Etnis Tionghoa Cikarang Akhir Dekade 90-an

download Etnis Tionghoa Cikarang Akhir Dekade 90-an

of 11

description

Etnis Tionghoa tidak bisa dipisahkan dari dinamika kota ini sejak berabad yang lalu. Makalah ini adalah bahasan sederhana mengenai hubungan mereka dengan warga lokal dan pendatang, terutama soal gejolak yang banyak terjadi di era ini dan dampak yang ditimbulkan hingga saat ini.

Transcript of Etnis Tionghoa Cikarang Akhir Dekade 90-an

Pengantar Ilmu SejarahEtnis Tionghoa di Cikarang Akhir Dekade 90-an

Disusun OlehYuanita Wahyu Pratiwi13/347932/SA/16946

Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Gadjah Mada

PendahuluanSecara umum, Cikarang dikenal sebagai Ibukota Kabupaten Bekasisalah satu regional penyangga Jakarta yang memiliki pusat industri terbesar di Asia Tenggara. Namun, Cikarang yang dimaksud disana adalah Cikarang Kota, atau Cikarang Pusat, sedangkan disini saya akan memaparkan kajian historis mengenai Cikarang Lama, atau yang umum lebih dikenal dengan Cikarang Utara.Cikarang Utara terbentang antara Cikarang Barat sampai Cikarang timur, di Utara ia berbatasan dengan Kecamatan Karang Bahagia dan Cikarang Selatan di sisi selatannya. Regional ini dapat dikatakan cukup strategis karena dilalui jalur antar profinsi. Yang menjadi jantung regional ini adalah Jalan Yos Sudarso, Gatot Subroto dan R.E. Martadinata, dengan ikon-ikon dari mulai Terminal Baru Cikarang, Pasar Lama, Stasiun Cikarang, Pasar Baru (Ramayana), sampai yang masih terhitung muda tapi menjadi paling ikonik sekarang, SGC atau Sentra Grosir Cikarang. Selain itu, jalan lain yang menjadi legenda di Cikarang adalah Jalan Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai jalan pendidikan. Di sepanjang jalan menuju ke arah kecamatan Sukatani ini, terdapat sekolah-sekolah negeri terbaik bagi berbagai jenjang di Cikarang dari seperti SMP Negeri 1 Cikarang Utara, SDN Karang Asih 12, SMA Negeri 1 Cikarang Utara sampai MAN Cikarang.Selama ini, regional kecil di pelosok Bekasi ini dianggap hanya sebagai rumah singgah bagi buruh-buruh yang menyumbang keringat di kawasan industri Jababeka, padahal jauh dari hanya itu, Cikarang adalah sebuah wilayah dengan riwayat sejarah yang sangat panjang. Pada masa pendudukan Belanda, Cikarang masuk sebagai salah satu dari empat distrik di dalam Regentschap Meester Cornelis bersama Meester Cornelis, Kebayoran, dan Bekasi. Sementara, bukti tertua yang dapat membuktikan eksistensi Cikarang yang masih dapat ditemui sampai sekarang adalah keberadaan Kelenteng atau yang oleh warga setempat disebut Tepekong (dari Topekong) Liem Thay Soe Kong di Jalan KH. Fudholi.Sebagai tempat kelahiran dan tempat tinggal sampai sebelum pindah ke Yogya, beberapa bulan yang lalu, saya memiliki keterikatan emosional yang kuat dengan Cikarang. Cikarang untuk saya pribadi adalah tempat dimana saya mengenal orang-orang dan membuka pergaulan untuk pertama kali. Masyarakat Cikarang yang saya kenal pada tahun-tahun akhir dekade 90-an sampai awal-awal tahun 2000an terbagi kedalam beberapa kelompok utama yakni kelompok penduduk asli berkultur Betawi yang bertani padi dan sayur-mayur, penduduk pendatang dari kalangan buruh yang umumnya Jawa atau Sunda, dan