EKSISTENSI AKSARA ARAB PEGON DALAM NASKAH …
Transcript of EKSISTENSI AKSARA ARAB PEGON DALAM NASKAH …
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
239 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
EKSISTENSI AKSARA ARAB PEGON DALAM NASKAH
MOCOAN LONTAR YUSUF BUDAYA SUKU OSING
BANYUWANGI
Ade Rizki Maulana
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Mocoan Lontar Yusuf merupakan salah satu
kebudayaan asli masyarakat suku Osing Banyuwangi berupa
naskah kuno. Naskah tersebut ditulis dengan menggunakan
aksara arab pegon dan didalamnya berisi puisi yang
menceritakan tentang kisah nabi yusuf. Aksara Arab Pegon
merupakan aksara arab yang mengalami perubahan agar
mudan ditulis dan diucapkan ketika ditulis menggunakan
bahasa jawa. Kebudayaan adalah sebuah peraturan atau
norma yang dimiliki bersama oleh masyarakat, yang jika
dilaksanakan oleh akan melahirkan perilaku yang dipandang
layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat. Ada
beberapa proses terbentuknya kebudayaan seperti akulturasi,
asimilasi, enkulturasi, dan difusi. Di Indonesia banyak
kebudayaan yang tercipta dari proses akulturasi. Menurut
Harsoyo, Akulturasi adalah proses terbentuknya budaya
karena adanya kontak langsung antar kelompok manusia
yang memiliki budaya yang berbeda-beda, kemudian
menimbulkan perubahan dalam lingkup kebudayaan dari
salah satu kelompok atau kedua-duanya. Salah satu
kebudayaan yang tercipta dari proses akulturasi di Indonesia
yang unik dan masih terjaga hingga saat ini terdapat dalam
kesenian sastra yakni Mocoan Lontar Yusuf Banyuwangi,
didalamnya terdapat unsur budaya Arab, Jawa, dan Osing.
Dengan dituliskannya artikel ini penulis berharap agar para
generasi muda utamanya di Kabupaten Banyuwangi
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
240 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
mengetahui kebudayaan Mocoan Lontar Yusuf ini sehingga
tetap terjaga dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari, serta dapat memberikan wawasan baru kepada
masyarakat di seluruh Indonesia.
Kata Kunci: Mocoan Lontar Yusuf, Suku Osing
Banyuwangi, Aksara Arab Pegon, Akulturasi Budaya
Kebudayaan merupakan gagasan, karya, peraturan yang menjadi
pedoman dan pengarahan bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku.
Kebudayaan adalah sebuah peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh
masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh akan melahirkan perilaku yang
dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat. (William
H.Haviland).
Ada beberapa proses terbentuknya kebudayaan seperti akulturasi,
asimilasi, enkulturasi, dan difusi. Di Indonesia banyak kebudayaan yang tercipta
dari proses akulturasi. Menurut Harsoyo, Akulturasi adalah proses terbentuknya
budaya karena adanya kontak langsung antar kelompok manusia yang memiliki
budaya yang berbeda-beda, kemudian menimbulkan perubahan dalam lingkup
kebudayaan dari salah satu kelompok atau kedua-duanya. Salah satu kebudayaan
yang tercipta dari proses akulturasi di Indonesia yang unik dan masih terjaga
hingga saat ini terdapat dalam kesenian sastra yakni aksara pegon.
Aksara pegon adalah aksara arab yang mengalami modifikasi yang
digunakan oleh masyarakat islam jawa pada zaman dahulu untuk menuliskan
kata-kata jawa. Pegon berasal dari bahasa jawa “pego” yang artinya “ora lumrah
anggone ngucapke” (tidak lazim diucapkan), (Kromopawiro, 1867:1).
Di ujung timur pulau Jawa tepatnya di kabupaten Banyuwangi ada
sebuah kebudayaan sastra klasik yaitu Mocoan Lontar Yusuf. Sastra klasik
tersebut berisi puisi kuno yang menceritakan kisah nabi Yusuf a.s dimana
naskahnya ditulis menggunakan aksara pegon dan ditembangkan (dibacakan)
menggunakan penembangan khas masyarakat suku Osing Banyuwangi.
