
nilai kimia protein, jumlah dari masing-masing asam amino esensial yang
berada pada makanan dibagi dengan jumlah ideal asam amino. Pada skor
kimia, kualitas protein ditentukan oleh asam amino esensial yang paling
24
PER = Penambahan berat badan (g) Jumlah protein yang dikonsumsi (g)
kekurangan. Asam amino yang memiliki proporsi paling kecil ditentukan
sebagai nilai kimia (KKM, 2005).
Nilai kimia juga dapat disederhanakan menurut McLaughlan et al (1959)
hal ini didasarkan pada asam amino pembatas dalam sebagian bahan
pangan adalah lisin, metionin (metionin dan sistein), dan terkadang triptofan.
Oleh karena itu perhitungan hanya berdasarkan asam-asam amino tersebut.
Nilai kimia didasarkan pada skor asam amino yang terendah (Astawan et
al., .,1992)
6. PDCAAS
Protein Digestibility Corrected Amino Acid Score atau PDCAAS adalah
sebuah metode untuk mengetahui kualitas protein dengan cara
membandingkan konsentrasi asam amino pembatas dalam bahan dengan
konsentrasi asam amino pembanding dengan jenis yang sama. Hasilnya
kemudian dikoreksi dengan daya cerna protein. Berikut perhitungan PDCAAS
(Hoffman and Falvo, 2004).
1.2.3 Kualitas Protein dan Kesehatan
Kualitas protein dapat digunakan untuk menentukan gambaran jangka
pendek dan jangka panjang terhadap kesehatan tubuh. Kualitas protein juga
dapat menunjukan kebutuhan fisiologi dan metabolik (FAO, 2013).
Kualitas protein akan memiliki dampak langsung terhadap respon
metabolik dan fisiologi yang akan berpengaruh pada penyerapan dan daya
cerna protein, kesimbangan nitrogen, pertumbuhan otot/tulang yang ideal,
pergantian jaringan, sekresi protein, imunitas, pertumbuhan dan
perkembangan, dan perbaikan jaringan (FAO, 2013).
Kualitas protein juga dapat berpengaruh secara tidak langsung yang
artinya protein memiliki kegunaan dimasa datang. Efek jangka pendek yang
25
PDCAAS (%) = mg asam amino pembatas per g x Daya Cerna Protein x 10 mg asam amino pembanding per g
Nilai Kimia = Konsentrasi AAE protein sample x 100Konsentrsasi AAE protein standar
didapat apabila makanan memiliki kualitas protein yang baik akan
berpengaruh pada pertumbuhan dan perbaikan jaringan terutama masalah
wasting dan stunting, dapat berperan dalam sistem imun tubuh terhadap
prevalensi dan keparahan infeksi, membantu membentuk masa dan jaringan
otot terutama untuk para atlet, membantu performa mental, suasana hati, dan
waktu tidur, memberikan efek detoksifikasi terhadap bahan kimia (FAO,
2013).
Efek jangka panjang yang akan ditimbulkan ketika mengkonsumsi protein
dengan kualitas yang baik adalah memiliki kehidupan yang normal,
pertumbuhan yang linear. Ketika bertambahnya usia, konsumsi kualitas
protein yang baik dapat berperan dalam menjaga kehilangan berat badan,
masa otot, kekuatan tulang, dan sistem imun. Selain itu dapat mencegah
penyakit kronik, kanker, hipertensi, kerusakan akibat oksidasi, dan dapat
memperbaiki sistem tubuh (FAO, 2013).
1.3 Kitin
Kitin adalah salah satu jenis polisakarida yang paling banyak berada di
alam setelah selulosa. Kitin memiliki rumus kimia poli-(2-asetamida-2-dioksi- ß
-D-Glukosida) dengan ikatan ß -glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar
unitnya (Rinaudo, 2006). Struktur kimia kitin mirip dengan struktur kimia selulosa
yang membedakan hanya gugus yang terikat dengan atom C2. C2 pada selulosa
berikatan dengan OH, sedangkan pada kitin C2 berikatan dengan asetamida
(Dutta et al., 2004).
Gambar 2.3. Struktur kitin (Dutta et al., 2004)
Kitin merupakan salah satu bagian penyusun struktural dalam
eksoskeleton antropoda atau dinding sel kapang dan khamir. Meskipun
ketersediaan kitin banyak sumber komersial kitin didapat dari kepiting dan udang
26
(Rinaudo, 2006). Berdasarkan sumbernya kitin terdiri dari tiga bentuk yaitu
bentuk α, ß, dan γ. α-kitin banyak ditemukan pada eksoskeleton hewan
crustacea, udang, dan kepiting. ß-kitin didapat dari ekstraksi tinta cumi-cumi. γ-
kitin berasal dari kapang dan khamir. Jenis α-kitin adalah jenis kiitn yang paling
banyak ditemukan, ß-kitin memiliki sifat yang reaktif dan mudah berubah menjadi
α-kitin pada perlakuan basa (Kumirska et al,. 2011).
Kitin berwarna putih, keras, tidak elastis, dan merupakan polisakarida
yang mengandung nitrogen. Kitin bersifat hidrofobik sehingga tidak larut air
namun larut dalam heksafloroisopropanol, heksafloroaseton, dan kloroalkohol.
Hidrolisis kitin menggunakan asam pada kondisi yang drastis akan menghasilkan
D-glukosamin (Dutta, 2004). Karena keberadaan gugus nitrogen pada kitin,
molekul kitin cenderung bergabung dengan makro molekul lain seperti asam
amino (tirosin) membentuk kompleks yang stabil (Taranathan dan Kittur, 2003).
Turunan kitin yang paling banyak digunakan adalah kitosan, yang terbentuk dari
proses deasitilisasi kitin pada kondisi basa/hidrolisis enzim. Kitosan memiliki sifat
yang lebih baik dibandingkan kitosan sehingga pemanfaatan kitosan lebih
banyak dilakukan.
1.3.1 Kitosan
Kitosan adalah produk deasitilasi kitin yang merupakan polimer panjang
glukosamin dengan berat molekul 2,5 x 10-5 Dalton dengan rumus kimia poli(2-
amino-2-deoksi-D-glukosa) dan rumus molekul [C6 H11 NO 4]n. Kitosan sedikit
larut dalam asam klorida dan larut baik dalam asam lemah seperti asam formiat
dan asam aseat. Kitosan memiliki massa molekul besar sehingga memiliki daya
absorbsi besar (Pebriani et al.,.,2012). Daya absorbsi yang besar menyebabkan
kitosan banyak digunakan sebagai agen penyerap logam berat, kitosan
modifikasi menjadi membran. Kitosan yang menyerap logam berat akan
mengalami pergesaran bilangan gelombang pada beberapa gugus fungsi
(Nugroho et al.,., 2011).
Penghilangan gugus asetil pada kitin akan membentuk kitosan.
Penghilangan gugus asetil menggunakan basa kuat konsentrasi tinggi untuk
memutus ikatan kovalen antara gugus asetil dengan dengan nitrogen pada
gugus asetamida kitin sehingga menjadi gugus amina ( - NH2). Proses
penghilangan gugus asetil ini disebut deasitilisasi (Azhar et al.,., 2010).
27
Gambar 2.4. Proses penghilangan gugus asetil pada gugus asetamida (Lee, 2004)
Kitosan memiliki gugus fungsi amina, gugus hidroksi primer, dan gugus
hidroksi skunder yang menyebabkan kitosan memiliki kereaktifan kimia yang
tinggi dibandingkan kitin. Gugus tersebut dapat berinteraksi dengan protein
sehingga pemanfaatan kitosan luas seperti dibidang kesehatan, pangan, ataupun
kosmetik. Kitosan juga dapat dimodifikasi secara fisik atau kimia yang akan
membuat kelarutan dalam air meningkat selain itu kitosan juga dapat bertindak
sebagai bioabsorben logam berat pada limbah perairan (Azhar et al., 2010)
1.3.2 Karakterisasi Kitin dan Kitosan
Karakterisasi kitin dan kitosan dapat diketahui menggunakan metode
Fourier Transform Infrared (FTIR). FTIR adalah suatu metode karakterisasi
gugus fungsi atau senyawa berdasarkan pada serapan radiasi inframerah oleh
atom yang mengalami vibrasi. Frekuensi setiap atom berbeda-beda, getaran
terjadi dalam spektrum elektromagnetik inframerah dengan panjang gelombang
4000-400 cm-1 (Azhar et al., 2010).
Karakterisasi kitin dan kitosan yang penting diketahui adalah Derajat
Deasetilisasi (DD). Derajat deasetilasi akan menentukan sifat fisik dan biologi
dari kitosan. Sifat fisik yang berpengaruh adalah kelarutan, viskositas,
bioderadasi, dam biokompatibel. Sedangkan sifat biologi yang berpengaruh
adalah sifat antimikroba, analgestik, antioksidan, dan hemostatis (Kumirska et
al., 2011).
Derajat deasitilasi dapat menentukan apakah sampel yang diuji
merupakan kitin/kitosan. Senyawa uji digolongkan kitosan apabila memiliki DD
sebesar 40-100% apabila memiliki nilai dibawah 40% maka senyawa tersebut
digolongkan kitin. Untuk dapat mengetahui nilai DD digunakan metode base-line
yaitu perbandingan nilai absorbansi pita serapan dari spektrum inframerah pada
bilangan gelombang 1655 cm-1 dan 3450 cm-1 . Absorbansi (A) dinyatakan
28
Gambar 2.5.Belalang (Marty, 2013)
dengan persamaan (1), sedangkan nilai DD dinyatakan sebagai persamaan (2)
(Azhar et al., 2010).
.......................(1)Dimana P0 = %transmitant pada base-line (serapan maksimum)P = % transmitant pada serapan maksimum.
.........(2)
Nilai A1655 sesuai untuk pita serapan 1655 cm-1 yang merupakan pita
serapan karbonil gugus N-asetil, sedangkan nilai A3450 sesuai untuk pita serapan
3450 cm-1 yang merupakan pita serapan gugus NH2 (Azhar et al., 2010).
1.4 Belalang Kayu
Belalang kayu (Melanoplus cinereus) merupakan salah satu dari berbagai
jenis serangga. Spesies ini termasuk dalam herbivora berwarna coklat yang
termasuk ordo Orthoptera. Berikut merupakan klasifikasi dari Belalang Kayu.
Filum : Arthropoda
Class : Insecta
Order : Orthoptera
Suborder : Caelifera
Family : Acrididae
Subfamily : Melanoplinae
Genus : Melanoplus
Species : cinereus
Belalang merupakan salah
satu makanan alternatif yang
29
A = log P0
P
%DD = 100 – [(A1655/A3450) x 115]
dapat dikonsumsi karena ketersediaannya banyak dan sebagian besar belalang
dapat dikonsumsi. Delapan puluh jenis belalang dapat dikonsumsi secara aman.
Belalang biasa ditangkap pada pagi hari ketika suhu udara sejuk. Beberapa
negara di bagian afrika barat sering menjualnya di pasar tradisional sebagai
makanan ringan (Van Huise et al, 2013). Belalang dapat dijadikan salah satu
sumber makanan alternatif karena ketersediaannya yang banyak, bisa dijadikan
pangan primer dilihat dari pandangan ekologi. Belalang dapat dijual dan
disimpan setelah dikeringkan terlebih dahulu (Blaquez et al., 2012).
Belalang diketahui memiliki kandungan nutrisi yang tinggi menurut penelitian
Wang (2007) belalang mengandung protein sebanyak 654.2 g/kg, lemak 83.0
g/kg, dan kitin 87.3 g/kg pada berat kering. Kandungan asam amino belalang
terutama jenis asam amino lisin, metionin dan sistein memiliki kandungan yang
lebih tinggi dibandingkan ikan. Apabila dibandingkan dengan jenis serangga
lainnya belalang memiliki kandungan asam amino yang lengkap karena
dibeberapa jenis serangga memiliki defisiensi asam amino metionin, sistein, dan
lisin.
1.5 Mie Instan
Mie instan adalah sebuah produk yang dibuat dari tepung gandum ataupun
tepung beras sebagai bahan utamanya dengan atau tanpa penambahan bahan
lainnya. Karakterisasi didapat dari proses pregelatinisasi dan dehidrasi
menggunakan metode penggorengan ataupun metode lainnya (Codex, 2006).
Protein dalam tepung berpengaruh pada jenis dan kualitas produk akhir, mie
instan biasanya terbuat dari tepung dengan protein 7-9.5%. Tidak hanya kualitas
protein yang berpengaruh, namun asal dari protein juga dapat menentukan
kekuatan dari viskoelastis glutein yang akan menghasilkan produk yang kenyal.
Elastisitas dari mie berpengaruh pada proses pembuatan mie. Kandungan abu
bervariasi dari 0.40-0.54%. Kandungan lemak tergantung pada target pasar
mulai dari 12-20% (Owen, 2001).
Mie instan memiliki keunikan pada bentuk gelombangnya. Gelombang yang
ada pada produk mie instan memiliki fungsi untuk memaksimalkan proses
pengukusan yang kemudian digoreng sebagai helaian mie yang dipisahkan.
Proses penggorengan mie pada minyak yang panas akan membuat air dalam
mie menguap sehingga menghasilkan struktur yang berlubang-lubang pada
bagian dalam mie. Tekstur ini yang membuat mie mudah mengalami proses
30
hidrasi dan pemasakan (Owen, 2001). Berikut adalah syarat mutu mie instan
menurut SNI.
Tabel 2.3. Syarat mutu mie instan menurut SNI (2009).
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan11.11.21.31.42344.14.255.1
KeadaanTeksturAromaRasaWarnaBenda asingKeutuhanKadar airProses penggorenganProses pengeringanKadar ProteinMi dari terigu
-----
%bb
%bb%bb
%bb
Normal/dapat diterimaNormal/dapat diterimaNormal/dapat diterimaNormal/dapat diterima
Tidak boleh adaMin, 90
Maks, 10,0Maks 14,5
Min, 8,05.267
Mi bukan dari teriguBilangan asamCemaran Logam
%bbMg KOH/g minyak
Min, 4,0Maks, 20
7.17.2899.1
9.29.39.4
Timbal (Pb)Raksa (Hg)Arsen (As)Cemaran mikrobaAngka lempengan totalE.coliSalmonelaKapang
mg/kgmg/kgmg/kg
koloni/g
APM/g
koloni/g
Maks, 20Maks, 0,05Maks, 0,5
Maks, 1.0 x 106
< 3Negatif per 25 gMaks, 1.0 x 106
Sumber: SNI 3751:2009 Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan
1.3.1 Bahan Pembuatan Mie Instan
Berikut adalah bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mie
instan.
a. Tepung Terigu
Tepung terigu menurut SNI (2006) adalah tepung yang terbuat dari
endosperma biji gandum Triricum asditivum L. dan atau Triticum compactum
Host atau campuran keduanya dengan penambahan Fe, Zn, vitamin B1,
vitamin B2 dan asam folat sebagai fortifikasi.
Tepung terigu yang terbuat dari biji gandum memiliki keistimewaan
karena adanya kandungan gluten dalam bahan berdasarkan derajat
31
kekerasan, biji gandum digolongkan menjadi tiga kelompok (Koeswara,
2009).
1. Gandum durum (keras) dengan kandungan gluten 12-13%
2. Gandum dengan kekerasan medium dengan kandungan gluten 9.5-10%
3. Gandum lunak dengan kandungan gluten 7.5-8%
Tepung terigu mengandung protein sebesar 7-22% yang terdiri dari jenis
protein albumin, globulin, gliadin, glutenin, dan gluten. Gluten terbentuk
apabila glutenin dan gliadin tercampur air. Gluten merupakan senyawa yang
dapat membentuk sifat kohesif dan viskoelastis sehingga dapat membentuk
tekstur elastis pada mie (Koeswara, 2009).
Selain kandungan protein tepung terigu juga memiliki kandungan
karbohidrat yang tinggi sekitar 70-75% yang berpengaruh pada produk akhir
mie. Pati terdiri dari dua komponen utama yaitu amilosa dan amilopektin,
komposisi tepat antara kedua komponen tersebut dapat memengaruhi
kualitas dari mie dan mempercepat proses pengembangan pada temperatur
yang tendah (Yu, 2003).
b. Tepung Tapioka
Tepung tapioka adalah pati yang berasal dari ekstrak umbi ketela pohon
yang telah dikeringkan. Tepung tapioka dapat digunakan sebagai pengental,
bahan pengisi, dan pengikat pada berbagai jenis olahan makanan. Tepung
tapioka memiliki dua jenis, yaitu tapioka kasar dan tapioka halus. Tapioka
kasar masih mengandung gumpalan dan butiran umbi kayu, sedangkan
tapioka halus merupakan hasil pengolahan lanjut tapioka kasar sehingga
tidak mengandung gumpalan umbi (Warintek, 2000).
Kualitas tepung tapioka dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
(Warintek, 2000).
1. Warna tepung, tepung yang baik memiliki warna putih bersih.
2. Kandungan Air, setelah diproses tepung harus dilakukan proses
pengeringan/penjemuran untuk mengurangi kadar air bahan.
3. Serat dan Kotoran, serat yang terdapat pada umbi harus sedikit untuk
menghasilkan tepung yang baik apabila umbi mengandung zat kayu
rendah kandungan patinya tinggi.
4. Tingkat Kekentalan, daya rekat dari tapioka yang dihasilkan harus tinggi
hal ini didapat apabila penggunaan air saat proses pengolahan sesuai.
32
Tepung tapioka yang ditambahkan dalam adonan mie memiliki viskositas
yang tinggi, mudah mengembang, dan memiliki suhu gelatinisasi yang
rendah sehingga dapat menghasilkan kualitas mie menjadi lebih elastis dan
memiliki waktu rehidrasi yang cepat (Yu, 2003).
c. Air
Air berperan dalam proses pembetukan glutein dan interaksi antara
gluten dan karbohidrat yang akan melarutkan garam dan mengembang
sehingga didapat sifat kenyal. Penambahan air harus dalam proporsi yang
tepat yaitu 30-35% dari total adonan. Apabila air yang ditambahnkan telalu
banyak maka adonan akan terlalu lembek sehingga sulit dicetak, apabila air
yang ditambahkan kurang maka mie yang dihasilkan akan mudah patah
(Owen, 2001).
d. Garam
Garam berperan dalam pemberi rasa, memperkuat tekstur mie,
meningkatkan elastisitas, dan mengikat air. Selain itu garam dapat
menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga mengurangi
sifat lengket dan pengembangan secara berlebihan (Koeswara, 2009).
e. Telur
Telur memiliki dua bagian yaitu putih telur dan kuning telur. Putih telur
membantu menghasilkan lapisan tipis pada permukaan mie yang dapat
mencegah penyerapan minyak yang berlebih. Kuning telur berperan sebagai
pengemulsi yang baik dan dapat mempercepat hidrasi air untuk
mengembangkan adonan (Koeswara, 2009)
f. Garam Alkali
Garam alkali akan meningkatkan pH adonan hingga 9-11.5 pada keadaan
tersebut flavonoid yang biasanya tidak berwarna akan mengalami perubahan
menjadi lebih kuning. Kandungan garam alkali yang digunakan adalah
campuran sodium dan potasium karbonat atau sodium hidroksida (Widjaya,
2010).
33
1.3.2 Proses Pembuata Mie Instan
Tahapan pembuatan mie adalah pencampuran bahan dalam cairan,
pencampuran dengan peremasan, pengepresan1, pengepresan 2,
pemotongan, pengukusan, pencetakan, pengeringan (Muehlenchemie,
2009).
a. Pencampuran (dalam cairan)
Larutan dipersiapkan untuk proses pencampuran dengan tepung terigu
menjadi adonan mie. Larutan ini terdiri dari garam dan garam alkali untuk
meningkatkan kualitas dan flavour dari mie instan (Muehlenchemie, 2009).
b. Pencampuran
Pada tahap ini tepung terigu dan bahan lain dicampurkan dan diaduk
selama 15-20 menit. Penggunaan air perlu diperhatikan pada takaran yang
sesuai pada temperatur 20-30oC untuk menghasilkan sifat adonan memiliki
viskositas dan elastisitas yang baik (Muehlenchemie, 2009).
c. Pengepresan 1
Pengepresan tahap satu bertujuan untuk meratakan adonan mie. Adonan
di masukan pada mesin pengepres sehingga menjadi lembaran. Kemudian
dua lembaran adonan di masukan kembali pada mesin pengepres hingga
menjadi satu lembaran. Hal ini akan memberikan lembaran mie yang kuat
dan konsisten (Muehlenchemie, 2009).
d. Pengepresan 2
Pengepresan tahap dua bertujuan untuk memipihkan lembaran dalam
empat tahapan. Setiap tahapan akan memipihkan lembaran hingga didapat
ketebalan yang diinginkan. Pada tahap ini glutein yang ada dalam kandungan
adonan akan terjalin sehingga menghasilkan mie yang fleksibel dan tekstur
yang elastis (Muehlenchemie, 2009).
e. Pemotongan
Lembaran yang terbentuk kemudian dipotong sesuai dengan jenis mie
yang akan dibuat. Mesin pemotong terdiri dari pisau yang berputar sehingga
34
dapat memotong lembaran adonan. Untuk mendapatkan hasil bergelombang
diperlukan mesin lainnya dengan ban berjalan (Muehlenchemie, 2009).
f. Pengukusan
Proses pengukusan merupankan tahapan pendahuluan. Mie mentah di
kukus selama 1-5 menit pada suhu 100oC. Pada proses pengukusan akan
terjadi gelatinisasi pati yang akan meningkatkan daya cerna dan tekstur dari
mie (Muehlenchemie, 2009).
g. Pencetakan
Proses pencetakan dilakukan untuk membagi mie sesuai dengan porsi
yang ditentukan. Proses pencetakan menggunakan blok-blok dengan bentuk
persegi atau bulat sesuai dengan takaran saji. Apabila mie dijual dalam
bentuk lurus proses pencetakan tidak diperlukan (Muehlenchemie, 2009).
h. Pengeringan
Proses pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan
dan penggorengan. Pengeringan dilakukan menggunakan mesin pengering
diatas lembaran plat selama 30 menit pada suhu 80oC proses ini sering
disebut dengan gelatinisasi mie kering. Penggorengan dilakukan
menggunakan metode deep fried pada suhu 140-150oC selama 1-2 menit.
