EKO PASTIA MUKTI - 09320002.doc

60
PENGARUH DISCHARGE PLANNING YANG DILAKUKAN OLEH PERAWAT TERHADAP KESIAPAN PASIEN PASCA BEDAH AKUT ABDOMEN MENGHADAPI PEMULANGAN DI RSUD ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013 EKO PASTIA MUKTI 09320002 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

description

EKO PASTIA MUKTI - 09320002.doc

Transcript of EKO PASTIA MUKTI - 09320002.doc

PENGARUH DISCHARGE PLANNING YANG DILAKUKAN OLEH PERAWAT TERHADAP KESIAPAN PASIEN PASCA BEDAH AKUT ABDOMEN MENGHADAPI PEMULANGAN DI RSUD ABDUL MOELOEK

BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2013

EKO PASTIA MUKTI

09320002PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNG

2013

BAB IPENDAHULUAN1. Latar Belakang Tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman yang sulit bagi hampir semua pasien. Berbagai kemungkinan buruk yang akan membahayakan bagi pasien bisa saja terjadi sehingga diperlukan peran penting perawat dalam setiap tindakan pembedahan dengan melakukan intervensi keperawatan yang tepat untuk mempersiapkan klien baik secara fisik maupun psikis (Rondhianto, 2008). Ada berbagai macam jenis pembedahan, salah satunya adalah tindakan bedah akut abdomen. Akut abdomen, atau disebut juga kegawatan abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama, dan memerlukan penanggulangan segera yang sering adalah tindak pembedahan (Jong, 2004). Setelah tindakan pembedahan, abdomen memiliki resiko untuk terjadinya infeksi akibat terjadinya stres yang sangat serius kepada tubuh. Sistem imun tubuh menjadi lemah dan fungsi gastrointestinal berubah sehingga menyebabkan tubuh rentan terkena infeksi dan menyebabkan status nutrisi insuffisien (Healthnotes.com, 2004). Andra (2007) menyatakan pasca pembedahan abdomen dengan etiologi non infeksi insiden terjadinya peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan pembedahan) yang terjadi kurang dari 2%, pasca pembedahan untuk penyakit inflamasi tanpa perforasi (misalnya apendisitis, divertikulitis, kolesistitis) resiko untuk terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal kurang dari 10%, sedangkan pasca pembedahan untuk penyakit kolon gangren dan perforasi visceral resiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses meningkat hingga lebih dari 50%. Oleh karena itu perlu diberikan informasi kepada pasien agar mampu mengenali tanda bahaya untuk dilaporkan kepada tenaga medis.

Sebelum pemulangan pasien dan keluarganya harus mengetahui bagaimana cara memanajemen pemberian perawatan di rumah dan apa yang diharapkan di dalam memperhatikan masalah fisik yang berkelanjutan karena kegagalan untuk mengerti pembatasan atau implikasi masalah kesehatan (tidak siap menghadapi pemulangan) dapat menyebabkan pasien meningkatkan komplikasi (Perry & Potter, 2006). Ketidaksiapan pasien menghadapi pemulangan juga dapat terjadi karena pasien terlalu cepat dipulangkan sehingga hal ini juga beresiko terhadap terjadinya komplikasi pasca bedah setelah di rumah, dan juga dikarenakan pemulangan yang tidak direncanakan yang dapat berakibat kepada hospitalisasi ulang (Torrance, 2003). Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Williams (2006) bahwa mayoritas pasien yang menerima informasi tentang nyeri dan manajemen luka, aktivitas, nutrisi, dan komplikasi pada umumnya merasakan bahwa tidak mengalami perasaan khawatir yang membuat mereka akan mengadakan kunjungan tidak rutin ke fasilitas kesehatan setelah dipulangkan. Sedangkan pasien yang tidak mendapat informasi tentang nyeri dan manajemen luka menurut Williams (2006) mengalami kekhawatiran yang memaksa mereka untuk melakukan kunjungan tidak rutin kepada suatu fasilitas kesehatan setelah dipulangkan. (Torrance, 2003) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa pasien pasca bedah abdomen mengalami defisiensi dalam hal mandi, berpakaian, diet, buang air besar, serta dalam hal aktifitas seksual setelah mereka dipulangkan.

Oleh karena itu pasien perlu dipersiapkan untuk menghadapi pemulangan. Orem (1985 dalam Alligood & Tomey, 2006) mengatakan bahwa intervensi keperawatan dibutuhkan karena adanya ketidakmampuan untuk melakukan perawatan diri sebagai akibat dari adanya keterbatasan. Salah satu bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah discharge planning (perencanaan pemulangan pasien) untuk mempromosikan tahap kemandirian tertinggi kepada pasien, teman-teman, dan keluarga dengan menyediakan, memandirikan aktivitas perawatan diri (The Royal Marsden Hospital 2004). Discharge planning yang tidak baik dapat menjadi salah satu faktor yang memperlama proses penyembuhan di rumah (Wilson-Barnett dan Fordham, 1982 dalam Torrance, 1997. Kesuksesan tindakan discharge planning menjamin pasien mampu melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006). Mengingat pentingnya dilakukan discharge planning terhadap pasien pasca bedah, peneliti merasa tertarik untuk menyelidiki bagaimana pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien menghadapi pemulangan. Secara khusus dalam hal ini peneliti ingin meneliti pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung. Mengingat rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan sehingga kemungkinan banyak ditemukan kasus bedah akut abdomen.

2. Rumusan Masalah

Adakah pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung ?3. Tujuan Penelitian 3.1 Tujuan UmumPenelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.

