Eutanasia
-
Upload
ronaldbasten07 -
Category
Documents
-
view
124 -
download
10
Transcript of Eutanasia
EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA
DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
SKRIPSI
MUHAMMAD RAMADHIANSYAH
2004 – 41 – 272
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2010
i
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
Kampus Emas : JL. Arjuna Utara No. 9, Tol Tomang,
Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertandatangan dibawah ini :
NAMA : MUHAMMAD RAMADHIANSYAH
NIM : 2004-41-272
JUDUL : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN
HUKUM PIDANA DI INDONESIA .
Menyatakan bahwa isi skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali kutipan
dan ringkasan yang tiap-tiap satunya telah saya sebutkan sumbernya.
Jakarta, 28 Agustus 2010
Penulis
( MUHAMMAD RAMADHIANSYAH)
ii
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
Kampus Emas : JL. Arjuna Utara No. 9, Tol Tomang,
Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510
TANDA PESETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
NAMA : MUHAMMAD RAMADHIANSYAH
NIM : 2004-41-272
JUDUL : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN
HUKUM PIDANA DI INDONESIA.
Dosen Pembimbing
(Nugraha Abdulkadir, SH, M.H)
Mengetahui,
(Wasis Susetio, SH, M.A, M.H) Ka. Program Kekhususan Hukum pidana
iii
UNIVERSITAS ESA UNGGUL Kampus Emas : JL. Arjuna Utara No. 9, Tol Tomang,
Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
NAMA : MUHAMMAD RAMADHIANSYAH
NIM : 2004-41-272
JUDUL : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN
HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan siding Penguji Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Esa Unggul pada tanggal 28 Agustus 2010 dan telah
dinyatakan: LULUS
Tim Penguji
Ketua Sidang :
Wasis Susetio, S.H, M.A, M.H. ( )
Pembimbing :
Nugraha Abdulkadir, SH, M.H ( )
Penguji I :
1. Nur Hayati, S.H, M.Kn. ( )
2. Henry Arianto, S.H, M.H. ( )
iv
ABSTRAK
Euthanasia, mati layak atau mati yang baik atau kematian yang lembut, tenang dan tanpa penderitaan, mulai mendapat perhatian khalayak ramai karena keberadaannya yang kontraversial dan banyak bersinggungan dengan hukum, agama, moral ataupun HAM. Bagi dokter euthanasia merupakan suatu dilemma di samping teknologi kedokteran telah sedemikian maju, sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang secara vegetatif sedangkan di sisi lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak individu (hak pasien) juga berkembang tidak kalah pesat. Berdasarkan hal tersebutlah, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai keberadaan euthanasia di Indonesia dilihat dari perspektif dunia kedokteran, agama, dan hukum yang berlaku. Normatif empiris yang bersifat deskriptis analisis dengan pendekatan yuridis dirasa sangat cocok untuk membantu penulis dalam menentukan kesimpulan dari peneilitian ini. penulis telah melakuakan penilitian yang sifatnya mewawancarai berapa narasumber dari beberapa organisasi keagamaan dan pakar hukum kesehatan yang dapat disimpulkan dari semuanya bahwa hasil wawancara semua organisasi keagamaan adalah tidak membenarkan adanya tindakan euthanasia karena nyawa manusia bukan ditentukan oleh manusia tetapi ditentukan oleh Tuhan. Sedangkan menurut pendapat pakar hukum kesehatan euthanasia tidak dapat terjawabkan selama definisi dari mati di Indonesia belum jelas, apabila definisi tentang mati telah dapat diketahui maka pro dan kontra akan hal tersebut akan terjawab. Sedangkan di Indonesia tidak ada pengaturan perundang-undangan yang jelas akan larangan adanya tindakan euthanasia di Indonesia. Walaupun pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia pada pasal 344 KUHP sering disebut sebagai pasal larangan tentang euthanasia, namun pada dasarnya pasal tersebut tidak sepenuhnya dapat mengatasi kesimpangsiuran, baik pro dan kontra masalah tentang euthanasia di Indonesia baik bagi pihak para medis maupun masyarakat atau pasien maupun keluarga pasien, maka saran dari penulis terkait dengan masalah yang menjadi judul skripsi ini yaitu Pertama, Ditujukan kepada Pemerintah/Pejabat yang berwenang, agar adanya kejelasan tentang pengaturan euthanasia di Negara Indonesia, agar mendapatkan kejelasan atas pro dan kontra di masyarakat dapat teratasi, dengan cara: membuat Undang-undang yang menjelaskan tentang euthanasia baik itu dilarang atau tidak dilarang dengan pengecualian-pengecualiannya dengan berdasarkan dari aspek-aspek pendukung lainnya seperti aspek agama, psikologis, dll, maupun definisi dari mati itu sendiri. Dimana aturan tersebut sesuai dengan keadaan masyarakat dan permasalahan yang ada di masyarakat. Diharapkan peraturan tersebut dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Dan juga kepada Departemen terkait dan Organisasi – organisasi keagamaan agar memeberi penyuluhan terhadap masyarakat, sehingga masyarakat lebih mengerti apa inti dari permasalahan yang disebut euthanasia.
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF
AGAMA DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan program pendidikan Strata 1 (S-1) guna mendapatkan gelar
kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul.
Mengingat sangat terbatasnya pengetahuan dan kemampuan penulis, maka
tentunya dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa
hormat, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Yang terhormat Fachri Bey, SH. MM, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Esa Unggul Jakarta.
2. Heru Susetyo, SH, L.L.M, M.Si, selaku Pudek I Fakultas Hukum Universitas
Esa Unggul.
3. Dhoni Yusra, SH, M.H selaku Pudek II Fakultas Hukum Universitas Esa
Unggul.
4. Wasis Susetio, SH, MA, M.H selaku Pudek III Fakultas Hukum Universitas
Esa Unggul.
vi
5. Yang terhormat Nugraha Abdulkadir, SH, M.H, selaku pembimbing skripsi
yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pemikirannya serta telah
membimbing dan memberikan nasehat-nasehat kepada penulis dengan segala
kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Yang terhormat Ibu Fitria Olivia, SH, M.H, selaku program kekhususan
Hukum Ekonomi yang telah membantu penulis dalam memberikan banyak
bantuan dan bimbingan dalam belajar disaat penulis menjalani masa
perkuliahan.
7. Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Mba Nina dan
Mba Ika yang selalu siap membantu disaat di butuhkan kepada Penulis dan
telah membantu penulisan dalam hal administrasi selama Penulis kuliah di
Fakultas Hukum.
8. Terima kasih kepada Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul
yang telah memberikan wawasan yang luas dan ilmu yang bermanfaat bagi
Penulis.
9. Terima kasih yang tak terhingga teruntuk yang tercinta Papa M. Adam, SH
dan Mama Dra.Cut Rozanna yang telah memberikan dukungan moril dan
materil serta doa yang sangat tulus sehingga Penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini, yang tidak henti-hentinya memberikan kasih sayangnya dan
perhatiannya pada Penulis, (skripsi ini abang persembahkan untuk papa dan
mama, maaf abang lulusnya terlambat).
vii
10. Terima kasih kepada kakek H. Yusuf Daud dan nenek Hj. Asda Yusuf, SH
yang telah memberikan dukungan serta doa kepada penulis hingga skripsi ini
terselesaikan.
11. Kepada adik-adik ku Muhammad Rizkiansyah dan Dinda Aprilita putri terima
kasih selalu mendukung dan mendoakan penulis untuk dapat menyelesaikan
skripsi dengan baik. Serta terima kasih kepada seluruh keluarga besar yang
selalu mendukung serta mendoakan Penulis hingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Serta terima kasih untuk Algra yang sudah
membantu penulis.
12. Ucah ku Yang telah hadir di dalam kehidupan penulis, membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini hingga rela untuk begadang dan selalu
memberikan semangat kepada penulis disaat penulis merasa jenuh
menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas hubungan yang abstrak namun
nyata, adik junior ku yang takkan terlupakan RESTI RUMSYAH SH.
13. Terima kasih yang tak terhingga teruntuk Bapa dan Ibu yang ada di Cianjur
yang telah memberikan dukungan moril sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Dan tidak lupa penulis ucapkan terima kasih untuk
keluarga di Cianjur mohon maaf Rama selalu merepotkan kalau datang ke
Cianjur.
14. Terima kasih kepada Bapak DR. KH. M. Hamdan Rasyid, MA. Sebagai ketua
MUI, Propinsi DKI Jakarta yang telah banyak membantu penulis dalam
menujang data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan skripsi ini.
viii
15. Terima kasih kepada Bapak Dr. Faiq Bahfen sekalu pakar hukum kesehatan
dan kedokteran pada Staf Ahli di Departemen kesehatan RI.
16. Terima kasih kepada Bapak Romo Ruby Santamoko S.ag MMPD selaku
Wakil sekjen dari pihak perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI).
17. Terima kasih kepada Bapak DR. Nyoman Budiarna, MH dan Bapak I Gusti
Komang Widana S.Ag.M.Fil.H. Selaku perwakilan dari Parisada Hindu
Dharma Indonesia yang membantu penulis untuk memberikan sumber-sumber
guna untuk merampunkan skripsi ini.
18. Terima kasih kepada Bapak Novel Matindas, M.TH selaku perwakilan dari
persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang telah meluangkan waktunya
untuk diwawancara.
19. Terima kasih banyak kepada kedua sahabat ku Dimas Prianto S.com dan
Ahmad Syaifullah S.com beserta keluarga, yang selalu mendukung dan
mendoakan Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak.
(Kalian berdua memang sahabat sepanjang masa.)
20. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Teman-teman seperjuangan ku:
Rani Kubangkidol, Pradit, Wahyu Wibisono, Mas Adit, Aldimar, Alif, Fanni
Permadi, Eka Media Ramadhan, Ikbal, Metha Ramadhani, Engkong, Asep
Uban, Agung Tabrani, Alex, Bayu Febriono, Denis, Bedul, Fajri, Uyung,
Majos, Lanov, Lucky, Gepeng, Gamma, Ray, Sures, Toto, Mahong, Tohap,
Binsar, Angga, Febry Wonkenobi, Mba boy, Tika dan Ivan, Fattah dan Yai, A
Dicky Ali permana SE, Mas Tukiyoo, Ivan dan Tya (Resident Net), Rama
mardika, Tim Futsal Hard kids Serta ucapan terima kasih Kepada Culun
ix
Communnity tempat dimana penulis bernaung dan semua teman-teman yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih banyak untuk kalian
semua.
21. Serta kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat Penulis
sebutkan satu persatu, semoga amal baik dan dukungan kalian mendapatkan
balasan dari Allah SWT. Amin
Penulis berharap skripsi ini membawa manfaat bagi penulis khususnya
bagi masyarakat umumnya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Jakarta,28 Agustus 2010
MUHAMMAD RAMADHIANSYAH
x
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ………………………………………….i
LEMBAR TANDA PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………..ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI....…………………………………………iii
ABSTRAK ……………………………………………………………………….iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………v
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………….. 1
B. Pokok Permasalahan………………………...……………….. 6
C. Tujuan Penulisan………………….………………………….. 6
D. Metode Penelitian……..……………………………………… 7
E. Definisi Operasional………………………………………… 11
F. Sistematika Penulisan ………………………………………..13
BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI EUTHANASIA
A. Pengertian Euthanasia……………………………………… 15
B. Perkembangan Euthanasia…………………………………...19
C. Bentuk-Bentuk Euthanasia…………………………………. 24
xi
D. Macam-Macam Euthanasia …………………………………26
1. Euthanasia Dari Sudut Bentuk…………………………..27
2. Euthanasia Dari Sudut Otonomi Penderita…………...... 29
3. Euthanasia Dari Sudut Motif dan Prakarsa…………...... 29
4. Euthanasia Semu ...…………………………………….. 29
E. Euthanasia Dari Berbagai Macam Perspektif………………..31
1. Menurut Pandangan Agama …………………………….31
a) Dalam Ajaran Gereja Katolik…………………….....31
b) Dalam Ajaran Agama Hindu ………………………..32
c) Dalam Ajaran Agama Buddha…………………........34
d) Dalam Ajaran Agama Islam ………………………...34
e) Dalam Ajaran Agama Protestan ………………….... 37
2. Euthanasia Menurut Pandangan Hukum ………………..39
a) Menurut Hukum Kesehatan ………………………...39
b) Menurut Kode Etik Kedokteran …………………....43
c) Euthanasia Menurut Pandangan HAM ……………..44
BAB III TINJAUAN MENGENAI EUTHANASIA BESERTA
PERMASALAHAN - PERMASALAHANNYA
A. Permasalahan Dalam Euthanasia ……………………………46
B. Perkembangan Euthanasia Di Berbagai Negara ...………......53
1. Negara Belanda ………………………………………....53
2. Negara Amerika Serikat …………………………………54
xii
3. Negara Jepang…………………………………………... 55
4. Negara Uruguay ………………………………………... 56
5. Negara Cekoslovakia …………………………………....56
C. Euthanasia Menurut Pandangan Hukum kedokteran ……......56
BAB IV EUTHANASIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF AGAMA &
HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Euthanasia Ditinjau Dari Perspektif Agama Di Indonesia…...64
1. Menurut Pandangan Agama Islam (MUI)………66
2. Menurut Pandangan Buddha (WALUBI)……….70
3. Menurut Pandangan Kristen (PGI)……………...72
4. Menurut Pandangan Hindu (PHDI)……………..75
B. Euthanasia Berdasarkan Dari Perspektif Hukum Di
Indonesia serta menurut undang-undang kesehatan No 36 tahun
2009…………………………………………………………. 78
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN……………………………………... 95
B. SARAN………………………………………....…... 96
DAFTAR PUSTAKA
BIODATA
LAMPIRAN
xiii
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan, lahir dan mati adalah sesuatu yang diberikan oleh
Sang Pencipta kepada setiap mahluk ciptaan-Nya. Kehidupan dan kematian
adalah sebuah takdir, demikianlah pendapat dari sebagian masyarakat
Indonesia yang menganggap bahwa itu merupakan suatu kenyataan di dalam
kehidupannya, dan tidak ada seorang pun yang dapat menghindari atau
menentukan mengenai kelahiran dan kematian yang dapat terjadi pada siapa
pun.
Dalam hal ini melalui pesatnya kemajuan teknologi di bidang
kedokteran, seorang pasien dapat dengan mudah mendapatkan hasil diagnosa
suatu penyakit dengan cepat, akurat, dan sempurna. Dengan ditunjang oleh
peralatan kedokteran yang sudah sangat modern sehingga rasa sakit yang
diderita seseorang dapat diringankan, bahkan dapat disembuhkan dalam
waktu yang sangat singkat, maka hidup seseorangpun dapat dipertahankan
dalam jangka waktu yang bisa diperkirakan hanya dengan memasang sebuah
alat yang dinamakan respirator. Respirator adalah sebuah alat yang dapat
menghasilkan oksigen untuk membantu pernafasan seorang pasien yang biasa
2
berbentuk seperti masker atau selang yang ujungnya langsung dimasukan ke
dalam rongga pernafasan seperti hidung 1
Namun setiap orang memiliki pemikiran tersendiri dalam menyikapi
dan menghadapi suatu permasalahan. Sebagian besar orang mungkin bisa
menerima dengan lapang dada ketika dokter memvonis bahwa ia mengidap
suatu penyakit yang nihil kemungkian untuk disembuhkan, misalnya AIDS,
kanker, dan lain-lain. Sebagiannya orang juga berusaha mati-matian dengan
rela membayar sejumlah uang yang tidak sedikit untuk kesembuhannya.
Selain itu beberapa orang mengalami depresi, putus asa, stres, dan berpikir
ingin mengakhiri hidupnya karena tidak mempunyai biaya untuk pengobatan
atau selain itu karena sudah tidak sanggup menahan rasa sakit yang
ditimbulkan akibat penyakit tersebut, maka orang itu meminta untuk diakhiri
hidupnya, dimana hal ini disebut dengan euthanasia.
Secara umum dapat dijabarkan ada 3 (tiga) jenis euthanasia, yaitu :
1. Euthanasia aktif, yaitu secara sengaja melakukan tindakan, langkah,
perbuatan mengakhiri atau memperpendek hidup penderita.
2. Euthanasia pasif, yakni secara sengaja tidak (lagi) memberikan perawatan
atau bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup penderita.
3. Auto-euthanasia, yakni penolakan secara tegas oleh pasien untuk
memperoleh bantuan atau perawatan medis terhadap dirinya, dan ia tahu
pasti bahwa hal itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.2
1 Pengertian Respirator tersedia di
(http://bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=respirator) 2 Chisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman
,(Jakarta : EGC, 2006), hlm 182.
3
Euthanasia mulai menarik dan mendapat perhatian dunia, setelah
diadakannya Konferensi Hukum Sedunia pada tahun 1977 dimana dalam
Konferensi tersebut ada disebutkan tentang hak untuk mati. Kodrat daripada
hak manusia yang terutama adalah hak untuk hidup yang mana di dalamnya
tercakup pula adanya hak untuk mati. Mengenai hak untuk hidup telah diakui
oleh dunia dengan adanya Universal Declaration of Human Rights oleh
Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 10 Desember 1948. Mengenai hak
untuk mati, karena tidak dicantumkan secara tegas dalam deklarasi tersebut
maka hal itu masih merupakan pembicaraan dan perdebatan di kalangan para
ahli dari berbagai Negara.
Pada kenyataannya, perdebatan tentang euthanasia memang telah di
perkirakan oleh beberapa ahli, bersama beberapa masalah lainnya, yakni
transplantasi organ tubuh manusia, Inseminasi buatan, Sterilisasi, bayi tabung
dan abortus provokatus (pengguguran kandungan). Kontroversi masalah-
masalah tersebut lebih terfokus kepada soal moralitas, etika maupun
hukumnya. Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran yang begitu pesat
akhir-akhir ini, ternyata tidak diikuti dengan kemajuan di bidang hukum dan
etika. Profesor Separovic, seorang pakar Hukum Kedokteran, menyatakan :
“Contemporary developments have posed a whole series of new problem. One could even say: if medicane is in trouble because of too much change, law is in trouble because of too little change”.3
Bagi seorang dokter, masalah euthanasia merupakan suatu dilema
yang menempatkannya pada posisi yang sangat sulit. Di satu pihak teknologi
3 Ibid.,hlm 180.
4
kedokteran telah sedemikian maju, sehingga mampu mempertahankan hidup
seseorang (walaupun hidup yang vegetatif atau vegetatif state4); sedangkan di
sisi lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu
juga berkembang tidak kalah pesat. Dengan demikian, konsep kematian
dalam dunia kedokteran masa kini telah dihadapkan pada kontradiksi antara
etika, moral dan hukum.5
Dalam prakteknya, Hak Asasi Manusia (HAM) selalu dikaitkan
dengan hak hidup, hak damai, hak atas pendidikan, dan lain sebagainya. Akan
tetapi, justru tidak tercantum dengan jelas mengenai hak seseorang untuk
mati itu sendiri. Bahkan dalam HAM kata-kata “mati” identik dengan
pelanggaran HAM itu sendiri. Secara tidak sadar timbul pola pikir dalam
masyarakat bahwa hidup dan mati merupakan hak pribadi atau yang biasa
disebut dengan The Right of Self-Determination (TROS). Sehingga
mengakhiri hidupnya sendiri seakan-akan menjadi pilihan yang sah dan
penolakan atas pengakuan hak untuk mati adalah pelanggaran terhadap
HAM. Akan tetapi, hukum positif di Indonesia lebih tepatnya hukum pidana
yang mengharamkan eutahanasia adalah suatu perbuatan yang melawan
hukum. Hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada
yaitu dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
berbunyi :
4 Sintak Gunawan, tersedia di (http://www2.kompas.com/kompas
cetak/0505/04/ilpeng/1726494.htm, Rabu, 4 Mei 2005. 5 Chrisdiono M. Achdiat, Op Cit., hlm 181.
