Eutanasia

119
EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA SKRIPSI MUHAMMAD RAMADHIANSYAH 2004 – 41 – 272 Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ESA UNGGUL JAKARTA 2010

Transcript of Eutanasia

Page 1: Eutanasia

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA

DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

SKRIPSI

MUHAMMAD RAMADHIANSYAH

2004 – 41 – 272

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

JAKARTA

2010

Page 2: Eutanasia

i

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

Kampus Emas : JL. Arjuna Utara No. 9, Tol Tomang,

Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertandatangan dibawah ini :

NAMA : MUHAMMAD RAMADHIANSYAH

NIM : 2004-41-272

JUDUL : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN

HUKUM PIDANA DI INDONESIA .

Menyatakan bahwa isi skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali kutipan

dan ringkasan yang tiap-tiap satunya telah saya sebutkan sumbernya.

Jakarta, 28 Agustus 2010

Penulis

( MUHAMMAD RAMADHIANSYAH)

Page 3: Eutanasia

ii

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

Kampus Emas : JL. Arjuna Utara No. 9, Tol Tomang,

Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510

TANDA PESETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

NAMA : MUHAMMAD RAMADHIANSYAH

NIM : 2004-41-272

JUDUL : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN

HUKUM PIDANA DI INDONESIA.

Dosen Pembimbing

(Nugraha Abdulkadir, SH, M.H)

Mengetahui,

(Wasis Susetio, SH, M.A, M.H) Ka. Program Kekhususan Hukum pidana

Page 4: Eutanasia

iii

UNIVERSITAS ESA UNGGUL Kampus Emas : JL. Arjuna Utara No. 9, Tol Tomang,

Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

NAMA : MUHAMMAD RAMADHIANSYAH

NIM : 2004-41-272

JUDUL : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN

HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan siding Penguji Skripsi Fakultas Hukum

Universitas Esa Unggul pada tanggal 28 Agustus 2010 dan telah

dinyatakan: LULUS

Tim Penguji

Ketua Sidang :

Wasis Susetio, S.H, M.A, M.H. ( )

Pembimbing :

Nugraha Abdulkadir, SH, M.H ( )

Penguji I :

1. Nur Hayati, S.H, M.Kn. ( )

2. Henry Arianto, S.H, M.H. ( )

Page 5: Eutanasia

iv

ABSTRAK

Euthanasia, mati layak atau mati yang baik atau kematian yang lembut, tenang dan tanpa penderitaan, mulai mendapat perhatian khalayak ramai karena keberadaannya yang kontraversial dan banyak bersinggungan dengan hukum, agama, moral ataupun HAM. Bagi dokter euthanasia merupakan suatu dilemma di samping teknologi kedokteran telah sedemikian maju, sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang secara vegetatif sedangkan di sisi lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak individu (hak pasien) juga berkembang tidak kalah pesat. Berdasarkan hal tersebutlah, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai keberadaan euthanasia di Indonesia dilihat dari perspektif dunia kedokteran, agama, dan hukum yang berlaku. Normatif empiris yang bersifat deskriptis analisis dengan pendekatan yuridis dirasa sangat cocok untuk membantu penulis dalam menentukan kesimpulan dari peneilitian ini. penulis telah melakuakan penilitian yang sifatnya mewawancarai berapa narasumber dari beberapa organisasi keagamaan dan pakar hukum kesehatan yang dapat disimpulkan dari semuanya bahwa hasil wawancara semua organisasi keagamaan adalah tidak membenarkan adanya tindakan euthanasia karena nyawa manusia bukan ditentukan oleh manusia tetapi ditentukan oleh Tuhan. Sedangkan menurut pendapat pakar hukum kesehatan euthanasia tidak dapat terjawabkan selama definisi dari mati di Indonesia belum jelas, apabila definisi tentang mati telah dapat diketahui maka pro dan kontra akan hal tersebut akan terjawab. Sedangkan di Indonesia tidak ada pengaturan perundang-undangan yang jelas akan larangan adanya tindakan euthanasia di Indonesia. Walaupun pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia pada pasal 344 KUHP sering disebut sebagai pasal larangan tentang euthanasia, namun pada dasarnya pasal tersebut tidak sepenuhnya dapat mengatasi kesimpangsiuran, baik pro dan kontra masalah tentang euthanasia di Indonesia baik bagi pihak para medis maupun masyarakat atau pasien maupun keluarga pasien, maka saran dari penulis terkait dengan masalah yang menjadi judul skripsi ini yaitu Pertama, Ditujukan kepada Pemerintah/Pejabat yang berwenang, agar adanya kejelasan tentang pengaturan euthanasia di Negara Indonesia, agar mendapatkan kejelasan atas pro dan kontra di masyarakat dapat teratasi, dengan cara: membuat Undang-undang yang menjelaskan tentang euthanasia baik itu dilarang atau tidak dilarang dengan pengecualian-pengecualiannya dengan berdasarkan dari aspek-aspek pendukung lainnya seperti aspek agama, psikologis, dll, maupun definisi dari mati itu sendiri. Dimana aturan tersebut sesuai dengan keadaan masyarakat dan permasalahan yang ada di masyarakat. Diharapkan peraturan tersebut dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Dan juga kepada Departemen terkait dan Organisasi – organisasi keagamaan agar memeberi penyuluhan terhadap masyarakat, sehingga masyarakat lebih mengerti apa inti dari permasalahan yang disebut euthanasia.

Page 6: Eutanasia

v

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat

dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF

AGAMA DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam

menyelesaikan program pendidikan Strata 1 (S-1) guna mendapatkan gelar

kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul.

Mengingat sangat terbatasnya pengetahuan dan kemampuan penulis, maka

tentunya dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan

kelemahan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat

membangun.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa

hormat, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Yang terhormat Fachri Bey, SH. MM, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Esa Unggul Jakarta.

2. Heru Susetyo, SH, L.L.M, M.Si, selaku Pudek I Fakultas Hukum Universitas

Esa Unggul.

3. Dhoni Yusra, SH, M.H selaku Pudek II Fakultas Hukum Universitas Esa

Unggul.

4. Wasis Susetio, SH, MA, M.H selaku Pudek III Fakultas Hukum Universitas

Esa Unggul.

Page 7: Eutanasia

vi

5. Yang terhormat Nugraha Abdulkadir, SH, M.H, selaku pembimbing skripsi

yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pemikirannya serta telah

membimbing dan memberikan nasehat-nasehat kepada penulis dengan segala

kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Yang terhormat Ibu Fitria Olivia, SH, M.H, selaku program kekhususan

Hukum Ekonomi yang telah membantu penulis dalam memberikan banyak

bantuan dan bimbingan dalam belajar disaat penulis menjalani masa

perkuliahan.

7. Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Mba Nina dan

Mba Ika yang selalu siap membantu disaat di butuhkan kepada Penulis dan

telah membantu penulisan dalam hal administrasi selama Penulis kuliah di

Fakultas Hukum.

8. Terima kasih kepada Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul

yang telah memberikan wawasan yang luas dan ilmu yang bermanfaat bagi

Penulis.

9. Terima kasih yang tak terhingga teruntuk yang tercinta Papa M. Adam, SH

dan Mama Dra.Cut Rozanna yang telah memberikan dukungan moril dan

materil serta doa yang sangat tulus sehingga Penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini, yang tidak henti-hentinya memberikan kasih sayangnya dan

perhatiannya pada Penulis, (skripsi ini abang persembahkan untuk papa dan

mama, maaf abang lulusnya terlambat).

Page 8: Eutanasia

vii

10. Terima kasih kepada kakek H. Yusuf Daud dan nenek Hj. Asda Yusuf, SH

yang telah memberikan dukungan serta doa kepada penulis hingga skripsi ini

terselesaikan.

11. Kepada adik-adik ku Muhammad Rizkiansyah dan Dinda Aprilita putri terima

kasih selalu mendukung dan mendoakan penulis untuk dapat menyelesaikan

skripsi dengan baik. Serta terima kasih kepada seluruh keluarga besar yang

selalu mendukung serta mendoakan Penulis hingga skripsi ini dapat

diselesaikan dengan baik. Serta terima kasih untuk Algra yang sudah

membantu penulis.

12. Ucah ku Yang telah hadir di dalam kehidupan penulis, membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini hingga rela untuk begadang dan selalu

memberikan semangat kepada penulis disaat penulis merasa jenuh

menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas hubungan yang abstrak namun

nyata, adik junior ku yang takkan terlupakan RESTI RUMSYAH SH.

13. Terima kasih yang tak terhingga teruntuk Bapa dan Ibu yang ada di Cianjur

yang telah memberikan dukungan moril sehingga Penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Dan tidak lupa penulis ucapkan terima kasih untuk

keluarga di Cianjur mohon maaf Rama selalu merepotkan kalau datang ke

Cianjur.

14. Terima kasih kepada Bapak DR. KH. M. Hamdan Rasyid, MA. Sebagai ketua

MUI, Propinsi DKI Jakarta yang telah banyak membantu penulis dalam

menujang data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Page 9: Eutanasia

viii

15. Terima kasih kepada Bapak Dr. Faiq Bahfen sekalu pakar hukum kesehatan

dan kedokteran pada Staf Ahli di Departemen kesehatan RI.

16. Terima kasih kepada Bapak Romo Ruby Santamoko S.ag MMPD selaku

Wakil sekjen dari pihak perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI).

17. Terima kasih kepada Bapak DR. Nyoman Budiarna, MH dan Bapak I Gusti

Komang Widana S.Ag.M.Fil.H. Selaku perwakilan dari Parisada Hindu

Dharma Indonesia yang membantu penulis untuk memberikan sumber-sumber

guna untuk merampunkan skripsi ini.

18. Terima kasih kepada Bapak Novel Matindas, M.TH selaku perwakilan dari

persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang telah meluangkan waktunya

untuk diwawancara.

19. Terima kasih banyak kepada kedua sahabat ku Dimas Prianto S.com dan

Ahmad Syaifullah S.com beserta keluarga, yang selalu mendukung dan

mendoakan Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak.

(Kalian berdua memang sahabat sepanjang masa.)

20. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Teman-teman seperjuangan ku:

Rani Kubangkidol, Pradit, Wahyu Wibisono, Mas Adit, Aldimar, Alif, Fanni

Permadi, Eka Media Ramadhan, Ikbal, Metha Ramadhani, Engkong, Asep

Uban, Agung Tabrani, Alex, Bayu Febriono, Denis, Bedul, Fajri, Uyung,

Majos, Lanov, Lucky, Gepeng, Gamma, Ray, Sures, Toto, Mahong, Tohap,

Binsar, Angga, Febry Wonkenobi, Mba boy, Tika dan Ivan, Fattah dan Yai, A

Dicky Ali permana SE, Mas Tukiyoo, Ivan dan Tya (Resident Net), Rama

mardika, Tim Futsal Hard kids Serta ucapan terima kasih Kepada Culun

Page 10: Eutanasia

ix

Communnity tempat dimana penulis bernaung dan semua teman-teman yang

tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih banyak untuk kalian

semua.

21. Serta kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat Penulis

sebutkan satu persatu, semoga amal baik dan dukungan kalian mendapatkan

balasan dari Allah SWT. Amin

Penulis berharap skripsi ini membawa manfaat bagi penulis khususnya

bagi masyarakat umumnya.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Jakarta,28 Agustus 2010

MUHAMMAD RAMADHIANSYAH

Page 11: Eutanasia

x

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ………………………………………….i

LEMBAR TANDA PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………..ii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI....…………………………………………iii

ABSTRAK ……………………………………………………………………….iv

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………v

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………………………….. 1

B. Pokok Permasalahan………………………...……………….. 6

C. Tujuan Penulisan………………….………………………….. 6

D. Metode Penelitian……..……………………………………… 7

E. Definisi Operasional………………………………………… 11

F. Sistematika Penulisan ………………………………………..13

BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI EUTHANASIA

A. Pengertian Euthanasia……………………………………… 15

B. Perkembangan Euthanasia…………………………………...19

C. Bentuk-Bentuk Euthanasia…………………………………. 24

Page 12: Eutanasia

xi

D. Macam-Macam Euthanasia …………………………………26

1. Euthanasia Dari Sudut Bentuk…………………………..27

2. Euthanasia Dari Sudut Otonomi Penderita…………...... 29

3. Euthanasia Dari Sudut Motif dan Prakarsa…………...... 29

4. Euthanasia Semu ...…………………………………….. 29

E. Euthanasia Dari Berbagai Macam Perspektif………………..31

1. Menurut Pandangan Agama …………………………….31

a) Dalam Ajaran Gereja Katolik…………………….....31

b) Dalam Ajaran Agama Hindu ………………………..32

c) Dalam Ajaran Agama Buddha…………………........34

d) Dalam Ajaran Agama Islam ………………………...34

e) Dalam Ajaran Agama Protestan ………………….... 37

2. Euthanasia Menurut Pandangan Hukum ………………..39

a) Menurut Hukum Kesehatan ………………………...39

b) Menurut Kode Etik Kedokteran …………………....43

c) Euthanasia Menurut Pandangan HAM ……………..44

BAB III TINJAUAN MENGENAI EUTHANASIA BESERTA

PERMASALAHAN - PERMASALAHANNYA

A. Permasalahan Dalam Euthanasia ……………………………46

B. Perkembangan Euthanasia Di Berbagai Negara ...………......53

1. Negara Belanda ………………………………………....53

2. Negara Amerika Serikat …………………………………54

Page 13: Eutanasia

xii

3. Negara Jepang…………………………………………... 55

4. Negara Uruguay ………………………………………... 56

5. Negara Cekoslovakia …………………………………....56

C. Euthanasia Menurut Pandangan Hukum kedokteran ……......56

BAB IV EUTHANASIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF AGAMA &

HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Euthanasia Ditinjau Dari Perspektif Agama Di Indonesia…...64

1. Menurut Pandangan Agama Islam (MUI)………66

2. Menurut Pandangan Buddha (WALUBI)……….70

3. Menurut Pandangan Kristen (PGI)……………...72

4. Menurut Pandangan Hindu (PHDI)……………..75

B. Euthanasia Berdasarkan Dari Perspektif Hukum Di

Indonesia serta menurut undang-undang kesehatan No 36 tahun

2009…………………………………………………………. 78

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN……………………………………... 95

B. SARAN………………………………………....…... 96

DAFTAR PUSTAKA

BIODATA

LAMPIRAN

Page 14: Eutanasia

xiii

Page 15: Eutanasia

xiv

Page 16: Eutanasia

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan, lahir dan mati adalah sesuatu yang diberikan oleh

Sang Pencipta kepada setiap mahluk ciptaan-Nya. Kehidupan dan kematian

adalah sebuah takdir, demikianlah pendapat dari sebagian masyarakat

Indonesia yang menganggap bahwa itu merupakan suatu kenyataan di dalam

kehidupannya, dan tidak ada seorang pun yang dapat menghindari atau

menentukan mengenai kelahiran dan kematian yang dapat terjadi pada siapa

pun.

Dalam hal ini melalui pesatnya kemajuan teknologi di bidang

kedokteran, seorang pasien dapat dengan mudah mendapatkan hasil diagnosa

suatu penyakit dengan cepat, akurat, dan sempurna. Dengan ditunjang oleh

peralatan kedokteran yang sudah sangat modern sehingga rasa sakit yang

diderita seseorang dapat diringankan, bahkan dapat disembuhkan dalam

waktu yang sangat singkat, maka hidup seseorangpun dapat dipertahankan

dalam jangka waktu yang bisa diperkirakan hanya dengan memasang sebuah

alat yang dinamakan respirator. Respirator adalah sebuah alat yang dapat

menghasilkan oksigen untuk membantu pernafasan seorang pasien yang biasa

Page 17: Eutanasia

2

berbentuk seperti masker atau selang yang ujungnya langsung dimasukan ke

dalam rongga pernafasan seperti hidung 1

Namun setiap orang memiliki pemikiran tersendiri dalam menyikapi

dan menghadapi suatu permasalahan. Sebagian besar orang mungkin bisa

menerima dengan lapang dada ketika dokter memvonis bahwa ia mengidap

suatu penyakit yang nihil kemungkian untuk disembuhkan, misalnya AIDS,

kanker, dan lain-lain. Sebagiannya orang juga berusaha mati-matian dengan

rela membayar sejumlah uang yang tidak sedikit untuk kesembuhannya.

Selain itu beberapa orang mengalami depresi, putus asa, stres, dan berpikir

ingin mengakhiri hidupnya karena tidak mempunyai biaya untuk pengobatan

atau selain itu karena sudah tidak sanggup menahan rasa sakit yang

ditimbulkan akibat penyakit tersebut, maka orang itu meminta untuk diakhiri

hidupnya, dimana hal ini disebut dengan euthanasia.

Secara umum dapat dijabarkan ada 3 (tiga) jenis euthanasia, yaitu :

1. Euthanasia aktif, yaitu secara sengaja melakukan tindakan, langkah,

perbuatan mengakhiri atau memperpendek hidup penderita.

2. Euthanasia pasif, yakni secara sengaja tidak (lagi) memberikan perawatan

atau bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup penderita.

3. Auto-euthanasia, yakni penolakan secara tegas oleh pasien untuk

memperoleh bantuan atau perawatan medis terhadap dirinya, dan ia tahu

pasti bahwa hal itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.2

1 Pengertian Respirator tersedia di

(http://bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=respirator) 2 Chisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman

,(Jakarta : EGC, 2006), hlm 182.

Page 18: Eutanasia

3

Euthanasia mulai menarik dan mendapat perhatian dunia, setelah

diadakannya Konferensi Hukum Sedunia pada tahun 1977 dimana dalam

Konferensi tersebut ada disebutkan tentang hak untuk mati. Kodrat daripada

hak manusia yang terutama adalah hak untuk hidup yang mana di dalamnya

tercakup pula adanya hak untuk mati. Mengenai hak untuk hidup telah diakui

oleh dunia dengan adanya Universal Declaration of Human Rights oleh

Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 10 Desember 1948. Mengenai hak

untuk mati, karena tidak dicantumkan secara tegas dalam deklarasi tersebut

maka hal itu masih merupakan pembicaraan dan perdebatan di kalangan para

ahli dari berbagai Negara.

