REFRAT Skleritis Epi
-
Upload
hawania-ii -
Category
Documents
-
view
140 -
download
5
description
Transcript of REFRAT Skleritis Epi
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Radang pada episklera dan sclera mungkin disebabkan reaksi
hipersensivitas terhadap penyakit sistemik seperti tuberculosis, reumathoid
arthritis, lues, SLE, dan lainnya.merupakan suatu reaksi toksik, alergik atau
merupakan bagian daripada infeksi. Dapat saja kelainan ini terjadi secara
spontan dan idiopatik.
Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan
adanya infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Proses
peradangan ini terjadi karena adanya proses imunologis, atau karena suatu
infeksi. Trauma lokal juga dapat mencetuskan proses peradangan tersebut.
Skleritis sering berasosiasi dengan suatu infeksi sistemik ada suatu penyakit
autoimun.
Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika
Serikat diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus
skleritis yang ditemukan, sekitar 94 % merupakan skleritis anterior dan
sisanya ialah skleritis posterior. Skleritis lebih sering dijumpai pada wanita,
pada umumnya sekitar umur 20-60 tahun. Hampir separuh dari kasus
skleritis terjadi secara bilateral.
2
Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri
berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang
dapat membangunkan dari tidur akibat sakitnya yang sering kambuh.
Pergerakan bola mata dan penekanan pada bulbus okuli juga dapat
memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat
dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih
sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata.
Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam
penglihatan.
Episkleritis umumnya mengenai satu mata dan terutama perempuan usia
pertengahan dengan bawaan penyakit rerumatik. Keluhan pasien dengan
episkleriitis berupa mata terasa kering, dengan rasa sakit yang ringan,
mengganjal dengan konjungtiva yang kemotik. Dalam referat ini akan
dibahas secara menyeluruh mengenai skleritis dan episkleritis.
1.2 Tujuan
Adapun beberapa tujuan dari penulisan referat ini yaitu :
1. Untuk mengetahui gambaran penyakit skleritis dan episkleritis secara
umum.
2. Untuk mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan skleritis dan
episkleritis.
3
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI SKLERA
Sklera, yang lebih dikenal sebagai bagian putih dari mata, adalah jaringan terkeras
dari mata. Sklera bersambung pada bagian depan dengan sebuah jendela membran
yang bening, yaitu kornea. Pada sklera juga terdapat konjungtiva untuk menjaga
kelembapan mata. Sklera terdiri dari jaringan fibrosa dengan ketebalan 10 – 14
mikron, dan kaya akan serat elastik serta mengandung otot halus.9 Sklera
berfungsi untuk melindungi struktur bola mata yang halus dan tempat melekatnya
otot bola mata.
Gambar 1. Anatomi Bola Mata
Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada garis
ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 – 0.5 mm dan pada bagian posterior mencapai
1 mm. Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang rentan
tersobek karena trauma. Trauma tumpul cenderung merobek mata pada bagian
tertipisnya, yaitu di belakang insersio otot rektus.
4
Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera membentuk
lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut sebagai lamina
kribosa. Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang desebut sebagai emissaria.
Pada sekitar saraf optik terdapat jalur yang dilewati oleh arteri dan saraf siliar
posterior. Sekitar 4 mm posterior dari ekuator terdapat jalan untuk vena vorteks.
Pada bagian anterior terdapat jalan untuk pembuluh darah siliaris anterior yang
memperdarahi otot rektus.
Gambar 2. Sklera
III. SKLERITIS
3.1 Defenisi
Skleritis merupakan peradangan pada sklera berupa gangguan
granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel,
5
dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis. Kelainan ini
murni diperantarai oleh proses imunologik, yakni reaksi tipe IV
( hipersensitivitas tipe lambat ) dan tipe III ( kompleks imun ) dan disertai
atau disebabkan oleh penyakit sistemik ( penyakit jaringan ikat, pasca
herpes, sifilis, dan gout ). Kadang-kadang disebabkan tuberculosis, bakteri
( pseudomonas ), sarkoidosis, hipertensi, benda asing dan pasca bedah.
