Emergensi SK1

60
SKENARIO 1 : PENDARAHAN PERSALINAN 1. Hipertensi Pada Kehamilan Definisi Hipertensi dalam kehamilan adalah adanya tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensif, atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal. Pre-eklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan kedua sampai triwulan ketiga) atau bisa lebih awal terjadi. Sedangkan pengertian eklampsia adalah apabila ditemukan kejang-kejang pada penderita pre-eklampsia, yang juga dapat disertai koma. Etiologi Teori yang dianggap dapat menjelaskan etiologi dan patofisiologi PE harus dapat menjelaskan kenyataan bahwa HDK seringkali terjadi pada : 1. Mereka yang terpapar pada villi chorialis untuk pertama kalinya ( pada nulipara ) 2. Mereka yang terpapar dengan villi chorialis yang berlimpah ( pada kehamilan kembar atau mola ) 3. Mereka yang sudah menderita penyakit vaskular sebelum kehamilan. 4. Penderita dengan predisposisi genetik Hipertensi . Menurut Sibai (2003), faktor-faktor yang berpotensi sebagai etiologi : 1. Invasi trofoblastik abnormal kedalam vasa uterina. 2. Intoleransi imonologi antara maternal dengan jaringan feto- maternal . 3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamasi selama kehamilan. 4. Defisiensi bahan makanan tertentu ( nutrisi ). 5. Pengaruh genetik.

description

Trauma Kepala

Transcript of Emergensi SK1

Page 1: Emergensi SK1

SKENARIO 1 : PENDARAHAN PERSALINAN

1. Hipertensi Pada Kehamilan

DefinisiHipertensi dalam kehamilan adalah adanya tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensif, atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal. Pre-eklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan kedua sampai triwulan ketiga) atau bisa lebih awal terjadi. Sedangkan pengertian eklampsia adalah apabila ditemukan kejang-kejang pada penderita pre-eklampsia, yang juga dapat disertai koma.

EtiologiTeori yang dianggap dapat menjelaskan etiologi dan patofisiologi PE harus dapat menjelaskan kenyataan bahwa HDK seringkali terjadi pada : 1. Mereka yang terpapar pada villi chorialis untuk pertama kalinya ( pada nulipara ) 2. Mereka yang terpapar dengan villi chorialis yang berlimpah ( pada kehamilan kembar atau mola ) 3. Mereka yang sudah menderita penyakit vaskular sebelum kehamilan. 4. Penderita dengan predisposisi genetik Hipertensi . Menurut Sibai (2003), faktor-faktor yang berpotensi sebagai etiologi : 1. Invasi trofoblastik abnormal kedalam vasa uterina. 2. Intoleransi imonologi antara maternal dengan jaringan feto-maternal . 3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamasi selama kehamilan. 4. Defisiensi bahan makanan tertentu ( nutrisi ). 5. Pengaruh genetik.

1. INVASI TROFOBLAST ABNORMAL 

Implantasi plasenta yang normalTerlihat proliferasi trofoblas ekstravillous membentuk kolom sel didekat “anchoring villous” Trofoblas ekstravilous melakukan invasi desidua dan kearah bawah kedalam arteri spiralis.Akibatnya, terjadi penggantian endotel dan dinding otot dari pembuluh darah serta pembesaran dari pembuluh darah

Page 2: Emergensi SK1

Pada proses implantasi normal : arteri spiralis mengalami “remodeling” secara ekstensif akibat invasi oleh trofoblast endovaskular (gambar atas) Pada PE : invasi trofoblastik berlangsung secara tak sempurna. Pembuluh darah desidua ( bukan pembuluh darah miometrium ) terbungkus dengan trofoblas endovaskular. Besarnya gangguan invasi trofoblas pada arteri spiralis berhubungan dengan beratnya HT yang terjadi.

Perubahan dini pada PE : Kerusakan endothelium. Insudasi bahan dalam plasma kedalam dinding pembuluh darah. Proliferasi sel miointima dan nekrosis bagian medial. Terdapat akumulasi lipid pada sel miointima dan makrofag, sel yang mengandung lipid tersebut disebut artherosis (gambar bawah)

Obstruksi lumen arteri spiralis akibat artherosis menyebabkan terganggunya aliran darah. Redman dan Sargent (2003) : gangguan perfusi plasenta akibat artherosis arteri spiralis adalah awal kejadian sindroma PE.

2. FAKTOR IMUNOLOGI Terdapat sejumlah bukti yang menyatakan bahwa PE adalah penyakit dengan mediasi imunologi. Resiko PE meningkat pada keadaan dimana pembentukan “blocking antibody” terhadap “placental site” terganggu. Dekker dan Sibai (1998) meneliti peranan maladaptasi imunologis dalam patofisiologi PE. Dimulai sejak trimester kedua, pasien yang akan menderita PE mempunyai helper T cell (Th1) yang rendah dibandingkan mereka yang tidak akan menderita PE. Ketidak seimbangan Th1/Th2 ( Th2 yang lebih dominan) tersebut dipengaruhi oleh adenosin. Yoneyama dkk (2002) kadar adenosin pada penderita PE lebih besar dibandingkan yang normotensif. Helper cell T lympocyte menghasilkan cytokine spesifik yang memudahkan implantasi dan disfungsi dari helper cell lymphocyte dan keadaan ini akan menyebabkan terjadinya PE. Pada penderita dengan antibodi anticardiolipin, lebih sering terjadi kelainan plasenta dan PE.

3. VASKULOPATI dan INFLAMASI Melalui berbagai macam cara, perubahan inflamasi merupakan kelanjutan dari perubahan yang terjadi plasenta. Sebagai respon terhadap faktor plasenta yang dilepaskan akibat adanya reaksi iskemik terjadi sebuah rangkaian proses seperti yang terlihat pada gambar skematik dibawah.

Pada desidua terdapat banyak sel yang bila diaktivasi akan mengeluarkan bahan – bahan tertentu yang dapat merusak sel endotel. Disfungsi sel endotel berhubungan dengan PE melalui proses adaptasi inflamasi intravaskular. PE dianggap sebagai keadaan ekstrem dari aktivasi leukosit dalam sirkulasi maternal. Manten dkk (2005) : Cytokine ( tumor necrosis factor α ) dan interleukin berperan sebagai stressor oksidatif yang berkaitan dengan PE. Stresor oksidatif memiliki karakter bagi spesies tertentu dan adanya radikal bebas penting bagi

Page 3: Emergensi SK1

pembentukan peroksidase lipid yang dapat berlipat ganda dengan sendirinya (“self propagation” ). Bahan yang bersifat radikal bebas tersebut mempunyai sifat : Mampu mencederai sel endothel pembuluh darah. Modikasi produksi nitric oxide. Mengganggu keseimbangan prostaglandin. Pengetahuan mengenai peran stresor oksidatif dalam kejadian PE meningkatkan perhatian pada keuntungan pemberian antioksidan dalam pencegahan PE .Antioksidan penting antara lain : Vitamin E atau α-tocopherol, Vitamin C dan Vitamin A β-carotene

4. FAKTOR NUTRISI Berbagai faktor defiensi nutrisi diperkirakan berperan sebagai penyebab Eklampsia. Banyak saran yang diberikan untuk menghindarkan hipertensi misalnya dengan menghindari konsumsi daging berlebihan, protein, purine, lemak, hidangan siap saji (snack), dan produk-produk makanan instan lain. John dkk (2002) : diet buah dan sayur banyak mengandung aktivitas non-oksidan yang dapat menurunkan tekanan darah. Zhang dkk (2002) : kejadian PE pada pasien dengan asupan vitamin C harian kurang dari 85 mg dapat meningkat menjadi 2 kali lipat. Obesitas adalah faktor resiko yang berpotensi untuk menyebabkan terjadinya PE. Obesitas pada ibu tidak hamil dapat menyebabkan aktivasi endotel dan respon inflamasi sistemik yang berhubungan dengan arterosklerosis.

Page 4: Emergensi SK1

Kadar C-reactive protein (“inlamatory marker”) meningkat pada obesitas yang seringkali berkaitan dengan PE.

5. FAKTOR GENETIK Ness Dkk (2003) : predisposisi hipertensi secara herediter sangat berkait dengan kejadian PE dan E. Chesley dan Cooper (1986) : menyimpulkan bahwa PE dan E menurun diantara saudara sekandung perempuan, anak perempuan, cucu perempuan.

Terdapat banyak factor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan , yang dapat dikelompokkan dalam factor resiko sebagai berikut:1.      Primi gravid, primipaternitas2.      Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidisa, kehamilan multiple, DM, Hidrops fetalis, bayi

besar3.      Umur yang Ekstrim4.      Riwayat keluarga pernah preeklamsia/eklamsia 5.      Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil6.      Obesitas

Patofisiologi

1. Teori kelainan vaskularisasi plasentaPada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah dari cabang –

cabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan menjadi arteri arkuata, yang akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis memberi cabang arteri spiralis. Pada kehamilan terjadi invasi trofoblas kedalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi distensi dan vasodilatasi   arteri spiralis, yang akan memberikan dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan remodelling arteri spiralis. Pada pre eklamsia terjadi kegagalan remodelling menyebabkan arteri spiralis menjadi kaku dan keras sehingga arteri spiralis tidak mengalami distensi dan vasodilatasi, sehingga aliran darah utero plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.

2. Teori Iskemia Plasenta, Radikal bebas, dan Disfungsi Endotela. Iskemia Plasenta dan pembentukan Radikal Bebas

Karena kegagalan Remodelling arteri spiralis akan berakibat plasenta mengalami iskemia, yang akan merangsang pembentukan radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (-OH) yang dianggap sebagai toksin. Radiakl hidroksil akan merusak membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Periksida lemak juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel.

b. Disfungsi EndotelKerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan

rusaknya seluruh struktur sel endotel keadaan ini disebut disfungsi endotel, yang akan menyebabkan terjadinya :- Gangguan metabolisme prostalglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2)

yang merupakan suatu vasodilator kuat.- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi

trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) yaitu suatu vasokonstriktor kuat. Dalam Keadaan normal kadar prostasiklin lebih banyak dari pada tromboksan. Sedangkan pada pre eklamsia kadar tromboksan lebih banyak dari pada prostasiklin, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah.

Page 5: Emergensi SK1

- Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular endotheliosis) .- Peningkatan permeabilitas kapiler.- Peningkatan produksi bahan – bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO menurun

sedangkan endotelin meningkat.- Peningkatan faktor koagulasi

3. Teori intoleransi imunologik ibu dan janinPada perempuan normal respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat

asing. Hal ini disebabkan adanya Human Leukocyte Antigen Protein G (HLA-G) yang dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu. HLA-G juga akan mempermudah invasis el trofoblas kedalam jaringan desidua ibu. Pada plasenta ibu yang mengalami pre eklamsia terjadi ekspresi penurunan HLA-G yang akan mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua. Kemungkinan terjadi  Immune- Maladaptation   pada pre eklamsia.

4. Teori Adaptasi kardiovaskularPada kehamilan normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan vasopresor. Refrakter

berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon vasokonstriksi. Refrakter ini terjadi akibat adanya sintesis prostalglandin oleh sel endotel. Pada pre eklamsia terjadi kehilangan kemampuan refrakter terhadap bahan vasopresor sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor sehingga pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi dan mengakibatkan hipertensi dalam kehamilan.

5. Teori GenetikAda faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotype ibu lebih

menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotype janin. Telah terbukti bahwa ibu yang mengalami pre eklamsia, 26% anak perempuannya akan mengalami pre eklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami pre eklamsia.

6. Teori Defisiensi GiziBeberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa defisiensi gizi berperan dalam terjadinya

hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan dapat mengurangi resiko pre eklamsia. Minyak ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.

7. Teori Stimulasi InflamasiTeori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah

merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Berbeda dengan proses apoptosis pada pre eklamsia, dimana pada pre eklamsia terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga produksi debris trofoblas dan nekrorik trofoblas juga meningkat. Keadaan ini mengakibatkan respon inflamasi yang besar juga. Respon inflamasi akan mengaktifasi sel endotel dan sel makrofag/granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi inflamasi menimbulkan gejala – gejala pre eklamsia pada ibu.

Klasifikasi1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau

hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca persalinan.

2. Preeklamsi adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria.

3. Eklamsi adalah preeklamsi yang disertai dengan kejang-kejang sampai dengan koma.

Page 6: Emergensi SK1

4. Hipertensi kronik dengan superposed preeklamsi adalah hipertensi kronik di sertai tanda-tanda preeklamsi atau hipertensi kronik disertai proteinuria.

