EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

25
1 PERAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN SEHUBUNGAN DENGAN EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK Oleh : Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H. A. Pendahuluan Teknologi rekayasa genetika telah menyentuh berbagai bidang kehidupan manusia mulai dari bidang obat-obatan, pangan, industri, kehutanan, perbaikan lingkungan, dan sebagainya. Teknologi rekayasa genetika telah dapat memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia. Sejalan dengan tulisan pada Dr. Drh. Mangku Sitepoe mantan Staf Dirjen Peternakan bagian pakan konsentrat, yang menyatakan bahwa teknologi ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan ketahanan pangan (food security) suatu negara. Dalam dunia kedokteran penggunaan teknologi rekayasa genetika berkembang dengan pesat mulai dari pembuatan insulin, antibiotika, enzim, alat untuk mendiagnosa penyakit, xenotransplantation, pembuatan vaksin, pengobatan pada penyakit turunan, bahkan belakangan ini dengan teknologi rekayasa genetika para ilmuan berkeinginan menciptakan manusia seutuhnya tanpa perantara hubungan biologis suami-istri. 1 Pada Kongres OIE (Badan Kesehatan Hewan se-Dunia) Mei 1999 di Paris telah dikemukakan pembuatan vaksin mulut dan kuku serta penyakit rabies pada hewan tidak perlu menggunakan suntikan tetapi cukup dengan memakan kentang atau jenis tanaman lainnya. Sedangkan pisang dapat dipergunakan sebagai vaksin hepatitis pada manusia (New Scientis, September 1996), tanaman yang dipergunakan sebagai vaksin disebut pharmacing plant. 2 1 Dr. Drh. Mangku Sitepoe Berbahayakah Mengonsumsi Bahan Pangan Transgenik? http://www.kompas.com/kesehatan/news/0204/25/015601.htm. 2 Turut ditambahkan oleh Dr. Drh. Mangku Sitepoe tentang adanya reaksi alergis pada manusia satu- satunya dampak negatif gangguan kesehatan disebabkan mengonsumsi bahan pangan transgenik yang sudah dapat dibuktikan secara percobaan melalui skinprick testing. Hal ini dibuktikan oleh Nordlee JA dan kawan-kawan pada tahun 1996. Adanya dampak negatif dari penggunaan bahan rekayasa genetika yang sudah dapat dibuktikan, maka seluruh gen yang dipergunakan maupun produk yang telah dihasilkan ditarik dari peredaran, sehingga dapat dikatakan sampai saat ini belum ada lagi dijumpai keberadaan dampak negatif mengonsumsi pangan transgenik terhadap gangguan kesehatan pada manusia. Pernah juga dikatakan adanya resistensi terhadap beberapa jenis antibiotika apabila mengonsumsi pangan transgenik, tetapi setelah diteliti penyebabnya bukan disebabkan penggunaan bahan pangan transgenik, tetapi adanya residu antibiotika yang berlebihan pada air susu yang diproduksi dengan menggunakan bahan transgenik. Setelah ditelusuri ternyata sapi-sapi yang disuntik hormon bovinesomatothropine (rBST) produksi susu meningkat di samping itu juga meningkatkan sel epitel susu juga meningkat di dalam susu serta dijumpai adanya bahan transgenik. Peningkatan produksi susu serta epitel sel susu merangsang radang ambing susu atau mastitis. Radang ambing susu diobati dengan antibiotika, residu antibiotika dijumpai di dalam air susu yang menggunakan bahan transgenik, jadi bukan disebabkan oleh bahan transgenik, tetapi akibat dari penggunaan antibiotika yang berlebihan dalam pengobatan mastitis. Demikian pula, kasus penyakit Eosinophilia myalgia syndrome (EMS) diduga disebabkan mengonsumsi L tryptophan transgenik. Pada tahun 1989 terjadi wabah EMS yang menyerang 1.500 orang dan

Transcript of EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

Page 1: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

1

PERAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN SEHUBUNGAN DENGANEKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

Oleh : Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H.

A. Pendahuluan

Teknologi rekayasa genetika telah menyentuh berbagai bidang kehidupan manusia mulaidari bidang obat-obatan, pangan, industri, kehutanan, perbaikan lingkungan, dansebagainya. Teknologi rekayasa genetika telah dapat memberikan kesejahteraan dankebahagiaan bagi umat manusia.

Sejalan dengan tulisan pada Dr. Drh. Mangku Sitepoe mantan Staf Dirjen Peternakanbagian pakan konsentrat, yang menyatakan bahwa teknologi ini dapat dipergunakansebagai alat untuk mempertahankan ketahanan pangan (food security) suatu negara.Dalam dunia kedokteran penggunaan teknologi rekayasa genetika berkembang denganpesat mulai dari pembuatan insulin, antibiotika, enzim, alat untuk mendiagnosa penyakit,xenotransplantation, pembuatan vaksin, pengobatan pada penyakit turunan, bahkanbelakangan ini dengan teknologi rekayasa genetika para ilmuan berkeinginanmenciptakan manusia seutuhnya tanpa perantara hubungan biologis suami-istri.1

Pada Kongres OIE (Badan Kesehatan Hewan se-Dunia) Mei 1999 di Paris telahdikemukakan pembuatan vaksin mulut dan kuku serta penyakit rabies pada hewan tidakperlu menggunakan suntikan tetapi cukup dengan memakan kentang atau jenis tanamanlainnya. Sedangkan pisang dapat dipergunakan sebagai vaksin hepatitis pada manusia(New Scientis, September 1996), tanaman yang dipergunakan sebagai vaksin disebutpharmacing plant.2

1 Dr. Drh. Mangku Sitepoe Berbahayakah Mengonsumsi Bahan Pangan Transgenik?http://www.kompas.com/kesehatan/news/0204/25/015601.htm.

2 Turut ditambahkan oleh Dr. Drh. Mangku Sitepoe tentang adanya reaksi alergis pada manusia satu-satunya dampak negatif gangguan kesehatan disebabkan mengonsumsi bahan pangan transgenik yangsudah dapat dibuktikan secara percobaan melalui skinprick testing. Hal ini dibuktikan oleh Nordlee JA dankawan-kawan pada tahun 1996. Adanya dampak negatif dari penggunaan bahan rekayasa genetika yangsudah dapat dibuktikan, maka seluruh gen yang dipergunakan maupun produk yang telah dihasilkan ditarikdari peredaran, sehingga dapat dikatakan sampai saat ini belum ada lagi dijumpai keberadaan dampaknegatif mengonsumsi pangan transgenik terhadap gangguan kesehatan pada manusia. Pernah jugadikatakan adanya resistensi terhadap beberapa jenis antibiotika apabila mengonsumsi pangan transgenik,tetapi setelah diteliti penyebabnya bukan disebabkan penggunaan bahan pangan transgenik, tetapi adanyaresidu antibiotika yang berlebihan pada air susu yang diproduksi dengan menggunakan bahan transgenik.Setelah ditelusuri ternyata sapi-sapi yang disuntik hormon bovinesomatothropine (rBST) produksi susumeningkat di samping itu juga meningkatkan sel epitel susu juga meningkat di dalam susu serta dijumpaiadanya bahan transgenik. Peningkatan produksi susu serta epitel sel susu merangsang radang ambing susuatau mastitis. Radang ambing susu diobati dengan antibiotika, residu antibiotika dijumpai di dalam air susuyang menggunakan bahan transgenik, jadi bukan disebabkan oleh bahan transgenik, tetapi akibat daripenggunaan antibiotika yang berlebihan dalam pengobatan mastitis.

Demikian pula, kasus penyakit Eosinophilia myalgia syndrome (EMS) diduga disebabkan mengonsumsi Ltryptophan transgenik. Pada tahun 1989 terjadi wabah EMS yang menyerang 1.500 orang dan

Page 2: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

2

Dalam bidang pertanian dan teknologi hasil pertanian khususnya bidang pangan,teknologi rekayasa genetika telah jauh berkembang luas baik di dunia tumbuh-tumbuhanmaupun di dunia fauna, terutama di dalam peningkatan produksi maupun kualitas bahanpangan.

Menurut Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, Dosen Fakultas Pertanian IPB yang juga DirekturEksekutif Indonesia Center for Biodiversity and Biotechnology, Bogor Pangantransgenik3 merupakan pangan yang diturunkan dari organisme yang telah mengalamirekayasa genetika. Secara umum pangan transgenik dapat dibagi menjadi 4 kategori,yaitu:

1. Pangan yang akibat modifikasi genetik memiliki kandungan nutrisi baru yangberbeda dengan pangan lainnya. Misalnya, padi transgenik kaya vitamin A, tomattransgenik tahan penyimpanan, pangan transgenik yang diubah susunan asamaminonya, komposisi asam lemak dan lain sebagainya.

2. Pangan yang komposisinya identis dengan pangan yang dihasilkan dari organismealamiah, hanya pangan tersebut merupakan produk dari organisme transgenik.Pangan tersebut diperoleh dari atau mengandung produk Genetically ModifiedOrganisms (GMO)4 tetapi tidak mengandung organisme transgenik itu sendiri, sel

mengakibatkan 37 penderita meninggal dunia. Diduga disebabkan oleh l tryptophan transgenik, ternyatasetelah ditelusuri dijumpai adanya kontaminan di dalam proses pemurnian tryptophan yang berkaitan eratdengan penyakit EMS. Jadi, tidak ada kaitannya dengan mengonsumsi l tryptophan transgenik (Conner AJ,1997). Selain reaksi alergis, dampak negatif gangguan kesehatan pada manusia mengonsumsi pangantransgenik masih merupakan suatu kekhawatiran saja. Walaupun suatu kekhawatiran saja, hendaknya kitamempergunakan prinsip kehati-hatian dan transparan seperti dianjurkan WHO dan FAO yang disebutprecautionary principles.

