ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
-
Upload
rozi-abdullah -
Category
Documents
-
view
77 -
download
3
description
Transcript of ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
Oleh
Rozi AbdullahPPDS FARMAKOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA2015
ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
PENDAHULUAN
Elektrofisologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai mekanisme terbentuknya fenomena
elektris dan konsekuensinya dalam kehidupan suatu organisme (Dorland, 2007).
Elektrofisiologi jantung mempelajari tentang mekanisme, fungsi dan keberadaan
aktivitas elektris di jantung termasuk inisiasi impuls dan konduksi dari level seluler.
Gangguan jantung dengan dasar gangguan proses elektrik adalah aritmia. Aritmia
umumnya didiagnosis klinis berdasarkan gambaran electrocardiogram (ECG), yang
mencerminkan arus listrik akibat proses eksitasi otot jantung keseluruhan. Gambar 1
menggambarkan kaitan antara proses elektrofisologis seluler dengan ECG.
Gambar 1. Hasil EKG dan potensial aksi di di sel miosit ventrikel (Wildmaier et al, 2001)
Aritmia sering terjadi pada manusia dengan penyakit jantung yang mendasari atau pada
jantung yang secara struktur normal. Walaupun manifestasi klinik aritmia sangat bervarisasi
namun dapat terjadi fenomena elektrofisiologis yang serupa dalam level seluler (Gaztanaga
et al, 2012). Terdapat
3 mekanisme utama terjadinya aritmia yaitu automatisitas, trigerred activity dan reentry,
semuanya merupakan bentuk perubahan karakter elektrofisiologis jantung. Untuk
memahami ketiga hal tersebut diperlukan pengetahuan dasar elektrofisiologi jantung
misalnya mengenai potensial membran, potensial aksi, periode refraktori dan sistem
konduksi. Pemahaman mengenai mekanisme aritmia penting dalam pengembangan
penegakan diagnosis dan manajemen. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai dasar
elektrofisiologi jantung dan mekanisme utama terjadinya aritmia.
POTENSIAL MEMBRAN
Setiap membran sel mempunyai potensial membran yang terjadi karena perbedaan
konsentrasi ion di sitoplasma dengan interstitial dan berubah bila ada aliran ion melintasi
membran (Mohrman and Haller, 2006). Potensial membran istirahat didefinisikan sebagai
perbedaan potensial listrik (voltase) pada membran sel eksitabel selama kondisi istirahat.
Potensial membran istirahat sel tubuh berada dalam rentang +5 sampai -100 mV. Pada
sebagian besar sel, potensial membran istirahat berada dalam kondisi terpolarisasi dengan
nilai negatif, yang berarti bagian intrasel lebih negatif dari bagian ekstrasel. Sel pacemaker
jantung mempunyai potensial membran istirahat -60 mV sedangkan sel otot jantung -90
mV (Tortora dan Dericsson, 2010).
PERANAN KANAL ION, ENZIM, DAN EXCHANGER
Secara umum ion bersifat tidak larut lipid sehingga tidak mampu menembus membran lipid
bilayer dengan bebas. Ion keluar atau masuk sel melalui struktur protein transmembran yang
dapat berupa
1) kanal ion, 2) ion exchanger, 3) pompa ion. Dari ketiganya (gambar 2), yang
bertanggungjawab terhadap potensial membran istirahat dan perubahan cepat pada saat
timbulnya potensial aksi adalah kanal ion.
Gambar 2. Protein transmembran untuk aliran ion (Jalife et al, 2009)
Otot jantung mempunyai 3 tipe kanal ion yaitu kanal ion gerbang voltase, kanal ion gerbang
ligand dan kanal ion gerbang mekanik. Pada kondisi normal kanal ion gerbang voltase yang
memengang peran utama dalam penjalaran potensial aksi. Kanal jenis ini mempunyai domain
protein bermuatan sebagai sensor voltase (gambar 3) yang sensitive terhadap perubahan
potensial membran (Jalife et al, 2009)
Gambar 3. Sensor voltase dan keadaan kanal (Jalife et al, 2009)
Kanal ion mempunyai sifat 1) dibentuk oleh molekul protein yang melintasi membran, 2)
spesifik terhadap ion tertentu, 3) berada pada keadaan yang bervariasi yaitu terbuka, tertutup
dan inaktif (Mohrman and Haller, 2006). Tabel 1 dan 2 berikut adalah beberapa kanal ion
utama di jantung.
Tabel 1. Kanal Na dan Ca
Arus Kanal Peran fungsionalIf(funny)
Na (arus pada pacemaker) Voltase dan ligand
Diaktifkan oleh hiperpolarisasi Berperan pada depolarisasi diastolik yang tidak stabil Dipacu oleh stimulasi simpatisINa Kanal Na (cepat)
Voltase Berperan dalam fase 0 potensial aksi Inaktifasi kanal berperan dalam fase 1 potensial aksi
ICa Kanal Ca-L (lambat)Voltase dan ligand
Ditekan oleh stimulasi vagal (parasmpatis) Berperan dalam fase 2 potensial aksi (plateu) Inaktifasi kanal berperan dalam fase 3 Dipacu oleh stimulasi simpatis dan agen beta adrenergik
Tabel 2. Kanal K
Arus Kanal Peran fungsionalITo Kanal K
(transient outward) Kontribusi fase 1 potensial aksi
IKI Kanal K(inward rectifier)
Menjaga permeabilitas K yang tinggi selama fase 4 Decay berperan dalam depolarisasi diastolik Penekanan pada fase 0-2 berperan dalam plateu
IK Kanal K(delayed rectifier)
Menyebabkan fase 3 potensial aksi Dipacu bila ada peningkatan Ca intrasel Terdiri dari komponen rapid (IKr) dan slow (IKs)
IKATP
Kanal K(sensitif ATP)
Meningkatkan permebilitas K jika ATP rendah
IKAch Kanal K(diaktifkan Ach) Ligand
Bertanggungjawab terhadap efek stimulasi vagal Penurunan depolarisasi diastolic dan frekuensi denyut jantung Membuat hiperpolarisasi potensial membran Memendekan fase 2 potensial aksi(Modifikasi dari Mohrman and Haller, 2006;
Barret et al 2009)
(
PERUBAHAN POTENSIAL MEMBRAN
Perubahan keadaan kanal ion akan menyebabkan perubahan pada permeabilitas membran.