3.2 Tujuan Khusus1) Tingkat kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan sebelum dilakukan discharge planning oleh perawat

2) Tingkat kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan setelah dilakukan discharge planning oleh perawat

3) Perbedaan tingkat kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan dengan pemberian discharge planning oleh perawat.4. Manfaat Penelitian

4.1 Bagi Praktek Keperawatan Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan akan digunakan oleh perawat di ruangan untuk melakukan discharge planning dalam mempersiapkan pasien menghadapi pemulangan, dalam artian bahwa pasien mampu melakukan perawatan berkelanjutan di rumah. 4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan akan digunakan oleh pendidikan keperawatan agar memberikan materi tentang discharge planning kepada mahasiswa4.3 Bagi Penelitian Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan akan dipergunakan sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya, untuk meneliti pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat untuk mempersiapkan pasien menghadapi pemulangan khususnya pada pasien yang non-operatif.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKABeberapa aspek yang terkait dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut : 1. Akut Abdomen 1.1 DefinisiAkut abdomen adalah suatu kondisi abdomen yang terjadi secara mendadak pada umumnya diikuti nyeri perut akibat dari radang, luka, penyumbatan (obstruksi), kerusakan organ (ruptur), sehingga memerlukan tindakan bedah darurat (Cakmoki, 2007). Soewandi (1992) mengatakan bahwa akut abdomen merupakan sebuah terminologi yang menunjukkan adanya keadaan darurat dalam abdomen yang dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan pembedahan. Sedangkan Indoskripsi.com (2008) mengatakan bahwa gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intra abdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptur saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau akibat luka tembus abdomen. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.1.2 Etiologi Akut AbdomenBanyak kondisi yang dapat menimbulkan akut abdomen, apapun penyebabnya gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut pada daerah abdomen (Soewandi, 1992). Maududy (2007) menyebutkan bahwa penyebab akut abdomen tersering antara lain :

1.2.1 Kelainan traktus gastrointestinal, misalnya nyeri non-spesifik, appendisitis, infeksi usus halus dan usus besar, hernia strangulata, perforasi ulkus peptik, perforasi usus, divertikulitis Meckel, sindrom Boerhaeve, kelainan inflamasi usus, sindrom Mallory Weiss, gastroenteritis, gastritis akut, adenitis mesenterika.

1.2.2 Kelainan pankreas, misalnya pankreatitis akut, yaitu terjadinya inflamasi akut pada pankreas.1.2.3 Kelainan traktus urinarius, misalnya kolik renal atau ureteral, pielonefritis akut, sistitis akut, infark renal.1.2.4 Kelainan hati, limpa, dan traktus biliaris, misalnya kolesistitis akut, kolangitis akut, abses hati, ruptur tumor hepar, ruptur spontan limpa, infark limpa, kolik bilier, hepatitis akut.1.2.5 Kelainan ginekologi, misalnya kehamilan ektopik terganggu, tumor ovarium terpuntir, ruptur kista folikel ovarium, salpingitis akut, dismenorea, endometriosis.1.2.6 Kelainan vaskuler, misalnya ruptur aneurisma aorta dan viseral, iskemia kolitis akut, trombosis mesenterika.1.2.7 Kelainan peritoneal, misalnya abses intra abdomen, peritonitis primer, peritonitis TBC.1.2.8 Kelainan retroperitoneal, misalnya perdarahan retroperitoneal akibat ruptur aneurisma pada aorta abdominal, dan perdarahan akut pankreatitis.1.3 Tanda dan Gejala Akut AbdomenTanda dan gejala akut abdomen menurut Alspach (2006) antara lain : nyeri persisten abdomen, nyeri tajam; mual, muntah, refluks, atau anoreksia; perubahan pola defekasi; distensi abdomen, hiperaktif atau hipoaktif peristaltik usus; abdomen terjaga, bising usus; demam, pucat, takipnea; dehidrasi; kejadian trauma tumpul atau tajam, serta melalui bau feses atau drainase lambung.1.4 Komplikasi Pasca BedahTindakan pembedahan dapat menimbulkan berbagai macam resiko/ ancaman. Berikut adalah komplikasi pembedahan menurut Rondhianto (2008), yaitu : syok (tanda-tanda : pucat, kulit dingin, basah, pernafasan cepat, sianosis pada bibir, gusi dan lidah, nadi cepat, lemah dan bergetar, penurunan tekanan darah, urine pekat), perdarahan trombosis vena profunda (komplikasi serius yang bisa ditimbulkan adalah embolisme pulmonari dan sindrom pasca flebitis), retensi urin, infeksi luka operasi (dehisiensi, evicerasi, fistula, nekrose, abses), sepsis (dapat menyebabkan kematian bagi pasien karena dapat menyebabkan kegagalan multi organ), embolisme pulmonal (mengakibatkan pasien merasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan sesak nafas, cemas dan sianosis), serta komplikasi gastrointestinal (obstruksi intestinal, nyeri dan juga distensi abdomen).

Sedangkan Morison (2003) mengatakan bahwa komplikasi luka bedah yang mungkin timbul antara lain : perdarahan primer (perdarahan yang dijumpai segera sesudah pembedahan selesai), perdarahan sekunder (perdarahan yang terjadi beberapa hari setelah pembedahan akibat erosi pembuluh darah akibat infeksi, atau akibat nekrosis tekan), infeksi luka, dehisensi luka (rusaknya sebagian atau keseluruhan luka dan dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan dengan infeksi luka), terbentuknya sinus, terbentuknya fistula, serta terjadi hernia insisional.1.5 Faktor-faktor yang Memperlambat Penyembuhan Luka PembedahanWysocky (1989, dalam Capernito 1999) menyatakan bahwa pasien yang beresiko terhadap perlambatan penyembuhan luka adalah pasien dengan masalah kesehatan seperti malnutrisi, merokok, obesitas, anemia, diabetes atau kanker, terapi kortikosteroid, insufisiensi ginjal, hipovolemia, hipoksia, defisiensi zat besi, tembaga atau magnesium, durasi pembedahan lebih daripada 3 jam, pembedahan malam atau darurat, serta adanya gangguan imunitas.

1.6 Anjuran Nutrisi pada Pasien Pasca BedahMasukan nutrisi harian yang dibutuhkan secara optimal pada pasien pasca bedah mencakup peningkatan masukan protein dan karbohidrat; vitamin A, B, B2, B6, B12, C, D, E, dan niasin; masukan mineral adekuat (seng, magnesium, kalsium, tembaga) (Wysocki, 1989 dalam Capernito, 1999).

Kebutuhan nutrisi harian adalah berkisar 2500-3000 kalori per hari. Dan 100-250 gram protein yang sumber-sumbernya antara lain produk susu, daging, unggas, ikan, dan padi-padian. Sumber vitamin B kompleks yaitu daging, kacang-kacangan, dan sereal diperkaya. Kebutuhan vitamin C sebesar 75-100 mg yang bersumber dari sayuran hijau dan buah jeruk. Kebutuhan fosfor, magnesium, dan vitamin D yang bersumber dari multivitamin (Wysocki, 1989 dalam Capernito, 1999).

