Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

23
Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002) Aditya Dimas Putra, Abdurakhman Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas tentang bagaimana sejarah awal perusahaan Sida Mukti yang telah berdiri sejak tahun 1933 di Yogyakarta, lalu bagaimana sang pemilik perusahaan menjalankan usaha home industry nya, seperti apa sistem produksi dan pemasaran produknya kala itu. Dibahas pula perkembangan usahanya ketika pindah ke Jakarta lalu terkena relokasi untuk akhirnya mendirikan pabrik di Pekalongan. Pemilik perusahaan kemudian melakukan perubahan sistem produksi. Dalam setiap usaha pasti menemukan suatu kendala yang dapat menghambat usaha tersebut, begitu juga usaha batik Sida Mukti, faktor-faktor yang menjadi penghambat bagi usaha ini juga menjadi pembahasan dalam skripsi. Selain itu, skripsi ini juga membahas bagaimana upaya atau inovasi yang dilakukan pemilik perusahaan dalam mengembangkan usahanya, dalam hal ini Sida Mukti membuat produk house hold agar tetap dapat eksis di tengah ketatnya persaingan antar produsen batik. Kata Kunci: sejarah perusahaan; perubahan sistem produksi dan pemasaran; perkembangan usaha Development of Batik Sida Mukti Industry (1933-2002) Abstract This thesis discussed about the beginning history of Sida Mukti that already existed since 1933 in Yogyakarta, then how the owner could have run her home industry business, how was the system of production and sold the product at that time. Also discussed about the development of her business when it moved to Jakarta and had to move/relocated because of the rule from Jakarta‟s government then finally built her own factory in Pekalongan. Then the owner did a change in the system of production. In every business there must be some obstacles that could obstruct that business, same as Sida Mukti, the factors that could obstruct the business also mentioned in this thesis. Beside that, this thesis also discussed about how the owner could extend her businesses by making house hold product in order to existed in the middle of the competition among batik producer. Key Words: history of the industry; improvement of the system of production and marketing; development of business Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Transcript of Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Page 1: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Perkembangan Perusahaan Batik

Sida Mukti (1933-2002)

Aditya Dimas Putra, Abdurakhman

Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,

Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Skripsi ini membahas tentang bagaimana sejarah awal perusahaan Sida Mukti yang telah berdiri

sejak tahun 1933 di Yogyakarta, lalu bagaimana sang pemilik perusahaan menjalankan usaha

home industry nya, seperti apa sistem produksi dan pemasaran produknya kala itu. Dibahas pula

perkembangan usahanya ketika pindah ke Jakarta lalu terkena relokasi untuk akhirnya mendirikan

pabrik di Pekalongan. Pemilik perusahaan kemudian melakukan perubahan sistem produksi.

Dalam setiap usaha pasti menemukan suatu kendala yang dapat menghambat usaha tersebut,

begitu juga usaha batik Sida Mukti, faktor-faktor yang menjadi penghambat bagi usaha ini juga

menjadi pembahasan dalam skripsi. Selain itu, skripsi ini juga membahas bagaimana upaya atau

inovasi yang dilakukan pemilik perusahaan dalam mengembangkan usahanya, dalam hal ini Sida

Mukti membuat produk house hold agar tetap dapat eksis di tengah ketatnya persaingan antar

produsen batik.

Kata Kunci: sejarah perusahaan; perubahan sistem produksi dan pemasaran; perkembangan usaha

Development of Batik

Sida Mukti Industry (1933-2002)

Abstract

This thesis discussed about the beginning history of Sida Mukti that already existed since 1933 in

Yogyakarta, then how the owner could have run her home industry business, how was the system

of production and sold the product at that time. Also discussed about the development of her

business when it moved to Jakarta and had to move/relocated because of the rule from Jakarta‟s

government then finally built her own factory in Pekalongan. Then the owner did a change in the

system of production. In every business there must be some obstacles that could obstruct that

business, same as Sida Mukti, the factors that could obstruct the business also mentioned in this

thesis. Beside that, this thesis also discussed about how the owner could extend her businesses by

making house hold product in order to existed in the middle of the competition among batik

producer.

Key Words: history of the industry; improvement of the system of production and marketing;

development of business

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 2: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Pendahuluan

Batik merupakan hasil kesenian atau kerajinan tangan khas Indonesia, dapat dikatakan

merupakan icon budaya bangsa. Saat ini banyak orang yang senang dan bangga mengenakan

batik sebagai pakaian sehari-hari, saat bekerja, menghadiri pesta pernikahan, dan sebagainya.

Batik pada masa kini juga memiliki design, motif, dan warna yang bagus, unik dan menarik

yang membuat banyak orang menyukainya.

Batik adalah proses penulisan gambar atau ragam hias pada bahan dengan

menggunakan lilin sebagai alat perintang warna. Dalam bahasa Jawa, kegiatan membuat batik

disebut mbatik. Kata mbatik sendiri mempunyai pengertian yang hampir sama dengan kata

thika dalam bahasa Jawa Kuno, yang berarti menulis, melukis, atau menggambar. Dalam

kamus Belanda Van Dale Nieuw Handwoordenboek der Nederlandse Taal terdapat kata

battiken yang berarti cara orang Indonesia untuk melukisi dan mewarnai kain.1

Batik tulis telah dikenal di Jawa setidaknya sejak zaman Hindu/Buda seperti halnya

wayang dan juga gamelan.2 Meskipun demikian, belum diketahui secara pasti apakah batik itu

merupakan tradisi yang sepenuhnya dibawa bersamaan dengan masuknya Hindu Budha ke

Indonesia, ataukah batik tersebut merupakan suatu tradisi yang telah dikembangkan oleh

penduduk setempat sebelum datangnya kebudayaan tersebut. Bahkan ada pula yang

menyebutkan bahwa batik berasal dari Turki, Timur Tengah dan Cina.

Usaha batik tradisional pada awalnya berupa industri rumah tangga yang berskala

kecil yang dikerjakan oleh anggota keluarga yaitu suami, istri, dan anak-anaknya, juga

anggota keluarga yang lain. Pada sekitar akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19,

masyarakat Jawa pada khususnya hanya membuat batik di rumah mereka masing-masing

untuk konsumsi pribadi, dan masih menggunakan alat dan teknik yang sangat sederhana.

Motif dan warnanya pun masih sangat terbatas. Karena mengetahui bahwa ternyata

perdagangan batik dapat memberi keuntungan, golongan etnis Cina tertarik untuk merintis

usaha dalam bidang batik dan menjadi pengusaha batik di Jawa. Awalnya mereka hanya

berdagang untuk kalangan terbatas, yaitu untuk kebutuhan keluarga mereka sendiri. Akan

tetapi, lambat laun usaha mereka berkembang cukup pesat dan berhasil menguasai pasar.

Setelah pengusaha Cina berhasil mengembangkan usaha batik, sekitar 1840-an orang-orang

Belanda tertarik dalam usaha serupa. Mereka mulai mendirikan pabrik-pabrik untuk usaha

batik agar lebih komersial. Pada masa itu daerah pembatikan dilakukan di Yogyakarta dan

1 Dewi Yuliati. Mengungkap Sejarah & Pesona Motif Batik Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Press: 2009. hlm. 8 2 Kasijanto. “Industri Rumah Tangga di Tanah Kerajaan (Pembatikan di Yogyakarta dan Surakarta ekitar 1850-

1940)”.Laporan Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, hlm.1

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 3: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Surakarta (Solo) yang memang telah mempunyai kebudayaan membuat batik.3 Setelah itu

Pekalongan pun tumbuh menjadi pusat produksi batik yang besar perannya dalam sejarah

perbatikan Indonesia.

Dalam perjalanan waktu, salah satu perusahaan batik yang cukup terkenal bernama

batik Sida Mukti lahir di Yogyakarta yang kemudian pindah ke Jakarta, untuk akhirnya

mendirikan pabrik di kota Pekalongan yang bertahan hingga saat ini.