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Penyakit ini bersifat
unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau kambuh. Wanita lebih
sering terkena daripada pria. Dari hasil anamnese, pasien skleritis hampir
selalu mengeluhkan adanya nyeri. Nyeri biasanya bersifat konstan, meyebar
ke dahi, alis dan dagu sehingga pasien sering mengeluhkan sulit tidur. Mata
merah berair dan fotofobia. Selain nyeri, pasien juga mengeluhkan adanya
penurunan ketajaman penglihatan. Skleritis tidak mengeluarkan kotoran.
Sklera yang terkena tampak membengkak. Bola mata sering terasa nyeri dan
tanda klinis yang penting adalah bola mata berwarna ungu gelap akibat
dilatasi pleksus vaskular dalam di sklera dan episklera.
6
3.2 Etiologi
Skleritis dapat merupakan insiden tersendiri (43%) atau berkaitan dengan
penyakit sistemik lainnya (57%). Adapun beberapa etiologi dari skleritis
ialah :
A. Autoimun (48%)
1. Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain :
Rheumatoid arthritis
Systemic lupus erythematosus
Ankylosing spondylitis
Reactive arthritis
Psoriatic arthritis
Gouty arthritis
Inflammatory bowel diseases
Relapsing polychondritis
Polymyositis
Sjögren syndrome
Mixed connective tissue disease
Progressive systemic sclerosis
2. Penyakit vaskulitik, antara lain :
Polyarteritis nodosa
Allergic angiitis of Churg-Strauss syndrome
Wegener’s granulomatosis
Behçet disease
7
Giant cell arteritis
Cogan syndrome
B. Infeksi dan Granulomatosa (7%)
Tuberkulosis
Sifilis
Sarkoidosis
Toksoplasmosis
Herpes simpleks
Herpes zoster
Infeksi Pseudomonas
Infeksi Streptokokus
Infeksi Stafilokokus
Aspergilosis
Leprosi
C. Lain-lain (2%)
Atopi
Sekunder dikarenakan benda asing, trauma kimia, atau obat - obatan
(pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid,
ibandronate).15
D. Idiopatik
8
3.3 Patofisiologi
Gambar 3. Skleritis
Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50
persen kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering
yang menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis,
ankylosing spondylitis, systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa,
Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah
gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus.
Gangguan regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi
genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat
berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan
dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan
vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik
(hipersensitivitas tipe IV).
9
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari
antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi
reaksi lokal (reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat
diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada
penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII
adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas
aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi
hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara umum
memakan waktu maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi
sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan
pembentukan kompleks antigen – antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi.
Patologi utama dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh
peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian
dari sel mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi
menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan
pada endotelium dan membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut
dapat terdisposisi pada bermacam – macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau
sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi
post – infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut
juga hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat
sel jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan
menunjukkan pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II,
10
kemudian mengalami kontak dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan.
Aktivasi dari sel T tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti
kemokin untuk makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada netrofil.
Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel
mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi
maksimal memakan waktu 48 – 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas
tipe lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering adalah
hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu
dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu
deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler
(peradangan mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada
skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau bagian posterior mata.
3.4 Klasifikasi
Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe
dari skleritis anterior adalah :
1. Diffuse anterior scleritis.
Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh permukaan
sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.
11
2. Nodular anterior scleritis.
Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak
dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus
berkembang menjadi skleritis nekrosis.
3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation.
Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri
sangat berat dan kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila disertai
dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.
4. Necrotizing anterior scleritis without inflammation.
Biasa terjadi pada pasien yang sudah lama menderita rheumatoid
arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan nodul rematoid dan absennya
gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.
Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis
12
Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari
sklera setelah resolusi dari nodul
Gambar 6. Skleromalasia perforans
Di samping skleritis anterior, ada pula skleritis posterior. Skleritis posterior
ini jarang terjadi dan ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus okuli dan
13
proptosis. Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan
lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan edema retrobulbar. Pada
skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina eksudatif, edema
makular, dan papiledema.
3.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan pasien akan bervariasi, tergantung dari tipe skleritis yang
dialami pasien. Pasien dengan necrotizing anterior scleritis with
inflammation akan mengeluhkan rasa nyeri yang hebat disertai tajam
penglihatan yang menurun bahkan dapat terjadi kebutaan. Tajam
penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis biasanya tidak
akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis. Rasa
nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk dengan pergerakan bola
mata dan dapat menyebar ke arah alis mata, dahi, dan dagu. Rasa
nyeri juga dapat memburuk pada malam hari, bahkan dapat
membangunkan pasien dari tidurnya.
2. Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi
a. Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan
pemeriksaan tajam penglihatan.
Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.
Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.
14
b. Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat
dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.
c. Pemeriksaan Sklera
Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa
peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan
menimbulkan uvea gelap.
Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi
oleh peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila
proses berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular dan
menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di
kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.
d. Pemeriksaan slit – lamp
Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau
segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse
anterior scleritis.
Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan
episkleral bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral
superfisial. Sudut posterior dan anterior dari sinar slit lamp
terdorong maju karena adanya edema pada sklera dan episklera.
Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan
menandai jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian
dalam dari jaringan episklera.
15
Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area
avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50%
kasus.
Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau
konjungtivitis juga dapat dilakukan.
e. Pemeriksaan skleritis posterior
Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada
palpasi dan proptosis.
Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis
posterior. Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik
koroidal.
Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan
koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari
skleritis. Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang
dapat dilakukan yaitu :
a. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
b. Faktor rheumatoid dalam serum
c. Antibodi antinuklear serum (ANA)
d. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
e. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks
16
f. Serum FTA-ABS, VDRL
g. Serum asam urat
h. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya
skleritis posterior.
Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan
adanya akumulasi cairan pada kapsul tenon.
3.6 Diagnosa Banding
A. Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak
antara konjungtiva dan permukaan sklera. Episkleritis dapat
merupakan suatu reaksi toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat
juga terjadi secara spontan dan idiopatik. Episkleritis umumnya
mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan dengan
riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis.
Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi
pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva.
17
Episkleritis mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih
ringan dibandingkan dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak
menimbulkan turunnya tajam penglihatan.
Gambar 8. Episkleritis
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan
rasa mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk
radang pada episkleritis mempunyai gambaran benjolan setempat
dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila
benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas
benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar
mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan melebarnya
pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini
dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada
skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila
diberi fenilefrin 2,5% topikal.
18
Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak
mengecil dengan pemberian fenilefrin 2,5%
topikal.
Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang
mengecil dengan pemberian fenilefrin 2,5%
topikal.
3.7 Penatalaksanaan
Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien
yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan
yang spesifik juga. Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan
19
pada skleritis yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius,
serta konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit
sistemik yang menyertai.
1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius.
NSAIDs, kortikosteroid, atau obat imunomodulator dapat digunakan.
Pengobatan secara topikal saja tidak mencukupi. Pengobatan tergantung
pada keparahan skleritis, respon pengobatan, efek samping, dan
penyakit penyerta lainnya.
a. Diffuse scleritis atau nodular scleritis
Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat
menggunakan 2 jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien
resiko tinggi, berikan juga misoprostol atau omeprazole untuk
perlindungan gastrointestinal.
Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika
terjadi remisi, dipertahankan menggunakan NSAIDs.
Jika oral kortikosteroid gagal, obat – obatan imunosupresif dapat
digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat
juga digunakan azathioprine, mycophenolate, mofetil,
cyclophosphamide, atau cyclosporine. Untuk pasien dengan
Wegener’s granulomatosis atau polyarteritis nodosa,
cyclophosphamide adalah pilihan utama.
Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan imunomodulator
seperti infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat
efektif.
