ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

51
ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG Oleh Rozi Abdullah PPDS FARMAKOLOGI KLINIK

description

ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Transcript of ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Page 1: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Oleh

Rozi AbdullahPPDS FARMAKOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA2015

Page 2: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

PENDAHULUAN

Elektrofisologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai mekanisme terbentuknya fenomena

elektris dan konsekuensinya dalam kehidupan suatu organisme (Dorland, 2007).

Elektrofisiologi jantung mempelajari tentang mekanisme, fungsi dan keberadaan

aktivitas elektris di jantung termasuk inisiasi impuls dan konduksi dari level seluler.

Gangguan jantung dengan dasar gangguan proses elektrik adalah aritmia. Aritmia

umumnya didiagnosis klinis berdasarkan gambaran electrocardiogram (ECG), yang

mencerminkan arus listrik akibat proses eksitasi otot jantung keseluruhan. Gambar 1

menggambarkan kaitan antara proses elektrofisologis seluler dengan ECG.

Gambar 1. Hasil EKG dan potensial aksi di di sel miosit ventrikel (Wildmaier et al, 2001)

Aritmia sering terjadi pada manusia dengan penyakit jantung yang mendasari atau pada

jantung yang secara struktur normal. Walaupun manifestasi klinik aritmia sangat bervarisasi

namun dapat terjadi fenomena elektrofisiologis yang serupa dalam level seluler (Gaztanaga

et al, 2012). Terdapat

3 mekanisme utama terjadinya aritmia yaitu automatisitas, trigerred activity dan reentry,

semuanya merupakan bentuk perubahan karakter elektrofisiologis jantung. Untuk

memahami ketiga hal tersebut diperlukan pengetahuan dasar elektrofisiologi jantung

misalnya mengenai potensial membran, potensial aksi, periode refraktori dan sistem

konduksi. Pemahaman mengenai mekanisme aritmia penting dalam pengembangan

penegakan diagnosis dan manajemen. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai dasar

elektrofisiologi jantung dan mekanisme utama terjadinya aritmia.

Page 3: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

POTENSIAL MEMBRAN

Setiap membran sel mempunyai potensial membran yang terjadi karena perbedaan

konsentrasi ion di sitoplasma dengan interstitial dan berubah bila ada aliran ion melintasi

membran (Mohrman and Haller, 2006). Potensial membran istirahat didefinisikan sebagai

perbedaan potensial listrik (voltase) pada membran sel eksitabel selama kondisi istirahat.

Potensial membran istirahat sel tubuh berada dalam rentang +5 sampai -100 mV. Pada

sebagian besar sel, potensial membran istirahat berada dalam kondisi terpolarisasi dengan

nilai negatif, yang berarti bagian intrasel lebih negatif dari bagian ekstrasel. Sel pacemaker

jantung mempunyai potensial membran istirahat -60 mV sedangkan sel otot jantung -90

mV (Tortora dan Dericsson, 2010).

PERANAN KANAL ION, ENZIM, DAN EXCHANGER

Secara umum ion bersifat tidak larut lipid sehingga tidak mampu menembus membran lipid

bilayer dengan bebas. Ion keluar atau masuk sel melalui struktur protein transmembran yang

dapat berupa

1) kanal ion, 2) ion exchanger, 3) pompa ion. Dari ketiganya (gambar 2), yang

bertanggungjawab terhadap potensial membran istirahat dan perubahan cepat pada saat

timbulnya potensial aksi adalah kanal ion.

Gambar 2. Protein transmembran untuk aliran ion (Jalife et al, 2009)

Otot jantung mempunyai 3 tipe kanal ion yaitu kanal ion gerbang voltase, kanal ion gerbang

ligand dan kanal ion gerbang mekanik. Pada kondisi normal kanal ion gerbang voltase yang

memengang peran utama dalam penjalaran potensial aksi. Kanal jenis ini mempunyai domain

Page 4: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

protein bermuatan sebagai sensor voltase (gambar 3) yang sensitive terhadap perubahan

potensial membran (Jalife et al, 2009)

Page 5: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Gambar 3. Sensor voltase dan keadaan kanal (Jalife et al, 2009)

Kanal ion mempunyai sifat 1) dibentuk oleh molekul protein yang melintasi membran, 2)

spesifik terhadap ion tertentu, 3) berada pada keadaan yang bervariasi yaitu terbuka, tertutup

dan inaktif (Mohrman and Haller, 2006). Tabel 1 dan 2 berikut adalah beberapa kanal ion

utama di jantung.

Tabel 1. Kanal Na dan Ca

Arus Kanal Peran fungsionalIf(funny)

Na (arus pada pacemaker) Voltase dan ligand

Diaktifkan oleh hiperpolarisasi Berperan pada depolarisasi diastolik yang tidak stabil Dipacu oleh stimulasi simpatisINa Kanal Na (cepat)

Voltase Berperan dalam fase 0 potensial aksi Inaktifasi kanal berperan dalam fase 1 potensial aksi

ICa Kanal Ca-L (lambat)Voltase dan ligand

Ditekan oleh stimulasi vagal (parasmpatis) Berperan dalam fase 2 potensial aksi (plateu) Inaktifasi kanal berperan dalam fase 3 Dipacu oleh stimulasi simpatis dan agen beta adrenergik

Tabel 2. Kanal K

Arus Kanal Peran fungsionalITo Kanal K

(transient outward) Kontribusi fase 1 potensial aksi

IKI Kanal K(inward rectifier)

Menjaga permeabilitas K yang tinggi selama fase 4 Decay berperan dalam depolarisasi diastolik Penekanan pada fase 0-2 berperan dalam plateu

