Eutanasia Menurut Pandangan Islam

24
EUTANASIA MENURUT PANDANGAN ISLAM MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Dosen Pembimbing: H. Mukhlis Syafiq, LC DISUSUN OLEH: Indah mila faniati

Transcript of Eutanasia Menurut Pandangan Islam

Page 1: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

EUTANASIA MENURUT

PANDANGAN ISLAMMAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pembimbing:

H. Mukhlis Syafiq, LC

 

DISUSUN OLEH:

Indah mila faniati

AKBID KH PUTRA BREBES

BENDA SIRAMPOG BREBES

2012

Page 2: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

KATA PENGANTAR

Assalammuallaikum wr.wb.

Puji Syukur saya panjatkan Kehadirat Tuhan ALLAH SWT, karena

dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah

tentang “Eutanasia Menurut Pandangan Islam” Makalah ini disusun bertujuan

untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama islam program studi D III

Kebidanan di AKBID Kh Putra Brebes

Ssya selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang

telah membantu dan mengarahkan saya terutama kepada Bapak mukhlis syafiq

LC selaku dosen pengajar mata kuliah PAI, sehingga saya dapat menyelesaikan

tugas makalah ini dengan tepat waktu.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat serta hidayahNya kepada

semua pihak yang membantu terselesainya makalah ini.

Saya sangat menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan

makalah ini. Oleh karena itu, dimohon saran dan kritik yang membangun. Akhir

kata semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Benda, Nopember 2012

Penulis

 

Page 3: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus

kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia

dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian.Dari proses

siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih

mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.

Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan

kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian

kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak

menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.

Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia,

sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi

bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.

Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata sepakat

dalam menghadapi keinginan pasien untuk mati guna menghentikan

penderitaannya. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para dokter, apakah ia

mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan

pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang

berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Sudah

tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.

Sebagai dampak  dari kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran

(iptekdok), kecuali manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral,

agama, hukum, sosial, budaya, & aspek lainnya.Kemajuan iptekdok telah

membuat kabur batas antara hidup & mati. Tidak jarang seseorang yang telah

berhenti pernapasannya & telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi

medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali.

Pada dewasa ini, para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi

sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut

Page 4: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

medis-etis-yuridis Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah

satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan.

Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita

penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang

seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut

berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi

adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.

Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang

tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat

dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat

dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis.

Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya,

maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, & dapat dijerat

hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan

Tindakan menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak ada

gunanya lagi, sebaiknya dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak

lagi merupakan kompetensinya, & bukan maksud untuk memperpendek atau

mengakhiri hidup pasien.

Dengan kata lain, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah

memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien & bukan mengakhiri hidup

pasien. Ini sesuai dengan pendapat Prof.Olga Lelacic yang mengatakan: Dalam

kenyataan yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak

ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas dari penderitaan karena

penyakitnya.

Page 5: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Eutanasia (berasal dari Bahasa Yunani: eu = baik, dan thanatos =

kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara

yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang

minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan

seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun

ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia

dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum.

Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu

diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

1. Pendapat Ulama

Dalam euthanasia pasif terdapat perbedaan pendapat diantara para

ulama, ada yang melarang karena disamakan dengan euthanasia aktif dan

ada yang membolehkan Di antara yang mendasari kebolehan melakukan

euthanasia pasif, yaitu tindakan mendiamkan saja si pasien dan tidak

mengobati, adalah salah satu pendapat di kalangan sebagain ulama. Yaitu

bahwa hukum mengobati atau berobat dari penyakit tidak sepenuhnya

wajib. Bahkan pendapat ini cukup banyak dipegang oleh imam-imam

mazhab.

Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini

hanya berkisar pada hukum mubah. Tetapi bukan berarti semua ulama

sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini

sebagian dari para ulama itu tetap mewajibkannya. Misalnya apa yang

dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin

Hambal, juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu

Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan bahwa berobat dan

mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah).

Page 6: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

Ulama menyatakan bahwa hukum berobat menjadi sunnah, wajib,

mubah atau haram jika penderita dapat diharapkan kesembuhannya, jika

tidak ada harapan sembuh sesuai sunnatullah dan hukum kausalitas, sesuai

diagnosis dokter ahli yang dapat dipercaya, maka tidak seorangpun dapat

mengatakan sunnah apalagi wajib.

Abdul Qadim Zallum mengatakan, bahwa jika para dokter telah

menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya maka para dokter

berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu

pernapasan dan sebagainya. Sebab, kematian otak tersebut berarti secara

pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien.

Penggunaan dan penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri termasuk aktivitas

pengobatan yang hukumnya sunnah, tidak wajib. Karena itu, hukum

euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut

alat-alat bantu pada pasien (setelah matinya atau rusaknya organ otak)

hukumnya boleh (jâ’iz) bagi dokter. Jadi, ketika dokter mencabut alat-alat

tersebut dari tubuh pasien, ia tidak dapat dikatakan melakukan

pembunuhan terhadap pasien .

