Epi Lepsi

32
PENDAHULUAN Epilepsi merupakan gangguan saraf kronik dengan ciri timbulnya gejala gejala yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi. Menurut International League Against Epilepsi (ILAE), yang disebut epilepsi adalah kecenderungan untuk terjadinya kejang tipe apapun secara klinis. Tiap individu yang mengalami epilepsi mempunyai risiko yang bermakna untuk mengalami kekambuhan kejang. Waktu munculnya kejang terjadi secara mendadak, tidak disertai demam berulang dan tidak dapat diprediksi. Kejang yang menahun dan berulang dapat berakibat fatal, oleh karena itu sasaran terapi utamanya adalah pengendalian penuh atas kejang. 13 Epilepsi merupakan suatu bangkitan kejang berulang disebabkan aktivitas listrik abnormal di otak yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan,tumbuh-kembang, dan menentukan kualitas hidup anak. 1 Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus 1

description

mm

Transcript of Epi Lepsi

PENDAHULUANEpilepsi merupakan gangguan saraf kronik dengan ciri timbulnya gejala gejala yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi. Menurut International League Against Epilepsi (ILAE), yang disebut epilepsi adalah kecenderungan untuk terjadinya kejang tipe apapun secara klinis. Tiap individu yang mengalami epilepsi mempunyai risiko yang bermakna untuk mengalami kekambuhan kejang. Waktu munculnya kejang terjadi secara mendadak, tidak disertai demam berulang dan tidak dapat diprediksi. Kejang yang menahun dan berulang dapat berakibat fatal, oleh karena itu sasaran terapi utamanya adalah pengendalian penuh atas kejang.13Epilepsi merupakan suatu bangkitan kejang berulang disebabkan aktivitas listrik abnormal di otak yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan,tumbuh-kembang, dan menentukan kualitas hidup anak.1 Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak.12Terapi utama epilepsi yaitu dengan pemberian obat-obat antiepilepsi (OAE) untuk mengontrol kejang. Terapi pilihan lainnya termasuk perubahan pola makan, menghindari faktor pencetus (contohnya alkohol atau kurang tidur), stimulasi nervus vagus dan pembedahan. Terapi dimulai saat pasien mengalami kejang berulang dengan interval kejang yang tidak menahun Sekitar 50% pasien epilepsi dapat mengontrol frekuensi kekambuhan dan aktivitas kejangnya dengan OAE, namun 30-40% pasien mengalami kesukaran dalam mengontrol kejangnya walaupun telah menggunakan obat antiepilepsi.9Pengobatan epilepsi dengan OAE bersifat individual dan khas, berbeda dengan terapi terhadap penyakit lainnya. Sifat khas ini diwarnai oleh jangka waktu pengobatan yang lama dan seringkali memerlukan lebih dari satu obat sehingga memungkinkan terjadinya interaksi dan efek samping obat, toksisitas dan faktor lain yang dapat mempengaruhi pengobatan.9Dalam prakteknya, masalah terapi epilepsi antara lain meliputi ketidakpatuhan dalam meminum obat, penderita bosan dalam meminum obat, serangan yang tidak kunjung hilang setelah meminum obat, harga obat yang mahal, kewajiban pasien untuk kontrol secara teratur dan adanya efek samping yang muncul karena pengobatan. Kepatuhan merupakan masalah utama karena terapi pada penyakit epilepsi memerlukan waktu yang tidak sebentar dan kedisiplinan dalam menjalani pengobatan. Hal ini memerlukan strategi dan pendekatan khusus dalam menanganinya, mengingat sifat-sifat epilepsi yang kompleks dan pemberian obat antiepilepsi jangka panjang dengan segala konsekuensinya, yang menuntut kedisiplinan penderita untuk mematuhi pengobatan.1

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIENTanggal/ Jam Masuk : 21-12-2014/ ( 13.00 )Nama: An. FQUmur: 1 Tahun 8 bulanJenis Kelamin: laki-laki

II. ANAMNESISKeluhan Utama Kejang Riwayat Penyakit Sekarang Kejang mulai muncul sejak sebulan yang lalu, frekuensi kejang bisa mencapai 18 kali dalam sehari, durasi kejang 3-5 detik, kejang seluruh tubuh. Kejang muncul tiba-tiba tanpa demam sebelumnya. Setelah kejang pasien langsung sadar dan pulih seperti biasanya. Demam (+), menggigil (-), Flu (-), batuk berdahak (+), sejak 3 bulan lalu, sesak (+), Pasien jarang makan, tapi kuat minum susu, mual (-), muntah (-), buang air besar biasa, buang air kecil biasa.