Pada kenyataannya, perdebatan tentang euthanasia memang telah di

perkirakan oleh beberapa ahli, bersama beberapa masalah lainnya, yakni

transplantasi organ tubuh manusia, Inseminasi buatan, Sterilisasi, bayi tabung

dan abortus provokatus (pengguguran kandungan). Kontroversi masalah-

masalah tersebut lebih terfokus kepada soal moralitas, etika maupun

hukumnya. Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran yang begitu pesat

akhir-akhir ini, ternyata tidak diikuti dengan kemajuan di bidang hukum dan

etika. Profesor Separovic, seorang pakar Hukum Kedokteran, menyatakan :

“Contemporary developments have posed a whole series of new problem. One could even say: if medicane is in trouble because of too much change, law is in trouble because of too little change”.3

Bagi seorang dokter, masalah euthanasia merupakan suatu dilema

yang menempatkannya pada posisi yang sangat sulit. Di satu pihak teknologi

3 Ibid.,hlm 180.

Page 19: Eutanasia

4

kedokteran telah sedemikian maju, sehingga mampu mempertahankan hidup

seseorang (walaupun hidup yang vegetatif atau vegetatif state4); sedangkan di

sisi lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu

juga berkembang tidak kalah pesat. Dengan demikian, konsep kematian

dalam dunia kedokteran masa kini telah dihadapkan pada kontradiksi antara

etika, moral dan hukum.5

Dalam prakteknya, Hak Asasi Manusia (HAM) selalu dikaitkan

dengan hak hidup, hak damai, hak atas pendidikan, dan lain sebagainya. Akan

tetapi, justru tidak tercantum dengan jelas mengenai hak seseorang untuk

mati itu sendiri. Bahkan dalam HAM kata-kata “mati” identik dengan

pelanggaran HAM itu sendiri. Secara tidak sadar timbul pola pikir dalam

masyarakat bahwa hidup dan mati merupakan hak pribadi atau yang biasa

disebut dengan The Right of Self-Determination (TROS). Sehingga

mengakhiri hidupnya sendiri seakan-akan menjadi pilihan yang sah dan

penolakan atas pengakuan hak untuk mati adalah pelanggaran terhadap

HAM. Akan tetapi, hukum positif di Indonesia lebih tepatnya hukum pidana

yang mengharamkan eutahanasia adalah suatu perbuatan yang melawan

hukum. Hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada

yaitu dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

berbunyi :

4 Sintak Gunawan, tersedia di (http://www2.kompas.com/kompas

cetak/0505/04/ilpeng/1726494.htm, Rabu, 4 Mei 2005. 5 Chrisdiono M. Achdiat, Op Cit., hlm 181.

Page 20: Eutanasia

5

“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri

yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana

penjara paling lama dua belas tahun”.6

Selain itu juga demikian tampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340,

345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik

dalam perbuatan euthanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang

berlaku di negara Indonesia memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia

dilakukan terhadap siapapun.

Begitu juga dengan kaum religius yang tidak membenarkan

dilakukannya euthanasia dalam kondisi apapun meskipun yang bersangkutan

memintanya sendiri. Lalu bagaimanakah dengan pasien penderita penyakit yang

kecil kemungkinannya untuk sembuh, yang harus menahan rasa sakit dan

penderitaan yang begitu luar biasa setiap detiknya? Mungkin mati adalah satu-

satunya pilihan yang terlintas di otak mereka atau mungkin sudah tidak

memiliki biaya pengobatan lagi? Lalu bagaimana dengan pasien yang sakit dan

menolak pengobatan atau meminta dihentikan pengobatannya, apakah hal

tersebut termasuk ke dalam euthanasia?

Dengan keberadaan permasalahan di atas, penulis termotivasi untuk

menganalisa dan mengkaji yang akan dituangkan dalam bentuk penulisan

skripsi terkait dengan permasalahan euthanasia dilihat dari perspektif hukum

pidana di Indonesia dengan judul skripsi : “EUTHANASIA DALAM

PERSPEKTIF AGAMA DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”.

6 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2005), hlm.

124.

Page 21: Eutanasia

6

B. POKOK PERMASALAHAN

Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah terurai di atas dan judul

penelitian tentang Euthanasia ditinjau dari perspektif hukum pidana di

Indonesia, maka penulis akan meneliti, dan menganalisa, pokok-pokok

permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam penulisan skripsi ini

adalah:

1. Bagaimanakah euthanasia ditintau dari segi hukum pidana atau

perbuatannya?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari perbuatan euthanasia di Indonesia?

Dengan merumuskan ruang lingkup permasalahan tersebut, maka penulis

sekaligus akan membatasi penulisan skripsi ini sesuai dengan permasalahan

yang dirumuskan.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini disusun sesuai berdasarkan dengan uraian di

dalam perumusan masalah yaitu :

1. Untuk mengetahui bagaimana euthanasia ditinjau dari segi hukum pidana

atau perbuatannya.

2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari perbuatan euthanasia di

Indonesia.

Page 22: Eutanasia

7

D. METODE PENELITIAN

Metode penelitian atau metodologi pada hakekatnya memberikan

pedoman, tentang cara-cara seorang ilmuan mempelajari, menganalisa dan

memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya. Menurut Webster

Dictionary, scientific method adalah “principles and procedures for the

systematic pursuit of knowledge involving the recognition and formulating

and testing of hypotheses.” Sebenarnya yang pertama mengemukakan tentang

metode ilmiah secara sistematis adalah Francis Bacon. Meskipun, formulasi

yang ia kemukakan mengalami beberapa penyempurnaan, secara umum apa

yang dikemukanan oleh Bacon tersebut dapat diterima sejak abad XVII

sampai dengan saat ini.7 Dalam buku hasil karya Peter Mahmud Marzuki,

penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang seksama, penuh ketekunan dan

tuntas terhadap suatu hal tertentu dengan tujuan mengembangkan ilmu

pengetahuan yang menyangkut kegiatan-kegiatan menganalisa menggunakan

metode tertentu yang sistematis dan konsisten terhadap suatu cara tertentu.8

Dalam penelitian ini, langkah-langkah penelitian yang digunakan

dalam penulisan skripsi ini secara sistematis adalah penentuan metode yang

digunakan, menentukan sumber data dan jenis data, teknik pengumpulan

data, dan analisis data sebagai berikut :

7 Peter marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 26. 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III ( Jakarta : UI-press, 1986), hlm.

3.

Page 23: Eutanasia

8

1. Tipe penelitian

Tipe penelitian yang dipakai oleh penulis adalah tipe penelitian

Hukum Normatif Empiris, dimana penelitian hukum Normatif disebut

juga penelitian kepustakaan (Library Research), adalah penelitian yang

dilakukan dengan cara menelusuri dan menelaah dan menganalisis

bahan pustaka atau bahan dokumen siap pakai. Kegiatan yang dilakukan

dapat dalam bentuk menelusuri peraturan, mengumpulkan data,

membaca dan membuat rangkuman. Penelitian hukum bentuk ini dikenal

dengan legal research, dan jenis data yang akan diperoleh adalah data

sekunder. Kegiatan yang dilakukan memiliki berbagai macam bentuk,

antara lain: menelusuri dan menganalisis peraturan, mengumpulkan data,

membaca dan menganalisis data.9 Menurut Soerjono Soekanto & Sri

Mamudji pada penelitian hukum Normatif, bahan pustaka merupakan

data dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data

sekunder.

Penelitian Hukum Empiris dikenal juga dengan penelitian lapangan (

Field Research) adalah pengumpulan materi atau bahan penelitian yang

harus diupayakan atau dicari sendiri dikarenakan belum tersedia.

Kegiatan yang dilakukan dapat berbentuk membuat daftar wawancara

dan diikuti dengan mencari serta mewawancarai para informan,

9 Valerine J.L. Krickhon, “ Penelitian Kepustakaan dan Lapangan dalam penulisan skripsi”,

( Jakarta : Universitas Tarumanagara, 1996), hlm. 18

Page 24: Eutanasia

9

menyusun kuisioner dan kemudian mengedarkan kuisioner itu pada

responden, melakukan pengamatan.10

2. Sifat Penelitian

Sifat penulisan yang penulis gunakan di dalam penelitian ini adalah

penelitian yang bersifat Deskriptif Analisis. Sifat penelitian deskriptif

analisis adalah karangan yang melukiskan sesuatu sesuai dengan

keadaan yang sebenarnya, sehingga pembaca dapat melihat, mendengar,

merasakan, apa yang dilukiskan itu sesuai dengan yang dimaksudkan

oleh penulis. Penelitian deskriptif analisis mempelajari masalah-masalah

dalam masyarakat, serta tata cara situasi-situasi tertentu, termasuk

tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-

pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-

pengaruh dari suatu fenomena.

3. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan yuridis yaitu

dengan pendekatan berdasarkan ilmu hukum yang ada, khususnya

mengenai Euthanasia dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia.

10 Ibid,

Page 25: Eutanasia

10

4. Teknik Pengumpulan Data

A. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data

sekunder guna memperoleh bahan-bahan hukum :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP), Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan, Kode Etik Kedokteran (KODEKI), Undang-

undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran.

2. Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti

buku sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder seperti kamus umum khususnya di bidang hukum.

B. Wawancara

Melakukan wawancara dengan informan yang merupakan

pihak yang berwenang sehubungan dengan masalah yang diteliti

dengan cara mengadakan tanya jawab dengan cara seperti

mewawancarai instansi-instansi terkait baik itu pemerintah

ataupun non-pemerintah yang berkaitan guna pengumpulan data

pada penulisan ini.

Page 26: Eutanasia

11

5. Analisis Data

Analisis penelitian dilakukan secara kualitatif baik terhadap data

sekunder ataupun data primer yang sudah dikumpulkan dan diolah guna

perumusan kesimpulan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah.

E. DEFINISI OPERASIONAL

Guna menghindarkan kesalahan pengertian dan memberikan pegangan

dalam penulisan skripsi ini, dirasakan perlunya definisi operasional yang

berasal dari beberapa konsep yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi

ini. Definisi operasional disusun berdasarkan data sekunder atau pendukung

yaitu berupa data-data yang diambil dari bahan pustaka yang didasarkan pada

sumber dokumen atau bahan bacaan berupa Undang-undang. Hasil-hasil

seminar, hasil karya dan pemikiran dari kalangan hukum, dan kamus-kamus.

1. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

ekonomis.11

2. Euthanasia adalah mati dengan baik.12

3. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri di dalam

bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan ataupun keterampilan

11 Indonesia (b), Undang-undang Republik Indonesia tentang Kesehatan, UU No.23 Tahun

1992, LN No.100 Tahun 1992. 12 Aris Wibudi, Euthanasia, Tersedia di (http://tumoutou.net/702_04212/aris_wibudi.htm), 30

Mei 2002.

Page 27: Eutanasia

12

melalui pendidikan di bidang kesehatan untuk jenis tertentu yang

diperlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan.13

4. Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan yang

dilaksanakan berdasarkan keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui

pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani

masyarakat.14

5. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah

kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan

baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter.15

6. Vegetatif state adalah keadaan dimana seseorang masih bernapas spontan,

respons tubuh terhadap cahaya dan bunyi masih ada, masih bisa menelan,

namun tidak ada tanda-tanda kesadaran, fungsi otak besar, dan emosi.16

7. Tindakan medis adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dokter

terhadap pasien berupa diagnosa atau terapeutik.17

8. Hak adalah suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum.18

9. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan.19

13 Ibid, 14 Indonesia (c), Undang-undang Republik Indonesia tentang Kedokteran, UU No.29 Tahun

2004, LN No.116 Tahun 2004. 15 Ibid., hal. 6. 16 Sintak Gunawan, Euthanasia Dan HAM, Tersedia di (http://www2.kompas.com/kompas-

cetak/0505/04/ilpeng/1726494.htm). Rabu, 4 Mei 2005. 17 Hendrojono Soewono, Op.Cit., hal. 17. 18 Ibid. 19 Yadianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung, M2S : 1997). hal. 675.

Page 28: Eutanasia

13

10. Hukum positif adalah hukum yang berlaku di suatu masyarakat pada

tempat dan waktu saat ini. 20

11. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa

yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. 21

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Maksud dan tujuan dari sistematika penulisan ini adalah untuk

memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh mengenai pokok-pokok

permasalahan yang akan dibahas. Sistematika penulisan skripsi ini akan di

bagi menjadi 5 (lima) bab, sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Membahas tentang latar belakang, pokok permasalahan, tujuan

penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI EUTHANASIA

Pada bab ini akan diuraikan mengenai eutahanasia yang

ditinjau secara umum dari sejarah, pengertian, jenis – jenisnya

euthanasia. yang kemudian akan dilanjutkan dengan

20 Soleh Hasibuan, Hukum Positif Indonesia, Tersedia

(http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid), Senin 16 Oktober 2008.

21 Wahyu Sutanto, Pengertian Hukum Pidana, Tersedia di (http://id.Wikipedia.org/wiki/Hukum_Pidana), Kamis 30 April 2009.

Page 29: Eutanasia

14

membahas euthanasia menurut pandangan kedokteran,

pandangan agama serta Hukum dan HAM.

BAB III TINJAUAN MENGENAI EUTHANASIA BESERTA

PERMASALAHAN-PERMASALAHANNYA.

Dalam bab ini mengungkapkan masalah-masalah yang

berhubungan dengan euthanasia di Indonesia dan di beberapa

negara di luar Indonesia serta contoh-contoh pelaksanaan

euthanasia dan perbedaan euthanasia dengan pseudo-

euthanasia.

BAB IV EUTHANASIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF AGAMA

& HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Pada bab ini akan dibahas mengenai euthanasia dalam

perspektif agama & hukum pidana di Indonesia, serta

menguraikan kasus-kasus euthanasia di dalam negeri serta

kasus-kasus di luar negeri.

BAB V PENUTUP

Pada bab ini diuraikan mengenai kesimpulan pembahasan dan

saran-saran dari penulis setelah dilakukannya penelitian,

pengkajian dan analisa data yang didapat.

Page 30: Eutanasia

15

BAB II

TINJAUAN TEORITIS MENGENAI EUTHANASIA

A. PENGERTIAN EUTHANASIA

Pada dasarnya lahir dan mati adalah suatu takdir dan itu adalah sesuatu

yang hanya dapat ditentukan oleh Sang Pencipta. Demikianlah pendapat

sebagian besar masyarakat Indonesia dan tidak ada seorangpun yang dapat

menghindari atau menentukan mengenai kelahiran dan kematian. Dalam hal

ini kelahiran dapat terjadi baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki,

begitu pula kematian dapat terjadi baik dikehendaki maupun tidak

dikehendaki. Selain itu karena faktor umur seseorang yang sudah tua,

penyakit, kecelakaan, bunuh diri, bahkan dengan diakhiri nyawanya oleh

orang lain dengan kata lain dengan cara dibunuh, semua ini menurut sebagian

besar masyarakat Indonesia adalah sebuah takdir. Takdir ini tidak dapat

ditentang bagi semua umat manusia yang memiliki kepercayaan terhadap

agamanya masing-masing.

Sudah menjadi hakikatnya bahwa kelahiran selalu membawa kebahagiaan

dan kematian selalu membawa kesedihan. Kematian secara alamiah atau

secara normal, selalu dapat diterima sebagai hal yang wajar, sebab manusia

pada saatnya akan mati, tetapi bila mati tidak secara alamiah adalah mati

yang tidak diharapkan atau mati secara tidak wajar.

Page 31: Eutanasia

16

Membicarakan kematian sangatlah berkaitan dengan diagnosis kematian

dunia medis. Dalam hal ini diagnosis kematian dapat diuraikan menjadi 3

(tiga) hal sebagai berikut : 22

1. Berhentinya pernafasan.

2. Berhentinya denyut jantung.

3. EEG menjadi datar (menentukan otak tidak memproduksi listrik

lagi).

Yang dimaksud dengan kematian secara normal adalah kematian

secara alami atau wajar, seperti mati karena faktor usia, kecelakaan, atau

yang lainnya. Sedangkan mati secara tidak alamiah adalah mati karena bunuh

diri, minta dimatikan (dibunuh), atau yang biasa dikenal dengan sebutan

Euthanasia.

Istilah Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “ EU-

THANASIA”. EU = baik, dan THANATOS = mati, secara keseluruhan

diartikan sebagai kematian yang senang dan wajar.23 Kemudian istilah ini

diartikan sebagai “Pembunuhan tanpa penderitaan” terhadap pasien yang

sudah tidak dapat diharapkan lagi, yang dalam bahasa Inggris lebih populer

dengan sebutan istilah “mercy killing”.24 Jadi secara harafiah euthanasia

dapat diartikan sebagai mati layak atau mati yang baik ataupun kematian

yang lembut, tenang dan tanpa penderitaan.

22 Pertus Yoyo Karyadi, Eutahanasia Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia (Bandung : 2001, Penerbit ), hlm. 21.

23 Imron Halimy, Euthanasia cara mati terhormat yang modern .(Solo : Ramadhani , 1990),

hlm. 35. 24 Ibid., hlm. 35.

Page 32: Eutanasia

17

Beberapa pengertian tentang euthanasia pun dikemukakan oleh para

ahli, yaitu :25

1. Menurut pendapat St. Thomas dalam analisisnya, euthanasia

adalah bentuk pengakhiran hidup yang penuh sengsara secara

bebas dan dengan berhenti makan atau dengan minum racun

yang membinasakan.

2. Menurut pendapat Gezondheidsraad, bahwa euthanasia adalah

perbuatan yang dengan sengaja memperpendek hidup ataupun

dengan sengaja tidak berbuat untuk memperpanjang hidup

demi kepentingan pasien oleh seorang dokter atau bawahannya

yang bertanggung jawab padanya.

3. Menurut pendapat Van Hattum, euthanasia adalah sikap

mempercepat proses kematian pada penderita-penderita

penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan melakukan

atau tidak melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud

untuk membantu korban menghindarkan diri dari penderitaan

dalam menghadapi kematiaannya dan untuk membantu

keluarganya menghindarkan diri melihat penderitaan korban

dalam menghadapi saat kematiannya.

Lemerton dan Thiroux menyusun 4 (empat) kategori yang berkaitan

dengan euthanasia, yaitu membiarkan seseorang mati, kematian belas

kasihan, pembunuhan belas kasihan, dan kematian otak atau batang otak.26

25 Ibid, hlm 27-28

Page 33: Eutanasia

18

Setelah itu Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI),

dikenal 3 (tiga) pengertian yang berkaitan dengan Euthanasia, yaitu:

1. berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa

penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir;

2. ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si pasien yang

menderita sakit dengan memberikan obat penenang;

3. mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja

atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya27

Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut :28

1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu;

2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak

memperpanjang hidup pasien.

3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.

4. Ada atau tidaknya permintaan dari pasien maupun keluarganya.

5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya

26 Ibid., hlm. 181. 27 Chisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman,

(Jakarta : EGC, 2006), hlm. 181. 28 Ibid, hlm 29

Page 34: Eutanasia

19

B. PERKEMBANGAN EUTHANASIA

Dewasa ini, euthanasia menjadi suatu permasalahan yang menarik

dalam dunia hukum dan medis. Terdapat pro dan kontra mengenai

pelaksanaan dari euthanasia tersebut. Terlebih lagi bagi pelaku dunia medis,

euthanasia menjadi suatu hal yang sangat dilematis. Dalam hal ini

Euthanasia adalah praktek pencabutan kehidupan manusia (pasien) melalui

cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit yang sangat berlebihan,

yang biasanya dilakukan dengan memberikan suntikan yang mematikan.

Dengan demikian penyebab dari dilakukannya tindakan euthanasia adalah

kerena sudah tidak mungkin lagi dilakukannya tindakan medis untuk

mempertahankan hidup seseorang hingga sembuh kembali.

Jika dilihat dari istilahnya sendiri itupun dapat kita ketahui bahwa,

euthanasia sudah ada sejak zaman dahulu kala, yaitu zaman Yunani-Romawi

Kuno. Pemahaman euthanasia dalam era ini dapat dilihat dalam beberapa

pandangan beberapa tokoh kuno seperti Possidipos, Philo, Suetonius, Cicero,

Seneca, Plato, Aristoteles dan Phytagoras.

Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an

sebelum Masehi, menulis dalam karyanya, “Dari apa yang diminta manusia

kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang

baik”. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 Sebelum

Masehi – 50 Sesudah Masehi, mengartikan euthanasia sebagai “kematian

tenang dan baik” (Philo 1, 182: de Sacrificiis Abelis et Caini 100). Suetonius,

seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Sebelum Masehi. Dalam

Page 35: Eutanasia

20

tulisannya 29 tentang Kaisar Agustus, ia mengatakan demikian : “Ia mendapat

kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir

selalu biasa memohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya

“euthanasia” bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan

cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Augustus

99). Cicero, seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 Sebelum Masehi,

memakai istilah euthanasia dalam arti “kematian penuh kehormatan,

kemuliaan dan kelayakan” (Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh

diri tahun 65 M malah menganjurkan : “lebih baik mati daripada sengsara

merana”.

Dalam sejarah pun mengatakan, misalnya Plato yang mendukung

tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang untuk mengakhiri

penderitaan dari penyakit yang dialaminya; begitu juga Aristoteles yang telah

membenarkan adanya ‘infaanticide’ yaitu membunuh anak yang

berpenyakitan sejak lahir dan tidak dapat hidup menjadi manusia yang

perkasa.30 Adapun pendapat seorang tokoh lainnya yaitu Pythagoras dan

kawan-kawannya yang telah menyokong perlakuan pembunuhan terhadap

orang-orang yang mengalami lemah mental dan moral.

29 Nurudin Jauhari, 1 November 2008, Euthanasia, Segi Medis, Etis, Moral, dan Pastoral,

Tersedia di (http://bagusarsj.blog.friendster.com/2007/11/eutanasiasegi-medis-etis-moral-dan-pastoral/), 28 Juli 2009

30 Ratna Suprapti Samil, Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagian Obsteri dan Ginekologi,

(Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1980), hlm. 23.

Page 36: Eutanasia

21

Euthanasia juga dikenal pada zaman Renaissance, beberapa tokoh

pada zaman ini seperti Thomas More dan Francis Bacon memberikan

pendapat, pandangan serta gagasan mengenai euthanasia.

Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan euthanasia

medica, yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan

hanya untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan

menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan euthanasia

untuk membantu orang yang menderita sewaktu ingin meninggal dunia.

Thomas More dalam “the Best Form of Government and The New Island of

Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri

kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan

atau dengan racun yang membiuskan.31

Selanjutnya mati secara terhormat atau euthanasia ini juga dikenal

pada abad XVII-XX. David Hume seorang tokoh terkenal pada abad ini,

menentang habis-habisan argumentasi tradisonal. Akan tetapi justru

sebaliknya, kontraversinya terhadap euthanasia justru menjadi pengaruh dan

membuka gagasan euthanasia.

Sejak abad ke-19, euthanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan

pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-

undang anti euthanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang

31 Nurudin Jauhari,Op. Cit.

Page 37: Eutanasia

22

pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara

bagian.32

Tahun 20-30an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan

jalan masalah euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding

(ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan euthanasia

sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini

terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung

lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan

menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara

mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo)

ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Action T 4 dengan dasar

hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.33 Tindakan ini dilakukan

karena Hiltler berpandangan bahawa anak-anak di bawah umur 3 tahun yang

menderita keterbelakangan mental, memilik cacat tubuh atau gangguan lainya

tersebut yang menjadikan hidup mereka tidak berguna, begitupun dengan

para lansia.

Sama halnya dengan David Hume, Bapak Ilmu Kedokteran

Hippocrates itu sendiri pun menentang adanya euthanasia. Ia adalah seorang

dokter dari Yunani yang untuk pertama kalinya berhasil merealisasikan

paham mistis, gaib, dan filsafat tentang penyakit yang pada waktu itu tengah

berkembang di masyarakat dimana pada zaman itu yang mempercayai

32 Ibid

33 Ibid .

Page 38: Eutanasia

23

keberadaan dewa penyembuh yaitu Aesculapsius, dengan menegakkan

diagnosa kedokteran yang rasional. Berkat ajaran-ajaran dan tulisan-tulisannya

yang dikenal dengan Hipocrates Corpus yang memberikan dasar pemikiran

rasional serta sistematika ilmiah dalam dunia kedokteran, ia disebut sebagai

Bapak Ilmu Kedokteran (Father of Medicine). Selain itu, ia juga menetapkan

garis dasar etika kedokteran yang dituangkan dalam sumpahnya yang dikenal

dengan Sumpah Hipokrates (Hipocratic Oath). Sampai saat ini pun sumpah

Hipokrates dijadikan sebagai dasar dari sumpah kedokteran dan dasar kode

etika kedokteran di seluruh dunia. Salah satu dari isi Sumpah Hipokrates

yang membuktikan bahwa ia tidak menyetujui euthanasia adalah sebagai

berikut:

“Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun dimintanya, atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu”.34

Pandangan lain dari Hippocrates yang dikutip oleh Elliot-Binns, adalah “Adalah gila untuk menuntut dari dokter upaya penyembuhan yang tidak dimungkinkan oleh ilmu kedokteran, seperti menuntut agar tubuh melawan penyakit yang dapat dihindarkan.Mengapa merisaukan pikiran kita dengan penyakit yang tidak mungkin disembuhkan?Tetapi adalah menjadi tugas ilmu ini pula untuk melakukan penelitian terhadap”.35

Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa Hipokrates menolak

adanya euthanasia secara aktif. Karena baginya sudah menjadi tugas mulia

dari seorang dokter untuk menyelamatkan atau mengobati pasien

semampunya atau semaksimalnya. Kalaupun pasien tersebut meninggal

34 Ibid

35 Imron Halimy, Op.Cit., hlm. 84.

Page 39: Eutanasia

24

karena tidak dapat disembuhkan, akan tetapi sudah dilakukan pertolongan

maksimal terhadapnya. Apabila pasien tersebut meninggal, itu adalah

merupakan suatu hal yang wajar (euthanasia pasif).

Dapat diketahui bahwa euthanasia sudah dikenal dan menjadi

kontraversi sejak zaman Yunani-Romawi Kuno sampai saat ini. Karena

manusia sebagai objek sekaligus pelaku euthanasia memiliki hak untuk

menentukan nasibnya sendiri. Dimana hak ini disebut dengan TROS (The

Right Self Of Human Rights). Hak untuk menentukan nasib sendiri (TROS)

adalah hak yang melekat dalam diri manusia, dalam arti seseorang berhak

menentukan apa yang akan/perlu/harus dilakukan atas dirinya (tubuhnya).36

C. BENTUK-BENTUK EUTHANASIA

Secara garis besar bentuk-bentuk euthanasia dibagi menjadi dua (2)

golongan :

1. Euthanasia aktif (active euthanasia), yaitu tindakan sengaja

untuk memperpendek hidup pasien dengan permintaan dari pasien

itu sendiri.

2. Euthanasia pasif (passive euthanasia), yaitu dimana dokter atau

tenaga medis secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis

kepada pasien yang dapat memperpanjang hidupnya dengan

catatan bahwa perawatan pasien diberikan secara terus-menerus

dan secara optimal dalam usaha mendampingi atau membantu

36 Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung : Mandar Maju, 2001), hlm. 104.

Page 40: Eutanasia

25

pasien dalam fase hidup yang terakhir. Euthanasia pasif atas

permintaan dapat dinamakan (auto euthanasia) : “dimana seorang

pasien menolak tegas dengan sadar untuk menerima perawatan

medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau

mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah

“codisil” (pernyataan tertulis tangan).37

Selanjutnya dalam euthanasia aktif dapat dibedakan menjadi :

1. Euthanasia aktif secara langsung (direct). Dimana dokter atau

tenaga kesehatan lain dengan sengaja melakukan suatu tindakan

medis untuk mengakhiri penderitaan pasien, misalnya dengan

suntikan over dossis morfin yang mengakibatkan matinya pasien.

Tujuan utama, memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.

2. Euthanasia aktif secara tidak langsung (indirect). Dimana dokter

atau tenaga kesehatan lain tanpa maksud untuk memperpendek atau

mengakhiri hidup pasien dengan melakukan tindakan medis, untuk

meringankan penderitaan pasien dengan adanya resiko bahwa

tindakan medis ini dapat mengakibatkan perpendek atau

mengakhiri hidup pasien, misalnya dengan memberikan suntikan

morfin dengan dosis yang wajar tiap kali pasien menderita sakit

yang amat sangat. Disini, tujuan utama meringankan penderitaan

dengan akibat samping (resiko) hidup pasien diperpendek.38

37 Fred Ameln, Op. Cit., hlm. 133. 38 Ibid., hlm.133-134.

Page 41: Eutanasia

26

Pada “World Congress on Medical Law” yang kelima, bulan Agustus tahun

1979 di Gent, Belgia. Beberapa sarjana mengemukakan berbagai teori dan

pendapat tentang euthanasia. Berikut ini beberapa pendapat para sarjana :

a. Menurut Profesor Z.P. Seprarovic dari Fakultas Hukum Universitas

Zagerb, Yugoslavia, yang mengemukakan empat kategori tentang

euthanasia.

b. No assistance in the process of death without the intention to

shorthen life : Dalam kategori ini pasien mati ajal atau mati

alamiah (natural death) jika ia meninggal.

c. No assistance in the process of death without the intention to

shorten life : Dalam kategori terdapat unsur kelalaian (schuld

element).

d. No assistance in the process of death with the intentoin to shorten

life : Dalam kategori ini disebut juga euthanasia pasif.

e. Assistance in the process of death with the intention to shorten life :

Dalam kategori ini disebut euthanasia aktif atau positif.39

D. MACAM – MACAM EUTHANASIA

Secara garis besar euthanasia dapat dibedakan dalam beberapa

macam dilihat dari berbagai sisi misalnya dari sudut cara/bentuk, dari sudut

maksud, dari sudut otonomi penderita maupun dari sudut motif dan prakarsa

dan euthanasia semu.

39 Ibid., hlm.134-135.

Page 42: Eutanasia

27

1. Euthanasia Dari Sudut Bentuk

Euthanasia dari sudut/bentuk dapat diklasifikasikan ke dalam 2

(dua) bentuk antara lain :

a. Euthanasia Aktif (murni)

Euthanasia aktif adalah suatu peristiwa dimana dokter atau tenaga

medis lainnya secara sengaja melakukan sesuatu tindakan untuk

memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.40 Euthanasia ini

memang ditujukan untuk langsung mematikan si pasien, yang

biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan atau obat

secara oral.

Euthanasia aktif atau murni ini dapat dibagi menjadi 2 (dua)

bentuk yaitu :

1) Euthanasia Aktif Langsung (direct)

Yang dimaksud dengan euthanasia aktif secara

langsung (direct) adalah di mana dokter atau tenaga kesehatan

lainnya melakukan suatu tindakan medis dengan maksud

untuk meringankan penderitaan si pasien sedemikian rupa

sehingga secara logis dapat diperkirakan atau diharapkan

bahwa kehidupan si pasien diperpendek atau diakhiri.41

2) Euthanasia Aktif Tidak Langsung (indirect)

40 Imron Halimy, Op.Cit., hlm. 39. 41 Ibid., hlm. 40.

Page 43: Eutanasia

28

Yang dimaksud dengan euthanasia aktif secara tidak

langsung (indirect) adalah keadaan dimana dokter atau tenaga

kesehatan lainnya melakukan tindakan medis untuk

meringankan penderitaan si pasien tanpa bermaksud untuk

memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien tersebut.42

b. Euthanasia Pasif

Euthanasia pasif adalah suatu keadaan dimana dokter atau

tenaga kesehatan lainnya secara sengaja tidak memberikan

bantuan medis terhadap pasien yang dapat memperpanjang

hidupnya.43 Akan tetapi bukan berati pengobatan secara langsung

dihentikan, perawatan dan pengobatan tersebut tetap diberikan

kepada si pasien secara terus-menerus secara optimal yang

dimaksudkan untuk membantu si pasien dalam kondisi atau fase

hidup yang terakhir.

Euthanasia yang termasuk dalam jenis ini adalah Auto

euthanasia. Yang dimaksud dengan auto euthanasia adalah situasi

dimana seseorang pasien dengan sadar menolak secara tegas untuk

menerima perawatan medis, bahkan dia telah menyadari bahwa

hal ini akan dapat memperpendek atau mengakhiri hidupnya

42 Ibid. 43 Ibid.

Page 44: Eutanasia

29

sendiri. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah “cocodicit”

yaitu suatu pernyataan tulisan tangan.44

2. Euthanasia Dari Sudut Otonomi Penderita

Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam 3 (tiga)

jenis yaitu :45

a) Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar

dan tidak dapat menyatakan kehendak (incompentent),

b) Pasien tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan

diwakili oleh orang lain (transmitted judgement),

c) Tidak sadar dan kehendaknya diduga oleh orang lain

(substitued judgement).

3. Euthanasia Dari Sudut Motif dan Prakarsa

Dari sudut motif dan prakarsa, permintaan atau persetujuan penderita

atau keluarganya untuk menghentikan beban (penderitaan pasien karena belas

kasihan atau beban keluarga) atau menghormati kehendak penderita yang

diperlakukan sebagai subjek dengan hak menentukan dirinya sendiri. Dan

juga perintah penguasa berdasarkan ideologi tertentu atau kepentingan yang

lain.

44 Ibid. 45 Nurdin Jauhari, Loc.Cit.

Page 45: Eutanasia

30

4. Euthanasia Semu

Disebut bentuk-bentuk semu dari euthansia ini karena mirip dengan

euthanasia, tetapi sebetulnya bukan euthanasia. Bentuk-bentuk pengakhiran

hidup yang mirip dengan euthanasia ini disebut oleh H.J.J. Leenen adalah

sebangai schijngestaten van euthanasie. Adapun yang termasuk ke dalam

bentuk semu dari euthanasia adalah sebagai berikut :46

a. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada

gunanya (zinloos).

b. Penolakan perawatan medis oleh pasien (keluarganya).

c. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis karena mati otak

(braindeath).

d. Pengakhiran hidup pasien akibat persedian alat medis terbatas

(emergency).

e. Euthanasia akibat “sikon”.

Untuk lebih mendapatkan gambaran yang jelas lagi mengenai

bentuk-bentuk euthanasia, dapat dilihat pada skema berikut dibawah

ini : 47

46 Petrus yoyo karyadi, Op. Cit 47 Imron Halimiy, Op.Cit., hlm. 43.

Page 46: Eutanasia

31

E. EUTHANASIA MENURUT BERBAGAI MACAM PERSPEKTIF

1. Euthanasia Menurut Pandangan Agama

a) Dalam ajaran gereja Katolik Roma

Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang

untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai

penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak

tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai

euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Yohanes Paulus II,

yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program

egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas

dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang

pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan

menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongres

untuk ajaran iman telah menerbitkan deklarasi tentang euthanasia

Euthanasia

Atas Permintaan Tidak Atas Permintaan

Pasif Pasif Aktif Aktif

Langsung Tidak Langsung Tidak Langsung Langsung

Page 47: Eutanasia

32

("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini

lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya

kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya

promosi euthanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri

hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin

meningkatnya praktek euthanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan

(Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar

melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya

kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang

meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu.” Paus

Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa euthanasia merupakan

tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu:

“Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung

penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang,

yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung” (Evangelium

Vitae, nomor 66).

b) Dalam ajaran agama Hindu 48

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah

didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma

adalah merupakan suatu konsekuensi murni dari semua jenis

kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk,

48 Ibid

Page 48: Eutanasia

33

lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai

akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi

penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus

reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran

Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip “anti kekerasan” atau

pantang menyakiti siapapun juga.

Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam

ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat

menjadi suatu faktor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh

karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia adalah

merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih

tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.

Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang

melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka

ataupun surga melainkan tetap berada di dunia fana sebagai roh

jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu

dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya

umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan

hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana

tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka

menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke

dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk

Page 49: Eutanasia

34

menyelesaikan “karma” nya terdahulu yang belum selesai

dijalaninya kembali lagi dari awal.

c) Dalam ajaran agama Buddha 49

Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari

kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan

makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran

Buddha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka tampak jelas

bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat

dibenarkan dalam ajaran agama Buddha. Selain daripada hal

tersebut, ajaran Buddha sangat menekankan pada “welas asih”

("karuna"), yakni belas kasih.

Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah

merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Buddha

yang dengan demikian dapat menjadi “karma” negatif kepada

siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna

memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.

d) Dalam ajaran Islam

Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan

Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati,

namun hak tersebut merupakan anugerah Allah SWT kepada

49 Ibid

Page 50: Eutanasia

35

manusia. Hanya Allah SWT yang dapat menentukan kapan

seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66: 2: 243). Oleh karena

itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak

ada teks dalam Al-Quran maupun Hadist yang secara eksplisit

melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang

menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan

Allah SWT, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke

dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya

Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2:

195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau

membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya

adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian,

seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim

lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.

Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau

taisir al-maut (euthanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan

kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena

kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si pasien,

baik dengan cara positif maupun negatif.

Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait

tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang

membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan

Page 51: Eutanasia

36

berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun

juga.

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (euthanasia positif)

ialah tindakan memudahkan kematian pasien “karena kasih

sayang” yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan

instrumen (alat).

Memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia positif)

adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini

seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan

membunuh pasien dan mempercepat kematiannya melalui

pemberian obat secara over dossis dan ini termasuk pembunuhan

yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang

membinasakan. Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam

kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa

kasihan kepada pasien dan untuk meringankan penderitaannya.

Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan

penyayang dari pada Yang Menciptakannya. Karena itu

serahkanlah urusan tersebut kepada Allah SWT, karena Dia-Lah

yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya

apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.

Euthanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il.

Pada euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-

langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si pasien, tetapi ia

Page 52: Eutanasia

37

hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang

hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa

pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak

memberikan harapan kepada si pasien, sesuai dengan sunnatullah

(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama

syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak

wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam

mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini

hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya

segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh

sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana

dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian

ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).50

e) Dalam ajaran Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana

memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya

terhadap euthanasia dan orang yang membantu pelaksanaan

euthanasia.

Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut

misalnya :

50 Ibid

Page 53: Eutanasia

38

Gereja Methodis (United Methodist Church) dalam

buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan

teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan

pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang

dapat dipertanggungjawabkan tentang hingga

kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut

benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup

pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup

tersebut".

Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi

buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang

bukan merupakan suatu perawatan fundamental.

Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi

sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab

moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan

membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu

posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari

Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah

merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih

baik.

Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan

mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini

Page 54: Eutanasia

39

dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga

di masa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan

kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani

dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan

berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut

"kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan.

Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan

dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.51

2. Euthanasia Menurut Pandangan Hukum

A. Menurut Hukum Kesehatan

Hukum Kesehatan sebagai bagian dari ilmu hukum dapat

memainkan peran yang berarti dalam menemukan hukum dan

dalam mengkonstruksikan peraturan hukum yang diperlukan dalam

bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dapat dicapai dengan

peraturan perundang-undangan maupun melalui putusan hakim,

tapi dapat pula dengan mengatur diri melalui norma-norma etik

dalam suatu bidang medis tertentu. Masing-masing cara

mengandung segi positif dan negatifnya.52

51 Ibid, 52 Fred Ameln, Op. Cit., hlm. 159.

Page 55: Eutanasia

40

Motivasi yang menonjol untuk pengaturan dalam

pemeliharaan atau pelayanan kesehatan, pertama-tama untuk

menjaga kualitasnya dan juga untuk memberikan perlindungan

kepada hak pasien. Khusus pengaturan dalam bidang medis seperti

uji klinik kedokteran, motivasi tersebut itu juga berlaku, terlebih

dalam hal uji klinik kedokteran motivasi pengaturan yang paling

utama ialah untuk memberikan perlindungan khusus kepada orang,

karena mereka berada pada posisi yang amat peka (vulvrernable)

yang berhubungan dengan bermacam-macam aspek seperti aspek

psikis, etis, hukum dan sosial.53

Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan tidak mengatur tentang euthanasia. Euthanasia

dilakukan bukan karena putus asa, tetapi beritikad baik mengurangi

penderitaan seorang pasien yang sakit berat dan mungkin juga

karena pertimbangan ekonomi dan hal lain sebagainya. Secara

etimologis euthanasia berarti mati yang baik atau terhormat,

berdasarkan hal tersebut timbul pengertian euthanasia yang

bermacam-macam, seperti kematian yang senang dan wajar.54 Mati

tenang atau mati tanpa banyak rasa penderitaan. Jika dijabarkan

lagi lebih jelas, maka menurut Imron Halimy euthanasia berarti :

53 Ibid., hlm. 160. 54 Ibid., hlm.161.

Page 56: Eutanasia

41

“Menghentikan nyawa seseorang yang sedang menderita karena penyakitnya, baik dilakukan secara cepat atau lambat oleh dokter atau tim kesehatan yang merawatnya baik atas permintaan atau tanpa permintaan pasien atau keluarga dengan tujuan untuk meringankan beban penderitaannya”.55

Hal ini juga dapat dilihat dari pendapat seorang penulis

Yunani yang bernama Soetonius dalam bukunya Vita Caesarium

yang mengatakan bahwa euthanasia sebagai mati cepat tanpa

derita.56 Akan tetapi dewasa ini orang sudah tidak memperhatikan

lagi akan arti dan makna euthanasia yang sebenarnya, melainkan

penekanannya sudah lebih terarah pada pertolongan dokter untuk

menghindarkan rasa sakit atau meringankan rasa sakit atau

meringankan penderitaan pasien yang sedang menghadapi saat-saat

kematiannya. Bahkan pengertiannya seringkali lebih ditekankan

kepada tindakan memberi pertolongan untuk mempercepat proses

kematian. Berdasarkan pemahaman makna euthanasia pada

pengertian yang terakhir ini, muncul pengertian euthanasia sebagai

pembunuhan tanpa penderitaan terhadap pasien yang sudah tidak

dapat diharapkan lagi, yang populer dengan istilah mercy killing.57

Berdasarkan uraian di atas terlihat adanya perubahan

pengertian euthanasia sesuai dengan perkembangan zaman,

sehingga terjadi pula perubahan pemahaman mengenai maknanya.

55 Imron Halimy, Op.Cit., hlm. 36.

56 Ibid.

57 Chrisdiono M., Pemahaman Baru tentang Euthanasia dari Segi Hukum, (Jakarta :

Kompas), 3 januari 1995.

Page 57: Eutanasia

42

Menurut Lamerton, walaupun euthanasia berarti kematian yang

menyenangkan, dewasa ini diartikan sebagai pembunuhan kelas

kasihan atau pembunuhan saja (“murder”). Dalam hal ini ia

bersama J. P. Thiroux membedakan empat istilah, yaitu :

1. Membiarkan seseorang mati (“allowing someone to die”),

yaitu pasien dalam kasus penyakit terminal dan upaya

pengobatan tidak berfaedah lagi, pasien diijinkan meninggal

secara wajar (proses kematian alamiah menyenangkan,

kedamaian dan harga diri) tanpa interfensi dari pihak lain,

misalnya tenaga kesehatan dan bantuan teknologi kesehatan.

2. Kematian belas kasihan (“mercy death”), yaitu suatu

pertolongan untuk mengakhiri hidup atas permintaannya

sendiri. Yang menonjol di sini adalah aspek kesiapan pasien

dalam menerima kematiannya dengan tenang dan pasrah.

3. Pembunuhan belas kasihan (“mercy klling”), yaitu tindakan

mengakhiri hidup pasien dengan atau tanpa permintaan

pasien. Penekanannya di sini adalah unsur kesengajaan

mengakhiri hidup pasien, sehingga tidak dapat dibedakan

antara tindakan membunuh dengan tindakan bunuh diri.

Tindakan ini dilakukan atas dasar anggapan bahwa hidup

pasien tidak berarti lagi.

4. Kematian otak (“brain death”), yaitu suatu keadaan dimana

seorang pasien mengalami gangguan otak sehingga tidak

Page 58: Eutanasia

43

berfungsi lagi, keadaan sepeti ini mengakibatkan jantung dan

paru-paru dengan sendirnya tidak berfungsi. Oleh karena itu

tidak diperlukan lagi upaya medis, karena secara medis

pasien tersebut telah mati. Hal ini sesuai dengan Pasal 1

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 mengenai

kriteria kematian yang menyebutkan bahwa :

”Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan denyut jantung seseorang telah berhenti”.58

Selain pengertian di atas ada pula pengertian euthanasia menurut

studi grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) yang isinya sebagai

berikut :

“Euthanasia dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.59

B. Menurut Kode Etik Kedokteran

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Bab II Pasal 10,

disebutkan bahwa :

“Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi makhluk hidup insani”.

Naluri yang kuat pada makhluk bernyawa, termasuk manusia

adalah mempertahankan hidupnya, untuk itu manusia diberi akal,

58 Imron Halimy, Op. Cit., hlm. 45. 59 Fred Ameln, Op.Cit., hlm. 132.

Page 59: Eutanasia

44

kemampuan berpikir dan mengumpulkan pengalamannya, dengan

demikian membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan

menghindarkan diri dari bahaya maut, ini semua termasuk tugas

dokter. Maka dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan

hidup makhluk insani, ini berarti pula bahwa dokter, menurut agama,

undang-undang dan etik kedokteran tidak diperbolehkan mengakhiri

hidup seorang pasien yang menurut ilmu dan pengalaman tidak

mungkin dapat disembuhkan lagi.60

Dari penjelasan di atas disimpulka bahwa di seluruh dunia

setiap dokter berkewajiban untuk menghormati dan melindungi setiap

kehidupan insani mulai dari saat pembuahan. Hal tersebut sama

dengan sumpah Hipokrates yang isinya menuntut para dokter untuk

mengabdikan dirinya dalam memelihara, merawat dan kesehatan

penderita yang diserahkan kepadanya, oleh karena itu setiap dokter

dituntut untuk selalu ingat akan kewajiban tersebut, sehingga setiap

perbuatan dokter terhadap seorang manusia harus bertujuan untuk

memelihara kesehatan dan kebahagiaan serta mempertahankan jiwa

manusia, meskipun pada akhirnya mengalami kegagalan. Hal ini

dalam Kode Etik disebutkan bahwa :

60 Ratna Suprapti Samil, Kode Etik Kedokteran Indonesia, bagian Obstetri dan Ginekologi,

(Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1980), hlm. 53.

Page 60: Eutanasia

45

“Tuhan seru sekalian alam, menciptakan manusia dan menentukan

bahwa ciptaan-Nya pada suatu waktu akan menemui ajalnya, tidak

seorang dokter yang betapapun pintarnya akan dapat mencegahnya”.61

3. Euthanasia Menurut Pandangan HAM

Menurut Universal Declaration of Human Right yang terdiri dari 30

pasal yang secara garis besar telah menggambarkan tentang perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia di dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa “setiap

orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan, dan keselamatan seseorang”.

Jika kita teliti isi pasal tersebut, ada tiga hal yang menjadi hak utama dari

seorang manusia, yaitu :

a. Hak untuk hidup.

b. Hak untuk merdeka.

c. Hak untuk keselamatan.

Sedangkan di dalam Pasal 6 disebutkan bahwa hak tersebut

merupakan hak pribadi yang dilindungi oleh undang-undang dimanapun ia

berada, di samping hak untuk hidup, menurut Pasal 25 yang berbunyi :

“setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan

keadaan, baik dari sendiri maupun keluarganya”. Oleh karena itu setiap orang

atau manusia mempunyai hak untuk hidup dimana hak ini dilindungi oleh

hukum dan tak seorang pun secara sewenang-wenang dapat dirampas

hidupnya.

61 Imron, Op. Cit., hlm. 89.

Page 61: Eutanasia

46

BAB III

TINJAUAN MENGENAI EUTHANASIA BESERTA PERMASALAHAN-

PERMASALAHANYA

A. Permasalahan Dalam Euthanasia

Euthanasia adalah salah satu permasalahan dalam dunia medis

kedokteran yang menjadi sesuatu yang sangat dilematis bagi pelaku dunia

medis kedokteran dimana sebuah keadaan harus mempertahankan hidup

seseorang yang sesungguhnya sudah tidak dapat dipertahankan lagi dalam

keadaan kondisi yang sudah sangat melemah tingkat kesadarannya ataupun

tidak sadarkan diri sama sekali, permohonan sebuah tindakan euthanasia bisa

disebabkan karena pasien yang sedang dipertahankan hidupnya sudah tidak

mungkin lagi dapat disembuhkan di dalam proses perawatannya, selain itu

faktor penyebab lainnya adalah faktor keinginan dari pasien itu sendiri untuk

mengakhiri hidupnya dengan meminta bantuan dari tenaga medis untuk

mengakhiri hidupnya, keadaan hal ini yang disebabkan karena pasien sudah

merasa tersiksa dengan berbagai macam bentuk pengobatan yang sudah tidak

ada artinya lagi bagi tubuhnya, dan penyebab lainnya adalah faktor keuangan

yang menjadi kendala dari pasien itu sendiri dan keluarganya guna untuk

membiayai pengobatannya yang semakin mahal. Pada saat ini bidang

kedokteran dan kesehatan Indonesia sedang dihadapkan dengan permasalahan

yang berhubungan dengan aspek hukum, dimana hal ini selalu aktual

Page 62: Eutanasia

47

dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam

masalah klasik, suatu situasi dimana sebuah keadaan sulit yang harus diambil

oleh seorang tenaga medis untuk melakukan tindakan euthanasia atau tidak

sama sekali, dalam bidang kedokteran dan kesehatan permasalahan-

permasalahan tersebut merupakan faktor-faktor penyebabnya, di Indonesia

salah satu masalah itu adalah tentang euthanasia, dalam lafal sumpah dokter

yang disusun oleh Hipocrates (460-377 SM), masalah ini telah ditulis dan

diingatkan hingga saat ini persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah

euthanasia belum bisa diatasi dan diselesaikan dengan baik.62

Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan

masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak

tersembuhkan sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat,

maka dalam situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan

dari penderitaan ini, dan tidak ingin diperpanjang lagi hidupnya atau di lain

keadaan pada pasien yang sudah tidak sadarkan diri.

Oleh karena itu, masalah ini makin sering dibicarakan dan menarik

banyak perhatian, karena semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan

kedokteran dan masyarakat terutama setelah ditemukannya tindakan di dalam

dunia pengobatan, dengan menggunakan teknologi canggih dalam mengatasi

keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup, banyak kasus-

kasus di pusat pelayanan kesehatan terutama di bagian gawat darurat dan

bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu sudah merupakan kasus

62 Pertrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Prespektif Hak Azazi Manusia (Yogjakarta :

Media Presindo 2001), hlm. 82

Page 63: Eutanasia

48

yang tidak dapat dibantu lagi. Namun walaupun demikian pada kasus-kasus

tertentu tetap saja muncul persoalan dasar kembali.63

Masalah euthanasia ini semakin kompleks karena definisi dari kematian

itu sendiri telah menjadi kabur, pada masa-masa sebelumnya seseorang

dinyatakan meninggal jika ia sudah tidak dapat melakukan aktifitas bernapas

dan berhentinya fungsi jantung, sejak fungsi-fungsi organ vital tersebut sudah

dapat dipertahankan dengan menggunakan alat-alat yang modern seiring

dengan perkembangan dunia kedokteran maka definisi kematian termasuk juga

kematian otak, kurangnya aktifitas listrik untuk waktu yang cukup lama

sehingga tidak dapat mengembalikan fungsi otak juga dapat diterima.64

Selain itu dibahas pula beberapa macam bentuk penyebab terjadinya

euthanasia, antara lain adalah:

1. Menghentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada

gunanya (zinloos).

Dalam hal memberhentikan pengobatan atau perawatan medis yang

sudah tidak ada gunanya lagi (zinloos), masih terdapat perbedaan pendapat.

Ada yang menyebutnya sebagai bentuk euthanasia pasif, tapi ada juga yang

70 M. Jusuf hanafiah, dan Amri amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, , (Jakarta :

Buku Kedokteran, EEC 1999), hlm 104. 64 Ietha. Sumber ; Aikon, Mobil Terbang Euthanasia, tersedia di http : // remmanet, tripod.

Com / serba-serba. Htm) hlm 1.

Page 64: Eutanasia

49

menyebutnya sebagai betuk semu dari euthanasia. Dalam literatur lebih

banyak bentuk semu, bukan Euthanasia pasif.65

2. Penolakan perawatan medik oleh pasien (keluarganya).

Penolakan perawatan medik oleh keluarga si pasien ini ada yang

mengakibatkan kematian pasien, dan ada juga yang tidak mengakibatkan

matinya pasien.

Pada umumnya bila tidak ada izin dari pasien, dokter tidak

diperkenankan untuk melakukan tindakan medis dalam bentuk apapun,

walaupun akhirnya akan mengakibatkan meninggalnya pasien tersebut.

Penolakan perawatan medis ini erat kaitannya dengan hak-hak pasien.

Pasien mempunyai hak untuk menolak seluruh terapi atau tindakan medis

ataupun sebagian terapi. Adapun yang melandasi hak-hak pasien ini adalah

karena adanya The right of self determination atas badannya sendiri.66

3. Menghentikan pengobatan (perawatan) medik karena mati otak

(Braindeath)

Manusia yang hanya hidup secara vegetatif berarti ia tidak ada

bedanya dengan tumbuh-tumbuhan. Ia sudah tidak mempunyai rohani karena

otaknya sudah tidak berfungsi lagi (braindeath). Ia sudah tidak mampu

memberikan tanggapan, sedangkan kita tahu bahwa manusia itu mempunyai

65 Petrus yoyo karyadi, Op.Cit 66 Ibid, hlm.36

Page 65: Eutanasia

50

dua aspek, yaitu aspek jasmani dan rohani. Aspek rohani inilah yang

merupakan fungsi hakikinya bagi manusia dan yang membedakan manusia

dengan makhluk hidup lainnya. Jadi, kematian rohanilah yang harus menjadi

dasar utama untuk menentukan kapan seseorang sudah dianggap mati.67

Mati rohani ini berkenaan dengan berhentinya fungsi otak. Apabila

otak manusia sudah tidak berfungsi lagi (Braindeath), maka fungsi rohani

pun sudah tidak ada. Dunia medis saat ini mengatakan bahwa manusia

tersebut sudah dianggap meninggal dunia.68

Kriteria mati otak benar-benar mulai diperhatikan sejak tahun 1970-

an. Ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi biomedis yang begitu pesat,

sehingga mendesak dunia medis untuk merumuskan kembali pengertian

matinya seseorang. Dahulu, pengertian kapan matinya seseorang ditentukan

oleh denyut jantung. Dalam hal ini apabila si pasien mendapatkan perawatan

oleh medis maka EEG (Electro encephalo graphy) menjadi datar dalam

artian menentukan otak tidak memproduksi listrik lagi. Apabila jantung

seseorang sudah tidak berdenyut lagi (tidak bernafas) maka orang tersebut

sudah dianggap meninggal dunia. Akan tetapi, sekarang dengan adanya

teknologi yang semakin maju dan pesat di dunia medis, orang dapat bernafas

kembali walaupun secara atrifisial. Denyut jantung yang tersendat-sendat

67 Ibid, hlm.21 68 Ibid

Page 66: Eutanasia

51

dapat dipacu dengan alat pacu jantung, sehingga sekarang sudah dapat

berbicara tentang “mayat hidup”.69

4. Pengakhiran hidup pasien akibat persedian peralatan medis yang

terbatas (emergency).

Bentuk euthanasia semu ini dapat terjadi apabila di suatu rumah

sakit kekurangan alat medis untuk menunjang usaha penyelamatan pasien.

Misalnya, terjadi tabrakan bis dan banyak korban yang harus ditolong.

Kemudian para korban tersebut segera dibawa ke ruang gawat darurat

(emergency). Ternyata banyak korban yang harus dipasangi respirator,

sedangkan alat tersebut sangat terbatas. Respirator tidak mungkin dipasang

secara bergantian dari pasien yang satu ke pasien yang lainnya sehingga ada

beberapa pasien yang tidak terpasang respirator, dan kemudian mereka

meninggal dunia. Maka dalam hal demikian, tidak terjadi kasus euthanasia.

Dokter atau tenaga medis lainya yang sedang bertugas di ruang darurat

tersebut tidak dapat disalahkan telah melakukan euthanasia.70

Di antara sekian banyaknya penemuan-penemuan teknologi yang

tidak kalah penting dan pesatnya dalam perkembangannya adalah di bidang

kedokteran. Melalui perkembangan teknologi kedokteran yang maju

tersebut, diagnosa mengenai sesuatu penyakit dapat dilakukan lebih

sempurna dan pengobatan penyakitpun dapat dilakukan secara efektif. Salah

69 Ibid, hlm. 37 70 Ibid, hlm. 40

Page 67: Eutanasia

52

satu perkembangan di dunia medis yaitu dimana hidup seseorang pasien pun

dapat diperpanjang untuk sesuatu waktu tertentu, yaitu dengan memasang

sebuah Respirator. Perhitungan saat kematian seseorang penderita penyakit

tertentu dapat dilakukan secara lebih tepat. Suatu kenyataan, walau

teknologi di bidang kedokteran begitu majunya, namun beberapa pasien

tetap tak dapat dihindarkan dari penderitaan yang berat, baik fisik maupun

mental, sehingga masalah tersebut tetap merupakan ganjalan yang

memerlukan pemecahan dan penanganan yang lebih sempurna lagi. Lagi

pula kita semestinya harus ingat bahwa penemuan dan perkembangan

teknologi di bidang kedokteran tersebut bukan tidak mustahil justru akan

mendatangkan dan mengundang berbagai masalah yang sangat pelik dan

rumit.

Kadang-kadang kita mesti tidak boleh lupa bahwa manusia itu tidak

dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan dasar dalam hidup ini, walau

bagaimanapun majunya ilmu pengetahuan. misalnya, persoalan kelahiran,

kesehatan dan kematian. Khusus mengenai kematian, tidak dapat seorang

pun mengetahui kapan pasti ia akan mati, bagaimana cara ia mati dan apa

yang dialaminya setelah ia mati, ilmu pengetahuan pun belum bisa

menjawab persoalan-persoalan tersebut. hal ini tetap merupakan satu

tantangan bagi manusia untuk menyelidiki dengan ilmunya.

Page 68: Eutanasia

53

B. PERKEMBANGAN EUTHANASIA DI BERBAGAI NEGARA

Perkembangan yang terjadi di berbagai negara merupakan suatu

bentuk kemajuan di bidang dunia medis diantaranya ada di beberapa negara

yaitu :71

1. BELANDA

Di Belanda, euthanasia atau The right to die masih dianggap

tindakan ilegal berdasarkan undang-undang kriminalnya. Akan tetapi,

sejumlah kasus euthanasia boleh dilakukan setelah dokter tidak

mampu lagi memberikan pengobatan yang berarti terhadap pasiennya.