20
b. Necrotizing scleritis
Obat – obatan imunosupresif ditambahkan dengan
kortikosteroid pada bulan pertama, kemudian jika mungkin
dikurangi perlahan – lahan.
Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.
Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat
memperparah proses nekrosis yang terjadi.
2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius.
Pengobatan sistemik dengan atau tanpa antimikrobial topikal dapat
digunakan. Sementara kortikosteroid dan imunosupresif tidak boleh
digunakan.
3. Konsultasi.
Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta,
dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk
pengawasan terapi imunosupresif.
Adapun jenis obat-obatan yang dapat dipakai sebagai medikamentosa dalam
penyakit skleritis ialah :
A. NSAIDs (Non-steroid Anti Inflammatory Drugs)
Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan.
NSAIDs bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin,
menghalangi perjalanan dari lekosit, dan menghambat fosfodiesterase.
21
Pemberian :
Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air
untuk menghindari gangguan pada saluran pencernaan.
1. Indometasin (Indocin)
Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat
dengan cepat diserap. Metabolisme terjadi di hati dengan
demetilasi, deasetilasi, dan konjugasi glukuronid.
Dosis : 75-150 mg PO/hari or dibagi 2 kali sehari; tidak melampaui
150 mg/hari
Pemberian pada lansia harus diawasi fungsi ginjal, Penurunan
fungsi ginjal lebih mungkin terjadi usia lanjut. Dosis/frekuensi
terendah disarankan.
2. Diflunisal (Dolobid)
Turunan asam salisilat nonsteroid yang bekerja secara perifer
sebagai analgesik. Memiliki efek antipiretik dan anti – radang;
tetapi, berbeda secara kimia dengan aspirin dan tidak
dimetabolisme menjadi asam salisilat. Obat ini adalah sebuah
penghambat prostaglandin – sintase.
Dosis : 250-1000 mg PO setiap hari dibagi setiap 12 jam.
Dosis maksimum : 1500 mg/hari.
22
3. Naproxen (Naprelan, Anaprox, Aleve, Naprosyn)
Digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang.
Menghambat reaksi peradangan dan nyeri dengan menurunkan
aktifitas enzim siklooksigenase, menghasilkan penurunan dari
sintesis prostaglandin. Naproxen diserap dengan cepat dan
memiliki paruh waktu sekitar 12 – 15 jam.
Dosis : 250-500 mg PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500
mg/hari.
4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)
Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan
sampai sedang, jika tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi
peradangan dan nyeri, kemungkinan dengan menurunkan aktifitas
enzim siklooksigenase, yang menghasilkan sintesis prostaglandin.
Obat yang berikatan kuat dengan protein dan siap diserap secara
oral. Memiliki paruh waktu yang singkat (1.8-2.6 jam).
Dosis : 300-800 mg PO 4 kali sehari
400-800 mg IV selama 30 menit setiap 6 jam kalau diperlukan.
Tidak melebihi 3200 mg/hari.
23
5. Sulindac (Clinoril)
Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu,
menghambat sintesis prostaglandin. Menghasilkan penurunan
pembentukan mediator peradangan.
Dosis : 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400 mg/hari.
Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu
terpendek.
6. Piroxicam (Feldene)
Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan
protein plasma. Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan dengan
begitu, menghambat sintesis prostaglandin. Efek ini menurunkan
pembentukan mediator radang.
Dosis : 20 mg PO setiap harinya atau dibagi 2 kali sehari; tidak
melebihi 30-40 mg/hari.
B. Agen Imunosupresan
Digunakan untuk skleritis berat (Necrotizing scleritis) dan yang resisten
terhadap NSAIDs.
1. Methotrexate (Folex, Rheumatex)
Mekanisme kerjanya dalam pengobatan reaksi peradangan kurang
diketahui. Dapat mempengaruhi fungsi imun dan biasanya
menghilangkan gejala peradangan (nyeri, bengkak, kaku).
