Makalah Seminar 1 (epidural hematom)
-
Upload
miria-noor-shintawati -
Category
Documents
-
view
255 -
download
1
description
Transcript of Makalah Seminar 1 (epidural hematom)
LAPORAN KASUS I
MODUL ORGAN : MODUL SISTEM SARAF
Seorang Pria Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas
KELOMPOK 2
Ilham Wijaya Kusuma 030.06.121
Miria Noor Shintawati 030.08.163
Nadya Anggun Mowlina 030.09.165
Akbar Fadheli 030.10.015
Andrian Astoguno B.P. 030.10.029
Camila Kamal 030.10.046
Desira Anggitania 030.10.061
Doddy Kusumah R.S. 030.10.075
Fardhian Zaenal 030.10.101
Ghayatrie Healthania A. 030.10.114
Nadia Andriani Putri 030.10.200
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta, 29 Juni 2012
0
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : LAPORAN KASUS
BAB III : PEMBAHASAN
- Identitas Pasien
- Keluhan Utama & Anamnesis Tambahan
- Hipotesis
- Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan Penunjang
- Diagnosis Kerja
- Patofisiologi
- Penatalaksanaan
- Komplikasi
- Prognosis
BAB IV : TINJAUAN PUSTAKA
BAB V : KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah salah satu mayor health predicament yang perlu
dilakukan pencegahan.. Pertambahan angka kejadian kasus ini dapat dilihat kira-kira 2
juta orang menderita cedera kepala di Amerika Serikat tiap tahunnya.Perkiraan
100,000 orang meninggal dan hampir sebagiannya lagi mengalami long term
disabilitas.
Penyebab utama cedera kepala adalah kecelakaan lalulintas. Pada kecelakaan
lalu lintas ,cedera kepala biasanya terjadi karena kepala yang sedang bergerak
membentur sesuatu.Kepala yang sedang bergerak mendadak terhenti atau terpantul
kembali.Apa yang terjadi pada kepala bergantung pada kekuatan benturan, tempat
benturan, dan faktor-faktor pada kepala itu sendiri.
Dalam makalah ini akan diuraikan berturut-turut tentang hematoma epidural,fraktur
thorakal dan femur dan tatalaksannya.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Lembar 1
Seorang laki-laki usia 38 tahun,dibawa polisi ke UGD dengan penurunan kesadaran
karena mengalami kecelakaan lalu lintas 2 jam sebelumnya.
Lembar 2
Menurut polisi, setelah kecelakaan pasien sempat pingsan beberapa saat.
Ketika sadar pasien mengeluh nyeri kepala, nyeri dada sebelah kanan terutama bila
bernafas dan tidak dapat mengingat kejadian yang menimpanya, namun dapt
menjawab waktu ditanya nama dan alamat rumahnya. Dalam perjalanan ke RS pasien
sempat muntah satu kali.
Hasil pemeriksaan : TD : 90/60, Nadi 60x/menit, Pernafasan 28x/menit, Suhu 36
derajat celcius. Pemeriksaan Neurologis menunjukan kesdaran pasien GCS E3M5V3.
Pemeriksaan diameter pupil kiri 3mm/ kanan 5mm, refleks cahaya +/+. Refleks
fisiologis positif dan refleks patologis babinski -/+. Tampak jejas hematom di daerah
parietal kanan dan dada sebelah kanan bawah. Tampak deformitas daerah paha kanan,
disertai hematom dan edema.
Lembar 3
Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 7,5
Eritrosit : 4450
Leukosit : 13.300
Trombosit : 365.000
GDS : 155
Ureum : 29
Kreatini : 1,1
SGOT : 38
SGPT : 35
Elektrolit : dalam batas normal
Foto Polos Kepala : dalam batas normal
3
Foto Thoraks : Terdapat fraktur costa 7,8,9 kanan
Foto femur : Terdapat fraktur femur
Pasien tidak memiliki uang untuk melakukan CT Scan.
BAB III
4
PEMBAHASAN
3.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : -
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : -
Pekerjaan : -
3.2. KELUHAN UTAMA & ANAMNESIS TAMBAHAN
Dari hasil alloanamnesis dari polisi yang membawa pasien ke rumah sakit,
didapatkan :
a) Keluhan Utama
Penurunan kesadaaran karena mengalami kecelakaan lalu lintas 2 jam
sebelumnya.
b) Keluhan Tambahan / Riwayat Penyakit Sekarang
Pingsan beberapa saat.
Ketika sadar mengeluh nyeri kepala.
Tidak dapat mengingat kejadian yang menimpanya, namun dapat
menjawab ditanya nama dan alamat.
Dalam perjalanan kerumah sakit mengalami muntah 1x.
Interpretasi :
Dari hasil anamnesis, masalah yang ditemukan adalah pasien Tn. X berusia
38 tahun , datang ke UGD.
- Penurunan kesadaran Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri
dan lingkungannya. Orang normal dapat berada dalam keadaan : sadar,
mengantuk, atau tidur. Bila ia tidur, ia dapat disadarkan oleh rangsang,
5
misalnya rangsang nyeri, bunyi atau gerak. Pusat kesadaran diatur oleh kortex
cerebri tetapi juga membutuhkan pengaktifan dari sistem aktivitas reticular
(ARAS). ARAS merupakan neuron dari formatio reticularis. Sistem aktifitas
retikuler terletak di bagian atas batang otak, terutama di mesensefalon dan
hipotalamus. Lesi di otak yang terletak di atas hipotalamus tidak akan
menyebabkan penurunan kesadaran, kecuali bila lesinya luas dan bilateral.
Lesi di fokal cerebellum , misalnya oleh tumor atau strok, tidak akan
menyebabkan koma, kecuali bila letaknya dalam dan mengganggu
hipotalamus.1
Penurunan kesadaran kita curigai beberapa penyakit
- Pingsan beberapa saat , muntah 1x, nyeri kepala, tidak mengingat
kejadian Pasien pingsan beberapa saat muntah satu kali menandakan
pasien mengalami contusio cerebri. Contusio serebri adalah cedera kepala
dengan pingsan sebagai akibat deficit neurologic ringan atau berat disertai
amnesia retrograd, sakit kepala, kadang vertigo, mual dan muntah. Pada
contusio trauma merusak sebagian jaringan otak tanpa merobek piamater. 2
6
Adapun anamnesis tambahan yang dapat ditanyakan kepada pasien untuk
menunjang hipotesis kelompok kami antara lain:
a) Riwayat Penyakit Sekarang
- Bagaimana kronologi kejadian kecelakaan?
- Tindakan apa saja yang telah dilakukan ditempat kejadian?
- Sudah berapa lama pasien mengalami kehilangan kesadaran?
- Apakah terdapat serangan seperti kejang?
- Apakah kehilangan kesadaran terjadi mendadak atau perlahan?
- Apakah ada keluhan badan panas sebelumnya?
b) Riwayat Penyakit Dahulu
- Apakah ada penyakit lain yang menyertai? (hipertensi, DM, penyakit ginjal)
c) Riwayat Kebiasaan
- Bagaimana pola makan sehari-hari pasien?
- Apakah pasien sering melakukan olah raga secara teratur?
- Apakah pasien mengkonsumsi alkohol?