Sekarang di Belanda sudah ada sebuah organisasi yang menampung

permintaan warga negara Belanda untuk mati. Organisasi tersebut

diberi nama Dutch Society for Voluntary Euthanasia. Badan ini

dibentuk dan diakui sebagai badan resmi sejak tahun 1980.

Dalam sejarah euthanasia di Belanda terdapat pula tokoh yang

berperan memperjuangkan euthanasia, yaitu: Jeane Tromp Meesters

adalah salah seorang yang paling aktif mengkampanyekan The right

to die di negeri Belanda. Secara demonstratif ia mengajak masyarakat

belanda untuk memperjuangkan The right to die. Ternyata kampanye

-kampanyenya cukup gencar, sehingga setiap tahunnya ada sekitar

600 sampai dengan 700 orang yang mengatakan keinginannya untuk

mati lewat badan sosial tempat berkumpulnya para sukarelawan

71 Ibid, hlm 43- 48.

Page 69: Eutanasia

54

euthanasia tersebut. Sepertiga dari mereka yang menuntut hak mati

adalah penderita penyakit kanker. Sebagian lagi karena usia sudah tua

dan penderita penyakit lain yang kronis dan sangat menyiksa.

Semua kasus kematian lewat euthanasia yang melalui

organisasi sosial tersebut ditangani oleh dokter yang bersedia

melakukannya. Akan tetapi, dari sejumlah kasus hanya sedikit yang

diekspos secara terang-terangan. Ini dikarenakan rasa takut mereka

(para dokter) untuk berurusan dengan pengadilan, jika di kemudian

hari ada yang menyatakan keberatan. Karena euthanasia di Belanda

masih dianggap sebagai tindakan ilegal.

2. AMERIKA SERIKAT

Perkembangan euthanasia di Amerika Serikat cukup menarik

untuk disimak. Pada tahun 1973 mayoritas orang Amerika Serikat (53

persen) berpendapat bahwa salah untuk memberikan hak kepada

seseorang pasien yang sakit berkepanjangan dan tidak punya harapan

sembuh untuk melepaskan diri dari penderitaan. Riset ini dilakukan

oleh Lousi Harris and Associates.

Pada tahun 1985 publik Amerika berubah drastis. Untuk

pertanyaan yang sama seperti tersebut di atas, 61 persen dari orang-

orang yang diminta mengisi angket menyatakan bahwa benar

memberikan hak untuk mati kepada pasien.

Page 70: Eutanasia

55

Hasil angket lainya pada tahun 1973, menunjukan bahwa 62

persen percaya bahwa seseorang pasien yang sakit berkepanjangan

dan terus menerus bergantung pada alat penopang hidupnya

mempunyai hak untuk meminta kepada dokternya agar mencabut alat

penopang hidupnya dan membiarkannya mati. Jumlah yang setuju

atas hak pasien untuk mati ini kemudian menjadi 85 persen pada

tahun 1985.

3. JEPANG

Di Nagoya (Jepang) telah terjadi beberapa kasus euthanasia.

Berdasarkan Yurisprudensi dari Pengadilan Tinggi Nagoya ada enam

syarat untuk dapat melakukan euthanasia, antara lain yaitu:

a. Pasien atau calon korban harus masih dapat membuat

keputusan dan mengajukan permintaan tersebut dengan

serius.

b. Pasien harus menderita nyeri yang tidak tertahankan.

c. Pasien harus menderita penyakit yang tidak terobati pada

stadium akhir/dekat pada kematiannya.

d. Tujuannya adalah sekedar melepaskan diri dari rasa nyeri.

e. Dilakukan oleh Dokter yang berwenang atau atas

petunjuknya.

f. Kematian harus melalui cara kedokteran dan manusiawi

Page 71: Eutanasia

56

4. URUGUAY

Dalam hal euthanasia Undang-undang hukum pidana Uruguay

melangkah jauh. Dalam Undang-undang hukum pidana tersebut

disebutkan bahwa hakim dapat menganggap seseorang tidak

bersalah, bila melakukan pembunuhan yang bermotifkan adanya

perasaan belas kasihan sebagai kelanjutan dari permintaan pasien

kepadanya yang berulang-ulang. Hal ini berarti di Uruguay,

euthanasia aktif atas permintaan pasien itu sendiri bukan tindakan

kriminal.

5. CEKOSLOVAKIA

Menurut perundang-undangan yang berlaku di Cekoslovakia,

tindakan euthanasia dapat dibenarkan (tidak bertentangan dengan

hukum positif), asalkan dengan pembatasan-pembatasan tertentu.

Adapun batasan-batasan tersebut antara lain adalah berupa syarat,

yaitu bahwa euthanasia hanya dapat dilakukan jika ada suatu

keputusan bulat antara sanak keluarga dan sejumlah ahli-ahli

tertentu, serta mendapat persetujuan dari pasien.

C. EUTHANASIA MENURUT PANDANGAN HUKUM KEDOKTERAN

Memberikan hak kepada individu untuk mendapatkan pertolongan

dalam pengakhiran hidupnya, bagi banyak Negara masih menjadi

perdebatan yang sengit. Sampai sekarang ini, kaidah non-hukum yang

Page 72: Eutanasia

57

manapun (agama, moral, kesopanan), menentukan bagaimana membantu

orang lain untuk mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang

bersangkutan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh adalah perbuatan

tidak baik. 72

Di Indonesia, pemberian bantuan kepada pasien yang dalam keadaan

kritis untuk diakhiri hidupnya dengan cara, antara lain, menyuntikkan obat

yang membuat pasien mati.73

Yang seringkali terjadi adalah penolakan pasien untuk diberikan

bantuan/pertolongan pelayanan kesehatan, sehingga pasien yang tidak

mendapatkan pelayanan kesehatan meninggal dunia, dan dokter/rumah sakit

yang ditentukannya karena TROS, tidak dapat memaksakan pasien untuk

menerima pertolongan kesehatan, padahal jika pasien mau menerima

pertolongan, kemungkinan pasien untuk sembuh sangat besar. Terdapat juga

keadaan, keluarga pasien meminta kepada dokter agar pasien yang sudah

mati batang otak, tidak diteruskan lagi penanganannya, misalnya mencabut

alat infus, sehingga pasien akan meninggal dunia secara alamiah, begitu

kelihatannya.

Rumah sakit atau dokter, menghadapi permintaan pasien/keluarga

pasien, karena takut pada tuntutan hukum, kemudian menyuruh

pasien/keluarga pasien untuk mencabut sendiri peralatan infus atau

respirator. Konstruksi pemikiran rumah sakit/dokter, dengan dilakukan

72 Wila Chandrawila Supriadi, Hukum kedokteran, ( Bandung : Mandar Maju, 2001), hlm.

106. 73 Ibid, hlm 107

Page 73: Eutanasia

58

sendiri oleh pasien/keluarga pasien, maka mereka tidak dapat dimintai

pertanggungjawabannya.74

Seringkali terjadi, rumah sakit/dokter meminta surat yang berisi

pertanyaan pasien/keluarga pasien yang menghendaki dihentikannya upaya

penyembuhan pasien, barulah rumah sakit/dokter berani mencabut peralatan

infus/respirator.

Tindakan yang diuraikan di atas, bukanlah perbuatan yang dapat di

kategorikan memenuhi unsur-unsur dalam pasal 344 KUHP, sebab tenaga

kesehatan (dokter), dalam hal ini tidak membantu mengakhiri hidup pasien.

Tindakan pengakhiran hidup pasien yang menderita kematian batang

otak sudah seringkali dilakukan di Indonesia, namun tidak sesuai dengan

pasal 344 KUHP, sebab tidak terdapat unsur permintaan dengan nyata dan

dengan sungguh-sungguh dari pasien, pertimbangan dihentikan pertolongan

kepada pasien karena pasien sudah tidak memiliki kemungkinan sembuh

dan dengan kematian dari batang otak, dapat dikatakan pasien telah mati

secara klinis.75

Keadaan dimana keluarga pasien harus melakukan sendiri peralatan

infus/respirator, membuat keadaan tidak nyaman, karena keluarga pasien

dibebani oleh perasaan tidak menyenangkan, selain telah kehilangan salah

satu anggota keluarga, ditambah lagi dengan perasaan bersalah telah

mengakhiri hidup pasien dengan mencabut peralatan hidup

pasien/respirator.

74 Wila Chandrawila Supriadi, Op.Cit 75Ibid,

Page 74: Eutanasia

59

Pertanyaannya, apakah keadaan seperti ini perlu berlarut-larut terjadi?

Di satu sisi ada kebutuhan akan tindakan tertentu, dan di sisi lain ada

ketakutan dari tenaga medis/rumah sakit terhadap tuntutan hukum dari

keluarga pasien atau penegak hukum. Bahwa pihak rumah sakit/dokter telah

melakukan “pembunuhan”. Dalam permasalahan ini agar hal tersebut tidak

berlarut-larut dan dapat memberikan suatu kejelasan yang tidak simpangsiur

maka terdapat adanya pengaturan di dalam undang-undang nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik kedokteran pada pasal 45 yang mengatur tentang

setiap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter harus mendapat

persetuajuan atau pun penolakan tindakan medis dari si pasien itu sendiri

atau pun dari pihak keluarganya.

Dalam hal untuk menjawab pertanyaan tersebut, Penulis melakukan

wawancara langsung dengan seorang narasumber yaitu Dr. Faiq Bahfen,

beliau menerangkan bahwa untuk perdebatan masalah tentang euthanasia di

dasari oleh suatu persoalan yaitu apa sebenarnya definisi dari mati, menurut

Dr. Faiq Bahfen definisi tentang mati dapat diukur dengan tidak

berfungsinya batang otak seorang pasien, bila masih berfungsinya batang

otak masih ada kemungkinan dapat diberi nafas dan bila mati batang otak

berarti sudah dianggap telah mati, menurut Bapak Dr. Faiq Bahfen

persoalannya bahwa semua orang harus mengetahui dahulu apa arti mati,

apakah setiap pengakhiran itu adalah permintaan mati, sedangkan batang

otak sudah mati tetapi masih dipasang pentilator atau Respirator dan bila

pasien masih bernafas apakah itu termasuk dalam permintaan mati?

Page 75: Eutanasia

60

Menurut pandangan Bapak Dr. Faiq Bahfen, persepsi tentang hal tersebut

adalah tidak benar. Menurutnya, tidak ada pengaturan seperti itu di Negara

Indonesia dan keadaan jika mati batang otak dan masih bernafas maka dapat

disebut dalam keadaan vegetatif dan seharusnya sudah mati dalam keadaan

bila dicabut respirator tersebut tidak jelas adanya. Sedangkan, di Negara

Belanda sudah ada pengaturan atau Undang-undang mengenai Euthanasia

dan diperbolehkan melakukan tindakan Euthanasia walaupun batang otak

pasien masih berfungsi. Seseorang yang meminta mati, misalnya seseoarang

yang sedang sakit kanker pada stadium akhir dan sangat menderita, dia

meminta untuk dimatikan maka permintaan si pasien tersebut dikabulkan.

Akan tetapi hal tersebut mempunyai batasan, yaitu bila seorang yang sehat

meminta untuk dimatikan maka permintaan orang tersebut tidak dapat

diperbolehkan, tetapi apabila ada orang yang sudah mengalami sakit yang

betahun-tahun dan sudah tidak mempunyai kemungkinan untuk kembali

pada kondisi tubuh sehat maka dapat dipertimbangkan untuk dilakukannya

tindakan euthanasia. Jadi hal untuk melakukan tindakan euthanasia tidak

sembarangan, dengan adanya Undang-undang Euthanasia di Negara

Belanda hak hidup atas seseorang berarti ada hak untuk mati, sedangkan di

Negara Indonesia hak untuk mati pada dasarnya ada di tangan Tuhan. Oleh

sebab itu, di Indonesia masih belum jelas untuk menentukan definisi mati

yang sebenarnya, apabila definisi dari mati sudah jelas barulah dapat

ditentukan lebih jelas tentang tindakan dari yang menyebabkan atau telah

matinya seseorang, apabila di Indonesia telah sepakat suatu kematian itu

Page 76: Eutanasia

61

ditentukan dengan berfungsi atau tidaknya batang otak seorang pasien,

maka dengan ketentuan tersebut seorang dokter akan memeriksa bagian

batang otak tersebut untuk diambilnya kesimpulan bahwa pasien tersebut

telah mati. Kalaupun batang otak seorang pasien sudah tidak berfungsi,

maka dapat diambil kesimpulan bahwa itu bukanlah permintaan untuk mati

seorang pasien ( Euthanasia) dan keadaan tersebut memang keadaan dimana

pasien memang sudah seharusnya untuk mati. Jadi, sebaiknya kondisi

dimana pasien memang seharusnya untuk mati tidak harus ditunjang dengan

peralatan medis yang berlebihan, karena kondisi tersebut akan percuma saja.

Pada faktanya di Indonesia tidak seperti itu, bila seseorang masih bernafas

berarti masih dianggap hidup, padahal kondisi seperti itu tidak

memungkinkan untuk hidup dalam keadaan normal bila tidak di bantu

dengan alat respirator atau alat bantu pernafasan.76

Dalam euthanasia dapat dilakukan misalnya, dengan permintaan

ataupun karena penyakit dari si pasien itu sendiri. Bila euthanasia itu dengan

permintaan maka harus dipertimbangkan terlebih dahulu dari segi Agama,

Kedokteran, Psikologi, dan hal yang lainnya, bahwa tindakan tersebut sudah

betul atau tidak dilakukan pada orang/pasien yang meminta untuk

dilakukannya euthanasia.

Jadi menurut Bapak Dr. Faiq Bahfen dalam hal pro dan kontra tentang

Euthanasia di Indonesia yaitu harus adanya kesepakatan definisi tentang

mati. Sedangkan menurut paham di Indonesia tidak ada pengaturan untuk

76 Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. Faiq Bahfen, Pakar Hukum Kesehatan dan Kedokteran, Staf Ahli Departemen Kesehatan RI, 11 Mei 2010, Pukul 09:00 WIB

Page 77: Eutanasia

62

mengajukan permintaan mati, bila hal tersebut ingin dilakukan di Indonesia

maka para ahli medis atau dokter dan pakar hukum kedokteran harus

sepakat terlebih dahulu mengenai definisi kematian, apakah ditentukan

dengan tidak berfungsinya batang otak atau berhentinya pernafasan, barulah

dapat dilakukan Euthanasia di Indonesia.77

Hukum di Indonesia belum mengatur hal-hal seperti ini, sebaiknya

pemerintah Indonesia membentuk Undang-undang untuk mengatur tentang

“hak pasien untuk mati” dalam hal ini bukan membentuk suatu Undang-

undang tentang Euthanasia seperti di Negara Belanda, namun melalui

peraturan hak pasien, namun membentuk peraturan seperti itu tidaklah

mudah, sebab memberikan hak kepada seseorang atau kepada satu pihak ,

berarti meletakkan kewajiban pada pihak lainnya. Mendapatkan hak selalu

menyenangkan, tetapi mendapatkan kewajiban sangatlah tidak selalu

menyenangkan. Dari sudut pandang kedokteran, dalam pelaksanaan

pelayanan kesehatan, terdapat apa yang dikenal dengan hubungan medis,

dalam hubungan dokter–pasien dikenal juga dengan hubungan hukum, bila

hubungan itu dilihat dari sudut pandang hukum. Hubungan ini terkadang

sering berbenturan, sebab berbicara tentang pasien, maka segi yuridis dari

hubungan dokter-pasien yang akan mendominasi. Berbicara tentang

hubungan medik, maka peran dokter yang lebih menonjol, dengan perkataan

lain, kadangkala terjadi benturan antara hubungan yuridis dengan hubungan

medis bila terjadi benturan antara kedua macam hubungan ini, maka akan

77 Ibid Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. Faiq Bahfen,

Page 78: Eutanasia

63

timbul masalah. Pengaturan yang harmonis dalam hubungan dokter-pasien,

baik dari segi hukum, maupun dari segi medik dapat dilakukan apabila

kedua belah pihak sadar akan hak dan kewajibannya masing-masing,

sehingga rumah sakit/dokter tidak ragu-ragu lagi untuk melakukan suatu

tindakan kepada seorang pasien.78

Banyak orang yang berpendapat, kalau Indonesia mengakui bunuh

diri itu hak untuk mati, maka perlu pula diatur untuk hal-hal tertentu bagi

pasien yang tidak mampu untuk melakukan bunuh diri, tetapi

penderitaannya tidak tertahankan, untuk mendapatkan pertolongan untuk

mengakhiri hidupnya dengan tidak membebani pihak lain dengan perasaan

bersalah atau tidak nyaman atas suatu tindakan yang telah dilakukan pada

orang lain.79

Perlu kiranya direnungkan/dipikirkan, selain hak seseorang untuk

mendapatkan hidup sehat, ada hak seseorang, apabila kualitas hidup sudah

sedemikian buruknya, untuk mati dengan keadaan sebaik mungkin, dengan

catatan tanpa perlu membebani pihak manapun juga dalam hal untuk

mengakhiri hidup orang tersebut, tentunya untuk kasus-kasus tertentu saja.80

.

78 Wila Chandrawila Supriadi, Op. Cit

79 Ibid 80 Ibid

Page 79: Eutanasia

64

BAB IV

EUTHANASIA DI TINJAU DARI PERSPEKTIF AGAMA & HUKUM

PIDANA DI INDONESIA

A. EUTHANASIA DI TINJAU DARI SEGI PERSPEKTIF AGAMA DI

INDONESIA

Di negara hukum seperti di Negara Republik Indonesia ini, segenap

warga negara harus tunduk dan taat kepada hukum tanpa terkecuali. Segala

hal diatur dan mempunyai peraturan sendiri. Dimana seseorang tidak dapat

bertindak semena-mena di luar peraturan yang berlaku dalam negara. Apabila

seorang masyarakat baik itu pribadi maupun kelompok atau badan melakukan

perbuatan dengan tanpa menghiraukan atau dengan tanpa mengindahkan

peraturan yang sudah ditentukan, maka apabila tindakan atau perbuatan

tersebut bertentangan dengan peraturan yang ada maka dalam hal ini orang

baik pribadi kelompok atau badan harus diberikan sanksi yang berlaku sesuai

dengan apa yang sudah ditentukan dalam peraturan yang dilanggarnya.

Dalam hal profesi kedokteran, bisa saja terjadi hal-hal yang tidak disengaja

atau diluar kemampuan manusia itu sendiri untuk mengatasinya. Bukan tidak

mungkin pula kelalaian, kesalahan atau bahkan pelanggaran hukum dilakukan

oleh paramedis tersebut.81

Dalam kaitan inilah harus diingat, selain tanggung jawab medis,

seorang dokter justru harus dapat mempertanggungjawabkan semua

perbuatannya terhadap pasiennya menurut hukum yang berlaku, seperti

81 Chrisdiono M Achdiat , Op.Cit

Page 80: Eutanasia

65

halnya pada euthanasia yang tampaknya akan semakin sering dihadapi oleh

para dokter disebabkan banyaknya penyakit yang semakin tidak dapat diatasi

lagi ataupun disebabkan dari faktor keluarga yang telah tidak mampu untuk

membiayai perawatan yang diberikan rumah sakit kepada pasien. Harus

disadari bahwa euthanasia ternyata lebih banyak “muatan” hukumnya

dibandingkan sekedar masalah teknis-medis belaka karena dalam hal ini

euthanasia erat hubungannya dengan nyawa seseorang dimana seorang

dokter diberikan pilihan yang sulit untuk menghadapinya.82

Baik menurut hukum maupun sumpah dokter dan etika kedokteran,

euthanasia tidak diperbolehkan oleh para dokter terhadap pasiennya. Selama

ini belum pernah terdengar adanya kasus euthanasia digelar di pengadilan,

tapi hal itu bukan berarti bahwa kasus euthanasia tidak pernah dihadapi oleh

para dokter.