Dampak negatif gangguan etik dan agama juga dijumpai di dalam mengonsumsi pangan transgenik. Padatahun 1996 diadakan survei di Inggris menanyakan alasan para responden tidak ingin mengonsumsi pangantransgenik, menyatakan bahwa merasa jijik (tidak etis) mengonsumsi pangan yang diproduksi dengan genbakteri berasal dari kotoran manusia seperti bakteri coli. Kasus salah satu penyedap rasa (monosodiumglutamat = MSG) yang diproduksi di Indonesia pada awal tahun 2001 salah satu enzim yang dipergunakandalam proses pembuatannya dapat diproduksi melalui teknologi rekayasa genetika dengan menggunakangen babi yang haram hukumnya bagi mereka yang menganut agama Islam. Hal ini dapat dikategorikansebagai kekhawatiran dampak negatif mengonsumsi pangan transgenik terhadap gangguan etis dan agama.

3 Tulisan dimaksud terdapat dalam proposal penyelenggaraan Seminar Perdagangan, Hak Konsumen danRegulasi Pangan Transgenik yang diajukan oleh Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa untuk diajukan kerjasamanyadengan Kantor Konsultan Hukum Bastaman & Partners yang sedianya akan diselenggarakan selama 1(satu) hari dan akan dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 2003 di Hotel Shangri-La Jakarta.

4 Merujuk pada tulisan yang disusun oleh Deborah B. Whitman tentang Genetically Modified Foods:Harmful or Helpful? (Released April 2000), Cambridge Scientifict Abstract yang dikutip darihttp://www.csa.com/hottopics/gmfood/overview.html The term GM foods or GMOs (genetically-modifiedorganisms) is most commonly used to refer to crop plants created for human or animal consumption usingthe latest molecular biology techniques. These plants have been modified in the laboratory to enhancedesired traits such as increased resistance to herbicides or improved nutritional content. The enhancementof desired traits has traditionally been undertaken through breeding, but conventional plant breeding

Page 3: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

3

atau DNA-nya. Contoh dari pangan tersebut adalah enzim chymosin transgenikuntuk membuat keju.

3. Pangan yang tidak mengandung GMO itu sendiri, sel maupun DNA-nya tetapimerupakan produk turunan dari GMO. Contohnya: gula dari tebu transgenik,minyak dari kedelai transgenik, minyak dari bunga matahari transgenik dan lainsebagainya.

4. Pangan yang mengandung DNA atau protein rekombinan (atau GMO atauselnya). Contohnya semua produk jagung, kedelai, kentang, tomat serta semuaproduk turunannya yang DNA atau protein rekombinan yang dimilikinya masihdapat terdeteksi.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, Indonesia jugamerupakan wilayah sangat penting sekaligus sebagai sasaran komersialisasi danperdagangan produk transgenik perusahaan-perusahaan multinasional. Penyikapan yangtepat terhadap persoalan ini akan memberikan dampak yang positif terhadapperkembangan teknologi pertanian, pemenuhan kebutuhan pangan serta menempatkanIndonesia kembali sebagai salah satu eksportir produk pangan yang penting di dunia.5

methods can be very time consuming and are often not very accurate. Genetic engineering, on the otherhand, can create plants with the exact desired trait very rapidly and with great accuracy. For example,plant geneticists can isolate a gene responsible for drought tolerance and insert that gene into a differentplant. The new genetically-modified plant will gain drought tolerance as well. Not only can genes betransferred from one plant to another, but genes from non-plant organisms also can be used. The bestknown example of this is the use of B.t. genes in corn and other crops. B.t., or Bacillus thuringiensis, is anaturally occurring bacterium that produces crystal proteins that are lethal to insect larvae. B.t. crystalprotein genes have been transferred into corn, enabling the corn to produce its own pesticides againstinsects such as the European corn borer. For two informative overviews of some of the techniques involvedin creating GM foods. According to the FDA and the United States Department of Agriculture (USDA),there are over 40 plant varieties that have completed all of the federal requirements for commercialization.Some examples of these plants include tomatoes and cantalopes that have modified ripeningcharacteristics, soybeans and sugarbeets that are resistant to herbicides, and corn and cotton plants withincreased resistance to insect pests. Not all these products are available in supermarkets yet; however, theprevalence of GM foods in U.S. grocery stores is more widespread than is commonly thought. While thereare very, very few genetically-modified whole fruits and vegetables available on produce stands, highlyprocessed foods, such as vegetable oils or breakfast cereals, most likely contain some tiny percentage ofgenetically-modified ingredients because the raw ingredients have been pooled into one processing streamfrom many different sources. Also, the ubiquity of soybean derivatives as food additives in the modernAmerican diet virtually ensures that all U.S. consumers have been exposed to GM food products.

5 Selanjutnya menurut Dr Ir Dwi Andreas Santosa, bahwa saat ini praktis sangat sulit untuk menghindarkandiri tidak makan pangan transgenik selama sistem pelabelan tidak berjalan ataupun tidak dilakukansegregasi antar transgenik dan non-transgenik pada tingkat produsen atau negara pengekspor pangan.Hingga tahun 2001, 46 persen kedelai yang saat ini ditanam di dunia merupakan kedelai transgenik,sedangkan kapas, kanola dan jagung berturut-turut sebesar 20 persen, 11 persen dan 7 persen. Sebagianbesar tanaman transgenik dihasilkan oleh Amerika Serikat dan sekaligus merupakan pengekspor pangan(terutama kedelai dan jagung) terbesar di dunia. Amerika menganut sistem tidak wajib label (voluntarylabelling), sehingga antara bahan transgenik dan tidak dicampur menjadi satu. Masyarakat Indonesiamerupakan pengkonsumsi utama dan pengimpor besar kedelai dan jagung. Kedelai, misalnya dikonsumsidalam ujud tempe, tahu, kecap, susu kedelai serta produk turunan kedelai lainnya. Paling tidak terdapatlebih dari 30.000 produk turunan kedelai. Lebih dari 60% dari seluruh pangan olahan (processed foods)

Page 4: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

4

Kebijakan perlindungan konsumen serta pemenuhan hak konsumen untuk tahu danmampu memilih (right to know and right to choose) semestinya juga dijamin oleh negaramelalui peraturan dan hukum.

Hukum dalam hal ini sebagai agent of change tidak semata-mata tampil sebagairegulator, tetapi kinerjanya juga mengamati dan menyikapi terhadap setiapperkembangan yang terjadi dari hari ke hari di dalam masyarakat. Berbagai peraturanyang bersifat umum yang mengatur tentang hal tersebut telah diterbitkan, antara lain:

1. Undang-undang No.12 tahun 1992 tertanggal 30 April 1992 tentang SistemBudidaya Tanaman;

2. Undang-undang No.23 tahun 1992 tertanggal 17 September 1992 tentangKesehatan;

3. Undang-undang No.5 tahun 1994 tertanggal 1 Agustus 1994 tentang PengesahanKonvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keaneka Ragaman Hayati;

4. Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999 tentang Perlindungankonsumen (“UU No.8/1999”);

5. Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tertanggal 21 Juli 1999 tentang Label danIklan Pangan (“PP 69/1999”);

6. Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan,Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan HortikulturaNo.998.1/Kpts/OT.210/9/99, No.79.a/Kpts-IX/1999, No.1145A/MENKES/SKB/IX /1999 dan No.015A/NmenegPHOR/09/1999 tertanggal 29 September1999 tentang Keamanan Hayati dan Keamanan;

mengandung produk turunan kedelai seperti minyak kedelai, tepung kedelai dan lechitin kedelai. Produk-produk tersebut diantaranya es krim, roti, sereal, biskuit, makanan bayi, burger, minyak goreng dan lain-lain. Selain kedelai, produk jagung dan kanola transgenik digunakan untuk membuat minyak goreng,margarin serta ribuan pangan turunan lainnya.

Industri pangan juga menggunakan berbagai additive serta enzim rekombinan (misalnya amilase, katalasedan laktase) untuk membuat berbagai produk. Produk-produk tersebut di antaranya roti, makanan bayi, guladan sirup, jus buah, baking powder, minuman ringan dan lain sebagainya. Bakteri termodifikasi secaragenetik digunakan untuk memproduksi rennet yang merupakan enzim penting untuk membuat keju. Residusisa pembuatan keju dapat digunakan untuk membuat margarin serta bahan campuran coklat.

Masalah perdagangan dan keamanan pangan transgenik menjadi perdebatan tajam di seluruh dunia. BulanOktober 2002, Zambia mengembalikan 18.000 ton jagung bantuan Amerika Serikat. Bulan Novembertahun yang sama, India melarang masuk kapal yang membawa bantuan pangan jagung dan kedelai dariAmerika Serikat. Uni Eropa mengeluarkan moratorium terhadap tanaman transgenik baru yang mulaiberlaku sejak tahun 2003. Pada tahun 2005 bahan pangan maupun pangan olahan yang mengandung genresistensi antibiotik dilarang masuk ke Uni Eropa. China, salah satu negara yang sangat antusiasmengadopsi teknologi transgenik, tahun lalu mulai menerapkan kewajiban label terhadap seluruh produktransgenik impor. Beijing juga mengeluarkan moratorium terhadap inventasi perusahaan asing yangmengembangkan beberapa varietas baru tanaman transgenik. Bahkan berbagai tanaman transgenik yangdiproduksi oleh ilmuwan China sendiri tidak mendapatkan ijin untuk ditanam dalam skala komersial.Tindakan China lebih disebabkan karena kekawatiran penolakan produk-produk pertanian China di pasaraninternasional, karena sekali tanaman transgenik di tanam dalam skala besar maka hanpir tidak mungkinditarik dari sistem pertanian. Produk transgenik maupun bukan akan saling tercampur dan sulit dipilahkan,selain kekhawatiran kontaminasi gen asing dari tanaman transgenik ke non-transgenik.