Proses ini akan mengurangi kadar air dar 30-40% menjadi 3-4%
(Muehlenchemie, 2009).
1.6 Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Mie Instan
Menurut Widjaya (2010) warna dan tekstur dari mie instan dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya tingkat penggilingan tepung, ukuran partikel
tepung, kandungan protein, dan penggunaan larutan alkali.
1.Proses penggilingan, tepung yang digiling cepat akan meningkatkan
kandungan PPO (polyphenol oxidase) yang akan menyebabkan
perubahan warna pada mie. Semakin tinggi kandungan PPO dalam
tepung menyebabkan semakin tinggi tingkat perubahan warna mie.
Namun peningkatan nilai PPO akan berpengaruh baik pada tekstur
mie, PPO akan meningkatkan kekompakan dan kekenyalan pada mie.
35
2.Ukuran partikel dari tepung dapat mempengaruhi warna dari mie,
semakin halus ukuran partikel akan memberikan warna yang lebih
putih. Selain itu ukuran partikel yang halus dan seragam akan
memudahkan dalam penyerapan air yang membuat pati rusak
sehingga menghasilkan mie yang lembut namun kerusakan pati akan
mempengaruhi tingkat kecerahan warna mie karena pati tidak lagi
dapat memantukan cahaya.
3.Kandungan protein pada tepung mempengaruhi tingkat kecerahan,
peningkatan warna putih pada tepung atau mie akan menurunkan
kandungan protein. Protein juga memiliki pengaruh pada tekstur mie.
Selain jumlah protein dalam tepung kualitas protein yang dibutuhkan
sesuai dengan masing-masing tipe mie yang akan dibuat
4.Larutan alkali dapat mempengaruhi warna mie, garam alkali sebagai
komponen utama larutan alkali yang digunakan akan memunculkan
warna kuning dengan cara melepas komponen flavone atau pigmen
alami yang ada dalam tepung. Larutan alkali juga dapat memcegah
aktivitas enzim yanng menyebabkan perubahan warna menjadi gelap
dan meningkatkan pH, meningkatkan flavor dan tekstur.
BAB III METODE PENELITIAN
36
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai bulan Desember 2014
di Laboratorium Pengolahan dan Biokimia Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya, Laboratorium Nutrisi Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya, dan Food Processing and Training Center (FPTC)
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan untuk pembuatan mie belalang adalah timbangan
digital, timbangan analitik, kompor, baskom, mixer, noodle maker, , ayakan 60
mesh, steamer, wajan, termometer. Sedangkan alat untuk analisis adalah
timbangan analitik, cawan perti, gelas beaker, gelas ukur, erlenmeyer, labu ukur,
tabung reaksi, porselen, kertas saring, oven, tanur, color reader, kompor listrik,
penangas air, perangkan soxhlet, dan perangkat kjeldahl.
3.2.2 Bahan
Bahan baku berupa tepung terigu protein tinggi, tepung tapioka, minyak
sayur, telur, garam dapur, Na2CO3 dan belalang yang didapat dari Kabupaten
Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahan kimia yang diperlukan
adalah pelarut petroleum eter, tablet kjedhal, indikator PP, indikator metil red,
aquades, NaOH, HCl, H2BO2, H2SO4, Comfeed PAR-S, terigu, maizena, sukrosa,
CMC, dan minyak jagung, dan tikus putih Rattus norvegicus stain wistar
berkelamin jantan dengan berat badan 100-150 gram umur 8 minggu.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Penelitian Tahap I
Penelitian dilaksanakan dua tahap, dimana tahap pertama dilaksanakan
dengan pembuatan tepung belalang dan pembuatan mie instan belalang. Tahap
kedua merupakan uji lanjut untuk perlakuan mie instan belalang terbaik secara in
vivo, in vitro, dan penetuan nilai kimia protein. Tahap pertama dilakukan
pembuatan mie instan belalang dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan menggunakan 1 faktor yang memiliki 6 level. Pengulangan dilakukan
sebanyak 3 kali sehingga didapat 18 kali percobaan.
Faktor I : Tingkat Subtitusi Tepung Belalang
37
P1: Tingkat subtitusi 5% tepung belalang
P2: Tingkat subtitusi 10% tepung belalang
P3: Tingkat subtitusi 15% tepung belalang
P4: Tingkat subtitusi 20% tepung belalang
P5: Tingkat subtitusi 25% tepung belalang
P6: Tingkat subtitusi 30% tepung belalang
3.3.2 Penelitian Tahap II
Penelitian tahap dua akan dilakukan dengan metode deskriptif untuk
pengujian daya cerna protein secara in vitro dan nilai kimia protein sedangkan
untuk penetuan nilai PER dan pemulihan berat badan secara in vivo digunakan
metode Pretest – Postest Group Design yang memungkinkan peneliti mengukur
pengaruh perlakuan pada kelompok eksperimen dengan cara membandingkan
kelompok eksperimen kontrol. Perlakuan yang dilakukan adalah pemberian mie
instan belalang dan mie instan komersial, sedangkan hasil yang didapat adalah
nilai PER dan pemulihan berat badan. Rancangan penelitian digunakan dengan
Rancangan Acak Lengkap dengan dengan perlakuan masing-masing kelompok
sebagai berikut.
Tabel 3.1. Perlakuan Pada Masing-Masing KelompokPerlakuan I Perlakuan II Perlakuan III Perlakuan IVPemberian Diet Comfeed PAR-S selama 5 minggu (Selama Percobaan)
Pemberian diet KEP selama 2 minggu dan dilanjutkan pemberian diet Comfeed PAR-S selama 21 hari
Pemberian diet KEP selama 2 minggu dan dilanjutkan pemberian diet mie belalang selama 21 hari
Pemberian diet KEP selama 2 minggu dan dilanjutkan pemberian mie instan (Komersial) selama 21 hari
Tabel 3.2. Formulasi ransum tikus /100gDiet Standar Diet KEP* Mie Belalang**Comfeed PAR-S (67 g)Terigu (33g)
Sukrosa (50g)Maizena (35g)Selulosa (10g)
Tepung teriguTepung belalangTepung tapioka
38
Minyak Jagung (5g) Garam alkaliGaramKuning TelurAir
*Pundyani (2005) dalam Kholis dan Hadi (2010) **Perlakuan Terbaik
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Pembuatan Tepung Belalang
Pembuatan tepung belalang diawali dengan pencucian menggunakan air
panas kemudian bagian kaki dan sayapnya dihilangkan. Setelah itu dilakukan
proses penggorengan dengan suhu 180 oC hingga berwarna kecoklatan
kemudian sisa minyak hasil penggorengan ditiriskan menggunakan spiner.
Kemudian belalang yang telah digoreng dilakukan proses penggilingan
menggunakan hammer mill untuk memperkecil ukuran belalang hingga
menyerupai tepung. Tepung belalang kemudian diayak dengan ukuran 60
mesh untuk mendapatkan ukuran partikel yang homogen.
3.4.2 Analisis Tepung Belalang
Tepung belalang kemudian dilakukan analisis secara kimia dan
karakterisasi kitin.
1. Analisis kadar air metode AOAC, 1995 (Lampiran 1.2)
2. Analisis kadar abu metode AOAC, 2000 (Lampiran 1.3)
3. Analisis kadar lemak metode AOAC, 2000 (Lampiran 1.4)
4. Analisis kadar protein metode AOAC, 1995 (Lampiran 1.5)
5. Identifikasi kitin menggunakan metode FTIR (Lampiran1.1)
3.4.3 Pembuatan Mie Instan Belalang
Proses pembuatan mie instan dilakukan dengan proses pencampuran
tepung terigu dan tepung belalang dengan proporsi yang telah ditentukan
kemudian dilakukan penambahan tepung tapioka sebanyak 10%, telur, dan
garam dapur. Air alkali atau Na2SO4 ditambahkan dalam bentuk larutan yang
sebelumnya dilarutkan dalam air. Penambahan air dilakukan hingga
membentuk adonan yang kalis dan mudah untuk dicetak. Proses
pengadukan dilakukan selama 15 menit hingga membentuk adonan yang
mudah untuk dibentuk. Kemudian dilakukan proses pengepresan dengan
empat tahap, setiap tahapnya memiliki ketebalan yang semakin kecil hingga
39
didapat lembaran mie dengan tebal 0,2 cm. Kemudian lembaran mie dicetak
sehingga didapat bentuk mie yang sesuai yaitu tebal 0,2 cm, lebar 0,1 cm.
Kemudian mie dikukus dengan suhu ± 95oC selama 15 menit setelah itu
didinginkan selama 60 menit. Setelah itu mie digoreng dengan suhu 150oC
hingga matang dan berwarna kecoklatan setelah digoreng mie ditiriskan dan
didinginkan kemudian didapat produk mie instan belalang.
3.4.4 Analisis Kimia Fisik Organoleptik
Analisis kimia mie instan meliputi:
1. Analisis kadar air metode AOAC, 1995 (Lampiran 1.2)
2. Analisis kadar abu metode AOAC, 1995 (Lampiran 1.3)
3. Analisis kadar lemak metode AOAC, 1995 (Lampiran 1.4)
4. Analisis kadar protein metode AOAC, 1995 (Lampiran 1.5)
5. Analisis kadar karbohidrat menggunakan metode by difference
Analisis fisik mie instan meliputi:
1. Daya patah metode Yuwono, 1998 (Lampiran 1.7)
2. Daya putus metode Yuwono, 1998 (Lampiran 1.8)
3. Daya serap air metode Yuwono, 1998 (Lampiran 1.10)
4. Waktu rehidrasi metode Putra, 2008 (Lampiran 1.11)
5. Cooking loss metode Seib et al., 2000 (Lampiran 1.9)
6. Kecerahan (L*) metode susanto, 1990 (Lampiran 1.12)
Analisis organoleptik menggunakan metode hedonic scale scoring.
Parameter yang diamati dalam uji hedonik meliputi.
1. Warna
2. Rasa
3. Aroma
4. Tekstur
3.4.5 Analisis Perlakuan Terbaik
Data yang diperoleh dari hasil analisis tahap satu kemudian dilanjutkan
dengan metode Multiple Attribute (Zeleny,1982) untuk mengetahui perlakuan
40
terbaik. Perlakuan terbaik kemudian dilanjutkan dengan analisis kecernaan
protein secara in vitro, analisis protein secara in vivo, dan analisis profil asam
amino menggunakan HPLC.
3.4.6 Uji Lanjut Mie Instan Perlakuan Terbaik
Mie instan perlakuan terbaik kemudian dilanjutkan dengan analisis
sebagai berikut:
1. Penentuan Skor Kimia
Profil asam amino diperlukan untuk mengetahui skor kimia dari suatu
protein, untuk mengetahui profil asam amino suatu bahan digunakan metode
KCKT. Prinsip analisis asam amino menggunakan KCKT pertama dilakukan
hidrolisis protein menggunakan metode kjeldahl kemudian sama amino dari
protein dilepaskan melalui hidrolisis dengan HCl 6N. Hidrolisat dilarutkan
dengan buffer sodium sitrat dan masing-masing asam amino tersebut
dipisahkan dengan KCKT.
Skor kimia masing-masing asam amino esensial dihitung dengan
menggunakan rumus dibawah ini dengan perbandingan AAE dengan protein
standar yang direkomendasikan FAO (2007). Nilai kimia protein didapat dari
skor asam amino esensial dengan nilai yang paling rendah.
Tabel 3.3. Rekomendasi Nilai Asam Amino untuk Anak-Anak
Asam Amino Rekomendasi FAO mg/g ProteinHistidinIsoleusinLeusinLisinMetionin+SisteinFenilalanin+TirosinTreoninTriptofanValin
203266572752318.543
Sumber: FAO/WHO/UNU 2007
2. Daya Cerna Protein Secara In vitro
Pengujian protein dilakukan secara in vitro untuk mengetahui kecernaan
protein dalam saluran pencernaan. Prinsip dari pengukuran protein secara in
41
Nilai Kimia = Konsentrasi AAE protein sample x 100Konsentrsasi AAE protein standar
vitro adalah menghitung daya cerna protein dengan mengukur hidrolisis
protein dibawah kondisi tertentu dengan menggunakan enzim digestif.
Sebanyak 200 mg sampel yang telah halus dilarutkan dengan 9 ml bufer
Walphole 0,2N dengan pH 2 dan 1 ml enzim pepsin 2%. Kemudian dilakukan
pengadukan hingga tercampur merata dan diinkubasikan pada suhu 37oC
selama 5 jam. Kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
selama 20 menit. Supernatan kemudian dipidahkan pada tabung sentrifuse
lainnya dan ditambahkan 5 ml TCA dengan konsentrasi 20%. Kemudian
diinkubasi pada suhu ruang selama 15 jam. Hasil inkubasi kemudian di
saring menggunakan kertas Whatman 41. Filtrat yang didapat dari proses
penyaringan kemudian dianalisis menggunakan metode mikro kjedal.
3. Analisis PER dan Pemulihan Berat Badan Secara In Vivo
Pengujian yang dilakukan meliputi aklimatisasi, pemberian diet KEP
hingga tikus dinyatakan malnutrisi, dan pemberian mie instan belalang
perlakuan terbaik dan mie instan komersial untuk mengatahui pemulihan
berat badan dan nilai PER. Penelitian ini dilakukan dengan tikus percobaan
dengan empat kelompok dimana satu kelompok merupakan kontrol negatif
dan tiga kelompok termasuk pada perlakuan. Masing-masing kelompok terdiri
dari empat ekor tikus sebagai pengulangan.
• Aklimatisasi, Peralatan seperti kandang, tempat makan, dan minum
dibersihkan kemudian tikus dikandangkan secara terpisah dimana setiap
kandang berisi dengan satu ekor tikus.
• Perlakuan diet KEP, sebanyak 12 ekor tikus wistar jantan (3 kelompok
perlakuan) diberikan pakan diet KEP dengan komposisi sukrosa, maizena,
selulosa, dan minyak jagung. Pemberikan pakan dilakukan secara adlibitum
selama dua minggu. Pemberian diet KEP diberhentikan ketika berat badan
tikus turun sekitar 25% dari berat awalnya, ketika berat tikus turun hingga
25% maka tikus dinyatakan KEP. Berat badan tikus ditimbang selama
perlakuan.
• Masa Perlakuan, Masa perlakuan dilakukan selama 21 hari. Selama masa
tersebut tiap-tiap kelompok diberikan pakan sesuai dengan perlakuan
dimana kelompok P1 dan P2 diberikan pakan comfeed PAR S, kelompok P3
diberikan pakan mie instan belalang, dan kelompok P4 diberikan pakan mie
42
Belalang Kayu
instan komersial. Penimbangan berat badan dan sisa pakan dilakukan setiap
hari untuk mengetahui pemulihan berat badan masing-masing kelompok dan
nilai PER (Protein Efficiency Ratio), yaitu peningkatan berat badan
(g)/asupan protein (g).
3.5 Diagram Alir Penelitian
3.5.1 Roadmap Penelitian
43
Belalang Kayu
Tepung Belalang
Analisis Kimia Karakteristik Kitin
Tahap I : Pembuatan Mie Instan Belalang
Analisis Kimia Analisis Fisik Analisis Organoleptik
Perlakuan Terbaik
Tahap II : Uji Lanjut Mie Instan Perlakuan Terbaik
Analisis In Vivo Analisis Skor KimiaAnalisis In Vitro
Hasil
3.5.2 Proses Pembuatan Tepung Belalang
Pencucian
44
Tepung Belalang
Penggorengan (± 100oC)
Penirisan minyak sisa penggorengan
Penghalusan
Pengayakan 60 mesh
Gambar 3.1. Pembuatan Tepung Belalang (Modifikasi Maryati dan Widodo, 2007)
3.5.3 Proses Pembuatan Mie Instan Belalang
Pencampuran
45
Analisis: -Kadar Air-Kadar Abu -Kadar Protein -Kadar Lemak -identifikasi kitin menggunakan FTIR
Tepung terigu : Tepung belalang(95:5 90:10 85:15 80:20 75:25 70:30)
Garam Alkali 0.6% (b/b) Air 20% (b/b) Tapioka 10% (b/b) Kuning Telur 10% (b/b) Garam Dapur 1% (b/b)
Pengadukan ( 15 menit)
Pengepresan (tebal 0,1 mm)
Pencetakan mie (tebal 0,2 cm, lebar 0,1 cm)
Pengukusan (95oC, 15 menit)
Pendinginan (60 menit)
Penggorengan 180oC (4 menit)
Pendinginan (15 menit)
Gambar 3.2. Proses Pembuatan Mie Instan Belalang (Modifikasi Putra,2008)
3.5.4 Diagram Alir Pengujian In Vivo Mie Belalang Instan
46
16 ekor tikus Wistar Jantan
Pemberian pakan secara ad libitum dan aklimatisasi bagi tikus selama tujuh hari dan penimbangan berat badan tikus.
Mie Instan
Analisis: --Kecerahan (L*) -Cooking loss -Waktu Rehidrasi-Daya Serap Air-Daya patah-Daya Ulur-Kadar Air-Kadar Abu-Kadar Lemak-Kadar Protein-Organoleptik
Gambar 3.3. Pengujian In Vivo Mie Belalang Instan (Modifikasi Kholis dan Hadi, 2010)
3.5.4 Diagram Alir Pengujian Daya Cerna Protein In Vitro Mie Belalang Instan
47
12 Ekor tikus perlakuan KEP selama 14 hari
4 Ekor tikus perlakuan kontrol negatif
Tikus Kurang Energi Protein
Kelompok P1Tikus normal
dengan pakan Comfeed PAR-S
Kelompok P2Tikus KEP
dengan pakan Comfeed PAR-S
Kelompok P3Tikus KEP
dengan pakan mie belalang
instan
Kelompok P4Tikus KEP
dengan pakan mie instant komersial
Pemeliharaan selama 21 hari dengan penimbangan berat badan dan sisa pakan setiap hari.
Analisis Data
200 mg sampel9 ml buffer Walphole 0,2 N pH2
1 ml enzim pepsin 2%
Diaduk hingga tercampur merata
Gambar 3.3. Pengujian Kecernaan Protein (Tanaka, 1978)
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Bahan Baku
A. Analisis Kimia
48
Diinkubasi suhu 37oC selama 5 jam
Supernatan
Diinkubasi suhu 37oC selama 15 jam
Pelet
Disaring menggunakan kertas whatman no 41
Filtrat
Dianalisis menggunakan metode Kjedal
Hasil
Disentrifugasi 3000rpm selama 20 menit
5 ml TCA 20%
Endapan
Analisis Kimia yang dilakukan untuk tepung belalang meliputi analisis
kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan kadar abu. Berikut adalah tabel
komposisi zat gizi tepung belalang.
Tabel 4.1 Kandungan Gizi Tepung Belalang
KomposisiKadar %
Tepung belalang kayu (Melanoplus cinereus)1
Chinese Grasshopper(Arcida cinerea)2
Air 8,86 -Protein 33,11 65,49Lemak 18,70 8,30
Abu 4,94 3,51Kitin - 8,73
Keterangan :1.Data hasil peneltian2.Wang (2007)
Tepung belalang mengandung kadar air sebesar 8,86%, kadar protein
33,11%; kadar lemak 18,7%; dan kadar abu 4,94%. Jika dibandingkan
dengan belalang jenis Arcida cinerea kandungan protein dari belalang jenis
Melanoplus cinereus lebih kecil. Perbedaan kandungan protein dipengaruhi
oleh jenis belalang yang diteliti. Melanoplus cinereus merupakan serangga
herbivora yang berhabitat di pohon turi, ketela, dan jati (Ristek, 2013).
Sedangkan, Arcida cinerea merupkan jenis serangga yang banyak hidup di
lahan pertanian seperti sorgum, gandum, padi, dan kapas (Campbell, 2013).
Perbedaan habitat dari kedua jenis belalang menyebabkan perbedaan pakan
yang berpengaruh pada kandungan nutrisi belalang seperti protein ataupun
mineral.
Kandungan lemak dari tepung belalang sebesar 18,7% sedangkan
kandungan lemak belalang jenis Arcida cinerea adalah sebesar 8,3%
perbedaan ini dipengaruhi oleh perbedaan jenis belalang dan proses
pengolahan. Proses pembuatan tepung belalang melewati tahapan
penggorengan, minyak yang digunakan untuk menggoreng akan
meningkatkan kandungan lemak pada tepung belalang sehingga kandungan
lemak dalam belalang menjadi lebih tinggi. Sedangkan Arcida cinerea yang
dianalisis, dikeringkan dengan metode pengovenan selama 72 jam sehingga
tidak ada penambahan lemak dari luar sehingga belalang memiliki
kandungan lemak yang rendah.
49
Kandungan abu dari tepung belalang Melanoplus cinereus dan Arcida
cinerea tidak berbeda jauh. Abu juga dapat menunjukan kandungan mineral
dalam bahan. Belalang mengandung komponen mineral seperti Kalium,
Natrium, Kalsium, Magnesium, Zink, Zat Besi, dan Fosfor (Ojewola and
Udom, 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wang (2007) diketahui
bahwa belalang mengandung kitin. Kitin yang ada didalam tepung belalang
jenis Melanoplus cinereus akan dikarakterisasi menggunakan FTIR.
B. Identifikasi Kitin
Penelitian yang dilakukan Wang (2007) menunjukan bahwa belalang
jenis Arcida cinerea memiliki kandungan kitin sebesar 8,73%. Kandungan
kitin juga mungkin terdapat pada belalang jenis Melanoplus cinereus yang
diteliti karena serangga merupakan salah satu sumber dari kitin dan kitosan.
