efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

269
EFISIENSI DAN NILAI KEBERLANJUTAN USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI DI PROVINSI JAWA BARAT WINI NAHRAENI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Transcript of efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

Page 1: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

EFISIENSI DAN NILAI KEBERLANJUTAN USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI

DI PROVINSI JAWA BARAT

WINI NAHRAENI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

Page 2: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...
Page 3: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam

disertasi saya ini yang berjudul:

EFISIENSI DAN NILAI KEBERLANJUTAN

USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI

DI PROVINSI JAWA BARAT

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan

dan arahan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan

rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada

program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang

digunakan telah dinyatakan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2012

Wini Nahraeni NRP. H.363070081

Page 4: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...
Page 5: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

ABSTRACT

WINI NAHRAENI. Efficiency and Sustainable Value of Highland Vegetables in West Java. (SRI HARTOYO, as a Chairman, YUSMAN SYAUKAT, and KUNTJORO, as Members of The Advisory Committee).

The goals of this research are to estimate technical, allocation, and economic efficiencies of highland potatoes and cabbage, to identify the factors affecting those efficiencies, and to estimate the sustainable values of those crops. The research is conducted in Bandung and Garut district by doing a survey to 200 selected farmers. The data are then analyzed using Frontier 4.1. program. The result of this study indicated that (1) land area is the most important resource, land slope significantly affect productivities of both potatoes and cabbage while chemical fertilizers (N, P, and K), pesticide, and labor do not significantly affect productivities of both potatoes and cabbage, (2) efficiencies of both crops are significantly affected by farmers age, experience, group membership, frequencies of extention, access to credit, land ownership status and planting system, (3) sustainable value of the farms are significantly affected by the land slope and types of planting system. The farmers efficiencies could be improved by providing training programs to improve their managerial capability and to control land degradation (erosion) Key words: production, efficiency, sustainability

Page 6: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...
Page 7: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

RINGKASAN

WINI NAHRAENI. Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi di Provinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan SRI HARTOYO, sebagai Ketua, YUSMAN SYAUKAT dan KUNTJORO sebagai Anggota).

Sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting. Pada tahun 2011, perekonomian nasional tumbuh sebesar 6.5 persen dibandingkan dengan tahun 2010 (BPS, 2012a) yang didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian sebesar 3.6 persen dan sektor pertanian menyumbang 14.7 persen terhadap PDB nasional. Rata-rata sumbangan sektor pertanian sejak tahun 2009-2011 meningkat sebesar 15.1 persen (BPS, 2012a). Berdasarkan data BPS (2012b) sekitar 41,2 juta masyarakat Indonesia terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan pertanian dan sektor pertanian masih menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja di Indonesia dngan peningkatan sebesar 1,9 juta orang (4,75 persen) dibandingkan dengan tahun 2011.

Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang strategis dan penting karena perannya sebagai komponen utama Pola Pangan Harapan. Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Peningkatan produksi sayuran selama kurun waktu tahun 2006-2010 rata-rata 2.7 persen. Di sisi lain, data BPS (2009) menunjukkan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih rendah (43.5kg/kapita/tahun) dibandingkan dengan konsumsi yang direkomendasikan oleh FAO (75 kg /kapita /tahun). Hal ini menjadi peluang yang besar untuk mengembangkan sayuran.

Usahatani sayuran dataran tinggi diusahakan di lahan kering yang tersebar dengan kondisi kemiringan lereng yang bervariasi. Hal ini menyebabkan produksi kentang dan kubis bervariasi. Penerapan teknik konservasi tanah pada usahatani sayuran dataran tinggi masih rendah. Pada saat ini, pertanian sayuran di lahan pegunungan dihadapkan pada masalah pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan sehingga menyebabkan usahatani relatif tidak efisien. Tekanan populasi berakibat pada intensifikasi pada tanaman sayuran dan meningkatkan degradasi lingkungan. Hal lainnya adalah kecilnya kepemilikan lahan usahatani dan status kepemilikan, serta keterbatasan modal sehingga sayuran yang dihasilkan menjadi tidak optimal. Selain lahan, faktor sumber daya manusia khususnya dikaitkan dengan kapabilitas manajerial petani juga menyebabkan inefisiensi produksi. Kapabilitas manajerial petani ini akan menentukan rasionalitas petani dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya.

Selanjutnya masalah yang terjadi adalah degradasi lahan dan erosi yang berlangsung terus. Katharina (2007) memprediksi besarnya erosi dalam jangka panjang di daerah Pangalengan berdasarkan sistem penanaman. Besarnya erosi yang terjadi pada penanaman searah lereng, searah kontur, dan teras bangku berturut-turut sebesar 13 – 17 ton/ha/tahun, 9.6 – 12.6 ton/ha/tahun, dan 4.9 – 6.7 ton/ha/tahun. Akibat langsung dari besarnya erosi adalah produktivitas lahan rendah di wilayah ini, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya produksi beberapa jenis tanaman dominan seperti kentang, kubis, cabe dan lainnya (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2010) padahal produksi tersebut masih dapat

Page 8: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

ditingkatkan. Kondisi ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan petani terhadap pertanian berkelanjutan.

Secara umum penelitian ini bertujuan mengestimasi tingkat efisiensi usahatani sayuran dataran tinggi dan mengetahui kontribusi petani terhadap keberlanjutan sayuran dataran tinggi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: mengestimasi tingkat efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi dari usahatani sayuran dataran tinggi di Jawa Barat, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis, alokatif, dan ekonomis, menganalisis pengaruh kemiringan lereng dan sistem penanaman /konservasi terhadap efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi, mengestimasi tingkat kontribusi petani terhadap keberlanjutan usahatani sayuran sebagai indikator kinerja keberlanjutan, dan merumuskan alternatif kebijakan dalam upaya meningkatkan produktivitas, efisiensi dan keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di Jawa Barat Penelitian ini dilakukan di dua kabupaten yaitu Kabupaten Bandung dan Garut. Pemilihan daerah penelitian dilakukan secara purposive dengan alasan kedua daerah tersebut merupakan sentra produksi kentang dan kubis di Provinsi Jawa Barat. Dengan demikian terpilih 4 kecamatan dan 12 desa yang menjadi sentra produksi kentang dan kubis. Data yang dikumpulkan adalah data usahatani selama tiga musim tanam mulai MK II tahun 2010 sampai MK I MT 2011. Untuk mengestimasi dan mengukur efisiensi teknik digunakan pendekatan Stochastic Frontier dengan fungsi produksi Cobb Douglas dan untuk menganalisis keberlanjutan usahatani digunakan metode sustainable value dan return to cost (efisiensi keberlanjutan) dari Figge dan Hahn. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh variabel luas lahan, jumlah benih yang digunakan, penggunaan pupuk kandang secara nyata dapat meningkatkan produksi kentang dan kubis dataran tinggi, sedangkan kemiringan lereng bertanda negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi kemiringan lereng maka produksi semakin kecil. Jumlah pupuk anorganik, jumlah pestisida dan tenaga kerja secara positif meningkatkan produksi tetapi tidak berbeda nyata dengan nol. Baik pada tanaman kentang maupun kubis, luas lahan mempunyai elastisitas yang terbesar sehingga lahan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi produksi, diikuti oleh jumlah benih dan jumlah pupuk kandang yang digunakan. Benih merupakan faktor penting lainnya dengan besaran elastisitas kedua setelah lahan (0.13) diikuti pupuk kandang (0.11). Seperti diketahui saat ini benih menjadi pembatas dalam produksi kentang. Setelah impor benih dilarang oleh pemerintah, maka petani membeli benih kepada penangkar sekitar lokasi atau membeli benih kentang yang tidak bersertifikat kepada petani lain.

Usahatani kentang dan kubis belum efisien, namun meskipun efisiensi berbeda-beda untuk setiap petani secara umum efisiensi teknik cukup tinggi. Rata-rata efisiensi untuk kentang dan kubis baru mencapai 84 persen dan 73 persen, artinya masih terdapat ruang untuk meningkatkan efisiensi teknik pada tingkat teknologi sekarang untuk mencapai produksi maksimal. Ra-rata efisiensi alokatif untuk kentang masih rendah baru mencapai 47 persen, sementara untuk kubis relatif cukup tinggi mencapai 77 persen. Artinya pada tingkat harga input dan output, masih terdapat potensi yang cukup besar untuk petani kentang dalam mengalokasikan inputnya pada tingkat biaya minimal.

Page 9: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

Faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab inefisiensi teknis pada tanaman kentang adalah umur, pengalaman, keanggotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, status kepemilikan lahan, dan sistem penanaman. Selanjutnya faktor-faktor yang berepengaruh signifikan terhadap efisiensi teknis kubis adalah keangotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses terhadap kredit, dan sistem penanaman. Pengalaman tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap efisiensi teknis kubis, dilain pihak keanggotaan dalam kelompok berpengaruh nyata, hal ini berimplikasi bahwa untuk meningkatkan efisiensi teknik peningkatan human capital dapat dilakukan melalui kelembagaan penyuluhan .

Pengalaman berusahatani tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknik komoditas kubis, di sisi lain keanggotaan dalam kelompok dan frekuensi penyuluhan dapat meningkatkan efisiensi. Dengan demikian diperlukan kebijakan yang dapat mendorong faktor ini seperti kelembagaan penyuluhan sebagai wadah untuk transfer teknologi, informasi, perencanaan produksi, penentuan pola tanam, memperbaiki posisi tawar di pasar output terutama kubis, dan peningkatan teknologi konservasi. Upaya ini dilakukan agar terjadi sinergi antara efisiensi teknik dengan efisiensi alokatif untuk meningkatkan pendapatan petani.