Pada kasus seorang pasien yang diberi berbagai macam pengobatan

dengan cara meminum obat, suntikan, dan sebagainya ataupun

menggunakan alat-alat pernafasan buatan dan yang lainnya sesuai dengan

teori kedokteran modern dalam waktu yang relatif lama tetapi penyakitnya

tetap saja tidak berubah, maka melanjutkan pengobatan tersebut menjadi

tidak wajib dan tidak pula mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (tidak

mengobatinya) adalah wajib atau sunnah. Membiarkan pasien hidup

dengan bantuan alat hanya akan menghabiskan dana, selain itu juga

menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang lebih

memerlukannya dan memperoleh manfaat dari alat tersebut.

Menurut syara’, seseorang dianggap meninggal sehingga

diberlakukan hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan kematian,

apabila telah nyata salah satu dari dua indikasi. Pertama, apabila denyut

jantung dan pernafasannya sudah berhenti secara total, dan para dokter

telah menetapkan bahwa hal itu tidak akan pulih kembali. Kedua, apabila

Page 7: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

seluruh aktifitas otaknya sudah berhenti sama sekali, dan para dokter ahli

sudah menetapkan tidak akan pulih, otaknya sudah tidak berfungsi

(Zuhroni et. al. 2003).

Dalam kondisi tersebut diatas, ulama menetapkan diperbolehkan

melepas instrumen yang dipasang pada seseorang meskipn sebagian

organnya, seperti jantung masih berdenyut karena kerja instrumen

tersebut. Argumen kebolehan melepas alat-alat pengaktif organ dan

pernafasan dari pasien, karena tidak berguna lagi. Bahkan sebagian ulama

mewajibkannya untuk menghentikan penggunaan alat-alat tersebut, karena

menggunakan alat-alat itu berarti bertentangan dengan syariah Islam.

Alasannya adalah tindakan tersebut menunda pengurusan jenazah dan

penguburannya tanpa alasan darurat, menunda pembagian warisan, masa

‘iddah bagi istri dan hukum lain yang terkait dengan kematian. Disamping

itu juga berarti menyia-nyiakan harta dan membelanjakannya untuk

sesuatu yang tidak berguna, sedangkan hal ini dilarang dalam Islam.

Penggunaan alat tersebut juga memberikan mudharat kepada orang

lain dengan menghalangi penggunaan alat tersebut kepada yang lebih

membutukannya. Dalam ketentuan hukum Islam, memberi mudharat

kepada diri sendiri dan kepada orang lain dilarang, sesuai dengan hadis

Nabi s.a.w., yaitu hadis riwayat Ibn Majah, Ahmad, dan Malik yang

artinya “Dari `Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah s.a.w. mewajibkan

agar tidak memberikan mudharat kepada diri sendiri dan kepada orang

lain.” (Zuhroni et. al. 2003).

Ulama yang membolehkan ~termasuk Syaikh Yusuf Qordhowi~

euthanasia pasif berdalil dengan hukum asal berobat, karena ketika sakit

yang tidak mungkin disembuhkan ~menurut dokter~ tidak mengapa

meninggalkan pengobatan karena memang pengobatan hanya mubah atau

sunnah, sedikit sekali para ulama yang mewajibkannya

2. Eutanasia Menurut Pandangan Islam

Seperti dalam agama-agama lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam

mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut

merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat

Page 8: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243).

Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun

tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit

melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan

hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah

kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat

baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat

baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau

membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah

"Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim

(dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan

dengan membunuh dirinya sendiri.

Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-

maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang

dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan

meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun

1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan

dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan

(mercy killing) dalam alasan apapun juga .

B. Argumentasi pendapat

Dalam argumentasi pendapat dapat dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu kelompok yang pro dan kontra terhadap

euthanasia. Argument mereka yang pro secara garis besar yaitu:

euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan

hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat

disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah

melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertma, dokter

terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut

membantu meringankn penderitaan pasien tapi di sisi lain,

dokter menghilangkan nyawa orang lain yangg berarti melanggar

Page 9: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan

nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara manapun.

Sedangkan dari argumen mereka yang kontra yaitu :

Euthanasia Aktif diharamkan, karena termasuk dalam kategori

pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik

yaitu meringankan penderitaan pasien, hukumnya tetap haram,

walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil

yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuuhan jiwa

orang lain, maupun membunuh diri sendiri.

Misalnya firman Allah SWT:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang

benar”. (Q.S Al-an’am: 151).

Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering

dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga

dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat

aspek lahiriah (empiris), padahal dibalik itu ada aspek-aspek

lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.

Adapun hukum Euthanasia pasif, sebenarnya faktanya

termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan

tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa

pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak

memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter

menghentikan pengobatan kepada pasien, mislnya dengan cara

menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasieen.

Bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum

berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni apakah berobat itu wajib,

mandub, mubah, atau makruh. Dalam masakah ini ada

perbedaan pendapat. Menurut jumhur  ulama, mengobati atau

berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun

sebagan ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan

Page 10: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti di kemukkan oleh

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

C. Analisis pendapat

Dari beberapa pendapat diatas masing-masing pendapat

mempunyai kelebihan dan kekurangan  masing-masing.

