Epidural Hematom
-
Upload
riskaandriyani -
Category
Documents
-
view
104 -
download
0
Transcript of Epidural Hematom
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah terutama Arteri meningea media
(paling sering) yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara
duramater dan tulang dipermukaan dalam os temporale.
Hematom epidural tanpa cedera lain biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea
media. Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan tanda atau gejala. Baru setelah
hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intra
kranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah, diikuti dengan penurunan
kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil
ipsilateral melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencepat maksimal dan reaksi
cahaya yang pada permulaannya masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan
tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang
dalam, pupil kontralateral juga mngalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan penunjang seperti foto rontgen
kepala. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis hematom epidural bila sisi fraktur
terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi
hematom.
Penatalaksanaan dilakukan dengan segera dengan cara trepanasi dengan tujuan
melakukan evakuasi hematom dan menghentikan perdarahan. (1,2)
Untuk melakukan pembedahan diperlukannya pertimbangan anastesi yang tepat.
Anastesi dapat dibagi menjadi dua yaitu umum dan lokal. Pada pasien yang akan dilakukan
craniotomi biasanya dilakukan tindakan anastesi umum. Anastesi umum adalah tindakan
menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang disertai hilang nya kesadaran dan dapat pulih
kembali (refersibel). Komponen anastesi ideal (trias anastesi) terdiri dari hipnotik, analgesi,
dan relaksasi. Trias anastesi ini dapat dicapai dengan menggunakan obat yang berbeda
secara terpisah. (8,9,10)
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Kata anestesi berasal dari bahasa yunani yang berarti keadaan tanpa rasa sakit. Anestesia
adalah suatu keadaan depresi dari pusat - pusat saraf tertentu yang bersifat reversible, dimana
seluruh perasaan dan kesadaran hilang. Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan
keselamatan pasien dioperasi atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), pearawatan
intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri manahun. (8,9,10)
2.2 Jenis-jenis anestesi
Secara garis besar anastesi dibagi atas :
1. Anestesi umum :
Tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias ideal terdiri dari
hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.
Cara pemberian anestesi umum :
Parenteral (IM/IV). digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi anestesi.
Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus tertentu dapat digunakan
ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anestesi parenteral
dikombinasikan dengan cara lain.
Perektal. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
Anestesi inhalasi. yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anesetsi
yang mudah menguap sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan. Zat
anestetik melalui udara pernapasan. Zat anestetik yang digunakan berupa
campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari
tekanan parsialnya.
2. Anestesi Lokal
Tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Pemberian anestetik lokal dapat dengan cara :
Anestesi permukaan 2
Yaitu pengolesan atau penyemprotan analgetik lokal diatas selaput mukosa
seperti mata, hidung atau faring.
Anestesi infiltrasi
Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan di sekitar tempat
lesi, luka atau insisi, Cara infiltrasi yang sering digunakan adalah blockade
lingkar dan obat disuntikkan intradermal atau subkutan.
Anestesi blok
Yaitu penyuntikan analgetika lokal langsung kesaraf utama atau pleksus saraf.
Misalnya anestesi spinal, anestesi epidural, anestesi kaudal.
Anastesi regional intravena
yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal intravena. Ekstremitas dieksanguinasi
dan diisolasi bagian proksimalnya dari sirkulasi sistemik dengan torniquet. (8,9,10)
2.3 Persiapan pra anastesi
Persiapan Praanestesi
Keadaan fisis pasien telah dinilai sebelumnya pada kunjungan praanestesi meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dll. Saat masuk ruangan operasi pasien dalam
keadaan puasa. Identitas pasien harus telah ditandatangani sesuai dengan rencana operasi
dan informed consent.
Dilakukan penilaian praoperasi. Keadaan hidrasi pasien dinilai, apakah terdapat
hipovolemia, perdarahan, diare, muntah, atau demam. Akses intavena dipasang untuk
pemberian cairan infus, transfusi dan obat-obatan. Dilakukan pemantauan elektrokardiografi
(EKG), tekanan darah (tensi meter), saturasi oksigen (pulse oxymeter), kadar CO2 dalam
darah (kapnograf), dan tekanan vena sentral (CVP). Premedikasi dapat diberikan oral, rectal,
intramuskular, atau intravena. (8,9)
Klasifikasi Status fisik
Berdasarkan American Society of Anesthesiologists ( ASA ) membuat klasifikasi pasien
menjadi kelas-kelas :
1) Pasien normal dan sehat fisis dan mental
2) Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional
3) Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
3
4) Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan keterbatasan fungsi
5) Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi
Bila operasi yang dilakukan darurat maka penggolongan ASA diikuti huruf E. (8,9)
Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I
Stadium I (analgesia) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi
(hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran
dan refleks bulu mata sampai pernafasan kembali teratur. Pada stadium ini terlihat
adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak,
menangis, menyanyi, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnoe dan hiperpnoe,
tonus otot rangka meningkat, inkotinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi
serta takikardia. Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian.
Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana, yaitu:
Plana I : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan
bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks cahaya ada, refleks
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai
relaksasi otot lurik yang sempurna ( tonus otot mulai menurun).
Plana II : Pernapasan teratur, spontan, perut dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang dan refleks laring
hilang sehingga dapat diketjakan intubasi.
4
Plana III : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritonium
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana IV: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana IV. Pada stadium ini tekanan darah tidak
dapat diukur,denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan
pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan. (8)
Peralatan
Peralatan anestesi adalah alat-alat anestesi yang digunakan umtuk menghantarkan
oksigen dan obat anastetik inhalasi, mengontrol ventilasi, serta memonitor fungsi peralatan
tersebut.
Mesin anestesi merupakan peralatan anestesi yang sering digunakan. Secara umum mesin
anestesi terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan, yaitu:
a) Komponen 1. yaitu sumber gas, penunjuk aliran gas (flow meter), dan alat penguap
(vaporizer)
b) Komponen 2. Meliputi sistem napas, yang terdiri dari sistem lingkar dan sistem
magill.
c) Komponen 3. Alat yang menghubungkan sistem napas dengan pasien, yaitu
sungkup muka (face mask), pipa endotrakea (endotrakeal tube).
Semua komponen mesin anestesi harus tersedia tanpa memperhatikan teknik anestesi
yang akan dipakai sebagai persiapan untuk kemungkinan pemakaian anestesi umum, selain
itu sumber oksigen dan peralatan bantu ventilasi (self- inflating bag seperti ambu bag)
harus tersedia untuk semua prosedur anestesi. (8)
2.4 Anastesi Umum
5
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi ideal (trias
anestesi) terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Trias anestesi ini dapat dicapai
dengan menggunakan obat yang berbeda secara terpisah. Teknik ini sesuai untuk pembedahan
abdomen yang luas, intraperitonium, toraks, intrakranial, pembedahan yang berlangsung lama,
dan operasi dengan posisi tertentu yang memerlukan pengendalian pernapasan. (8)
2.4.1Induksi Anestesi
Premedikasi
Tujuan premedikasi adalah :
Menimbulkan rasa nyaman pada pasien
Memudahkan/memperlancarkan induksi,rumatan, dan sadar dari anestesi
Mengurangi jumlah obat-obatan anestesi
Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan muntah
Mengurangi keasaman lambung dan stress fisiologis
Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah:
1. Obat antikholinergik
2. Obat sedatif
3. Obat analgetik narkotik.
Pasien diusahakan tenang dan diberikan oksigen melalui sungkup muka. Obat-obat
induksi diberikan secara intravena seperti tiopental, ketamin, diazepam, midazolam, dan
propofol. Jalan napas dikontrol dengan sungkup muka atau pipa napas orofaring/nasofaring.
Setelah itu dilakukan intubasi trakea. Setelah kedalaman anestesi tercapai, posisi pasien
disesuaikan dengan posisi operasi yang akan dilakukan, misalnya telentang, telungkup,
litotomi, miring, duduk, dll.
a. Obat golongan antikholinergik
Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat
menekan/menghambat aktivitas kholinergik atau parasimpatis.
Tujuan utama pemberian obat antikholinergik untuk premedikasi adalah:
1. Mengurangi sekresi kelenjar:saliva,saluran cerna dan saluran nafas
2. Mencegah spasme laring dan bronkus.
6
3. Mencegah bradikardi
4. Mengurangi motilitas usus
5. Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas.
Obat golongan antikholinergik yang digunakan dalam praktik anastesia adalah preparat
Alkaloid belladonna yang turunnya adalah Sulfas atropine dan Skopolamin
Mekanisme Kerja
Menghambat mekanisme kerja asetil kholin pada organ yang diinervasi oleh serabut
saraf otonom para simpatis atau serabut saraf yang mempunyai neurotransmitter asetil kolin.