IK Kanal K(delayed rectifier)

Menyebabkan fase 3 potensial aksi Dipacu bila ada peningkatan Ca intrasel Terdiri dari komponen rapid (IKr) dan slow (IKs)

IKATP

Kanal K(sensitif ATP)

Meningkatkan permebilitas K jika ATP rendah

IKAch Kanal K(diaktifkan Ach) Ligand

Bertanggungjawab terhadap efek stimulasi vagal Penurunan depolarisasi diastolic dan frekuensi denyut jantung Membuat hiperpolarisasi potensial membran Memendekan fase 2 potensial aksi(Modifikasi dari Mohrman and Haller, 2006;

Barret et al 2009)

Page 6: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

(

PERUBAHAN POTENSIAL MEMBRAN

Perubahan keadaan kanal ion akan menyebabkan perubahan pada permeabilitas membran.

Peningkatan permeabilitas membran terhadap suatu ion disebabkan oleh peningkatan jumlah

kanal ion yang terbuka. Bila kanal ion terbuka maka terjadilah aliran ion melintasi membran

sehingga konsentrasi ion intrasel dan ekstrasel berubah. Perubahan permeabilitas membran

plasma terhadap ion tertentu dapat mengubah potensial membran dari keadaan istirahat.

Perubahan tersebut dapat berupa depolarisasi, overshoot, repolarisasi dan hiperpolarisasi

(gambar 4)

Page 7: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Gambar 4. Perubahan Potensial Membran (Wildmaier et al, 2001)

Tiga ion utama yang berperan dalam menentukan potensial membran jantung adalah ion

natrium (Na), Kalium (K) dan Kalsium (Ca). Konsentrasi ion Na dan Ca lebih tinggi di

ekstrasel sedangkan ion K lebih tinggi di intrasel (Mohrman and Haller, 2006).

Pembukaan kanal ion menyebabkan suatu inward current atau outward current (gambar 5).

Peningkatan permebilitas membran terhadap ion Na dan Ca menyebabkan aliran ion

bermuatan positif ke dalam sel (inward current) sehingga polaritas membran berkurang

(arus defleksi negatif, voltase depolarisasi). Sebaliknya peningkatan permeabilitas membran

terhadap ion K menyebabkan aliran ion positif keluar sel (outward current) sehingga

polaritas membran bertambah (arus defleksi positif, voltase repolarisasi). Penutupan atau

inaktivasi kanal ion menghentikan efek ini. Proses yang melibatkan aliran ketiga ion utama

ini mendasari terbentuknya potensial aksi di jantung.

Gambar 5. Inward dan outward current (Jalife et al, 2009)

Setelah terjadi proses potensial aksi maka komposisi ionik ekstra dan intrasel jantung

menjadi berubah. Kadar ion Na dan Ca intrasel menjadi bertambah sedangkan kadar K

menjadi berkurang. Untuk mencegah overload Ca intrasel dan mengembalikan komposisi

ionik seperti semula maka terdapat 3 mekanisme pompa ion (gambar 6). Tiga pompa ion itu

adalah 1) pompa aktif Ca keluar sel yang membutuhkan ATP, 2) mekanisme pompa NCX

atau Na-Ca Exchanger dengan perbandingan Na masuk dan Ca keluar 3:1, 3) transport aktif

pompa ion Na/K ATPase mengeluarkan Na dan memasukan K dengan perbandingan 3:2,

Page 8: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Gambar 6. Mekanisme mencegah overload Ca

Potensial aksi jantung di beberapa bagian jantung mempunyai karakter yang berbeda

karena perbedaan properti elektrofisiologisnya. Secara umum mekanisme

timbulnya potensial aksi dibedakan menjadi dua yaitu potensial aksi yang terjadi di

pacemaker dan di otot kontraktil jantung. Potensial aksi yang timbul di pacemaker

merupakan “slow response action potential” sedangkan di otot jantung merupakan “fast

response action potential” (Tabel 3)

Tabel 3. Perbandingan Slow dan Fast Response Action Potential

Slow Response Action Potential Fast Response Action Potential potensial aksi pacemaker Inisiasi depolarisasi lebih lambat amplitude potensial aksi yang lebih rendah fase plateu yang pendek dan tidak stabil repolarisasi yang lambat menuju

potensial aksi sel otot jantung depolarisasi cepat, overshoot tinggi (fase 0) repolarisasi cepat setelah overshoot (fase 1) adanya plateu yang lama (fase 2) repolarisasi (fase 3) ke potensial (Modifikasi dari Mohrman and

Haller, 2006)

MEKANISME POTENSIAL AKSI SEL PACEMAKER

Pacemaker jantung terdiri dari nodus sinoatrial (SA) dan nodus atrioventricular (AV)

yang dapat membentuk potensial aksi secara spontan (gambar 7). Pada kondisi normal

nodus SA adalah pacemaker utama jantung, memiliki potensial membran “istirahat” -60

mV yang tidak stabil yang senantiasa terdepolarisasi dengan threshold potensial aksi -

40mV. Kondisi ketidaksatabilan potensial membran istirahat di pacemaker diistilahkan

Page 9: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

sebagai “depolarisasi fase 4”, “diastolik depolarisasi” atau “potensial pacemaker”

(Mohrman and Haller, 2006).