Pembahasan
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
241 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Asal Usul Aksara Pegon
Aksara pegon adalah aksara arab yang yang dimodifikasi untuk
menuliskan bahasa melayu. Kata pegon berasal dari kata berbahasa jawa pego
yang berarti tidak lazim diucapkan. Menulusuri awal mula aksara pegon sangat
sulit, hal ini dikarena banyak versi yang menyampaikan awal mula adanya
aksara pegon. Hingga saat ini belum ada pendapat yang akurat tentang kapan,
dimana, dan oleh siapa aksara pegon tersebut muncul dan digunakan.
Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa aksara pegon muncul
sekitar tahun 1200 atau 1300 bersamaan dengan masuknya ajaran Islam di
Indonesia. Catatan lain tentang asal usul aksara pegon ada di Pesantren Ampel
Dentha Surabaya yang dikemukakan Raden Patah atau yang dikenal Sunan
Ampel menyatakan bahwa aksara Pegon muncul sekitar tahun 1400. Sedangkan
menurut pendapat lain, penggagas aksara pegon adalah Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati Cirebon dan Imam Nawawi Banten (Irmawati, 2014).
Namun secara historis penggunaan aksara Pegon memang telah populer antara
abad ke-18 sampai abad ke-19. Hal ini dikuatkan karena adanya karya-karya
ulama di Jawa pada abad tersebut yang ditulis dengan aksara pegon. Beberapa
ulama Jawa yang telah mempopulerkan aksara pegon antara lain; KH. Ahmad
Rifa’i (Kalisasak, 1786–1878), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang, 1875–1947),
Haji Hasan Mustafa (Garut, 1852–1930), dan lain sebagainya. Hampir seluruh
kitab beliau menggunakan aksara pegon. Dengan berbagai kajian mulai dari
bahasan filsafat, teologi, hadits, fiqh, Tasawuf, Tafsir dan Nahwu-Shorof (tata
bahasa), karya-karya tersebut menjadi bukti kuat telah berdirinya akulturasi
Islam dengan jawa dalam bingkai budaya dan kearifan lokal.
Mocoan Lontar Yusuf
Lontar Yusuf merupakan naskah puisi kuno yang mengisahkan Nabi
Yusuf A.S, pada awal mulanya ditulis diatas daun lontar sehingga disebut
Mocoan Lontar Yusuf. Namun secara bahasa lontar sendiri artinya manuskrip
atau naskah. (Kang Pur, 2017). Lontar Yusup mengisahkan rentetan perjalanan
hidup seorang utusan pilihan Tuhan (duta nabi luwih) dari usia dua belas tahun,
kala beliau bermimpi tentang matahari, bulan, sebelas bintang bersujud
kepadanya, sampai naik tahta menjadi penguasa Mesir, seusai nubuatnya tentang
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
242 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
mimpi Raja Mesir; tujuh sapi kurus memangsa tujuh sapi gemu dan tujuh daun
kering melahap tujuh daun hijau. (Wiwin Indiarti, 2018:1).
Lontar Yusuf hadir tidak lepas dari adanya proses islamisasi di tanah
Belambangan (Banyuwangi). Cerita awal masuknya islam di tanah
Belambangan bermula dari Sayid Ishak atau Syekh Maulana Ishak dimana
mulanya beliau mengobati putri Raja Belambangan yang bernama Dewi
Sekardadu. Karena berhasil mengobati beliau berhak untuk menikahi sang putri,
disitulah awal mulaya beliau berdakwah di tanah Belambangan. Beliau memiliki
putra yang bernama Raden Paku atau yang dikenal dengan Sunan Giri (salah
satu wali songo) yang kelak menyebarkan islam di tanah Jawa. Kejadian
tersebut terjadi sekitar tahun 1575. Namun proses islamisasi pada tahun tersebut
tidak berjalan lancar. Banyuwangi berhasil di islamisasi tepatnya pada abad ke-
18 ketika kala itu dipimpin oleh Adipati Danuningrat atau Pangeran Pati.
Kedatangan islam tentu saja tidak hanya memperkenalkan konsep religi, tetapi
jugaproduk budayanya, salah satu tulisan arab yang di Jawa beradaptasi menjadi
aksara pegon. (Tutik Pudjiastuti, 2019:271-284).