kelompok Tionghoa keturunan yang menetap di sekitar pusat-pusat Cikarang dan berdagang. Kelompok ini masih bertahan sampai sekitar 5 tahun setelahya, sebelum terusik oleh mobilitas sosial etnis Betawi yang banyak menjual tanah untuk pendidikan, dan tanah yang dijual kemudian dijadikan perumahan sehingga kalangan petani semakin menyusut. Dewasa ini, petani-petani yang masih bertahan hanya ada di wilayah pelosok, itupun harus bersaing dengan pertumbuhan perumahan yang kian hari kian pesat.Berbicara mengenai pertumbuhan Cikarang, maka etnis Tionghoa tidak bisa dilepaskan darinya. Sepanjang Jalan Yos Sudarso, terutama kawasan sekitar Pasar Lama sampai Polsek dikenal sebagai Chinatown-nya Cikarang. Eksistensi orang-orang Tionghoa, keberadaan Kelenteng Liem Thay Soe Kong yang sudah ada disana sejak abad 16, serta tradisi Tionghoa yang tumbuh subur membuktikan bagaimana sudah sejak lama masyarakat lokal Cikarang memiliki relasi yang kuat dengan kelompok etnis ini. Hubungan ini jelas jauh lebih lama daripada hubungan masyarakat lokal dengan etnis urban Jawa yang sekarang terlihat lebih membentuk wajah masyarakat Cikarang. Saya sendiri sejak Taman Kanak-Kanak menempuh pendidikan di kawasan yang dipadati warga keturunan Tionghoa, sehingga kemudian saya merasa cukup dekat dengan mereka. Beberapa sahabat saya sendiri adalah anak-anak dari kelompok ini. Merekalah yang selanjutnya membantu saya menjadi penghubung utama saya dengan narasumber.Cikarang begitu cepat mengalami perubahan. Beberapa bulan yang lalu, saya berkunjung kembali ke Cikarang setelah sebulan menetap di Jogja, tapi beberapa bangunan baru sudah berdiri. Sebidang kawasan pertokoan di seberang SGC sudah berubah menjadi outlet pakaian modern yang besar, dan Kantor Urusan Agama di Jalan Gatot Subroto sudah berubah jadi PDAM. Dulu, di Cikarang juga banyak terdapat bioskop-bioskop kelas bawah yang oleh masyarakat akrab disebut Misbar (akronim dari Gerimis Bubar karena minimnya sarana dan prasarana di bioskop rakyat tersebut). Sekarang budaya nonton ini sudah ditinggalkan jauh. Beberapa gedung masih berdiri dan nampak tak terawat, beberapa diantaranya bahkan sudah berubah jadi pertokoan atau markas sebuah agen perusahaan outobus. Saya kira, perlu adanya pengkajian sejarah terhadap Cikarang, karena sampai sekarang pun, dengan rekam jejak sebanyak ini, pengaruh yang sekuat ini, pengabadian kisah Cikarang dalam tulisan-tulisan sejarah masih sangat minim. Jika kelangkaan tulisan sejarah Cikarang ini dibiarkan terus menerus, maka kawasan ini kedepannya hanya akan jadi motor utama penggerak ibukota yang tak beridentitas.Melalui makalah ini, saya bermaksud untuk mulai menulis tentang sejarah Cikarang dari tema-tema yang saya rasa cukup dekat dengan saya selain daripada untuk memenuhi tugas. Periodisasi yang saya gunakan dalam makalah ini adalah sekitar 1997 sampai awal 2000. Tahun 1997 saya pilih karena pada tahun inilah terjadi krisis moneter yang juga berimbas bagi perekonomian di Cikarang dan menjadi cikal bakal peristiwa 1998. Periodisasi ini kemudian diakhiri dengan suasana pasca reformasi, bagaimana sebuah peristiwa ini membawa dampak besar bagi kehidupan etnis Tionghoa Cikarang sampai saat ini.