Page 10: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Gambar 7. Mekanisme Potensial Aksi di Pacemaker

Depolarisasi Spontan Pacemaker

Inisiasi depolarisasi diastolik spontan terjadi terutama oleh kanal ion Na pacemaker (If). Kanal ion ini diaktifkan oleh kondisi hiperpolarisasi, setelah potensial aksi berakhir (fase 4). Masuknya ion Na secara lambat meningkatkan potensial membran sampai -40mV (treshold terjadinya potensial aksi). Kanal lain yang terlibat adalah kanal ion Ca. Aliran masuk ion Ca karena pembukaan kanal Ca tipe T (ICa-T) berperan dalam kompletnya prepotensial Terdapat bukti bahwa pelepasan lokal ion Ca dari Potensial aksi pacemakerKetika depolarisasi spontan mencapai threshold maka potensial aksi timbul (overshoot). Potensial aksipacemaker terjadi terutama karena pembukaan kanal ion Ca tipe L (ICa-L) sehingga ion Ca masuk sel (Ca dependent). Kanal ion Ca bersifat lambat membuka dan lambat Repolarisasi dan hiperpolarisasi

Repolarisasi terjadi karena pembukaan kanal ion K (IK) dan penutupan kanal ion Ca. Ion K akan keluar sel dan Ca berhenti masuk sel. Akibatnya potensial membran semakin negatif sampai potensial pacemakerpaling negative yang disebut maximal diastolic depolarization (MDP). Setelah potensial membran mencapai MDP maka kondisi hiperpolarisasi ini memicu proses depolarisasi

(Barret et al, 2009

MEKANISME POTENSIAL AKSI OTOT JANTUNG

Berbeda dengan pecemaker, otot jantung mempunyai potensial membran istirahat

yang lebih negatif dan stabil yaitu sekitar -90mV. Bila ada aliran muatan positif (Na

dan Ca) melalui gap junction maka muatan di dalam sel semakin positif sampai potensial

membran mencapai treshold potensial aksi yaitu sekitar -65mV. Secara lengkap mekanisme

potensial aksi di otot jantung terbagi menjadi fase 0 sampai 4 (gambar 8).

Page 11: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Gambar 8. Mekanisme potensial aksi di sel otot Jantung (non pacemaker)

Fase 0 atau fase depolarisasi cepatSecara tiba-tiba permeabilitas membran terhadap ion Na meningkat. Pembukaan kanal Na (INa)menyebabkan ion Na masuk sel dan terjadilah potensial aksi (overshoot). Pembukaan kanal Na ini cepatdan hanya sebentar yang selanjutnya menjadi inaktif (kondisi tertutup tidak bisa dibuka). Fase 1 atau fase repolarisasi cepat inisial

Penutupan kanal Na menyebabkan terhentinya aliran masuk ion Na. Penutupan ini bersamaan denganpembukaan kanal K sesaat (ITO) sehingga ion K keluar sel. Kedua proses ini bertanggungjawab terhadap repolarisasi cepat namun sementara.Fase 2 atau fase plateu

Fase plateu terjadi karena pembukaan kanal ion Ca tipe L (long period, ICa-L) sehingga ion Ca masuk sel. Proses masuknya ion Ca akan berimbang dengan keluarnya ion K (IK terdiri dari rapid IKr dan slow IKs)yang menyebabkan potensial membran relative konstan dalam kondisi positif. Masuknya ion Ca akan memicu pelepasan ion Ca dari reticulum sarkoplasmicum ke sitoplasma yang menginiasi terjadinya kontraksi sel otot Fase 3 atau fase repolarisasi cepat akhir

Aktifnya kanal ion K berbagai tipe (IK, IKs, dan IKI) dan inaktifnya kanal ion Ca menyebabkan berhentinya fase plateu dan terjadi repolarisasi.Fase 4 kondisi potensial membran istirahat

Aliran keluar K (IKI) bertanggungjawab terhadap repolarisasi final ke kondisi potensial membran istirahat. (Barret et al, 2009)

Periode Refraktori

Karakteristik sel eksitabel adalah ketika sel teraktivasi maka terdapat periode dimana

potensial aksi yang berikutnya tidak dapat dibentuk. Interval waktu saat sel tidak dapat

dire-eksitasi disebut periode refraktori. Periode refraktori dibagi menjadi dua (gambar 9)

yaitu periode refraktori absolut dan periode refraktori relatif. Hal ini disebabkan karena

selama depolarisasi kanal Na menjadi inaktif. Agar kanal Na menjadi konduktif lagi maka

dibutuhkan suatu periode recoveri dari inaktif menjadi

Page 12: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

aktif, yang diinisiasi oleh repolarisasi Pada periode refraktori absolute sel tidak dapat

dieksitasi berapapun amplitudo gelombang impuls yang datang sedangkan pada periode

refraktori relatif sel masih dapat tereksitasi namun memerlukan arus yang lebih tinggi dari

normal (Jalife et al, 2009).

Gambar 9. Periode refraktori absolute dan relative (Gaztanaga et al, 2012)

Periode refraktori sel jantung relative lebih panjang dibandingkan sel eksitabel lain misalnya

neuron dan sel skelet. Sel jantung tidak dapat diaktivasi kembali bila belum relaksasi dari

kontraksi sebelumnya (gambar 10) dan hal ini mencegah terjadinya kontraksi tetanik sel otot

jantung (Jalife et al, 2009)

Gambar 10. Periode refraktori terjadi lama, sampai otot relaksasi dahulu (Wildmaier et al, 2001)

PENJALARAN IMPULS PACEMAKER-OTOT JANTUNG

Impuls dari pacemaker kemudian diteruskan dengan cepat melalui sistem konduksi ke

seluruh otot jantung sehingga menimbulkan kontraksi otot jantung. Sistem konduksi jantung

terdiri dari 1) nodus SA sebagai sumber impuls jantung pada kondisi normal, 2) jalur

internodus yang menghantarkan impuls dari nodus SA ke nodus AV, 3) nodus AV

Page 13: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

tempat perlambatan impuls sebelum ke otot ventrikel 4) berkas AV (AV bundles,

bundle of His) yang menghantarkan impuls dari atrium ke

Page 14: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

ventrikel dan 5) berkas Purkinje dan cabangnya (left and right bundle branch of Purkinje)

yang menghantarkan impuls ke seluruh otot ventrikel.