Alkaloid belladona menghambat muskarinik secara kompetitif yang ditimbulkan oleh
asetil kholin pada sel efektor organ terutama pada kelenjar eksokrin, otot polos dan otot jantung.
Khasiat sulfas atropine lebih dominan pada otot jantung , usus dan bronkus, sedangkan
skopolamin lebih dominan pada iris, korpus siliare dan kelenjar.
Efek terhadap susunan saraf pusat
Sulfas atropine tidak menimbulkan depresi susunan saraf pusat, sedangkan
skopolamin mempunyai efek depresi sehingga menimbulkan rasa ngantuk, euporia,
amnesia dan rasa lelah.
Efek terhadap respirasi
Menghambat sekresi kelenjar pada hidung, mulut, faring trakea, dan bronkus,
menyebabkan mukosa jalan nafas kekeringan, relaksasi otot polos bronkus dan
bronkhioli, sehingga diameter lumennya melebar akan menyebabkan volume ruang rugi
bertambah.
Efek terhadap kardiovaskular
Menghamabat aktivitas vagus pada jantung ,sehingga denyut jantung
meningkat,tetapi tidak berpengaruh langsung pada tekanan darah.pada hipotensi karena
reflex vegal, pemberian obat ini akan meningkatkan tekanan darah.
Efek terhadap saluran cerna
Menghambat sekresi kelenjar liur sehingga mulut terasa kering dan sulit
menelan, mengurangi sekresi getah lambung sehingga keasaman lambung bisa
dikurangi, mengurangi tonus otot polos sehingga motilitas usus menurun.
Efek terhadap kelenjar keringat.
Menghambat sekresi kelenjar keringat, sehingga menyebabkan kulit kering dan
badan terasa panas akibat pelepasan panas tubuh terhalang melalui proses evaporasi.
Cara pemberian dan dosis :
7
- Intramuscular dengan dosis 0,01 mg/kg BB, diberikan 30-45 menit
sebelum induksi.
- Intravena dengan dosis 0,005 mg/kg BB, diberikan 5-10 menit sebelum
induksi.
b. Obat golongan sedatif/trankulizer
Obat golongan sedative adalah obat-obat yang berkhasiat anti cemas dan menimbulkan
rasa kantuk. Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk memberikan suasana
nyaman bagi pasien prabedah,bebas dari rasa cemas dan takut, sehingga pasien menjadi
tidak peduli dengan linkungannya.
Untuk keperluan ini, obat golongan sedative/trankulizer yang sering digunakan adalah:
a. Derivate fenothiazin.
Derivate fenothiasin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah
propetazin.obat ini pada mulanya digunakan sebagai antihistamin.
Khasiat farmakologi.
Terhadap saraf pusat . Menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada
formasioretikularis dan hipotalamus menekan pusat muntah dan mengatur suhu obat ini
berpotensi dengan sedative lainnya.
Terhadap respirasi. Menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan menghambat
sekresi kelenjar.
Terhadap kardiovaskular. Menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat memperbaiki
perfusi jaringan.
Terhadap saluran cerna efek lain. Menurunkan peristaltik usus,mencegah spasme
mengurangi sekresi kelenjar, efek lainnya adalah menekan dekresi ketekolamin dan
sebagai antikholinergik.
Dengan demekian dapat disimpulkan bahwa khasiat propethazin sebagai obat
premedikasi adalah sebagai sedative, antiemetik, antikhonergik, antihistamin, bronkodilator
dan antipiretika.
Cara pemberian dan dosis
Intramuskular dengan dosis 1 mg/kg BB dan diberikan 30-45 menit sebelum induksi.
Intravena dengan dosis 0,5 mg/kg BB diberikan 5-10 menit sebelum induksi.
Kemasan dan sifat fisik. Dikemas dalam bentuk ampul 2 ml mengandung 50 mg tidak
berwarna dan larut dalam air.
b. Derivat benzodiazepine
8
Derivat benzodiazepine yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah diazepam dan
midazolam. derivat yang lain adalah klordiazepoksid, nitrazepam dan oksazepam.
Khasiat farmakologi :
Terhadap saraf pusat dan medulla spinalis.
Mempunyai khasiat sedasi dan anti cemas yang bekerja pada system limbic dan pada
ARAS serta bisa menimbulkan amnesia antero grad. Sebagai obat anti kejang yang bekerja pada
kornu anterior medulla spinalis dan hubungan saraf otot. pada dosis kecil bersifat sedative,
sedangkan dosis tinggi sebagai hipnotik.