3.3. PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis :
1. Keadaan umum : Kesan sakit
2. Kesadaran : Stupor
3. Tanda vital
a. Nadi : 60x/menit
b. Tekanan darah : 90/60 mmHg
c. Pernapasan : 28x/menit
d. Suhu : 36°c
4. Antropometri
a. BB : -
b. TB : -
5. Inspeksi
7
a. Kepala :
i. Jejas hematom di daerah parietal kanan
b. Leher :
i. Tidak didapatkan tanda fraktur cervical
c. Thoraks
i. Jejas hematom di dada sebelah kanan bawah
d. Abdomen
i. Tidak didapatkan trauma
e. Ekstremitas
i. Tampak derformitas daerah paha kanan, disertai hematom dan
edema
6. Palpasi
- Teraba hematom di parietal sebelah kanan
- Hematom paha kanan
7. Perkusi
8. Auskultasi
Status neurologis :
1. Respon pupil
a. Pupil anisokor ϴ 3 mm/5 mm
b. Reflex cahaya +/+
2. Reflex patologis
a. Refleksi babinski -/+/
Pemeriksaan GCS :
E3 M5 V3
Interpretasi :
- Kesan sakit dikarenakan kecelakaan yang dialami dan benturan yang
dialami mengakibatkan gejala klinis timbul
- Tanda Vital
8
Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Keterangan
Suhu 36°C 36,5 - 37,2°C Subnormal
Denyut nadi1 60 x/menit 60-100 x/menit Normal
Tekanan
darah2
90/60 mmHg 120/80 mmHg(Normal) Hipotensi
Pernafasan 28 x/menit 16-20 x/menit Tachypnoe
- Pada status neurologis didapatkan pupil anisokor yaitu pada pupil mata
bagian kanan mengalami dilatasi dan reflex cahaya pada mata bagian kanan
negatif. Ini menandakan bahwa terjadi parese nervus III akibat adanya tekanan
oleh hematom.
- Dan didapatkan juga reflex patologis (+) pada ekstremitas bagian kanan yaitu
reflex babinski. Refleks babinski ini dilakukan dengan cara menggoreskan
pada telapak kaki bagian lateral, mulai dari tumit menuju pangkal jari secara
perlahan-lahan. Pada orang normal terjadi gerakan plantar fleksi, tapi pada
orang abnormal yaitu dimana menghasilkan reflex patologis (+) terjadi
gerakan dorso fleksi ibu jari kaki disertai gerakan mekar jari-jari lainnya.ini
menandakan bahwa terdapat lesi pada traktus piramidalis.
- Glasgow Coma Scale (GCS) 1
Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan Skala Koma
Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita terhadap rangsangan
dan memberikan nilai pada respons tersebut.
Yang perlu diperhatikan adalah :
a. Membuka mata
b. Respons verbal (bicara)
c. Respons motorik (gerakan)
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari atau saraf supraorbita)
(1) : tidak ada reaksi (dengan rangsangan nyeri pasien tidak membuka mata)
9
Verbal (respon verbal) :
(5) : baik tidak ada disorientasi (dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan
tahu dimana ia berada, tahu waktu, hari, bulan)
(4) : kacau (”confused”) (dapat bicara dalam kalimat, namun ada disorientasi
waktu dan tempat)
(3) : tidak tepat (dalam mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat dan
tidak tepat)
(2) : mengerang (tidak mengucapkan kaya, hanya suara mengerang)
(1) : tidak ada jawaban
Motor (respon motorik) :
(6) : mengikuti perintah (misalnya, suruh : ”angkat tangan” )
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus
saat diberi rangsang nyeri)
(3) : reaksi fleksi (dekortifikasi)
(berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan objek keras, seperti ballpoint,
pada jari kuku. Bila sebagai jawaban siku memfleksi, terdapat reaksi flexi
terhadap nyeri (fleksi pada pergelangan tangan mungkin ada atau tidak)
(2) : Reaksi ekstensi (deserebrasi)
(dengan rangsang nyeri tsb di atas terjadi ekstensi pada siku. Ini selalu disertai
fleksi spastik pada pergelangan tangan)
(1): tidak ada reaksi (sebelum memutuskan bahwa tidak ada reaksi, harus
diyakinkan bahwa rangsang nyeri memang cukup adekuat diberikan)
Nilai GCS pada pasien adalah 11 yang berdasarkan nilai E=3, V=3, M=5. Dimana
pada pasien ini telah mengalami gangguan kesadaran ringan.
10
3.4. HIPOTESIS
Epidural Hematom
Pengumpulan darah setempat, di antara tengkorak dan duramater. Bila
hematoma epidural tidak deisertai cedera otak lainny, pengobatan dini biasanya dapat
menyembuhkan penderita dengan sedikit atau tanpa defisit neurologik.
Gejala dan tanda yang tampak bervariasi, tetapi penderita hematom epidural
yang khas memiliki riwayat cedera kelapa dengan periode tidak sadar dalam waktu
pendek, diikuti oleh periode lusid. Epidural hematom menyebabkan terdorongnya
lobus otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan herniasi unkus pada sirkulasi arteria ke
formatio retikularismedula oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat
ini juga terdapat nuklei saraf kranial III (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata.
Trauma Abdomen & Thorax
Pendarahan banyak bisa menyebabkan syok dan kurangnya Hb di darah. Hal
ini menyebabkan kurangnya saturasi O2. Kurangnya saturasi O2 ini menyebabkan
kerja jantung meningkat. Trauma Thorax juga bisa menyebabkan pneumothorax hal
ini paru – paru kolaps dan membuat frekuensi cepat dan dalam.
3.5. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan Nilai normal Interpretasi
Hb 7,5 13-16 Menurun
Eritrosit 4450 4,5-5,5 juta Normal
Leukosit 13300 5000-10000 Meninggi
Trombosit 365000 150000-400000 Normal
GDS 155 <180 Normal
Ureum 29 15-40 Normal
Kreatinin 1,1 0.5-1.5 Normal
SGOT 38 5-40 Normal
SGPT 35 5-41 Normal
11
Elektrolit Dbn - Normal
Interpretasi :
Hemoglobin yang rendah ini disebabkan oleh adanya perdarahan yang terjadi pada
pasien ini akibat trauma capitis (kepala) saat kecelakaan.
Leukositosis pada pasien ini disebabkan oleh 2 hal, yaitu adanya inflamasi akibat
trauma capitis yang dialami pasien atau adanya infeksi yang terjadi melalui luka
pasca trauma. Leukositosis ini dapat digunakan sebagai salah satu indikator berat
ringannnya cedera kepala.
3.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto polos kepala : dalam batas normal
Foto thorax : terdapat fraktur costa 7 8 9 kanan
Foto femur : terdapat fraktur femur
Tidak ada pemeriksaan CT scan karena pasien dari ekonomi rendah.
3.7. DIAGNOSIS KERJA
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dapat
disimpulkan bahwa pasien ini menderita epidural hematom et causa trauma capitis
dan fraktur thorax serta femur. Dengan pembagian diagnosis sebagai berikut.
Diagnosis klinis: penurunan kesadaran (stupor), nausea, vomitus, sakit kepala, , E3
M5 V3 (GCS: 11 cedera kepala ringan), pupil anisokor, deformitas femur
dextra,
Diagnosis topis: Hematom Parietal dextra, fraktur costa 7, 8, 9, fraktur &
deformitas femur dextra
Diagnosis patologis: ruptur arteri meningea media,
Diagnosis etiologi: trauma
12
3.8. PATOFISIOLOGI
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih
dapat ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh),
dan ireversibel (tidak dapat pulih).
Fase 1 : K ompensasi
Pada fase ini fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan
melalui mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan reflek simpatis, yaitu
meningkatnya resistensi sistemik dimana terjadi distribusi selektif aliran
darah dari organ perifer non vital ke organ vital seperti jantung, paru
dan otak. Tekanan darah sistolik tetap normal sedangkan tekanan darah
sistolik meningkat akibat peninggian resistensi arteriol sistemik (tekanan nadi
menyempit). Untuk mencukupi curah jantung makan jantung
mengkompensasi secara temporer, dengan meningkatkan frekuensi
jantung. Disamping itu terdapat peningkatan sekresi vasopressin dan
renin – angiotensin – aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal untuk menahan
natrium dan air dalam sirkulasi.Manifestasi klinis yang tampak berupa takikardia,
gaduh gelisah, kulit pucat dan dingin denganpengisian kapiler (capillary refilling)
yang melambat > 2 detik.