Kandungan kitin dalam bahan dapat mempengaruhi kecernaan, hal tersebut
terjadi karena kitin merupakan polisakarida N-acylated glucosamin yang
merupakan bagian dari protein kompleks sehingga enzim-enzim pencernaan
dalam saluran pencernaan bekerja secara terbatas. Oleh karena itu perlu
diketahui karakterisasi kitin pada belalang jenis Melanoplus cinereus
menggunakan metode FTIR. Berikut adalah hasil output dari FTIR untuk
sampel tepung belalang.
Gambar 4.1. Spektra IR Tepung Belalang
Tepung belalang dikarakterisasi untuk mengetahui gugus-gugus fungsi
sehingga dapat diketahui kandungan kitin secara kualitatif. Kitin merupakan
50
senyawa kimia yang mengandung gugus amida dan gugus metil, dimana
gugus amida yang terkandung pada struktur kitin adalah –CN –CH C=O dan
–NH sedangkan gugus metil yang terkandung pada struktur kitin adalah –CH
dan CH3
Tabel 4.2 menunjukan karakteristik pita pada spektrum FTIR kitin.
Tabel 4.2. Karakteristik pita pada spektrum FTIR kitin
Bilangan Gelombang(cm-1)
Vibrasi
3344,34 Vibrasi ulur –OH2925,81 Vibrasi ulur simetri –CH3
2854,45 Vibrasi ulur –CH1745,46 Vibrasi ulur C=O dari amida I1650,95 Vibrasi ulur tekuk –NH dari amida II1375,15 Vibrasi dari deformasi simetri dari –CH3
1236,29 Vibrasi ulur –CN dari amida III
Berdasarkan Gambar 4.1 puncak serapan pada bilangan gelombang
3344,34 merupakan vibrasi ulur gugus –OH yang tumpang tindih dengan
gugus –NH. Kitin memiliki struktur kimia yang terdiri dari gugus amida dan
metil kedua gugus tersebut dapat menunjukan adanya kandungan kitin
dalam bahan. Serapan gugus amida pada FTIR adalah pada bilangan
gelombang 3300 untuk Amida A (–NH), bilangan gelombang 1600-1690
untuk amida I (C=O), bilangan gelombang 1480-1570 untuk amida II (–CN
dan –HN), dan bilangan gelombang 1229-1301 untuk amida III (–CN dan –
HN) (Sjahfirdi et al, 2012). Serapan gugus metil pada FTIR adalah pada
bilangan gelombang bilangan gelombang 2924 untuk vibrasi ulur –CH3
simetri, bilangan gelombang 2854 untuk vibrasi ulur –CN, dan bilangan
gelombang 1374 untuk vibrasi dari deformasi simetri –CH3 (Nugroho et
al.,2011).
4.2 Analisis Mie Belalang Tahap I
51
4.2.1 Analisis Kimia
A. Kadar Air
Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena air
akan berpengaruh pada penampakan, tekstur, dan cita rasa. Bahan pangan
kering masih mengandung air walaupun dalam jumlah yang sedikit. Air dalam
bahan pangan dapat mempengaruhi acceptabillity, kesegaran, dan daya
tahan produk pangan (Winarno, 2004). Kandungan air dalam bahan pangan
dapat mempengaruhi kemerosotan mutu makanan secara kimia dan
mikrobiologi.
Gambar 4.2. Grafik Rerata Kadar Air Mie Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Berdasarkan data hasil analisis diketahui bahwa rerata kadar air mie
belalang adalah 4,47-6,37%. Berdasarkan data penelitian, kadar air mie
belalang tidak menunjukan kecenderung peningkatan/penurunan dengan
meningkatnya proporsi tepung belalang. Penambahan proporsi tepung
belalang sebanyak 20% menghasilkan mie belalang dengan kandungan air
paling rendah yaitu sebesar 4,47% sedangkan penambahan proporsi tepung
belalang sebanyak 30% menghasilkan mie belalang dengan kandungan air
paling tinggi yaitu sebesar 6,37%.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.2) menunjukan bahwa penambahan
proporsi tepung belalang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air mie
belalang. Rerata kadar air mie instan belalang disajikan pada Tabel 4.3.
52
5,20
6,06 5,84
4,47
6,006,37
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Kad
ar A
ir (
%)
Table 4.3 Rerata Kadar Air Mie Belalang Sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Tingkat Subtitusi % Air (bk) Tukey 5% Notasi5% 5,21 ± 1,34
2,04
a10 % 6,06 ± 2,68 a15 % 5,84 ± 0,75 a20 % 4,47 ± 0,70 a25 % 6,00 ± 3,01 a30 % 6,37 ± 2,44 a
Standar Mie (SNI) Max 10Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
Penambahan tepung belalang tidak mempengaruhi kadar air mie
belalang, karena kadar air dipengaruhi oleh penambahan air pada masing-
masing adonan. Penambahan air pada adonan berbeda-beda dan dihentikan
ketika terbentuk adonan yang kalis, sehingga proporsi tepung belalang tidak
mempengaruhi kandungan air pada produk. Kandungan air yang rendah
pada produk menunjukan penambahan air sedikit untuk membentuk adonan
kalis.
Proses penggorengan akan menyebabkan kandungan air dalam bahan
pangan menurun. Hal ini terjadi karena, ketika bahan pangan ditempatkan
pada minyak panas temperatur permukaan bahan akan meningkat sehingga
menyebabkan air dalam bahan menguap. Penguapan air yang terjadi pada
bahan akan membentuk crust pada permukaan bahan (Fellow, 2000).
Produk mie instan yang dianjurkan SNI maksimal mengandung air
sebesar 10% apabila menggunakan proses penggorengan. Rerata hasil
analisis kandungan air mie belalang berkisar antara 4,477% hingga 6,378%
sehingga mie belalang telah memenuhi persyaratan Standar Nasional
Indonesia.
B. Kadar Abu
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Komponen organik akan terbakar selama proses pembakaran sedangkan
komponen yang tak terbakar disebut abu. Kadar abu juga dikenal sebagai
unsur mineral. Unsur mineral yang banyak terdapat dalam tubuh adalah
natrium, klor, kalsium, fosfor, magnesium, dan belerang. Dalam tubuh,
53
mineral akan bergabung dengan zat organik atau berbentuk ion-ion bebas
yang akan berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno, 2004).
Gambar 4.3. Grafik Rerata Kadar Abu Mie Belalang Sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Berdasarkan data hasil analisis diketahui bahwa rerata kadar abu dari
mie belalang adalah 0,65% - 1,27%. Berdasarkan data hasil analisis, kadar
abu cenderung meningkat dengan meningkatnya proporsi tepung belalang
walaupun pada penambahan tepung belalang sebanyak 10% dan 25% kadar
abu mengalami penurunan. Penambahan proporsi tepung belalang sebanyak
10% menghasilkan mie belalang dengan kandungan abu paling rendah yaitu
sebesar 0,65% sedangkan penambahan proporsi tepung belalang sebanyak
30% menghasilkan mie belalang dengan kandungan abu paling tinggi yaitu
sebesar 1,27%.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.4) menunjukan penambahan proporsi
tepung belalang berpengaruh nyata terhadap kadar abu mie belalang. Rerata
kadar abu mie instan belalang disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Rerata Kadar Abu Mie Instan Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Tingkat Subtitusi % Abu (bk) Tukey 5% Notasi5% 0,71 ± 0,14 0,15 a
54
0,710,65
0,87
1,16 1,11
1,27
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Kad
ar A
bu
(%
)
10 % 0,65 ± 0,21 ab15 % 0,87 ± 0,18 abc20 % 1,16 ± 0,03 bc25 % 1,11 ± 0,11 c30 % 1,27 ± 1,18 c
Standar Mie (SNI) 1-2 Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
Berdasarkan hasil analisis penambahan tepung belalang menujukan
kecenderungan peningkatan pada kadar abu, kadar abu pada tepung
belalang sebesar 4,94% sehingga penambahan rasio tepung belalang pada
formulasi akan meningkatkan kadar abu pada produk mie. Penurunan pada
penambahan belalang sebesar 10% dan 25% disebabkan karena bentuk
tepung belalang yang tidak homogen sehingga pada proses pembuatan mie
atau analisis jumlah proporsi belalang berkurang secara tidak langsung
sehingga mengakibatkan kadar abu pada penambahan tepung belalang
sebanyak 10% dan 25% menurun.
Produk mie instan yang dianjurkan SNI maksimal mengandung abu
sebesar 1-2%. Rerata hasil analisis kandungan abu mie belalang berkisar
antara 0,65% hingga 1,27% sehingga mie belalang telah memenuhi
persyaratan Standar Nasional Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh
Fetriyuna et al (2011) menunjukan bahwa penambahan ikan teri pada
formulasi mie instan akan menghasilkan mie instan dengan kadar abu
sebesar 1-2%. Abu biasanya menunjukan kandungan mineral pada produk,
kandungan mineral tertinggi yang terkandung pada mie instan dengan
penambahan tepung ikan teri adalah kalsium.
C. Kadar Lemak
Lemak merupakan komponen makromolekul yang dibutuhkan tubuh
karena lemak merupakan salah satu sumber energi utama yang memiliki
kalori paling besar dalam 1 gram lemak mengandung energi sebesar 9 kkal.
Dalam pengolahan bahan pangan lemak ditambahkan sebagai media
penghantar panas, penambah kalori, perbaikan tekstur, dan penambah cita
rasa makanan (deMan, 2012).
55
Gambar 4.4. Grafik Rerata Kadar Lemak Mie Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Berdasarkan data hasil analisis diketahui bahwa rerata kadar lemak
mie belalang adalah 18.52-25.35%. Berdasarkan data hasil analisis, kadar
lemak cenderung meningkat dengan meningkatnya proporsi tepung belalang.
Penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 5% menghasilkan mie
belalang dengan kandungan lemak paling rendah yaitu sebesar 18.52%
sedangkan penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 30%
menghasilkan mie belalang dengan kandungan lemak paling tinggi yaitu
sebesar 25.35%.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.6) menunjukan penambahan proporsi
tepung belalang berpengaruh nyata terhadap kadar lemak mie belalang.
Rerata kadar lemak mie instan belalang disajikan pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Rerata Kadar Lemak Mie Instan Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Tingkat Subtitusi % Lemak (bk) Tukey 5% Notasi5% 18,51 ± 0,34 0,69 a
10 % 19,11 ± 0,97 a
56
18,51 19,11 19,9021,17
23,3625,35
0
5
10
15
20
25
30
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Kad
ar L
emak
(%
)
15 % 19,90 ± 0,87 ab20 % 21,17 ± 0,93 b25 % 23,36 ± 0,18 c30 % 25,35 ± 0,30 d
Kontrol 21,19Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%2. Mie instan komersial yang beredar di pasar
Kandungan lemak pada mie instan komersial sebesar 21,17%.
Sedangkan lemak pada mie belalang bervariasi dengan kandungan lemak
tertinggi sebesar 25,35%. Kadar lemak cenderung meningkat dengan
meningkatnya proporsi tepung belalang. Kandungan lemak pada tepung
belalang sebesar 18,75% sehingga penambahan rasio belalang pada
formulasi akan meningkatkan kadar lemak pada mie belalang. Proses
penggorengan pada tahapan pembuatan tepung belalang dan mie instan
mempengaruh peningkatan kandungan lemak pada produk mie.
Penelitian yang dilakukan oleh Fetriyuna et al (2011) menunjukan
penambahan ikan teri pada formulasi mie instan akan menghasilkan mie
instan dengan kadar lemak sebesar 19,65-23,50 %. Proses penggorengan
akan menghilangkan kandungan air dalam bahan kemudian minyak yang
berperan sebagai media penghantar panas akan berpindah pada permukaan
bahan yang digoreng melalui proses absorbsi dan penyerapan (Estiasih dan
Ahmadi, 2009). Sehingga kandungan lemak dalam produk akan meningkat
apabila memasuki tahapan penggorengan.
D. Kadar Protein
Protein merupakan makromolekul yang tersusun dari asam amino.
Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh ketika keperluan energi
tubuh tidak dipenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein juga menjadi zat
pembangun karena protein merupakan komponen pembentuk jaringan baru
yang selalu terjadi dalam tubuh. Protein juga bertugas untuk mengganti
jaringan-jaringan yang rusak dan yang perlu dirombak. Fungsi utama protein
dalam tubuh adalah untuk membangun jaringan baru dan mempertahankan
jaringan yang telah ada (Winarno, 2004).
57
Gambar 4.5. Grafik Rerata Kadar Protein Mie Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Berdasarkan data hasil analisis diketahui bahwa rerata kadar protein
mie belalang adalah 10.583-17.2%. Berdasarkan data hasil analisis, kadar
protein cenderung meningkat dengan meningkatnya proporsi tepung
belalang. Penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 5% menghasilkan
mie belalang dengan kandungan protein paling rendah yaitu sebesar 10,58%
sedangkan penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 30%
menghasilkan mie belalang dengan kandungan protein paling tinggi yaitu
sebesar 17,20%.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.8) menunjukan penambahan proporsi
tepung belalang berpengaruh nyata terhadap kadar protein mie belalang.
Rerata kadar protein mie instan belalang disajikan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Rerata Kadar Protein Mie Instan Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
58
10,58
12,3013,55 13,74
15,15
17,20
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Kad
arP
rote
in (
%)
Tingkat Subtitusi % Protein (bk) Tukey 5% Notasi5% 10,58 ± 0,13
0,46
a10 % 12,30 ± 0,98 b15 % 13,55 ± 0,41 bc20 % 13,74 ± 0,19 c25 % 15,15 ± 0,02 d30 % 17,20 ± 0,32 e
Standar Mie (SNI) Min 8Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
Penambahan tepung belalang menunjukan kecenderungan
peningkatan protein mie belalang, kandungan protein pada tepung belalang
sebesar 33,11% sehingga penambahan rasio belalang pada formulasi akan
meningkatkan kadar protein pada produk mie.
Produk mie instan yang dianjurkan SNI minimal mengandung protein
sebanyak 8% apabila menggunakan tepung terigu sebagai bahan dasar.
Rerata hasil analisis kandungan protein mie belalang berkisar antara 10,58%
hingga 17,20% sehingga mie belalang telah memenuhi syarat sesuai dengan
SNI. Produk mie instan yang berada dipasaran rata-rata mengandung 9 gram
protein dalam satu takaran saji atau mengandung protein sebanyak 10,58%.
Kandungan protein pada penambahan tepung belalang sebanyak 5% tidak
berbeda dengan kandungan protein pada mie instan komersial. Namun
penambahan tepung belalang sebanyak 10% hingga 30% menunjukan
kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan mie instan komersial.
Penelitian yang dilakukan oleh Fetriyuna et al (2011) menunjukan
penambahan ikan teri pada formulasi mie instan akan menghasilkan mie
instan dengan kadar protein sebesar 14,28-20,80 %. Lebih tinggi
dibandingkan penambahan tepung belalang. Hal tersebut terjadi karena
kandungan protein tepung ikan teri yang digunakan lebih tinggi yaitu 53,15%
dibandingkan dengan tepung belalang yaitu 33,11%.
E. Kadar Karbohidrat
Karbohidrat adalah sumber kalori bagi sebagian masyarakat dunia.
Walaupun dalam 1 gram karbohidrat hanya menyediakan kalori sebanyak 4
kkal namun karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah dibandingkan
protein dan lemak. Karbohidrat mempunyai peranan penting dalam
menentukan karakteristik bahan makanan seperti rasa, tekstur, dan warna.
Sedangkan didalam tubuh karbohidrat mencegah timbulnya ketosis,
59
pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral, dan
membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno, 2004).
Gambar 4.6. Grafik Rerata Kadar Karbohidrat Mie Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Berdasarkan data hasil analisis diketahui bahwa rerata kadar
karbohidrat mie belalang menggunakan metode by difference adalah sebesar
49,79%-65,97%. Berdasarkan data yang didapat, penambahan proporsi
tepung belalang sebanyak 30% menghasilkan mie belalang dengan
kandungan karbohidrat paling rendah yaitu sebesar 49,79% sedangkan
penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 5% menghasilkan mie
belalang dengan kandungan karbohidrat paling tinggi yaitu sebesar 65,97%.
Penelitian yang dilakukan oleh Fetriyuna et al (2011) menunjukan
penambahan ikan teri pada formulasi mie instan akan menghasilkan mie
instan dengan kadar karbohdrat sebesar 50,11-60,30 %. Karbohidrat
merupakan gat gizi makro yang akan dicerna dan menghasilkan glukosa,
energi, ataupun serat makanan. Fungsi utama karbohidrat untuk
menyediakan energi (Hardinsyah et al., 2012).
Kalori merupakan satuan ukur yang menyatakan nilai energi. Kalori
berkaitan dengan konsumsi energi yang kita peroleh dari makanan atau
minuman. Kalori juga dapat berarti penggunaan energi pada aktivitas kerja.
Zat gizi utama penyusun makanan adalah karbohidrat, protein dan lemak.
60
65,9761,87 59,83 59,44
54,3649,79
0
10
20
30
40
50
60
70
Tingkat 5% Tingkat10%
Tingkat15%
Tingkat20%
Tingkat25%
Tingkat30%
Tingkat Subtitusi
Kad
ar K
arb
oh
idra
t (%
)
472,62468,67
472,62
482,49
488,28
496,11
450
455
460
465
470
475
480
485
490
495
500
Tingkat5%
Tingkat10%
Tingkat15%
Tingkat20%
Tingkat25%
Tingkat30%
Tingkat Subtitusi
Kal
ori
(kk
al)
Ketiga zat gizi inilah yang mempengaruhi kandungan kalori makanan
(Anonim, 2013). Kandungan kalori mie instan belalang berdasarkan zat gizi
utama tersaji pada Grafik 4.7.
Gambar 4.7. Grafik Rerata Kadar Kalori Mie Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Nilai kalori dihitung dari komposisi karbohidrat, lemak, dan protein.
Kandungan lemak yang tinggi menghasilkan kalori yang tinggi karena lemak
menyumbangkan 9 kkal untuk satu gram. Mie instan komersial yang ada
dipasaran memiliki kandungan kalori sebesar 330 kkal lebih rendah
dibandingkan dengan produk mie instan belalang yang berkisar antara
468,67 kkal – 496,11 kkal.
Menurut Hardinsyah et al., (2012) kebutuhan energi untuk anak-anak
usia 1-3 tahun adalah 1130 kkal setiap harinya. Konsumsi mie belalang
sebanyak 100 gram mampu memenuhi kebutuhan kalori tubuh sebesar
42,48%.
61
0,85
0,6
1,45
0,35 0,3
00
0,5
1
1,5
2
2,5
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Day
a P
atah
(N
)
4.2.2 Karakteristik Fisik
A. Daya Patah
Daya patah adalah nilai gaya yang berhubungan dengan tekanan untuk
mematahkan produk. Daya patah mie merupakan salah satu parameter
ketahanan mie terhadap perlakuan mekanis (Yuwono, 1998). Daya patah
menunjukan sifat kerenyahan mie saat belum dimasak.
Gambar 4.8. Grafik Rerata Daya Patah Mie Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Berdasarkan data hasil analisis diketahui bahwa rerata daya patah dari
mie instan belalang adalah 0,3N -1,45N . Berdasarkan data hasil analisis,
daya patah cenderung meningkat dengan meningkatnya penambahan
tepung belalang. Penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 10%
menghasilkan mie belalang dengan daya patah paling rendah yaitu sebesar
0,5N sedangkan penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 5%
menghasilkan mie belalang dengan daya putus paling tinggi yaitu sebesar
1,9N.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.10) menunjukan penambahan
proporsi tepung belalang berpengaruh nyata terhadap kandungan daya
patah pada mie belalang. Rerata daya patah mie instan belalang disajikan
pada Tabel 4.7.
62
Tabel 4.7. Rerata Daya Patah Mie Instan Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Tingkat Subtitusi Daya Patah Tukey 5% Notasi5% 0,85 ± 0,07
0,21
a10% 0,60 ± 0,14 ab15% 1,45 ± 0,49 ab20% 0,35 ± 0,07 b25% 0,30 ± 0 b30%* - -
Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%2. * Produk tidak dapat dihitung menggunakan alat Tensile Strenght
Penambahan belalang sebanyak 15% menghasilkan produk mie
dengan daya patah paling tinggi hal ini disebabkan karena kandungan
protein yang terkandung dalam mie akan terdenaturasi apabila terkena
panas yang akan merubah produk menjadi rigid atau kaku sehingga daya
patah cenderung meningkat dengan penambahan tepung balalang (Carley
and Howath, 2008). Kandungan protein dalam tepung akan meningkatkan
daya patah karena protein dalam tepung akan menghasilkan struktur yang
kuat (Oh et al, 1983).
Proporsi tepung terigu yang yang digunakan semakin menurun
sehingga daya patah produk rendah. Tepung terigu merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh pada daya patah produk. Tepung terigu memiliki
kandungan gluten yang terdiri dari protein glutenin dan gliadin yang apabila
bereaksi dengan air akan membentuk terbentuk ikatan disulfida dan ikatan
non kovalen yang akan memberikan kekuatan pada adonan. (Kuktaite,
2004). Penambahan proporsi tepung belalang yang tidak seragam
menyebabkan tekstur dari mie belalang dengan penambahan proporsi
belalang yang semakin tinggi menghasilkan tekstur yang putus-putus
sehingga nilai daya patah cenderung menurun.
Penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 30% menghasilkan
mie dengan penampakan yang putus-putus sehingga tidak dapat dilakukan
analisis daya patah. Penambahan tepung belalang yang berukuran tidak
seragam menyulitkan proses pencetakan sehingga tidak dapat terbentuk
produk mie yang diharapkan.
63
B. Daya Putus
Daya putus merupakan besar gaya tiap satuan luas penampang bahan
yang dibutuhkan untuk memutus suatu produk (Yuwono, 1998). Gaya yang
diberikan berbanding lurus dengan elastisitas produk mie atau semakin tinggi
gaya yang diberikan maka mie memiliki elastisitas yang tinggi.