Terhadap respirasi
Pada dosis kecil (0,2 mg/kg BB)yang diberikan secara intravena, menimbulkan depresi
ringan yang tidak serius. Bila dikombinasikan dengan narkotik menimbulkan depresi nafas yang
lebih berat.
Terhadap kardiovaskular
Pada dosis kecil,pengaruhnya kecil sekali pada kontraksi maupun denyut jantung, akan
tetapi pada dosis besar menimbulkan hipotensi yang disebabkan oleh efek dilatasi pembuluh
darah.
Terhadap saraf otot
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supra spinal dan
spinal, sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka seperti
pada tetanus.
Penggunaan klinis
Dalam praktik anastesia obat ini digunakan sebagai:
Premedikasi dapat diberikan intramuscular dengan dosis 0,2 mg/kg BB atau peroral
dengan dosis 5-10 mg.
Induksi diberikan intravena dengan dosis 0,2-0,6 mg/kg BB.
Sedasi pada analgesia regional diberikan intravena.
Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.
Pada pemberian intramuscular atau intravena, obat ini tidak bisa dicampur dengan obat
lain karena bisa terjadi resipitasi. Jalur vena yang dipilih sebaiknya melalui vena-vena besar
untuk mencegah flebitis.Pemberian intramuscular kurang disenangi oleh karena menimbulkan
rasa nyeri pada daerah suntikan.
9
Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam ampul 2 ml yang mengandung 10
mg ,berwarna kuning, sukar larut dalam air dan bersifat asam .kemasan oral dalam bentuk tablet
2 dan 5 mg, disamping itu ada kemasan supositoria atau pipa rectal (rectal tube)yang diberikan
pada anak-anak. sedangkan midazolam yang ada dipasaran adalah hanya dalam bentuk larutan
tidak berwarna, mudah larut dalam air dan kemasan dalam ampul (3 dan 5 ml) yang
mengandung 5 mg/ml.
c. Derivat butirofenon
Derivat ini disebut juga obat golongan neroleptika, karena sering digunakan sebagai
nerolitik. derivat butirofenon yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah
dehidrobenzperidol atau popular disebut DHBP.
Efek farmakologi
Terhadap saraf pusat
Berkhasiat sebagai sedative atau trankulizer.disamping itu mempunya khasiat khusus
sebagai anti muntah yang bekerja pada pusat muntah di “chemoreceptor trigger zone”. Efek
samping yang tidak dikehendaki adalah timbulnya rangsangan ekstrapiramidal sehingga
menimbulkan gerakan tak terkendali (Parkinson) yang bisa diatasi dengan pemberian obat anti
Parkinson.
Terhadap respirasi
Menimbulkan sumbatan jalan nafas akibat dilatasi pembuluh darah rongga hidung juga
menimbulkan dilatasi pembuluh darah paru. Sehingga kontraindikasi pada pasien asma.
Terhadap sirkulasi
Menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah perifer, sehingga sering digunakan sebagai
anti syok.tekan darah akan turun tetapi perfusi dapat dipertahankan selama volume sirkulasi
adekuat.
Penggunaan klinik
1. Premedikasi diberikan intramuscular dengan dosis 0,1 mg/kg BB.
2. Sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional
3. Anti hipertensi
4. Anti muntah
5. Suplemen anastesia.
Kemasan:
Dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml, mengandung 2,5 mg/ml . Tidak berwarna dan bisa
dicampur dengan obat lain.
10
d. Derivate barbiturate
Derivate barbiturate yang sering digunakan sebagai obat premedikasi
adalah :pentobarbital dan sekobarbital. Digunakan sebagai sedasi dan penenang pra bedah,
terutama pada anak-anak. Pada dosis lazim dapat menimbulkan depresi ringan pada respirasi
dan sirkulasi.
Sebagai premedikasi diberikan intramuscular dengan dosis 2 mg /kg BB atau per oral.
e. Preparat Antihistamin
Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah derivate
defenhidramin. Khasiat yang diharapkan adalah sedative, anti muntah ringan, dan anti piretik,
sedangkan efek sampingnya adalah hipotensi yang sifatnya ringan.
c. Golongan analgetik narkotik atau opioid
Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid, dibedakan menjadai 3
kelompok :
1. Alkaloid opium (natural) : morfin dan kodein
2. Derivate semi sintetik : diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oximorfon,
hidrokodon dan oxikodon.
