ETIKA HUBUNGAN MURID DAN GURU DALAM SERAT...
Transcript of ETIKA HUBUNGAN MURID DAN GURU DALAM SERAT...
ETIKA HUBUNGAN MURID DAN GURU
DALAM SERAT DEWARUCI
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi
Persyaratan Meraih Gelar
Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Teti Pujiawati
NIM: 1113033100074
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2017 M.
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
PadananAksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ʹ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h wa ھ
apostrof ء
y ye ي
Vokal Tunggal
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
a fatẖah َـ
i kasrah َـ
u ḏammah َـ
v
Vokal Rangkap
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ي َـ ai a dan i
و َـ au a dan u
Vokal Panjang
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas آ
Î I dengan topi di atas إى
Û u dengan topi di atas أو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qomariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah(Tasydȋd)
Syaddah atau tasdȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (َـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberitanda syaddah itu. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
.tidak ditulis aḏ-darûrah melainkan al-darûrah الضرورۃ
Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut
diikuti oleh kata sifat (naʹt) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab AlihAksara
ṯarîqah طريقة 1
al-jâmi’ah al-islâmiyyah الجامعة اإلسالمية 2
waẖdat al-wujûd وحدۃالوجود 3
vi
KATA PENGANTAR
Syukur tiada terhingga kepada Sang Esa, hanya Dia pemilik al-Hamdu yang
senantiasa menebarkan Rahmat kepada seluruh semesta. Shalawat dan salam saya
agungkan kepada Sang Nabi yang telah menebar suluh cahaya ke seluruh penjuru
buana raya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian
skripsi ini.
1. Dra. Tien Rohmatin, M.A., selaku ketua Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam dan Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A., selaku sekertaris
Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M. Si. Selaku dosen pembimbing,
yang bersedia meluangkan waktunya, dengan sabar membimbing dan
mengarahkan penulis, serta atas kritik, dan koreksinya yang
membangun, penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Hamid Nasuhi, M.A., yang telah membantu dan memudahkan
penulis dalam mengumpulkan buku referensi terkait penulisan skripsi
ini.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen, khusunya Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam, Staff Perpustakan Fakultas Ushuluddin, beserta jajaran
vii
Civitas Akademik, yang telah setia melayani penulis dalam mengurus
segala keperluan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Terima kasih tidak terhingga penulis haturkan bagi kedua orang tua, Ibu
Dartem dan Bapak Ijam. Ibunda, mata air ilmu yang tidak pernah kering,
terima kasih untuk Ayahanda, sosok bersahaja yang telah mengurai
peluh demi tegaknya kehidupan, berkat do’a dan restu kasihnya, penulis
bisa menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa kepada kedua adik tercinta
Fitria Rianjani dan Randi Febrian, yang menjadi pemacu semangat
dalam menuntut ilmu, serta seluruh keluarga besar penulis yang turut
serta mendo’akan dan mengantarkan penulis dalam menempuh
pendidikan.
6. Terimaksih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada keluarga Dr.
H. M. Suryadinata, M.A. dan Dra. Hj. Lilik Nurmaliha, yang telah
banyak membantu baik moral maupun materiil, tak lupa kepada Mbah
Putri (Hj. Muharramatun), Hj. Eva Zuhrotun beserta keluarga, dan Hj.
Lilis Alis beserta keluarga. Atas nasihat dan dorongan mereka, penulis
akhirnya bisa menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
7. Maksrul Sodik Buhaeri, sosok penuh arti, yang menemani,
menginspirasi, dan memberi dukungan moral, selama penulis
menempuh pendidikan.
8. Sahabat Pena penulis, Cici Zulaikha, Ainul Husna Heruditya, Mahesa,
Ahmad Riyadi, dan Abdus Syakur yang telah memotivasi dan berjuang
bersama, sehingga memacu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
viii
9. Triana Sugesti, Dalilah Ukhriyati, Selfiana Manurung, Siti Salbiyah,
Nuramalia Dini Priatmi, Rizka Widayanti, Fitrotul Azizah, dan Rusnul
Nurahlina Hanifi, teman setia penulis yang menemani perjalanan dalam
suka maupun duka.
10. Tim Redaksi Berita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kang Zainal,
Kang Lutfi, Kang Nanang, beserta teman-teman Pewarta lainnya, yang
telah memberikan angin segar dan warna baru bagi penulis dalam proses
kreatifitas.
11. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) HIJRAH dan EKALAYA
2016, atas kerjasama dan partisipasinya penulis mendapatkan
pengalaman baru, serta belajar memahami lingkungan sosial
masyarakat.
12. Keluarga besar Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2013, yang telah
menemani berjuang dan belajar bersama, serta membina rasa
kekeluargaan di kampus tercinta ini.
Kepada semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu, baik
perseorangan maupun institusi, yang telah membantu penulis. Kepada semuanya
penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Semoga Allah membalas segala
amal baik mereka. Aamiin.
Ciputat, 15 Januari 2018
Teti Pujiawati
ix
ABSTRAK
Teti Pujiawati
Etika Hubungan Murid dan Guru dalam Serat Dewaruci
Serat Dewaruci digubah oleh Pujangga Surakarta, yaitu Raden Ngabehi
Yasadipura I, pada masa masuknya agama Islam ke Pulau Jawa (kira-kira pada
awal abad ke-16 M). Serat Dewaruci mengisahkan mengenai perjuangan seorang
murid bernama Bima/Arya Sena/Werkudara, yang diberi tugas oleh gurunya
(Guru Durna) untuk mencari air kehidupan (tirta pawitra). Dalam perjalanan
mencari air kehidupan, Bima sebagai murid demikian taat menjalankan perintah
dan hormat kepada gurunya. Bagi Bima, guru adalah sosok yang menjadi panutan,
yang mengajarkan dan membimbing murid agar mendapatkan pengetahuan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui etika murid terhadap guru yang
terdapat dalam Serat Dewaruci, serta pengaruh guru dalam mengantarkan murid
menuju cita-citanya. Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dengan
menitikberatkan kajiannya pada analisis isi (content analysis). Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa etika merupakan hal terpenting
yang harus dimiliki oleh seorang murid yang sedang menuntut ilmu, terutama
etika kepada gurunya, karena dalam mencapai kesempurnaan seorang murid harus
mengikuti perintah gurunya.
Seorang murid dalam menanggapi cita-cita tidak bisa mendapatkannya
begitu saja, perlu perjuangan dan kerja keras, serta wajib menghormati guru dan
bekerja untuk memperoleh kerelaan guru, dengan melakukan berbagai cara,
seperti menjaga ucapan, tingkah laku, serta bersikap terpuji. Guru dalam bahasa
Jawa adalah menunjuk pada seorang yang harus digugu dan ditiru oleh semua
murid dan bahkan masyarakat. Harus digugu artinya segala sesuatu yang
disampaikan olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh
semua murid. Sedangkan ditiru artinya seorang guru harus menjadi suri teladan
(panutan) bagi semua muridnya.
Kata Kunci: Etika, Murid dan Guru
x
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN.................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI....................................................................... iv
ABSTRAK.......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah.............................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................... 7
D. Tinjauan Kepustakaan............................................................................ 8
E. Metode Penelitian................................................................................. 10
1. Sumber Data ............................................................................... 10
2. Jenis Penelitian ........................................................................... 11
3. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 11
4. Teknik Analisi Data ................................................................... 12
5. Sistematika Penulisan ................................................................. 12
BAB II SERAT DEWARUCI
A. Riwayat dan Asal-Usul Serat Dewaruci............................................... 14
1. Biografi Raden Ngabehi Yasadipura I........................................ 14
2. Karya-karya................................................................................. 17
3. Asal-Usul dan Perkembangan Serat Dewaruci........................... 21
B. Isi dan Jalan Cerita Serat Dewaruci ................................................... 25
BAB III ETIKA
A. Pengertian Etika ................................................................................... 30
B. Etika dalam Islam ................................................................................ 33
C. Etika terhadap Sesama Manusia ......................................................... 37
D. Etika Terhadap Seorang Guru ............................................................. 41
1. Pengertian dan Kedudukan Guru ............................................... 41
2. Pengertian dan Kedudukan Murid ............................................. 45
3. Etika Murid Terhadap Guru........................................................ 46
BAB IV HASIL ANALISIS ETIKA HUBUNGAN MURID KEPADA GURU
DALAM SERAT DEWARUCI
A. Menuntut Ilmu: Guru-Murid ............................................................... 50
1. Durna Sebagai Guru Pembimbing ............................................. 55
2. Dewaruci Sebagai Guru Sejati .................................................. 63
B. Makna Simbolik dalam Serat Dewaruci ............................................. 74
1. Perjalanan Mencari Air Kehidupan ............................................ 74
2. Menemukan Jati Diri: Manunggaling Kawula Gusti ................. 77
xi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................... 80
B. Saran .................................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 82
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara historis, Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-7 Masehi,
tepatnya di Kota Jepara, Jawa Timur. Islam diperkenalkan di negeri ini melalui
tiga cara, yaitu oleh para pedagang muslim, para da‟i dan para sufi yang datang
dari India, Arab, dan negara-negara lain. Namun, pada abad-abad itu, pengenalan
Islam ke Indonesia belum dapat dilakukan secara sistematis. Dakwah Islamiah
secara sistematis baru dapat dilakukan pada awal abad ke-13, yaitu ketika para
pedagang Arab berdagang hingga ke Sumatera Utara. Kemudian pada abad ke-15,
mereka sampai ke Jawa, dan menyebarkan agama Islam dengan cara yang amat
halus dan bijaksana, khususnya di sepanjang daerah pantai Utara Jawa yang
dikembangkan oleh para Walisongo.1
Realitas sejarah ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam yang
berkembang di Indonesia sampai saat ini adalah Islam Kultural.2 Artinya Islam
menjadi berkembang dan menjadi tradisi baru sejalan dengan dinamika budaya
masyarakat. Pendekatan kultural tersebut merupakan strategi pengembangan
keberagaman yang memerhatikan keharmonisan dan kekayaan budaya lokal
sebuah komunitas masyarakat.
Sejarah telah mencatat bahwa agama sejak zaman prasejarah telah
mempunyai peran yang menentukan dalam mengarahkan dan membentuk tradisi,
1Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia (Depok: Pustaka IIMan, 2009), Cet.I, h. 6-34.
2Islam kultural merupakan agama asli Nusantara, yang dianut oleh orang-orang
Indonesia–Melayu pada masa kerajaan Hindu-Budha.
2
adat istiadat, pandangan hidup, dan nilai budaya, baik secara individu maupun
kelompok. Nilai agama yang menjadi karakter utama Islam adalah moralitas
(Akhlākul karīmah).3 Kualitas suatu masyarakat, dapat dilihat dari kualitas
moralnya. Bahkan kemajuan dan ketinggian budaya masyarakat amat ditentukan
oleh ketinggian akhlaknya. Inilah yang menjadi tujuan utama diutusnya
Rasullullah SAW, yaitu untuk memperbaiki akhlak manusia.4
Menurut Al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber
lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa
menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain
yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat
memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan
melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
Etika atau akhlak menurut pandangan al-Ghazâlî bukanlah pengetahuan
(ma‟rifah) tentang baik dan jahat atau kemauan (qudrah) untuk baik dan buruk,
bukan pula pengamalan (fi‟il) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa
yang mantap.5
Konsep etika sebagai norma tentang bagaimana manusia seharusnya
menjalani kehidupannya secara baik dan sempurna, maka wayang mengajarkan
demikian, ini berarti bahwa etika Jawa juga dapat dilihat dalam dunia pewayangan
3Abdurrahman Mas’udi, Menuju Paradigma Islam Humanis (Yogyakarta: Gama Media,
2003), h. 24. 4 Lihat Q.S Al-Qalam: 4, Q.S At-Taubah:128.
5Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 227.
3
yang telah lama berkembang sebagai kesenian rakyat yang menyatu dengan
kehidupan masyarakat Jawa.6
Agama Islam ketika menyebar di Pulau Jawa, bersamaan diikuti dengan
mengalirnya kepustakaan Islam, adanya berbagai kitab-kitab mengenai ajaran
agama Islam, kemudian dikembangkan dalam bentuk pengajaran di pesantren-
pesantren, kenyataan tersebut akhirnya tidak menutup kemungkinan memengaruhi
pula pertumbuhan dan perkembangan kepustakaan Jawa yang isinya
memertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam.7
Maka dalam hal ini terjadi sinkretisme, mengenai kepustakaan Jawa dan
bukti sinkretisme ini berikut pernyataan Simuh:
Jenis kepustakaan Jawa yang isinya memertemukan ajaran dengan tradisi
Jawa, disebut primbon, serat dan wirid. Adapun peninggalan kepustakaan
mistik Islam kejawen yang paling tua yaitu dua manuskrip yang kemudian
terkenal dengan nama Het Boek Van Bonang (Buku Sunan Bonang) dan
Een Javanese Primbon Vit De Zestiende Eeuw (Primbon Jawa Abad Enam
Belas).8
Di sisi lain selain kepustakaan, akar yang paling mendasar dalam falsafah
Nusantara (khusunya Jawa), yaitu mengenai falsafah dan etika hidup manusia
Jawa yang terdapat nilai-nilai ajaran tasawuf dan etika yang terkandung dalam
tokoh-tokoh maupun cerita-cerita yang ada pada kisah dalam lakon pewayangan,
khususnya wayang kulit. Wayang dalam bahasa Jawa berasal dari kata
wewayangan, yang artinya bayang-bayang. Wayang merupakan bahasa simbol
kehidupan yang lebih bersifat rohaniah dari pada jasmaniah. Jika orang melihat
6Sudirman Teba, Etika dan Tasawuf Jawa -Untuk Meraih Ketenangan Jiwa (Ciputat:
Pustaka IrVan, 2007), h. 102. 7Simuh, Mistik Islam Kejawen:R.Ng. Ranggawarsita (Jakarta: UI Press, 1988), h. 22.
8Simuh, Mistik Islam Kejawen:R.Ng. Ranggawarsita, h. 23.
4
wayang, yang dilihat bukan wayangnya, melainkan masalah yang tersirat dalam
lakon wayang itu.9
Pengertian simbol di atas, dapat dikatakan bahwa simbolisme dalam dunia
pewayangan tampak begitu menonjol. Simbolisme dan interpretasi terhadap
simbol-simbol justru menjadi daya pikat tersendiri yang membuat wayang dapat
bertahan di tengah gempuran produk-produk kesenian dan kebudayaan lain yang
muncul lebih belakangan.10
Cerita wayang yang sangat populer terdapat dalam pewayangan Jawa,
salah satunya yaitu mengenai Kisah Dewaruci. Kisah Dewaruci merupakan
karangan sastra-dalam tradisi Jawa yang dikenal dengan istilah serat11
, yang
dibuat oleh Yasadipura I.12
Dalam kisah tersebut memuat cerita tentang Bima
yang mawas diri dengan tujuan menyucikan dirinya, agar menyatu dengan
Khaliknya atau Pamoring Kawula Gusti.13
Cerita Dewaruci adalah cerita asli Nusantara (Jawa) yang diperkirakan
ditulis pada pertengahan abad ke-15.14
Menurut Sukarto, ahli yang bergulat dalam
naskah-naskah kuno, Serat Dewaruci adalah salah satu contoh kepandaian dan
kemampuan setempat “Orang Jawa” (Local Genius) dalam menghadapi pengaruh
kebudayaan lain. Kisah Dewaruci adalah contoh yang jelas untuk menerangkan
bahwa Jawa tidak menelan begitu saja pengaruh agama Hindu, sebab di India
9Purwadi, Tasawuf Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2003), h. 15.
10Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci:Tasawuf Jawa Yasadipura I (Ciputat: Ushull Press-UIN
Jakarta, 2009), h.138. 11
Serat adalah karya-karya sastra yang berisi tentang ajaran-ajaran dari leluhur untuk
sebuah kebaikan. 12
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci:Tasawuf Jawa Yasadipura I, h.46. 13
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci:Tasawuf Jawa Yasadipura I, h.74. 14
Koencaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka,1994),h.17.
5
diceritakan Bima Sena sebagai pemberi air kesuburan dan air hujan. Cerita
Dewaruci menghubungkan hal tersebut dengan usaha Bima sendiri mencari air
kehidupan. Sedangkan alur ceritanya dalam Serat Dewaruci merupakan alur cerita
yang berasal dari epos Mahabarata dan biasanya cerita ini di visualisasikan
melalui lakon wayang.15
Isi dari kisah Serat Dewaruci dan perannya secara singkat menjelaskan
bahwa: Pada masa itu diajarkan sebagai petunjuk bagi orang yang meneruskan
dalam beribadah untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Cerita Dewaruci
tidak hanya sekedar cerita begitu saja, akan tetapi untuk memahami isinya kita
harus mengetahui makna dari masing-masing tahapan cerita tersebut.
Latar belakang Bima mencari air kehidupan itu atas perintah sang Guru
Durna yang menyebutkan bahwa, apabila Bima ingin menyempurnakan ilmunya
dan bersatu dengan Yang Maha Suci dia harus mendapatkan air kehidupan.16
Niat
Bima mencari air kehidupan tak gentar, walaupun saudara-saudaranya sudah
memperingatkan bahwa itu adalah tipuan Guru Durna untuk melenyapkan Bima,
Bima tetap saja melaksanakan perintahnya, karena bagi Bima itu adalah bukti
ketaatan Murid terhadap Guru.
Menurur Mulder, hal yang dilakukan oleh Bima di kategorikan sebagai
bagian dari syari’at, yaitu menghormati dan hidup sesuai dengan hukum-hukum
agama, dengan cara menjalankan kewajiban-kewajiban seperti menghormati
15
Abdullah Cipta Prawira, Filsafat Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 40. 16
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci:Tasawuf Jawa Yasadipura I, h.77-78.
6
orang tua, guru, dan raja, dengan kesadaran bahwa menghormati mereka adalah
menghormati Tuhan.17
Inilah yang menjadi titik pangkal pada penulisan skripsi ini, bagaimana
seharusnya sikap murid terhadap guru. Dalam pewayangan ini tercermin prilaku
Bima kepada Guru Durna, betapa keterkaitan antara Murid terhadap Guru. Hal ini
diterangkan oleh Sri Mulyono, sebagai berikut:
Dalam pewayangan hal ini kelihatan jelas, bagaimana peranan dan
hubungan Guru Dorna dengan muridnya sang Bima. Siswa (Bima) telah
menyerahkan diri kepada bimbingannya guru (Dorna), dengan ketaatan
yang tinggi dan pasrah total. Gurulah yang harus mengetahui dan dapat
menyesuaikan metode bimbingannya, sampai murid dapat mencapai
pribadinya yang sejati. Guru dipandang sebagai orang sakti dan orang
yang utama. Segala-galanya milik siswa, bahkan nyawa (siswa) pun harus
diserahkan kepada sang guru, sebagai raja dewa yang tertinggi dalam
pewayangan pun bernama Bathara Guru. Apabila orang atau siswa yang
berkhianat, dan berani terhadap guru dengan perbuatan, perkataan, bahkan
pikiran sekalipun akan dianggap sebagai dosa besar. Karena itu
dianjurkan, siswa sama sekali tidak boleh membantah, apalagi menghina
guru. Pendek kata seorang siswa harus patuh dan taat secara total.18
Berdasarkan latar belakang di atas yang telah penulis sampaikan bahwa
ajaran mistik yang terdapat dalam kitab-kitab Jawa, merupakan sarana-sarana
mempertahankan kepercayaan Jawa terhadap konsep “Sangkan Paraning
Dumadi”, yaitu asal dan tujuan manusia, dari mana manusia berasal, dan kemana
manusia akan pulang. Oleh karena parameter pujangga sangat aktif menyerap
ajaran tokoh-tokoh sufi beraliran mistik (Manunggaling Kawula Gusti), bagi
pengembangan ajaran Islam Kejawen. Maka dari pertimbangan itu penulis tertarik
untuk meneliti “ETIKA HUBUNGAN MURID DAN GURU DALAM SERAT
DEWARUCI”.
17
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan sufisme dalam
Budaya Spiritual Jawa (Jogjakarta: Penerbit NARASI, 2004), Cet. III, h. 127. 18
Lihat, Simuh, Mistik Islam Kejawen:R.Ng. Ranggawarsita, h. 371.
7
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pembatasan masalah pada suatu penelitian harus dilakukan supaya tidak
membahas semua kemungkinan yang bisa muncul. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini perlu diketahui tentang pengertian dari etika, baik itu etika Islam
maupun etika Jawa, serta hubungan murid kepada guru dalam Serat Dewaruci.
Selain itu bagaimana etika Jawa bisa berkembang dan jadi pandangan hidup
khususnya untuk orang-orang Jawa.
Dalam penelitian ini saya hanya membatasi hubungan murid kepada guru
yang ada dalam cerita wayang kulit, terutama dalam kisah Dewaruci yang
menceritakan Werkudara atau Bima yang mencari air kehidupan. Di situ
diceritakan bahwa Werkudara mendapatkan perintah dari gurunya, yaitu Durna
untuk mencari air kehidupan tersebut, sebagai bukti ketaatan terhadap guru dan
pencarian kesejatian diri.19
Agar tidak terjadi pembahasan yang terlalu melebar, maka saya
merumuskan masalah dalam penelitian ini, lebih lanjut permasalahan pokok
tersebut dapat dijabarkan ke dalam pertanyaan, bagaimanakah etika hubungan
murid terhadap guru dalam Serat Dewaruci?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini ingin mengetahui dan mendeskripsikaan
bagaimana etika hubungan murid dan guru, dalam konteks ini adalah bagaimana
seharusnya manusia bersikap dan berbuat, serta bisa mengkomparasikan dengan
19
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci: Tasawuf Jawa Yasadipura I, h.62-61.
8
kisah Dewaruci serta ajaran-ajaran Islam yang sudah bercampur dengan tradisi
lokal Nusantara (Jawa).
Penelitian dan penulisan karya akademik ini memiliki beberapa tujuan:
Pertama, berkaitan dengan persyaratan akademis untuk menyelesaikan Studi
tingkat Sarjana Progaram Strata Satu (S1) pada Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Kedua, untuk meningkatkan kepedulian kita terhadap
budaya dan tradisi asli Nusantara, serta menyadarkan kita agar hidup dengan
sewajarnya sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan kegunaan dari Penelitian ini juga dapat menambah khazanah
kepustakaan atau literatur di Indonesia, khusunya berkaitan dengan kisah
pewayangan, selanjutnya karya tulis ini diharapkan dapat ikut serta memberikan
kontribusi ilmiah kepada kajian falsafah dan tasawuf, pemikiran ke-Islaman dan
kebudayaan. Tentunya sebagai karya tulis akademik, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat yang bersifat teoritis maupun praktis.
D. Tinjauan Kepustakaan
Islam dalam masyarakat Jawa sampai saat ini terus berkembang bahkan
PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama) sendiri mencetuskan “Islam Nusantara”
hal tersebut membuktikan betapa kayanya kajian mengenai Islam dan tasawuf di
Nusantara khususnya mengenai corak dan unsur etika yang terdapat dalam
mistisisme kejawen (Serat Dewaruci). Dari sekian banyak karya yang membahas
tentang tema falsafah mengenai etika dan Serat Dewaruci, baik dalam bentuk
buku, jurnal, majalah, maupun skripsi, tesis, dan disertasi, penulis tidak
9
menemukan tulisan yang secara spesifik membahas tentang etika hubungan murid
dan guru dalam Serat Dewaruci. Walaupun demikian, kajian-kajian tersebut
memberikan arti yang sangat besar bagi penulis dalam menambah informasi dan
pemahaman untuk melengkapi kajian skripsi ini. Sejumlah tulisan yang penulis
temukan diantaranya:
Pertama, Skripsi yang ditulis oleh Rohmad Sri Yunanto dengan judul
“Aspek Mistik dalam Serat Dewa Ruci.” Penelitian ini terfokus pada aspek
mistisisme yang ada dalam kisah cerita dari Serat Dewaruci secara umum, dan
sangat kental dengan penjelasan terhadap ajaran Mistisisme Islam Kejawen.20
Kedua, Skripsi yang ditulis oleh Edwin dengan judul “Serat Dewa Ruci:
Studi pemikiran Tasawuf Yasadipura I.” Penelitian ini terfokus pada pemikiran
Tasawuf Yasadipura I dalam kisah Dewaruci yang menjadi falsafah bagi orang
Jawa, serta mengetahui tingkat religiusitas masyarakat Jawa.21
Ketiga, Skripsi yang ditulis oleh Siti Wahidah Hajar Saifuroh dengan judul
“Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Kepribadian „Werkudara‟-Deskripsi
Wayang Kulit Purwa Lakon „Dewa Ruci‟.” Penelitian ini terfokus pada nilai-nilai
pendidikan Islam yang tercermin pada Werkudara dalam lakon Dewaruci.22
Keempat, Disertasi yang ditulis oleh Hamid Nasuhi dengan judul
“Gagasan Mistik dalam Serat Dewa Ruci Karya Yasadipura I (1729-1803):
20
Rohmad Sri Yunanto,“Aspek Mistik dalam Serat Dewaruci” (Skripsi Fakultas
Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003). 21
Edwin, “Serat Dewa Ruci: Studi pemikiran Tasawuf Yasadipura I” (Skripsi fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, 2001). 22
Siti Wahidah Hajar Saifuroh,“Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Kepribadian
„Werkudara‟-Deskripsi Wayang Kulit Purwa Lakon „Dewa Ruci‟” (Skripsi Jurusan Tarbiyah,
STAIN Purwokerto, 2014).