Peningkatan permeabilitas membran terhadap suatu ion disebabkan oleh peningkatan jumlah
kanal ion yang terbuka. Bila kanal ion terbuka maka terjadilah aliran ion melintasi membran
sehingga konsentrasi ion intrasel dan ekstrasel berubah. Perubahan permeabilitas membran
plasma terhadap ion tertentu dapat mengubah potensial membran dari keadaan istirahat.
Perubahan tersebut dapat berupa depolarisasi, overshoot, repolarisasi dan hiperpolarisasi
(gambar 4)
Gambar 4. Perubahan Potensial Membran (Wildmaier et al, 2001)
Tiga ion utama yang berperan dalam menentukan potensial membran jantung adalah ion
natrium (Na), Kalium (K) dan Kalsium (Ca). Konsentrasi ion Na dan Ca lebih tinggi di
ekstrasel sedangkan ion K lebih tinggi di intrasel (Mohrman and Haller, 2006).
Pembukaan kanal ion menyebabkan suatu inward current atau outward current (gambar 5).
Peningkatan permebilitas membran terhadap ion Na dan Ca menyebabkan aliran ion
bermuatan positif ke dalam sel (inward current) sehingga polaritas membran berkurang
(arus defleksi negatif, voltase depolarisasi). Sebaliknya peningkatan permeabilitas membran
terhadap ion K menyebabkan aliran ion positif keluar sel (outward current) sehingga
polaritas membran bertambah (arus defleksi positif, voltase repolarisasi). Penutupan atau
inaktivasi kanal ion menghentikan efek ini. Proses yang melibatkan aliran ketiga ion utama
ini mendasari terbentuknya potensial aksi di jantung.
Gambar 5. Inward dan outward current (Jalife et al, 2009)
Setelah terjadi proses potensial aksi maka komposisi ionik ekstra dan intrasel jantung
menjadi berubah. Kadar ion Na dan Ca intrasel menjadi bertambah sedangkan kadar K
menjadi berkurang. Untuk mencegah overload Ca intrasel dan mengembalikan komposisi
ionik seperti semula maka terdapat 3 mekanisme pompa ion (gambar 6). Tiga pompa ion itu
adalah 1) pompa aktif Ca keluar sel yang membutuhkan ATP, 2) mekanisme pompa NCX
atau Na-Ca Exchanger dengan perbandingan Na masuk dan Ca keluar 3:1, 3) transport aktif
pompa ion Na/K ATPase mengeluarkan Na dan memasukan K dengan perbandingan 3:2,
Gambar 6. Mekanisme mencegah overload Ca
Potensial aksi jantung di beberapa bagian jantung mempunyai karakter yang berbeda
karena perbedaan properti elektrofisiologisnya. Secara umum mekanisme
timbulnya potensial aksi dibedakan menjadi dua yaitu potensial aksi yang terjadi di
pacemaker dan di otot kontraktil jantung. Potensial aksi yang timbul di pacemaker
merupakan “slow response action potential” sedangkan di otot jantung merupakan “fast
response action potential” (Tabel 3)
Tabel 3. Perbandingan Slow dan Fast Response Action Potential
Slow Response Action Potential Fast Response Action Potential potensial aksi pacemaker Inisiasi depolarisasi lebih lambat amplitude potensial aksi yang lebih rendah fase plateu yang pendek dan tidak stabil repolarisasi yang lambat menuju
potensial aksi sel otot jantung depolarisasi cepat, overshoot tinggi (fase 0) repolarisasi cepat setelah overshoot (fase 1) adanya plateu yang lama (fase 2) repolarisasi (fase 3) ke potensial (Modifikasi dari Mohrman and
Haller, 2006)
MEKANISME POTENSIAL AKSI SEL PACEMAKER
Pacemaker jantung terdiri dari nodus sinoatrial (SA) dan nodus atrioventricular (AV)
yang dapat membentuk potensial aksi secara spontan (gambar 7). Pada kondisi normal
nodus SA adalah pacemaker utama jantung, memiliki potensial membran “istirahat” -60
mV yang tidak stabil yang senantiasa terdepolarisasi dengan threshold potensial aksi -
40mV. Kondisi ketidaksatabilan potensial membran istirahat di pacemaker diistilahkan
sebagai “depolarisasi fase 4”, “diastolik depolarisasi” atau “potensial pacemaker”
(Mohrman and Haller, 2006).