Page 5: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

5

7. Keputusan Direktur Jendreal Bina Produksi PerkebunanNo.16/KPTS/KB.430/3/2001 tanggal 28 Maret 2001; dan

8. Keputusan Menteri Pertanian No.242/Kpts/OT.210/4/2003 tanggal 28 April 2003tentang Pendaftaran dan Labelisasi Pakan.

Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas, maka dipandang bahwa saat inimasyarakat umum perlu untuk mengetahui secara lebih gamblang mengenai pangantransgenik, perdagangan, hak konsumen serta isu lain yang terkait dengan pangantransgenik.

B. Masyarakat Selaku konsumen dan (Hak) Informasi atas Produk

Masyarakat dalam hal ini para konsumen produk-produk makanan dalam kemasan danproduk hayati lainnya tanpa mereka sadari dirinya sudah merupakan salah satu penggunakemajuan bioteknologi dimaksud. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki pemahamantentang latar belakang dan alasan mendasar tentang perlu untuk dikembangkannyakemajuan dibidang bioteknologi ini.6 Hal ini juga erat kaitannya dengan pemahamanaspek-aspek positif dan negatif terhadap pemanfaatan produk transgenik secara objektif,baik karena minimnya pengetahuan, informasi, fakta dan bukti konkrit terhadap

6 Merujuk pada tulisan yang dimuat pada kompas online tentang Menyelamatkan Bumi dari SerbuanTransgenik, Minggu, 30 Januari 2000, yang didalamnya memuat tentang untung rugi organisme transgenik,yaitu sebagai berikut:

Prakiraan Keuntungan

a. Panen tinggi : Tanaman hasil rekayasa genetik dapat membantu memperbaiki jumlah dan kualitaspanen di lahan marjinal seperti tanah asam dan tandus.

b. Perbaikan nutrisi : Produk tanaman, kedelai misalnya, bisa dimodifikasi mengandung lebih banyakprotein, zat besi, untuk mengatasi anemia. Baru-baru ini, ilmuwan Eropa berhasil memasukkanvitamin A pada padi.

c. Perbaikan kesehatan : Vaksin di dalam produk tanaman akan mempermudah pencapaian sasarandan cakupan.

d. Sedikit bahan kimia : Tanaman rekayasa genetik yang sudah dibuat tahan hama dan gulmamisalnya, tidak memerlu-kan lagi pestisida dan herbisida.

Risiko Kerugian

a. Alergi baru : Manipulasi genetik sering memanfaatkan protein dari organisme yang tidak pernahdimakan. Padahal diketahui banyak penyebab alergi berasal dari protein.

b. Resisten antibiotik : Gen yang resisten terhadap antibiotik yang sering digunakan sebagai penandauntuk menyeleksi sel-sel transgenik, mungkin saja pindah ke manusia atau organisme lain yangbisa menimbulkan masalah kesehatan.

c. Virus baru : Gen virus pada tanaman untuk membuatnya tahan terhadap serangan virus, bisa sajabergabung dengan mikroba baru yang menginfeksi tumbuhan itu, sehingga bisa menghasilkanhibrid baru yang lebih ganas.

d. Gulma baru : Pada lingkungan yang lebih luas, mungkin saja gen tahan herbisida yangdiintroduksi ke tanaman pindah melalui serbuk sari yang menyerbuki gulma sekitarnya. Munculahgulma super yang sulit ditangani dan menghancurkan ekosistem.

e. Hama resisten : Pemaparan terus-menerus dari tanaman yang bisa menghasilkan pestisida sendiribisa menyebabkan hama menjadi kebal dan membuat racun pestisida itu akhirnya tidak efektif.

Page 6: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

6

kelebihan dan kekurangan teknologi dimaksud, baik yang ditinjau dari aspek teknologi,perdagangan, ekonomi, lingkungan, pengawasan, pembinaan, perlindungan konsumendan terlebih pemantapan bidang hukum.

Konsumen dalam hal ini memiliki hak untuk mengetahui lebih banyak tentang informasiterhadap produk-produk yang mereka pergunakan, dan hak untuk mengetahui tersebutsecara hukum turut dibenarkan, sedangkan sebaliknya bagi produsen memiliki kewajiban,baik dalam konteks transparansi terlebih pada tatanan etika untuk memenuhi kualifikasidan persyaratan yang telah ditentukan oleh hukum dan undang-undang untukmemberikan informasi yang sebenar-benarnya terhadap produk-produk yang dihasilkan.

Masyarakat sebagai konsumen (khususnya mereka yang tinggal di daerah ibukota)menggunakan alasan ketidakadaan informasi yang memadai tentang isu transgenik ini.Padahal tidak tertutup kemungkinan masyarakat sendiri yang kurang tanggap terhadapinformasi, sehingga mengakibatkan pemahaman maupun pengetahuan tentang kemajuandibidang bioteknologi ini menjadi sangat terbatas. Alasan yang selama ini mengemukaadalah teknologi ini merupakan suatu alternatif yang dapat memberikan solusi terhadappermasalahan kebutuhan pokok yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Tetapi perluuntuk senantiasa dilakukan pengawasan melekat terhadap seluruh produsen dalam rangkamemenuhi standarisasi maupun penyebarluasan informasi yang jelas sebagaimana yangdipersyaratkan oleh hukum dan pemerintah. Termasuk dalam mempersiapkan danmembangun institusi-institusi yang melakukan riset, penelitian, pengembangan,standarisasi, pengawasan, termasuk dan tidak terbatas pada masalah penegakan hukum.Lebih jauh lagi untuk menentukan sikap terhadap perusahaan-perusahaan multinasionaldan negara-negara asing di dunia yang disatu pihak tidak memberikan rasa keadilandengan memberikan produk impor transgenik ke Indonesia, namun tidak demikian halnyajika sebaliknya.

Penelitian kualitatif kandungan rekayasa genetika dalam produk pangan yang dilakukanYayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada periode tanggal 14 November-24Desember 2001 di Jakarta menunjukkan beberapa produk makanan turunan kedelai,jagung, dan kentang positif mengandung unsur rekayasa genetika atau transgenik.Pernyataan tersebut secara resmi disampaikan oleh Ketua YLKI Indah Suksmaningsihdalam Fokus Grup Diskusi Hasil Penelitian Pangan Rekayasa Genetika, di Jakarta, Kamistanggal 7 Januari 2002. Pada kesempatan yang sama turut dihadiri oleh beberapa pakardibidang pengembangan bioteknologi ini seperti Dwi Andreas Santosa, Dedi Fardiaz,(Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BadanPengawasan Obat dan Makanan), dan Thomas Darmawan (Direktur GAPMMI GabunganPengusaha Makanan dan Minuman seluruh Indonesia).7 8

7 Jumat, 08 Februari 2002, 15:08 WIB Ditemukan, Produk Makanan Mengandung Bahan Transgenikhttp://www.kompas.com/health/news/0202/08/031028.htm.

8 Menurut YLKI yang melakukan penelitian itu, pengujian kandungan rekayasa genetika dilakukan dilaboratorium PT Saraswanti Indo Genetech Bogor. Produk yang diteliti meliputi susu formula (5 merek),kecap (3 merek), kentang (3 merek), jagung (3 merek), dan mi instan (3 merek). Dari semua produk

Page 7: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

7

C. Hukum Perlindungan konsumen

1. Hak dan Kewajiban Konsumen

Konsumen memiliki hak atas keamanan pangan dan hak untuk mendapatkaninformasi yang dilindungi Undang-undang Perlindungan Konsumen. Namunhingga kini belum terpenuhi dalam kaitannya dengan produk rekayasa genetika.Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam produk makanan yang ada, tidaksatupun mencantumkan informasi keberadaan rekayasa genetika sehinggakonsumen tidak akan tahu proses uji keamanan yang berlaku dan jaminankeamanan yang bisa diperoleh.

Perlindungan hak keamanan dan hak atas informasi pangan rekayasa genetikajuga terdapat dalam Undang-undang Pangan tahun 1996, Peraturan Pemerintah(PP) tentang Label dan Iklan Pangan tahun 1999.

Kembali pada pembahasan tentang hak dan kewajiban yang secara umummemiliki keterkaitan erat dengan lingkup perikatan, yang lebih dikhususkan lagiadalah perjanjian. Sehingga permasalahan hak dan kewajiban dalam perlindungankonsumen memiliki suatu relevansi dengan permasalahan perdata, yang diIndonesia secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Pada ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian memang tidak diharuskan untuk dibuatsecara tertulis, kecuali untuk perjanjian-perjanjian yang memang diharuskan

tersebut enam merek diketahui positif mengandung unsur rekayasa genetika. Empat merek merupakanproduk turunan kedelai yaitu kecap dan susu formula. Sedangkan dua lainnya kentang dan jagung.