Pada teknologi sekarang dan pada tingkat harga faktor produksi yang tetap, maka upaya peningkatan produksi diarahkan pada kelompok petani sasaran melalui peningkatan faktor produksi yang masih underuse atau mengurangi penggunaan factor produksi yang sudah berlebih, seperti pupuk anorganik (Urea, ZA, TSP, KCl, dan NPK) dan pestisida. Berdasarkan hasil penelitian lahan merupakan faktor dominan, artinya luas lahan merupakan jaminan untuk meningkatkan efisiensi tetapi peningkatan luas lahan tanpa diikuti oleh peningkatan kualitas lahan terutama pada lahan dengan kemiringan tinggi dengan erosi tinggi dan tanpa konservasi akan menurunkan baik efisiensi teknik maupun alokatif.

Secara rata-rata nilai keberlanjutan (sustainable value) di daerah penelitian masih negatif, hal ini menunjukkan sumberdaya yang digunakan oleh petani masih kurang produktif dibandingkan bila sumberdaya tersebut digunakan oleh benchmark-nya. Untuk keberlanjutan usahatani maka diperlukan manajemen sumberdaya yang diarahkan dapat menurunkan degradasi lahan. Dengan demikian kebijakan langsung adalah mengawasi degradasi lahan diikuti oleh peningkatan kapasitas manajerial (human capital) melalui training akan meningkatkan efisiensi.

Penelitian empiris usahatani berkelanjutan masih terbatas. Metode pengukuran nilai keberlanjutan masih lebih banyak dalam teori daripada aplikasi di lapangan melalui penelitian empiris untuk menggambarkan, mengukur, menganalisis, menerangkan dan menilai kontribusi terhadap keberlanjutan. Untuk penelitian lanjutan disarankan untuk menggunakan variabel yang lebih relevan, misalnya untuk faktor lingkungan dan sosial dapat digunakan indikator kualitas tanah. Data yang dikumpulkan akan lebih baik lagi jika menggunakan data time series untuk melihat evolusi dari keberlanjutan usahatani..  

Page 10: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...
Page 11: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmia, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

Page 12: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...
Page 13: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

EFISIENSI DAN NILAI KEBERLANJUTAN USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI

DI PROVINSI JAWA BARAT

WINI NAHRAENI

Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

Page 14: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup :

1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

2. Dr. Ir. Harianto, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka:

1. Prof (R ) Dr. Ir. I Wayan Rusastra, MS Profesor Riset Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementrian RI

2. Dr. Ir. Saptana, M.Si

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementrian RI

Page 15: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

Judul Disertasi : Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani

Sayuran Dataran Tinggi di Provinsi Jawa Barat Nama Mahasiswa : Wini Nahraeni Nomor Pokok : H.363070081 Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing :

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS. Ketua

Dr. Ir.Yusman Syaukat, MEc Prof. Dr. Ir. Kuntjoro Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana, Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr. Ir. Sri Hartoyo,MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 27 Juli 2012 Tanggal lulus :

Page 16: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...
Page 17: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

akhirnya tercapailah harapan persembahan kecil untuk:

guru-guruku kang dede sahabat hatiku

syifa dan luthfi permata hatiku kedua orang tua dan mertua tercinta

kakak-kakak dan adik-adikku

Page 18: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...
Page 19: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena

atas rahmat dan hidayah-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi yang

berjudul ‘Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi di

Provinsi Jawa Barat’ diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Institut Pertanian

Bogor.

Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang strategis dan

penting karena perannya sebagai komponen utama Pola Pangan Harapan, namun

data menunjukkan bahwa produktivitas sayuran terutama kentang dan kubis di

Jawa Barat mengalami penurunan. Peningkatan produktivitas menjadi penting

untuk memenuhi permintaan yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan

jumlah penduduk Indonesia. Efisiensi petani sayuran dapat meningkatkan

ketersediaan sayuran berkelanjutan. Penggunaan input dan pencapaian efisiensi

teknik merupakan kunci penentu untuk mempercepat pertumbuhan sektor

pertanian dan merupakan langkah penting untuk usahatani berkelanjutan.

Keberlanjutan merupakan sebuah elemen kunci kearah keuntungan jangka

panjang, sehingga diperlukan sebuah pendekatan yang terintergrasi dalam

menyiapkan keputusan untuk pembuat kebijakan. Disertasi ini merupakan kajian

sustainability terhadap usahatani sayuran dataran tinggi di Jawa Barat.

Disertasi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh

karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS., selaku ketua komisi pembimbing, yang tidak pernah

henti memberikan banyak ilmu, bimbingan, dan arahan baik dalam substansi

materi, teori, sistematika berpikir, hingga redaksional. Terima kasih atas

motivasi serta dukungan semangat untuk tidak berputus asa dan terus melaju

menyelesaikan studi yang bagi penulis sangat berat ini, sehingga pada

akhirnya disertasi ini dapat diselesaikan.

2. Dr. Ir.Yusman Syaukat, M.Ec selaku anggota komisi pembimbing, terima

kasih telah memberikan banyak ilmu, materi, bimbingan, arahan sistematika

Page 20: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

berfikir, perhatian, motivasi dan dukungan semangat untuk terus dan tidak

berhenti menyelesaikan disertasi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Kuntjoro selaku anggota komisi pembimbing, terima kasih telah

memberikan bimbingan dan arahan serta sistematika berfikir yang sangat

berguna bagi penulis.

4. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS, dan Dr. Ir. Ratna

Winandi, MS sebagai dosen penguji pada ujian prakualifikasi atas masukan

dan sarannya yang sangat berharga untuk penyempurnaan proposal penelitian.

5. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, Dr. Ir. Harianto, MS selaku penguji luar komisi

pada ujian tertutup, Muhammad. Firdaus, M.Si, Ph.D selaku penguji dan

pimpinan sidang ujian tertutup dan ujian terbuka, dan Prof Dr. Ir. Bonar M.

Sinaga, MS selaku penguji wakil program studi atas pertanyaan, saran, dan

masukan yang sangat berharga.

6. Prof (R). Dr. Ir. I Wayan Rusastra, MS dan Dr. Ir. Saptana, M.Si selaku

penguji luar komisi pada ujian terbuka, terima kasih atas pertanyaan,

masukan dan saran yang diberikan untuk menyempurnakan disertasi ini.

7. Pimpinan, seluruh Staf Pengajar, dan Staf Administrasi (terutama mbak Yani)

di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas dorongan, motivasi dan

perhatian yang diberikan.

8. Rektor Universitas Djuanda, Dekan Fakultas Agribisnis dan Teknologi

Pangan atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

melanjutkan studi S3 di IPB.

9. Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa pendidikan (BPPS) yang

sangat membantu dan bermanfaat selama penulis menyelesaikan kuliah.

10. Ir. Dwi Rachmina, MS sebagai tim dalam pengumpulan data di lapang, Ir.

Netti Tinaprila, MM, Ir. Gatoet Sroe Hardono, M.Si, Feryanto, SP.,M.Si,

dan Maryono, SP., MSc yang telah membantu pengumpulan data di lapang.

11. Dr. Ir. Neneng Laela Nurida, Dr. Ir. Umi Haryati, terima kasih atas waktu

yang diluangkan untuk berdiskusi dan masukan erosi dan konservasinya,

Rahmah J. Yustika, SP terima kasih telah meluangkan waktu mengajarkan

pengolahan Splash dalam perhitungan prediksi erosi.

Page 21: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

12. Teman-teman satu angkatan EPN 2007, Ir. Dwi Rachmina, M.Si, Ir. Netti

Tinaprila, MM, Ir. Gatoet Sroe Hardono, M.Si, Rizal Taufiqurahman, SPt,

M.Si, Ir. Abdullah Usman, MSc, Ir. Eko Prasetianto Putro, MSi, Ir.Lilis

Imamah, MM, Yannizar, SE.,MSi, Ir. Ita Novita, MS, Ir. Dewi Sahara, MS,

Ir. Sugiyono, M.Si, Drs.Gatot Subroto, M.Si dan Elinur, SP, M.Si atas

kerjasama, dorongan semangat, kebersamaan selama kuliah, persiapan ujian

prakualifikasi sampai pada penyusunan disertasi

13. Rekan-rekan sejawat di Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan

Universitas Djuanda Bogor, terutama Dr. Ir. Arifah Rahayu, M.Si, Dr.Ir.

Elis Dihansih, atas persahabatan yang tulus dan dorongan semangat untuk

terus melaju meyelesaikan disertasi ini , Dr. Ir. Dede Kardaya, atas diskusi

dan terjemahannya, Dr.Ir Deden Sudrajat, Ir. Nur Rohman atas dorongan

semangat dan diskusi yang dilakukan. Arti Yusdiarti, SP., MM yang selalu

siap mem ‘back-up’ perkuliahan.

14. Dinda Asyifa Devi, Vera Verisa, Bunga Prahari, Hermud Farhan, Septian

Riski Sitompul, Ichfani Listiawati, SE yang telah banyak membantu penulis

dalam pengumpulan data di lapang dan entri data

15. Para petugas penyuluh lapang; Bpk. Oji, Bpk Yadi, Bpk Burhanudin, Bpk.

Idan Saehudin, Ibu Tati Kartini; terima kasih atas waktu yang diberikan dan

atas bantuannya dalam pencarian informasi di lapangan.

16. Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada para ketua

kelompok tani Bpk Amang Tarya, Bpk Ahmad Fahas, Bpk Saefurrohman,

Bpk Iwa Kartiwa, Ibu Eneng, para informan kunci, para petani yang menjadi

responden, atas waktu yang diluangkan untuk wawancara dan memberikan

informasi serta data lapangan yang sangat berharga untuk penulisan disertasi

17. Kedua orang tua tercinta Bpk R. Ropendi (alm), terima kasih bapak, semoga

Engkau di alam sana menyaksikan ananda telah menunaikan keinginan dan

harapan bapak agar anaknya dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan

tertinggi, dan Hj. Min Aminah, ibu yang selalu mengalirkan doa dalam setiap

detik waktu yang tiada putus untuk keberhasilan anaknya. Kedua mertua

Bpk Endus Sutisna (alm) dan Hj. Lendramaya atas doa yang tiada henti

Page 22: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

18. Kakak-kakak dan adik-adik serta seluruh ipar, terima kasih atas doa yang

terus mengalir, dukungan, dan dorongan semangat dan perhatiannya.

19. Penghargaan khusus dan tulus penulis sampaikan kepada suami Drs. Entang

Sutarsa, MPd, atas ijin melanjutkan studi S3 yang diberikan kepada penulis

dan dukungan serta dorongan semangat yang sangat berarti sejak penulis

kuliah hingga penyelesaian disertasi ini, anak-anakku Dinda Asyifa Devi

yang telah membantu mamah sejak pengumpulan data di lapangan, entri data,

hingga pengumpulan disertasi,terima kasih ‘nak’ atas semuanya, dan

Luthfiansyah Dwiantara atas pengertian dan kesabarannya demi kelanjutan

studi ibunya.

20. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

memberikan kontribusi dalam penyusunan disertasi ini

Disertasi ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis

semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan dan pihak yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2012

Penulis

Page 23: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 18 Desember 1962, putri dari

pasangan R. Rofendi dan Hj. Mien Aminah. Penulis adalah anak ketiga dari tujuh

bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dari SDN Kiansantang Garut, lulus

tahun 1975, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 2 Garut lulus tahun 1978/1979,

dan pendidikan SLTA ditempuh di SMA Negeri I Garut dan lulus pada tahun

1982. Pada tahun yang sama melalui Jalur Proyek Perintis II (PP II) penulis

berhasil diterima di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan selanjutnya pada

tahun kedua diterima di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1996 penulis

menempuh pendidikan di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Program

Pascasarjana (S2) di IPB melalui beasiswa dari Tim Penyelenggaraan Program

Doktor (TMPD) dan lulus tahun 2000. Pada tahun 2007 penulis memperoleh

Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) untuk melanjutkan pendidikan

program doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah

Pascasarjana IPB.

Sejak tahun 1988 sampai sekarang penulis bekerja sebagai Staf Pengajar

Kopertis Wilayah IV Jawa Barat, yang dipekerjakan di Fakultas Pertanian,

Universitas Djuanda Bogor. Sejak disatukannya Fakultas Pertanian dan Fakultas

Teknologi Pertanian menjadi Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan pada

tahun 2007, maka sejak tahun 2007 hingga sekarang penulis menjadi staf

pengajar di Jurusan Agribisnis, Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan

Universitas Djuanda. Pada tahun 1990 – 1999 penulis menjabat sebagai

Sekretaris Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, dan pada tahun

2000- 2009 menjabat sebagai Ketua Jurusan Agribisnis. Selain sebagai staf

pengajar, penulis juga aktif di beberapa lembaga penelitian sebagai peneliti senior.

Penulis menikah dengan Drs. Entang Sutarsa, MPd pada tahun 1987, dan

telah dikaruniai dua orang anak, seorang putri, Dinda Asyifa Devi, serta seorang

putra Luthfiansyah Dwiantara Sutarsa.

Page 24: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...
Page 25: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL …………………………………………………. ix

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………… x

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………. xi

I. PENDAHULUAN ……………..………………………….……….. 1

1.1. Latar Belakang ……………………………………...……... 1

1.2. Perumusan Masalah …… ………………………...………… 8

1.3. Tujuan Penelitian …………………………………...……… 11

1.4. Kegunaan Penelitian …………………………………........... 11

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ………………... 12

1.6. Kebaruan Penelitian ……………...…………………............ 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….... 15

2.1. Konsep Fungsi Produksi dan Fungsi Produksi Frontier …….. 15

2.2. Konsep Produktivitas dan Efisiensi ………………...………. 17

2.2.1. Pengukuran Efisiensi Berorientasi Input …………….. 20

2.2.2. Pengukuran Efisiensi Berorientasi Output …………… 22

2.3. Pendekatan Pengukuran Efisiensi …………………………… 23

2.3.1. Pendekatan Fungsi Produksi …………………………. 23

2.3.2. Pendekatan Fungsi Produksi Frontier ………………… 23

2.3.3. Pendekatan Parametrik ……………………………... 24

2.3.3.1. Pendekatan Parametrik Deterministik Frontier …… 25

2.3.3.2.Pendekatan Parametrik Stohastic Frontier ................... 26

2.4. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis ……………… 28

2.5. Pembangunan Berkelanjutan…………………………………. 31

2.6. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan ……………………... 33

2.7. Pengukuran Indikator Pertanian Berkelanjutan ……………... 33

2.8. Konsep Pendekatan Nilai Keberlanjutan (Sustainable Value Added) ………………………………………………………..

34

2.9. Keterkaitan Antara Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan ………. 41

2.10. Penelitian Efisiensi pada Berbagai Usahatani Komoditas Pertanian …………………………………………………….

42

Page 26: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

ii

Halaman

2.11. Penelitian Pengukuran Kinerja Usahatani Keberlanjutan ….. 53

2.12. Penelitian Usahatani Berkelanjutan dengan Pendekatan Efisiensi ……………………………………………………...

56

2.13. Penelitian Pendekatan Nilai Keberlanjutan (Sustainable Value Added) …………………………………………………

60

III. KERANGKA PEMIKIRAN …………………………….…………. 63

3.1. Pendekatan Stochastic Frontier dan Pengukuran Efisiensi Teknik …..……………………………………………………

63

3.2. Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stokastik Frontier .... 66

3.3. Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomis ……………..…… 67

3.4. Perhitungan Nilai Keberlanjutan …………………………….. 69

3.5. Pengukuran Nilai Keberlanjutan dengan Menggunakan pendekatan Efisiensi ……………………………………..…..

72

3.5.1. Formulasi dari Benchmark ……………………………. 72

3.5.2. Formulasi Nilai Keberlanjutan dengan Mengggunakan Fungsi Produksi Cobb Douglas ………………………

73

3.6. Kerangka Pemikiran Konsepsional ………………………….. 75

3.7. Hipotesis ……………………………………………………... 77

IV. METODE PENELITIAN ………………………………..……...….. 79

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian …………...………………..….. 79

4.2. Metode Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data ……… 83

4.3. Metode Analisis …………………………………..………… 85

4.3.1. Spesifikasi Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier 85

4.3.2. Analisis Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomis ….. 88

4.3.3. Pendugaan Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis, Alokatif, dan Ekonomi ………………………..

90

4.3.4. Metode untuk Mengukur Kontribusi Petani terhadap Keberlanjutan …………………………………………

90

4.4. Definisi Operasional …………………………………………. 94

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN …….……………. 97

5.1. Gambaran Lokasi Penelitian ..……………………………….. 97

5.2. Karakteristik Rumah Tangga Petani Sampel ………………... 100

Page 27: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

iii

Halaman

5.2.1. Struktur Umur Kepala Keluarga dan Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis ………………...…

100

5.2.2. Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga ………….. 102

5.2.3. Pengalaman Berusahatani Kentang dan Kubis ……….. 103

5.2.4. Kegiatan Kerja Anggota Keluarga Rumah Tangga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

104

5.2.5. Keanggotaan dalam Kelompok Tani ………………….. 105

5.2.6. Penguasaan Lahan Usahatani …………………………. 107

5.2.7. Pola Tanam Usahatani Sayuran Kentang dan Kubis ….. 112

5.2.8. Sistem Penanaman dan Konservasi ………………….... 112

5.3. Keragaan Usahatani Sayuran Kentang dan Kubis …………... 114

5.4. Analisis Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………..

121

5.5. Keberlanjutan Usahatani Kentang dan Kubis ………….......... 123

VI. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI

SAYURAN DATARAN TINGGI DI JAWA BARAT ………….

127

6.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sayuran Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat ….………...…………

127

6.2. Analisis Efisiensi Teknis (TE) Usahatani Kentang ...……….. 134

6.2.1. Sebaran Efisiensi Teknis Usahatani Kentang ..……… 134

6.2.2. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kentang ………………………………………………..

136

6.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Usahatani Kentang………………………………………………...

137

6.3. Analisis Efisiensi Alokasi dan Ekonomi Usahatani Kentang .. 145

6.3.1. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Alokatif dan Ekonomi Usahatni Kentang …………………………...

150

6.4. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sayuran Kubis Dataran Tinggi di Jawa Barat …...…………………………...