2. Discharge Planning2.1 Definisi

Kozier (2004) mendefenisikan discharge planning sebagai proses mempersiapkan pasien untuk meninggalkan satu unit pelayanan kepada unit yang lain di dalam atau di luar suatu agen pelayanan kesehatan umum. Sedangkan Jackson (1994, dalam The Royal Marsden Hospital, 2004) menyatakan bahwa discharge planning merupakan proses mengidentifikasi kebutuhan pasien dan perencanaannya dituliskan untuk memfasilitasi keberlanjutan suatu pelayanan kesehatan dari suatu lingkungan ke lingkungan lain. Rondhianto (2008) mendefenisikan discharge planning sebagai merencanakan kepulangan pasien dan memberikan informasi kepada klien dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan sehubungan dengan kondisi/penyakitnya pasca bedah.

Discharge planning sebaiknya dilakukan sejak pasien diterima di suatu agen pelayanan kesehatan, terkhusus di rumah sakit dimana rentang waktu pasien untuk menginap semakin diperpendek. Discharge planning yang efektif seharusnya mencakup pengkajian berkelanjutan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang kebutuhan pasien yang berubah-ubah, pernyataan diagnosa keperawatan, perencanaan untuk memastikan kebutuhan pasien sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan (Kozier, 2004).2.2 Pemberi Layanan Discharge planningProses discharge planning harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan multidisiplin, mencakup semua pemberi layanan kesehatan yang terlibat dalam memberi layanan kesehatan kepada pasien (Perry & Potter, 2006). Discharge planning tidak hanya melibatkan pasien tapi juga keluarga, teman-teman, serta pemberi layanan kesehatan dengan catatan bahwa pelayanan kesehatan dan sosial bekerja sama (Nixon et al, 1998 dalam The Royal Marsden Hospital, 2004). Seseorang yang merencanakan pemulangan atau koordinator asuhan berkelanjutan (continuing care coordinator) adalah staf rumah sakit yang berfungsi sebagai konsultan untuk proses discharge planning bersamaan dengan fasilitas kesehatan, menyediakan pendidikan kesehatan, dan memotivasi staf rumah sakit untuk merencanakan dan mengimplementasikan discharge planning (Discharge Planning Association, 2008).2.3 Penerima Discharge PlanningSemua pasien yang dihospitalisasi memerlukan discharge planning (Discharge Planning Association, 2008). Namun ada beberapa kondisi yang menyebabkan pasien beresiko tidak dapat memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan setelah pasien pulang, seperti pasien yang menderita penyakit terminal atau pasien dengan kecacatan permanen (Rice, 1992 dalam Perry & Potter, 2005). Pasien dan seluruh anggota keluarga harus mendapatkan informasi tentang semua rencana pemulangan (Medical Mutual of Ohio, 2008).2.4 Tujuan Discharge PlanningDischarge planning bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik untuk mempertahankan atau mencapai fungsi maksimal setelah pulang (Capernito, 1999). Juga bertujuan memberikan pelayanan terbaik untuk menjamin keberlanjutan asuhan berkualitas antara rumah sakit dan komunitas dengan memfasilitasi komunikasi yang efektif (Discharge Planning Association, 2008). The Royal Marsden Hospital (2004) menyatakan bahwa tujuan dilakukannya discharge planning antara lain untuk mempersiapkan pasien dan keluarga secara fisik dan psikologis untuk di transfer ke rumah atau ke suatu lingkungan yang dapat disetujui, menyediakan informasi tertulis dan verbal kepada pasien dan pelayanan kesehatan untuk mempertemukan kebutuhan mereka dalam proses pemulangan, memfasilitasi proses perpindahan yang nyaman dengan memastikan semua fasilitas pelayanan kesehatan yang diperlukan telah dipersiapkan untuk menerima pasien, mempromosikan tahap kemandirian yang tertinggi kepada pasien, teman-teman, dan keluarga dengan menyediakan, memandirikan aktivitas perawatan diri.2.5 Prinsip Discharge PlanningKetika melakukan discharge planning dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lain, ada beberapa prinsip yang harus diikuti/diperhatikan. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang dikemukakan oleh The Royal Marsden Hospital (2004), yaitu :

2.5.1 Discharge planning harus merupakan proses multidisiplin, dimana sumber-sumber untuk mempertemukan kebutuhan pasien dengan pelayanan kesehatan ditempatkan pada satu tempat.

2.5.2 Prosedur discharge planning harus dilakukan secara konsisten dengan kualitas tinggi pada semua pasien2.5.3 Kebutuhan pemberi asuhan (care giver) juga harus dikaji.2.5.4 Pasien harus dipulangkan kepada suatu lingkungan yang aman dan adekuat.2.5.5 Keberlanjutan perawatan antar lingkungan harus merupakan hal yang terutama.2.5.6 Informasi tentang penyusunan pemulangan harus diinformasikan antara tim kesehatan dengan pasien/care giver, dan kemampuan terakhir disediakan dalam bentuk tertulis tentang perawatan berkelanjutan.2.5.7 Kebutuhan atas kepercayaan dan budaya pasien harus dipertimbangkan ketika menyusun discharge planning.2.6 Proses Pelaksanaan Discharge PlanningProses discharge planning mencakup kebutuhan fisik pasien, psikologis, sosial, budaya, dan ekonomi. Perry dan Potter (2006) membagi proses discharge planning atas tiga fase, yaitu akut, transisional, dan pelayanan berkelanjutan. Pada fase akut, perhatian utama medis berfokus pada usaha discharge planning. Sedangkan pada fase transisional, kebutuhan pelayanan akut selalu terlihat, tetapi tingkat urgensinya semakin berkurang dan pasien mulai dipersiapkan untuk pulang dan merencanakan kebutuhan perawatan masa depan. Pada fase pelayanan berkelanjutan, pasien mampu untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas perawatan berkelanjutan yang dibutuhkan setelah pemulangan.