Fase II : Dekompensasi
Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal
mempertahankan curah jantung yang adekuat dan system sirkulasi menjadi
tidak efisien lagi. Jaringan dengan perfusi yang buruk tidak lagi mendapat
oksigen yang cukup, sehingga metabolisme berlangsung secara
anaerobic yang tidak efisien. Alur anaerobic menimbulkan penumpukan
asam laktat dan asam-asam lainnya yang berakhir dengan asidosis.
Asidosis akan bertambah berat dengan terbentuknya asam karbonat intra
selular akibat ketidak mampuan sirkulasi membuang CO2. Asidemia akan
menghambat kontraktilitas otot jantung dan respon terhadap katekolamin. Akibat
lanjut asidosis akan terganggunya mekanisme energi dependent NaK-pump
ditingkat selular, akibatnya integritas membrane sel terganggu, fungsi
lisososm dan mitokondria kan memburuk yang dapat berakhir dengan
kerusakan sel. Lambatnya liran darah dan kerusakan reaksi rantai kinin
13
serta sistem koagulasi dapat memperburuk keadaan syok dengan
timbulnya agregasi tombosit dan pembentukan trombos disertai tendensi
perdarahan. Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara
lain histamin, serotonin, sitokin, (terutama TNF = tumor necrosis
factor dan interleukin 1), xanthin, oxydase yang dapat membentuk
oksigen radikal serta PAF (platelets agregatin factor). Pelepasan
mediator oleh makrofag merupakan adaptasi normal pada awal keadaan
stress atau injury, pada keadaan syok yang berlanjut justru dapat
memperburuk keadaan karena terjadi vasodilatasi arteriol dan
peningkatan permeabilitas kapiler dengan akibat volum intravascular
yang kembali ke jantung (venous return) semakin berkurang diserai timbulnya
depresi miokard. Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah,
tekanan darah mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled,
capillary refilling bertambah lama), oliguria dan asidosis (laju nafas
bertambah cepat dan dalam) dengan depresi susunan syaraf pusat
(penurunan kesadaran).
Fase III : Irreversible
Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus
berlanjut, sehingga terjadi kerusakan atau kematian sel dan disfungsi
sistem multi organ lainnya. Cadangan posfat berenergi tinggi (ATP) akan
habis terutama di jantung dan hepar, sintesa ATP yang baru hanya2% / jam dengan
demikian tubuh akan kehabisan energi. Kematian akan terjadi walaupun system
sirkulasi dapat dipulihkan kembali. Manifestasi klinis berupa tekanan
darah tidak terukur, nadi tak teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (sopor-
koma), anuria dan tanda-tanda kegagalan sistem organ lain.
14
3.9. PENATALAKSANAAN
Pedoman resusitasi dan penatalaksanaan awal :
1. Menilai jalan napas (airway) : bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal dengan memasang kolar
servikal. Jika cedera oro fasial mengganggu jalan napas maka pasien harus di
intubasi.
2. Menilai pernapasan (breathing) : tentukan apakah pasien bernapas spontan
atau tidak. Jika tidak, beri oksigen dengan masker oksigen. Jika spontan,
selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks dan lainnya.
3. Menilai sirkulasi (circulation) : hentikan semua pendarahan dengan menekan
arterinya.
4. Menilai tingkat keparahan :
a. Cedera kepala ringan :
i. Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan
orientatif)
ii. Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
iii. Tidak ada intoksikasi alkohol dan obat terlarang.
15
iv. Pasien dapat mengeluh sakit kepala dan pusing.
v. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematom kulit
kepala.
vi. Tidak adanya kriteria sedang – berat.
b. Cedera kepala sedang :
i. Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, dan stupor)
ii. Amnesia pasca trauma
iii. Muntah
iv. Tanda kemungkinan fraktur kranium
v. Kejang
c. Cedera kepala berat :
i. Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
ii. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
iii. Tanda neurologis fokal
iv. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
Penatalaksaan Khusus :
1. Elevasi kepala 30 derajat untuk membantu menurunkan tekanan intra
kranial
2. Perbaiki keadaan umum :
a. Transfusi darah red blood cell
b. IV Dextrose NaCl 0,9% cairan isotonis lebih efektif sehingga tidak
akan menimbulkan edema cerebri.
3. Pemberian manitol Intravena untuk menurunkan tekanan intra kranial
diberikan 1g/kg BB 20-30 menit
4. Follow up : Pemeriksaan tanda vital ulang & penilaian GCS
5. Fraktur Femur
Dalam kasus ini, karena si pasien sudah mengalami deformitas di daerah paha
kanan, disertai hematom dan edema. Maka tindakan yang paling baik yaitu dilakukan
pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada
umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan
sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma
fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur
kemudian direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali.
16
Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat
ortopedik berupa pen, sekrup, dan pelat. Serta pemasangan gibs
6. Pemeriksaan Analisa Gas Darah
7. Konsul ke dokter bedah
3.10. KOMPLIKASI
1. Edema cerebri
2. Kejang pasca trauma
3. Tekanan tinggi intrakranial dapat menyebabkan
Gastro intestinal track : stress ulcer
Cerebri : pergeseran otak yang menyebabkan
herniasi tonsiler
4. Hipoksia/perfusi cerebral yang terganggu sehingga menyeibabkan ischemia
cerebri
3.11 PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanantionam : dubia ad bonam
Prognosis pada pasien ini tergantung pada waktu dan kecepatan penanganan.
Delapan jam pertama setelah cedera kepala merupakan golden period yang sebaiknya
jangan sampai hilang dan harus digunakan sebaik-baiknya dalam penanganan epidural
hematom ini. Lebih dari delapan jam, vitalitas otak akan semakin berkurang dan
kesembuhan mungkin tidak dapat terjadi.
17
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 ANATOMI SISTEM SARAF MANUSIA
Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta
terdiri terutama dari jaringan saraf. Sistem persarafan merupakan salah satu organ
yang berfungsi untuk menyelenggarakan kerjasama yang rapi dalam organisasi dan
koordinasi kegiatan tubuh
Fungsi sistem saraf yaitu :
1. Mendeteksi perubahan dan merasakan sensasi
2. Menghantarkan informasi dari satu tempat ke tempat yang lain
3. Mengolah informasi sehingga dapat digunakan segera atau menyimpannya untuk
masa mendatang sehingga menjadi jelas artinya pada pikiran.
Sistem saraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu :
1. Sistem saraf pusat (sentral), terbagi atas:
a. Otak
b. Sumsum tulang belakang (medula spinalis)
18
2. Sistem saraf perifer (tepi) terdiri atas:
a. Divisi Aferen, membawa informasi ke SSP (memberitahu SSP mengenai
lingkungan eksternal dan aktivitas-aktivitas internal yg diatur oleh SSP
b. Divisi Eferen, informasi dari SSP disalurkan melalui divisi eferen ke organ efektor
(otot atau kelenjar yg melaksanakan perintah untuk menimbulkan efek yg diinginkan),
terbagi atas:
-Sistem saraf somatik, yg terdiri dari serat-serat neuron motorik yg mempersarafi otot-
otot rangka
-Sistem saraf otonom, yg mempersarafi otot polos, otot jantung dan kelenjar, terbagi
atas :
1. Sistem saraf simpatis
2. Sistem saraf Parasimpatis
4.2 NEURON (SEL SARAF)
Sistem saraf manusia mengandung lebih dari 1010 saraf atau neuron.
Neuron merupakan unit structural dan fungsional system saraf
19
Sel saraf terdiri dari badan sel yang di dalamnya mempunyai inti sel,nukleus,
Mitokondria, Retikulum endoplasma, Badan golgi, di luarnya banyak terdapat
dendrit,kemudian bagian yang menjulur yang menempel pada badan sel yang
di sebut akson
Dendrit menyediakan daerah yg luas untuk hubungan dengan neuron lainnya.
Dendrit adalah serabut aferen karena menerima sinyal dari neuron-neuron lain
dan meneruskannya ke badan sel.