Gambar 7. Mekanisme Potensial Aksi di Pacemaker
Depolarisasi Spontan Pacemaker
Inisiasi depolarisasi diastolik spontan terjadi terutama oleh kanal ion Na pacemaker (If). Kanal ion ini diaktifkan oleh kondisi hiperpolarisasi, setelah potensial aksi berakhir (fase 4). Masuknya ion Na secara lambat meningkatkan potensial membran sampai -40mV (treshold terjadinya potensial aksi). Kanal lain yang terlibat adalah kanal ion Ca. Aliran masuk ion Ca karena pembukaan kanal Ca tipe T (ICa-T) berperan dalam kompletnya prepotensial Terdapat bukti bahwa pelepasan lokal ion Ca dari Potensial aksi pacemakerKetika depolarisasi spontan mencapai threshold maka potensial aksi timbul (overshoot). Potensial aksipacemaker terjadi terutama karena pembukaan kanal ion Ca tipe L (ICa-L) sehingga ion Ca masuk sel (Ca dependent). Kanal ion Ca bersifat lambat membuka dan lambat Repolarisasi dan hiperpolarisasi
Repolarisasi terjadi karena pembukaan kanal ion K (IK) dan penutupan kanal ion Ca. Ion K akan keluar sel dan Ca berhenti masuk sel. Akibatnya potensial membran semakin negatif sampai potensial pacemakerpaling negative yang disebut maximal diastolic depolarization (MDP). Setelah potensial membran mencapai MDP maka kondisi hiperpolarisasi ini memicu proses depolarisasi
(Barret et al, 2009
MEKANISME POTENSIAL AKSI OTOT JANTUNG
Berbeda dengan pecemaker, otot jantung mempunyai potensial membran istirahat
yang lebih negatif dan stabil yaitu sekitar -90mV. Bila ada aliran muatan positif (Na
dan Ca) melalui gap junction maka muatan di dalam sel semakin positif sampai potensial
membran mencapai treshold potensial aksi yaitu sekitar -65mV. Secara lengkap mekanisme
potensial aksi di otot jantung terbagi menjadi fase 0 sampai 4 (gambar 8).
Gambar 8. Mekanisme potensial aksi di sel otot Jantung (non pacemaker)
Fase 0 atau fase depolarisasi cepatSecara tiba-tiba permeabilitas membran terhadap ion Na meningkat. Pembukaan kanal Na (INa)menyebabkan ion Na masuk sel dan terjadilah potensial aksi (overshoot). Pembukaan kanal Na ini cepatdan hanya sebentar yang selanjutnya menjadi inaktif (kondisi tertutup tidak bisa dibuka). Fase 1 atau fase repolarisasi cepat inisial
Penutupan kanal Na menyebabkan terhentinya aliran masuk ion Na. Penutupan ini bersamaan denganpembukaan kanal K sesaat (ITO) sehingga ion K keluar sel. Kedua proses ini bertanggungjawab terhadap repolarisasi cepat namun sementara.Fase 2 atau fase plateu
Fase plateu terjadi karena pembukaan kanal ion Ca tipe L (long period, ICa-L) sehingga ion Ca masuk sel. Proses masuknya ion Ca akan berimbang dengan keluarnya ion K (IK terdiri dari rapid IKr dan slow IKs)yang menyebabkan potensial membran relative konstan dalam kondisi positif. Masuknya ion Ca akan memicu pelepasan ion Ca dari reticulum sarkoplasmicum ke sitoplasma yang menginiasi terjadinya kontraksi sel otot Fase 3 atau fase repolarisasi cepat akhir
Aktifnya kanal ion K berbagai tipe (IK, IKs, dan IKI) dan inaktifnya kanal ion Ca menyebabkan berhentinya fase plateu dan terjadi repolarisasi.Fase 4 kondisi potensial membran istirahat
Aliran keluar K (IKI) bertanggungjawab terhadap repolarisasi final ke kondisi potensial membran istirahat. (Barret et al, 2009)
Periode Refraktori
Karakteristik sel eksitabel adalah ketika sel teraktivasi maka terdapat periode dimana
potensial aksi yang berikutnya tidak dapat dibentuk. Interval waktu saat sel tidak dapat
dire-eksitasi disebut periode refraktori. Periode refraktori dibagi menjadi dua (gambar 9)
yaitu periode refraktori absolut dan periode refraktori relatif. Hal ini disebabkan karena
selama depolarisasi kanal Na menjadi inaktif. Agar kanal Na menjadi konduktif lagi maka
dibutuhkan suatu periode recoveri dari inaktif menjadi
aktif, yang diinisiasi oleh repolarisasi Pada periode refraktori absolute sel tidak dapat
dieksitasi berapapun amplitudo gelombang impuls yang datang sedangkan pada periode
refraktori relatif sel masih dapat tereksitasi namun memerlukan arus yang lebih tinggi dari
normal (Jalife et al, 2009).
Gambar 9. Periode refraktori absolute dan relative (Gaztanaga et al, 2012)
Periode refraktori sel jantung relative lebih panjang dibandingkan sel eksitabel lain misalnya
neuron dan sel skelet. Sel jantung tidak dapat diaktivasi kembali bila belum relaksasi dari
kontraksi sebelumnya (gambar 10) dan hal ini mencegah terjadinya kontraksi tetanik sel otot
jantung (Jalife et al, 2009)
Gambar 10. Periode refraktori terjadi lama, sampai otot relaksasi dahulu (Wildmaier et al, 2001)
PENJALARAN IMPULS PACEMAKER-OTOT JANTUNG
Impuls dari pacemaker kemudian diteruskan dengan cepat melalui sistem konduksi ke
seluruh otot jantung sehingga menimbulkan kontraksi otot jantung. Sistem konduksi jantung
terdiri dari 1) nodus SA sebagai sumber impuls jantung pada kondisi normal, 2) jalur
internodus yang menghantarkan impuls dari nodus SA ke nodus AV, 3) nodus AV
tempat perlambatan impuls sebelum ke otot ventrikel 4) berkas AV (AV bundles,
bundle of His) yang menghantarkan impuls dari atrium ke
ventrikel dan 5) berkas Purkinje dan cabangnya (left and right bundle branch of Purkinje)
yang menghantarkan impuls ke seluruh otot ventrikel.