5
“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun”.6
Selain itu juga demikian tampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340,
345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik
dalam perbuatan euthanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang
berlaku di negara Indonesia memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia
dilakukan terhadap siapapun.
Begitu juga dengan kaum religius yang tidak membenarkan
dilakukannya euthanasia dalam kondisi apapun meskipun yang bersangkutan
memintanya sendiri. Lalu bagaimanakah dengan pasien penderita penyakit yang
kecil kemungkinannya untuk sembuh, yang harus menahan rasa sakit dan
penderitaan yang begitu luar biasa setiap detiknya? Mungkin mati adalah satu-
satunya pilihan yang terlintas di otak mereka atau mungkin sudah tidak
memiliki biaya pengobatan lagi? Lalu bagaimana dengan pasien yang sakit dan
menolak pengobatan atau meminta dihentikan pengobatannya, apakah hal
tersebut termasuk ke dalam euthanasia?
Dengan keberadaan permasalahan di atas, penulis termotivasi untuk
menganalisa dan mengkaji yang akan dituangkan dalam bentuk penulisan
skripsi terkait dengan permasalahan euthanasia dilihat dari perspektif hukum
pidana di Indonesia dengan judul skripsi : “EUTHANASIA DALAM
PERSPEKTIF AGAMA DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”.
6 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2005), hlm.
124.
6
B. POKOK PERMASALAHAN
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah terurai di atas dan judul
penelitian tentang Euthanasia ditinjau dari perspektif hukum pidana di
Indonesia, maka penulis akan meneliti, dan menganalisa, pokok-pokok
permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam penulisan skripsi ini
adalah:
1. Bagaimanakah euthanasia ditintau dari segi hukum pidana atau
perbuatannya?
2. Bagaimanakah akibat hukum dari perbuatan euthanasia di Indonesia?
Dengan merumuskan ruang lingkup permasalahan tersebut, maka penulis
sekaligus akan membatasi penulisan skripsi ini sesuai dengan permasalahan
yang dirumuskan.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini disusun sesuai berdasarkan dengan uraian di
dalam perumusan masalah yaitu :
1. Untuk mengetahui bagaimana euthanasia ditinjau dari segi hukum pidana
atau perbuatannya.
2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari perbuatan euthanasia di
Indonesia.
7
D. METODE PENELITIAN
Metode penelitian atau metodologi pada hakekatnya memberikan
pedoman, tentang cara-cara seorang ilmuan mempelajari, menganalisa dan
memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya. Menurut Webster
Dictionary, scientific method adalah “principles and procedures for the
systematic pursuit of knowledge involving the recognition and formulating
and testing of hypotheses.” Sebenarnya yang pertama mengemukakan tentang
metode ilmiah secara sistematis adalah Francis Bacon. Meskipun, formulasi
yang ia kemukakan mengalami beberapa penyempurnaan, secara umum apa
yang dikemukanan oleh Bacon tersebut dapat diterima sejak abad XVII
sampai dengan saat ini.7 Dalam buku hasil karya Peter Mahmud Marzuki,
penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang seksama, penuh ketekunan dan
tuntas terhadap suatu hal tertentu dengan tujuan mengembangkan ilmu
pengetahuan yang menyangkut kegiatan-kegiatan menganalisa menggunakan
metode tertentu yang sistematis dan konsisten terhadap suatu cara tertentu.8
Dalam penelitian ini, langkah-langkah penelitian yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini secara sistematis adalah penentuan metode yang
digunakan, menentukan sumber data dan jenis data, teknik pengumpulan
data, dan analisis data sebagai berikut :
7 Peter marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 26. 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III ( Jakarta : UI-press, 1986), hlm.
3.
8
1. Tipe penelitian
Tipe penelitian yang dipakai oleh penulis adalah tipe penelitian
Hukum Normatif Empiris, dimana penelitian hukum Normatif disebut
juga penelitian kepustakaan (Library Research), adalah penelitian yang
dilakukan dengan cara menelusuri dan menelaah dan menganalisis
bahan pustaka atau bahan dokumen siap pakai. Kegiatan yang dilakukan
dapat dalam bentuk menelusuri peraturan, mengumpulkan data,
membaca dan membuat rangkuman. Penelitian hukum bentuk ini dikenal
dengan legal research, dan jenis data yang akan diperoleh adalah data
sekunder. Kegiatan yang dilakukan memiliki berbagai macam bentuk,
antara lain: menelusuri dan menganalisis peraturan, mengumpulkan data,
membaca dan menganalisis data.9 Menurut Soerjono Soekanto & Sri
Mamudji pada penelitian hukum Normatif, bahan pustaka merupakan
data dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data
sekunder.
Penelitian Hukum Empiris dikenal juga dengan penelitian lapangan (
Field Research) adalah pengumpulan materi atau bahan penelitian yang
harus diupayakan atau dicari sendiri dikarenakan belum tersedia.
Kegiatan yang dilakukan dapat berbentuk membuat daftar wawancara
dan diikuti dengan mencari serta mewawancarai para informan,
9 Valerine J.L. Krickhon, “ Penelitian Kepustakaan dan Lapangan dalam penulisan skripsi”,
( Jakarta : Universitas Tarumanagara, 1996), hlm. 18
9
menyusun kuisioner dan kemudian mengedarkan kuisioner itu pada
responden, melakukan pengamatan.10
2. Sifat Penelitian
Sifat penulisan yang penulis gunakan di dalam penelitian ini adalah
penelitian yang bersifat Deskriptif Analisis. Sifat penelitian deskriptif
analisis adalah karangan yang melukiskan sesuatu sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya, sehingga pembaca dapat melihat, mendengar,
merasakan, apa yang dilukiskan itu sesuai dengan yang dimaksudkan
oleh penulis. Penelitian deskriptif analisis mempelajari masalah-masalah
dalam masyarakat, serta tata cara situasi-situasi tertentu, termasuk
tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-
pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-
pengaruh dari suatu fenomena.
3. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan yuridis yaitu
dengan pendekatan berdasarkan ilmu hukum yang ada, khususnya
mengenai Euthanasia dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia.
10 Ibid,
10
4. Teknik Pengumpulan Data
A. Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data
sekunder guna memperoleh bahan-bahan hukum :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, Kode Etik Kedokteran (KODEKI), Undang-
undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran.
2. Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti
buku sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder seperti kamus umum khususnya di bidang hukum.
B. Wawancara
Melakukan wawancara dengan informan yang merupakan
pihak yang berwenang sehubungan dengan masalah yang diteliti
dengan cara mengadakan tanya jawab dengan cara seperti
mewawancarai instansi-instansi terkait baik itu pemerintah
ataupun non-pemerintah yang berkaitan guna pengumpulan data
pada penulisan ini.
11
5. Analisis Data
Analisis penelitian dilakukan secara kualitatif baik terhadap data
sekunder ataupun data primer yang sudah dikumpulkan dan diolah guna
perumusan kesimpulan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
E. DEFINISI OPERASIONAL
Guna menghindarkan kesalahan pengertian dan memberikan pegangan
dalam penulisan skripsi ini, dirasakan perlunya definisi operasional yang
berasal dari beberapa konsep yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi
ini. Definisi operasional disusun berdasarkan data sekunder atau pendukung
yaitu berupa data-data yang diambil dari bahan pustaka yang didasarkan pada
sumber dokumen atau bahan bacaan berupa Undang-undang. Hasil-hasil
seminar, hasil karya dan pemikiran dari kalangan hukum, dan kamus-kamus.
1. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.11
2. Euthanasia adalah mati dengan baik.12
3. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri di dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan ataupun keterampilan
11 Indonesia (b), Undang-undang Republik Indonesia tentang Kesehatan, UU No.23 Tahun
1992, LN No.100 Tahun 1992. 12 Aris Wibudi, Euthanasia, Tersedia di (http://tumoutou.net/702_04212/aris_wibudi.htm), 30
Mei 2002.
12
melalui pendidikan di bidang kesehatan untuk jenis tertentu yang
diperlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan.13
4. Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan yang
dilaksanakan berdasarkan keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui
pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani
masyarakat.14
5. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan
baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter.15
6. Vegetatif state adalah keadaan dimana seseorang masih bernapas spontan,
respons tubuh terhadap cahaya dan bunyi masih ada, masih bisa menelan,
namun tidak ada tanda-tanda kesadaran, fungsi otak besar, dan emosi.16
7. Tindakan medis adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dokter
terhadap pasien berupa diagnosa atau terapeutik.17
8. Hak adalah suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum.18
9. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan.19
13 Ibid, 14 Indonesia (c), Undang-undang Republik Indonesia tentang Kedokteran, UU No.29 Tahun
2004, LN No.116 Tahun 2004. 15 Ibid., hal. 6. 16 Sintak Gunawan, Euthanasia Dan HAM, Tersedia di (http://www2.kompas.com/kompas-
cetak/0505/04/ilpeng/1726494.htm). Rabu, 4 Mei 2005. 17 Hendrojono Soewono, Op.Cit., hal. 17. 18 Ibid. 19 Yadianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung, M2S : 1997). hal. 675.
13
10. Hukum positif adalah hukum yang berlaku di suatu masyarakat pada
tempat dan waktu saat ini. 20
11. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa
yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. 21
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Maksud dan tujuan dari sistematika penulisan ini adalah untuk
memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh mengenai pokok-pokok
permasalahan yang akan dibahas. Sistematika penulisan skripsi ini akan di
bagi menjadi 5 (lima) bab, sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Membahas tentang latar belakang, pokok permasalahan, tujuan
penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI EUTHANASIA
Pada bab ini akan diuraikan mengenai eutahanasia yang
ditinjau secara umum dari sejarah, pengertian, jenis – jenisnya
euthanasia. yang kemudian akan dilanjutkan dengan
20 Soleh Hasibuan, Hukum Positif Indonesia, Tersedia
(http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid), Senin 16 Oktober 2008.
21 Wahyu Sutanto, Pengertian Hukum Pidana, Tersedia di (http://id.Wikipedia.org/wiki/Hukum_Pidana), Kamis 30 April 2009.
14
membahas euthanasia menurut pandangan kedokteran,
pandangan agama serta Hukum dan HAM.
BAB III TINJAUAN MENGENAI EUTHANASIA BESERTA
PERMASALAHAN-PERMASALAHANNYA.
Dalam bab ini mengungkapkan masalah-masalah yang
berhubungan dengan euthanasia di Indonesia dan di beberapa
negara di luar Indonesia serta contoh-contoh pelaksanaan
euthanasia dan perbedaan euthanasia dengan pseudo-
euthanasia.
BAB IV EUTHANASIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF AGAMA
& HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Pada bab ini akan dibahas mengenai euthanasia dalam
perspektif agama & hukum pidana di Indonesia, serta
menguraikan kasus-kasus euthanasia di dalam negeri serta
kasus-kasus di luar negeri.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini diuraikan mengenai kesimpulan pembahasan dan
saran-saran dari penulis setelah dilakukannya penelitian,
pengkajian dan analisa data yang didapat.
15
BAB II
TINJAUAN TEORITIS MENGENAI EUTHANASIA
A. PENGERTIAN EUTHANASIA
Pada dasarnya lahir dan mati adalah suatu takdir dan itu adalah sesuatu
yang hanya dapat ditentukan oleh Sang Pencipta. Demikianlah pendapat
sebagian besar masyarakat Indonesia dan tidak ada seorangpun yang dapat
menghindari atau menentukan mengenai kelahiran dan kematian. Dalam hal
ini kelahiran dapat terjadi baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki,
begitu pula kematian dapat terjadi baik dikehendaki maupun tidak
dikehendaki. Selain itu karena faktor umur seseorang yang sudah tua,
penyakit, kecelakaan, bunuh diri, bahkan dengan diakhiri nyawanya oleh
orang lain dengan kata lain dengan cara dibunuh, semua ini menurut sebagian
besar masyarakat Indonesia adalah sebuah takdir. Takdir ini tidak dapat
ditentang bagi semua umat manusia yang memiliki kepercayaan terhadap
agamanya masing-masing.
Sudah menjadi hakikatnya bahwa kelahiran selalu membawa kebahagiaan
dan kematian selalu membawa kesedihan. Kematian secara alamiah atau
secara normal, selalu dapat diterima sebagai hal yang wajar, sebab manusia
pada saatnya akan mati, tetapi bila mati tidak secara alamiah adalah mati
yang tidak diharapkan atau mati secara tidak wajar.
16
Membicarakan kematian sangatlah berkaitan dengan diagnosis kematian
dunia medis. Dalam hal ini diagnosis kematian dapat diuraikan menjadi 3
(tiga) hal sebagai berikut : 22
1. Berhentinya pernafasan.
2. Berhentinya denyut jantung.
3. EEG menjadi datar (menentukan otak tidak memproduksi listrik
lagi).
Yang dimaksud dengan kematian secara normal adalah kematian
secara alami atau wajar, seperti mati karena faktor usia, kecelakaan, atau
yang lainnya. Sedangkan mati secara tidak alamiah adalah mati karena bunuh
diri, minta dimatikan (dibunuh), atau yang biasa dikenal dengan sebutan
Euthanasia.
Istilah Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “ EU-
THANASIA”. EU = baik, dan THANATOS = mati, secara keseluruhan
diartikan sebagai kematian yang senang dan wajar.23 Kemudian istilah ini
diartikan sebagai “Pembunuhan tanpa penderitaan” terhadap pasien yang
sudah tidak dapat diharapkan lagi, yang dalam bahasa Inggris lebih populer
dengan sebutan istilah “mercy killing”.24 Jadi secara harafiah euthanasia
dapat diartikan sebagai mati layak atau mati yang baik ataupun kematian
yang lembut, tenang dan tanpa penderitaan.
22 Pertus Yoyo Karyadi, Eutahanasia Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia (Bandung : 2001, Penerbit ), hlm. 21.
23 Imron Halimy, Euthanasia cara mati terhormat yang modern .(Solo : Ramadhani , 1990),
hlm. 35. 24 Ibid., hlm. 35.
17
Beberapa pengertian tentang euthanasia pun dikemukakan oleh para
ahli, yaitu :25
1. Menurut pendapat St. Thomas dalam analisisnya, euthanasia
adalah bentuk pengakhiran hidup yang penuh sengsara secara
bebas dan dengan berhenti makan atau dengan minum racun
yang membinasakan.
2. Menurut pendapat Gezondheidsraad, bahwa euthanasia adalah
perbuatan yang dengan sengaja memperpendek hidup ataupun
dengan sengaja tidak berbuat untuk memperpanjang hidup
demi kepentingan pasien oleh seorang dokter atau bawahannya
yang bertanggung jawab padanya.
3. Menurut pendapat Van Hattum, euthanasia adalah sikap
mempercepat proses kematian pada penderita-penderita
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan melakukan
atau tidak melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud
untuk membantu korban menghindarkan diri dari penderitaan
dalam menghadapi kematiaannya dan untuk membantu
keluarganya menghindarkan diri melihat penderitaan korban
dalam menghadapi saat kematiannya.
Lemerton dan Thiroux menyusun 4 (empat) kategori yang berkaitan
dengan euthanasia, yaitu membiarkan seseorang mati, kematian belas
kasihan, pembunuhan belas kasihan, dan kematian otak atau batang otak.26
25 Ibid, hlm 27-28
18
Setelah itu Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI),
dikenal 3 (tiga) pengertian yang berkaitan dengan Euthanasia, yaitu:
1. berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa
penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir;
2. ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si pasien yang
menderita sakit dengan memberikan obat penenang;
3. mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja
atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya27
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut :28
1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu;
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak
memperpanjang hidup pasien.
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
4. Ada atau tidaknya permintaan dari pasien maupun keluarganya.
5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya
26 Ibid., hlm. 181. 27 Chisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman,
(Jakarta : EGC, 2006), hlm. 181. 28 Ibid, hlm 29
19
B. PERKEMBANGAN EUTHANASIA
Dewasa ini, euthanasia menjadi suatu permasalahan yang menarik
dalam dunia hukum dan medis. Terdapat pro dan kontra mengenai
pelaksanaan dari euthanasia tersebut. Terlebih lagi bagi pelaku dunia medis,
euthanasia menjadi suatu hal yang sangat dilematis. Dalam hal ini
Euthanasia adalah praktek pencabutan kehidupan manusia (pasien) melalui
cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit yang sangat berlebihan,
yang biasanya dilakukan dengan memberikan suntikan yang mematikan.
Dengan demikian penyebab dari dilakukannya tindakan euthanasia adalah
kerena sudah tidak mungkin lagi dilakukannya tindakan medis untuk
mempertahankan hidup seseorang hingga sembuh kembali.
Jika dilihat dari istilahnya sendiri itupun dapat kita ketahui bahwa,
euthanasia sudah ada sejak zaman dahulu kala, yaitu zaman Yunani-Romawi
Kuno. Pemahaman euthanasia dalam era ini dapat dilihat dalam beberapa
pandangan beberapa tokoh kuno seperti Possidipos, Philo, Suetonius, Cicero,
Seneca, Plato, Aristoteles dan Phytagoras.
Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an
sebelum Masehi, menulis dalam karyanya, “Dari apa yang diminta manusia
kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang
baik”. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 Sebelum
Masehi – 50 Sesudah Masehi, mengartikan euthanasia sebagai “kematian
tenang dan baik” (Philo 1, 182: de Sacrificiis Abelis et Caini 100). Suetonius,
seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Sebelum Masehi. Dalam
20
tulisannya 29 tentang Kaisar Agustus, ia mengatakan demikian : “Ia mendapat
kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir
selalu biasa memohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya
“euthanasia” bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan
cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Augustus
99). Cicero, seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 Sebelum Masehi,
memakai istilah euthanasia dalam arti “kematian penuh kehormatan,
kemuliaan dan kelayakan” (Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh
diri tahun 65 M malah menganjurkan : “lebih baik mati daripada sengsara
merana”.