Pada akson terdapat selubung mielin,nodus ranvier,inti sel Schwan,butiran
neurotransmiter
Akson dengan cabang-cabangnya (kolateral), adalah serabut eferen karena
membawa sinyal ke saraf-saraf otot dan sel-sel kelenjar. Akson akan berakhir
pada terminal saraf yg berisi vesikel-vesikel yg mengandung neurotransmitter.
Terminal inilah yg berhubungan dengan badan sel, dendrit atau akson neuron
berikutya.
Sel saraf menurut bentuk dan fungsinya terbagi atas :
1. Sel saraf sensoris (neuron aferen)
Bentuknya berbeda dari neuron aferen dan interneuron, di ujung perifernya terdapat
reseptor sensorik yang menghasilkan potensial aksi sebagai respon terhadap
rangsangan spesifik.
Sel saraf ini menghantarkan impuls(pesan) dari reseptor ke sistem saraf
pusat,dendritnya berhubungan dengan reseptor(penerima rangsangan ) dan ujung
aksonnya berhubungan dengan sel saraf asosiasi,
Klasifikasi reseptor sensoris menurut jenis stimulusnya yaitu :
Mekanoreseptor mendeteksi stimulus mekanis seperti nyeri,suara,raba
Termoreseptor mendeteksi perubahan temperatur seperti panas dan
dingin
Nosiseptor mendeteksi kerusakan jaringan baik fisik maupun mekanik
seperi nyeri
20
Elektromaknetik reseptor mendeteksi cahaya yang masuk ke mata
seperti warna,cahaya
Khemoreseptor mendeteksi pengecapan,penciuman,kadar O2 dan CO2
2. Sel saraf motoris
Sel saraf ini mengirim impuls dari sistem saraf pusat ke otot/skelet yang hasilnya
berupa tanggapan terhadap rangsangan. Badan sel saraf berada di sistem saraf pusat
dan dendritnya berhubungan dengan akson sel saraf asosiasi dan aksonnya
berhubungan dengan efektor(bagian motoris yang menghantarkan sinyal ke
otot/skelet).
Aktivitas sistem motoris tergantung dari aktivitas neuron motoris pada medula
spinalis. Input yang masuk ke neuron motorik menyebabkan 3 kegiatan dasar motorik
yaitu :
1. Aktivitas volunter( di bawah kemauan)
2. Penyesuaian posisi untuk suatu gerakan tubuh yang stabil
3. Koordinasi kerja dari berbagai otot untuk membuat gerakan yang tepat
dan mulus.
3. Sel saraf intermedit/Asosiasi (Interneuron)
Ditemukan seluruhnya dalam SSP. Neuron ini menghubungkan neuron sensorik dan
motorik atau menyampaikan informasi ke interneuron lainnya. Beberapa interneuron
dalam otak terkait dengan fungsi berfikir, belajar dan mengingat
Sel saraf ini terbagi 2 yaitu :
1. Sel saraf ajustor yaitu menghubungkan sel saraf sensoris dan motoris
2. Sel saraf konektor yaitu untuk menghubungkan neuron yang satu
dengan neuron yang lainnya.
4.3 SEL NEUROGLIAL
Biasa disebut glia yg merupakan sel penunjang tambahan pada SSP yg berfungsi
sebagai jaringan ikat.
21
Sel glia dapat mengalami mitosis selama rentang kehidupannya dan bertanggung
jawab atas terjadinya tumor sistem saraf.
4.4 IMPULS SARAF
Terjadinya impuls listrik pada saraf sama dengan impuls listrik yg dibangkitkan dalam
serabut otot.
Sebuah neuron yg tidak membawa impuls dikatakan dalam keadaan polarisasi,
dimana ion Na+ lebih banyak diluar sel dan ion K+ dan ion negative lain lebih banyak
dalam sel.
Suatu rangsangan (ex: neurotransmiter) membuat membrane lebih permeable terhadap
ion Na+ yang akan masuk ke dalam sel, keadaan ini menyebabkan depolarisasi
dimana sis luar akan bermuatan negative dan sisi dalam bermuatan positif.
Segera setelah depolarisasi terjadi, membrane neuron menjadi lbih permeable
terhadap ion K+, yg akan segera keluar dari sel. Keadaan ini memperbaiki muatan
positif diluar sel dan muatan negatif di dalam sel, yg disebut repolarisasi.
Kemudian pompa atrium dan kalium mengmbalikan Na+ keluar dan ion K+ ke dalam,
dan neuron sekarang siap merespon stimulus lain dan mengahantarkan impuls lain.
Sebuah potensial aksi dalam merespon stimulus berlangsung sangat cepat dan dpt di
ukur dlm hitungan milidetik.sss
Sebuah neuron tunggal mampu meghantarkan ratusan impuls setiap detik.
4.4 SISTEM SARAF PUSAT
OTAK
22
Merupakan alat tubuh yang sangat vital karena pusat pengatur untuk seluruh alat
tubuh, terletak di dalam rongga tengkorak (Kranium) yang dibungkus oleh selaput
otak yang kuat. Otak terdiri dari 3 bagian besar yaitu:
1. Otak Besar (serebrum)
Merupakan bagian terluas dan terbesar dari otak ,bentuk telur dan mengisi penuh
bagian atas rongga tengkorak. Adapun fungsi serebrum yaitu untuk pusat pengaturan
semua aktivitas mental yaitu berkenaan dengan kepandaian (Intelegensi), ingatan
(memori), kesadaran, pusat menangis, keinginan buang air besar maupun kecil.
Terdiri atas:
Lobus frontalis (depan), sebagai area motorik yg embangkitkan impuls
untuk pergerakan volunteer. Area motorik kiri mengatur pergeakan sisi
kanan tubuh dan sebalikya.
Lobus oksipital (belakang) untuk pusat penglihatan
Lobus temporal (samping) untuk pusat pendengaran
Lobus parietal (tengah) untuk pusat pengatur kulit dan otot terhadap
panas, dingin, sentuhan,tekanan.
Antara bagian tengah dan belakang merupakan pusat perkembangan kecerdasan,
ingatan, kemauan dan sikap
2. Batang otak (Truncus serebri) terdiri dari :
a. Diensephalon
Merupakan bagian batang otak paling atas,terdapat di antara serebrum dan
mesensephalon,Adapun fungsinya yaitu :
Vasokonstriksi yaitu mengecilkan pembuluh darah
23
Respiratori
Mengontrol kegiatan refleks
Membantu pekerjaan jantung.
b. Mesensephalon (Otak tengah)
Terletak diantara pons dan Diensephalon. Di depan otak tengah ada talamus dan
hipotalamus, fungsinya:
Menjaga tetap tegak dan mempertahankan keseimbangan
Membantu pigmen mata dan mengangkat kelopak mata
Memutar mata dan pusat pergerakan mata
c. Pons
Terletak antara Medula oblongata dan mesensephalon. Adapun fungsinya :
Penghubung antara serebrum dan medula oblongata
pencernaan Pusat saraf N.Trigeminus, N.Optalmicus, N.Maxillaris dan
N.Mandibularis
d. Medula oblongata
24
Merupakan bagian otak paling bawah,menghubungkan pons varoli dengan medula
spinalis. Adapun fungsinya yaitu:
Mengontrol kerja jantung
Vasokonstriksi
Pusat pernafasan
Mengontrol kegiatan refleks
3. Otak kecil (Serebelum)
Terletak di bagian bawah dan belakang tengkorak dipisahkan dengan cerebrum,diatas
medula oblangata, Adapun fungsinya yaitu :
Pusat keseimbangan
Mengkoordinasi dan mengendalikan ketepatan gerakan otot dgn baik
Menghantarkan impuls dari otot-otot bagian kiri dan kanan tubuh
4.5 TALAMUS
Pusat pengatur sensoris untuk serabut aferen dari medula spinalis ke serebrum
4.6 HIPOTALAMUS
Berperan penting dalam pengendalian aktivitas SSO yg melakukan fungsi
vegetative penting untuk kehidupan seperti pengaturan frekuensi jantung, TD,
Suhu tubuh, keseimbangan air, selera makan, saluran pencernaan dan aktivitas
seksual
Sebagai pusat otak untuk emosi seperti kesenangan, nyeri, kegembiraan dan
kemarahan.