10
Tinjauan Tasawuf Falsafi.” Penelitian ini terfokus pada pembahasan konsep
mistik yang terkandung dalam Serat Dewaruci yang dikarang oleh Yasadipura I.23
E. Metode Penelitian
1. Sumber Data
Dalam penelitian kali ini, penulis menggunakan metode studi
perpustakaan (library research), yaitu menghimpun buku atau tulisan yang ada
hubungannya dengan tema skripsi. Data-data tersebut diambil dari sumber primer
yaitu diambil dari naskah “Yasadipura I Serat Dewa Ruci dalam huruf Jawa dan
Huruf Latin”, yang berupa Fotocopy bertuliskan aksara Jawa Manuscrift
Indonesia, Kediri, Tan Khoen Swie, 1929.
Sedangkan dari sumber lainnya yang ada hubungannya dengan judul
skripsi, antara lain: Yudhi AW, Serat Dewaruci : Pokok Ajaran Tasawuf Jawa:
Seno Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa Rutji: Dengan arti Filsafatnja: Adhikara
SP, Unio Mystica Bima: Analisis Cerita Bimasuci Jasadipoera, Nawaruci,
Dewaruci: Imam Musbikin, Serat Dewa Ruci: Misteri Air Kehidupan: Prof. H. A.
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme klasik ke Neosufisme: Harun Nasution,
Falsafat dan Mistisisme dalam Islam: Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D,
Menuju Paradigma Islam Humanis: Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat
Jawa:Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram: Hamka, Tasawuf Modern:
Asmaran, AS, Pengantar Studi Tasawuf: Alwi Sihab Akar Tasawuf di Indonesia:
Purwadi, Tasawuf Jawa: Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci: Tasawuf Jawa
23
Hamid Nasuhi dengan judul “Gagasan Mistik dalam Serat Dewa Ruci Karya Yasadipura
I (1729-1803): Tinjauan Tasawuf Falsafi” (Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007).
11
Yasadipura I: Simuh, Sufisme Jawa: Koencaraningrat, Kebudayaan Jawa:
Muh.Said, Etik Masyarakat Indonesia : Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika:
Sudirman Teba, Etika dan Tasawuf Jawa-Untuk Meraih Ketenangan Jiwa:
Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa: M. Yatimin Abdullah, Pengantar
Studi Etika: Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Achmad Chodjim, Sunan
Kalijaga-Mistik dan Makrifat: Simuh, Mistik Islam Kejawen:R.Ng.
Ranggawarsita, dan beberapa referensi lainnya yang mendukung dan berkaitan
dengan judul skripsi.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu dengan mendeskripsikan
secara terperinci terkait dengan masalah yang hendak diteliti kemudian
menganalisis setiap masalah untuk memperoleh pemahaman secara komprehensif.
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini termasuk penelitian Library Research, maka teknik
pengumpulan data dilakukan di sebagian besar perpustakaan, baik pusat
perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin, pusat arsip sastra Nasional: H.B Jassin, maupun referensi yang
berkaitan dengan tema yang diangkat pada penelitian ini.
Semua buku yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini
dikumpulkan dan diklasifikasi berdasarkan relevansi terhadap pembahasan
penelitian ini. Setelah semua buku telah diklasifikasi maka langkah selanjutnya
adalah dibaca dan diteliti, dan pada akhirnya dimasukan pada pembahasan
penelitian yang diangkat.
12
4. Teknik Analisa Data
Karena analisis pada penelitian ini terfokus antar teks, maka sedikit
banyak digunakan berbagai metode, baik itu metode hermeneutik,24
Semantik,25
,
maupun filologis. Teknik penulisan pada penelitian ini mengacu pada buku
pedoman penulisan karya ilmiah tahun 2007 yang diterbitkan oleh penerbit
CeQda, dan Pedoman Akademik Program Strata I 2013/2014, yang diterbitkan
oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013.
Adapun transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddin terbitan HIPIUS
(Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin) tahun 2013.
F. Sistematika Penulisan
Pembahasan penelitian ini disusun dalam lima bab yang dimulai dengan
bab I sebagai pendahuluan. Di dalamnya menjelaskan tentang latar belakang
masalah dan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian. Dalam bagian ini
akan dikemukakan bahwa etika merupakan bagian dari pandangan hidup Jawa,
terutama mengenai etika hubungan murid kepada guru yang terdapat pada kisah
Dewaruci.
Pada bab II, sebagai biografi maka dalam bab II ini akan diuraikan
mengenai riwayat hidup, asal-usul serat Dewaruci, serta kutipan naskah serat
24
Hermeneutik merupkan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti. Dalam definisi yang agak berbeda, dikatakan bahwa hermeneutik sebagai suatu metode
atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks
untuk dicari arti dan maknanya. Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika:Antara
Internasionalisme dan Gadameria (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2008), h. 29. 25
Semantik adalah suatu studi dan analisa tentang makna-makna linguistik. Ilmu ini
membahas tentang telaah makna, lambang lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan
makna dan hubungan makna yang satu dengan yang lainnya. Abd. Mu’in Salim, Metode Ilmu
Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 77-78.
13
Dewaruci yang berkaitan etika murid kepada guru. Karena hal yang paling
mendasar dalam penelitian ini adalah mengetahui mengenai sejarahnya.
Pada bab III, sebagai landasan teori, akan membahas mengenai etika.
Mulai dari pengertian etika secara umum, etika dalam pandangan Islam, etika
kepada manusia, serta yang paling penting adalah etika murid kepada guru.
Bab IV, sebagai bab inti yaitu suatu pembahasan dan analisa. Maka dalam
bagian ini yaitu membahas mengenai unsur etika dalam Serat Dewaruci,
diantaranya adalah etika guru dan murid, dalam menuntut ilmu. Selain itu di bab
IV juga akan di bahas mengenai makna simbolik dalam Serat Dewaruci yang
mana pada pembahasan ini akan dijelaskan perjalanan mencari air kehidupan dan
menemukan jati diri: Manunggaling Kawula Gusti.
Kesimpulan pada penelitian ini akan dibahas pada bab V. Bab ini akan
memberikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang sudah dijelaskan. Dalam
bab ini pula akan memberikan jawaban terhadap masalah yang menjadi fokus
dalam penelitian ini, yaitu seputar etika hubungan murid kepada guru dalam
Serat Dewaruci. Tidak lupa pula saran-saran dan rekomendasi yang bersifat
konstruktif seputar etika Islam Jawa pada umumnya, serta kisah mengenai
Dewaruci.
14
BAB II
SERAT DEWARUCI
A. Riwayat dan Asal-Usul Serat Dewaruci
1. Biografi Raden Ngabehi Yasadipura I
Raden Ngabehi Yasadipura I adalah putera dari Raden Tumenggung Arya
Padmanegara, seorang bupati (abdi dalem bupati jaksa) di Pengging pada masa
pemerintahan Pakubuwana I (1704-1719 M). Ia dilahirkan di Pengging pada hari
Jum‟at-Paing bulan Sapar pada tahun Jimakir (tahun 1654 Jawa atau 1729 M).1
Yasadipura diberi nama Bagus Banjar oleh orangtuanya pada saat dia
kecil, sedangkan nama panggilannya adalah Jaka Subuh, karena ia lahir pada
waktu subuh. Ketika berusia delapan tahun ia dikirim ke sebuah pesantren di
Kedu di bawah bimbingan Kiai Anggamaya. Dalam usia yang relatif muda, Bagus
Banjar sudah memerlihatkan bakat yang luar biasa dalam pelajaran ilmu agama
dan Kesusastraan.2 Selain belajar ilmu-ilmu agama, Bagus Banjar juga belajar
ilmu kanuragan, kesusastraan Jawa dan Arab, ilmu akhlak, serta ilmu kebatinan.3
Bagus Banjar menamatkan pendidikannya di pesantren pada usia 14 tahun,
lalu ia pulang untuk kemudian mengabdi ke Kraton Kartasura di bawah kekuasaan
Pakubuwana II (1726-1749). Pada mulanya Bagus Banjar diterima sebagai
1Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan ( Pengadilan K.H. A.
Mutamakin dan Fenomena Shaikh Siti Jenar, Terj. Enoch Mahmud dan Mahpudi (Bandung:
Penerbit Nuansa, 2004), Cet. I, h. 31. 2Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan ( Pengadilan K.H. A. Mutamakin
dan Fenomena Shaikh Siti Jenar, h. 32. 3Yudhi AW, Serat Dewaruci : Pokok Ajaran Tasawuf Jawa (Yogyakarta: NARASI ,
2012), h. 32.
15
prajurit istana (abdi dalem prajurit Namengjaya) dan diberinama Kudapangawe
yang bertugas menjaga Kyai Cakra, yaitu senjata keraton. Di lingkungan ini juga
ia mendapatkan pengetahuan yang sangat mendalam tentang adat istiadat dan
etika Jawa. Pada kurun waktu selanjutnya juga, Yasadipura muda menjadi saksi
berbagai pergolakan yang melanda lingkungan keraton.4
Seperti pemberontakan oleh orang-orang Cina tahun 1740-1743 yang
berakibat pada kerusakan parah pada keraton. Disusul dengan pemindahan
keraton dari Kartasura ke desa Sala (Solo) di sebelah Timur Kartasura tahun 1745
(kemudian menjadi Keraton Surakarta).
Seiring dengan pemindahan keraton, nama Kudapangawe telah berubah
menjadi Yasadipura, dan sesuai dengan bakatnya dalam bidang sastra, ia pun
ditunjuk sebagai sekretaris di bawah bimbingan pangeran Wijil.5 Ia mendapat
kepercayaan sebagai Pujangga Taruna ( pujangga muda). Ia ikut boyongan ke
Sala dan berdiam di kampung Kedungkol, sekarang bernama Kampung
Yasadipura di daerah Pasar Kliwon Surakarta.
Yasadipura juga ikut menjadi saksi melemahnya kekuasaan Raja dan
menguatnya hegemoni Belanda hingga berujung pada peperangan antara
Pakubuwono III dengan pamannya sendiri yang bernama Mangkubumi (kelak
bergelar Sultan Hamengkubuwono I di Yogyakarta) yang bersekutu dengan
keponakannya yang bernama Raden Mas Said ( Mangkunegoro I). Peperangan ini
4Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I ( Ciputat, Ushul Press,
2009), h. 47. 5Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan ( Pengadilan K.H. A. Mutamakin
dan Fenomena Shaikh Siti Jenar, h. 32.
16
berakhir dengan diadakannya Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi kerajaan
Mataram menjadi dua bagian, yakni Surakarta di sebelah Timur dan Yogyakarta
di sebelah Barat.
Suasana Keraton Surakarta berangsur-angsur tenang, setelah berlalunya
masa pergolakan yang demikian mencekam. Sebagai kompensasi dari
melemahnya pengaruh politik keraton, dilakukanlah konsolidasi internal dengan
membangkitkan kembali warisan kebudayaan Jawa. Hal itu meningkatkan
perhatian Raja Surakarta terhadap sastra semakin besar, dan Yasadipura memikul
tanggung jawab sebagai pengemban amanat Raja untuk mengubah kembali
khazanah kesusastraan Jawa kuno untuk dibukukkan kembali dalam format
kekinian.
Yasadipura dengan keahlian yang luar biasa, berhasil menulis ulang buku-
buku kuno ke dalam bahasa Jawa modern. Ia juga mengarahkan perhatian kepada
karya-karya yang bercorak Islam dan sejarah. Karya-karya sejarah Yasadipura ini
menyajikan informasi tak ternilai dalam kajian sejarah Kerajaan Mataram
sepanjang abad ke-18.
Yasadipura lebih dikenal sebagai ahli sastra yang mumpuni, tetapi
sebenarnya ia juga mempunyai kepiawaian dalam bidang politik dan telah
memeroleh pengakuan dari Pakubuwana IV, dan pada suatu saat ia diminta untuk
17
menjadi menteri (patih) dalam pemerintahan Surakarta, akan tetapi ia menolak
dengan alasan karena sudah berusia lanjut.6
Yasadipura meninggal di Surakarta pada hari Senin-Kliwon 20
Dulkangidah, tahun Wawu 1728TJ, atau 14 Maret 1803 M.7 Ia di makamkan di
tempat kelahirannya, Pengging, dan sampai saat ini makamnya masih
dikeramatkan. Kedudukan sebagai pujangga keraton digantikan oleh anaknya,
yaitu Yasadipura II (Raden Tumenggung Sastranegara).
2. Karya-karya Yasadipura I
Yasadipura meninggalkan warisan buku-buku dalam bahasa Jawa yang
hingga kini masih tetap populer. Bahasanya telah memberikan pengaruh besar
pada perkembangan bahasa Jawa Surakarta, dan sebaliknya telah membuat bahasa
tersebut menjadi standar dari bahasa Jawa baru.8
Poerbatjaraka menyebut dalam buku Kepustakaan Jawa, setidaknya
terdapat 12 karya penting yang dihasilkan oleh Yasadipura I, yaitu: Tajusalatin,
Babad Giyanti, Serat Ambiya, Menak, Bratayuda, Babad Prayut, Cabolek,
Arjunawiwaha, Rama, Panitisastra, Dewaruci, dan Babad Pakepung.9
Yasadipura memiliki bakat dan intelektual sastra yang tinggi, ia juga
menggubah beberapa karya, diantaranya:
6Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan ( Pengadilan K.H. A. Mutamakin
dan Fenomena Shaikh Siti Jenar, h. 34. 7Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan ( Pengadilan K.H. A. Mutamakin
dan Fenomena Shaikh Siti Jenar, h. 34. 8Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I, h. 48.
9Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan Jawa (Jakarta: Djambatan, 1957), h.
150-151.
18
1. Serat Rama, merupakan gubahan klasik terbesar dan terbaik
Yasadipura. Serat Rama merupakan adaptasi dari Kakawin Ramayana
yang ditulis antara tahun 898-910 M pada masa pemerintahan Raja
Dyah Balitung.10
Kitab ini menjadi sumber yang penting bagi ajaran-
ajaran moral dan filosofis kaum bangsawan Jawa pada khusunya, dan
masyarakat Jawa pada umumnya. Di dalam Serat Rama pula dijumpai
ajaran tentang kepemimpinan yang sangat terkenal, Hastabrata.
2. Serat Baratayuda, merupakan adaptasi dari Bharatayudha Kakawin,
yang ditulis oleh Mpu Sedah pada tahun 1157 pada masa pemerintahan
Raja Jayabhaya (1135-1157 M), dari Kediri Jawa Timur. Dibanding
Ramayana Kakawin, bahasa Bharatayudha Kakawin lebih mudah
dipahami, karena kitab tersebut lebih muda usianya.11
Baratayuda
bercerita tentang peperangan yang terjadi dalam keluarga besar Barata,
antara klan Pandawa dan Kurawa. Cerita ini merupakan salah satu
episode sekaligus menjadi klimaks cerita dari epos besar Mahabharata,
yang sampai saat ini masih digemari oleh orang Jawa.
3. Kitab Arjuna Wiwaha, merupakan adaptasi dari Arjuna Wiwaha
Kakawin karya Mpu Kanwa, yang hidup pada masa Raja Airlangga
(1019-1042).12
Bagi orang Jawa, karya ini sangat penting, tidak hanya
dipandang dari nilai sastranya, tapi juga dari sudut kandungan etika dan
falsafahnya. Kisah Arjuna Wiwaha merupkan alegori dari perjuangan
10
Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan ( Pengadilan K.H. A. Mutamakin
dan Fenomena Shaikh Siti Jenar, h. 34. 11
Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan, h. 34. 12
Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan, h. 35.
19
manusia melawan kejahatan agar dapat meraih kesempurnaan
(perfection).
4. Serat Dewaruci, merupakan risalah yang kandungannya tidak jauh
berbeda dengan kitab Arjuna Wiwaha, yaitu ajaran mistik. Versi Jawa
Kuna dari naskah Dewaruci ini tidak ada yang ditemukan. Namun
Profesor Poerbatjaraka telah memberi bahan yang sangat penting
kepada pengetahuan kita mengenai naskah ini dengan ditemukannya
sebuah versi dalam bahasa Jawa Pertengahan. Naskah Poerbatjaraka
bila dinilai dari sudut bahasa dan sajaknya, yakni pada masa masuknya
agama Islam ke pulau Jawa (kira-kira pada awal abad ke-16 M).13
5. Serat Panitisastra, yang didasarkan pada Kakawin Nitisastra. Gubahan
ini merupakan kitab etika yang sangat mashur di Jawa. Gubahan
Yasadipura dari karya ini ditulis dalam kawi miring dengan danding
Sekar Ageng. Ia menyelesaikan karyanya pada tahun 1734 J (1798
M).14
6. Yasadipura pun menggubah karya-karya yang berasal dari khazanah
Islam, seperti Serat Menak, Kitab Tajusalatin, dan Serat Anbiya. Cerita
Menak diperkirakan sudah mulai menyebar sejak zaman Sultan Agung
(1613-1645). Karya ini merupakan adaptasi dari Hikayat Amir Hamzah
yang sangat populer di kalangan Muslim Melayu sepanjang abad ke-16.
13
Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan ( Pengadilan K.H. A. Mutamakin
dan Fenomena Shaikh Siti Jenar, h. 36. 14
Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan ( Pengadilan K.H. A. Mutamakin
dan Fenomena Shaikh Siti Jenar, h. 37.
20
7. Kitab Tajusalatin merupakan adaptasi bebas (Free Adaptation) dari
karya Melayu berjudul Mahkota segala raja-raja, yang ditulis di Aceh
oleh Bukhari dari Johor pada tahun 1603. Kitab ini pun aslinya berasal
dari Persia. Sedangkan Kitab Anbiya berisi kisah para Nabi yang
disebutkan dalam al-Qur‟an. Di Jawa kitab ini juga dikenal dengan
sebutan kitab Tapel Adam.15
8. Babad Giyanti, merupakan karya yang ditulis dalam bentuk macapat
yang indah. Yasadipura menulis karya ini semasa pemerintahan
Pakubuwana III (1749-1788 M). Babad Giyanti menggambarkan
dengan rinci peristiwa-peristiwa penting di Jawa sejak didirikan
Surakarta selama masa pemerintahan Paku Buwana II (1745-1746 M),
khusunya tentang alasan-alasan dari, dan menyebabkan timbulnya,
peperangan antara Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Perang
Mangkubumi ini hakikatnya merupakan pergulatan menentang
kekuasaan VOC yang terus bertambah besar dan memakan waktu dari
tahun 1746 M, sampai tahun 1755 yang berakhir dengan penandatangan
Persetujuan Giyanti.16
9. Serat Cabolek, buku terakhir ini mengisahkan sejarah sosial-keagamaan
di Jawa awal abad ke-18, yang merekam perdebatan menghebohkan
antara Kiai Ahmad Mutamakin dari desa Cebolek di Tuban dan Ketib
Anom, penghulu dari Kudus. Perseteruan ini akhirnya diselesaikan di
15
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci:Tasawuf Jawa Yasadipura I, h. 52. 16
Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan ( Pengadilan K.H. A. Mutamakin
dan Fenomena Shaikh Siti Jenar, h. 40.
21
hadapan mahkamah kerajaan di Kartasura dengan melibatkan Patih
Danureja dan Demanag Urawan sebagai utusan Raja Pakubuwana II.17
3. Asal-Usul dan Perkembangan Serat Dewaruci
Penghargaan terhadap nilai lakon “Dewaruci” telah diketahui sejak zaman
Kartasura, Serat Dewaruci tersebut dapat diartikan pula sebagai salah satu cara
untuk menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat di pulau Jawa, yang
pada waktu itu masyarakatnya masih dalam keadaan buta hurup, belum mengenal
huruf latin.18
Menurut Soebadri, kisah Dewaruci jelas berasal dari masa pra-Islam di
Jawa, karena bagian intinya sangat mungkin berasal dari kisah Mahabharata yang
datang dari India.19
Cerita tersebut telah mengalami perubahan-perubahan tertentu
dimana peran Bima telah dibuat lebih penting dibandingkan dengan peran Arjuna.
Dalam Dewaruci, Bima tidak saja ditonjolkan sebagai pahlawan yang gagah
perkasa yang memiliki kekuatan fisik, tapi ia pun ditampilkan sebagai seorang
ahli esoterik yang bijaksana.
Widji Saksono menyatakan, meskipun tampak spekulatif, bahwa Wali
Sanga atau lebih tepatnya Sunan Kalijaga merupakan pencipta kisah Dewaruci.
Pandangan ini didasarkan kepada adanya beberapa fragmen dalam kisah Dewaruci
17
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I , h. 52. 18
Lihat, Seno Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa Rutji: Dengan arti Filsafatnja ( Jakarta:
Penerbit KINTA, 1967), Cet.II, h. 2-3. 19
Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan ( Pengadilan K.H. A. Mutamakin
dan Fenomena Shaikh Siti Jenar, h. 63.
22
yang memiliki kemiripan dengan kitab Mantiq al-Tayr karya sufi penyair Persia
terkemuka, Farîd al-Dîn ʼAttâr.20
Menurut Hamid Nasuhi, dilihat dari sudut historis-kronologis,
sebagaimana dikemukakan oleh Poerbatjaraka cerita Dewaruci tertua diperkirakan
ditulis pada zaman sastra Jawa Tengahan (1292-1520). Rentang periode ini jelas
menunjukan bahwa kisah tersebut ditulis berbarengan dengan mulai
merambahnya pengaruh Islam di tanah Jawa. Karena itu muncul asumsi bahwa
cerita Dewaruci tak lebih sebagai cerita rekaan sufi yang mendompleng pada
cerita wayang yang memang sangat disenangi oleh orang Jawa. Namun demikian,
tidak menutup kemungkinan yang lain, yaitu bahwa cerita Dewaruci memang
murni cerita pra-Islam.21
Serat Dewaruci yang ditulis oleh Yasadipura I, merupakan teks Dewaruci
paling lengkap dan menjadi babon (induk) bagi cerita Dewaruci yang terbit
sesudahnya, diyakini terinspirasi dan bersumber dari teks yang diredaksi oleh
Poerbatjaraka. Yasadipura sendiri hidup pada masa akhir pemerintahan Kerajaan
Mataram di Kartasura dan sekitar 60 tahun petama pemerintahan Surakarta.22
Masa ini ditandai oleh semakin kuatnya pengaruh Islam di kalangan orang
Jawa, baik yang berada di dalam maupun di luar keraton. Literatur Islam, terutama
yang bernuansa mistik (suluk), telah banyak beredar, khususnya di lingkungan
pesantren. Maka tidak menutup kemungkinan bahwa motivasi penulisan ulang
20
Lihat, Jajat Burhanuddin, “Wacana Baru Islam-Jawa,” Studia Islamika Vol.5, No. 2,
1998, h. 186. 21
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I , h. 13. 22
Lihat , Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan ( Pengadilan K.H. A.
Mutamakin dan Fenomena Shaikh Siti Jenar, h. 31-34.
23
kisah Dewaruci ini adalah sebagai respon terhadap perkembangan tersebut. Hal ini
tampak misalnya dari karya Yasadipura I yang lain, seperti Serat Cabolek yang
memuat fragmen inti dari cerita Dewaruci.23
Serat Dewaruci sebagai salah satu karya Yasadipura I mendapat sambutan
yang sangat baik di masyarakat. Kisah Dewaruci sudah merasuk ke dalam diri
masyarakat Jawa semenjak lama. Bahkan kisah ini menjadi salah satu episode
tersendiri dalam cerita wayang.24
Ada beberapa alasan yang mendasari masyarakat Jawa untuk menyukai
kisah Dewaruci ini. Setidaknya ada tiga alasan utama yang yang bisa dipaparkan
di sini, yakni sebagai berikut:25
1. Masyarakat Jawa sangat menggemari wayang, termasuk epos
Mahabarata. Keberadaan kisah Dewaruci menjadi penting manakala
dihubungkan dengan sosok Bima yang menjadi aktor utama dalam kisah
Dewaruci.
2. Isi kandungan dalam kisah Dewaruci sarat dengan nuansa kebatinan
Jawa, yakni mencari jati diri cara kejawen. Unsur mistis dan sinkretisme
antara Islam, Hindu dan Buddha sudah merasuk dalam batin masyarakat
Jawa. Isi kisah Dewaruci ini menjadi media yang sangat tepat untuk
mewakili hasrat masyarakat pada kebutuhan rohani mereka.
23
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I , h. 13. 24
Yudhi AW, Serat Dewaruci : Pokok Ajaran Tasawuf Jawa, h. 11. 25
Yudhi AW, Serat Dewaruci : Pokok Ajaran Tasawuf Jawa, h. 12.