Sebelum pengambilan sampel, YLKI melakukan penelusuran data dari BPS (Biro Pusat Statistik), importir,produsen pangan, maupun Badan POM. Penelitian dilakukan secara kualitatif dan produk yang diuji dipilihdengan pertimbangan perusahaan bersangkutan memiliki mekanisme pengujian mutu yang baik, sehinggadiangap semua mutu produknya standar. YLKI menuntut agar produsen yang produknya diketahuimengandung unsur rekayasa genetika memberikan klarifikasi, apakah telah memenuhi standar atau syaratkeamanan. Dalam hal ini YLKI sudah mengadakan kontak dengan produsen yang bersangkutan, sejak 4-18Januari 2002. Namun, hingga kini baru dua perusahaan yang memberikan tanggapan, yaitu PT AbbottIndonesia-Jakarta yang memproduksi susu formula dan PT Simba Indosnack Makmur produsen snackjagung.

Dalam surat tanggapannya, PT Simba menyebutkan bahan baku jagung yang digunakan pada produknyatelah bersertifikat Genetically Modified (GM) Free atau bebas rekayasa genetika. Namun, perusahaan initidak melampirkan salinan sertifikat itu dalam suratnya.

Sedangkan PT Abbott Indonesia, melalui wakil yang hadir mengatakan, produknya telah memenuhi standaruji keamanan Eropa. Menurut pengamatannya banyak perusahaan internasional yang menerapkan standarganda. "Bisa saja untuk pasar Eropa digunakan standar keamanan yang tinggi karena pengawasannya ketat,sedangkan di Indonesia rendah karena longgarnya pengawasan produk rekayasa genetika," ujarnya.Menurut Dwi Andreas Santosa, Dosen Fakultas Pertanian IPB yang juga Direktur Eksekutif IndonesianCenter for Biodiversity and Biotechnology, Bogor, pengujian produk rekayasa genetika menggunakanteknik yang sama dengan yang diterapkan di negara lain, yaitu dengan polimerase chain reaction. "Jadi,bila pemeriksaan disana hasilnya positif disini pun begitu," tegasnya

Page 8: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

8

untuk dibuat secara tertulis, termasuk untuk perjanjian-perjanjian tertentu yangsecara khusus dipersyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan (fisik)tertentu.9 Sudah barang tentu ketentuan tentang syarat sahnya perjanjian diaturdalam Pasal 1320 dan dengan memperhatikan Pasal 1338 Kitab Undang-UndangHukum Perdata.

Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, pernah mengemukakanempat hak dasar konsumen, yaitu:10

a. the right to safe products;b. the rights to be informed about products;c. the right to definite choices in selecting products;d. the right to be heard regarding consumer interest.

Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.39/248 tahun 1985 tentangPerlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), jugamerumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yangmeliputi:11

a. perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dankeamanannya;

b. promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

c. tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikankemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dankebutuhan pribadi;

d. pendidikan konsumen;

e. tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

f. kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnyayang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebutmenyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yangmenyangkut kepentingan mereka.

Sebagaimana secara tegas diatur dalam Pasal 3 UU No.8/1999, menyatakanbahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk:

9 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia PustakaUtama, Jakarta 2003, Cetakan ketiga, hal.26.

10 Ibid hal.27.

11 Ibid, hal 27-28.

Page 9: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

9

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumenuntuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan caramenghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsurkepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untukmendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnyaperlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur danbertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjaminkelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Jelas bahwa konsumen dalam UU No.8/1999 juga merupakan komponen utamadalam suatu mekanisme penawaran dan permintaan atas suatu produk, yangakhirnya dari produsen menyikapi segala bentuk keinginan masyarakat, denganmemperhatikan aspek-aspek daya beli masyarakat, kualitas produk, jenis barangyang banyak dibutuhkan dan lain sebagainya. Namun, demikian konsumen tidakdiposisikan sebagai pihak yang pasif, melainkan juga harus turut aktif dalammenyikapi produk-produk yang beredar dipasaran yang dipergunakan oleh parakonsumen.

Kondisi semacam ini tidak melulu atau secara mutlak dipersalahkan pada pihakprodusen, melainkan disatu sisi merupakan kewajiban konsumen untuk memilihproduk-produk yang dipergunakannya. Mekanisme ini tidak lain untukmenciptakan suatu keseimbangan dalam konteks pemberlakuan UU No.8/1999.Sikap kehati-hatian dan ketelitian konsumen dalam hal ini juga merupakan suatuindikator tersendiri agar tercipta mawas terhadap produk-produk yang ada. Hal inisejalan dengan ketentuan Pasal 5 huruf a UU No.8/1999 yang berbunyi konsumenberkewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedurpemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dankeselamatan. Tetapi keberadaan pasal ini tidak dapat secara serta mertadipergunakan oleh para produsen yang mengetahui cacat atas produk ataupuninformasi yang sengaja tidak dipublikasikan sebagai escape clause atastindakannya yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Kehati-hatian dan ketelitian tersebut sebenarnya lebih terhadap kekayaan akankhasanah informasi. Konsumen yang sangat paham akan informasi suatu produk,

Page 10: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

10

terlepas dari faktor kepentingan yang bersangkutan, dilain pihak lebihdikarenakan faktor latar belakang pendidikan dari konsumen yang bersangkutan.Tidak dapat dipungkiri bahwa kesadaran masyarakat Indonesia akan kepentingankonsumen dan tanggung jawab produsen masih sangat minim. Dapat dikatakanbahwa salah satu indikator dari terkondisikannya suasana yang semacam iniadalah dikarenakan pemerataan pendidikan yang tidak tersistematisir, termasukpeluang bagi mereka-mereka yang kurang mampu atau tinggal didaerah pedalamuntuk mencecap pendidikan.

Guidelines for Consumer Protection telah menunjukkan upaya antisipatifnyadengan memperhatikan pendidikan konsumen sebagai salah satu konsiderannya.Asumsi yang paling memungkinkan adalah dikarenakan pangsa pasar kebanyakanadalah negara-negara berkembang, dimana dilain pihak negara-negara majuadalah produsen, atau setidaknya tidak seratus persen demikian adanya, namunumumnya adalah demikian. Karena tetap terbuka produsen domestik jugamelakukan hal serupa atau setidaknya sebagai perpanjangan tangan negara maju,seperti penggunaan bahan baku yang dihasilkan oleh negara maju dimaksud atausebagai lini distribusi produk. Perserikatan Bangsa-Bangsa memandang faktorpendidikan (yang sangat dekat dengan pengetahuan dan pemahaman akaninformasi suatu produk) merupakan koridor utama agar terhindar dari segalasesuatu tindakan ataupun dampak yang merugikan bagi konsumen, baik yangdapat dirasakan secara langsung maupun kelak dikemudian hari kerugian itu barutimbul.

Seharusnya langkah konkrit yang harus ditempuh adalah pemerintah tidak hanyamengeluarkan kebijakan semata, melainkan turut menunjukkan upaya-upayakonkritnya dalam rangka memberikan perlindungan bagi rakyat Indonesia selakukonsumen. Sementara itu bagi mereka yang memiliki informasi lebih seyogyanyaturut membantu proses persebarluasan informasi dalam bentuk yang komunikatifdan mudah dicerna oleh masyarakat awam sekalipun.

2. Ketentuan tentang Labelisasi sebagai Upaya Perlindungan Konsumen

Sebagaimana yang dimuat dalam bagian pertimbangan PP No.69/1999, huruf asampai huruf c dinyatakan:

a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasanpangan adalah terciptanya perdagangan pangan yang jujur danbertanggung jawab;

b. bahwa label dan iklan pangan merupakan sarana dalam kegiatanperdagangan pangan yang memiliki arti penting, sehingga perlu diaturdan dikendalikan agar informasi mengenai pangan yang disampaikankepada masyarakat adalah benar dan tidak menyesatkan;

Page 11: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

11

c. bahwa masyarakat berhak untuk memperoleh informasi yang benardan tidak menyesatkan mengenai pangan yang akan dikonsumsinya,khususnya yang disampaikan melalui label dan iklan dan pangan.

Dalam skala nasional terdapat peristiwa yang berkaitan dengan aspekperlindungan konsumen seperti kasus biskuit beracun dan kasus mie instan padatahun 1994 yang berakhir dengan kematian pada sebagian konsumennya.Persoalan menjadi semakin komplek bagi konsumen, bila produk yangdikonsumsi berasal dari luar negeri. Bagaimana mekanisme penyelesaian danhukum mana yang berlaku, masih belum terdapat suatu kejelasan. Hal-hal yangmenyangkut kepentingan (hukum) konsumen, belum mendapat banyak perhatiandalam tata hukum nasional. Baik secara langsung maupun tidak langsungterjadinya peristiwa tersebut memiliki keterkaitan secara khusus denganlabelisasi. Seharusnya dari kedua peristiwa tersebut dan dengan diberlakukannyaUU No.8/1999 dan PP No.69/1999 hal-hal semacam itu tidak semestinyaterulang, dan bilamana terulang sudah barang tentu tidak sekedar menjadi aib,melainkan timbul pertanyaan mendasar berkenaan dengan sistem hukum,pelaksanaan sistem hukum, aparat hukum maupun intansi yang diberikankewenangan oleh undang-undang terkait dengan efektifitas dan efisiensikinerjanya.