Dalam sejarah pun mengatakan, misalnya Plato yang mendukung
tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang untuk mengakhiri
penderitaan dari penyakit yang dialaminya; begitu juga Aristoteles yang telah
membenarkan adanya ‘infaanticide’ yaitu membunuh anak yang
berpenyakitan sejak lahir dan tidak dapat hidup menjadi manusia yang
perkasa.30 Adapun pendapat seorang tokoh lainnya yaitu Pythagoras dan
kawan-kawannya yang telah menyokong perlakuan pembunuhan terhadap
orang-orang yang mengalami lemah mental dan moral.
29 Nurudin Jauhari, 1 November 2008, Euthanasia, Segi Medis, Etis, Moral, dan Pastoral,
Tersedia di (http://bagusarsj.blog.friendster.com/2007/11/eutanasiasegi-medis-etis-moral-dan-pastoral/), 28 Juli 2009
30 Ratna Suprapti Samil, Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagian Obsteri dan Ginekologi,
(Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1980), hlm. 23.
21
Euthanasia juga dikenal pada zaman Renaissance, beberapa tokoh
pada zaman ini seperti Thomas More dan Francis Bacon memberikan
pendapat, pandangan serta gagasan mengenai euthanasia.
Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan euthanasia
medica, yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan
hanya untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan
menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan euthanasia
untuk membantu orang yang menderita sewaktu ingin meninggal dunia.
Thomas More dalam “the Best Form of Government and The New Island of
Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri
kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan
atau dengan racun yang membiuskan.31
Selanjutnya mati secara terhormat atau euthanasia ini juga dikenal
pada abad XVII-XX. David Hume seorang tokoh terkenal pada abad ini,
menentang habis-habisan argumentasi tradisonal. Akan tetapi justru
sebaliknya, kontraversinya terhadap euthanasia justru menjadi pengaruh dan
membuka gagasan euthanasia.
Sejak abad ke-19, euthanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan
pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-
undang anti euthanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang
31 Nurudin Jauhari,Op. Cit.
22
pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara
bagian.32
Tahun 20-30an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan
jalan masalah euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding
(ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan euthanasia
sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini
terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung
lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan
menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara
mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo)
ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Action T 4 dengan dasar
hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.33 Tindakan ini dilakukan
karena Hiltler berpandangan bahawa anak-anak di bawah umur 3 tahun yang
menderita keterbelakangan mental, memilik cacat tubuh atau gangguan lainya
tersebut yang menjadikan hidup mereka tidak berguna, begitupun dengan
para lansia.
Sama halnya dengan David Hume, Bapak Ilmu Kedokteran
Hippocrates itu sendiri pun menentang adanya euthanasia. Ia adalah seorang
dokter dari Yunani yang untuk pertama kalinya berhasil merealisasikan
paham mistis, gaib, dan filsafat tentang penyakit yang pada waktu itu tengah
berkembang di masyarakat dimana pada zaman itu yang mempercayai
32 Ibid
33 Ibid .
23
keberadaan dewa penyembuh yaitu Aesculapsius, dengan menegakkan
diagnosa kedokteran yang rasional. Berkat ajaran-ajaran dan tulisan-tulisannya
yang dikenal dengan Hipocrates Corpus yang memberikan dasar pemikiran
rasional serta sistematika ilmiah dalam dunia kedokteran, ia disebut sebagai
Bapak Ilmu Kedokteran (Father of Medicine). Selain itu, ia juga menetapkan
garis dasar etika kedokteran yang dituangkan dalam sumpahnya yang dikenal
dengan Sumpah Hipokrates (Hipocratic Oath). Sampai saat ini pun sumpah
Hipokrates dijadikan sebagai dasar dari sumpah kedokteran dan dasar kode
etika kedokteran di seluruh dunia. Salah satu dari isi Sumpah Hipokrates
yang membuktikan bahwa ia tidak menyetujui euthanasia adalah sebagai
berikut:
“Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun dimintanya, atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu”.34
Pandangan lain dari Hippocrates yang dikutip oleh Elliot-Binns, adalah “Adalah gila untuk menuntut dari dokter upaya penyembuhan yang tidak dimungkinkan oleh ilmu kedokteran, seperti menuntut agar tubuh melawan penyakit yang dapat dihindarkan.Mengapa merisaukan pikiran kita dengan penyakit yang tidak mungkin disembuhkan?Tetapi adalah menjadi tugas ilmu ini pula untuk melakukan penelitian terhadap”.35
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa Hipokrates menolak
adanya euthanasia secara aktif. Karena baginya sudah menjadi tugas mulia
dari seorang dokter untuk menyelamatkan atau mengobati pasien
semampunya atau semaksimalnya. Kalaupun pasien tersebut meninggal
34 Ibid
35 Imron Halimy, Op.Cit., hlm. 84.
24
karena tidak dapat disembuhkan, akan tetapi sudah dilakukan pertolongan
maksimal terhadapnya. Apabila pasien tersebut meninggal, itu adalah
merupakan suatu hal yang wajar (euthanasia pasif).
Dapat diketahui bahwa euthanasia sudah dikenal dan menjadi
kontraversi sejak zaman Yunani-Romawi Kuno sampai saat ini. Karena
manusia sebagai objek sekaligus pelaku euthanasia memiliki hak untuk
menentukan nasibnya sendiri. Dimana hak ini disebut dengan TROS (The
Right Self Of Human Rights). Hak untuk menentukan nasib sendiri (TROS)
adalah hak yang melekat dalam diri manusia, dalam arti seseorang berhak
menentukan apa yang akan/perlu/harus dilakukan atas dirinya (tubuhnya).36
C. BENTUK-BENTUK EUTHANASIA
Secara garis besar bentuk-bentuk euthanasia dibagi menjadi dua (2)
golongan :
1. Euthanasia aktif (active euthanasia), yaitu tindakan sengaja
untuk memperpendek hidup pasien dengan permintaan dari pasien
itu sendiri.
2. Euthanasia pasif (passive euthanasia), yaitu dimana dokter atau
tenaga medis secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis
kepada pasien yang dapat memperpanjang hidupnya dengan
catatan bahwa perawatan pasien diberikan secara terus-menerus
dan secara optimal dalam usaha mendampingi atau membantu
36 Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung : Mandar Maju, 2001), hlm. 104.
25
pasien dalam fase hidup yang terakhir. Euthanasia pasif atas
permintaan dapat dinamakan (auto euthanasia) : “dimana seorang
pasien menolak tegas dengan sadar untuk menerima perawatan
medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah
“codisil” (pernyataan tertulis tangan).37
Selanjutnya dalam euthanasia aktif dapat dibedakan menjadi :
1. Euthanasia aktif secara langsung (direct). Dimana dokter atau
tenaga kesehatan lain dengan sengaja melakukan suatu tindakan
medis untuk mengakhiri penderitaan pasien, misalnya dengan
suntikan over dossis morfin yang mengakibatkan matinya pasien.
Tujuan utama, memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
2. Euthanasia aktif secara tidak langsung (indirect). Dimana dokter
atau tenaga kesehatan lain tanpa maksud untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup pasien dengan melakukan tindakan medis, untuk
meringankan penderitaan pasien dengan adanya resiko bahwa
tindakan medis ini dapat mengakibatkan perpendek atau
mengakhiri hidup pasien, misalnya dengan memberikan suntikan
morfin dengan dosis yang wajar tiap kali pasien menderita sakit
yang amat sangat. Disini, tujuan utama meringankan penderitaan
dengan akibat samping (resiko) hidup pasien diperpendek.38
37 Fred Ameln, Op. Cit., hlm. 133. 38 Ibid., hlm.133-134.
26
Pada “World Congress on Medical Law” yang kelima, bulan Agustus tahun
1979 di Gent, Belgia. Beberapa sarjana mengemukakan berbagai teori dan
pendapat tentang euthanasia. Berikut ini beberapa pendapat para sarjana :
a. Menurut Profesor Z.P. Seprarovic dari Fakultas Hukum Universitas
Zagerb, Yugoslavia, yang mengemukakan empat kategori tentang
euthanasia.
b. No assistance in the process of death without the intention to
shorthen life : Dalam kategori ini pasien mati ajal atau mati
alamiah (natural death) jika ia meninggal.
c. No assistance in the process of death without the intention to
shorten life : Dalam kategori terdapat unsur kelalaian (schuld
element).
d. No assistance in the process of death with the intentoin to shorten
life : Dalam kategori ini disebut juga euthanasia pasif.
e. Assistance in the process of death with the intention to shorten life :
Dalam kategori ini disebut euthanasia aktif atau positif.39
D. MACAM – MACAM EUTHANASIA
Secara garis besar euthanasia dapat dibedakan dalam beberapa
macam dilihat dari berbagai sisi misalnya dari sudut cara/bentuk, dari sudut
maksud, dari sudut otonomi penderita maupun dari sudut motif dan prakarsa
dan euthanasia semu.
39 Ibid., hlm.134-135.
27
1. Euthanasia Dari Sudut Bentuk
Euthanasia dari sudut/bentuk dapat diklasifikasikan ke dalam 2
(dua) bentuk antara lain :
a. Euthanasia Aktif (murni)
Euthanasia aktif adalah suatu peristiwa dimana dokter atau tenaga
medis lainnya secara sengaja melakukan sesuatu tindakan untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.40 Euthanasia ini
memang ditujukan untuk langsung mematikan si pasien, yang
biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan atau obat
secara oral.
Euthanasia aktif atau murni ini dapat dibagi menjadi 2 (dua)
bentuk yaitu :
1) Euthanasia Aktif Langsung (direct)
Yang dimaksud dengan euthanasia aktif secara
langsung (direct) adalah di mana dokter atau tenaga kesehatan
lainnya melakukan suatu tindakan medis dengan maksud
untuk meringankan penderitaan si pasien sedemikian rupa
sehingga secara logis dapat diperkirakan atau diharapkan
bahwa kehidupan si pasien diperpendek atau diakhiri.41
2) Euthanasia Aktif Tidak Langsung (indirect)
40 Imron Halimy, Op.Cit., hlm. 39. 41 Ibid., hlm. 40.
28
Yang dimaksud dengan euthanasia aktif secara tidak
langsung (indirect) adalah keadaan dimana dokter atau tenaga
kesehatan lainnya melakukan tindakan medis untuk
meringankan penderitaan si pasien tanpa bermaksud untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien tersebut.42
b. Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif adalah suatu keadaan dimana dokter atau
tenaga kesehatan lainnya secara sengaja tidak memberikan
bantuan medis terhadap pasien yang dapat memperpanjang
hidupnya.43 Akan tetapi bukan berati pengobatan secara langsung
dihentikan, perawatan dan pengobatan tersebut tetap diberikan
kepada si pasien secara terus-menerus secara optimal yang
dimaksudkan untuk membantu si pasien dalam kondisi atau fase
hidup yang terakhir.
Euthanasia yang termasuk dalam jenis ini adalah Auto
euthanasia. Yang dimaksud dengan auto euthanasia adalah situasi
dimana seseorang pasien dengan sadar menolak secara tegas untuk
menerima perawatan medis, bahkan dia telah menyadari bahwa
hal ini akan dapat memperpendek atau mengakhiri hidupnya
42 Ibid. 43 Ibid.
29
sendiri. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah “cocodicit”
yaitu suatu pernyataan tulisan tangan.44
2. Euthanasia Dari Sudut Otonomi Penderita
Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam 3 (tiga)
jenis yaitu :45
a) Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar
dan tidak dapat menyatakan kehendak (incompentent),
b) Pasien tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan
diwakili oleh orang lain (transmitted judgement),
c) Tidak sadar dan kehendaknya diduga oleh orang lain
(substitued judgement).
3. Euthanasia Dari Sudut Motif dan Prakarsa
Dari sudut motif dan prakarsa, permintaan atau persetujuan penderita
atau keluarganya untuk menghentikan beban (penderitaan pasien karena belas
kasihan atau beban keluarga) atau menghormati kehendak penderita yang
diperlakukan sebagai subjek dengan hak menentukan dirinya sendiri. Dan
juga perintah penguasa berdasarkan ideologi tertentu atau kepentingan yang
lain.
44 Ibid. 45 Nurdin Jauhari, Loc.Cit.
30
4. Euthanasia Semu
Disebut bentuk-bentuk semu dari euthansia ini karena mirip dengan
euthanasia, tetapi sebetulnya bukan euthanasia. Bentuk-bentuk pengakhiran
hidup yang mirip dengan euthanasia ini disebut oleh H.J.J. Leenen adalah
sebangai schijngestaten van euthanasie. Adapun yang termasuk ke dalam
bentuk semu dari euthanasia adalah sebagai berikut :46
a. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada
gunanya (zinloos).
b. Penolakan perawatan medis oleh pasien (keluarganya).
c. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis karena mati otak
(braindeath).
d. Pengakhiran hidup pasien akibat persedian alat medis terbatas
(emergency).
e. Euthanasia akibat “sikon”.
Untuk lebih mendapatkan gambaran yang jelas lagi mengenai
bentuk-bentuk euthanasia, dapat dilihat pada skema berikut dibawah
ini : 47
46 Petrus yoyo karyadi, Op. Cit 47 Imron Halimiy, Op.Cit., hlm. 43.
31
E. EUTHANASIA MENURUT BERBAGAI MACAM PERSPEKTIF
1. Euthanasia Menurut Pandangan Agama
a) Dalam ajaran gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang
untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai
penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak
tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai
euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Yohanes Paulus II,
yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program
egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas
dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang
pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan
menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongres
untuk ajaran iman telah menerbitkan deklarasi tentang euthanasia
Euthanasia
Atas Permintaan Tidak Atas Permintaan
Pasif Pasif Aktif Aktif
Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Langsung
32
("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini
lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya
kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya
promosi euthanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri
hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin
meningkatnya praktek euthanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan
(Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar
melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya
kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang
meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu.” Paus
Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa euthanasia merupakan
tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu:
“Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung
penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang,
yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung” (Evangelium
Vitae, nomor 66).
b) Dalam ajaran agama Hindu 48
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah
didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma
adalah merupakan suatu konsekuensi murni dari semua jenis
kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk,
48 Ibid
33
lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai
akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi
penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus
reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran
Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip “anti kekerasan” atau
pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam
ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat
menjadi suatu faktor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh
karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia adalah
merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih
tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang
melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka
ataupun surga melainkan tetap berada di dunia fana sebagai roh
jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu
dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya
umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan
hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana
tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka
menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke
dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk
34
menyelesaikan “karma” nya terdahulu yang belum selesai
dijalaninya kembali lagi dari awal.
c) Dalam ajaran agama Buddha 49
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari
kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan
makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran
Buddha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka tampak jelas
bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat
dibenarkan dalam ajaran agama Buddha. Selain daripada hal
tersebut, ajaran Buddha sangat menekankan pada “welas asih”
("karuna"), yakni belas kasih.
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah
merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Buddha
yang dengan demikian dapat menjadi “karma” negatif kepada
siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna
memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
d) Dalam ajaran Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan
Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati,
namun hak tersebut merupakan anugerah Allah SWT kepada
49 Ibid
35
manusia. Hanya Allah SWT yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66: 2: 243). Oleh karena
itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak
ada teks dalam Al-Quran maupun Hadist yang secara eksplisit
melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang
menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan
Allah SWT, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2:
195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau
membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya
adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian,
seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim
lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau
taisir al-maut (euthanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan
kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si pasien,
baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait
tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang
membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan
36
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun
juga.
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (euthanasia positif)
ialah tindakan memudahkan kematian pasien “karena kasih
sayang” yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan
instrumen (alat).
Memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia positif)
adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini
seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan
membunuh pasien dan mempercepat kematiannya melalui
pemberian obat secara over dossis dan ini termasuk pembunuhan
yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang
membinasakan. Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam
kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa
kasihan kepada pasien dan untuk meringankan penderitaannya.
Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan
penyayang dari pada Yang Menciptakannya. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah SWT, karena Dia-Lah
yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya
apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Euthanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il.
Pada euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-
langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si pasien, tetapi ia
37
hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang
hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa
pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak
memberikan harapan kepada si pasien, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama
syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak
wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam
mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini
hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya
segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh
sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian
ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).50
e) Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana
memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya
terhadap euthanasia dan orang yang membantu pelaksanaan
euthanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut
misalnya :
50 Ibid
38
Gereja Methodis (United Methodist Church) dalam
buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan
teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan
pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang
dapat dipertanggungjawabkan tentang hingga
kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut
benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup
pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup
tersebut".
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi
buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang
bukan merupakan suatu perawatan fundamental.
Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi
sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab
moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan
membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu
posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari
Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah
merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih
baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan
mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini
39
dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga
di masa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan
kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani
dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut
"kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan.
Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan
dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.51
2. Euthanasia Menurut Pandangan Hukum
A. Menurut Hukum Kesehatan
Hukum Kesehatan sebagai bagian dari ilmu hukum dapat
memainkan peran yang berarti dalam menemukan hukum dan
dalam mengkonstruksikan peraturan hukum yang diperlukan dalam
bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dapat dicapai dengan
peraturan perundang-undangan maupun melalui putusan hakim,
tapi dapat pula dengan mengatur diri melalui norma-norma etik
dalam suatu bidang medis tertentu. Masing-masing cara
mengandung segi positif dan negatifnya.52
51 Ibid, 52 Fred Ameln, Op. Cit., hlm. 159.
40
Motivasi yang menonjol untuk pengaturan dalam
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan, pertama-tama untuk
menjaga kualitasnya dan juga untuk memberikan perlindungan
kepada hak pasien. Khusus pengaturan dalam bidang medis seperti
uji klinik kedokteran, motivasi tersebut itu juga berlaku, terlebih
dalam hal uji klinik kedokteran motivasi pengaturan yang paling
utama ialah untuk memberikan perlindungan khusus kepada orang,
karena mereka berada pada posisi yang amat peka (vulvrernable)
yang berhubungan dengan bermacam-macam aspek seperti aspek
psikis, etis, hukum dan sosial.53
Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan tidak mengatur tentang euthanasia. Euthanasia
dilakukan bukan karena putus asa, tetapi beritikad baik mengurangi
penderitaan seorang pasien yang sakit berat dan mungkin juga
karena pertimbangan ekonomi dan hal lain sebagainya. Secara
etimologis euthanasia berarti mati yang baik atau terhormat,
berdasarkan hal tersebut timbul pengertian euthanasia yang
bermacam-macam, seperti kematian yang senang dan wajar.54 Mati
tenang atau mati tanpa banyak rasa penderitaan. Jika dijabarkan
lagi lebih jelas, maka menurut Imron Halimy euthanasia berarti :
53 Ibid., hlm. 160. 54 Ibid., hlm.161.
41
“Menghentikan nyawa seseorang yang sedang menderita karena penyakitnya, baik dilakukan secara cepat atau lambat oleh dokter atau tim kesehatan yang merawatnya baik atas permintaan atau tanpa permintaan pasien atau keluarga dengan tujuan untuk meringankan beban penderitaannya”.55
Hal ini juga dapat dilihat dari pendapat seorang penulis
Yunani yang bernama Soetonius dalam bukunya Vita Caesarium
yang mengatakan bahwa euthanasia sebagai mati cepat tanpa
derita.56 Akan tetapi dewasa ini orang sudah tidak memperhatikan
lagi akan arti dan makna euthanasia yang sebenarnya, melainkan
penekanannya sudah lebih terarah pada pertolongan dokter untuk
menghindarkan rasa sakit atau meringankan rasa sakit atau
meringankan penderitaan pasien yang sedang menghadapi saat-saat
kematiannya. Bahkan pengertiannya seringkali lebih ditekankan
kepada tindakan memberi pertolongan untuk mempercepat proses
kematian. Berdasarkan pemahaman makna euthanasia pada
pengertian yang terakhir ini, muncul pengertian euthanasia sebagai
pembunuhan tanpa penderitaan terhadap pasien yang sudah tidak
dapat diharapkan lagi, yang populer dengan istilah mercy killing.57
Berdasarkan uraian di atas terlihat adanya perubahan
pengertian euthanasia sesuai dengan perkembangan zaman,
sehingga terjadi pula perubahan pemahaman mengenai maknanya.
55 Imron Halimy, Op.Cit., hlm. 36.
56 Ibid.
57 Chrisdiono M., Pemahaman Baru tentang Euthanasia dari Segi Hukum, (Jakarta :
Kompas), 3 januari 1995.
42
Menurut Lamerton, walaupun euthanasia berarti kematian yang
menyenangkan, dewasa ini diartikan sebagai pembunuhan kelas
kasihan atau pembunuhan saja (“murder”). Dalam hal ini ia
bersama J. P. Thiroux membedakan empat istilah, yaitu :
1. Membiarkan seseorang mati (“allowing someone to die”),
yaitu pasien dalam kasus penyakit terminal dan upaya
pengobatan tidak berfaedah lagi, pasien diijinkan meninggal
secara wajar (proses kematian alamiah menyenangkan,
kedamaian dan harga diri) tanpa interfensi dari pihak lain,
misalnya tenaga kesehatan dan bantuan teknologi kesehatan.
2. Kematian belas kasihan (“mercy death”), yaitu suatu
pertolongan untuk mengakhiri hidup atas permintaannya
sendiri. Yang menonjol di sini adalah aspek kesiapan pasien
dalam menerima kematiannya dengan tenang dan pasrah.
3. Pembunuhan belas kasihan (“mercy klling”), yaitu tindakan
mengakhiri hidup pasien dengan atau tanpa permintaan
pasien. Penekanannya di sini adalah unsur kesengajaan
mengakhiri hidup pasien, sehingga tidak dapat dibedakan
antara tindakan membunuh dengan tindakan bunuh diri.
Tindakan ini dilakukan atas dasar anggapan bahwa hidup
pasien tidak berarti lagi.
4. Kematian otak (“brain death”), yaitu suatu keadaan dimana
seorang pasien mengalami gangguan otak sehingga tidak
43
berfungsi lagi, keadaan sepeti ini mengakibatkan jantung dan
paru-paru dengan sendirnya tidak berfungsi. Oleh karena itu
tidak diperlukan lagi upaya medis, karena secara medis
pasien tersebut telah mati. Hal ini sesuai dengan Pasal 1
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 mengenai
kriteria kematian yang menyebutkan bahwa :
”Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan denyut jantung seseorang telah berhenti”.58
Selain pengertian di atas ada pula pengertian euthanasia menurut
studi grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) yang isinya sebagai
berikut :
“Euthanasia dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.59
B. Menurut Kode Etik Kedokteran
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Bab II Pasal 10,
disebutkan bahwa :
“Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi makhluk hidup insani”.
Naluri yang kuat pada makhluk bernyawa, termasuk manusia
adalah mempertahankan hidupnya, untuk itu manusia diberi akal,
58 Imron Halimy, Op. Cit., hlm. 45. 59 Fred Ameln, Op.Cit., hlm. 132.
44
kemampuan berpikir dan mengumpulkan pengalamannya, dengan
demikian membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
menghindarkan diri dari bahaya maut, ini semua termasuk tugas
dokter. Maka dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan
hidup makhluk insani, ini berarti pula bahwa dokter, menurut agama,
undang-undang dan etik kedokteran tidak diperbolehkan mengakhiri
hidup seorang pasien yang menurut ilmu dan pengalaman tidak
mungkin dapat disembuhkan lagi.60
Dari penjelasan di atas disimpulka bahwa di seluruh dunia
setiap dokter berkewajiban untuk menghormati dan melindungi setiap
kehidupan insani mulai dari saat pembuahan. Hal tersebut sama
dengan sumpah Hipokrates yang isinya menuntut para dokter untuk
mengabdikan dirinya dalam memelihara, merawat dan kesehatan
penderita yang diserahkan kepadanya, oleh karena itu setiap dokter
dituntut untuk selalu ingat akan kewajiban tersebut, sehingga setiap
perbuatan dokter terhadap seorang manusia harus bertujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaan serta mempertahankan jiwa
manusia, meskipun pada akhirnya mengalami kegagalan. Hal ini
dalam Kode Etik disebutkan bahwa :
60 Ratna Suprapti Samil, Kode Etik Kedokteran Indonesia, bagian Obstetri dan Ginekologi,
(Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1980), hlm. 53.
45
“Tuhan seru sekalian alam, menciptakan manusia dan menentukan
bahwa ciptaan-Nya pada suatu waktu akan menemui ajalnya, tidak
seorang dokter yang betapapun pintarnya akan dapat mencegahnya”.61
3. Euthanasia Menurut Pandangan HAM
Menurut Universal Declaration of Human Right yang terdiri dari 30
pasal yang secara garis besar telah menggambarkan tentang perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia di dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa “setiap
orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan, dan keselamatan seseorang”.
Jika kita teliti isi pasal tersebut, ada tiga hal yang menjadi hak utama dari
seorang manusia, yaitu :
a. Hak untuk hidup.
b. Hak untuk merdeka.
c. Hak untuk keselamatan.
Sedangkan di dalam Pasal 6 disebutkan bahwa hak tersebut
merupakan hak pribadi yang dilindungi oleh undang-undang dimanapun ia
berada, di samping hak untuk hidup, menurut Pasal 25 yang berbunyi :
“setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan
keadaan, baik dari sendiri maupun keluarganya”. Oleh karena itu setiap orang
atau manusia mempunyai hak untuk hidup dimana hak ini dilindungi oleh
hukum dan tak seorang pun secara sewenang-wenang dapat dirampas
hidupnya.
61 Imron, Op. Cit., hlm. 89.
46
BAB III
TINJAUAN MENGENAI EUTHANASIA BESERTA PERMASALAHAN-
PERMASALAHANYA
A. Permasalahan Dalam Euthanasia
Euthanasia adalah salah satu permasalahan dalam dunia medis
kedokteran yang menjadi sesuatu yang sangat dilematis bagi pelaku dunia
medis kedokteran dimana sebuah keadaan harus mempertahankan hidup
seseorang yang sesungguhnya sudah tidak dapat dipertahankan lagi dalam
keadaan kondisi yang sudah sangat melemah tingkat kesadarannya ataupun
tidak sadarkan diri sama sekali, permohonan sebuah tindakan euthanasia bisa
disebabkan karena pasien yang sedang dipertahankan hidupnya sudah tidak
mungkin lagi dapat disembuhkan di dalam proses perawatannya, selain itu
faktor penyebab lainnya adalah faktor keinginan dari pasien itu sendiri untuk
mengakhiri hidupnya dengan meminta bantuan dari tenaga medis untuk
mengakhiri hidupnya, keadaan hal ini yang disebabkan karena pasien sudah
merasa tersiksa dengan berbagai macam bentuk pengobatan yang sudah tidak
ada artinya lagi bagi tubuhnya, dan penyebab lainnya adalah faktor keuangan
yang menjadi kendala dari pasien itu sendiri dan keluarganya guna untuk
membiayai pengobatannya yang semakin mahal. Pada saat ini bidang
kedokteran dan kesehatan Indonesia sedang dihadapkan dengan permasalahan
yang berhubungan dengan aspek hukum, dimana hal ini selalu aktual
47
dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam
masalah klasik, suatu situasi dimana sebuah keadaan sulit yang harus diambil
oleh seorang tenaga medis untuk melakukan tindakan euthanasia atau tidak
sama sekali, dalam bidang kedokteran dan kesehatan permasalahan-
permasalahan tersebut merupakan faktor-faktor penyebabnya, di Indonesia
salah satu masalah itu adalah tentang euthanasia, dalam lafal sumpah dokter
yang disusun oleh Hipocrates (460-377 SM), masalah ini telah ditulis dan
diingatkan hingga saat ini persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah
euthanasia belum bisa diatasi dan diselesaikan dengan baik.62
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan
masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat,
maka dalam situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan
dari penderitaan ini, dan tidak ingin diperpanjang lagi hidupnya atau di lain
keadaan pada pasien yang sudah tidak sadarkan diri.
Oleh karena itu, masalah ini makin sering dibicarakan dan menarik
banyak perhatian, karena semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan
kedokteran dan masyarakat terutama setelah ditemukannya tindakan di dalam
dunia pengobatan, dengan menggunakan teknologi canggih dalam mengatasi
keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup, banyak kasus-
kasus di pusat pelayanan kesehatan terutama di bagian gawat darurat dan
bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu sudah merupakan kasus
62 Pertrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Prespektif Hak Azazi Manusia (Yogjakarta :
Media Presindo 2001), hlm. 82
48
yang tidak dapat dibantu lagi. Namun walaupun demikian pada kasus-kasus
tertentu tetap saja muncul persoalan dasar kembali.63
Masalah euthanasia ini semakin kompleks karena definisi dari kematian
itu sendiri telah menjadi kabur, pada masa-masa sebelumnya seseorang
dinyatakan meninggal jika ia sudah tidak dapat melakukan aktifitas bernapas
dan berhentinya fungsi jantung, sejak fungsi-fungsi organ vital tersebut sudah
dapat dipertahankan dengan menggunakan alat-alat yang modern seiring
dengan perkembangan dunia kedokteran maka definisi kematian termasuk juga
kematian otak, kurangnya aktifitas listrik untuk waktu yang cukup lama
sehingga tidak dapat mengembalikan fungsi otak juga dapat diterima.64
Selain itu dibahas pula beberapa macam bentuk penyebab terjadinya
euthanasia, antara lain adalah:
1. Menghentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada
gunanya (zinloos).
Dalam hal memberhentikan pengobatan atau perawatan medis yang
sudah tidak ada gunanya lagi (zinloos), masih terdapat perbedaan pendapat.
Ada yang menyebutnya sebagai bentuk euthanasia pasif, tapi ada juga yang
70 M. Jusuf hanafiah, dan Amri amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, , (Jakarta :
Buku Kedokteran, EEC 1999), hlm 104. 64 Ietha. Sumber ; Aikon, Mobil Terbang Euthanasia, tersedia di http : // remmanet, tripod.
Com / serba-serba. Htm) hlm 1.
49
menyebutnya sebagai betuk semu dari euthanasia. Dalam literatur lebih
banyak bentuk semu, bukan Euthanasia pasif.65
2. Penolakan perawatan medik oleh pasien (keluarganya).
Penolakan perawatan medik oleh keluarga si pasien ini ada yang
mengakibatkan kematian pasien, dan ada juga yang tidak mengakibatkan
matinya pasien.
Pada umumnya bila tidak ada izin dari pasien, dokter tidak
diperkenankan untuk melakukan tindakan medis dalam bentuk apapun,
walaupun akhirnya akan mengakibatkan meninggalnya pasien tersebut.
Penolakan perawatan medis ini erat kaitannya dengan hak-hak pasien.
Pasien mempunyai hak untuk menolak seluruh terapi atau tindakan medis
ataupun sebagian terapi. Adapun yang melandasi hak-hak pasien ini adalah
karena adanya The right of self determination atas badannya sendiri.66
3. Menghentikan pengobatan (perawatan) medik karena mati otak
(Braindeath)
Manusia yang hanya hidup secara vegetatif berarti ia tidak ada
bedanya dengan tumbuh-tumbuhan. Ia sudah tidak mempunyai rohani karena
otaknya sudah tidak berfungsi lagi (braindeath). Ia sudah tidak mampu
memberikan tanggapan, sedangkan kita tahu bahwa manusia itu mempunyai
65 Petrus yoyo karyadi, Op.Cit 66 Ibid, hlm.36
50
dua aspek, yaitu aspek jasmani dan rohani. Aspek rohani inilah yang
merupakan fungsi hakikinya bagi manusia dan yang membedakan manusia
dengan makhluk hidup lainnya. Jadi, kematian rohanilah yang harus menjadi
dasar utama untuk menentukan kapan seseorang sudah dianggap mati.67
Mati rohani ini berkenaan dengan berhentinya fungsi otak. Apabila
otak manusia sudah tidak berfungsi lagi (Braindeath), maka fungsi rohani
pun sudah tidak ada. Dunia medis saat ini mengatakan bahwa manusia
tersebut sudah dianggap meninggal dunia.68
Kriteria mati otak benar-benar mulai diperhatikan sejak tahun 1970-
an. Ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi biomedis yang begitu pesat,
sehingga mendesak dunia medis untuk merumuskan kembali pengertian
matinya seseorang. Dahulu, pengertian kapan matinya seseorang ditentukan
oleh denyut jantung. Dalam hal ini apabila si pasien mendapatkan perawatan
oleh medis maka EEG (Electro encephalo graphy) menjadi datar dalam
artian menentukan otak tidak memproduksi listrik lagi. Apabila jantung
seseorang sudah tidak berdenyut lagi (tidak bernafas) maka orang tersebut
sudah dianggap meninggal dunia. Akan tetapi, sekarang dengan adanya
teknologi yang semakin maju dan pesat di dunia medis, orang dapat bernafas
kembali walaupun secara atrifisial. Denyut jantung yang tersendat-sendat
67 Ibid, hlm.21 68 Ibid
51
dapat dipacu dengan alat pacu jantung, sehingga sekarang sudah dapat
berbicara tentang “mayat hidup”.69
4. Pengakhiran hidup pasien akibat persedian peralatan medis yang
terbatas (emergency).
Bentuk euthanasia semu ini dapat terjadi apabila di suatu rumah
sakit kekurangan alat medis untuk menunjang usaha penyelamatan pasien.
Misalnya, terjadi tabrakan bis dan banyak korban yang harus ditolong.
Kemudian para korban tersebut segera dibawa ke ruang gawat darurat
(emergency). Ternyata banyak korban yang harus dipasangi respirator,
sedangkan alat tersebut sangat terbatas. Respirator tidak mungkin dipasang
secara bergantian dari pasien yang satu ke pasien yang lainnya sehingga ada
beberapa pasien yang tidak terpasang respirator, dan kemudian mereka
meninggal dunia. Maka dalam hal demikian, tidak terjadi kasus euthanasia.
Dokter atau tenaga medis lainya yang sedang bertugas di ruang darurat
tersebut tidak dapat disalahkan telah melakukan euthanasia.70
Di antara sekian banyaknya penemuan-penemuan teknologi yang
tidak kalah penting dan pesatnya dalam perkembangannya adalah di bidang
kedokteran. Melalui perkembangan teknologi kedokteran yang maju
tersebut, diagnosa mengenai sesuatu penyakit dapat dilakukan lebih
sempurna dan pengobatan penyakitpun dapat dilakukan secara efektif. Salah
69 Ibid, hlm. 37 70 Ibid, hlm. 40
52
satu perkembangan di dunia medis yaitu dimana hidup seseorang pasien pun
dapat diperpanjang untuk sesuatu waktu tertentu, yaitu dengan memasang
sebuah Respirator. Perhitungan saat kematian seseorang penderita penyakit
tertentu dapat dilakukan secara lebih tepat. Suatu kenyataan, walau
teknologi di bidang kedokteran begitu majunya, namun beberapa pasien
tetap tak dapat dihindarkan dari penderitaan yang berat, baik fisik maupun
mental, sehingga masalah tersebut tetap merupakan ganjalan yang
memerlukan pemecahan dan penanganan yang lebih sempurna lagi. Lagi
pula kita semestinya harus ingat bahwa penemuan dan perkembangan
teknologi di bidang kedokteran tersebut bukan tidak mustahil justru akan
mendatangkan dan mengundang berbagai masalah yang sangat pelik dan
rumit.
Kadang-kadang kita mesti tidak boleh lupa bahwa manusia itu tidak
dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan dasar dalam hidup ini, walau
bagaimanapun majunya ilmu pengetahuan. misalnya, persoalan kelahiran,
kesehatan dan kematian. Khusus mengenai kematian, tidak dapat seorang
pun mengetahui kapan pasti ia akan mati, bagaimana cara ia mati dan apa
yang dialaminya setelah ia mati, ilmu pengetahuan pun belum bisa
menjawab persoalan-persoalan tersebut. hal ini tetap merupakan satu
tantangan bagi manusia untuk menyelidiki dengan ilmunya.
53
B. PERKEMBANGAN EUTHANASIA DI BERBAGAI NEGARA
Perkembangan yang terjadi di berbagai negara merupakan suatu
bentuk kemajuan di bidang dunia medis diantaranya ada di beberapa negara
yaitu :71
1. BELANDA
Di Belanda, euthanasia atau The right to die masih dianggap
tindakan ilegal berdasarkan undang-undang kriminalnya. Akan tetapi,
sejumlah kasus euthanasia boleh dilakukan setelah dokter tidak
mampu lagi memberikan pengobatan yang berarti terhadap pasiennya.
Sekarang di Belanda sudah ada sebuah organisasi yang menampung
permintaan warga negara Belanda untuk mati. Organisasi tersebut
diberi nama Dutch Society for Voluntary Euthanasia. Badan ini
dibentuk dan diakui sebagai badan resmi sejak tahun 1980.