Memproduksi hormone yg mengatur pelepasan atau inhibisi hormion kelenjar
hipofisis, sehingga mempengaruhi keseluruhan system endokrin.
4.7 SUMSUM TULANG BELAKANG (Medulla spinalis)
Merupakan bagian SSP yang terletak di dalam canalis cervikalis bersama ganglion
radix pos yang terdapat pada setiap foramen intervertebralis terletak berpasangan kiri
dan kanan.
25
Fungsi sumsum tulang belakang adalah :
1. Penghubung impuls dari dan ke otak
2. Memungkinkan jalan terpendek pada gerak refleks
3. Organ ini mengurus persyarafan tubuh,anggota badan dan bagian
kepala
4.8 CAIRAN SEREBROSPINAL
Terdapat pada ruang subaraknoid yang mengisi ventrikel dalam otak yang
terletak antara araknoid dan piameter
Lapisan pelindung otak (piameter, araknoid dan durameter)
Menyerupai plasma dan cairan interstisial tp tdk mengandung protein
Fungsinya: Sebagai bantalan untuk jaringan lunak otak dan medulla spinalis
Sebagai media pertukaran nutrient dan zat buangan antara darah dan otak serta
medulla spinalis.
4.9 SISTEM SARAF TEPI (Perifer)
Sistem saraf perifer mempunyai 2 subdivisi fungsional utama yaitu sistem somatik
dan otonom. Eferen somatik dipengaruhi oleh kesadaran yang mengatur fungsi-fungsi
seperti kontraksi otot untuk memindahkan suatu benda, sedangkan sistem otonom
tidak dipengaruhi oleh kesadaran dalam mengatur kebutuhan tubuh sehari-hari,sistem
saraf otonom terutama terdiri atas saraf motorik visera (eferen) yang menginversi otot
polos organ visera, otot jantung, pembuluh darah dan kelenjar eksokrin
Sistem saraf tepi terdiri dari :
-12 pasang saraf serabut otak ( saraf cranial ) yang terdiri dari 3 pasang saraf sensorik,
5 pasang saraf motorik dan 4 pasang saraf gabungan.
26
-31 pasang saraf sumsum tulang belakang ( saraf spinal ) yang terdiri dari 8 pasang
saraf leher, 12 pasang saraf punggung, 5 pasang saraf pinggang, 5 pasang saraf
pinggul dan 1 pasang saraf ekor.
4.10 SISTEM SARAF TAK SADAR ( OTONOM )
Sistem saraf otonom bersama-sama dengan sistem endokrin mengkoordinasi
pengaturan dan integrasi fungsi-fungsi tubuh.
Sistem saraf mengirimkan sinyal pada jaringan targetnya melalui transmisi impuls
listrik secara cepat melalui serabut-serabut saraf yang berakhir pada organ efektor dan
efek khusus akan timbul sebagai akibat pelepasan substansi neuromediator
(Neurotransmiter)
Neurotransmitor adalah suatu penandaan kimiawi antar sel yang berfungsi sebagai
komunikasi antar sel saraf dan antara sel saraf dengan organ efektor .
Neurotransmiter adalah senyawa yang disintesa, disimpan dalam saraf tempat dia
bekerja, sekresinya bergantung pada adanya ion kalsium dan diatur melalui
fosforilasi protein sinapsis. Menyebar secara cepat sepanjang celah sinaps antara
ujung neuron dan berikatan dengan reseptor spesifik pada sel target ( pasca sinaps).
Adapun jenis-jenis neurotransmiter yaitu :
1. Acetylcolin : Bersifat inhibisi melalui susunan saraf parasimpatis
2. Norepinefrin dan epinefrin : Bersifat inhibisi melalui susunan saraf simpatis
3. Dopamin : Terdapat di ganglia otonom dan bagian otak seperti substansi nigra,
dopamin menyebabkan vasodilatasi, relaksasi saluran cerna, meningkatkan sekresi
kelenjar ludah (salivas) dan sekresi insulin.
4. Serotonin : Terdapat di saluran cerna, di ssp yaitu di medula spinalis dan
hipotalamus, fungsinya menghambat impuls nyeri dan mengatur perasaan seseorang.
5. Asam gamma aminobutirat (GABA) : Bersifat inhibisi pada otak, medulla
spinalis dan retina, berperan dalam mekanisme kerja obat hipnotif-sedatif dan
psikotropik pada penyakit epilepsi.
27
6. Histamin
7. Prostaglandin
8. Asam glutamat
SSO memiliki 2 devisi yaitu sistem simpatis dan sistem parasimpatis.
1. Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada medula spinalis,
memiliki neurotransmiter norefinefrin/Adrenalin sehingga disebut juga saraf
adrenergik, fungsinya mempertahankan derajat keaktifan (menjaga tonus
vaskuler), memberi respon pada situasi stres seperti trauma, ketakutan,
hipoglikemi, kediginanan, latihan.
2. Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan sakral pada medula spinalis,
neurotransmiternya yaitu asetilkolin sehingga disebut juga saraf kolinergik,
fungsinya menjaga fungsi tubuh esensial seperti proses dan pengurangan zat-
zat sisa.
4.11 HEMATOMA EPIDURAL
Epidural hematoma adalah akumulasi dari darah dan gumpalan darah antara
lapisan dura mater dan tulang tengkorak. Sumber perdarahan dari epidural hematoma
adalah arteri meningea (seringkali arteri meningea media) atau terkadang sinus
venosus dura. Perdarahan ini memiliki bentuk yang bikonveks atau lentikuler. Pasien
dengan epidural hematom akan mengalami kesadaran menurun yang berlangsung
singkat pada awalnya, diikuti dengan lucid interval. Interval ini kemudian diikuti
dengan kemunduran klinis yang cepat. Semua pasien dengan perdarahan epidural
membutuhkan intervensi yang cepat dari spesialis bedah saraf. Epidural hematom
akan menempati ruang dalam otak, olehnya itu, perluasan yang cepat dari lesi ini,
dapat menimbulkan penekanan pada otak.
INSIDEN
• Angka kematian meningkat pada pasien dengan umur dibawah 5 tahun dan diatas 55
tahun.
28
• Pasien dengan umur dibawah 20 tahun, 60 % didapati dengan epidural hematoma.
• Epidural hematoma tidak lazim pada pasien usia lanjut dikarenakan, lapisan dura
telah melekat dengan kuat pada dinding bagian dalam tengkorak. Pada kasus-kasus
epidural hematom, kurang dari 10% adalah pasien dengan umur diatas 50 tahun.
EPIDEMIOLOGI
Kasus epidural hematoma di Amerika Serikat ditemukan 1-2% dari semua kasus
trauma kepala yang ada dan ditemukan pula sebanyak 10% pada pasien dengan koma
akibat trauma.
Dilaporkan angka kematian berada pada presentasi 5% hingga 43%. Angka kematian
yang tinggi ini erat kaitannya dengan:
• Peningkatan usia
• Lesi intradural
• Lokasi temporal
• Peningkatan volume hematom
• Progresivitas klinis yang cepat
• Abnormalitas pupil
• Peningkatan tekanan intrakranial
• GCS yang menurun
ETIOLOGI
Epidural hematoma terjadi akibat trauma pada cedera kepala, yang biasanya disertai
dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pada pembuluh darah arteri, utamanya
arteri meningea media.
ANATOMI
Otak dan medulla spinalis merupakan organ-rgan yang penting dan sangat vital dalam
tubuh manusia, tubuh telah melindungi kedua organ ini dengan dua buah lapisan
pelindung. Lapisan terluar merupakan tulang-tulang, tulang tengkorak yang
melindungi otak serta tulang-tulang vertebra yang melindungi medulla spinalis.