Pada kasus biskuit beracun dari hasil penyelidikan disimpulkan bahwa amoniumbikarbonat, yaitu sejenis bahan pembuat biskuit supaya renyah telah tertukardengan sodium nitrit, yaitu sejenis bahan yang berbahaya pada waktu pemindahanbarang-barang dimaksud. Tragedi ini terjadi pada beberapa tempat yang berbedadan yang menarik adalah para korban, yang dalam hal ini adalah konsumen tidakmendapatkan kompensasi berupa ganti kerugian dari pihak produsen ataupunpihak-pihak yang bertanggungjawab lainnnya. Sementara itu untuk kasus mieinstan setelah terjadi jatuhnya korban pihak PT Indofood sebagai produsen mieinstan memasang iklan besar-besar dibeberapa harian utama, yang isinya kuranglebih mengenai pengumuman penarikan produk yang telah kadaluwarsa. Artinya,baik masyarakat sebagai konsumen kurang memperhatikan tanggal kadaluwarsaproduk tersebut dan dilain pihak pengawasan terhadap kualitas barang yang akandidistribusikan ke pasar tidak dilakukan secara optimal.

Seharusnya dengan adanya kedua peristiwa tersebut pemerintah bersikap lebihtegas dalam menghadapi kontroversi aman atau tidaknya penggunaan produkpangan transgenik ini. Memang suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwamanusia itu butuh makan dan minum, yang tidak kalah menariknya adalah apabilasuatu produk itu enak dimakan atau diminum dan harganya murah, mungkin bagikebanyakan masyarakat Indonesia tidak akan mempertanyakan lebih jauh lagitentang substansi atau informasi lengkap terhadap produk yang mereka konsumsi.Seperti halnya pada saat kita berjalan ke pusat-pusat perbelanjaan atau pasarswalayan, maka kita akan menjumpai produk jagung rebus (umumnya dikatakansebagai sweet corn) yang disajikan sedemikian rupa dan diiklankan bahwa jagungtersebut adalah jagung impor dengan kualitas tinggi. Tetapi yang menarik untuk

Page 12: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

12

dikaji adalah terbuka kemungkinan bagi pramusaji produk tersebut hanyamengetahui tentang cara menyajikannya dan belum tentu mengetahui tentangkandungan murni dari jagung tersebut. Meskipun terbuka peluang bahwa asumsiini adalah salah tetapi apakah pernah ada pernyataan bahwa produk tersebutGenetically Modified Free.

Kebijakan pemerintah jelas berbeda dengan kebijakan yang ada di AmerikaSerikat yang menganut sistem tidak wajib label (voluntary labelling). PadahalIndonesia tidak sedikit jumlah bahan baku atau produk jadi pangan yang dikirimdari Amerika Serikat. Terlebih untuk ilustrasi makanan ringan jagung tadi jugamerupakan salah satu produk yang memiliki indikasi kuat, bahwa produk ituadalah hasil rekayasa genetik. Secara fisik dapat kelihatan berbeda dengantanaman jagung, yang mana butir-butir jagungnya lebih besar, padat dan berisi,serta rasanya yang memiliki unsur manis. Kualifikasi untuk mencantumkanlabel12 merujuk pada Pasal 2 ayat (1) PP No.69/1999 adalah, ’Setiap orang yang

12 Merujuk pada tulisan yang disusun oleh Deborah B. Whitman tentang Genetically Modified Foods:

Harmful or Helpful? (Released April 2000), Cambridge Scientifict Abstract yang dikutip darihttp://www.csa.com/hottopics/gmfood/overview.html. Labeling of GM foods and food products is also acontentious issue. On the whole, agribusiness industries believe that labeling should be voluntary andinfluenced by the demands of the free market. If consumers show preference for labeled foods over non-labeled foods, then industry will have the incentive to regulate itself or risk alienating the customer.Consumer interest groups, on the other hand, are demanding mandatory labeling. People have the right toknow what they are eating, argue the interest groups, and historically industry has proven itself to beunreliable at self-compliance with existing safety regulations. The FDA's current position on food labelingis governed by the Food, Drug and Cosmetic Act which is only concerned with food additives, not wholefoods or food products that are considered "GRAS" - generally recognized as safe. The FDA contends thatGM foods are substantially equivalent to non-GM foods, and therefore not subject to more stringentlabeling. If all GM foods and food products are to be labeled, Congress must enact sweeping changes inthe existing food labeling policy.

There are many questions that must be answered if labeling of GM foods becomes mandatory. First, areconsumers willing to absorb the cost of such an initiative? If the food production industry is required tolabel GM foods, factories will need to construct two separate processing streams and monitor theproduction lines accordingly. Farmers must be able to keep GM crops and non-GM crops from mixingduring planting, harvesting and shipping. It is almost assured that industry will pass along these additionalcosts to consumers in the form of higher prices.

Secondly, what are the acceptable limits of GM contamination in non-GM products? The EuropeanCommission (“EC”) has determined that 1% is an acceptable limit of cross-contamination, yet manyconsumer interest groups argue that only 0% is acceptable. Some companies such as Gerber baby foodsand Frito-Lay have pledged to avoid use of GM foods in any of their products. But who is going to monitorthese companies for compliance and what is the penalty if they fail? Once again, the FDA does not havethe resources to carry out testing to ensure compliance.

What is the level of detectability of GM food cross-contamination? Scientists agree that current technologyis unable to detect minute quantities of contamination, so ensuring 0% contamination using existingmethodologies is not guaranteed. Yet researchers disagree on what level of contamination really isdetectable, especially in highly processed food products such as vegetable oils or breakfast cereals wherethe vegetables used to make these products have been pooled from many different sources. A 1% thresholdmay already be below current levels of detectability.

Page 13: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

13

memproduksi atau menghasilkan pangan yang dikemas ke dalam wilayahIndonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam, danatau di kemasan pangan.’

Selanjutnya ketentuan lanjutan terhadap pasal tersebut diatur dalam Pasal 3 PPNo.69/1999, yang menyatakan sebagai berikut:

1. Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berisikanketerangan mengenai pangan yang bersangkutan.

2. Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya.

a. nama produk;b. daftar bahan yang digunakan;c. berat bersih atau isi bersih;d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan

ke dalam wilayah Indonesia;e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.

PP No.69/1999 sebenarnya telah mengatur secara khusus tentang pelabelanterhadap produk-produk pangan transgenik sebagaimana disebutkan dalam bagiankeduabelas Keterangan tentang Iradiasi Pangan dan Rekayasa Genetika PPdimaksud. Adapun ketentuan dimaksud diatur dalam Pasal 35 PP No.69/1999,yang menyatakan:

1. Pada Label untuk pangan hasil rekayasa genetika wajib dicantumkantulisan PANGAN REKAYASA GENETIKA.

2. Dalam hal pangan rekayasa genetika sebagaimana dimaksud pada ayat(1) merupakan bahan yang digunakan dalam suatu produk pangan,pada Label cukup dicantumkan keterangan tentang pangan rekayasagenetika pada bahan yang merupakan pangan hasil rekayasa genetiktesebut saja.

Finally, who is to be responsible for educating the public about GM food labels and how costly will thateducation be? Food labels must be designed to clearly convey accurate information about the product insimple language that everyone can understand. This may be the greatest challenge faced be a new foodlabeling policy: how to educate and inform the public without damaging the public trust and causing alarmor fear of GM food products.

In January 2000, an international trade agreement for labeling GM foods was established. More than 130countries, including the US, the world's largest producer of GM foods, signed the agreement. The policystates that exporters must be required to label all GM foods and that importing countries have the right tojudge for themselves the potential risks and reject GM foods, if they so choose. This new agreement mayspur the U.S. government to resolve the domestic food labeling dilemma more rapidly.

Page 14: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

14

3. Selain pencantuman tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padaLabel dapat dicantumkan logo khusus pangan hasil rekayasa genetika.

Terhadap setiap bentuk pelanggaran dari ketentuan yang diatur dalam PPNo.69/1999 memang tidak diatur secara tegas bahwa terdapat ancaman pidana,melainkan merujuk pada ketentuan yang diatur dalam bab V, adalah tentangtindakan administratif. Namun demikian, Pasal 61 PP No.69/1999 menyatakansebagai berikut:

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dikenakan tindakanadministratif.

2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. peringatan secara tertulis;b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau

perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran;c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan

dan jiwa manusia;d. penghentian produksi untuk sementara waktu;e. pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000 (lima puluh juta

rupiah), dan atau;f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.

3. Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) huruf b, c, d, e, dan f hanya dapat dilakukan setelah peringatantertulisa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikansebanyak-banyaknya tiga kali.

4. Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dan ayat (3) hanya dapat dilakukan oleh Menteri teknis sesuaidengan kewenangan berdasarkan masukan dari Menteri Kesehatan.

Berbeda dengan ketentuan UU No.8/1999, dimana pada bab VI diatur tentangTanggung Jawab Pelaku Usaha yang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 19 ayat(1), (2), (3) dan (4), yaitu sebagai berikut:

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi ataskerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibatmengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan ataudiperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupapengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenisatau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian

Page 15: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

15

santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganyang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)hari setelah tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidanaberdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsurkesalahan.

Pada ayat 4-nya jelas diatur tentang adanya proses pidana yang akan diterapkankepada produsen yang secara nyata-nyata terbukti tidak bertanggung jawab atasproduk(-produk) yang dikeluarkannya. Sementara itu manifestasi dari diterapkanketentuan pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 61 UU No.8/1999, yangmenyatakan:

Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/ataupengurusnya.