Dalam sejarah euthanasia di Belanda terdapat pula tokoh yang
berperan memperjuangkan euthanasia, yaitu: Jeane Tromp Meesters
adalah salah seorang yang paling aktif mengkampanyekan The right
to die di negeri Belanda. Secara demonstratif ia mengajak masyarakat
belanda untuk memperjuangkan The right to die. Ternyata kampanye
-kampanyenya cukup gencar, sehingga setiap tahunnya ada sekitar
600 sampai dengan 700 orang yang mengatakan keinginannya untuk
mati lewat badan sosial tempat berkumpulnya para sukarelawan
71 Ibid, hlm 43- 48.
54
euthanasia tersebut. Sepertiga dari mereka yang menuntut hak mati
adalah penderita penyakit kanker. Sebagian lagi karena usia sudah tua
dan penderita penyakit lain yang kronis dan sangat menyiksa.
Semua kasus kematian lewat euthanasia yang melalui
organisasi sosial tersebut ditangani oleh dokter yang bersedia
melakukannya. Akan tetapi, dari sejumlah kasus hanya sedikit yang
diekspos secara terang-terangan. Ini dikarenakan rasa takut mereka
(para dokter) untuk berurusan dengan pengadilan, jika di kemudian
hari ada yang menyatakan keberatan. Karena euthanasia di Belanda
masih dianggap sebagai tindakan ilegal.
2. AMERIKA SERIKAT
Perkembangan euthanasia di Amerika Serikat cukup menarik
untuk disimak. Pada tahun 1973 mayoritas orang Amerika Serikat (53
persen) berpendapat bahwa salah untuk memberikan hak kepada
seseorang pasien yang sakit berkepanjangan dan tidak punya harapan
sembuh untuk melepaskan diri dari penderitaan. Riset ini dilakukan
oleh Lousi Harris and Associates.
Pada tahun 1985 publik Amerika berubah drastis. Untuk
pertanyaan yang sama seperti tersebut di atas, 61 persen dari orang-
orang yang diminta mengisi angket menyatakan bahwa benar
memberikan hak untuk mati kepada pasien.
55
Hasil angket lainya pada tahun 1973, menunjukan bahwa 62
persen percaya bahwa seseorang pasien yang sakit berkepanjangan
dan terus menerus bergantung pada alat penopang hidupnya
mempunyai hak untuk meminta kepada dokternya agar mencabut alat
penopang hidupnya dan membiarkannya mati. Jumlah yang setuju
atas hak pasien untuk mati ini kemudian menjadi 85 persen pada
tahun 1985.
3. JEPANG
Di Nagoya (Jepang) telah terjadi beberapa kasus euthanasia.
Berdasarkan Yurisprudensi dari Pengadilan Tinggi Nagoya ada enam
syarat untuk dapat melakukan euthanasia, antara lain yaitu:
a. Pasien atau calon korban harus masih dapat membuat
keputusan dan mengajukan permintaan tersebut dengan
serius.
b. Pasien harus menderita nyeri yang tidak tertahankan.
c. Pasien harus menderita penyakit yang tidak terobati pada
stadium akhir/dekat pada kematiannya.
d. Tujuannya adalah sekedar melepaskan diri dari rasa nyeri.
e. Dilakukan oleh Dokter yang berwenang atau atas
petunjuknya.
f. Kematian harus melalui cara kedokteran dan manusiawi
56
4. URUGUAY
Dalam hal euthanasia Undang-undang hukum pidana Uruguay
melangkah jauh. Dalam Undang-undang hukum pidana tersebut
disebutkan bahwa hakim dapat menganggap seseorang tidak
bersalah, bila melakukan pembunuhan yang bermotifkan adanya
perasaan belas kasihan sebagai kelanjutan dari permintaan pasien
kepadanya yang berulang-ulang. Hal ini berarti di Uruguay,
euthanasia aktif atas permintaan pasien itu sendiri bukan tindakan
kriminal.
5. CEKOSLOVAKIA
Menurut perundang-undangan yang berlaku di Cekoslovakia,
tindakan euthanasia dapat dibenarkan (tidak bertentangan dengan
hukum positif), asalkan dengan pembatasan-pembatasan tertentu.
Adapun batasan-batasan tersebut antara lain adalah berupa syarat,
yaitu bahwa euthanasia hanya dapat dilakukan jika ada suatu
keputusan bulat antara sanak keluarga dan sejumlah ahli-ahli
tertentu, serta mendapat persetujuan dari pasien.
C. EUTHANASIA MENURUT PANDANGAN HUKUM KEDOKTERAN
Memberikan hak kepada individu untuk mendapatkan pertolongan
dalam pengakhiran hidupnya, bagi banyak Negara masih menjadi
perdebatan yang sengit. Sampai sekarang ini, kaidah non-hukum yang
57
manapun (agama, moral, kesopanan), menentukan bagaimana membantu
orang lain untuk mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang
bersangkutan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh adalah perbuatan
tidak baik. 72
Di Indonesia, pemberian bantuan kepada pasien yang dalam keadaan
kritis untuk diakhiri hidupnya dengan cara, antara lain, menyuntikkan obat
yang membuat pasien mati.73
Yang seringkali terjadi adalah penolakan pasien untuk diberikan
bantuan/pertolongan pelayanan kesehatan, sehingga pasien yang tidak
mendapatkan pelayanan kesehatan meninggal dunia, dan dokter/rumah sakit
yang ditentukannya karena TROS, tidak dapat memaksakan pasien untuk
menerima pertolongan kesehatan, padahal jika pasien mau menerima
pertolongan, kemungkinan pasien untuk sembuh sangat besar. Terdapat juga
keadaan, keluarga pasien meminta kepada dokter agar pasien yang sudah
mati batang otak, tidak diteruskan lagi penanganannya, misalnya mencabut
alat infus, sehingga pasien akan meninggal dunia secara alamiah, begitu
kelihatannya.
Rumah sakit atau dokter, menghadapi permintaan pasien/keluarga
pasien, karena takut pada tuntutan hukum, kemudian menyuruh
pasien/keluarga pasien untuk mencabut sendiri peralatan infus atau
respirator. Konstruksi pemikiran rumah sakit/dokter, dengan dilakukan
72 Wila Chandrawila Supriadi, Hukum kedokteran, ( Bandung : Mandar Maju, 2001), hlm.
106. 73 Ibid, hlm 107
58
sendiri oleh pasien/keluarga pasien, maka mereka tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya.74
Seringkali terjadi, rumah sakit/dokter meminta surat yang berisi
pertanyaan pasien/keluarga pasien yang menghendaki dihentikannya upaya
penyembuhan pasien, barulah rumah sakit/dokter berani mencabut peralatan
infus/respirator.
Tindakan yang diuraikan di atas, bukanlah perbuatan yang dapat di
kategorikan memenuhi unsur-unsur dalam pasal 344 KUHP, sebab tenaga
kesehatan (dokter), dalam hal ini tidak membantu mengakhiri hidup pasien.
Tindakan pengakhiran hidup pasien yang menderita kematian batang
otak sudah seringkali dilakukan di Indonesia, namun tidak sesuai dengan
pasal 344 KUHP, sebab tidak terdapat unsur permintaan dengan nyata dan
dengan sungguh-sungguh dari pasien, pertimbangan dihentikan pertolongan
kepada pasien karena pasien sudah tidak memiliki kemungkinan sembuh
dan dengan kematian dari batang otak, dapat dikatakan pasien telah mati
secara klinis.75
Keadaan dimana keluarga pasien harus melakukan sendiri peralatan
infus/respirator, membuat keadaan tidak nyaman, karena keluarga pasien
dibebani oleh perasaan tidak menyenangkan, selain telah kehilangan salah
satu anggota keluarga, ditambah lagi dengan perasaan bersalah telah
mengakhiri hidup pasien dengan mencabut peralatan hidup
pasien/respirator.
74 Wila Chandrawila Supriadi, Op.Cit 75Ibid,
59
Pertanyaannya, apakah keadaan seperti ini perlu berlarut-larut terjadi?
Di satu sisi ada kebutuhan akan tindakan tertentu, dan di sisi lain ada
ketakutan dari tenaga medis/rumah sakit terhadap tuntutan hukum dari
keluarga pasien atau penegak hukum. Bahwa pihak rumah sakit/dokter telah
melakukan “pembunuhan”. Dalam permasalahan ini agar hal tersebut tidak
berlarut-larut dan dapat memberikan suatu kejelasan yang tidak simpangsiur
maka terdapat adanya pengaturan di dalam undang-undang nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik kedokteran pada pasal 45 yang mengatur tentang
setiap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter harus mendapat
persetuajuan atau pun penolakan tindakan medis dari si pasien itu sendiri
atau pun dari pihak keluarganya.
Dalam hal untuk menjawab pertanyaan tersebut, Penulis melakukan
wawancara langsung dengan seorang narasumber yaitu Dr. Faiq Bahfen,
beliau menerangkan bahwa untuk perdebatan masalah tentang euthanasia di
dasari oleh suatu persoalan yaitu apa sebenarnya definisi dari mati, menurut
Dr. Faiq Bahfen definisi tentang mati dapat diukur dengan tidak
berfungsinya batang otak seorang pasien, bila masih berfungsinya batang
otak masih ada kemungkinan dapat diberi nafas dan bila mati batang otak
berarti sudah dianggap telah mati, menurut Bapak Dr. Faiq Bahfen
persoalannya bahwa semua orang harus mengetahui dahulu apa arti mati,
apakah setiap pengakhiran itu adalah permintaan mati, sedangkan batang
otak sudah mati tetapi masih dipasang pentilator atau Respirator dan bila
pasien masih bernafas apakah itu termasuk dalam permintaan mati?
60
Menurut pandangan Bapak Dr. Faiq Bahfen, persepsi tentang hal tersebut
adalah tidak benar. Menurutnya, tidak ada pengaturan seperti itu di Negara
Indonesia dan keadaan jika mati batang otak dan masih bernafas maka dapat
disebut dalam keadaan vegetatif dan seharusnya sudah mati dalam keadaan
bila dicabut respirator tersebut tidak jelas adanya. Sedangkan, di Negara
Belanda sudah ada pengaturan atau Undang-undang mengenai Euthanasia
dan diperbolehkan melakukan tindakan Euthanasia walaupun batang otak
pasien masih berfungsi. Seseorang yang meminta mati, misalnya seseoarang
yang sedang sakit kanker pada stadium akhir dan sangat menderita, dia
meminta untuk dimatikan maka permintaan si pasien tersebut dikabulkan.
Akan tetapi hal tersebut mempunyai batasan, yaitu bila seorang yang sehat
meminta untuk dimatikan maka permintaan orang tersebut tidak dapat
diperbolehkan, tetapi apabila ada orang yang sudah mengalami sakit yang
betahun-tahun dan sudah tidak mempunyai kemungkinan untuk kembali
pada kondisi tubuh sehat maka dapat dipertimbangkan untuk dilakukannya
tindakan euthanasia. Jadi hal untuk melakukan tindakan euthanasia tidak
sembarangan, dengan adanya Undang-undang Euthanasia di Negara
Belanda hak hidup atas seseorang berarti ada hak untuk mati, sedangkan di
Negara Indonesia hak untuk mati pada dasarnya ada di tangan Tuhan. Oleh
sebab itu, di Indonesia masih belum jelas untuk menentukan definisi mati
yang sebenarnya, apabila definisi dari mati sudah jelas barulah dapat
ditentukan lebih jelas tentang tindakan dari yang menyebabkan atau telah
matinya seseorang, apabila di Indonesia telah sepakat suatu kematian itu
61
ditentukan dengan berfungsi atau tidaknya batang otak seorang pasien,
maka dengan ketentuan tersebut seorang dokter akan memeriksa bagian
batang otak tersebut untuk diambilnya kesimpulan bahwa pasien tersebut
telah mati. Kalaupun batang otak seorang pasien sudah tidak berfungsi,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa itu bukanlah permintaan untuk mati
seorang pasien ( Euthanasia) dan keadaan tersebut memang keadaan dimana
pasien memang sudah seharusnya untuk mati. Jadi, sebaiknya kondisi
dimana pasien memang seharusnya untuk mati tidak harus ditunjang dengan
peralatan medis yang berlebihan, karena kondisi tersebut akan percuma saja.
Pada faktanya di Indonesia tidak seperti itu, bila seseorang masih bernafas
berarti masih dianggap hidup, padahal kondisi seperti itu tidak
memungkinkan untuk hidup dalam keadaan normal bila tidak di bantu
dengan alat respirator atau alat bantu pernafasan.76
Dalam euthanasia dapat dilakukan misalnya, dengan permintaan
ataupun karena penyakit dari si pasien itu sendiri. Bila euthanasia itu dengan
permintaan maka harus dipertimbangkan terlebih dahulu dari segi Agama,
Kedokteran, Psikologi, dan hal yang lainnya, bahwa tindakan tersebut sudah
betul atau tidak dilakukan pada orang/pasien yang meminta untuk
dilakukannya euthanasia.
Jadi menurut Bapak Dr. Faiq Bahfen dalam hal pro dan kontra tentang
Euthanasia di Indonesia yaitu harus adanya kesepakatan definisi tentang
mati. Sedangkan menurut paham di Indonesia tidak ada pengaturan untuk
76 Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. Faiq Bahfen, Pakar Hukum Kesehatan dan Kedokteran, Staf Ahli Departemen Kesehatan RI, 11 Mei 2010, Pukul 09:00 WIB
62
mengajukan permintaan mati, bila hal tersebut ingin dilakukan di Indonesia
maka para ahli medis atau dokter dan pakar hukum kedokteran harus
sepakat terlebih dahulu mengenai definisi kematian, apakah ditentukan
dengan tidak berfungsinya batang otak atau berhentinya pernafasan, barulah
dapat dilakukan Euthanasia di Indonesia.77
Hukum di Indonesia belum mengatur hal-hal seperti ini, sebaiknya
pemerintah Indonesia membentuk Undang-undang untuk mengatur tentang
“hak pasien untuk mati” dalam hal ini bukan membentuk suatu Undang-
undang tentang Euthanasia seperti di Negara Belanda, namun melalui
peraturan hak pasien, namun membentuk peraturan seperti itu tidaklah
mudah, sebab memberikan hak kepada seseorang atau kepada satu pihak ,
berarti meletakkan kewajiban pada pihak lainnya. Mendapatkan hak selalu
menyenangkan, tetapi mendapatkan kewajiban sangatlah tidak selalu
menyenangkan. Dari sudut pandang kedokteran, dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan, terdapat apa yang dikenal dengan hubungan medis,
dalam hubungan dokter–pasien dikenal juga dengan hubungan hukum, bila
hubungan itu dilihat dari sudut pandang hukum. Hubungan ini terkadang
sering berbenturan, sebab berbicara tentang pasien, maka segi yuridis dari
hubungan dokter-pasien yang akan mendominasi. Berbicara tentang
hubungan medik, maka peran dokter yang lebih menonjol, dengan perkataan
lain, kadangkala terjadi benturan antara hubungan yuridis dengan hubungan
medis bila terjadi benturan antara kedua macam hubungan ini, maka akan
77 Ibid Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. Faiq Bahfen,
63
timbul masalah. Pengaturan yang harmonis dalam hubungan dokter-pasien,
baik dari segi hukum, maupun dari segi medik dapat dilakukan apabila
kedua belah pihak sadar akan hak dan kewajibannya masing-masing,
sehingga rumah sakit/dokter tidak ragu-ragu lagi untuk melakukan suatu
tindakan kepada seorang pasien.78
Banyak orang yang berpendapat, kalau Indonesia mengakui bunuh
diri itu hak untuk mati, maka perlu pula diatur untuk hal-hal tertentu bagi
pasien yang tidak mampu untuk melakukan bunuh diri, tetapi
penderitaannya tidak tertahankan, untuk mendapatkan pertolongan untuk
mengakhiri hidupnya dengan tidak membebani pihak lain dengan perasaan
bersalah atau tidak nyaman atas suatu tindakan yang telah dilakukan pada
orang lain.79
Perlu kiranya direnungkan/dipikirkan, selain hak seseorang untuk
mendapatkan hidup sehat, ada hak seseorang, apabila kualitas hidup sudah
sedemikian buruknya, untuk mati dengan keadaan sebaik mungkin, dengan
catatan tanpa perlu membebani pihak manapun juga dalam hal untuk
mengakhiri hidup orang tersebut, tentunya untuk kasus-kasus tertentu saja.80
.
78 Wila Chandrawila Supriadi, Op. Cit
79 Ibid 80 Ibid
64
BAB IV
EUTHANASIA DI TINJAU DARI PERSPEKTIF AGAMA & HUKUM
PIDANA DI INDONESIA
A. EUTHANASIA DI TINJAU DARI SEGI PERSPEKTIF AGAMA DI
INDONESIA
Di negara hukum seperti di Negara Republik Indonesia ini, segenap
warga negara harus tunduk dan taat kepada hukum tanpa terkecuali. Segala
hal diatur dan mempunyai peraturan sendiri. Dimana seseorang tidak dapat
bertindak semena-mena di luar peraturan yang berlaku dalam negara. Apabila
seorang masyarakat baik itu pribadi maupun kelompok atau badan melakukan
perbuatan dengan tanpa menghiraukan atau dengan tanpa mengindahkan
peraturan yang sudah ditentukan, maka apabila tindakan atau perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan yang ada maka dalam hal ini orang
baik pribadi kelompok atau badan harus diberikan sanksi yang berlaku sesuai
dengan apa yang sudah ditentukan dalam peraturan yang dilanggarnya.
Dalam hal profesi kedokteran, bisa saja terjadi hal-hal yang tidak disengaja
atau diluar kemampuan manusia itu sendiri untuk mengatasinya. Bukan tidak
mungkin pula kelalaian, kesalahan atau bahkan pelanggaran hukum dilakukan
oleh paramedis tersebut.81
Dalam kaitan inilah harus diingat, selain tanggung jawab medis,
seorang dokter justru harus dapat mempertanggungjawabkan semua
perbuatannya terhadap pasiennya menurut hukum yang berlaku, seperti
81 Chrisdiono M Achdiat , Op.Cit
65
halnya pada euthanasia yang tampaknya akan semakin sering dihadapi oleh
para dokter disebabkan banyaknya penyakit yang semakin tidak dapat diatasi
lagi ataupun disebabkan dari faktor keluarga yang telah tidak mampu untuk
membiayai perawatan yang diberikan rumah sakit kepada pasien. Harus
disadari bahwa euthanasia ternyata lebih banyak “muatan” hukumnya
dibandingkan sekedar masalah teknis-medis belaka karena dalam hal ini
euthanasia erat hubungannya dengan nyawa seseorang dimana seorang
dokter diberikan pilihan yang sulit untuk menghadapinya.82
Baik menurut hukum maupun sumpah dokter dan etika kedokteran,
euthanasia tidak diperbolehkan oleh para dokter terhadap pasiennya. Selama
ini belum pernah terdengar adanya kasus euthanasia digelar di pengadilan,
tapi hal itu bukan berarti bahwa kasus euthanasia tidak pernah dihadapi oleh
para dokter.
