Eva Dan Financial Distress(1)
-
Upload
melisaaahwang -
Category
Documents
-
view
11 -
download
1
description
Transcript of Eva Dan Financial Distress(1)
Metode Pengukuran Berdasarkan Nilai (Value Based)
Dengan value based sebagai alat pengukur kinerja perusahaan,
manajemen dituntut untuk meningkatkan nilai perusahaan.
a) Konsep EVA (Economic Value Added)
Pada dasarnya, EVA menilai tambahan kemakmuran para pemilik
perusahaan sejak perusahaan didirikan, EVA menilai efektivitas
manajerial untuk suatu tahun tertentu. Nilai tambah ini tercipta apabila
perusahaan memperoleh keuntungan (profit) di atas cost of capital
perusahaan. Secara matematis, EVA dihitung dari laba setelah pajak
dikurangi dengan cost of capital tahunan. Jika EVA positif,
menunjukkan perusahaan telah menciptakan kekayaan. EVA
membantu manajemen dalam hal menetapkan tujuan internal (internal
goalsetting) perusahaan supaya tujuan berpedoman pada implikasi
jangka panjang dan bukan jangka pendek saja.
b) MVA (Market Value Added)
MVA adalah perbedaan antara nilai pasar ekuitas dengan ekuitas
(modal sendiri) yang diserahkan ke perusahaan oleh pemegang saham,
yang dimaksimumkan untuk memaksimumkan kemakmuran pemegang
saham. MVA digunakan untuk mengukur seluruh pengaruh kinerja
manajerial sejak perusahaan berdiri hingga sekarang. MVA yang
dihasilkan oleh kinerja manajerial sepanjang umur perusahaan yang di-
present value-kan (Mirza dan Imbuh, 1999). Semakin besar MVA
berarti semakin berhasil pekerjaan manajemen mengelola perusahaan
tersebut.
c) FVA (Financial Value Added)
Financial Economic Value Added (FVA) merupakan metode baru
dalam mengukur kinerja dan nilai tambah perusahaan. Metode ini
mempertimbangkan kontribusi dari fixed assets dalam menghasilkan
keuntungan bersih perusahaan.
d) CVA (Cash Value Added)
CVA adalah ukuran jumlah uang tunai yang dihasilkan oleh
perusahaan melalui operasinya, yang dihitung dengan mengurangkan
operating cash flow demand pada operating cash flow dalam laporan
arus kas. CVA atau nilai tambah kas adalah sama dengan nilai tambah
ekonomi tetapi memperhitungkan generasi kas hanya sebagai lawan
dari generasi kekayaan ekonomi. Langkah ini membantu memberikan
gambaran investor kemampuan perusahaan untuk menghasilkan uang
dari periode satu ke yang lain. Secara umum, semakin tinggi CVA
semakin baik bagi perusahaan dan investor.
e) NVA (Net Value Added)
Net Value Added (NVA) juga merupakan pengukuran value added
yang mengukur nilai tambah untuk pemegang saham melalui keputusan
investasi perusahaan (Patel dan Cherukuri dalam Iramani, 2005:3).
Keunggulan dan Kelemahan EVA
EVA sebagai salah satu alternatif dalam pengukuran operasional
perusahaan mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan.
1) Kelebihan EVA antara lain:
Menurut Paula dan Elena (tanpa tahun:56) kelebihan EVA tersebut
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Laba per lembar saham dan laba atas investasi yang / aktiva tidak mencerminkan biaya sebenarnya dari modal, tidak ada engsel apakah nilai pemegang saham telah diciptakan atau dihancurkan.
b) Membantu manajer untuk membuat keputusan investasi yang lebih baik, identifikasi peluang perbaikan dan mempertimbangkan manfaat jangka panjang dan jangka pendek bagi perusahaan.
c) Mengukur kualitas keputusan manajerial dan menunjukkan nilai pertumbuhan di masa yang akan datang. Semakin tinggi EVA di tiap tahun, para manajer melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam menggunakan modal untuk menciptakan nilai tambah.
d) EVA sangat mudah dalam perhitungannya, penggalian data dari kedua pendapatan pernyataan dan neraca dan menyesuaikan itu
e) EVA bebas dari pendiskontoan arus kas dari usaha.f) EVA adalah perkiraan keuntungan ekonomi sejati.