Dalam penelitian ini dibahas perkembangan perusahaan Batik Sida Mukti, yang

merupakan salah satu perusahaan batik tertua di Indonesia. Bagaimana sejarah awal

perusahaan tersebut, hasil produksi dan pemasarannya, juga perkembangan di dalam

pengelolaan dari generasi awal ke generasi selanjutnya hingga tetap bertahan sampai saat ini

lebih dari setengah abad.

Perusahaan batik Sida Mukti didirikan pada 1933.4 Pada mulanya merupakan usaha

rumah tangga yang berkedudukan di Yogyakarta. Perintisnya Nyonya Kwee Hok Gwan

belajar secara otodidak di samping karena hobi membatik. Pada saat awal, usaha ini belum

memiliki nama, hanya menggunakan nama pribadi Nyonya Kwee.5 Ia adalah seorang

peranakan Tionghoa. Pada awalnya hasil produksinya berupa kain jarik6,sarung dengan motif

tradisional yang biasa digunakan untuk upacara adat, seperti kain siraman calon pengantin,

kain untuk malam midodareni, pakaian pengantin, kain untuk upacara nujuh bulanan, dan

sarung untuk sunatan. Pada masa selanjutnya produknya berkembang pesat khususnya untuk

produk house hold yaitu berbagai perlengkapan rumah tangga dari batik.

Usaha batik yang bermula dari Yogyakarta ini, karena adanya situasi yang tidak

memungkinkan akibat perang di jaman penjajahan, pemilik mengungsi ke Jakarta pada sekitar

tahun 1948 dan melanjutkan usahanya disana. Berpuluh tahun kemudian di dalam upaya

untuk mengembangkan usaha, pemasaran produknya selain di Jakarta juga dikirimkan hingga

ke Bali. Turis mancanegara cukup menyukai produk house hold, sehingga berhasil

mendapatkan pemasukan yang cukup baik dari penjualannya tersebut, namun tragedi Bom

Bali tahun 2002 memberikan dampak sangat besar bagi pariwisata di Bali karena menurunnya

jumlah wisatawan asing yang datang berkunjung. Hal ini juga ikut memberikan dampak bagi

Sida Mukti yang tak lagi dapat menjual produknya kesana.

3 Harmen C Veldhuisen. Batik Belanda 1840-1940 (Pengaruh Belanda pada Batik dari Jawa Sejarah dan

Kisah-kisah di Sekitarnya. Jakarta: PT Gaya Favorit Press, 2007. Hlm. 114 4 Terbit, 21 Agustus 1996

5 Ibid

6 Kain jarik adalah kain berukuran 2,5×1,1 meter atau 2,1×1,5 meter yang dibatik dengan berbagai motif seperti

sidomukti, sidomulyo, sekar jagad, parang rusak, dan sebagainya. Fungsi utama jarik adalah sebagai penutup

tubuh bagian bawah.

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 4: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Alasan mengapa Perusahaan Batik Sida Mukti penting untuk ditulis dalam kajian

ilmiah skripsi ini adalah, karena Sida Mukti selain memproduksi batik yang banyak dijual

dipasaran seperti kain, sarung, kemeja, blouse, selendang, syall, scraft, daster, dan berbagai

model celana, Sida Mukti juga membuat produk yang sedikit sekali dibuat oleh perusahaan

lain, yakni house hold seperti serbet, taplak meja, dinner set atau perlengkapan makan, sarung

bantal, bed cover atau penutup kasur, dimana tiap-tiap produk tersebut dibuat dengan berbagai

motif, ukuran dan warna, dengan kualitas yang baik. House hold merupakan kekuatan Sida

Mukti sehingga tetap dapat eksis dan bertahan dalam persaingan batik yang semakin ketat.

Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan7,

diantaranya pengumpulan data atau heuristik, kritik terhadap sumber secara intrinsik maupun

ekstrinsik, interpretasi terhadap informasi sumber, dan penulisan karya sejarah atau

historiografi.

1. Tahapan heuristik atau tahap pengumpulan data, dalam tahapan ini penulis melakukan

pengumpulan data yang dapat digunakan sebagai sumber penulisan dalam penelitian ini.

Data-data yang diperoleh berupa sumber primer dan juga sumber sekunder. Data yang

diperoleh dari sumber primer berupa koran-koran artikel sezaman seperti Kompas yang

banyak membahas tentang ragam hias, pola, motif dan corak-corak batik Pekalongan, dan

juga koran Terbit yang menjelaskan tentang sejarah awal Batik Sida Mukti, produk-produk

apa saja yg dijual, juga bagaimana perkembangannya hingga dapat bertahan dalam waktu

yang cukuplama. Selain itu penulis juga mendapatkan data dari arsip perusahaan, dan juga

sumber lisan melalui wawancara dengan pemilik dan pegawai perusahaan. Sedangkan

data-data yang didapat dari sumber sekunder banyak dari buku dan tesis terdahulu yang

terkait dengan tema batik Pekalongan.Sumber-sumber sekunder yang digunakan dalam

tahap ini antara lain, buku Batik Belanda 1840-1940 (Dutch Influences in Batik from Java

History and Stories) yang menjelaskan tentang awal keberadaan batik dan

perkembangannya di pulau Jawa. Dijelaskan pula tentang perkembangan industri batik di

Pekalongan.Kendala yang penulis temui selama pencarian data adalah, menemukan waktu

yang cocok untuk melakukan wawancara dengan pemilik perusahaan, mengingat usianya

7 Kuntowijoyo.2005.Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Bentang,hlm. 12-17

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 5: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

sudah cukup tua yang telah menginjak 83 tahun. Kendala lainnya adalah dalam

mendapatkan data-data perusahaan, karena ini merupakan perusahaan perorangan sehingga

data-data lama mereka tidak tersimpan dengan rapih, sehingga penulis belum mendapatkan

data-data perusahaan secara maksimal. Selain itu penulis juga terkendala dalam

menemukan buku-buku yang membahas tentang batik, khususnya daerah Pekalongan.

Sebenarnya penulis disarankan oleh pembimbing untuk mencari data dari arsip, akan tetapi

terkendala dari faktor bahasa, karena semua arsip yang penulis dapatkan berbahasa

Belanda.

2. Kritik sumber, setelah berhasil mendapatkan dan mengumpulkan data-data yang relevan,

maka tahap berikutnya adalah melakukan kritik sumber, berupa pengujian terhadap data-

data dan sumber-sumber sejarah yang telah berhasil dikumpulkan. Sumber-sumber yang

telah didapatkan tadi dicek kebenarannya dan diperbandingkan satu sama lainnya,

sehingga dapat diketahui apabila ada data ataupun sumber yang isinya keliru atau tidak

didukung sumber-sumber lainnya. Kritik sumber ini dapat dilakukan dengan dua cara,

yaitu berupa kritik intern maupun ekstern. Yang dimaksud Kritik intern adalah melakukan

pemeriksaan terhadap unsur-unsur intrinsik yaitu kecocokan isi dokumen yang dikeluarkan

sebuah institusi dengan dokumen dari institusi lain, serta sumber-sumber lain seperti

artikel, koran, dan buku. Kritik ekstern dapat berupa pemeriksaan keaslian sumber terkait

apakah sumber tersebut turunan atau bukan dilihat dari tahun terbit dan kondisi materi

yang didapat.

3. Interpretasi, setelah melalui tahapan kritik penafsiran terhadap fakta sejarah yang diperoleh

dari penyaringan sumber-sumber, baik sumber primer maupun sekunder,maka tahap

selanjutnya adalah melakukan interpretasi mengenai fakta-fakta yang didapat dari sumber

terkait, fakta-fakta ini kemudian dikaitkan dengan konteks zaman serta fakta-fakta lainnya,

agar informasi yang ada di dalam data tersebut dapat dianalisis dan diberikan makna

sehingga dapat menjelaskan sebab dan akibat, serta faktor-faktor yang mempengaruhi

suatu peristiwa.