Jika kita meneliti sejarah perkembangan hukum di Indonesia,
terutama hukum pidananya hingga saat ini dilihat dari aspek yuridis
praktisnya nampaknya belum pernah ada permasalahan ”euthanasia” itu
dijadikan dan diajukan sebagai suatu perkara pidana sebagaimana terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Oleh karena itu dalam setiap
pembahasan masalah euthanasia khususnya aspek yuridis, maka
perkembangan euthanasia baik mengenai pelaksanaannya pun demikian pula
yurisprudensi dari perundang-undangan mengenai euthanasia di negara-
82 Ibid,
66
negara lain yang serupa itu cukup mempunyai peran penting sebagai bahan
pembanding.
1. MENURUT PANDANGAN AGAMA ISLAM (MUI)
Dalam hal euthanasia di Indonesia, karena Indonesia adalah negara
yang memiliki keanekaragaman kepercayaan agama dalam masyarakatnya.
Penulis melakukan wawancara secara langsung dengan para tokoh agama
yang mewakili agamanya masing-masing serta pakar hukum kesehatan.
Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara secara langsung dengan Bapak
DR.K.H.M. Hamdan Rasyid, MA selaku Ketua MUI Majelis Ulama
Indonesia) untuk Propinsi DKI yang merupakan salah satu organisasi
keagamaan di Indonesia dari pihak yang mewakili masyarakat Islam, beliau
menjelaskan bahwa MUI sebagai salah satu organisasi umat Islam di
Indonesia yang memberikan Fatwa atau sebuah larangan bagi umat Islam
untuk melakukan tindakan medis euthanasia, menurut Majelis Ulama
Indonesia, euthanasia adalah suatu tindakan yang diharamkan menurut
Agama Islam, karena tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang
mempercepat proses kematian seseorang yang dilakukan oleh tenaga medis,
dengan cara menyuntikkan sejenis obat-obatan dengan dosis yang tinggi guna
mempercepat proses kematian seseorang ataupun pencabutan alat bantu
pernapasan yang berguna mempertahankan hidup si pasien yang sudah dalam
keadaan kritis atau sudah tidak ada harapan lagi untuk kembali sembuh.
Namun menurut MUI, bilamana dalam sebuah keadaan yang terpaksa
67
misalnya pasien yang keluarganya tidak memiliki biaya untuk proses
penyembuhannya, maka dapat diperbolehkan suatu tindakan pengakhiran
hidup pada pasien tersebut, karena faktor sudah tidak ada biaya lagi. Terkait
masalah ini MUI mengeluarkan Fatwa tentang larangan euthanasia
khususnya di Indonesia berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an yaitu surat Ali-
Imran ayat 3:156,
1. Menurut Islam, Hukum Euthanasia adalah haram, karena hak
untuk menghidupkan dan mematikan manusia hanya berada di
tangan Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat
Ali Imran ayat 156:
Artinya:
“Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat
apa yang kamu kerjakan”. Ali Imran, 3: 156.
2. Menurut ketentuan surat An-Nisa ayat 4:29, berbunyi : Euthanasia
merupakan suatu tindakan bunuh diri yang diharamkan oleh Allah
SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat An-Nisa’ ayat
29:
Artinya:
68
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha penyayang kepadamu”. An-Nisa’, 4:29.
3. Demikian juga firman-Nya dalam surat Al-An’am ayat 151:
Artinya:
“Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”.
Al-An’am, 6:151.
4. Seseorang yang sengaja melakukan tindakan bunuh diri, meskipun
dengan cara melakukan Euthanasia maka selamanya akan menjadi
penghuni neraka jahannam. Sebagaimana telah disabdakan
Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam
Bukhari dari sahabat Abu Hurairah RA. Sebagai berikut:
69
Artinya:
“Barangsiapa segaja menjatuhkan diri dari gunung untuk bunuh diri kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka jahannam selama-lamanya dalam keadaan selalu menjatuhkan diri. Barangsiapa sengaja menenggak racun untuk bunuh diri kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka jahannam selama-lamanya dalam keadaan menenggak racun. Dan barangsiapa sengaja melakukan bunuh diri dengan besi kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka jahannam selama-lamanya dalam keadaan sakit karena menusukkan besi ke dalam tubuhnya sendiri83
5. Seorang yang menderita suatu penyakit, betapapun parahnya dan
sekalipun tidak ada harapan untuk disembuhkan adalah sedang
diuji oleh Allah SWT; apakah dia bersabar dalam menghadapi
musibah atau tidak. Demikian juga keluarganya. Oleh karena itu ia
tidak boleh meminta kepada Dokter atau orang lain agar
dipercepat kematiannya. Satu-satunya yang boleh dilakukan
adalah berdo’a kepada Allah SWT dengan do’a sebagai berikut:
Artinya:
“Ya Allah hidupkanlah aku sepanjang hidup itu lebih baik bagiku.
Dan matikanlah aku sepanjang kematian itu lebih baik bagiku”.84
83 Muhammad bin ‘ismail’il Abu ‘ Abdullah Al-Bukhari, al-jami’ as-Shahih al-Mukhatashar,
(Beirut: Dar al-fiqr, 1987), juz ke- 5, hlm. 2179, no. 5442.
84 Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mariy an-Nawawi, Shahil Muslim bi syarh an-Nawawi, (Beirut: Dar ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H), Juz 17. Hal 7
70
Menurut pihak dari MUI bahwa Fatwa tentang larangan euthanasia
sudah dikeluarkan dan sudah diberlakukan secara efektif sejak tahun 90-an
Fatwa ini sudah berlaku sebelum adanya pengajuan permohonan tindakan
euthanasia kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh Panca Satria Hasan
Kesuma kepada isterinya Ny. Agian Isna Nauli yang sedang dalam keadaan
koma atau tidak sadarkan diri di tahun 2004. Bentuk dari Fatwa tidak dapat
memberikan sanksi atas pihak yang melanggar Fatwa tersebut dikarenakan
Fatwa hanya bersifat sebuah penjelasan tentang sesuatu larangan ataupun
sebuah himbauan bagi umat muslim di seluruh Indonesia agar tidak
melanggar larangan tersebut berkaitan dengan dosa orang yang melakukan
tersebut terhadap Allah SWT. Adapun cara atau upaya yang dilakukan oleh
pihak MUI adalah dengan melakukan sosialisasi dan mengumumkan bahwa
euthanasia tersebut merupakan perbuatan yang bersifat mendahului takdir
yang ditentukan oleh Allah SWT karena pada dasarnya yang berhak
mematikan manusia adalah Allah SWT yang menciptakannya, namun bila hal
tersebut dilanggar maka akan mendapatkan dosa.85
2. MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA (WALUBI)
Penulis juga melakukan wawancara kepada pihak Walubi yaitu
perwakilan organisasi keagamaan yang mewakili umat Buddha mengenai
euthanasia yang diwakilkan oleh Romo Ruby S.Ag, MM.
85 Hasil Penelitian, Wawancara dengan Bapak K.H. Hamdan Rasyid selaku Ketua Majelis
Ulama Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Tanggal 10 mei 2010, Pukul 13.00 WIB
71
Euthanasia di dalam agama Buddha yang namanya melakukan
pembunuhan dengan apapun bentuknya, baik mengatasnamakan agama
itupun sangat tidak dibenarkan, karena dalam agama Buddha mengenal 5
Pancasila Buddies yang menjadi lambang Pancasila Negara Indonesia, ada
Pancasila Buddies yang harus dipegang teguh oleh umat Buddha serta harus
menghindari pembunuhan apapun bentuknya dan sekecil apapun perbuatan
tersebut, karena agama Buddha berpegangan teguh pada moralitas sila, yaitu:
1. Sila pertama, dilarang untuk membunuh
2. Sila kedua dilarang untuk mencuri
3. Sila ketiga dilarang untuk melakukan perbuatan asusila atau
berzinah, melakukan hubungan di luar dari suami atau isterinya
sendiri.
4. Dilarang berbicara yang tidak benar atau berbohong dan yang
terakhir adalah larangan untuk tidak memakan dan meminum
sesuatu yang mengakibatkan lemahnya kesadaran.
Pancasila Buddies inilah yang menjadi dasar yang dipegang teguh
oleh umat Buddha, jadi bilamana ada pertanyaan tentang dapatkah euthanasia
dibenarkan menurut agama Buddha? Menurut ajaran agama Buddha apapun
alasannya walaupun dengan mengatasnamakan agama Buddha, agama
Buddha tidak membenarkan hal tersebut. Contohnya Apabila seseorang
mempunyai penyakit kronis, menurut pandangan agama Buddha seseorang
yang mengalami sakit tersebut baik anak, suami-isterinya, atau keluarganya
diberikan kesempatan untuk melakukan suatu kebaikan kepada leluhur,
72
dimana leluhur tersebut mempunyai jasa yang luar biasa atas hidup di masa
lalu, karena dalam agama Buddha dikenal dengan istilah Karma, baik itu
Karma baik maupun Karma buruk. Dimana apabila seseorang melakukan
kebajikan kepada orang lain maka di kehidupan yang akan datang atau lebih
dikenal dengan istilah Reinkarnasi, orang tersebut akan mendapatkan
kebaikan yang setimpal atas kebaikan yang telah dia lakukan di kehidupan
yang lalu. Begitupun sebaliknya apabila seseorang yang melakukan Karma
buruk akan mendapatkan balasan atas kejahatan yang telah dilakukannya.
Dalam agama Buddha hukuman atau sanksi yang akan didapatkan oleh orang
yang telah melakukan tindakan euthanasia ataupun yang menganjurkan
tindakan tersebut, menyuruh, berarti sudah melakukan Karma buruk karena
tindakan tersebut telah membuat sebuah penderitaan bagi orang lain.86
3. MENURUT PANDANGAN AGAMA KRISTEN (PGI)
Menurut Agama Kristen Penulis melakukan wawancara kepada pihak
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang mewakili umat Kristen di
Indonesia yang diwakili oleh Bapak Novel Matindas, M.TH mengenai
masalah Euthanasia.87 Menurut bapak Novel Matindas pandangan Agama
Kristen mengenai masalah euthanasia tidak bisa dikatakan dari sudut pandang
Protestan ataupun Katolik karena sifatnya beragam pandangan, bahkan
86 Hasil Penelitian Wawancara dengan Romo Rubby S.Ag, MM Pihak dari WALUBI, Daerah
khusus Ibukota Jakarta, Tanggal 19 mei 2010, Pukul 15.00 WIB 87 Hasil Penelitian Wawancara dengan Novel Matindas, M.TH Pihak dari PGI (persatuan
Gereja-greja di Indonesia daerah khusus Ibukota Jakarta, Tanggal 1 Juni 2010, Pukul 14.30 WIB.
73
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sendiri pun belum dapat menentukan
pandangannya secara khusus melarang tindakan euthanasia. Mengenai
pengaturan masalah euthanasia pada ajaran agama Kristen, tergantung
bagaimana penerapan ajaran-ajaran masing-masing Gereja. Di dalam
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia sendri terdapat 88 Synode Gereja yang
ajarannya tidak sama. Tetapi baik di Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
sendiri sudah pasti tidak sama dengan 88 ajaran Synode yang ada, PGI lebih
memilih jalan Moderat artinya tidak menolak 100% dan tidak juga
menyetujui 100% karena euthanasia ini bersifat etika. Sebenarnya kehidupan
ini diyakini dari Tuhan asalnya dan ada orang yang beranggapan ketika
seorang Dokter atau keluarga melakukan euthanasia berarti kita telah
dianggap membunuh orang itu, tetapi orang yang memang sistem
kehidupannya sudah tidak berfungsi lagi dengan baik dan harus ditopang
dengan alat-alat kedokteran yang bisa membuat orang tersebut dalam keadaan
bernafas walaupun tingkat kesadarannya tidak ada, namun ketika alat bantu di
cabut maka orang tersebut akan meninggal, jadi pada intinya bagaimana
seseorang berhadapan dengan teknologi canggih. Dalam hal ini yang dilarang
dalam ajaran-ajaran Agama Kristen yang diyakini oleh Persekutuan Gereja-
gereja di Indonesia adalah tindakan membunuh sesama manusia artinya
mengambil alih apa yang menjadi wewenang Tuhan atau Sang Pencipta yang
menciptakan manusia, Tuhan yang memberikan kehidupan dan Tuhan pula
yang berhak mencabut hak-hak kehidupan yang telah diberika kepada
74
manusia. Bahkan bukan dari orang itu sendiri memohon untuk dimatikan
ataupun melakukan tindakan bunuh diri.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sendiri tidak mempunyai
aturan secara khusus mengenai masalah euthanasia secara tertulis maupun
secara tidak tertulis, tetapi di dalam ajaran-ajaran Agama kristen hanya ada
disebut dengan Dokumen Keesaan Gereja yang gunanya merupakan panduan
yang dikeluarkan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dan harus
dijalani oleh Gereja-gereja yang bernaung di bawah PGI dan diterapkan
kepada umat Nasrani. Dan di dalam dokumen keesaan Gereja, secara khusus
tidak diatur mengenai masalah euthanasia tetapi mengenai panduan
kehidupan serta bagaimana kita menyikapi kehidupan manusia. Maka
kesimpulanya, menurut Bapak Novel Matindas mengenai pengaturan tentang
masalah euthanasia di dalam Dokumen Keesaan Gereja adalah tidak ada.88
Untuk masalah sanksi yang diberikan kepada umat Kristen, Dahulu ada
aturan yang bernama sanksi Gereja dan diberlakukan kepada jemaat yang
melanggar aturan Gereja tetapi hal tersebut tidak berlaku lagi dan tidak lagi
dikeluarkan oleh PGI karena pada dasarnya PGI tidak bisa menghukum
seseorang seperti adanya sistem yang dimiliki oleh pengadilan. Jadi sanksi
tersebut hanya diberikan oleh masing-masing Gereja saja. Maka oleh sebab
itu, sampai saat ini belum ada sanksi yang diberikan kepada umat Kristen
mengenai masalah euthanasia. Euthanasia ini bisa terjadi kapan saja dan
dimana saja tetapi itupun di luar dari pantauan pihak PGI, tetapi pihak PGI
88 Ibid, Hasil Penelitian Wawancara dengan Novel Matindas, M.TH Pihak dari PGI
75
sendiri mengatakan bahwa Gereja-gereja yang bernaung di bawahnya saat ini
tidak pernah sama sekali ada umatnya melakukan tindakan euthanasia.
Adapun upaya yang dilakukan pihak PGI mengenai permasalahan
euthanasia adalah dengan melakukan diskusi-diskusi terbuka yang dilakukan
oleh pihak kedokteran ataupun secara lintas agama mengenai permasalahan
euthanasia sudah sangat sering dilakukan, bahkan di sekolah-sekolah Teologi
yang banyak mencetak para Pendeta sudah sangat Intens dilakukan di setiap
Semesternya secara khusus membahas mengenai masalah euthanasia.
Mengenai perbedaan pandangan antara Protestan dan Katolik soal
euthanasia Menurut Bapak Novel Matidas ada perbedaan pandangan tentang
euthanasia dari Protestan dan Katolik dan juga ada persamaan mengenai sudut
pandang euthanasia. kesimpulanya adalah sudah pasti kedua-duanya menghargai
sebuah kehiduapan yang diberikan oleh Tuhan yang memiliki kuasa untuk mencabut
nyawa seoarang manusia.
4. MENURUT PANDANGAN AGAMA HINDU (PHDI)
Sedangkan menurut ajaran agama Hindu penulis malakukan
wawancara kepada pihak Parisada Hindu Dharma Indonesia, selanjutnya
disebut Parisada, didirikan di Denpasar, pada hari Coma Wage Julungwagi,
purnama Palguna Masa, Saka Warsa seribu delapan ratus delapan puluh, dan
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Hindu dengan keyakinan,
komitmen dan kesetian yang tinggi terhadap ajaran agama Hindu menuju
kesejahteraan lahir dan batin. Dan sebagai narasumber diwakili oleh Bapak
DR. Nyoman Budiarna, MH dan Bapak I Gusti Komang Widana
76
S.Ag.M.Fil.H.89 Menurut Pustaka Canakaya Nitisastra menyatakan bahwa :
umur, (Ayuh), pekerjaan (Karma), kekayaan (Vittam), ilmu pengetahuan
(Vidya) dan kematian (Nadhanam). Kelima hal itu sudah ditentukan saat
manusia masih dalam kandungan. Tentunya Tuhan tidak sewenang-wenang
menentukan lima nasib manusia tersebut. Tuhan menentukan lima nasib
manusia itu berdasarkan karma-karmanya pada kelahiran sebelumnya,
menurut ajaran Hindu Tuhanlah yang sebenarnya menentukan kapan manusia
hidupnya berakhir di dunia ini. Oleh karena itu melakukan tindakan
Euthanasia atau mengakhiri hidup seseorang dengan tindakan medis tentunya
tidak dibenarkan menurut ajaran Agama Hindu. Dalam pustaka Bhuwana
Kosha dinyatakan bahwa Tuhan sebagai perwujudan Utpati, Sthiti dan
Pralina. Ini artinya kapan kita lahir, hidup dan mati Tuhan yang menentukan.
Tuhan menentukan ketiga hal itu berdasarkan karma-karma yang telah
dilakukan pada kelahiran-kelahiran sebelumnya. Sedangkan menurut Bapak
DR. Nyoman Budiarna dan Bapak I Gusti Komang Widana Dokter dalam
ajaran Hindu disebut Vaidya Fungsinya adalah untuk memelihara kesehatan
agar panjang umur dan mengobati orang sakit agar jangan sampai hidup
menderita. Tentunya tidak dibenarkan seorang Vaidya melakukan tindakan
mengakhiri hidup seseorang.90 Menurut pandangan ajaran Hindu mengenai
sanksi yang di berikan bila ada umat Hindu yang melakukan tindakan
89 Hasil Penelitian Wawancara dengan Pihak Parisada Hindu Dharna Indonesia oleh Bapak DR.
Nyoman Budiarna, MH dan Bapak I Gusti Komang Widana S.Ag.M.Fil.H. Tanggal 19 Juli 2010, Pukul 09.00 WIB
90 Ibid Hasil Penelitian Wawancara dengan DR. Nyoman Budiarna dan I Gusti Komang
Widana S.Ag.M.Fil.H
77
euthanasia, maka narasumber berpendapat Norma hidup itu ada empat, yaitu
Norma Agama, Norma Kesusilaan, Norma Kesopanan dan Norma Hukum.