Bertahan dalam Krismon Pada bulan Juli 1997, krisis melanda dunia. Banyak sekali negara termasuk Indonesia di dalamnya, ikut terkena imbasnya. Inflasi yang tinggi membuat barang-barang harganya melejit sekaligus sulit didapat di pasaran. Yang paling terkena imbas krisis ini adalah rakyat golongan menengah. Banyak warung-warung kecil yang gulung tikar karena modalnya tak cukup untuk meneruskan usaha. Bagi kaum menengah keatas, meski mereka memiliki cukup uang, kadang kala mereka kesulitan menemukan barang yang diinginkan.Hal yang sama juga terjadi di Cikarang. Kelompok Tionghoa yang menetap di sepanjang jalan Yos Sudarso juga didominasi oleh kaum menengah yang turut merasakan bagaimana dampak inflasi ini. Setahun sebelum krisis melanda, tepatnya pada sekitar akhir tahun 1996, di Cikarang baru saja dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang dinamakan Pasar Baru Cikarang. Pusat perbelanjaan ini hadir dengan konsep yang lebih modern. Pedagang-pedagang ditempatkan di sebuah bangunan bertingkat yang kokoh. Di lantai paling atas bangunan tersebut berdirilah department store Ramayana. Ramayana inilah yang kemudian mengenalkan rakyat Cikarang kepada konsep perbelanjaan baru. Konsep swalayan ini kemudian menjadi trend, dan otomatis destinasi belanja utama yang segera menggeser kawasan pasar yang sebelumnya menjadi pusat perdagangan Cikarang yang kemudian disebut sebagai Pasar Lama.Pasar lama ini semakin sepi begitu dilanda krisis. Langkanya pengunjung membuat beberapa pedagang dan pengusaha kuliner memindah lahankan bisnisnya ke Pasar Baru. Sampai detik ini, Pasar Lama masih sepi, beberapa toko dibiarkan kosong dan tak terawat. Hanya segelintir pedagang yang masih tersisa, utamanya yang berada di dekat jalan raya. Berita-berita yang disiarkan di TV sangat jelas menggambarkan bagaimana krisis melanda. Hal ini membuat warga panik dan berusaha melakukan antisipasi-antisipasi sebelum imbas krisis benar-benar melanda daerahnya. Padahal antisipasi ini berujung pada aksi penimbunan yang justru mempersulit warga lainnya. Waktu itu beras langka, Ibu sampe harus ke Pasar buat beli, padahal biasanya di warung banyak, terang ibu saya ketika saya mengajak beliau untuk mengobrolkan saat-saat krisis ini.