Lapisan bagian dalam terdiri atas membrane yang biasa disebut meninges. Terdapat
tiga lapisan berbeda yang menyusun meninges:
1. Dura mater, merupakan suatu jaringan liat, tidak elastic dan mirip kulit sapi yang
terdiri dari dua lapisan, bagian luar dinamakan dura endosteal dan bagian dalam
29
dinamakan dura meningeal.
2. Membran Arachnoid , merupakan sebuah membrane fibrosa yang tipis, halus dan
avaskular. Araknoid meliputi otak dan medulla spinalis, tetapi tak mengikuti kontur
luar seperti pia mater.
3. Pia mater, merupakan lapisan yang langsung berhubungan dengan otak dan
jaringan spinal, dan mengikuti kontur struktur eksternal.
Dura mater terbuat dari jaringan fibrosa putih yang kuat, berfungsi sebagai lapisan
terluar dari meninges dan juga sebagai periosteum terdalam dari tulang tengkorak.
Membran arachnoid, lapisan yang lembut, seperti jaring laba-laba, terletak antara dura
mater dan pia mater atau merupakan lapisan dalam dari meninges. Selanjutnya,
lapisan transparan pia mater yang menjadi bagian terluar yang melapisi otak dan
medulla spinalis yang juga berisi pembuluh darah.
Dura mater memiliki tiga buah lapisan tambahan kedalam:
1. Falx cerebri. Falx cerebri ini, menonjol kebawah, menyusuri fissure longitudinalis
untuk membentuk semacam dinding pemisah ataupun sekat antara kedua hemisfer
otak.
2. Falx cerebelli. Falx cerebelli adalah tambahan berbentuk sabit yang memisahkan
kedua halves atau hemisfer pada serebelum.
3. Tentorium cerebelli. Tentorium cerebelli memisahkan serebelum dan serebrum.
Ada beberapa ruang di antara maupun di sekitar meninges, diantaranya adalah:
1. Ruang Epidural. Ruang epidural terletak persis di bagian luar dura
mater, tetapi masih di dalam tulang yang melapisi otak dan medulla
spinalis. Ruang ini terdiri atas bantalan lemak dan jaringan konektif
lainnya.
2. Ruang Subdural. Ruang subdural terletak antara dura mater dan
membrane arachnoid. Ruang ini berisi sejumlah kecil cairan serosa
pelumas.
3. Ruang Subarachnoid. Seperti namanya, ruang ini terletak tepat
dibawah membrane arachnoid dan diluar dari piamater. Ruang ini
berisi sejumlah cairan serebrospinal.
30
PATOFISIOLOGI
Epidural hematom secara khas timbul sebagai akibat dari sebuah luka atau trauma
pada kepala. Epidural hematom timbul dan berkembang dari kerusakan pada
pembuluh darah arteri, khususnya arteri meningea media, dimana dapat robek akibat
pukulan atau hantaman tulang temporal. Darah memotong lapisan dura mater dan
menekan hemisfer otak dibawahnya. Kesadaran menurun yang terjadi secara
mendadak ditimbulkan akibat gegar yang dialami oleh otak dan bersifat sementara.
Gejala-gejala neurologis kemudian mereda beberapa jam kemudian seiring dengan
terbentuknya hematom yang pada akhirnya akan memberikan efek yang cukup berat
yakni herniasi pada otak.
DIAGNOSIS
Banyak cara yang dapat digunakan untuk mendiagnosis sebuah kondisi epidural
hematoma. Dari gambaran klinis, gambaran radiologi hingga gambaran patologi
anatomi dapat dijadikan pendekatan untuk mendiagnosis sebuah kondisi epidural
hematoma.
GAMBARAN KLINIS
Epidural hematoma adalah salah satu akibat yang dapat ditimbulkan dari sebuah
trauma kepala. Epidural hematoma kebanyakan berasal dari fraktur tulang tengkorak
bagian lateral yang melukai pembuluh darah arteri meningea media atau pembuluh
darah vena. Pasien mungkin mengalami kesadaran menurun secara mendadak ataupun
tidak, tetapi dalam kurun waktu beberapa jam hingga 1-2 hari, kondisi lucid interval
dapat terjadi, diikuti dengan perkembangan klinis yang cukup cepat dalam beberapa
jam, seperti sakit kepala, hemiparesis, dan pada akhirnya dilatasi pupil yang
ipsilateral. Kematian dapat terjadi apabila penanganan tidak segera dilakukan.
Pada anamnesa didapatkan riwayat cedera kepala dengan penurunan kesadaran. Pada
kurang lebih 50 persen kasus kesadaran pasien membaik dan adanya lucid interval
diikuti adanya penurunan kesadaran secara perlahan sebagaimana peningkatan TIK.
Pada kasus lainnya, lucid interval tidak dijumpai, dan penurunan kesadaran
berlangsung diikuti oleh detoriasi progresif. Epidural hematoma terkadang terdapat
pada fossa posterior yang pada beberapa kasus dapat terjadi sudden death sebagai
akibat kompresi dari pusat kardiorespiratori pada medulla. Pasien yang tidak
31
mengalami lucid interval dan mereka yang terlibat pada kecelakaan mobil pada
kecepatan tinggi biasanya akan mempunyai prognosis yang lebih buruk.
Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil ipsilateral
melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi
cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula
kenaikan tekanan darah dan bradikardia.3
Pada tahap akhir kesadaran akan menurun sampai koma yang dalam, pupil
kontralateral juga akan mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi, yang merupakan tanda kematian.
GAMBARAN RADIOLOGIS
Meskipun foto radiologi skull atau tengkorak sering dilakukan untuk mengevaluasi
sebuah fraktur tengkorak, dewasa ini CT scan merupakan pilihan primer dalam hal
mengevaluasi trauma kepala. Emergensi CT scan adalah modalitas utama yang
digunakan untuk mengevaluasi trauma kepala akut setelah penilaian neurologis
dilakukan. Diagnosis yang tepat dari hasil CT scan sangat krusial untuk menentukan
metode penanganan yang tepat.
Epidural hematoma terjadi dibawah calvarium, diluar dari dura periosteal. Sangat
jarang melebihi batas dari sutura dikarenakan perlekatan yang kuat dari dura
periosteal dengan batas dari sutura. Karena perlekatan yang kuat ini, sebuah epidural
hematoma memiliki batas yang kasar dan penampakan yang bikonveks pada CT scan
dan MRI. Kasus epidural hematoma yang khas memberikan tampakan lesi bikonveks
dengan densitas tinggi yang homogeny pada CT scan, tetapi mungkin juga tampak
sebagai densitas yang heterogen akibat dari pencampuran antara darah yang
menggumpal dan tidak menggumpal.
GAMBARAN PATOLOGI ANATOMI
Normalnya, tidak terdapat ruang epidural pada tengkorak. Fraktur dari tulang
tengkorak dapat merobek pembuluh darah arteri dan vena yang melintas antara
lapisan dura serta tulang tengkorak. Sebuah tumbukan atau hantaman dapat
menyebabkan deformitas pada tengkorak tanpa mengakibatkan fraktur. Hal ini juga
dapat mengakibatkan robekan pada pembuluh darah. Perdarahan yang terjadi akibat
dari robekan pembuluh darah ini, dapat mengakibatkan gumpalan pada daerah
epidural yang mendorong lapisan dura.
32
DIAGNOSIS BANDING
1. Subdural Hematoma
Perdarahan yang terjadi diantara duramater dan arachnoid, akibat robeknya vena
jembatan. Gejala klinisnya adalah :
• sakit kepala
• kesadaran menurun + / -
Pada pemeriksaan CT scan otak didapati gambaran hiperdens (perdarahan) diantara
duramater dan arakhnoid, umumnya robekan dari bridging vein dan tampak seperti
bulan sabit.
2. Subarakhnoid hematoma
Gejala klinisnya yaitu :
• kaku kuduk
• nyeri kepala
• bisa didapati gangguan kesadaran
Pada pemeriksaan CT scan otak didapati perdarahan (hiperdens) di ruang
subarakhnoid.