Norma Agama sumbernya dari Sabda Tuhan.
Sedangkan Sanksi bagi umat Hindu yang melakukan tindakan tersebut
adalah tergantung pada kualitas keyakinan seseorang pada Tuhan. Norma
kesusilaan bersumber dari hati nurani. Sanksinya tergantung pada kuatnya
suara hati nurani seseorang, norma kesopanan sosial seseorang, dan norma
Hukum yang dibuat oleh orang yang berkompeten untuk itu, sanksinya tegas
dan nyata sesuai dengan yang ditetapkan oleh norma hukum tersebut.
Selain itu membunuh orang tak berdosa itu sesuatu perbuatan yang besar
dosanya dan Neraka sebagi sanksinya menurut ajran agama Hindu.91 Menurut
Parisada Hindu Dharma Indonesia, euthanasia itu adalah tergolong
perbuatan pembunuhan tentunya sudah ada banyak sekali berbagai ketentuan
dalam ajaran Hindu yang melarangnya, karena suatu perbuatan yang
mengakibatkan dosa besar.92
91 Ibid Hasil Penelitian Wawancara dengan DR. Nyoman Budiarna dan I Gusti Komang
Widana S.Ag.M.Fil.H. 92 Ibid
78
B. EUTHANASIA BERDASARKAN DARI PERSPEKTIF HUKUM
PIDANA DI INDONESIA SERTA MENURUT UNDANG-UNDANG
KESEHATAN No 36 TAHUN 2009
Di Indonesia dilihat dari aspek hukum pidana, maka euthanasia dalam
bentuk apapun adalah dilarang. Euthanasia aktif atas permintaan dilarang
menurut pasal 344, yang berbunyi :
”Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” Dengan demikian, apabila ada terjadi seorang dokter atau tenaga
kesehatan lainnya yang ingin membantu dalam hal euthanasia atas
permintaan atau desakan berdasarkan rasa kemanusiaan atau perasaan
kasihan yang mendalam ataupun berdasarkan prinsip-prinsip etika kedokteran
tertentu yang sedang berkembang akan menghadapi situasi yang sangat sulit,
karena kemungkinan dokter yang telah membantu melaksanakan euthanasia
atas permintaan tersebut dapat dikenai pasal sebagaimana telah dijelaskan di
atas.93
Walaupun euthanasia itu merupakan perbuatan yang terlarang dan
dapat diancam pidana seperti diatur dalam pasal 344 KUHP, namun adalah
suatu realita bahwasanya sejak terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum
Pidana sampai sekarang belum ada kasus yang nyata di Indonesia, yang
menguji sikap kita yang berhubungan dengan euthanasia yang diatur dalam
pasal 344 KUHP tersebut. Kendati begitu adalah pasti bahwasanya dengan
93 Imrin Halimy, Op.Cit
79
mencantumkannya pasal 344 KUHP tersebut, pengundang-undang tentunya
mesti dan telah menduga-duga sebelumnya, bahwa euthanasia akan pernah
terjadi di Indonesia dan kemungkinan akan terjadinya pula untuk masa yang
akan datang.94
Dalam hubungan itu, memang ada beberapa sebab yang dapat
menghambat suatu kasus itu, yang berhubungan dengan pasal tersebut (
mengenai euthanasia) tidak dapat sampai ke pengadilan, antara lain, yaitu :95
1. Apabila memang betul-betul bahwa euthanasia ini terjadi di
Indonesia, akan tetapi tidak pernah dilaporkan kepada Polisi
sehingga sulit untuk mengadakan pengusutan lebih lanjut.
2. Mungkin juga karena keluarga si korban tidak tahu bahwa telah
terjadi kematian yang disebut sebagai euthanasia, ataupun
memang masyarakat Indonesia ini kebanyakan masih awam
terhadap hukum, apalagi yang menyangkut masalah euthanasia
yang jarang terjadi dan bahkan tidak pernah terjadi itu.
3. Alat-alat kedokteran di kebanyakan Rumah Sakit seperti di
Negara-negara maju, misalnya adanya Respirator, sistem organ
tranplantasi dan sebagainya yang dapat mencegah kematian
seseorang pasien secara teknis untuk beberapa hari, minggu atau
beberapa bulan.
Seperti yang diketahui bahwa pasal 344 KUHP yang dikenal sebagi
pasal Euthanasia, dan dari bunyi pasal tersebut dapatlah diambil suatu unsur
94 Ibid, , 95 Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm. 134
80
yang penting, yang justru dapat menentukan apakah seseorang itu dapat
dipidana berdasarkan pasal 344 KUHP atau tidak. Unsur tersebut adalah atas
permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati. Agar unsur ini
tidak disalahgunakan, maka unsur tersebut yaitu “atas permintaan yang tegas,
sungguh-sungguh atau nyata dan harus dapat dibuktikan. Tidaklah cukup
apabila hanya terdapat persetujuan belaka antara kedua belah pihak.
Dengan sulitnya untuk menerapkan pasal 344 KUHP ini, rupa-rupa
dari perundang-undangan mengenai nasib pasal tersebut, terlepas dari berat
atau ringannya sanksi yang diancamkan, masih tetap untuk dipertahankan
terus. Alasan yang dipakai adalah bahwa pasal 344 KUHP ini masih
mencerminkan hak-hak asasi manusia untuk hidup terus.96 di samping itu
pasal tersebut mengandung makna bahwa nyawa manusia harus tetap
dilindungi, tidak saja dari ancaman orang lain, tetapi juga dari usaha
orangnya sendiri untuk mengakhiri hidupnya. Walaupun demikian, agar pasal
344 KUHP dapat diterapkan dalam praktek, maka sebaiknya dalam rangka
“ Ius Constituendum” Hukum pidana, maka rumusan pasal 344 KUHP yang
ada sekarang ini perlu untuk dirumuskan kembali, sehingga pasal 344 KUHP
ini terasa lebih hidup dan dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam
pembuktiannya.
Perumusan kembali disini dimaksudkan untuk bisa memperhatikan
serta memperhitungkan pula perkembangan dan kemajuan-kemajuan ilmu
pengetahuan. Dengan pengertian lain, bahwa dengan memperhatikan dan
96 Djoko Prakoso, Euthanasia dan hak asasi manusia dan hukum pidana, Cetakan Pertama, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 106
81
memperhitungkan kemajuan ilmu pengetahuan, maka perumusan pasal 344
KUHP nantinya akan membuat pasal tersebut terasa lebih hidup dan
memudahkan dalam hal pembuktiannya, namun seyogianya pula jangan
bersifat kaku dan statis tetapi hendaknya lebih bersifat fleksibel dan dinamis,
berkembang mengikuti perkembangan dan kemajuan-kemajuan yang telah di
capai oleh manusia.
Kaitannya dengan perumusan kembali atau perubahan suatu Undang-
undang tertentu (dalam hal ini KUHP), maka ada 3 faktor yang harus di
perhatikan oleh pembuat Undang-undang, ialah:97
1. Pertama-tama,pembuat Undang-undang harus mempertimbangkan
semua argumentasi yang pro dan kontra;
2. Kedua, pembuat Undang-undang harus menanyakan pada diri
sendiri apakah mungkin untuk membuat suatu peratuan undang-
undang yang jelas dan yang memberikan kepastian hukum dan
yang tidak menimbulkan kesulitan interpretasi;
3. Ketiga, pembuat Undang-undang harus dapat memperhitungkan
pula akibat-akibat dari perubahan atau pembaharuan Undang-
undang tersebut.
Dalam hubungannya dengan guru besar Hukum Kesehatan (satu dari
lima guru besar hukum kesehatan dewasa ini di Netherland) pada Universitas
Erasmus Rotterdam yaitu Mr. W. J. Van Der Mijn mengemukakan beberapa
argumentasi yang pro dan yang kontra perbaikan atau pembaharuan Undang-
97 Fred Ameln,Simposium Euthanasia, (Jakarta : 1984), hlm, 20
82
undang berkaitan dengan euthanasia. Sebagaimana argumentasi yang pro,
Van Der Mijn mengemukakan sebagai berikut :
a. Pembuat Undang-undang mempunyai kewajiban untuk mengakui
(erkennen, recognize) hak untuk ”self determination” dari pasien.
b. Seluruh kekuasaan untuk menentukan dan seluruh tanggung
jawab dalam hal euthanasia dewasa ini adalah atas pundak dokter
dan hal ini tidak pada tempatnya. Pasien seluruhnya tergantung
pada pendapat medis dan etis dari dokter (gheel overgelater aan
het medis en etisoordell van de arts).
c. Teks dari pasal 344 KUHP memberikan suatu tekanan jiwa
(gewetensdwang) pada dokter.
d. Para dokter pada kasus-kasus euthanasia ragu-ragu dan tidak
mengetahui apa yang harus dilakukan ; walaupun sudah banyak
dapat diketahui dari yurisprudensi. Akan tetapi, yurisprudensi
tersebut masih sumir.
Sebagai argumentasi yang kontra perbaikan atau pembaharuan, Van
Der Mijn menyebutkan:
a. Pembuat undang-undang berkewajiban untuk melindungi
hidup manusia dan tidak boleh mengizinkan bahwa orang
menentukan tentang hidupnya sendiri;
b. Pembentukan opini atau pendapat dalam masyarakat tentang
euthanasia belum terkristalisasi, dan keadaan tersebut tidak
tepat untuk memperbaharui Undang-undang;
83
c. Pengakuan yuridis dari euthanasia bisa mengakibatkan
kepercayaan pasien terhadap dokter akan berkurang;
d. Undang-undang yang telah diperbaiki atau telah diperbaharui
bisa disalahgunakan oleh orang-orang yang ingin
menyalahgunakan;
e. Perubahan atau pembaharuan Undang-undang tidak perlu
karena yurisprudensi sebagai sumber hukum sudah banyak
mengatur tentang euthanasia.
Bahwa andai kata pasal 344 KUHP ini ditambah dengan peraturan
yang diusulkannya itu, maka akibat yang penting ialah terjadinya pengakuan
terhadap ”hak mati” untuk menentukan nasib sendiri khususnya yang
berhubungan dengan matinya.
Dalam konteksnya di Indonesia, pasal 344 KUHP tersebut cukup
diadakan perubahan atau peninjauan kembali dalam hal unsur. Menurut
penulis ”ius constituendum” dalam arti yang memperhatikan serta
memperhitungkan aspek kemajuan yang dicapai manusia dewasa ini,
sehingga diharapkan suatu peraturan perundang-undangan ( dalam hal ini
pasal tentang euthanasia) itu bisa lebih bersifat hidup, praktis dan dinamis,
dengan kata lain belum cukup bilamana yang dirubah atau ditinjau kembali
hanya unsur pasalnya saja.
Eksistensi euthanasia merupakan konsekuensi logis dari keberadaan
keadaan kemajuan yang demikian pesatnya dalam dunia kedokteran, seperti
yang sekarang sedang dialami oleh negara-negara maju. Bukanlah hal yang
84
mustahil bila keadaan demikian itu akan dialami pula oleh Indonesia
(khususnya dalam dunia medis) di masa-masa mendatang, yakni dengan telah
dipakainya peralatan-peralatan atau mesin-mesin kedokteran yang serba
modern selama ini sudah dipergunakan oleh negar-negara maju.
Secara hukum euthanasia terdapat dalam beberapa pasal Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan tersirat dalam beberapa pasal
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), tetapi dalam UU No
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan euthanasia tidak disinggung. Dalam
kajian-kajian hukum kedokteran, ternyata ada beberapa keadaan yang mirip
dengan keadaan euthanasia akan tetapi sebenarnya bukan euthanasia, artinya
tidak termasuk dalam rumusan yang dimaksud oleh pasal 344 KUHP.
Sejauh ini aturan-aturan hukum yang ada di Indonesia masih berkaitan
dengan euthanasia begitu pula dengan transplantasi dalam keadaan biasa,
sedangkan pada keadaan khusus (seperti donor terpidana mati) belum lagi
dirumuskan. Disamping itu, aturan-aturan hukum sangat menitikberatkan
pada donor dan resipien, tidak atau sedikit sekali berkaitan dengan
kedokteran yang melakukan transplantasi. Dengan kata lain, sebenarnya
tanggung jawab hukum dokter dalam transplantasi yang biasa adalah minimal
dan itu berarti resiko hukumnya justru paling kecil.
Dalam hal ini euthanasia dari sudut hukum di Indonesia dipandang
dari segi hukum pidana, dalam KUHP mengatur adanya euthanasia ini
melalui beberapa pasalnya (Pada khususnya pasal 344 yang sering disebut-
85
sebut sebagai pasal euthanasia), walaupun pasal-pasal tersebut tidak
mempunyai istilah euthanasia di dalam bunyi setiap pasalnya itu.
Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia, antara lain
pada pasal 304, pasal 338, pasal 340, pasal 345, dan pasal 359. Dari
KUHPerdata secara umum berkaitan dengan hubungan hukum antara dokter
dengan pasien ataupun dengan keluarga pasien, dalam hal untuk melakukan
suatu perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas para pihak dalam
hal ini asas kebebasan berkontrak antara para pihak yang dimana di sini
adalah dokter dengan pasien, hal-hal apa saja yang akan disepakati oleh
kedua belah pihak.
Posisi serba salah seorang dokter apabila melakukan suatu tindakan
atas seorang pasien yang kemudian menyebabkan meninggalnya si pasien,
maka dokter tersebut akan dikenakan sanksi pidana yaitu pasal 304 KUHP
yang berbunyi :98
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau persetujuannya, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara…”.
Sebaliknya, apabila seorang dokter menuruti permintaan dari seorang
pasien untuk mati (euthanasia aktif), dapat dikenai pasal-pasal KUHP,
khususnya pasal 344.
Selain itu adanya pandangan menurut Undang-undang kesehatan No
36 tahun 2009 pada pasal 52 dialamnya di atur tentang adanya hak pasien
98 Moeljatno, Op.Cit
86
untuk menentukan suatu tindakan medis dapat dialakuan kepada pasien
tersebut atau tidak. Namun hal tersebut berlaku pada pasien yang memiliki
penyakit yang dapat secara cepat menular kedalam masyarakat yang lebih
luas, serta seseorang yang sudah tidak sadarkan diri lagi. Bila hal tersebut
diakitkan pada hukum pidana maka hal tersebut lebih tepatnya adalah dalam
keadaan darurat.
Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena
kuasa tidak berlawanan (force majeure). Dalam dunia kedokteran dapat
terjadi keadaan yang sebenarnya telah diatur dengan pasal 48 KUHP. Selain
itu pengaturan dalam segi hukum yaitu pengaturan berdasarkan fatwa dari
MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam hal fatwanya tidak memperbolehkan
euthanasia karena tidak diperbolehkan agama. Hal senada juga ditegaskan
oleh PGI, hanya dengan catatan bila secara medis sudah tidak ada harapan
sembuh dan kondisi pasien justru semakin menderita. Membunuh tidak
dibenarkan dalam agama manapun namun keputusan euthanasia atas
seseorang hanya bisa dilakukan jika diambil dalam persidangan yang
mendengarkan keterangan ahli hukum, etika kedokteran, dan agama pasien. 99
Menurut Pertus Yoyo Karyadi dalam bukunya: Sampai saat ini di
Indonesia belum terdengar terjadinya kasus euthanasia yang muncul sampai
ke meja pengadilan. Belum pernah terjadi pengadilan di Indonesia mengadili
seseorang yang diduga telah melakukan euthanasia.100
99 Ibid 100 Petrus Yoyo Karyadi, Op.Cit
87
Namun dalam hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah
memang benar di Indonesia belum pernah terjadi kasus euthanasia (aktif)?
Ataukah kebetulan para pihak yang mengetahui hal tersebut sungkan untuk
melaporkannya? Akan tetapi, banyak orang mengatakan bahwa euthanasia
pasif cukup banyak dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia.
Sedangkan menurut Kartono Mohamad (Kompas, 6 Mei 1989: IV),
euthanasia aktif pernah dilakukan di Indonesia, yaitu ketika dokter harus
memilih menyelamatkan seorang ibu atau bayinya yang akan lahir. Kasus itu
terjadi setelah diketahui bahwa proses kelahiran bayi akan membahayakan
nyawa si ibu. Cara yang dipilih biasanya adalah menyelamatkan si ibu
dengan mematikan bayinya.101
Namun menurut pendapat Petrus Yoyo karyadi pendapat Kartono
Mohamad di atas adalah kurang tepat. Hal tersebut disebabkan sekalipun bayi
(janin) itu sudah cukup umur untuk dilahirkan tetapi selama masih di dalam
kandungan ibunya (belum dilahirkan) kemudian dimatikan demi
menyelamatkan nyawa ibunya, pengakhiran hidup bayi tersebut tetap harus
digolongkan dalam pengertian “Abortus” dan bukan termasuk masalah
euthanasia. Jadi, jangan sampai dirancukan antara batasan euthanasia dengan
batasan abortus, walaupun keduanya sama-sama menghilangkan nyawa
“manusia” Dengan demikian, memang euthanasia aktif belum pernah
terdengar di Indonesia ini.102
101 Ibid, 102 Ibid,
88
Tindak pidana pembunuhan atas permintaan dari korban sendiri itu
telah diatur dalam pasal 344 KUHP yang rumusannya di dalam bahasa
Belanda berbunyi sebagi berikut:103
“Hij dei een ander op diens uitdrukkelijk en ernsting verlangen van het leven berooft, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten hoogsta twaalf jaren”.
Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa ketentuan pidana yang
diatur dalam rumusan pasal 344 KUHP itu sama sekali tidak mempunyai
unsur subjektif melainkan hanya mempunyai unsur-unsur objektif masing-
masing yakni:
1. Beroven atau menghilangkan
2. Leven atau nyawa
3. een ander atau orang lain
4. op verlangen atau atas permintaan
5. uitdrukkelijk en ernsting atau secara tegas dan sungguh-sungguh.
Karena dalam rumusan pasal 344 KUHP di atas tidak terdapat unsur
opzet, timbul pertanyaan apakah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain
atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu tidak perlu
harus dilakukan dengan sengaja?
Walaupun unsur opzet itu telah tidak disiratkan secara tegas di dalam
rumusan pasal 344 KUHP, akan tetapi unsur tersebut dianggap sebagai salah
satu jenis pembunuhan seperti yang diatur di dalamnya.
103 Drs. P.A.F. Lamitang,S.H. Delik-delik khusus kejahatan terhadap nyawa, Tubuh dan
kesehatan serta kejahatan yang membahayakan bagi nyawa, Tubuh dan kesehatan (Bandung : 1986, Penerbit binacipta ), hlm. 64.
89
Unsur ‘adanya permintaan yang sifatnya tegas dan sungguh-sungguh
dari korban’ itu merupakan ‘dasar yang meringankan pidana’ bagi tindak
pidana pembunuhan seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP.