5. Hipertensi gestasional (transient hypertensi) adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalin, kehamilan dengan preeklamsi tetapi tanpa proteinuria.

Patofisiologi

Page 7: Emergensi SK1

Manifestasi KlinisDiagnosis dan Diagnosis BandingPenatalaksanaanKomplikasi PrognosisPencegahan 1. Modifikasi diet

Pencegahan asupan garam tak dapat mencegah terjadinya preeklampsia Suplementasi calcium dapat menurunkan kejadian hipertensi gestasional

2. Aspirin dosis rendah Awal keberhasilan penggunaan 60 mg aspirin untuk menurunkan kejadian PE berawal dari

kemampuan untuk menekan produksi tromboksan secara selektif dengan hasil akhir peningkatan produksi prostacyclin endothelial. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa aspirin dosis rendah tidak efektif dalam pencegahan PE.

3. Antioksidan Aktivitas antioksidan serum penderita PE sangat berkurang.

Konsumsi vitamin E tidak berhubungan kejadian PE. Kadar Vit E dalam plasma yang tinggi pada penderita PE adalah merupakan respon terhadap stressor oksidatif yang ada. Chappel dkk (1999) : membuktikan adanya penurunan aktivasi sel endothel pada pemberian vit C atau E pada kehamilan 18 – 22 dan pemberian vitamin C dan E dapat menurunkan secara bermakna kejadian PE.

2. Pendarahan Antepartum

Antenatal Bleeding atau perdarahan antepartum adalah perdarahan jalan lahir setelah kehamilan 28 minggu. Karena perdarahan antepartum terjadi pada kehamilan di atas 28 minggu maka sering disebut atau digolongkan perdarahan pada trisemeter ketiga. Walaupun perdarahannya sering dikatakan terjadi pada trimester ketiga, akan tetapi tidak jarang juga terjadi sebelum kehamilan 28 minggu karena sejak itu segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulaimelebar serta menipis. Dengan bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi, dan serviks mulai membuka.Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasentayang melekat di situ tanpa terlepasnya sebagian plasenta dari dindinguterus. Pada saat itu mulailah terjadi perdarahan (Wiknjosastro, 2005).

Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta. Hal ini disebabkan perdarahan yang bersumber pada kelainan plasenta biasanya lebih banyak, sehingga dapat mengganggu sirkulasi O2 dan CO2 serta nutrisi dari ibu kepada janin. Sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta seperti kelainan serviks biasanya relatif tidak berbahaya. Oleh karena itu, pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta (Wiknjosastro, 2005)

Perdarahan antepartum diklasifikasikan menjadi :1. Plasenta Previa

Plasenta terletak atau menutupi atau sangat dekat dengan os interna.2. Solusio Plasenta

Lepasnya plasenta dengan implantasi normal sebelum waktunya pada kehamilan yang berusia di atas 28 minggu

Page 8: Emergensi SK1

3. Belum jelas sumbernya (idiopatik) seperti ruptur sinus marginalis, plasenta letak rendah, dan vasa previa.

PLASENTA PREVIA

Definisi Plasenta previa adalah plasenta terletak atau menutupi atau sangat dekat dengan os interna. Keadaan

lain yang disebut vasa previa adalah keadaan dengan pembuluh-pembuluh janin berjalan melewati selaput ketuban dan terdapat di os interna. Kondisi ini merupakan penyebab perdarahan antepartum yang jarang dan memiliki angka kematian janin yang tinggi. (F. Gary Cunningham, 2005).

Plasenta previa adalah implantasi plasenta di sekitar osteum uteri internum yang dapat berakibat perdarahan pada kehamilan di atas 22 minggu (Manuaba dkk., 2007).

Plasenta previa adalah plasenta yang implantasi atau letaknya tidak normal, tumbuh pada segmen bawah rahim, pada zona dilatasi, sehingga menghubungkan atau menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum. Plasenta yang normal terletak atau berimplantasi lebih dari 2 cm dari ostium uteri internum. Plasenta previa pada kehamilan prematur lebih bermasalah karena persalinan terpaksa, perdarahan hebat, proses persalinan, ataupun oleh karena prematuritas itu sendiri. Perdarahan akibat plasenta previa akan fatal bagi ibu jika tidak ada persiapan darah atau komponen darah dengan segera (Wardana GA, Karkata MK. ,2007)

EtiologiPenyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belumlah diketahui dengan pasti.

Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa desidua di daerah segmen bawah rahim.3

Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan endometrium yang kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau kurang baiknya vaskularisasi desidua. Keadaan ini bisa ditemukan pada :2,4,5

1. Multipara, terutama jika jarak kehamilannya pendek2. Mioma uteri3. Kuretasi yang berulang4. Umur lanjut (diatas 35 tahun)5. Bekas seksio sesaria6. Riwayat abortus7. Defek vaskularisasi pada desidua8. Plasenta yang besar dan luas : pada kehamilan kembar, eriblastosis fetalis. 9. Wanita yang mempunyai riwayat plasenta previa pada kehamilan sebelumnya

Page 9: Emergensi SK1

10. Perubahan inflamasi atau atrofi misalnya pada wanita perokok atau pemakai kokain. Hipoksemia yang terjadi akibat CO akan dikompensasi dengan hipertrofi plasenta. Hal ini terutama terjadi pada perokok berat (> 20 batang/hari).

Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus tumbuh menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh meluas akan mendekati atau menutupi ostoum uteri internum.2

Endometrium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari tempat implantasi yang lebih baik, yaitu di tempat yang lebih rendah dekat ostium uteri internum. Plasenta previa juga dapat terjadi pada plasenta yang besar dan yang luas seperti pada eritroblastosis, diabetes mellitus, atau kehamilan multiple.2

Klasifikasi Berdasarkan letaknya, plasenta previa dapat di klasifikasikan sebagai berikut: (57)

1. Plasenta previa totalis : seluruh pembukaan jalan lahir tertutup plasenta (plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri intemum.)

2. Plasenta previa lateralis/parsialis : sebagian pembukaan jalan lahir tertutup (plasenta plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri intemum).

3. Plasenta previa marginalis : pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan (plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum).

4. Plasenta letak rendah : plasenta yang letaknya abnormal pada segmen bawah uterus, tapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir.

Klasifikasi plasenta previa berdasarkan beratnya dan juga penatalaksanaan yang tepat, yaitu grade I sampai grade IV. Grade I dan II termasuk kriteria minor dan masih memungkinkan persalinan pervaginam. Sementara itu Grade III dan IV termasuk kriteria major yang tidak memungkinkan untuk persalinan pervaginam sehingga dibutuhkan tindakan operasi. Pembagian plasenta previa berdasarkan grade ini adalah sebagai berikut (Hamilton-Fairley D. 2004):

Grade Deskriksi

MinorI

Plasenta berada pada segmen bawah rahim tetapi tepi terbawah tidak mencapai ostium uteri internum.

IITepi terbawah dari plasenta letak rendah mencapai ostium uteriinternum tetapi tidak menutupinya.

MayorIII Plasenta menutupi ostium uteri internum tetapi asimteris.IV Plasenta menutupi ostium uteri internum secara simetris.

Page 10: Emergensi SK1

EpidemiologiAngka kejadian plasenta previa sekitar 1 dari 200 persalinan. Insiden pada multipara berkisar 1

dari 20 proses kelahiran. Di RS Parkland didapatkan prevalensi plasenta previa 0,5%. Clark dkk (1985) melaporkan prevalensi plasenta previa 0,3%. Nielson dkk (1989) dengan penelitian prospektif menemukan 0,33% plasenta previa dari 25.000 wanita yang bersalin, di Indonesia berkisar 2-7% [1]. Prevalensi plasenta previa di negara maju berkisar antara 0,26 - 2,00 % dari seluruh jumlah kehamilan. Sedangkan di Indonesia dilaporkan oleh beberapa peneliti berkisar antara 2,4 - 3,56 % dari seluruh kehamilan. Angka kejadian plasenta previa relative tetap dalam tiga yaitu rata-rata 0,36-0,37 %, tetapi pada dekade selanjutnya angka kejadian meningkat menjadi 0,48 %, mungkin disebabkan karena meningkatnya faktor risiko terjadinya plasenta previa seperti umur ibu hamil semakin tua, kelahiran secara bedah sesar, paritas yang tinggi serta meningkatnya jumlah abortus yang terjadi,terutama abortus provokatus.

Di Amerika Serikat plasenta previa ditemukan kira-kira 5 dari 1000 persalinan dan mempunyai tingkat kematian 0.03%. Data terbaru merekam dari 1989-1997 plasenta previa tercatat didapat pada 2,8 kelahiran dari 1000 kelahiran hidup. Di Indonesia, RSCM Jakarta mencatat plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan. Antara tahun 1071-1975 terjadi 37 kasus plasenta previa diantara 4781 persalinan yang terdaftar atau kira-kira 1 dari 125 persalinan.

Menurut Kloosterman (1973), frekuensi plasenta previa pada primigravida yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 10 kali lebih sering dibandingkan dengan pramigravida yang berumur kurang dari 25 tahun, pada grande multipara yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 4 kali lebih sering dibandingkan dengan grande multipara yang berumur kurang dari 25 tahun (Wiknjosastro, 2005).

Patofisiologi

HipovolemiCemas

Implantasi abnormal

Kelainan pada rahim (atrofi, cacat)

Isthmus uteri tertarik (melebar)menjadi dinding cavum uteri (SBR/ Segmen Bawah Rahim )

Implantasi embrio (embryonic plate) pada bagian bawah (kauda) uterus

Servik membuka dan mendatar

FaktorPendukung

Multiparitas, gemeli

Usia ibu saat kehamilan

Riwayat kehamilan (Caesar)

Merokok

LaserasiDesidua lepas dari plasenta

PerdarahanDinding rahim

tipis

Page 11: Emergensi SK1

Faktor ResikoEtiologi plasenta previa sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa teori dan faktor risiko yang berhubungan dengan plasenta previa, diantaranya:

1) Ovum yang dibuahi tertanam sangat rendah di dalam rahim, menyebabkan plasenta terbentuk dekat dengan atau di atas pembukaan serviks.

2) Lapisan rahim (endometrium) memiliki kelainan seperti fibroid atau jaringan parut (dari previa sebelumnya, sayatan, bagian bedah caesar atau aborsi).

3) Hipoplasia endometrium : bila kawin dan hamil pada umur muda.4) Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi.5) Tumor-tumor, seperti mioma uteri, polip endometrium.6) Plasenta terbentuk secara tidak normal. 7) Kejadian plasenta previa tiga kali lebih sering pada wanita multipara daripada primipara. Pada

multipara, plasenta previa disebabkan vaskularisasi yang berkurang dan perubahan atrofi pada desidua akibat persalinan masa lampau. Aliran darah ke plasenta tidak cukup dan memperluas permukaannnya sehingga menutupi pembukaan jalan lahir. (Sumapraja dan Rachimhadi, 2005)

8) Ibu merokok atau menggunakan kokain.William dkk menemukan risiko relatif kejadian plasenta previa meningkat 2-4 kali pada wanita yang merokok. Hal tersebut terjadi karena karbondioksida yang terhisap mampu menyebabkan hipertrofi (pembesaran) dari plasenta serta menyebabkan peradangan dan berkurangnya vaskularisasi (pendarahan) plasenta sehingga mempengaruhi perkembangan dari plasenta.

9) Ibu dengan usia lebih tua.Risiko plasenta previa berkembang 3 kali lebih besar pada perempuan di atas usia 35 tahun dibandingkan pada wanita di bawah usia 20 tahun (Sheiner, 2001). Hasil penelitian Wardana (2007) menyatakan usia wanita produktif yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-35 tahun. Diduga risiko plasenta previa meningkat dengan bertambahnya usia ibu, terutama setelah usia 35 tahun. Plasenta previa merupakan salah satu penyebab serius perdarahan pada periode trimester ke III. Hal ini biasanya terjadi pada wanita dengan usia lebih dari 35 tahun (Varney, 2006). Plasenta previa dapat terjadi pada umur diatas 35 tahun karena endometrium yang kurang subur dapat meningkatkan kejadian plasenta previa (Manuaba, 2008). Hasil

HipovolemiCemas

Page 12: Emergensi SK1

penelitian Wardana (2007) menyatakan peningkatan umur ibu merupakan faktor risiko plasenta previa, karena sklerosis pembuluh darah arteli kecil dan arteriole miometrium menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata sehingga plasenta tumbuh lebih lebar dengan luas permukaan yang lebih besar, untuk mendapatkan aliran darah yang adekuat.