3. Derivate sintetik
o Fenipiperidine : pethidin, fentanil, sulfentanyl dan alfentanyl.
o Benzomorfan : pentazosid, fenazosin dan siklazosin.
o Morfinan : lavorvanol
o Propionanilides : methadone
Tramadol
Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor-reseptor opioid yang
diketahui ada 4 reseptor, yaitu ;
1. Reseptor Mu
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. stimulasi pada reseptor ini akan
menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria, dan depresi respirasi
2. Reseptor Kappa
Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anastesia. Morfin
bekerja pada reseptor ini.
3. Reseptor sigma
11
Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil midriasis,
dan stimulasi respirasi.
4. Reseptor delta
Pada manusia reseptor ini belum diketahui dengan jelas.
Golongan narkotik ysng sering digunakan sebagai premedikasi adalah: pethidin dan
morfin. Sedangkan fentanyl digunakan sebagai suplemen anesthesia.
Efek farmakologi
Terhadap susunan saraf pusat
Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada thalamus dan subtansia gelatinosa
medulla spinalis, disamping itu narkotik juga mempunyai efek sedasi.
Terhadap respirasi
Menimbulkan depresi pusat nafas terutama pada bayi dan orang tua. Efek ini
semakin manifest pada keadaan umum pasien yang buruk sehingga perlu pertimbangan
seksama dalam penggunaannya. Namun demikian efek ini dapat dipulihkan dengan
nalorfin atau nalokson.
Terhadap bronkus, pethidin menyebabkan dilatasi bronkus, sedangkan morfin
menimbulkan constriksi akibat pengaruh pelepasan histamine.
Terhadap sirkulasi
Tidak menimbulkan depresi system sirkulasi, sehingga cukup aman diberikan
pada semua pasien kecuali oada bayi dan orang tua.
Pada kehamilan, narkotik dapat melewati barier plasenta sehingga dapat
menimbulkandepresi nafas pada bayi baru lahir.
Terhadap system lain
Merangsang pusat muntah, menimbulkan spasme spincter kandung empedu sehingga
menimbulkan kolok abdomen. Morfin merangsang pelepasan histamine sehingga dapat
menimbulkan rasa gatal seluruh tubuh atau minimal pada daerah hidung, sedangkan pethidin,
pelepasan histaminnya bersifat local ditempat suntikan.
Indikasi kontra
Pemberian narkotik harus hati-hati pada pasien orang tua atau bayi dan keadaan umum
yang buruk. Tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapatkan preparat pengghambat
monoamine oksidase, pasien asma dan penderita penyakit hati.
Efek samping atau tanda-tanda intoksikasi :
12
1. Memperpanjang masa pulih anesthesia
2. Depresi pusat nafas sehingga pasien bisa henti nafas
3. Pupil miosis
4. Spasme bronkus pada pasien asma terutama akibat morfin
5. Kolik bdomen akibat spasme spingter kandung empedu.
2.4.2 Rumatan Anestesi
Selama operasi berlangsung hal-hal yang dipantau adalah fungsi vital, pernapasan,
tekanan darah, nadi dan kedalaman anestesi, misalnya adanya gerakan, batuk, mengedan,
perubahan pola napas, takikardia, hipertensi, keringat, air mata, midriasis.
Ventilasi pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu, atau kendali tergantung jenis
lama dan posisi operasi. Cairan infus diberikan dengan memperhitungkan kebutuhan puasa
rumatan perdarahan evaporasi dan lain-lain. Jenis cairan yang dapat diberikan dapat berupa
kristaloid (Ringer Laktat, NaCl, Dextrosa 5%), koloid ( plasma expander, albummin 5%) atau
trensfusi darah bila perdarahan terjadi lebih dari 20% volume darah.
2.5 Pemulihan Pasca-Anestesi
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room) atau ke ruang
perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum ekstubasi dilakukan pada saat pasien dalam
anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum,
kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, sensibilitas nyeri, perdarahan dari drainage,
dll.
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi dan frekuensi pernapasan dilakukan paling
tidak setiap 5 menit dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15
menit. Pulse oxymetri dimonitor hingga pasien sadar kembali. Pemeriksaan suhu juga
dilakukan.