Gambar 4.9. Grafik Rerata Daya Putus Mie Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Berdasarkan data hasil analisis diketahui bahwa rerata daya putus dari
mie instan belalang adalah 0,07N - 0,17N. Berdasarkan data hasil analisis,
daya putus cenderung menurun dengan meningkatnya proporsi tepung
belalang. Penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 20% dan 25%
menghasilkan mie belalang dengan daya putus paling rendah yaitu sebesar
0,07N sedangkan penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 5%
menghasilkan mie belalang dengan daya putus paling tinggi yaitu sebesar
0,17N.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.12) menunjukan penambahan
proporsi tepung belalang tidak berpengaruh nyata terhadap daya putus pada
mie belalang. Rerata daya putus mie instan belalang disajikan pada Tabel
4.8.
64
0,17
0,13 0,13
0,07 0,07
00
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Day
a P
utu
s (N
)
Tabel 4.8. Rerata Daya Putus Mie Instan Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Proporsi Belalang Daya Putus (N) Tukey 5% Notasi5% 0,17 ± 0,05
1,22
a10 % 0,13 ± 0,11 a15 % 0,13 ± 0,05 a20 % 0,07 ± 0,05 a25 % 0,07 ± 0,05 a30 %* - -Kontrol 0,45
Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%2. Mie instan komersial yang beredar di pasar3. * Produk tidak dapat dihitung menggunakan alat Tensile Strenght
Mie instan komersial memiliki daya putus sebesar 0,45N. Sedangkan
rerata hasil analisis daya putus mie belalang berkisar antara 0,07N hingga
0,17N jauh lebih kecil dibandingkan produk mie instan komersial.
Penambahan bahan lain seperti penambahan tepung tapioka, garam, dan
garam alkali belum mampu meningkatkan daya putus dari produk mie
belalang. Tepung tapioka ditambahkan untuk menurunkan suhu gelatinisasi
sehingga dapat menghasilkan kualitas mie menjadi lebih elastis (Yu, 2003).
Garam ditambahkan untuk memperkuat tekstur mie dan meningkatkan
fleksibilitas dan elastisitas mie sedangkan garam alkali yang ditambahkan
untuk mempercepat pengikatan gluten (Koeswara, 2009)
Zat aditif lain perlu ditambahkan pada formulasi mie untuk
meningkatkan daya putus produk. Zat aditif berperan sebagai bentuk
modifikasi untuk memperbaiki sifat bahan pangan sebelumnya. Pada produk
mie, zat aditif yang dapat ditambahkan untuk meningkatkan elastisitas
adonan adalah isolat protein kedelai, karboksilmetil selulosa, atau pati
termodifikasi karena bahan-bahan tersebut dapat digunakan sebagai
emulsifier, stabilisasi, dan membentuk tekstur mie yang kenyal dan elastis
(Witono et al., 2012).
Kandungan gluten berpengaruh pada daya putus mie, semakin rendah
kandungan gluten maka terjadi penurunan daya putus. Gluten yang terbentuk
dari protein prolamin dan glutenin akan membentuk adonan yang elastis
dengan penambahan air dan tekanan mekanis. Gluten juga mampu berikatan
dengan granula pati membentuk gel yang kuat sehingga daya putus dapat
meningkat (deMan, 2012).
65
Penambahan tepung belalang sebesar 30% menghasilkan produk mie
yang patah-patah sehingga tidak dapat dilakukan analisis daya putus.
Tepung belalang yang berukuran tidak seragam menyulitkan proses
pencetakan sehingga tidak dapat terbentuk produk mie yang diharapkan.
Peningkatan rasio tepung belalang pada formulasi mie menunjukan
kecenderungan penurunan daya putus produk mie, penurunan tersebut
diakibatkan karena kandungan gluten yang semakin rendah dan ukuran
partikel tepung belalang yang tidak homogen sehingga mengurangi
elastisitas produk mie.
C. Daya Serap Air
Daya serap air adalah kemampuan mie untuk menyerap air. Daya
serap air berhubungan dengan rasio pengembangan. Daya serap air yang
terlalu tinggi tidak diharapkan karena granula pati akan mudah pecah yang
menyebabkan mie menjadi lunak.
Gambar 4.10 Grafik Rerata Daya Serap Air sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Berdasarkan data hasil analisis diketahui bahwa rerata daya serap air
dari mie belalang adalah 209,37%-220,22%. Berdasarkan data hasil
analisis, daya serap air cenderung meningkat dengan meningkatnya proporsi
tepung belalang. Penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 10%
menghasilkan mie belalang dengan daya serap air paling rendah yaitu
66
217,01 209,37 209,78 218,01 220,22 219,39
0
50
100
150
200
250
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Day
a S
erap
Air
(%
)
sebesar 209,37% sedangkan penambahan proporsi tepung belalang
sebanyak 25% menghasilkan mie belalang dengan daya putus paling tinggi
yaitu sebesar 220,22%.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.14) menunjukan penambahan
proporsi tepung belalang tidak berpengaruh nyata terhadap daya serap air
pada mie belalang. Rerata daya serap air mie instan belalang disajikan pada
Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Rerata Daya Serap Air Mie Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Proporsi Belalang
Daya Serap Air (%)
Tukey 5% Notasi
5% 217,01 ± 8,99
11,20
a10 % 209,37 ± 18,56 a15 % 209,78 ± 2,33 a20 % 218,01 ± 4,33 a25 % 220,22 ± 11,30 a30 % 219,39 ± 14,22 a
Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
Daya serap air dipengaruhi oleh kandungan pati, gluten, lemak, dan
protein. Semakin tinggi kandungan pati dalam bahan maka kemampuan
penyerapan air produk mie semakin besar karena granula pati mampu
membengkak dalam ukuran yang besar atau disebut peristiwa gelatinisasi,
setelah pati mengalami proses gelatinisasi kemudian dilakukan proses
pengeringan molekul pati tidak dapat kembali ke sifat awal namun pati masih
dapat menyerap air dalam jumlah besar (Winarno, 2004). Gluten
berpengaruh pada penyerapan air, semakin banyak kandungan gluten maka
penyerapan air akan semakin tinggi karena untuk terbentuk gluten diperlukan
air sehingga kemampuan mengikat air meningkat (deMan, 2012). Kandungan
protein dan lemak dapat menghambat daya serap air karena kedua bahan
tersebut akan membentuk ikatan kompleks terhadap pati. Selain itu
kandungan protein yang tinggi dalam bahan akan menurunkan daya serap
air terutama apabila protein mengalami denaturasi. Denaturasi protein
mengakibatkan pemutusan ikatan hidrogen pada struktur protein sehingga
kemampuan ikat airnya menurun (Pratama, 2014).
Berdasarkan hal tersebut, penambahan rasio tepung belalang
seharusnya akan menurunkan kemampuan daya serap air produk mie
67
karena kandungan pati dan gluten dalam bahan menurun sedangkan
kandungan lemak dan protein meningkat. Perbedaan terjadi mungkin
disebabkan karena penambahan tepung belalang dalam formulasi
menyebabkan tekstur mie yang dihasilkan semakin patah-patah, hal ini
menyebabkan luas permukaan dari mie yang diuji lebih luas sehingga
penyerapan air menigkat.
D. Waktu Rehidrasi
Waktu rehidrasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan
titik putih dibagian tengah pada bagian untaian mie pada saat proses
pemasakan. Waktu rehidrasi merupakan parameter penting dalam mie instan
karena mie instan harus memiliki waktu yang singkat pada saat proses
pemasakan (Putra, 2008).
3,343,58
3,41 3,38 3,29 3,28
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Wak
tu R
ehid
rasi
(m
enit
)
Gambar 4.11. Rerata Waktu Rehidrasi sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Berdasarkan data hasil analisis diketahui bahwa rerata waktu rehidrasi
dari mie belalang adalah 3,28 – 3,58 menit. Berdasarkan data hasil analisis,
waktu rehidrasi cenderung menurun dengan meningkatnya penambahan
tepung belalang. Penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 30%
menghasilkan mie belalang dengan waktu rehidrasi paling rendah yaitu
68
sebesar 3,28 menit sedangkan penambahan proporsi tepung belalang
sebanyak 10% menghasilkan mie belalang dengan waktu rehidrasi paling
tinggi yaitu sebesar 3,58 menit.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.16) menunjukan penambahan
proporsi tepung belalang tidak berpengaruh nyata terhadap waktu rehidrasi
mie belalang. Rerata waktu rehidrasi mie instan belalang disajikan pada
Tabel 4.10
Tabel 4.10. Rerata Waktu Rehidrasi Mie Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Tingkat SubtitusiWaktu Rehidrasi
(menit)Tukey 5% Notasi
5% 3,34 ± 0,04
0,18
a10 % 3,58 ± 0,38 a15 % 3,41 ± 0,12 a20 % 3,38 ± 0,07 a25 % 3,29 ± 0,10 a30 % 3,28 ± 0,11 a
Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
Mie instan merupakan produk pangan yang terbuat dari tepung terigu
yang siap dihindangkan dengan cara dimasak atau diseduh dengan air
mendidih paling lama 5 menit. Hasil penelitian menunjukan bahwa waktu
pemasakan semua perlakuan memerlukan waktu 3-4 menit dan tidak
melebihi waktu maksimal penyeduhan mie instan yaitu 5 menit.
Waktu rehidrasi berhubungan dengan penyerapan air, semakin tinggi
daya serap air maka waktu rehidrasi akan semakin cepat. Air yang diserap
kedalam produk mie akan membantu proses reaksi antara protein dan pati,
membentuk adonan yang porus, membentuknya CO2 sehingga mempercepat
waktu rehidrasi. Selain itu kandungan gluten yang tinggi dalam bahan akan
menyebabkan waktu rehidrasi lebih lama karena gandum memerlukan suhu
tinggi untuk tergelatinisasi (deMan, 2012).
69
E. Cooking Loss
Cooking loss merupakan nilai yang diberikan pada banyaknya padatan
yang keluar kedalam air selama proses pemasakan. Hal ini terjadi karena
lepasnya pati kemudian tersuspensi pada larutan air sehingga
mengakibatkan air hasil rebusan mie menjadi keruh dan kental. Cooking loss
merupakan parameter mutu yang berkaitan dengan kualitas mie yang telah
dimasak. Cooking loss yang diharapkan adalah yang bernilai kecil karena
nilai cooking loss yang rendah menunjukkan bahwa tekstur mie homogen
(Putra, 2008).
0,120,15 0,15
0,180,2
0,26
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
0,45
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Pre
sen
tase
Co
oki
ng
Lo
ss (
%)
Gambar 4.12 Rerata Cooking loss Mie Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Berdasarkan data hasil analisis diketahui bahwa rerata Cooking loss
dari mie belalang adalah 0,12 – 0,26%. Berdasarkan data yang didapat,
cooking loss cenderung meningkat dengan meningkatnya penambahan
tepung belalang. Penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 5%
menghasilkan mie belalang dengan cooking loss paling rendah yaitu sebesar
0,12% sedangkan penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 30%
menghasilkan mie belalang dengan cooking loss paling tinggi yaitu sebesar
0,26%.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.18) menunjukan penambahan
proporsi tepung belalang tidak berpengaruh nyata terhadap cooking loss
70
pada produk mie belalang. Rerata cooking loss mie instan belalang disajikan
pada Tabel 4.11
Tabel 4.11.Rerata Cooking Loss Mie Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Tingkat Subtitusi Cooking loss (%) Tukey 5% Notasi5% 0,12 ± 0,004
0,07
a10 % 0,15 ± 0,02 a15 % 0,15 ± 0,08 a20 % 0,18 ± 0,01 a25 % 0,20 ± 0,04 a30 % 0,26 ± 0,16 a
Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
Cooking loss tertinggi terjadi pada penambahan tepung belalang
sebanyak 30%. Hal tersebut terjadi karena penurunan kadar gluten pada
bahan sehingga mengakibatkan ikatan antar komponen melemah. Selain itu
ukuran partikel tepung belalang yang tak seragam mengakibatkan cooking
loss juga tinggi karena adonan tidak tercampur secara homogen.
Cooking loss disebabkan karena lemahnya ikatan antar adonan
sehingga banyak komponen yang larut selama pemasakan, lemahnya ikatan
antar adonan disebabkan karena ukuran partikel yang tidak homogen
(Winarno, 2004). Tepung belalang yang digunakan sebagai bahan baku tidak
memilki tekstur sehalus tepung terigu sehingga pada proses pencampuran
bahan tidak terbentuk adonan yang homogen yang menyebabkan cooking
loss tinggi pada saat perebusan.
Kandungan amilosa berpengaruh pada cooking loss, semakin tinggi
kandungan amilosa menyebabkan amilosa terlepas pada saat terjadi
gelatinisasi karena pada saat gelatinisasi berlangsung struktur granula
terbuka besar dan menyebabkan komponen amilosa terlepas (Winarno,
2004). Kandungan gluten yang tinggi dapat mencegah terjadinya cooking
loss karena gluten dapat membentuk kompleks dengan pati sehingga
lepasnya amilosa dalam granula sedikit (Rosa, 2004).
F.Kecerahan (L*)
71
Warna merupakan salah satu parameter yang menentukan kesukaan
konsumen terhadap produk. Warna bukan merupakan zat/benda melainkan
melainkan suatu sensasi seseorang oleh karena adanya rangsangan dari
energi radiasi yang jatuh pada indra/retina mata. Pengukuran warna
menggunakan alat color reader, alat ini akan membedakan warna
berdasarkan nilai L* atau kecerahan nilai a* atau kemerahan dan nilai b* atau
kehijauan. Nilai L* memiliki nilai dari 0-100, dimana nilai 0 menunjukan warna
hitam dan nilai 100 menunjukan warna putih (Pomeranz and Meloand, 1994).
49,13
41,58 39,91 41,7339,16 39,36
0
10
20
30
40
50
60
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Nil
ai K
ecer
ahan
War
na
(L*)
Gambar 4.13. Grafik Rerata Nilai Kecerahan (L*) sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Berdasarkan data hasil analisis diketahui bahwa rerata kecerahan dari
mie belalang adalah 39,16 – 49,13. Berdasarkan data hasil analisis,
kecerahan cenderung menurun dengan meningkatnya penambahan tepung
belalang. Penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 25%
menghasilkan mie belalang dengan kecerahan paling rendah yaitu sebesar
39,16 sedangkan penambahan proporsi tepung belalang sebanyak 5%
menghasilkan mie belalang dengan kecerahan paling tinggi yaitu sebesar
49,13.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.20) menunjukan bahwa penambahan
proporsi tepung belalang berpengaruh nyata terhadap kecerahan mie
belalang. Rerata intensitas kecerahan mie instan belalang disajikan pada
Tabel 4.12
72
Tabel 4.12. Rerata Intensitas Kecerahan Pada Mie Instan Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Tingkat Subtitusi Kecerahan Tukey 5% Notasi5% 49,13 ± 2,10
2,88
a10 % 41,58 ± 2,26 ab15 % 39,91 ± 2,06 b20 % 41,73 ± 3,76 ab25 % 39,16 ± 1,50 b30 % 39,36 ± 4,42 b
Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
Berdasarkan hasil analisis penambahan tepung belalang menunjukan
kecenderungan penurunan tingkat kecerahan namun pada tingkat subtitusi
20% dan 30% terjadi peningkatan kecerahan. Penambahan rasio tepung
belalang pada formulasi adonan akan menyebabkan penurunan tingkat
kecerahan mie belalang dikarenakan tepung belalang yang ditambahkan
berwarna gelap (coklat). Sedangkan peningkatan kecerahan pada tingkat
subtitusi 20% dan 30% disebabkan karena pada proses pembuatan mie
dilakukan teknik penggorengan yang menyebabkan warna mie cenderung
menjadi gelap. Proses penggorengan dengan waktu yang tidak sama
memungkinkan perbedaan dari kecerahan produk mie belalang. Timbulnya
warna pada produk disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi maillard.
Intensitas dari warna produk bergantung pada waktu dan suhu
penggorengan (Ernawati, 2011).
4.2.3 Analisis Organoleptik
Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses
pengindraan yang diartikan sebagai kesadaran atau pengenalan alat indra
terhadap sifat benda karena adanya rangsangan yang diterima alat indra.
Pengindraan juga dapat berupa reaksi mental terhadap rangsangan yang
diterima indra, reaksi tersebut dapat berupa sikap menyukai/tidak menyukai atau
mendekati/menjauhi (UMS, 2013).
Salah satu pengujian organoleptik dapat menggunakan uji kesukaan/uji
hedonik. Uji hedonik sering digunakan untuk menilai secara organoleptik
terhadap komoditas yang sama atau produk pengembangan sehingga uji
hedonik sering digunakan untuk menilai produk akhir. Uji hedonik menggunakan
73
skala berupa skala numerik sehingga dapat dianalisis secara statistika (UMS,
2013). Uji hedonik mie instan belalang dinilai dari skor 1 (sangat tidak suka)
sampai dengan 7 (sangat suka) oleh 20 orang panelis. Parameter yang diamati
dalam uji hedonik adalah warna, aroma, tekstur, rasa mie matang, dan rasa mie
kering.
A. Kesukaan Terhadap Warna
Warna merupakam indikator pertama yang berperan pada persepsi
konsumen karena warna merupakan faktor yang dapat langsung dilihat oleh
konsumen. Warna yang menarik dapat mempengaruhi selera konsumen dan
membangkitkan selera makan konsumen (Wahyuni, 2011).
5,25
3,90
4,60
4,003,65
3,20
0
1
2
3
4
5
6
7
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Nil
ai W
arn
a
Gambar 4.14. Grafik Rerata Kesukaan Terhadap Warna sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Pada uji hedonik dilakukan uji kesukaan terhadap mie instan yang telah
dimasak. Rerata nilai kesukaan terhadap warna mie belalang antara 3 - 5
(agak tidak suka - suka). Penambahan proporsi belalang sebanyak 5%
menunjukkan kesukaan terhadap warna paling tinggi sedangkan
penambahan proporsi belalang sebanyak 30% menunjukkan kesukaan
terhadap warna paling rendah.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.22) menunjukan bahwa penambahan
proporsi tepung belalang berpengaruh nyata terhadap kesukaan warna mie
belalang. Rerata skor kesukaan warna mie instan belalang disajikan pada
Tabel 4.13
74
Tabel 4.13.Rerata Skor Kesukaan Warna Mie Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Proporsi Belalang Rerata Tukey 5% Keterangan5% 5,20 a
1,27
Suka10 % 3,90 bc Agak Suka15 % 4,60 ab Suka20 % 4,00 bc Agak Suka25 % 3,65 bc Suka30 % 3,20 c Agak Tidak Suka
Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
Tabel 4.12 menunjukan tingkat kesukaan panelis terhadap warna mie
belalang bervariasi. Penambahan proporsi belalang menurunkan tingkat
kesukaan warna karena produk mie yang dihasilkan cenderung berwarna
gelap. Produk yang berwarna gelap tidak disukai panelis karena tidak seperti
mie instan yang berada di pasar yang berwarna kuning cerah.
B.Kesukaan Terhadap Aroma
Aroma merupakan indikator yang dapat memberikan penilaian dengan
cepat tentang penerimaan produk apakah diterima atau ditolak. Aroma
meliputi berbagai sifat seperti harum, amis, apek, dan sebagainya. Aroma
atau bau sulit untuk diukur sehingga setiap orang memiliki pendapat yang
berbeda-beda terhadap kualitas aroma karena dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti perbedaan ambang batas pada berbagai aroma (Wahyuni,
2011).
75
4,40 4,254,00
4,604,10 4,25
0
1
2
3
4
5
6
7
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Nil
ai A
rom
a
Gambar 4.15. Grafik Rerata Kesukaan Terhadap Aroma sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Pada uji hedonik dilakukan uji kesukaan terhadap mie instan yang telah
dimasak. Rerata nilai kesukaan aroma terhadap mie belalang antara 4 – 5
(agak suka – suka). Penambahan proporsi belalang sebanyak 20%
menunjukkan kesukaan terhadap aroma paling tinggi sedangkan
penambahan proporsi belalang sebanyak 15% menunjukkan kesukaan
terhadap aroma paling rendah.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.24) menunjukan bahwa penambahan
proporsi tepung belalang tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan aroma
mie belalang. Rerata skor kesukaan warna mie instan belalang disajikan
pada Tabel 4.14.
Tabel 4.14. Rerata Skor Kesukaan Aroma Mie Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Tingkat Subtitusi Rerata Tukey 5% Notasi5% 4,40 a
1,26
Agak Suka10 % 4,25 a Agak Suka15 % 4,00 a Agak Suka20 % 4,61 a Suka25 % 4,10 a Agak Suka30 % 4,25 a Agak Suka
Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
76
Tabel 4.13 menunjukan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma mie
berada pada range yang sama. Penambahan proporsi belalang memberikan
aroma yang berbeda pada produk mie karena belalang memiliki aroma yang
khas. Aroma khas belalang ini tidak akrab dengan panelis sehingga panelis
agak menyukai aroma mie belalang. Mie instan komersial biasanya tidak
memiliki aroma yang kuat karena pada umumnya aroma mie instan berasal
dari bumbu yang ditambahkan bukan berasal dari mie instan itu sendiri.
C. Kesukaan Terhadap Tekstur
Tekstur merupakan sensasi tekanan yang diamati dengan melihat dan
dirasakan pada saat dikunyah, ditelan, atau diraba menggunakan jari.
Tekstur dapat langsung terlihat dari penampilan fisik produk sehingga
berpengaruh pada penilaian diterima atau tidak produk tersebut. Tekstur juga
dapat berarti hasil pengamatan yang berupa sifat lunak, liat, keras, halus,
kasar, dan sebagainya (Wahyuni, 2011).