Kelebihan dari pihak  yang  kontra  yaitu si penderita

euthanasia biasa meninggal dunia secara perlahan-lahan, bisa

mengurangi rasa sakit yang terus-menerus, dan merasa dirinya

tidak tersiksa.

Sedangkan kekurangan dari pihak yang pro yaitu

euthanasia juga bisa di anggap pembunuhan, karena sama saja

kita menghilangkan nyawa orang lain.

    

D. Dua Macam Euthanasia

Kalau kita lihat dalam prakteknya, kita bisa membagi euthanasia menjadi dua

macam. Pertama, euthanasia positif. Kedua, euthanasia negatif.

1. Eutanasia positif (taisir al-maut al-fa'al)

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan

memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter

dengan mempergunakan instrumen (alat).

Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak

diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan

suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat

kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk

pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang

membinasakan.

Page 11: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan

meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk

meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih

pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah

urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan

kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah

ditetapkan-Nya.

Contohnya, seorang yang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang

luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa

yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat

dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa

sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.

2. Eutanasia negatif (taisir al-maut al-munfa'il)

Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada

eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif

untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi

pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada

keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan

tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum

Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah

bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut

jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati

atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya

segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-

sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya

mustahab (sunnah).

Hukum Euthanasia Positif

Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif)

jelas-jelas tidak diperkenankan oleh syariat Islam. Sebab yang demikian

Page 12: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si

sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara

overdosis.

Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik

dengan cara pemberian obat overdossis yang pada hakikatnya merupakan

racun yang keras, ataupun dengan menggunakan senjata tajam.

Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan

termasuk dosa besar yang membinasakan.

Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori

pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si

sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si

dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang

Menciptakannya.

Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah SAW,

karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang

mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.

Hukum Euthanasia Negatif

Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif, maka

semua berkisar pada `menghentikan pengobatan` atau tidak memberikan

pengobatan.

Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan

yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan

kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah dan hukum sebab-akibat.

E. Aspek Euthanasia.

1. Aspek Hukum.

Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari

dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan

dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja

menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter

selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa

Page 13: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli

apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau

keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat

atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di

lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang

masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan

menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut,

tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam

KUHP Pidana.

2. Aspek Hak Asasi.

Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan

sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk

mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi

manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung

menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan

dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung

seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk

menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari

segala penderitaan yang hebat.

3. Aspek Ilmu Pengetahuan.

Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan

upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan

penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada

kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan

penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak

diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia,

bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping

tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret

dalam pengurasan dana.

4. Aspek Agama.

Page 14: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada

seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau

memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama

secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa

dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu

memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun

dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat

dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan

Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar

bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan

apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang

satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila

dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa

orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau

memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan

mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula

diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses

kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan

kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan

standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada

hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa

mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal

tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil

untuk menopangnya.

Page 15: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Alloh. Oleh karena itu

orang yang mengakhiri hidupnya sendiri atau orang lain dengan cara dan

alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama, seperti euthanasia aktif,

adalah merupakan perbuatan bunuh diri yang diharamkan dan diancam

dengan siksa yang berat, di dunia jika persyaratannya terpenuhi dikenai

qishash, kaffarat atau diyat dan diakhirat dengan adzab neraka.

2. Euthanasia pasif diperbolehkan menurut pandangan hokum islam. Sedangkan

euthanasia aktif, dilihat dari segi kode etik kedokteran, KUHP, apalagi hokum

islam, merupakan perbuatan terlarang. Terhadap keluarga yang menyuruh,

doketr yang melaksanakannya dipandang sebagai pelaku pembunuhan dengan

sengaja dikenakan hukuman qishash atau diyat. Doketr yang melaksanakanna

atas permintaan pasien di pandang sebagai membantu terlaksananya bunuh

diri juga ikut menanggung dosa dan perbuatannya.

Page 16: Eutanasia Menurut Pandangan Islam

DAFTAR PUSTAKA

- Islam untuk disimplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran 2 (Fiqh

Kontemporer).2003. Buku dasar agama islam Pada perguruan Tinggi

Umum

- Jurusan program studi Kedokteran dan Kesehatan 2.Jakarta. Departemen

Agama RI.

- http://mbegedut.blogspot.com/2011/04/makalah-eutanasia-euthanasia-

menurut.html

- http://sichesse.blogspot.com/2012/03/makalah-al-islam-tentang-

euthanasia_27.html

- http://asa-2009.blogspot.com/2012/02/euthanasia-dalam-pandangan-

syariat.html

- http://nursemuslimfikunpad.blogspot.com/

- http://sebirucintaku.blogspot.com/2012/06/euthanasia-menurut-perspektif-

hukum.html

Page 17: Eutanasia Menurut Pandangan Islam