24
3. Kisah Dewaruci ini terpublikasikan kepada masyarakat Jawa melalui
media pertunjukan wayang yang sudah mendarah daging sebagai
tontonan wajib bagi mereka.
Naskah Asli Serat Dewaruci tulisan Yasadipura I ini tersimpan di Museum
Sana Budaya dalam bentuk tulisan tangan. Setelah ditemukannya mesin cetak
muncul naskah-naskah transformasi (turunan) yang bersumber dari naskah induk
tulisan Yasadipura I.26
Beberapa naskah transformasi Dewaruci dalam bentuk
cetakan antara lain:
1. Serat Dewa Ruci cetakan pertama yang diterbitkan oleh Mas Ngabehi
Kramapawira tahun 1870, dicetak oleh Percetakan Van Dorp Semarang
dengan tulisan Jawa. Cetak ulang oleh Van Dorp atas naskah Dewaruci
ini dilakukan dua kali yakni tahun 1873 dan 1880.
2. Serat Dewa Ruci berbahasa Jawa dan juga berhuruf Jawa tulisan Mas
Ngabehi Mangunwijaya dan diterbitkan oleh Tan Khoen Swie Kediri
tahun 1922.
3. Cerita Dewa Roetji yang dimuat di majalan Belanda Djawa pada tahun
1940, dengan kontributor Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka.
4. Serat Dewaruci Jarwa Sekar Macapat Gubahanipun R. Ng. Yasadipura
I yang tersimpan di Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM
Yogyakarta, berhurup latin dan berbahasa Jawa. Tak ada nama penerbit
dan tahun penerbit namun diduga buku itu adalah terbitan Keluarga
Bratakesawa Yogyakarta.
26
Yudi AW, Serat Dewaruci : Pokok Ajaran Tasawuf Jawa ,h. 13-14.
25
5. Serat Dewa Ruci Kidung dari Bentuk Kakawin yang diterbitkan oleh
Penerbit Dahara Prize Semarang tahun 1991, berhuruf Latin, berbahasa
Jawa, dan ada terjemahan bahasa Indonesia secara tekstual. Dalam versi
tersebut hanya disebutkan penulisnya adalah Pujangga Surakarta.
Naskah Dewaruci terdapat berbagai transformasi, tetapi yang
terpenting adalah intisari cerita itu dapat menggambarkan perkembangan cara
berpikir bangsa Indonesia, khusunya masyarakat Jawa, terutama mengenai
pandangan hidup.27
B. Isi dan Jalan Cerita Serat Dewaruci
Isi Serat Dewaruci sampai saat ini masih sangat menarik dan dihargai oleh
berbagai kalangan, khusunya masyarakat Jawa sebagai objek pembelajaran yang
didalamnya terdapat unsur tasawuf dan falsafat, sehingga menjadikan Serat
Dewaruci sebagai pembimbing dalam mencari jalan ke arah tercapainya Kawruh
Kasampurnaan (Ilmu Pengetahuan mengenai usaha mencapai kesempurnaan
hidup).28
Bisa dikatakan bahwa Serat Dewaruci versi Yasadipura I merupakan versi
terbaik dan terlengkap sehingga sering dijadikan acuan oleh para pengarang
setelahnya yang ingin mengadaptasi kisah Dewaruci. Bahkan Dewaruci versi
Yasadipura I ini pulalah yang dijadikan “versi resmi” (official version) para
dalang yang mementaskan lakon Dewaruci dalam pergelaran wayang. Adapun
27
Seno Sastroamidjojo,Tjeritera Dewa Rutji: Dengan arti Filsafatnja, h.5. 28
Seno Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa Rutji: Dengan arti Filsafatnja, h.1.
26
ringkasan atau jalan cerita Dewaruci versi Yasadipura I tersebut adalah sebagai
berikut:29
Arya Sena, nama lain Werkudara atau Bima, berguru kepada Resi Durna.
Oleh gurunya ia disuruh mencari “tirta pawitra” untuk menyucikan dirinya. Sena
lalu pamit kepada saudara-saudaranya di Amarta. Meskipun mereka menahan agar
Sena tidak berangkat menjalankan perintah Durna, tetapi ia pergi juga. Tidak ada
yang menemaninya, kecuali angin ribut. Ia minta diri kepada Durna, yang diberi
nasihat bila ia mendapatkan air itu maka ia akan mempunyi pengetahuan yang
sempurna, menonjol di dunia dan akan melindungi orang tuanya yang dihormati
karena dirinya.
Dikatakan oleh Durna bahwa air itu ada di hutan Tikbrasara, di
Gandamana pada lereng Gunung Candramuka. Suyudana (pura-pura) menahan
kepergian Werkudara, tetapi ia berangkat juga. Setelah sampai di Gunung
Candramuka, dibongkarnya gunung itu, tetapi ia tidak menemukan air yang dicari,
malah bertemu dengan raksasa Rukmuka dan Rukmakala, yang ketika melihat
Werkudara amat marah, karena merasa terganggu dengan kehadirannya. Maka
terjadilah pertengkaran antara mereka, dan Werkudara berhasil membanting kedua
raksasa itu di batu hingga hancur lebur.
Ajaibnya, tubuh kedua raksasa itu menghilang, dan tiba-tiba muncul
Hyang Indra dan Hyang Bayu yang menyatakan terima kasihnya kepada
29Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I , h. 61-64.
27
Werkudara karena telah me-ruwat 30
kedua dewa itu, sehingga mereka kembali ke
asal jati dirinya sebagai dewa. Mereka sebelumnya telah kena kutukan Hyang
Pramesthi sehingga berubah rupa dan bentuk menjadi raksasa. Werkudara lalu
mendengar suara (dari Hyang Indra dan Hyang Bayu) yang memberitahukan
bahwa “air kehidupan” itu memang ada tetapi temptanya bukan di Gunung
Candramuka. Ia disuruh minta penjelasan lagi kepada Durna.
Ketika Werkudara kembali ke Astina, Durna berkilah bahwa ia
diperintahkan pergi ke gunung candramuka itu untuk diuji keteguhan hati dan
baktinya kepada guru. Kemudian ia diberitahu bahwa air itu berada di pusat
samudera. Sebelum berangkat ke samudra, Werkudara lebih dahulu pergi ke
Amarta menemui saudara-saudaranya yang tengah dirundung gelisah. Namun ia
menolak permintaan saudara-saudaranya agar mengurungkan niatnya pergi ke
tengah samudera, dan ia segera berangkat. Setelah sampai di pinggir samudra,
Werkudara lalu terjun ke laut. Ia ingat bahwa ia mempunyai Aji Jayasengsara
yang dapat membantunya berjalan di atas air. Ia kemudian bertemu dengan seekor
naga besar yang menyerang dan membelitnya. Naga itu berhasil ia tusuk dengan
kuku Pancanaka hingga tewas.
Para Pandawa, beserta saudara-saudara Werkudara dirundung kesedihan,
kemudian Kresna menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa Werkudara
30
Dalam istilah Jawa, upacara Ruwatan biasa dipergunakan sebagai sarana pembebasan
dan penyucian manusia atas dosanya atau kesalahannya yang berdampak kesialan dalam
kehidupannya. Dalam dunia pewayangan sendiri, istilah ruwatan dilakukan sebagai sarana
pensucian bagi Dewa yang telah ternoda, untuk menjadi suci kembali.kehidupannya.
28
tidak akan mati, dan bahkan akan mendapat anugerah Dewata. Ia akan kembali
dalam keadaan suci.
Werkudara masuk ke dalam samudera dan bertemu dengan makhluk kecil
yang menyerupai dirinya, dan mengatakan bernama Dewaruci. Setelah berdialog
dengan dewa penjaga laut itu, Werkudara jatuh kagum. Karena kekagumannya itu,
ia minta diberi wejangan. Ia disuruh masuk ke dalam perut Dewaruci melalui
telinga kirinya. Di dalam perut Dewaruci Werkudara melihat laut yang amat luas,
seolah-olah tidak bertepi. Ketika ditanya apa yang dilihtanya, ia menjawab bahwa
ia merasa bingung sehingga tidak jelas penglihatannya.
Tiba-tiba ia telah berhadapan lagi dengan Dewaruci. Lalu ia dapat melihat
Timur, Barta, Selatan, Utara, atas dan bawah. Di dalam „dunia yang terbalik‟
(Jagat walikan) ia juga melihat matahari. Ketika ia disuruh melihat lainnya, ia
melihat empat macam warna, yaitu hitam, merah, kuning dan putih. Dewaruci
mengatakan bahwa warna merah, hitam dan kuning itu menjadi penghalang
tindakannya yang baik, yang menuju ke penyatuan dengan Hyang Suksma. Bila
ketiga hal itu dapat dihilangkan, maka ia kan dapat bersatu dengan Hyang Ilahi.
Putih menunjukkan kesucian dan kesejahteraan, hanya yang putihlah yang dapat
menerima petunjuk ke arah kesatuan antara manusia dengan Tuhan (pamoring
kawula gusti).
Ketika warna yang empat itu telah menghilang, terlihat lagi satu nyala
dengan delapan warna, yang merupakan „kesatuan sejati‟ (sajatining tunggal).
Selanjutnya dikatakan bahwa semua warna itu ada dalam dirinya, berupa isi bumi
29
yang digambarkan sebagai badannya, dan bahwa „jagad besar’ dan „jagad kecil’
itu tidak ada bedanya. Bila semua warna itu telah menghilang, yang tinggal adalah
bentuk yang sebenarnya. Ketika Werkudara melihat sebuah boneka putih, ia
bertanya apakah itu Zat yang sedang ia cari. Dijawab oleh Dewaruci bahwa bukan
itu yang dicari. Yang dicari itu tidak dapat dilihat, tidak berwujud, tidak berwarna
dan tidak bertempat tinggal. Ia hanya dapat dilihat oleh orang yang telah jernih
pandangannya. Yang kelihatan itu adalah Pramana, yang ada di dalam tubuhnya.
Werkudara minta diberi ajaran sampai tuntas, dan ia tidak mau keluar dari
perut Dewaruci, karena ia disitu merasa nikmat. Namun Dewaruci tidak
mengizinkannya, karena hanya dengan kematian hal itu dapat dicapai. Ia diberi
busana berupa cawat kain poleng bang bintulu yang sebenarnya telah diterimanya
dari Hyang Guru sejak ia masih berada di dalam bungkus (saat proses
kelahirannya). Cawat poleng bang bintulu itu akan menyebabkan ia mampu
menghilangkan kesombongan. Akhirnya Werkudara kembali ke Amarta.
30
BAB III
ETIKA
A. Pengertian Etika
Etika secara terminologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos
(jamaknya: tha etha), yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Dalam arti ini,
etika berkaitan dengan kebiasan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik
pada diri seseorang atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain.1 Ada juga yang mengartikan
bahwa etika berasal dari bahasa latin dari kata ethicus, yang berarti kesusilaan
atau moral, maksudnya adalah tingkah laku yang ada kaitannya dengan norma-
norma sosial, baik yang sedang berjalan maupun yang akan terjadi.2 Sedangkan
dalam bahasa Inggris, etika dipahami sebagai “a discipline dealing with is good
bad and with moral duty and obligation”.3
Sedangkan secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos
yang berarti adat-istiadat (kebiasaan), perasaan batin, kecendrungan hati untuk
melakukan perbuatan. Etika juga mengajarkan tentang keluhuran budi baik-buruk.
Banyak istilah yang menyangkut etika, dalam bentuk tunggal mempunyai banyak
arti, yaitu tempat tinggal yang biasa, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan,
sikap, cara pikir. Dalam bentuk jamak kata ta-etha artinya kebiasaan, arti ini
1A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), cet. III, h. 2.
2Rosmaria Sjafariah, Etika (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN, 2008), h. 23.
3Sebuah kedisiplinan berhubungan dengan baik buruk dan dengan kewajiban moral serta
kewajiban-kewajiban yang lain. Lihat Rosmaria Sjafariah, Etika, h. 23.
31
menjadi bentuk dalam penjelasan etika yang oleh Aristoteles sudah dipakai untuk
menunjukan istilah etika. Jadi, jika dibatasi asal-usul kata ini, etika berarti ilmu
tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.4
Para ahli berbeda-beda pendapat mengenai definisi etika yang
sesungguhnya. Masing-masing mempunyai pandangan sebagai berikut:
Seperti misalnya, Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya
diperbuat.5 Sementara Asmaran AS mengartikan etika sebahagai ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai-nilai perbuatan
tersebut baik atau buruk, sedangkan ukuran untuk menetapkan nilainya adalah
akal pikiran manusia.6
Kemudian Frans Magnis Suseno mengartikan etika sebagai usaha
manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan
masalah bagaimana ia harus hidup apabila ia menjadi baik.7
Sedangkan, M. Amin Abdullah mengartikan etika sebagai ilmu yang
mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi, bisa dikatakan etika berfungsi sebagai
4Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika (Jakarta; Rajawali Pers, 1980), h. 13.
5Ahmad Amin, Etika, (Ilmu Akhlak), terj, K.H. Farid Ma’aruf, judul asli Al-Akhlaq
(Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. III, h. 3. 6Asmaran AS, Pengatar Studi Akhlak (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992), h.7.
7 M. Sastra Praja, Kamus Istilah Pendidikan Umum (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h.
144.
32
teori perbuatan baik dan buruk (ethics atau „ilm al-akhlak al-karimah), praktiknya
dapat dilakukan dalam disiplin falsafah.8
Tujuan hidup manusia dalam hal ini, seperti halnya bekerja, sekolah,
ataupun berperilaku yang buruk sekalipun, semisal mencuri atau korupsi, itu
semua dilakukan atas dasar untuk mencari kebahagiaan semata sebagai. Hal ini
berarti tujuan hidup yang dikehendaki manusia pada umumnya adalah
kebahagiaan.
Etika juga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang memelajari tentang
segala soal kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik
pikiran, dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai
tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. Ilmu etika ini tidak membahas
kebiasaan semata-mata yang berdasarkan tata beradab, melainkan membahas tata
sifat-sifat dasar, atau adat-istiadat yang terkait tentang baik dan buruk dalam
tingkah laku manusia. Jadi, etika menggunakan refleksi dan metode pada tugas
manusia untuk menemukan nilai-nilai itu sendiri ke dalam etika dan menerapkan
pada situasi kehidupan konkret.9 Maka dari itu etika merefleksikan tentang
bagaimana upaya manusia berhasil hidup menjadi manusia yang bermutu.10
Berdasarkan berbagai pengertian diatas, etika ialah suatu ilmu yang
membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, yang mana dapat
8M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 15.
9M. Said, Etika Masyarakat Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), h. 23-25.
10Rosmaria Sjafariah, Etika, h. 19.
33
dinilai baik dan mana yang jelek dengan memerlihatkan amal perbuatan manusia
sejauh yang dapat dicerna akal pikiran.11
B. Etika Dalam Islam
Etika dalam Islam sendiri lebih dikenal dengan nama Akhlaq yang dalam
bahasa Arab berarti Khuluq, jamaknya khuluqun, secara etimologi sebagai budi
pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Jika diperhatikan secara etimologi
memiliki makna yang sama dengan etika. Kata akhlak meliputi tingkah laku
lahiriah dan batiniah seseorang. Kata akhlak sendiri memiliki kesesuaian dengan
kata Khaliq yang berarti pencipta dan khalqun yang berarti kejadian. Perumusan
kata akhlak memiliki kesesuaian antara Khaliq dengan khalqun dan makhluk.12
Selain akhlak, kata moral juga sering digunakan oleh sebagian orang.
Moral sendiri berasal dari bahasa latin “mores”, jamaknya dari “mos” yang
berarti adat kebiasaan, dalam bahasa Indonesia diartikan susila.13
Yang dimaksud
dengan moral ialah sesuai dengan ide umum yang diterima, tentang tindakan
manusia mana yang baik dan wajar, sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang
umum diterima oleh kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Etika memandang
perbuatan manusia secara universal, sedangkan moral secara lokal. Moral
menyatukan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.14
Beberapa kutipan diatas dapatlah disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
yang prinsipil antara kata etika, akhlak, dan moral. Ketiga-tiganya merujuk kearah
11
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 10. 12
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet. I, h. 205. 13
Hamzah Ya’cub, Etika Islam (Jakarta: Publicita, 1978), h. 13. 14
Hamzah Ya’cub, Etika Islam, h. 14.
34
kebaikan, dan bisa dilihat bahwa etika berlandaskan pada pemikiran, akhlak
berlandaskan pada wahyu, sedangkan moral berlandaskan pada adat istiadat.
Etika sebagai cabang dari falsafah tentu bertitik tolak dari akal pikiran
yang bersifat rasional, tidak dari agama.15
Maka dapat dipahami titik perbedaan
antara etika dan akhlak, kecuali jika kata “etika” digandeng dengan kata “Islam”
maka relevansi antara kedua kata itu sangat jelas, sehingga memiliki makna yang
serupa dengan kata “akhlak”. Dalam pandangan Islam etika jika dipandang
sebagai salah satu cabang ilmu yang berdiri sendiri berarti sifatnya rasional
berdasarkan akal sedangkan etika Islam “akhlak” ialah ilmu tentang baik dan
buruk berdasarkan sumber utama ajaran Islam dari Al-Qur’an dan Sunnah (Allah
dan Rasul-Nya).
Etika Islam biasanya sering disebut sebagai dasar kesusilaan. Kesusilaan
berarti bimbingan terhadap manusia terhadap manusia agar hidup sopan sesuai
dengan norma dan ajaran agama. Dasar etika Islam bersifat membimbing,
memandu, mengarahkan, membiasakan masyarakat, hidup yang sesuai dengan
norma sopan santun yang berlaku dalam masyarakat.16
Etika Islam menggambarkan keadaan orang berpedoman untuk
membimbing manusia agar berjalan dengan baik berdasarkan pada nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat dan mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik
oleh masyarakat.17
15
Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), cet. IV, h. 13. 16
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, h. 319. 17
Abuddin Nata, Metodologi Studi-studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
cet.VII, h. 62-95.
35
Dasar-dasar etika Islam lebih mengacu kepada suatu nilai atau sistem
hidup yang dilaksanakan dan diberlakukan dalam masyarakat. Dasar etika Islam
lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya untuk
menentukan baik dan buruknya hal-hal yang dikerjakan manusia. Dasar etika
Islam merupakan suatu cara hidup yang meliputi keseluruhan, tidak hanya
menentukan kepercayaan, tetapi juga peraturan dan adat kebiasaan, yang
merupakan faktor dasar kebiasaan manusia.18
Tradisi falsafah etika lazim diketahui sebagai suatu teori ilmu pengetahuan
yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan buruk berkenaan dengan
perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya
untuk menyusun teori mengenai penyelenggaran hidup yang baik.
Sebagai cabang dari falsafah, etika bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:
obyektif dan subyektif. Obyektif berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu
tindakan bersifat obyektif terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Paham ini
secara tidak langsung sesuai dengan paham Mu’tazilah yang sangat rasional,
sehingga sesuatu disebut baik jika sesuai dengan kehendak universal. Sedangkan
subyektif, berpandangan bahwa disebut baik manakala sejalan dengan kehendak
atau pertimbangan subyek tertentu. Paham ini dalam Islam sejalan dengan
Asy’ariah, karena nilai kebaikan seseorang bukan terletak pada obyektivitas tapi
harus memiliki kesesuaian dengan ketaatan pada kehendak Ilahi.19
Mu’tazilah dan Asy’ariyah adalah dua aliran kalam besar, bahkan
Asy’ariyah dijadikan rujukan mazhab kalam oleh mayoritas Ahlussunnah wal
18
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, h. 321. 19
Barsihannoor, Etika Islam (Makassar: University Alauddin Press, 2012), cet. I, h. 39-
40.
36
Jama’ah di Indonesia.20
Kaum Mu’tazilah memandang etika bersifat obyektif,
yakni terlepas dari kekuatan yang otonom, khususnya Allah. Kalaupun Allah de-
ngan otoritas-Nya memerintahkan satu kebaikan kepada manusia, itu karena
sudah sepantasnya Allah berbuat demikian. Akan tetapi, moralitas berdiri sendiri
di luar perintah Allah, dan bisa dijangkau oleh akal budi manusia yang mencintai
kebijaksanaan, dengan ataupun tanpa agama.21
Asy’ariyah, berpandangan bahwa etika sudah semestinya bersifat sub-
yektif, dalam pengertian etika datang dari Yang Maha Mengetahui. Etika menjadi
bermakna, karena Allah sendiri yang memberikan makna keadilan pada setiap pe-
rintah dan larangan-Nya.22
Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di
dunia Islam adalah al-Ghazâlî. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan
moral. Menurut al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber
lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa
menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain
yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat
memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan
melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.23
20
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 2002), edisi II, cet. I, h. 128-129. 21
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Edisi II,
cet. I, h. 128-129. 22
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa
Kazim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2002), h. 127-130. 23
Komaruddin Hidayat, Kontekstualisasi Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina,
1996), cet. I, h. 22.
37
Konsep etika Islam sendiri lebih mengarahkan kepada status insan kamil,
yaitu manusia sempurna bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong,
membangun peradaban manusia dan mengobati bagi penyakit sosial dari jiwa dan
mental.24
Tujuan etika Islam untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Dua simbolis tujuan inilah yang diidamkan manusia bukan semata
beretika secara Islami, tetapi bertujuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
Demikian bahwa etika dalam Islam memerhatikan secara komprehensif
menyeluruh, mencakup berbagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Dasar-dasar
etika Islam jauh lebih sempurna, ia mencakup hubungan dengan manusia,
hubungan dengan binatang, tumbuhan, udara, alam dan kepada Tuhannya. Kedua
sumber ajarannya bersikap inklusif untuk menghargai bahkan menampung
pendapat akal pikiran, adat-istiadat dan sebagainya yang dibuat oleh manusia,
dengan catatan semuanya itu tetap sejalan dengan petunjuk al-Qur’an dan
Sunnah.25
C. Etika Terhadap Sesama Manusia
Secara alamiah, manusia sering dikatakan sebagai makhluk sosial.26
Hubungan manusia dengan sesama manusia adalah dalam rangka memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang kompleks tersebut, baik itu kebutuhan-
24
Insan Kamil Sendiri tertuju pada diri Rasulullah SAW, yaitu manusia yang paling
sempurna menjadi panutan bagi seluruh manusia dalam menjalankan tingkah laku. Lihat Syeikh
Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al-Jaili, INSAN KAMIL: Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia
Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman, terj. Misbah El Majid (Surabaya: Pustaka Hikmah
perdana, 2005), h. 315-321. 25
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, h. 326. 26
Artinya manusia tidak dapat hidup dan berkembang dengan baik tanpa bantuan dan
interaksinya pada orang lain.
38
kebutuhan yang bersifat fisik (jasmaniyah), maupun kebutuhan-kebutuhan yang
bersifat psikis (rohaniyah).27
Dalam kehidupan bermasyarakat, tentu bertetangga secara baik
merupakan ajaran Islam, dan juga adab bertamu dan menjadi tuan rumah secara
baik diatur oleh Islam. Selain itu hubungan silaturrahmi sangat dianjurkan agar
persaudaraan dan hubungan baik terjalin, demikian juga tentang pergaulan antar
sesama manusia haruslah mengindahkan aturan-aturan yang sudah dijelaskan oleh
Islam.28
Pada hakikatnya posisi manusia terhadap sesamanya adalah sama dan
sederajat, sama-sama sebagai ciptaan (makhluq) Allah, dan karenanya di hadapan
Allah semuanya sama, yang membedakannya hanyalah amal perbuatannya atau
taqwanya saja. Oleh karena itu, secara individual hubungan manusia dengan
manusia lainnya, masing – masing mempunyai kekuasaan yang sama, setiap
individu dengan individu lainnya tidak boleh saling memaksa apalagi merampas
hak-haknya.
Substansi hubungan manusia itu pada pokonya dalam rangka saling
memenuhi kebutuhan masing-masing. Etika sebagai aturan hubungan memberikan
batasan-batasan tentang perbuatan-perbuatan yang harus diperbuat dan perbuatan-
perbuatan yang harus ditinggalkan untuk keharmonisan interaksi, berikut ini
adalah beberapa etika terhadap sesama manusia, diantaranya:
27
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, h. 342. 28
Lihat ,Lajnah Pentasihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan DIKLAT Departemen
Agama RI, Seri 3, Etika Berprilaku, Bermasyarakat , dan Berpolitik: Tafsir Al-Qur‟an Tematik
(Jakarta: Lajnah Pentasihan Mushaf Al-Qur’an, 2009), h. 329.
39
1. Bertetangga
Islam mengajarkan supaya kita hidup bertetangga secara baik, sesuai
dengan sabda Rasullullah SAW, yang artinya: “Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah memuliakan
tetangganya”.(Riwayat al-Bukhāri).