Gambar 11. Sistem konduksi jantung (Barret et al, 2009)

Potensial pacemaker atau prepotensial senantiasa mengalami depolarisasi spontan

menuju threshold potensial aksi sehingga terjadi impuls yang berkelanjutan dan ritmis.

Potensial pacemaker hanya terdapat pada nodus SA dan AV namun “pacemaker laten” pada

bagian lain sistem konduksi dapat mengambil alih apabila simpul SA dan AV tertekan atau

hantaran dari keduanya terhambat. Walaupun otot atrium dan ventrikel tidak mempunyai

prepotensial namun dapat mengeluarkan impuls spontan bila terjadi kerusakan jaringan atau

keadaan abnormal (Barret et al, 2009).

Page 15: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kecepatan konduksi

*PRINSIP MEKANISME ARITMIA

Mekanisme utama terjadinya aritmia adalah automatisitas, triggered activity dan

reentry. Mekanisme aritmia ini selanjutnya dikelompokan menjadi dua yaitu gangguan

pembentukan impuls dan gangguan konduksi impuls (tabel 4). Automatisitas dan trigerred

activity termasuk dalam kelompok gangguan pembentukan impuls sedangkan reentry adalah

bentuk gangguan konduksi impuls. Aritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh terjadinya

salah satu gangguan atau kombinasi keduanya.

Tabel 4. Pembagian mekanisme aritmia jantung

(Gaztanaga et al, 2012)

GANGGUAN PEMBENTUKAN IMPULS AUTOMATISITAS

Pada kondisi normal nodus SA paling cepat membentuk potensial aksi spontan (fastest rate of firing)

sehingga mencegah pembentukan impuls spontan pacemaker lain yang lebih lambat (gambar

12). Setiap kali nodus SA terjadi potensial aksi maka impuls akan dijalarkan ke nodus AV,

Bundle His dan Purkinje. Sebelum pacemaker laten tersebut mencapai potensial

threshold intrinsik, sudah mendapat impuls kembali dari nodus SA sehingga mereka tidak

sempat mencetuskan impuls sendiri.

Page 16: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Gambar 12. Frekuensi intrinsik pacemaker (Despopoulos, 2003)

Kecepatan pembentukan potensial aksi spontan ditentukan oleh interaksi 3 faktor yaitu

a) kemiringan depolarisasi fase 4 (prepotential, potensial pacemaker), b) potensial threshold

untuk inisiasi potensial aksi, dan c) maximum diastolic potential (MDP). Perubahan dari

ketiga hal tersebut dapat mengubah kecepatan inisiasi impuls (gambar 13).

Gambar 13. Faktor yang mempengaruhi potensial pacemaker (Despopoulos, 2003)

Tanda khas dari automatisitas normal adalah adanya “overdrive suppression”. Pade

pacemaker laten yang diambil alih (overdriving), frekuensi terbentuknya impuls terjadi

lebih cepat dari frekuensi intrinsiknya dan terjadi penurunan kemiringan fase 4 sebagian

besar karena peningkatan aktivitas pompa Na/K (terjadi hiperpolarisasi).

Pada pacemaker laten, arus depolarisasi dari pacemaker primer memicu masuknya Na ke

dalam sel (gambar 14). Peningkatan kadar natrium intrasel ini memicu pompa Na/K ATPase

untuk mengeluarkan natrium dan bertukar dengan kalium. Semakin sering terjadi arus

depolarisasi maka semakin aktif kerja pompa. Karena perbandingan ion Na masuk dan

K keluar adalah 3:2 maka potensial membrane semakin negatif (hiperpolarisasi). Hal

ini mengimbangi proses depolarisasi

Page 17: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

otomatis oleh kanal “funny” (If) sehingga sel pacemaker laten tidak pernah terdepolarisasi

otomatis mencapai potensial tresholdnya dan mencegah terjadinya potensial aksi spontan

sesuai irama intrinsiknya.

Gambar 14. Mekanisme ionik overdrive supression

Ketika stimulasi “overdrive” dihentikan (gambar 15), frekuensi pembentukan impuls

kembali sesuai dengan frekuensi intrinsik secara bertahap (disebut periode “warm-up”).

Karena overdrive, terjadi overload Na intrasel sehingga ketika “overdrive” berhenti, pompa

Na/K memerlukan waktu untuk kembali ke pola aktivitas dasarnya. Hal ini yang

menjelaskan adanya jeda beberapa saat sebelum pacemaker laten tersebut kembali ke

frekuensi intrinsik. Tingkat supresi dan waktu recover proporsional dengan frekuensi dan

durasi stimulasi yang diberikan.

Gambar 15. Overdrive suppression dengan periode “warm up” (Castanaganza et al, 2012)

Mekanisme ini berperan penting dalam menjaga irama sinus, yang secara

berkelanjutan

menghambat pacemaker laten dibawahnya. Pada pasien dengan pacemaker eksternal, irama

intrinsik juga disupresi melalui mekanisme ini. Tidak adanya “overdrive

suppression” mengindikasikan bahwa aritmia yang terjadi ditimbulkan oleh mekanisme

selain peningkatan automatisitas normal.