Perry dan Potter (2005) menyusun format discharge planning sebagai berikut :

2.6.1 Pengkajian

1) Sejak pasien masuk, kaji kebutuhan pemulangan pasien dengan menggunakan riwayat keperawatan, berdiskusi dengan pasien dan care giver; fokus pada pengkajian berkelanjutan terhadap kesehatan fisik pasien, status fungsional, sistem pendukung sosial, sumber-sumber finansial, nilai kesehatan, latar belakang budaya dan etnis, tingkat pendidikan, serta rintangan terhadap perawatan.

2) Kaji kebutuhan pasien dan keluarga terhadap pendidikan kesehatan berhubungan dengan bagaimana menciptakan terapi di rumah, penggunaan alat-alat medis di rumah, larangan sebagai akibat gangguan kesehatan, dan kemungkinan terjadinya komplikasi. Kaji cara pembelajaran yang lebih diminati pasien (seperti membaca, menonton video, mendengarkan petunjuk-petunjuk). Jika materi tertulis yang digunakan, pastikan materi tertulis yang layak tersedia. Tipe materi pendidikan yang berbeda-beda dapat mengefektifkan cara pembelajaran yang berbeda pada pasien.3) Kaji bersama-sama dengan pasien dan keluarga terhadap setiap faktor lingkungan di dalam rumah yang mungkin menghalangi dalam perawatan diri seperti ukuran ruangan, kebersihan jalan menuju pintu, lebar jalan, fasilitas kamar mandi, ketersediaan alat-alat yang berguna (seorang perawat perawatan di rumah dapat dirujuk untuk membantu dalam pengkajian).

4) Berkolaborasi dengan dokter dan staf pada profesi lain (seperti dokter pemberi terapi) dalam mengkaji kebutuhan untuk rujukan kepada pelayanan perawatan rumah yang terlatih atau fasilitas perawatan yang lebih luas.

5) Kaji persepsi pasien dan keluarga terhadap keberlanjutan perawatan kesehatan di luar rumah sakit. Mencakup pengkajian terhadap kemampuan keluarga untuk mengamati care giver dalam memberikan perawatan kepada pasien. Dalam hal ini sebelum mengambil keputusan, mungkin perlu berbicara secara terpisah dengan pasien dan keluarga untuk mengetahui kekhawatiran yang sebenarnya atau keragu-raguan diantara keduanya.

6) Kaji penerimaan pasien terhadap masalah kesehatan berhubungan dengan pembatasan.

7) Konsultasikan tim pemberi layanan kesehatan yang lain tentang kebutuhan setelah pemulangan (seperti ahli gizi, pekerja sosial, perawat klinik spesialis, perawat pemberi perawatan kesehatan di rumah). Tentukan kebutuhan rujukan pada waktu yang berbeda.

2.6.2 Diagnosa KeperawatanPenentuan diagnosa keperawatan secara khusus bersifat individual berdasarkan kondisi atau kebutuhan pasien. Adapun diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan antara lain :

1) KecemasanHal ini dapat menginterupsi proses keluarga.2) Tekanan terhadap care giverHal yang menyebabkannya adalah ketakutan.3) Kurang pengetahuan terhadap pembatasan perawatan di rumahPasien mengalami defisit perawatan diri dalam hal : makan, toileting, berpakaian, mandi/kebersihan.4) Stres sindrom akibat perpindahanHal ini berhubungan dengan upaya meningkatkan pertahanan/pemeliharaan di rumah.

2.6.3 PerencanaanHasil yang diharapkan jika seluruh prosedur telah lengkap dilakukan adalah sebagai berikut :

1) Pasien atau keluarga sebagai care giver mampu menjelaskan bagaimana keberlangsungan pelayanan kesehatan di rumah (atau fasilitas lain), penatalaksanaan atau pengobatan apa yang dibutuhkan, dan kapan mencari pengobatan akibat masalah yang timbul.2) Pasien mampu mendemonstrasikan aktivitas perawatan diri (atau anggota keluarga mampu melakukan aturan perawatan).3) Rintangan kepada pergerakan pasien dan ambulasi telah diubah dalam setting rumah. Hal-hal yang dapat membahayakan pasien akibat kondisi kesehatannya telah diubah.2.6.4 PenatalaksanaanPenatalaksanaan dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penatalaksanaan yang dilakukan sebelum hari pemulangan, dan penatalaksanaan yang dilakukan pada hari pemulangan.

1) Persiapan sebelum hari pemulangan pasiena) Menganjurkan cara untuk merubah keadaan rumah demi memenuhi kebutuhan pasienb) Mempersiapkan pasien dan keluarga dengan memberikan informasi tentang sumber-sumber pelayanan kesehatan komunitas. Rujukan dapat dilakukan sekalipun pasien masih di rumah.c) Setelah menentukan segala hambatan untuk belajar serta kemauan untuk belajar, mengadakan sesi pengajaran dengan pasien dan keluarga secepat mungkin selama dirawat di rumah sakit (seperti tanda dan gejala terjadinya komplikasi, kepatuhan terhadap pengobatan, kegunaan alat-alat medis, perawatan lanjutan, diet, latihan, pembatasan yang disebabkan oleh penyakit atau pembedahan). Pamflet, buku-buku, atau rekaman video dapat diberikan kepada pasien. Pasien juga dapat diberitahu tentang sumber-sumber informasi yang ada di internet. d) Komunikasikan respon pasien dan keluarga terhadap penyuluhan dan usulan perencanaan pulang kepada anggota tim kesehatan lain yang terlibat dalam perawatan pasien.2) Penatalaksanaan pada hari pemulanganJika beberapa aktivitas berikut ini dapat dilakukan sebelum hari pemulangan, perencanaan yang dilakukan akan lebih efektif. Adapun aktivitas yang dilakukan pada hari pemulangan antara lain :