10) Operasi CaesarMelahirkan dengan operasi caesar mengakibatkan parut di dalam rahim. Kejadian meningkat pada wanita yang sudah melakukan 2 kali atau lebih operasi sesar.

Manifestasi Klinis Perdarahan tanpa nyeri Pasien mungkin berdarah sewaktu tidur dan sama sekali tidak terbangun. Baru waktu ia bangun, ia

merasa bahwa kainnya basah. Biasanya perdarahan karena plasenta previa baru timbul setelah bulan ketujuh dan perdarahan sebelum bulan ketujuh memberi gambaran yang tidak berbeda dari abortus (Martaadisoebrata, 2005).

Perdarahan pada plasenta previa disebabkan pergerakan antara plasenta dan dinding rahim. Setelah bulan ke-4 terjadi regangan pada dinding rahim karena isi rahim lebih cepat tumbuhnya dari rahim sendiri. Akibatnya ismus uteri tertarik menjadi bagian dinding korpus uteri yang disebut segmen bawah rahim (Martaadisoebrata, 2005).

Perdarahan berulang.perdarahan bersifat berulang-ulang karena setelah terjadi pergeseran antara plasenta dan dinding rahim, regangan dinding rahim dan tarikan pada serviks berkurang. Namun, dengan majunya kehamilan regangan bertambah lagi dan menimbulkan perdarahan baru (Martaadisoebrata, 2005).

Warna perdarahan merah segar. Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah. Timbulnya perlahan-lahan. Waktu terjadinya saat hamil. His biasanya tidak ada. Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi. Denyut jantung janin ada. Teraba jaringan plasenta pada periksa dalam vagina. Penurunan kepala tidak masuk pintu atas panggul. Presentasi mungkin abnormal.

Jadi Kejadian yang paling khas pada plasenta previa adalah pendarahan tanpa nyeri biasanya baru terlihat setelah trimester kedua atau sesudahnya. Namun demikian, banyak peristiwa abortus mungkin terjadi akaibat lokasi abnormal plasenta yang sedang tumbuh. Penyebab pendarahan perlu ditegaskan kembali. Kalau plasenta terletak pada ostium internum, pembentukan segmen bawah uterus dan dilatasi ostium internum tanpa bias dielakkan akan mengakibatkan robekan pada tempat pelekantan plasenta yang diikuti oleh pendarahan dari pembuluh- pembuluh darah uterus. Pendarahan tersebut diperberat lagi dengan ketidakmampuan serabut- serabut otot miometrium segmen bawah uterus untuk mengadakan kontaksi dan retraksi agar bias menekan bembuluh darah yang rupture sebagaimana terjadi secara normal ketika terjadi pelepasan plasenta dari dalam uterus yang kosong pada kala tiga persalinan.

Akibat pelekatan yang abnormal seperti terlihat pada plasenta akreta, atau akibat daerah pelekatan yang sangat luas, maka proses perlekatan plasenta kadangkala terhalang dan kemudian dapat terjadi pendarahan yang banyak setelah bayi dilahirkan. Pendarahan dari tempat implantasi plasenta dalam segmen bahwa uterus dapat berlanjut setelah plasentah dilahirkan, mengingat segmen bahwa uterus lebih cendrung memiliki kemampuan kontraksi yang jelek dibandingkan korpus uteri. Sebagai akibatnya, pembuluh darah memintas segmen bahwa kurang mendapat kompresi. Pendarahan dapat terjadi pula akibat laserasi pada bagian bahwa uterus dan serviks yang rapuh, khususnya pada usaha untuk mengeluarkan plasenta yang melekat itu secara manual.

Page 13: Emergensi SK1

DiagnosisDiagnosis plasenta previa ditegakkan berdasarkan pada gejala klinik, pemeriksaan khusus, dan pemeriksaan penunjang.1

1. Anamnesa plasenta previa1

a. Terjadi perdarahan pada kehamilan sekitar 28 minggu. b. Sifat perdarahan

- Tanpa rasa sakit terjadi secara tiba-tiba- Tanpa sebab yang jelas- Dapat berulang

c. Perdarahan menimbulkan penyulit pada ibu maupun janin.

2. Pada inspeksi dijumpai:1

a. Perdarahan pervaginam encer sampai bergumpal.b. Pada perdarahan yang banyak ibu tampak anemis.

3. Pemeriksaan fisik ibu1

a. Dijumpai keadaan bervariasi dari keadaan normal sampai syokb. Kesadaran penderita bervariasi dari kesadaran baik sampai komac. Pada pemeriksaan dapat dijumpai :

- Tekanan darah, nadi dan pernapasan dalam batas normal- Tekanan darah turun, nadi dan pernapasan meningkat- Daerah ujung menjadi dingin- Tampak anemis

4. Pemeriksaan khusus kebidanan.1

1. Pemeriksaan palpasi abdomen- Janin belum cukup bulan, tinggi fundus uteri sesuai dengan umur kehamilan- Karena plasenta di segmen bawah rahim, maka dapat dijumpai kelainan letak

janin dalam rahim dan bagian terendah masih tinggi.2. Pemeriksaan denyut jantung janin

- Bervariasi dari normal sampai asfiksia dan kematian dalam rahim.3. Pemeriksaan dalam

Pemeriksaan dalam dilakukan diatas meja operasi dan siap untuk segera mengambil tindakan. Tujuan pemeriksan dalam untuk:

- Menegakkan diagnosis pasti- Mempersiapkan tindakan untuk melakukan operasi persalinan atau hanya

memecahkan ketuban4. Pemeriksaan penunjang

- Pemeriksaan ultrasonografi- Mengurangi pemeriksaan dalam- Menegakkan diagnosis

Diagnosis plasenta previa (dengan perdarahan sedikit) yang diterapi ekspektatif ditegakkan dengan pemeriksaan USG. Dengan pemeriksaan USG transabdominal ketepatan diagnosisnya mencapai 95-98%. Dengan USG transvaginal atau transperineal (translabial), ketepatannya akan lebih tinggi lagi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga dapat dipergunakan untuk mendeteksi kelainan pada plasenta termasuk plasenta previa.2,3

Dengan bantuan USG, diagnosis plasenta previa/plasenta letak rendah sering kali sudah dapat ditegakkan sejak dini sebelum kehamilan trisemester ketiga. Namun dalam perkembangannya dapat terjadi migrasi plasenta. Sebenarnya bukan plasenta yang berpindah tetapi dengan semakin berkembangnya segmen bawah rahim, plasenta (yang berimplantasi di situ) akan ikut naik menjauhi ostium uteri internum.2

Page 14: Emergensi SK1

USG (Ultrasonografi)Dapat mengungkapkan posisi rendah berbaring placnta tapi apakah placenta melapisi cervik tidak biasa diungkapkan

Sinar XMenampakkan kepadatan jaringan lembut untuk menampakkan bagian-bagian tubuh janin.

Pemeriksaan laboratoriumHemoglobin dan hematokrit menurun. Faktor pembekuan pada umumnya di dalam batas normal.

Pengkajian vaginalPengkajian ini akan mendiagnosa placenta previa tapi seharusnya ditunda jika memungkinkan hingga kelangsungan hidup tercapai (lebih baik sesudah 34 minggu). Pemeriksaan ini disebut pula prosedur susunan ganda (double setup procedure). Double setup adalah pemeriksaan steril pada vagina yang dilakukan di ruang operasi dengan kesiapan staf dan alat untuk efek kelahiran secara cesar.

Isotop Scanning Atau lokasi penempatan placenta. Amniocentesis

Jika 35 – 36 minggu kehamilan tercapai, panduan ultrasound pada amniocentesis untuk menaksir kematangan paru-paru (rasio lecithin / spingomyelin [LS] atau kehadiran phosphatidygliserol) yang dijamin. Kelahiran segera dengan operasi direkomendasikan jika paru-paru fetal sudah mature.

PenatalaksanaanSemua penderita perdarahan antenatal tidak boleh dilakukan pemeriksaan dalam kecuali

kemungkinan plasenta previa telah disingkirkan atau diagnosa solusio plasenta telah ditegakkan. Penatalaksanaan plasenta previa yang tercantum dalam Standar Pelayanan Medik (2008), dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif. a. Perawatan Konservatif Dilakukan pada bayi prematur dengan TBJ <2500 gram atau umur kehamilan <37 minggu dengan syarat denyut jantung janin baik dan perdarahan sedikit atau berhenti.Cara perawatan:

o Observasi ketat di kamar bersalin selama 24 jam.o Keadaan umum ibu diperbaiki, bila anemia berikan transfusi PRC (Packed Red Cell) sampai Hb

10-11 gr%.o Berikan kortikosteroid untuk maturitas paru janin (kemungkinan perawatan konservatif gagal)

dengan injeksi Betametason/Deksametason 12 mg tiap 12 jam bila usia kehamilan <35 minggu atau TBJ < 2000 gram.

o Bila perdarahan telah berhenti, penderita dipindahkan ke ruang perawatan dan tirah baring selama 2 hari, bila tidak ada perdarahan dapat mobilisasi.

o Observasi perdarahan, denyut jantung janin dan tekanan darah setiap 6 jam.o Bila perdarahan berulang dilakukan penanganan aktif.o Pemeriksaan USG, Hb, dan Hematokrit.

Bila selama tiga hari tidak terjadi perdarahan setelah melakukan pengawasan konserpatif maka lakukan mobilisasi bertahap. Pasien dipulangkan bila tetap tidak ada perdarahan. Bila timbul perdarahan segera bawa ke rumah sakit dan tidak boleh melakukan senggama.

o Bila perdarahan ulang tidak terjadi setelah dilakukan mobilisasi penderita dipulangkan dengan nasihat:

- Istirahat - Dilarang koitus - Segera masuk Rumah Sakit bila terjadi perdarahan lagi - Kontrol tiap minggu

b. Perawatan Aktif

Page 15: Emergensi SK1

Segera dilakukan terminasi kehamilan. Jika perdarahan aktif (perdarahan >500 cc dalam 30 menit) dan diagnosa sudah ditegakkan segera dilakukan seksio sesarea dengan memperhatikan keadaan umum ibu. Perawatan aktif dilakukan apabila:

o Perdarahan aktif. o Perkiraan berat bayi > 2000 gram. o Gawat janin. o Anemia dengan Hb < 6 g%, janin hidup, perkiraan berat bayi > 2000 gram.

KomplikasiKemungkinan infeksi nifas besar karena luka plasenta lebih dekat pada ostium dan merupakan porte d’entrée yang mudah tercapai. Lagi pula, pasien biasanya anemis karena perdarahan sehingga daya tahannya lemah. 2

Bahaya plasenta previa adalah : 2,3

1. Anemia dan syok hipovolemik karena pembentukan segmen rahim terjadi secara ritmik, maka pelepasan plasenta dari tempat melekatnya diuterus dapat berulang dan semakin banyak dan perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah.

Page 16: Emergensi SK1

2. Karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat segmen ini yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan invasinya menorobos ke dalam miometrium bahkan sampai ke perimetrium dan menjadi sebab dari kejadian plasenta inkreta bahkan plasenta perkreta. Paling ringan adalah plasenta akreta yang perlekatannya lebih kuat tetapi vilinya masih belum masuk ke dalam miometrium. Walaupun tidak seluruh permukaan maternal plasenta mengalami akreta atau inkreta akan tetapi dengan demikian terjadi retensio plasenta dan pada bagian plasenta yang sudah terlepas timbullah perdarahan dalam kala tiga. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada uterus yang yang pernah seksio sesaria. Dilaporkan plasenta akreta terjadi sampai 10%-35% pada pasien yang pernah seksio sesaria satu kali dan naik menjadi 60%-65% bila telah seksio sesaria tiga kali.

3. Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat potensial untuk robek disertai dengan perdarahan yang banyak. Oleh karena itu harus sangat berhati-hati pada semua tindakan manual ditempat ini misalnya pada waktu mengeluarkan anak melalui insisi pada segmen bawah rahim ataupun waktu mengeluarkan plasenta dengan tangan pada retensio plasenta. Apabila oleh salah satu sebab terjadi perdarahan banyak yang tidak terkendali dengan cara-cara yang lebih sederhana seperti penjahitan segmen bawah rahim, ligasi a.uterina, ligasi a.ovarika, pemasangan tampon atau ligasi a.hipogastrika maka pada keadaan yang sangat gawat seperti ini jalan keluarnya adalah melakukan histerektomi total. Morbiditas dari semua tindakan ini tentu merupakan komplikasi tidak langsung dari plasenta previa.

4. Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini memaksa lebih sering diambil tindakan operasi dengan segala konsekuensinya.

5. Kehamila premature dan gawat janin sering tidak terhindarkan karena tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam kehamilan belum aterm. Pada kehamilan < 37 minggu dapat dilakukan amniosintesis untuk mengetahui kematangan paru-paru janin dan pemberian kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin sebagai upaya antisipasi.

6. Solusio plasenta7. Kematian maternal akibat perdarahan 8. Disseminated intravascular coagulation (DIC) 9. Infeksi sepsis

PrognosisPrognosis ibu dan anak pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika dibandingkan dengan

masa lalu. Hal ini berkat diagnosis yang lebih dini dan tidak invasive dengan USG di samping

Page 17: Emergensi SK1

ketersedian transfusi darah dan infus cairan telah ada di hamper semua rumah sakit kabupaten. Rawat inap yang lebih radikal ikut berperan terutama bagi kasus yang pernah melahirkan dengan seksio sesaria atau bertempat tinggal jauh dari fasilitas yang diperlukan. Penurunan jumlah ibu hamil dengan dengan paritas tinggi dan usia tinggi berkat sosialissasi program keluarga berencana menambah penurunan insiden plasenta previa. Dengan demikian banyak komplikasi maternal dapat dihindarkan. Namun nasib janin masih belum terlepas dari komplikasi kelahiran premature baik yang lahir spontan maupun karena intervensi seksio sesaria. Karena kelahiran premature belum sepenuhnya bisa dihindari sekalipun tindakan konservatif dilakukan. Karena dahulu penanganan relatif bersifat konservatif maka mortalitas dan morbiditas ibu dan bayi tinggi. Sekarang penanganan bersifat operasi dini, maka angka kematian dan kesakitan ibu dan perinatal jauh menurun.3,4,9

SOLUTIO PLASENTA

Definisi Solutio Plasenta adalah lepasnya plasenta dengan implantasi normal sebelum waktunya pada

kehamilan yang berusia di atas 28 minggu. (Arif Mansjoer, 2001). Solutio Plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada korpus uteri sebelum

janin lahir. (Hanifa Wiknyosastro, 1992 ). Solutio Plasenta adalah suatu keadaan dalam kehamilan viable, dimana plasenta yang tempat

implantasinya normal (pada fundus atau korpus uteri) terkelupas atau terlepas sebelum kala III. (Chrisdiono. M. Achadiat, 2003)

Solutio Plasenta adalah pelepasan sebagian atau seluruh plasenta yang normal implantasinya antara minggu 22 dan lahirnya anak. (Obstetri dan Ginekologi, FKU Padjadjaran Bandung, 1984)

Solusio plasenta adalah Lepasnya sebagian atau seluruh plasenta yang normal implantasinya di atas 22 minggu dan sebelum lahirnya anak. (Sastra Winata Sulaiman, 2003).

EtiologiKausa primer solusio plasenta belum diketahui tetapi terdapat beberapa kondisi terkait, sebagai berikut:

                                                                                       Ris RelatifFaktor Risiko                                                                      (%)

Bertambahnya usia dan paritas                                            NAPreeklamsia                                                                      2.1-4.0Hipertensi kronik                                                             1.8-3.0Ketuban pecah dini                                                          2.4-3.0Merokok                                                                          1.4-1.9Trombofilia                                                                         NAPemakaian kokain                                                               NARiwayat solusio                                                                10-25Leiomioma uterus                                                               NA

NA = tidak tersediaDikutip dari Cunningham dan Hollier (1997); data risiko dari Ananth dkk. (1999a, 1999b) dan Kramer dkk. (1997).

Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor yang menjadi predisposisi :1. Faktor kardiorenovaskuler

Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia. Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat,

Page 18: Emergensi SK1

dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi pada ibu 2. Faktor trauma

Trauma yang dapat terjadi antara lain: Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli. Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi

luar atau tindakan pertolongan persalinan. Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.

3. Faktor paritas ibuLebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat bahwa dari 83

kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada wanita multipara dan 18 pada primipara. Pengalaman di RSUPNCM menunjukkan peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium.4. Faktor usia ibu

Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun. 5. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma.6. Faktor pengunaan kokain

Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah uterus dan dapat berakibat terlepasnyaplasenta . Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar antara 13-35%.7. Faktor kebiasaan merokok

Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya. Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko terjadinya solusio plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya kehamilan.8. Riwayat solusio plasenta sebelumnya

Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya.9. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dan lain-lain.

EpidemiologiInsiden solusio plasenta bervariasi antara 0,2-2,4 % dari seluruh kehamilan. Literatur lain menyebutkan insidennya 1 dalam 77-89 persalinan, dan bentuk solusio plasenta berat 1 dalam 500-750 persalinan (11). Slava dalam penelitiannya melaporkan insidensi solusio plasenta di dunia adalah 1% dari seluruh kehamilan. Di sini terlihat bahwa tidak ada angka pasti untuk insiden solusio plasenta, karena adanya perbedaan kriteria menegakkan diagnosisnya.Penelitian Cunningham di Parkland Memorial Hospital melaporkan 1 kasus dalam 500 persalinan. Tetapi sejalan dengan penurunan frekuensi ibu dengan paritas tinggi, terjadi pula penurunan kasus solusio plasenta menjadi 1 dalam 750 persalinan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Deering didapatkan 0,12% dari semua kejadian solusio plasenta di Amerika Serikat menjadi sebab kematian bayi. Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Ducloy di Swedia melaporkan dalam 894.619 kelahiran didapatkan 0,5% terjadi solusio plasenta.

Page 19: Emergensi SK1

Menurut data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta didapat angka 2% atau 1 dalam 50 persalinan. Antara tahun 1968-1971 solusio plasenta terjadi pada kira-kira 2,1% dari seluruh persalinan, yang terdiri dari 14% solusio plasenta sedang dan 86% solusio plasenta berat. Solusio plasenta ringan jarang didiagnosis, mungkin karena penderita terlambat datang ke rumah sakit atau tanda-tanda dan gejalanya terlalu ringan sehingga tidak menarik perhatian penderita maupun dokternya. Sedangkan penelitian yang dilakukan Suryani di RSUD. DR. M. Djamil Padang dalam periode 2002-2004 dilaporkan terjadi 19 kasus solusio plasenta dalam 4867 persalinan (0,39%) atau 1 dalam 256 persalinan.

KalsifikasiPlasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis), atau bisa seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis). Perdarahan yang terjadi akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan keluar melalui vagina, menyebabkan perdarahan eksternal (revealed hemorrhage)2 (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Solusio Plasenta Dengan Perdarahan Eksternal

Yang lebih jarang, jika bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim, darah tidak keluar dari uterus, tetapi tertahan di antara plasenta yang terlepas dan uterus sehingga menyebabkan perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage) yang dapat terjadi parsial (Gambar 2.3) atau total (Gambar 2.4)4,5.

Page 20: Emergensi SK1

Gambar 2.3 Solusio Plasenta Parsial Disertai Perdarahan Tersembunyi

Solusio plasenta dengan perdarahan tertutup terjadi jika2:1. Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim2. Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim3. Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah 4. Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen bawah rahim.

Perdarahan yang tersembunyi biasanya menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi ibu, tidak saja karena kemungkinan koagulopati konsumptif tetapi juga karena jumlah darah yang keluar sulit diperkirakan4.

Page 21: Emergensi SK1

Gambar 2.4 Solusio Plasenta Total Disertai Perdarahan Tersembunyi

Secara klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasneta yang terlepas, yaitu solusio plasenta ringan, sedang, dan berat2.

1. Solusio Plasenta RinganRupture sinus marginalis atau terlepasnya sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak, sama sekali tidak mempengaruhi keadaan ibu dan janinnya. Apabila terjadi perdarahan per vagina, warnanya akan kehitaman dengan jumlah yang sedikit. Perut mungkin terasa agak sakit, atau agak tegang. Walaupun demikian bagian-bagian janin masih mudah teraba. Uterus yang agak tegang ini harus diawasi terus menerus apakah akan menjadi lebih tegang lagi karena perdarahan yang terus menerus. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan akan kemungkinan solusio plasenta ringan ialah perdarahan per vagina yang berwarna kehitaman.

2. Solusio plasenta sedang Plasenta terlepas lebih dari seperempatnya, tetapi belum sampai dua pertiga luas permukaannya. Tanda dan gejalanya dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, atau mendadak dengan gejala sakit perut terus-menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan per vagina. Walaupun perdarahan per vagina tampak sedikit, seluruh perdarahannya mungkin telah mencapai 1000ml. ibu jatuh dalam keadaan syok, demikian juga keadaan janinnya yang gawat. Dinding uterus teraba tegang dan nyeri tekan sehingga bagian-baian janin sulit diraba. Apabila janin dalam keadaan hidup bunyi jantung sulit didengar dengan stetoskop biasa harus dengan stetoskop ultrasonic.

3. Solusio plasenta beratPlasenta telah terlepas lebih dari dua pertiga permukaannya. Terjadi sangat tiba-tiba, biasanya ibu telah jatuh kedalam syok, dan janinnya telah meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papandan sangat nyeri. (Bambang Karsono,2002)

Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan solusio plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu:

Page 22: Emergensi SK1

1. Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma lebih 150 mg%.2. Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.3. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati, pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.

PatofisiologiSolusio plasenta adalah suatu hasil akhir dari suatu proses yang bermula dari suatu keadaan yang dapat memisahkan vili-vili korialis plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis) yang disebabkan oleh iskemik dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam vaskuler vili dapat berujung pada iskemi dan hipoksia setempat yang menyebabkan kematian sejumlah sel dan menyebakan perdarahan sebagai hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali selapis tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan demikian, pada tingkat permulaan sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematom yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi, dan kerusakan pada bagian plasenta sekelilingnya yang berdekatan.

Pada awalnya mungkin belum ada gejala kecuali terdapat hematom pada bagian belakang plasenta yang baru lahir. Dalam beberapa kejadian pembentukan hematom retroplasenta disebabkan putusnya arteri spinalis dalam desidua. Hematoma retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal/plasenta ke sirkulasi janin. Hematom yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta lebih luas dan banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes antara selaput ketuban dan miometrium untuk selanjutnya keluar melalui serviks ke vagina. Perdarahan tidak dapat berhenti karena uterus yangmengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteri spiralis yang terputus. Walaupun jarang, terdapat perdarahan tinggal terperangkap di dalam uterus. Terdapat keadaan yang secara teoritis dapat berakibat kematian sel karena iskemia dan hipoksia pada desidua, yakni:

(1) pada pasien korioamnionitis, misalnya pada ketuban prematur, terjadi pelepasan lipopolisakarida dan endotoksin lain yang berasal dari agen yang infeksius dan menginduksi pembentukan dan penumpukan sitokin, eisikanoid, dan bahan-bahan oksidan lain seperti superoksida. Semua bahan ini mempunyai daya sitotoksik yang menyebabkan iskemia dan hipoksia yang berujung dengan kematian sel. Salah satu kerja sitotoksik dari endotoksin adalah terbentuknya NOS (nitric oxide synthase) yang berkemampuan menghasilkan NO (nitric oxide) yaitu suatu vasodilator kuat dan penghambat agregasi trombosit. Metabolisme NO menyebabkan pembentukan peroksinitrit suatu oksidan tahan lama yang mampu menyebabkan iskemia dan hipoksia pada sel-sel endotelium pembuluh darah. Oleh karena faedah NO terlampaui oleh peradangan yang kuat, maka sebagai hasil akhir terjadilah iskemia dan hipoksia yang menyebabkan kematian sel dan perdarahan. Kedalam kelompok penyakit ini termasuk autoimun antibodi, antikardiolipin antibodi, lupus anti koagulan,semuanya telah lama di kenal berakibat buruk pada kehamilan termasuk melatarbelakangi kejadian solusio plasenta.

(2) kelainan genetik berupa defisiensi protein C dan protein S. (3) pada pasien dengan penyakit trombofilia. (4) pada keadaan hyperhomocystemia dapat menyebabkan kerusakan endotelium vaskular

yang berakhir dengan pembentukan trombosis pada vena yang menyebabkan kerusakan pada arteria spiralis.