Lontar Yusuf ditulis menggunakan aksara arab peguon yang memiliki 12
pupuh, 593 bait dan 4366 larik. Lontar Yusuf memiliki empat jenis yaitu
kasmaran, durma, sinom, dan pangkur. Berikut adalah beberapa naskah Lontar
Yusuf pada tembang Durma Pupuh VII :
Gambar 1.1 Dok. Wiwin Indiarti 2018
Gambar 1.2 Dok. Wiwin Indiarti 2018
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
243 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Gambar 1.3 Dok. Wiwin Indiarti 2018
Gambar 1.4 Dok. Wiwin Indiarti 2018
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
244 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Gambar 1.5 Dok. Wiwin Indiarti 2018
Gambar 1.6 Dok. Wiwin Indiarti 2018
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
245 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Naskah diatas mengisahkan Putri Zulaikha (Jaleha) dari Negeri Temas,
sang putri raja yang berusia sembilan tahun, berulang kali memimpikan seorang
pemuda yang tampan rupawan dari Mesir. Sang putri dilanda asmara dan jatuh
cinta kepadanya. Dia memberitahu kepada orang tuanya tentang seseorang yang
hadir dalam mimpinya. Orang tua sang putri sudah berjanji bahwa apabila
seseorang yang ada didalam mimpi putrinya tersebut itu nyata adanya, mereka
akan menikahkan sang putri dengannya. Sang Putri Zulaikha, yang sangat
merindukan seseorang yang ada didalam mimpinya (bêrangta nira lumindhih),
meminta ayahnya, Sang Raja Temas, untuk segera mengirimkan utusan ke
Mesir.
Raja Temas mengirimkan utusan dengan membawa sepucuk surat
kepada Raja Mesir, meminta sang Raja Mesir untuk meminang putrinya yang
bernama Zulaikha.. Karena putri Temas terkenal akan kecantikannya sepucuk
surat tersebut membuat Raja Mesir sangat senang menerimanya, seolah
mendapatkan intan permata (katiban intên bumi). Raja Mesir datang menemui
Putri Zulaikha. Ketika sang putri melihat sosok raja Mesir, ia tak kuasa menahan
tangisnya hingga jatuh pingsan. Sang raja bukan seorang laki-laki yang datang
dalam mimpinya. Melihat hal itu, sang raja merasa mendapat penghinaan. Dia
ingin mengembalikan sang putri kepada orang tuanya, namun kemarahan sang
raja padam ketika dia menyadari betapa cantiknya sang putri. Seketika putri
Zulaikha mendengar suara yang ada didalam mimpinya, suara tersebut berujar
bahwa raja Mesir ini adalah jalan bagi perjumpaannya (marganira panggiya)
dengan laki-laki dalam mimpinya. Sang putri pun patuh, percaya, serta pasrah
akan jodoh yang sudah ditakdir oleh Tuhan.
Dalam iring-iringan raja Mesir, sang putri menuju ke istana dengan
diusung dalam tandu kebesaran. Semua orang yang ada didalam istana
menyambut kedatangan sang putri. Para istri raja Mesir sangat terpana ketika
melihat putri Zulaikha yang sangat cantik, mereka takjub seolah melihat ratu
yang ada didalam dongeng. Sang raja Mesir pun teramat kasih kepada Zulaikha.
Pada suatu malam, sang Raja hendak bermadu kasih dengan putri Zulaikha.
Namun atas kekuasaan Tuhan, Zulaikha pun dilindungi oleh-Nya. Tuhan
mengganti putri Zulaikha dengan seseorang yang wajahnya diserupakan seperti
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
246 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
sang putri (jinarupa sang putêri) untuk bermadu kasih dengan sang raja. Tuhan
telah berkehendak bahwa tidak ada seseorang pun kecuali Yusuf yang
dimaksudkan sebagai jodoh putri Zulaikha.
Pengaplikasian Mocoan Lontar Yusuf
Suku Osing Banyuwangi merupakan salah satu sub suku di Indonesia
yang berada di provinsi Jawa Timur, memiliki kebudayaan yang sangat khas
atau spesifik nilai-nilai budaya Osing telah melekat dalam kehidupan sehari-hari
orang Osing Banyuwangi. Usaha untuk mentransformasikan nilai-nilai budaya
Osing telah dilaksanakan secara turuntemurun dari generasi pendahulu ke
generasi berikutnya. Transformasi nilai-nilai itu dilakukan melalui jalur-jalur
pendidikan di sekolah, pendidikan dalam keluarga, dan pendidikan di
masyarakat. Nilai-nilai budaya masyarakat Osing disosialisasikan melalui
pertunjukan seni dan hiburan yang merupakan kebutuhan hidup manusia, tentu
corak, macam dan ragamnya bentuk seni serta hiburannya disesuaikan dengan
jiwa dan keyakinan masyarakatnya (Rachmadi, 2010). Masyarakat Osing
umumnya memeluk agama Islam, tentunya kesenian pun dipengaruhi oleh
Islam, walaupun unsur-unsur tradisional ikut menjiwai kesenian itu. Misalnya,
adalah pertunjukan kesenian Aljin (Pacul Goang), dan seni Mocoan yang
menyampaikan kandungan kitab Lontar Yusuf dengan tulisan arab pegon dan isi
syair-syairnya ditulis dalam bahasa Jawa peralihan (Bahasa Osing) konon kitab
yang tergolong dalam kesusastraan Jawa yang mengandung ajaran-ajaran
ketauhidan dan tauladan Nabi Yusuf ini menurut Koentjaraningrat (2009) ditulis
dalam abad ke-16.