Dan Pasal 62 UU No.8/1999, yang menyatakan:

1. Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidanadengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana dendapaling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

2. Pelaku usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara palinglama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat,cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Apabila diperhatikan dengan seksama maka sebenarnya di Indonesia tidak terjadisuatu kekosongan hukum dibidang perlindungan konsumen. Namun demikianyang tidak kalah menarik adalah banyak kalangan yang telah mengetahui tentangperedaran pangan transgenik ini tetapi justru perangkat hukum tersebut seolah-olah hanya merupakan perangkat dari hukum yang tidak dapat dipaksakanterhadap para produsen yang melanggar ketentuan tersebut, yang terjadidilapangan justru adalah pertentangan kepentingan dan tekanan/tuntutan dalamtatanan ekonomi yang meredam eksistensu hukum. Padahal dalam PP No.69/1999didalam ketentuan Pasal 59 telah diatur bahwa Pengawasan terhadap pelaksanaan

Page 16: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

16

ketentuan tentang Label dan Iklan dilaksanakan oleh Menteri Kesehatan. Uniknyaadalah bukan merupakan suatu hal yang tidak mungkin bahwa institusi-institusitersebut tidak mengetahui, tetapi justru peredaran produk-produk berupa pangantransgenik tetap beredar bebas dan luput atau bahkan lolos dari perangkat danaparat hukum yang ada.

D. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia

Dengan diundangkannya UU No.8/1999, maka bersama itu pula tercipta suatu kepastianhukum yang diberikan secara khusus kepada konsumen. Berbagai macam ketentuan yangmengatur seputar permasalahan konsumen telah diatur sedemikian rupa dalam undang-undang dimaksud. Meskipun dilansir masih terdapat kelemahan maupun kekurangantetapi setidaknya keberadaan undang-undang ini telah mereservasi kepentingan parastakeholder dalam lingkup konsumen. Dalam menghadapi berbagai permasalahanperlindungan konsumen, yang terkait dengan produk yang dipergunakan (dalam hal inikhususnya pangan transgenik) terdapat beberapa jalur perlindungan hukum yang dapatdilakukan oleh para konsumen, yang secara umum adalah:

1. Penerapan prinsip product liability

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa per tanggal 1 Januari 1995, WorldTrade Organization (WTO) telah resmi berdiri menggantikan General Agreementof Tarrifs and Trade (GATT). Dengan demikian WTO merupakan organisasiantar pemerintah dunia yang mengawasi perdagangan dunia, baik perdaganganbarang maupun jasa. Segala sesuatu yang berbau proteksi/perlindungan dianggapanti WTO atau anti liberalisasi perdagangan.13 Dalam menghadapi kondisi yangsemacam ini negara-negara di seluruh belahan dunia telah mempersiapkanmaupun mempersiapkan berbagai macam perangkat undang-undang perlindungankonsumen. Yang berkaitan langsung dengan sub bab ini adalah di negara Jepangpada bulan Juni 1994 telah menyetujui secara bulat undang-undangpertanggungjawaban produk (Product Liability Act). Undang-undang ini lebihmemungkinkan konsumen untuk menerima ganti rugi yang dideritanya akibatproduk yang dibelinya ternyata rusak atau cacat. Menurut undang-undangtersebut, konsumen hanya perlu membuktikan bahwa produk yang dikonsumsinyamemang cacat dan mengakibatkan kerugian baginya.14

Dengan kata lain dalam mengantisipasi produk-produk barang atau jasa yangmerugikan atau mencelakakan konsumen, sebagian negara peserta perdaganganbebas telah mengintroduksi doktrin product liability dalam tata hukumnya.Seperti: Jepang, Inggris, Belanda, Amerika Serikat, dan Masyarakat EkonomiEropa serta negara-negara lain yang sudah terbiasa menjadikan hukum sebagaialat rekayasa sosial menuju kepastian hukum yang berkeadilan sosial.

13 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT Citra Aditya Bakti,Cetakan ke-II, 2003, hal.8.

14 Ibid, hal.14.

Page 17: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

17

Terminologi product liability15 di Indonesia ada yang mengartikulasikannyasebagai tanggung jawab gugat produk.16

Ius Constituendum memberikan batasan sebagai kaidah hukum yang dicita-citakan berlaku disuatu Negara. Dalam pengertian ini, doktrin product liabilitydiharapkan dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan hokum (tort)sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer. Terdapat beberapa penulis yangmembatasi kajian dikemukakan pada kemungkinan penerapan doktrin productliability dalam doktrin perbuatan melawan hukum sebagai salah satu bentukpertanggungjawaban pengusaha/produsen atas produknya yang cacat kepadakonsumen.17 Pendekatan yuridis-sosial-ekonomi terhadap kasus yangdikemukakan menunjukan urgensi introduksi dan penerapan doktrin tersebut.Permasalahan yang dibahas dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. kemungkinan penerapan product liability dalam doktrin perbuatanmelawan hukum;

b. tanggungjawab produsen kepada konsumen atas produk-produknya;c. era perdagangan bebas memerlukan norma-norma perlindungan

konsumen.

Pakar hukum privat dari Universitas Erasmus, Rotterdam Belanda, Dr. Peter Klik,LL.M., mengungkapkan bahwa tanggung jawab produk (product liability) sudahmenjadi wacana yang disadari banyak kalangan di Eropa. Yang terpenting,

15 Dalam Law Dictionary dari Baron’s Educational series, Inc. dijelaskan bahwa:

Products liability doctrine in the law of torts that holds a manufacturer, or other party involved inselling a product, strictly liable when anarticle, placed into the marketwith knowledge thatit is to beused without inspection for defect that causes a personal injury. Consumers who are injured arebecause of a fault with a product that the consumers had no ability to protect themselves against themanufacturer under the theory of products liability. Thus, one who sells any any product any productin defective condition unreasonably dangerous to the user or consumer or to the property may beliable for physical harm caused thereby even though thereis no contractual or other relationship (i.e.privity of contract) between the seller and user, and even though the seller has not been negligent.

One area of products liability, the manufacture of pharmaceutical drugs, has always presentedquestions of latent defects. Courts have tended to hold manufacturers to a high standard of care inpreparing, testing and labeling drugs, but absent evidence of any lower standard of care, they haverefused to hold manufacturer liable for the unforseeable harm, on the theory that the utility and socialvalue of the drug normally outsights the known and unknown risks.

Sedangkan dalam Oxford Dictionary of Law dikatakan sebagai berikut:

Products liability are liability of manufacturers and other persons for defective products. UnderConsumer Protection Act 1987, passed to conform with the requirements

16 Op.cit., Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, hal.247-248

17 Ibid, hal 249-250

Page 18: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

18

menurutnya, tanggung jawab produk itu muncul sebagai sebuah kesadaran hakikiprodusen.18

Merujuk pada UU No.8/1999 didalamnya diatur tentang tanggung jawab pelakuusaha atas kerugian konsumen yang secara khusus dimuat dalam satu bab, yaituBab VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28.Dari kesepuluh pasaltersebut, dapat kita pilah sebagai berikut:19

a. Tujuh pasal, yaitu pasal 19, pasal 20, pasal 21, pasal 24, pasal 25, pasal26, dan pasal 27 yang mengatur tentang pertanggungjawaban pelakuusaha;

b. Dua pasal, yaitu pasal 22 dan pasal 28 yang mengatur tentang pembuktian;

c. Satu pasal, yaitu pasal 23 yang mengatur penyelesaian sengketa dalam halpelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan ganti rugikepada konsumen.

Oleh karenanya terhadap pangan hasil rekayasa genetika ini meskipun saat inibelum terdapat isu yang berarti tetapi karena etiket labelisasi yang tidakditerapkan oleh produsen, sebagai wujud itikad baik dari produsen maupunimporter yang bersangkutan. Sehingga terhadap konsumen yang bertindaksedemikian rupa dan dengan memperhatikan telah terpenuhinya unsur-unsur dariproduct liability, maka terhadapnya dapat diproses penyelesaian sesuai denganjalur hukum yang telah disediakan oleh UU No.8/1999.

2. Penerapan prinsip strict product liability

Bahwa sebenarnya dalam kasus ini dapat dipertanyakan tentang prinsip tanggungjawab mutlak dalam bentuk intervensi pemerintah, dalam memberikan jaminanterhadap hak-hak konsumen, khususnya terhadap keselamatan, kesehatan, dan hakuntuk mendapatkan ganti kerugian, baik berupa cacat atau kerusakan pada tubuhkonsumen (bodily/personal injury), maupun kerusakan yang berkaitan denganproduk itu sendiri (pure economic loss).20

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict product liability) merupakan prinsiptanggung jawab yang tidak didasarkan pada aspek kesalahan (fault/negligence)dan hubungan kontrak (privity of contract), tetapi didasarkan pada cacatnya

18 17 Nopember 2003, Banyak Produsen yang Belum Pahami UUPK Kepentingan Konsumen MasihDikesampingkan http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1103/17/0304.htm

19 Op.cit, Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, hal-65.

20 Inosentius Samsul, Ringkasan Disertasi Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Dalam Hukum PerlindunganKonsumen, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pascasarjana, 2003, hal-22.

Page 19: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

19

produk (objective liability) dan risiko atau kerugian yang diderita konsumen (riskbased liability). Dikatakan bahwa tujuan utama dari prinsip tanggung jawabmutlak adalah untuk menjamin agar konsekuensi atau akibat hukum dari suatuproduk yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen dibebankan pada orang ataupihak yang mempunyai tanggung jawab moral untuk menanggung kerugiantersebut. Dengan demikian, prinsip tanggung jawab mutlak menggantukan prinsiptanggung jawab yang sebelumnya dalam hukum perlindungan konsumen, yaituprinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault based liability), suatu prinsipyanggung jawab yang lebih ditentukan oleh sikap atau perilaku produsen(subjective liability). Dalam kasus pangan yang merupakan hasil rekayasa genetikini, seharusnya diterapkan prinsip tanggung jawab mutlak dimaksud.