4,554,2
4,5
3,754
3,4
0
1
2
3
4
5
6
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Nil
ai T
ekst
ur
Gambar 4.16.Grafik Rerata Kesukaan Terhadap Tekstur sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Pada uji hedonik dilakukan uji kesukaan terhadap tekstur mie instan yang
telah dimasak. Rerata nilai kesukaan aroma terhadap mie belalang antara 3
– 5 (agak tidak suka – suka). Penambahan proporsi belalang sebanyak 5%
menunjukkan kesukaan terhadap aroma paling tinggi sedangkan
penambahan proporsi belalang sebanyak 30% menunjukkan kesukaan
terhadap aroma paling rendah.
77
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.26) menunjukan bahwa penambahan
proporsi tepung belalang berpengaruh nyata terhadap kesukaan aroma mie
belalang. Rerata skor kesukaan warna mie instan belalang disajikan pada
Tabel 4.15
Tabel 4.15. Rerata Skor Kesukaan Tekstur Mie Instan Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Proporsi Belalang Rerata Tukey 5% Keterangan5% 4,55 a
1,22
Suka10 % 4,20 ab Agak Suka15 % 4,50 ab Suka20 % 3,75 ab Agak Suka25 % 4,00 ab Agak Suka30 % 3,40 b Agak Tidak Suka
Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
Tabel 4.14 menunjukan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur mie
bervariatif. Penambahan proporsi belalang menghasilkan tekstur mie yang
tidak homogen, penambahan proporsi tepung belalang yang terlalu tinggi
menyebabkan penurunan kesukaan tekstur pada panelis. Tepung belalang
dalam adonan mie tidak dapat tercampur dengan sempurna dan ukuran
partikel dari tepung belalang yang tidak sesuai menyebabkan mie
menghasilkan tekstur yang berpasir.
D. Kesukaan Terhadap Rasa
Rasa tidak hanya dirasakan oleh indra perasa saja namun keempat indra
lainnya seperti pengelihatan, pendengaran, dan sentuhan yang akan
memberikan sensasi yang diwujudkan bersama dengan kelima indra
(Soekarto, 1985)
78
4,05 3,95 3,953,65
4,053,7
0
1
2
3
4
5
6
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Nil
ai R
asa
Mat
ang
Gambar 4.17. Grafik Rerata Kesukaan Terhadap Rasa sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Pada uji hedonik dilakukan uji kesukaan rasa terhadap mie instan yang
telah dimasak. Rerata nilai kesukaan rasa terhadap mie belalang sama yaitu
memiliki skor 4 (agak suka). Penambahan proporsi belalang sebanyak 10%
dan 25% menunjukkan kesukaan terhadap rasa paling tinggi sedangkan
penambahan proporsi belalang sebanyak 20% menunjukkan kesukaan
terhadap rasa paling rendah.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.28) menunjukan bahwa penambahan
proporsi tepung belalang berpengaruh nyata terhadap kesukaan aroma mie
belalang. Rerata skor kesukaan warna mie instan belalang disajikan pada
Tabel 4.16
Tabel 4.16. Rerata Skor Kesukaan Rasa Mie Instan Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Tingkat Subtitusi Rerata Tukey 5% Keterangan5% 4,05 a
1,37
Agak Suka10 % 3,95 a Agak Suka15 % 3,95 a Agak Suka20 % 3,75 a Agak Suka25 % 4,05 a Agak Suka30 % 3,70 a Agak Suka
Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
79
Uji kesukaan rasa juga dilakukukan terhadap mie instan yang belum
dimasak atau dalam keadaan kering. Berikut adalah grafik rerata kesukaan
terhadap rasa untuk mie belalang mentah.
Gambar 4.18 Grafik Rerata Kesukaan Terhadap Mie Mentah sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Pada uji kesukaan rasa terhadap mie instan yang belum dimasak. Rerata
nilai kesukaan rasa terhadap mie belalang antara 4 – 5 (agak suka – suka).
Penambahan proporsi belalang sebanyak 20% menunjukkan kesukaan
terhadap rasa paling tinggi sedangkan penambahan proporsi belalang
sebanyak 5% dan 10% menunjukkan kesukaan terhadap rasa paling rendah.
Analisis sidik ragam (Lampiran 2.30) menunjukan bahwa penambahan
proporsi tepung belalang tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan rasa
mie belalang. Rerata skor kesukaan rasa mie instan belalang disajikan pada
Tabel 4.17
80
4,45 4,454,7 4,95
4,554,8
0
1
2
3
4
5
6
7
5% 10% 15% 20% 25% 30%
Tingkat Subtitusi
Nil
ai R
asa
Tabel 4.17. Rerata Skor Kesukaan Rasa Mie Instan Belalang sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
Proporsi Belalang Rerata Tukey 5% Keterangan5% 4,45 a
1,32
Agak Suka10 % 4,45 a Agak Suka15 % 4,7 a Suka20 % 4,95 a Suka25 % 4,55 a Suka30 % 4,8 a Suka
Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
Berdasarkan data kesukaan terhadap rasa mie yang dimasak memiliki
tingkat kesukaan yang lebih rendah dibandingkan mie yang belum dimasak.
Cita rasa bahan pangan yang digoreng rasanya lebih enak dibandingkan
dengan bahan pangan yang direbus. Produk yang digoreng memiliki rasa
yang enak, bau yang sedap, rasa dimulut yang enak, dan tekstur tertentu
yang diinginkan (Estiasih dan Ahmadi, 2009). Proses penggorengan
bertujuan untuk meningkatkan kualitas dari produk terutama karakteristik
warna, flavor, dan aroma. Hal tersebut dapat tercapai karena terjadi reaksi
mailard dan komponen lemak yang terserap dalam produk pangan (Fellow,
2000).
4.2.4 Perlakuan Terbaik
Penentuan perlakuan terbaik mie instan belalang dilakukan dengan
membandingkan nilai produk pada setiap perlakuannya. Perlakuan dengan
nilai terendah merupakan perlakuan terbaik berdasarkan parameter kimia
(kadar air, abu, lemak dan protein), fisik (daya patah, daya putus, daya serap
air, waktu rehidrasi, cooking loss, dan kecerahan), dan organoleptik
(kesukaan terhadap warna, aroma, tekstur, rasa) menggunakan metode
Zeleny.
Perlakuan terbaik mie instan belalang adalah mie belalang dengan
proporsi penambahan tepung belalang sebanyak 15% dan tepung terigu
sebanyak 85%. Mie belalang perlakuan terbaik untuk parameter kimia
memiliki rerata kadar air sebesar 5,85 % kadar abu sebesar 0.86% kadar
lemak sebesar 19.90% dan kadar protein sebesar 13.55%. Sedangkan untuk
parameter fisik memiliki rerata daya patah 1,03 daya putus 0,133 daya serap
air 209,78%; waktu rehidrasi 3,41 menit; cooking loss 0,15%; dan kecerahan
81
39,91. Sedangkan untuk parameter organoleptik memiliki rerata kesukaan
terhadap warna dengan skala 4,60; aroma dengan skala 4,00; tekstur dengan
skala 4,50; dan rasa dengan skala 3,95.
Tabel hasil penentuan perlakuan terbaik disajikan pada Tabel 4. 17.
Tabel 4.18. Zeleny Penentuan Perlakuan Terbaik
4.3 Analisis Mie Belalang Tahap II
ParameterTingkat Subtitusi
5% 10% 15% 20% 25% 30%Kadar Air 5,219 6,061 5,850 4,446 5,999 6,379
Kadar Abu 0,701 0,65 0,869 1,161 1,113 1,272Kadar Lemak 18,515 19,113 19,900 21,178 23,367 25,350Kadar Protein 10,583 12,303 13,55 13,74 15,15 17,2Daya Patah 0,85 0,60 1,45 0,35 0,30 0,000Daya Putus 0,167 0,133 0,133 0,067 0,067 0,000
Daya Serap Air 217,013 209,373 209,783 218,017 220,22 219,367Waktu Rehidrasi 3,34 3,58 3,41 3,38 3,29 3,28
Cooking loss 0,1176 0,1489 0,1519 0,1845 0,2005 0,2615
Kecerahan (L*) 49,133 41,589 39,911 41,733 39,166 39,367
Kesukaan Warna 5,25 3,90 4,60 4,00 3,65 3,20Kesukaan Aroma 4,40 4,25 4,00 4,60 4,10 4,25
Kesukaan Tekstur 4,55 4,20 4,50 3,75 4,00 3,40Kesukaan Rasa 4,05 3,95 3,95 3,65 4,05 3,70
DK Kadar Air 0,851 0,733 0,760 1,000 0,741 0,696 DK Kadar Abu 0,915 1,000 0,747 0,559 0,573 0,511
DK Kadar Lemak 0,730 0,754 0,785 0,835 0,922 1,000 DK Kadar Protein 0,615 0,715 0,789 0,798 0,881 1,000 DK Daya Patah 1,000 0,263 0,524 0,631 0,663 0,000DK Daya Putus 1,000 0,796 0,796 0,401 0,401 0,000
DK Daya Serap Air 0,964 1,000 0,998 0,960 0,950 0,954 DK Waktu Rehidrasi 0,982 0,916 0, 961 0,970 0,996 1,000
DK Cooking loss 1,000 0,789 0,774 0,637 0,586 0,449 DK Kecerahan (L*) 1,000 0,846 0,812 0,849 0,797 0,801
DK Kesukaan Warna 1,000 1,742 0,876 0,761 0,695 0,609DK Kesukaan Aroma 0,956 0,923 0,869 1,000 0,891 0,923DK Kesukaan Tekstur 1,000 0,923 0,989 0,824 0,879 0,747DK Kesukaan Rasa 1,000 0,975 0,975 0,901 1,000 0,913
λ 0,071 0,071 0,071 0,071 0,071 0,071 L1 0,07028 0,18714 0,16593 0,20488 0,21583 0,31375 L2 0,00129 0,00485 0,00298 0,00515 0,00549 0,01482
L Max 0,07028 0,18714 0,16593 0,20488 0,21583 0,31375 Perlakuan Terbaik 0,14184 0,37912 0,33484 0,41492 0,43714 0,64232
82
A. Skor Kimia Protein
Asam amino merupakan komponen utama penyusun protein, asam
amino dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu asam amino esensial dan
asam amino non esensial. Asam amino esensial tidak dapat diproduksi tubuh
sehingga perlu penambahan dari luar dapat berbentuk makanan ataupun
suplemen sedangkan asam amino non esesnsial dapat diproduksi oleh tubuh.
Berdasarkan hasil analisis kandungan asam amino mie belalang dapat dilihat
pada Tabel berikut.
Tabel 4.19. Komposisi Asam Amino Mie Belalang Kayu
Asam amino mg/g(1 mg/g(2
Asam amino esensialIsoleusin 4,65 26,1Leusin 7,67 49,5Lisin 9,32 37,9Metionin 2,01 17,0Sistein Tidak terdeteksi 6,9Fenilalanin 5,27 20,6Tirosin 2,71 29,6Valin 5,74 31,4
Asam Amino non esensialTreonin 2,85 21,5Histidin 2,56 27,9Asam aspartiat 5,05 30,2Serin 4,30 23,3Asam glutamiat 35,55 63,9Prolin 16,09 36,2Glisin 4,32 34,2Alanin 5,37 57,5Arginin 4,31 34,2
Keterangan :1.Data hasil peneltian2.Wang (2007)
Dari data hasil penelitian diketahui kandungan asam amino mie instan
belalang sebanyak 16 jenis. Asam amino jenis sistein tidak terdeteksi pada
limit sebesar 48,42 ppm. Kandungan asam amino esensial tertinggi adalah
pada jenis asam amino lisin dengan kadar 9,32 mg/g. Lisin merupakan asam
amino yang tidak dapat disintesis tubuh sehingga asupan lisin didapat dari
konsumsi makanan atau supleman. Lisin berperan dalam memelihara energi,
membangun masa otot, dan memperbaiki jaringan. Lisin juga diperlukan saat
pembentukan antibodi, tulang, hormon, dan enzim (Presser, 2012).
83
Kandungan asam amino non esensial tertinggi adalah pada jenis asam
amino asam glutamat dengan kadar 35,55 mg/g. Glutamat merupakan
komponen protein yang banyak ditemukan pada makanan seperti daging,
sayur, unggas, atau susu. Glutamat memiliki dua bentuk, bentuk bebas dan
bentuk yang terikat dengan protein. Glutamat yang berada dalam bentuk
bebas yang dapat memingkatkan flavour makanan (IGIS, 2015).
Kandungan asam amino mie belalang apabila dibandingkan dengan
penelitian yang dilakukan Wang (2007) menunjukkan bahwa kandungan
asam amino mie belalang lebih kecil dibandingkan dengan belalang jenis
Arcida cinerea. Hal tersebut terjadi karena mie belalang mengalami beberapa
tahap pemanasan sehingga mempengaruhi kandungan asam amino mie
belalang. Proses pemanasan selama pembuatan mie mungkin menyebabkan
reaksi mailard yang akan mempengaruhi kandungan asam amino dalam mie
belalang karena asam amino akan bereaksi dengan senyawa karbonil
membentuk senyawa amadori.
Asam amino esensial tertinggi menurut penelitian yang dilakukan oleh
Wang (2007) adalah jenis asam amino leusin dengan kadar 49,5 mg/g,
sedangkan asam amino essensial terendah adalah jenis asam amino sistein
dengan kadar 6,9 mg/g. Asam amino non esensial tertinggi adalah jenis
asam amino asam glutamat dengan kandungan 63,9 mg/g. Hal ini sesuai
dengan kandungan asam amino mie belalang yang memiliki kandungan
asam glutamat yang juga tertinggi.
Kualitas protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang
terkandung dalam protein tersebut. Protein dinyatakan bermutu tinggi apabila
dapat menyediakan asam amino esensial dalam suatu perbandingan
menyamai kebutuhan manusia. Salah satu cara pengujian kualitas protein
menggunakan perhitungan skor asam amino. Skor asam amino adalah
penentuan mutu protein dengan menentukan jumlah asam amino pembatas
dan membandingkannya dengan asam amino sejenis dalam campuran asam
amino atau dengan protein pembanding (Winarno, 2004).
Nilai kimia dari mie belalang perlakuan terbaik disajikan pada Tabel
4.20.
84
Tabel 4.20. Nilai Kimia Mie Belalang
Asam AminoMie Belalang
(mg/g)1
Asam Amino Referensi (mg/g)2
Skor asam amino
Nilai Kimia
Isoleusin 4,65 32 14.539,19
(berdasarkan skor asam
amino terendah)
Leusin 7,67 66 11,62Lisin 9,32 57 16.35Metionin 2,01 273 -Sistein Tidak terdeteksi Fenilalanin 5,27 524 15.34Tirosin 2,71Valin 5,74 43 13,34Treonin 2,85 31 9,19Histidin 2,56 20 12,80Asam aspartat 5,05Serin 4,30Asam glutamat 35,55Prolin 16,09Glisin 4,32Alanin 5,37Arginin 4,31
Ketarangan :1) Hasil analisis mie belalang2) Rekomendasi FAO/WHO/UNU 2007 (6 bulan- 3 tahun)3) Rekomendasi untuk Metionin + Sistein4) Rekomendasi untuk Fenilalanin + Tirosin
Berdasarkan perhitungan nilai kimia diketahui bahwa asam amino
pembatas dari mie belalang adalah Threonin. Karena leusin memiliki nilai
kimia terendah, sedangkan untuk asam amino metionin tidak dapat dihitung
nilai kimia karena rekomendasi FAO diberikan untuk gabungan antara asam
amino metionin dan sistein.
Treonin merupakan asam amino pembatas dari mie belalang. Asam
amino pembatas merupakan asam amino terkecil yang ada dalam suatu
protein. Apabila asam amino pembatas merupakan asam amino non esensial
maka tubuh akan mensintesis asam amino sehingga proses sintesis protein
dapat terus berlangsung, namun apabila asam amino pembatas merupakan
asam amino esensial makan sintesis protein akan terhenti sebesar nilai asam
amino pembatas (Almatsier, 2003).
Hasil penelitian tidak mencukupi kandungan asam amino esensial yang
harus dipenuhi menurut rekomendasi FAO. Kandungan asam amino sistein
tidak ditemukan pada hasil analisis. Protein yang dikandung mie belalang
merupakan protein tidak komplet, karena protein tidak mengandung atau
85
mengandung dalam jumlah kurang satu atau lebih asam amino esensial
(Almatsier, 2003).
B. Pegujian In Vivo
Pengujian in vivo dilakukan pada model tikus yang telah diberikan
perlakuan KEP. Hal ini ditunjukan untuk mengetahui pengaruh mie belalang
terhadap pemulihan berat badan tikus setelah KEP. Pengujian in vivo yang
diamati adalah nilai Protein Eficiency Ratio (PER) dari produk mie belalang.
Rerata pemulihan berat badan dan peningkatan berat badan disajikan
pada Tabel 4.20.
Tabel 4.20. Rerata Pemulihan Berat Badan Tikus
PerlakuanPeningkatan
Berat Badan (gram)Pemulihan
Berat Badan (%)Normal 18,50 ± 18,36a -
Comfeed PAR-s 17,00 ± 13,64 a 9,99
Mie Belalang 24,25 ± 4,11 a 13,57
Mie Instan Komersial 11,00 ± 5,03 a 6,21Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
Pengujian in vivo kali ini bertujuan unutuk mengetahui efektivias mie
belalang untuk dapat meningkatkan berat badan dan mengembalikan berat
badan tikus sebelum dikondisikan KEP. Protein dengan kualitas yang baik
akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perbaikan jaringan terutama
masalah wasting dan stunting (FAO, 2013). Berdasarkan Tabel 4.20
pemberian ketiga pakan tidak menujukan beda nyata, namun pemberian
pakan mie belalang menunjukkan peningkatan berat badan paling tinggi
kemudian pemberian pakan comffed PAR-s dan yang terakhir adalah mie
instan komersial.
86
Gambar 4.18 Rerata Peningkatan Berat Badan
Mie instan komersial merupakan pangan tinggi karbohidrat namun
sedikit mengandungan komponen makro dan mikronutrien seperti protein,
mineral, dan vitamin hal tersebut mengakibatkan peningkatan berat badan
lamban terjadi. Comfeed PAR-s mengandung protein yang lebih tinggi
dibandingkan mie instan, selain itu rerata konsumsi pakan comfeed PAR-s
lebih tinggi dibandingkan mie belalang dan mie instan sehingga peningkatan
berat badan kelompok tikus comfeed PAR-s lebih tinggi dibandingkan mie
instan. Pemberian mie belalang pada diet menunjukkan peningkatan berat
badan yang paling tinggi. Hal tersebut terjadi karena mie belalang memiliki
kandungan protein yang cukup tinggi. Selain itu belalang memiliki
kandungaan vitamin seperti Thiamine, Riboflavin, Vitamin C dan Vitamin A
dan mineral seperti magnesium (Blasquez et al, 2012).
Komponen mikronutrien akan membantu proses pemulihan penderita
KEP karena komponen-komponen tersebut dapat mengembalikan bentuk
tubuh. Vitamin A dan seng akan membantu tubuh untuk membentuk sistem
imun dan diperlukan dalam struktur dan fungsi mukosa. Zat besi berperan
dalam meningkatkan kesadaran dan pertumbuhan. Mineral lainnya seperti
tembaga dan selenium berperan dalam pembentukan badan sel dan
regenerasi jaringan (Simkiss et al., 2006). Mikronutrien perlu ditambahkan
pada diet penderita KEP, karena kebanyakan penderita KEP juga mengalami
defisiensi komponen mikronutrien.
87
0
50
100
150
200
250
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Hari Perlakuan
Be
rat
Ba
da
n (
gra
m)
Normal Comfeed Par-S Mie Belalang Mie Instan
Kandungan asam amino berpengaruh pada metabolisme tubuh, ada
beberapa jenis asam amino yang berperan dalam pembentukan masa otot
yakni lisin, asam amino rantai bercabang, dan glutamin. Lisin merupakan
asam amino yang penting untuk masa pertumbuhan dan perkembangan
karena lisin berperan pada penyerapan kalsium yang akan meningkatkan
pertumbuhan tulang dan otot. Lisin juga mampu menyeimbangkan kadar
nitrogen dalam tubuh sehingga dapat membantu menjaga masa tubuh
(Presser, 2009).
Asam amino rantai bercapang yang berpengaruh pada pembentukan
otot diantaranya adalah leusin, isoleusin, dan valin. Leusin merupakan jenis
asam amino yang berperan dalam menjaga kadar darah tubuh, memperbaiki
jaringan pada kulit, tulang, dan otot. Isoleusin berperan dalam pemulihan otot
dan dapat membantu mencegah infeksi pada daerah yang luka. Valin juga
berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan jaringan otot dan membantu
menjaga keseimbangan nitrogen (Presser, 2009).
Glutamin merupakan jenis asam amino non esensial yang banyak
terdapat dalam tubuh, yang berperan dalam mencegah kehilangan masa otot
selain itu apabila tubuh kekurangan asupan energi glutamin juga dapat
memberikan energi tambahan (Presser, 2009).
Pemulihan berat badan adalah berapa besar tubuh dapat kembali pada
ukuran normal. Berdasarkan ketiga perlakuan rerata pemulihan berat badan
adalah 8,42% - 18,94%. Hal ini menunjukan bahwa pemberian ketiga pakan
belum mampu mengembalikan berat badan tikus pada kondisi awal sebelum
terjadi KEP. Pemulihan berat badan terjadi sempurna apabila mencapai 25%.
karena pada awal perlakuan tikus dikondisikan KEP dengan target
penurunan berat badan terjadi sebesar 25%. Hal tersebut terjadi karena
pemberian pakan selama perlakuan hanya dilangsungkan selama tiga
minggu sedangkan penanganan wasting sendiri memerlukan jangka waktu
yang lebih lama sehingga keadaan tubuh dapat kembali menjadi normal.
Berdasarkan data penelitian, kelompok tikus yang diberikan diet mie belalang
menunjukan pemulihan berat badan paling tinggi kemudian comfeed PAR-s,
dan terakhir adalah mie instan komersial.