Islam menekankan kepada orang-orang Mukmin agar bersikap simpatik
terhadap para tetangga. Ia dituntut untuk menolong, bekerja sama, atau
meminjamkan fasilitas kepada mereka tanpa membedakan status sosial, ras, etnis,
warna kulit, agama dan sebagainya. Kewajiban terpenting orang Mukmin adalah
mengembangkan hubungan yang ramah dan penuh kebersamaan dengan tetangga-
tetangganya dengan bersikap santun dan baik dengan tetangganya.29
2. Bertamu
Islam mengajarkan etika untuk bertamu. Salah satu hadis Nabi
Muhammad SAW yang berkaitan tentang menghormati tamu, yaitu: artinya “ Dan
barang siapa yang beriman kepada Allah hendaklah memuliakan tamunya.” (HR.
Muslim).
Hadis itu menjelaskan mengenai keutamaan agar setiap manusia
menghormati tamu dan memperlakukan tamunya dengan baik.
29
Lajnah Pentasihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan DIKLAT Departemen Agama
RI, Seri 3, Etika Berprilaku, Bermasyarakat , dan Berpolitik: Tafsir Al-Qur‟an Tematik, h. 329-
332.
40
3. Silaturrahmi
Silaturrahmi mempunyai posisi yang penting dalam Islam. Dalam
sebuah hadis Nabi SAW bersabda: “ barang siapa yang mau dipanjangkan
umurnya, diluaskan rezekinya, perbanyaklah silaturrahmi”
Karena silaturrahmi merupakan bentuk yang paling sempurna dari
menjaga ikatan kekeluargaan adalah memperlakukan kerabat dekat dengan baik.
Seseorang wajib membantu penderitaan kerabatnya selagi mereka tidak berbuat
dosa-dosa besar. Meski demikian, ia tetap harus berupaya untuk memperbaiki dan
menjaga mereka agar tidak mengalami degradasi moral.30
4. Pergaulan
Pergaulan antara manusia harus mengindahkan tatakrama yang diatur
baik oleh negara maupun agama. Selain terhadap orang tua, anak-anak, tetangga,
dan sudara seiman, orang Mukmin harus memperhatikan anggota masyarakat
lainnya, seperti anak yatim, orang miskin dan sanak saudara.31
Etika terhadap sesama manusia adalah mutlak dilakukan oleh seseorang
tanpa terbatas oleh waktu, kondisi, tempat, agama, dan budaya. Beretika adalah
fitrah manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan
dengan makhluk yang lainnya. Ketinggian derajat dan martabata manusia karena
etika yang akan membentuk peradaban luhur manusia. Kalau ada manusia yang
30
Lajnah Pentasihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan DIKLAT Departemen Agama
RI, Seri 3, Etika Berprilaku, Bermasyarakat , dan Berpolitik: Tafsir Al-Qur‟an Tematik, h. 342-
343. 31
Lajnah Pentasihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan DIKLAT Departemen Agama
RI, Seri 3, Etika Berprilaku, Bermasyarakat , dan Berpolitik: Tafsir Al-Qur‟an Tematik, h.343-
345.
41
beretika buruk, sebenarnya megingkari fitrahnya sehingga orang yang hidupnya
demikian tidak akan pernah menemukan kebahagiaan dan ketentraman yang abadi
dalam hidupnya.32
Etika untuk saling menghargai dan menghormati hak-hak orang lain
menjadi dasar dan landasan bagi berlangsungnya hubungan dan komunikasi sosial
yang sehat, dimana tidak ada pemaksaan dan diskriminasi berdasarkann
kemestian-kemestian hidup yang ménjadi bawaan kodrati, seperti ras, suku,
agama dan pandangan hidup seseorang.
D. Etika Terhadap Seorang Guru
1. Pengertian dan kedudukan Guru
Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia yang berarti orang yang
mengajar. Sedangkan dalam bahasa Inggris dijumpai kata teacher yang berarti
pengajar.33
Dalam bahasa Arab istilah yang mengacu kepada pengertian guru
lebih banyak lagi, seperti al-alim (jamaknya Ulama) atau al-mu‟alim, yang berarti
orang yang mengetahui dan banyak digunakan para /ahli pedidikan untuk
menunjuk pada hati guru.34
Dalam literatur sufi atau tasawuf, guru spiritual yang biasanya disebut
Syekh, Pir, (keduanya berarti orang yang lebih tua), Mursyid (pembimbing), dan
Murad (orang yang dicari oleh kehendak sang murid), bertugas menuangkan
32
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, h. 343. 33
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: gramedia,
1982), h. 581. 34
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,h. 608.
42
anggur spiritual ke dalam cawan batin murid. Dalam wacana sufisme, anggur
spiritual merupakan lambang api cinta Ilahi dan sekaligus cahaya pengetahuan
yang mencerahkan dan makirfat.35
Sedangkan dalam pandangan masyarakat Jawa, guru artinya adalah
yang digugu lan ditiru (diikuti, dipercaya dan ditiru). Tokoh yang dipercaya oleh
murid dan masyarakat karena telah mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat
sehingga dirinya dijadikan panutan. Dalam pandangan yang lebih modern, seperti
dimunculkan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang guru haruslah bisa mewujudkan
sikap: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Artinya: guru dituntut pula untuk mampu menjadi pemimpin yang baik. Di depan
menjadi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang tidak tinggal diam
dan selalu membangkitkan kepercayaan diri.36
Berdasarkan petunjuk al-Qur’an sebagaimana telah disebutkan dari
beberapa diatas, terdapat empat hal yang berkenaan dengan guru. Pertama,
seorang guru harus memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi, sehingga
mampu menangkap pesan-pesan ajaran, hikmah, petunjuk, dan rahmat dari segala
ciptaan Tuhan, serta memiliki potensi batiniah, yang kuat sehingga ia dapat
mengarahkan hasil kerja dari kecerdasannya untuk diabdikan kepada Tuhan.
Kedua, seorang guru harus dapat mempergunakan kemampuan intelektual dan
emosional spiritualnya untuk memberikan peringatan kepada manusia lainnya,
35
Lihat, Seyyed Hossen Nasr, The Garden of Truth, terj. Yuliani Liputo (Bandung:
Mizan, 2010), h. 143. 36
Imam Budhi Santoso, Manusia Jawa Mencari kebeningan Hati: Menuju Tata Hidu-
Tata Krama-Tata Prilaku (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2013), h. 11.
43
sehingga manusia-manusia tersebut dapat beribadah kepada Allah SWT. Ketiga,
seorang guru harus dapat membersihkan diri orang lain dari segala perbuatan dan
akhlak yang tercela. Keempat, seorang guru harus berfungsi sebagai pemelihara,
pembina, pengarah, pembimbing dan pemeberi bekal ilmu pengetahuan,
pengalaman dan keterampilan kepada orang-orang yang memerlukannya.37
Prof. Mulyadhi Kartanegara menjelaskan dalam bukunya yang berjudul
Reaktualisasi Ilmiah Islam, ada tiga peran guru dalam memajukan pendidikan,
yaitu: 38
1. Mempersiapkan murid dengan ilmu-ilmu alat dasar yang sangat diperlukan
sebagai persiapan ataupun fondasi bagi kajian berikutnya. Ilmu
pengetahuan dasar yang sering diberikan kepada murid pada masa sekolah
Al-Qur’an, Hadist dan sastra, inilah pelajaran-pelajaran dasar yang hampir
secara universal diajarkan kepada murid-murid Muslim baik secara formal
maupun informal.
2. Peran guru dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Seorang guru profesional
tentu saja memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bidang yang
ditekuninya. Demikian juga ia tentu memiliki pengetahuan yang luas
tentang sumber informasi, atau buku-buku dasar (textbooks), serta buku-
buku lanjutan dan yang tingkat tinggi (advanced).
37
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid „Studi Pemikiran
Taswuf Al-Ghazali (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), h. 47. 38
Mulyadhi kartanegara, Reaktualisai Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta Pusat: Baitul Ihsan,
2006), cet. I, h. 52-56.
44
3. Peran guru sebagai pembimbing. Bimbingan guru tentu sangat penting,
tetapi juga bukan tanpa batas. Banyak ilmuwan-ilmuwan besar, yang
setelah mendapatkan bimbingan seperlunya, kemudian mampu melebihi
kemampuan gurunya.39
4. Guru berperan sebagai pembimbing murid dalam upaya dan rencana
penyelesaian masalah atau “Problem Solving” , guru mestilah membantu
siswa menentukan pesoalan-persoalan yang berarti, melokasikan sumber
data yang relevan menafsirkan dan mengevaluasi ketepatan data, dan
merumuskan kesimpulan.
Dalam konteks pendidikan islam, guru adalah Spiritual Father atau bapak
rohani bagi murid. Gurulah yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan
akhlak dan membenarkannya, maka menghormati guru berarti penghormatan
terhadap anak-anak pula. Oleh karena itu menjadi pendidik hendaklah memiliki
sifar-sifat sebagai berikut.40
1. Zuhud, tidak mengutamakan materi dan mengajarkan mencari
keridhaan Allah SWT semata.
2. Bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwa,
terhindar dari dosa besar, sifat ria (mencari nama), dengki,
permusuhan, perselisihan, dan lain –lain sifat yang tercela.
3. Ikhlas dalam pekerjaan
4. Suka dan mudah memaafkan
39
Mulyadhi kartanegara, Reaktualisai Tradisi Ilmiah Islam, h. 52-56. 40
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam „Paradigma Baru Pendidikan
Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 111.
45
5. Guru merupakan seorang bapak sebelum ia menjadi seorang guru
6. Guru harus mengetahui tabiat murid, dan guru harus menguasai
mata pelajaran.
Itu sebabnya guru dalam pandangan Islam bukanlah sekadar
pembimbing melainkan juga sebagai figur teladan yang memiliki karakteristik
baik. Kendati demikian, tidak ada perbedaan dari beberapa pengertian yang tadi
semuanya sama merujuk kepada bahwa seorang guru adalah sosok yang menjadi
panutan bagi seorang murid, yang mengajarkan dan membimbing murid agar
mendapatkan pengetahuan.
Dengan alasan inilah, seorang mursyid mutlak diperlukan sebagai
pemandu, bahkan menurut Imam al-Ghazâlî, seorang murid harus patuh kepada
mursyidnya bagaikan seorang bayi di tangan ibunya. Jika gurunya “keliru” maka
hal itu lebih bermanfaat daripada kebenaran dirinya sendiri.41
2. Pengertian dan Kedudukan Murid
Secara etimologi, murid adalah pencari hakikat dibawah bimbingan dan
arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib dari segi
bahasa berarti orang yang mencari, sedangkan menurut istilah tasawuf adalah
penempuh jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk
mencapai derajat sufi.42
41
Lihat, Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: SebuahKajian Tematik (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2016), h.77. 42
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), cet. II, h. 104.
46
Istilah murid juga diartikan sebagai orang yang melatih kehendaknya,
atau salik, yang berarti orang yang menempuh perjalanan. Seperti seorang pendaki
yang ingin mencapai puncak, sang murid memerlukan pemandu, yang tidak lain
adalah guru spiritualnya.43
Mengutip pemaparan Engr Sayyid Khaim Husayn Naqawi, Abudin
Nata menyebutkan, bahwa kata murid berasal dari bahasa arab, yang artinya orang
yang menginginkan (the willer). Menurut Abudin Nata kata murid diartikan
sebagai orang yang menghendaki untuk mendapatkan ilmu pengetahuan,
ketrampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik sebagai bekal hidupnya agar
bahagia dunia dan akhirat dengan jalan belajar sungguh-sungguh.44
Istilah murid (disciple) itu sendiri menyiratkan disiplin. Ia harus
memiliki semangat (himmah) dan kehendak yang kuat (iradah) untuk benar-benar
menapaki jalan pengetahuan. Yang terpenting adalah calon murid harus memiliki
iman, cinta kepada Allah, dan memiliki hasrat untuk mengenal dan berjumpa
dengan-Nya sedemikian besar sehingga ia bersedia berkorban dan menjalani
disiplin yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas.45
3. Etika Murid Terhadap Guru
Ada banyak tugas yang harus dipenuhi oleh seorang murid dalam
menjalani pendakian spiritual atau mendalami wacana-wacana spiritual dan
adabnya terhadap sang mursyid.
43
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: SebuahKajian Tematik, h. 74. 44
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid „Studi Pemikiran
Taswuf Al-Ghazali, h. 102. 45
Seyyed Hossen Nasr, The Garden of Truth, terj. Yuliani Liputo, h. 146-147.
47
Dijelaskan dalam kitab Ilmu wa Adab al-Alim wa al-Muta‟alim
dikatakn, bahwa sikap murid sama dengan sikap guru, yaitu sikap murid sebagai
pribadi dan sikap murid sebagai penuntut ilmu. Sebagai pribadi seorang murid
harus bersih hatinya dari kotoran dan dosa agar dapat dengan mudah dan benar
dalam menangkap pelajaran, menghafal dan mengamalkannya.46
Dalam kitab itu dijeaskan beberapa prilaku yang harus dikerjakan oleh
seorang murid, diantaranya:
a. Seorang murid juga harus bersikap rendah hati pada ilmu dan guru,
dengan cara demikian ia akan tercapai cita-citanya.
b. Seorang murid hendaknya tidak memasuki ruangan guru kecuali setelah
mendapat izinnya.
c. Seorang murid harus menunjukkan kesungguhan dalam belajar, tekun
belajar setiap waktu, siang dan malam, ketika di rumah atau di
perjalanan, tidak bepergian yang tidak ada hubungannya dengan
menuntut ilmu pengetahuan, kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok
seperti makan, tidur dan semacamnya seperti istirahat sebentar untuk
menghilangkan rasa lelah dan kebutuhan pokok lainnya.
d. Selain itu, seorang murid juga harus bersikap sabar, dan menjauhkan
diri dari perlakuan yang kurang baik dari syaikhnya dan jangan
menutup diri dan terus berupaya menyertainya dengan menduga tetap
ada nilai-nilai positifnya, dan hendaknya ia tetap menduga terhadap
46
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid„Studi Pemikiran
Taswuf Al-Ghazali, h. 102-105.
48
perbuatan syaikh yang secara lahiriah tampak buruk, tetapi pada
hakikatnya tetap baik.
Sedangkan menurut Imam al-Ghazâlî mengenai etika murid dijelaskan
sebagai berikut:47
a. Seorang murid harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak
yang buruk dan sifat-sifat tercela. Hal ini didasarkan pada
pandangannya bahwa ilmu adalah ibadah hati dan merupakan shalat
secara rahasia dan dapat mendekatkan batin kepada Allah.
b. Seorang murid hendaknya tidak banyak melibatkan diri dalam urusan
duniawi.
c. Seorang murid jangan menyombongkan diri dengan ilmu yang
dimilikinya dan jangan pula banyak memerintah guru.
d. Seorang murid harus memfokuskan pada satu bagian ilmu yang
dianjurkan oleh gurunya dan tidak menerjunkan diri kedalam
tingkatan-tingkatan ilmu sebelumnya.
e. Seorang murid agar dalam mencari ilmunya didasarkan pada upaya
untuk menghias batin dan mempercantiknya dengan berbagai
keutamaan. Hal ini didasarkan pada tujuan belajar untuk memperoleh
kehidupan yang baik di akhirat.
f. Seorang murid wajib menjaga batinnya kepada siapa pun dan hanya
membuka rahasia tersebut kepada guru spiritualnya.
47
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid „Studi Pemikiran
Taswuf Al-Ghazali, h. 106-109.
49
Etika murid kepada guru mempunyai peranan besar dalam mengatur
pola interaksi dalam prinsip hormat. Prinsip itu mengatakan bahwa setiap orang
dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat
terhadap orang lain, terutama hormat kepada guru yang menjadi pembimbing
dalam menempuh jalan spiritual.
50
BAB IV
HASIL ANALISIS ETIKA HUBUNGAN MURID KEPADA GURU
DALAM SERAT DEWARUCI
A. Menuntut Ilmu: Guru-Murid
Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap manusia, hal itu
dilakukan oleh seseorang untuk merubah tingkah laku dan perilaku kearah yang
lebih baik, karena pada dasarnya ilmu menunjukkan jalan menuju kebenaran dan
meninggalkan kebodohan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin mengatakan, bahwa dasar
keilmuan itu tentunya tidak dapat diperoleh dengan belajar sendiri dari kitab,
melainkan belajar itu harus dengan cara mendengar langsung dari para guru,
duduk bersama mereka, dan mendengarkan langsung dari mulut mereka. Hal ini
penting dilakukan karena dengan adanya bimbingan seorang guru ahli, itu akan
membuka pintu-pintu ilmu agar selamat dari kesalahan dan ketergelinciran.1
Serat Dewaruci menjelaskan pentingnya seorang guru, tetapi juga
diingatkan agar hati-hati dalam memilihnya. Untuk itu sebelum memilih guru,
seseorang harus yakin terlebih dahulu dengan apa yang akan dicari, sehingga ia
tidak bingung dan tersesat. Karena untuk mendapatkan apa yang dicari terkadang
1Syaikh Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu,
terj. Ahmad Sabiq (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2005), cet. I, h. 101.
51
orang harus siap berhadapan dengan marabahaya yang mengancam jiwa.2 Seperti
dialog Dewaruci dengan Bima (Durma 21-22), disebutkan:
Lan maninge Wrêkudara ingkang prapta// Dan ia tahu Werkudara yang
datang
Iya ing kene iki// di sini ini
Akeh pancabaya// banyak marabahaya
Yen nora êtoh pêjah// jika tidak bertaruh nyawa
Sayêkti tan prapta ugi// tak akan orang sampai kesini
Ing kene mapani// di tempat ini
Sakalir sarwa mamring// segalanya serba sepi.
Nora urup lan ciptamu paripaksa// Pikiranmu tidak jelas dan memaksa
Sêdya kaluhuran// demi menggapai kemuliaan
Kene mangsa anaa// yang tak mungkin ditemukan di sini
Kewran sang Wrêkudara// Werkudara menjadi bingung
Sêsaurira// atas ucapan itu
Dene tan wruh ing gati// karena tidak tahu maksudnya.
Maka dari itu sangatlah penting bagi seorang murid yang sedang menuntut
ilmu, untuk mencari guru, yang akan menuntun dan membawa sang murid pada
kebenaran. Seperti halnya yang dikatakan oleh Maulana Jalaludin Rumi, apabila
seorang murid tidak mendapat bimbingan dari seorang mursyid, jika diibaratkan
“dua hari perjalanan akan menjadi perjalanan seratus tahun bagi para pencari”.
Dengan alasan inilah, seorang mursyid mutlak diperlukan sebagai pemandu.3
Robert Frager juga mengungkapkan, tanpa seorang pembimbing, kita akan
memilih ajaran dan praktik ibadah yang kita sukai, bukan yang dibutuhkan jiwa
kita. Ego akan mendorong kita untuk memilih ajaran dan praktik ibadah yang
2Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci: Tasawuf Jawa Yasadipura I (Ciputat, Ushul Press,
2009), h. 182. 3Lihat, William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, terj. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam
(Yogyakarta: Qalam, 2005), h. 183.
52
membuat kita tetap seperti sedia kala, tidak mengalami transformasi atau
perubahan.4
Beberapa contoh bisa kita lihat dari usaha menuntut ilmu: murid kepada
guru untuk mendapatkan pelajaran mengenai kesempurnaan hidup. Diantaranya
dalam Babad Tanah Djawa: Pertama, kisah Ki Tjokrodjojo (Sunan Gesang) yang
berguru kepada Sunan Kalijaga, sebagai bukti taat melaksanakan perintah guru,
Ki Tjokrodjojo bertapa untuk membasuh diri, hingga tubuhnya terkurung oleh
duri-durian yang tumbuh disekitarnya. Kedua, kisah Ki Ageng Pandanarang
(Sunan Bajat) berguru ke orang yang sama, yaitu Sunan Kalijaga, atas perintah
sang guru dengan ikhlas ia meninggalkan segala harta benda kekayaan dan
kekuasaannya. Ketiga, dalam Kisah Dewaruci, ketika Arya Sena atau Bima
berguru kepada Resi Durna, atas perintah sang guru ia mencari Tirta Parwitasari
(Air Kehidupan). Ia rela menaruhkan hidup dan matinya demi mendapatkan air
tersebut.
Dari ketiga contoh tersebut, ketiga-tiganya tampak menggambarkan
ketegasan, keikhlasan, dan ketabahan dalam mengikuti nasihat sang guru, dan
tercapainya cita-cita.5 Berdasarkan pada konteks tersebut, penulis hanya akan
menekankan pada kisah yang ketiga, yaitu Dewaruci, pencarian air kehidupan
yang diperankan oleh tokoh Bima, dengan melihat keinginan, serta usaha yang
besar yang dilakukan oleh Bima untuk mendapatkan air kehidupan. Bukan hanya
itu, Bima pun menunjukkan sikap yang sangat hormat kepada sang guru, yaitu
4Robert Frager, Obrolan Sufi, terj. Hilmi Akmal (Jakarta: Zaman, 2012), h. 45.
5Lihat, Ki Siswoharsojo, Tafsir Kitab Dewarutji (Jogjakarta: PT. JAKER Lodjiketjil),
cet. I, h. 23.
53
Resi Durna sebagai guru fisik (jasmani) dan Dewaruci sebagai guru sejatinya
(Spiritual).
Ajaran Serat Dewaruci menurut Dr. A. Seno Sastoamidjojo, berisi
mengenai anjuran mencari guru yang layak. Jelasnya guru yang dengan sungguh-
sungguh dan dapat dipercaya, tidak sembarangan, serta segala pelajaran yang
diberikan tidak menyeleweng dari perasaan kita sendiri, tentunya hal itu harus
masuk akal dan telah menyatu ke dalam sanubari kita, sehingga menimbulkan
kebulatan tekad kepada diri kita. Pelajaran itu seyogyanya ditaati, dilaksanakan
sebaik-baiknya, tanpa ragu, tanpa menghiraukan bahaya yang mengancam
keselamatan hidupnya. Dalam hal ini tugas guru ialah hanya semata-mata
menanamkan benih, serta memberikan bantuan seperlunya selaku pembimbing,
semuanya itu bergantung pada diri murid itu sendiri.6
Adapun isi naskah Serat Dewaruci yang menjelaskan keinginan Bima
untuk mencari guru pembimbing, terdapat dalam pupuh Dandanggula (I), pada
bait 11-13, terjadi dialog antara Bima dan Gurunya, Resi Durna. Bima
menunjukkan sikap hormatnya kepada Resi Durna dengan cara menyembah dan
memastikan bahwa dia akan memenuhi tugasnya, yaitu untuk mencari air
kehidupan. Ki Siswoharsojo menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Tafsir
Kitab Dewarutji, bahwa Bima sangat rindu ingin menyucikan hidupnya dengan
mencari tirta pawitra (air kehidupan). Atas dorongan itu, ia berusaha mencari
guru yang dapat memberi petunjuk. Akhirnya Bimapun mempercayai Resi Durna
6A. Seno Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa Rutji (Jakarta: Penerbit KINTA, 1997), cet. 2,
h. 73-74.
54
sebagai gurunya, dengan penuh keyakinan bahwa Resi Durna bisa memberi
wedjangan (petunjuk) kepadanya agar bisa memperoleh air kehidupan.7 Berikut
dialog antara Bima dan Resi Durna:
Ebah kagyat kang samya alinggih// Terkejut semua yang hadir
Sri narendra Ngastina ngandika// Raja Astina berkata
Yayi den kapareng kene// adikku marilah kesini
Wrêkudara anjujug// Bima langsung menghadap
Dhanyang Durna sigra ngabêkti// Pendeta Durna seraya
menyembah
Rinangkul jangganira// dirangkul lehernya
Babo suteng ulun// wahai anakku
Sira sida ngulatana// kau jadi pergi mencari
Ingkang tirta pawitra sucining ngurip// air jernih yang menyucikan
hidup
Yen iku kapanggiha// jika itu kau temukan
Nirmala panggih wiseseng urip// Kau akan menguasai hidupmu
Wis kawêngku aji kang sampurna// kau kuasai ilmu kesempurnaan
Pinunjul ing jagat kabeh// akan unggul di seluruh jagad
Ngaubi bapa bijung// melindungi bapak ibumu
Mulya saking sira nak mami// kemuliaan datang darimu anakku
Linuwih ing tri loka// unggul di dalam Triloka
Langgêng ananipun// yang kekal abadi
Arya Sena matur nêmbah// Arya Sena berkata sambil menyembah
Inggih pundi prênahe kang tirta suci// di manakah tempatnya air
suci itu
Nuntên paduka têdah// mohon aku diberi petunjuk.