Meskipun demikian terdapat keberatan produsen atas penerapan sistem tanggungjawab mutlak didasarkan pada pertimbangan bahwa prinsip tanggung jawabmutlak membuka peluang bagi konsumen untuk mendapatkan ganti kerugianyang relatif lebih besar dari dibandingkan dengan prinsip tanggung jawab yangkonvensional. Itu berarti, risiko yang ditanggung oleh produsen akan lebih besar.Risiko tersebut dapat saja mengganggu kelangsungan usaha, bahkan dapatberakibat sampai pada penutupan perusahaan karena tidak mampu membayarganti kerugian konsumen.21

Relevansi dari penggunaan tanggung jawab mutlak dimaksud adalah dengandilatarbelakangi oleh pemikiran tidak ada seorang pun yang dapat menjaminbahwa produk pangan hasil rekayasa genetika tersebut adalah 100% aman untukdikonsumsi para penggunanya. Kebanyakan dari hasil penelitian masih belumsecara berani dan tegas menyebutkan dampaknya secara akurat. Tetapi lain halnyadengan kapas transgenik, dimana dari beberapa pengguna hasil produk kapastersebut ternyata diantaranya ada yang mengalami iritasi kulit baik berupa gatal-gatal, iritasi maupun gangguan kesehatan kulit lainnya. Sementara itu kapasmerupakan produk yang dikenakan dan bukan dimakan atau diminum olehkonsumen. Meskipun demikian memang prinsip strict product liability ini masihdalam lingkup kemungkinan penerapannya di Indonesia, tetapi peluang untukditerapkan masih terbuka. Sementara itu sudah barang tentu produsen yangberitikad baik pastinya akan memperoleh perlindungan hukum yang merupakanhaknya dan demikian pula jika sebaliknya.

Selanjutnya penyelesaian sengketa setelah UU No.8/1999, sebagaimana disediakanfasilitas penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan di luar pengadilan.Oleh karena itu, kasus-kasus yang dikelompokkan dalam kasus-kasus yang diselesaikanmelalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”).22 Sebelum membicarakanBPSK, maka terlebih dahulu akan disinggung mengenai penyelesaian sengketa

21 Inosentius Samsul, Hukum Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak,Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pascasarjana, Cetakan 1 – Jakarta, 2004, hal-237.

22 Ibid, hal-202.

Page 20: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

20

konsumen. Sengketa konsumen adalah suatu sengketa yang salah satu pihaknya haruslahkonsumen. UU No.8/1999 mengatur hal ini dalam Pasal 45 Bab X. Sengketa konsumendapat diselesaikan melalui Pengadilan ataupun di luar Pengadilan berdasarkan pilihansukarela dari para pihak. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 45 tersebut antara lain:

a. adanya kerugian yang diderita oleh konsumenb. gugatan dilakukan terhadap Pelaku Usahac. dilakukan melalui pengadilan.

Pasal 48 UUPK menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilanmengacu kepada ketentuan yang berlaku dalam peradilan umum dengan memperhatikanketentuan Pasal 45 UUPK. Selain itu, menurut ayat (1), penyelesaian sengketa dapat puladilakukan diluar jalur pengadilan. Penyelesaian diluar jalur pengadilan inilah yang dapatdilakukan dengan memanfaatkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimanabunyi pasal 49 sampai dengan pasal 58 UUPK.23

Namun, menurut penjelasan Pasal 45 ayat (2), penyelesaian sengketa diluar pengadilandapat pula diselesaikan secara damai oleh mereka yang bersengketa. Yang dimaksuddengan cara damai adalah penyelesaian yang dilakukan kedua belah pihak tanpa melaluipengadilan ataupun BPSK. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak bolehmenghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur Pasal 45 ayat (3). Hal inidisebabkan karena penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah bersifat perdata,sehingga Undang-Undang mengatur bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidakmenjadi alasan untuk menghilangkan tanggung jawab pidana yang diduga dilakukan olehpelaku usaha. Upaya ini dilakukan untuk menghindari digunakannya penyelesaiansengketa di luar pengadilan sebagai sarana untuk menghindarkan pelaku usaha daritanggung jawab pidana. Pasal 62 ayat (3) mengatur bahwa tanggung jawab pidana yangharus dipertanggung jawabkan oleh pelaku usaha, diperiksa dan diselesaikan menurutketentuan pidana yang berlaku.

Sebagai upaya untuk mempermudah konsumen dalam memperoleh hak-haknya apabilahaknya dilanggar ataupun dirugikan oleh pelaku usaha, maka pemerintah telahmenerbitkan beberapa peraturan berupa Keputusan Presiden maupun Keputusan dariMenteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Dari beberapa Keputusantersebut yang terpenting diantaranya adalah Keputusan Presiden Republik IndonesiaNomor 90 tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan Pemberhentian Anggota Sekretariat BadanPenyelesaian Sengketa Konsumen, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan

23 Heri Tjandrasari, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen(BPSK) Dan Upaya Perlindungan HukumBagi Konsumen, 05 Jun 2003, 14:00:15 WIB - pemantauperadilan.com,http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=93&tipe=opini

Page 21: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

21

Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan WewenangBadan Penyelesaian Sengketa Konsumen.24

Hukum perlindungan konsumen di Indonesia sudah menyediakan saluran-saluran hukumuntuk bagi para konsumen yang notabene adalah masyarakat untuk menuntut haknyabilamana ternyata pada prakteknya dijumpai kasus-kasus ketidakjujuran dari produsenataupun importir atas produk yang mereka keluarkan. Apabila kita lihat dalam ketentuanhukum yang berlaku tersebut, maka seharusnya produsen maupun importir tidak dapat

24 Lihat tulisan Heri Tjandrasari, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dan UpayaPerlindungan Hukum Bagi Konsumen, yang lebih jauh lagi menyatakan, bahwa Badan PenyelesaianSengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang dibentuk khusus untuk menangani dan menyelesaikansengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan,pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa(Pasal 1 Nomor 8 Kepmen. Deperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001). Melihat pada Kepmen di atas, makaBPSK didirikan untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi,dan arbitrasi.

Pada Pasal 1 Nomor 9 dari peraturan tersebut, dinyatakan bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaiansengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yangbersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Nomor 10 pasal tersebut menyatakanbahwa mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantara BPSKsebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Sedangkan pada Nomor 11 pasaltersebut disebutkan bahwa arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yangdalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian kepada BPSK.

Dari apa yang dikemukakan di atas, kita dapat melihat bahwa peran dari BPSK dalam ketiganya adalahberbeda. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 5 Peraturan yang sama, yaitu penyelesaian sengketakonsumen dengan cara Konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingioleh Majelis yang bertindak pasif sebagai Konsiliator (ayat 1). Penyelesaian sengketa konsumen dengancara Mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh Majelis yangbertindak aktif sebagai Mediator (ayat 2). Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrasedilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh Majelis yang bertindak sebagai Arbiter (ayat 3).

Sengketa yang diselesaikan dengan cara-cara tersebut di atas, wajib diselesaikan selambat-lambatnya dalamwaktu 21 (dua puluh satu) hari kerja, terhitung sejak permohonan diterima di sekretariat BPSK (Pasal 7ayat (1)). Namun demikian, sekalipun Putusan BPSK ini bersifat final dan mengikat (Pasal 53 ayat (3)),akan tetapi keberatan atas putusan tersebut masih dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri (PN) dalamtenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan BPSK disampaikan. Selanjutnya PN wajibmemutusnya dalam jangka waktu 21 (dua pulu satu) hari (Pasal 58 ayat (1)). Terhadap Putusan PN dapatdiajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak Putusan PNditerimakan. Selanjutnya Mahkamah Agung wajib memutus perkara dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)hari sejak permohonan kasasi diajukan (Pasal 58 ayat (3)).

Sebagaimana dikemukakan di atas, BPSK dibentuk untuk tujuan memudahkan konsumen dalam menuntuthak-haknya apabila dirugikan. Oleh karena itu dalam Bab VI Pasal 23 UUPK tentang Tanggung JawabPelaku Usaha ditegaskan bahwa pelaku usaha dapat digugat melalui BPSK atau badan peradilan di tempatkedudukan konsumen, apabila ia menolak atau tidak menanggapi tuntutan ganti rugi yang diajukankepadanya. Hal ini dapat dianggap memudahkan konsumen karena menurut suatu penelitian yangdilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kahakiman RI (1979), Yayasan LembagaKonsumen Indonesia (1980), dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1992), secara umum konsumenadalah pihak yang segan untuk berperkara, apalagi apabila biaya yang harus dikeluarkan lebih besar darikemungkinan hasil yang akan diperoleh.

Page 22: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

22

melimpahkan kesalahannya pada negara asal, seperti yang telah dikemukakan bahwaAmerika Serikat dalam hal ini lebih longgar dalam ketentuan hukum mengenai labelisasiproduk makanan GM dimaksud. Namun demikian, seharusnya dari produsen maupunimportir lebih bersikap pro aktif untuk mencari fakta-fakta dimaksud dan tidak meluluorientasinya keuntungan. Melalui saluran BPSK ini konsumen diberikan kesempatanuntuk menuntut pihak produsen terhadap cacatnya produk maupun kerugian yangdideritanya. Mengingat produk makanan GM ini mungkin dampaknya tidak dirasakanseketika, tetapi setelah menumpuk di dalam tubuh dalam kurun waktu tahunan ternyatabaru memberikan suatu dampak tersendiri.