Riwayat Penyakit DahuluTerdapat riwayat trauma saat usia 6 bulan yaitu jatuh dari tempat tidur. Sebulan yang lalu juga jatuh saat bermain dengan kakaknya, 2 jam setelah jatuh pasien mulai kejang.

Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada keluarga memiliki keluhan serupa.Ayah pasien perokok aktif.

Riwayat Kehamilan dan PersalinanG3P2A0. Lahir dengan normal dan cukup bulan, lahir di rumah di bantu bidan dengan berat badan lahir 3000 gram, saat lahir leher bayi terlilit tali pusat, tidak langsung menangis, menangis setelah 5 menit.

ANAMNESIS MAKANANASI 0 bulan 4 bulanSusu formula 4 bulan sekarang

Riwayat ImunisasiImunisasi dasar lengkap.

III. PEMERIKSAAN FISIKKeadaan UmumKondisi Umum: Sakit SedangBB : 12 kgTingkat Kesadaran: ComposmentisTB : 80 cmStatus Gizi: Z score +1 (+2) SD = Gizi Baik Tanda-Tanda VitalTekanan Darah: 100/80Denyut Nadi: 108 x/menitSuhu: 37 CPernapasan: 44 x/menitKulit Sianosis (-), ikterik (-), turgor < 2 detikKepala Normocephal, Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Sianosis (-), Tonsil T1/T1 hiperemis (-) Leher Pembesaran Tiroid (-) Pembesaran kelenjar getah bening (-)Thoraks Paru-paruInspeksi : Simetris bilateral, tidak ada retraksi dinding dada Palpasi : Fokal Fremitus simetris kanan dan kiri, krepitasi tidak ada, nyeri tekan tidak ada.Perkusi : Sonor di kedua paruAuskultasi : Bronkovesikuler (+), rhonki (+) dan wheezing (-)JantungInspeksi : Ictus cordis tidak tampakPalpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V midclacicular sinistraPerkusi : Batas jantung normalAuskultasi : Bunyi jantung I/II murni regularAbdomen Inspeksi : Tampak datar, massa tidak adaAuskultasi : Peristaltic (+) kesan normal Perkusi : Timpani Palpasi : Nyeri tekan (-), organomegali (-)Genitalia Tidak ditemukan kelainanAnggota GerakEkstremitas atas dan ektremitas bawah akral hangat dan tidak ada oedemaPunggung Kifosis (-), Lordosis (-), scoliosis (-)Otot Otot Tonus otot baikPemeriksaan Tambahan (-)

IV. ResumeAnak usia 1 tahun 8 tahun laki-laki datang ke poliklinik dengan keluhan sering kejang, kejang mulai muncul sejak sebulan yang lalu, frekuensi kejang bisa mencapai 18 kali dalam sehari, durasi kejang 3-5 detik, kejang seluruh tubuh. Kejang muncul tiba-tiba tanpa demam sebelumnya. Setelah kejang pasien langsung sadar dan pulih seperti biasanya. Terdapat riwayat trauma saat usia 6 bulan yaitu jatuh dari tempat tidur. Sebulan yang lalu juga jatuh saat bermain dengan kakaknya, 2 jam setelah jatuh pasien mulai kejang. Demam (+), menggigil (-), batuk berdahak (+), sejak 3 bulan lalu, sesak (+), lahir dengan normal dan cukup bulan, lahir di rumah di bantu bidan dengan berat badan lahir 3000 gram, saat lahir leher bayi terlilit tali pusat, tidak langsung menangis, menangis setelah 5 menit.Pemeriksaan fisik: tingkat kesadaran: composmentis, status Gizi: Z score +1 (+2) SD = gizi baik, tekanan darah: 100/80, denyut nadi: 108 x/menit, suhu: 37 C, pernapasan: 40 x/menit.