152

6.5. Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Kubis ………………….. 155

6.6 Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kubis 156

6.7. Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) Usahatani Kubis ……………………………...………………

158

6.8. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Usahatani Kubis …… 160

Page 28: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

iv

Halaman

6.9. Sumber Inefisiensi Teknik, Alokatif dan Ekonomis Usahatani Kubis ……………………………………….………………...

164

6.10. Pengaruh Perbedaan Kemiringan Lahan terhadap Sebaran Efisiensi Teknik, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Kentang …………………………………………...

167

6.11. Pengaruh Kemiringan Lahan dan Sistem Konservasi terhadap Efisiensi Teknik, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Kubis ……………………………………………...

169

VII. PENGUKURAN NILAI KEBERLANJUTAN USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI DI JAWA BARAT ….………….

171

7.1. Nilai Kontribusi, Nilai Keberlanjutan, dan Efisiensi

Keberlanjutan ……………………………………...

172

7.2. Pengukuran Nilai Keberlanjutan dengan Menggunakan Pendekatan Efisiensi …………………………………………

179

7.2.1. Fungsi Cobb-Douglas sebagai Benchmark …………. 172

7.3. Perbedaan dalam Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi 185

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 189

8.1. Kesimpulan ……………………………………..…………… 189

8.2. Saran dan Implikasi Kebijakan ……………………………… 190

8.3. Saran Penelitian Lanjutan …………………………………… 192

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 193

LAMPIRAN ………………………………………………………… 211

Page 29: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

7

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Ringkasan Beberapa Studi Empiris Efisiensi Teknik untuk Pertanian ......................................................................................... 44

2. Nilai Tengah Rata-rata Efisiensi Teknik (AMTE) berdasarkan Karakteristik Metodologi ................................................................ 46

3. Studi Empiris Faktor-faktor yang Menentukan Inefisiensi Teknis dengan Pendekatan Stochastic Frontier .......................................... 51

4. Luas Panen, Produksi Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2009 ..... 79

5. Luas Panen, Produksi Kentang dan Kubis di Kabupaten Garut, 2009 ................................................................................................ 80

6. Pemilihan Desa Berdasarkan Kriteria yang Ditetapkan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011 ................................. 82

7. Variabel yang Dikumpulkan dan Ukurannya Usahatani Kentang dan Kubis di Provinsi Jawa Barat, 2011…………………………. 84

8. Karakteristik Petani dan Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011…………………………. 101

9. Sebaran Umur Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ................................................................................................ 101

10. Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………...……………....... 103

11. Pengalaman Bertani Petani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011..........................................................................................…... 104

12. Keanggotaan Dalam Kelompok Petani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ………………………………………………… 105

13. Frekuensi Keikutsertaan dalam Penyuluhan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 …………………………. 107

14. Luas Lahan Garapan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011…………...…………………………………….....…... 107

15. Jumlah Petani Sayuran Kentang dan Kubis Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Jawa Barat, 2011 ……………………….... 108

16. Kemiringan Lahan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Dua Kabupaten Jawa Barat, 2011 …………………………………….. 109

17. Akses Terhadap Kredit Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………………………………….. 111

Page 30: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

8

Nomor Halaman

18. Sistem Penanaman Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ………………………………………………………..

113

19. Struktur Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011……………………………………

122

20. Parameter Dugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011 …………………….

128

21. Distribusi Frekuensi Efisiensi Teknik (TE), Petani Kentang di Jawa Barat, 2011 ………………………………….…………..…..

134

22. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kentang pada Berbagai Tingkat Efisiensi di Jawa Barat, 2011 ……………

137

23. Hasil Estimasi Parameter Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stokastik Frontier Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 ….…..

138

24. Efisiensi Alokatif (AE) dan Ekonomi (EE) Petani Kentang di Jawa Barat, 2011 …………………………………………………

146

25. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknik (TI), Inefisiensi Alokatif (AI) dan Inefisiensi Ekonomi (EI) Sayuran Kentang di Jawa Barat, 2011 …………………………………………………

150

26 Parameter Dugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier untuk Komoditas Kubis Hasil Pendugaan dengan Metode MLE ………

154

27. Distribusi Frekuensi Efisiensi Teknik (TE) Petani Kubis di Jawa Barat, 2011 ………………………………………………………..

156

28. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kubis pada Berbagai Tingkat Efisiensi di Jawa Barat, 2011 …………...

157

29. Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ………………………………………..

158

30. Estimasi Parameter Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stokastik Frontier Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 …….…..

160

31. Ringkasan faktor-faktor yang mempengaruhi Produksi dan Inefisiensi Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………...

164

32. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknik (TI), Inefisiensi Alokatif (AI) dan Inefisiensi Ekonomi (EI) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ………………………………………………….

165

33. Hubungan Kemiringan Lahan dengan Efisiensi teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) pada Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 ………………………….

167

Page 31: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

9

Nomor Halaman

34. Pengaruh Sistem Konservasi terhadap Efisiensi Teknik, Alokatif

dan Ekonomi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011………………………………………………………………

169

35. Hubungan Kemiringan Lahan dengan Efisiensi teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) pada Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 …………………………….

170

36. Pengaruh Sistem Konservasi terhadap Efisiensi Teknik, Alokatif dan Ekonomi Usahatani Kubis Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011……………………………………………………………….

170

37. Contoh Perhitungan Nilai Keberlanjutan dari Seorang Petani Sampel di Jawa Barat, 2011 (untuk Menghasilkan Rata-rata Penerimaan Rp 81.2 juta per musim dan value added = Rp 135 juta) …………………………………………………………….

173

38. Distribusi Frekuensi Nilai Keberlanjutan (SV) Usahatani Kentang dengan Benchmark Rata-rata Sampel di Jawa Barat, 2011 ……………………………………………………………..

174

39. Distribusi Frekuensi Return to Cost (Efisiensi Keberlanjutan) Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 ……………………….

178

40. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Frontier Cobb Douglas untuk Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011.

180

41. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Frontier CobbDouglas.Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 …………...

181

42. Rata-rata Nilai Kontribusi Sumberdaya terhadap Keberlanjutan Relatif terhadap Benchmark di Jawa Barat, 2011 ………………

182

43. Nilai Keberlanjutan Usahatani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011……………………………………………………………….

182

44. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan (RtC) Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 …………………………………….

183

45. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan (RtC) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ………………………………………

184

46. Deskripsi Statistik Seluruh Observasi, Observasi Terbaik, dan Observasi Terendah Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 ……

186

Page 32: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...
Page 33: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

7

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Isoquant, Isocost, dan Kondisi Biaya Minimum ……………. 19

2. Isocost, Efisiensi Teknis (TE), Efisensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) dengan Pendekatan Input ………….

21

3. Efisiensi Teknik dan Alokatif dengan Pendekatan Output ….. 22

4. Pendekatan Pengukuran Efisiensi ……………………………. 24

5. Fungsi Produksi Frontier dan Efisiensi ……………………… 28

6. Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi ………………………... 29

7. Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan (Munasinghe, 1995) .. 32

8. Langkah untuk Mengevaluasi Nilai tambah Lingkungan dan Sosial (Sumber: Figge dan Hahn, 2002) ………………..….

36

9. Grafik yang menggambarkan Dampak Lingkungan Perusahaan Sampel (Sumber : Figge dan Hahn, 2004) ..……

37

10. Kerangka Operasional Studi Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran TInggi di Provinsi Jawa Barat, 2011……………………………………………………………

78

11. Metode Sampling Pengambilan Data Primer ………………… 81

12. Histogram dari TE, AE dan EE usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 ……………………………………………………

147

13. Kondisi Produksi yang Efisien secara Teknis dan Inefisiens Alokatif .....................................................................................

149

14. Histogram dari TE, AE dan EE Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………………………………………

159

15. Hubungan Kemiringan Lahan dengan Efisiensi teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) pada Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 ……………………

168

16. Distribusi Frekuensi Nilai Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 …………………………………

174

17. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kkentang di Jawa Barat, 2011 ………………………………

179

18. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 …………………………………

184

19. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 …………………………………………...

185

Page 34: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

8

Nomor Halaman

20. Hubungan efisiensi Teknik dengan Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kentang dengan menggunakan Pendekatan Fungsi produksi Cobb Douglas ………………………………………

187

21. Hubungan efisiensi Teknik dengan Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kubis dengan menggunakan Pendekatan Fungsi produksi Cobb Douglas ………………………………………

187

Page 35: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

7

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009—2011 ......................................................................................................... 213

2. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia menurut Sektor Ekonomi Tahun 2005 – 2010 ........................................................ 213

3. Perkembangan Luas Lahan, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kentang, Kubis, dan Total Sayuran di Jawa Barat Tahun 2005 - 2010........................................................................... 214

4. Penurunan Fungsi Biaya Dual dari Fungsi Produksi Cobb Douglas ………...…………………………................................... 215

5. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknik Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 …………………………………… 218

6. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknik Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………………………… 219

7. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Alokatif Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011…………... …………………….…. 220

8. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Ekonomi Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 …..………....................................... 221

9. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Alokatif Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011………………………….……………. 222

10. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Ekonomi Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………….……………… 223

11 Hasil Estimasi fisiensi Teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 224

12 Hasil Estimasi Efisiensi Teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………………………………………………... 227

13 Penurunan Sumberdaya Efisien untuk menghitung Benchmark ………………………………………………………………………. 229

Page 36: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...
Page 37: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting dalam

pembangunan karena merupakan penyedia kebutuhan pangan bagi rakyat

Indonesia yang terus bertambah, penyedia bahan baku industri, penyumbang

devisa, penyerap tenaga kerja sebagai jaminan pendapatan bagi sebagian besar

penduduk, serta penunjang utama kelestarian lingkungan hidup. Pada tahun

2011, perekonomian nasional tumbuh sebesar 6.5 persen dibandingkan dengan

tahun 2010 (BPS, 2012a) yang didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian

sebesar 3.6 persen (Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI, 2011).