Seluruh pasien yang sedang dalam pemulihan dari anestesi umum harus dapat oksigen
30-40% selama pemulihan karena dapat terjadi hipoksemia sementara. Pasien yang memiliki
resiko tinggi hipoksia adalah pasien yang mempunyai kelainan paru sebelumnya atau yang
dilakukan tindakan operasi di daerah abdomen atau di daerah dada. (8)
13
2.6 Anatomi Kepala
A. Kulit Kepala (SCALP)
Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:
1. Skin atau kulit
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika adalah jaringan ikat berhubungan langsung
dengan tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar Merupakan tempat terjadinya
perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
5. Perikranium
B. Tulang Tengkorak
Terdiri Kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar dibagi 3 fosa :
1. Anterior tempat lobus frontalis
2. Media tempat lobus temporalis
3. Posterior tempat batang otak bawah dan serebelum
C. Meningen
Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :
1. Durameter
Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan tabula interna
atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya,
sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang subdural yang terletak antara durameter
dan arachnoid. Pada cedera kepala pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior digaris tengah disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan serta menyebabkan perdarahan subdural. Durameter membelah membentuk 2 sinus
yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu : sinus sagitalis superior mengalirkan darah
vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus. Perdarahan akibat sinus cedera 1/3
14
anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior berbahaya karena dapat menyebabkan infark
vena dan kenaikan tekanan intracranial.
Arteri meningea terletak pada ruang epidural, dimana yang sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis dapat menimbulkan
perdarahan epidural.
2. Arachnoid
3. Piameter
Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal
bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid. Perdarahan ditempat
ini akibat pecahnya aneurysma intra cranial..
D. Otak
1. Serebrum
Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan
durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri terdapat pusat
bicara.
2. Serebelum
Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior
berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.
3. Batang otak
Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang sampai medulla spinalis.
E. Cairan Serebrospinalis
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau sekitar
500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh oleh pleksus koroideus yang
15
terdapat pada ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan
ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan serebrospinal pada
orang dewasa sekitar 120 mL Cairan serebrospinal setelah diproduksi oleh pleksus
koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian melalui foramen
interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III , kemudian masuk ke dalam ventrikel IV
melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2 foramen Luschka di sebelah lateral dan
1 foramen Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan subaraknoid, melalui
granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater kemudian masuk ke aliran vena
Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal melebihi
jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan serebrospinal yang
berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus.
Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular absorption, dural
absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired meningocoeles. Pelebaran
ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan temporal horns, seringkali asimetris,
keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus callosum, penegangan atau perforasi dari
septum pellucidum, penipisan dari cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah
bawah hingga fossa pituitary (menyebabkan pituitary disfunction)
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang :
1. Supratentorial terdiri fosa kranii anterior dan media
2. Infratentorial berisi fosa kranii posterior
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak
(pons dan medulla oblongata) berjalan melalui celah tentorium serebeli disebut insisura
tentorial. Nervus okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila tertekan oleh
masa atau edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut2 parasimpatik untuk
kontraksi pupil mata berada pada permukaan n. okulomotorius. Paralisis serabut ini
disebabkan penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila penekanan berlanjut
menimbulkan deviasi bola mata kelateral dan bawah.
16
Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom klasik
herniasi tentorium. Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang sama
dengan sisi pupil yang berdilatasi meskipun tidak selalu. (11)
2.7 Epidural Hematoma
2.7.1 Definisi
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering
terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak ditutupi oleh tulang tengkorak yang keras.
Otak juga dikelilingi oleh pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi
otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periostium tabula interna. Ketika seorang
mendapat benturan yang hebat dikepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang,
pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan pembuluh darah
mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang
tengkorak, keadaan inilah yang dikenal sebagai epidural hematom. (1,2,4,)
Epidural hematom merupakan sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar,
sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan
robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada
middle meningeal arteri yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk kedalam
ruang epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi. (5)
2.7.2 Etiologi
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa
keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematoma adalah benturan pada kepala pada
kecelakaan motor. Hematoma Epidural terjadi akibat trauma kepala yang biasanya
berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah terutama Arteri meningea media
(paling sering) yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara
duramater dan tulang dipermukaan dalam os temporale.
17
Perdarahan yang terjadi dapat menimbulkan epidural hematom. Desakan oleh hematom
akan melepaskan duramater lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah
besar.
Hematom epidural tanpa cedera lain biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea
media. (1,6)
2.7.3 Patofisiologi
Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan duramater.