V. DiagnosisSusp. Epilepsi umum + BronkopneumoniaVI. TerapiDepakene syr 3 x 1 cthParasetamol 4 x 1 cthPuyer batuk 3 x 1

VII. ANJURANEEG, CT Scan kepala, MRI

VIII. FOLLOW UPTanggal 22 Oktober 2014S : Pingsan (-), kejang (-), panas (+), batuk (+)O : TANDA VITAL- Nadi: 80 kali/menit - Suhu: 37,8 C- Respirasi: 42 kali/menitPEMERIKSAAN FISIK Kepala Leher: Konjugtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), bibir sianosis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-) Thoraks: Ekspansi simetris pulmo kanan dan kiri, bronkovesikuler (+), rhonki (+), wheezing (-). Abdomen: Masa (-), peristaltik (+) normal, nyeri tekan (-), organomegali (-). Ekstremitas: Lengkap, cicatrix (-), edem (-) Refleks: Fisiologis (+), patologis (-) Tonus otot: Eutrofi

HasilNilai Rujukan

Sel darah putih11,1x103/mm3,8 - 10,6 103/mm

Sel darah merah4,51x103/mm4,4 - 5,9 103/mm

Hemoglobin12,0 gr/dL13,2 - 17,3 gr/dL

Hematokrit40%40 52%

Platelet255x103/mm150 440 103/mm

MCV78,5 fL80,0 100,0 fL

MCH26,6 pg26,0 34,0 pg

MCHC33,9 gr/dL32,0 36,0 gr/dL

A: Susp. Epilepsi Umum + BronkopneumoniaP: Terapi lanjut.

Tanggal 23 Oktober 2014S : Pingsan (-), kejang 7X, panas (+), batuk (+)O : TANDA VITAL- Nadi: 105 kali/menit (lembut)- Suhu: 38 C- Respirasi: 40 kali/menitPEMERIKSAAN FISIK Kepala Leher: Konjugtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), bibir sianosis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-) Thoraks: Ekspansi simetris pulmo kanan dan kiri, bronkovesikuler, rhonki (+), wheezing (-). Abdomen: Masa (-), peristaltik (+) normal, nyeri tekan (-), organomegali (-). Ekstremitas: Lengkap, cicatrix (-), edem (-) Refleks: Fisiologis (+), patologis (-) Tonus otot: EutrofiA: Susp. Epilepsi Umum + BronkopneumoniaP: Terapi lanjut.

Tanggal 24 Oktober 2014S : Pingsan (-), kejang 1x (malam hari), panas (+), batuk (+)O : TANDA VITAL- Nadi: 110 kali/menit (lembut)- Suhu: 38 C- Respirasi: 40 kali/menitPEMERIKSAAN FISIK Kepala Leher: Konjugtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), bibir sianosis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-) Thoraks: Ekspansi simetris pulmo kanan dan kiri, bronkovesikuler (+), rhonki (+), wheezing (-). Abdomen: Masa (-), peristaltik (+) normal, nyeri tekan (-), organomegali (-). Ekstremitas: Lengkap, cicatrix (-), edem (-) Refleks: Fisiologis (+), patologis (-) Tonus otot: EutrofiA: Susp. Epilepsi Umum + Bronkopneumonia P: Terapi lanjut.

Tanggal 25 Oktober 2014S : Pingsan (-), kejang 1x (malam hari), panas (+), batuk (+)O : TANDA VITAL- Nadi: 120 kali/menit (lembut)- Suhu: 38,2 C- Respirasi: 44 kali/menitPEMERIKSAAN FISIK Kepala Leher: Konjugtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), bibir sianosis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-) Thoraks: Ekspansi simetris pulmo kanan dan kiri, bronkovesikuler (+), rhonki (+), wheezing (-). Abdomen: Masa (-), peristaltik (+) normal, nyeri tekan (-), organomegali (-). Ekstremitas: Lengkap, cicatrix (-), edem (-) Refleks: Fisiologis (+), patologis (-) Tonus otot: EutrofiA: Susp. Epilepsi Umum + BronkopnumoniaP: Terapi lanjut.

Tanggal 26 Oktober 2014S : Pingsan (-), kejang 1x (malam hari), panas (+), batuk (+)O : TANDA VITAL- Nadi: 120 kali/menit (lembut)- Suhu: 37 C- Respirasi: 42 kali/menitPEMERIKSAAN FISIK Kepala Leher: Konjugtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), bibir sianosis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-) Thoraks: Ekspansi simetris pulmo kanan dan kiri, bronkovesikuler (+), rhonki (+), wheezing (-). Abdomen: Masa (-), peristaltik (+) normal, nyeri tekan (-), organomegali (-). Ekstremitas: Lengkap, cicatrix (-), edem (-) Refleks: Fisiologis (+), patologis (-) Tonus otot: EutrofiA: Susp. Epilepsi Umum + BronkopneumoniaP: Terapi lanjut.

DISKUSIGangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang.3Dari hasil anamnesis didapatkan seorang anak laki-laki usia 1 tahun 8 bulan mengalami kejang. Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena.15Perlu diketahui faktor-faktor pencetus terjasinya epilepsi, seperti faktor prenatal, diketahui usia ibu saat hamil adalah 36 tahun yang mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasinya antara lain hipertensi dan eklamsia, gangguan persalinan yaitu prematur, berat bayi lahir rendah, partus lama. Diketahui juga saat lahir pasien mengalami asfiksia karena terlilit tali pusat, sehingga terjadi hipoksia pada jaringan. Hipoksia mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Asfiksia akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan fokus fokus epileptogenik.15Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi juga dapat menyebabkan asfiksia pada bayi, tapi dari anamnesis riwayat kehamilan dan persalinan tidak didapatkan riwayat eklamsia dan hipertensi.14 Faktor postnatal yang diduga menjadi pemicu terjadinya epilepsi adalah trauma kepala atau cedera kepala yang dialami oleh pasien. Epilepsi post traumatik adalah sindroma klinik dimana seseorang menderita bangkitan berulang setelah trauma/post traumatic seizures (PTS) akibat dari cedera otak traumatik atau kerusakan otak yang disebabkan trauma fisik. Epilepsi post trauma merupakan kelainan kronik berulang, diduga penyebabnya adalah adanya trauma otak. Trauma ini dapat disebabkan oleh trauma kepala atau gejala sisa (sequele) dari operasi otak. Istilah epilepsi post trauma harus dibedakan dengan bangkitan post trauma, yaitu bangkitan yang merupakan sequele dari trauma otak. Jika bangkitan muncul dalam 24 jam setelah trauma, hal itu disebut bangkitan post trauma tipe segera. Bangkitan post trauma yang terjadi 1 minggu setelah trauma disebut bangkitan post trauma tipe awal. Sedangkan bangkitan yang terjadi lebih dari 1 minggu setelah cedera disebut bangkitan post trauma tipe lambat.14Trauma kepala, melalui mekanisme yang belum jelas, akan pemicu serangkaian proses yang menghasilkan epileptogenesis. Seseorang yang mengalami trauma kepala memiliki resiko 3 kali lipat lebih tinggi untuk terjadinya bangkitan epilepsi dibanding orang pada umumnya. Terdapat banyak teori yang telah dikembangkan untuk menjelaskan mekanisme yang melatarbelakangi penyebab serangan kronik setelah trauma kapitis. Diantaranya adalah pembentukan radikal bebas yang merusak parenkim otak, peningkatan pada aktifitas eksitasi setelah trauma, dan perubahan pada fungsii inhibisi dari otak. Karena darah pada parenkim otak dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya epilepsi, meskipun mekanisme dari teori ini masih digali. Hemoglobin diteliti sebagai bahan yang terlibat dalam epileptogenesis. Begitu terjadi perdarahan ke dalam jaringan otak, sel darah merah akan mengalami lisis dengan kemudian melepaskan hemoglobin yang akan dipecah menjadi hemin dan besi. Kedua bahan hasill pemecahan tersebut telah terbukti mempengaruhi fungsi fisiologis pada transmisi di sinaps yang dapat menyebabkan penbentukan serangan epilepi post trauma. Darah yang berkumpul di otak setelah trauma dapat merusak jaringan otak dan berakibat timbulnya epilepsi. Produk hasil-hasil dari penguraian hemoglobin dari darah bersifat toksik terhadap jaringan otak. "The Iron Hypothesis" yang masih dipertahankan bahwa epilepsi post trauma akibat kerusakan oleh radikal bebas oksigen, dimana pembentukannya dikatalisis oleh besi dari darah. Percobaan pada hewan dengan menggunakan tikus menunjukkan bangkitan epileptik dapat dihasilkan dengan menyuntikkan besi ke dalam otak. Besii menyebabkan pembentukan radikal bebas hidroksil melalui reaksi Haber-Weiss. Radikal bebas merusak sel otak dengan melakukan peroksidase terhadap lapisan lipid di membran sel. Besi dari darah juga mengurangi aktifitas dari enzim yang disebut nitrit oxide synthase, sebagai faktor lainnya yang diduga berperan terhadap terjadinya epilepsi post trauma.17Seperti halnya bentuk epilepsi yang lain, bangkitan dapat umum atau parsial. Sesaat setelah trauma kapitis, bangkitan biasanya umum, sementara kejadian bangkitan parsial meningkat sejalan dengan berjalan waktunya setelah trauma. Onset dari