Epidemiologi Rinitis Alergi

download Epidemiologi  Rinitis Alergi

of 4

Transcript of Epidemiologi Rinitis Alergi

  • 7/28/2019 Epidemiologi Rinitis Alergi

    1/4

    1. Epidemiologi Rinitis AlergiPrevalensi rinitis alergika diberbagai negara berkisar antara 3%-19%. Angka kejadian

    rinitis alergika di beberapa negara seperti Amerika Utara sebesar 10-20%, di Eropa sekitar

    10-15%, Thailand sekitar 20% dan di Jepang sekitar 10%. Di Indonesia sendiri sebanyak 10-

    26% pengunjung poliklinik THT di beberapa rumah sakit besar datang dengan keluhan rinitis

    alergika. Di unit rawat jalan Alergi Imunologi THT RS dr Wahidin Sudirohusodo Makassar

    selama 2 tahun (2004-2006) didapatkan 64,4% pasien rinitis alergika dari 236 pasien yang

    menjalani tes cukit kulit. Angka kejadian rinitis alergika pada anak juga meningkat.

    Penelitian menunjukkan bahwa kejadian rinitis alergika pada anak mencapai 42% pada anak

    usia 6 tahun.1

    Rinitis alergika yang muncul pada usia di bawah 20 tahun ditemukan sebanyak 80%

    dari keseluruhan kasus. Gejala rinitis alergika muncul 1 dari 5 anak pada usia 2 sampai 3

    tahun dan sekitar 40% pada anak usia 6 tahun. Sebanyak 30% pasien akan menderita rinitis

    pada usia remaja. Walaupun semua kelompok usia dapat terkena rinitis alergika, tetapi rinitis

    alergika ini biasanya lebih sering muncul pada usia kanak-kanak awal setelah terpapar atau

    tersensitisasi alergen tertentu. Rinitis alergika sering terjadi pertama kali pada kelompok

    anak-anak antara usia 5-10 tahun dengan puncaknya pada usia remaja antara 10 dan 20 tahun

    dan cenderung menurun sesuai dengan pertambahan usia. Rinitis alergika biasanya didapat

    pada penderita atopi.1

    2. Patofisiologi Rinitis AlergiRinitis alergika merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

    sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu

    immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung

    sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction

    atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8

    jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.1

    Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau

    monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell / APC) akan

    menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,

    antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA

    kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex

    kelas II) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper 0 (Th 0). Kemudian sel

  • 7/28/2019 Epidemiologi Rinitis Alergi

    2/4

    penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0

    untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin

    seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di

    permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi

    imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh

    reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini

    menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

    tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka

    kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya

    dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah

    terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan

    Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),

    Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai

    sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating

    Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1

    Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

    menimbulkan rasa gatal pada hidung, bersin-bersin, hipersekresi kelenjar mukosa dan sel

    goblet, permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Sel mastosit juga

    melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil

    di jaringan target. Gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah

    pemaparan.1

    Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) ditandai dengan penambahan jenis dan

    jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa

    hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag

    Colony Stimulating Factor(GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala

    hiperaktif atau hiperresponssif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator

    inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic

    Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase

    (EPO).1

  • 7/28/2019 Epidemiologi Rinitis Alergi

    3/4

    3. Studi Kasus :Ibu Iwan mengalami sesak nafas pada malam hari dan bila terlalu lelah, hal ini

    akibat reaksi hipersensitivitas tipe I di saluran pernafasan. Hal ini dikarenakan adannya

    hambatan sebagian sistem adrenergik, kurangnya enzim adenil siklase dan meningkatnya

    tonus sistem parasimpatis sehingga menyebabkan terjadinya spasme otot polos pada

    saluran nafas (trakea dan bronkus). 2

    Ketika antigen menembus membran pertahanan lini pertama, maka akan di

    sambut oleh sel sel pertahanan lini pertama (makrofag) yang nantinya menjadi APC

    (antigen persenting cell) yang kemudian menarik limposit Th. Selanjutnya APC berikatan

    dengan Th dan akan menghasilkan sitokin (IL-4 dan IL-3) yang akan merangsang sel B

    untuk memproduksi IgE. IgE nantinya akan berikatan dengan sel mast. Pada respons

    alergi disaluran nafas, IgE akan berikatan dengan sel mast, kemudian sel mast mulai

    melepaskan histamin ke jaringan, selain itu juga melepaskan sitokin yang akan

    merangsang sel B untuk menghasilkan IgE. Histamin menyebabkan konstriksi otot polos

    bronkiolus. Apabila respons histaminnya berlebihan, maka dapat timbul respons asmatik.

    Karena histamin juga merangsang pembentukan mukus dan meningkatkan permeabilitas

    kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang interstitium paru.3,4

  • 7/28/2019 Epidemiologi Rinitis Alergi

    4/4

    Ada banyak faktor yang berperan sebagai faktor pencetus dalam menentukan

    derajat reaktivitas atau iritabilitas trakea dan bronkus salah satunya adalah faktor fisik dan

    psikologi dimana dalam hal ini adalah aktivitas fisik yang menyebabkan kelelahan dan

    perubahan suhu dan kelembaban pada malam hari yang dapat meningkatkan rangsangan

    parasimpatis. Apapun yang dapat menyebabkan peningkatan rangsangan parasimpatis

    dapat menyebabkan respons asmatik, karena rangsangan parasimpatis menyebabkan

    konstriksi otot polos bronkiolus.3

    1. Munasir, Z., Suyoko, E.M.D. 2008. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Edisi KeduaCetakan Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

    2. Alsagaff Hood dkk. 2004. Asma Bronkial. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.Surabaya : Balai Penerbit FKUNAIR; 41-54

    3. Corwin, Elizabeth J. 2000Sistem Pernafasan. Dalam: Buku Saku Patofisiologi.Jakarta: EGC; 430-433.

    4. Baratawidjaja, Karnen Garna dan Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar Edisi Ke-9.Jakarta: FKUI.