Prênahipun kang her adi êning// Di mana tempat air bening itu
Rêsi Durna mojar marang Sena// Pendeta Durna berkata kepada
Sena
Adhuh sutaning sun angger// duhai anakku tercinta
Ênggoning kang tuya nung// letak air suci itu
Pan ing wana Tikbrasareki// di hutan Tikbrasara
Turutên tuduh ingwang// ikutilah petunjukku
Sangêt parikudu// harus diperhatikan
Nucekakên badanira// itu akan menyucikan dirimu
Ulatana soring Gandamadaneki// carilah di bawah gua
Gandamadana
Ing wukir Candramuka// di gunung Candramuka.8
7 Ki Siswoharsojo, Tafsir Kitab Dewarutji, h. 7-8.
55
Dialog diatas, menunjukkan perintah yang diberikan Resi Durna kepada
Bima untuk mencari air kehidupan. Resi Durna sebagai Guru pembimbing
tentunya tidak asal memberi perintah, dia pun pasti memiliki ilmunya, hanya saja
dia belum tahu persis apa itu air kehidupan. Resi Durna yang hanya baru tahu
teorinya, tapi sudah menyuruh sang murid untuk melaksanakan perintahnya. Dan
Bima pun dengan kepatuhan total kepada gurunya berusaha mendapatkan air
kehidupan itu.9
1. Guru Durna sebagai Guru Pembimbing (Jasmani)
Pendeta Drona dalam jagad pewayangan, atau menurut lidah Jawa lazim
disebut Dahyang Durna, sudah cukup terkenal. Hampir disetiap lakon yang
mengisahkan konflik Pandawa dan Kurawa, tokoh ini selalu tampil dan terlibat.
Gara-gara menjadi penasihat Kurawa dan banyak menentukan gerak langkah
mereka yang dinilai salah, serakah, dan angkara murka, maka Durna benar-benar
dicap sebagai tokoh jelek di mata orang Jawa.
Resi Durna adalah satu-satunya guru besar yang diakui oleh Pandawa dan
Kurawa karena telah mengajarkan ilmu jaya kawijayan (Ilmu Kesaktian). Dalam
pandangan Bima, Resi Durna merupakan sosok yang istimewa bagi dirinya,
karena berkat bimbingannya, Bima berhasil menemukan air kehidupan. Meskipun
dalam kisah dinyatakan bahwa Durna sengaja menjebak Bima agar tewas dalam
pencarian tadi, tetapi justru Bima menganggapnya benar-benar sebagai petunjuk
8Naskah Serat Dewaruci itu terletak pada Syair Dandanggula (I), pada bait ke 11-13.
Lihat, Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci: Tasawuf Jawa Yasadipura I, h. 86. 9 Yudhi AW, Serat Dewaruci: Pokok Ajaran Tasawuf Jawa (Yogyakarta: NARASI,
2012), h. 101.
56
dari guru yang dihormati. Berkat kejujuran dan tekad Bima yang demikian besar
ia berhasil menemukan kesempurnaan hidup melalui pertemuannya dengan
Dewaruci yang bermukim di dasar laut.10
Resi Durna adalah sosok guru yang
dianggap sejati bagi Bima, segala perintahnya ditaati, walaupun di dalam hati
Durna tertanam benih Kurawa yang jahat, tetapi secara tersirat, sebenarnya Resi
Durna telah mengajarkan motivasi mandiri kepada Bima dalam menuntut ilmu.11
Kesusatraan India serta Jawa Kuna menjelaskan bahwa, sifat taat seorang
murid kepada gurunya ini merupakan hal yang penting dan disebut dengan
gurusyusyrusa. Dalam pandangan hidup bangsa Indonesia yang berasal dari Jawa,
hormat kepada guru ini disebut sembah guru, yang termasuk lima sembah (panca
sembah) serta merupakan dasar pendidikan bagi penduduk di daerah Jawa.12
Saat mencari air kehidupan, Bima tidak sedikitpun merasa ragu atas
perintah sang guru, ia menjalankan perintah sang guru dengan penuh keikhlasan
dan senang hati. Seperti halnya yang diceritakan dalam Serat Dewaruci, pada
syair pangkur bait ke-1, yang isinya:
Lampahe sang Wrêkudara// perjalanan Bima
Lajêng ngambah praptanireng wana dri// telah sampai di tengah hutan
Ririh ing reh gandrung-gandrung// pelan ia sangat ingin
Sukanireng wardaya// hatinya sangat gembira
Tirta êning pamungkas wekasing guru// mencari air jernih atas petunjuk
guru
Tan nyipta bayaning marga// tak terpikir bahwa itu berbahaya
Kacaryan kang den ulati// ia bahagia atas apa yang dicari
10
Imam Budhi Santoso, Manusia Jawa Mencari Kebeningan Hati: Menuju Tata Hidup,
Tata Krama, Tata Prilaku (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2013), h. 10-13. 11
Imam Musbikin, Serat Dewa Ruci: Misteri Air Kehidupan (Jogjakarta: DIVA Press,
2010), h. 243. 12
Adhikara SP, Nawaruci (Bandung: Penerbit ITB, 1984), h. 73.
57
Naskah tersebut menjelaskan,sikap Bima sangat optimis dan berpikir
positif kepada gurunya, sikap ini pulalah yang menurut Imam al-Ghazâlî wajib
dimiliki bagi setiap murid yang sedang mencari ilmu. Imam al-Ghazâlî
menjelaskan dalam kitabnya “Bidâyatul Hidâyah”, bahwa hendaklah seorang
murid tidak berburuk sangka kepada gurunya dalam setiap perbuatan yang
dilakukan. Karena bisa jadi perbuatan itu tampak bagi murid adalah perbuatan
mungkar, akan tetapi guru lebih tahu terhadap apa yang ia lakukan.13
Bima telah menunjukkan ketaatan dan kesetiaannya yang luar biasa pada
perintah gurunya. Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab III, mengenai etika
murid kepada Guru yang dikutip oleh Abuddinata dari kitab Ilmu wa Adab al-
Alim wa al-Muta’alim karya KH. Hasyim Asy‟ari. Dijelaskan bahwa seorang
murid juga harus bersikap sabar, dan menjauhkan diri dari perlakuan yang kurang
baik dari syaikhnya, dan jangan menutup diri dan terus berupaya menyertainya
dengan menduga tetap ada nilai-nilai positifnya. Dan hendaknya ia tetap menduga
terhadap perbuatan syaikh yang secara lahiriah tampak buruk, tetapi pada
hakikatnya tetap baik.14
Sikap itu tercermin dalam prilaku Bima kepada Resi
Durna, dalam kutipan naskah pun dijelaskan, diantaranya:
1. Suka Menuntut Ilmu dan Pantang Menyerah
Sosok Bima dalam kisah Dewaruci, diceritakan sangat senang menuntut
ilmu, meskipun dalam pencariannya itu ia kerap kali menemukan rintangan dan
13Lihat, Muhammad Ali Ba‟athiyah, SULUK: Pedoman Memperoleh Kebahagiaan
Dunia-Akhirat, terj. Hasan Suaidi (Bantul: CV. Layar Creative Mediatama, 2015), h. 59-60. 14
Lihat, Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid ‘Studi
Pemikiran Tasawuf al-Ghazali, h. 102-105.
58
godaan, ia tetap berusaha untuk melewati kesulitan itu. Semuanya ia lewati demi
tercapainya cita-citanya yaitu menemukan air kehidupan. Rasa semangatnya yang
tinggi dan motivasi menuntut ilmu yang tinggi tercermin jelas dalam prilakunya.
Ngambah wukir sêngkan-sêngkan// gunung-gunung telah ia lalui
Anut bambing kapering lêmah miring// lereng-lereng curam ia tempuh
Gêgêr mênggêr agra gugur// ia jelajahi tanpa kenal menyerah
Jurang rejeng kaparang// Jurang penuh cadas tajam
Angragancang keh ri sarywa lata lumung// berkelok
penuh tumbuhan merambat berduri
Myang enggar katiban warsa// tampak segar tertimpa hujan
Sela ngapit marga supit// batu mengapit jalanan sempit
2. Taat Kepada Guru
Bima menjalankan perintah gurunya dengan penuh totalitas,tak ada
keraguan dalam hatinya, yang ada hanya keyakinan akan kebenaran. Ia percaya
dan yakin sepenuh hati, bahwa perintah gurunya adalah sebuah kebenaran. Dan ia
akan melaksanakan sampai berhasil, dan menaruhkan nyawa hidupnya. Padahal
dalam dirinya sendiri, dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya dia cari, dia
berusaha patuh kepada gurunya secara total dan melaksanakan semua perintah dan
petunjuk gurunya.15
Sang Durna angrangkul sigra// Pendeta Durna segera memeluk
Babo-babo lagya ingsun ayoni// wahai kau yang sedang kuuji
Katêmênane ing guru// benar-benar mengikuti petunjuk guru
Mêngko wus kalampahan// kini telah terbukti
Nora mengeng ngantêpi tuduhing guru// tidak menolak melaksanakan
perintah guru
Iya mengko sun wewarah// nanti kuberi petunjuk
Ênggone ingkang sayêkti// tempat yang sebenarnya.
Iya têlênging samodra// Yaitu di tengah samudera
15
Yudhi AW, Serat Dewaruci: Pokok Ajaran Tasawuf Jawa, h. 101-103.
59
Yen sirestu ngguru pun bapa kaki// jika sungguh kau akan berguru kepadaku
Ngêsung têlêng samudra gung// masuklah ke dalam samudera luas itu
Wrêkudara turira// Bima menjawab
Sampun mênggah ing têlênging samudra gung// jangankan masuk ke dalam
lautan
Wontêna nginggiling swarga// di atas surga pun
Dhasar engkang sapta bumi// dan di lapisan bumi ke tujuh pun
Mangsa ajriha palastra// Aku tak takut mati
Anglakoni tuduh sang maha yakti// melaksanakan petunjuk paduka yang
benar
Iya babo suteng uluni// Durna berkata wahai anakku
Yen iku pinanggiha// jika itu kau temukan
Bapa kakinira kang wis padha lampus// orangtua dan kakekmu yang sudah
mati
Besuk uripe neng sira// kelak hidupnya ada padamu
Lan sira punjul ing bumi// dan kau akan menonjol di muka bumi.16
Kutipan naskah tersebut menunjukkan betapa besar ketaatan Bima kepada
Resi Durna. Seperti halnya yang dikatakan oleh Mulyadhi Kartanegara dalam
bukunya yang berjudul Menyelami Lubuk Tasawuf, bahwasanya seorang murid
harus meyakini apa yang dikatakan oleh seorang mursyidnya, kita tidak boleh
meragukan otoritasnya, oleh karena itu kita tidak boleh mempertanyakan benar
salahnya jalan yang akan kita tempuh.17
3. Teguh dalam Pendirian
Selain sikap taat dan menuntut ilmu yang tinggi, Bima pun mempunyai
sikap yang teguh dalam pendirian, hal itu terbukti dari sikapnya yang tidak goyah
16
Naskah Serat Dewaruci, Pupuh Pungkur, bait 28-30. 17
Lihat, Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2006), h. 247-25.
60
saat dilarang oleh saudara-saudaranya untuk mencari air kehidupan, hal itu
dijelaskan dalam Serat Dewaruci:
Aja sira kaya bocah// Janganlah kau seperti anak kecil
Den prayitna Wrêkudara nauri// hati-hati Bima menjawab
Heh Kurupati kakangku// hai Kurupati kakakku
Srahna marang jawata// serahkan saja kepada dewata
Aywa mêlang tumolih lilakna aku// jangan ragu dan relakan diriku
Aja nggrantes ing manah// jangan sedih hatimu
Pirang bara yen basuki// tentu aku akan selamat sampai tujuan.18
Samya nangis ngampah-ampah// meski menangis menghalang-halangi
Tan keguh ginubêl tangis// Sena tak goyah direcoki tangisan
Dananjaya nyêpeng asta// Dananjaya memegangi tangannya
Raden kalih suku kalih// dua adiknya menahan kedua kakinya
Sarwi lara anangis// sambil menangis mengiba-iba
Krêsna munggwing ngarsanipun// Sri Kresna berada di depannya
Srikandhi lan Sumbadra// Srikandi dan Subadra
Samya mangrubung nangisi// merubung sambil menangis
Kinipatkên sadaya sami kaplêsat// dikibaskan semua terlempar.19
Bima adalah orang yang mempunyai pendirian teguh, sehingga dia tidak
mudah terombang-ambing oleh keadaan. Ia mempunyai idealisme yang tinggi
sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain. Tidak sedikitpun ia takut
menghadapi marabahaya yang menerjang, berkat keteguhan hatinya inilah ia bisa
sampai pada tujuannya, yaitu menemukan air kehidupan atau tirta pawitra.20
4. Sikap Hormat
Bagi orang Jawa, sikap hormat wajib dimiliki oleh setiap orang, terutama
hormat kepada sesama manusia. Sikap hormat sangat diperlukan dalam
kehidupan, terutama dalam berinteraksi, karena pada dasarnya manusia adalah
18
Naskah Serat Dewaruci, pupuh Pungkur, bait ke 32. 19
Naskah Serat Dewaruci, pupuh Sinom ,bait ke 4. 20
Imam Musbikin, Serat Dewa Ruci: Misteri Air Kehidupan, h. 243-246.
61
makhluk sosial, artinya makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan
orang lain. Implikasi sikap hormat akan terkait dengan budi pekerti yang
menyangkut ungguh-ungguh (tata krama). Seperti halnya hubungan antara anak-
orang tua, murid-guru, sesama saudara, secara tidak langsung itu akan
mencerminkan aplikasi hormat.21
Suwardi Endraswara menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Etika
Hidup Orang Jawa”, bahwa dalam kebudayaan Jawa sendiri sikap hormat ini lebih
dikenal dengan istilah tatakrama atau lebih identik dengan sopan santun.
Tatkrama adalah wujud perilaku yang sopan dan santun, yaitu suatu kewajiban
yang dilakukan oleh orang Jawa agar mempunyai budi yang luhur.22
Begitu pula menurut Frans Magnis Suseno bahwa, prinsip hormat itu
harus menunjukkan pada setiap orang dalam tata cara berbicara dan membawa diri
sesorang harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai
derajat yang didudukinya.23
Bima dalam menjalankan perintah selalu bersikap hormat kepada gurunya,
yaitu Resi Durna dan Dewaruci. Bima selalu bersembah bakti kepada gurunya,
terutama dalam komunikasi kepada gurunya, ia selalu menggunakan ragam
krama, hal ini menunjukkan bahwa betapa hormatnya Bima kepada gurunya itu.24
Ebah kagyat kang samya alinggih// Terkejut semua yang hadir
21
Imam Musbikin, Serat Dewa Ruci: Misteri Air Kehidupan, h. 246. 22
Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa: Pedoman Beretika dalam Menjalani
Kehidupan sehari-hari (Yogyakarta: NARASI, 2010), h. 43. 23
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa (Jakarta: PT. Gramedia, 1991), cet. 4, h. 60. 24
Imam Musbikin, Serat Dewa Ruci: Misteri Air Kehidupan, h. 211.
62
Sri narendra Ngastina ngandika// Raja Astina berkata
Yayi den kapareng kene// adikku marilah kesini
Wrêkudara anjujug// Bima langsung menghadap
Dhanyang Durna sigra ngabêkti// Pendeta Durna seraya menyembah
Rinangkul jangganira// dirangkul lehernya
Babo suteng ulun// wahai anakku
Sira sida ngulatana// kau jadi pergi mencari
Ingkang tirta pawitra sucining ngurip// air jernih yang menyucikan hidup
Yen iku kapanggiha// jika itu kau temukan.25
Dhungkarana ingkang wukir-wukir// Carilah di gunung-gunung
Jroning guwa jro panggonanira// di dalam gua di situlah letaknya
Tuhu herning pawitrane// air suci yang sesungguhnya
Ing nguni-uni durung// belum pernah diceritakan
Ana kang wruh nggoning toya di// ada yang tahu tempat air suci itu
Trustha sang Wrêkudara// segera sang Bima
Pamit awotsantun// mohon pamit sambil menyembah
Mring Durna mring Suyudana// kepada Durna dan Suyudana
Angandika sira prabu Kurupati// Prabu Kurupati berkata
Yayi mas den prayitna// berhati-hatilah adinda.26
Sikap hormat terhadap guru juga dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih al-„Utsmain, beliau menjelaskan bahwa adab murid terhadap gurunya
adalah hal yang paling penting yang harus dimiliki oleh seorang murid.
Hendaklah dia menganggap gurunya sebagai seorang pengajar dan pendidik,
sebagai pengajar yang mengajarkan ilmu, serta sebagai pendidik yang
membimbingnya kepada budi pekerti yang baik. Seorang murid kalau tidak
percaya dengan gurunya pada dua hal ini, maka dia tidak akan mendapatkan apa
yang di inginkan. Maka jadikanlah gurumu orang yang engkau hormati, hargai,
agungkan, dan berlakulah yang lembut. Berlakulah penuh sopan santun
25
Naskah Serat Dewaruci, Pupuh Dandanggula (I), bait ke 11. 26
Naskah Serat Dewaruci, Pupuh Dandanggula (I), bait ke 14.
63
kepadanya saat duduk bersama, berbicara, saat bertanya, dan saat mendengar
pelajaran.27
Seperti itu pulalah sikap Bima kepada kedua gurunya, selalu menjaga laku
dan ucapan, menghormati dan menjalankan perintah guru, serta tetap memegang
teguh pendiriannya, bahwa apapun yang dikatakan oleh gurunya itu adalah suatu
kebenaran.
2. Dewaruci sebagai Guru Sejati
Paguyuban Pangestu menjelaskan bahwa Dewaruci merupakan Guru
Sejati, yakni sebagai sesuatu yang terdekat dengan Tuhan atau yang berada pada
tataran kedua setelah-Nya.28
Dewaruci sebagai utusan yang abadi, yang merasuk
dan melingkupi segala yang ada. Ia menjadi Guru Sejati, yang menuntun manusia
agar menjadi “dewasa” (tahu akan jati dirinya). Hubungan Guru Sejati dengan
jiwa manusia adalah seperti hubungan guru dengan muridnya. Artinya, suatu
hubungan yang didasarkan atas kasih sayang yang tulus, langgeng, dan suci,
dengan harapan terbentuknya siswa yang baik dan benar menyerupai dirinya.29
Dewaruci digambarkan sebagai seorang dewa katik, tampak hanya sebagai
anak kecil berjalan-jalan dan bermain-main di atas permukaan air. Perawakannya
seperti anak kecil, kekanak-kanakan, tubuhnya hanya sebesar kelingking.30
27
Muhammad bin Shalih al-„Utsmain, Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj.
Ahmad Sabiq, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafii, 2005), h. 111. 28
S. Sopater, Mengenal pokok-pokok Ajaran Pangestu (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), h.
43. 29
Lihat, Imam Musbikin, Serat Dewaruci: Misteri Air Kehidupan, h. 172. 30
Yudhi AW, Serat Dewaruci: Pokok Ajaran Tasawuf Jawa, h. 127.
64
Sedangkan dalam buku Nawaruci yang ditulis oleh SP Adhikara,
dijelaskan bahwa Nawaruci bukan seorang dewa, tetapi digambarkan sebagai
makhluk yang tugasnya mengajarkan ilmu kebenaran tanpa cacat ( tattwa-jnana
nirmala) kepada Bima. Wejangan Nawaruci meliputi berbagai macam bidang
ilmu, akan tetapi dalam uraiannya nampak jelas usaha untuk menunjukkan kaitan
ilmu dan agama. Nampak jelas bahwa wejangan Nawaruci mengajarkan adanya
Tuhan Yang Maha Esa kepada Bima, akan tetapi ia menganjurkan kepada Bima
supaya menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa, melainkan menganjurkan agar
Bima berusaha memiliki sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa.31
Yata malih wuwusên sang Wrêkudara// Kembali dikisahkan Sang Bima
Neng têlênging jaladri// yang masih di tengah samudera
Sampun pinanggihan// sudah bertemu
Awarni dewa bajang// dewa kerdil berambut panjang
Pêparabe dewa Ruci// bernama Dewa Ruci
Lir lare dolan// seperti anak kecil bermain
Ngandike têtanya ris// dia bertanya lirih.32
Dene bajang neng segara tanpa rowang// Anak berambut panjang di laut
tanpa kawan
Cilik amênthik-mênthik// tubuhnya kecil sekali
Iki ta wong apa// ini makhluk apa
Gêdhe sêjenthik ingwang// hanya sebesar kelingking
Pangucape sru kumaki// tapi ucapannya congkak
Ladak kumêthak// galak dan sombong
Dene tapa pribadi// berlagak seperti pertapa seorang diri.33
Pertemuan Bima dan Dewaruci memberikan kesan tersendiri bagi dirinya,
khusunya mengenai ajran yang diberikan oleh Dewaruci. Awalnya Bima sendiri
merasa penasaran dengan makhluk yang ada didepannya, akan tetapi setelah
31
Adhikara SP, Nawaruci, (Bandung: Penerbit ITB, 1984), h. 71. 32
Naskah Serat Dewaruci, Pupuh Durma, bait ke 17. 33
Naskah Serat Dewaruci, Pupuh Durma, bait ke 20.
65
Dewaruci memberikan beberapa penjelasan mengenai kehidupan, pandangan
Bima berubah, dia tidak bisa meremehkan perkataan Dewaruci, bahkan tanpa
Bima ceritapun Dewaruci sudah mengetahui apa maksud dan tujuan Bima sampai
ke dasar samudera. Dewaruci memberitahukan bahwa perintah yang diberikan
oleh Resi Durna itu adalah tipuan, akan tetapi ia tidak mau percaya. Dari
pendirian Bima ini dapat diketahui betapa hormatnya ia kepada gurunya, sesuai
dengan ajaran sembah guru.34
Dewaruci akhirnya memberikan penjelasan terkait keyakinannya itu, bahwa
kita sebaiknya berbuat sesuatu jika sudah paham atas apa yang kita lakukan. Kita
baru melaksankan suatu perintah kalau sudah jelas tujuannya. Hal inilah yang
dijelaskan Dewaruci kepada Bima.35
Dalam naskah Dewaruci dijelaskan, yaitu:
“Sena, aku berpesan. Jangan pergi bila kamu belum jelas maksudnya.
Jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan. Jangan berpakian bila
belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, atau dengan
meniru, dengan cara mencobanya terlebih dahulu. Demikianlah dalam
hidup ini. Ada orang bodoh dari gunung yang akan membeli emas. Oleh
tukang emas diberi kertas kuning, itu dikira emas mulia. Ia telah tertipu
karena kebodohannya. Demikian pula orang yang berguru, menyuruh
untuk menyembah. Jangan percaya dulu bila belum paham siapa yang
harus disembah.”36
Dari kisah ini dapat disimpulkan, pertama, bahwa manakala mau
melakukan suatu pekerjaan yang besar, itu harus diyakini secara total, bahwa apa
yang akan kita lakukan itu pasti akan berhasil. Dan Kedua, sebelum kita
melakukan sesuatu hendaknya kita bertanya terlebih dahulu, sampai kita paham
34
Adhikara SP, Nawaruci, h. 79. 35
Yudhi AW, Serat Dewaruci: Pokok Ajaran Tasawuf Jawa, h. 104. 36
Naskah Serat Dewaruci, Pupuh Durma, bait ke 27-29.
66
atas apa yang kita lakukan, agar apa yang kita lakukan itu tidak sia-sia. Inilah
nasihat Dewaruci kepada Bima. Atas penjelasan Dewaruci tersebut, Bimapun
akhirnya meminta untuk menjadi muridnya Dewaruci.
Sarwi sila sandika andikanira// Sambil bersila siap berujar
Sang Wrêkudara met sih// Bima meminta dengan hormat
Anuwun jinatyan// mohon diberi tahu
Sintên tan aran tuwan// siapakah tuanku sebenarnya
Dene neng ngriki pribadi// mengapa di sini sendirian
Sang Marbudyeng rat// Sang Marbudyengrat berkata
Ya ingsun dewa Ruci// akulah Sang Dewa Ruci.
Matur alon pukulan yen makatêna// Sena lirih berkatab jika demikian
Pun patik anuwun sih// hamba memohon
Ulun inggih datan// hamba ingin tahu tentangg
Wruh puruiteng badan// petunjuk yang hamba perlukan
Sasat sato wana inggih// karena hamba ini seperti hewan liar
Tan mantra-mantra// yang tidak tahu doa-doa
Waspadeng badan suci// yang membuat hamba jadi suci.
Langkung mudha punggung cinacad ing jagat// Masih bodoh penuh cacat
Kesi-esi-ing bumi// menjadi celaan seisi bumi
Angganing curiga// aku bagaikan tubuh keris
Ulun tanpa warangka// yang tak memiliki sarung
Wacana kang tanpa siring// bercakap tanpa tahu batas
Yat ngandika// berkatalah
Manis sang dewa Ruci// dengan lembut Sang Dewa Ruci.37
Dewaruci dengan belas kasih akhirnya menerima Bima sebagai
muridnya, dengan memerintahkan Bima untuk masuk ke dalam perutnya, melalui
telinga kirinya. Dalam perutnya Dewaruci, Bima diberi wejangan oleh Dewaruci,
wejangan itu mencakup lima aspek, yaitu: Pancamaya, Makrokosmos dan
37
Naskah Serat Dewaruci, Pupuh Durma, bait ke 30-32.
67
Mikrokosmos, Pramana, Ilmu Pelepasan, Hidup dalam Mati dan Mati dalam
Hidup.