4. Historiografi, tahapan terakhir adalah historiografi atau tahapan penulisan sejarah. Setelah

mendapatkan fakta-fakta dari berbagai sumber, baik primer maupun sekunder, yang telah

di analisa dan diinterpretasi, kemudian penulis melakukan tahap akhir yaitu penulisan.

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 6: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Pembahasan

Perusahaan Batik Sida Mukti didirikan pada 1933, dan merupakan perusahaan

keluarga yang mempertahankan proses batik tradisional.8 Pada mulanya merupakan usaha

home industry, yang pada saat itu berlokasi di Yogyakarta. Perintisnya Nyonya Kwee Hok

Gwan tidak memiliki latar belakang sekolah khusus perbatikan, tetapi belajar secara otodidak

di samping hobi membatik. Saat itu usahanya masih dalam skala kecil dan prosesnya masih

sederhana.

Pada awal usahanya ini Kwee bukan tidak menemui kendala. Saat itu kendala yang

dihadapinya bukanlah berasal dari kualitas kerjanya, akan tetapi dari segi

operasionalisasinya.9 Pada saat itu Kwee hanya memiliki satu kendaraan yang digunakan

sebagai alat transportasi untuk membeli bahan-bahan batik ataupun mengantarkan pesanan

batik kepada para pelanggan. Permasalahannya adalah pada kondisi kendaraan tersebut yang

tidak terlalu baik dan seringkali mogok sehingga menjadi kendala tersendiri bagi Kwee.

Kendala lainnya adalah menyangkut jumlah produk yang dapat dihasilkannya. Hal ini

dikarenakan jumlah tenaga atau karyawan di wisma batik Kwee hanya beberapa orang saja.

Jumlah karyawan yang sedikit inilah yang menjadi kendala lainnya, karena mereka juga

memiliki keterbatasan dalam memproduksi atau menghasilkan batik dalam jumlah yang

banyak. Akibatnya saat itu Kwee tidak dapat memproduksi batik dalam jumlah yang besar,

sehingga pada awalnya mereka hanya berproduksi jika ada pesanan dari para pelanggannya

saja.

Oleh karena harga kain pada saat itu sangat mahal dan juga karena modal yang

dimiliki sedikit, Kwee tidak mampu untuk membeli kain putih untuk membatik, sehingga ia

hanya membeli bahan-bahan untuk membatik saja. Setiap satu bulan sekali, biasanya Kwee

pergi ke luar daerah seperti Purworejo, Kutoardjo, dan Purwokerto karena disana terdapat

banyak pembatik akan tetapi mereka tidak dapat memprosesnya.10

Jadi Kwee mengambil

barang yang sudah dibatik, kemudian dibawa ke rumah dan diproses, kira-kira satu bulan

kemudian setelah barang tersebut selesai diproses, selanjutnya dibawa/diberikanlah kembali

kepada supplier, barulah kemudian ia mendapat uang.

Proses pembatikan yang dilakukan Kwee saat itu masih sangat sederhana, sebagai

contoh untuk menghilangkan malam yang ada di kain pada saat itu tidak di “lorod” karena

8 Terbit, 21 Agustus 1996

9 Ibid.

10Wawancara dengan Ibu Kartikaningsih, pemilik Perusahaan Sida Mukti, Jakarta, 5 Maret 2014, pukul: 17:25

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 7: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

biaya yang mahal saat itu, tetapi dikerok pelan-pelan sampai malam terkelupas semua.11

Ia

mengikuti pakem batik dengan membuat batik tulis yang hanya menggunakan canting, lilin,

dan malam. Saat itu belum ada alat cap ataupun printing seperti sekarang, sehingga semua

pekerjaannya dilakukan hand made secara tradisional.

Pada saat itu cara pemasarannya juga masih tradisional, Kwee belum memiliki toko

sendiri yang dapat menjual barang-barang hasil produksinya, sehingga beliau harus

mengedarkannya sendiri-sendiri, ditawarkannya keliling kepada konsumen, dititipkan di

pasar-pasar, atau paling tidak mengantarkan sendiri barangnya kepada para konsumen yang

sudah memesan sebelumnya. Upaya ini dilakukan dengan harapan akan semakin banyak

orang yang mengenal produk hasil usaha Kwee, sehingga ia bisa mendapatkan tambahan

pembeli/pelanggan.

Usaha yang didirikannya ini sempat terhenti pada 1946, dikala kondisi di Yogyakarta

sudah tidak aman lagi akibat terjadi aksi agresi militer yang dilakukan oleh Belanda kala itu.

Kartika dan ibu nya, Kwee, terpaksa ikut mengungsi dengan rombongan penduduk lainnya

keluar dari daerah Yogyakarta, mereka pergi mengungsi ke sekitar Surabaya.12

Setelah

kondisi di Yogyakarta dirasa cukup aman, Kwee dan anaknya memutuskan untuk kembali

lagi kesana dan mengumpulkan bahan-bahan dan barang-barang untuk keperluan membatik.

Kwee berpikir bahwa ia harus berusaha untuk dapat mengembangkan usahanya karena hanya

dari usaha ini ia dapat mencukupi kebutuhannya dan anak-anaknya.

Pada sekitar tahun 1948, Kwee memutuskan untuk memindahkan usahanya ke Jakarta

untuk mencoba peruntungannya agar dapat mengembangkan usahanya. Saat itu ia memilih

kawasan Jatinegara (saat itu bernama Rawa Bangke, dekat Stasiun Jatinegara). Hal ini

dilakukan untuk dapat semakin memasarkan produk yang dihasilkannya.13

Ternyata

kepindahannya itu tidak sia-sia, karena pada tahun 1949, usaha batiknya akhirnya diberi

merek dagang dengan nama Sida Mukti dengan lambang Grudo. Nama itu dipakai atas usulan

seorang teman Kwee, yaitu Prof. Tjan Tjoe Siem, pakar hukum Islam dan Sinolog Universitas

Indonesia.14

Kata Sida Mukti itu sendiri berarti “semoga selamat dan bahagia”.

Pada tahun 1959, karena faktor usia dari Kwee yang sudah uzur, akhirnya pengelolaan

batik Sida Mukti ini diwariskan kepada putri bungsunya, Kartikaningsih.15

Alasan mengapa ia

yang dipilih, karena ia lah yang sejak dulu selalu bersama-sama Ibu nya, membantunya dalam

mengerjakan usaha batik ini. Pengetahuannya tentang batik juga cukup baik karena sejak 11

Ibid. 12

Wawancara dengan Ibu Kartikaningsih, Pemilik Perusahaan Sida Mukti, Jakarta, 5 Maret 2014. 13

Terbit, 21 Agustus 1996. 14

Ibid. 15

Terbit. 21 Agustus 1996

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 8: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

kecil Kwee telah mengenalkannya terhadap batik, mengajarkan dan juga melibatkan langsung

anaknya dalam kerajinan membatik tersebut, sehingga secara perlahan Kartika menjadi dekat

dan cinta terhadap dunia batik. Selain itu alasan lainnya adalah, karena hanya Kartika yang

tinggal di Jakarta, kedua kakaknya tidak ada yang menetap atau tinggal di Jakarta. Kakaknya

yang pertama tinggal di Belanda bersama suaminya, dan yang kedua tinggal di Bandung.

Sehingga dirasa akan sulit bagi mereka jika harus mengelola perusahaan batik Sida Mukti.