Gambar 11. Sistem konduksi jantung (Barret et al, 2009)
Potensial pacemaker atau prepotensial senantiasa mengalami depolarisasi spontan
menuju threshold potensial aksi sehingga terjadi impuls yang berkelanjutan dan ritmis.
Potensial pacemaker hanya terdapat pada nodus SA dan AV namun “pacemaker laten” pada
bagian lain sistem konduksi dapat mengambil alih apabila simpul SA dan AV tertekan atau
hantaran dari keduanya terhambat. Walaupun otot atrium dan ventrikel tidak mempunyai
prepotensial namun dapat mengeluarkan impuls spontan bila terjadi kerusakan jaringan atau
keadaan abnormal (Barret et al, 2009).
Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kecepatan konduksi
*PRINSIP MEKANISME ARITMIA
Mekanisme utama terjadinya aritmia adalah automatisitas, triggered activity dan
reentry. Mekanisme aritmia ini selanjutnya dikelompokan menjadi dua yaitu gangguan
pembentukan impuls dan gangguan konduksi impuls (tabel 4). Automatisitas dan trigerred
activity termasuk dalam kelompok gangguan pembentukan impuls sedangkan reentry adalah
bentuk gangguan konduksi impuls. Aritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh terjadinya
salah satu gangguan atau kombinasi keduanya.
Tabel 4. Pembagian mekanisme aritmia jantung
(Gaztanaga et al, 2012)
GANGGUAN PEMBENTUKAN IMPULS AUTOMATISITAS
Pada kondisi normal nodus SA paling cepat membentuk potensial aksi spontan (fastest rate of firing)
sehingga mencegah pembentukan impuls spontan pacemaker lain yang lebih lambat (gambar
12). Setiap kali nodus SA terjadi potensial aksi maka impuls akan dijalarkan ke nodus AV,
Bundle His dan Purkinje. Sebelum pacemaker laten tersebut mencapai potensial
threshold intrinsik, sudah mendapat impuls kembali dari nodus SA sehingga mereka tidak
sempat mencetuskan impuls sendiri.
Gambar 12. Frekuensi intrinsik pacemaker (Despopoulos, 2003)
Kecepatan pembentukan potensial aksi spontan ditentukan oleh interaksi 3 faktor yaitu
a) kemiringan depolarisasi fase 4 (prepotential, potensial pacemaker), b) potensial threshold
untuk inisiasi potensial aksi, dan c) maximum diastolic potential (MDP). Perubahan dari
ketiga hal tersebut dapat mengubah kecepatan inisiasi impuls (gambar 13).
Gambar 13. Faktor yang mempengaruhi potensial pacemaker (Despopoulos, 2003)
Tanda khas dari automatisitas normal adalah adanya “overdrive suppression”. Pade
pacemaker laten yang diambil alih (overdriving), frekuensi terbentuknya impuls terjadi
lebih cepat dari frekuensi intrinsiknya dan terjadi penurunan kemiringan fase 4 sebagian
besar karena peningkatan aktivitas pompa Na/K (terjadi hiperpolarisasi).
Pada pacemaker laten, arus depolarisasi dari pacemaker primer memicu masuknya Na ke
dalam sel (gambar 14). Peningkatan kadar natrium intrasel ini memicu pompa Na/K ATPase
untuk mengeluarkan natrium dan bertukar dengan kalium. Semakin sering terjadi arus
depolarisasi maka semakin aktif kerja pompa. Karena perbandingan ion Na masuk dan
K keluar adalah 3:2 maka potensial membrane semakin negatif (hiperpolarisasi). Hal
ini mengimbangi proses depolarisasi
otomatis oleh kanal “funny” (If) sehingga sel pacemaker laten tidak pernah terdepolarisasi
otomatis mencapai potensial tresholdnya dan mencegah terjadinya potensial aksi spontan
sesuai irama intrinsiknya.
Gambar 14. Mekanisme ionik overdrive supression
Ketika stimulasi “overdrive” dihentikan (gambar 15), frekuensi pembentukan impuls
kembali sesuai dengan frekuensi intrinsik secara bertahap (disebut periode “warm-up”).
Karena overdrive, terjadi overload Na intrasel sehingga ketika “overdrive” berhenti, pompa
Na/K memerlukan waktu untuk kembali ke pola aktivitas dasarnya. Hal ini yang
menjelaskan adanya jeda beberapa saat sebelum pacemaker laten tersebut kembali ke
frekuensi intrinsik. Tingkat supresi dan waktu recover proporsional dengan frekuensi dan
durasi stimulasi yang diberikan.
Gambar 15. Overdrive suppression dengan periode “warm up” (Castanaganza et al, 2012)
Mekanisme ini berperan penting dalam menjaga irama sinus, yang secara
berkelanjutan
menghambat pacemaker laten dibawahnya. Pada pasien dengan pacemaker eksternal, irama
intrinsik juga disupresi melalui mekanisme ini. Tidak adanya “overdrive
suppression” mengindikasikan bahwa aritmia yang terjadi ditimbulkan oleh mekanisme
selain peningkatan automatisitas normal.