Page 23: Emergensi SK1

Manifestasi klinisGejala – gejala umum yang serng terjadi pada solusio plasenta antara lain :

1. Perdarahan yang disertai nyeri, juga di luar his.2. Anemi dan syok, sering tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar.3. Rahim keras seperti papan dan nyeri pegang karena isi rahim bertambah dengan dengan darah

yang berkumpul di belakang plasenta hingga rahim teregang (uterus en bois).4. Palpasi sukar karena rahim keras.5. Fundus uteri makin lama makin naik.6. bunyi jantung biasanya tidak ada.7. Pada toucher teraba ketuban yang tegang terus menerus (karena isi rahim bertambah).8. Sering adanya proteinuri karena disertai preeklampsi.

Diagnosis Diagnosis banding Pada kasus solusio plasenta yang parah, diagnosis biasanya jelas. Bentuk-bentuk solusio yang lebih ringan dan lebih sering terjadi sulit diketahui dengan pasti dan diagnosis sering ditegakkan berdasarkan eksklusi. Karena itu, pada kehamilan variabel dengan penyulit perdarahan pervaginam, perlu menyingkirkan plasenta previa dan penyebab lain perdarahan dengan pemeriksaan klinis dan evaluasi USG. Telah lama diajarkan, mungkin dengan beberapa pembenaran, bahwa perdarahan uterus yang nyeri adalah solusio plasenta sementara perdarahan uterus yang tidak nyeri mengindikasikan plasenta previa. Sayangnya, diagnosis banding tidak sesederhana itu. Persalinan yang menyertai plasenta previa dapat menimbulkan nyeri yang mengisyaratkan solusio plasenta5. Perbedaan solusio plasenta dengan plasenta previa dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut.Kriteria Solusio Plasenta Plasenta Previa

Perdarahan

Uterus

Syok/Anemia

Fetus

Pemeriksaan dalam

Merah tua s/d coklat hitam Terus menerusDisertai nyeri

Tegang, Bagian janin tak teraba, Nyeri tekan

Lebih seringTidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar

40% fetus sudah matiTidak disertai kelainan letak

Ketuban menonjolwalaupun tidak his

Merah segar, Berulang , Tidak nyeri

Tak tegangTak nyeri tekan

JarangSesuai dengan jumlah darah yang keluar

Biasanya fetus hidupDisertai kelainan letak

Teraba plasenta atau perabaan fornik ada bantalan antara bagian janin dengan jari pemeriksaan

Tabel 2.3 Perbedaan Solusio Placenta dan Placenta Previa6

PenatalaksanaanPencegahanKomplikasi

Page 24: Emergensi SK1

Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang terus berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti anemia, syok hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, gagal ginjal. Sindroma Sheehan terdapat pada beberapa penderita yang terhindar dari kematian setelah menderita syok yang berlangsung lama yang menyebabkan iskemia dan nekrosis adenohipofisis sebagai akibat solusio plasenta2. Kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada solusio plasenta. Solusio plasenta berulang dilaporkan juga bisa terjadi pada 25% perempuan yang pernah menderita solusio plasenta sebelumnya. Solusio plasenta kronik dilaporkan juga sering terjadi di mana proses pembentukan hematom retroplasenta berhenti tanpa dijelang oleh persalinan. Komplikasi koagulopati dijelaskan sebagai berikut. Hematoma retroplasenta yang terbentuk mengakibatkan pelepasan retroplasenta berhenti ke dalam peredaran darah. Tromboplastin bekerja mempercepat perombakan protrombin menjadi trombin. Trombin yang terbentuk dipakai untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin untuk membentuk lebih banyak bekuan utama pada solusio plasenta berat. Melalui mekanisme ini apabila pelepasan tromboplastin cukup banyak dapat menyebabkan terjadi pembekuan darah intravaskular yang luas (disseminated intravascular coagulation) yang semakin menguras persediaan fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan lain2. Curah jantung yang menurun dan kekakuan pembuluh darah ginjal akibat tekanan intrauterina yang meninggi menyebabkan perfusi ginjal sangat menurun dan menyebabkan anoksia. Keadaan umum yang terjadi adalah nekrosis tubulus-tubulus ginjal secara akut menyebabkan kegagalan fungsi ginjal2. Mungkin terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam otot uterus dan di bawah lapisan serosa uterus yang disebut sebagai apopleksio uteroplasental ini, yang pertama kalinya dilaporkan oleh Couvelaire pada awal tahun 1900-an, sekarang sering disebut sebagai uterus couvelaire. Pada keadaan ini perdarahan retroplasenta menyebabkan darah menerobos melalui sela-sela serabut miometrium dan bahkan bisa sampai ke bawah perimetrium dan ke dalam jaringan pengikat ligamentum latum, ke dalam ovarium bahkan bisa mengalir sampai ke rongga pernitonei. Perdarahan miometrium ini jarang sampai mengganggu kontraksi uterus sehingga terjadi perdarahan postpartum berat dan bukan merupakan indikasi untuk histerektomi2,5.

PrognosisSolusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik bagi ibu hamil dan lebih buruk lagi bagi janin jika di bandingkan dengan plasenta previa. Solusio plasenta yang ringan masih memiliki prognosis yang baik bagi ibu dan janin karena tidak ada kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedang mempunyai prognosis yang lebih buruk terutama terhadap janinnya karena mortalitas dan morbiditas yang tinggi di samping morbiditas ibu, yang lebih berat. Solusio plasenta berat mempunyai prognosisyang paling buruk terhadap ibu terlebih lagi terhadap janinnya. Umumnya pada keadaan demikian janin telah mati dan mortalitas maternal meningkat akibat salah satu komplikasi. Pada solusio plasenta sedang dan berat prognosisnya juga tergantung pada kecepatan dan ketepatan bantuan medik yang diperoleh pasien. Transfusi darah yang banyak dan segera dan terminasi kehamilan tepat waktu sangat menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal

3.pemeriksaan Kejahteraan JaninA. PEMANTAUAN KESEJAHTERAAN JANIN

Penilaian kesejahteraan janin yang konvensional umumnya dikerjakan dengan cara-cara yang tidak langsung, seperti palpasi abdomen, pengukuran tinggi fundus, maupun penilaian gejala atau tanda fisik ibu yang diduga dapat mengancam kesejahteraan janin (misalnya hipertensi, perdarahan pervaginam dan sebagainya). Cara-cara seperti itu seringkali tidak untuk memprediksi kesejahteraan janin, sehingga sulit digunakan untuk membuat strategi yang rasional dalam upaya pencegahan dan intervensi penanganan janin yang mengalami gangguan intrauterin.

Page 25: Emergensi SK1

Dalam konsep obstetri modern, khususnya di bidang perinatologi, janin dipandang sebagai individu yang harus diamati dan ditangani sebagaimana layaknya seorang pasien). Janin perlu mendapat pemeriksaan fisik untuk mengetahui apakah kondisinya aman, atau dalam bahaya (asfiksia, pertumbuhan terhambat, cacat bawaaan, dan sebagainya). Pengetahuan akan hal itu akan menentukan segi penanganan janin selanjutnya. Penilaian profil biofisik janin merupakan salah satu cara yang efektif untuk mendeteksi adanya asfiksia janin lebih dini, sebelum menimbulkan kematian atau kerusakan yang permanen pada janin. Pemeriksaan tersebut dimungkinkan terutama dengan bantuan peralatan elektronik, seperti ultrasonografi (USG) dan kardiotokografi (KTG).

B. INDIKASI PEMERIKSAAN

Beberapa keadaan dibawah ini memerlukan pemantauan janin yang baik karena berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas perinatal, misalnya pertumbuhan janin terhambat (PJT), gerakan janin berkurang, kehamilan post-term (≥ 42 minggu), preeklampsia/hipertensi kronik, diabetes mellitus pra kehamilan, DM yang memerlukan terapi insulin, ketuban pecah pada kehamilan preterm, dan solusio plasenta. Identifikasi pasien yang memiliki risiko tinggi mutlak dilakukan karena hal ini berkaitan dengan tatalaksana yang harus dilakukan. Kegagalan mengantisipasi adanya faktor risiko, dapat berakibat fatal.

C. TATACARA PEMANTAUAN KESEJAHTERAAN JANIN

Banyak cara yang dapat dipakai untuk melakukan pemantauan kesejahteraan janin, dari cara sederhana hingga yang canggih.

1. Pengkajian Sederhana

Dengan cara sederhana, pemantauan dilakukan melalui analisa keluhan ibu (anamnesis), pemantauan gerak harian janin dengan kartu gerak janin, pengukuran tinggi fundus uteri dalam sentimeter, pemantauan denyut jantung janin (DJJ) dan analisa penyakit pada ibu.

Adanya keluhan dari klien (pasien) harus dicermati dan dianalisa dengan baik karena keluhan tersebut mengungkapkan adanya sesuatu yang mungkin tidak baik bagi kesehatan ibu dan atau janin yang dikandungnya. Sambilmelakukan anamnesis yang teliti, perhatikan juga keadaan fisik dan psikologis dari ibu tersebut. Anamnesis yang baik, dapat menegakkan diagnosis dengan baik pula. Misalnya gerak janin yang berkurang atau keluarnya darah pervaginam merupakan tanda adanya abnormalitas yang harus dicari penyebabnya

a. Pemantauan Gerak Janin

Merupakan metode yang minimal invasif serta paling sederhana pengawasannya. Ibu diminta menghitung berapa kali dia merasa bayinya bergerak dalam rentang waktu tertentu. Cara yang dianjurkan, ibu berbaring dengan posisi miring ke kiri setelah makan. Terdapat beberapa perbedaan standar dalam mendefinisikan janin dalam keadaan baik dari penilaian ibu terhadap gerakan janin. Salah satu caranya adalah memeinta ibu menghitung gerakan janin selama satu jam. Bayi dianggap aman/baik bila terdapat ≥ 4 gerakan dalam waktu itu.

Teknik yang kedua adalah meminta ibu menghitung gerakan bayinya saat ibu bangun pagi hari dan mencatat waktu yang diperlukan untuk merasakan 10 kali gerakan. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk merasakan 10 kali gerakan adalah 2-3 jam. Bila ibu melaporkan gerakan yang kurang dari jumlah tersebut maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Protokol untuk menghitung pergerakan janin, oleh ibu sebagai berikut:

1) Nilai pergerakan janin selama 30 menit, 3 (tiga) kali sehari.

Page 26: Emergensi SK1

2) Adanya gerakan yang dirasakan ibu empat atau lebih dalam waktu 30 menit adalah normal. nilai pergerakan janin selama periode penghitungan seperti tersebut di atas.

3) Bila pergerakan janin kurang dari empat, penderita diharuskan berbaring dan dihitung untuk beberapa jam, misalnya 2 – 6 jam.

4) Seandainya selama 6 jam, terdapat paling sedikit 10 pergerakan, maka hitungan diteruskan tiga kali sehari seperti menghitung sebelumnya

5) Bila selama 6 jam gerakannya kurang dari 10 kali, atau semua gerakan dirasakan lemah, penderita harus datang ke Rumah Sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut

Bila penderita risiko rendah datang ke Rumah Sakit untuk penilaian pergerakan janin yang berkurang, maka NST harus dilakukan. Pemeriksaan ultrasonik pun harus dilakukan untuk menilai volume cairan amnion dan mencari kemungkinan kelainan kongenital. Bila NST non reaktif, maka OCT dan profil biofisik harus dilakukan. Seandainya pemeriksaan-pemeriksaan tersebut normal, pemantauan harus diulangi dengan interval yang memadai. Cara lain untuk menghitung pergerakan janin adalah Cardiff " Count of 10", atau modifikasinya. Penderita diminta untuk mulai menghitung pergerakan-pergerakan janin pada pagi hari dan terus berlanjut sampai si ibu mendapat hitungan pergerakan janin sebanyak 10. Bila ia menemukan pergerakan lebih dari 10 dalam waktu 10 jam atau kurang, umumnya janin dalam keadaan baik. Seandainya gerakan janin yang dirasakan ibu kurang dari 10 dalam waktu 10 jam, ia harus mengunjungi dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut.

b. Pengukuran Tinggi Fundus Uteri

Pada kehamilan, uterus tumbuh secara teratur, kecuali jika ada gangguan pada kehamilan tersebut. Pada kehamilan 8 minggu uterus membesar sebesar telur bebek, dan pada kehamilan 12 minggu sebesar telur angsa. Pada saat ini fundus uteri telah dapat diraba dari luar, diatas simfisis. Pada pemeriksaan ini wanita tersebut harus mengosongkan kandung kencingnya dahulu. Pada kehamilan 16 minggu besar uterus kira-kira sebesar tinju orang dewasa. Dari luar fundus uteri kira-kira terletak di antara pertengahan pusat ke simfisis. Pada kehamilan 20 minggu fundus uteri terletak kira-kira dipinggirbawah pusat sedangkan pada kehamilan 24 minggu fundus uteri berada tepat dipinggir atas pusat. Pada kehamilan 28 minggu fundus uteri terletak kira-kira 3 jari di atas pusat. Pada kehamilan 32 minggu terletak antara pusat dan processus xiphoideus. Pada kehamilan 36 minggu terletak 1 jari dibawah processus xiphoideus. Bila pertumbuhan janin normal maka tinggi fundus uteri pada kehamilan 28 minggu sekurangnya 25 cm, pada 32 minggu 27 cm dan pada 36 minggu 30 cm. Pada kehamilan 40 minggu fundus uteri turun kembali dan terletak kira-kira 3 jari dibawah processus xiphoideus. Hal ini disebabkan oleh kepala janin yang pada primigravida turun dan masuk kedalam rongga panggul.