Dilihat dari sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), maka pada

tahun 2011 sektor pertanian menyumbang 14.7 persen terhadap PDB nasional.

Rata-rata sumbangan sektor pertanian sejak tahun 2009-2011 meningkat sebesar

15.1 persen (BPS, 2012a). Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan

Lampiran 2.

Sektor pertanian berkaitan erat dengan wilayah perdesaan. Berdasarkan

data BPS (2012b) sekitar 41,2 juta masyarakat Indonesia terlibat dalam berbagai

bentuk kegiatan pertanian seperti pertanian tanaman pangan, non pangan,

peternakan, dan perikanan air tawar sebagai pekerjaan utama. Sektor pertanian

masih menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Pada

tahun 2012 jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian

meningkat sebesar 1,9 juta orang (4,75 persen) dibandingkan dengan tahun 2011.

Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang strategis dan

penting karena perannya sebagai komponen utama Pola Pangan Harapan.

Komoditas ini meliputi sayuran, buah-buahan, tanaman obat (biofarmaka) dan

tanaman hias. Komoditas hortikultura khususnya sayuran dan buah-buahan

memegang bagian terpenting dari keseimbangan pangan yang dikonsumsi,

sehingga harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik,

aman dikonsumsi, harga yang terjangkau, serta dapat diakses oleh seluruh lapisan

masyarakat (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010).

Page 38: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

2

Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai

potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia dan mempunyai nilai ekonomi

tinggi. Hal ini dicirikan oleh besarnya keuntungan yang diperoleh dari usahatani

sayuran. Menurut data dari Direktorat Jenderal Hortikultura (2010), dari 22

komoditas sayuran yang diusahakan, selama kurun waktu tahun 2006-2010 rata-

rata peningkatan 2.7 persen. Di sisi lain, data BPS (2009) menunjukkan tingkat

konsumsi masyarakat Indonesia masih rendah (43.5kg/kapita/tahun) dibandingkan

dengan konsumsi yang direkomendasikan oleh FAO (75 kg /kapita /tahun). Hal

ini menjadi peluang yang besar untuk mengembangkan sayuran.

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil komoditas sayuran

terbesar di Indonesia. Pada tahun 2009, produksi sayuran di Jawa Barat mencapai

3 028 721 ton dengan 26 jenis sayuran dan luas panen sebesar 176 654 hektar

(Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2010). Jenis sayuran unggulan di

Jawa Barat meliputi cabe merah, kentang, kubis, dan tomat. Berdasarkan luas

tanam per tahun, Kabupaten Bandung merupakan daerah sentra produksi untuk

kentang dan kubis diikuti oleh Kabupaten Garut (Dinas Pertanian Tanaman

Pangan Jawa Barat, 2010). Namun walaupun sangat menguntungkan,

produktivitas sayuran terutama kentang dan kubis di Jawa Barat telah mengalami

penurunan.

Data BPS Jawa Barat (2010) menyebutkan bahwa di Jawa Barat selama

kurun waktu 2005- 2010, luas tanam, luas panen, dan produksi kentang

mengalami penurunan masing-masing 4.75 persen, 4.86 persen, dan 4.84 persen

per tahun sedangkan produktivitas kentang hanya meningkat 0.04 persen per

tahun. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas kentang di Jawa Barat sudah

mengalami stagnasi bahkan cenderung menurun. Lain halnya dengan kubis,

produktivitas kubis sudah mengalami penurunan sebesar 3.65 persen per tahun

selama kurun waktu tahun 2005 -2010. Data selengkapnya dapat dilihat pada

Lampiran 3. Penyebab penurunan ini diduga adanya penurunan luas tanam dan

faktor lainnya seperti cuaca, perubahan iklim, dan tingkat efisiensi faktor produksi

yang masih kurang efisien serta tingginya degradasi lingkungan.

Page 39: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

3

Dari gambaran di atas, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana

meningkatkan produksi sayuran? Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan

untuk meningkatkan produksi sayuran antara lain:

1. mengalokasikan lahan yang lebih luas untuk memproduksi sayuran

2. mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru untuk meningkatkan

produktivitas

3. mengelola sumberdaya yang tersedia lebih efisien.

Cara pertama untuk meningkatkan produksi sayuran melalui peningkatan

areal lahan di Jawa Barat sepertinya sangat sulit karena lahan sudah semakin

terbatas. Lebih jauh ketersediaan air terutama di musim kemarau menjadi

pembatas untuk tanaman kentang dan kubis. Cara kedua untuk meningkatkan

produksi adalah mengembangkan dan adopsi teknologi baru. Teknologi biologi,

mekanik, budidaya dan kimia merupakan teknologi yang tersedia. Teknologi

biologi (misalnya varietas) dapat dilakukan melalui teknologi /introduksi benih

atau varietas baru, dan teknologi mekanik dapat dilakukan melalui adopsi sistem

penanaman (konservasi). Namun penelitian Katharina (2007) menyatakan bahwa

di daerah Pangalengan Jawa Barat adopsi konservasi relatif sulit dilakukan petani

dengan berbagai alasan yaitu biaya mahal dan sulit dalam pengerjaannya .

Cara ketiga untuk meningkatkan produktivitas adalah melalui peningkatan

efisiensi. Cara ini menjadi hal yang relevan untuk kondisi saat ini. Produksi

sayuran dapat ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas. Hal ini disebabkan

perluasan areal dan adopsi teknologi relatif sulit dilakukan dalam jangka pendek.

Peningkatan produktivitas menjadi penting untuk keberlanjutan di masa datang

guna memenuhi permintaan sayuran yang semakin meningkat, seiring dengan

peningkatan penduduk Indonesia (Kementrian Pertanian, 2009). Dengan

demikian pencapaian efisiensi petani sayuran yang tinggi dapat meningkatkan

ketersediaan sayuran berkelanjutan.

Efisiensi petani kentang dan kubis dapat meningkatkan pendapatan petani.

Dalam mengelola usahataninya, petani menghadapi inefisiensi teknis dan alokatif.

Jika petani sayuran mengelola usahataninya sudah efisien, kemudian mengadopsi

teknologi baru maka akan menggeser produksi frontiernya ke atas sehingga

produktivitas meningkat. Sebaliknya jika petani sayuran mempunyai peluang

Page 40: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

4

yang signifikan untuk meningkatkan produktivitas melalui penggunaan input yang

lebih efisien pada teknologi yang ada, infrastruktur yang lebih baik, penyuluhan,

pelayanan jasa manajemen, dan peningkatan keterampilan petani maka menjadi

sangat penting meningkatkan efisiensi teknik penggunaan sumberdaya di tingkat

usahatani (Ali & Chaudry, 1990) dan jika inefisensi alokatif yang menonjol, maka

instrument kebijakan dibutuhkan untuk menstabilkan harga input dan output.

Beberapa penelitian menemukan bahwa petani di negara berkembang

belum sepenuhnya mencapai efisiensi teknik (Kalirajan & Shand 1986; Ali and

Chaudry, 1990; Bravo-Ureta & Pinheiro, 1997; Ahmad et al., 2002; Asadullah &

Rahman, 2005; Bravo-Ureta, et al., 2007; Solis et al., 2009). Bravo-Ureta and

Pinheiro (1997) menyatakan bahwa rata-rata efisiensi teknik yang dicapai petani

di negara berkembang baru mencapai 66 - 70 persen atau inefisiensi teknik

berkisar antara 30-34 persen. Penggunaan input dan pencapaian efisiensi teknik

merupakan kunci penentu untuk mempercepat pertumbuhan sektor pertanian.

Efisiensi teknik dan alokatif merupakan dua elemen penting dari efisiensi

produksi.

Efisiensi teknik menggambarkan unit produksi potensial untuk mencapai

output maksimum pada tingkat input tertentu, sedangkan efisiensi alokatif

merupakan kapasitas produksi pada tingkat penggunaan input optimum pada

tingkat biaya minimum. Efisiensi ekonomi dihitung dengan cara menghitung

kombinasi efisiensi teknik dan efisiensi alokatif. Efisiensi merupakan langkah

penting untuk usahatani berkelanjutan.

Beberapa kendala yang dihadapi dalam usahatani sayuran dataran tinggi

adalah penguasaan lahan yang kecil (<0.5ha), pengusahaan lahan dengan

kemiringan > 30 persen, penggunaan benih bermutu rendah, intensitas OPT

tinggi, akses ke lembaga permodalan rendah dan keterbatasan infrastruktur.

Karena sayuran banyak ditanam pada lahan berlereng, maka akan banyak

menimbulkan erosi yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan

produktivitas. Di Kabupaten Bandung dan Garut, kebanyakan petani

mengarahkan penggunaan lahan di lahan berlereng untuk menanam tanaman

semusim seperti kentang dan kubis, walaupun kedua tanaman tersebut tidak

direkomendasikan karena dapat menimbulkan erosi. Hal ini juga ditunjang oleh

Page 41: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

5

curah hujan yang tinggi, bentuk permukaan tanah yang cenderung menyebabkan

erosi tanah, kerusakan tanah dan kerusakan sumberdaya air. Katharina (2007)

menyatakan bahwa permasalahan utama pada lahan kering dataran tinggi adalah

keberlanjutan dalam produktivitasnya di masa datang yang akhir-akhir ini

menurun atau mengalami stagnasi pada tingkat input yang tinggi. Di sisi lain

karena tingginya biaya konservasi, banyak petani yang tidak mengadopsi

teknologi konservasi.