24
Dosis tunggal PO sebanyak 7.5 mg setiap minggu. Dosis dibagi PO
sebanyak 2.5 mg setiap 12 jam untuk 3 dosis, sebagai pengganti
sekali seminggu
Peningkatan sampai respon optimum; tidak melebihi dosis tunggal
dari 20 mg (meningkatkan resiko supresi sum –sum tulang).
Kurangi sampai serendah mungkin. Kurangi sampai dosis efektif
terendah dengan waktu istirahat terpanjang
Awasi : fungsi ginjal, keracunan hematopoietik, fungsi paru, fungsi
hati.
2. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)
Secara struktur kimia berhubungan dengan mustards nitrogen.
Sebagai alkylating agent, mekanisme kerjanya sebagai metabolit
aktif mungkin melibatkan penyambungan silang DNA, yang dapat
mengganggu pertumbuhan sel normal dan neoplastik.
Pemberian IV :
Dosis tunggal : 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari; dapat diulangi
dalam interval 2-4 minggu
Dosis setiap hari : 1-2.5 mg/kg/hari
Pemberian oral :
Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi
intermiten
25
Terapi berulang : 50-100 mg/sq.meter/hari
Pemberian :
- Berikan dosis pertama sepagi mungkin
- Minum banyak cairan bersamaan dengan dosis per oral
- Pasien harus buang air untuk mencegah sistitis hemoragik.
- Awasi : Hitung sel darah (Sel darah putih dapat menurun
sampai 2000-3000/cu.mm tanpa resiko serius terkena infeksi)
3. Azathioprine (Imuran)
Menghambat mitosis dan metabolisme seluler dengan mengganggu
metabolisme purin dan sintesis DNA, RNA, dan protein.
Dosis awal : 1 mg/kg IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari,
dapat ditingkatkan seperti berikut:
Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5
mg/kg/hari setiap 4 minggu, tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.
Pengawasan : Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu
sampai dosis efektif terendah tercapai.
4. Cyclosporine (Neoral)
Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan
reaksi imun yang dilakukan sel, seperti hipersensitifitas tipe lambat
dan penolakan cangkok.
26
Dosis : 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8
minggu, Dapat ditambah menjadi tidak lebih dari 4 mg/kg/hari
Awasi : fungsi ginjal
C. Glukokortikoid
Memiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek
metabolik. Kortikosteroid mempengaruhi respon imun tubuh dan
berguna dalam pengobatan skleritis yang berulang.
1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)
Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen
imunosupresif lainnya.
Dosis : 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali sehari PO
Metilprednisolon asetat : 10-80 mg IM setiap 1-2 minggu.
Jika diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral,
berikan dosis IM setiap harinya sama dengan dosis oral.
Untuk efek jangka panjang, berikan dosis oral 7 kali setiap harinya
IM setiap minggu.
Hanya metilprednisolon sodium sukinat dapat diberikan secara IV
Dosis : 1 g IV selama 1 jam selama 3 hari
27
2. Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred)
Digunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja
dengan cara meningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan
kerja PMN, serta dapat menurunkan peradangan.
Dosis : 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2 kali sehari sampai
4 kali sehari.
3.8 Komplikasi
Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Makular
edema dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior
sampai koroid, retina, dan saraf optik. Makular edema dapat mengakibatkan
penurunan penglihatan. Komplikasi lainnya yaitu perforasi dari sklera yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan mata untuk melihat. Skleromalasia
juga dapat terjadi, terutama pada skleritis dengan rheumatoid arthritis. Obat
kortikosteroid juga dapat memicu terjadinya perforasi serta meningkatkan
tekanan intraokular sehingga beresiko merusak saraf optik akibat glaukoma.
Tanpa pengobatan segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio
retina, keratitis, uveitis, atau atrofi optik. Uveitis anterior terjadi pada sekitar
30% kasus skleritis. Sedangkan uveitis posterior terjadi pada hampir seluruh
kasus skleritis posterior, namun tak jarang juga dijumpai pada kasus skleritis
anterior.2 Skleritis dapat berulang dan berpindah ke posisi sklera yang
berbeda.