Gambar 1. Tinggi fundus uteri

c. Pemantauan Denyut Jantung Janin

Page 27: Emergensi SK1

Denyut jantung janin (DJJ) harus selalu dinilai pada setiap kali pasien melakukan pemeriksaan hamil (umumnya setelah kehamilan trimester pertama). Pada trimester kedua dan selanjutnya, DJJ dapat dipantau dengan stetoskop Laenec atau Doppler. DJJ dihitung secara penuh dalam satu menit dengan memperhatikan keteraturan serta frekuensinya. Dalam persalinan kala satu, DJJ dipantau setiap 15 menit, sedangkan pada kala dua dipantau setiap 5 menit.Pemantauan DJJ dilakukan pada saat his dan di luar his. Adanya iregularitas (aritmia) atau frekuensi dasar yang abnormal (takikardia : 160 – 180 dpm atau bradikardia : 100 – 120 dpm), apalagi bila gawat janin (DJJ < 100 dpm atau >180 dpm) harus segera ditindak lanjuti untuk mencari kausanya.

2. Pengkajian dengan Teknologi

Pemantauan kesejahteraan janin memakai alat canggih terdiri dari ultrasonografi (USG), kardiotokografi (KTG) dan profil biofisik (Manning).

a. Ultrasonografi

USG merupakan alat bantu diagnostik yang semakin penting didalam pelayanan kesehatan ibu hamil. Salah satu fungsi penting dari alat ini adalah menentukan usia gestasi dan pemantauan keadaan janin (deteksi dini anomali). Pemeriksaan panjang kepala-bokong janin (CRL = crown-rump length) yang dilakukan pada kehamilan trimester pertama memiliki akurasi dengan kesalahan kurang dari satu minggu dalam hal penentuan usia gestasi. Pengukuran CRL ini juga merupakan satu-satunya para meter tunggal untuk penentuan usia gestasi dengan kesalahan terkecil. Pengukuran diameter biparietal (DBP) atau panjang femur memiliki kesalahan lebih dari satu minggu. Manfaat lain dari pemeriksaan USG adalah penapisan anomali congenital yang dilakukan rutin pada kehamilan 10 – 14 minggu dan 18 – 22 minggu. Janin-janin dengan kelainan bawaan, terutama sistem saraf pusat dan jantung akan memberikan perubahan dalam pola gerak janin.

b. Profil Biofisik

Profil biofisik (BPP) adalah tes invasif yang memprediksikan ada atau tidak adanya asfiksia janin dan akhirnya risiko kematian janin dalam periode antenatal berkurang ketika BPP mengidentifikasi janin dalam keadaan tidak baik, tindakan dapat diambil untuk melakukan intervensi sebelum progresif asidosis metabolik menyebabkan kematian janin.

Variabel biofisik

Normal (Skor = 2) Abnormal (Skor = 0)

Gerakan nafas janin

1 atau ≥ 20 detik dalam waktu 30 menit

Tidak ada atau tidak ada ≥ 20 detik dalam waktu 30 menit

Gerakan janin 2 atau lebih diskrit gerakan tubuh ekstremitas / dalam waktu 30 menit (gerakan terus menerus aktif dianggap sebagai gerakan tunggal)

<2 episode tubuh / gerakan anggota tubuh dalam waktu 30 menit

Page 28: Emergensi SK1

Bunyi janin 1 atau lebih episode perpanjangan aktif dengan kembali ke fleksi ekstremitas janin (s) atau batang

Slow ekstensi dengan kembali ke fleksi parsial, gerakan anggota badan di ekstensi penuh, gerakan janin tidak

Variabel biofisik

Normal (Skor = 2) Abnormal (Skor = 0)

Gerakan nafas janin

1 atau ≥ 20 detik dalam waktu 30 menit

Tidak ada atau tidak ada ≥ 20 detik dalam waktu 30 menit

Tabel 1. Kriteria untuk kode variabel biofisik janin normal atau abnormal

D. KARDIOTOKOGRAFI

Kardiotokografi (KTG) merupakan alat bantu didalam pemantauan kesejahteraan janin. Pada KTG ada tiga bagian besar kondisi yang dipantau yaitu denyut jantung janin (DJJ), kontraksi rahim, dan gerak janin serta korelasi diantara ketiga parameter tersebut.

E. INDIKASI

Pemeriksaan KTG biasanya dilakukan pada kehamilan resiko tinggi, dan indikasinya terdiri dari :1. Ibu

a. Preeclampsia-eklampsiab. Ketuban pecah dinic. Diabetes melitusd. Infeksi TORCHe. Bekas SCf. Induksi dan akselerasi persalinang. Persalinan pretermh. Kehamilan > 40 minggui. Asthma bronkhialej. Hipotensik. Perdarahan antepartum

2. Janina. Pertumbuhan janin terhambatb. Gerakan janin berkurangc. Lilitan tali pusatd. Aritmia, bradikardi, atau takikardie. Kelainan presentasif. Mekoneum dalam cairan ketubang. Kehamilan ganda

F. MEKANISME PENGATURAN DJJ

Denyut jantung janin diatur oleh banyak faktor, yaitu :1. Sistem Saraf Simpatis

Distribusi saraf simpatis sebagian besar berada di dalam miokardium. Stimulasi saraf simpatis, misalnya dengan obat beta-adrenergik, akan meningkatkan frekuensi DJJ, menambah kekuatan kontraksi jantung, dan meningkatkan volume curah jantung. Dalam keadaan stress, system saraf simpatis berfungsi

Page 29: Emergensi SK1

mempertahankan aktivitas pemompaan darah. Inhibisi saraf simpatis, misalnya dengan obat propranolol, akan menurunkan frekuensi DJJ dan sedikit mengurangi variabilitas DJJ.

2. Sistem saraf Parasimpatis Sistem saraf parasimpatis terutama terdiri dari serabut nervus vagus yang berasal dari batang otak. Sistem saraf ini akan mengatur nodus SA, nodusVA, dan neuron yang terletak di antara atrium dan ventrikel jantung.Stimulasi nervus vagus, misalnya dengan asetil kolin akan menurunkan frekuensi DJJ, sedangkan inhibisi nervus vagus, misalnya dengan atropin,akan meningkatkan frekuensi DJJ.

3. BaroreseptorReseptor ini letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan darah meningkat, baroreseptor akan merangsang nervus vagus dannervus glosofaringeus pada batang otak. Akibatnya akan terjadipenekanan aktivitas jantung berupa penurunan frekuensi DJJ dan curah jantung.

4. KemoreseptorKemoreseptor terdiri dari dua bagian, yaitu bagian perifer yang terletak didaerah karotid dan korpus aortik; dan bagian sentral yang terletak dibatang otak. Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan serebro-spinal. Bila kadaroksigen menurun dan karbondioksida meningkat, akan terjadi refleks dari reseptor sentral berupa takikardia dan peningkatan tekanan darah. Hal ini akan memperlancar aliran darah, meningkatkan kadar oksigen, dan menurunkan kadar karbondioksida. Keadaan hipoksia atau hiperkapnia akan mempengaruhi reseptor perifer dan menimbulkan refleks bradikardia. Interaksi kedua macam reseptor tersebut akan menyebabkan bradikardi dan hipotensi.

5. Susunan Saraf PusatAktivitas otak meningkat sesuai dengan bertambahnya variabilitas DJJdan gerakan janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun, dan variabilitas DJJ-pun akan berkurang.

6. Sistem Pengaturan HormonalPada keadaan stres, misalnya hipoksia intrauterin, medula adrenal akan mengeluarkan epinefrin dan nor-epinefrin. Hal ini akan menyebabkan takikardia, peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan hipertensi.

7. Sistem kompleks proprioseptor, serabut saraf nyeri, baroreseptor, stretch receptors dan pusat pengaturan

Akselerasi DJJ dimulai bila ada sinyal aferen yang berasal dari salah satutiga sumber, yaitu (1) proprioseptor dan ujung serabut saraf pada jaringan sendi; (2) serabut saraf nyeri yang terutama banyak terdapat di jaringankulit; dan (3) baroreseptor di aorta askendens dan arteri karotis, danstretch receptors di atrium kanan. Sinyal-sinyal tersebut diteruskan ke cardioregulatory center (CRC) kemudian ke cardiac vagus dan saraf simpatis, selanjutnya menuju nodus sinoatrial sehingga timbullah akselerasi DJJ.

G. KARAKTERISTIK GAMBARAN DJJ

Gambaran DJJ dalam pemeriksaan KTG dapat digolongkan ke dalam 2 bagian besar, yaitu:1. Denyut jantung janin dasar (baseline fetal heart rate). Yang termasuk disini adalah frekuensi

dasar dan variabilitas DJJ saat uterus dalam keadaan istirahat (relaksasi)2. Perubahan periodik / episodik DJJ

Perubahan periodik djj adalah perubahan djj yang terjadi akibat kontraksi uterus, sedangkan perubahan episodik djj adalah perubahan DJJ yang bukan disebabkan oleh kontraksi uterus (misalnya gerakan janin dan refleks tali pusat).

Frekuensi Dasar DJJ

Frekuensi dasar DJJ adalah frekuensi rata-rata DJJ yang terlihat selama periode 10 menit, tanpa disertai periode variabilitas DJJ yang berlebihan (lebih dari 25 dpm), tidak terdapat perubahan periodik atau episodik DJJ, dan tidak terdapat perubahan frekuensi dasar yang lebih dari 25 denyut per menit (dpm). Dalam keadaan normal, frekuensi dasar DJJ berkisar antara 120 – 160 dpm (pendapat ini yang dianut di

Page 30: Emergensi SK1

Indonesia). Frekuensi dasar DJJ yang lebih dari 160 dpm disebut takikardia; bila kurang dari 120 dpm disebut bradikardia. Ada juga yang memakai batasan normal 115 – 160 dpm atau 110 – 160 dpm.

Gambar 2. Rekaman kardiotokografi normal

Takikardia dapat terjadi pada keadaan hipoksia ringan janin, akan tetapi gambaran tersebut biasanya tidak berdiri sendiri. Bila takikardia diserta dengan variabilitas DJJ yang normal, biasanya janin masih dalam keadaan baik. Takikardia dapat juga terjadi oleh sebab lain yang bukan hipoksia, seperti:

1. Janin pada kehamilan kurang dari 30 minggu2. Infeksi pada ibu atau janin (khorioamnionitis)3. Anemia janin.4. Ibu gelisah.5. Kontraksi uterus yang terlampau sering (takhisistolik)6. Ibu hipertiroid7. Obat (atropin, skopolamin, ritrodrin, isoxsuprin, dsb)8. Takiaritmia janin (biasanya diatas 200 dpm)

Gambar 3. Takikardi

Bradikardia dapat terjadi sebagai respons awal keadaan hipoksia akut. Pada hipoksia ringan frekuensi DJJ berkisar antara 100-120 dpm danvariabilitas DJJ masih normal. Hal ini menunjukkan bahwa janin masih mampu mengadakan kompensasi terhadap stres hipoksia. Bila hipoksia semakin berat janin akan mengalami dekompensasi terhadap stres tersebut.Pada keadaan ini akan terjadi bradikardia yang kurang dari 100 dpm, disertai dengan berkurang atau menghilangnya variabilitas DJJ.

