Eutanasia Menurut Pandangan Islam
-
Upload
oppie-raditya -
Category
Documents
-
view
122 -
download
5
Transcript of Eutanasia Menurut Pandangan Islam
EUTANASIA MENURUT
PANDANGAN ISLAMMAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen Pembimbing:
H. Mukhlis Syafiq, LC
DISUSUN OLEH:
Indah mila faniati
AKBID KH PUTRA BREBES
BENDA SIRAMPOG BREBES
2012
KATA PENGANTAR
Assalammuallaikum wr.wb.
Puji Syukur saya panjatkan Kehadirat Tuhan ALLAH SWT, karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
tentang “Eutanasia Menurut Pandangan Islam” Makalah ini disusun bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama islam program studi D III
Kebidanan di AKBID Kh Putra Brebes
Ssya selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dan mengarahkan saya terutama kepada Bapak mukhlis syafiq
LC selaku dosen pengajar mata kuliah PAI, sehingga saya dapat menyelesaikan
tugas makalah ini dengan tepat waktu.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat serta hidayahNya kepada
semua pihak yang membantu terselesainya makalah ini.
Saya sangat menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu, dimohon saran dan kritik yang membangun. Akhir
kata semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Benda, Nopember 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus
kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia
dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian.Dari proses
siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih
mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan
kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian
kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak
menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia,
sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi
bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata sepakat
dalam menghadapi keinginan pasien untuk mati guna menghentikan
penderitaannya. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para dokter, apakah ia
mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan
pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang
berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Sudah
tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.
Sebagai dampak dari kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran
(iptekdok), kecuali manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral,
agama, hukum, sosial, budaya, & aspek lainnya.Kemajuan iptekdok telah
membuat kabur batas antara hidup & mati. Tidak jarang seseorang yang telah
berhenti pernapasannya & telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi
medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali.
Pada dewasa ini, para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi
sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut
medis-etis-yuridis Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah
satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan.
Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita
penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang
seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut
berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi
adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang
tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat
dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat
dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis.
Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya,
maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, & dapat dijerat
hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan
Tindakan menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak ada
gunanya lagi, sebaiknya dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak
lagi merupakan kompetensinya, & bukan maksud untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup pasien.
Dengan kata lain, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah
memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien & bukan mengakhiri hidup
pasien. Ini sesuai dengan pendapat Prof.Olga Lelacic yang mengatakan: Dalam
kenyataan yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak
ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas dari penderitaan karena
penyakitnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Eutanasia (berasal dari Bahasa Yunani: eu = baik, dan thanatos =
kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara
yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang
minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan
seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun
ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia
dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum.
Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu
diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
1. Pendapat Ulama
Dalam euthanasia pasif terdapat perbedaan pendapat diantara para
ulama, ada yang melarang karena disamakan dengan euthanasia aktif dan
ada yang membolehkan Di antara yang mendasari kebolehan melakukan
euthanasia pasif, yaitu tindakan mendiamkan saja si pasien dan tidak
mengobati, adalah salah satu pendapat di kalangan sebagain ulama. Yaitu
bahwa hukum mengobati atau berobat dari penyakit tidak sepenuhnya
wajib. Bahkan pendapat ini cukup banyak dipegang oleh imam-imam
mazhab.
Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini
hanya berkisar pada hukum mubah. Tetapi bukan berarti semua ulama
sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini
sebagian dari para ulama itu tetap mewajibkannya. Misalnya apa yang
dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin
Hambal, juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan bahwa berobat dan
mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah).
Ulama menyatakan bahwa hukum berobat menjadi sunnah, wajib,
mubah atau haram jika penderita dapat diharapkan kesembuhannya, jika
tidak ada harapan sembuh sesuai sunnatullah dan hukum kausalitas, sesuai
diagnosis dokter ahli yang dapat dipercaya, maka tidak seorangpun dapat
mengatakan sunnah apalagi wajib.
Abdul Qadim Zallum mengatakan, bahwa jika para dokter telah
menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya maka para dokter
berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu
pernapasan dan sebagainya. Sebab, kematian otak tersebut berarti secara
pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien.
Penggunaan dan penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri termasuk aktivitas
pengobatan yang hukumnya sunnah, tidak wajib. Karena itu, hukum
euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut
alat-alat bantu pada pasien (setelah matinya atau rusaknya organ otak)
hukumnya boleh (jâ’iz) bagi dokter. Jadi, ketika dokter mencabut alat-alat
tersebut dari tubuh pasien, ia tidak dapat dikatakan melakukan
pembunuhan terhadap pasien .