Sedangkan menurut Iramani dan Febrian (2005:6) kelebihan EVA
adalah sebagai berikut:
a) EVA memfokuskan penilaian pada nilai tambah dengan memperjitungkan beban sebagai konsekuensi investasi.
b) Konsep EVA adalah alat perusahaan dalam mengukur harapan yang dilihat dari segi ekonomis dalam pengukurannya yaitu dengan memperhatikan harapan penyandang dana secara adil dimana derajat keadilan dinyatakan dengan ukuran tertimbang dari struktur modal yang ada dan berpedoman pada nilai pasar dan bukan nilai buku.
c) Perhitungan EVA dapat digunakan secara mandiri tanpa memerlukan data pembanding seperti standar industri atau data perusahaan lain sebagai konsep penelitian.
d) Konsep EVA dapat digunakan sebagai dasar penilaian pemberian bonus pada karyawan terutama pada divisi yang memberikan EVA lebih sehingga dapat dikatakan EVA menjalankan konsep stakeholders satisfaction concepts.
e) Pengaplikasian EVA yang mudah menunjukkan bahwa konsep tersebut merupakan ukuran praktis, mudah dihitung dan mudah digunakan sehingga merupakan salah satu bahan pertimbangan dalam mempercepat pengambilan keputusan bisnis.
2) Kelemahan metode EVA adalah:
Menurut Paula dan Elena (tanpa tahun:56) kelemahan EVA dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a) EVA tidak dapat menilai kemajuan sebuah perusahaan dalam mencapai tujuan strategis dan dalam mengukur kinerja divisi.
b) EVA tidak dapat digunakan untuk mengukur kinerja keuangan pada industri tertentu.
c) EVA terdistorsi oleh inflasi, jadi EVA tidak dapat digunakan untuk mengukur kentungan yang sebenarnya saat inflasi.
d) EVA terdistorsi oleh penyusutan normal yang kecil di awal dan besar di akhir. Sehingga perusahaan yang memiliki banyak investasi baru akan terlihat memiliki EVA yang kecil dan perusahaan yang memilki investasi yang sudah lama terlihat memiliki EVA yang besar. Tetapi hal ini tergantung pada struktur aktiva (proporsi relatif dari aset lancar, aset tetap, depresiasi aktiva) dan pada panjang periode investasi.
e) Masalah lain adalah pengukuran nilai relatif dalam keseluruhan pasar. Dimana perusahaan mempunyai EVA positif tetapi mengalami nilai saham yang menurun di pasar.
Sedangkan kelemahan EVA menurut Iramani dan Febrian (2005:6)
adalah:
a) EVA hanya mengukur hasil akhir (result) konsep ini tidak mengukur aktivitas-aktivitas penentu.
b) EVA terlalu bertumpu pada keyakinan bahwa investor sangat mengandalkan pendekatan fundamental dalam mengkaji dan mengambil keputusan untuk menjual atau membeli saham tertentu padahal faktor-faktor lain terkadang justru lebih dominan.
1. Analisis Cash Value Added (CVA)
a. Pengertian Cash Value Added (CVA)
Cash Value Added (CVA) adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh
Erik Ottosson dan Frederik Weissenrieder pada tahun 1996, Erik Ottosson dan
Frederik Weissenrieder adalah analis keuangan asal Swedia dari perusahaan
konsultan FWC AB, Swedia. Konsep Cash Value Added (CVA) adalah sebuah
model yang menjembatani kesenjangan antara pengukuran kinerja keuangan
masa lalu dan evaluasi investasi, dalam rangka untuk membuat pilihan strategis
yang lebih baik. Cash Value Added (CVA) adalah model yang menggunakan
pendekatan Value Based Management yaitu mengukur arus kas diskonto, karena
arus kas dan nilai waktu dari uang menentukan nilai (Ottoson dan Weissenrieder
1996:2).
Cash Value Added (CVA) adalah model yang memungkinkan manajemen
untuk fokus pada sejumlah investasi strategis yang menguntungkan,
menggunakan manajemen waktu dengan lebih efisien, menyediakan manajemen
sebuah umpan balik yang relevan pada hasil keputusan investasi keuangan masa
lalu, dan membantu manajemen menghindari untuk mengulangi melakukan
keputusan investasi yang buruk yang pernah dilakukan di masa lalu sehingga di
masa depan manajemen mampu untuk mengidentifikasi investasi yang benar-
benar menguntungkan (Ottoson dan Weissenrieder 1996:3).