Page 31: Emergensi SK1

Gambar 4. Bradikardi

Bradikardia yang tidak disertai perubahan gambaran DJJ lainnya bukan petunjuk bahwa janin mengalami hipoksia. Bradikardia dapat juga disebabkan oleh keadaan lain yang bukan hipoksia berat, seperti:

1. Kehamilan postterm2. Hipotermia3. Janin dalam posisi oksiput posterior atau oksiput melintang4. Obat (propanolol, analgetika golongan –kain)5. Bradiaritmia janin.

Variabilitas DJJ

Variabilitas DJJ adalah gambaran osilasi ireguler yang terlihat pada rekaman DJJ. Fisiologi terjadinya variabilitas DJJ masih mengandung perdebatan,diduga akibat adanya keseimbangan interaksi sistem saraf simpatis (kardioakselerator) dan parasimpatis (kardiodeselerator).Tetapi ada buktilain bahwa variabilitas DJJ terjadi akibat stimulus di daerah korteks serebri yang merangsang pusat pengatur denyut jantung di batang otak dengan perantaraan nervus vagus.

Variabilitas DJJ dapat dibedakan atas 2 bagian:1. Variabilitas jangka pendek (short term variability)

Variabilitas ini merupakan perbedaan interval antara denyut yang terlihat pada gambaran KTG yang juga menunjukkan variasi dari frekuensi antara denyut pada DJJ. Rata-rata variabilitas jangka pendek DJJ yang normal antara 2-3 dpm. Arti klinis dari variabilitas jangka pendek masih belum banyak diketahui, akan tetapi biasanya tampak menghilang pada janin yang akan mengalami kematian dalam rahim.

2. Variabilitas jangka panjang (long term variability)Variabilitas ini merupakan gambaran osilasi yang lebih kasar dan lebih jelas tampak pada rekaman KTG disbanding dengan variabilitas jangka pendek. Rata-rata mempunyai siklus 3-6 kali permenit. Penilaian variabilitas DJJ yang paling mudah adalah dengan mengukur besarnya amplitudo dari variabilitas jangka panjang (long term variability). Berdasarkan besarnya amplitudo tersebut, variabilitas DJJ dapat dikategorikan:

a. Variabilitas normal: amplitudo berkisar antara 5 – 25 dpmb. Variabilitas berkurang: amplitudo 2 – 5 dpmc. Variabilitas menghilang: amplitudo kurang dari 2 dpmd. Variabilitas berlebih(saltatory): amplitudo lebih dari 25 dpm.

Page 32: Emergensi SK1

Gambar 5. Variabilitas menurun

Pada hipoksia serebral, variabilitas DJJ akan menghilang apabila janin tidak mampu mengadakan mekanisme kompensasi hemodinamik untuk mempertahankan oksigenasi serebral. Dapat disimpulkan bahwa variabilitas DJJ yang normal menunjukkan sistem persarafan janin mulai dari korteksserebri – batang otak – nervus vagus – dan sistem konduksi jantung dalam keadaan baik. Variabilitas DJJ akan menghilang pada janin yang mengalamiasidosis metabolik.

Beberapa keadaan bukan hipoksia yang dapat menyebabkan variabilitas DJJ berkurang:1. Janin tidur (suatu keadaan fisiologis dimana aktivitas otak berkurang)2. Janin anensefalus (korteks serebri tidak terbentuk)3. Janin preterm (sistem persarafan belum sempurna)4. Obat (narkotik, diazepam, MgSO4, betametason)5. Blokade vagal6. Defek jantung bawaan.

Suatu keadaan dimana variabilitas jangka pendek menghilang sedangkan variabilitas jangka panjang tampak dominan sehingga tampak gambaran sinusoidal.

Hal ini sering ditemukan pada:1. Hipoksia janin berat2. Anemia kronik3. Fetal eritroblastosis4. Rh-sensitized5. Pengaruh obat-obat Nisentil, alpha prodine

Beberapa perubahan periodik/episodik DJJ yang dapat dikenali pada pemeriksaan KTG adalah:1. Akselerasi2. Deselerasi

Akselerasi (accelerations)

Akselerasi adalah peningkatan djj sebesar 15 dpm atau lebih, berlangsung selama 15 detik atau lebih, yang terjadi akibat gerakan atau stimulasi janin. Akselerasi yang berlangsung selama 2 – 10 menit disebut akselerasi memanjang (prolonged acceleration).

Page 33: Emergensi SK1

Penilaian akselerasi sering digunakan untuk menentukan kesejahteraan janin, dan merupakan dasar dari pemeriksaan non-stress test (NST).Janin yang tidak menunjukkan tanda akselerasi DJJ bukan berarti dalam keadaan bahaya, namun merupakan indikasi untuk pemeriksaan lebih lanjut, seperti contraction stress test (CST) atau penilaian profil biofisik janin.

Gambar 6. Akselerasi

Gambaran akselerasi yang terlihat pada kontraksi uterus dandeselerasi variabel menunjukkan adanya kompresi parsial pada tali pusat.Gambaran akselerasi yang menghilang dapat menjadi pertanda adanyahipoksia janin, apalagi bila disertai dengan tanda-tanda lainnya, seperti variabilitas djj yang berkurang, takikardia, atau bradikardia.

Penting dibedakan antara akselerasi oleh karena kontraksi dan gerakan janin.1. Akselerasi uniform

Terjadinya akselerasi sesuai dengan kontraksi uterus2. Akselerasi variabel

Terjadinya akselerasi sesuai dengan gerakan atau rangsangan pada janin

Deselerasi (decelerations)

Deselerasi merupakan respon parasimpatis (n.vagus) melalui reseptor-reseptor (baroreseptor/kemoreseptor) sehingga menyebabkan penurunan frekuensi DJJ.

Deselerasi dini (early decelerations)

Deselerasi dini adalah penurunan djj sesaat yang terjadi bersamaan dengan timbulnya kontraksi. Gambaran penurunan djj pada deselerasi dini menyerupai bayangan cermin dari kontraksi, yaitu timbul dan berakhirnya deselerasi sesuai dengan saat timbul dan berakhirnya kontraksi. Nadir (bagian terendah) deselerasi terjadi pada saat puncak kontraksi. Penurunan djj pada deselerasi dini biasanya tidak mencapai 100 dpm. Deselerasi dini tidak mempunyai arti patologis jika tidak disertai kelainan pada gambaran djj lainnya.

Page 34: Emergensi SK1

Gambar 7. Patofisiologi deselerasi dini

Ciri-ciri deselerasi dini:1. Timbul dan menghilangnya bersamaan / sesuai dengan kontraksi uterus (seolah cermin kontraksi

uterus)2. Penurunan amplitudo tidak lebih dari 20 dpm3. Lamanya deselerasi kurang dari 90 detik4. Frekuensi dasar dan variabilitas masih normal

Gambar 8. Deselerasi dini

Deselerasi dini sering terjadi pada persalinan normal / fisiologis dimana terjadi kontraksi uterus yang periodik dan normal. Deselerasi saat ini disebabkan oleh penekanan kepala janin oleh jalan lahir yang mengakibatkan hipoksia dan merangsang reflex vagal.Deselerasi lambat (late decelerations)

Deselerasi lambat merupakan penurunan djj yang terjadi beberapa saat setelah kontraksi dimulai. Nadir deselerasi terjadi lebih lambat dari puncak kontraksi; dan deselerasi menghilang lebih lambat dari saat menghilangnya kontraksi.

Page 35: Emergensi SK1

Deselerasi lambat yang terjadi berulang seringkali dijumpai pada keadaan insufisiensi plasenta dan hipoksia janin. Bila deselerasi lambat disertai variabilitas yang berkurang atau kelainan djj lainnya, keadaan tersebut menunjukkan suatu tanda gawat janin (fetal distress), sehingga perlu segera dilakukan evaluasi dan tindakan lebih lanjut.

Gambar 9. Patofisiologi deselerasi lambat

Ciri-ciri deselerasi lambat:1. Timbulnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus dimulai2. Berakhirnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus menghilang3. Lamanya kurang dari 90 detik (rata-rata 40-60 detik)4. Timbul berulang pada setiap kontraksi dan beratnya sesuai dengan intensitas kontraksi uterus5. Frekuensi dasar denyut jantung janin biasanya normal atau takikardi ringan, akan tetapi pada

keadaan hipoksia yang berat bisa bradikardi

Gambaran deselerasi lambat yang “halus” (penurunan djj sangat sedikit) mungkin sulit dideteksi pada KTG, akan tetapi tetap mempunyai arti patologis (abnormal). Penurunan aliran darah pada sirkulasi ibu akan menyebabkan janin mengalami hipoksia. Apabila janin masih mempunyai cadangan yang mencukupi dan masih mampu mengadakan kompensasi keadaan tersebut, maka tidak tampak adanya gangguan pada gambaran kardiotokografi selama tidak ada stress yang lain. Bila terjadi kontraksi uterus, maka aliran darah ke plasenta akan semakin berkurang dan akan memperberat keadaan hipoksia janin. Keadaan terakhir ini akan menyebabkan rangsangan pada kemoreseptor dan n.vagus dan terjadilah

Page 36: Emergensi SK1

deselerasi lambat tersebut. Jarak waktu antara timbulnya kontraksi dan terjadinya deselerasi sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk rangsangan kemoreseptor dan n.vagus. pada fase awal, dimana tingkat hipoksia belum sampai menyebabkan hipoksia otak dan tubuh masih mampu mengadakan kompensasi untuk mempertahankan sirkulasi otak, variabilitas djj biasanya normal. Akan tetapi bila keadaan hipoksia semakin berat dan berlangsung lebih lama maka jaringan otak akan mengalami hipoksia. Sebagai akibatnya adalah variabilitas djj yang menurun dan akhirnya menghilang sebelum janin akhirya mati dalam rahim.

Gambar 10. Deselerasi lambat

Penangan apabila ditemukan deselerasi lambat adalah memberikan infuse, ibu tidur miring, berikan oksigen, menghentikan kontraksi uterus dengan memberikan obat-obatan tokolitik, dan segera direncanakan terminasi kehamilan dengan seksio sesarea.Deselerasi variabel (variable decelerations)

Deselerasi variabel mempunyai bentuk yang bervariasi, dan kaitan timbulnya deselerasi dengan kontraksi juga bervariasi. Deselerasi variabel terjadi akibat kontraksi uterus, terutama pada partus kala II dan penyebab paling sering adalah kompresi tali pusat pada kehamilan atau kala I. Kompresi ini bisa oleh karena lilitan tali pusat, tali pusat menumbung, atau oligohidramnion. Selama variabilitas djj masih baik, biasanya janin tidak mengalami hipoksia yang berarti. Penanganan yang dianjurkan pada keadaan ini adalah perubahan posisi ibu, reposisi tali pusat bila ditemukan adanya tali pusat terkemuka atau menumbung, pemberian oksigen pada ibu, amnio-infusion untuk mengatasi oligohidramnion bila memungkinkan, dan terminasi persalinan bila diperlukan.

Page 37: Emergensi SK1

Gambar 11. Patofisiologi deselerasi variabel

Ciri-ciri deselerasi variabel:1. Gambaran deselerasi bervariasi, baik saat timbulnya, lamanya, amplitude maupun bentuknya2. Saat dimulai dan berakhirnya deselerasi terjadi dengan cepat dan penurunan frekuensi dasar djj

(amplitudo) bisa sampai 60 dpm3. Biasanya terjadi akselerasi sebelum (akselerasi predeselerasi) atau sesudah (akselerasi

pascadeselerasi) terjadinya deselerasi variable4. Bila terjadi deselerasi variabel yang berulang terlalu sering, atau deselerasi variabel memanjang

(prolonged) harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya hipoksia janin yang berlanjut.

Gambar 12. Deselerasi variabel

Page 38: Emergensi SK1

Berbeda dengan deselerasi dini dan deselerasi lambat, gambaran deselerasi variabel berbentuk runcing oleh karena timbul dan menghilangnya deselerasi berlangsung cepat. Deselerasi variabel digolongkan ke dalam 3 kategori:

1. Deselerasi variabel ringan, apabila penurunan djj tidak mencapai 80 dpm dan lamanya kurang dari 30 detik.

2. Deselerasi variabel sedang (moderat), apabila penurunan djj mencapai 60-80 dpm dan lamanya antara 30-60 detik.

3. Deselerasi variabel berat, apabila djj menurun sampai di bawah 60 dpm dan lamanya lebih dari 60 detik.

Istilah deselerasi variable memanjang (prolonged variable decelerations) digunakan untuk menyatakan penurunan djj lebih dari 30 dpm dan lamanya lebih dari 2,5 menit. Deselerasi variabel merupakan jenis deselerasi yang paling sering dijumpai, yaitu pada sekitar 50% - 80% partus kala II; dan kebanyakan tidak berbahaya bagi janin.