Pertama, Pancamaya, dalm kisah Dewaruci pancamaya diibaratkan
sebagai hati kita sendiri, yang menjadi pemuka badan dan pembentuk sifat-sifat
yang ada dalam diri. Hati itulah yang akan menuntun kita pada kesejatian. Dan
ada 4 macam warna yang dapat menjadi penghalang hati, diantarnya warna merah,
kuning, hitam dan putih. Warna merah disimbolkan dengan menunjukkn nafsu
yang tidak baik, segala keinginan jahat keluar dari situ, yang menutupi hati yang
sadar kepada kewaspadaan. Kuning sendiri melambangkan sifat yang selalu ingin
mengungguli dalam segala hal. Hitam, sifatnya menutupi tindakan yang baik.
Sedangkan yang putih di simbolkan dengan kesucian dan menguasai kebahagiaan.
Ketiga warna itu diibaratkan dengan hawa nafsu manusia, untuk itu harus bisa
menghilangkan ketiganya (merah, kuning, hitam), agar bisa mensucikan diri dan
bisa bersatu dengan Yang Sejati.38
Purwadi dalam buku Tasawuf Jawa, mengutip dari penjelasan Haryanto,
bahwa Pancamaya (lima bayangan) dapat diinterpretasikan sebagai bayangan
yang diperoleh lantaran pancaindera dan disimpan dalam ketidaksadaran hati.
Pada saat pancaindera menanggapi segala sesuatu dari alam sekelilingnya, ia di
dorong oleh nafsu.39
Kedua, Makrokosmos dan Mikrokosmos, yaitu alam semesta dan
seisinya yang dapat ditanggapi oleh pancaindera. Dengan demikian alam semesta
38
Lihat, Serat Dewaruci, Pupuh Dandanggula (II), bait ke 7-17. 39
Purwadi, Tasawuf Jawa (Yogyakarta: NARASI, 2003), h. 34.
68
dapat digambarkan segala sesuatu yang ada di bumi dan seisinya itu terdapat
dalam diri manusia, sekalipun hanya bayangan maya, yang sifatnya semu.
Ketiga, Pramana, yaitu di dalam raga pramana yang melestarikan
kehidupan raga manusia. Selama jantung berdenyut, selama itu pula pramana ada
dalam raga dan selama itu pula raga masih hidup. Sedangkan yang menghidupi
pramana adalah sukma sejati yang dapat merasakan adanya sifat-sifat ketuhanan
Yang Maha Esa pada raga dan jiwa manusia. Jelas bahwa hidup ini tidak ada yang
menghidupi dan abadi sifatnya, bila mana raga manusia mati, pramana pun ikut
mati.40
Keempat, Ilmu Pelepasan, yaitu ilmu tentang kelepasan jiwa, nyawa,
sukma dan sebagainya dari raga atau tubuh manusia. Dengan kata lain ilmu
pelepasan adalah ilmu kematian manusia. Menurut kepercayaan atau agama yang
mengalami kematian itu raga atau jasad manusia, sedangkan kehalusan atau jiwa,
sukma, nyawa manusia tidak mengalami kematian, melainkan hidup terus kekal
dan abadi. Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa mati atau ajal itu merupakan faktor
penting dalam ilmu pelepasan.41
Kelima, mati dalam hidup dan hidup dalam mati, yaitu menekankan
bahwa agar selama orang masih hidup, nafsu yang mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan jahat atau jelek, hendaklah dipadamkan sehingga yang
40
Adhikara SP, Unio Mystica Bima: Jasadipoera I (Bandung: Penerbit ITB, 1984), h. 41. 41
Adhikara SP, Nawaruci, h. 86-87.
69
tinggal hanyalah nafsu yang mendorong perbuatan baik. Dengan jalan demikian
manusia dapat menyatupadukan diri dengan pencipta (Khâliknya).42
Setelah mendapatkan wejangan dari Dewaruci, hati Bima merasa senang
dan sudah tidak ada lagi keraguan dalam hatinya, ia pun sudah berhasil mengenali
dirinya sendiri dan mengetahui hakikat hidup dan yang menghidupi.
Bima menganggap Dewaruci sebagai guru sejatinya, yang bisa
menyempurnakan segenap cita-citanya, yaitu untuk memperoleh tirta pawitra (air
kehidupan). Hal itu tak lepas dari usaha Bima sendiri yang berusaha keras
menjalankan dan mematuhi perintah guru, karena bagaimanapun peran guru
dalam membimbing muridnya itu sangat penting dalam tercapainya cita-cita.
Sama halnya dengan Resi Durna, Dewaruci pun begitu dihormati oleh
Bima, terbukti dari sikapnya yang merendahkan diri dan memohon untuk
dibimbing secara langsung oleh Dewaruci agar mendapatkan pengetahuan
tertinggi. Sikap Bima kepada Dewaruci ini dapat kita ketahui melaui perilakunya
yang begitu patuh dan menjunjung tinggi gurunya, sikap itu diantaranya:
1. Rendah Hati pada Ilmu dan Guru
Selain rasa hormat dan keyakinan yang tinggi kepada guru, Bima pun
mempunyai sifat yang rendah hati dalam menuntut ilmu. Sifat rendah hati yang
dimiliki Bima lahir karena keinginanan dan kebutuhan akan ilmu tersebut. Hal itu
dikisahkan dalam Serat Dewaruci, saat Bima bertemu dengan Dewaruci di dasar
samudera. Berikut Dialog Bima dan Dewaruci:
42
Purwadi, Tasawuf Jawa, h. 35.
70
Matur alon pukulan yen makatêna// Sena lirih berkatab jika demikian
Pun patik anuwun sih// hamba memohon
Ulun inggih datan// hamba ingin tahu tentangg
Wruh puruiteng badan// petunjuk yang hamba perlukan
Sasat sato wana inggih// karena hamba ini seperti hewan liar
Tan mantra-mantra// yang tidak tahu doa-doa
Waspadeng badan suci// yang membuat hamba jadi suci.
Langkung mudha punggung cinacad ing jagat// Masih bodoh penuh
cacat
Kesi-esi-ing bumi// menjadi celaan seisi bumi
Angganing curiga// aku bagaikan tubuh keris
Ulun tanpa warangka// yang tak memiliki sarung
Wacana kang tanpa siring// bercakap tanpa tahu batas
Yat ngandika// berkatalah
Manis sang dewa Ruci// dengan lembut Sang Dewa Ruci.43
Sifat rendah diri inilah yang ditunjukkan Bima kepada Dewaruci,
karena pada dasarnya sifat ini menjadi hal yang utama bagi seseorang untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. sifat rendah hati yang dimiliki Bima mampu
mengendalikan rasa keakuan diri, rasa ego dan sifat sombong yang ujungnya
membawa kesengsaraan.
Terlepas dari itu semua, Bima mampu mengontrol dan mawas diri, serta
selalu menghargai orang lain, terutama menghargai gurunya. Hal itu pula
dijelaskan oleh Franz Magnis Suseno, bahwa ada dua manusia yang mengancam
cara hidup manusia, yaitu nafsu-nafsu (hawa nafsu) dan egoisme (pamrih). Oleh
karena itu manusia harus bisa mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaskan
pamrihnya.44
43
Serat Dewaruci, Pupuh Durma, bait ke 31-32. 44
Lihat ,Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa, h. 139.
71
2. Ikhlas dan Nrima
Sikap ikhlas dimiliki oleh Bima, dalam menjalankan perintah gurunya
untuk mencari air kehidupan. Tak sedikitpun ia keberatan dalam menjalankan
perintahnya, karena kebersihan hati Bima inilah yang membawa keberhasilan
pada Bima mendapatkan cita-citanya.
Bima sendiri sebenarnya mengetahui, bahwa apa yang diperintahkan
oleh gurunya (Resi Durna) itu adalah tipuan untuk melenyapkan dirinya, akan
tetapi dia tetap ikhlas menjalankan itu semua. Bima bersedia untuk melepaskan
individualitasnya sendiri dan mencocokan diri ke dalam keselarasan agung alam
semesta sebagaimana yang sudah ditentukan Yang Maha Esa.
Selain ikhlas, ia pun nrima apa yang diperintahkan dan yang akan
terjadi pada dirinya, tanpa protes dan pemberontakan. Sikap Nrima berarti bahwa
orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitanpun bereaksi dengan rasional,
tidak ambruk, dan juga tidak menentang secara percuma. Sikap nrima menuntut
kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dihindarkan tanpa membiarkan
diri dihancurkan olehnya.45
Sikap itu bisa digambarkan dalam kisah Dewaruci, saat Bima
menghadapi kedua raksasa Rukmuka dan Rukmakala, dan saat menghadapi naga
di tengah samudera, dengan penuh keyakinan akhirnya Bima pun berhasil
45
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan
Hidup JawaI, h. 143.
72
mengalahkan kedua makhluk tersebut. Sikap ikhlas dan nrima inilah yang
terdapat dalam diri Bima.46
3. Berserah Diri kepada Tuhan
Sama halnya dengan seorang salik atau orang yang telah bertekad bulat
untuk menempuh jalan rohani. Bima dihadapkan kepada kebimbangan ujian yang
akan menghadapinya nanti. Bima memasrahkan dirinya kepada Dewata, manakala
akalnya sudah menemui kebuntuan.47
Aja sira kaya bocah// Janganlah kau seperti anak kecil
Den prayitna Wrêkudara nauri// hati-hati Bima menjawab
Heh Kurupati kakangku// hai Kurupati kakakku
Srahna marang jawata// serahkan saja kepada dewata
Aywa mêlang tumolih lilakna aku// jangan ragu dan relakan diriku
Aja nggrantes ing manah// jangan sedih hatimu
Pirang bara yen basuki// tentu aku akan selamat sampai tujuan.48
Wong anêdya puruita// orang yang ingin mengabdi
Ujar bêcik upama den alani// jika kebaikannya ditanggapi dengan
keburukan
Santosa ing bathara gung// yakinlah kepada Dewata Yang Agung
Ingkang nêdya bancana// yang mendatangkan bencana
Mangsa wurung nêmu wêwalês ing pungkur// kelak tentu akan
mendapatkan balasan
Punagi ing aturira// begitu pula dikatakan
Marang prabu Harimurti// kepada Prabu Harimurti.49
Naskah di atas menjelaskan bahwa apapun yang akan terjadi pada
Bima, ia tetap mengingat kepada Dewata, dengan menyerahkan diri kepada-Nya.
Menurut Ki Siswoharsojo, menyerah pada taraf itu maknanya, dengan keyakinan
46
Lihat, Serat Dewaruci, Pupuh Pangkur bait ke-19 dan 20, dan pupuh Durma (II) bait ke
17 dan 19. 47
Lihat, Yudhi AW, Serat Dewaruci: Pokok Ajaran Tasawuf Jawa, h. 119-123 . 48
Naskah Serat Dewaruci, Pupuh Pangkur, bait ke 32. 49
Naskah Serat Dewaruci, Pupuh Pangkur, bait ke 40.
73
yang mendalam (Haqqul Yaqin) apa yang akan terjadi, niscaya atas kehendak
Tuhan yang tak dapat dibatalkan.50
Inilah kesuksesan pertama bagi seseorang yang sedang menempuh
perjalanan menuju Tuhan. Tidak ada lagi rasa kekhawatiran di hati dan tak ada
pula duka cita dalam rasa, yang ada hanyalah kepercayaan dan kesetiaan kepada
Tuhan.
4. Menjaga Kerahasiaan
Menjaga kerahasiaan guru, merupakan hal yang sangat penting bagi murid
yang sedang menempuh pendidikan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Bima
dan Dewaruci, saat akan diberi wejangan oleh Dewaruci, Bima diminta agar ia
menjaga rahasia mengenai ilmu apa yang akan diajarkan padanya. Dialog ini
terdapat pada pupuh Dandanggula (II), bait ke 27.
Nora kêna lamun den rasani// Tidak boleh kau membicarakannya
Lan sasama-samaning manungsa// dengan sesamamu
Yen nora lan nugrahane// yang belum diberi anugerah ini
Yen ana nêdya padu// bila ada yang ingin membahas denganmu
Angrasani rêrasan iki// tentang ilmu rahasia ini
Bêcik den kalahana// lebih baik kau mengalah
Aywa kongsi kêbanjur// jangan bicara terlalu banyak
Aywa ngadekken sarira// jangan tinggi hati
Lan aywa krakêt marang wisayaning urip// jika engkau kecanduan racun
hidup ini
Balik sikapên uga// maka kuasailah.51
Inilah tugas murid kepada gurunya, yaitu menjaga kerahasiaan. Seorang
murid wajib menjaga rahasia batinnya kepada siapapun dan hanya membuka
50
Ki Siswoharsojo, Tafsir Kitab Dewarutji, h. 22. 51
Naskah Serat Dewaruci, Pupuh Dandanggula (II), bait ke 27.
74
rahasia tersebut kepada guru spiritualnya. Guru spiritual itulah yang akan
membimbing untuk terus melakukan pendakian rohani menuju semakin dekat
dengan Tuhan dan tidak boleh tergoda dengan semua buah-buahan spiritual yang
aneh dan unik (Karomah) di tengah-tengah pendakian spiritual tersebut.52
B. Makna Simbolik dalam Serat Dewaruci
Intisari dari cerita Dewaruci karangan Yasadipura I, bagi kalangan orang
Indonesia yang berasal dari daerah Jawa, disimpulkan sebagai istilah “Curiga
manjing warangka, warangka manjing curiga”, artinya, keris bersatu padu dalam
sarung keris, sarung keris bersatu padu dalam keris. Kesimpulan tersebut dapat
ditafsirkan sebagai berikut: keris (curiga) dapat diartikan sebagai sifat Ketuhanan
Yang Maha Esa dan sarung keris (warangka) dapat diartikan manusia. Sedangkan
manjing artinya masuk sampai tak dapat lepas, jadi bersatu padu. Dengan
demikian, curiga manjing warangka, warangka manjing curiga dapat ditafsirkan,
yaitu sifat Ketuhanan Yang Maha Esa bersatu padu dalam diri manusia, manusia
bersatu padu dalam sifat ketuhanan Yang Maha Esa.53
Hal inilah yang menjadi faktor utama Bima pergi mencari air kehidupan,
karena ia ingin mendapatkan ilmu sejati, agar bisa bersatu dengan Tuhannya.
1. Perjalanan Mencari Air Kehidupan
Bima diperintahakan oleh gurunya Resi Durna untuk mencari tirta prawita
sari. Tirta artinya air, prawita artinya permulaan atau maha guru, sedangkan sari
52
Lihat, Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik (Jakarta: Rajawali Pers,
2016), h. 86. 53
Lihat, Adhikara SP, Unio Mystica Bima, h. 43.
75
artinya keindahan atau inti. Dapat disimpulkan bahwa tirta prawita sari adalah air
yang menjadi gerbang untuk menuju keindahan. Bisa juga diartikan sebagai guru
sejati.54
Bima memegang teguh janji kepada sang guru untuk melaksanakan
perintahnya, meskipun berat dan banyak sekali rintangan, Bima lebih memilih
mati daripada tidak menepati janjinya. Dalam hal ini, kesetiaan dijunjung tinggi
oleh Bima. Kesetiaannya ternyata diuji juga oleh gurunya Resi Durna dan ia
berhasil melalui ujian kesetiaan itu. Kesetiaan Bima untuk mengikuti segala
petunjuk gurunya juga melambangkan disiplin kesempurnaan. Disiplin yang
sempurna pada akhirnya menghantar seseorang kepada apa yang didambakan
yang dilambangkan dengan tirta pawitra (air kehidupan). Manusia harus sampai
kepada sumber air hidupnya apabila ia mau mencapai kesempurnaan hidup.
Sumber air itu tidak ditemukan dalam alam luar, melainkan dalam diri manusia itu
sendiri.55
Kisah perjalanan Bima sebenarnya bermakna sebagai perjalanan dia
mengalahkan hawa nafsu dan keinginan-keinginannya untuk mendapat air suci.
Perjalanannya ke gunung Candramuka dan mengalahkan raksasa bermakna Bima
berhasil mengalahkan hawa nafsunya.56
Kisah Bima mencari tirta pawitra dalam
cerita Dewaruci, secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus
54
Yudhi Aw, Serat Dewaruci: Pokok Ajaran Tasawuf Jawa, h. 100. 55
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa, h. 116. 56
Yudhi Aw, Serat Dewaruci: Pokok Ajaran Tasawuf Jawa, h. 107-114.
76
menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya, atau pencaraian
sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup manusia).57
Secara maknawi, ungkapan “tujuan hidup” mengandung dua hal, pertama,
merupakan tujuan akhir, bila dikaitkan dengan suatu bentuk kegiatan dari
kehidupan, bisa diartikan sebagai tempat yang dituju dari kegiatan manusia.
Kedua, merupakan makna yang sebenarnya, adalah suatu aktivitas konkret dalam
hidup yang diarahkan dan betul-betul diusahakan dalam rangka meraih cita-cita.58
Serat Cabolek juga menjelaskan, bahwa lakon Dewaruci tidak saja
mengemukakan ajaran-ajaran yang memperinci hubungan antara manusia dengan
Tuhan dan dengan dunia nyata, serta dengan dirinya sendiri, tetapi juga mencoba
untuk menjelaskan apakah tujuan akhir dari keberadaan manusia di bumi ini dan
bagaimana ia dapat mencapainya. Kisah Bima mencari air kehidupan, dalam
pandangan orang Jawa dipahami bahwa untuk mencapai tujuan hidup, manusia
harus menghadapai berbagai halangan dan kesukaran, dan kesukaran-kesukaran
ini hanya akan dapat diatasi bila manusia memiliki tekat yang teguh didasarkan
atas kejujuran, keikhlasan dan kesetiaan pada tujuan-tujuan itu.59
Kisah Dewaruci menjelaskan bahwa, air kehidupan adalah tujuan akhir
mistik yakni pamoring kawula-gusti atau manunggaling kawula gusti, yang
berarti persatuan antara abdi dengan Tuhan. Tetapi dalam kerangka tema dasar
dari cerita-cerita religius Jawa, tujuan akhir dari manusia adalah merenungkan
57
Imam Musbikin, Serat Dewa Ruci: Misteri Air Kehidupan, h. 208. 58
Imam Musbikin, Serat Dewa Ruci: Misteri Air Kehidupan, h. 130. 59
Lihat, Soebadri, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan (Pengadilan K.H. A.
Mutamakin dan Fenomena Shaikh Siti Jenari), terj. Enoch Machmud dan Mahpudi (Bandung:
Penerbit Nuansa, 2004), h. 66.
77
Tuhan semata-mata melalui pensucian tubuh dan jiwa dari semua keburukan dan
penaklukan semua keinginan yang membawa manusia kepada kesesatan, sehingga
dalam kesadaran mistiknya itu tidak ada yang lain kecuali Tuhan.60
Inti dari pencapaian tujuan itu (Unio Mystica) adalah harus dengan kondisi
baik dan suci. Sedangkan kesucian hanya dapat diwujudkan dengan perjuangan,
dan perjuangan itu hanya bisa dilakukan di dunia, itulah yang harus dilakukan
oleh Bima atau manusia lainnya untuk mendapatkan tujuan hidupnya, yaitu
bersatu dengan Tuhan.
2. Menemukan Jati Diri: Manunggaling Kawula Gusti
Imam Musbikin menjelaskan bahwa, Manunggaling kawula Gusti
bukanlah suatu ajaran, melainkan suatu pengalaman. Yakni, pengalaman yang
benar-benar nyata bagi siapa saja yang pernah mengalaminya. Pengalaman ini
berupa penyatuan diri dengan Yang Maha Kuasa. Ada pula istilah lain sebagai
padanannya, yaitu “peleburan”.61
Bima saat bertemu dengan Dewaruci, mengalami hal yang luar biasa, dia
berhasil mendapatkan ajaran rahasia agar tercapai tujuan hidupnya. Paham
mengenai tujuan hidup manusia (sangkan-paran) hanya dapat tercapai apabaila
dijadikan tujuan satu-satunya dan manusia bersedia melawan segala godaan alam
luar, bahkan mempertaruhkan nyawanya sebagaimana hal yang dilakukan oleh
Bima.
60
Soebadri, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan (Pengadilan K.H. A. Mutamakin
dan Fenomena Shaikh Siti Jenari), Terj. Enoch Machmud dan Mahpudi, h. 67. 61
Imam Musbikin, Serat Dewa Ruci: Misteri Air Kehidupan, h. 138.
78
Manusia semacam ini telah mati bagi alam luar, dan mencapai hidup yang
benar, terhindar dari godaan hawa nafsu. Seperti yang sudah penulis jelaskan
diatas, ini termasuk salah satu ajaran yang diberikan oleh Dewaruci, yaitu mati
sajaroning urip, urip sajroning mati (mati dalam hidup, dan hidup dalam mati).62
Dewaruci menerangkan kepada Bima mengenai wujud tertinggi, di mana
ia hanya sadar tentang Tuhan dengan alam semestanya dan akhirnya memeroleh
rasa Ilahiah dari ke-Esaan Tuhan dengan alam semestanya dan dengan dia sendiri.
Pencapaian mistik inilah yang dikenal dalam bahasa Jawa: pamoring Kawula-
Gusti.63
Dalam hubungan ini dikatakan bahwa Tuhan dan manusia adalah satu,
hanyalah seperti bayangan pada sebuah cermin, yaitu refleksi dari benda yang ada
di depan cermin tersebut. Yang berdiri di depan cermin adalah manusia. Dalam
ajaran Dewaruci Hyang Sukma adalah satu dalam asal manusia dan dia dapat
ditemukan dalam semua manusia dan di alam semesta.
Seseorang yang mendapatkan pengalama mistik, ia harus merahasiakan
dan tidak diperlihatkan kepada orang-orang lain. Seperti yang tercantum dalam
Serat Dewaruci, pada bagian Dandanggula (II), bait ke-27. Dalam bait tersebut
Dewaruci menjelaskan bahwa seseorang yang telah memperoleh realisasi dari
persatuan dengan Tuhan harus tetap dalam keadaan waspada dan menanggalkan
sikap bangga dan congkak, yaitu sifat-sifat yang sangat berbahaya.64
62
Lihat, Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa, h. 117 63
Soebadri, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan (Pengadilan K.H. A. Mutamakin
dan Fenomena Shaikh Siti Jenari), terj. Enoch Machmud dan Mahpudi, h. 71. 64
Soebadri, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan. h. 68.
79
Demikianlah Bima dalam pertemuannya dengan Dewaruci menjadi
manusia baru, walaupun ia kembali kedalam kehidupannya yang biasa untuk
memenuhi kewajibannya. Dia telah berhasil mencapai eksistensi yang lebih
mendalam, dengan sendirinya hidupnya akan berubah, ia akan memiliki sikap-
sikap yang lain, yang lebih benar, lebih cocok dengan realitas yang sebenarnya.65
Hamid Nasuhi menjelaskan bahwa, setelah seseorang dapat menikmati
pengalaman pencerahan yang luar biasa, dia harus kembali kedunianya yang
semula. Ia tidak boleh berasyik-asyik sendiri pada dunia mistiknya, tetapi harus
kembali menapaki hidupnya yang nyata dan membawa kegembiraan bagi
sekeliling lingkungannya, sebagaimana tergambar betapa bahagianya saudara-
saudara Bima menyambut kedatangannya.66
Satu hal yang sangat ditekankan pada Serat Dewaruci adalah bahwa
pencapaian kesatuan antara dirinya (Bima maupun manusia lainnya) dengan
Tuhan tidak lain hanyalah dengan cara “laku” (perjuangan yang teguh serta
konsisten). Hal tersebut tampak pada perjuangan Bima yang tekun serta konsisten,
meski pun penuh dengan marabahaya dan dalam waktu yang cukup lama. Satu hal
yang diharapkan Bima dari perjuangannya itu, yaitu kesucian diri atau diri yang
baik. Sebab itulah syarat yang harus ada bagi dirinya, juga manusia lain, bila
menghendaki kesatuan.67
65
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa, h. 131. 66
Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci: Tasawuf Jawa Yasadipura I, h. 206. 67
Imam Musbikin, Serat Dewa Ruci: Misteri Air Kehidupan, h. 126.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Serat Dewaruci merupakan karya sastra yang mempunyai nilai filosofis
tinggi, yang memberikan pengajaran tentang cara-cara yang harus ditempuh untuk
mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu Manunggaling Kawula Gusti.
Salah satu hal yang bisa ditempuh untuk mendapatkan pengetahun
tertinggi, yaitu dengan cara hormat, patuh, dan taat menjalankan perintah guru.
Sikap itu bertujuan untuk membimbing manusia agar berjalan dengan baik
berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam tatanan masyarakat.
Etika murid kepada guru mempunyai peranan besar dalam mengatur
pola interaksi dalam prinsip hormat. Prinsip itu mengatakan bahwa setiap orang
dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat
terhadap orang lain, terutama hormat kepada guru yang menjadi pembimbing
dalam menempuh jalan spiritual.
B. Saran-Saran
Penulis berharap bahwa skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak,
khusunya bagi penulis sendiri, dan umumnya bagi para pembaca. Selain itu
dengan adanya karya ini, diharapkan dapat memberikan gambaran serta
pemahaman kepada pembaca tentang pentingnya etika saat menuntut ilmu,
terutama etika kepada guru.