E. Lemahnya Kedudukan Konsumen Indonesia

Kecenderungan konsumen yang kerap dirugikan serta berada dalam posisi subordinat dihadapan produsen dalam setiap kasus hukum mengenai sebuah produk diharapkan tidaklagi terjadi seiring pemberlakukan UU No.8/1999. Lewat undang-undang tersebut,konsumen bisa memilih dua langkah tatkala dihadapkan pada kasus yang merugikanmereka. Konsumen bisa menempuh gugatan secara hukum di pengadilan negeri ataumengadukan persoalan mereka kepada BPSK.

Namun, harus diakui dari pihak produsen belum semua memahami kewajiban yangseharusnya mereka lakukan demi perlindungan terhadap konsumen. Masih banyakpengusaha yang mengesampingkan kepentingan hakiki konsumen mendapatkan produkberkualitas baik dan tidak membahayakan mereka. Dengan kata lain dengan memenuhipersyaratan pengaduan ke BPSK, antara lain harus merupakan konsumen akhir. Artinya,produk yang diadukan tidak untuk diproduksi lagi, mengalami kerugian dan membawasendiri kasus itu tanpa didampingi pengacara. Sementara itu, prosedur penyelesaiansengketa lewat BPSK dilakukan dengan tiga cara, yakni arbitrase, konsiliasi, dan mediasi.Yang pertama penyelesaian melalui hakim swasta, sedangkan dua terakhir lebihmengedepankan fungsi musyawarah. 25

Contoh konkritnya adalah pada produk pangan transgenik ini yang tidak diungkap secaratransparan oleh produsen. Sebagaimana hasil bincang-bincang dengan Dr. Ir. DwiAndreas Santosa, dikatakan bahwa terdapat perbedaan kepentingan antara konsumendengan produsen. Yang agak memprihatinkan adalah dengan dilansirnya orientasi untukmemperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari pihak produsen yang tidakdiimbangi dengan kepatuhan hukum untuk melakukan labelisasi terhadap produk yangmereka keluarkan atau distribusikan. Oleh karenanya bukan merupakan suatu rahasiabagi GAPPMI bahwa telah banyak produk yang beredar dan telah dikonsumsimasyarakat Indonesia yang merupakan produk GMO. Beberapa alasan yangmelatarbelakangi produsen untuk tetap memproduksi dan memasarkan produk antara lainadalah bahan baku pangan dari GMO relatif lebih mudah didapat, secara harga dapatdikatakan bersaing, masyarakat Indonesia kurang begitu memperhatikankomposisi/kandungan suatu produk, produk tersebut merupakan produk yang diminatidan perputaran pemasarannya tinggi. Produk dimaksud antara lain susu bubuk, biskuit,crackers, kecap, cereal, tepung, sayuran beku dan lain sebagainya.

25 http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1103/17/0304.htm, 17 Nopember 2003

Page 23: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

23

Melalui uraian tersebut di atas kiranya dapat ditarik suatu benang merah lemahnyaperlindungan konsumen dalam bidang pangan transgenik lebih dikarenakan faktorekonomi, dimana produk yang dilempar ke pasar oleh produsen adalah produk-produkpangan pilihan. Sangat disayangkan sekali bahwa produsen tidak tergerak untukmencantumkan label GMO tersebut dalam produknya. Padahal apabila kita mencobameneliti pada saat berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan atau pasar swalayan terhadapproduk-produk di atas, maka dapat dikatakan hampir tidak ada yang memuat informasidimaksud.

F. Penutup

Pada kenyataannya antara kepentingan hukum dengan praktek di lapangan terdapatperbedaan kepentingan yang tidak disikapi secara serius oleh produsen yang lebihmenekankan pada keuntungan dan ada kekhawatiran apabila dicantumkan informasidimaksud, maka akan menurunkan omzet mereka dalam jumlah yang signifikan. Dilainpihak kepedulian akademisi, peneliti dan konsumen dalam hal ini seolah diabaikan sertakeadaan miskinnya informasi konsumen terhadap suatu produk justru dimanfaatkanprodusen yang dimanifestasikan dalam wujud perilaku kontra produktifnya mereka.

Anggapan tersebut mengemuka dikarenakan terhadap para konsumen pengguna produk-produk rekayasa genetika tidak terdapat suatu peristiwa yang menggemparkan, sepertidengan jatuhnya korban jiwa dikarenakan mengonsumsi bahan-bahan makanan yangmerupakan hasil rekayasa genetika. Alasan tersebut pada kurun waktu belakangan inidiperkuat oleh beberapa kalangan yang menyatakan, bahwa tubuh manusia secarabiologis memiliki kemampuan untuk memilah-milah zat yang dikonsumsi oleh dirimanusia yang bersangkutan. Oleh karenanya adanya pemikiran tentang kemungkinanterjadinya mutasi dalam tubuh manusia yang disebabkan oleh zat makanan yangdikonsumsi olehnya merupakan suatu hipotesa yang belum terbukti keabsahannya.Beberapa peristiwa yang telah dilaporkan terkait dengan adanya ketertaitan dengankonsumsi pangan transgenik ini menjadi tidak mengemuka, dikarenakan banyaknya isulain yang lebih hangat, layaknya flu burung, penyakit mulut dan kuku dan lainsebagainya, yang lebih banyak menyerap perhatian dan keprihatinan masyarakat.

Walaupun demikian, keberadaan UU No.8/1999, PP No.69/1999 dan perangkat peraturanlainnya yang berupaya mengoptimalkan perlindungan bagi konsumen meskipun telahberlaku efektif, tetapi sepertinya masih sangat kurang optimal dalam pelaksanaan riildilapangan. Terbukti dengan adanya kasus semacam ini dan belum lagi kasus-kasus lain,yang justru lebih memposisikan konsumen sebagai sumber pemberi pendapatan tetapitidak diimbangi dengan itikad baik dari produsen untuk memberikan informasi secaralengkap dan akurat tentang informasi produknya;

Kondisi tersebut di atas hukum dirasakan masih kurang dapat menyentuh dan berpihakkepada konsumen, yang dalam hal ini merupakan rakyat Indonesia, dan oleh karenanyasangat mendesak untuk dilakukan optimalisasi efektifitas dari perangkat hukumdimaksud yang sudah pasti didalamnya termasuk para penegak hukumnya;

Page 24: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

24

Semestinya dengan mencantumkan informasi tentang produk tersebut akan menjadikanprodusen sebagai pihak yang telah beritikad baik dalam menjalankan kegiatan pemasaranproduk dan transparansi tersebut merupakan suatu hal yang sangat positif dan konstruktif.Pada akhirnya setelah melalui pelabelan dimaksud masyarakat selaku konsumendianggap telah mengetahui dan oleh karenanya memiliki kebebasan untuk memilihproduk tersebut, dimana dilain pihak telah tercipta suatu asumsi bahwa konsumen telahmengetahui risiko yang mungkin dialami oleh mereka. Sehingga terhadap produsenmaupun importir yang telah melakukan tindakan tersebut oleh hukum akan mendapatkanreservasi tersendiri bilamana terdapat tuntutan seputar dampak yang ditimbulkan akibatmengkonsumsi pangan hasil rekayasa genetik dimaksud.

Page 25: EKSISTENSI PANGAN TRANSGENIK

25

DAFTAR PUSTAKA

1. 17 Nopember 2003, Banyak Produsen yang Belum Pahami UUPK KepentinganKonsumen Masih Dikesampingkan http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1103/17/0304.htm

2. 17 Nopember 2003, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1103/17/0304.htm3. Baron’s Educational series, Inc. Law Dictionary4. Dwi Andreas Santosa, proposal penyelenggaraan Seminar Perdagangan, Hak

Konsumen dan Regulasi Pangan Transgenik yang diajukan oleh Dr. Ir.Dwi Andreas Santosa untuk diajukan kerjasamanya dengan KantorKonsultan Hukum Bastaman & Partners yang sedianya akandiselenggarakan selama 1 (satu) hari dan akan dilaksanakan pada tanggal 1Mei 2003 di Hotel Shangri-La Jakarta.

5. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, Cetakan ketiga, hal.26.

6. Heri Tjandrasari, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen(BPSK) Dan UpayaPerlindungan Hukum Bagi Konsumen, 05 Jun 2003, 14:00:15 WIB -pemantauperadilan.com,http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=93&tipe=opini

7. Inosentius Samsul, Hukum Perlindungan Konsumen Kemungkinan PenerapanTanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum,Pascasarjana, Cetakan 1 – Jakarta, 2004.

8. Inosentius Samsul, Ringkasan Disertasi Prinsip Tanggung Jawab Mutlak DalamHukum Perlindungan Konsumen, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum,Pascasarjana, 2003.

9. Jumat, 08 Februari 2002, 15:08 WIB Ditemukan, Produk Makanan MengandungBahan Transgenikhttp://www.kompas.com/health/news/0202/08/031028.htm.

10. Mangku Sitepoe, Berbahayakah Mengonsumsi Bahan Pangan Transgenik?http://www.kompas.com/kesehatan/news/0204/25/015601.htm.

11. Oxford Dictionary of Law12. Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT

Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-II, 2003, hal 247-248.13. Deborah B. Whitman, Genetically Modified Foods: Harmful or Helpful?

(Released April 2000), Cambridge Scientifict Abstract,http://www.csa.com/hottopics/gmfood/overview.html