Perdarahan ini lebih sering terjadi pada daerah temporal bila salah satu cabang arteri
meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak didaerah
bersangkutan. Hematoma dapat pula terjadi didaerah frontal dan oksipital. Arteri meningea
media yang masuk didalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara duramater
dan tulang dipermukaan dan os temporal. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom
epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan duramater lebih lanjut dari tulang kepala
sehingga hematoma bertambah.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus
mengalami herniasi dibawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya
tanda-tanda neurologi yang dapat dikenal oleh tim medis. Tekanan dari herniasi unkus pada
sirkulasi arteria yang mengurus formatio retikularis di medulla oblongata menyebabkan
hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomontorius).
Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata.
Tekanan pada lintasan kortikospinal yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, reflex hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang membesar.
Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain lain kekakuan
desebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan. Karena perdarahan ini
berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar makin lama makin membesar.
Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera
sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang
18
progresif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan
kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada epidural hematoma.
Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat atau epidural
hematom dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung
tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar. Sumber perdarahan:
Arteri meningea (lucid interval 2-3jam)
Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a.diploica dan vena
diploica.
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergency dibedah saraf karena
progresifitasnya yang cepat karena duramater melekat erat pada saluran sehingga langsung
mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infratentorial. Karena
itu setiap penderita yang megeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif
memberat, harus segera dirawat dan diperiksa dengan teliti.(1,2,5)
2.7.4 Gejala Klinis
Pasien dengan hematoma epidural mengalami kehilangan kesadaran singkat setelah
trauma kepala, diikuti interval lucid dan kemunduran neurologi
Gejala yang sering tampak:
Penurunan kesadaran, bias sampa koma
Bingung
19
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari telinga dan hidung
Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi lebar
Gejala dan tanda nya:
Hilangnya kesadaran posttraumatic / posttraumatic loss of
consciousness (los) secara singkat.
Terjadi lucid interval untuk beberapa jam
Keadaan mental yang kaku (obtundation), hemiparese
kontralateral, dilatasi pupil ipsilateral (1,2,5)
2.7.5 Pemeriksaan Penunjang
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali.
Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedera
intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula
terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonveks, paling sering di daerah
temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline
terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma,
Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya
peregangan dari pembuluh darah.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
20
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan
yang dipilih untuk menegakkan diagnosis. (1,2,3,4,5)
2.7.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan penunjang seperti foto
rontgen kepala. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis hematom epidural bila sisi
fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga dapat
menunjukkan lokasi hematom. (1)
Diagnosis Banding
o Hematoma subdural
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara duramater dan
arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma
epidural yang berkembang lambat. Bisa disebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang
menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a.
kortikalis. Biasanya di sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan
hematoma subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk
bulan sabit.
o Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di
dalamnya.
Gejala klinis nya seperti:
Kaku kuduk
Nyeri kepala
Gangguan kesadaran (6,7)
21
2.7.7 Penatalaksanaan
Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan
cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a.Hiperventilasi.
b.Cairan hiperosmoler.
c.Kortikosteroid.
d.Barbiturat.
Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 5 mm
fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1
cm
22
EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8atau kurang
Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi
emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
> 25 cc = desak ruang supra tentorial
> 10 cc = desak ruang infratentorial
> 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
Operasi pada epidural hematom adalah trepanasi/craniotomi
Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuanmencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Craniotomy adalah perbaikan pembedahan, reseksi atau pengangkatan
pertumbuhan atau abnormalitas di dalam kranium, terdiri atas pengangkatan dan
penggantian tulang tengkorak untuk memberikan pencapaian pada struktur intracranial
(Susan M, Tucker, Dkk. 1998)
Indikasi
23
Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
Mengurangi tekanan intrakranial.
Mengevakuasi bekuan darah .
Mengontrol bekuan darah.
Pembenahan organ-organ intrakranial.
Tumor otak.
Perdarahan (hemorrage).
Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms).
Peradangan dalam otak
Trauma pada tengkorak.
2.7.8 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi primer atau sekunder, komplikasi primer yang disebabkan
oleh cedera mekanis direk, menyebabkan cedera aksonal yang ditandai dengan
hilangnya kesadaran awal atau depresi status mental. Komplikasi sekunder yang
disebabkan oleh hematoma yang meluas menyebabkan kemunduran neurologic.
2.7.9 Prognosis
Prognosis tergantung pada :
Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
Besarnya
Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-
15%
2.8 Anastesi pada kraniotomi
24
Pada pasien yang akan dilakukan kraniotomi biasanya dipakai tindakan anastesi umum.