Bagaimana kini jika permintaan yang sifatnya tegas dan sungguh-
sungguh itu telah disampaikan kepada pelaku oleh seorang anak kecil atau
oleh seorang yang mempunyai penyakit jiwa. Apakah orang masih dapat
mengatakan bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana pembunuhan
seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP ?
Professor van Hattum berpendapat, dalam hal semacam itu pelaku
dapat dipersalahkan telah melakukan suatu pembunuhan dengan
direncanakan lebih dahulu atau moord, jika ia kemudian ternyata benar-benar
telah memenuhi permintaan yang dikemukakan oleh seorang anak kecil atau
seorang yang mempunyai penyakit jiwa.
Karena unndang-undang tidak memberikan penjelasan tentang
bagaimana kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain seperti yang
dimaksud dalam pasal 344 KUHP itu, harus dilakukan oleh pelakunya. Maka
timbullah beberapa pendapat di dalam doktrin. Profesor Simons berpendapat
bahwa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang
tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu ‘dapat terjadi tanpa pelaku harus
melakukan sesuatu tindakan’, atau dengan kata lain ‘dengan sikap pasif’ itu
seseorang dapat dipandang telah menghilangkan nyawa orang lain seperti
yang dimaksud dalam pasal 344 KUHP. Sedangkan menurut Profesor Noyon,
sesuai dengan rumusan dari ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 344
90
KUHP itu sendiri, kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu harus
dilakukan oleh pelaku ‘dengan sesuatu perbuatan yang sifatnya aktif’ atau
dengan kata lain ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 344 KUHP itu
hanya dapat diberlakukan bagi orang yang melakukannya, jika orang tersebut
secara aktif telah melakukan sesuatu perbuatan yang menyebabkan
meninggalnya orang lain atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh
dari orang lain itu sendiri.
Menurut penulis, pendapat-pendapat Profesor Simons di atas itu
masih memerlukan penjelasan lebih lanjut yakni tentang siapa yang dapat di
persalahkan karena telah menghilangkan nyawa orang lain seperti yang
dimaksud dalam pasal 344 KUHP, dalam hal ini, berarti orang tersebut ‘tidak
melakukan sesuatu’ untuk menyelamatkan nyawa korban.
Karena ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 344 KUHP itu
berlaku bagi setiap orang, maka pendapat Professor Simons itu dapat
mendatangkan bahaya bagi setiap orang. Pada setiap saat dapat dipersalahkan
karena tidak melakukan sesuatu untuk menyelematkan nyawa korban yang
secara tegas sungguh-sungguh telah meminta kepada mereka untuk tidak
menyelamatkan nyawanya.
Sebagai contoh adalah misalnya mereka yang bermaksud menolong
seorang korban kecelakaan yang menderita luka berat, dimana orang tersebut
tidak melakukan suatu tindakan, misalnya membawa korban ke rumah sakit
atau ke dokter terdekat, semata-mata karena korban telah minta secara tegas
dan sungguh-sungguh kepada mereka untuk membiarkan dirinya meninggal
91
dunia dari pada harus tetap hidup dalam keadaan cacat seumur hidup. Karena
pada waktu terjadi kecelakaan seperti itu biasanya orang berduyun-duyun
datang ke tempat kecelakaan, baik dengan maksud untuk memberikan
pertolongan maupun dengan tujuan untuk mengetahui apa yang telah terjadi,
maka setiap orang yang telah datang di tempat kejadian dengan maksud untuk
memberikan pertolongan, yang kemudian ternyata telah membiarkan korban
meninggal dunia, karena mereka itu telah diminta dengan tegas dan sungguh-
sungguh oleh korban untuk bersikap demikian, pastilah harus dipersalahkan
telah melakukan tindak pidana pembunuhan seperti dalam pasal 344 KUHP
Sepengetahuan Penulis, di dalam yurisprudensi belum pernah
Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengeluarkan pendapatnya mengenai
kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang tegas dan
sungguh-sungguh dari korban seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP,
akan tetapi Hoge Raad pernah mengeluarkan pendapat tentang masalah
tersebut, yang pada dasarnya telah mengatakan bahwa masalah kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain karena adanya ‘rasa kasihan’ pada korban,
yang timbul karena adanya permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari
korban itu, dari waktu ke waktu ada hubungannya dengan pandangan orang
apakah ‘euthanasia’ atau ‘euthanasie’ itu dapat dibenarkan atau tidak.
Menurut professor van Hattum, yang dimaksud dengan euthanasia itu
ialah:
“ Het versnellen van het stervenprocer bij lijders aan ongeneeslijke ziekten door toepassing of nalating van medische behandeling, met het doel hen en hul verwanten een pijnlijke of aesthetisch aanstotelijke dood te besparen”.
92
Yang artinya: “Sikap mempercepat proses kematian pada penderita-penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan melakukan atau dengan tidak melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud untuk membantu korban menghindarkan diri dari penderitaan dalam menghadapi kematiannya dan untuk membantu keluarganya menghindarkan diri melihat penderitaan korban dalam menghadapi kematiannya”.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai
‘euthanasia’, yakni apakah Euthanasia tersebut dapat dibenarkan atau tidak.
Di satu pihak terdapat orang-orang yang dapat membenarkan
euthanasia dengan alasan bahwa apabila suatu penderitaan itu tidak ada
gunanya sama sekali (zinloos) dan usaha mempertahankan nyawa korban itu
sudah tidak dapat diharapkan lagi dapat menyelamatkan nyawa korban, maka
‘fungsi meniadakan rasa sakit’ menurut ilmu kedokteranlah yang harus
diutamakan. Maka berpendapat bahwa pemberian obat yang meniadakan rasa
sakit (pijnstillend middle) dalam dosis yang terbatas dengan pemberian obat
yang sama dalam dosis yang mematikan itu tidak terdapat perbedaan yang
sifatnya prinsipal. Alasan lain yang mereka kemukakan adalah sesuai dengan
pengalaman mereka, bahwa suatu diagnosa itu tidak pernah dapat membantu
untuk menentukan secara pasti apakah suatu penderitaan itu ada gunanya atau
tidak.
Di antara para penganut yang dapat membenarkan euthanasia terdapat
seorang penulis terkenal bernama Thomas More yang di dalam kitabnya yang
terkenal pula yakni Utopia telah membela kebenaran pendapat dari mereka
yang dapat membenarkan euthanasia.
93
Di lain pihak terdapat juga orang-orang yang tidak dapat
membenarkan euthanasia dengan alasan yang berbeda-beda. Di antara orang-
orang yang tidak dapat membenarkan euthanasia, bahkan secara tegas telah
melarang euthanasia terhadap seorang pemikir yang terkenal yakni
Hippocrates. Pemikiran dari Hippocrates itu kemudian menjadi terkenal
hingga saat ini di kalangan ahli medis dengan apa yang mereka sebut sebagai
‘sumpah Hipokrates’ atau yang dalam bahasa Belanda juga di sebut sebagai
‘de eed van Hippocrates’, yang melarang para ahli medis melakukan
euthanasia.
Permasalahan mengenai apakah euthanasia itu dapat dibenarkan atau
tidak, hingga kini masih menjadi pokok pembahasan secara ilmiah dan secara
filosofi dalam tulisan-tulisan para ahli di bidang ilmu pengetahuan yang
berbeda-beda.
Pengadilan Utrecht dengan tegas telah menyalahkan orang yang
melakukan suatu dengan menjatuhkan pidana penjara bersyarat selama satu
tahun kepada seorang terdakwa yang dengan nyata telah melakukan suatu
euthanasia.
Menurut penulis, euthanasia itu adalah bertentangan dengan asas
ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu asas dari pandangan hidup
bangsa dan falsafah Negara pancasila, karena bangsa Indonesia itu
mempunyai kepercayaan yang tidak terbatas akan Keesaan Tuhannya,
dimana Tuhan Yang Maha Esa-lah yang maha menentukan tentang mati
hidupnya umat manusia. Walaupun secara ilmiah orang berpendapat bahwa
94
seseorang itu tidak mungkin atau mustahil dapat dimbuhkan dari sesuatu
penyakit yang ia derita, akan tetapi bangsa Indonesia percaya bahwa pada
akhirnya Tuhanlah yang maha menentukan apakah orang itu akan sembuh
kembali atau akan meninggal dunia. Kecuali atas asas kemanusiaan yang adil
dan beradab pun mewajibkan orang untuk berdasarkan kepercayaannya pada
Keesaan Tuhan tetap berikhtiar menolong orang lain mempertahankan
nyawanya dan bukan sebaliknya yakni berusaha mempercepat kematiannya
dengan mendahului kehendak Yang Maha Esa.
Akan tetapi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut
pendapat DR. Faiq Bahfen kesulitan dalam hal pro dan kontra terhadap
Euthanasia tidak dapat terjawabkan selama definisi dari mati di Indonesia
belum jelas, apabila definisi tentang mati telah dapat di ketahui maka pro dan
kontra akan hal tersebut akan terjawab.104 Perasaan tidak menyenangkan atau
perasaan tidak nyaman baik dari segi tindakan medis yang dilakukan para
dokter atau para medis lainnya ataupun tanggungjawab dari keluarga pasien
dalam menghadapi situasi yang terjadi terhadap si pasien tidak akan terjadi.
Namun menurut pendapat penulis, bagaimanapun juga keadaannya semua
orang harus kembali kepada dasar agama, karena pada dasarnya agama
adalah suatu dasar seseorang dalam bertindak karena tidak ada agama yang
menganjurkan umatnya untuk melakukan kejahatan dalam bentuk apapun.
Semua itu ditopang dengan pengaturan secara riil di kehidupan
bermasyarakat agar tidak adanya kesimpangsiuran atau ketidakjelasan atas
104 Hasil penelitian dan Wawancara dengan Bapak Dr. Faiq Bahfen, Op.Cit
95
suatu tindakan yang akan didefinisikan suatu kejahatan yang dapat membuat
seseorang dipidanakan.
96
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah mengetahui permasalahan yang ada dalam suatu tindakan
Euthanasia sebagai batasan masalah dari judul yang penulis kemukakan yaitu:
“ Euthanasia dalam perspektif agama dan hukum pidana di Indonesia”.
Bahwa tindakan euthanasia atau biasanya disebut dengan tindakan suntik
mati adalah agar pasien yang menderita sakit dapat mengakhiri hidupnya
yang sebagian orang berpendapat bahwa euthanasia adalah hak asasi dari
seseorang untuk memilih cara untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Hal
tersebut tidak seiring dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di
setiap Negara dalam hal ini di Indonesia, lain halnya dengan negara Belanda
yang telah mengesahkan Undang-undang tentang euthanasia dimana
seseorang diperbolehkan untuk memilih mengakhiri hidupnya sendiri.
Sedangkan di Indonesia tidak ada pengaturan perundang-undangan yang jelas
akan larangan adanya tindakan euthanasia di Indonesia, walaupun pada Kitab
Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia pada pasal 344 KUHP sering
disebut sebagai pasal larangan tentang euthanasia, namun pada dasarnya
pasal tersebut tidak sepenuhnya dapat mengatasi kesimpangsiuran tentang
masalah ini, baik pro dan kontra masalah tentang euthanasia di Indonesia
baik bagi pihak para medis maupun masyarakat atau pasien maupun keluarga
pasien.
97
Adanya pro dan kontra mengenai euthanasia di Indonesia pada
dasarnya yaitu belum adanya ketentuan tentang ukuran seseorang yang
dianggap telah mati, apabila mati dapat didefinisikan maka seorang dokter
sebagai seorang yang melakukan tindakan medis mempunyai dasar bahwa
apa yang telah dilakukannya adalah benar-benar untuk kebaikan hidup pasien
maupun keluarga tanpa harus adanya rasa tidak nyaman karena apa yang
telah dilakukannya akan berujung pada tanggung jawabnya terhadap nyawa
seseorang. Selain itu dari sudut pandangan beberapa ajaran Agama yang ada
di Indonesia menyatakan bahwa tindakan euthanasia tidaklah sesuai atau
dapat dibenarkan, karena tindakan tersebut dianggap bertentangan. Karena
nyawa ataupun kehidupan manusia bukanlah ditentukan oleh manusia, akan
tetapi oleh Tuhan.
B. SARAN
Berdasarkan permasalahan yang muncul dalam tindakan atau persepsi
tentang euthanasia di Negara Indonesia yang telah diuraikan di atas, maka
penulis mencoba mengemukakan saran-saran yang mungkin kiranya dapat
membantu mengatasi masalah-masalah yang muncul seperti tersebut di atas.
Jika diuraikan, beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
hambatan-hambatan tersebut, yaitu:
98
1. Pertama, Ditujukan kepada Pemerintah/Pejabat yang
berwenang, agar adanya kejelasan tentang pengaturan
euthanasia di Negara Indonesia, agar mendapatkan kejelasan
atas pro dan kontra di masyarakat dapat teratasi, dengan cara:
membuat Undang-undang yang menjelaskan tentang euthanasia
baik itu dilarang atau tidak dilarang dengan pengecualian-
pengecualiannya dengan berdasarkan dari aspek-aspek
pendukung lainnya seperti aspek agama, psikologis, dll, maupun
definisi dari mati itu sendiri. Dimana aturan tersebut sesuai
dengan keadaan masyarakat dan permasalahan yang ada di
masyarakat. Diharapkan peraturan tersebut dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan tersebut.
2. Kedua, bagi Departemen-departemen terkait upaya penyuluhan
dan pemberian edukasi mengenai permasalahan euthanasia dari
pihak yang berkompeten. Misalnya dari perwakilan Departemen
Kesehatan maupun Ikatan Dokter Indonesia.
3. Ketiga, bagi organisasi-organisasi keagamaan yang mewakili
dari masing-masing setiap agama yang ada di Indonesia.
Memberikan penyuluhan terhadap umatnya agar setiap yang
dilakukan oleh manusia adalah berdasarkan atas aturan agama,
dengan begitu manusia memiliki batasan untuk bertindak.
99
4. Keempat, bagi masyarakat pada umumnya, harus bisa saling
memahami hak masing-masing dari setiap individu, dimana
pendapat seseorang yang menganggap orang lain sudah tidak
dapat hidup kembali. Akan tetapi di samping itu orang tersebut
juga mempunyai hak untuk memilih mengakhiri hidupnya atau
mempertahankan hidupnya. Walaupun dalam posisi ada orang
yang memiliki ikatan keluarga dan meminta untuk dilakukannya
tindakan euthanasia, namun keputusan yang diambil pihak
keluarga tetap tidak boleh melanggar hak dari si pasien tersebut.
Serta harus jelasnya mengenai persetujuan tindakan kedokteran
di dalam masyarakat agar tidak terjadi salah paham antar dokter,
pasien dan keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mariy an-Nawawi, Shahil Muslim bi syarh an- Nawawi, (Beirut: Dar ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H). Chisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman ,(Jakarta : EGC, 2006). Djoko Prakoso, Euthanasia dan hak asasi manusia dan hukum pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984). Imron Halimy, Euthanasia cara mati terhormat yang modern .(Solo : Ramadhani , 1990). Lamitang, . Delik-delik khusus kejahatan terhadap nyawa, Tubuh dan kesehatan serta kejahatan yang membahayakan bagi nyawa, Tubuh dan kesehatan (Bandung : 1986, Penerbit Binacipta ). Muhammad bin ‘ismail’il Abu ‘ Abdullah Al-Bukhari, al-jami’ as-Shahih al-Mukhatashar, (Beirut: Dar al-fiqr, 1987), juz ke- 5, hlm. 2179, no. 5442. M. Jusuf hanafiah, dan Amri amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, , (Jakarta : Buku Kedokteran, EEC 1999). Petrus Yoyo Karyadi, Eutahanasia Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia (Bandung : 2001, Penerbit Cahaya ilmu). Peter marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana, 2008). Ratna Suprapti Samil, Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagian Obsteri dan Ginekologi, (Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1980). Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III ( Jakarta : UI-press, 1986). Valerine J.L. Krickhon, “ Penelitian Kepustakaan dan Lapangan dalam penulisan skripsi”, (Jakarta : Universitas Tarumanagara, 1996). Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung : Mandar Maju, 2001), Yadianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung, M2S : 1997).
PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia (b), Undang-undang Republik Indonesia tentang Kesehatan, UU No.36 Tahun 2009, LN No.100 Tahun 2009. Indonesia (c), Undang-undang Republik Indonesia tentang Kedokteran, UU No.29 Tahun 2004, LN No.116 Tahun 2004. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2005), INTERNET Aris Wibudi, Euthanasia, Tersedia di (http://tumoutou.net/702_04212/aris_wibudi.htm), 30 Mei 2002. Ietha. Sumber ; Aikon, Mobil Terbang Euthanasia, tersedia di http : // remmanet, tripod. Com / serba-serba. Htm). Nurudin Jauhari, Euthanasia, Segi Medis, Etis, Moral, dan Pastoral, Tersedia di (http://bagusarsj.blog.friendster.com/2007/11/eutanasiasegi-medis-etis-moral-dan- pastoral/), 28 Juli 2009. Pengertian Respirator tersedia di (http://bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=respirator). Sintak Gunawan, Euthanasia Dan HAM, Tersedia di (http://www2.kompas.com/kompas- cetak/0505/04/ilpeng/1726494.htm). Rabu,4 Mei 2005. Sintak Gunawan,”Pengertian Vegetative State” (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/04/ilpeng/1726494.htm, Rabu, 4 Mei 2005. Soleh Hasibuan, Hukum Positif Indonesia, Tersedia (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid), Senin 16 Oktober 2008. Wahyu Sutanto, Pengertian Hukum Pidana, Tersedia di (http://id.Wikipedia.org/wiki/Hukum_Pidana), Kamis 30 April 2009. ARTIKEL Chrisdiono M., Pemahaman Baru tentang Euthanasia dari Segi Hukum, (Jakarta : Kompas), 3 januari 1995.
BIODATA
Nama : Muhammad Ramadhiansyah
Alamat : Jl. Sawo Raya No 12 Blok XI Perumnas 1 Tangerang, Banten 15138
Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 25 Mei 1985
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : TK.Puspita Tangerang
SD NEGERI Karawaci 3 Lama Tangerang
SMP NEGERI 19 Tangerang
SMA Yuppentek 1 Tangerang
LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar pertanyaan yang diajukan kepada MUI.
Lampiran 2 Daftar pertanyaan yang diajukan kepada WALUBI.
Lampiran 3 Daftar pertanyaan yang diajukan kepada PGI
Lampiran 4 Daftar pertanyaan yang diajukan kepada PHDI.
Lampiran 5 Surat keterangan meminta putusan pengadilan di Pengadilan Negri
Jakarta Pusat.