28
3.9 Prognosis
Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami kerusakan
penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada
penyakit penyerta yang mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis
umumnya mengakibatkan hilangnya penglihatan dan memiliki 21%
kemungkinan meninggal dalam 8 tahun.
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
29
IV. EPISKLERITIS
4.1 Defenisi
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera. Episkleritis dapat merupakan suatu
reaksi toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara
spontan dan idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama
pada wanita usia pertengahan dengan riwayat penyakit reumatik.
4.2 Etiologi
Hingga sekarang para dokter masih belum dapat mengetahui penyebab pasti
dari episkleritis. Namun, ada beberapa kondisi kesehatan tertentu yang
selalu berhubungan dengan terjadinya episkleritis. Kondisi- kondisi tersebut
adalah penyakit yang mempengaruhi tulang, tulang rawan, tendon atau
jaringan ikat lain dari tubuh, seperti :
a) Rheumatoid arthritis
b) Ankylosing spondylitis
c) Lupus (systemic lupus erythematosus)
d) Inflammatory bowel diseases seperti Crohn’s disease and ulcerative
colitis
e) Gout
30
f) Bacterial atau viral infection seperti Lyme disease, syphilis atau herpes
zoster
Beberapa penyakit lain yang kurang umum, penyebab episkleritis termasuk
jenis kanker tertentu, penyakit kulit, gangguan defisiensi imun dan, yang
pasling jarang berhubungan adalah gigitan serangga.
4.3 Klasifikasi
Ada dua jenis episkleritis yaitu :
1. Episcleritis simple.
Ini adalah jenis yang paling umum dari episkleritis. Peradangan
biasanya ringan dan terjadi dengan cepat. Hanya berlangsung selama
sekitar tujuh sampai 10 hari dan akan hilang sepenuhnya setelah dua
sampai tiga minggu. Pasien dapat mengalami serangan dari kondisi
tersebut, biasanya setiap satu sampai tiga bulan. Penyebabnya seringkali
tidak diketahui.
2. Episkleritis nodular.
Hal ini sering lebih menyakitkan daripada episkleritis simple dan
berlangsung lebih lama. Peradangan biasanya terbatas pada satu bagian
mata saja dan mungkin terdapat suatu daerah penonjolan atau benjolan
pada permukaan mata. Ini sering berkaitan dengan kondisi kesehatan,
seperti rheumatoid arthritis, colitis dan lupus.
31
4.4 Gejala Klinis
Gejala episkleritis meliputi :
a) sakit mata dengan rasa nyeri atau sensasi terbakar
b) Mata merah pada bagian putih mata
c) Kepekaan terhadap cahaya
d) Tidak mempengaruhi visus
Jika pasien mengalami episkleritis nodular, pasien mungkin memiliki satu
atau lebih benjolan kecil atau benjolan pada daerah putih mata. Pasien
mungkin merasakan bahwa benjolan tersebut dapat bergerak di permukaan
bola mata.
4.5 Diagnosis
Dokter umum atau dokter spesialis mata akan menanyakan beberapa gejala-
gejala yang dialami pasien dan akan melakukan pemeriksaan pada mata
pasien. Dokter juga mungkin akan mempertanyakan mengenai riwayat
kesehatan pasien.
Para dokter juga dapat melakukan beberapa tes lebih lanjut, seperti tes
darah, untuk mengetahui apakah episkleritis terkait dengan kondisi
kesehatan yang mendasarinya.
Jika kondisi pasien sangat parah atau tidak berespon dengan pengobatan,
seorang dokter umum mungkin akan merujuk pasien ke dokter spesialis
mata.
32
4.6 Terapi
Episkleritis biasanya akan hilang sendiri dalam waktu sekitar 10 hari dan
biasanya tidak memerlukan pengobatan apapun. Air mata buatan (misalnya
hypromellose) dapat berguna dalam menghilangkan gejala mata kering.