Tanda-tanda deselerasi variabel yang tidak berbahaya bagi janin adalah:1. Timbul dan menghilangnya deselerasi berlangsung cepat2. Variabilitas djj masih normal3. Terdapat akselerasi djj pada saat kontraksi.

Tanda-tanda deselerasi variabel yang berbahaya bagi janin adalah:1. Terjadinya lebih lambat dari saat timbulnya kontraksi2. Pemulihan (menghilangnya) deselerasi berlangsung lambat.3. Variabilitas djj berkurang, atau meningkat secara berlebihan4. Menghilangnya akselerasi pra- dan pasca-deselerasi5. Semakin beratnya derajat deselerasi variabel

Derajat beratnya deselerasi variabel ditentukan oleh amplitudo,frekuensi, dan lamanya deselerasi. Deselerasi variabel yang terjadi hanyasekali tidak berarti abnormal, oleh karena mungkin terjadi akibat pemeriksaan dalam (PD), atau akibat perubahan posisi.

Hasil rekaman kardiotokografi yang normal pada umumnya memberikan gambaran:1. Frekuensi dasar djj 120-160 dpm2. Variabilitas djj 6-25 dpm3. Terdapat akselerasi4. Tidak terdapat deselerasi atau kalaupun ada hanya suatu deselerasi dini

H. KONTRAINDIKASI

Sampai saat ini belum ditemukan kontra-indikasi pemeriksaan KTG terhadap ibu maupun janin.

I. INTERPRETASI

Non-stress test (NST)

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai hubungan gambaran DJJ dan aktivitas janin. Cara pemeriksaan ini dikenal juga dengan nama aktokardiografi, atau fetal activity acceleration determination (FAD; FAAD). Penilaian dilakukan terhadap frekuensi dasar DJJ, variabilitas, dan timbulnya akselerasi yang menyertai gerakan janin.

Page 39: Emergensi SK1

Tehnik pemeriksaan NST

1. Pasien berbaring dalam posisi semi-Fowler, atau sedikit miring ke kiri. Halini berguna untuk memperbaiki sirkulasi darah ke janin dan mencegahterjadinya hipotensi

2. Sebelum pemeriksaan dimulai, dilakukan pengukuran tensi, suhu, nadi,dan frekuensi pernafasan ibu.Kemudian selama pemeriksaan dilakukan,tensi diukur setiap 10-15 menit (hasilnya dicatat pada kertas KTG)

3. Aktivitas gerakan janin diperhatikan dengan cara:a. Menanyakan kepada pasienb. Melakukan palpasi abdomenc. Melihat gerakan tajam pada rekaman tokogram (kertas KTG). Bila dalam beberapa menit

pemeriksaan tidak terdapat gerakan janin,dilakukan perangsangan janin, misalnya dengan menggoyang kepala atau bagian janin lainnya, atau dengan rangsang vibro-akustik(dengan membunyikan bel, atau dengan menggunakan alat khusus untuk keperluan tersebut.

4. Perhatikan frekuensi dasar DJJ (normal antara 120 – 160 dpm)5. Setiap terjadi gerakan janin diberikan tanda pada kertas KTG6. Perhatikan variabilitas DJJ (normal antara 5 – 25 dpm)7. Lama pemeriksaan sedikitnya 20 menit

Interpretasi NST 1. Reaktifa. Terdapat gerakan janin sedikitnya 2 kali dalam 20 menit, disertai dengan akselerasi sedikitnya

10-15 dpm.b. Frekuensi dasar djj di luar gerakan janin antara 120 – 160 dpm.c. Variabilitas djj antara 5 – 25 dpm.

2. Non-reaktifa. Tidak terdapat gerakan janin dalam 20 menit, atau tidak terdapat akselerasi pada gerakan

janin.b. Frekuensi dasar djj abnormal (kurang dari 120 dpm, atau lebih dari 160 dpm).c. Variabilitas djj normal atau kurang dari 2 dpm

3. Meragukana. Gerakan janin kurang dari 2 kali dalam 20 menit, atau terdapat akselerasi yang kurang dari 10

dpm.b. Frekuensi dasar djj normal.c. Variabilitas djj normal.

4. Hasil pemeriksaan NST disebut abnormal (baik reaktif maupun non-reaktif) jika ditemukan:a. Bradikardib. Deselerasi 40 dpm atau lebih dibawah frekuensi dasar (baseline) atau denyut jantung janin

mencapai 90 dpm, yang lamanya 60 detik atau lebih.Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan terminasi kehamilan bila janin sudah viable atau pemeriksaan ulang setiap 12-24 jam bila janin belum viable.Hasil NST yang reaktif biasanya diikuti dengan keadaan janin yang baik sampai 1 minggu kemudian (spesifisitas 95% - 99%) sehingga pemeriksaan ulang dianjurkan 1 minggu kemudian. Namun bila ada faktor resiko seperti hipertensi, DM, perdarahan, atau oligohidramnion hasil NST yang reaktif tidak menjamin bahwa keadaan janin akan masih tetap baik sampai 1 minggu kemudian, sehingga pemeriksaan ulang harus lebih sering (1 minggu). Hasil NST yang non-reaktif mempunyai nilai prediksi positif yang rendah < 30% (janin akan asfiksia) sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan CST atau pemeriksaan yang mempunyai nilai prediksi positif lebih tinggi (Dopler-USG). Hasil NST yang meragukan harus diulang dalam waktu 24 jam. Sebaiknya NST tidak dipakai sebagai parameter tunggal

Page 40: Emergensi SK1

untuk menentukan intervensi atau terminasi kehamilan oleh karena tingginya angka positif palsu tersebut (dianjurkan untuk menilai profil biofisik janin lainnya).

Contraction stress test (CST)

Pemeriksaan ini menilai hubungan gambaran djj dan kontraksi uterus. Dalampemeriksaan ini dilakukan pengamatan terhadap frekuensi dasar DJJ,variabilitas, dan perubahan djj akibat kontraksi uterus.

Tehnik pemeriksaan CST1. Pasien berbaring dalam posisi semi-Fowler, atau sedikit miring ke kiri2. Sebelum pemeriksaan dimulai, dilakukan pengukuran tensi, suhu, nadi,dan frekuensi

pernafasan ibu. Kemudian selama pemeriksaan dilakukan,tensi diukur setiap 10-15 menit (dicatat pada kertas KTG).

3. Perhatikan timbulnya kontraksi uterus, yang dapat dilihat pada kertas KTG. Kontraksi uterus dianggap adekuat bila terjadi 3 kali dalam 10 menit.

4. Bila tidak terjadi kontraksi uterus setelah beberapa menit pemeriksaan,dilakukan stimulasi, misalnya dengan cara pemberian oksitosin (inhalasi, sublingual). Stimulasi dilakukan sampai timbul kontraksi yang adekuat. Apabila selama stimulasi terjadi deselerasi lambat meskipunkontraksi belum adekuat, maka pemeriksaan harus segera dihentikan danhasilnya dinyatakan positif.

5. Pengamatan dilakukan terhadap frekuensi dasar DJJ, variabilitas, dan perubahan djj akibat kontraksi.

6. Pemeriksaan dianggap cukup bila didapatkan kontraksi yang adekuat selama 10 menit. Stimulasi oksitosin harus segera dihentikan, dan pasien diawasi terus sampai kontraksi menghilang.

Interpretasi CST1. Negatif

a. Frekuensi dasar djj normal.b. Variabilitas DJJ normal.c. Tidak terdapat deselerasi lambat.d. Mungkin ditemukan akselerasi atau deselerasi dini.

2. Positifa. Deselerasi lambat yang berulang pada sedikitnya 50% dari jumlah kontraksi.b. Deselerasi lambat yang berulang meskipun kontraksi tidak adekuat c. Variabilitas DJJ berkurang atau menghilang.

3. Mencurigakan(suspicious)a. Deselerasi lambat yang kurang dari 50% dari jumlah kontraksi. b. Deselerasi variabel c. Frekuensi dasar djj abnormal.

Pada keadaan ini CST diulang dalam 24 jam4. Tidak memuaskan(unsatisfactory)

a. Hasil perekaman tidak representatif, misalnya oleh karena ibu gemuk, gelisah atau gerakan janin yang berlebihan.

b. Tidak terdapat kontraksi yang adekuat.Dalam keadaan ini pemeriksaan harus diulang dalam 24 jam

5. Hiperstimulasia. Terdapat kontraksi 5 kali atau lebih dalam 10 menit; atau lama kontraksi lebih dari 90 detik

(tetania uteri)b. Seringkali disertai deselerasi lambat atau bradikardia.

Page 41: Emergensi SK1

Dalam keadaan ini harus waspada kemungkinan terjadinya hipoksia janin yang berlanjut sehingga bukan tidak mungkin terjadi asfiksia janin. Hal yang perlu dilakukan adalah segera menghentikan pemeriksaan dan berikan obat-obat penghalang kontraksi uterus (tokolitik), diberikan oksigen pada ibu dan tidur miring untuk memperbaiki sirkulasi utero-plasenta.

Hasil CST negatif menggambarkan keadaan janin yang masih baik sampai 1 minggu pasca pemeriksaan (spesifisitas 99%). Hasil CST positif disertai dengan nasib perinatal yang jelek pada 50% kasus.

Hasil CST yang mencurigakan harus terus diobservasi secara ketat(CST diulang setiap 30 – 60 menit); bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan Ph darah janin. Hasil CST yang tidak memuaskan harus diulang dalam waktu 24 jam. Bila terdapat hiperstimulasi, kontraksi harus segera dihilangkan (tokolisis) dan kehamilan/persalinan diakhiri.

Kontraindikasi CST1. Mutlak

a. Adanya risiko ruptur uteri: bekas seksio sesarea klasik, riwayat miomektomi dsb.b. Perdarahan antepartum: plasenta previa, solusio plasenta.c. Tali pusat terkemuka.

2. Relatifa. Ketuban pecah dini.b. Kehamilan preterm.c. Kehamilan kembar.d. Inkompetensia serviks.e. Disproporsi sefalo-pelvik

J. RESUSITASI

Tindakan resusitasi dilakukan untuk memperbaiki sirkulasi dan oksigenasi pada janin yang mengalami hipoksia. Beberapa tindakan yang bisa dikerjakan antara lain:

1. Perbaikan sirkulasia. Pasien dibaringkan dalam posisi semi-Fowler atau sedikit miring ke kiri.b. Pemberian tokolisis bila terdapat kontraksi.c. Menormalkan tekanan darah bila terdapat hipertensi atau hipotensi d. Amnioinfusi, bila terdapat oligohidramnion.

2. Perbaikan oksigenasia. Pemberian oksigen.b. Perbaikan anemia.

Page 42: Emergensi SK1

Gambar 13. Penatalaksanaan berdasarkan KTG

A. KESIMPULAN

1. Kardiotokografi (KTG) merupakan alat bantu didalam pemantauan kesejahteraan janin. Pada KTG ada tiga bagian besar kondisi yang dipantau yaitu denyut jantung janin (DJJ), kontraksi rahim, dan gerak janin serta korelasi diantara ketiga parameter tersebut.

2. Dalam keadaan normal, frekuensi dasar DJJ berkisar antara 120 – 160 dpm (pendapat ini yang dianut di Indonesia). Frekuensi dasar DJJ yang lebih dari 160 dpm disebut takikardia; bila kurang dari 120 dpm disebut bradikardia.

3. Gambaran DJJ dalam pemeriksaan KTG dapat digolongkan ke dalam 2 bagian besar, yaitu denyut jantung janin dasar (baseline fetal heart rate) dan perubahan periodik / episodik DJJ.

4. Variabilitas DJJ adalah gambaran osilasi ireguler yang terlihat pada rekaman DJJ dibagi menjadi variabilitas jangka pendek dan jangka panjang.

5. Beberapa perubahan periodik/episodik DJJ yang dapat dikenali pada pemeriksaan KTG adalah akselerasi dan deselerasi.

6. Cara pemantauan DJJ dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu non-stress test (NST) dan tehnik pemeriksaan NST.