Pada saat usaha Sida Mukti berada di Jakarta terjadi perubahan selera konsumen

terhadap jenis batik, mereka mulai menyenangi batik dengan warna yang cerah dan pola yang

beragam, tidak lagi hanya warna coklat, hitam, dan putih seperti jenis batik Yogyakarta dan

Solo. Mulai saat itu Kartika mengubah pola, desain, dan warna produksinya mengikuti selera

konsumen, Sida Mukti mulai membuat batik dengan corak, pola, dan warna yang mengikuti

gaya Pekalongan. Para pembatik yang bekerja di Sida Mukti tidak mengalami kesulitan yang

berarti dengan terjadinya perubahan gaya batik tersebut, karena memang kebanyakan

pembatik yang didapat berasal dari Pekalongan.

Setelah menerima kepemimpinan perusahaan, Kartika mulai melakukan perubahan

dalam upaya memodernisasi usahanya. Karena ia menginginkan agar usaha batik rintisan

ibunya ini dapat semakin berkembang, sehingga ia berpikir apabila tidak ada modernisasi di

dalam usahanya ini dan masih menggunakan sistem atau cara lama yang dilakukan oleh

ibunya, akan sulit untuk berkembang. Ada beberapa unsur yang dimodernisasi oleh Kartika,

antara lain tenaga kerja, peralatan, dan bahan-bahan produksi.

Tenaga kerja mengalami proses perubahan setelah usaha Sida Mukti ini semakin

berkembang. Sebelumnya saat usaha Sida Mukti masih dalam bentuk industri rumahan dan

hanya dalam skala yang kecil, para pembatik didapat/berasal dari keluarga sendiri, saudara,

dan juga tetangga atau kerabat sekitar, karena usahanya pada saat itu juga hanya industri

rumahan kecil-kecilan. Mereka saling membantu dalam usaha membatik ini, sehingga rasa

kekeluargaan dapat terasa sangat kental di dalamnya. Namun setelah usaha ini semakin besar

tentu dibutuhkan tambahan pegawai ataupun pembatik untuk meningkatkan hasil produksi

demi upaya mengembangkan perusahaan. Setelah dilakukan proses perubahan sistem

produksi, para pekerja tidak lagi berasal dari keluarga, saudara, tetangga atau kerabat sekitar,

akan tetapi telah dilakukan sistem perekrutan tenaga kerja.

Meskipun pada awal perkembangannya setelah modernisasi, pabrik Sida Mukti berada

di Jakarta, akan tetapi perekrutan tengaga kerja atau para pengrajin batik tetaplah berasal dari

desa, bukan dari kota karena memang para pembatik yang paling potensial adalah orang-

orang desa, upah/gaji bagi para pembatik dari desa tidak terlalu tinggi jika dibandingkan

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 9: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

dengan yang berasal dari kota, disamping karena jumlah mereka yang cukup banyak.16

Selain

itu, para pembatik dari desa merupakan tenaga kerja yang terampil dan siap pakai, karena

pekerjaan membatik itu seperti telah mendarah daging, karena sejak kecil mereka telah

diajarkan untuk dekat dengan dunia batik.

Seiring dengan semakin berkembangnya usaha batik Sida Mukti, jumlah pegawai

mengalami peningkatan untuk dapat meningkatkan jumlah produksi. Bahkan ketika pabrik

Sida Mukti berada di Menteng Atas, jumlah pegawai yang dimiliki Kartika berjumlah kurang

lebih 150 orang, dan sekitar 80 orang pegawai yang bekerja di kantor pusat, Tebet.17

Pelonjakan jumlah pegawai tersebut dapat terjadi karena maraknya produk batik di pasaran

saat itu, sehingga membuat Sida Mukti membutuhkan jumlah pegawai yang banyak agar

dapat menghasilkan barang produksi dalam jumlah yang lebih besar. Sekitar tahun 1993, Sida

Mukti mampu menghasilkan kurang lebih 48.000 hasil produksi. Hasil penjualan yang

didapat diperkirakan sekitar 2,3 miliar pada tahun tersebut.18

Berdasarkan data-data tersebut

dapat menunjukkan bahwa usaha Sida Mukti sedang mengalami masa perkembangan yang

cukup baik pada saat itu.

Namun seiring berjalannya waktu, jumlah pegawai Sida Mukti berkurang cukup

banyak. Saat itu Sida Mukti telah banyak membuka counter di pusat perbelanjaan, biaya sewa

tentu akan semakin meningkat pertahunnya, dan omzet yang didapat Sida Mukti tidak sesuai

harapan, sementara Sida Mukti harus tetap berproduksi, sehingga terpaksa Kartika

mengurangi jumlah pegawainya.

Dibutuhkan kriteria dan kualifikasi tertentu untuk para pegawai di pabrik. Sida Mukti

mencari pembatik yang halus, tukang cap yang lebih terampil, pegawai tersebut didapat dari

daerah Yogya, Solo, Tulungagung, dan dari Pekalongan sendiri. Pegawai yang bertugas untuk

melakukan pewarnaan diberikan pelatihan khusus dengan dikirim untuk belajar di balai besar

batik Indonesia di Yogyakarta. Sistem perekrutan pegawai pabrik Sida Mukti dilakukan

dengan cara “ketuk‟ tular”, yaitu mencari dari mulut ke mulut dari info-info yang ada, dari

teman-teman sesama pembatik, kemudian pegawai tersebut dicoba untuk bekerja dulu,

apabila cocok dan masuk kriteria barulah pegawai tersebut dapat diterima untuk bekerja di

pabrik.

Dalam upayanya untuk mengembangkan usaha batik ini maka ia melakukan

pengelolaan usaha ini dengan baik, salah satunya dengan mendirikan kantor di Jakarta, maka

16

Teruo Sekimoto dan tim. Handicrafts and Socio-Cultural Change: A Study of Batik Making in Cirebon and

Pekalongan. Center for Japanese Studies, University of Indonesia. March, 2003. Hlm. 49 17

Majalah WTC Trade Post, September 1993. Hlm 1 18

Ibid.

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 10: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

dari itu Kartika membutuhkan karyawan baru. Ia mulai melakukan perekrutan karyawan

untuk bekerja pada bagian/divisi yang ada di kantor, seperti bagian penjualan, pembelian,

pembukuan, quality control, dan sebagainya. Rata-rata para karyawannya berasal dari Jakarta

dan sekitarnya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pekerjaannya dalam mengelola usaha

batiknya, pekerjaannya akan lebih terstruktur dengan baik dan rapih, ada masing-masing

bagian yang bertanggung jawab terhadap bidang pekerjaannya.

Selanjutnya unsur yang ikut mengalami perubahan adalah peralatan dan bahan

produksi. Sebenarnya untuk peralatan membatik tidak banyak yang berubah, karena Sida

Mukti selalu menjaga mutu dan kualitas batik tradisional yang selalu diusungnya sejak awal

perusahaan ini didirikan. Usaha batik ini mengutamakan untuk membuat kain batik tulis.

Penggunaan canting, lilin, dan malam tidak pernah lepas dari proses pembuatan batik, karena

lilin disadari berguna untuk mempertahankan keaslian dan mutu dari batik.19

Sehingga untuk

peralatan yang digunakan pun tidak banyak mengalami perubahan, akan tetapi hanya jumlah

alat dan bahan produksinya saja yang diperbanyak jumlahnya.

Alat-alat yang digunakan masih tetap sama seperti awal usaha ini berdiri, canting,

lilin, malam, dan bahan atau alat-alat lainnya untuk membuat batik tulis. Namun hanya

ditambah dengan alat cap karena batik cap sudah mulai banyak beredar dan laku di pasaran

karena harganya yang lebih murah.

Melihat hal tersebut, kemudian Sida Mukti tidak mau kalah dalam persaingan dan

memutuskan untuk ikut memproduksi batik cap, meski jumlahnya tidak terlalu banyak.