Page 18: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Aktivitas pacemaker dikontrol oleh sistem saraf otonom (gambar 16) dan dapat

dipengaruhi oleh berbagai factor sistemik termasuk gangguan metabolik, substansi endogen

atau obat-obatan

Page 19: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Gambar. 16. Frekuensi Instrinsik rate nodus SA dan interaksi dengan tonus otonom

Keadaan yang mempengaruhi firing rate nodus SA

AUTOMATISASI NORMAL YANG BERUBAH

Aktivitas parasimpatik mengurangi kecepatan pembentukan impuls pacemaker dengan

melepaskan acetylcholine (Ach) sehingga terjadi hiperpolarisasi sel melalui peningkatan

konduktansi kanal K (IK- Ach). Selain itu juga mengurangi aktivitas kanal Ca (ICa-L) dan

aktivitas kanal Na funny (If) sehingga makin memperlambat pembentukan impuls (gambar

17).

*EFEK SIMPATIS DAN PARASIMPATIS PADA POTENSIAL PACEMAKER

Gambar 17. Efek simpatis dan parasimpatis pada potensial pacemaker (Wildmaier et al, 2001)

Sebaliknya aktivitas simpatik meningkatkan kecepatan pembentukan impuls sinus.

Katekolamin

Page 20: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

meningkatkan permeabilitas kanal Ca tipe L (Ica-L) sehingga aliran ion Ca meningkat. Selain itu, terjadi

peningkatan arus Na melalui kanal Na funny (If) sehingga kemiringan fase 4 repolarisasi

meningkat.

HIPOKSIA DAN HIPOKALEMIA

Gangguan metabolik seperti hipoksia dan hipokalemia dapat menyebabkan

peningkatan

automatisasi normal karena terjadi hambatan pompa Na/K sehingga arus repolarisasi dasar

berkurang dan meningkatkan kemiringan depolarisasi diastolik fase 4. Sementara itu, kondisi

degeneratif yang mempengaruhi sistem konduksi jantung berupa supresi pacemaker sinus

menyababkan bradikardi atau bahkan sinus arrest. Pacemaker laten dapat manifes jika

terjadi supresi pada automatisitas sinus.

AUTOMATISASI ABNORMAL

Pada kondisi normal sel otot atrial dan ventricular bersifat non pacemaker sehingga tidak

melakukan aktivitas spontan. Kondisi yang menggeser maximal potential threshold (MDP)

sel non pacemaker menuju potensial threshold memungkinkan pada sel tersebut terjadi

automatisitas. Pergeseran MDP

dipengaruhi oleh peranan berbagai

perubahan aliran ion, yang akhirnya

menyebabkan depolarisasi

terkait penurunan konduktansi

kalium. Automatisitas

abnormal dapat terjadi pada

kasus peningkatan kadar kalium

ekstrasel, penurunan pH intrasel dan

katekolamin yang berlebihan.

Pada sel nonpacemaker

yang terkondisikan terdepolarisasi konstan pada -10 sampai -60 maka dapat timbul potensial

aksi spontan atau automatisitas abnormal (depolarization induced automaticity). Frekuensi

intrinsik dari automatisitas abnormal tergantung pada kondisi potensial membran,

semakin besar kondisi stimulus depolarisasi semakin cepat frekuensi automatisitas. Seperti

terlihat perbandingan frekuensi automatisitas stimulus (a) dengan (b) pada gambar 18 berikut

Page 21: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Gambar 18. Frekuensi automatisitas meningkat dengan peningkatan depolarisasi (Jalife et al,

2009) Berbeda dengan peningkatan automatisitas normal, pada automatisitas abnormal

berciri kurang sensitive terhadap “overdrive suppression” walaupun pada kondisi tertentu

dapat teramati.

TRIGERRED ACTIVITY

Trigerred activity (TA) terjadi setelah inisiasi impuls karena “afterdepolarisasi” (oskilasi

potensial membran selama atau segera setelah potensial aksi). Afterdepolarisasi hanya

terjadi jika ada potensial aksi yang mendahului (sebagai trigger) dan bila sudah mencapai

potensial threshold akan membentuk potensial aksi yang baru. Hal ini dapat sebagai sumber

terpicunya respon baru, menjadi potensial aksi tersendiri.

Berdasarkan kaitan temporal, afterdepolarisasi dideskripsikan menjadi dua tipe (gambar 19)

yaitu early after depolarizations (EADs) dan delayed after depolarizations (DADs). EADs

terjadi selama fase 2 dan 3 dari potensial aksi sedangkan DADs terjadi setelah lengkapnya fase

repolarisasi.

Gambar 19. Early after depolarization (EAD) dan Delayed after depolarization (DAD)

*A DIGITALIS TOKSISITY DAN TRIGERRED DIGTRIGERED ACTIVITY DIINDUKSI DADs

DADs adalah oskilasi voltase membran yang terjadi setelah lengkapnya repolarisasi dari

potensial aksi yaitu selama fase 4. Oskilasi disebabkan oleh berbagai kondisi yang

meningkatkan konsentrasi Ca intraseluler diastolik sehingga terjadi overload Ca (Ca

mediated oscillation). Jika mencapai threshold stimulasi tertentu maka dapat memicu

pembentukan potensial aksi baru atau timbul trigerred activity (gambar 20)

Page 22: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Gambar 20. Trigerred activity diinduksi DAD

Munculnya DADs pertama kali diamati pada serabut Purkinje yang dipapar kadar toksik

digitalis (gambar 21). Inhibisi pompa ion Na/K ATPase menyebabkan akumulasi Na intrasel

yang memicu masuknya Ca melalui mekanisme Na-Ca exchanger (NCX). Akibatnya terjadi

overload Ca intrasel sehingga terjadi arus masuk sementara ke dalam sel melalui kanal

nonspesifik tergantung Ca (Ca- dependent nonspecific channel) dan terjadilah DADs. Saat

ini diketahui bahwa overload Ca intrasel dapat terjadi selain mekanisme inhibisi pompa ion

Na/K ATPase. Stimulus lain yang menyebabkan overload Ca intrasel adalah katekolamin,

iskemia, hypertofi, hipokalemia dan hiperkalemia.