Pengukuran lain yang dilihat saat pengujian in vivo adalah nilai PER,
PER merupakan nilai yang menunjukkan efektivitas protein yang diserap
untuk dapat meningkatkan berat badan.
88
Tabel 4.21. Nilai PER untuk tiap perlakuan
Perlakuan PERNormal 0,23±0,23 b
Comfeed PAR-s 0,28±0,22b
Mie Belalang 0,99±0,08 a
Mie Instan Komersial 0,59±0,26 ab
Keterangan:1. Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata pada uji Tukey 5%
Berdasarkan Tabel 4.21 menunjukan nilai PER mie belalang berbeda
nyata dibandingkan dengan comfeed PAR-s namun tidak berbeda nyata
dengan mie instan komersial. Namun nilai PER mie belalang menunjukan
nilai paling tinggi yakni 0,99.
Konsumsi pakan kelompok tikus dengan diet comfeed PAR-s paling
tinggi dibandingkan dengan kelompok diet lainnya, namun kelompok tikus
dengan diet comfeed memiliki nilai PER yang paling rendah. Hal ini mungkin
disebabkan karena protein yang diserap oleh tubuh tidak digunakan untuk
pertumbuhan melainkan digunakan untuk metabolisme tubuh seperti sumber
energi atau perbaikan jaringan, sehingga pertumbuhan tikus lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Protein yang bersumber dari protein hewani biasanya memiliki nilai
PER relatif tinggi seperti PER daging sapi 2,9 dan telur 3,8. Namun nilai PER
untuk mie belalang hanya 0,9983 hal ini disebabkan selama proses
perhitungan PER tikus berada pada kondisi kurang energi protein, keadaan
tersebut menyebabkan metabolisme tubuh tikus berbeda dengan tikus
normal. Protein yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan digunakan
untuk perbaikan jaringan sehingga proses pertumbuhan lamban terjadi
sehingga nilai PER untuk mie belalang rendah.
Nilai PER yang tinggi menunjukan protein mampu mendukung proses
pertumbuhan dengan cepat pada tikus. Pengukuran terhadap pertumbuhan
merupakan indikator metabolik yang memberikan penilaian akurat tentang
evaluasi kualitas protein. Protein yang memiliki kualitas yang baik akan
menghasilkan pertumbuhan yang maksimal pada tikus muda. Walaupun
metode ini bisa saja berbeda dengan manusia karena manusia
membutuhkan asam amino yang berbeda dibandingkan tikus. Nilai gizi
89
protein juga dipengaruhi oleh komposisi asam amino dan daya cerna (Nurdin
dkk, 2005).
C. Pengujian Daya Cerna Protein Secara In Vitro
Pengujian yang dilakukan secara in vitro dilakukan untuk mengetahui
daya cerna protein yang terjadi didalam saluran pencernaan. Daya cerna
protein yang tinggi mengindikasikan bahwa protein dapat dengan mudah
dipecah menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan sehinga
mudah terserap tubuh. Berdasarkan analisis yang dilakukan diketahui bahwa
kecernaan protein mie instan belalang adalah pada Tabel 4.22.
Tabel 4.22. Kecernaan Protein Mie Belalang dan Mie Instan Komersial
Kecernaan % Mie Belalang Mie Instan KomersialUlangan I 51,70 49,65Ulangan II 50,09 43,73Rata-rata 50,89 46,69
Berdasarkan data analisis diketahui bahwa daya cerna protein mie
belalang sebesar 50,89 % lebih tinggi dibandingkan mie instan komersial
sebesar 46,69%. Hal tersebut menunjukan bahwa kandungan protein
belalang memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan protein yang
terkandung dalam mie instan komersial.
Penelitian yang dilakukan oleh Murtini et al (2011) menunjukan daya
cerna tempe yang terbuat dari sorgum coklat memiliki nilai daya cerna
sebesar 79,13% dengan lama fermentasi selama 72 jam, sedangkan
penelitian yang dilakukan Elih (2006) menunjukan daging sapi memiliki nilai
daya cerna sebesar 79,03%. Proses pengolahan daging sapi mampu
meningkatkan daya cerna protein apabila diolah menjadi bakso dan sosis,
proses pengolahan juga mampu menurunkan daya cerna protein apabila
diolah menjadi produk abon, dendeng, dan daging panggang. Protein
digolongkan sebagai protein baik apabila memiliki daya cerna sama atau
lebih besar dari 80%.
Daya cerna protein dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
faktor eksogenus yaitu interaksi antara protein dengan polifenol, fitat,
karbohidrat, lemak, dan protease inhibitor. Daya cerna juga dipengaruhi oleh
faktor endogenus yang berkaitan dengan karakterisasi struktur protein, selain
itu proses pengolahan juga mampu mempengaruhi daya cerna protein
90
karena protein merupakan senyawa reaktif yang mampu berikatan dengan
komponen lain sehingga penetrasi enzim pencernaan menjadi lebih sulit
(Kurniawan, 2012)
Kitin merupakan salah satu bahan yang dapat menghambat
penyerapan protein, tepung belalang diketahui memiliki kandungan kitin
berdasarkan karakterisasi menggunakan FTIR. Kandungan kitin belalang
berpengaruh pada kinerja enzim-enzim pencernaan. Kitin merupakan salah
satu komponen penyusun eksoskeleton serangga. Kitin biasanya terikat
protein secara kovalen ataupun non kovalen, kitin banyak ditemukan pada
bagian eksokutikula dan endokutikula pada lapisan eksoskeleton.
Eksoskeleton yang telah mengalami sclerotization akan menghasilkan
lapisan kitin yang terikat ada protein kompleks dan akan menghasilkan
struktur kang keras, rigid, dan tahan terhadap hidrolisis enzim (Muzzarelli,
2013)
Kitin merupakan polisakarida N-acytlated glucosamine yang merupakan
bagian dari protein kompleks dan mempunyai kecernaan yang rendah saat
dikonsumsi. Sifat kecernaan yang rendah akan membatasi kinerja enzim
pencernaan terhadap protein dan lemak sehingga berpengaruh pada
kinerjanya (Djunaidi dan Hardiani, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh
Palinggi dan Usman (2011) menyatakan bahwa pemberian tepung kepala
udang meningkatkan kandungan serat kasar (kitin) pada pakan ikan
beronang, kandungan serat kasar yang dimungkinkan kitin ini berpengaruh
pada kecernaan protein yang rendah sehingga pertumbuhan dari ikan
beronang rendah walaupun pakan memiliki kandungan protein yang tinggi.
Limbah udah baik kulit ataupun kepala masih mengalami perdebatan karena
aktivitas enzim pencernaan menjadi terbatas sehingga perlu dilakukan
peningkatan kualitas protein.
Peningkatan kualitas protein dapat dilakukan menggunakan proses
fermentasi, proses fermentasi akan menghasilkan enzim yang mampu
merombak bahan organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana
sehingga mampu meningkatkan daya cerna. Limbah kulit udang yang
difermentasi menggunakan Bacillus sp. dapat disubtitusikan sebanyak 5%
sehingga dapat meningkatkan berat-badan pada ayam broiler (Djunaidi et al.,
2009). Sedangkan fermentasi menggunakan Aspergilus oryzae mampu
91
meningkatkan kecernaan protein sebesar 9% diakhir fermantasi (Djunaidi
dan Hardini, 2011).
Walaupun mie belalang mengandung kitin yang dapat menurunkan
tingkat kecernaan, berdasarkan hasil analisis mie belalang memiliki
kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mie instan komersial. Hal
ini disebabkan karena kualitas protein yang dikandung kedua bahan. Protein
hewani memiliki kualitas protein yang lebih baik dibandingkan dengan protein
nabati karena protein hewani biasanya mengandung asam amino esensial
yang lengkap. Hasil analisis asam amino menggunakan metode KCKT
menunjukan bahwa mie belalang mengandung asam amino yang cukup
lengkap. Apabila dibandingkan protein yang terkandung pada gandum yang
termasuk golongan serealia yang biasanya terbatas pada asam amino jenis
lisin. Kandungan asam amino lisin pada tepung terigu berkisar antara 2,17 –
2,35 g/100g (Tkchuk, 2015). Protein hewani merupakan sumber protein yang
baik walaupun memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi, namun
konsumsi protein hewani pada ibu hamil dapat melahirkan bayi dengan berat
yang normal dibandingkan dengan dengan ibu hamil yang sedikit
mengkonsumsi protein hewani. Konsumsi protein hewani juga
dapatmeningkatkan masa otot yang lebih baik dibandingkan dengan orang-
orang yang vegetarian. Konsumsi protein hewani juga dapat menyebabkan
sintesis protein dalam tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi
protein nabati (Hoffman and Falvo, 2004)
Proses pengolahan mie instan yang dilakukan dengan cara
pengukusan mengakibatkan pati mengalami proses gelatinisasi kemudian
pati yang telah tergelatinisasi akan mengalami proses pendinginan yang
menyebabkan pati akan mengalami reaksi retrogradasi. Retrogradasi adalah
proses mengkristal kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi sehingga
molekul amilosa berikatan kembali dan berikatan dengan amilopektin
membentuk jaringan yang berbentuk mikrokristal dan mengandap (Winarno,
2004). Retrogradasi yang terjadi karena proses pre-gelatinisasi akan
mengakibat pati berubah menjadi pati tahan cerna tipe 3. Pati tahan cerna ini
dapat menghambat proses degradasi oleh enzim pencernaan karena sifatnya
yang tahan terhadap enzim ataupun panas (Herawati, 2010).
Produk mie instan komersial biasanya menggunakan pati yang telah
termodifikasi atau menggunakan polisakarida lain seperti gum untuk
92
memperbaiki karakteristik dari mie instan yang dihasilkan. Pati yang
mengalami proses modifikasi yang biasa digunakan untuk makanan instan
diperoleh dari reaksi kimia/fisik/enzimatis yang juga dapat menyebabkan pati
mengalami perubahan menjadi pati resisten yang sulit dicerna oleh enzim-
enzim pencernaan (Herawati, 2010). Sedangkan gum, biasanya digunakan
untuk penghambat pengkristalan, pengemulsi dan pencegah penyerapan
minyak yang berlebih. Gum yang digunakan merupakan jenis polisakarida
yang termasuk pada serat pangan yang tidak dapat tercerna oleh enzim-
enzim pencernaan (De Man, 2012). Kandungan polisakarida yang terdiri dari
berbagai jenis pada mie instan komersil dimungkinkan menghambat
pencernaan protein yang terkandung pada mie sehingga daya cerna dari mie
instan komersial lebih rendah dibandingkan dengan mie belalang.
93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Rasio antara tepung terigu dan tepung belalang kayu yang menghasilkan
respon sifat kimia, fisik, dan organoleptik terbaik adalah pada formulasi
tepung terigu sebesar 85% dan tepung belalang kayu sebesar 15%
2. Berikut adalah nilai parameter kimia, fisik, dan organoleptik untuk mie
belalang perlakuan terbaik:
a. Parameter kimia dengan kadar air sebesar 5,85 %; kadar abu
sebesar 0.869%; kadar lemak sebesar 19.9%; dan kadar protein
sebesar 13.55%.
b. Parameter fisik dengan daya patah 1,45N; daya putus 0,13N;
daya serap air 209,78%; waktu rehidrasi 3,41 menit; Cooking
Loss 0,15%; dan kecerahan 39,91.
c. Parameter organoleptik dengan rerata kesukaan terhadap warna
dengan skala 4,60; aroma dengan skala 4,00; tekstur dengan
skala 4,50; dan rasa dengan skala 3,95.
3. Asam amino pembatas berdasarkan penentuan nilai kimia adalah asam
amino treonin dengan nilai 9,19.
4. Peningkatan berat badan kelompok tikus dengan pakan mie belalang
adalah 24,25 gram dengan nilai PER sebesar 0,99.
5. Kecernaan protein mie belalang secara in vitro diketahui sebesar 50,89%
5.2 Saran
Perlu penelitian lanjut untuk menghasilkan tepung belalang dengan
ukuran yang seragam sehingga proses pembuatan mie terutama proses
pencetakan mie belalang menjadi lebih mudah dan proses pembuatan
tepung belalang dengan metode peneringan sehingga didapat produk
dengan kadar lemak yang lebih rendah.
Pengujian in vivo lebih lanjut terhadap mie instan belalang perlu dilakukan
untuk dapat menentukan penggunaan protein dalam metabolisme tubuh tikus
seperti daya cern, NPR, dan penggunaan kelompok tikus yang sesuai untuk
penggukuran PER.
94
Hasil analisis organoleptik menunjukan bahwa panelis menyukai mie
dalam bentuk kering karena memiliki rasa yang lebih gurih, sehingga
disarankan produk dijadikan makanan ringan.
95
DAFTAR PUSTAKA
Aligent. 2011. Fundamentals of Liquid Cromatography (HPLC). Tanggal akses 20 Oktober 2014 <http://polymer.ustc.edu.cn/xwxx_20/201109/p0201109063097048536.pdf>
Almatsier, Sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia
Anonimus. 2009. Protein. diakses tanggal 13 Oktober 2014 < http://elisa.ugm.ac.id >
Anonim. 2013. APA ITU KALORI?. Tanggal akses 19 januari 2015 <http://kaloriku.com./blog/apa-itu-kalori/>
AOAC. 1995. Official Metodh of Analysis, 16th ed. AOAC International, Gaithersbug, Maryland.
Astawan, Made; Muchtadi, Dedy; Palupi, Nurhaeni Sri. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. IPB. Bogor
Azhar, Minda; Effendi, Jon; Syofyeni, Erda. 2010. Pengaruh Konsentrasi NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasitilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang. Padang
Belachew, Tefera. 2001. Protein Energy Malnutrition For the Ethiopian Health Center Team. Jima University
Blasquez, Julieta Ramos., Moreno, Jose Manuel Pino., Camacho, Victore Hugo Martinez. 2012. Could Grasshoppers Be a Nutritive Meal. Food and Nutrition Science, 2012, 3, 164-175
Campbell, Dana. 2013. Acrida cinerea. Encyclopedia of Life. Tanggal akses 18 Januari 2015 <http://eol.org>
Cawley, R.W; Howarth, D.T. 2004. The Wheat Industry. New Zeland Institute of Chemistry; New Zealand.
Codex. 2002. CODEX STAN 249-2006: CODEX STANDART FOR INSTANT NOODLE
De Mann, John.M. 2012. Kimia Makanan. Bandung: Penerbit ITB
Dutta, Pradip Kumar; Dutta, Joydeep: Tripathi, V.S. 2004. Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties, and Aplications. Journal of Scientific and Industrial Research Vol 65 20-31
Djunaidi, Irfan H., Yuwanta, T., Supadmo., Nurcahyanto, M. 2009. Peforma dan Bobot Organ Pencernaan Ayam Boiler yang Diberi Pakan Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus sp. Media Peternakan : 212-219
Djunaidi, Irfan H. Dan Hardiani, Dini. 2011. Kandungan Nutrien dan Kecernaan Bahan Kering in-vitro Limbah Udang Hasil Fermentasi dengan Aspergillud oryzae. Jurnal Ilmu peternakan 20 (2):31-35
Ernawati. 2011. Pengembangan Produk Tahu Menjadi Tofu Chips (Kajian Jenis Bahan Baku, Suhu Penggorengan, dan Biaya Produksi). Prodi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Yudarta Pasuruan.
Estiasih, Teti., dan Ahmadi, Kgs. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara
96
FAO. 2013. Dietary Protein Quality Evaluation in Human Nutrition. FAO: Rome
Fellow, P. 2000. Food Processing Technology. Cambridge England: Woodhead Publishing
Fetriyuna; Yenrina, Rina; Kasim, Anwar. 2011. Bioavability of Protein and Calcium in Instant Noodle with Anchovy Fish Powder Mixed. Univesity of Padjajaran.
Hardinsyah. Riyadi, Hadi. Napitupulu, Victor. 2012. Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Karbohidrat. Institut Pertanian Bogor
Herawati, Heny. 2010.Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna Sebagai Pangan Fungsional. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Tengah.
Hoffman, Jay R. and Falvo, Michael J. 2004. Protein -- Which is Best?. Jurnal of Sport Science and Medicine (2004)3, 118-130
IGIS.2015. Glutamate The Fact. International Glutamate Information Service. Tanggal akses 29 Desember 2014 <http:// www.glutamate.org>
Indra, Rahman. 2013. Tango perangi gizi buruk di nias. Tanggal akses 13 Oktober 2013. < female.kompas.com.>
Jhonatan, et al. 2008. GC-MS Screen for the Presence of Melamine, Ammeline, and Cyanuric Acid. Laboratory Information Bulletin (LIB) No.4432 Vol.24 U.S. Food and Drug Administration
Katili, Abubakar Sidik. 2009. Struktur dan Fungsi Protein Kolagen. Jurnal Pelangi Ilmu Vol 2 No.5
Kholis, Nur dan Hadi, Fariz. 2010. Pengujian Bioassay Biskuit Balita yang Disuplementasi Konsentrat Protein Daun Kelor (Morinaga oleifera) pada Model Tikus Malnutrisi. Jurnal Teknologi Pertanian Vol 11 (3) 144 – 151
KKM. 2005. Recommended Nutrient Intakes for Malaysia. Kementrian Kesihatan:Malaysia.
Koeswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Mie. Tanggal akses 24 September 2014 < http://unimus.ac.id >
Kumirska, Jolanta; Weinhold, Mirko X; Thoming, Jorg; Stepnowski, Piotr. 2011 Biomedical Activity of Chitin/Chitosan Based Materials – Influence of Physicochemical Properties Apart from Molecular Weight and Degree of N-Acetylation. ISSN 2073 – 4360
Kuktaite, Ramune. 2004. Protein Quality in Wheat : Change in Protein Plymer Composition During Grain Development and Doughh Processing. Disertation. Swedish University
Kurniawan, Stella Kristanti. 2012. Skripsi: Daya Cerna Protein In Vitro Dua Puluh Minuman Bubuk Komersial Bernasis Kedelai. Institut Pertanian Bogor
Lavanya.G, Mubarak; SK,Vishali; Sujana, K; Rani, Pramela; Sundar, B.Syama. 2011. Protein Chromatography. Jurnal Biomed Sci and Res Vol 3(3) 424-438
Lee, D.W. 2004. Engineered Chitosan for Drug Detoxification Preparation, Characterization, and Drug Uptake Studies. Disertation. University of Florida
97
Maryati. Widodo, Eko. 2007. Training to Make Grasshopper Flour as High Protein Material Foods in Gunung Kidul. Universitas Negeri Yogyakarta
McKey, Trudy. McKey, James. 2009. BIOCHEMISTRY; The Molecular Basis of Life 4th Edition. USA: Oxford University Press
Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Studi Ilmu Pangan Program Pasca Sarjana. IPB
Muehlenchemie. 2009. Future of flour - A Compendium of Flour Improvment. Verlag Agrimedia
Muzzarelli, R.A.A. 2013. Chitin. Pergamond Press Ltd., Headington Hill Hall, Oxford OX3 0BW, England
Neumann, Charlotte G. 2006. Child Nutrition in Developing Countries. UCLA: Los Angeles
Nugroho, Agung., Nurhayati, Nanik Dwi., Utami, Budi. 2011. Sintesis dan Karakterisasi Membran Kitosan untuk Aplikasi Sensor Deteksi Logam Berat. Vol. 6. No.2 123-136
Oh, N.H., D.A. Seib, C.W. Deyoe, and A.B.Ward. 1983. Measuring The Textural Characteristic of Cooked Noodles. Cereal Chem.
Ojewola, G.S., Udom, S.F. 2005. Chemical Evaluation of the Nutrition Composition of Some Unconventional Animal Protein Source. International Journal of Poultry Science 4 (10): 745-747.
Owen, G. 2001 Cereal Processing Technology Cambridge: Woodhead Publishing
Palupi, NS. 2007. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB
Pebriani, Harly; Rilda, Yetria; Zulhadjri. 2012. Modifikasi Komposisi Kitosan Pada Proses Sintesis Komposit TiO2 – Kitosan. Jurnal Kimia Unand Vol.1(1)
PKPP. Pengembangan Teknologi Mie Berbasis Jagung di Nusa Tenggara. Tanggal akses14 Oktober 2013. < Pkpp.ristek.go.id/index.php/penelitian/detail/495>
PNPM. 2010. Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Gizi Buruk di PNPM. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan.
Pratama, Aji Permana., Nisa, Fitri Khoirun. 2014. Formulasi Mie Kering dengan Subtitusi Tepung Kimpul (Xanthosoma sagittifolium) dan Penambahan Tepung Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L) Jurnal Pangan dan Argoindustri Vol. 2 No 4
Presser, Art. 2009. Amino Acid. Humington Collage of Health Sciences Putra, Sigit Nurdyansyah. 2008. Skripsi: Optimalisasi Formula dan Proses
Pembuatan Mi Jagung Dengan Metode Kalendering
Pomeranz, Y. 1988. Fungtional Properties of Food Components. New York: Academic Press
Rinaudo, Marguerite.2006. Chitin and Chitosan : Propoerties and Aplication. Elvisier. Progress in Polymer Science 31 603-632
Ristek. 2013. Kerupuk Belalang Ala Mahasiswa UNY. Tanggal akses 18 Januari 2015 < http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/13665/pdf>
98
Seib, PA.; X.Lianf.; F. Guan.; Y.T.Liang dan H.C Yang. 2000. Comparation of Asian noodle from Some Hard White and Hard Red Wheat Flours. Cereal Chemistry
Sherri, T. 2008. Determination of Melamine and Cyanuric Acid Residues in Infant Formula Using LC-MS/MS. Laboratory Information Bulletin (LIB) No.4432 Vol.24 U.S. Food and Drug Administration.