Komoditas sayuran membutuhkan bahan organik tanah yang tinggi,

sehingga petani selalu menambahkan pupuk kandang untuk setiap kali tanam.

Namun adanya erosi menyebabkan pupuk kandang yang diberikan lebih banyak

yang hanyut karena erosi daripada dimanfaatkan oleh tanaman (Sudirman et al.,

2000, Haryati et al., 2000, Suganda et al., 1997). Berdasarkan data Dinas

Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2010), dari 26 kabupaten/kota di Jawa Barat,

Kabupaten Bandung (Ciwidey, Pangalengan) merupakan kabupaten dengan luas

lahan kritis tertinggi (31.1 persen) kemudian disusul Kabupaten Garut dengan

luas lahan kritis sebesar 20.7 persen dari keseluruhan luas lahan kritis di Jawa

Barat. Hal ini menunjukkan berkurangnya keberlanjutan dilihat dari sisi ekologi.

Setelah revolusi hijau, aplikasi penggunaan pupuk dan pestisida dapat

meningkatkan produksi. Namun peningkatan penggunaan varietas bermutu

tinggi/HYVs, pupuk kimia, pestisida, mempunyai dampak yang serius terhadap

penurunan kualitas lahan pertanian. Penggunaan pupuk dan pestisida yang

irrasional, menyebabkan input yang berlebihan, polusi air, polusi tanah, dan

akumulasi residu dalam produk. Ketidakcukupan pengetahuan dan dukungan

teknologi dari pemerintah serta pengetahuan yang rendah dari petani merupakan

faktor yang mempengaruhi keberlanjutan di lahan pertanian. Penggunaan pupuk

dan pestisida pada komoditas sayuran lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman

pangan seperti padi dan palawija. Di dalam usahatani sayuran, penggunaan pupuk

dan pestisida yang berlebihan merupakan perhatian penting karena sangat

mempengaruhi keberlanjutan usahatani.

Banyak penelitian sebelumnya memusatkan perhatian pada adopsi

teknologi baru dalam meningkatkan produktivitas usahatani dan pendapatan.

Namun pada dekade selanjutnya ditemukan bahwa peningkatan produktivitas

Page 42: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

6

muncul dari penggunaan teknologi yang lebih efisien (Bravo-Ureta, 1997). Hal

ini berarti bahwa output dapat ditingkatkan tanpa menambah penggunaan input

atau tanpa menggunakan teknologi baru. Perbedaan variasi produksi disebabkan

oleh perbedaan kapabilitas manajerial dan manajemen petani, ketidaksamaan

dalam manajemen ini merupakan sumber inefisiensi. Dengan demikian maka

mengukur efisiensi menjadi penting dalam rangka menentukan tingkat

keuntungan yang dapat dicapai oleh peningkatan kinerja produksi pertanian

dengan tingkat teknologi tertentu. Hal ini berimplikasi pada bagaimana

meminimalkan biaya untuk mencapai peningkatan output atau pendapatan melalui

peningkatan efisiensi.

Suatu usahatani disebut berkelanjutan apabila sistem usahatani tersebut

memproduksi pada tingkat produksi yang optimal dan kebutuhan sosial dari lahan

usahatani tanpa menguras sumberdaya pada jangka panjang. Hal ini dapat

diartikan bahwa pengembangan ditekankan untuk mempertahankan dan

meningkatkan tingkat produksi yang sudah dicapai. Dengan demikian penelitian

usahatani sayuran dataran tinggi di Jawa Barat menjadi penelitian yang sangat

relevan. Sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian di Indonesia yang

mengarah pada pertanian berkelanjutan, maka diperlukan konsep keberlanjutan

untuk mengukur dan mengevaluasi keefektifan dari keberlanjutan sistem

usahatani.

Produksi sayuran yang berkelanjutan dapat diukur dengan efisiensi teknik

pada tingkat usahatani, mengidentifikasi faktor kunci yang dihubungkan dengan

sistem produksi yang efisien, meningkatkan penggunaan input untuk

meningkatkan produksi merupakan upaya pertumbuhan output melalui

peningkatan efisiensi teknik (Sharma and Leung, 2000). Peningkatan penerimaan

dari peningkatan efisiensi teknik menunjukkan bahwa peningkatan produksi dapat

memberikan tambahan penerimaan kepada petani dengan keterbatasan

sumberdaya yang ada.

Penelitian pertanian berkelanjutan sangat penting karena dapat

meningkatkan keuntungan dan efisiensi produksi dengan menitikberatkan pada

integrasi manajemen usahatani dan konservasi tanah, air, dan sumberdaya biologi

serta sumberdaya produktif lainnya. Hal ini akan meningkatkan sistem

Page 43: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

7

manajemen sumberdaya pertanian. Demikian juga pertanian berkelanjutan dapat

meminimalkan biaya variabel dalam penggunaan input luar. Dari sisi sosial, hal

itu dapat meningkatkan kemandirian (self reliance) petani dan masyarakat

perdesaan melalui penggunaan yang lebih baik dari pengetahuan dan keterampilan

petani.

Keberlanjutan merupakan sebuah elemen kunci kearah keuntungan jangka

panjang untuk suatu usahatani. Untuk memenuhi tantangan keberlanjutan, sebuah

pendekatan yang terintergrasi dari usahatani perlu digunakan dalam menyiapkan

keputusan yang baik untuk pembuat kebijakan. Penggunaan dan perkembangan

indikator keberlanjutan merupakan sebuah jalan yang efektif untuk membuat

konsep operasional pertanian berkelanjutan (Rigby et al., 2001; Van Calker etal.,

2005; Zhen & Routray, 2003). Investasi masyarakat untuk meningkatkan

keberlanjutan usahatani membutuhkan penilaian yang tepat dari efisiensi petani

dan mengidentifikasi sumberdaya yang tidak efisien dalam rangka

mengembangkan kebijakan dan mengembangkan inovasi untuk meminimalkan

inefisiensi (Sherlund et al., 2002). Karenanya sangat penting untuk mengukur

dan menilai usahatani berkelanjutan.

Keberlanjutan produksi sayuran dapat dibuat dengan mengukur efisiensi

pada tingkat usahatani, mengidentifikasi faktor-faktor yang berkaitan dengan

efisiensi produksi dan merumuskan kebijakan untuk masa yang akan datang.

Sebagai sebuah alternatif peningkatan output untuk meningkatkan produksi, upaya

dapat dilakukan kearah peningkatan produktivitas melalui peningkatan efisiensi

teknik. Melalui efisiensi teknik artinya berproduksi dengan menggunakan

sumberdaya lebih efisien (Sharma & Leung, 2000).

Lebih jauh peningkatan pendapatan melalui peningkatan efisiensi akan

memberikan gambaran bahwa petani dapat meningkatkan pendapatan dengan

keterbatasan sumberdaya yang ada. Melalui penelitian ini keberlanjutan usahatani

selain diukur dalam terminologi efisensi teknis, juga diukur dalam terminologi

“nilai keberlanjutan (sustainable value)” dan “efisiensi keberlanjutan (return to

cost)” yang pada akhirnya dapat diketahui mengapa setiap petani berbeda dalam

keberlangsungan keberlanjutannya dan bagaimana kontribusi petani terhadap

keberlanjutan usahataninya.

Page 44: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

8

1.2. Perumusan Masalah

Sayuran merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Hal ini dicirikan oleh besarnya keuntungan yang diperoleh dari usahatani sayuran.

Namun walaupun sangat menguntungkan, produktivitas sayuran terutama kubis di

Jawa Barat mengalami penurunan, sedangkankan produktivitas kentang sudah

mengalami stagnasi. Data BPS Jawa Barat (2010) menyebutkan bahwa di Jawa

Barat selama kurun waktu 2005- 2010, luas tanam, luas panen, dan produksi

kentang mengalami penurunan masing-masing 4.75 persen, 4.86 persen, dan 4.84

persen per tahun, sedangkan produktivitas kentang hanya meningkat 0.04 persen

per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas kentang di Jawa Barat sudah

mengalami stagnasi bahkan cenderung menurun. Lain halnya dengan kubis,

produktivitas kubis sudah mengalami penurunan sebesar 3.65 persen per tahun

selama kurun waktu tahun 2005 -2010. Penurunan produktivitas ini salah satunya

disebabkan oleh adanya inefisiensi teknis dalam pengelolaan usahatani sayuran.

Disamping itu penyebab utama penurunan areal panen adalah kebijakan Pemda

Jawa Barat yang tidak lagi memberikan ijin penggunaan lahan milik Perhutani

untuk ditanami tanaman semusim termasuk kentang dan kubis dan dialihkan

untuk tanaman tahunan atau kayu-kayuan untuk konservasi lahan

Usahatani sayuran dataran tinggi diusahakan di lahan kering yang tersebar

dengan kondisi kemiringan lereng yang bervariasi. Hal ini menyebabkan produksi

kentang dan kubis bervariasi. Sekitar tiga persen tanah di Indonesia adalah

Andisols. Sifat-sifat tanah tersebut cukup baik, namun karena terletak pada lereng

yang curam, disertai curah hujan yang tinggi (>2000 mm/th) dan pengusahaan

yang intensif, maka kepekaan tanahnya terhadap erosi sangat tinggi (Suganda et

al., 1999). Walaupun tanah ini relatif peka terhadap erosi, namun di Kabupaten

Bandung, sebagian besar petani belum menerapkan praktek konservasi tanah.