PENATALAKSANAAN
Epidural hematoma hampir semua didasari oleh fraktur tengkorak. Lokasi yang paling
sering ialah fossa temporal dimana skuama temporal adalah bagian tertipis dari tulang
tengkorak sehingga mudah terjadi fraktur dan dengan mudah melukai pembuluh darah
arteri meningea media. Kadang-kadang, fraktur dari tulang tengkorak akan melintasi
sinus venosus. Sinus sagitalis superior dan sinus transversum adalah sinus yang paling
rentan terkena, berakibat pada epidural hematoma vena.
Pendekatan yang paling umum dilakukan adalah dengan membuat insisi curvilinear
pada kepala untuk membuka sepenuhnya tengkorak yang menutupi hematom (atau
seluas mungkin yang bias dilakukan). Apabila otot temporal menutupi sisi yang ingin
di insisi, sebaiknya harus ditarik ke arah inferior, dengan menyisakan pinggiran tipis
yang melekat ke garis temporal superior dimana otot temporal nantinya dapat
disambung kebali di akhir operasi. Ketika tulang telah terlihat, sebuah lubang dibuat
dengan menggunakan bor, dekat dengan tepi hematoma. Tulang tengkorak pada
33
akhirnya dapat disingkirkan dengan menggunakan lapisan dasar dari bor. Hematom
kemudian disingkirkan, dan berbagai perdarahan dural akan berhenti, dan dura mater
dijahit dengan nylon 4-0. Ketika hemostasis dapat dipastikan membaik, tulang
tengkorak yang tadinya dilepas, dipasang kembali. Lapisan muskulokutaneus
kemudian ditutup dengan menggunakan vicryl 00 untuk lapisan galeal serta untuk
kulitnya digunakan stepler. Monitoring terhadap tekanan intracranial biasanya
dilakukan pada tahap ini, sebelum akhirnya didorong ke ICU.6
PROGNOSA
Prognosis epidural hematoma biasanya baik. Mortalitas pasien dengan epidural
hematoma yang telah dievakuasi mulai dari 16% - 32%. Seperti trauma hematoma
intrakranial yang lain, biasanya mortalitas sejalan dengan umur dari pasien. Resiko
terjadinya epilepsi post trauma pada pasien epidural hematoma diperkirakan sekitar
2%.3
4.12 REFLEKS FISIOLOGIS DAN PATOLOGIS (PEMERIKSAAN
NEUROLOGIS)
Refleks adalah respon yang terjadi secara otomatis tanpa usaha sadar. Ada dua jenis
refleks, yaitu refleks sederhana atau refleks dasar, yaitu refleks built-in yang tidak
perlu dipelajari, misalnya mengedipkan mata jika ada benda asing yang masuk; dan
refleks didapat atau refleks terkondisi, yang terjadi ketika belajar dan berlatih,
misalnya seorang pianis yang menekan tuts tertentu sewaktu melihat suatu di kertas
partitur. Jalur – jalur saraf saraf yang berperan dalam pelaksanaan aktivitas refleks
dikenal sebagai lengkung refleks.
Refleks sangat penting untuk pemeriksaan keadaan fisis secara umum, fungsi nervus,
dan koordinasi tubuh. Dari refleks atau respon yang diberikan oleh anggota tubuh
ketika sesuatu mengenainya dapat diketahui normal tidaknya fungsi dalam tubuh.
Oleh karena itu, pelaksanaan praktikum ini sangat penting agar diketahui bagaimana
cara memeriksa refleks fisiologis yang ada pada manusia. Gerak pada umumnya
terjadi secara sadar, namun, ada pula gerak yang terjadi tanpa disadari yaitu gerak
refleks. Impuls pada gerakan sadar melalui jalan panjang, yaitu dari reseptor, ke saraf
sensori, dibawa ke otak untuk selanjutnya diolah oleh otak, kemudian hasil olahan
34
oleh otak, berupa tanggapan, dibawa oleh saraf motor sebagai perintah yang harus
dilaksanakan oleh efektor.
Gerak refleks berjalan sangat cepat dan tanggapan terjadi secara otomatis terhadap
rangsangan, tanpa memerlukan kontrol dari otak. Jadi dapat dikatakan gerakan terjadi
tanpa dipengaruhi kehendak atau tanpa disadari terlebih dahulu. Contoh gerak refleks
misalnya berkedip, bersin, atau batuk.
Pada gerak refleks, impuls melalui jalan pendek atau jalan pintas, yaitu dimulai dari
reseptor penerima rangsang, kemudian diteruskan oleh saraf sensori ke pusat saraf,
diterima oleh set saraf penghubung (asosiasi) tanpa diolah di dalam otak langsung
dikirim tanggapan ke saraf motor untuk disampaikan ke efektor, yaitu otot atau
kelenjar. Jalan pintas ini disebut lengkung refleks. Gerak refleks dapat dibedakan atas
refleks otak bila saraf penghubung (asosiasi) berada di dalam otak, misalnya, gerak
mengedip atau mempersempit pupil bila ada sinar dan refleks sumsum tulang
belakang bila set saraf penghubung berada di dalam sumsum tulang belakang
misalnya refleks pada lutut.
Unit dasar setiap kegiatan reflex terpadu adalah lengkung reflex. Lengkung reflex ini
terdiri dari alat indra, serat saraf aferen, satu atau lebih sinaps yang terdapat di
susunan saraf pusat atau di ganglion simpatis, serat saraf eferen, dan efektor. Pada
mamalia, hubungan (sinaps) antara neuron somatil aferen dan eferen biasanya terdapat
di otak atau medulla spinalis. Serat neuron aferen masuk susunan saraf pusat melalui
radiks dorsalis medulla spinalis atau melalui nervus kranialis, sedangkan badan selnya
akan terdapat di ganglion-ganglion homolog nervi kranialis atau melalui nervus
cranial yang sesuai. Kenyataan radiks dorsalis medulla spinalis bersifat sensorik dan
radiks ventralis bersifat motorik dikenal sebagai hokum Bell-Magendie.
Kegiatan pada lengkung reflex dimulai di reseptor sensorik, sebagai potensial reseptor
yang besarnya sebanding dengan kuat rangsang. Potensial reseptor ini akan
membangkitkan potensial aksi yang bersifat gagal atau tuntas, di saraf aferen.
Frekuensi potensial aksi yang terbentuk akan sebanding dengan besarnya potensial
generator. Di system saraf pusat (SSP), terjadi lagi respons yang besarnya sebanding
dengan kuat rangsang, berupa potensial eksitasi pascasinaps (Excitatory Postsynaptic
Potential = EPSP) dan potesial inhibisi postsinaps (Inhibitory Postsynaptic Potential =
IPSP) di hubungan-hubungan saraf (sinaps). Respon yang timbul di serat eferen juga
35
berupa repons yang bersifat gagal atau tuntas. Bila potensial aksi ini sampai di
efektor, terjadi lagi respons yang besarnya sebanding dengan kuat rangsang. Bila
efektornya berupa otot polos, akan terjadi sumasi respons sehingga dapat
mencetuskan potensial aksi di otot polos. Akan tetapi, di efektor yang berupa otot
rangka, respons bertahap tersebut selalu cukup besar untuk mencetuskan potensial
aksi yang mampu menghasilkan kontraksi otot. Perlu ditekankan bahwa hubungan
antara neuron aferen dan eferen biasanya terdapat di system saraf pusat, dan kegiatan
di lengkung reflex ini dapat dimodifikasi oleh berbagai masukan dari neuron lain yang
juga bersinaps pada neuron eferen tersebut.
Pemeriksaan Neurologi
1. Fungsi Cerebral
Keadaan umum, tingkat kesadaran yang umumnya dikembangkan dengan Glasgow
Coma Scala (GCS) :
• Refleks membuka mata (E)
4 : Membuka secara spontan
3 : Membuka dengan rangsangan suara
2 : Membuka dengan rangsangan nyeri
1 : Tidak ada respon
• Refleks verbal (V)
5 : Orientasi baik
4 : Kata baik, kalimat baik, tapi isi percakapan membingungkan.