a) Biarkan pasien dan keluarga bertanya dan diskusikan isu-isu yang berhubungan dengan perawatan di rumah. Kesempatan terakhir untuk mendemonstrasikan kemampuan juga bermanfaat.b) Periksa instruksi pemulangan dokter, masukkan dalam terapi, atau kebutuhan akan alat-alat medis yang khusus. (Instruksi harus dituliskan sedini mungkin) Persiapkan kebutuhan dalam perjalanan dan sediakan alat-alat yang dibutuhkan sebelum pasien sampai di rumah (seperti tempat tidur rumah sakit, oksigen, feeding pump).c) Tentukan apakah pasien dan keluarga telah dipersiapkan dalam kebutuhan transportasi menuju ke rumah.d) Tawarkan bantuan untuk memakaikan baju pasien dan mengepak semua barang milik pasien. Jaga privasi pasien sesuai kebutuhan. e) Periksa seluruh ruangan dan laci untuk memastikan barang-barang pasien. Dapatkan daftar pertinggal barang-barang berharga yang telah ditandatangani oleh pasien, dan instruksikan penjaga atau administrator yang tersedia untuk menyampaikan barang-barang berharga kepada pasien.f) Persiapkan pasien dengan prescription atau resep pengobatan pasien sesuai dengan yang diinstruksikan oleh dokter. Lakukan pemeriksaan terakhir untuk kebutuhan informasi atau fasilitas pengobatan yang aman untuk administrasi diri.g) Berikan informasi tentang petunjuk untuk janji follow up ke kantor dokter.h) Hubungi kantor agen bisnis untuk menentukan apakah pasien membutuhkan daftar pengeluaran untuk kebutuhan pembayaran. Anjurkan pasien dan keluarga mengunjungi kantornya.i) Dapatkan kotak untuk memindahkan barang-barang pasien. Kursi roda untuk pasien yang tidak mampu ke mobil ambulans. Pasien yang pulang dengan menggunakan ambulans diantarkan oleh usungan ambulans.j) Bantu pasien menuju kursi roda atau usungan dan gunakan sikap tubuh dan teknik pemindahan yang sopan. Dampingi pasien memasuki unit dimana transportasi yang dibutuhkan sedang menunggu. Kunci roda dari kursi roda. Bantu pasien pindah ke mobil pribadi atau kendaraan untuk transportasi. Bantu keluarga menempatkan barang-barang pribadi pasien ke dalam kendaraan.k) Kembali ke bagian, dan laporkan waktu pemulangan kepada departemen pendaftaran/penerimaan. Ingatkan bagian kebersihan untuk membersihkan ruangan pasien.2.6.5 Evaluasi1) Minta pasien dan anggota keluarga menjelaskan tentang penyakit, pengobatan yang dibutuhkan, tanda-tanda fisik atau gejala yang harus dilaporkan kepada dokter.2) Minta pasien atau anggota keluarga mendemonstrasikan setiap pengobatan yang akan dilanjutkan di rumah.3) Perawat yang melakukan perawatan rumah memperhatikan keadaan rumah, mengidentifikasi rintangan yang dapat membahayakan bagi pasien, dan menganjurkan perbaikan.2.7 Unsur-Unsur Discharge Planning2.7.1 Discharge Planning Association (2008) mengatakan bahwa unsur-unsur yang harus ada pada sebuah form perencanaan pemulangan antara lain :

1) Pengobatan di rumah, mencakup resep baru, pengobatan yang sangat dibutuhkan, dan pengobatan yang harus dihentikan.2) Daftar nama obat harus mencakup nama, dosis, frekuensi, dan efek samping yang umum terjadi.3) Kebutuhan akan hasil test laboratorium yang dianjurkan, dan pemeriksaan lain, dengan petunjuk bagaimana untuk memperoleh atau bilamana waktu akan diadakannya.4) Bagaimana melakukan pilihan gaya hidup dan tentang perubahan aktivitas, latihan, diet makanan yang dianjurkan dan pembatasannya.5) Petunjuk perawatan diri (perawatan luka, perawatan kolostomi, ketentuan insulin, dan lain-lain).6) Kapan dan bagaimana perawatan atau pengobatan selanjutnya yang akan dihadapi setelah dipulangkan. Nama pemberi layanan, waktu, tanggal, dan lokasi setiap janji untuk control.7) Apa yang harus dilakukan pada keadaan darurat dan nomor telepon yang bisa dihubungi untuk melakukan peninjauan ulang petunjuk pemulangan. 8) Bagaimana mengatur perawatan lanjutan (jadwal pelayanan di rumah, perawat yang menjenguk, penolong, pembantu jalan; walker, kanul, oksigen, dan lain-lain) beserta dengan nama dan nomor telepon setiap institusi yang bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan.2.7.2 Swearingen (2000) menyatakan bahwa informasi yang harus diketahui oleh pasien pasca bedah abdomen dan orang terdekat sebelum pemulangan antara lain :1) Obat-obatan, meliputi nama obat, tujuan, dosis, jadwal, tindakan pencegahan, interaksi obat/obat dan makanan/obat, dan potensial efek samping.

2) Pentingnya penatalaksanaan diet untuk meningkatkan pemeliharaan nutrisi dan cairan. Diet yang dianjurkan antara lain : diet normal yang mengikuti semua empat kelompok makanan (daging, telur, dan ikan; buah dan sayuran; susu dan keju; sereal dan roti) dan minum cairan yang adekuat (sedikitnya 2-3 L/hari). Ingatkan pasien untuk menghindari kacang-kacangan, buah beri, dan makanan dengan biji.

3) Perawatan insisi, penggantian balutan, dan izin untuk mandi atau mandi pancuran jika jahitan sudah diangkat. 4) Pembatasan aktivitas pasca bedah sesuai petunjuk : biasanya mengangkat benda yang berat (> 4 kg), mendorong, menarik, dan mengedan dikontraindikasikan selama kira-kira 6 minggu untuk mencegah terjadinya herniasi insisi. Antisipasi kembali bekerja dalam 2 minggu untuk pekerja kantor, dan 6 minggu untuk pekerja buruh. Waspadalah terhadap dan istirahat setelah gejala kelelahan, beristirahatlah semaksimal mungkin, meningkatkan aktivitas secara bertahap sesuai toleransi.5) Pentingnya melaporkan tanda dan gejala terjadinya infeksi luka : kemerahan menetap, bengkak, drainase purulen, hangat lokal, bau busuk, dan nyeri.6) Pentingnya perawatan lanjutan dengan dokter atau perawat, pastikan tanggal dan waktu perjanjian berikutnya.2.8 Cara Mengukur Discharge PlanningSebuah discharge planning dikatakan baik apabila pasien telah dipersiapkan untuk pulang, pasien telah mendapatkan penjelasan-penjelasan yang diperlukan, serta instruksi-instruksi yang harus dilakukan, serta apabila pasien diantarkan pulang sampai ke mobil atau alat transportasi lainnya (The Royal Marsden Hospital, 2004).