81
Mengingat kekayaan budaya Indonesia merupakan hal yang sangat
menarik untuk dikaji, terutama mengenai karya sastra yang dikarang oleh Para
Pujangga, salah satunya adalah Serat Dewaruci, karya ini memberikan
pengetahuan mengenai filosofis atau pandangan manusia, khusunya masyarakat
Jawa, dengan menyuguhkan unsur Islam yang kental, karya sastra ini bisa
menambah kekayaan khazanah intelektual Islam.
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, terlepas dari
keterbatasan yang dimiliki, hasil penelitian ini diharapkan mempunyai implikasi
yang luas untuk penelitian selanjutnya dengan topik serupa. Kritik dan saran dari
pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan penelitian ini di
kemudian hari.
82
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Abdullah, M. Yatimin. Pengantar Studi Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006.
Al-‘Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. Syarah Adab dan Manfaat
Menuntut Ilmu. Terj. Ahmad Sabiq. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
2005.
Al-Jaili, Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim. INSAN KAMIL: Ikhtiar Memahami
Kesejatian Manusia dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman. Terj.
Misbah El Majid. Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005.
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak). Terj. K.H. Farid Ma’aruf, judul asli Al-
Akhlaq, Cet. III. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Anwar, Rosihan. Akidah Akhlak. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Asmaran AS. Pengatar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992.
Assegaf, Abd. Rachman. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan
Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Ba’athiyah, Muhammad Ali. SULUK: Pedoman Memperoleh Kebahagiaan
Dunia-Akhirat. Terj. Hasan Suaidi. Bantul: CV. Layar Creative
Mediatama, 2015.
Barsihannoor. Etika Islam. Makassar: University Alauddin Press, 2012.
Burhanuddin, Jajat. Wacana Baru Islam-Jawa. Studia Islamika Vol.5, No. 2,
1998.
Chittick, William. Jalan Cinta Sang Sufi. Terj. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam.
Yogyakarta: Qalam, 2005.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia, 1982.
Edwin. Serat Dewa Ruci: Studi pemikiran Tasawuf Yasadipura I. Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, 2001.
83
Endraswara, Suwardi. Etika Hidup Orang Jawa: Pedoman Beretika dalam
Menjalani Kehidupan sehari-hari. Yogyakarta: NARASI, 2010.
--------. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya
Spiritual Jawa. Jogjakarta: Penerbit NARASI, 2004.
Hidayat, Komaruddin. Kontekstualisasi Islam dalam Sejarah. Jakarta:
Paramadina, 1996.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Penerbit Erlangga,
2006.
--------. Reaktualisai Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta Pusat: Baitul Ihsan, 2006.
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Ki Siswoharsojo. Tafsir Kitab Dewarutji. Jogjakarta: PT. JAKER Lodjiketjil,
1966.
Koencaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka,1994.
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Etika Berprilaku,
Bermasyarakat, dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an Tematik). Jakarta:
Lajnah Pentasihan Mushaf Al-Qur’an, 2009.
Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. Terj.
Musa Kazim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan, 2002.
M. Said. Etika Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
Mas’udi , Abdurrahman. Menuju Paradigma Islam Humanis. Yogyakarta: Gama
Media, 2003.
Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008.
Musbikin, Imam. Serat Dewa Ruci: Misteri Air Kehidupan. Jogjakarta: DIVA
Press, 2010.
Nasr, Seyyed Hossen. The Garden of Truth. Terj. Yuliani Liputo. Bandung:
Mizan, 2010.
Nasuhi, Hamid. Gagasan Mistik dalam Serat Dewa Ruci Karya Yasadipura I
(1729-1803): Tinjauan Tasawuf Falsafi. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
84
-------. Serat Dewaruci:Tasawuf Jawa Yasadipura I. Ciputat: Ushull Press-UIN
Jakarta, 2009.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press, 2002.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi-Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002.
-------. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid : Studi Pemikiran
Taswuf Al-Ghazali. Jakarta: Raja Grafindo, 2001.
Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja. Kepustakaan Jawa. Jakarta: Djambatan,
1957.
Praja, M. Sastra. Kamus Istilah Pendidikan Umum. Surabaya: Usaha Nasional,
1981.
Prawira, Abdullah Cipta. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Purwadi. Tasawuf Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2003.
Pujangga Surakarta. SERAT DEWARUCI: Kidung dari Bentuk Kakawin. Cet.II.
Semarang: Dahara Prize,1991.
Raharjo, Mudjia. Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Internasionalisme dan
Gadameria. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2008.
Robert Frager, Obrolan Sufi. Terj. Hilmi Akmal. Jakarta: Zaman, 2012.
Saifuroh, Siti Wahidah Hajar. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Kepribadian
‘Werkudara’-Deskripsi Wayang Kulit Purwa Lakon ‘Dewa Ruci’. Skripsi
Jurusan Tarbiyah, STAIN Purwokerto, 2014.
Salim, Abd. Mu’in. Metode Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.
Santoso, Imam Budhi. Manusia Jawa Mencari kebeningan Hati: Menuju Tata
Hidu-Tata Krama-Tata Prilaku. Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia,
2013.
Sastroamidjojo, A. Seno. Tjeritera Dewa Rutji. Jakarta: Penerbit KINTA, 1997.
-------.Tjeritera Dewa Rutji: Dengan Arti Filsafatnja. Cet.II. Jakarta: Penerbit
KINTA, 1967.
Shihab, Alwi. Akar Tasawuf di Indonesia. Depok: Pustaka IIMan. 2009.
85
Simuh. Mistik Islam Kejawen:R.Ng. Ranggawarsita. Jakarta: UI Press, 1988.
--------. Sufisme Jawa. Yogyakarta: Bentang, 1999.
Soebardi. Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan ( Pengadilan K.H. A.
Mutamakin dan Fenomena Shaikh Siti Jenar. Terj. Enoch Mahmud dan
Mahpudi. Bandung: Penerbit Nuansa, 2004.
SP Adhikara. Nawaruci. Bandung: Penerbit ITB, 1984.
--------. Dewaruci. Bandung: Penerbit ITB, 1984.
--------. Unio Mystica Bima: Analisis Cerita Bimasuci Jasadipoera. Bandung:
Penerbit ITB, 1984.
Sri Yunanto, Rohmad. Aspek Mistik dalam Serat Dewaruci. Skripsi Fakultas
Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia, 1991.
Teba, Sudirman. Etika dan Tasawuf Jawa -Untuk Meraih Ketenangan Jiwa.
Ciputat: Pustaka IrVan, 2007.
Widjajanti, Rosmaria Sjafariah. Etika. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008.
Ya’cub, Hamzah. Etika Islam. Jakarta: Publicita, 1978.
Yudhi AW. Serat Dewaruci : Pokok Ajaran Tasawuf Jawa.. Yogyakarta:
NARASI , 2012.
Zaprulkhan. Ilmu Tasawuf: SebuahKajian Tematik. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2016.
Zubair, Achmad Charris. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers, 1980.
LAMPIRAN
Naskah Serat Dewaruci Berkaitan Dengan Etika Murid Kepada Guru
Naskah Serat Dewaruci berbentuk tembang puisi ini secara keseluruhan
memuat 165 bait yang terdiri dari Dandanggula (I) 16 bait, Pangkur 44 bait,
Sinom 18 bait, Durma 32 bait, dan Dandanggula (II) 55 bait.
Naskah Serat Dewaruci yang berkaitan dengan Etika Hubungan Guru dan
Murid, diantaranya:
I. Dandanggula (I), yaitu pada bait :
1. Pada Pupuh Dandanggula bait ke-2, Adhikara SP, dalam bukunya
yang berjudul Dewaruci, menjelaskan mengenai Arya Sena atau
Werkudara berguru kepada gurunya, yaitu Guru Durna dan
diperintahkan oleh sang Guru untuk mencari air kehidupan. Tatkala
mendapatkan perintah itu, tanpa disengaja bertemu dengan
keluarganya akhirnya Werkudara meminta ijin kepada keluarganya
untuk melakukan perjalanan. Dalam kisah itu Werkudara disuruh Resi
Durna mencari air suci, Tirtapawitra yang letaknya di hutan Tibrasara
di dalam gua bukit candramuka di kaki gunung Gadmadana.
Wrêkudara duk puruita mring// Werkudara ketika berguru kepada
Dhanyang Durna kinen ngupaya// Pendeta Durna disuruh mencari
Toya ingkang nuceake// air yang menyucikan
Marang sariranipun// atas dirinya
Wrêkudara mantuk wêwarti// Werkudara pulang memberi kabar
Maring nagri Ngamarta// ke negeri Amarta
Pamit kadang sêpuh// mohon diri kepada kakaknya
Sira prabu Yudisthira// yaitu Prabu Yudhistira
Kang para ri sadaya nuju marêngi// dan adik-adiknya semua
kebetulan
Aneng ngarsaning raka// sedang menghadap kakandanya.
2. Pada bait ke-3 dan ke-5, naskah ini menjelaskan mengenai niat
Werkudara untuk mencari air yang diperintahkan oleh gurunya, saat
membicarakan kepada sang kakak, namun Sri Darmaputra khawatir
akan keselamatan adiknya, karena dalam perjalanan mencari air itu
pasti banyak rintangan dan berbahaya. Niat Werkudara tak gentara
untuk mencari air kehidupan, ia rela bertarung nyawa demi
mendapatkan air itu. Walaupun keluarga pandawa banyak yang
menentang akan perjalanannya itu, Werkudara tak dapat dicegah demi
baktinya kepada sang guru. Bahkan saudara-saudaranya berpendapat
bahwa tugas yang biberikan itu adalah untuk mencelakakaknnya, dan
bahkan membinasakan para Pandawa. Sesungguhnya tugas itu
diberikan kepada kurawa untuk membinasakan Werkudara.
Rya Sena matur ing raka ji// Arya Sena berkata kepada kakanda raja
Lamun arsa kesah mamrih toya// bahwa ia akan pergi mencari air
Dening guru pituduhe// atas petunjuk gurunya
Sri Darmaputra ngungun// Sri Darmaputra heran
Amiyarsa aturing ari//mendengar penuturan adiknya
Cinipta prapteng baya// memikirkan marabahaya
Narendra mangun kung// sang raja menjadi berduka
Dyan satriya Dananjaya// Raden Satria Dananjaya
Matur nêmbah ing raka Sri narapai// berkata sambil menyembah
kakanda raja Punika tan sakeca// bahwa itu tidak baik. (bait ke-3)
Wrêkudara miyarsa nauri// Werkudara mendengar lalu menjawab
Ingsun mangsa kênaa den ampah// aku tak mungkin dapat dicegah
Matia umurku dhewe// kalaupun mati, itu ajalku sendiri
Wong nêdya mrih pinutus// aku ingin mencari yang diperintahkan
Panunggale Hyang Maha Suci// untuk bersatu dengan Yang Maha
Suci
Arya Sena saksana// Arya Sena segera pergi
Kalepat sumêmprung// diam dan sangat sedih
Sri Narendra Yudhistira// sang Prabu Yudistira
Miwah ari katiga ngungun tan sipi// dan ketiga adiknya termangu-
mangu
Lir tinêbak mong tuna// bagaikan kehilangan sesuatu. (Bait ke-5)
3. Pada bait ke-11 dan ke-12, dikisahkan setelah pamit kepada saudara-
saudarnya, tanpa disangka-sangka Werkudara datang ke istana dan bertemu
dengan Raja Astina, dan Resi Durna. Disitu pula Resi Durna menunjukan
kewibawaanya kepada sang murid, begitu pula Werkudara yang menunjukkan
sikap hormatnya kepada sang guru, serta memberi kepastian kepada gurunya
bahwa Werkudara bersedia pergi mencari air kehidupan. Resi Durnapun
langsung memberi penjelasan jikalau Werkudara berhasil menemukan air
kehidupan itu, hidup Werkudara akan sempurna serta unggul di seluruh jagad
raya. Mendengar penjelasan gurunya itu, Werkudara langsung meminta
petunjuk Gurunya agar bisa menemukan air tersebut.
Ebah kagyat kang samya alinggih// Terkejut semua yang hadir
Sri narendra Ngastina ngandika// Raja Astina berkata
Yayi den kapareng kene// adikku marilah kesini
Wrêkudara anjujug// Werkudara langsung menghadap
Dhanyang Durna sigra ngabêkti// Pendeta Durna seraya menyembah
Rinangkul jangganira// dirangkul lehernya
Babo suteng ulun// wahai anakku
Sira sida ngulatana// kau jadi pergi mencari
Ingkang tirta pawitra sucining ngurip// air jernih yang menyucikan hidup
Yen iku kapanggiha// jika itu kau temukan (bait ke-11)
Nirmala panggih wiseseng urip// Kau akan menguasai hidupmu
Wis kawêngku aji kang sampurna// kau kuasai ilmu kesempurnaan
Pinunjul ing jagat kabeh// akan unggul di seluruh jagad
Ngaubi bapa bijung// melindungi bapak ibumu
Mulya saking sira nak mami// kemuliaan datang darimu anakku
Linuwih ing tri loka// unggul di dalam Triloka
Langgêng ananipun// yang kekal abadi
Arya Sena matur nêmbah// Arya Sena berkata sambil menyembah
Inggih pundi prênahe kang tirta suci// di manakah tempatnya air suci itu
Nuntên paduka têdah// mohon aku diberi petunjuk. (bait ke-12)
4. Pada bait ke-13, Resi Durna memberi petunjuk bahwa air itu terdapat di hutan
Tibraksara. Resi Durna memerintahakan agar Werkudara mengikuti dan
memerhatikan petunjuk dari gurunya.
Prênahipun kang her adi êning// Di mana tempat air bening itu
Rêsi Durna mojar marang Sena// Pendeta Durna berkata kepada Sena
Adhuh sutaning sun angger// duhai anakku tercinta
Ênggoning kang tuya nung// letak air suci itu
Pan ing wana Tikbrasareki// di hutan Tikbrasara
Turutên tuduh ingwang// ikutilah petunjukku
Sangêt parikudu// harus diperhatikan
Nucekakên badanira// itu akan menyucikan dirimu
Ulatana soring Gandamadaneki// carilah di bawah gua Gandamadana
Ing wukir Candramuka// di gunung Candramuka.
5. Pada bait ke-14 dan ke-15, dikisahkan setelah mendapatkan petunjuk dari
Resi Durna, Werkudara segera memohon pamit dan menyembah kepada sang
guru dan saudaranya Suyudana, sebagai bukti hormat kepada mereka.
Saudara-saudara Werkudara mengkhawatirkan akan keselamtan dirinya
dalam menempuh perjalannanya. Dengan hati yang tenang, Werkudara
meyakinkan saudara-saudaranya itu, bahwa dia akan berhati-hati dan menjaga
dirinya.
Dhungkarana ingkang wukir-wukir// Carilah di gunung-gunung
Jroning guwa jro panggonanira// di dalam gua di situlah letaknya
Tuhu herning pawitrane// air suci yang sesungguhnya
Ing nguni-uni durung// belum pernah diceritakan
Ana kang wruh nggoning toya di// ada yang tahu tempat air suci itu
Trustha sang Wrêkudara// segera sang Werkudara
Pamit awotsantun// mohon pamit sambil menyembah
Mring Durna mring Suyudana// kepada Durna dan Suyudana
Angandika sira prabu Kurupati// Prabu Kurupati berkata
Yayi mas den prayitna// berhati-hatilah adinda. (bait ke-14)
Mbok kasasar denira ngulati// Meskipun tersesat dalam pencarian
Panggonane gawat tan têtela// tempatnya berbahaya sukar ditemukan
Wrêkudara lon ature// Werkudara menjawab pelan
Nora pêpeka ingsun// saya tidak akan lengah
Anglakoni tuduh sang yogi// menjalankan petunjuk sang Pertapa
Amêsat saking pura// meninggalkan istana
Sigra reh sumêngkut// dengan cepat dan terburu-buru
Kang maksih aneng jro pura// yang masih di dalam istana
Samya mêsem nateng Mandraka lingnya ris// pada tersennyum, Prabu
Mandraka berkata
Paran polahe ikal// bagaimana nantinya Werkudara. (bait ke-15)
II. Pangkur, yaitu pada bait:
1. Pada Pupuh Pangkur bait ke-1, dijelaskan Werkudara sudah berangkat
umenempuh perjalanan, tak ada sedikitpun rasa takut dan khawatir dalam diri
Werkudara, yang ada hanya kebahagiaan karena dia mengikuti dan
melaksanakan perintah gurunya.
Lampahe sang Wrêkudara// perjalanan Werkudara
Lajêng ngambah praptanireng wana dri// telah sampai di tengah hutan
Ririh ing reh gandrung-gandrung// pelan ia sangat ingin
Sukanireng wardaya// hatinya sangat gembira
Tirta êning pamungkas wekasing guru// mencari air jernih atas petunjuk guru
Tan nyipta bayaning marga// tak terpikir bahwa itu berbahaya
Kacaryan kang den ulati// ia bahagia atas apa yang dicari
2. Pada bait ke-11, diceritakan bahwa Werkudara sudah sampai di hutan
Tibraksara, dia mencari kesana kemari, akan tetapi dia tidak berhasil
menemukan air suci di hutan itu, sehingga menimbulkan kesedihan di
hatinya.
Wrêksa gêng-agêng kagêman// pohon-pohon besar diamati
Kaidêran mbalasan bosah-basih// berkeliling terus mencari
Prêhaning toya rinuruh// tempat air yang ditunjukkan
Dangu datan kapanggya// tapi lama sekali tidak ditemukan
Kawuwusa ditya kang wontên ing ngriku// diceritakan raksasa yang ada di
situ
Sang Rukmuka Rukmakala// Rukmuka dan Rukmakala
Kagyat denira miyarsi// terkejut mereka mendengar.
3. Pada bait ke-19 dan ke-20, dijelaskan di hutan itu Werkudara berhasil
mengalahkan kedua raksasa Rukmuka dan Rukmakala, yang tak lain adalah
jelmaan Batara Indra dan Batara Bayu yang dikutuk. Merekapun tanpa
menampakan wujudnya memperingatkan kepada Werkudara bahwa dia harus
mendapatkan petunjuk yang benar dalam menempuh perjalanannya
itu.Werkudara mendapatkan nasihat dari Batara Indra dan Batara Bayu,
terjadi perbedaan pendapat antara Werkudara dan Kedua batara itu. Sampai
akhirnya Werkudara memasrahkan, dia lebih baik mati, daripada tidak
berhasil menemukan air itu.
Tan katon kang duwe swara// tak tampak yang bersuara
Adhuh putuning sun liwat kaswasih// wahai cucuku yang sangat sedih
Ngupaya nora kêpangguh// mencari tetapi tidak menemukan
Tan antuk tuduh nyata// tidak memperoleh petunjuk yang benar
Ring prênahe kang sira upaya iku// di mana benda yang kau cari itu
Sangsayeku polahira// sungguh menderita dirimu
Wrêkudara duk miyarsi// Werkudara ketika mendengarnya. (bait ke-19)
Nauri sintên kang swara// Menjawab, siapa yang bersuara itu
Dene botên kaeksi dening kami// karena tidak kelihatan olehku
Punapa yun ngambil tuwuh// apakah ingin membunuhku
Kawula nggih sumangga// mari kupersilahkan
Lêhêng pêjah ngulati datan kêpengguh// lebih baik mati daripada tidak
menemukan(air)
Kang swara gumuyu suka// suara itu tertawa riang
Yen sira tambuh ing mani// bahwa kamu tidak mengetahui aku. (bait ke-20)
4. Pada bait ke-22 dan ke-27, di kisahkan kedua Batara Indra dan Bayu
memerintahkan agar Werkudara kembali ke Astina dan menanyakan ke Resi
Durna dimana tempat yang sesungguhnya air kehidupan itu berada.
Sesampainya di dalam istana, Werkudara disambut dan ditanya mengenai
hasil pencariannya. Werkudara menjelaskan bahwa dia tidak menemukan air
di gunung itu, melainkan menemukan dua raksasa. Werkudara menceritakan
kepada orang-orang yang ada di dalam istana mengenai kisahnya yang
berhasil mengalahkan kedua raksasa itu dan tidak berhasil menemukan air
yang dicari. Sampai akhirnya Werkudara meminta penjelasan kepada sang
guru, agar Resi durna memberikan petunjuk yang benar kepada dirinya.
Sira angulati toya// Engkau mencari air
Pituduhe Dhanyang Durna ing nguni// atas petunjuk Resi Durna itu
Nyata na banyu urip iku// memang benar ada air kehidupan
Tuture Rêsi Durna// seperti kata Resi Durna
Nanging nor ing kene panggonanipun// tapi bukan di sini tempatnya
Sira balia atasna// kembalilah kau ke Astina
Ênggone ingkang sayêkti// tanyakan tempat yang sebenarnya. (bait ke-22)
Rukmuka lan Rukmakala// Rukmuka dan Rukmakala
Sampun sirna kalih kawula banting// telah sirna keduanya kubanting
Dene ditya amrih lampus// agar raksasa itu lekas mati
Sikara ing kawula// karena mengganggu diriku
Wukir kabeh kabelengkrah tan katêmu// penjuru gunung aku obrak-abrik tak
ketemu
Paduka tuduh kang nyata// paduka harus memberi petunjuk yang jelas
Sampun amindho gaweni// tidak perlu berulang seperti ini. (bait ke-27)
5. Pada bait ke-28 dan ke-29, menceritakan Resi Durna bangga kepada
Werkudara, karena ia benar-benar mengikuti petunjuk gurunya dan tidak
menolak melaksanakan perintahnya. Akhirnya Resi Durna memberikan
penjelasan terkait letak yang sesungguhnya dimana air kehidupan itu berada.
Sebagai bukti kesungguhan Werkudara berguru ke Resi Durna, Werkudara
siap untuk mengikuti dan melaksanakan apapun perintah dari gurunya.
Sang Durna angrangkul sigra// Pendeta Durna segera memeluk
Babo-babo lagya ingsun ayoni// wahai kau yang sedang kuuji
Katêmênane ing guru// benar-benar mengikuti petunjuk guru
Mêngko wus kalampahan// kini telah terbukti
Nora mengeng ngantêpi tuduhing guru// tidak menolak melaksanakan
perintah guru
Iya mengko sun wewarah// nanti kuberi petunjuk
Ênggone ingkang sayêkti// tempat yang sebenarnya. (bait ke-28)
Iya têlênging samodra// Yaitu di tengah samudera
Yen sirestu ngguru pun bapa kaki// jika sungguh kau akan berguru kepadaku
Ngêsung têlêng samudra gung// masuklah ke dalam samudera luas itu
Wrêkudara turira// Werkudara menjawab
Sampun mênggah ing têlênging samudra gung// jangankan masuk ke dalam
lautan
Wontêna nginggiling swarga// di atas surga pun
Dhasar engkang sapta bumi// dan di lapisan bumi ke tujuh pun. (bait ke-29)
6. Pada bait ke-30, Werkudara meyakinkan kepada gurunya, Ia akan
menaruhkan hidup dan matinya demi melaksanakan perintah guru. Resi
Durna pun menjelaskan, jikalau dia mendapatkan apa yang di cari (air
kehidupan), kehidupan Werkudara dan orang tuanya akan mendaptkan
kehormatan.
Mangsa ajriha palastra// Aku tak takut mati
Anglakoni tuduh sang maha yakti// melaksanakan petunjuk paduka yang
benar
Iya babo suteng uluni// Durna berkata wahai anakku
Yen iku pinanggiha// jika itu kau temukan
Bapa kakinira kang wis padha lampus// orangtua dan kakekmu yang sudah
mati
Besuk uripe neng sira// kelak hidupnya ada padamu
Lan sira punjul ing bumi// dan kau akan menonjol di muka bumi.
7. Pada bait ke-32 dan 33, saat Werkudara akan berangkat ke samudera untuk
mencari air kehidupan, lagi-lagi keluarga dan saudaranya tidak setuju dan
mengkhawatirkan keselamatannya. Dia meyakinkan kepada kakaknya Kurupati,
bahwa dia akan selamat sampai tujuan dan dia harus merelakan kepergian dirinya
(Werkudara), dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Dewata. Saat kepergian
Werkudara, anggota keluarganya hanya bisa mendo’akan agar di setiap
langkahnya direstui oleh Dewa Yang Agung. Dengan rasa hormat, werkudara
pamit kepada Resi Durna dan kakaknya untuk meninggalkna istana.