epilepsi post trauma dapat terjadi dalam waktu singkat setelah cedera atau berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian setelah trauma kapitis. Untuk alasan yang masih belum diketahui, trauma kapitis dapat menyebabkan perubahan di otak yang menyebabkan timbulnya epilepsi. Ada beberapa mekanisme yang dikemukakan dengan cara bagaimana cedera otak traumatik dapat menyebabkan epilepsi post traumatik, lebih dari satu mekanisme tersebut dapat terjadi pada satu pasien.17Kindling hipotesis menegaskan bahwa hubungan antar neuron-neuron yang baru dibentuk di otak dan menyebabkan peningkatan eksitabilitas. Sinaps ditata kembali di hipocampus. Neuron-neuron yang dalam keadaan hipereksitabilitas karena trauma dapat membentuk fokus epilepsi di otak yang akan menimbulkan bangkitan dikemudian hari. Sebagai tambahan, neuron-neuron inhibisi kemungkinan akan menghilang.2Eksitotoksisitas merupakan kemungkinan faktor lain dalam penyebab epilepsi post trauma. Cedera otak karena trauma menyebabkan jumlah neurotransmitter glutamat dan aspartat banyak dilepaskan, yang mungkin dihubungan dengan timbulnya bangkitan. Sebagai tambahan, pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti GABA dapat berkurang. Overaktivasi dari reseptor biokimiawi dan respon terhadap neurotransmitter eksitasi seperti glutamat menyebabkan pembentukan radikal bebas dan hal ini menyebabkan eksitotoksisitas. Sel otak menjadi rusak karena eksitasi berlebihan dari reseptor untuk asam amino eksitatorik pada membran neuron. Kalsium diduga sebagai ion utama yang terlibat dalam eksitotoksisitas. Reseptor eksitatorik glutamat penting untuk masuknya ion kalsium kedalam sel yang dapat menimbulkan kematian sel, dan dapat menimbulkan efek permanen pada sel sebagai fokus epileptogenik yang kronik akan mengikuti eksitotoksisitas karena pelepasan neurotransmitter eksitasi yang berlebihan saat terjadi bangkitan. Glutamat menyebar luas di otak seperti halnya cairan ektrasel, neurotransmitter ini terlibat dalam banyak fungsi. Glutamat dalam jumlah besar memiliki efek eksitotoksik terhadap otak, pada saat yang bersamaan, glutamat juga berperan sebagai prekursor dari neurotransmitter inhibisi GABA (-aminobutirit acid), sehingga efeknya pada patogenesis epilepsi mungkin lebih rumit.16Teori lain menyatakan adanya perubahan pada otak setelah trauma kepala, menyebabkan hilangnya fungsi neurotrasmiter inhibisi GABA yang penting untuk mencegah aktifitas kejang. Teori lain menyatakan fungsi neurotrasmiter inhibisi bukan menghilang, akan tetapi hanya berkurang dengan akibat yang serupa. Aktivitas GABA merupakan neurotransmiter inhibisi utama pada fungsi otak normal.10Reaksi dari otak terhadap trauma kelihatannya bermacam-macam dan agak rumit. Satu penelitian yang menarik (meskipun sangat kontroversial) yang diterbitkan akhir-akhir ini menemukan bahwa pencegahan bangkitan dengan fenobarbital dapat menunda perbaikan fungsi setelah adanya trauma pada otak. Hal ini menunjukkan bahwa adanya bangkitan itu sendiri mungkin merupakan suatu mekanisme perlindungan otak dari trauma dan merupakan mekanisme pemulihan. Dengan demikian, ada anggapan bahwa terapi pencegahan bangkitan yang diberikan saat segera setelah cedera kepala (atau profilaksis) dapat memberikan hasil yang lebih merugikan daripada menguntungkan.8Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG). 4Pasien ini belum dilakukan EEG karena panas badan terus menerus, sehingga perlu dipantau setelah bebas demam seminggu baru dapat dilakukan pemeriksaan EEG. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita epilepsi. EEG dapat mengkonfirmasi aktivitas epilepsi bahkan dapat menunjang diagnosis klinis dengan baik, tetapi tidak dapat menegakkan diagnosis secara pasti. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetika atau metabolik. Namun pada Pemeriksaan EEG berfungsi dalam mengklasifikasikan tipe kejang dan menentukan terapi yang tepat. EEG harus diulangi apabila kejang sering dan berat walaupun sedang dalam pengobatan, apabila terjadi perubahan pola kejang yang berarti atau apabila timbul defisit neurologi yang progresif.6Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak. CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa yang mungkin dilakukan terapi pembedahan.6

Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan mengatasi kejang dengn obat Antiepilepsi:Table 2. Pilihan OAE berdasarkan tipe serangan epilepsi 7Tipe KejangMonoterapiTerpai Tambahan

Pilihan IPilihan II

Parsial/fokalKarbamazepinFenitoinOxcarbamazepineAsam valproatFenobarbitalPrimidoneLeviracetam, TopiramateLamotrigine, TiagabineZonisamide, Felbamate, gabapentin

Tonik-klonik umumAsam valproatFenitoninFenobarbitalKarbamazepineClonazepamPrimidoneTopiramate, lamotrigine, felbamate, zonisamide

Tonik, klonik,atonikAsam valproateFenobarbitalClonazepamLeviracetam, lamotrigine, topiramate, felbamate, zonisamide

AbsanEthosuximidAsam valproateFelbamate, lamotrigine, acetazolamide

MioklonikAsam valproateKlonazepamFenobarbital

Lepiracetam, Lamotrigine, Topiramat, Felbamte, Zonisamide

Pada pasien diberikan asam valproat karena bentuk kejangnya adalah tonik klonik. Prinsip pemakaian obat antiepilepsi adalah tercapainya keadaan bebas kejang setelah pemberian obat antiepilepsi dengan dosis minimal, dengan efek samping sangat sedikit atau bahkan tidak ada. Selain itu, pemberian obat antiepilepsi pada anak sangat berbeda dalam farmakokinetik, dimana pada anak memiliki perbedaan besar dalam hal absorpsi dan eliminasi obat antiepilepsi. Dengan pemahaman yang baik mengenai efek samping masing-masing obat, dan mempertimbangkan farmakokinetik tersebut membantu klinisi untuk memberikan resep yang rasional. 11Asam valproat dengan struktur 2-propylpentanoic acid merupakan obat antiepilepsi dengan spektrum luas. Asam valproat bersifat larut dalam air, dan sangat higroskopis. Asam valproat diindikasikan pada hampir semua tipe epilepsi, seperti absence, kejang tonik klonik, kejang mioklonik, spasme infantile, serta kejang parsial. Pada sebuah studi didapatkan bahwa asam valproat merupakan pilihan utama pada penderita epilepsi usia sekolah karena penggunaan asam valproat jarang menyebabkan terjadinya gangguan fungsi kognitif. 11Sediaan dari asam valproat adalah intravena, oral yaitu tablet enteric coated, sirup, serta supositoria. Farmakokinetik asam valproat pada anak berbeda dengan orang dewasa, yaitu dengan bioavaibilitas lebih dari 90%, waktu untuk mencapai level puncak adalah bervariasi, bergantung pada sediaan yaitu 0.5 sampai 1 jam untuk sirup, 0.5 sampai 2 jam untuk kapsul, 1 sampai 6 jam untuk sediaan enteric coated, dan 3 sampai 6 jam untuk sediaan sprinkle capsule. Volume distribusi 0.16 L per kg, dengan distribusi yang lebih luas dibandingkan dengan obat antiepilepsi lainnya, yaitu sekitar 70% sampai dengan 93% berikatan dengan protein serum.11Mekanisme kerja asam valproat adalah glukoronidasi, -oxidation pada mitokondria, dan oksidasi melalui sitokrom P-450. Metabolit aktif dari asam valproat yaitu 2-ene-valproic acid dan 4-ene-valproic acid menimbulkan efek antikonvulsan. Eliminasi dari asam valproat berlangsung lebih singkat. Pada masa bayi berlangsung antara 17 sampai dengan 40 jam, namun memasuki usia bayi dan anak akan menurun yaitu 3 sampai 20 jam.11Pasien juga disertai dengan keluhan bronkopneumonia yang ditandai dengan gejala batuk, sesak, dan panas badan. Skoring untuk diagnosis tuberkulosis sudah dilakukan dan didapatkan skor 5. Sesuai tatalaksana TB untuk balita dengan skor TB nilai 5 maka harus segera dirujuk ke rumah sakit untuk evaluasi lebih lanjut. Diagnosis untuk batuk pada pasien dikarenakan adanya bronkopneumonia. Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur.Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia, penyebab yang sering adalah stafilokokus, streptokokus, H. influenza, Proteus sp dan Pseudomonas aeruginosa.18 Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar organisme yang berbeda dengan patogenitas yang bervariasi. Virus, tuberkolosis dan organisme dengan patogenisitas yang rendah dapat juga menyebabkan bronkopneumonia, namun gambarannya bervariasi sesuai agen etiologinya.5Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :5