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang disertai hilangnya
kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri
dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Trias anestesi ini dapat dicapai dengan menggunakan
obat yang berbeda secara terpisah. Teknik ini sesuai untuk pembedahan abdomen yang luas,
intraperitonium, toraks, intrakranial, pembedahan yang berlangsung lama, dan operasi dengan
posisi tertentu yang memerlukan pengendalian pernapasan. (8)
dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.
Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
25
Gambar 4. Pipa endotrakea
Teknik Intubasi
Intubasi Orotrakeal
Intubasi orotrakeal biasanya menggunakan laringoskop dengan dua jenis blade yang
paling umum digunakan, yaitu Macintosh dan Miller. Blade Macintosh berbentuk lengkung.
Ujungnya dimasukkan ke dalam Valekula (celah antara pangkal lidah dan permukaan faring
dari epiglotis). Pemakaian blade Macintosh ini memungkinkan insersi pipa endotrakeal lebih
mudah dan dengan risiko trauma minimal pada epiglotis. Ukuran pada blade Macintosh pun
beragam dari nomor 1 hingga nomor 4.
Sedangkan blade Miller berbentuk lurus, dan ujungnya berada tepat di bawah
permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis kemudian diangkat untuk melihat pita suara.
Kelebihan dari blade Miller ini adalah anestesiologis dapat melihat dengan jelas terbukanya
epoglotis, namun di sisi lain jalur oro-hipofaring lebih sempit. Ukuran bervariasi dari nomor 0
hingga nomor 4. Pasien diposisikan dalam posisi “sniffing”. Biasanya posisi seperti ini akan
memperluas pandangan laringoskopik.
26
Gambar 8. Sniffing Position
Laringoskop dipegang tangan kiri pada sambungan antara handle dan blade. Setelah
memastikan mulut pasien terbuka dengan teknik “cross finger” dari jari tangan kanan,
laringoskop dimasukkan ke sisi kanan mulut pasien sambil menyingkirkan lidah ke sisi kiri.
Bibir dan gigi pasien tidak boleh terjepit oleh blade. Blade kemudian diangkat sehingga terlihat
epiglotis terbuka. Laringoskop harus diangkat, bukan didorong ke depan agar kerusakan pada
gigi maupun gusi pada rahang atas dapat dihindari.
Ukuran pipa endotrakeal (endotracheal tube / ETT) bergantung pada usia pasien,
bentuk badan, dan jenis operasi yang akan dilakukan. ETT dipegang dengan tangan kanan
seperti memegang pensil lalu dimasukkan melalui sisi kanan rongga mulut kemudian masuk ke
pita suara. Bila epiglotis terlihat tidak membuka dengan baik, penting untuk menjadikan
epiglotis sebagai landasan dan segera masukkan ETT di bawahnya lalu masuk ke trakea.
Tekanan eksternal pada krikoid maupun kartilago tiroid dapat membantu memperjelas
pandangan anestesiologis. Ujung proksimal dari balon ETT ditempatkan di bawah pita suara,
lalu balon dikembangkan dengan udara positif.
Pemasangan ETT yang benar dapat dinilai dari auskultasi pada lima area, yaitu kedua
apeks paru, kedua basal paru, dan epigastrium. Bila suara napas terdengar hanya pada salah satu
sisi paru saja, maka diperkirakan telah terjadi intubasi endobronkial dan ETT harus ditarik
perlahan hingga suara napas terdengar simetris di lapangan paru kanan dan kiri. ETT kemudian
difiksasi segera dengan menggunakan plester.
27
Gambar 9. Intubasi Orotrakeal
.
28
KESIMPULAN
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah terutama Arteri meningea media
(paling sering) yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara
duramaster dan tulang dipermukaan dalam os temporale. Perdarahan yang terjadi dapat
menimbulkan epidural hematom.
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan tanda atau gejala. Baru setelah hematom
bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intra kranial.
Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah, diikuti dengan penurunan
kesadaran.
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan penunjang seperti foto rontgen
kepala. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis hematom epidural bila sisi fraktur
terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi
hematom.
Penatalaksanaan dilakukan dengan segera dengan cara trepanasi dengan tujuan
melakukan evakuasi hematom dan menghentikan perdarahan.
Pada pasien yang akan dilakukan craniotomi biasanya dilakukan tindakan anastesi
umum. Anastesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang
disertai hilang nya kesadaran dan dapat pulih kembali (refersibel). Komponen anastesi ideal
(trias anastesi) terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi. Trias anastesi ini dapat dicapai
dengan menggunakan obat yang berbeda secara terpisah.
29
30