Aktivitas pacemaker dikontrol oleh sistem saraf otonom (gambar 16) dan dapat
dipengaruhi oleh berbagai factor sistemik termasuk gangguan metabolik, substansi endogen
atau obat-obatan
Gambar. 16. Frekuensi Instrinsik rate nodus SA dan interaksi dengan tonus otonom
Keadaan yang mempengaruhi firing rate nodus SA
AUTOMATISASI NORMAL YANG BERUBAH
Aktivitas parasimpatik mengurangi kecepatan pembentukan impuls pacemaker dengan
melepaskan acetylcholine (Ach) sehingga terjadi hiperpolarisasi sel melalui peningkatan
konduktansi kanal K (IK- Ach). Selain itu juga mengurangi aktivitas kanal Ca (ICa-L) dan
aktivitas kanal Na funny (If) sehingga makin memperlambat pembentukan impuls (gambar
17).
*EFEK SIMPATIS DAN PARASIMPATIS PADA POTENSIAL PACEMAKER
Gambar 17. Efek simpatis dan parasimpatis pada potensial pacemaker (Wildmaier et al, 2001)
Sebaliknya aktivitas simpatik meningkatkan kecepatan pembentukan impuls sinus.
Katekolamin
meningkatkan permeabilitas kanal Ca tipe L (Ica-L) sehingga aliran ion Ca meningkat. Selain itu, terjadi
peningkatan arus Na melalui kanal Na funny (If) sehingga kemiringan fase 4 repolarisasi
meningkat.
HIPOKSIA DAN HIPOKALEMIA
Gangguan metabolik seperti hipoksia dan hipokalemia dapat menyebabkan
peningkatan
automatisasi normal karena terjadi hambatan pompa Na/K sehingga arus repolarisasi dasar
berkurang dan meningkatkan kemiringan depolarisasi diastolik fase 4. Sementara itu, kondisi
degeneratif yang mempengaruhi sistem konduksi jantung berupa supresi pacemaker sinus
menyababkan bradikardi atau bahkan sinus arrest. Pacemaker laten dapat manifes jika
terjadi supresi pada automatisitas sinus.
AUTOMATISASI ABNORMAL
Pada kondisi normal sel otot atrial dan ventricular bersifat non pacemaker sehingga tidak
melakukan aktivitas spontan. Kondisi yang menggeser maximal potential threshold (MDP)
sel non pacemaker menuju potensial threshold memungkinkan pada sel tersebut terjadi
automatisitas. Pergeseran MDP
dipengaruhi oleh peranan berbagai
perubahan aliran ion, yang akhirnya
menyebabkan depolarisasi
terkait penurunan konduktansi
kalium. Automatisitas
abnormal dapat terjadi pada
kasus peningkatan kadar kalium
ekstrasel, penurunan pH intrasel dan
katekolamin yang berlebihan.
Pada sel nonpacemaker
yang terkondisikan terdepolarisasi konstan pada -10 sampai -60 maka dapat timbul potensial
aksi spontan atau automatisitas abnormal (depolarization induced automaticity). Frekuensi
intrinsik dari automatisitas abnormal tergantung pada kondisi potensial membran,
semakin besar kondisi stimulus depolarisasi semakin cepat frekuensi automatisitas. Seperti
terlihat perbandingan frekuensi automatisitas stimulus (a) dengan (b) pada gambar 18 berikut
Gambar 18. Frekuensi automatisitas meningkat dengan peningkatan depolarisasi (Jalife et al,
2009) Berbeda dengan peningkatan automatisitas normal, pada automatisitas abnormal
berciri kurang sensitive terhadap “overdrive suppression” walaupun pada kondisi tertentu
dapat teramati.
TRIGERRED ACTIVITY
Trigerred activity (TA) terjadi setelah inisiasi impuls karena “afterdepolarisasi” (oskilasi
potensial membran selama atau segera setelah potensial aksi). Afterdepolarisasi hanya
terjadi jika ada potensial aksi yang mendahului (sebagai trigger) dan bila sudah mencapai
potensial threshold akan membentuk potensial aksi yang baru. Hal ini dapat sebagai sumber
terpicunya respon baru, menjadi potensial aksi tersendiri.
Berdasarkan kaitan temporal, afterdepolarisasi dideskripsikan menjadi dua tipe (gambar 19)
yaitu early after depolarizations (EADs) dan delayed after depolarizations (DADs). EADs
terjadi selama fase 2 dan 3 dari potensial aksi sedangkan DADs terjadi setelah lengkapnya fase
repolarisasi.