Aja sira kaya bocah// Janganlah kau seperti anak kecil
Den prayitna Wrêkudara nauri// hati-hati Werkudara menjawab
Heh Kurupati kakangku// hai Kurupati kakakku
Srahna marang jawata// serahkan saja kepada dewata
Aywa mêlang tumolih lilakna aku// jangan ragu dan relakan diriku
Aja nggrantes ing manah// jangan sedih hatimu
Pirang bara yen basuki// tentu aku akan selamat sampai tujuan.(bait ke- 32)
Ya yayi muga antuka// Ya adikku semoga berhasil
Lakunira pitulungging dewa di// langkahmu mendapat restu Dewa Yang
Agung
Pamit Arya Sena sampun// Arya sena mohon diri
Mring Durna mring sang nata// kepada Durna dan sang raja
Ing Ngastina sigra mêsat lampahipun// di Astina segera ia pergi
Saking pura pan wus medal// keluar dari istana
Nêdya amantuk rumiyin// untuk pulang lebih dahulu. (bait ke-33)
7. Pada bait ke-39, 40, dan 44, diceritkakan Werkudara pulang untuk mohon
pamit kepada Raja Kresna dan para Pandawa, mereka tidak dapat mencegah
kepergian Werkudara untuk mencari air kehidupan, padahal keluarga para
Pandawa sudah mengetahui bahwa perintah Resi Durna ke Werkudara itu
hanyalah tipuan, mereka hanya bisa memasrahkan kepada Dewata Yang
Agung. Prabu Harimurti, meyakini bahwa orang yang ingin mengabdi, jika
kebaikannya ditanggapi dengan keburukan, pasti akan menimbulkan bencana,
dan mendapatkan balsan dari Dewata Yang Agung. Akhirnya dengan penuh
rasa hormat,Werkudara pamit kepada Kresna, bahwa dia akan melakukan
perjalanan ke tengah samudera untuk mencari air kehidupan.
Ngandika narendra Krêsna// Berkata Raja Kresna
Yayi prabu aywa sungkaweng galih// dinda Prabu janganlah bersedih hati
Polahe arinireku// tingkah polah adik kita
Ki Arya Wrêkudara// Arya Werkudara
Nadyan silih yêktining pangapus// mencari air suci sesungguhnya tipuan
Ing tingkah Kurawa cidra// oleh para Kurawa yang curang
Den pasrah ing bathara di// pasrahkan saja kepada Dewata Yang Agung.
(bait ke-39)
Wong anêdya puruita// orang yang ingin mengabdi
Ujar bêcik upama den alani// jika kebaikannya ditanggapi dengan keburukan
Santosa ing bathara gung// yakinlah kepada Dewata Yang Agung
Ingkang nêdya bancana// yang mendatangkan bencana
Mangsa wurung nêmu wêwalês ing pungkur// kelak tentu akan mendapatkan
balasan
Punagi ing aturira// begitu pula dikatakan
Marang prabu Harimurti// kepada Prabu Harimurti. (bait ke-40)
Marang pambujananira// Kepada yang sedang berpesta
Karyaning sun mung arsa tur upeksi// kedatanganku hanya ingin memberi
kabar
Pan iya nuli awangsul// aku harus segera pergi
Miwah mring sira Krêsna// dan kepadamu Kresna
Pan kaparêng ingsun iki aweh wêruh// izinkan aku memberi tahu
Arsa mring têlêng samodra// aku akan ke tengah samudra
Ngupaya sinoming warih// mencari air suci. (bait ke-44)
III. Sinom, yaitu pada bait:
1. Pada bait ke-1 dalam Pupuh Sinom, dijelaskan adik-adik Werkudara
melarang dia (Werkudara) menjalankan tugasnya karena pada dasarnya itu
bukan tugas yang sebenarnya, melainkan hanya tipuan dari pihak Kurawa.
Ing tuduhe Dhanyang Durna// Atas petunjuk Pendeta Durna
Angulati toya urip// mencari air kehidupan
Nggone têlênging samodra// tempatnya di tengah samudra
Iku arsa sun lakoni// itu akan kulaksanakan
Matur kang para ari// berkatalah adik-adik Senan
Adhuh kangmas sampun sampun// aduh kakanda jangan lakukan
Punika dede lamba// itu bukan tugas
Tan pantês dipun lampahi// tidak patut dilaksanakan
Duk miyasa njêtung prabu Yudhistira// mendengar itu Prabu Yudistira
tertegun.
2. Pada bait ke-7 dan ke-11, diceritakan bahwa Werkudara telah meninggalkan
kota dan sedang menempuh perjalanan. Ia tidak menghiraukan orang-orang
sekitar dan tidak memikirkan bahaya yang menghadang, yang terpenting
adalah tercapai tujuan hidupnya, yaitu mendapatkan air kehidupan. Saat
menempuh perjalanan, bukan hanya keluarga dan saudara-saudaranya yang
khawatir dan memberi isyarat bahwa perintah itu adalah tipuan, melainkan
makhluk hidupun seperti matahari dan burung mengisyaratkan pula bahwa
perintah Resi Durna tidaklah menunjukkan keselamatan, melainkan
mencelakakan.
Sahira saking jro kuta// Sena telah meninggalkan kota
Nulya sruh manjing wan dri// segera masuk ke dalam hutan
Tan kesthi durgameng awan// tak terpikirkan bahaya di jalan
Tan ana baya kaeksi// tak ada bahaya dilihatnya
Sagung wong têpis wiring// orang-orang di pinggiran
Gawok ing pandulunipun// semua heran mendengarnya
Lampahe Arya Sena// langkah Arya Sena
Lir naga krurangajrihi// seperti naga yang sangat menakutkan
Anyang baya amrih tuhuning agêsang// menerjang bahaya agar tercapai
tujuan hidupnya. (bait ke-7)
Diwasaning diwangkara// saat itu sang matahari
Titi sunya têngah wêngi// tidak muncul karena tengah malam
Kêdhasih munya timbangan// suara burung kedasih bersahutan
Musthikeng ganeya muni// mustika ganeya pun bernyanyi
Mangun onêng salwirning// menciptakan dengung di sekitarnya
Kadya mawarah mrih lampus// seolah-olah menyiratkan kematian
Upaya Dhanyang Durna// perintah pendeta Durna
Tan tuhu amrih basuki// tidaklah menunjukan keselamatan
Mawa kamandaka durgamaning awan// dengan siasat mencelakakan dalam
perjalanan. (bait ke-11)
3. Pada bait ke-16, dengan keteguhan hatinyaWerkudara hanya ingin menjadi
murid yang taat dengan melaksanakan perintah gurunya, dia tidak ingin
pulang dan menarik ucapannya untuk melaksanakan perintah guru. Dia lebih
baik mati, daripada pulang tidak mendapatkan hasil.
Tuhu darma kamandaka// Mengikuti petunjuk yang sesat
Tuduhira sang maharsi// petunjuk sang maharesi
Yen wangsula arda merang// tidak ingin pulang menentang
Kangên ujarireng uni// apa yang telah diucapkannya
Suka matiyeng tasik// lebih baik mati di laut
Mangkana wau kadulu// demikianlah ia melihat
Palwa awarna-warna// berbagai bentuk perahu
Kumêrab ing jalanidhi// beriring di atas lautan
Ting karêtap kadya wancak sumamburat// gemerlapan seperti belalang
bersinar.
IV. Durma, yaitu pada bait:
1. Pada Pupuh Durma, bait ke-1, dikisahkan Werkudara sudah sampai di
samudera, dia rela mati, tanpa berpikir panjang Werkudara langsung
memasuki samudera dan tidak lagi memikirkan marabahaya yang
mengancam nyawanya.
Musthi ing tyas sira Arya Wrêkudara// Hati Werkudara tak lagi memikirkan
Ing baya tan kaeksi// marabahaya yang dihadapi
Yen tan amanggiha// jika tidak dapat menemukan
Toya reh tirta marta// air yang jernih
Tan wrin palastra ing tasik// dari dasar samudera yang mengerikan
Mangsah mbêg pêjah// lebih baik mati
Cancut gumrêgut manjing// segera dia memasuki samudera.
2. Pada bait ke-12, Werkudara hanya bisa memasrahkan kepada Dewata yang
Agung, semuanya atas kuasanya.Karena dia sendiri tidak tahu hakikat dari
yang dicarinya, yang ada di pikirannya, hanya dia melaksanakan perintah
gurunya.
Dinuta tan uninga jatining lampah// Disuruh tapi tak tau hakikat tugasnya
Tirta marta maêning// air kehidupan yang jernih
Mapan tan pangarah// tak diketahui tempatnya
Tirta kang wruh ing tirta// hanya air yang tahu tentang air
Suksma-sinuksma mawingit// suksma berjiwa penuh rahasia
Tangeh manggiha// tak mungkin ditemukan
Yen tan nugraha yêkti// bila tanpa anugerah yang sebenarnya.
3. Pada bait ke-17 dan ke-19, singkat cerita setelah dia berhasil mengalahkan
naga dengan kuku pancanajanya di tengah samudera, akhirnya dia bertemu
dengan sang Dewaruci. Ia merasa heran dengan sosok yang dijumpainya.
Setelah Dewaruci menanyakan kedatangan Werkudara, Dewaruci pun
menjelaskan mengenai kehidupannya. Sambil tertegun, Wekudara sangat
kagum mendengar penjelasan dari Dewaruci.
Yata malih wuwusên sang Wrêkudara// Kembali dikisahkan Sang Werkudara
Neng têlênging jaladri// yang masih di tengah samudera
Sampun pinanggihan// sudah bertemu
Awarni dewa bajang// dewa kerdil berambut panjang
Pêparabe dewa Ruci// bernama Dewa Ruci
Lir lare dolan// seperti anak kecil bermain
Ngandike têtanya ris// dia bertanya lirih. (bait ke-17)
Amung godhong aking yen ana kumleyeng// Hanya daun kering tertiup angin
Tiba ing ngarsa mami// yang jatuh di hadapanku
Iku kang sung pangan// itulah yang aku makan
Yen nora nora nana// jika tidak ada tentu tidak makan
Nggariita tyasnya miyarsi// kagum sekali hatinya mendengar
Sang Wrêkudara// Sang Werkudara
Ngungun denya ningali// tertegun ia melihatnya. (bait ke-19)
4. Pada bait ke-20, 21, dan 23, diceritakan Werkudara berpikir akan makhluk
yang ditemuinya, berbadan kecil tetapi ucapannya sombong,seolah-olah
seperti pertapa yang mengetahui segalanya. Dewaruci menebak pikiran
Werkudara, yang tidak jelas dan memaksakan agar mendapatkan kemuliaan.
Werkudara pun bingung, apa maksud atas ucapannya itu. Dengan segala
kepasrahan hatinya, Werkudara mengikuti dan mendengarkan perkataan
Dewaruci, yang tanpa disangka-sangka Dewaruci mengetahui semua asal-
usul kehidupan Werkudara.
Dene bajang neng segara tanpa rowang// Anak berambut panjang di laut
tanpa kawan
Cilik amênthik-mênthik// tubuhnya kecil sekali
Iki ta wong apa// ini makhluk apa
Gêdhe sêjenthik ingwang// hanya sebesar kelingking
Pangucape sru kumaki// tapi ucapannya congkak
Ladak kumêthak// galak dan sombong
Dene tapa pribadi// berlagak seperti pertapa seorang diri. (bait ke-20)
Nora urup lan ciptamu paripaksa// Pikiranmu tidak jelas dan memaksa
Sêdya kaluhuran// demi menggapai kemuliaan
Kene mangsa anaa// yang tak mungkin ditemukan di sini
Kewran sang Wrêkudara// Werkudara menjadi bingung
Sêsaurira// atas ucapan itu
Dene tan wruh ing gati// karena tidak tahu maksudnya. (bait ke-21)
Dadya alon Wrêkudara saurira// Akhirnya Werkudara menjawab pelan
Mangsa borong sang yogi// terserah kepada sang guru
Sang wiku lingira// Sang Wiku berkata
Lah iya sira uga//dan kau juga
Bebete sang hyang Pramesthi// keturunan Sang Hyang Pramesthi
Hyang Girinata// Hyang Girinata
Turase`pan sayêkti// keturunannya yang sejati. (bait ke-23)
5. Pada bait ke-26, 29, 30, Dewaruci pun mengatakan bahwa alasan dia
(Werkudara) menyelam ke dasar samudera, itu tak lain adalah atas perintah
gurunya Resi Durna, untuk mencari air kehidupan dan untuk mendapatkan
hal itu, banyak rintangan, dan begitulah sulitnya menjalani kehidupan.
Dikisahkan setelah Dewaruci menjelaskan hakikat dari asal yang dicari,
Werkudara mendengarkan ucapan Dewaruci dengan hormat dan
merendahkan diri. Mendengarkan kata-kata Dewaruci yang bijaksana,
Werkudara memohon dengan penuh hormat, agar Dewaruci memperkenalkan
dirinya yang sebenarnya.
Iya Dhanyang Durna akon ngulatana// Juga atas perintah Resi Durna mencari
Banyu rip tirta êning// air kehidupan berupa air jernih
Iku gurunira// gurumu itu
Pituduh marang sira// memberi petunjuk padamu
Yeku kang sira lakoni// itulah yang kau laksanakan
Mulane iya// itulah betapa
Angel pratingkah urip// sulitnya menjalani hidup ini. (bait ke-26)
Dlancang kuning den anggêp kancana mulya// Kertas kuning dikira emas
murni
Mêngkono ing ngabêkti// demikian pula orang beribadah
Yen durung washkita// bila belum paham
Prênahe kang sinêmbah// sesuatu yang harus disembah
Wrêkudara duk miyarsi// Werkudara ketika mendengar itu
Ndhêku nor raga// terduduk merendahkan diri
Dene wiku sidik// terhadap Sang Wiku yang bijaksana. (bait ke-29)
Sarwi sila sandika andikanira// Sambil bersila siap berujar
Sang Wrêkudara met sih// Werkudara meminta dengan hormat
Anuwun jinatyan// mohon diberi tahu
Sintên tan aran tuwan// siapakah tuanku sebenarnya
Dene neng ngriki pribadi// mengapa di sini sendirian
Sang Marbudyeng rat// Sang Marbudyengrat berkata
Ya ingsun dewa Ruci// akulah Sang Dewaruci. (bait ke-30)
6. Pada bait ke-31dan ke-32, setelah Werkudara mengenal Dewaruci,
Werkudara pun memohon kepada Dewaruci agar diberitahukan tentang
petunjuk yang benar. Karena Werkudara merasa dia tidak tahu apa-apa,
bagaimana cara agar dia bisa mensucikan dirinya. Werkudara pun
merendahkan dirinya, bahwa selama ini, dia masih banyak kekurangan, dan
perlu bimbingan agar kehidupannya terarah.
Matur alon pukulan yen makatêna// Sena lirih berkatab jika demikian
Pun patik anuwun sih// hamba memohon
Ulun inggih datan// hamba ingin tahu tentangg
Wruh puruiteng badan// petunjuk yang hamba perlukan
Sasat sato wana inggih// karena hamba ini seperti hewan liar
Tan mantra-mantra// yang tidak tahu doa-doa
Waspadeng badan suci// yang membuat hamba jadi suci. (bait ke-31)
Langkung mudha punggung cinacad ing jagat// Masih bodoh penuh cacat
Kesi-esi-ing bumi// menjadi celaan seisi bumi
Angganing curiga// aku bagaikan tubuh keris
Ulun tanpa warangka// yang tak memiliki sarung
Wacana kang tanpa siring// bercakap tanpa tahu batas
Yat ngandika// berkatalah
Manis sang Dewaruci// dengan lembut Sang Dewaruci. (bait ke-32)
V. Dandanggula (II), yaitu pada bait :
1. Pada Pupuh Dandanggula (II), bait ke-1 dan ke-2, mendengar penuturan
Werkudara yang merendah, Dewaruci pun akhirnya menyuruh Werkudara
untuk masuk ke dalam perutnya. Akan tetapi dengan penuh rasa hormat,
werkudara meragukan perkataanya Dewaruci, dan mustahil tubuhnya masuk
ke dalam badan Dewaruci yang kecil. Dewaruci pun akhirnya memberikan
gambaran mengenai bumi dan seisinya kepada Werkudara, bahwa tidak ada
yang mustahil. Mendengar ucapannya itu, Werkudara tidak mampu menolak
dan masuklah Werkudara.
Lah ta mara Wrêkudara aglis// Segeralah kemari Werkudara
Lumêbua gua garbaningwang// masuk ke dalam perutku
Wrêkudara gumuyu// Werkudara tertawa
Sarwi ngguguk turira aris// sambil terbahak menjawab hormat
Dene paduka bajang// tuan ini bertubuh kecil
Kawula gêng luhur// saya bertubuh tinggi-besar
Inggih pangawak prabata// tubuhku sebesar gunung
Saking pundi marganing kawula manjing// dari mana saya harus masuk
Jênthik mangsa sêdênga// kelingking pun tak dapat masuk. (bait ke-1)
Angandika malih Dewaruci// Dewaruci berkata lagi
Gêdhe êndi sira lawan jagat// mana lebih besar, kamu atau dunia
Kabeh iki saisine// dan semua isinya
Kalawan gunungipun// sekalian gunung-gunungnya
Samodrane alase sami// laut-laut dan hutan-hutannya
Tan sêsak lumêbua// tidak sesak masuk
Guwa garbaning sun// ke dalam perutku
Wrêkudara duk miyarsa// Werkudara setelah mendengar
Esmu ajrih kumêl sandika turneki// agak takut menyatakan mau
Mengleng sang Dewaruci // berpalinglah sang Dewaruci. (bait ke 2)
2. Pada bait ke-3, 4, 6, dikisahkan Werkudara masuk ke dalam perut Dewaruci
melalui telinga kirinya. Sesampainya di dalam perut, Werkudara melihat laut
luas yang tak bertepi. Dewaruci pun memastikan apa yang dilihat Werkudara
disana. Werkudara menjelaskan bahwa ia berjalan di angkasa raya dan tidak
tahu tujuan, serta tidak mengetahui mana arah mata angin. Dengan
kebingungan hatinya, Dewaruci pun segera menenagkan. Akhirnya Dewaruci
masuk menyusul Werkudara, teranglah semua pikiran Werkudara dan hatinya
pun menjadi tenang, semuanya berkat Dewaruci, yang membuat hati dan
pikirannya menjadi nyaman.
Iki dalan talingan ngong kering// Ini jalan masuk lewat telinga kiriku
Wrêkudara manjing siga-siga// Werkudara segera masuk
Wus prapta ing jro garbane// stelah tiba di dalam perutnya
Andulu samodra gung// ia melihat laut luas
Tanpa têpi nglangut lumaris// tanpa tepi jauh sekali ia berjalan
Lêyêp adoh katingal// tampak jauh terlihat
Dewaruci nguwuh// Dewaruci berteriak
Heh apa katon ing sira// hei apa yang kau lihat
Dyan sumaur sang Sena inggih atêbih// sena berkata bahwa sejauh ini
Tan wontên katingalan// tak ada yang tampak. (bait ke-3)
Awng-awang kang kula lampahi// Aku berjalan di angkasa raya
Uwung-uwung tebih tan kantênan// kosong dan luas tak terkira
Ulun saparane-parane// aku pergi kemana-mana
Tan mulat ing lor kidul// tak tahu mana utara dan selatan
Wetan kilen datan udani// tidak tahu timur dan barat
Ing ngandhap nginggil ngarsa// bawah, atas, dan depan
Kalawan ing pungkur// serta belakang
Kawula botên uninga// aku tidak tahu
Langkung bingung ngandhika sang dewa Ruci// bingung sekali, sang
Dewaruci berkata pelan
Aywa maras tyasira// jangan takut tenangkan hatimu. (bait ke-4)
Byar katingal nadhêp Dewaruci// Byar, tampaklah Dewaruci
Wrêkudara sang wiku kuwangwang// Werkudara melihat Sang Wiku
Umancur katon cahyane// bergelimang cahaya
Nulya wruh ing lor kidul// kemudian ia tahu utara selatan
Wetan kilen sampun kaeksi// timur barat pun sudah tahu
Nginggil miwah ing ngandhap// atas maupun bawah
Pan samoun kadulu// juga sudah diketahui
Apan andulu baskara// kemudian ia melihat matahari
Eca tyase miwang sang wiku kaeksi// nyaman hati melihat Sang Wiku
Aneng jagat walikan// dalam dunia sebalik. (bait ke-6)
3. Pada bait ke-6 dan ke-24, Dewaruci pun memerintahkan kepada Werkudara
untuk mengamati yang ada disekelilingnya, dengan penuh kesungguhan
Werkudara pun mengikuti perintah sang Guru. Setelah Werkudara masuk
bersama Dewaruci ke dalam perutnya Dewaruci, Werkudara diberikan ilmu
pengetahun mengenai kesejatian diri. Dengan segala hormat kepada sang
Guru, Werkudara pun meminta kembali agar ia diajarkan lebih jauh lagi dan
secara menyeluruh mengenai ilmu yang pasti. Apapun akan dia lakukan,
asalkan dia mendapatkan ilmu itu.
Dewaruci Susksma angling malih// Dewaruci Suksma berkata lagi
Payo lumaku andêdulua// jangan bergerak tetapi pandanglah
Apa katon ing dheweke// apa yang tampak olehmu
Wrêkudara umatur// Werkudara menjawab
Wontên warni kawan prakawis// ada empat macam warna
Katingal ing kawula// yang tampak olehku
Sadya kang wau// semua itu
Sampun datan katingalan// sekarang sudah lenyap
Amung kawan prakawis ingkang kaeksi// hanya empat warna yang dapat
kulihat
Irêng bang kuning pêthak// hitam, merah, kuning dan putih. (bait ke-6)
Datan kêna iku yen sira prih// Engkau tidak bisa mengamatinya
Lan kahanan kang samata-mata// dalam keadaan biasa
Gampang angel pirantine// pirantinya bisa mudah bisa sulit
Wrêkudara umatur// Wrekudara berkata
Kula nuwun pamêjang malih// aku mohon diajari lagi
Inggih kêdah uninga// karena ini harus saya pahami
Babar pisanipun// secara keseluruhan
Pun patik ngaturkên pêjah// aku siap menghadapi maut
Amêjanga anggen-anggen ingkang pesthi// ajari aku tentang pakaian (ilmu)
yang pasti
Sampun tuwan kangelan// janganlah paduka menolak. (Bait ke 24)
4. Pada bait ke-25 dan ke-26, Werkudara bersikukuh kepada Dewaruci, jika
Dewaruci tidak mau memberitahukan kepada dirinya, dia tidak mau keluar
dari tubuh Dewaruci karena ia sudah merasa senang tinggal disana. Dewaruci
pun menjelaskan bahwa Werkudara tidak bisa tinggal disana selamanya,
sebelum mengalami kematin. Akhirnya Dewaruci semakin tidak tega melihat
Werkudara, dia pun memberitahukan mengenai ajaran rahasia. Pada
hakikatnya, kita harus bisa mawas diri, dan menjauhkan segala prilaku yang
bisa membuat penyesalan dalam diri.
Yen makatên ulun botên mijil// Jika demikian saya tidak mau keluar
Sampun eca neng ngriki kewala// aku sudah senang tinggal di sini
Datan wontên sangsayane// tidak ada penderitaan
Tan iyat mangan turu// tidak ada keinginan makan dan tidur
Botên arip botên angelih// tidak mengatuk dan tidak lapar
Botên ngraos kangelan// tidak mengalami kelelahan
Botên ngêrês linu// tidak sakit-sakit ngilu
Amung nikmat lan mupangat// hanya ada kenikmatan dan manfaat
Dewaruci lingira iku tan kêni// Dewaruci berkata itu tidak bisa
Yen ora lan antaka// jika belum mengalami kematian. (bait ke-25)
Sangsaya sihira Dewaruci// Semakin iba Dewaruci
Marang kang kaswasih ing panêdha// atas permohonan sang kekasih
Lah iya den awas bae// jika demikian hati-hatilah
Mring pamurungring laku// terhadap hal-hal yang menggagalkan laku
Aywa ana karêmireki// jauhkan dari kesenangan hawa nafsu
Den bêner den waspada// jujur dan waspadalah
Panganggêpireku// dalam segala pikiranmu
Yen wis kasikêp ing sira// jika semua sudah kau kuasai
Aywa umuka den nganggo parah yen angling// jangan bangga dan hati-hatilah
berbicara
Iku reh pepingitan// itu adalah ajaran rahasia. (bait ke-26)
5. Pada bait ke-27, Dewaruci pun mengingatkan kembali Werkudara untuk tidak
memberitahukan kepada siapapun mengenai ajaran yang diberikan, serta dia
harus bisa menjaga ucapanya agar hilang kesombongannya.
Nora kêna lamun den rasani// Tidak boleh kau membicarakannya
Lan sasama-samaning manungsa// dengan sesamamu
Yen nora lan nugrahane// yang belum diberi anugerah ini
Yen ana nêdya padu// bila ada yang ingin membahas denganmu
Angrasani rêrasan iki// tentang ilmu rahasia ini
Bêcik den kalahana// lebih baik kau mengalah
Aywa kongsi kêbanjur// jangan bicara terlalu banyak
Aywa ngadekken sarira// jangan tinggi hati
Lan aywa krakêt marang wisayaning urip// jika engkau kecanduan racun
hidup ini
Balik sikapên uga// maka kuasailah.
BIOGRAFI PENULUS
Nama : Teti Pujiawati
TTL : Karawang, 12 Mei 1993
Alamat : Dusun Lampean I, RT/RW 01/05, Kelurahan Kedawung, Kecamatan
Lemahabang, Kabupaten Karawang-Jawa Barat.
Email : [email protected]