Kesuksesan tindakan discharge planning menjamin pasien mampu melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006). Hal ini dapat dilihat dari kesiapan pasien untuk menghadapi pemulangan, yang diukur dengan kuesioner.

3. Kesiapan Pasien Menghadapi Pemulangan3.1 Defenisi dan Komponen Kesiapan

Menurut Martinsusilo (2007), ada dua komponen utama dari kesiapan yaitu kemampuan dan keinginan. Kemampuan adalah pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimiliki seorang ataupun kelompok untuk melakukan kegiatan atau tugas tertentu. Sedangkan keinginan berkaitan dengan keyakinan, komitmen, dan motivasi untuk menyelesaikan tugas atau kegiatan tertentu. Kesiapan merupakan kombinasi dari kemampuan dan keinginan yang berbeda yang ditunjukkan seseorang pada tiap-tiap tugas yang diberikan.

Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan pasien menghadapi pemulangan adalah kemampuan yang mencakup pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan serta keinginan yang mencakup keyakinan, komitmen, dan motivasi pasien pasca bedah akut abdomen untuk melakukan aktifitas atau kegiatan yang diajarkan serta dianjurkan oleh perawat dan klinisi lain.

Pasien dinyatakan siap menghadapi pemulangan apabila pasien mengetahui pengobatan, tanda-tanda bahaya, aktivitas yang dilakukan, serta perawatan lanjutan di rumah (The Royal Marsden Hospital, 2004).

3.2 Kriteria PemulanganCapernito (2003) mengatakan bahwa sebelum pulang pasien pasca bedah dan keluarga akan mampu menggambarkan pembatasan aktivitas di rumah, menggambarkan penatalaksanaan luka dan nyeri di rumah, mendiskusikan kebutuhan cairan dan nutrisi untuk pemulihan luka, menyebutkan tanda dan gejala yang harus dilaporkan pada tenaga kesehatan, serta menggambarkan perawatan lanjutan yang diperlukan. Sedangkan Perry dan Potter (2005) mengatakan bahwa pada saat pulang, pasien harus mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi perawatan dirinya.

Kesuksesan tindakan discharge planning menjamin pasien mampu melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006). Oleh karena itu pasien dinyatakan siap menghadapi pemulangan apabila pasien mengetahui pengobatan, tanda-tanda bahaya, aktivitas yang dilakukan, serta perawatan lanjutan di rumah (The Royal Marsden Hospital, 2004). Pasien dan keluarga memahami diagnosa, antisipasi tingkat fungsi, obat-obatan dan tindakan pengobatan untuk kepulangan, antisipasi perawatan tindak lanjut, dan respons yang diambil pada kondisi kedaruratan (Perry & Potter, 2005).

3.3 Tingkat KesiapanMartinsusilo (2007) membagi tingkat kesiapan berdasarkan kuantitas keinginan dan kemampuan bervariasi dari sangat tinggi hingga sangat rendah, antara lain :

3.3.1 Tingkat kesiapan 1 (R1)

1) Tidak mampu dan tidak ingin, yaitu tingkatan tidak mampu dan hanya memiliki sedikit komitmen dan motivasi.

2) Tidak mampu dan ragu, yaitu tingkatan tidak mampu dan hanya memiliki sedikit keyakinan.

3.3.2 Tingkat kesiapan 2 (R2)1) Tidak mampu tetapi berkeinginan, yaitu tingkatan yang memiliki sedikit kemampuan tetapi termotivasi dan berusaha. 2) Tidak mampu tetapi percaya diri, yaitu tingkatan yang hanya memiliki sedikit kemampuan tetapi tetap merasa yakin.3.3.3 Tingkat kesiapan 3 (R3)1) Mampu tetapi ragu, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tetapi tidak yakin dan khawatir untuk melakukannya sendiri. 2) Mampu tetapi tidak ingin, tingkatan yang memiliki kemampuan untuk melakukan suatu tugas tetapi tidak ingin menggunakan kemampuan tersebut.3.3.4 Tingkat kesiapan 4 (R4)1) Mampu dan ingin, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugas seringkali menyukai tugas tersebut.2) Mampu dan yakin, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dan yakin dapat melakukannya seorang diri.4. Model Keperawatan Dorothea OremModel konseptual Dorothea Orem (2001, dalam Alligood & Tomey, 2006) terdiri dari tiga teori yang saling berhubungan, yaitu teori perawatan diri yang menggambarkan mengapa dan bagaimana manusia merawat dirinya sendiri, teori defisit perawatan diri yang menggambarkan dan menjelaskan mengapa manusia dapat dibantu melalui keperawatan, dan teori sistem keperawatan yang menggambarkan dan menjelaskan hubungan yang harus dibawa dan dipertahankan agar keperawatan dapat dihasilkan.

4.1 Teori Perawatan Diri

Perawatan diri sendiri adalah perilaku yang diperlukan secara pribadi dan berorientasi pada tujuan yang berfokus pada kapasitas individu yang bersangkutan untuk mengatur dirinya dan lingkungan dengan cara sedemikian rupa sehingga ia tetap bisa hidup, menikmati kesehatan dan kesejahteraan, dan berkontribusi dalam perkembangannya sendiri (Orem, 1985 dalam Basford, 2006). Perawatan diri sendiri dibutuhkan oleh setiap manusia, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Ketika perawatan diri tidak dapat dipertahankan, akan terjadi kesakitan atau kematian.

4.2 Teori Defisit Perawatan DiriOrem (2001, dalam Alligood & Tomey, 2006) mengatakan bahwa defisiensi perawatan diri adalah kesenjangan antara kebutuhan perawatan diri terapeutik individu dan kekuatan mereka sebagai agen perawat diri yang mana unsur pokok perkembangan kemampuan perawatan diri tidak berjalan atau tidak adekuat untuk mengetahui atau mempertemukan sebagian atau semua komponen yang ada atau membangun kebutuhan perawatan diri terapeutik. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa jika seseorang tidak cukup mampu untuk merawat dirinya sendiri berkaitan dengan kesehatannya maka ia dikatakan menderita defisit perawatan diri (Orem, 1985 dalam Basford, 2006).