Mocoan Lontar Yusuf hingga saat ini masih hidup dan dilestarikan.
Bahkan para kaum muda di Banyuwangi membuat perkumpulan yang bernama
MLY Milenial (Mocoan Lontar Yusuf Milenial) dimana mereka menjaga tradisi
tersebut agar tetap hidup. Mocoan Lontar Yusuf Biasanya ditampilkan saat acara
bersih desa, nikahan, khitanan, dan acara lainnya. Pembacaan naskah tersebut
dimulai setelah sholat isya’ sampai pukul tiga pagi.
Karsono (2013) menjelaskan bahwa Seni Mocoan merupakan seni
pembacaan (waosan) karya sastra dengan cara ditembangkan. Seni Mocoan
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
247 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
tumbuh dan berkembang di Kabupaten Banyuwangi, daerah diujung paling
timur provinsi Jawa Timur. Dalam penyajiannya, seni Mocoan memiliki
kemiripan dengan beberapa seni waosan yang berkembang di Indonesia, seperti
Macapatan di Jawa (Jawa Tengah dan Yogyakarta), Mamaca di Madura,
Mamaos di Banten, dan Waosanlontar di Bali. Kemiripan tersebut terletak pada
penggunaan melodi lagu (tembang) untuk menyajikan teks sastra tertentu.
Jika kita runtut lebih ke belakang lagi, tradisi membaca karya sastra,
dalam hal ini lontar Yusuf, merupakan aktivitas yang sebelumnya sudah
berkembang di zaman Hindu dan Buddha. Brandon (2009) menyatakan bahwa
proses Islamisasi di Indonesia seringkali dilakukan dengan usaha-usaha
meneruskan aktivitas kesenian Hindu-Buddha yang sudah ada sebelumnya, yang
sudah mapan, dengan sedapat mungkin mengakomodasikan ajaran atau dogma
Islam kedalamnya. Tradisi yang demikian kemungkinan dipengaruhi oleh Islam
Sufistik atau Islam India.
Isi yang terkandung dalam Mocoan Lontar Yusuf merupakan
penerjemahan dari kisah Nabi Yusuf yang bersumber dalam Surat Yusuf di Al-
Qur’an. Proses penerjemahan tersebut kemungkinan terkait dengan kepentingan
Islamisasi yang dilakukan para wali di tanah Jawa. Hal tersebut berdasar pada
perbandingan isi kisah Yusuf dalam lontar yang tidak jauh berbeda dengan isi
kisah Yusuf dalam Surat Yusuf. Di dalam Al-Qur’an Surat Yusuf merupakan
surat yang ke13 dari 144 surat yang ada dalam Al-Qur’an. Surat Yususf berada
pada akhir juz 12 dan awal juz 13, dengan jumlah ayat 111. Surat ini
menceritakan kisah Nabi Yusuf dari kecil hingga dewasa. Dimulai dari kisah
ketika dibenci saudara tirinya, diceburkan ke dalam sumur, diselamatkan oleh
saudagar Mesir, diasuh oleh saudagar tersebut, digoda oleh Siti Julaeha (Siti
Zulaikha istri saudagar Mesir), dipenjara, menjadi ahli tafsir mimpi, hingga
menjadi bendahara negeri Mesir, kemudian menolong negeri asalnya yang
kekeringan, bertemu ayahnya kembali, dan akhirnya bertahta sebagai raja di
Mesir. Kisah-kisah tersebut semua ada juga di dalam Lontar Yusuf. Kisah hidup
Nabi Yusuf menjadi kisah yang dominan dalam lontar Yusuf. Selain kisah
Yusuf, terdapat juga nama nabi-nabi dan tokoh lain yang juga disebut. Nabi-nabi
yang tertera dalam lontar Yusuf tersebut diantaranya Nabi Daud, Nabi Musa,
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
248 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Nabi Sulaeman, Nabi Soleh, dan Nabi Muhammmad. Penyebutan beberapa nabi
tersebut sering juga menggunakan kata awalan Bagindho. Sedangkan tokoh lain
yang disebutkan dalam lontar adalah Ashabul Kahfi, yaitu sekelompok pemuda
yang dalam AlQur’an diceritakan sebagai kelompok penyebar kebaikan, namun
harus mengasingkan diri di sebuah goa karena diburu untuk dibunuh. Kelompok
pemuda ini tertidur selama ratusan tahun bersama seekor anjing yang setia,
hingga zaman berubah. Kelompok tersebut terbangun dan melihat anjingnya
sudah menjadi kerangka dan uang yang mereka bawa dulu sudah tidak laku lagi.