Gambar 19. Early after depolarization (EAD) dan Delayed after depolarization (DAD)
*A DIGITALIS TOKSISITY DAN TRIGERRED DIGTRIGERED ACTIVITY DIINDUKSI DADs
DADs adalah oskilasi voltase membran yang terjadi setelah lengkapnya repolarisasi dari
potensial aksi yaitu selama fase 4. Oskilasi disebabkan oleh berbagai kondisi yang
meningkatkan konsentrasi Ca intraseluler diastolik sehingga terjadi overload Ca (Ca
mediated oscillation). Jika mencapai threshold stimulasi tertentu maka dapat memicu
pembentukan potensial aksi baru atau timbul trigerred activity (gambar 20)
Gambar 20. Trigerred activity diinduksi DAD
Munculnya DADs pertama kali diamati pada serabut Purkinje yang dipapar kadar toksik
digitalis (gambar 21). Inhibisi pompa ion Na/K ATPase menyebabkan akumulasi Na intrasel
yang memicu masuknya Ca melalui mekanisme Na-Ca exchanger (NCX). Akibatnya terjadi
overload Ca intrasel sehingga terjadi arus masuk sementara ke dalam sel melalui kanal
nonspesifik tergantung Ca (Ca- dependent nonspecific channel) dan terjadilah DADs. Saat
ini diketahui bahwa overload Ca intrasel dapat terjadi selain mekanisme inhibisi pompa ion
Na/K ATPase. Stimulus lain yang menyebabkan overload Ca intrasel adalah katekolamin,
iskemia, hypertofi, hipokalemia dan hiperkalemia.
Gambar 21. Mekanisme Ionik DADs (Jalife, 2009)
Katekolamin menyebabkan overload Ca intraseluler via peningkatan aliran masuk Ca
melalui kanal Ca tipe L (ICa-L) dan peningkatan aliran Na-Ca exchanger. DADs yang
diinduksi iskemia diduga dimediasi oleh akumulasi lipofosfogliserida pada jaringan iskemik
dengan diikuti peningkatan Na dan Ca intrasel. Overload Ca intrasel juga dapat disebabkan
oleh fungsi reticulum sarkoplasmikum yang abnormal (misal mutasi reseptor ryanodin),
memfasilitasi aritmia klinis seperti catecholaminergic polymorphic VT.
Adenosin telah dipakai sebagai uji diagnosis DADs. Adenosin mengurangi aliran masuk ion
Ca secara indirek dengan menghambat adenilat siklase dan cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Adenosin dapat menghilangkan DADs yang diinduksi
katekolamin namun tidak mengubah DADs yang diiduksi inhibisi pompa Na/K. Adanya
interupsi VT dengan pemberian adenosine menunjukan bahwa mekanisme aritmia adalah
karena DADs yang diinduksi katekolamin.
Karakteristik utama DADs adalah dapat kemunculanya semakin dipicu oleh peningkatan frekuensi stimulasi. Frekuensi dan durasi stimulasi selanjutnya terkait dengan amplitudo dan jumlah triggered activity. Misalnya pada skema munculnya DADs pada serabut Purkinje yang dipapar digitalis kadar toksik (gambar 22). Stimulasi potensial aksi dengan frekuensi yang relative lambat akan diikuti oleh fase 4 yang normal (a). Jika stimulasi semakin cepat maka terdapat dua gelombang oskilasi selama fase 4 (b). Apabila stimulasi lebih dipercepat maka DADs mencapai threshold sehingga munculah trigerred activity (c). Makin cepat stimulasi diberikan maka terjadilah trigerred activity yang berulang
(d).
Gambar 22. Frekuensi stimulasi, DADs dan TA (Jalife, 2009)
Faktor kritis pembentukan DADs adalah durasi potensial aksi. Semakin lama potensial aksi
berkaitan dengan semakin banyaknya overload Ca yang semakin memfasilitasi DADs.
Obat-obatan yang memperlama potensial aksi (seperti agen antiaritmia kelas IA) dapat
kadangkala meningkatkan amplitudo DAD.
TRIGERRED ACTIVITY DIINDUKSI EADs
EADs adalah oskilasi potensial (gambar 23) yang terjadi selama plateu potensial aksi
(EADs fase 2) atau selama repolarisasi akhir (EADs fase 3). Kedua tipe dapat muncul pada
kondisi eksperimental yang sama namun secara morfologi berbeda terkait perbedaan
mekanisme ionik yang mendasari. EADs fase 2 tampaknya berhubungan dengan aliran
masuk Ca lewat kanal CA tipe L (ICa-L), sementara EADs fase 3 adalah hasil dari aliran
listrik yang terjadi saat repolarisasi atau karena rendahnya aliran masuk kalium (IKI).
Gambar 23. EAD fase 2 dan 3 (Gaztanaga et al, 2012)
Suatu triggered activity dapat muncul diinduksi oleh adanya EADs (gambar 24). Aritmia
yang dipicu EADs bersifat tergantung frekuensi, dan secara umum amplitude EADs
bertambah pada frekuensi denyut jantung yang lambat.
Gambar 24. Trigerred activity diinduksi EAD
Plateu dari potensial aksi adalah periode ketika kondisi resistensi membran tinggi dan
aliran arus sedikit. Akibatnya, perubahan kecil pada arus yang menyebabkan
repolarisasi atau depolarisasi dapat berpengaruh terhadap durasi dan profil potensial aksi.
Berbagai jenis zat dan kondisi yang menurunkan arus keluar atau meningkatkan arus
masuk (sehingga menggeser current outward yang normal) dapat menyebabkan kondisi
yang diperlukan untuk terjadinya EADs.
Tabel 5. Obat yang dapat menginduksi EAD
(Gaztanaga et al, 2012).
Kondisi utama yang mendasari pembentukan EADs adalah pemanjangan potensial aksi
yang tampak pada electrocardiogram (ECG) sebagai pemanjangan interval QT. Bebrapa
obat antiaritmia, terutama kelas IA dan III dapat menjadi proaritmia karena efek terapinya
adalah pemanjangan potensial aksi. Banyak obat lainya dapat sebagai predisposisi
pembentukan EADs terutama ketika dihubungkan dengan kondisi hipokalemia dan atau
bradikardia sebagai faktor tambahan yang menyebabkan pemanjangan potensial aksi.