Kerusuhan 98 di CikarangPada 13 Mei 1998, ribuan orang berkumpul di depan Universitas Trisakti untuk menyampaikan duka cita atas tewasnya empat mahasiswa yang menjadi korban dalam peristiwa bentrok dengan aparat sehari sebelumnya. Sementara itu, di dalam kampus aksi berkabung mahasiswa masih berlangsung tertib karena mereka dilarang keluar kampus untuk mencegah kembali terjadinya insiden serupa. Sekitar pukul 12.00, terjadi sebuah pembakaran truk sampah di perempatan jalan layang. Banyak saksi mata yang menyimpulkan terbakarnya truk ini agak ganjil mengingat daerah seputar kampus Universitas Trisakti ditutup rapat oleh aparat. Dampak yang ditimbulkan oleh pembakaran ini sangat besar. Massa seketika berubah brutal ketika melihat kobaran api dan lantas melempari aparat dengan batu, botol, dan benda lainnya. Mereka juga mencabuti dan berusak rambu-rambu lalu lintas dan pembatas jalan. Rentetan tembakan peringatan dan gas air mata kemudian membuat massa panik dan berlarian. Kerusuhan inilah yang menjadi mata rantai awal yang kemudian menyambar sampai ke daerah luar Jakarta seperti Depok, Tangerang, Bogor, dan tentu saja Bekasi.Di Bekasi, kerusuhan massa dimulai sekitar pukul 10.30 dari Mal Metropolitan dekat ujung pintu tol Bekasi barat. Mereka merusak bagian depan mal terbesar di Bekasi itu dan menjarah isinya. Sasaran lainnya adalah Hero Kalimalang yang dirusak bagian belakangnya. Selain itu kerusuhan dengan aksi penjarahan toko, pasar, ATM dan bank juga terjadi. Dari Jakarta, aksi bergerak semakin ke selatan hingga sampai ke Cikarang. Awalnya kan dari Jakarta, terus siang nyampe Bekasi, nah terus ngidul sampe Cikarang. Pas jam 3-an itu udah rame. Jalanan di blokir, terus yang pulang kerja pada jalan kaki karena nggak ada angkutan.Toko-toko sepanjang jalan dirusak. Saking takutnya banyak yang ditulisin Punya Orang Islam atau Milik Pribumi padahal juga punya orang Cina, tutur ayah saya.Baik di Jakarta maupun di manapun termasuk Cikarang, yang menjadi sasaran adalah etnis Tionghoa. Mereka yang selama ini di anak tirikan oleh rezim, tetap menjadi korban dari masa yang terkompor-kompori isu rasial. Mereka dinilai sebagai golongan yang bersuara paling kecil dan satu-satunya yang tidak beresiko untuk dijadikan pelampiasan bagi tindakan anarkis semacam ini. Salah seorang teman saya yang Tionghoa, Marshella Riyanto, menceritakan peristiwa yang masih ia ingat ini pada saya. Ketika itu, ia masih kecil. Mereka sekeluarga tinggal di sebuah rumah di kawasan Pasar Lama. Sorenya di hari kerusuhan, ia dijemput pamannya yang datang dari Jonggol untuk berlindung disana. Mereka menilai Jonggol lebih aman karena di tempat tinggal keluarganya disana, etnis mereka mendominasi dan keadaan jauh lebih tenang dari di Cikarang. Waktu itu pamannya sampai menggunakan peci supaya tidak dikenali sebagai seorang Tionghoa. Sementara ia dan ibunya ikut pamannya ke Jonggol, ayahnya tinggal untuk menjaga rumah yang ketika itu mulai ditimpuki orang dengan batu.Salah satu ikon baru Cikarang yang saya ceritakan di bagian sebelumnya tadi juga turut menjadi korban keganasan massa pada peristiwa ini. Ramayana menjadi sasaran amuk warga terutama karena keberadaannya mematikan perekonomian di Pasar Lama. Warga membakar ramayana dan pasar baru serta menjarah isinya. Salah seorang kakak dari teman saya pernah cerita kalau ketika itu dia baru saja pulang sekolah, dan ia menyaksikan bagaimana tukang-tukang becak yang sedang mangkal menanti pelanggan langsung ikut masuk ke dalam masa dan membawa pulang becak yang penuh dengan baju-baju dari Ramayana. Jalan-jalan pada waktu itu diblokir dan angkutan-angkutan tak beroprasi. Hal ini menyebabkan akses antar daerah putus. Orang-orang yang berada di dalam rumah takut untuk keluar, bahkan mereka mematikan lampu-lampu mereka karena takut tiba-tiba diserang. Orang-orang yang kebetulan sedang berada jauh dari rumah memilih untuk berjalan kaki atau mencari tempat berlindung di rumah sanak saudara terdekat. Tilas atas peristiwa ini masih tersisa sampai kepindahan keluarga saya dari Cibitung ke Cikarang pada tahun 1999. Saya masih ingat bagaimana ketika itu Ramayana belum diperbaharui. Gedungnya masih hitam dan kaca-kacanya pecah. Dari luar terlihat manekin-manekin hangus yang beberapa bagiannya meleleh bersama api yang di kerusuhan itu membakar mereka.

Membangun Kembali Cikarang Pasca Peristiwa 98Tuh liat, Ramayananya sebentar lagi kan mau dibenerin, Yu. Ntar kita bisa jalan-jalan ke sana. Saya ingat kata-kata ibu saya tersebut ketika kami ke pasar sekitar tahun 2000. Beberapa saat setelah itu, Ramayana memang direstorasi. Ia dipulihkan dari luka-luka kebakarannya, diperbaharui, dan siap difungsikan kembali sebagai pusat perbelanjaan modern terbesar di Cikarang Lama, tanpa melihat kembali sebab musabab kenapa sampai ia menjadi sasaran kemarahan warga pada peristiwa 98. Setelah Ramayana dan Pasar Baru dibenahi, Pasar Lama tak disentuh dan tetap dibiarkan seperti sedia kala. Ia masih sepi, masih tak terurus dan ditinggalkan baik oleh pembeli maupun penjualnya.