Dari peristiwa tersebut mereka sadar sudah tertidur ratusan tahun dan mereka
kembali menyebarkan kebaikan karena generasi dan umat sudah berganti. Cerita
tentang anjing ternyata ikut menjelaskan tentang keterkaitan lontar Yusuf
dengan kepercayaan Islam, yaitu kepercayaan mengenai lima binatang yang
kelak menghuni surga, satu di antaranya anjing. Cerita ini tersurat dalam pupuh
Durmo Lontar Yusuf. Namun demikian, dalam Al-Qur’an, keterangan tersebut
tidak tertulis dalam Surat Yusuf, melainkan dalam Surat Al-Kahfi. Hal inilah
yang memunculkan dugaan bahwa Lontar Yusuf tidak hanya bersumber dari
Surat Yusuf saja, tetapi ada kisah lain yang terkait dengan ajaran Islam yang
bersumber pada beberapa surat di Al-Qur’an.
Sebagai karya sastra Jawa yang mengisahkan kehidupan seorang tokoh
Nabi, Lontar Yusuf sangat tepat untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan
masyarakat masa kini. Segala aspek nilai ajaran yang digambarkan dalam kisah
ini memberikan teladan agar masyarakat sekarang bisa mencontoh perilaku
mulia dari seorang Nabi. Memang tidak dapat dipungkiri khasanah sastra Jawa
mengandung gambaran kehidupan masa lalu. Oleh karena itu, sangatlah
bermanfaat apabila aspek-aspek budi luhur yang terdapat di dalamnya digali,
diungkapkan, dan disebarluaskan kepada generasi muda sekarang.
SIMPULAN
Aksara pegon adalah aksara arab yang yang dimodifikasi untuk
menuliskan bahasa melayu. Kata pegon berasal dari kata berbahasa jawa pego
yang berarti tidak lazim diucapkan. Ada beberapa pendapat yang menyatakan
bahwa aksara pegon muncul sekitar tahun 1200 atau 1300 bersamaan dengan
masuknya ajaran Islam di Indonesia. Catatan lain tentang asal usul aksara pegon
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
249 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
ada di Pesantren Ampel Dentha Surabaya yang dikemukakan Raden Patah atau
yang dikenal Sunan Ampel menyatakan bahwa aksara Pegon muncul sekitar
tahun 1400.
Lontar Yusuf merupakan naskah puisi kuno yang mengisahkan Nabi
Yusuf A.S, pada awal mulanya ditulis diatas daun lontar sehingga disebut
Mocoan Lontar Yusuf serta ditulis menggunakan aksara pegon. Lontar Yusuf
hadir tidak lepas dari adanya proses islamisasi di tanah Belambangan
(Banyuwangi). Cerita awal masuknya islam di tanah Belambangan bermula dari
Sayid Ishak atau Syekh Maulana Ishak dimana mulanya beliau mengobati putri
Raja Belambangan yang bernama Dewi Sekardadu. Karena berhasil mengobati
beliau berhak untuk menikahi sang putri, disitulah awal mulaya beliau
berdakwah di tanah Belambangan. Beliau memiliki putra yang bernama Raden
Paku atau yang dikenal dengan Sunan Giri (salah satu wali songo) yang kelak
menyebarkan islam di tanah Jawa. Kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 1575.