Meskipun begitu, Sida Mukti tidak benar-benar mengaplikasikan ataupun membuat batik

yang hanya menggunakan atau mengandalkan teknik cap, akan tetapi tetap menggabungkan

atau mengkombinasikannya dengan teknik tulis yang menggunakan canting. Hal ini dilakukan

karena apabila hanya menggunakan teknik cap, hasil dan mutu yang akan didapat tidak akan

sebaik jika menggunakan teknik tulis menggunakan canting. Kartika kemudian menambah

alat produksi baru seperti alat cap untuk memproduksi kain atau produk lain agar menghemat

waktu produksi dan dapat menghasilkan produk dalam skala yang lebih banyak.

Dulu proses membatik benar-benar dilakukan dengan menggunakan teknik tulis yang

semua prosesnya menggunakan tangan, tidak ada yang menggunakan mesin dalam proses

pengerjaan batiknya, sehingga dapat memakan waktu dan biaya yang banyak. Akan tetapi

yang terjadi sekarang adalah, banyak orang yang hanya mencari mudahnya saja, banyak yang

19

Terbit, 21 Agustus 1996.

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 11: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

telah memproduksi batik printing, karena untuk memproduksi jenis batik ini jauh lebih mudah

dan efisien baik secara waktu dan biaya dibandingkan dengan membuat batik tulis.20

Sistem usaha yang sebelumnya hanya berupa industri kecil rumahan, juga ikut

mengalami perubahan. Usaha Sida Mukti telah berkembang menjadi industri pabrik. Proses

modernisasi dari yang sebelumnya hanya berupa usaha kecil rumahan di Yogyakarta, hingga

berubah menjadi industri pabrik dan memiliki pabrik yang kini berada di Pekalongan juga

mempunya cerita tersendiri.

Pada tahun 1995, pabrik Sida Mukti harus pindah dari daerah Menteng Atas, karena

saat itu lokasi tersebut terkena proyek relokasi, sesuai kebijakan pemerintah kota Jakarta atas

tidak diberikannya izin perpanjangan usaha pabrik di tengah kota.21

Kemudian Kartika

memilih kota Pekalongan untuk mendirikan pabrik. Alasannya, karena pada saat itu harga

tanah disana masih terbilang murah bila dibandingkan dengan harga tanah di Jakarta dan

sekitarnya. Alasan lainnya karena banyak tenaga kerja atau pembatik yang terampil berasal

dari Pekalongan, sehingga tidak akan sulit untuk mencari tenaga kerja atau pembatik untuk

bekerja di Pabrik. Air disana juga baik untuk proses produksi.

Pabrik Sida Mukti terletak di Jalan Ir. Sutami, RT 05, RW03, Kel/Desa Sokorejo,

Pekalongan Timur.22

Pabrik ini berdiri di atas lahan seluas 7000 meter persegi. Terdapat

halaman yang tidak terlalu besar namun cukup cantik dengan pohon dan bunga yang tertanam

rapi dan indah di depan pabrik. Di dalam pabrik terdapat semua peralatan dan bahan produksi

mulai dari canting, lilin, malam, alat cap, wadah besar untuk merebus kain, wadah untuk

melakukan pewarnaan, tempat untuk penjemuran bahan mori, dan sebagainya. Nyonya

Kartika selaku pemilik perusahaan ini harus datang mengunjungi pabrik paling tidak satu atau

dua bulan sekali untuk mengecek/mengontrol pekerjaan di pabrik. Biasanya ia pergi ke

Pekalongan menggunakan mobil kantor atau dengan kereta.

Suasana pedesaan masih dapat terasa disana, karena masih terdapat areal persawahan

di sekitar pabrik. Lokasi pabrik dahulu sangat dekat dengan terminal bus, yang sekarang telah

pindah sedikit lebih jauh, selain itu terdapat pula pasar yang letaknya tidak terlalu jauh dari

pabrik. Hingga kini pabrik Sida Mukti tetap berada di Pekalongan.

Untuk membuat satu kain batik yang baik dan berkualitas dibutuhkan suatu proses

yang panjang dan tidak mudah, ada berbagai macam proses di dalam memproduksinya. Untuk

pengerjaan satu kain yang biasa saja, ada sekitar 5 sampai 6 proses pengerjaan, sedangkan

apabila kain batik tersebut ingin di “soga” atau mewarnai motif atau bagian yang berwarna

20

Wawancara dengan Mas Slamet, pegawai di Pabrik Sida Mukti, Pekalongan, 4 Mei 2014. 21

Terbit, 21 Agustus 1996. Hlm.7 22

Melihat langsung di lokasi Pabrik Sida Mukti, Pekalongan.

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 12: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

putih karena sebelumnya ditutup oleh malam, dapat membutuhkan sekitar 9 sampai 12 proses

tergantung kerumitan pengerjaannya.23

Saya akan mencoba menjelaskan bagaimana proses

pembuatan batik tersebut secara singkat.

Pertama, bahan/kain mori putih direbus untuk menghilangkan zat-zat kimia yang

menempel dan terbawa dari pabrik, kemudian bahan tersebut dijemur. Setelah kering kain

tersebut dihaluskan permukaannya. Cara penghalusannya bukan di setrika atau diratakan

begitu saja, akan tetapi tiap gulungan bahan tadi dipukuli dengan kayu.24

Proses penghalusan

ini dalam bahasa/istilah Jawanya disebut “dikemplong”, atau dapat juga di press, hal ini

dilakukan agar permukaan bahan menjadi rata sehingga pada saat pewarnaan warna akan

menyerap ke dalam kain tersebut dengan sempurna.

Setelah itu, dibentuk pola-pola pada bahan mori. Kemudian bahan mori dicap

pinggirnya, setelah itu barulah dicap bagian tengah dengan alat cap yang memiliki berbagai

macam motif-motif batik. Akan tetapi tidak selalu harus melalui tahap cap di sisi kain, karena

hal itu tergantung dari pesanan atau dari barang yang akan diproduksi.

Setelah selesai dicap kemudian proses selanjutnya adalah dikelir atau diberikan warna

dasar pada kain, akan tetapi bisa juga dicolet terlebih dahulu tergantung dari selera atau

pesanan, colet merupakan proses pengisian warna pada bahan mori yang telah dicap

sebelumnya, dengan cara dilukis dengan menggunakan kuas ataupun kayu yang telah

diruncingkan.25

Gambar 1. Proses pencoletan pada bahan mori

23 Saya sendiri telah pergi ke pabrik Sida Mukti yang berada di Pekalongan untuk melihat, memperhatikan, dan

juga mencoba membuat satu kain batik, dan memang benar untuk membuatnya harus melalui proses yang

cukup panjang sehingga saya dapat mengerti betapa rumitnya proses pengerjaan batik itu. 23

Wawancara dengan Mas Slamet, pegawai di Pabrik Sida Mukti. Lokasi wawacara di pabrik Sida Mukti, pada

hari Minggu, tanggal 4 Mei 2014. 24

Koran: Terbit.Rabu, 21 Agustus 1996. Hlm.7 25

Wawancara dengan Mas Slamet. Op.Cit.

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 13: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Setelah dicolet kemudian bahan mori tersebut direndam menggunakan air yang telah

dicampur dengan bahan kimia tepol, fungsi/guna dari direndamnya bahan mori ke dalam air

yang telah dicampur bahan kimia tersebut adalah untuk menimbulkan warna pada bahan mori

yang telah dicolet sebelumnya.26

Kemudian bahan mori itu dijemur hingga kering, setelah

kering apabila ada warna yang ingin dipertahankan maka ditutup lagi dengan cara menaruh

lilin panas dengan menggunakan canting di atas warna yang ingin dipertahankan atau dibatik.

Setelah itu barulah dilakukan pewarnaan dasar atau pengeliran seluruh permukaan

bahan mori dengan cara dicelupkan ke cairan pewarna berkali-kali, diangkat-dicelup hingga

beberapa kali, yang dalam bahasa batik disebut “slerek” sehingga secara keseluruhan bahan

batik tersebut telah tertutup warna dasar.