Menurut Ottoson dan Weissenrieder (1996:5) Cash Value Added (CVA)
adalah sebuah model yang sederhana karena model ini hanya mencakup item
kas, yaitu laba sebelum penyusutan, bunga dan pajak (EBDIT, disesuaikan
dengan biaya non tunai), pergerakan modal kerja dan investasi non-strategis.
Dari penjumlahan tiga item tersebut adalah Operating Cash Flow (OCF). Yang
selanjutnya Operating Cash Flow (OCF) dibandingkan dengan Operating Cash
Flow Demand (OCFD). Operating Cash Flow Demand (OCFD) ini merupakan
arus kas yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan keuangan investor pada
investasi strategis perusahaan, yaitu biaya modal. Dan dari selisih Operating
Cash Flow (OCF) dan Operating Cash Flow Demand (OCFD) ini yang disebut
dengan Cash Value Added (CVA).
Cash Value Added (CVA) adalah konsep yang hanya berdasarkan arus kas,
bahkan saldo awal neraca menggunakan aliran kas (tetapi bukan model cash
flow). Sehingga hal ini saja dapat digunakan untuk membedakan Cash Value
Added (CVA) dengan Economic Value Added (EVA) (Weissenrieder 1997:6).
Pada penggunaan CVA memang lebih sulit dibandingkan dengan alat ukur
lain seperti EVA karena penggunaan CVA akan lebih banyak membutuhkan
perhatian dari organisasi. Namun ini diperlukan untuk mencapai tingkat
perubahan dalam menciptakan nilai bagi pemegang saham (Weissenrieder
1997:10).
CVA menjadi sederhana apabila kita memiliki pengetahuan tentang
keuangan perusahaan karena CVA berfokus pada isu-isu yang relevan terhadap
perusahaan (Weissenrieder 1997:37).
Cash Value Added (CVA) adalah metode didasarkan pada arus kas yang
didiskontokan. Prinsipnya sederhana yaitu permintaan arus kas dihitung dari
parameter jumlah investasi, jangka waktu dan biaya modal. Permintaan arus kas
mencerminkan arus kas yang dari waktu ke waktu harus dihasilkan untuk
memberikan nilai sekarang yang sama dengan nol untuk rentang yang
diharapkan dari investasi.
dak memberi nilai pada investor.
Financial distress
suatu perusahaan mengalami financial distress dapat ditentukan dengan berbagai cara,
seperti:
1. Lau (1987) dan Hill et.al (1996) menggunakan adanya pemberhentian tenaga kerja
atau menghilangkan pembayaran deviden.
2. Asquith, Gertner dan Scharfstein (1994) dan Claessens et al (1999) menggunakan
interest coverage ratio (rasio interest expenses terhadap earning) untuk
mendefinisikan financial distress. Perusahaan yang mengalami financial distress
adalah perusahaan yang interest coverage ratio-nya kurang dari 1.
3. Whitaker (1999) mengukur financial distress dengan cara adanya arus kas yang lebih
kecil dari utang jangka panjang saat ini.
4. Hofer (1980) dan Whitaker (1999) mendefinisikan financial distress jika beberapa
tahun perusahaan mengalami laba bersih operasi (net operating income) negatif.
5. John, lang dan Netter (1992) mendefinisikan financial distress sebagai perubahan
harga ekuitas.
6. Tirapat dan Nittayagasetwat (1999) menyatakan bahwa perusahaan dikatakan
mengalami financial distress jika perusahaan tersebut dihentikan operasinya atas
wewenang pemerintah dan perusahaan tersebut dipersyaratkan untuk melakukan
perencanaan restrukturisasi.
7. Wilkins (1997) menyatakan bahwa perusahaan dikatakan mengalami financial
distress jika perusahaan tersebut mengalami pelanggaran teknis dalam hutang dan
diprediksikan perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan pada periode yang akan
datang.
8. Almilia (2003) menyatakan bahwa suatu perusahaan dikatakan mengalami financial
distress jika perusahaan tersebut mengalami penghapusan pencatatan saham
(delisted). Penghapusan pencatatan saham emiten dari daftar efek yang tercatat di
bursa dapat terjadi karena:
a. Permohonan emiten yang bersangkutan (voluntary delisting)
b. Dihapus pencatatan sahamnya oleh bursa sesuai dengan peraturan bursa.