Isi yang terkandung dalam Mocoan Lontar Yusuf merupakan
penerjemahan dari kisah Nabi Yusuf yang bersumber dalam Surat Yusuf di Al-
Qur’an. Proses penerjemahan tersebut kemungkinan terkait dengan kepentingan
Islamisasi yang dilakukan para wali di tanah Jawa. Hal tersebut berdasar pada
perbandingan isi kisah Yusuf dalam lontar yang tidak jauh berbeda dengan isi
kisah Yusuf dalam Surat Yusuf.
Mocoan Lontar Yusuf hingga saat ini masih hidup dan dilestarikan.
Bahkan para kaum muda di Banyuwangi membuat perkumpulan yang bernama
MLY Milenial (Mocoan Lontar Yusuf Milenial) dimana mereka menjaga tradisi
tersebut agar tetap hidup. Mocoan Lontar Yusuf Biasanya ditampilkan saat acara
bersih desa, nikahan, khitanan, dan acara lainnya. Pembacaan naskah tersebut
dimulai setelah sholat isya’ sampai pukul tiga pagi.
Sebagai karya sastra Jawa yang mengisahkan kehidupan seorang tokoh
Nabi, Lontar Yusuf sangat tepat untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan
masyarakat masa kini. Segala aspek nilai ajaran yang digambarkan dalam kisah
ini memberikan teladan agar masyarakat sekarang bisa mencontoh perilaku
mulia dari seorang Nabi. Memang tidak dapat dipungkiri khasanah sastra Jawa
mengandung gambaran kehidupan masa lalu.
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
250 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Harapan dari penulis artikel ini adalah agar pembaca dapat mengetahui
sejarah suatu kebudayaan, mulai dari proses terbentuknya, faktor-faktor yang
mempengaruhi terciptanya kebudayaan tersebut. Hendaknya kita sebagai kaum
muda harus menjaga dan melestarikan kebudayaan yang kita miliki serta
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya Mocoan Lontar
Yusuf ini kita juga dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari cerita nabi-nabi,
mempelajari Al-Qur’an secara mendalam serta mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari
DAFTAR RUJUKAN
Indiarti, Wiwin. 2015. “Kajian mengenai Desa Kemiren sebagai Penyangga
Tradisi dan Kearifan Lokal Masyarakat Osing”. Dalam Anasrullah
(Eds.), Jagat Osing: Seni, Tradisi dan Kearifan Lokal Osing (hlm.
139-156). Banyuwangi: Rumah Budaya
Indiarti, Wiwin. 2018. LONTAR YUSUP BANYUWANGI: Teks Pegon –
Transliterasi–Terjemahan. Jakarta: Perpus Nasional RI
Indiarti, Wiwin & Hasibin. 2019. “Lontar Yusup Banyuwangi: Warna Lokal dan
Variasi Teks dalam Manuskrip Pegon di Ujung Timur Jawa”. Jurnal
Manuskripta, 9 (1): 1-23
Indiarti, Wiwin, Suhalik & Anasrullah. 2019. Babad Tawangalun: Wiracarita
Pangeran Blambangan dalam Unataian Tembang. Jakarta: Perpusnas
Press.
Indiarti, Wiwin dan Hervina Nurullita. 2020. Geliat Kaum Muda Dalam
Preservasi Tradisi Mocoan Lontar Yusup di Banyuwangi. Jember :
Jember University Press.
Kromoprawiro. 1867. Kawruh Sastro Pegon. (Manuskrip) Madiun.
Mumfangati, Titi. 2009. “Macaan Lontar Yusup Tradisi Lisan sebagai Bentuk
Pelestarian Nilai Budaya pada Masyarakat Using, Banyuwangi”.
Patrawidya, 10 (2): 252–290.
Pudjiastuti, Titik. 2009. Tulisan Pegon Wujud Identitas Islam Jawa: Tinjauan
atas Bentuk dan Maknanya. Suhuf, Vol 2, 2009, hal. 271-284
P-ISSN 2598-0637
E-ISSN 2621-5632
251 Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa V Tahun 2021 HMJ Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Rofiq, Arif Ainur, Nur Hidayah, dkk. 2016. Nilai-nilai Budaya Suku Osing
Banyuwangi DalamKitab Lontar Yusuf dan Aplikasinya pada
Konseling.
Tedjowirawan, Anung. 2019. Jurnal Manassa Manuskripta.
https://www.dosenpendidikan.co.id/pengertian-akulturasi-menurut-para-ahli/
https://coretanandrea.wordpress.com/2013/11/03/definisi-kebudayaan-menurut-
beberapa-ahli