Gambar 2. Proses pewarnaan dasar pada kain

Agar warna itu dapat bertahan maka dilakukanlah penguncian warna, karena pewarna

menggunakan bahan pewarna naptol maka proses penguncian warnanya menggunakan air

dengan campuran garam.27

Maka keluarlah warna yang diinginkan dan menjadi warna

tetap/tidak luntur. Setelah itu kain batik di “lorod” atau dimasukkan ke dalam air panas untuk

menghilangkan lilin/malam yang tadi menutupi sebahagian motif pada bahan tersebut.

Setelah itu kain tersebut diangkat, maka seluruh lapisan malam yang tadi melekat pada

kain sudah terlepas, dan kain batik telah siap dicuci di air biasa/tidak panas, kemudian

dijemur kembali pada tempat yang aman dan tidak terkena cahaya matahari langsung agar

kain tidak rusak dan juga warna ataupun motif pada kain tersebut tidak rusak atau cepat

pudar.28

Setelah kering bahan tersebut telah menjadi bahan batik sepenuhnya dan dapat

dipergunakan sesuai dengan fungsinya, dan juga siap untuk dijual.

26

Ibid. 27

Wawancara dengan Mas Slamet. Pegawai di Pabrik Sida Mukti. Ibid. 28

Terbit. Op.Cit.

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 14: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Dari segi pemasaran hasil-hasil produksinya juga tentu mengalami perubahan. Apabila

sebelumnya cara pemasaran barangnya diantarkan kepada konsumen/pembelinya atau

ditawarkan berkeliling, dan juga menitipkan di pasar-pasar tradisional, setelah adanya

modernisasi cara pemasaran hasil produksinya sudah pasti tidak lagi menggunakan cara

seperti itu. Kini cara pemasaran produk dikirim menggunakan paket dari pabrik di

Pekalongan ke kantor pusat yang berada di Jakarta, dari sana barulah kemudian barang-barang

tersebut di distribusikan ke outlet-outlet/toko Sida Mukti yang berada di pusat-pusat

perbelanjaan.

Dalam perjalanan karir dan bisnisnya, Batik Sida Mukti pernah menghasilkan atau

menciptakan prestasi yang sangat membanggakan. Pada tahun 1949, berkat kekhasan yang

dimiliki Sida Mukti, produk-produknya berhasil dipercaya dan mendapatkan pesanan yang

datangnya dari Ibu Muhammad Hatta, isteri Wakil Presiden RI.29

Pesanannya tersebut

kemudian dijadikan sebagai cindera mata bagi para tamu kenegaraan yang datang ke Istana

Negara. Namun, sejak 1960-an Sida Mukti tidak pernah mendapatkan pesanan lagi dari dari

orang-orang penting di dalam pemerintahan. Pasalnya, saat itu telah banyak produsen-

produsen batik lain yang bermunculan, dan pemerintah memiliki langganan mereka tersendiri.

Walaupun begitu, Sida Mukti tetap menekankan kualitas dan tidak menyampingkan unsur

seni yang selalu dijaga dan dipegang teguh oleh Sida Mukti, bahkan hingga sekarang. Itu

sebabnya, dalam pembuatan batiknya dilakukan secara tradisional daripada menggunakan

mesin.

Sida Mukti dalam membangun dan menjalankan usahanya sebagai produsen batik

tentu menemui banyak tantangan. Tantangan yang dimaksud disini adalah banyaknya

produsen-produsen batik lain yang mulai bermunculan dan tersebar luas di Jakarta. Hal ini tak

pelak turut meramaikan persaingan di dalam bisnis batik di Jakarta. Sida Mukti jelas menemui

tantangan yang cukup berat agar dapat bertahan, mereka harus memiliki ciri khas ataupun

melakukan inovasi dan cara-cara lain agar tetap dapat eksis dan bertahan di kancah dunia

perbatikan, khususnya di Jakarta.

Kartika akhirnya berhasil menemukan/mendapatkan satu ide untuk membuat dan

memproduksi house hold seperti taplak meja, serbet, bed cover, sarung bantal, dinner set, dan

lain sebagainya untuk bahan dekorasi ruangan rumah maupun kantor. Ia begitu jeli dalam

memikirkan hal tersebut, karena melihat dan memperhatikan bagaimana para kompetitor

usahanya dalam menjual barang-barangnya yang kebanyakan hanya menjual kain dan busana

pria dan wanita yang beragam, akan tetapi belum ada yang memproduksi dan menjual house

29

Terbit, 21 Agustus 1996.

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 15: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

hold atau perlengkapan rumah tangga yang terbuat dari batik. Ia melakukan hal ini dengan

tujuan agar dapat menghadapi persaingan antar produsen batik yang semakin ketat, dengan

cara menciptakan atau membuat sesuatu yang baru dengan mutu dan kualitas yang baik, corak

dan motif yang beragam dan warna-warna yang cerah. Ia berharap dengan melakukan hal ini

akan banyak konsumen yang datang ke toko dan membeli barang-barang produksinya.

Sida Mukti juga benar-benar memperhatikan setiap detail dari produknya, proses

pewarnaannya juga dilakukan dua kali secara bolak-balik sehingga warna yang dihasilkan

akan bagus. Hal ini yang menjadi keunggulan dari Sida Mukti dan juga membuat produknya,

terutama house hold, laku di pasaran. Memang harga yang ditawarkan oleh Sida Mukti untuk

produk house hold nya terbilang cukup mahal, untuk sebuah bed cover saja harganya

mencapai Rp 2,2 juta, harga yang mungkin tidak semua orang akan membayarnya hanya

untuk membeli sebuah bed cover. Meskipun begitu Sida Mukti tetap memiliki pangsa

pasarnya tersendiri. Menurut penuturan Ibu Sulistiarini selaku manajer perusahaan, banyak

wisatawan/turis asing yang menyenangi dan membeli produk house hold ini, biasanya mereka

membeli dalam jumlah yang banyak untuk dibawa ke negara asal mereka sebagai oleh-oleh.30

Kartika banyak melakukan ekspansi untuk menjual produk-produknya agar dapat

semakin mengembangkan usahanya dengan cara membuka counter/outlet di beberapa pusat

perbelanjaan di Jakarta dan sekitarnya, diantaranya adalah Sarinah, Plaza Senayan, Grand

Indonesia dan Pasaraya Blok M, hingga sekarang outlet Sida Mukti tetap eksis dan dapat

bertahan disana.

Produk house hold Sida Mukti juga banyak diminati oleh para turis mancanegara

ataupun ekspatriat yang sedang berada di Jakarta. Melihat dan mempelajari dari adanya minat

dan ketertarikan orang asing untuk membeli barang-barang produksinya, kemudian Sida

Mukti mencoba peruntungannya untuk menjual produknya ke Bali, karena Sida Mukti melihat

adanya peluang untuk menjual barang-barang hasil produksinya kesana, dimana Pulau Bali

adalah tempat wisata yang terkenal di Indonesia dan banyak terdapat wisatawan asing yang

berlibur kesana, dan mungkin akan tertarik untuk membeli produk Sida Mukti.

Cara yang dilakukan Sida Mukti cukup berhasil, mereka mendapatkan omzet yang

cukup banyak dari hasil penjualan barang produksinya ke Bali. Banyak wisatawan asing yang

tertarik dan membeli produk Sida Mukti, mereka membelinya sebagai cindera mata atau oleh-

oleh yang akan dibawa ke kampung halaman mereka masing-masing. Setidaknya hal ini terus

berlangsung hingga tahun 2002, sebelum terjadinya tragedi Bom Bali 1 yang sangat

berpengaruh terhadap Batik Sida Mukti.

30

Wawancara dengan Ibu Sulistiarini, manajer perusahaan, Jakarta, 6 Juli 2014.