Berdasarkan tingkat kesehatan keuangan dan potensi kebangkrutan, perusahaan dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:
a.Perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan jangka pendek maupun
jangka panjang sehingga tidak mengalami kebangkrutan.
b. Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan jangka pendek dan manajemennya
mampu mengatasinya dengan baik sehingga perusahaan tidak jatuh pailit
(bangkrut).
c.Perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan tetapi menghadapi kesulitan
yang bersifat non keuangan sehingga diambil keputusan menyatakan pailit.
d.Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dan manajemennya tidak berhasil
mengatasinya sehingga perusahaan akhirnya jatuh pailit.
Model prediksi financial distress
Beaver (1966,1968a, 1968b) membuat model prediksi kebangkrutan dengan menggunakan
enam kelompok rasio keuangan yang dianalisis dengan menggunakan metode univariat. Tiap
rasio dilihat kekuatan prediksinya. Rasio-rasio tersebut adalah cash flow ratios (4 rasio), net
income ratios (4 rasio), debt to total assets ratio (4 rasio), liquid assets to cuurent debt ratios
(3 rasio), dan turnover ratios (11 rasio).
Edward I. Altman pada tahun 1968 menggunakan analisis diskriminan untuk
menyusun suatu model prediksi kebangkrutan perusahaan dengan mengambil sampel
sebanyak 66 perusahaan manufaktur yang dibagi menjadi dua kelompok yakni perusahaan
yang bangkrut dan tidak bangkrut untuk periode pengamatan 1946-1965. Dalam
penelitiannya Altman menggunakan 22 rasio keuangan dari rasio-rasio tersebut ditemukan 5
rasio yang dianggap paling bermanfaat untuk prediksi kebangkrutan. Rasio-rasio tersebut
adalah working capital/total assets, retained earnings/total assets, earnings before interest
and taxes/total assets, market value equity/book value of total debt, serta sales/total assets.
Berdasarkan metode tersebut dihasilkan Z skor yang formulanya adalah:
Zi = 1.2 WC/TA +1.4 RE/TA + 3.3 EBIT/TA + 0.6 MVE/BUD + 1.0 S/TA
Altman menguji bobot masing-masing varibel dengan menggunakan analisis regresi,
hasil pengujian tersebut digunakan untuk mendapatkan konstanta tertentu sebagai bobot dari
masing-masing variabel yang telah ditentukan. Nilai yang didapat dari hasil perhitungan,
kemudian disesuaikan dengan titik cut off yang telah ditentukan untuk mengklasifikasikan
perusahaan tersebut. Jika nilai Z skor kurang dari 2,67, maka perusahaan tersebut
kemungkinan mengalami kegagalan terbilang besar sehingga perusahaan dikategorikan
bangkrut. Jika nilai Z skor diantara 2,67 sampai dengan 2,99 maka perusahaan tersebut
kemungkinan mengalami kegagalan sulit dipastikan sehingga perusahaan dikategorikan
rawan bangkrut. Jika nilai Z skor lebih dari 2,99 maka perusahaan tersebut kemungkinan
mengalami kegagalan tergolong kecil sehingga perusahaan dikategorikan tidak bangkrut.
Ohlson (1980) meneliti tentang prediksi kebangkrutan dengan menggunakan metode
analisis logit kondisional. Penggunaan metode ini untuk menghilangkan permasalahan yang
timbul akibat penggunaan metode analisis diskriminan multivariat (MDA).
Model prediksi Ohlson adalah sebagai berikut:
O skor = -1,32 – 0,407 log(total aset/GNP price level index) + 6,03 (hutang total/total aset) –
1,43 (modal kerja/total aset) + 0,076 (hutang lancar/aktiva lancar) – 1,72 (1 jika
total hutang>total aset, 0 jika sebaliknya) – 2,37 (laba bersih/total aset) – 1,83
(dana dari operasional/total hutang) + 0,285 (1 jika rugi bersih pada dua tahun
terakhir, 0 jika sebaliknya) – 0,521 {(laba bersiht – laba bersih t-1)/ (|laba bersiht |
+|laba bersih t-1|)
Ran Barniv, Anurag Agarwal dan Robert Leach (2002)
Variabel independen yang digunakan adalah 5 variabel keuangan (net income/total assets,
natural log total assets/GDP deflator, intangible asseta/net sales, interest bearing debt/total
liabilities, dan secured interest bearing debt/total liabilities) dan 5 variabel non keuangan
(fraud activity, resignation by top management, the number of major classes of bond holders,
Herfindahl-Hirchman index of competition, price weighted CARs from 60 days prior to filling
through one day after the filling).