Simkiss, D., Edmord, K., Waterston, AJR., Bose, Anuradha. 2012. Protein – Energy Malnutrition. Dalam Mother and Child Mutrition In The Tropic and Subtropic. Oxford Jurnals
Sjahfirdi, Luthfirlada. Mayangsari. and Masikin, Mohammad,. 2012. Protein Identification Using Fourier Transform Infrared (FTIR). IJRRAS 10 (3) March
SNI. 2000. SNI 01-3551-2000: Mi Instan
SNI. 2009. SNI 3751:2009 : Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan
Sugihantono, Anung. 2014. Kebijakan Kementrian Kesehatan dalam Penurunan AKI, AKB, dan Prevalensi Gizi Buruk. Tanggal akses 15 Januari 2015 <http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/2014/SDK/Mibangkes/RAKERKESDA2014/Dirjen_GKIA-Rakerkesda_Jateng2014.pdf>
Susanti, R. 2006. Analisis Ekuitas Merek Mie Instan di Kecamatan Bogor Barat. Bogor : IPB.
Sutriyanto, E. 2012. Tiga Masalah Gizi di Indonesia Bisa Teratasi. Tanggal akses 20 Oktober 2013. <http://tribunnews.com/kesehatan/2012/11/21/tiga-masalah-gizi-bisa-teratasi>
Suyadi, E. 2009. Kejadian KEP di Indonesia. UI. Jakarta.Soekarto, Soewarno T. 1985. Penilaian Organoleptik. Bogor: Bhatara Karya
AksaraTharanathan, RN; Kittur, FS. 2003. Chitin – The Undisputed Biomolecule og
Great Potential. Crit Rev Food Sci Nutr. 2003;43(1):61-87Tkachuk, R. 2015. Amino Acid Composition of Wheat Flours.Tanggal akses 1
Maret 2015 <www.aaccnet.org/publications>UMS. 2013. Pengujian Organoleptik. Semarang: Universitas Muhamadiah
SemarangVan Huis, Arnold., Van Itterbeeck, Joost., Klunder, Harmke., Mertens, Esther.
2013. Edible insect : future prospects for food and fes security. FAO: Rome
Wahyuni, Rekna. 2011. Optimasi Pengolahan kembang Gula Jelly Campuran Kulit dan Daging Buah Naga Super Merah (Hylocereus costaricensis) dan Prakiraan Biaya Produksi. Prodi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Yudarta Pasuruan.
Wang, dung., Shao, Wei zhai., Chuan, Xi Zhang., Zhang, Qiang., Chen, Hui. 2007. Nutrition Value of the Chinese Grasshopper Acrida cinerea (Tunberg) for broilers. Animal Feed Science and Technology
Warintek. 2000. Tepung Tapioka. LIPI: Jakarta
Widjaya, cecilia. 2010. The Impact of Ingredient Formulation and Processing Parameters on Colour and Texture of Instant Noodle. RMIT University
99
Winarno, FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Winarno, FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakara: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Witono, Juddy Retti. 2012. Optimasi Rasio Tepung Terigu, Tepung Pisang, dan Tepung Ubi Jalar, serta Konsentrasi Zat Aditif pada Pembuatan mie. Bandung: Universitas Katolik Parahayangan
Yu, li juan. 2003. Noodle Dough Rheology and Quality of Instant Fried Noodle. Thesis. McGill University
Yuwono, S.S. dan T. Susanto.1998. Pengujian Fisik Pangan FTP-UB Malang
Zeleny, M. 1982. Multiple Criteria Decision Making. New York: McGrew-Hill Co
100
LAMPIRAN 1
1.1. Karakterisasi Kitin dengan Spektrofotometer FTIR
Prosedur Kerja:
• Pembuatan pelet menggunakan KBr dengan mencampurkan 1mg sampel dan 10-100mg KBr
• Hancurkan sampel dan serbuk KBr hingga homogen
• Tekan menggunakan pompa hidrolik hingga terbentuk pelet
• Pelet kemudian dimasukkan kedalam FTIR
• Nilai spektrum IR akan terbaca pada komputer
1.2. Kadar Air (AOAC, 1995)
a. Persiapan Sampel
• Sampel padat disiapkan sebanyak 10 gram
• Sampel dihancurkan hingga homogen
b. Penentuan Kadar Air Sampel
• Atur suhu oven pada 105oC
• Siapkan cawan/botol timbang dan keringkan dalam oven minimal 1 jam pada suhu 105oC. Didinginkan selama 30 menit dalam desikator.
• Timbang botol timbang yang telah didinginkan tersebut
• Timbang sampel (W1) yang akan diuji sebanyak 3 gram dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya.
• Keringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3-5 jam (tergantung bahan), dinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.
• Kadar air dihitung (W2) sebagai persentase kehilangan berat sampel setelah pengeringan.
Perhitungan
%kadar air =W1-W2/W1 x 100%
1.3. Kadar Abu (AOAC, 2000)
Prosedur kerja:
• Cawan porselen dimasukkan kedalam tanur dan dipanaskan selama 1 jam
• Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W 1)
• Sampel ditimbang sebanyak 2 gram (W)
• Sampel dimasukkan kedalam cawan porselen dan dibakar/diarangkan diatas nyala pembakar selama 45 menit.
101
• Kemudian dimasukkan kedalam tanur 600oC selama 4 jam hingga berwarna keputih-putihan.
• Didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga berat tetap (W 2)
Perhitungan
%kadar abu = (W2-W1 / W) x 100%
1.4. Kadar Lemak (AOAC, 2000)
Prosedur kerja:
• Labu lemak dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC selama 2 jam
• Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap (W1)
• Sebanyak 5 gram (W) sampel yang akan diuji dimasukkan kedalam selongsng kertas yang sebelumnya telah dikeringkan selama 1 jam.
• Labu lemak kemudian diisi dengan pelarut (dietil eter/petrolum eter) sebanyak 35ml
• Dilakukan ekstraksi selama 4-6 jam
• Labu lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 2 jam
• Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap (W2)
Perhitungan:
%lemak = W2-W1/W Sampel x 100%
1.5. Kadar Protein (AOAC, 1995)
Prosedur kerja:
• Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan kedalam lagu kjedal kemudian ditambahkan K2SO4 dan 0,6225 g CuSO4
• Sebanyak 15 ml H2SO4 pekat dan 3 ml H2O2 secara perlahan-lahan kedalam labu
• Proses destruksi pada suhu 410 oC selama 2 jam atau hingga didapatkan larutan yang jernih
• Didiamkan hingga mencapai suhu kamar dan ditambahkan 50 – 75 ml akuades
• Disiapkan erlenmeyer berisi 25 ml larutan H3BO3 4 % yang mengandung indikator metilred 0,1 % sebagai penampung destilat.
• Labu Kjeldahl dipasang pada rangkaian alat destilasi uap. Ditambahkan 50 ml larutan alkali.
• Dilakukan destilasi dan destilat ditampung dalam erlenmeyer tersebut hingga volume destilat mencapai 150 ml (hasil destilat berwarna hijau).
102
• Destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N, dilakukan hingga warna berubah.
• Blanko dikerjakan seperti tahapn contoh.
Perhitungan:
%protein = 1,4 x N x (A-B) x 6,38 / C
Dimana A= ml HCl untuk titrasi sampel B = ml HCl untuk titrasi blangko
C= berat sampel yang digunakan
1.6. Kadar Karbohidrat (by difference)
Penentuan kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu berat
total produk dikurangi kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak.
Kadar karbohidrat = 100 – (Kadar air+Kadar abu+Kadar Protein+Kadar Lemak)
1.7. Daya Patah (Yuwono, 1998)
Prosedur kerja:
• Persiapan sampel
• Pemasangan pengait Tensile Strenght kemudian mie kering dijepit pada pengait
• Jalankan mesin hingga mie tertekan hingga patah
• Nilai daya patah terbaca pada komputer
1.8. Daya Putus (Yuwono, 1998)
Prosedur kerja:
• Persiapan sampel mie matang
• Pemasangan pengait Tensile Strenght kemudian mie kering dijepit pada pengait
• Jalankan mesin hingga mie tertarik hingga putus
• Nilai daya putus terbaca pada komputer
1.9. Cooking Loss (Seib, PA et al. 2000)
Prosedur kerja:
• Sampel mie ditimbang sebanyak 5 gram
• Direbus dalam 150 ml air hingga mencapai suhu optimum perebusan
• Air sisa rebusan mie ditempatkan dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya lalu dioven selama 5 jam
103
• Didinginkan dalam desikator selama 30 menit
• Cawan kemudian ditimbang, Cooking loss dihitung sebagai perbandingan antara residu dan berat mie mentah
1.10. Daya Serap Air (Yuwono, 1998)
Prosedur Kerja:
• Timbang 5 gram mie hingga tergelatinisasi sempurna
• Timbang berat akhir mie masak
• Penyerapan air diukur berdasarkan perubahan sebelum dan sesudah pemasakan
Penyerapan Air = Berat sampel masak x 100%
Berat sampel mentah
1.11. Waktu Rehidrasi (Putra, 2008)
Prosedur kerja:
• Sampel mie ditimbang sebanyak 5 gram direbus dalam 150 ml air
• Waktu rehidrasi dicatat hingga tidak ada spot putih pada bagian tengah untaian mie
• Waktu rehidrasi adalah waktu yang dibutuhkan bahan untuk menyerap air hingga diperoleh tekstur yang homogen.
1.12. Warna Color Reader (Susanto, 1999)
• Pengukuran terhadap warna mie menggunakan Color reader.
• Color reader yang telah diaktifkan distandarisasi.
• Kemudian ujung lensa ditempelkan pada sampel yang akan diuji.
• Pengukuran dilakukan sebanyak n kali pada daerah yang berbeda kemudian dirata-rata.
1.13. Kecernaan Protein (Tanaka, 1978)
• Timbang sampel kurang lebih menganudng zat padat sebanyak 200 mg dalam Erlenmeyer
• Tambahkan 9 ml larutan buffer Walphole 0,2N pH 2 dan 1 ml enzim pepsen 2% (@mg dalam 100 ml buffer Walphole) digojog hingga tercampur baik.
• Sampel diinkubasi pada pemanas air suuhu 37oC selama 5 jam.
• Sampel yang telah diinkubasi kemudian disentrifugasi pada Fc = 0,011 rN2/g, (dengan N=3000 rpm), selama 20 menit.
104
• Supernatan yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse yang lain dan kedalamnya dimasukkan 5 ml larutan asam tricholoroasetat (TCA) 20% untuk mengendapkan protein yang masih ada. Dibiarkan selama 15 jam pada suhu ruang.
• Larutan disaring dengan kertas saring whatman no.41. filtrat yang diperoleh dianalisis menggunakan metode mikro kjedahl
• .Nilai daya cerna protein dihitung sebagai:
Nilai cerna = mg N dalam filtrat x 100%
mg N dalam bahan
1.14. Skor Asam Amino
• Asam amino esensial yang telah diketahui menggunakan metode KCKT dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Nilai Kimia = Konsentrasi AAE protein sample x 100 Konsentrsasi AAE protein standar
• Dengan menggunakan protein standar sesuai FAO/WHO/UNU 2007 sebagai berikut :
Asam Amino Rekomendasi FAO mg/g ProteinHistidinIsoleusinLeusinLisinMetionin+SisteinFenilalanin+TirosinTreoninTriptofanValin
203266572752318.543
1.15 PER (Protein Eficiency Ratio)
• PER adalah nilai yang menunjukkan efektivitas protein melalui pengukuran pertumbuhan hewan coba. Teknik ini dilakukan pada tikus uji kemudian mengukur berat badan dalam gram per konsumsi protein yang dikonsumsi dalam gram. Nilai PER dihitung sebagai berikut:
PER = Penambahan berat badan (g) Jumlah protein yang dikonsumsi (g)
105
LAMPIRAN 2
Lampiran 2.1. Data Kadar Air Mie Belalang
Kadar Air (%) P1 P2 P3 P4 P5 P6Ulangan I 3,6641 8,3347 5,6783 3,864 6,5693 6,1758Ulangan II 5,9748 3,098 6,6775 4,328 2,74 8,9229Ulangan III 6,017 6,7504 5,1933 5,2395 8,6904 4,0381Rata-rata 5,218633 6,061033 5,8497 4,477167 5,9999 6,378933
Lampiran 2.2. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kadar Air Mie Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang One-way ANOVA: air versus perlakuan
Source DF SS MS F Pper-laku-an 5 7,27 1,45 0,35 0,875Error 12 50,36 4,20Total 17 57,63
S = 2,049 R-Sq = 12,61% R-Sq(adj) = 0,00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev +---------+---------+---------+---------p1 3 5,219 1,346 (------------*------------)p2 3 6,061 2,686 (------------*------------)p3 3 5,850 0,757 (------------*------------)p4 3 4,477 0,700 (-----------*------------)p5 3 6,000 3,016 (------------*------------)p6 3 6,379 2,449 (------------*------------) +---------+---------+---------+--------- 2,0 4,0 6,0 8,0
Pooled StDev = 2,049
Grouping Information Using Tukey Method
per-laku-an N Mean Groupingp6 3 6,379 Ap2 3 6,061 Ap5 3 6,000 Ap3 3 5,850 Ap1 3 5,219 Ap4 3 4,477 A
Means that do not share a letter are significantly different.
106
Lampiran 2.3. Data Kadar Abu Mie Belalang
Kadar Abu (%) P1 P2 P3 P4 P5 P6Ulangan I 0,802 0,423 1,0638 1,123 1,008 1,428Ulangan II 0,789 0,681 0,8435 1,198 1,220 1,319Ulangan III 0,538 0,844 0,7007 1,161 1,174 1,068
Rata-rata 0,701 0,650 0,869 1,161 1,113 1,272
Lampiran 2.4. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kadar Abu Mie Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang One-way ANOVA: abu versus perlakuan
Source DF SS MS F Pperlakuan 5 1,0041 0,2008 8,11 0,001Error 12 0,2971 0,0248Total 17 1,3013
S = 0,1574 R-Sq = 77,17% R-Sq(adj) = 67,65%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev -----+---------+---------+---------+----p1 3 0,7103 0,1489 (------*-----)p2 3 0,6500 0,2123 (------*-----)p3 3 0,8693 0,1829 (------*------)p4 3 1,1613 0,0372 (------*-----)p5 3 1,1343 0,1115 (------*-----)p6 3 1,2720 0,1846 (-----*------) -----+---------+---------+---------+---- 0,60 0,90 1,20 1,50
Pooled StDev = 0,1574
Grouping Information Using Tukey Method
perlakuan N Mean Groupingp6 3 1,2720 Ap4 3 1,1613 Ap5 3 1,1343 A Bp3 3 0,8693 A B Cp1 3 0,7103 B Cp2 3 0,6500 C
Means that do not share a letter are significantly different.
107
Lampiran 2.5. Data Kadar Lemak Mie Belalang
Kadar Lemak (%) P1 P2 P3 P4 P5 P6Ulangan I 18,17 20,20 19,61 20,09 23,38 25,39Ulangan II 18,50 18,80 20,88 21,71 23,17 25,03Ulangan III 18,86 18,32 19,20 21,72 23,53 25,62Rata-rata 18,51 19,11 19,90 21,17 23,36 25,35
Lampiran 2.6. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Turey Kadar Lemak Mie Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: lemak versus perlakuan
Source DF SS MS F Pperlakuan 5 105,509 21,102 44,49 0,000Error 12 5,692 0,474Total 17 111,201
S = 0,6887 R-Sq = 94,88% R-Sq(adj) = 92,75%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+p1 3 18,515 0,341 (--*---)p2 3 19,114 0,979 (--*---)p3 3 19,900 0,876 (---*--)p4 3 21,179 0,939 (---*--)p5 3 23,368 0,182 (--*---)p6 3 25,351 0,300 (--*---) ---------+---------+---------+---------+ 20,0 22,5 25,0 27,5
Pooled StDev = 0,689
Grouping Information Using Tukey Method
perlakuan N Mean Groupingp6 3 25,3508 Ap5 3 23,3676 Bp4 3 21,1787 Cp3 3 19,9001 C Dp2 3 19,1135 Dp1 3 18,5153 D
Means that do not share a letter are significantly different.
108
Lampiran 2.7. Data Kadar Protein Mie Belalang
Kadar Protein (%) P1 P2 P3 P4 P5 P6Ulangan I 10,72 11,32 13,99 13,55 15,18 16,88Ulangan II 10,45 13,29 13,16 13,93 15,13 17,52Ulangan III 10,58 12,30 13,50 13,74 15,15 17,20Rata-rata 10,583 12,303 13,55 13,74 15,15 17,20
Lampiran 2.8. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Turey Kadar Protein Mie Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: protein versus perlakuan
Source DF SS MS F Pper-lakuan 5 78,097 15,619 72,00 0,000Error 12 2,603 0,217Total 17 80,701
S = 0,4658 R-Sq = 96,77% R-Sq(adj) = 95,43%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev +---------+---------+---------+---------p1 3 10,583 0,135 (--*--)p2 3 12,303 0,985 (--*-)p3 3 13,550 0,417 (--*--)p4 3 13,740 0,190 (--*--)p5 3 15,153 0,025 (--*--)p6 3 17,200 0,320 (--*--) +---------+---------+---------+--------- 10,0 12,0 14,0 16,0
Pooled StDev = 0,466
Grouping Information Using Tukey Method
per-lakuan N Mean Groupingp6 3 17,2000 Ap5 3 15,1533 Bp4 3 13,7400 Cp3 3 13,5500 C Dp2 3 12,3033 Dp1 3 10,5833 E
Means that do not share a letter are significantly different.
109
Lampiran 2.9. Data Daya Patah Mie Belalang
Daya Patah (N) P1 P2 P3 P4 P5 P6Ulangan I 0,9 0,7 1,1 0,3 0,3 0Ulangan II 0,8 0,5 1,8 0,4 0,3 0rata-rata 0,85 0,60 1,45 0,35 0,3 0
Lampiran 2.10. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Daya Patah Mie Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: daya patah1 versus ke-lompok
Source DF SS MS F Pke-lompok 5 2,5942 0,5188 11,32 0,005Error 6 0,2750 0,0458Total 11 2,8692
S = 0,2141 R-Sq = 90,42% R-Sq(adj) = 82,43%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev ------+---------+---------+---------+---p1 2 0,8500 0,0707 (-----*-----)p2 2 0,6000 0,1414 (-----*-----)p3 2 1,4500 0,4950 (-----*-----)p4 2 0,3500 0,0707 (-----*-----)p5 2 0,3000 0,0000 (-----*-----)p6 2 0,0000 0,0000 (-----*-----) ------+---------+---------+---------+--- 0,00 0,60 1,20 1,80
Pooled StDev = 0,2141
Grouping Information Using Tukey Method
ke-lompok N Mean Groupingp3 2 1,4500 Ap1 2 0,8500 A Bp2 2 0,6000 A Bp4 2 0,3500 Bp5 2 0,3000 Bp6 2 0,0000 B
Means that do not share a letter are significantly different.
Tukey 95% Simultaneous Confidence IntervalsAll Pairwise Comparisons among Levels of ke-lompok
110
Lampiran 2.11. Data Daya Putus Mie Belalang
Daya putus (N) P1 P2 P3 P4 P5 P6Ulangan I 0,1 0,2 0,2 0,1 0,1 0Ulangan II 0,2 0 0,1 0 0,1 0Ulangan III 0,2 0,2 0,1 0,1 0 0Rata-rata 0,167 0,133 0,133 0,067 0,067 0
Lampiran 2.12. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Daya Putus Mie Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: daya putus versus kelompok
Source DF SS MS F Pkelompok 5 0,05611 0,01122 2,52 0,088Error 12 0,05333 0,00444Total 17 0,10944
S = 0,06667 R-Sq = 51,27% R-Sq(adj) = 30,96%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev --------+---------+---------+---------+-P1 3 0,16667 0,05774 (--------*-------)P2 3 0,13333 0,11547 (-------*--------)P3 3 0,13333 0,05774 (-------*--------)P4 3 0,06667 0,05774 (--------*-------)P5 3 0,06667 0,05774 (--------*-------)P6 3 0,00000 0,00000 (-------*-------) --------+---------+---------+---------+- 0,00 0,10 0,20 0,30
Pooled StDev = 0,06667
Grouping Information Using Tukey Method
kelompok N Mean GroupingP1 3 0,16667 AP3 3 0,13333 AP2 3 0,13333 AP5 3 0,06667 AP4 3 0,06667 AP6 3 0,00000 A
Means that do not share a letter are significantly different.
111
Lampiran 2.13. Data Daya Serap Air Mie Belalang
Daya serap air (%) P1 P2 P3 P4 P5 P6Ulangan I 215,53 189,31 212,21 219,83 207,56 222,87Ulangan II 208,86 212,87 209,57 213,07 223,81 231,51Ulangan III 226,65 225,94 207,57 221,15 229,29 203,72Rata-rata 217,01 209,37 209,78 218,01 220,22 219,36
Lampiran 2.14. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Turkey Daya Serap Air Mie Belalang Sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: daya serap air versus kelompok
Source DF SS MS F Pkelompok 5 348 70 0,54 0,746Error 12 1559 130Total 17 1907
S = 11,40 R-Sq = 18,24% R-Sq(adj) = 0,00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev -----+---------+---------+---------+----P1 3 217,01 8,99 (-------------*-------------)P2 3 209,37 18,56 (-------------*--------------)P3 3 209,78 2,33 (--------------*-------------)P4 3 218,02 4,33 (-------------*-------------)P5 3 220,22 11,30 (-------------*--------------)P6 3 219,37 14,22 (-------------*--------------) -----+---------+---------+---------+---- 200 210 220 230
Pooled StDev = 11,40
Grouping Information Using Tukey Method
kelompok N Mean GroupingP5 3 220,22 AP6 3 219,37 AP4 3 218,02 AP1 3 217,01 AP3 3 209,78 AP2 3 209,37 A
Means that do not share a letter are significantly different.