Jika kita meneliti sejarah perkembangan hukum di Indonesia,

terutama hukum pidananya hingga saat ini dilihat dari aspek yuridis

praktisnya nampaknya belum pernah ada permasalahan ”euthanasia” itu

dijadikan dan diajukan sebagai suatu perkara pidana sebagaimana terdapat

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Oleh karena itu dalam setiap

pembahasan masalah euthanasia khususnya aspek yuridis, maka

perkembangan euthanasia baik mengenai pelaksanaannya pun demikian pula

yurisprudensi dari perundang-undangan mengenai euthanasia di negara-

82 Ibid,

Page 81: Eutanasia

66

negara lain yang serupa itu cukup mempunyai peran penting sebagai bahan

pembanding.

1. MENURUT PANDANGAN AGAMA ISLAM (MUI)

Dalam hal euthanasia di Indonesia, karena Indonesia adalah negara

yang memiliki keanekaragaman kepercayaan agama dalam masyarakatnya.

Penulis melakukan wawancara secara langsung dengan para tokoh agama

yang mewakili agamanya masing-masing serta pakar hukum kesehatan.

Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara secara langsung dengan Bapak

DR.K.H.M. Hamdan Rasyid, MA selaku Ketua MUI Majelis Ulama

Indonesia) untuk Propinsi DKI yang merupakan salah satu organisasi

keagamaan di Indonesia dari pihak yang mewakili masyarakat Islam, beliau

menjelaskan bahwa MUI sebagai salah satu organisasi umat Islam di

Indonesia yang memberikan Fatwa atau sebuah larangan bagi umat Islam

untuk melakukan tindakan medis euthanasia, menurut Majelis Ulama

Indonesia, euthanasia adalah suatu tindakan yang diharamkan menurut

Agama Islam, karena tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang

mempercepat proses kematian seseorang yang dilakukan oleh tenaga medis,

dengan cara menyuntikkan sejenis obat-obatan dengan dosis yang tinggi guna

mempercepat proses kematian seseorang ataupun pencabutan alat bantu

pernapasan yang berguna mempertahankan hidup si pasien yang sudah dalam

keadaan kritis atau sudah tidak ada harapan lagi untuk kembali sembuh.

Namun menurut MUI, bilamana dalam sebuah keadaan yang terpaksa

Page 82: Eutanasia

67

misalnya pasien yang keluarganya tidak memiliki biaya untuk proses

penyembuhannya, maka dapat diperbolehkan suatu tindakan pengakhiran

hidup pada pasien tersebut, karena faktor sudah tidak ada biaya lagi. Terkait

masalah ini MUI mengeluarkan Fatwa tentang larangan euthanasia

khususnya di Indonesia berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an yaitu surat Ali-

Imran ayat 3:156,

1. Menurut Islam, Hukum Euthanasia adalah haram, karena hak

untuk menghidupkan dan mematikan manusia hanya berada di

tangan Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat

Ali Imran ayat 156:

Artinya:

“Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat

apa yang kamu kerjakan”. Ali Imran, 3: 156.

2. Menurut ketentuan surat An-Nisa ayat 4:29, berbunyi : Euthanasia

merupakan suatu tindakan bunuh diri yang diharamkan oleh Allah

SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat An-Nisa’ ayat

29:

Artinya:

Page 83: Eutanasia

68

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya

Allah adalah Maha penyayang kepadamu”. An-Nisa’, 4:29.

3. Demikian juga firman-Nya dalam surat Al-An’am ayat 151:

Artinya:

“Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”.

Al-An’am, 6:151.

4. Seseorang yang sengaja melakukan tindakan bunuh diri, meskipun

dengan cara melakukan Euthanasia maka selamanya akan menjadi

penghuni neraka jahannam. Sebagaimana telah disabdakan

Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam

Bukhari dari sahabat Abu Hurairah RA. Sebagai berikut:

Page 84: Eutanasia

69

Artinya:

“Barangsiapa segaja menjatuhkan diri dari gunung untuk bunuh diri kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka jahannam selama-lamanya dalam keadaan selalu menjatuhkan diri. Barangsiapa sengaja menenggak racun untuk bunuh diri kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka jahannam selama-lamanya dalam keadaan menenggak racun. Dan barangsiapa sengaja melakukan bunuh diri dengan besi kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka jahannam selama-lamanya dalam keadaan sakit karena menusukkan besi ke dalam tubuhnya sendiri83

5. Seorang yang menderita suatu penyakit, betapapun parahnya dan

sekalipun tidak ada harapan untuk disembuhkan adalah sedang

diuji oleh Allah SWT; apakah dia bersabar dalam menghadapi

musibah atau tidak. Demikian juga keluarganya. Oleh karena itu ia

tidak boleh meminta kepada Dokter atau orang lain agar

dipercepat kematiannya. Satu-satunya yang boleh dilakukan

adalah berdo’a kepada Allah SWT dengan do’a sebagai berikut:

Artinya:

“Ya Allah hidupkanlah aku sepanjang hidup itu lebih baik bagiku.

Dan matikanlah aku sepanjang kematian itu lebih baik bagiku”.84

83 Muhammad bin ‘ismail’il Abu ‘ Abdullah Al-Bukhari, al-jami’ as-Shahih al-Mukhatashar,

(Beirut: Dar al-fiqr, 1987), juz ke- 5, hlm. 2179, no. 5442.

84 Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mariy an-Nawawi, Shahil Muslim bi syarh an-Nawawi, (Beirut: Dar ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H), Juz 17. Hal 7

Page 85: Eutanasia

70

Menurut pihak dari MUI bahwa Fatwa tentang larangan euthanasia

sudah dikeluarkan dan sudah diberlakukan secara efektif sejak tahun 90-an

Fatwa ini sudah berlaku sebelum adanya pengajuan permohonan tindakan

euthanasia kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh Panca Satria Hasan

Kesuma kepada isterinya Ny. Agian Isna Nauli yang sedang dalam keadaan

koma atau tidak sadarkan diri di tahun 2004. Bentuk dari Fatwa tidak dapat

memberikan sanksi atas pihak yang melanggar Fatwa tersebut dikarenakan

Fatwa hanya bersifat sebuah penjelasan tentang sesuatu larangan ataupun

sebuah himbauan bagi umat muslim di seluruh Indonesia agar tidak

melanggar larangan tersebut berkaitan dengan dosa orang yang melakukan

tersebut terhadap Allah SWT. Adapun cara atau upaya yang dilakukan oleh

pihak MUI adalah dengan melakukan sosialisasi dan mengumumkan bahwa

euthanasia tersebut merupakan perbuatan yang bersifat mendahului takdir

yang ditentukan oleh Allah SWT karena pada dasarnya yang berhak

mematikan manusia adalah Allah SWT yang menciptakannya, namun bila hal

tersebut dilanggar maka akan mendapatkan dosa.85

2. MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA (WALUBI)

Penulis juga melakukan wawancara kepada pihak Walubi yaitu

perwakilan organisasi keagamaan yang mewakili umat Buddha mengenai

euthanasia yang diwakilkan oleh Romo Ruby S.Ag, MM.

85 Hasil Penelitian, Wawancara dengan Bapak K.H. Hamdan Rasyid selaku Ketua Majelis

Ulama Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Tanggal 10 mei 2010, Pukul 13.00 WIB

Page 86: Eutanasia

71

Euthanasia di dalam agama Buddha yang namanya melakukan

pembunuhan dengan apapun bentuknya, baik mengatasnamakan agama

itupun sangat tidak dibenarkan, karena dalam agama Buddha mengenal 5

Pancasila Buddies yang menjadi lambang Pancasila Negara Indonesia, ada

Pancasila Buddies yang harus dipegang teguh oleh umat Buddha serta harus

menghindari pembunuhan apapun bentuknya dan sekecil apapun perbuatan

tersebut, karena agama Buddha berpegangan teguh pada moralitas sila, yaitu:

1. Sila pertama, dilarang untuk membunuh

2. Sila kedua dilarang untuk mencuri

3. Sila ketiga dilarang untuk melakukan perbuatan asusila atau

berzinah, melakukan hubungan di luar dari suami atau isterinya

sendiri.

4. Dilarang berbicara yang tidak benar atau berbohong dan yang

terakhir adalah larangan untuk tidak memakan dan meminum

sesuatu yang mengakibatkan lemahnya kesadaran.

Pancasila Buddies inilah yang menjadi dasar yang dipegang teguh

oleh umat Buddha, jadi bilamana ada pertanyaan tentang dapatkah euthanasia

dibenarkan menurut agama Buddha? Menurut ajaran agama Buddha apapun

alasannya walaupun dengan mengatasnamakan agama Buddha, agama

Buddha tidak membenarkan hal tersebut. Contohnya Apabila seseorang

mempunyai penyakit kronis, menurut pandangan agama Buddha seseorang

yang mengalami sakit tersebut baik anak, suami-isterinya, atau keluarganya

diberikan kesempatan untuk melakukan suatu kebaikan kepada leluhur,

Page 87: Eutanasia

72

dimana leluhur tersebut mempunyai jasa yang luar biasa atas hidup di masa

lalu, karena dalam agama Buddha dikenal dengan istilah Karma, baik itu

Karma baik maupun Karma buruk. Dimana apabila seseorang melakukan

kebajikan kepada orang lain maka di kehidupan yang akan datang atau lebih

dikenal dengan istilah Reinkarnasi, orang tersebut akan mendapatkan

kebaikan yang setimpal atas kebaikan yang telah dia lakukan di kehidupan

yang lalu. Begitupun sebaliknya apabila seseorang yang melakukan Karma

buruk akan mendapatkan balasan atas kejahatan yang telah dilakukannya.

Dalam agama Buddha hukuman atau sanksi yang akan didapatkan oleh orang

yang telah melakukan tindakan euthanasia ataupun yang menganjurkan

tindakan tersebut, menyuruh, berarti sudah melakukan Karma buruk karena

tindakan tersebut telah membuat sebuah penderitaan bagi orang lain.86

3. MENURUT PANDANGAN AGAMA KRISTEN (PGI)

Menurut Agama Kristen Penulis melakukan wawancara kepada pihak

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang mewakili umat Kristen di

Indonesia yang diwakili oleh Bapak Novel Matindas, M.TH mengenai

masalah Euthanasia.87 Menurut bapak Novel Matindas pandangan Agama

Kristen mengenai masalah euthanasia tidak bisa dikatakan dari sudut pandang

Protestan ataupun Katolik karena sifatnya beragam pandangan, bahkan

86 Hasil Penelitian Wawancara dengan Romo Rubby S.Ag, MM Pihak dari WALUBI, Daerah

khusus Ibukota Jakarta, Tanggal 19 mei 2010, Pukul 15.00 WIB 87 Hasil Penelitian Wawancara dengan Novel Matindas, M.TH Pihak dari PGI (persatuan

Gereja-greja di Indonesia daerah khusus Ibukota Jakarta, Tanggal 1 Juni 2010, Pukul 14.30 WIB.

Page 88: Eutanasia

73

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sendiri pun belum dapat menentukan

pandangannya secara khusus melarang tindakan euthanasia. Mengenai

pengaturan masalah euthanasia pada ajaran agama Kristen, tergantung

bagaimana penerapan ajaran-ajaran masing-masing Gereja. Di dalam

Persekutuan Gereja-gereja Indonesia sendri terdapat 88 Synode Gereja yang

ajarannya tidak sama. Tetapi baik di Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia

sendiri sudah pasti tidak sama dengan 88 ajaran Synode yang ada, PGI lebih

memilih jalan Moderat artinya tidak menolak 100% dan tidak juga

menyetujui 100% karena euthanasia ini bersifat etika. Sebenarnya kehidupan

ini diyakini dari Tuhan asalnya dan ada orang yang beranggapan ketika

seorang Dokter atau keluarga melakukan euthanasia berarti kita telah

dianggap membunuh orang itu, tetapi orang yang memang sistem

kehidupannya sudah tidak berfungsi lagi dengan baik dan harus ditopang

dengan alat-alat kedokteran yang bisa membuat orang tersebut dalam keadaan

bernafas walaupun tingkat kesadarannya tidak ada, namun ketika alat bantu di

cabut maka orang tersebut akan meninggal, jadi pada intinya bagaimana

seseorang berhadapan dengan teknologi canggih. Dalam hal ini yang dilarang

dalam ajaran-ajaran Agama Kristen yang diyakini oleh Persekutuan Gereja-

gereja di Indonesia adalah tindakan membunuh sesama manusia artinya

mengambil alih apa yang menjadi wewenang Tuhan atau Sang Pencipta yang

menciptakan manusia, Tuhan yang memberikan kehidupan dan Tuhan pula

yang berhak mencabut hak-hak kehidupan yang telah diberika kepada

Page 89: Eutanasia

74

manusia. Bahkan bukan dari orang itu sendiri memohon untuk dimatikan

ataupun melakukan tindakan bunuh diri.

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sendiri tidak mempunyai

aturan secara khusus mengenai masalah euthanasia secara tertulis maupun

secara tidak tertulis, tetapi di dalam ajaran-ajaran Agama kristen hanya ada

disebut dengan Dokumen Keesaan Gereja yang gunanya merupakan panduan

yang dikeluarkan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dan harus

dijalani oleh Gereja-gereja yang bernaung di bawah PGI dan diterapkan

kepada umat Nasrani. Dan di dalam dokumen keesaan Gereja, secara khusus

tidak diatur mengenai masalah euthanasia tetapi mengenai panduan

kehidupan serta bagaimana kita menyikapi kehidupan manusia. Maka

kesimpulanya, menurut Bapak Novel Matindas mengenai pengaturan tentang

masalah euthanasia di dalam Dokumen Keesaan Gereja adalah tidak ada.88

Untuk masalah sanksi yang diberikan kepada umat Kristen, Dahulu ada

aturan yang bernama sanksi Gereja dan diberlakukan kepada jemaat yang

melanggar aturan Gereja tetapi hal tersebut tidak berlaku lagi dan tidak lagi

dikeluarkan oleh PGI karena pada dasarnya PGI tidak bisa menghukum

seseorang seperti adanya sistem yang dimiliki oleh pengadilan. Jadi sanksi

tersebut hanya diberikan oleh masing-masing Gereja saja. Maka oleh sebab

itu, sampai saat ini belum ada sanksi yang diberikan kepada umat Kristen

mengenai masalah euthanasia. Euthanasia ini bisa terjadi kapan saja dan

dimana saja tetapi itupun di luar dari pantauan pihak PGI, tetapi pihak PGI

88 Ibid, Hasil Penelitian Wawancara dengan Novel Matindas, M.TH Pihak dari PGI

Page 90: Eutanasia

75

sendiri mengatakan bahwa Gereja-gereja yang bernaung di bawahnya saat ini

tidak pernah sama sekali ada umatnya melakukan tindakan euthanasia.

Adapun upaya yang dilakukan pihak PGI mengenai permasalahan

euthanasia adalah dengan melakukan diskusi-diskusi terbuka yang dilakukan

oleh pihak kedokteran ataupun secara lintas agama mengenai permasalahan

euthanasia sudah sangat sering dilakukan, bahkan di sekolah-sekolah Teologi

yang banyak mencetak para Pendeta sudah sangat Intens dilakukan di setiap

Semesternya secara khusus membahas mengenai masalah euthanasia.

Mengenai perbedaan pandangan antara Protestan dan Katolik soal

euthanasia Menurut Bapak Novel Matidas ada perbedaan pandangan tentang

euthanasia dari Protestan dan Katolik dan juga ada persamaan mengenai sudut

pandang euthanasia. kesimpulanya adalah sudah pasti kedua-duanya menghargai

sebuah kehiduapan yang diberikan oleh Tuhan yang memiliki kuasa untuk mencabut

nyawa seoarang manusia.

4. MENURUT PANDANGAN AGAMA HINDU (PHDI)

Sedangkan menurut ajaran agama Hindu penulis malakukan

wawancara kepada pihak Parisada Hindu Dharma Indonesia, selanjutnya

disebut Parisada, didirikan di Denpasar, pada hari Coma Wage Julungwagi,

purnama Palguna Masa, Saka Warsa seribu delapan ratus delapan puluh, dan

bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Hindu dengan keyakinan,

komitmen dan kesetian yang tinggi terhadap ajaran agama Hindu menuju

kesejahteraan lahir dan batin. Dan sebagai narasumber diwakili oleh Bapak

DR. Nyoman Budiarna, MH dan Bapak I Gusti Komang Widana

Page 91: Eutanasia

76

S.Ag.M.Fil.H.89 Menurut Pustaka Canakaya Nitisastra menyatakan bahwa :

umur, (Ayuh), pekerjaan (Karma), kekayaan (Vittam), ilmu pengetahuan

(Vidya) dan kematian (Nadhanam). Kelima hal itu sudah ditentukan saat

manusia masih dalam kandungan. Tentunya Tuhan tidak sewenang-wenang

menentukan lima nasib manusia tersebut. Tuhan menentukan lima nasib

manusia itu berdasarkan karma-karmanya pada kelahiran sebelumnya,

menurut ajaran Hindu Tuhanlah yang sebenarnya menentukan kapan manusia

hidupnya berakhir di dunia ini. Oleh karena itu melakukan tindakan

Euthanasia atau mengakhiri hidup seseorang dengan tindakan medis tentunya

tidak dibenarkan menurut ajaran Agama Hindu. Dalam pustaka Bhuwana

Kosha dinyatakan bahwa Tuhan sebagai perwujudan Utpati, Sthiti dan

Pralina. Ini artinya kapan kita lahir, hidup dan mati Tuhan yang menentukan.

Tuhan menentukan ketiga hal itu berdasarkan karma-karma yang telah

dilakukan pada kelahiran-kelahiran sebelumnya. Sedangkan menurut Bapak

DR. Nyoman Budiarna dan Bapak I Gusti Komang Widana Dokter dalam

ajaran Hindu disebut Vaidya Fungsinya adalah untuk memelihara kesehatan

agar panjang umur dan mengobati orang sakit agar jangan sampai hidup

menderita. Tentunya tidak dibenarkan seorang Vaidya melakukan tindakan

mengakhiri hidup seseorang.90 Menurut pandangan ajaran Hindu mengenai

sanksi yang di berikan bila ada umat Hindu yang melakukan tindakan

89 Hasil Penelitian Wawancara dengan Pihak Parisada Hindu Dharna Indonesia oleh Bapak DR.

Nyoman Budiarna, MH dan Bapak I Gusti Komang Widana S.Ag.M.Fil.H. Tanggal 19 Juli 2010, Pukul 09.00 WIB

90 Ibid Hasil Penelitian Wawancara dengan DR. Nyoman Budiarna dan I Gusti Komang

Widana S.Ag.M.Fil.H

Page 92: Eutanasia

77

euthanasia, maka narasumber berpendapat Norma hidup itu ada empat, yaitu

Norma Agama, Norma Kesusilaan, Norma Kesopanan dan Norma Hukum.