Gambar 21. Mekanisme Ionik DADs (Jalife, 2009)

Katekolamin menyebabkan overload Ca intraseluler via peningkatan aliran masuk Ca

melalui kanal Ca tipe L (ICa-L) dan peningkatan aliran Na-Ca exchanger. DADs yang

diinduksi iskemia diduga dimediasi oleh akumulasi lipofosfogliserida pada jaringan iskemik

dengan diikuti peningkatan Na dan Ca intrasel. Overload Ca intrasel juga dapat disebabkan

Page 23: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

oleh fungsi reticulum sarkoplasmikum yang abnormal (misal mutasi reseptor ryanodin),

memfasilitasi aritmia klinis seperti catecholaminergic polymorphic VT.

Adenosin telah dipakai sebagai uji diagnosis DADs. Adenosin mengurangi aliran masuk ion

Ca secara indirek dengan menghambat adenilat siklase dan cyclic adenosine

monophosphate (cAMP). Adenosin dapat menghilangkan DADs yang diinduksi

katekolamin namun tidak mengubah DADs yang diiduksi inhibisi pompa Na/K. Adanya

interupsi VT dengan pemberian adenosine menunjukan bahwa mekanisme aritmia adalah

karena DADs yang diinduksi katekolamin.

Page 24: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Karakteristik utama DADs adalah dapat kemunculanya semakin dipicu oleh peningkatan frekuensi stimulasi. Frekuensi dan durasi stimulasi selanjutnya terkait dengan amplitudo dan jumlah triggered activity. Misalnya pada skema munculnya DADs pada serabut Purkinje yang dipapar digitalis kadar toksik (gambar 22). Stimulasi potensial aksi dengan frekuensi yang relative lambat akan diikuti oleh fase 4 yang normal (a). Jika stimulasi semakin cepat maka terdapat dua gelombang oskilasi selama fase 4 (b). Apabila stimulasi lebih dipercepat maka DADs mencapai threshold sehingga munculah trigerred activity (c). Makin cepat stimulasi diberikan maka terjadilah trigerred activity yang berulang

(d).

Gambar 22. Frekuensi stimulasi, DADs dan TA (Jalife, 2009)

Faktor kritis pembentukan DADs adalah durasi potensial aksi. Semakin lama potensial aksi

berkaitan dengan semakin banyaknya overload Ca yang semakin memfasilitasi DADs.

Obat-obatan yang memperlama potensial aksi (seperti agen antiaritmia kelas IA) dapat

kadangkala meningkatkan amplitudo DAD.

TRIGERRED ACTIVITY DIINDUKSI EADs

EADs adalah oskilasi potensial (gambar 23) yang terjadi selama plateu potensial aksi

(EADs fase 2) atau selama repolarisasi akhir (EADs fase 3). Kedua tipe dapat muncul pada

kondisi eksperimental yang sama namun secara morfologi berbeda terkait perbedaan

mekanisme ionik yang mendasari. EADs fase 2 tampaknya berhubungan dengan aliran

masuk Ca lewat kanal CA tipe L (ICa-L), sementara EADs fase 3 adalah hasil dari aliran

listrik yang terjadi saat repolarisasi atau karena rendahnya aliran masuk kalium (IKI).

Page 25: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Gambar 23. EAD fase 2 dan 3 (Gaztanaga et al, 2012)

Suatu triggered activity dapat muncul diinduksi oleh adanya EADs (gambar 24). Aritmia

yang dipicu EADs bersifat tergantung frekuensi, dan secara umum amplitude EADs

bertambah pada frekuensi denyut jantung yang lambat.

Gambar 24. Trigerred activity diinduksi EAD

Plateu dari potensial aksi adalah periode ketika kondisi resistensi membran tinggi dan

aliran arus sedikit. Akibatnya, perubahan kecil pada arus yang menyebabkan

repolarisasi atau depolarisasi dapat berpengaruh terhadap durasi dan profil potensial aksi.

Berbagai jenis zat dan kondisi yang menurunkan arus keluar atau meningkatkan arus

masuk (sehingga menggeser current outward yang normal) dapat menyebabkan kondisi

yang diperlukan untuk terjadinya EADs.

Tabel 5. Obat yang dapat menginduksi EAD

Page 26: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

(Gaztanaga et al, 2012).

Kondisi utama yang mendasari pembentukan EADs adalah pemanjangan potensial aksi

yang tampak pada electrocardiogram (ECG) sebagai pemanjangan interval QT. Bebrapa

obat antiaritmia, terutama kelas IA dan III dapat menjadi proaritmia karena efek terapinya

adalah pemanjangan potensial aksi. Banyak obat lainya dapat sebagai predisposisi

pembentukan EADs terutama ketika dihubungkan dengan kondisi hipokalemia dan atau

bradikardia sebagai faktor tambahan yang menyebabkan pemanjangan potensial aksi.