Pada kasus seorang pasien yang diberi berbagai macam pengobatan
dengan cara meminum obat, suntikan, dan sebagainya ataupun
menggunakan alat-alat pernafasan buatan dan yang lainnya sesuai dengan
teori kedokteran modern dalam waktu yang relatif lama tetapi penyakitnya
tetap saja tidak berubah, maka melanjutkan pengobatan tersebut menjadi
tidak wajib dan tidak pula mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (tidak
mengobatinya) adalah wajib atau sunnah. Membiarkan pasien hidup
dengan bantuan alat hanya akan menghabiskan dana, selain itu juga
menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang lebih
memerlukannya dan memperoleh manfaat dari alat tersebut.
Menurut syara’, seseorang dianggap meninggal sehingga
diberlakukan hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan kematian,
apabila telah nyata salah satu dari dua indikasi. Pertama, apabila denyut
jantung dan pernafasannya sudah berhenti secara total, dan para dokter
telah menetapkan bahwa hal itu tidak akan pulih kembali. Kedua, apabila
seluruh aktifitas otaknya sudah berhenti sama sekali, dan para dokter ahli
sudah menetapkan tidak akan pulih, otaknya sudah tidak berfungsi
(Zuhroni et. al. 2003).
Dalam kondisi tersebut diatas, ulama menetapkan diperbolehkan
melepas instrumen yang dipasang pada seseorang meskipn sebagian
organnya, seperti jantung masih berdenyut karena kerja instrumen
tersebut. Argumen kebolehan melepas alat-alat pengaktif organ dan
pernafasan dari pasien, karena tidak berguna lagi. Bahkan sebagian ulama
mewajibkannya untuk menghentikan penggunaan alat-alat tersebut, karena
menggunakan alat-alat itu berarti bertentangan dengan syariah Islam.
Alasannya adalah tindakan tersebut menunda pengurusan jenazah dan
penguburannya tanpa alasan darurat, menunda pembagian warisan, masa
‘iddah bagi istri dan hukum lain yang terkait dengan kematian. Disamping
itu juga berarti menyia-nyiakan harta dan membelanjakannya untuk
sesuatu yang tidak berguna, sedangkan hal ini dilarang dalam Islam.
Penggunaan alat tersebut juga memberikan mudharat kepada orang
lain dengan menghalangi penggunaan alat tersebut kepada yang lebih
membutukannya. Dalam ketentuan hukum Islam, memberi mudharat
kepada diri sendiri dan kepada orang lain dilarang, sesuai dengan hadis
Nabi s.a.w., yaitu hadis riwayat Ibn Majah, Ahmad, dan Malik yang
artinya “Dari `Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah s.a.w. mewajibkan
agar tidak memberikan mudharat kepada diri sendiri dan kepada orang
lain.” (Zuhroni et. al. 2003).
Ulama yang membolehkan ~termasuk Syaikh Yusuf Qordhowi~
euthanasia pasif berdalil dengan hukum asal berobat, karena ketika sakit
yang tidak mungkin disembuhkan ~menurut dokter~ tidak mengapa
meninggalkan pengobatan karena memang pengobatan hanya mubah atau
sunnah, sedikit sekali para ulama yang mewajibkannya
2. Eutanasia Menurut Pandangan Islam
Seperti dalam agama-agama lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam
mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat
menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243).
Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun
tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit
melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan
hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau
membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah
"Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim
(dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan
dengan membunuh dirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-
maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun
1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan
dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing) dalam alasan apapun juga .
B. Argumentasi pendapat
Dalam argumentasi pendapat dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok yang pro dan kontra terhadap
euthanasia. Argument mereka yang pro secara garis besar yaitu:
euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan
hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat
disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah
melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertma, dokter
terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankn penderitaan pasien tapi di sisi lain,
dokter menghilangkan nyawa orang lain yangg berarti melanggar
kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan
nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara manapun.
Sedangkan dari argumen mereka yang kontra yaitu :
Euthanasia Aktif diharamkan, karena termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik
yaitu meringankan penderitaan pasien, hukumnya tetap haram,
walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil
yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuuhan jiwa
orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar”. (Q.S Al-an’am: 151).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering
dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga
dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat
aspek lahiriah (empiris), padahal dibalik itu ada aspek-aspek
lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Adapun hukum Euthanasia pasif, sebenarnya faktanya
termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak
memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter
menghentikan pengobatan kepada pasien, mislnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasieen.
Bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum
berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni apakah berobat itu wajib,
mandub, mubah, atau makruh. Dalam masakah ini ada
perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau
berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun
sebagan ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan
ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti di kemukkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
C. Analisis pendapat
Dari beberapa pendapat diatas masing-masing pendapat
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Kelebihan dari pihak yang kontra yaitu si penderita
euthanasia biasa meninggal dunia secara perlahan-lahan, bisa
mengurangi rasa sakit yang terus-menerus, dan merasa dirinya
tidak tersiksa.
Sedangkan kekurangan dari pihak yang pro yaitu
euthanasia juga bisa di anggap pembunuhan, karena sama saja
kita menghilangkan nyawa orang lain.
D. Dua Macam Euthanasia
Kalau kita lihat dalam prakteknya, kita bisa membagi euthanasia menjadi dua
macam. Pertama, euthanasia positif. Kedua, euthanasia negatif.
1. Eutanasia positif (taisir al-maut al-fa'al)
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan
memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter
dengan mempergunakan instrumen (alat).
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak
diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan
suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat
kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk
pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang
membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan
meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk
meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih
pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah
urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan
kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah
ditetapkan-Nya.
Contohnya, seorang yang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang
luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa
yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat
dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Eutanasia negatif (taisir al-maut al-munfa'il)
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada
eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif
untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi
pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan
tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum
Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah
bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut
jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati
atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya
segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-
sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya
mustahab (sunnah).
Hukum Euthanasia Positif
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif)
jelas-jelas tidak diperkenankan oleh syariat Islam. Sebab yang demikian
itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si
sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara
overdosis.
Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik
dengan cara pemberian obat overdossis yang pada hakikatnya merupakan
racun yang keras, ataupun dengan menggunakan senjata tajam.
Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan
termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori
pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si
sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si
dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang
Menciptakannya.
Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah SAW,
karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang
mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Hukum Euthanasia Negatif
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif, maka
semua berkisar pada `menghentikan pengobatan` atau tidak memberikan
pengobatan.
Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan
yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan
kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah dan hukum sebab-akibat.
E. Aspek Euthanasia.
1. Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari
dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan
dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa
melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli
apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat
atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di
lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang
masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan
menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut,
tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam
KUHP Pidana.
2. Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk
mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi
manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan
dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung
seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk
menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari
segala penderitaan yang hebat.
3. Aspek Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan
upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan
penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada
kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan
penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak
diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia,
bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping
tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret
dalam pengurasan dana.
4. Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada
seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau
memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama
secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa
dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu
memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun
dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat
dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan
Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar
bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan
apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang
satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila
dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa
orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau
memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan
mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula
diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses
kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan
kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan
standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada
hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa
mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal
tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil
untuk menopangnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Alloh. Oleh karena itu
orang yang mengakhiri hidupnya sendiri atau orang lain dengan cara dan
alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama, seperti euthanasia aktif,
adalah merupakan perbuatan bunuh diri yang diharamkan dan diancam
dengan siksa yang berat, di dunia jika persyaratannya terpenuhi dikenai
qishash, kaffarat atau diyat dan diakhirat dengan adzab neraka.
2. Euthanasia pasif diperbolehkan menurut pandangan hokum islam. Sedangkan
euthanasia aktif, dilihat dari segi kode etik kedokteran, KUHP, apalagi hokum
islam, merupakan perbuatan terlarang. Terhadap keluarga yang menyuruh,
doketr yang melaksanakannya dipandang sebagai pelaku pembunuhan dengan
sengaja dikenakan hukuman qishash atau diyat. Doketr yang melaksanakanna
atas permintaan pasien di pandang sebagai membantu terlaksananya bunuh
diri juga ikut menanggung dosa dan perbuatannya.
DAFTAR PUSTAKA
- Islam untuk disimplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran 2 (Fiqh
Kontemporer).2003. Buku dasar agama islam Pada perguruan Tinggi
Umum
- Jurusan program studi Kedokteran dan Kesehatan 2.Jakarta. Departemen
Agama RI.
- http://mbegedut.blogspot.com/2011/04/makalah-eutanasia-euthanasia-
menurut.html
- http://sichesse.blogspot.com/2012/03/makalah-al-islam-tentang-
euthanasia_27.html
- http://asa-2009.blogspot.com/2012/02/euthanasia-dalam-pandangan-
syariat.html
- http://nursemuslimfikunpad.blogspot.com/
- http://sebirucintaku.blogspot.com/2012/06/euthanasia-menurut-perspektif-
hukum.html