Norma Agama sumbernya dari Sabda Tuhan.

Sedangkan Sanksi bagi umat Hindu yang melakukan tindakan tersebut

adalah tergantung pada kualitas keyakinan seseorang pada Tuhan. Norma

kesusilaan bersumber dari hati nurani. Sanksinya tergantung pada kuatnya

suara hati nurani seseorang, norma kesopanan sosial seseorang, dan norma

Hukum yang dibuat oleh orang yang berkompeten untuk itu, sanksinya tegas

dan nyata sesuai dengan yang ditetapkan oleh norma hukum tersebut.

Selain itu membunuh orang tak berdosa itu sesuatu perbuatan yang besar

dosanya dan Neraka sebagi sanksinya menurut ajran agama Hindu.91 Menurut

Parisada Hindu Dharma Indonesia, euthanasia itu adalah tergolong

perbuatan pembunuhan tentunya sudah ada banyak sekali berbagai ketentuan

dalam ajaran Hindu yang melarangnya, karena suatu perbuatan yang

mengakibatkan dosa besar.92

91 Ibid Hasil Penelitian Wawancara dengan DR. Nyoman Budiarna dan I Gusti Komang

Widana S.Ag.M.Fil.H. 92 Ibid

Page 93: Eutanasia

78

B. EUTHANASIA BERDASARKAN DARI PERSPEKTIF HUKUM

PIDANA DI INDONESIA SERTA MENURUT UNDANG-UNDANG

KESEHATAN No 36 TAHUN 2009

Di Indonesia dilihat dari aspek hukum pidana, maka euthanasia dalam

bentuk apapun adalah dilarang. Euthanasia aktif atas permintaan dilarang

menurut pasal 344, yang berbunyi :

”Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” Dengan demikian, apabila ada terjadi seorang dokter atau tenaga

kesehatan lainnya yang ingin membantu dalam hal euthanasia atas

permintaan atau desakan berdasarkan rasa kemanusiaan atau perasaan

kasihan yang mendalam ataupun berdasarkan prinsip-prinsip etika kedokteran

tertentu yang sedang berkembang akan menghadapi situasi yang sangat sulit,

karena kemungkinan dokter yang telah membantu melaksanakan euthanasia

atas permintaan tersebut dapat dikenai pasal sebagaimana telah dijelaskan di

atas.93

Walaupun euthanasia itu merupakan perbuatan yang terlarang dan

dapat diancam pidana seperti diatur dalam pasal 344 KUHP, namun adalah

suatu realita bahwasanya sejak terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum

Pidana sampai sekarang belum ada kasus yang nyata di Indonesia, yang

menguji sikap kita yang berhubungan dengan euthanasia yang diatur dalam

pasal 344 KUHP tersebut. Kendati begitu adalah pasti bahwasanya dengan

93 Imrin Halimy, Op.Cit

Page 94: Eutanasia

79

mencantumkannya pasal 344 KUHP tersebut, pengundang-undang tentunya

mesti dan telah menduga-duga sebelumnya, bahwa euthanasia akan pernah

terjadi di Indonesia dan kemungkinan akan terjadinya pula untuk masa yang

akan datang.94

Dalam hubungan itu, memang ada beberapa sebab yang dapat

menghambat suatu kasus itu, yang berhubungan dengan pasal tersebut (

mengenai euthanasia) tidak dapat sampai ke pengadilan, antara lain, yaitu :95

1. Apabila memang betul-betul bahwa euthanasia ini terjadi di

Indonesia, akan tetapi tidak pernah dilaporkan kepada Polisi

sehingga sulit untuk mengadakan pengusutan lebih lanjut.

2. Mungkin juga karena keluarga si korban tidak tahu bahwa telah

terjadi kematian yang disebut sebagai euthanasia, ataupun

memang masyarakat Indonesia ini kebanyakan masih awam

terhadap hukum, apalagi yang menyangkut masalah euthanasia

yang jarang terjadi dan bahkan tidak pernah terjadi itu.

3. Alat-alat kedokteran di kebanyakan Rumah Sakit seperti di

Negara-negara maju, misalnya adanya Respirator, sistem organ

tranplantasi dan sebagainya yang dapat mencegah kematian

seseorang pasien secara teknis untuk beberapa hari, minggu atau

beberapa bulan.

Seperti yang diketahui bahwa pasal 344 KUHP yang dikenal sebagi

pasal Euthanasia, dan dari bunyi pasal tersebut dapatlah diambil suatu unsur

94 Ibid, , 95 Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm. 134

Page 95: Eutanasia

80

yang penting, yang justru dapat menentukan apakah seseorang itu dapat

dipidana berdasarkan pasal 344 KUHP atau tidak. Unsur tersebut adalah atas

permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati. Agar unsur ini

tidak disalahgunakan, maka unsur tersebut yaitu “atas permintaan yang tegas,

sungguh-sungguh atau nyata dan harus dapat dibuktikan. Tidaklah cukup

apabila hanya terdapat persetujuan belaka antara kedua belah pihak.

Dengan sulitnya untuk menerapkan pasal 344 KUHP ini, rupa-rupa

dari perundang-undangan mengenai nasib pasal tersebut, terlepas dari berat

atau ringannya sanksi yang diancamkan, masih tetap untuk dipertahankan

terus. Alasan yang dipakai adalah bahwa pasal 344 KUHP ini masih

mencerminkan hak-hak asasi manusia untuk hidup terus.96 di samping itu

pasal tersebut mengandung makna bahwa nyawa manusia harus tetap

dilindungi, tidak saja dari ancaman orang lain, tetapi juga dari usaha

orangnya sendiri untuk mengakhiri hidupnya. Walaupun demikian, agar pasal

344 KUHP dapat diterapkan dalam praktek, maka sebaiknya dalam rangka

“ Ius Constituendum” Hukum pidana, maka rumusan pasal 344 KUHP yang

ada sekarang ini perlu untuk dirumuskan kembali, sehingga pasal 344 KUHP

ini terasa lebih hidup dan dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam

pembuktiannya.

Perumusan kembali disini dimaksudkan untuk bisa memperhatikan

serta memperhitungkan pula perkembangan dan kemajuan-kemajuan ilmu

pengetahuan. Dengan pengertian lain, bahwa dengan memperhatikan dan

96 Djoko Prakoso, Euthanasia dan hak asasi manusia dan hukum pidana, Cetakan Pertama, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 106

Page 96: Eutanasia

81

memperhitungkan kemajuan ilmu pengetahuan, maka perumusan pasal 344

KUHP nantinya akan membuat pasal tersebut terasa lebih hidup dan

memudahkan dalam hal pembuktiannya, namun seyogianya pula jangan

bersifat kaku dan statis tetapi hendaknya lebih bersifat fleksibel dan dinamis,

berkembang mengikuti perkembangan dan kemajuan-kemajuan yang telah di

capai oleh manusia.

Kaitannya dengan perumusan kembali atau perubahan suatu Undang-

undang tertentu (dalam hal ini KUHP), maka ada 3 faktor yang harus di

perhatikan oleh pembuat Undang-undang, ialah:97

1. Pertama-tama,pembuat Undang-undang harus mempertimbangkan

semua argumentasi yang pro dan kontra;

2. Kedua, pembuat Undang-undang harus menanyakan pada diri

sendiri apakah mungkin untuk membuat suatu peratuan undang-

undang yang jelas dan yang memberikan kepastian hukum dan

yang tidak menimbulkan kesulitan interpretasi;

3. Ketiga, pembuat Undang-undang harus dapat memperhitungkan

pula akibat-akibat dari perubahan atau pembaharuan Undang-

undang tersebut.

Dalam hubungannya dengan guru besar Hukum Kesehatan (satu dari

lima guru besar hukum kesehatan dewasa ini di Netherland) pada Universitas

Erasmus Rotterdam yaitu Mr. W. J. Van Der Mijn mengemukakan beberapa

argumentasi yang pro dan yang kontra perbaikan atau pembaharuan Undang-

97 Fred Ameln,Simposium Euthanasia, (Jakarta : 1984), hlm, 20

Page 97: Eutanasia

82

undang berkaitan dengan euthanasia. Sebagaimana argumentasi yang pro,

Van Der Mijn mengemukakan sebagai berikut :

a. Pembuat Undang-undang mempunyai kewajiban untuk mengakui

(erkennen, recognize) hak untuk ”self determination” dari pasien.

b. Seluruh kekuasaan untuk menentukan dan seluruh tanggung

jawab dalam hal euthanasia dewasa ini adalah atas pundak dokter

dan hal ini tidak pada tempatnya. Pasien seluruhnya tergantung

pada pendapat medis dan etis dari dokter (gheel overgelater aan

het medis en etisoordell van de arts).

c. Teks dari pasal 344 KUHP memberikan suatu tekanan jiwa

(gewetensdwang) pada dokter.

d. Para dokter pada kasus-kasus euthanasia ragu-ragu dan tidak

mengetahui apa yang harus dilakukan ; walaupun sudah banyak

dapat diketahui dari yurisprudensi. Akan tetapi, yurisprudensi

tersebut masih sumir.

Sebagai argumentasi yang kontra perbaikan atau pembaharuan, Van

Der Mijn menyebutkan:

a. Pembuat undang-undang berkewajiban untuk melindungi

hidup manusia dan tidak boleh mengizinkan bahwa orang

menentukan tentang hidupnya sendiri;

b. Pembentukan opini atau pendapat dalam masyarakat tentang

euthanasia belum terkristalisasi, dan keadaan tersebut tidak

tepat untuk memperbaharui Undang-undang;

Page 98: Eutanasia

83

c. Pengakuan yuridis dari euthanasia bisa mengakibatkan

kepercayaan pasien terhadap dokter akan berkurang;

d. Undang-undang yang telah diperbaiki atau telah diperbaharui

bisa disalahgunakan oleh orang-orang yang ingin

menyalahgunakan;

e. Perubahan atau pembaharuan Undang-undang tidak perlu

karena yurisprudensi sebagai sumber hukum sudah banyak

mengatur tentang euthanasia.

Bahwa andai kata pasal 344 KUHP ini ditambah dengan peraturan

yang diusulkannya itu, maka akibat yang penting ialah terjadinya pengakuan

terhadap ”hak mati” untuk menentukan nasib sendiri khususnya yang

berhubungan dengan matinya.

Dalam konteksnya di Indonesia, pasal 344 KUHP tersebut cukup

diadakan perubahan atau peninjauan kembali dalam hal unsur. Menurut

penulis ”ius constituendum” dalam arti yang memperhatikan serta

memperhitungkan aspek kemajuan yang dicapai manusia dewasa ini,

sehingga diharapkan suatu peraturan perundang-undangan ( dalam hal ini

pasal tentang euthanasia) itu bisa lebih bersifat hidup, praktis dan dinamis,

dengan kata lain belum cukup bilamana yang dirubah atau ditinjau kembali

hanya unsur pasalnya saja.

Eksistensi euthanasia merupakan konsekuensi logis dari keberadaan

keadaan kemajuan yang demikian pesatnya dalam dunia kedokteran, seperti

yang sekarang sedang dialami oleh negara-negara maju. Bukanlah hal yang

Page 99: Eutanasia

84

mustahil bila keadaan demikian itu akan dialami pula oleh Indonesia

(khususnya dalam dunia medis) di masa-masa mendatang, yakni dengan telah

dipakainya peralatan-peralatan atau mesin-mesin kedokteran yang serba

modern selama ini sudah dipergunakan oleh negar-negara maju.

Secara hukum euthanasia terdapat dalam beberapa pasal Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan tersirat dalam beberapa pasal

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), tetapi dalam UU No

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan euthanasia tidak disinggung. Dalam

kajian-kajian hukum kedokteran, ternyata ada beberapa keadaan yang mirip

dengan keadaan euthanasia akan tetapi sebenarnya bukan euthanasia, artinya

tidak termasuk dalam rumusan yang dimaksud oleh pasal 344 KUHP.

Sejauh ini aturan-aturan hukum yang ada di Indonesia masih berkaitan

dengan euthanasia begitu pula dengan transplantasi dalam keadaan biasa,

sedangkan pada keadaan khusus (seperti donor terpidana mati) belum lagi

dirumuskan. Disamping itu, aturan-aturan hukum sangat menitikberatkan

pada donor dan resipien, tidak atau sedikit sekali berkaitan dengan

kedokteran yang melakukan transplantasi. Dengan kata lain, sebenarnya

tanggung jawab hukum dokter dalam transplantasi yang biasa adalah minimal

dan itu berarti resiko hukumnya justru paling kecil.

Dalam hal ini euthanasia dari sudut hukum di Indonesia dipandang

dari segi hukum pidana, dalam KUHP mengatur adanya euthanasia ini

melalui beberapa pasalnya (Pada khususnya pasal 344 yang sering disebut-

Page 100: Eutanasia

85

sebut sebagai pasal euthanasia), walaupun pasal-pasal tersebut tidak

mempunyai istilah euthanasia di dalam bunyi setiap pasalnya itu.

Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia, antara lain

pada pasal 304, pasal 338, pasal 340, pasal 345, dan pasal 359. Dari

KUHPerdata secara umum berkaitan dengan hubungan hukum antara dokter

dengan pasien ataupun dengan keluarga pasien, dalam hal untuk melakukan

suatu perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas para pihak dalam

hal ini asas kebebasan berkontrak antara para pihak yang dimana di sini

adalah dokter dengan pasien, hal-hal apa saja yang akan disepakati oleh

kedua belah pihak.

Posisi serba salah seorang dokter apabila melakukan suatu tindakan

atas seorang pasien yang kemudian menyebabkan meninggalnya si pasien,

maka dokter tersebut akan dikenakan sanksi pidana yaitu pasal 304 KUHP

yang berbunyi :98

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau persetujuannya, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara…”.

Sebaliknya, apabila seorang dokter menuruti permintaan dari seorang

pasien untuk mati (euthanasia aktif), dapat dikenai pasal-pasal KUHP,

khususnya pasal 344.

Selain itu adanya pandangan menurut Undang-undang kesehatan No

36 tahun 2009 pada pasal 52 dialamnya di atur tentang adanya hak pasien

98 Moeljatno, Op.Cit

Page 101: Eutanasia

86

untuk menentukan suatu tindakan medis dapat dialakuan kepada pasien

tersebut atau tidak. Namun hal tersebut berlaku pada pasien yang memiliki

penyakit yang dapat secara cepat menular kedalam masyarakat yang lebih

luas, serta seseorang yang sudah tidak sadarkan diri lagi. Bila hal tersebut

diakitkan pada hukum pidana maka hal tersebut lebih tepatnya adalah dalam

keadaan darurat.

Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena

kuasa tidak berlawanan (force majeure). Dalam dunia kedokteran dapat

terjadi keadaan yang sebenarnya telah diatur dengan pasal 48 KUHP. Selain

itu pengaturan dalam segi hukum yaitu pengaturan berdasarkan fatwa dari

MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam hal fatwanya tidak memperbolehkan

euthanasia karena tidak diperbolehkan agama. Hal senada juga ditegaskan

oleh PGI, hanya dengan catatan bila secara medis sudah tidak ada harapan

sembuh dan kondisi pasien justru semakin menderita. Membunuh tidak

dibenarkan dalam agama manapun namun keputusan euthanasia atas

seseorang hanya bisa dilakukan jika diambil dalam persidangan yang

mendengarkan keterangan ahli hukum, etika kedokteran, dan agama pasien. 99

Menurut Pertus Yoyo Karyadi dalam bukunya: Sampai saat ini di

Indonesia belum terdengar terjadinya kasus euthanasia yang muncul sampai

ke meja pengadilan. Belum pernah terjadi pengadilan di Indonesia mengadili

seseorang yang diduga telah melakukan euthanasia.100

99 Ibid 100 Petrus Yoyo Karyadi, Op.Cit

Page 102: Eutanasia

87

Namun dalam hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah

memang benar di Indonesia belum pernah terjadi kasus euthanasia (aktif)?

Ataukah kebetulan para pihak yang mengetahui hal tersebut sungkan untuk

melaporkannya? Akan tetapi, banyak orang mengatakan bahwa euthanasia

pasif cukup banyak dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia.

Sedangkan menurut Kartono Mohamad (Kompas, 6 Mei 1989: IV),

euthanasia aktif pernah dilakukan di Indonesia, yaitu ketika dokter harus

memilih menyelamatkan seorang ibu atau bayinya yang akan lahir. Kasus itu

terjadi setelah diketahui bahwa proses kelahiran bayi akan membahayakan

nyawa si ibu. Cara yang dipilih biasanya adalah menyelamatkan si ibu

dengan mematikan bayinya.101

Namun menurut pendapat Petrus Yoyo karyadi pendapat Kartono

Mohamad di atas adalah kurang tepat. Hal tersebut disebabkan sekalipun bayi

(janin) itu sudah cukup umur untuk dilahirkan tetapi selama masih di dalam

kandungan ibunya (belum dilahirkan) kemudian dimatikan demi

menyelamatkan nyawa ibunya, pengakhiran hidup bayi tersebut tetap harus

digolongkan dalam pengertian “Abortus” dan bukan termasuk masalah

euthanasia. Jadi, jangan sampai dirancukan antara batasan euthanasia dengan

batasan abortus, walaupun keduanya sama-sama menghilangkan nyawa

“manusia” Dengan demikian, memang euthanasia aktif belum pernah

terdengar di Indonesia ini.102

101 Ibid, 102 Ibid,

Page 103: Eutanasia

88

Tindak pidana pembunuhan atas permintaan dari korban sendiri itu

telah diatur dalam pasal 344 KUHP yang rumusannya di dalam bahasa

Belanda berbunyi sebagi berikut:103

“Hij dei een ander op diens uitdrukkelijk en ernsting verlangen van het leven berooft, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten hoogsta twaalf jaren”.

Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa ketentuan pidana yang

diatur dalam rumusan pasal 344 KUHP itu sama sekali tidak mempunyai

unsur subjektif melainkan hanya mempunyai unsur-unsur objektif masing-

masing yakni:

1. Beroven atau menghilangkan

2. Leven atau nyawa

3. een ander atau orang lain

4. op verlangen atau atas permintaan

5. uitdrukkelijk en ernsting atau secara tegas dan sungguh-sungguh.

Karena dalam rumusan pasal 344 KUHP di atas tidak terdapat unsur

opzet, timbul pertanyaan apakah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain

atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu tidak perlu

harus dilakukan dengan sengaja?

Walaupun unsur opzet itu telah tidak disiratkan secara tegas di dalam

rumusan pasal 344 KUHP, akan tetapi unsur tersebut dianggap sebagai salah

satu jenis pembunuhan seperti yang diatur di dalamnya.

103 Drs. P.A.F. Lamitang,S.H. Delik-delik khusus kejahatan terhadap nyawa, Tubuh dan

kesehatan serta kejahatan yang membahayakan bagi nyawa, Tubuh dan kesehatan (Bandung : 1986, Penerbit binacipta ), hlm. 64.

Page 104: Eutanasia

89

Unsur ‘adanya permintaan yang sifatnya tegas dan sungguh-sungguh

dari korban’ itu merupakan ‘dasar yang meringankan pidana’ bagi tindak

pidana pembunuhan seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP.