Pasar Lama Cikarang yang sampai sekarang ditinggalkan

Di sepanjang jalan Yos Sudarso, masih terdapat ruko-ruko lama yang pada peristiwa 98 juga menjadi sasaran amuk masa. Di awal tahun 2000, banyak diantara mereka yang kembali difungsikan sebagai toko tanpa diperbaharui keseluruhannya sehingga jika dilihat sekarang pun, ia masih memiliki bekas-bekas terbakar yang semakin menambah kesan tua pada bangunan tersebut.

Kelenteng Liem Thay Soe Kong setelah kerusuhanSalah satu cagar budaya setempat yakni Kelenteng Liem Thay Soe Kong juga tak luput dari aksi pengerusakan pada tahun 1998. Kemudian memakan waktu cukup lama sampai kelenteng ini dibenahi seperti sedia kala. Untungnya, dalam peristiwa itu, bagian kelenteng yang diperkirakan masih asli sejak abad 16 itu dapat diselamatkan.Kelenteng Liem Thay Soe Kong ini maknanya penting bagi etnis Tionghoa Cikarang. Kelenteng ini menjadi warisan nenek moyang mereka sekaligus bukti bahwa eksistensi mereka sudah sedemikian kuat dan hubungan mereka dengan penduduk lokal sudah terjadi sedemikian lama. Setiap perayaan Imlek dan Cap Go Meh, kelenteng ini menjadi pusat perayaan. Selain itu, ada pula tradisi arak-arakan rombongan massa dengan Barong Sai, Liong, dan tandu-tandu sesembahan yang diiringi oleh tabuh-tabuhan genderang. Arak-arakan ini dilaksanakan pada hari kesepuluh setelah Imlek yakni Cap Go Meh, dan dimulai dari Liem Thay Soe Kong ke Tepekong Cabang yang letaknya di jalan Ki Hajar Dewantara. Tradisi ini tumbuh kembali sejak budaya Tionghoa kembali mendapat tempat pada masa presiden Abdurrahman Wahid. Arak-arakan Cap Go Meh ini bahkan tidak hanya ditunggu-tunggu oleh orang-orang Tionghoa, melainkan juga menjadi hiburan favorit bagi warga lokal. Saya rasa ini sudah bisa menjadi tolak ukur bahwa pembauran antara Tionghoa, warga lokal dan pendatang di Cikarang sudah baik. Perayaan Cap Go Meh di Cikarang tahun 2011Pasca lumpuh sejenaknya beberapa sektor perekonomian Cikarang akibat kerusuhan 98, etnis Tionghoa yang menjadi korban jugalah yang andil besar dalam usaha pemulihannya. Mereka membangun kembali usaha-usaha mereka, tak jarang dari titik rendah. Oleh usaha mereka, Cikarang bisa pulih dan kembali bergerak cepat seperti sedia kala. Jika tak ada mereka, atau akibat trauma oleh kerusuhan mereka kemudian eksodus ke suatu tempat, mungkin Cikarang tak akan pulih sebaik ini. Sampai sekarang pun pertokoan sepanjang jalan Yos Sudarso, di plaza Cikarang, dan di sekitar Ramayana kembali dihuni oleh orang-orang Tionghoa. Hanya sedikit sekali orang pribumi yang bermain dalam arena perdagangan semacam ini. Pengusaha pribumi paling hanya ikut berpartisipasi dalam usaha kuliner dan perdagangan partai kecil di pasar. Ketika Sentra Grosir Cikarang tahun 2006 didirikan, lantai terbawah yang khusus menjual gadget dan elektronika dikuasai orang Tionghoa, hampir tanpa penduduk asli samasekali kecuali hanya sebagai karyawan. Toko-toko fesyen yang terletak di lantai-lantai atas juga banyak dimiliki oleh orang-orang Tionghoa selain para pendatang yang Minang dan Batak. Bagaimanapun, mereka memang bagian tak terpisahkan dari dinamika perkembangan Cikarang bahkan sejak awal kedatangan mereka 4 abad yang lalu sampai sekarang.