112
Lampiran 2.15. Data Waktu Rehidrasi Mie Belalang
Waktu rehidrasi (menit)
P1 P2 P3 P4 P5 P6
Ulangan I 3,29 3,29 3,26 3,30 3,31 3,41Ulangan II 3,36 4,02 3,46 3,39 3,39 3,18Ulangan III 3,36 3,42 3,50 3,44 3,18 3,26Rata-rata 3,34 3,58 3,41 3,38 3,29 3,28
Lampiran 2.16. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Waktu Rehidrasi Mie Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: cooking time versus perlakuan
Source DF SS MS F Pper.la.ku.an 5 0,1744 0,0349 1,05 0,434Error 12 0,3994 0,0333Total 17 0,5738
S = 0,1824 R-Sq = 30,39% R-Sq(adj) = 1,39%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev -------+---------+---------+---------+--1 3 3,3367 0,0404 (-----------*----------)2 3 3,5767 0,3894 (-----------*----------)3 3 3,4067 0,1286 (----------*-----------)4 3 3,3767 0,0709 (-----------*----------)5 3 3,2933 0,1060 (-----------*----------)6 3 3,2833 0,1168 (----------*-----------) -------+---------+---------+---------+-- 3,20 3,40 3,60 3,80
Pooled StDev = 0,1824
Grouping Information Using Tukey Method
per.la.ku.an N Mean Grouping2 3 3,5767 A3 3 3,4067 A4 3 3,3767 A1 3 3,3367 A5 3 3,2933 A6 3 3,2833 A
Means that do not share a letter are significantly different.
113
Lampiran 2.17. Data Cooking Loss Mie Belalang
Cooking loss (%) P1 P2 P3 P4 P5 P6Ulangan I 0,1132 0,1412 0,1507 0,1983 0,1855 0,1580Ulangan II 0,1215 0,1316 0,2332 0,1834 0,2481 1,1732Ulangan III 0,1181 0,1740 0,0719 0,1718 0,1679 1,4534Rata-rata 0,1176 0,1489 0,1519 0,1845 0,2005 0,2615
Lampiran 2.18. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Cooking Loss Mie Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: cooking loss versus perlakuan.
Source DF SS MS F Pperlakuan. 5 0,03809 0,00762 1,25 0,347Error 12 0,07328 0,00611Total 17 0,11137
S = 0,07814 R-Sq = 34,20% R-Sq(adj) = 6,79%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev --------+---------+---------+---------+-1 3 0,11760 0,00417 (---------*---------)2 3 0,14893 0,02223 (---------*---------)3 3 0,15193 0,08066 (---------*---------)4 3 0,18450 0,01328 (--------*---------)5 3 0,20050 0,04215 (---------*---------)6 3 0,26153 0,16634 (---------*---------) --------+---------+---------+---------+- 0,10 0,20 0,30 0,40
Pooled StDev = 0,07814
Grouping Information Using Tukey Method
perlakuan. N Mean Grouping6 3 0,26153 A5 3 0,20050 A4 3 0,18450 A3 3 0,15193 A2 3 0,14893 A1 3 0,11760 A
Means that do not share a letter are significantly different.
114
Lampiran 2.19. Data Kecerahan Mie Belalang
Kecerahan (L*) P1 P2 P3 P4 P5 P6Ulangan I 51,533 42,033 41,966 38,433 38,433 37,633Ulangan II 48,266 43,600 37,833 46,000 38,166 36,066Ulangan III 47,600 39,133 39,933 40,333 40,900 44,400Rata-rata 49,133 41,589 39,911 41,733 39,166 39,367
Lampiran 2.20. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kecerahan Mie Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: warna versus perlakuan
Source DF SS MS F Pperlakuan 5 210,75 42,15 5,07 0,010Error 12 99,83 8,32Total 17 310,58
S = 2,884 R-Sq = 67,86% R-Sq(adj) = 54,46%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+p1 3 49,133 2,105 (------*-------)p2 3 41,589 2,266 (------*------)p3 3 39,911 2,067 (------*------)p4 3 41,733 3,767 (------*-------)p5 3 39,167 1,507 (------*-------)p6 3 39,367 4,429 (-------*------) ---------+---------+---------+---------+ 40,0 45,0 50,0 55,0
Pooled StDev = 2,884
Grouping Information Using Tukey Method
perlakuan N Mean Groupingp1 3 49,133 Ap4 3 41,733 A Bp2 3 41,589 A Bp3 3 39,911 Bp6 3 39,367 Bp5 3 39,167 B
Means that do not share a letter are significantly different.
115
Lampiran 2.21. Data Kesukaan Warna Mie Belalang
PanelisTingkat Subtitusi
5% 10% 15% 20% 25% 30%Yatik 6 3 4 3 4 2Eneke Risty 5 3 4 3 2 2Gumilang P 5 2 2 2 5 2Eka Shinta 5 4 4 3 3 2Noor Hasyati 4 3 3 2 2 2Ika Nur 4 4 5 2 3 4Fadhlurrahman 4 3 3 5 5 4Ayu Nur Aida 5 5 5 5 5 5Nurliana F 6 6 7 6 6 6Christian Tri W 7 6 6 5 4 4Hanifa R 4 4 5 5 4 2Erva Alvionita 5 3 4 3 3 2Helmy Aditya 5 4 5 4 4 4Kristi W 7 5 7 3 2 2Maria Pesona 7 4 4 6 4 4Fairuz B 6 5 6 4 2 2M. Wahyu Agung 2 2 3 5 3 4Eni Suryani 6 4 4 4 3 3Adnan Fariz 6 3 4 5 3 4Angela F 6 5 7 5 6 4TOTAL 105 78 92 80 73 64RATA-RATA 5,25 3,9 4,6 4 3,65 3,2 4,1
116
Lampiran 2.22. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kesukaan Warna Belalang Sebagai Pengaruh Terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: warna versus perlakuan
Source DF SS MS F Pperlakuan 5 52,70 10,54 6,46 0,000Error 114 186,10 1,63Total 119 238,80
S = 1,278 R-Sq = 22,07% R-Sq(adj) = 18,65%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev -------+---------+---------+---------+--p1 20 5,250 1,251 (------*------)p2 20 3,900 1,165 (------*------)p3 20 4,600 1,429 (------*-------)p4 20 4,000 1,298 (------*------)p5 20 3,650 1,268 (------*------)p6 20 3,200 1,240 (------*------) -------+---------+---------+---------+-- 3,20 4,00 4,80 5,60
Pooled StDev = 1,278
Grouping Information Using Tukey Method
perlakuan N Mean Groupingp1 20 5,250 Ap3 20 4,600 A Bp4 20 4,000 B Cp2 20 3,900 B Cp5 20 3,650 B Cp6 20 3,200 C
117
Lampiran 2.23. Data Kesukaan Aroma Mie Belalang
PanelisTingkat Subtitusi
5% 10% 15% 20% 25% 30%Yatik 5 3 3 4 5 4Eneke Risty 3 4 3 5 3 2Gumilang P 5 5 5 5 2 2Eka Shinta 4 4 4 2 2 3Noor Hasyati 4 3 4 3 3 4Ika Nur 5 3 4 1 2 4Fadhlurrahman 4 4 3 4 4 6Ayu Nur Aida 4 4 4 4 4 3Nurliana F 6 7 6 6 7 5Christian Tri W 6 4 3 6 6 7Hanifa R 4 3 5 4 5 4Erva Alvionita 4 4 5 5 4 3Helmy Aditya 5 5 5 5 5 5Kristi W 4 7 4 7 6 4Maria Pesona 4 3 4 7 7 6Fairuz B 3 5 4 5 2 3M. Wahyu Agung 3 4 3 4 3 5Eni Suryani 5 4 3 5 3 4Adnan Fariz 4 4 4 5 4 5Angela F 6 5 4 5 5 6TOTAL 88 85 80 92 82 85RATA-RATA 4,4 4,25 4 4,6 4,1 4,25 4,267
118
Lampiran 2.24. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kesukaan Aroma Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: aroma versus perlakuan
Source DF SS MS F Pperlakuan 5 4,57 0,91 0,57 0,723Error 114 182,90 1,60Total 119 187,47
S = 1,267 R-Sq = 2,44% R-Sq(adj) = 0,00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev -+---------+---------+---------+--------P1 20 4,400 0,940 (----------*----------)P2 20 4,250 1,164 (----------*----------)P3 20 4,000 0,858 (----------*----------)P4 20 4,600 1,465 (----------*----------)P5 20 4,100 1,619 (----------*----------)P6 20 4,250 1,372 (----------*----------) -+---------+---------+---------+-------- 3,50 4,00 4,50 5,00
Pooled StDev = 1,267
Grouping Information Using Tukey Method
perlakuan N Mean GroupingP4 20 4,600 AP1 20 4,400 AP6 20 4,250 AP2 20 4,250 AP5 20 4,100 AP3 20 4,000 A
Means that do not share a letter are significantly different.
119
Lampiran 2.25. Data Kesukaan Tekstur Mie Belalang
PanelisTingkat Subtitusi
5% 10% 15% 20% 25% 30%Yatik 5 2 4 2 2 2Eneke Risty 4 4 4 4 4 4Gumilang P 5 3 4 3 4 3Eka Shinta 4 5 6 6 6 3Noor Hasyati 5 5 4 6 4 2Ika Nur 6 3 4 3 5 5Fadhlurrahman 5 5 5 3 3 3Ayu Nur Aida 4 3 5 3 5 3Nurliana F 5 6 5 5 6 5Christian Tri W 5 4 4 6 6 7Hanifa R 5 3 5 5 3 4Erva Alvionita 3 4 3 2 3 3Helmy Aditya 3 4 4 4 3 5Kristi W 5 5 3 3 3 4Maria Pesona 5 5 7 4 6 2Fairuz B 5 5 6 4 4 4M. Wahyu Agung 5 5 4 3 6 4Eni Suryani 2 5 4 2 1 2Adnan Fariz 5 4 4 4 4 2Angela F 5 4 5 3 2 1TOTAL 91 84 90 75 80 68RATA-RATA 4,55 4,2 4,5 3,75 4 3,4 4,067
120
Lampiran 2.26. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kesukaan Tekstur Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: tekstur versus perlakuan
Source DF SS MS F Pperlakuan 5 19,77 3,95 2,66 0,026Error 114 169,70 1,49Total 119 189,47
S = 1,220 R-Sq = 10,43% R-Sq(adj) = 6,50%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev --+---------+---------+---------+-------P1 20 4,550 0,945 (--------*--------)P2 20 4,200 1,005 (--------*--------)P3 20 4,500 1,000 (--------*--------)P4 20 3,750 1,293 (--------*---------)P5 20 4,000 1,522 (--------*--------)P6 20 3,400 1,429 (--------*--------) --+---------+---------+---------+------- 3,00 3,60 4,20 4,80
Pooled StDev = 1,220
Grouping Information Using Tukey Method
perlakuan N Mean GroupingP1 20 4,550 AP3 20 4,500 A BP2 20 4,200 A BP5 20 4,000 A BP4 20 3,750 A BP6 20 3,400 B
Means that do not share a letter are significantly different.
121
Lampiran 2.27. Data Kesukaan Rasa Matang Mie Belalang
PanelisTingkat Subtitusi
5% 10% 15% 20% 25% 30%Yatik 3 2 5 2 2 2Eneke Risty 3 4 4 4 4 4Gumilang P 3 3 3 3 5 3Eka Shinta 6 4 3 6 5 5Noor Hasyati 6 4 5 2 2 1Ika Nur 3 3 4 3 4 4Fadhlurrahman 5 6 5 3 3 3Ayu Nur Aida 4 4 5 3 5 3Nurliana F 6 6 6 5 7 7Christian Tri W 4 3 3 6 7 7Hanifa R 3 4 3 5 4 4Erva Alvionita 4 2 4 4 4 3Helmy Aditya 3 3 2 5 6 4Kristi W 5 5 5 4 2 3Maria Pesona 5 6 5 6 6 6Fairuz B 4 4 4 2 3 2M. Wahyu Agung 3 5 3 3 3 5Eni Suryani 2 4 4 2 2 3Adnan Fariz 5 4 4 3 4 3Angela F 4 3 2 2 3 2TOTAL 81 79 79 73 81 74RATA-RATA 4,05 3,95 3,95 3,65 4,05 3,7 3,891667
122
Lampiran 2.28. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kesukaan Rasa Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: rasa versus perlakuan
Source DF SS MS F Pperlakuan 5 3,04 0,61 0,32 0,898Error 114 214,55 1,88Total 119 217,59
S = 1,372 R-Sq = 1,40% R-Sq(adj) = 0,00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+P1 20 4,050 1,191 (-----------*-----------)P2 20 3,950 1,191 (-----------*-----------)P3 20 3,950 1,099 (-----------*-----------)P4 20 3,650 1,424 (-----------*-----------)P5 20 4,050 1,605 (-----------*-----------)P6 20 3,700 1,625 (-----------*-----------) ---------+---------+---------+---------+ 3,50 4,00 4,50 5,00
Pooled StDev = 1,372
Grouping Information Using Tukey Method
perlakuan N Mean GroupingP5 20 4,050 AP1 20 4,050 AP3 20 3,950 AP2 20 3,950 AP6 20 3,700 AP4 20 3,650 A
123
Lampiran 2.29. Data Kesukaan Rasa Matang Mie Belalang
PanelisTingkat Subtitusi
5% 10% 15% 20% 25% 30%Yatik 5 5 5 3 3 5Eneke Risty 4 3 4 4 4 4Gumilang P 4 5 4 6 6 5Eka Shinta 6 4 5 6 7 7Noor Hasyati 5 7 3 5 5 7Ika Nur 3 4 5 2 5 5Fadhlurrahman 6 7 7 3 4 6Ayu Nur Aida 3 3 5 4 5 4Nurliana F 4 5 7 6 6 7Christian Tri W 5 3 5 5 7 7Hanifa R 5 3 6 5 3 3Erva Alvionita 4 4 4 6 4 5Helmy Aditya 2 5 3 5 3 5Kristi W 5 4 3 6 2 4Maria Pesona 5 6 5 7 7 5Fairuz B 5 3 4 4 2 3M. Wahyu Agung 5 5 4 6 3 5Eni Suryani 4 5 6 5 6 2Adnan Fariz 4 5 4 4 5 4Angela F 5 3 5 7 4 3TOTAL 89 89 94 99 91 96 4,65RATA-RATA 4,45 4,45 4,7 4,95 4,55 4,8
124
Lampiran 2.30. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Kesukaan Rasa (mentah) Belalang Sebagai Pengaruh terhadap Subtitusi Tepung Belalang
One-way ANOVA: rasa kering versus perlakuan
Source DF SS MS F Pperlakuan 5 4,10 0,82 0,46 0,802Error 114 201,20 1,76Total 119 205,30
S = 1,329 R-Sq = 2,00% R-Sq(adj) = 0,00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev ---+---------+---------+---------+------P1 20 4,450 0,999 (-----------*-----------)P2 20 4,450 1,276 (-----------*-----------)P3 20 4,700 1,174 (-----------*-----------)P4 20 4,950 1,356 (-----------*-----------)P5 20 4,550 1,605 (-----------*-----------)P6 20 4,800 1,473 (-----------*-----------) ---+---------+---------+---------+------ 4,00 4,50 5,00 5,50
Pooled StDev = 1,329
Grouping Information Using Tukey Method
perlakuan N Mean GroupingP4 20 4,950 AP6 20 4,800 AP3 20 4,700 AP5 20 4,550 AP2 20 4,450 AP1 20 4,450 A
Means that do not share a letter are significantly different.
125
Lampiran 2.31. Hasil Perhitungan Skor Kimia Asam Amino
• Isoleusin = AAE protein sample x 100
AAE protein standart
= 4, 45 x 100 = 14,53
32
• Leusin = AAE protein sample x 100
AAE protein standart
= 7, 67 x 100 = 11,62
66
• Lisin = AAE protein sample x 100
AAE protein standart
= 9,32 x 100 = 16,35
57
• Fenilalanin + Tirosin = AAE protein sample x 100
AAE protein standart
= 7, 98 x 100 = 15,34
54
• Treonin = AAE protein sample x 100
AAE protein standart
= 2, 85 x 100 = 9,19
31
• Histidin = AAE protein sample x 100
AAE protein standart
= 2,56 x 100 = 12,80
20
• Valin = AAE protein sample x 100
AAE protein standart
= 5,74 x 100 = 13,34
43
126
Lampiran 2.32. Data Rata-Rata Peningkatan Berat Badan Tikus
Hari/Perlakuan NormalComfeed Par-
sMie Belalang Mie Instan
0 195,25 144,5 129,25 141,51 195,25 144,75 132,25 141,752 197,25 147,25 132,25 141,753 196,75 151,5 132,25 142,254 202 151,75 132,75 129,55 204,25 151,5 151,5 1476 201 151,5 151,5 149,257 206 153 144,5 150,758 205,5 151 144,5 1509 210 161 144,25 151,5
10 211,25 156,25 146 151,7511 212,25 156,75 148,25 151,2512 219,5 153,75 149,5 150,2513 221 151,5 148,5 148,7514 227,5 150,25 145,5 146,7515 230,25 147,25 149,75 15116 230,75 148 152,25 15117 224,25 148,25 150,75 152,2518 220,75 219,25 216,25 213,7519 219,25 149,75 152,5 153,3520 216,25 158,75 152,75 151,7521 213,75 161,5 153,5 152,5
Lampiran 2.33. Data Konsumsi Pakan dan Nilai PER
PerlakuanPeningkatan BB
Rata-Rata
KonsumsiPakan
KonsumsiProtein
BB/hari PER rata-rata
P1T1 -1 18,5 20 3,8 -0,04762 -0,01253 0,23183P1T2 7 20 3,8 0,333333 0,087719P1T3 37 20 3,8 1,761905 0,463659P1T4 31 20 3,8 1,47619 0,388471P2T1 1 17 15 2,85 0,047619 0,016708 0,284043P2T2 19 15 2,85 0,904762 0,31746P2T3 14 15 2,85 0,666667 0,233918P2T4 34 15 2,85 1,619048 0,568087P3T1 25 24,25 10,36 1,2432 1,190476 0,95759 0,998381P3T2 29 10,52 1,2624 1,380952 1,09391P3T3 24 9,1 1,092 1,142857 1,046572P3T4 19 8,42 1,0104 0,904762 0,895449P4T1 12 11 8,2 0,86756 0,571429 0,658662 0,598695P4T2 4 8,57 0,906706 0,190476 0,210075P4T3 16 9,16 0,969128 0,761905 0,786176P4T4 12 7,3 0,77234 0,571429 0,739867
127
Lampiran 2.34. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Peningkatan Berat Badan
One-way ANOVA: Peningkatan BB versus C1
Source DF SS MS F PC1 3 356 119 0,84 0,498Error 12 1696 141Total 15 2051
S = 11,89 R-Sq = 17,34% R-Sq(adj) = 0,00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel N Mean StDev --+---------+---------+---------+-------comfed PAR-s 4 17,00 13,64 (------------*------------)mie belalang 4 24,25 4,11 (------------*------------)mie instan 4 11,00 5,03 (------------*------------)normal 4 18,50 18,36 (------------*-----------) --+---------+---------+---------+------- 0 10 20 30
Pooled StDev = 11,89
Grouping Information Using Tukey Method
C1 N Mean Groupingmie belalang 4 24,25 Anormal 4 18,50 Acomfed PAR-s 4 17,00 Amie instan 4 11,00 A
Means that do not share a letter are significantly different.
128
Lampiran 2.35. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tukey Protein Eficiency Ratio
One-way ANOVA: PER versus C1
Source DF SS MS F PC1 3 1,4939 0,4980 10,91 0,001Error 12 0,5479 0,0457Total 15 2,0419
S = 0,2137 R-Sq = 73,16% R-Sq(adj) = 66,46%
Level N Mean StDevcomfed PAR-s 4 0,2840 0,2279mie belalang 4 0,9984 0,0889mie instan 4 0,5987 0,2644normal 4 0,2318 0,2300
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDevLevel +---------+---------+---------+---------comfed PAR-s (------*------)mie belalang (------*-----)mie instan (------*------)normal (------*-----) +---------+---------+---------+--------- 0,00 0,35 0,70 1,05
Pooled StDev = 0,2137
Grouping Information Using Tukey Method
C1 N Mean Groupingmie belalang 4 0,9984 Amie instan 4 0,5987 A Bcomfed PAR-s 4 0,2840 Bnormal 4 0,2318 B
Means that do not share a letter are significantly different.
129
Uji Kesukaan
Nama……………………………………..Tanggal…………………………………..
Petunjuk: 1. Dihadapan anda terdapat enam cup mie yaitu cup nomor ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ). Anda diminta untuk mencicipi dan merasakan satu persatu. 2. Sebelum melanjutkan pada mie yang berikutnya, Anda diminta untuk meminum air putih yang telah disediakan. Tunggu sekitar 1 menit setelah meminum air putih sebelum melanjutkan mencicipi dan merasakan mie yang berikutnya.3. Sekarang anda diminta untuk mencicipi dan merasakan mie yang berikutnya.4. Berikan penilaian Anda untuk masing-masing karakteristik dari mie dihadapan Anda.
Karakteristik WarnaAromaTekstur
Rasa (Basah)
Rasa (Kering)
Cara Penilaian:7 Amat Suka 3 Agak Tidak Suka6 Sangat Suka 2 Tidak Suka5 Suka 1 Sangat Tidak Suka4 Agak Suka
5. Terima kasih atas bantuan dan waktu yang telah Anda sediakan.
Komentar................................................................................................................................
LAMPIRAN 3Lampiran 3.1. Form Penilaian Uji Organolaptik
130
LAMPIRAN 4
Lampiran 4.1. Dokumentasi Pembuatan Tepung Belalang
Lampiran 4.2 Dokumentasi Pembuatan Mie Belalang
Lampiran 4.3 Dokumentasi Analisis Kimia Mie Belalang
131
Lampiran 4.4 Dokumentasi Analisis Fisik Mie Belalang
132