Katekolamin mungkin dapat meningkatkan EADs dengan meningkatkan arus Ca,
walaupun resultan peningkatan denyut jantung bersamaan dengan peningkatan arus K
secara efektif mengurangi durasi potensial aksi sehingga meniadakan EADs.
GANGGUAN KONDUKSI IMPULS
Perlambatan atau blok konduksi terjadi ketika impuls yang menjalar gagal untuk
dihantarkan. Berbagai faktor aktif dan pasif pada membran menentukan kecepatan dan
suksesnya konduksi. Misalnya adalah faktor efikasi impuls yang menstimulasi dan
eksitabilitas jaringan dimana impuls dihantarkan. Gap junction (gambar 25) berperan
penting dalam cepat dan suksesnya konduksi impuls.
Gambar 25. Gap Junction (Mohrman and Haller, 2006)
Umumnya blok konduksi impuls terjadi pada frekuensi impuls yang tinggi sebagai
akibat dari recoveri yang tidak lengkap dari kondisi refraktori. Ketika suatu impuls
berikutnya sampai pada jaringan yang masih dalam periode refraktori maka impuls tidak
dapat dihantarkan atau dihantarkan dengan aberasi. Hal ini merupakan mekanisme khas
yang menjelaskan beberapa fenomena seperti blok konduksi berkas cabang dari denyut
premature, fenomena Ashman selama atrial fibrillation (AF) dan acceleration dependent
aberration.
Bradikardia atau deceleration dependent block diduga disebabkan berkurangnya
eksitabilitas pada interval diastolik yang panjang dengan berkurangnya amplitude potensial
aksi.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi konduksi, termasuk frekuensi, tonus otonom,
obat (misal Ca channel blocker, digitalis, adenosine/adenosine trifosfat) atau proses
degeneratif (dengan mengubah fisiologi jaringan dan kapasitas untuk konduksi impuls).
REENTRY
Ketika impuls normal dari nodus sinoatrial telah menjalar ke seluruh ventrikel maka
ventrikel akan masuk ke periode refraktori. Selanjutnya impuls akan berhenti dan tidak
akan menjalar lebih jauh lagi. Apabila terdapat serabut otot tertentu yang tidak teraktivasi
saat inisial impuls menjalar (misal damaged area), maka bagian tersebut dapat lebih
dullu mengalami recoveri eksitabilitasnya sebelum impuls menghilang. Akibatnya
bagian tersebut dapat berperan sebagai penghubung untuk terjadinya reeksitasi di area lain
yang sebelumnya terdepolarisasi saat penjalaran impuls inisial tetapi telah recoveri.
Reentry terjadi ketika impuls yang menjalar gagal menghilang dan kemudian me
reeksitasi jantung yang telah selesai periode refraktorinya (Guyton & Hall, 2006).
Karena terjadi penjalaran berulang impuls yang kembali lagi ke tempat asal untuk
mereaktivasi, maka fenomena ini disebut reentry, reentrant excitation, circus movement,
reciprocal/echo beats, atau reciprocating tachycardia (RT).
Gambar 26. Anatomic reentry dan Functional reentry (Veenhuyzen et al, 2004)
Reentry dibagi menjadi dua kelompok yaitu anatomical/classic reentry dan
functional reentry (gambar 26). Pada anatomical reentry terdapat struktur anatomi
yang terlibat sedangkan pada functional reentry terdapat hambatan fungsional tanpa
kelainan struktur. Reentry adalah mekanisme aritmia yang paling sering dijumpai di klinis
(Gaztanaga et al, 2012).
ANATOMICAL REENTRY
Nama lain dari anatomical reentry adalah classic reentry dan digambarkan dengan
ring model (gambar 26). Mekanisme classic reentry didasarkan pada hambatan anatomis
berupa area tidak dapat tereksitasi dikelilingi jalur sirkuler sehingga gelombang awal dapat
masuk kembali (reenter), membentuk sirkuit reentrant yang stabil (Gaztanaga et al, 2012)
Gambar 26. Anatomical reentrHambatan secara structural anatomi di bagian sentral akan membentuk dua jalur. Pada penjalaran impuls, bila terjadi blok searah pada satu jalur (unidirectional block) dan konduksi yang lambat melalui jalur lainya maka akan memungkinkan terjadinya reentry.
(Gaztanaga et al, 2012)
Inisiasi dan keberlangsungan reentry tergantung pada kecepatan konduksi dan periode
refraktori di setiap jalur yang menentukan panjangnya gelombang depolarisasi
(wavelength = kecepatan konduksi x periode refraktori). Agar reentry terjadi panjang
gelombang depolarisasi (wavelength) harus lebih pendek dari panjang jalur (pathway) agar
pada tempat semula telah recoveri atau selesai dari periode refraktori w. Hal ini akan
memungkinkan terbentuknya excitable gap (gambar 27).
Gambar 27. Excitable gap (Gaztanaga et al, 2012)
Excitable gap adalah konsep kunci yang penting untuk memahami mekanisme reentry.
Excitable gap adalah excitable myocardium yang berada diantara “head” gelombang
reentrant dan “tail” dari gelombang yang mendahuluinya. Karena area tersebut telah
recoveri dari periode refraktori maka gelombang reentrant dapat kembali menjalar di
sirkuit (Gaztanaga et al, 2012).
Gambar 28. Skema terjadinya reentry
Gambar 28 diatas merupakam skema terjadinya sirkuit reentry (A) Sirkuit memiliki dua
jalur, salah satunya jalur konduksi lambat (kanan). (B) Terdapat blok konduksi
anterograde di jalur cepat dan konduksi tetap terjadi di jalur lambat. Selanjutnya,
karena jalur cepat telah recoveri maka gelombang aktivasi dapat masuk kembali
(reenter) ke jalur cepat (secara retrograde). (C) Selama reentry yang berkelanjutan akan
membentuk sebuah sirkuit dengan gap (excitable gap) berada diantara “head”
gelombang reentrant dan “tail” dari gelombang yang mendahuluinya
Inisiasi reentry yang diawali terbentuknya excitable gap ditentukan oleh 3 faktor yaitu 1)
Jalur yang akan dilalui impuls terlalu panjang (too long pathway), 2) kecepatan konduksi
melambat, 3) periode refraktori memendek. Ketiga hal tersebut terjadi pada kondisi
patologis yang berbeda. Jalur yang memanjang khas terjadi pada dilatasi jantung
sedangkan penurunan kecepatan konduksi terjadi pada blok pada sistem Purkinje,
iskemi otot, hiperkalemia dan lainya. Pemendekan periode refraktori terjadi karena
obat seperti epinefrin atau stimulasi elektrik yang berulang (Guyton & Hall,
2006).
FUNCTIONAL REENTRY
Pada reentry fungsional, sirkuit yang terbentuk tidak ditentukan oleh hambatan
anatomis namun oleh heterogenitas dinamik properti elektrofisiologik jaringan yang
terlibat. Lokasi dan ukuran dari sirkuit reentrant fungsional dapat bervariasi namun
biasanya kecil dan tidak stabil. Reentry fungsional terjadi karena mekanisme yang
berbeda-beda, terdiri dari leading cycle reentry, anisotropic reentry, figure of eight
reentry, reflection, spiral wave activity (Gaztanaga et al, 2012).
MEMBEDAKAN MEKANISME ARITMIA
Pendekatan diagnosis deferensial mekanisme aritmia dapat dilihat pada tabel 6 berikut:
Tabel 6. Cara membedakan mekanisme aritmia
Dugaan mekanisme aritmia diketahui dengan mempertimbangkan gambaran EKG. EKG
mungkin tidak menunjukan dengan jelas namun dapat memberikan petunjuk penting ke
arah mekanisme aritmia yang mendasari. Irama sinus pada EKG dapat
menggambarkan proses penyakit yang diketahui terkait dengan tipe tertentu dari
aritmia (Gaztanaga et al, 2012).
Tabel 7. Mekanisme aritmia dan contoh klinis terkait (Modifikasi dari Gaztanaga et al, 2012)
MEKANISME CONTOH KLINISAutomatisitas
Automatisitasyang berubah
sinus tachycardia terkait exercise, demam dan tirotoksikosis; atrial danventricular accelerated rhythms, inappropriate sinus
Automatisitasabnormal
premature beats, atrial tachycardia, accelerated idioventricular rhythms,ventricular tachycardia (VT), pada fase akut iskemia dan Trigerred
activityTA diinduksi DADs
atrial tachycardia, digitalis toxicity induced tachycardia, acceleratedventricular rhythym pada acute myocardial infarction, beberapa bentukrepetitive monomorphic VT, reperfusion induced
TA diinduksi EADs
torsades de pointes (twisting of the tips), karakteristik polymorphic VTpada pasien dengan long QT syndrome.Reentry Anatomical
reentryAV reentrant chicardia associated with bypass tract, AV nodal reentranttachycardia, atrial flutter, bundle branch reentry VT, post Fungsional
Reentryatrial and ventricular fibrillation, polymorphic VT
KESIMPULAN
Aritmia terjadi karena berbagai perubahan dan gangguan terkait properti elektrofisiologi
seluler jantung. Mekanisme aritmia dikelompokan menjadi gangguan pembentukan
impuls (automatisitas, TA) atau gangguan penjalaran impuls (reentry).
Pengembangan untuk penegakan diagnosis dan manajemen aritmia perlu
memperhatikan mekanisme elektrofisiologis yang mendasarinya.
DAFTAR PUSTAKA
Barrett K E, Barman S M, Boitano S, Brooks H. Ganong's Review of Medical
Physiology, 23th ed. McGraw-Hill. 2009.
Despopoulos, A, Silbernagl S. Color Atlas Of Physiology. Thieme. 2003.
Dorland, W. A. Newman. Dorland's illustrated medical dictionary. Philadelphia, PA:
Saunders. 2007. Gaztañaga L, Marchlinski FE, Betensky BP. Mechanisms of cardiac
arrhythmias. Rev Esp Cardiol. 2012 Feb;65(2):174-85.
Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology, 11th ed. Philadelphia, PA: Elsevier,
2006. Jalife J, Delmar M, Davidenko, Anumonwo J, Berenfeld O, Anumonwo KJ. Basic
cardiac electrophysiology for the clinician. 2nd ed. New Jersey: Wiley-Blackwell; 2009.
Mohrman D, Heller L. Cardiovascular Physiology 6th ed McGraw Hill 2006.
Widmaier EP, Raff H, Strang KT. Vander, Sherman and Luciano's Human Physiology: the
Mechanisms of Body Function, 8th ed. Boston, MA: McGraw-Hill Higher Education, 2001.
Veenhuyzen G D, Simpson C S, Abdollah H. Atrial fibrillation. CMAJ September 28, 2004 vol. 17