Oleh karena itu diperlukan perawat yang bertindak sebagai agen keperawatan yang berhak membangun hubungan interpersonal untuk melakukan, mencari tahu, dan membantu pasien untuk mempertemukan kebutuhan perawatan diri terapeutik mereka dan meregulasi perkembangan atau melatih kemampuan mereka sebagai agen perawatan diri sendiri (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2006).4.3 Teori Sistem KeperawatanOrem (1985, dalam Basford, 2006) menjelaskan sistem keperawatan sebagai Serangkaian tindakan kontinu yang dihasilkan ketika perawat menghubungkan satu atau sejumlah cara membantu pasien dengan tindakannya sendiri atau tindakan seseorang di bawah perawatan yang diarahkan untuk memenuhi tuntutan perawatan diri terapeutik orang tersebut atau untuk mengatur perawatan diri mereka.

Sebagai agen keperawatan, perawat menerapkan sistem keperawatan yang merupakan tindakan praktek keperawatan yang dilakukan secara berkesinambungan dan bertahap dengan berkoordinasi dengan pasien untuk mengetahui dan memenuhi komponen kebutuhan perawatan diri terapeutik pasien mereka dan melindungi dan meregulasi latihan atau perkembangan kemampuan pasien sebagai agen perawat diri sendiri (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2006).

Untuk mengetahui apakah pasien dapat berkontribusi dan kontribusi apa yang harus diberikan perawat, Orem (1985, dalam Basford, 2006) membedakan tiga system keprawatan, yaitu :

4.3.1 Suportif-edukatif, yaitu jika pasien mampu melakukan atau belajar tentang perawatan diri, maka intervensi keperawatan harus dibatasi misalnya hanya pada pemberian dukungan dan pendidikan.

4.3.2 Kompensasi parsial, yaitu pasien memiliki beberapa kemampuan untuk melakukan perawatan diri tetapi tidak dapat mencapai perawatan diri total jika tidak dibantu, dan perawat harus membantu pasien dalam melakukan tugas-tugas tersebut.4.3.3 Kompensasi total, yaitu jika pasien secara totoal tidak dapat melakukan perawatan diri sendiri, dan perawat harus melakukan semua tugas-tugas tersebut untuk pasien, bahkan dalam hal kebutuhan perawatan diri umum seperti memandikan dan memberi makan pasien.BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN1. Desain PenelitianDesain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah desain quasi eksperimen yaitu desain yang bertujuan untuk mengungkapkan kemungkinan adanya pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan. Rancangan penelitian yang digunakan yaitu one group pre and posttest design, yang melibatkan satu kelompok subyek serta melakukan pengukuran tingkat kesiapan pasien menghadapi pemulangan sebelum pemberian intervensi yang memungkinkan peneliti dapat menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya intervensi (discharge planning) (Notoatmodjo, 2005).

2. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien akut abdomen yang telah menjalani pembedahan dan sedang menjalani rawat inap di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung, pada bulan Desember 2012 Februari 2013. Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, diketahui bahwa jumlah rata-rata pasien yang menjalani pembedahan akut abdomen di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung selama 3 bulan terakhir (September - November 2012) adalah sebanyak 13 orang per bulan.

3. Sampel Penelitian

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu menetapkan sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi. Adapun yang menjadi kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini antara lain : pasien pasca bedah akut abdomen, telah menjalani perawatan di ruang rawat inap lebih dari 2 hari, pria/wanita berusia 18-50 tahun, memiliki kesadaran penuh sehingga tidak memiliki halangan untuk belajar, tidak memiliki penyakit komplikasi, dan bersedia menjadi responden penelitian. Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan formula penentuan jumlah sampel yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2005). Berdasarkan formulasi tersebut, jika diketahui jumlah populasi 13 orang, dengan tingkat kepercayaan yang diinginkan sebesar 0,05 maka didapatkan jumlah sampel yang diperlukan dalam penelitian ini sebanyak 12 orang. Namun sampai batas waktu dan izin penelitian yang telah ditetapkan, peneliti hanya memperoleh 13 pasien pasca bedah akut abdomen. Dari 13 pasien tersebut, terdapat 3 orang termasuk dalam kriteria eksklusi karena 1 orang melebihi batas usia, 3 orang meninggal, dan 2 orang pindah ruangan akibat kondisi penyakitnya. Sehingga didapatkan hanya 7 orang yang menjadi sampel dalam penelitian ini.4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ruang rawat inap bedah RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung, mengingat rumah sakit ini adalah rumah sakit pemerintah, dan merupakan rumah sakit pendidikan yang memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini.Penelitian ini dilaksanakan selama 4 minggu yaitu pada minggu ke-3 Desember 2012 sampai minggu ke-2 januari 2013.5. Pertimbangan Fisik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin penelitian dari institusi (PSIK FK Universitas Malahayati) dan dari RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Sebelum menyerahkan informed consent (lembar persetujuan sebagai responden), peneliti terlebih dahulu menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada calon responden. Jika responden bersedia untuk diteliti, maka peneliti menyerahkan informed consent untuk ditandatangani sebagai bukti kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Pasien memiliki hak untuk menolak keikutsertaannya dalam penelitian atau mengundurkan diri, maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati haknya.

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti hanya memberikan nomor kode tertentu pada lembar jawaban. Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subyek dijamin oleh peneliti

6. Instrument Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang didasarkan pada tinjauan pustaka. Kuesioner terdiri dari 2 bagian, yaitu data demografi dan data tingkat kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan.6.1 Kuisioner6.1.1 Data Demografi

Terdiri dari jenis kelamin, usia, status pernikahan, suku bangsa, pendidikan terakhir, pekerjaan, diagnosa penyakit, post op hari keberapa, pengalaman hospitalisasi dan operasi sebelumnya, serta jenis obat yang diberikan saat pasien pulang. Data demografi ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden dan mendeskripsikan distribusi frekuensi dan persentase demografi responden.6.1.2 Data Kesiapan Pasien Pasca Bedah Akut Abdomen Menghadapi Pemulangan Pre dan Post Discharge PlanningKuesioner ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kesiapan pasien menghadapi pemulangan pre dan post discharge planning, dengan menggunakan pernyataan sebanyak 28 buah yang meliputi obat-obatan (1-6), tanda-tanda bahaya (7-9), perawatan luka di rumah (10-14), aktivitas di rumah (15-21), diet di rumah (22-27), dan perawatan lanjutan (28).Kuesioner penelitian ini berbentuk skala likert dimana setiap pernyataan akan diberi skor 1 hingga 4. Skor 4 mengindikasikan bahwa pasien sangat setuju dengan pernyataan, skor 3 pasien setuju, skor 2 tidak setuju, dan skor 1 sangat tidak setuju.