Obat-obat
Jika gejala semakin parah atau bertahan lama, dokter mungkin akan
meresepkan beberapa obat berikutc:
1. Non-steroidal anti-inflammatory drug (NSAID), seperti flurbiprofen.
Obat ini akan membantu meredakan nyeri dan bengkak dan mengurangi
peradangan.
2. Steroid eye drops, seperti dexamethasone. Obat ini akan membantu
untuk mengurangi peradangan dan mempercepat pemulihan pasien.
Namun, ada beberapa risiko terkait dengan penggunaan tetes mata
steroid, sehingga pasien perlu dipantau ketat oleh dokter.
Setiap penemuan kondisi kesehatan yang mendasari terjadinya episkleritis
juga memerlukan pengobatan. Pasien mungkin akan dirujuk ke spesialis lain
seperti rheumatologist (seorang dokter yang mengkhususkan diri dalam
mengidentifikasi dan mengobati kondisi yang mempengaruhi sistem
muskuloskeletal, terutama sendi dan jaringan sekitarnya) untuk pengobatan.
33
4.7 Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena biasanya akan sembuh dengan sendirinya
dalam 4-5 minggu, dan tidak akan mempengaruhi visus.
4.8 Komplikasi
Sebuah komplikasi episkleritis yang mungkin terjadi adalah iritis. Sekitar
satu dari 10 orang dengan episkleritis akan berkembang ke arah iritis ringan.
34
V. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan refrat ini adalah :
1. Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya
infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Skleritis
merupakan penyakit yang jarang terjadi. Skleritis biasanya terjadi bersama
dengan penyakit sistemik, yaitu penyakit autoimun dan infeksi, namun bisa
juga terjadi secara idiopatik.
2. Skleritis dapat didiagnosa banding dengan episkleritis. Namun kedua
penyakit ini dapat dibedakan melalui lokasi terjadinya peradangan. Pada
episkleritis, proses peradangan hanya terlokalisir di daerah episklera, yaitu
perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Sedangkan pada skleritis proses
peradangan dapat meluas ke seluruh bagian sklera. Selain itu, rasa nyeri yang
berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada
episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda
asing di dalam mata.
3. Prognosis skleritis seringkali tergantung pada penyakit sistemik yang
menyertainya. Necrotizing scleritis dapat menyebabkan hilangnya
penglihatan secara permanen.
4. Episkleritis adalah suatu peradangan pada episklera. Kelainan ini idiopatik
pada sebagian besar kasus, namun dalam kasus tertentu mungkin ada
hubungan dengan beberapa penyakit sistemik yang mendasari seperti
rheumatoid arthritis, poliarteritis nodosa, lupus eritematosus sistemik,
35
penyakit radang usus, sarkoidosis, granulomatosis Wegener, asam urat,
herpes zoster atau sifilis.
5. Prognosis episkleritis akhirnya baik karena biasanya akan sembuh dengan
sendirinya dalam 1-2 minggu, dan tidak akan mempengaruhi visus.
36
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas S., 2005. Penuntun Ilmu Penyakit Mata edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Ilyas S., 2008. Ilmu Penyakit Mata. 3rd edisi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Ilyas, Sidarta. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Penyakit Mata. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, 2003.
James B., Oftalmologi ed 9 : Jakarta: Erlangga ; 2003 : hal 74-75
Kanski, J., Clinical Ophtalmology : New York : pg 155
Khurana A.K., Comprehensive Ophthalmology, 4th ed. New Delhi: New Age
International (P) Ltd; 2007 : pg 127-132
Lang G.K., Ophthalmology: A Short Textbook. New York: Thieme; 2000 : pg
158-163.
PERDAMI. 2006. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum & Mahasiswa
Kedokteran, PERDAMI.
Schlote, T., Pocket Atlas of Ophtalmology. New York : Thieme; 2006 : pg111
Vaughan D.G., Oftalmologi Umum ed 14. Jakarta : Widia Medika ; 2000 : hal
170-173