Bagaimana kini jika permintaan yang sifatnya tegas dan sungguh-

sungguh itu telah disampaikan kepada pelaku oleh seorang anak kecil atau

oleh seorang yang mempunyai penyakit jiwa. Apakah orang masih dapat

mengatakan bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana pembunuhan

seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP ?

Professor van Hattum berpendapat, dalam hal semacam itu pelaku

dapat dipersalahkan telah melakukan suatu pembunuhan dengan

direncanakan lebih dahulu atau moord, jika ia kemudian ternyata benar-benar

telah memenuhi permintaan yang dikemukakan oleh seorang anak kecil atau

seorang yang mempunyai penyakit jiwa.

Karena unndang-undang tidak memberikan penjelasan tentang

bagaimana kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain seperti yang

dimaksud dalam pasal 344 KUHP itu, harus dilakukan oleh pelakunya. Maka

timbullah beberapa pendapat di dalam doktrin. Profesor Simons berpendapat

bahwa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang

tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu ‘dapat terjadi tanpa pelaku harus

melakukan sesuatu tindakan’, atau dengan kata lain ‘dengan sikap pasif’ itu

seseorang dapat dipandang telah menghilangkan nyawa orang lain seperti

yang dimaksud dalam pasal 344 KUHP. Sedangkan menurut Profesor Noyon,

sesuai dengan rumusan dari ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 344

Page 105: Eutanasia

90

KUHP itu sendiri, kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu harus

dilakukan oleh pelaku ‘dengan sesuatu perbuatan yang sifatnya aktif’ atau

dengan kata lain ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 344 KUHP itu

hanya dapat diberlakukan bagi orang yang melakukannya, jika orang tersebut

secara aktif telah melakukan sesuatu perbuatan yang menyebabkan

meninggalnya orang lain atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh

dari orang lain itu sendiri.

Menurut penulis, pendapat-pendapat Profesor Simons di atas itu

masih memerlukan penjelasan lebih lanjut yakni tentang siapa yang dapat di

persalahkan karena telah menghilangkan nyawa orang lain seperti yang

dimaksud dalam pasal 344 KUHP, dalam hal ini, berarti orang tersebut ‘tidak

melakukan sesuatu’ untuk menyelamatkan nyawa korban.

Karena ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 344 KUHP itu

berlaku bagi setiap orang, maka pendapat Professor Simons itu dapat

mendatangkan bahaya bagi setiap orang. Pada setiap saat dapat dipersalahkan

karena tidak melakukan sesuatu untuk menyelematkan nyawa korban yang

secara tegas sungguh-sungguh telah meminta kepada mereka untuk tidak

menyelamatkan nyawanya.

Sebagai contoh adalah misalnya mereka yang bermaksud menolong

seorang korban kecelakaan yang menderita luka berat, dimana orang tersebut

tidak melakukan suatu tindakan, misalnya membawa korban ke rumah sakit

atau ke dokter terdekat, semata-mata karena korban telah minta secara tegas

dan sungguh-sungguh kepada mereka untuk membiarkan dirinya meninggal

Page 106: Eutanasia

91

dunia dari pada harus tetap hidup dalam keadaan cacat seumur hidup. Karena

pada waktu terjadi kecelakaan seperti itu biasanya orang berduyun-duyun

datang ke tempat kecelakaan, baik dengan maksud untuk memberikan

pertolongan maupun dengan tujuan untuk mengetahui apa yang telah terjadi,

maka setiap orang yang telah datang di tempat kejadian dengan maksud untuk

memberikan pertolongan, yang kemudian ternyata telah membiarkan korban

meninggal dunia, karena mereka itu telah diminta dengan tegas dan sungguh-

sungguh oleh korban untuk bersikap demikian, pastilah harus dipersalahkan

telah melakukan tindak pidana pembunuhan seperti dalam pasal 344 KUHP

Sepengetahuan Penulis, di dalam yurisprudensi belum pernah

Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengeluarkan pendapatnya mengenai

kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang tegas dan

sungguh-sungguh dari korban seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP,

akan tetapi Hoge Raad pernah mengeluarkan pendapat tentang masalah

tersebut, yang pada dasarnya telah mengatakan bahwa masalah kesengajaan

menghilangkan nyawa orang lain karena adanya ‘rasa kasihan’ pada korban,

yang timbul karena adanya permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari

korban itu, dari waktu ke waktu ada hubungannya dengan pandangan orang

apakah ‘euthanasia’ atau ‘euthanasie’ itu dapat dibenarkan atau tidak.

Menurut professor van Hattum, yang dimaksud dengan euthanasia itu

ialah:

“ Het versnellen van het stervenprocer bij lijders aan ongeneeslijke ziekten door toepassing of nalating van medische behandeling, met het doel hen en hul verwanten een pijnlijke of aesthetisch aanstotelijke dood te besparen”.

Page 107: Eutanasia

92

Yang artinya: “Sikap mempercepat proses kematian pada penderita-penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan melakukan atau dengan tidak melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud untuk membantu korban menghindarkan diri dari penderitaan dalam menghadapi kematiannya dan untuk membantu keluarganya menghindarkan diri melihat penderitaan korban dalam menghadapi kematiannya”.

Pada dasarnya terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai

‘euthanasia’, yakni apakah Euthanasia tersebut dapat dibenarkan atau tidak.

Di satu pihak terdapat orang-orang yang dapat membenarkan

euthanasia dengan alasan bahwa apabila suatu penderitaan itu tidak ada

gunanya sama sekali (zinloos) dan usaha mempertahankan nyawa korban itu

sudah tidak dapat diharapkan lagi dapat menyelamatkan nyawa korban, maka

‘fungsi meniadakan rasa sakit’ menurut ilmu kedokteranlah yang harus

diutamakan. Maka berpendapat bahwa pemberian obat yang meniadakan rasa

sakit (pijnstillend middle) dalam dosis yang terbatas dengan pemberian obat

yang sama dalam dosis yang mematikan itu tidak terdapat perbedaan yang

sifatnya prinsipal. Alasan lain yang mereka kemukakan adalah sesuai dengan

pengalaman mereka, bahwa suatu diagnosa itu tidak pernah dapat membantu

untuk menentukan secara pasti apakah suatu penderitaan itu ada gunanya atau

tidak.

Di antara para penganut yang dapat membenarkan euthanasia terdapat

seorang penulis terkenal bernama Thomas More yang di dalam kitabnya yang

terkenal pula yakni Utopia telah membela kebenaran pendapat dari mereka

yang dapat membenarkan euthanasia.

Page 108: Eutanasia

93

Di lain pihak terdapat juga orang-orang yang tidak dapat

membenarkan euthanasia dengan alasan yang berbeda-beda. Di antara orang-

orang yang tidak dapat membenarkan euthanasia, bahkan secara tegas telah

melarang euthanasia terhadap seorang pemikir yang terkenal yakni

Hippocrates. Pemikiran dari Hippocrates itu kemudian menjadi terkenal

hingga saat ini di kalangan ahli medis dengan apa yang mereka sebut sebagai

‘sumpah Hipokrates’ atau yang dalam bahasa Belanda juga di sebut sebagai

‘de eed van Hippocrates’, yang melarang para ahli medis melakukan

euthanasia.

Permasalahan mengenai apakah euthanasia itu dapat dibenarkan atau

tidak, hingga kini masih menjadi pokok pembahasan secara ilmiah dan secara

filosofi dalam tulisan-tulisan para ahli di bidang ilmu pengetahuan yang

berbeda-beda.

Pengadilan Utrecht dengan tegas telah menyalahkan orang yang

melakukan suatu dengan menjatuhkan pidana penjara bersyarat selama satu

tahun kepada seorang terdakwa yang dengan nyata telah melakukan suatu

euthanasia.

Menurut penulis, euthanasia itu adalah bertentangan dengan asas

ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu asas dari pandangan hidup

bangsa dan falsafah Negara pancasila, karena bangsa Indonesia itu

mempunyai kepercayaan yang tidak terbatas akan Keesaan Tuhannya,

dimana Tuhan Yang Maha Esa-lah yang maha menentukan tentang mati

hidupnya umat manusia. Walaupun secara ilmiah orang berpendapat bahwa

Page 109: Eutanasia

94

seseorang itu tidak mungkin atau mustahil dapat dimbuhkan dari sesuatu

penyakit yang ia derita, akan tetapi bangsa Indonesia percaya bahwa pada

akhirnya Tuhanlah yang maha menentukan apakah orang itu akan sembuh

kembali atau akan meninggal dunia. Kecuali atas asas kemanusiaan yang adil

dan beradab pun mewajibkan orang untuk berdasarkan kepercayaannya pada

Keesaan Tuhan tetap berikhtiar menolong orang lain mempertahankan

nyawanya dan bukan sebaliknya yakni berusaha mempercepat kematiannya

dengan mendahului kehendak Yang Maha Esa.

Akan tetapi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut

pendapat DR. Faiq Bahfen kesulitan dalam hal pro dan kontra terhadap

Euthanasia tidak dapat terjawabkan selama definisi dari mati di Indonesia

belum jelas, apabila definisi tentang mati telah dapat di ketahui maka pro dan

kontra akan hal tersebut akan terjawab.104 Perasaan tidak menyenangkan atau

perasaan tidak nyaman baik dari segi tindakan medis yang dilakukan para

dokter atau para medis lainnya ataupun tanggungjawab dari keluarga pasien

dalam menghadapi situasi yang terjadi terhadap si pasien tidak akan terjadi.

Namun menurut pendapat penulis, bagaimanapun juga keadaannya semua

orang harus kembali kepada dasar agama, karena pada dasarnya agama

adalah suatu dasar seseorang dalam bertindak karena tidak ada agama yang

menganjurkan umatnya untuk melakukan kejahatan dalam bentuk apapun.

Semua itu ditopang dengan pengaturan secara riil di kehidupan

bermasyarakat agar tidak adanya kesimpangsiuran atau ketidakjelasan atas

104 Hasil penelitian dan Wawancara dengan Bapak Dr. Faiq Bahfen, Op.Cit

Page 110: Eutanasia

95

suatu tindakan yang akan didefinisikan suatu kejahatan yang dapat membuat

seseorang dipidanakan.

Page 111: Eutanasia

96

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah mengetahui permasalahan yang ada dalam suatu tindakan

Euthanasia sebagai batasan masalah dari judul yang penulis kemukakan yaitu:

“ Euthanasia dalam perspektif agama dan hukum pidana di Indonesia”.

Bahwa tindakan euthanasia atau biasanya disebut dengan tindakan suntik

mati adalah agar pasien yang menderita sakit dapat mengakhiri hidupnya

yang sebagian orang berpendapat bahwa euthanasia adalah hak asasi dari

seseorang untuk memilih cara untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Hal

tersebut tidak seiring dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di

setiap Negara dalam hal ini di Indonesia, lain halnya dengan negara Belanda

yang telah mengesahkan Undang-undang tentang euthanasia dimana

seseorang diperbolehkan untuk memilih mengakhiri hidupnya sendiri.

Sedangkan di Indonesia tidak ada pengaturan perundang-undangan yang jelas

akan larangan adanya tindakan euthanasia di Indonesia, walaupun pada Kitab

Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia pada pasal 344 KUHP sering

disebut sebagai pasal larangan tentang euthanasia, namun pada dasarnya

pasal tersebut tidak sepenuhnya dapat mengatasi kesimpangsiuran tentang

masalah ini, baik pro dan kontra masalah tentang euthanasia di Indonesia

baik bagi pihak para medis maupun masyarakat atau pasien maupun keluarga

pasien.

Page 112: Eutanasia

97

Adanya pro dan kontra mengenai euthanasia di Indonesia pada

dasarnya yaitu belum adanya ketentuan tentang ukuran seseorang yang

dianggap telah mati, apabila mati dapat didefinisikan maka seorang dokter

sebagai seorang yang melakukan tindakan medis mempunyai dasar bahwa

apa yang telah dilakukannya adalah benar-benar untuk kebaikan hidup pasien

maupun keluarga tanpa harus adanya rasa tidak nyaman karena apa yang

telah dilakukannya akan berujung pada tanggung jawabnya terhadap nyawa

seseorang. Selain itu dari sudut pandangan beberapa ajaran Agama yang ada

di Indonesia menyatakan bahwa tindakan euthanasia tidaklah sesuai atau

dapat dibenarkan, karena tindakan tersebut dianggap bertentangan. Karena

nyawa ataupun kehidupan manusia bukanlah ditentukan oleh manusia, akan

tetapi oleh Tuhan.

B. SARAN

Berdasarkan permasalahan yang muncul dalam tindakan atau persepsi

tentang euthanasia di Negara Indonesia yang telah diuraikan di atas, maka

penulis mencoba mengemukakan saran-saran yang mungkin kiranya dapat

membantu mengatasi masalah-masalah yang muncul seperti tersebut di atas.

Jika diuraikan, beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi

hambatan-hambatan tersebut, yaitu:

Page 113: Eutanasia

98

1. Pertama, Ditujukan kepada Pemerintah/Pejabat yang

berwenang, agar adanya kejelasan tentang pengaturan

euthanasia di Negara Indonesia, agar mendapatkan kejelasan

atas pro dan kontra di masyarakat dapat teratasi, dengan cara:

membuat Undang-undang yang menjelaskan tentang euthanasia

baik itu dilarang atau tidak dilarang dengan pengecualian-

pengecualiannya dengan berdasarkan dari aspek-aspek

pendukung lainnya seperti aspek agama, psikologis, dll, maupun

definisi dari mati itu sendiri. Dimana aturan tersebut sesuai

dengan keadaan masyarakat dan permasalahan yang ada di

masyarakat. Diharapkan peraturan tersebut dapat menyelesaikan

permasalahan-permasalahan tersebut.

2. Kedua, bagi Departemen-departemen terkait upaya penyuluhan

dan pemberian edukasi mengenai permasalahan euthanasia dari

pihak yang berkompeten. Misalnya dari perwakilan Departemen

Kesehatan maupun Ikatan Dokter Indonesia.

3. Ketiga, bagi organisasi-organisasi keagamaan yang mewakili

dari masing-masing setiap agama yang ada di Indonesia.

Memberikan penyuluhan terhadap umatnya agar setiap yang

dilakukan oleh manusia adalah berdasarkan atas aturan agama,

dengan begitu manusia memiliki batasan untuk bertindak.

Page 114: Eutanasia

99

4. Keempat, bagi masyarakat pada umumnya, harus bisa saling

memahami hak masing-masing dari setiap individu, dimana

pendapat seseorang yang menganggap orang lain sudah tidak

dapat hidup kembali. Akan tetapi di samping itu orang tersebut

juga mempunyai hak untuk memilih mengakhiri hidupnya atau

mempertahankan hidupnya. Walaupun dalam posisi ada orang

yang memiliki ikatan keluarga dan meminta untuk dilakukannya

tindakan euthanasia, namun keputusan yang diambil pihak

keluarga tetap tidak boleh melanggar hak dari si pasien tersebut.

Serta harus jelasnya mengenai persetujuan tindakan kedokteran

di dalam masyarakat agar tidak terjadi salah paham antar dokter,

pasien dan keluarganya.

Page 115: Eutanasia

DAFTAR PUSTAKA BUKU Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mariy an-Nawawi, Shahil Muslim bi syarh an- Nawawi, (Beirut: Dar ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H). Chisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman ,(Jakarta : EGC, 2006). Djoko Prakoso, Euthanasia dan hak asasi manusia dan hukum pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984). Imron Halimy, Euthanasia cara mati terhormat yang modern .(Solo : Ramadhani , 1990). Lamitang, . Delik-delik khusus kejahatan terhadap nyawa, Tubuh dan kesehatan serta kejahatan yang membahayakan bagi nyawa, Tubuh dan kesehatan (Bandung : 1986, Penerbit Binacipta ). Muhammad bin ‘ismail’il Abu ‘ Abdullah Al-Bukhari, al-jami’ as-Shahih al-Mukhatashar, (Beirut: Dar al-fiqr, 1987), juz ke- 5, hlm. 2179, no. 5442. M. Jusuf hanafiah, dan Amri amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, , (Jakarta : Buku Kedokteran, EEC 1999). Petrus Yoyo Karyadi, Eutahanasia Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia (Bandung : 2001, Penerbit Cahaya ilmu). Peter marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana, 2008). Ratna Suprapti Samil, Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagian Obsteri dan Ginekologi, (Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1980). Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III ( Jakarta : UI-press, 1986). Valerine J.L. Krickhon, “ Penelitian Kepustakaan dan Lapangan dalam penulisan skripsi”, (Jakarta : Universitas Tarumanagara, 1996). Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung : Mandar Maju, 2001), Yadianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung, M2S : 1997).

Page 116: Eutanasia

PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia (b), Undang-undang Republik Indonesia tentang Kesehatan, UU No.36 Tahun 2009, LN No.100 Tahun 2009. Indonesia (c), Undang-undang Republik Indonesia tentang Kedokteran, UU No.29 Tahun 2004, LN No.116 Tahun 2004. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2005), INTERNET Aris Wibudi, Euthanasia, Tersedia di (http://tumoutou.net/702_04212/aris_wibudi.htm), 30 Mei 2002. Ietha. Sumber ; Aikon, Mobil Terbang Euthanasia, tersedia di http : // remmanet, tripod. Com / serba-serba. Htm). Nurudin Jauhari, Euthanasia, Segi Medis, Etis, Moral, dan Pastoral, Tersedia di (http://bagusarsj.blog.friendster.com/2007/11/eutanasiasegi-medis-etis-moral-dan- pastoral/), 28 Juli 2009. Pengertian Respirator tersedia di (http://bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=respirator). Sintak Gunawan, Euthanasia Dan HAM, Tersedia di (http://www2.kompas.com/kompas- cetak/0505/04/ilpeng/1726494.htm). Rabu,4 Mei 2005. Sintak Gunawan,”Pengertian Vegetative State” (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/04/ilpeng/1726494.htm, Rabu, 4 Mei 2005. Soleh Hasibuan, Hukum Positif Indonesia, Tersedia (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid), Senin 16 Oktober 2008. Wahyu Sutanto, Pengertian Hukum Pidana, Tersedia di (http://id.Wikipedia.org/wiki/Hukum_Pidana), Kamis 30 April 2009. ARTIKEL Chrisdiono M., Pemahaman Baru tentang Euthanasia dari Segi Hukum, (Jakarta : Kompas), 3 januari 1995.

Page 117: Eutanasia
Page 118: Eutanasia

BIODATA

Nama : Muhammad Ramadhiansyah

Alamat : Jl. Sawo Raya No 12 Blok XI Perumnas 1 Tangerang, Banten 15138

Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 25 Mei 1985

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan : TK.Puspita Tangerang

SD NEGERI Karawaci 3 Lama Tangerang

SMP NEGERI 19 Tangerang

SMA Yuppentek 1 Tangerang

Page 119: Eutanasia

LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar pertanyaan yang diajukan kepada MUI.

Lampiran 2 Daftar pertanyaan yang diajukan kepada WALUBI.

Lampiran 3 Daftar pertanyaan yang diajukan kepada PGI

Lampiran 4 Daftar pertanyaan yang diajukan kepada PHDI.

Lampiran 5 Surat keterangan meminta putusan pengadilan di Pengadilan Negri

Jakarta Pusat.