3 : Kata-kata baik tapi kalimat tidak baik
2 : Kata-kata tidak dapat dimengerti, hanya mengerang
1 : Tidak keluar suara
• Refleks motorik (M)
6 : Melakukan perintah dengan benar
5 : Mengenali nyeri lokal tapi tidak melakukaan perintah dengan benar
4 : Dapat menghindari rangsangan dengan tangan fleksi
3 : Hanya dapat melakukan fleksi
2 : Hanya dapat melakukan ekstensi
36
1 : Tidak ada gerakan
Derajat kesadaran :
1. Sadar : Dapat berorientasi dan berkomunikasi
2. Somnolens : Dapat digugah dengan berbagai stimulasi, bereaksi secara
motorik / verbal kemudian terlenan lagi. Gelisah atau tenang.
3. Stupor : Gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap
rangsangan nyeri, pendengaran dengan suara keras dan
penglihatan kuat. Verbalisasi mungkin terjadi tapi terbatas
pada satu atau dua kata saja. Non verbal dengan menggunakan
kepala.
4. Semi koma : Tidak terdapat respon verbal, reaksi rangsangan kasar dan ada
yang menghindar (contoh mnghindri tusukan)
5. Koma : tidak bereaksi terhadap stimulus
Kualitas kesadaran :
1. Compos mentis : Bereaksi secara adekuat
2. Abstensia drowsy/kesadaran tumpul : tidak tidur dan tidak begitu waspada.
Cenderung mengantuk.
3. Bingung/confused : Disorientasi terhadap tempat, orang dan waktu
4. Delerium : Mental dan motorik kacau, ada halusinasi dn bergerak sesuai
dengan kekacauan fikirannya.
5. Apatis : Tidak tidur, acuh tak acuh, tidak bicara dan pandangan hampa
Gangguan fungsi cerebral meliputi :
Gangguan komunikasi, gangguan intelektual, gangguan perilaku dan gangguan emosi
Pengkajian status mental / kesadaran meliputi :
GCS, orientasi (orang, tempat dan waktu), memori, interpretasi dan komunikasi.
2. Fungsi nervus cranialis
Cara pemeriksaan nervus cranialis :
a. N.I : Olfaktorius (daya penciuman) :
37
Pasiem memejamkan mata, disuruh membedakaan bau yang dirasakaan (kopi,
tembakau, alkohol,dll)
b. N.II : Optikus (Tajam penglihatan):
dengan snelen card, funduscope, dan periksa lapang pandang
c. N.III : Okulomorius (gerakam kelopak mata ke atas, kontriksi pupil, gerakan otot
mata):
Tes putaran bola mata, menggerkan konjungtiva, palpebra, refleks pupil dan inspeksi
kelopak mata.
d. N.IV : Trochlearis (gerakan mata ke bawah dan ke dalam):
sama seperti N.III
e. N.V : Trigeminal (gerakan mengunyah, sensasi wajah, lidah dan gigi, refleks
kornea dan refleks kedip):
menggerakan rahang ke semua sisi, psien memejamkan mata, sentuh dengan kapas
pada dahi dan pipi. Reaksi nyeri dilakukan dengan benda tumpul. Reaksi suhu
dilakukan dengan air panas dan dingin, menyentuh permukaan kornea dengan kapas
f. N.VI : Abducend (deviasi mata ke lateral) :
sama sperti N.III
g. N.VII : Facialis (gerakan otot wajah, sensasi rasa 2/3 anterior lidah ):
senyum, bersiul, mengerutkan dahi, mengangkat alis mata, menutup kelopak mataa
dengan tahanan. Menjulurkan lidah untuk membedakan gula dengan garam
h. N.VIII : Vestibulocochlearis (pendengaran dan keseimbangan ) :
test Webber dan Rinne
i. N.IX : Glosofaringeus (sensasi rsa 1/3 posterio lidah ):
membedakan rasaa mani dan asam ( gula dan garam)
j. N.X : Vagus (refleks muntah dan menelan) :
menyentuh pharing posterior, pasien menelan ludah/air, disuruh mengucap “ah…!”
k. N.XI : Accesorius (gerakan otot trapezius dan sternocleidomastoideus)
palpasi dan catat kekuatan otot trapezius, suruh pasien mengangkat bahu dan lakukan
tahanan sambil pasien melawan tahanan tersebut. Palpasi dan catat kekuatan otot
sternocleidomastoideus, suruh pasien meutar kepala dan lakukan tahanan dan suruh
pasien melawan tahan.
l. N.XII : Hipoglosus (gerakan lidah):
pasien suruh menjulurkan lidah dan menggrakan dari sisi ke sisi. Suruh pasien
menekan pipi bagian dalam lalu tekan dari luar, dan perintahkan pasien melawan
38
tekanan tadi.
3. Fungsi motorik
a. Otot
Ukuran : atropi / hipertropi
Tonus : kekejangan, kekakuan, kelemahan
Kekuatan : fleksi, ekstensi, melawan gerakan, gerakan sendi.
Derajat kekuatan motorik :
5 : Kekuatan penuh untuk dapat melakukan aktifitas
4 : Ada gerakan tapi tidak penuh
3 : Ada kekuatan bergerak untuk melawan gravitas bumi
2 : Ada kemampuan bergerak tapi tidak dapat melawan gravitasi bumi.
1 : Hanya ada kontraksi
0 : tidak ada kontraksi sama sekali
b. Gait (keseimbangan) : dengan Romberg’s test
4. Fungsi sensorik
Test : Nyeri, Suhu,
Raba halus, Gerak,
Getar, Sikap,
Tekan, Refered pain.
5. Refleks
a. Refleks superficial
• Refleks dinding perut :
• Refleks cremaster
• Refleks gluteal
b. Refleks tendon / periosteum
• Refleks Biceps (BPR):
• Refleks Triceps (TPR)
• Refleks Periosto radialis
• Refleks Periostoulnaris
39
• Refleks Patela (KPR)
• Refleks Achilles (APR)
• Refleks Klonus lutu
• Refleks Klonus kaki
c. Refleks patologis
• Babinsky
• Chadock
• Oppenheim
• Gordon
• Schaefer
• Gonda
• Stransky
• Rossolimo
• Mendel-Beckhterew
• Hoffman
• Trommer
• Leri
• Mayer
d. Refleks primitif
• Sucking refleks
• Snout refleks
• Grasps refleks
• Palmo-mental refleks
40
BAB V
KESIMPULAN
Epidural hematoma adalah perdarahan akut pada lokasi epidural. Fraktur
tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea media yang
masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara duramater dan
tulang di permukaan dalam os temporale.
Pada pasien ini , kelompok kami mendiagnosis Epidural hematoma
berdasarkan adanya riwayat trauma sebelumnya , anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang seperti foto Rontgen kepala. Dengan penatalaksanaan yang
cepat dan tepat maka prognosis epidural hematoma pada pasien ini bersifat baik
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi.
Pada kasus ini terdapat fraktur costa dan fraktur femur. Dengan penatalaksaan
secepatnya dan benar, pasien dapat sembuh sempurna
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Lumbantobing SM. Neurologi klinik. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2011. p.
7.
2. Price SA, Wilson LM. Cedera sistem saraf pusat. In: Dewi AD, Pita W,
Natalia S, Huriawati H (Editors). Patofisiologi. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006. p.
1174-5
3. Carleton PF, O’donnell MM. Disfungsi Mekanis Jantung dan Bantuan
Sirkulasi . In: Price SA, Wilson LM, Editors. Patofisiologi, Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit . 6 t h edit ion. Jakarta: EGC; 2005.p.641.
4. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,
Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
5. Snell RS. Neuroanatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. 5th ed. In:
Dimanti A, Hartanto H, editors. Jakarta: EGC; 2006.
42