Katekolamin mungkin dapat meningkatkan EADs dengan meningkatkan arus Ca,

walaupun resultan peningkatan denyut jantung bersamaan dengan peningkatan arus K

secara efektif mengurangi durasi potensial aksi sehingga meniadakan EADs.

GANGGUAN KONDUKSI IMPULS

Perlambatan atau blok konduksi terjadi ketika impuls yang menjalar gagal untuk

dihantarkan. Berbagai faktor aktif dan pasif pada membran menentukan kecepatan dan

suksesnya konduksi. Misalnya adalah faktor efikasi impuls yang menstimulasi dan

eksitabilitas jaringan dimana impuls dihantarkan. Gap junction (gambar 25) berperan

penting dalam cepat dan suksesnya konduksi impuls.

Page 27: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Gambar 25. Gap Junction (Mohrman and Haller, 2006)

Umumnya blok konduksi impuls terjadi pada frekuensi impuls yang tinggi sebagai

akibat dari recoveri yang tidak lengkap dari kondisi refraktori. Ketika suatu impuls

berikutnya sampai pada jaringan yang masih dalam periode refraktori maka impuls tidak

dapat dihantarkan atau dihantarkan dengan aberasi. Hal ini merupakan mekanisme khas

yang menjelaskan beberapa fenomena seperti blok konduksi berkas cabang dari denyut

premature, fenomena Ashman selama atrial fibrillation (AF) dan acceleration dependent

aberration.

Bradikardia atau deceleration dependent block diduga disebabkan berkurangnya

eksitabilitas pada interval diastolik yang panjang dengan berkurangnya amplitude potensial

aksi.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi konduksi, termasuk frekuensi, tonus otonom,

obat (misal Ca channel blocker, digitalis, adenosine/adenosine trifosfat) atau proses

degeneratif (dengan mengubah fisiologi jaringan dan kapasitas untuk konduksi impuls).

REENTRY

Ketika impuls normal dari nodus sinoatrial telah menjalar ke seluruh ventrikel maka

ventrikel akan masuk ke periode refraktori. Selanjutnya impuls akan berhenti dan tidak

akan menjalar lebih jauh lagi. Apabila terdapat serabut otot tertentu yang tidak teraktivasi

saat inisial impuls menjalar (misal damaged area), maka bagian tersebut dapat lebih

dullu mengalami recoveri eksitabilitasnya sebelum impuls menghilang. Akibatnya

bagian tersebut dapat berperan sebagai penghubung untuk terjadinya reeksitasi di area lain

yang sebelumnya terdepolarisasi saat penjalaran impuls inisial tetapi telah recoveri.

Reentry terjadi ketika impuls yang menjalar gagal menghilang dan kemudian me

reeksitasi jantung yang telah selesai periode refraktorinya (Guyton & Hall, 2006).

Karena terjadi penjalaran berulang impuls yang kembali lagi ke tempat asal untuk

mereaktivasi, maka fenomena ini disebut reentry, reentrant excitation, circus movement,

reciprocal/echo beats, atau reciprocating tachycardia (RT).

Page 28: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Gambar 26. Anatomic reentry dan Functional reentry (Veenhuyzen et al, 2004)

Reentry dibagi menjadi dua kelompok yaitu anatomical/classic reentry dan

functional reentry (gambar 26). Pada anatomical reentry terdapat struktur anatomi

yang terlibat sedangkan pada functional reentry terdapat hambatan fungsional tanpa

kelainan struktur. Reentry adalah mekanisme aritmia yang paling sering dijumpai di klinis

(Gaztanaga et al, 2012).

ANATOMICAL REENTRY

Nama lain dari anatomical reentry adalah classic reentry dan digambarkan dengan

ring model (gambar 26). Mekanisme classic reentry didasarkan pada hambatan anatomis

berupa area tidak dapat tereksitasi dikelilingi jalur sirkuler sehingga gelombang awal dapat

masuk kembali (reenter), membentuk sirkuit reentrant yang stabil (Gaztanaga et al, 2012)

Gambar 26. Anatomical reentrHambatan secara structural anatomi di bagian sentral akan membentuk dua jalur. Pada penjalaran impuls, bila terjadi blok searah pada satu jalur (unidirectional block) dan konduksi yang lambat melalui jalur lainya maka akan memungkinkan terjadinya reentry.

(Gaztanaga et al, 2012)

Page 29: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

Inisiasi dan keberlangsungan reentry tergantung pada kecepatan konduksi dan periode

refraktori di setiap jalur yang menentukan panjangnya gelombang depolarisasi

(wavelength = kecepatan konduksi x periode refraktori). Agar reentry terjadi panjang

gelombang depolarisasi (wavelength) harus lebih pendek dari panjang jalur (pathway) agar

pada tempat semula telah recoveri atau selesai dari periode refraktori w. Hal ini akan

memungkinkan terbentuknya excitable gap (gambar 27).

Gambar 27. Excitable gap (Gaztanaga et al, 2012)

Excitable gap adalah konsep kunci yang penting untuk memahami mekanisme reentry.

Excitable gap adalah excitable myocardium yang berada diantara “head” gelombang

reentrant dan “tail” dari gelombang yang mendahuluinya. Karena area tersebut telah

recoveri dari periode refraktori maka gelombang reentrant dapat kembali menjalar di

sirkuit (Gaztanaga et al, 2012).