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 16: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Tragedi Bom Bali I memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap menurunnya

jumlah wisatawan asing yang datang kesana sehingga berpengaruh terhadap pemasukan kota

Bali, berdampak pula terhadap pedagang yang ada disana, toko-toko souvenir yang biasanya

ramai dikunjungi wisatawan asing kini sepi pegunjung. Hal tersebut juga ikut memberikan

pengaruh terhadap Sida Mukti yang tidak dapat lagi menjual produk-produknya kesana.

Setelah berhentinya pengiriman dan penjualan barang ke Bali pasca tragedi bom tersebut,

omset atau pemasukan yang didapat Sida Mukti menurun cukup drastis, karena memang Sida

Mukti mendapatkan hasil penjualan yang cukup besar dari sana.

Sumber: Data perusahaan Sida Mukti

No Tahun Total pendapatan Jumlah pegawai

(kantor + pabrik)

Total

Produksi

Perkiraan Pertumbuhan

Penjualan

1 1996 760.014.000 21+31 = 52 3.050

2 1997 780.050.000 21+31 = 52 3.120

3 1998 821.000.000 21+31 = 52 2.736

4 1999 1.339.000.000 21+31 = 52 2.820 2.052.500.000

5 2000 1.345.000.000 21+31 = 52 2.830 2.105.865.000

6 2001 1.362.000.000 21+31 = 52 2.867 2.160.617.000

7 2002 1.130.000.000 21+31 = 52 2.150 2.216.800.000

8 2003 1.120.000.000 21+31 = 52 2.130 2.274.400.000

9 2004 1.412.000.000 21+31 = 52 2.680 2.333.564.000

10 2005 2.599.000.000 28+28 = 56 5.190 2.394.237.000

11 2006 2.545.000.000 28+28 = 56 4.625

12 2007 2.671.000.000 28+28 = 56 4.850

13 2008 2.970.000.000 32+26 = 58 5.160

14 2009 2.974.000.000 42+30 = 72 5.170

15 2010 3.577.000.000 41+30 = 71 5.900

16 2011 3.427.000.000 34+30 = 64 5.711

17 2012 3.612.000.000 37+30 = 67 5.760

Note: Pada tahun 1998-1999 harga dinaikkan bertahap sampai 250%, karena keadaan ekonomi setelah

peristiwa Mei.

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 17: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Sida Mukti sebenarnya telah mengalami kemunduran dalam total pendapatannya pada

tahun 1999 pasca terjadinya peristiwa kerusuhan Mei saat itu. Kartika sampai menaikkan

harga penjualan hingga 250% secara bertahap karena harga dollar saat itu juga mengalami

kenaikan sangat tajam dari 2.500 menjadi 15.000 US$. Akan tetapi tetap saja Sida Mukti

tidak mampu mendapatkan omzet/pemasukan sesuai yang diharapkan. Dapat dilihat dalam

tabel, seharusnya apabila ingin mendapatkan omzet yang stabil, pada tahun 1999 Sida Mukti

mendapatkan Rp 2.052.500.000, akan tetapi seperti yang terlihat di tabel omzet yang didapat

pada tahun tersebut hanya Rp1.339.000.000, jadi dapat dikatakan Sida Mukti mengalami

penurunan pendapatan pada tahun tersebut. Meskipun begitu tetapi tidak terlalu berpengaruh

terhadap hasil produksinya, dapat dilihat dalam tabel hasil produksinya dapat dikatakan stabil.

Pendapatan yang diperoleh Sida Mukti semakin mengalami penurunan, puncaknya

pada tahun 2002 dimana terjadi peristiwa Bom Bali saat itu. Hasil produksi Sida Mukti

menurun cukup tajam dari sebelumnya mampu menghasilkan 2.867 buah pada 2001, turun

menjadi 2.150 pada tahun berikutnya. Total pendapatan pada tahun itu juga mengalami

penurunan yang cukup tajam, yang seharusnya Sida Mukti bisa mendapatkan pemasukan

sebesar Rp 2.216.800.000, akan tetapi hanya mendapatkan Rp 1.130.000.000. Angka tersebut

juga apabila dilihat mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, pada 2001 Sida Mukti

memperoleh total penjualan sebesar Rp 1.362.000.000. Keadaan ini berlangsung cukup lama

hingga tahun 2004. Baru pada tahun 2005 omzet yang didapat Sida Mukti mengalami

peningkatan yang cukup besar, begitu pula dengan jumlah produksi yang mampu

dihasilkannya.

Akibat dari penurunan omzet pasca tragedi Bom Bali, Sida Mukti terpaksa harus

menutup beberapa outlet mereka di sejumlah pusat perbelanjaan. Seperti di Metropolitan Mall

Bekasi, Ramayana Surya Kencana Bogor, Ramayana Depok, dan Ramayana Tanah

Abang.Sida Mukti terpaksa menutup semua counter nya disana.

Dampak dari tragedi Bom Bali tersebut tidak sampai membuat Sida Mukti collaps dan

memberhentikan satupun pegawainya. Sida Mukti masih dapat bertahan dan meneruskan

usahanya. Hal ini dapat terjadi karena selama ini tidak pernah melakukan pinjaman uang

kepada bank untuk tambahan modalnya, semuanya menggunakan modal sendiri, sehingga

ketika terjadi suatu peristiwa seperti Bom Bali, Sida Mukti tidak memiliki tanggungan hutang

yang harus dibayar oleh mereka, sehingga tetap dapat meneruskan dan mengembangkan

usahanya meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat memulihkan

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 18: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

keadaan/kondisi keuangan Sida Mukti, tetapi setidaknya tidak sampai membuat usaha batik

ini bangkrut atau berhenti memproduksi. 31

Berkat kegigihan dan usaha yang dilakukan oleh Kartika dalam membangun usaha

batik ini, dan juga cara-cara ataupun inovasi baru yang ditawarkan oleh Sida Mukti, seperti

dengan cara menjual house hold, berhasil menjadikan produk tersebut sebagai produk

unggulan dari Sida Mukti. Hal ini membuat batik Sida Mukti dapat berkembang dan dapat

terus bertahan dalam ketatnya persaingan bisnis batik di Jakarta, bahkan Sida Mukti dapat

terus melanjutkan usahanya dan bertahan hingga sekarang.

Kesimpulan

Perusahaan Batik Sida mukti yang berawal dari usaha home industry seorang janda

untuk bertahan hidup demi mencukupi kebutuhan keluarga dengan tiga orang anak

perempuan yang masih kecil, dengan semangat dan kegigihan serta keuletan ternyata tidak

saja hanya mampu mencukupi keluarga namun pada akhirnya dapat memberikan lapangan

pekerjaan bagi orang banyak tanpa sedikitpun mendapat bimbingan atau arahan apalagi modal

kerja dari lembaga terkait. Hal ini membuktikan bahwa usaha batik dengan kualitas yang

bagus dan mempunyai ciri khas didalam setiap produk house holdnya mempunyai peluang

pasar yang cukup bagus baik oleh customer lokal maupun customer asing.

Pada awalnya usaha kecil ini hanya dapat membuat sedikit sekali produk batik,

dikarenakan sarana dan prasarana yang terbatas, namun dengan seiring perjalanan waktu

peminat batik semakin bertambah, dan produk perlengkapan rumah tangga dari batik yang

pada awalnya hanya dianggap sebagai barang murahan kuno yang tidak bermutu lambat laun

naik citranya menjadi kebutuhan dibanyak rumah tangga. Permintaan pasar semakin

meningkat, tanpa disadari dan direncanakan terjadilah pertumbuhan dan perkembangan dari

perusaan batik Sida Mukti. Sedikit demi sedikit karyawan ditambah dengan sistem getuk’

tular atau dari mulut kemulut, dan akhirnya bengkel kerja sempit dan kecil di Jatinegara

dapat dipindah ke bangunan yang jauh lebih besar di daerah Menteng Atas Minangkabau.