1. Stadium I/Hiperemia (4 12 jam pertama/kongesti) Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya) Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 8 hari) Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.4. Stadium IV/Resolusi (7 11 hari)Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

Prognosis umumnya baik, 70-80% pasien yang mengalami epilepsi akan sembuh, dan kurang daril 50%-nya akan bisa lepas obat. 20-30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis, pada keadaan ini pengobatan menjadi semakin sulit, dan 5% diantaranya akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental dan gangguan psikiatri neurologik, pada keadaan seperti ini prognosis epilepsi dikatakan buruk.3

DAFTAR PUSTAKA1. Cornaggia CM, Beghi M, Provenzi M, Beghi E. 2006. Correlation between cognition and behavior in epilepsy. Epilepsia, 47, s349.2. D'Ambrosio R, Perucca E (2004). "Epilepsy after head injury". Current Opinion in Neurology 17 (6): 731735. PMID 15542983.3. Fisher RS, Boas WE, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, et al. 2005. Epileptic seizures and epilepsy: definition proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia; 46(4):470-24. Haslam RHA. The nervous system. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, Penyunting. Nelson textbook of pediatrics ; edisi ke-15. Philadelphia: Saunders, 2002. h. 1691-5.5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit IDAI6. Nelson KB. Febrile seizures. Dalam: Dodson WE, Pellock JM, Penyunting. Pediatric epilepsy: diagnosis and therapy. New York: Demos, 2007. h. 129-33.7. Ngwane E, Bower B. Continous sodium valproate or phenobarbitone in the prevention of simple febrile convulsion. Arch Dis Child 2009; 55:171-4.8. Octaviana,F. Epilepsy in medicinus scientific journal of pharmaceutical development and medical application.Vol.21 Nov-Des 20089. Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-1610. Pagni CA, Zenga F (2005). "Posttraumatic epilepsy with special emphasis on prophylaxis and prevention". Acta Neurochirurgica 93: 2734. PMID 15986723.11. P.G. Vining. Tonic and atonic seizures: Medical therapy and ketogenic diet. International League Against Epilepsy. USA: Johns Hopkins Medical Institutions. 200912. Parton M, Cockerell C. 2003. Epilepsy the aetiology and pathogenesis. Hospital Pharmacist, 10, 28895.13. Stefan H (2003) : Differential Diagnosis of Epileptic Seizures and Non Epileptic Attacks, Teaching Course : Epilepsy 7th Conggres of the European Federation of Neurological Societies, Helsinki.14. Swash M (2004). Outcomes in Neurological and Neurosurgical Disorders. Cambridge, UK: Cambridge University Press, 172-173. ISBN 0-521-44327-X.15. Suwarba, I G N M. 2011. Insidens dan karakteristik klinis epilepsy pada anak. Sari pediatric. 13 : 123 12816. Tucker GJ (2005). "16: Seizures", in Silver JM, McAllister TW, Yudofsky SC: Textbook Of Traumatic Brain Injury. American Psychiatric Pub., Inc, 309-321. ISBN 158562105617. Willmore LJ (2006). "Post-traumatic epilepsy: Cellular mechanisms and implications for treatment". Epilepsia 31 (Supplement 3): S6773. PMID 2226373.

20