Total skor tertinggi dalam instrumen ini adalah 112 sedangkan skor terendah adalah 28. Selanjutnya total skor akan dirangking ke dalam 4 rangking (Martinsusilo, 2007), yaitu tingkat kesiapan 1 (R1) jika skornya 28-48 artinya bahwa pasien tidak mampu dan tidak ingin atau tidak mampu dan ragu untuk menghadapi pemulangan, tingkat kesiapan 2 (R2) jika skornya 49-69 artinya bahwa pasien tidak mampu tetapi berkeinginan atau tidak mampu tetapi percaya diri menghadapi pemulangan, tingkat kesiapan 3 (R3) jika skornya 70-90 artinya bahwa pasien mampu tetapi ragu atau mampu tetapi tidak ingin melakukan kegiatan yang diajarkan setelah pasien berada di rumah, dan tingkat kesiapan 4 (R4) jika skornya 91-112 artinya bahwa pasien mampu dan ingin atau mampu dan yakin melakukan kegiatan yang diajarkan setelah pasien berada di rumah.6.2 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrument

Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2006). Uji validitas kuesioner penelitian ini dilakukan dengan melakukan uji coba kuesioner terhadap 5 orang pasien yang memiliki keadaan hampir sama dengan responden, yaitu pasien pasca bedah abdomen, dan sedang menjalani rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan. Dari hasil analisa yang digunakan dengan Cronbach Alpha didapatkan nilai koefisien reabilitas 0,612 sehingga peneliti melakukan revisi kuesioner, karena ada beberapa hal yang perlu diperbaiki agar mampu mengungkap data variabel yang diteliti. Setelah dilakukan revisi didapatkan nilai koefisien reabilitas menjadi 0.828 sehingga peneliti menyimpulkan bahwa kuesioner tersebut sudah valid dan reliabel untuk digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini. Sesuai dengan pernyataan Dempsey & Dempsey (2002) bahwa jika hasil uji reliabilitas instrumen bernilai > 0,60 maka kuesioner tersebut layak untuk digunakan.7. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah protokol discharge planning, yang disusun berdasarkan daftar pustaka yaitu menggunakan proses discharge planning yang dinyatakan oleh Perry dan Potter (2005) dan dimodifikasi isinya dengan pernyataan Swearingen (2000) tentang informasi yang harus diketahui oleh pasien pasca bedah abdomen dan orang terdekat sebelum pemulangan.

Untuk lebih jelasnya lembar protokol discharge planning dapat dilihat pada lampiran.8. Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

8.1 Permohonan izin pelaksanaan penelitian didapatkan dari institusi pendidikan (PSIK FK USU).

8.2 Permohonan izin yang diperoleh dikirim ke tempat penelitian (RSUP H. Adam Malik Medan).

8.3 Peneliti menghubungi perawat ruangan untuk memperkenalkan calon responden kepada peneliti setelah mendapat izin dari pihak RSUP H. Adam Malik.

8.4 Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat penelitian, dan prosedur pengumpulan data.8.5 Peneliti meminta calon responden menandatangani informed consent sebagai bentuk persetujuan bersedia menjadi responden. 8.6 Pada hari 1, peneliti mengukur tingkat kesiapan pasien menghadapi pemulangan dengan membacakan pernyataan-pernyataaan yang terdapat di dalam kuesioner untuk dijawab oleh responden. Kemudian peneliti melakukan pengkajian, dan setelah itu peneliti menentukan perencanaan bersama-sama dengan responden dan keluarga. Tindakan pada hari 1 ini dilakukan selama 30 menit. 8.7 Pada hari ke-2, peneliti melakukan penatalaksaan yaitu mengadakan sesi pengajaran dengan responden dan keluarga tentang : obat-obatan, tanda-tanda bahaya, perawatan luka di rumah, dan aktivitas di rumah, diet di rumah dan perawatan lanjutan. Tindakan ini dilakukan selama 45 menit. 8.8 Pada hari ke-3, peneliti melakukan evaluasi dan mengukur tingkat kesiapan pasien menghadapi pemulangan dengan membacakan kembali pernyataan-pernyataaan yang terdapat di dalam kuesioner untuk dijawab responden (post test). Tindakan ini dilakukan selama 35 menit. 8.9 Peneliti mengolah/menganalisa data yang telah terkumpul.

9. Analisa Data

Setelah dilakukan pengumpulan data, maka dilakukan analisa data, yaitu sebagai berikut :

9.1 Statistik Deskriptif Analisa deskriptif statistik digunakan untuk menyajikan data-data tentang jenis kelamin, usia, status pernikahan, suku bangsa, pendidikan terakhir, pekerjaan, diagnosa penyakit, post op hari keberapa, data pengalaman hospitalisasi dan operasi sebelumnya, serta jenis obat yang diberikan saat pasien pulang. Analisa deskriptif statistik ini juga digunakan untuk menyajikan data tentang kesiapan pasien menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan discharge planning. Data-data tersebut disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase.

9.2 Statistik Inferensial

Untuk menganalisis pengaruh discharge planning terhadap kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan, maka dilakukan dengan analisa statistik non parametrik yaitu sign rank test (Wilcoxon).

Data yang diperoleh dari kuesioner merupakan hasil pengukuran tingkat kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan discharge planning. Hasil pengukuran tersebut dibandingkan untuk menguji hipotesa penelitian sehingga dapat diketahui pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan. H0 ditolak bila nilai t lebih kecil atau sama dengan nilai t yang terdapat di dalam tabel (Budiarto, 2002).