Peralatan pembatikan pun diperbanyak seperti alat canting dan cap, disertai pembuatan

tempat-tempat pelorotan dan pewarnaan yang memadai, juga tempat penjemuran yang luas.

Pabrik Sida Mukti terpaksa harus pindah dari Jakarta karena adanya peraturan dari

pemerintah kota untuk merelokasi pabrik dari daerah Jakarta. Akhirnya pemilik perusahaan

31

Wawancara dengan Ibu Sulistiarini. Ibid.

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 19: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

mencari daerah lain sebagai tempat untuk mendirikan pabriknya, dan kota Pekalongan lah

yang dipilih. Alasannya karena terdapat banyak tenaga pembatik yang terampil, selain itu air

yang terdapat disana cocok untuk digunakan dalam proses pembatikan. Peralatan-peralatan

membatik ikut dibawa semuanya ke Pekalongan.

Pasar yang semula hanya dari kalangan tertentu mulai berkembang menjadi toko di

tebet, kemudian banyak mall di Jakarta menawarkan untuk mengisi gerai mereka, sehingga

dibutuhkan lebih banyak lagi pegawai selain untuk produksi juga sebagai tenaga pemasaran.

Dilatihlah para SPG (Sales Promotion Girl) dalam hal pengetahuan dasar batik, sistim

pelayanan yang baik dan sebagainya, hal ini tentunya tidak dapat dikerjakan sendiri oleh

pemilik yang mempunyai dasar pengetahuan marketing yang terbatas, jasa konsultan

dibutuhkan dalam hal ini. Konsultan pun memberikan masukan untuk management yang lebih

baik, sistem komputerisasi untuk administrasi dan bank juga jasa lainnya. Akhirnya Sida

Mukti dapat berkembang menjadi satu perusahaan yang cukup besar dan tangguh.

Pada dasarnya perkembangan penjualan batik sida mukti selalu naik dari tahun

ketahun, namun pada saat terjadi kerusuhan Mei 1998 penjualan dirasakan sangat anjlok

sekali dimana omzet penjualan menurun, yang seharusnya Sida Mukti mampu mendapatkan

omzet Rp 2.052.000.000, hanya bisa mendapatkan 1.339.000.000, hal ini disebabkan karena

keadaan ekonomi yang tidak menentu dimana 1 dollar dengan nilai tukar Rp.2.500,- melonjak

hingga lebih dari Rp.10.000,- dilain hal suku bunga deposito meroket mencapai 60%.

Keadaan yang dapat disebut chaos. Sida Mukti sendiri didalam keadaan ini menjadi sangat

bingung, satu hal omzet penjualan yang menurun di lain hal semua bahan baku naik berlipat

lipat harganya dan anehnya barangnya kosong/tidak ada, produsen hanya memberi harga.

Ditengah kekacauan ini Sida Mukti mengambil tindakan untuk menaikkan harga jual batik

secara bertahap dengan total menjadi 250%, tentu saja ini sangat menghambat penjualan, para

SPG harus berjuang keras untuk dapat menjual produk Sida Mukti. Untunglah dengan

melemahnya nilai tukar dolar, turis asing dan para pekerja asing di jakarta justru banyak

memborong batik disebabkan nilai tukar mereka yang tinggi. Inilah yang sedikit membantu

Sida Mukti didalam masa kesulitan tersebut. Masa sulit ini tidak cepat berakhir diperlukan

beberapa tahun untuk memulihkannya, namun beruntung bahwa Sida Mukti tidak mempunyai

pinjaman atau hutang bank sehingga tidak terlalu terpuruk dan tetap dapat mempertahankan

para pegawainya tanpa harus melakukan PHK sehingga tetap eksis. Kesulitan lain terjadi lagi

di tahun 2002 pada saat terjadi tragedi Bom Bali, turis asing hampir tidak datang keIndonesia,

namun Sida Mukti tetap dapat bertahan dengan counter-counter yang tersebar di Jakarta.

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 20: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Saat ini Sida Mukti mencapai masa keemasannya dimana seluruh elemen kegiatannya

telah dengan sistimatis diatur rapih, mulai dari persiapan bahan baku, proses produksi,

kontroling mutu, pengembangan motif dan model produk, penjualan, administrsi keuangan

dan perbankan. Sehingga tidak ada kekhawatiran bagi pemilik dan para pegawai untuk dapat

terus melanjutkan perusahaan Batik Sida Mukti.

Daftar Referensi

1. Sumber Buku

Chotim, Erna Ermawati. Subkontak dan Implikasinya terhadap Pekerja Perempuan (Kasus

Industri Kecil Batik Pekalongan). Bandung: Yayasan Akatiga. 1994

Cribb, Robert & Audrey Kahin. Kamus Sejarah Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.

2012

Dewi, Citra Samara. dkk. „Batik Dekod’ Pengembangan Motif Batik Pekalongan di Tengah

Industri Kreatif. Pekalongan: Pemerintah Kota Pekalongan. 2011

Djoemena, S. Nian.Ungkapan Sehelai Batik, Its Mystery and Meaning. Jakarta: Penerbit

Djambatan. 1990

Drs. Hamzuri. Batik Klasik. Penerbit: Jambatan. 1981

Kerjasama Penelitian antara Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia dengan Institute of

Social Science & Institute of Oriental Culture. Trusmi, Desa Batik Cirebon (Studi

Sosial Budaya Mengenai Keberadaan Kerajinan Batik Tradisional. Depok: 2005

Marzuki, Jazir dan tim. Batik (Pola dan Tjorak). Jakarta: Djambatan. 1966

Sekimoto, Teruo dan tim. Handicraft and Socio-Cultural Change: A Study of Batik Making

in Cirebon and Pekalongan. Center for Japanese Studies University of Indonesia.

Maret, 2003.

Soedarmono.Mbok Mose, Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal Abad 20. Jakarta:

Yayasan Warna-rarni Indonesia. 2006

Taylor, Jean Gelman. Kehidupan Sosial di Batavia. Masup Jakarta. 2009

Tim peneliti dari Museum Tekstil Jakarta. The Jakarta Textile Museum. Jakarta: PT

Jayakarta Agung Offset. 1998

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 21: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Veldhuisen, Harmen C. Batik Belanda 1840-1940 (Pengaruh Belanda pada Batik dari

Jawa Sejarah dan Kisah-kisah di Sekitarnya. Jakarta: PT Gaya Favorit Press. 2007

Yuliati, Dewi. Mengungkap Sejarah & Pesona Motif Batik Semarang. Badan Penerbit

Universitas Diponegoro Press: 2009.

2. Hasil Penelitian

Sastrodinomo, Kasijanto. Industri Rumah Tangga di Tanah Kerajaan (Pembatikan di

Yogyakarta dan Surakarta Sekitar 1850-1940). Laporan Penelitian. 1992

3. Sumber Koran dan majalah

Kompas, Minggu, 28 November 1993

Kompas, Jumat, 23 April 2004

Kompas, Minggu, 30 November 1997

Kompas, Jumat, 16 Maret 2001

Kompas, Kamis, 15 April 2004

Majalah WTC Trade Post, September 1993

Terbit, Rabu, 21 Agustus 1996

4. Wawancara

1. Nyonya Kartikaningsih, 83 tahun, pemilik perusahaan Batik Sida Mukti. (Wawancara

dilakukan pada tanggal 5 Maret 2014, di kantor Sida Mukti)

2. Ibu Sulistiarini, 50 tahun, wakil pimpinan perusahaan Batik Sida Mukti. (Wawancara

dilakukan pada 19 Maret, 12 Mei, 3 Juni, di kantor Sida Mukti)

3. Mas Slamet, 55 tahun, karyawan pabrik Sida Mukti, ahli dalam bidang pencampuran

warna. (Wawancara dilakukan pada tanggal 4 Mei 2014, di pabrik Sida Mukti)

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 22: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014

Page 23: Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)

Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014