KesimpulanJejak keberadaan orang-orang pendatang dari Tiongkok di Cikarang dapat ditelusuri sejak abad ke 16. Mereka kemudian menetap disana dan bertahan hingga beberapa generasi sampai saat ini. Dalam dinamikanya, meski dianggap kerap membangun eksklusivitas, peran orang-orang Tionghoa ini juga tak bisa dipisahkan dari sejarah dan perkembangan Cikarang. Mereka memainkan peran-peran vital dalam urusan ekonomi.Pada kerusuhan tahun 1998, mereka banyak menjadi sasaran amukan warga. Toko-toko mereka dibakar dan dijarah. Namun meski demikian, mereka juga yang menghidupkan kembali bisnis di Cikarang pasca kerusuhan, dan sampai sekarang, peran mereka masih terasa.Orang Tionghoa memang bukan penduduk asli, tapi di Cikarang, mereka bukan pula mayoritas. Dibukanya Cikarang sebagai kota Industri membuat urbanisasi ke Cikarang dari berbagai daerah lain di Jawa maupun luar Jawa marak terjadi. Akibatnya, begitu banyak etnis berkehidupan disini, dan penduduk lokal apabila dibandingkan dengan keseluruhan jumlah justru jadi minor. Sekarang, meski beberapa kelompok tertentu masih membangun eksklusivitasnya sendiri, secara keseluruhan pembauran antara Tionghoa, pendatang, dan warga lokal di Cikarang sudah baik. Di sekolah-sekolah negeri, etnis manapun seorang murid berasal, ia akan tetap diperlakukan sama dengan yang lain.Warga lokal yang menjadi tuan tanah, orang-orang pendatang yang mayoritas buruh dan menumpang tinggal di tempat ini, sampai para pemilik toko yang kebanyakan Tionghoa membaur padu di Cikarang. Setiap kelompok memiliki latar belakang historisnya sendiri-sendiri, dan karenanyalah mereka ada di Cikarang untuk sebuah alasan. Mereka menjadi komponen tak terpisahkan yang membuat Cikarang tetap bisa bergerak cepat seperti sekarang.

Daftar Sumber Wibowo, I., Harga yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/konten/photo/item/2279-dokumentasi-foto--capgome-cikarang-2011 (23 Desember 2013, 19.35)Wawancara dengan Marshella Riyanto Wawancara dengan Arnadi RiyantoWawancara dengan WahyudiWawancara dengan Sumini

Lampiran

Profil Narasumber1. Marshella Riyanto (Khouw Kim Hua, 18)Mahasiswi di President University keturunan Tionghoa yang sejak lahir berdomisili di Cikarang. Ketika peristiwa 98 terjadi usianya baru 3 tahun, tapi karena ia tinggal di kawasan pecinan Cikarang, ia mengetahui perkembangan kawasan tersebut dari tahun ke tahun.

2. Arnadi Riyanto (Khouw Chuan Seng, 46)Ayah dari Marshella, seorang pengusaha pabrik es batu di Jonggol. Pada peristiwa 98, beliau juga turut menjadi saksi mata dan beliau masih mengingatnya dengan jelas. Karena sudah berdomisili di Cikarang untuk waktu yang lama, beliau juga mengetahui bagaimana perkembangannya, terutama mengenai Pasar Lama dan sekitarnya.

3. Wahyudi (40)Ayah saya, seorang karyawan swasta yang sudah berdomisili di Cikarang sejak 1992, dimana beliau mulai bekerja di PT. Fajar Surya Wisesa sampai sekarang. Setiap hendak berangkat kerja, beliau melewati sepanjang jalan Yos Sudarso, RE Martadinata, dan Gatot Subroto, karenanyalah beliau dapat bercerita banyak juga tentang perkembangan tempat-tempat disana. Pendapat beliau mengenai krisis, sampai reformasi mewakili generasi urbanisasi dari Jawa Tengah yang juga terdapat banyak di Cikarang dan turut menjadi bagian dari peristiwa-peristiwa tersebut.

4. Sumini (40)Beliau adalah Ibu saya, seorang ibu rumah tangga yang sudah berdomisili di Cikarang sejak 1990. Ketika krisis dan pasca kerusuhan, pendapat beliau mewakili golongan ibu rumah tangga dengan konsumsi partai kecil yang paling terkena imbas kenaikan harga dan kelangkaan barang-barang.