Gambar 28. Skema terjadinya reentry

Gambar 28 diatas merupakam skema terjadinya sirkuit reentry (A) Sirkuit memiliki dua

jalur, salah satunya jalur konduksi lambat (kanan). (B) Terdapat blok konduksi

anterograde di jalur cepat dan konduksi tetap terjadi di jalur lambat. Selanjutnya,

karena jalur cepat telah recoveri maka gelombang aktivasi dapat masuk kembali

(reenter) ke jalur cepat (secara retrograde). (C) Selama reentry yang berkelanjutan akan

Page 30: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

membentuk sebuah sirkuit dengan gap (excitable gap) berada diantara “head”

gelombang reentrant dan “tail” dari gelombang yang mendahuluinya

Inisiasi reentry yang diawali terbentuknya excitable gap ditentukan oleh 3 faktor yaitu 1)

Jalur yang akan dilalui impuls terlalu panjang (too long pathway), 2) kecepatan konduksi

melambat, 3) periode refraktori memendek. Ketiga hal tersebut terjadi pada kondisi

patologis yang berbeda. Jalur yang memanjang khas terjadi pada dilatasi jantung

sedangkan penurunan kecepatan konduksi terjadi pada blok pada sistem Purkinje,

iskemi otot, hiperkalemia dan lainya. Pemendekan periode refraktori terjadi karena

obat seperti epinefrin atau stimulasi elektrik yang berulang (Guyton & Hall,

2006).

FUNCTIONAL REENTRY

Pada reentry fungsional, sirkuit yang terbentuk tidak ditentukan oleh hambatan

anatomis namun oleh heterogenitas dinamik properti elektrofisiologik jaringan yang

terlibat. Lokasi dan ukuran dari sirkuit reentrant fungsional dapat bervariasi namun

biasanya kecil dan tidak stabil. Reentry fungsional terjadi karena mekanisme yang

berbeda-beda, terdiri dari leading cycle reentry, anisotropic reentry, figure of eight

reentry, reflection, spiral wave activity (Gaztanaga et al, 2012).

MEMBEDAKAN MEKANISME ARITMIA

Pendekatan diagnosis deferensial mekanisme aritmia dapat dilihat pada tabel 6 berikut:

Tabel 6. Cara membedakan mekanisme aritmia

Dugaan mekanisme aritmia diketahui dengan mempertimbangkan gambaran EKG. EKG

mungkin tidak menunjukan dengan jelas namun dapat memberikan petunjuk penting ke

arah mekanisme aritmia yang mendasari. Irama sinus pada EKG dapat

Page 31: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

menggambarkan proses penyakit yang diketahui terkait dengan tipe tertentu dari

aritmia (Gaztanaga et al, 2012).

Tabel 7. Mekanisme aritmia dan contoh klinis terkait (Modifikasi dari Gaztanaga et al, 2012)

MEKANISME CONTOH KLINISAutomatisitas

Automatisitasyang berubah

sinus tachycardia terkait exercise, demam dan tirotoksikosis; atrial danventricular accelerated rhythms, inappropriate sinus

Automatisitasabnormal

premature beats, atrial tachycardia, accelerated idioventricular rhythms,ventricular tachycardia (VT), pada fase akut iskemia dan Trigerred

activityTA diinduksi DADs

atrial tachycardia, digitalis toxicity induced tachycardia, acceleratedventricular rhythym pada acute myocardial infarction, beberapa bentukrepetitive monomorphic VT, reperfusion induced

TA diinduksi EADs

torsades de pointes (twisting of the tips), karakteristik polymorphic VTpada pasien dengan long QT syndrome.Reentry Anatomical

reentryAV reentrant chicardia associated with bypass tract, AV nodal reentranttachycardia, atrial flutter, bundle branch reentry VT, post Fungsional

Reentryatrial and ventricular fibrillation, polymorphic VT

KESIMPULAN

Aritmia terjadi karena berbagai perubahan dan gangguan terkait properti elektrofisiologi

seluler jantung. Mekanisme aritmia dikelompokan menjadi gangguan pembentukan

impuls (automatisitas, TA) atau gangguan penjalaran impuls (reentry).

Pengembangan untuk penegakan diagnosis dan manajemen aritmia perlu

memperhatikan mekanisme elektrofisiologis yang mendasarinya.

Page 32: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG

DAFTAR PUSTAKA

Barrett K E, Barman S M, Boitano S, Brooks H. Ganong's Review of Medical

Physiology, 23th ed. McGraw-Hill. 2009.

Despopoulos, A, Silbernagl S. Color Atlas Of Physiology. Thieme. 2003.

Dorland, W. A. Newman. Dorland's illustrated medical dictionary. Philadelphia, PA:

Saunders. 2007. Gaztañaga L, Marchlinski FE, Betensky BP. Mechanisms of cardiac

arrhythmias. Rev Esp Cardiol. 2012 Feb;65(2):174-85.

Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology, 11th ed. Philadelphia, PA: Elsevier,

2006. Jalife J, Delmar M, Davidenko, Anumonwo J, Berenfeld O, Anumonwo KJ. Basic

cardiac electrophysiology for the clinician. 2nd ed. New Jersey: Wiley-Blackwell; 2009.

Mohrman D, Heller L. Cardiovascular Physiology 6th ed McGraw Hill 2006.

Widmaier EP, Raff H, Strang KT. Vander, Sherman and Luciano's Human Physiology: the

Mechanisms of Body Function, 8th ed. Boston, MA: McGraw-Hill Higher Education, 2001.

Veenhuyzen G D, Simpson C S, Abdollah H. Atrial fibrillation. CMAJ September 28, 2004 vol. 17

Page 33: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
Page 34: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
Page 35: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
Page 36: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
Page 37: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
Page 38: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
Page 39: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
Page 40: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
Page 41: ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG