EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

16
EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA SEBAGAI ALAT BUKTI (Analisis Penggunaan Persangkaan Hakim sebagai Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Memutus Perkara dalam Putusan No.21/Pdt./2012/PT.PR dan Putusan No.132/Pdt.Plw/2012/PN.Mlg) Yan Maranata Sibuea, Retno Moerniati Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Salah satu alat bukti dalam hukum acara perdata berdasarkan pada pasal 164 HIR adalah persangkaan. Persangkaan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah khusus mengenai persangkaan hakim. Dalam praktek peradilan perdata di Indonesia, alat bukti persangkaan hakim ditarik dengan menyusun peristiwa-peristiwa yang telah terbukti untuk membuktikan peristiwa yang belum terbukti dengan penuh kewaspadaan. Skripsi ini akan membahas mengenai peraturan yang mengatur mengenai persangkaan dan pendapat para ahli hukum, untuk mendapatkan pemahaman mengenai persangkaan yang relevan sebagai alat bukti. Metode penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah studi kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan dipadu dengan wawancara narasumber. Kesimpulan yang penulis dapatkan antara lain yang menjadi batasan-batasan penggunaan persangkaan hakim agar relevan sebagai alat bukti adalah persangkaan hakim harus didasarkan pada alat bukti lain, didasarkan pada peristiwa yang telah terbukti, peristiwanya tidak bertentangan, dan digunakan ketika tidak ada alat bukti langsung. Kata kunci: Persangkaan hakim, pembuktian, alat bukti. The Existance of Presumption of Fact in The Verification of Civil Prosedural Law as an evidence. (Analysis on The Use of Presumption of Fact as The Judge’s Consideration to Resolve The Civil Law Suit in Putusan No.21/Pdt. /2012/PT.PR. and Putusan No. 132/Pdt.Plw/2012 /PN.Mlg.) Abstract One of the evidences in The Civil Procedural Law, based on article 164 HIR is Presumption. The presumption that will be elaborated in this thesis is specialy about Presumption of Fact. In the Civil Court practices in Indonesia, Presumption of Fact is concluded by constructing the events that have been proven, to proof the event that has not been proven yet, with caution. This thesis will elaborate the regulations governing The Presumption of Fact and the opinion of legal experts about it, so that we can get the concept about presumption of fact that relevant as an evidence. The writing method used in this thesis is literature study that using the normative Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Transcript of EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

Page 1: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN

PERKARA PERDATA SEBAGAI ALAT BUKTI (Analisis Penggunaan

Persangkaan Hakim sebagai Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Memutus

Perkara dalam Putusan No.21/Pdt./2012/PT.PR dan Putusan

No.132/Pdt.Plw/2012/PN.Mlg)

Yan Maranata Sibuea, Retno Moerniati

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424,

Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Salah satu alat bukti dalam hukum acara perdata berdasarkan pada pasal 164 HIR adalah persangkaan.

Persangkaan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah khusus mengenai persangkaan hakim. Dalam praktek

peradilan perdata di Indonesia, alat bukti persangkaan hakim ditarik dengan menyusun peristiwa-peristiwa yang

telah terbukti untuk membuktikan peristiwa yang belum terbukti dengan penuh kewaspadaan. Skripsi ini akan

membahas mengenai peraturan yang mengatur mengenai persangkaan dan pendapat para ahli hukum, untuk

mendapatkan pemahaman mengenai persangkaan yang relevan sebagai alat bukti. Metode penulisan yang

digunakan dalam skripsi ini adalah studi kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Skripsi ini menggunakan

metode penelitian kepustakaan dan dipadu dengan wawancara narasumber. Kesimpulan yang penulis dapatkan

antara lain yang menjadi batasan-batasan penggunaan persangkaan hakim agar relevan sebagai alat bukti adalah

persangkaan hakim harus didasarkan pada alat bukti lain, didasarkan pada peristiwa yang telah terbukti,

peristiwanya tidak bertentangan, dan digunakan ketika tidak ada alat bukti langsung.

Kata kunci: Persangkaan hakim, pembuktian, alat bukti. The Existance of Presumption of Fact in The Verification of Civil Prosedural Law as an evidence. (Analysis on The Use of Presumption of Fact as The Judge’s Consideration to

Resolve The Civil Law Suit in Putusan No.21/Pdt. /2012/PT.PR. and Putusan No. 132/Pdt.Plw/2012 /PN.Mlg.)

Abstract

One of the evidences in The Civil Procedural Law, based on article 164 HIR is Presumption. The presumption that will be elaborated in this thesis is specialy about Presumption of Fact. In the Civil Court practices in Indonesia, Presumption of Fact is concluded by constructing the events that have been proven, to proof the event that has not been proven yet, with caution. This thesis will elaborate the regulations governing The Presumption of Fact and the opinion of legal experts about it, so that we can get the concept about presumption of fact that relevant as an evidence. The writing method used in this thesis is literature study that using the normative

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 2: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

juridicial approach. This thesis using literature research method and combined with sources interviews. The conclusion of this thesis is, to use the persumption of fact that relevant as an evidence are the presumption of fact must based on the other evidences, based on the fact that have been proofen, the relation of the facts, and used when there is no exact evidence. Keywords: Presumption of fact, Verification, evidence. I. Pendahuluan Membuktikan dalam hukum acara perdata memiliki arti yuridis.1 Pembuktian secara yuridis

tidak lain merupakan pembuktian historis.2 Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti

memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan

guna memberi kepastian kepada hakim untuk membangun keyakinannya.3 Dengan demikian

nampaklah bahwa pembuktian itu diperlukan dalam persengketaan atau perkara di hadapan

hakim atau pengadilan.

Peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh para pihak belum tentu semuanya penting

bagi hakim sebagai dasar pertimbangan daripada putusannya. Peristiwa-peristiwa itu masih

harus disaring untuk menemukan mana yang penting dan mana yang tidak penting. Dari

peristiwa itu, yang harus dibuktikan adalah kebenarannya. Dalam hukum acara perdata,

kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah kebenaran formil. Pada dasarnya mencari

kebenaran formil berarti hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang

berperkara.4

Dalam membuktikan suatu hal benar telah terjadi, diperlukan alat-alat bukti

sebagaimana tertuang dalam pasal 164 HIR. Namun dalam perkara-perkara tertentu, sering

terjadi kesulitan untuk mengkonstruksikan peristiwa hukum yang terjadi karena alat-alat bukti

yang diajukan oleh para pihak tidak dapat langsung membuktikan apa yang didalilkan. Dalam

keadaan yang seperti ini, hakim cenderung untuk menarik persangkaan-persangkaan dengan

menyusun peristiwa yang telah terbukti di persidangan melalui alat-alat bukti yang ada.

Persangkaan ini merupakan uraian fakta-fakta atau alat bukti fisik yang ada, yang berperan

1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty : Yogyakarta, 2002) hlm.128. 2 H. Drion, Bewijzen in het recht, Themis 1966, hlm. 410. Dikutip juga oleh Sudikno Mertokusumo, ibid. 3 Ibid. 4 Ibid., hlm.131.

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 3: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

sebagai perantara untuk mengantarkan alat bukti dan pembuktian ke arah yang lebih

konkret.5

Persangkaan ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah terkenal

atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal atau belum terbukti.6

Dengan demikian, persangkaan merupakan uraian dari peristiwa-peristiwa yang telah terbukti,

untuk kemudian ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkret kepastiannya guna

membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui. Berarti untuk mewujudkan

eksistensi persangkaan, harus melalui atau dengan perantaraan pembuktikan peristiwa-

peristiwa lain.7 Sehingga dapat dikatakan bahwa persangkaan sebagai alat bukti tidak bisa

tampil berdiri sendiri.

Meskipun persangkaan yang mendapatkan pengaturannya dalam pasal 164 HIR, 173

HIR, dan pasal 1915-1922 KUHPerdata harus didasarkan pada alat bukti lain, tetapi

persangkaan memiliki peran dalam hukum pembuktian. Dalam praktek, pembuktian melalui

persangkaan-persangkaan, baik persangkaan hakim maupun persangkaan undang-undang,

banyak dipergunakan.8 Segala peristiwa, keadaan dalam sidang, hal-hal yang didapat dari

pemeriksaan suatu perkara, dapat dijadikan bahan untuk menyusun persangkaan hakim.9

Tidak hanya itu, sikap salah satu pihak dalam persidangan seperti memberikan jawaban yang

tidak tegas, plin-plan, memberi persangkaan bahwa dalil pihak lawan adalah benar, setidak-

tidaknya dapat dianggap sebagai suatu hal yang negatif bagi pihak tersebut.10

Persangkaan hakim disusun oleh hakim dalam pertimbangan hukumnya yang tentu

menjadi dasar untuk menjatuhkan putusan. Persangkaan hakim disusun oleh hakim

berdasarkan pada peristiwa yang telah terbukti, untuk menyimpulkan peristiwa yang belum

terbukti benar telah terjadi. Ia memang jarang sekali digunakan/dituangkan sebagai alat bukti,

namun sebenarnya persangkaan merupakan alat yang digunakan oleh hakim untuk menyusun

bukti dan fakta guna memberikan dasar memutus perkara.

5 R. Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hlm. 129.

6 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2008) hlm. 45.

7 Ibid.,

8 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju, 2005) hlm. 79.

9 Ibid., hlm. 78

10 Ibid.

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 4: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

Penggunaan alat bukti persangkaan hakim sangat penting dan harus diperhatikan serta

dipahami sehingga penggunaannya tidak menyimpang dari pada tujuan utamanya digunakan.

Apalagi persangkaan hakim ini kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebebasan atau

pertimbangan hakim.11 Memang kekuatan pembuktiannya diserahkan pada pertimbangan

hakim, namun dibatasi untuk hanya memperhatikan persangkaan yang penting, seksama,

tertentu dan ada hubungannya satu sama lain (pasal 1922 KUHPerdata). Dalam menyusun

persangkaan, hakim harus bijaksana dalam menelaah setiap peristiwa, agar mampu menarik

persangkaan hakim yang objektif.12

Penulis dalam hal ini melakukan pembahasan terhadap dua produk putusan pengadilan,

yakni Putusan No.132/Pdt.Plw/2012/PN.Mlg dan Putusan No.21/PDT/2012/PT.PR. Pada

putusan pertama, pengadilan menganggap relevan untuk menarik persangkaan berdasarkan

pembuktian yang diajukan oleh terlawan. Pelawan mendalilkan bahwa saksi-saksi yang

diajukan oleh terlawan tidak dapat membuktikan bahwa telah terjadi pertengkaran karena para

saksi tidak pernah melihat sendiri pertengkaran antara pelawan dengan terlawan. Namun

majelis hakim menarik persangkaan berdasarkan pada kesaksian dari saksi-saksi yang

diajukan oleh terlawan, yang menyatakan faktor ekonomi, kurangnya tanggungjawab pelawan

menafkahi keluarga, pisah rumahnya pelawan dengan terlawan selama 1 (satu) tahun terakhir,

dan tidak adanya lagi komunikasi antara pelawan dengan terlawan, menimbulkan persangkaan

ketidakcocokan ataupun pertengkaran antara pelawan dengan terlawan. Berbeda dengan

putusan kedua, pengadilan menganggap tidak relevan untuk menarik persangkaan

berdasarkan pada pembuktian yang diajukan oleh tergugat. Pengadilan Tinggi menguatkan

putusan dari Pengadilan Negeri yang sebelumnya memeriksa dan memutus perkara ini.

Namun, terdapat salah satu Anggota Majelis pada tingkat banding yang tidak sependapat

dengan pertimbangan kedua majelis lain maupun majelis hakim pada tingkat pertama.

Menurut beliau perkara yang bersangkutan dapat dibuktikan dengan jalan mengkonstruksikan

suatu persangkaan.

Kedua putusan inilah yang akan menjadi objek pembahasan penulis dalam penulisan

ini, untuk memberikan penjelasan mengenai persangkaan hakim.

11 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 172. 12 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm. hlm. 698.

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 5: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

II. Tinjauan Teoritis Menurut Riduan Syahrani yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-

alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna

memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.13 Untuk membuktikan

maka dibutuhkan alat-alat bukti dalam ketentuan pasal 164 HIR yang salah satunya adalah

persangkaan. Persangkaan berdasarkan pada pasal 1915 terbagi atas persangkaan undang-

undang dan persangkaan hakim. Telah terjadi pendapat umum bahwa persangkaan menurut

undang-undang di dalam ilmu pengetahuan tidaklah perlu dipertahankan.14 Ny. Retnowulan

Sutantio mengartikan persangkaan sebagai kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang

dianggap telah terbukti, lalu peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang belum

terbukti.15

Ketentuan Pasal 173 HIR adalah “Persangkaan saja yang tidak berdasarkan suatu

peraturan undang-undang, hanya harus diperhatikan oleh Hakim waktu menjatuhkan

keputusan jika persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan satu sama lain bersetujuan.”

Maksud dari ketentuan Pasal 173 HIR ini dapat ditafsirkan bahwa hakim dalam hal

memberikan keputusan tidak diperbolehkan hanya berdasarkan alat bukti persangkaan saja,

tetapi harus disertai dengan bukti-bukti lain yang berdasarkan ketentuan undang-undang yang

ada.16 Bukti-bukti yang lain tersebut, antara bukti yang satu dengan yang lain harus ada

hubungannya dengan peristiwa hukum yang menjadi objek sengketa dari pihak berperkara.17

Persangkaan Hakim (persumption of fact) adalah persangkaan yang didasarkan pada

kenyataan atau fakta yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan.18 Definisi

yang hampir sama terdapat dalam Black’s Law Dictionary, yaitu : “an inference affirmative

or disaffirmative of the truth or falsehood of any proposition or fact drawn by a process of

13 Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hlm.83. 14 Asser-Anema-Verdam, op.cit., hlm. 281. Dikutip juga oleh Sudikno Mertokusumo, Ibid. 15 Retnowulan Sutantio, op.cit., hlm. 77. 16 Sarwono, Hukum Acara Perdata; Teori dan Praktik, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm. 271. 17 Ibid. 18 M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 2013), hlm. 72.

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 6: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

probable reasoning in the absence of actual certainty of its truth or falsehood, or until such

certainty can be ascertained.”19

Persangkaan hakim (yang tidak berdasarkan undang undang) menurut Sarwono merupakan

dugaan-dugaan yang disimpulkan oleh hakim berdasarkan peristiwa hukum dalam perkara,

yang dalam praktik dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam hal menentukan

putusan.20 Abdul Manan menyatakan bahwa persangkaan hakim harus dikonstruksikan secara

penting, seksama, tertentu, dan memiliki relevansi satu sama lain.21

Kata “penting” memiliki arti sangat berharga (berguna/urgen), serta mempunyai posisi

yang menentukan.22 Menurut Sudarsono, “penting” memiliki arti sesuatu yang memerlukan

tindakan segera.23 Oleh karena itu secara sederhana dapat dikatakan bahwa unsur penting

dalam persangkaan hakim berarti memiliki urgensi untuk dipergunakan karena hal tersebut

memerlukan tindakan segera mengingat nilainya yang sangat menentukan. Adanya peristiwa

yang disusun memiliki hubungan dengan apa yang belum terbukti, lagipula alat bukti yang

langsung dapat membuktikan peristiwa tersebut tidak ada, tentu penggunaan persangkaan

menjadi penting untuk dilakukan.

Kata “teliti” memiliki arti seksama, hati-hati, memeriksa dengan cermat.24 Dalam The

Law Dictionary, teliti (prudent) berarti, “a term that means to use good judgment, be wise,

sensible and reasonably cautious.”25 Secara bebas dapat diartikan bahwa teliti berarti keadaan

menggunakan penilaian dengan baik, bijaksana, dan penuh kehati-hatian yang beralasan. Oleh

karena itu unsur teliti dalam persangkaan hakim berarti harus dilakukan dengan bijaksana.

“Tertentu” memiliki arti sudah tentu (jelas, terang), sudah dapat dipastikan atau

ditentukan.26 Dalam The Law Dictionary, tertentu (certain) berarti, “clearly known, capable

19 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, fourth edition, (Minnesota : West Publishing Co., 1968), hlm. 1350. Dikutip juga oleh M. Natsir Asnawi, ibid. 20 Sarwono, op.cit., hlm. 270. 21 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 256. 22 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), hlm. 851. 23 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2012), hlm. 532. 24 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., hlm. 1163. 25 The Law Dictionary, Powered by Information and Definitions from Black's Law Dictionary, second edition, http://thelawdictionary.org/letter/p/page/171/, diunduh 9 Maret 2014. 26 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., hlm. 1176.

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 7: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

of being identified or made known without liability to mistake”27 Secara bebas dapat diartikan

bahwa tertentu berarti telah jelas dipahami, dapat dipastikan tanpa kesalahan. Sehingga unsur

teliti dalam persangkaan hakim berarti apa yang disangkakan dapat memastikan kejadian yang

sebenarnya. Tentu persangkaan hakim ini harus didasarkan pada peristiwa yang telah terbukti.

Apalagi Yahya Harahap mengatakan bahwa persangkaan yang mendekati kepastian adalah

yang didasarkan pada peristiwa yang telah terbukti.28

“Berhubungan” memiliki artian keadaan yang cocok dan selaras, bertalian (berkaitan),

ada sangkut pautnya.29 Dalam The Law Dictionary, “relation was used to designate the

report of the facts and law in a pending case. This proceeding might be resorted to in cases

where no law seemed applicable, or where there were great difficulties in its

interpretation.”30 Secara bebas dapat diartikan bahwa hubungan digunakan untuk menyusun

peristiwa-peristiwa. Sehingga dalam persangkaan hakim, maka yang disusun adalah

peristiwa-peristiwa yang berhubungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudikno Mertokusumo

yang mengatakan bahwa peristiwa yang dapat dijadikan persangkaan adalah yang memiiliki

sangkut paut dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan.31

Kekuatan nilai pembuktian persangkaan hakim adalah bebas.32 Persangkaan yang

ditarik oleh hakim, nilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim,

apakah akan memberikan nilai terhadap persangkaan itu atau tidak. Ketentuan pasal 1922

KUHPerdata menentukan bahwa persangkaan hakim (persangkaan yang tidak berdasarkan

undang-undang sendiri) diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim. Sehingga

berbeda dari persangkaan undang-undang, kekuatan pembuktian persangkaan hakim adalah

bebas. Hakim bebas untuk menemukan persangkaan berdasarkan alat-alat bukti atau fakta

persidangan dengan batasan bahwa persangkaan itu penting, seksama, tertentu, dan ada

hubungannya satu sama lain.

27 The Law Dictionary, http://thelawdictionary.org/letter/c/page/48/, op.cit. 28 M. Yahya Harahap, op.cit., 699. 29 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., hlm. 409. 30 The Law Dictionary, http://thelawdictionary.org/letter/r/page/45/, op.cit. 31 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 170. 32 R. Soeroso, op.cit., hlm. 130.

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 8: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

M. Natsir Asnawi juga menyatakan bahwa nilai kekuatan pembuktian persangkaan

hakim pada dasarnya adalah bebas (vrij bewijskracht).33 Jika persangkaan hakim itu tidak

dilawan atau dilumpuhkan dengan bukti lain, maka kekuatan pembuktiannya menjadi

sempurna dan mengikat (volledig en bindende bewijskracht).34 Yahya Harahap berpendapat

sama bahwa karena kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, dengan

demikian sifat kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vrij bewijskracht), oleh karena itu

hakim bebas untuk menerima atau menolak kebenaran yang terdapat di dalam persangkaan

itu.35 Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa karena nilai kekuatan pembuktiannya bebas,

maka dengan sendirinya ia tidak bisa berdiri sendiri .

III. Metode Penelitian Penulis mengumpulkan data dengan menggunakan metode kepustakaan serta dengan

melakukan analisis putusan lembaga peradilan. Penulis juga menggunakan metode

pengolahan dan analisa data kualitatif untuk menjamin kualitas dari argumen-argumen yang

akan dibangun. Adapun data yang dipakai penulis untuk menguraikan dan menjelaskan pokok

permasalahan dalam pembahasan ini yakni data sekunder. Data sekunder merupakan data

yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan.36 Data sekunder ini diperoleh penulis dengan

membaca dan memahami tulisan-tulisan mulai dari peraturan perundang-undangan, buku,

artikel, putusan pengadilan, sampai pada media informasi elektronik.

Penulis dalam melakukan pengumpulan data, meneliti bahan-bahan yang dipakai

sebagai data sekunder, untuk kemudian juga melakukan identifikasi terhadap masalah yang

diangkat, sehingga dapat diperoleh pembahasan yang lengkap terkait dengan topik yang

diangkat oleh penulis. Penulis melihat produk-produk putusan yang merupakan wujud riil dari

permasalahan yang diangkat, kemudian melakukan analisis terhadap pertimbangan hakim

berkenaan dengan permasalahan, dikaitkan dengan aturan hukum yang berlaku serta dengan

melakukan wawancara terhadap hakim. Sehingga hasil penulisan ini nantinya akan berbentuk

deskriptif-analitis yang didasarkan pada ketentuan hukum sehingga pembahasannya adalah

33 M. Natsir Asnawi, op.cit., hlm. 73. 34 Ibid., hlm. 73-74. 35 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 552. 36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, cet.4, (Jakarta : Raja Grasindo Persada, 1984), hlm. 12.

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 9: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

yuridis-normatif, sedangkan metode pengolahan data yang dipergunakan dalam penulisan ini

adalah metode pengolahan data secara kualitatif.

IV. Hasil Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menyajikan hasil penelitian dengan cara narasi di mana

peneliti menjelaskan secara mendetail hal-hal terkait dengan pengaturan kartel publik oleh

Pemerintah.

V. Pembahasan 1. Putusan No. 132/ Pdt.Plw/2012/PN.Mlg

Perkara ini adalah perkara perceraian antara Gunawan (Pelawan dahulu Tergugat)

dengan Lina Kurnia (Terlawan dahulu Penggugat). Lina Kurnia mengajukan perceraian atas

alasan terjadi pertengkaran terus-menerus sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun.

Untuk membuktikan hal tersebut, maka ia mengajukan 2 orang saksi yang diantaranya

memberikan keterangan bahwa antara Penggugat dgn Tergugat sudah satu tahun pisah rumah,

Tergugat/pelawan kurang memberikan nafkah, antara keduanya tidak pernah terjalin

komunikasi lagi karena jika bertemu akan bertengkar, telah pernah dilakukan konseling

kepada Pendeta tetapi tidak membuahkan hasil. Perkara ini telah diputus verstek oleh Majelis

Hakim, dimana putusannya secara garis besar menyatakan bahwa perkawinan putus karena

perceraian.

Atas putusan ini tergugat sekarang pelawan mengajukan verzet. Tergugat membantah

keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Lina Kurnia dengan alasan tidak ada yang pernah

melihat secara langsung terjadinya pertengkaran antara mereka berdua. Namun Majelis

Hakim menyatakan dalam pertimbangannya bahwa berdasarkan keterangan dari 2 orang saksi

tersebut yang secara garis besar menerangkan adanya faktor ekonomi dan kurangnya

tanggung jawab pelawan, telah menyebabkan ketidakcocokan ataupun pertengkaran antara

pelawan dengan terlawan.

Pada kasus diatas memang tidak ada alat bukti langsung yaitu saksi yang melihat

pertengkaran itu terjadi secara terus menerus, tetapi ada peristiwa-peristiwa lain yang

memiliki sangkut paut dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan. Hal ini sesuai

dengan pendapat Prof. Sudikno yang menyatakan bahwa apakah hal tersebut termasuk

persangkaan terletak pada persoalan apakah peristiwa tersebut memiliki sangkut paut dengan

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 10: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan. Lagipula Prof. R. Subekti menyatakan bahwa

apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau mengalami sendiri

peristiwa yang harus dibuktikan, maka diusahakan untuk membuktikan peristiwa-peristiwa

lain yang ada hubungan erat dengan peristiwa yang harus dibuktikan tadi, sehingga dapat

disimpulkan peristiwa tertentu terbukti dari terbuktinya peristiwa-peristiwa lain sebagai suatu

persangkaan.

Persangkaan dalam kasus ini juga telah sesuai dengan ketentuan pasal 1922

KUHPerdata. Persangkaan ini penting untuk dilakukan karena tidak ada alat bukti langsung

yang dapat membuktikan pertengkaran secara terus menerus, persangkaan ini teliti karena

didasarkan pada peristiwa yang berhubungan dengan apa yang didalilkan dalam keadaan tidak

ada bukti langsung, peristiwa yang dijadikan dasar persangkaan adalah peristiwa yang telah

terbukti sehingga unsur tertentu juga terpenuhi demikian pula persangkaan ini didasarkan

pada peristiwa yang bersesuaian satu dengan yang lain.

Dengan demikian maka penggunaan persangkaan hakim pada putusan ini relevan

digunakan untuk membuktikan sesuatu yang belum terbukti yakni pertengkaran yang terjadi

secara terus menerus. Apalagi berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam

putusannya No.1354/K/Pdt/2001 dikatakan bahwa “suami istri yang telah pisah tempat

tinggal dan tidak saling memperdulikan lagi, sudah merupakan fakta adanya perselisihan dan

pertengkaran.”

2. Putusan No. 21/Pdt/2012/PT.PR

Perkara ini terjadi antara H.A Syaukani, Hasan Husen, Hairiyah dan H.Nursalim

selaku para Pembanding semula Para Tergugat. Melawan H.Badrun sebagai Terbanding

semula Penggugat.

Dalam gugatannya penggugat sekarang terbanding mendalilkan bahwa

Penggugat adalah pemilik sah dari Tanah dengan SHM No.1191 Tahun 1986 yang diatasnya

berdiri satu buah rumah tinggal, dan satu bidang tanah kosong dengan SHM No.509 Tahun

1978. Namun sekarang sertifikat objek sengketa dan objek sengketa dikuasai oleh Para

Tergugat. Penguasaan itu terjadi ketika Tergugat I dan Tergugat II datang kerumah Penggugat

dan memaksa istri penggugat yang merupakan adik kandung mereka (ketika penggugat

bekerja) untuk menyerahkan sertifikat tersebut dengan ancaman akan dibunuh. Pada saat itu

terdapat Saksi Ruhayati yang dalam persidangan mengatakan “bahwa sertifikat tersebut

diserahkan karena mendapat tekanan dari para tergugat dan jika sertifikat itu tidak diserahkan,

maka diancam akan dibunuh”. Selain itu mereka memerintahkan agar penggugat dan istrinya

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 11: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

segera mengosongkan rumah tersebut karena tanah dan rumah tersebut adalah milik ayah

mereka Alm (H.M Tukacil)

Karena takut dengan ancaman apalagi masih ada hubungan saudara dengan para

Tergugat, maka Penggugat dan istrinya keluar dari rumah tersebut dan sekarang rumah dan

tanah tersebut dikuasai oleh Tergugat III dan Tergugat IV. Sehingga penguasaan sertifikat dan

objek sengketa merupakan perbuatan melawan hukum.

Untuk menguatkan dalil-dalilnya, Penggugat mengajukan bukti surat yaitu :

Fotocopy SHM No. 1191 Tahun 1986 dan SHM No.509 Tahun 1978 atas nama Baderun.

Fotocopy Kwitansi Pembelian tanah tertanggal 1 November 1993. Fotocopy Surat

Pemblokiran kedua SHM.

Terhadap gugatan ini, Para Tergugat memberikan jawaban bahwa tanah tersebut

adalah milik Ayah mereka Alm. (HM Tukacil). Kedua objek sengketa dibeli oleh uang ayah

mereka sendiri, tetapi ketika itu nama yang dituliskan pada kuitansi adalah nama Penggugat.

Menurut keterangan saksi H. Asnawi selaku saksi yang dihadirkan oleh Para

Tergugat/pemilik tanah terdahulu, menyatakan “tanah tersebut dahulu ditawarkan kepada HM.

Tukacil, tetapi yang membayar tanah tersebut adalah Penggugat, dan kwitansi pembayaran

ditulis atas nama Penggugat atas permintaan HM. Tukacil, kemudian ditandatangani

penggugat dan saksi. Selain itu menurut Para Tergugat tidak benar bahwa sertifikat itu

diserahkan dengan ancaman melainkan dengan sukarela.

Terhadap perkara ini, Pengadilan Negeri memenangkan Penggugat, begitu pula pada

tingkat banding. Namun pada tingkat banding terdapat disenting dari Anggota Majelis II

yaitu :

Bahwa keterangan yang menyangkut penyerahan karena dipaksa oleh Saksi Ruhayati

tidak dapat dibenarkan karena keterangan tersebut adalah pendapat saksi sehingga penyerahan

secara terpaksa dibawah ancaman tidak terbukti. Bahwa dengan demikian adanya keadaan

penguasaan sertifikat dan objek barang sengketa secara nyata pada Para Tergugat, dan tidak

terbukti terjadi dibawah tekanan atau paksaan, secara hukum menunjukkan persangkaan yang

kuat bahwa benar objek sengketa yang membelinya adalah Alm. HM.Tukacil dengan

pengurusan surat-surat atas nama Penggugat. Persangkaan ini sesuai dengan kesaksian dari

H.Asnawi selaku pemilik tanah terdahulu.

Menurut Penulis keterangan saksi Ruhayati telah memenuhi ketentuan pasal 171

HIR/Pasal 1907 BW karena kesaksian itu tidak mengandung pendapat saksi. Bahwa paksaan

bisa berupa paksaan secara fisik (kekerasan) maupun secara mental (ancaman). Kesaksian

dari Ruhayati menyatakan “bahwa sertifikat tersebut diserahkan karena mendapat tekanan

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 12: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

dari Para Tergugat dan jika tidak diserahkan diancam akan dibunuh.” Prof. Subekti

menyatakan bahwa paksaan terjadi jika seseorang melakukan sesuatu karena ia takut pada

suatu ancaman, adapun yang diancam adalah perbuatan yang dilarang UU. Dengan demikian

dengan mengancam akan membunuh saja, yang merupakan suatu perbuatan yang dilarang

oleh UU, telah terjadi apa yang dinamakan paksaan. Selain itu pasal 1324 KUHPerdata

menyatakan bahwa paksaan terjadi ketika perbuatan itu dapat menakutkan orang yang

berpikiran sehat yang dapat mengancam dirinya. Sehingga jelas bahwa keterangan saksi

tersebut bukan merupakan pendapat dari saksi. Justru Para Tergugat yang tidak bisa

membuktikan bahwa penyerahan dilakukan secara sukarela.

Peristiwa yang dijadikan dasar bagi hakim untuk menyusun persangkaannya tidaklah

kuat. Hakim hanya mendasarkan kepemilikan atas tanah berdasarkan pada kenyataan

penguasaan sertifikat dan objek sengketa oleh Para Tergugat dan keterangan saksi /Pemilik

tanah terdahulu yang menyatakan bahwa penawaran tanah dilakukan kepada HM.Tukacil,

namun tanah dibayar oleh Penggugat dan pada kwitansi ditulis atas nama Penggugat sebagai

pembeli atas permintaan HM.Tukacil. Keterangan ini justru tidak dapat membuktikan bahwa

uang tersebut adalah uang HM.Tukacil, apalagi yang membayar harga tanah adalah penggugat

sendiri.

Selain itu penulis sepakat dengan 2 hakim lainnya, karena hakim anggota majelis II

dalam menarik persangkaan telah keliru. Dalam hal pembuktian terhadap hak milik atas tanah,

SHM merupakan suatu akta otentik, sehingga kekuatan pembuktiannya adalah sempurna

menurut pasal 165 HIR (pasal 1870 KUHPerdata). Prof. Arie S. Hutagalung mengatakan

bahwa Sertifikat Hak Milik atas tanah adalah alat pembuktian yang kuat (pasal 19 ayat 2

UUPA). Sehingga persangkaan ini tidak penting dan tidak teliti untuk disusun karena telah

ada alat bukti langsung yang membuktikannya, apalagi alat bukti yang diajukan oleh Para

Tergugat tidak dapat membuktikan hal-hal yang mereka dalilkan. Dengan demikian

persangkaan ini tidak relevan untuk membuktikan hal yang belum terbukti (hak milik atas

tanah).

VI. Kesimpulan

Dengan mendasarkan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, maka diperoleh

beberapa hal yang menjadi kesimpulan:

1. Adapun yang menjadi batasan-batasan penggunaan persangkaan hakim agar relevan

sebagai alat bukti, yaitu :

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 13: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

a) Harus didasarkan pada alat bukti lain. Hal ini sesuai dengan pembahasan bahwa

persangkaan sebagai alat bukti merupakan alat bukti tidak langsung. Sehingga tidak

mungkin mengkonstruksikan persangkaan tanpa didasarkan pada alat bukti lain, atau

menurut pendapat Prof. Sudikno Mertokusumo bahkan dapat ditarik dari peristiwa

prosesuil maupun notoir.

b) Didasarkan pada fakta atau peristiwa yang telah terbukti di depan persidangan. Hal ini

tentu sesuai dengan pendapat Pitlo yang menyatakan persangkaan sebagai kesimpulan

dengan mana hakim dari fakta yang terbukti menyimpulkan fakta yang tidak terbukti.

c) Tidak ditarik dari peristiwa-peristiwa yang bertentangan/berlawanan satu sama lain,

atau dengan kata lain harus bersesuaian satu sama lain. Fakta yang bertentangan tentu

akan mengaburkan kejelasan suatu peristiwa. Hal ini tentu sesuai dengan pendapat

Prof. Sudikno Mertokusumo bahwa peristiwa yang diajukan harus ada sangkut

pautnya dengan peristiwa yang ingin dibuktikan.

d) Persangkaan itu ditarik dengan kewaspadaan sehingga memenuhi unsur penting,

seksama/teliti, tertentu, dan bersesuaian satu sama lain sesuai dengan ketentuan pasal

1922 KUHPerdata dan 173 HIR.

e) Dilakukan karena ketiadaan/sukar menemukan alat bukti yang langsung membuktikan

hal yang didalilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat lilik Mulyadi dan R.Subekti yang

menyatakan bahwa jika tidak ada saksi yang mengalami sendiri suatu peristiwa, maka

diusahakan untuk membuktikan peristiwa-peristiwa lain yang ada hubungan erat

dengan peristiwa yang harus dibuktikan tadi, sehingga dapat disimpulkan peristiwa

tertentu terbukti dari terbuktinya peristiwa-peristiwa lain sebagai suatu persangkaan.

Hal ini berhubungan dengan pendapat Yahya Harahap yang telah dikatakan

sebelumnya bahwa walaupun hakim tidak yakin terhadap dalil pihak tertentu, asal

pihak itu dapat membuktikan berdasarkan alat-alat bukti yang sah, hakim harus

menerimanya sebagai suatu kebenaran.

2. Konstruksi persangkaan hakim dalam perkara No.132/Pdt.Plw/2012/PN.Mlg telah

didasarkan pada alat bukti lain yaitu saksi, dimana keterangannya memiliki hubungan satu

sama lain, peristiwa-peristiwa yang diajukan oleh saksi-saksi memiliki hubungan serta

memiliki maksud dan tujuan yang sama dengan apa yang didalilkan untuk dibuktikan.

Persangkaan ini juga disusun dengan sumber yang kuat yaitu peristiwa yang telah terbukti

berdasarkan alat bukti yang sah dan dipergunakan ketika tidak ada alat bukti langsung

yang dapat membuktikan pertengkaran yang terjadi secara terus-menerus. Sehingga

penarikan persangkaan hakim ini relevan untuk membuktikan peristiwa yang belum

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 14: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

terbukti. Berbeda dengan persangkaan yang terdapat dalam perkara yang telah diputus

dengan Putusan No.21/Pdt/2012/PT.PR. Konstruksi persangkaan hakim ini tidak relevan

membuktikan suatu peristiwa yang belum terbukti. Hal ini karena peristiwa yang diajukan

oleh saksi-saksi tidak memiliki korelasi dengan apa yang didalilkan, dasar untuk menarik

persangkaannya juga tidak kuat karena tidak didasarkan pada peristiwa yang telah terbukti,

selain itu persangkaan hakim ini justru ditarik dengan mengabaikan bukti formal yang

dapat langsung membuktikan apa yang didalilkan, sementara pihak yang lain tidak dapat

membuktikan apa yang didalilkannya.

VII Saran Berdasarkan pada pembahasan-pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, adapun

saran yang dapat diberikan diantaranya :

1. Persangkaan hakim haruslah benar-benar ditarik berdasarkan pada kewaspadaan dengan

melihat peristiwa-peristiwa yang sesuai dan memiliki sangkut paut dengan apa yang

didalilkan, serta dalam keadaan tidak ada alat bukti yang dapat langsung membuktikan

peristiwa yang belum terbukti.

2. Persangkaan hakim karena merupakan kesimpulan yang ditarik oleh hakim, maka

hendaknya dalam mengkonstruksikan persangkaan haruslah tetap berpegang teguh kepada

nilai-nilai moral dan prinsip yang terdapat dalam kode etiknya.

VIII. Daftar Referensi

Peraturan Perundang-undangan :

Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004. LN. No. 9 Tahun 2004. TLN. No. 4359.

________ , Undang-undang Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960. LN. No. 104 Tahun 1960. TLN. NO. 2043.

________ , Undang-undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974. LN. No. 1 Tahun 1974. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti

dan R. Tjitrosudibio. Jakarta : Pradnya Paramita, 2001. Reglemen Indonesia yang Diperbaharui [Herziene Indonesisch Reglement]. Stb.1941 No.44.

Disusun oleh M. Karjadi. Bogor : Politeia, 1979.

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 15: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

Terbitan Lembaga :

Departemen Kehakiman, Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum. Penataran Hakim 1979/1980. Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum, 1981.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 2007.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Jakarta : Komisi Yudisial, 2012.

Buku :

A. Pitlo, Prof., Mr. Pembuktian dan Daluarsa. Diterjemahkan oleh M. Isa Arief, S.H. Jakarta : Intemasa, 1978.

Asnawi, M. Natsir. Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia. Yogyakarta : UII Press, 2013.

Affandi, Wahyu. Hakim dan Penegakan Hukum. Bandung : Alumni, 1984. Bakhri, Syaiful. Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik Peradilan. Jakarta : Gramata

Publishing, 2012. Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. Fourth Edition. Minnesota : West

Publishing Co., 1968. Engelbrecht. Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI. Jakarta : Internusa, 1992. Effendi, Bachtiar, Masdasari Tasmin, dan A. Chodari. Surat Gugat dan Hukum Pembuktian

dalam Perkara Perdata. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991. Harahap, M.Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika, 2008. Hutagalung, Arie S. dkk., Asas-asas Hukum Agraria; Bahan Bacaan Pelengkap Mata Kuliah

Hukum Agraria. Depok : TP, 2005. Makarao, Moh. Taufik. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta : Rineka Cipta, 2009. Mamudji, Sri, Hang Rahardjo dan Wahyu Andrianto. Buku Panduan Penulisan Skripsi

Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012.

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta : Kencana, 2006.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana, 2005. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty, 2002. Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Djambatan, 2002. Nasir, Muhammad. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Djambatan, 2005. Philipus M. Hadjon. Argumentasi Hukum. Yogyakarta: UGM Press, 2011. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung : Sumur, 1975. Rasaid, M. Nur. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Samudra, Teguh. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Bandung : Alumni, 2004. Sasangka, Hari. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata. Bandung : Mandar Maju, 2005. Sarwono. Hukum Acara Perdata; Teori dan Praktik. Jakarta : Sinar Grafika, 2011. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI-Press, 2008.

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014

Page 16: EKSISTENSI PERSANGKAAN HAKIM DALAM PEMBUKTIAN PERKARA …

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : Raja Grasindo Persada, 1984.

Soeroso, R. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika, 2012. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta : Intermasa, 2002. ________, Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta : Intermasa, 2003. Subekti, R. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta : Pradnya Paramita, 2009. ________, Hukum Pembuktian. Jakarta : Pradnya Paramita, 2008. Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta : Rineka Cipta, 2012. Sugeng, Bambang dan Sujayadi. Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara

Perdata. Jakarta : Kencana, 2011. Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika,

2006. Sutantio, Retnowulan. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung : Mandar

Maju, 2009. Syahrani, Riduan. Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004. Tresna, Mr R. Komentar HIR. Jakarta : Pradnya Paramita, 1993.

Artikel :

Fedrian, Dinal. “Membumikan Kode Etik & Pedoman Perilaku Hakim.” Dalam Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan Komisi Yudisial 7. (September – Oktober 2012)

Manan, Bagir. “Menjadi Hakim yang Baik” Dalam Himpunan Makalah, Artikel dan Rubrik yang Berhubungan dengan Masalah Hukum dan Keadilan dalam Varia Peradilan IKAHI Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta : Mahkamah Agung RI, 2011.

__________, “Hakim Sebagai Pembaharu Hukum” dalam Himpunan Makalah, Artikel dan Rubrik yang Berhubungan dengan Masalah Hukum dan Keadilan dalam Varia Peradilan IKAHI Mahkamah Agung Republik Indonesia. (Jakarta : Mahkamah Agung RI, 2011.

Sutiyoso, Bambang. “Relevansi Kebenaran Formil dalam Pembuktian Perkara Perdata di Pengadilan,” Dalam Fenomena, (Agustus – September 2003).

Internet : The Law Dictionary, Powered by Information and Definitions from Black's Law Dictionary,

second edition, http://thelawdictionary.org/letter/p/page/171/. Diunduh 9 Juli 2014. _________. http://thelawdictionary.org/letter/f/page/2/. Diunduh 9 Juli 2014. _________. http://thelawdictionary.org/letter/c/page/48/. Diunduh 9 Juli 2014. _________. http://thelawdictionary.org/letter/r/page/45/. Diunduh 9 Juli 2014. “Tanggung Jawab Profesi Hukum”. http://www.scribd.com/doc/11074861/Hakim. Diunduh

tanggal 17 Mei 2014.

Eksistensi persangkaan…, Yan Maranata Sibuea, FH UI, 2014