Rendahnya penerapan teknik konservasi tanah pada usahatani sayuran

dataran tinggi disebabkan berbagai alasan seperti kekhawatiran akan

terganggunya drainase tanah sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman

(Sumarna dan Kusbandriani, 1992), sulit dalam pengerjaannya dan memerlukan

Page 45: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

9

waktu yang lama (Kurnia, 2000), mengurangi populasi tanaman (Haryati et al.,

2000), penerapannya sangat berat dan berpengaruh buruk terhadap tanaman

karena tanah selalu lembab (Suganda et al, 1999).

Praktek pemupukan di tingkat petani sangat bervariasi mulai dari input

rendah sampai sangat tinggi. Untuk sistem dengan input tinggi, pupuk N

diberikan untuk tanaman sayuran sampai lebih dari 500 kg urea/ha/tahun Pupuk

kandang adalah sumber lain dari unsur hara N dan unsur hara lainnya yang juga

diberikan petani dalam jumlah tinggi bisa lebih dari 50 ton/ ha/tahun. Sering kali

suatu jenis unsur diberikan secara berlebihan sedangkan unsur lain diberikan

kurang dari yang semestinya sehingga efisiensi penggunaan pupuk menjadi

rendah (Nurida dan Dariah, 2006). Pemberian satu atau dua unsur yang

berlebihan sering disebabkan oleh pemberian pupuk yang hanya berdasarkan

kebiasaan atau berdasarkan rekomendasi dari produsen pupuk.

Pada saat ini, pertanian sayuran di lahan pegunungan dihadapkan pada

masalah pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan sehingga menyebabkan

usahatani relatif tidak efisien. Pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan ini

akan menyebabkan produktivitas lahan menurun dan menambah biaya yang harus

dikeluarkan. Tekanan populasi berakibat pada intensifikasi pada tanaman sayuran

dan meningkatkan degradasi lingkungan yang terjadi melalui hilangnya aliran

permukaan setelah hujan deras. Bagi para petani yang lahannya tidak mempunyai

kapasitas untuk menyimpan air, kesuburan lahan menjadi berkurang. Hal ini

dianggap penyebab menurunnya dan hilangnya organik tanah dan mengakibatkan

inefisensi produksi.

Hal lainnya adalah kecilnya kepemilikan lahan usahatani dan status

kepemilikan, petani dihadapkan pada keterbatasan modal sehingga sayuran yang

dihasilkan menjadi tidak optimal. Selain lahan, faktor sumber daya manusia

khususnya dikaitkan dengan kapabilitas manajerial petani juga menyebabkan

inefisiensi produksi. Kapabilitas manajerial petani ini akan menentukan

rasionalitas petani dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya.

Selanjutnya masalah yang terjadi adalah degradasi lahan dan erosi yang

berlangsung terus. Katharina (2007) memprediksi besarnya erosi dalam jangka

panjang di daerah Pangalengan berdasarkan sistem penanaman. Besarnya erosi

Page 46: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

10

yang terjadi pada penanaman searah lereng, searah kontur, dan teras bangku

berturut-turut sebesar 13 – 17 ton/ha/tahun, 9.6 – 12.6 ton/ha/tahun, dan 4.9 – 6.7

ton/ha/tahun. Akibat langsung dari besarnya erosi adalah produktivitas lahan

rendah di wilayah ini, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya produksi beberapa jenis

tanaman dominan seperti kentang, kubis, cabe dan lainnya (Dinas Pertanian

Tanaman Pangan Jawa Barat, 2010) padahal produksi tersebut masih dapat

ditingkatkan. Akibat rendahnya produktivitas lahan menyebabkan pendapatan

berkurang dan usahatani sayuran tidak berkelanjutan. Kondisi ini disebabkan

masih kurangnya pengetahuan petani terhadap pertanian berkelanjutan. Oleh

karena itu diperlukan penelitian efisiensi dan usahatani sayuran berkelanjutan

dilihat dari dimensi ekonomi, sosial dan ekologi.

Di dalam usahatani sayuran, penggunaan pupuk dan pestisida yang

berlebihan merupakan perhatian penting karena sangat mempengaruhi

keberlanjutan usahatani. Penggunaan lahan, pupuk dan pestisida yang tidak

efisien menyebabkan lingkungan yang berbahaya. Dalam penelitian ini kinerja

ekonomi dan keberlanjutan diukur dalam terminologi efisiensi. Efisiensi

mengukur penggunaan input tertentu untuk mencapai hasil yang maksimal.

Meskipun pendekatan efisiensi tidak cukup untuk mengukur keberlanjutan,

namun peningkatan efisiensi dapat dilihat sebagai sebuah keharusan kearah

keberlanjutan yang lebih tinggi (Tyteca, 1998).

Setiap usahatani mempunyai kontribusi yang berbeda terhadap

keberlanjutan. Efisiensi teknik digunakan untuk melihat perbedaan kinerja

usahatani yang diukur dengan perbedaan dari aspek lingkungan dan sosial,

beberapa karakteristik manajerial dan struktural. Selanjutnya aspek lingkungan

dan sosial diintegrasikan ke dalam perhitungan keberlanjutan, yang diukur dalam

terminologi “nilai keberlanjutan (sustainable value)”. Kemudian metodologi

“nilai keberlanjutan” digunakan untuk mengukur usahatani berkelanjutan

dikombinasikan dengan analisis efisiensi untuk membangun tolok ukur

(benchmark) yang dibutuhkan (Van Passel, 2008, 2009).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan

sebagai berikut:

Page 47: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

11

1. Bagaimana tingkat efisiensi usahatani dan faktor penyebab inefsiensi teknis

dan alokatif usahatani sayuran kentang dan kubis?

2. Bagaimana organisasi produksi untuk meningkatkan produksi dan efisiensi

usahatani sayuran kentang dan kubis?

3. Bagaimana pengaruh kemiringan lahan dan sistem penanaman terhadap

efisiensi teknik, alokatif, dan ekonomi?

4. Bagaimana kontribusi petani terhadap keberlanjutan usahatani sayuran

dataran tinggi di Jawa Barat?

5. Upaya-upaya apa yang dilakukan supaya petani sayuran dataran tinggi dapat

berkelanjutan?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan melihat tingkat efisiensi usahatani

sayuran dataran tinggi dan mengetahui kontribusi petani terhadap keberlanjutan

sayuran dataran tinggi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk

1. Mengestimasi tingkat efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi dari usahatani

sayuran dataran tinggi di Jawa Barat

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis,

alokatif, dan ekonomis.

3. Menganalisis pengaruh kemiringan lereng dan sistem penanaman

/konservasi terhadap efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi

4. Mengestimasi tingkat kontribusi petani terhadap keberlanjutan usahatani

sayuran sebagai indikator kinerja keberlanjutan.

5. Merumuskan alternatif kebijakan dalam upaya meningkatkan produktivitas,

efisiensi dan keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di Jawa Barat

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna sebagai : (1) sumbangan pemikiran dan

bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan strategi yang tepat

dalam mendorong petani dalam mengadopsi pertanian berkelanjutan, (2) bagi

petani sayuran lahan dataran tinggi, sebagai pertimbangan untuk menentukan apa

yang sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan

keberlanjutan usahatani, (3) sumbangan pemikiran bagi penelitian lanjutan.

Page 48: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

12

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

1. Petani yang dijadikan contoh dalam penelitian ini terbatas petani kentang

dan kubis sebagai komoditas yang banyak ditanam di daerah penelitian

2. Struktur input-output, analisis usahatani, dan analisis fungsi produksi

digali dalam periode satu tahun (tiga musim tanam), sehingga

dimungkinkan satu orang petani masuk dalam dua unit analisis.

3. Penelitian ini difokuskan pada aspek produksi di tingkat petani melalui

pendekatan efisiensi teknis dengan memasukkan faktor inefisiensi. Untuk

mengukur efisiensi ekonomi digunakan fungsi biaya dual yang

diturunkan dari fungsi produksi. Hal ini dilakukan karena untuk data

cross section relatif tidak ada variasi harga, jika harga berbeda antar

petani hanya disebabkan oleh perbedaan biaya transportasi.

4. Keterbatasan yang dijumpai di lapangan adalah tersebarnya lahan petani.

Pemilihan petani sampel didasarkan pada lokasi yang telah dipilih, tetapi

ternyata lokasi lahan petani tidak sama dengan tempat domisili sehingga

beberapa lahan mempunyai kemiringan yang relatif kurang sesuai dengan

kerangka sampling.

5. Pada saat penelitian ini dilakukan sedang terjadi musim kemarau,

sehingga para petani lebih banyak bermukim di lokasi lahan untuk

mengatur air, terutama untuk kentang. Akibatnya wawancara dilakukan

pada sore bahkan malam hari setelah petani pulang dari lahannya dan

beberapa petani diwawancara dalam keadaan lelah sehingga

menyebabkan beberapa data kurang akurat.

6. Data yang digunakan adalah data cross section sehingga tidak dapat

menangkap fenomena antar waktu, terutama untuk analisis keberlanjutan.

7. Keterbatasan lainnya adalah pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini hanya menggunakan fungsi produksi stochastic frontier

dengan model produksi frontier Cobb-Douglas. Pendekatan lainnya

seperti model translog ataupun pendekatan DEA, Total Factor

Productivity tidak dijadikan pilihan dalam penelitian ini.

8. Pengukuran keberlanjutan usahatani hanya didekati dengan ukuran

sustainable value approach dengan pendekatan efisiensi. Hasil estimasi

Page 49: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

13

fungsi Cobb-Douglas dijadikan bahan untuk mengukur penggunaan

sumberdaya yang efisien yang akan dijadikan benchmark.

1.6. Kebaruan Penelitian

Beberapa penelitian efisiensi suatu komoditas telah banyak diteliti,

sebagian besar penelitian menjelaskan efisiensi dan faktor-faktor penyebabnya.

Namun penelitian efisiensi dengan memasukkan variabel kemiringan lahan dan

sistem penanaman/ konservasi serta mengkaitkannya dengan efisiensi alokatif dan

ekonomi relatif terbatas. Penelitian empiris mengenai pertanian berkelanjutan

telah banyak dilakukan di Indonesia, namun dengan menggunakan indikator

yang berbeda-beda. Kebanyakan penelitian pertanian berkelanjutan menggunakan

index dan status keberlanjutan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang

telah ada karena menggunakan pendekatan nilai keberlanjutan (sustainable value)

dikaitkan dengan efisiensi. Penelitian mengenai nilai keberlanjutan yang

dikaitkan dengan efisiensi masih terbatas bahkan di Indonesia belum ada yang

melakukan penelitian ini.

Dengan demikian kebaruan penelitian ini adalah selain mengkaitkan

pengaruh kemiringan lahan dan sistem penanaman terhadap efisiensi teknik,

efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi, juga mengukur kontribusi petani terhadap

keberlanjutan usahatani kentang dan kubis dengan menggunakan pendekatan nilai

keberlanjutan (sustainable value approach) dikaitkan dengan efisiensi teknik.

Dua metodologi dibangun untuk melihat dan menilai keberlanjutan yaitu

mengkombinasikan pendekatan nilai keberlanjutan dengan tolok ukurnya

(benchmark) dan efisiensi keberlanjutan (return to cost). Benchmark dalam

penelitian ini diperoleh dari estimasi fungsi produksi frontier Cobb-Douglas.

Page 50: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...
Page 51: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

II. TINJAUAN PUSTAKA

Estimasi efisiensi produksi banyak dianalisis di negara berkembang

maupun negara sedang berkembang. Hal ini penting terutama di negara sedang

berkembang dimana berpotensi untuk meningkatkan produksi pertanian melalui

peningkatan dan pengembangan area dan adopsi teknologi baru yang terbatas.

Banyak studi dilakukan untuk meningkatkan produksi melalui peningkatan

tingkat efisiensi pada tingkat usahatani dengan berdasarkan pada tingkat

sumberdaya dan tingkat teknologi yang ada. Sejumlah aplikasi empiris dilakukan

untuk mengukur efisiensi pertanian di banyak negara.

2.1. Konsep Fungsi Produksi dan Fungsi Produksi Frontier

Konsep utama dalam penelaahan ekonomi produksi adalah fungsi

produksi. Produksi adalah proses penggabungan masukan dan mengubahnya

menjadi keluaran. Sejumlah masukan diperlukan untuk memproduksi sejumlah

output. Meskipun produsen bervariasi ukurannya, tetapi semuanya mengambil

masukan dan mengubahnya menjadi segala sesuatu yang berguna yang disebut

keluaran (produk). Fungsi produksi merupakan hubungan teknis antara input

yang digunakan dengan output yang dihasilkan (Doll dan Orazem, 1984).

Betty and Taylor (1985) mendefinisikan fungsi produksi sebagai output

maksimum yang dapat dicapai dari penggunaan sejumlah input dan teknologi

tertentu. Beberapa asumsi yang digunakan dalam fungsi produksi adalah: Doll

&Orazem, 1984; Beattie & Taylor, 1985)

1. Proses produksi merupakan proses monoperiodik, artinya bahwa aktivitas

produksi dalam satu periode waktu benar-benar terpisah atau independent

terhadap periode rangkaiannya.

2. Seluruh input dan output dalam proses produksi adalah homogen, artinya

tidak ada perbedaan kualitas input maupun output dalam berbagai

tingkatan.

3. Fungsi produksi merupakan fungsi yang “twice continuously

differentiable”

4. Hubungan fungsi produksi dengan produk dan input dianggap pasti

Page 52: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

16

5. Akses dan ketersediaan input tidak terbatas, hal ini menunjukkan bahwa

anggaran yang tersedia untuk pembelian input tidak terbatas.

6. Tujuan perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan.

Beberapa konsep yang sering digunakan dalam penelaahan ekonomi

produksi antara lain elastisitas input, elastisitas produksi, dan skala usaha.

Elastisitas produksi didefinisikan sebagai persentase perubahan output yang

disebabkan oleh persentase perubahan masukan (input) yang digunakan.

Elastisitas input (ei) mengambarkan perubahan output yang disebabkan oleh

perubahan input ke i. Elastisitas produksi (Ep) merupakan penjumlahan semua

elatisitas input ( Σ ei) dan menggambarkan skala usaha (return to scale).

Penganalisis ekonomi memberi batasan efisiensi sebagai ‘alat pengukur’

untuk menilai pilihan-pilihan yang dilakukan produsen. Berdasarkan literatur,

konsep efisiensi merupakan suatu ukuran relatif dari input yang digunakan untuk

menghasilkan produk tertentu. Suatu metoda produksi dikatakan efisien secara

teknis, jika untuk menghasilkan jumlah produk tertentu digunakan input

minimum atau untuk menghasilkan jumlah output maksimum digunakan input

yang jumlahnya tertentu.

Untuk mencapai efisiensi ekonomi harus dipenuhi dua syarat, yaitu (1)

syarat keharusan (necessary condition) dan (2) syarat kecukupan (sufficient

condition). Dalam proses produksi, syarat keharusan akan terpenuhi bila (Doll

and Orazem, 1984): (1) dengan faktor produksi yang sama, produsen tidak

mempunyai kemungkinan lagi untuk menghasilkan jumlah produk yang lebih

tinggi dan (2) dengan faktor produksi yang lebih kecil, produsen tidak mungkin

menghasilkan jumlah produk yang sama. Syarat kecukupan (sufficient

condition) merupakan indikator pilihan (choice indicator) berupa rasio harga

input dengan harga output.

Fungsi produksi frontier (frontier production function) memiliki definisi

yang hampir sama dengan fungsi produksi klasik dalam menjelaskan konsep

efisiensi. Fungsi produksi frontier dipakai untuk mengukur bagaimana fungsi

yang sebenarnya terhadap posisi frontiernya. Fungsi ini menjelaskan output

maksimal yang dapat dicapai (Coelli, 1998). Doll dan Orazem (1984)

menjelaskan fungsi produksi frontier merupakan fungsi produksi maksimal yang

Page 53: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

17

dapat diperoleh dari sejumlah kombinasi faktor produksi pada tingkat teknologi

tertentu. Dengan demikian fungsi produksi frontier menggambarkan hubungan

fisik antara faktor produksi dengan output yang posisinya terletak pada isoquant.

Farrel (1957) menyatakan bahwa produksi frontier sebagai “best practice

frontier”

Fungsi produksi frontier telah banyak diaplikasikan dalam studi empiris

bidang pertanian. Salah satu keunggulan fungsi produksi frontier dengan fungsi

produksi lainnya adalah kemampuannya untuk menganalisis keefisienan dan

ketidakefisienan teknik suatu proses produksi. Hal ini bisa terjadi karena ke

dalam model dimasukkan suatu kesalahan baku yang mempresentasikan efisiensi

teknik ke dalam suatu model yang telah ada kesalahan bakunya.

2.2. Konsep Produktivitas dan Efisiensi

Produktivitas dan efisiensi merupakan konsep yang sering digunakan

namun berbeda arti. Produktivitas merupakan konsep absolut yang diukur dari

rasio output dengan input, sementara efisiensi sebuah konsep relatif yang diukur

dengan membandingkan rasio aktual dari output dengan input terhadap rasio

output dengan input pada kondisi optimal.

Produktivitas mengukur produk dalam jumlah fisik dan merupakan

kemampuan faktor produksi dalam menghasilkan output. Jadi produktivitas

adalah rasio antara output (nilai tambah, penerimaan) dengan input yang

digunakan. Jika hanya satu input yang digunakan disebut dengan produktivitas

parsial, dan bila seluruh input digunakan, disebut dengan produktivitas total (total

factor productivity). Produktivitas sama dengan jumlah output total dibagi

dengan jumlah input yang digunakan. Contohnya produktivitas lahan,

produktivitas tenaga kerja, dan lainnya.

Efisiensi digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi dari sebuah

perusahaan atau usahatani. Pengukuran efisiensi dimulai dengan konsep yang

dikemukakan oleh Farrel (1957) yang mendefinisikan efisiensi sebagai

kemampuan perusahaan untuk menghasilkan output maksimal dengan

penggunaan sejumlah input tertentu. Produksi potensial maksimal (juga dikenal

dengan “best practice frontier”) didifinisikan oleh produksi frontier. Pengukuran

Page 54: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

18 efisiensi menyangkut pengukuran jarak dari titik data yang diobservasi terhadap

frontiernya.

Efisiensi merupakan konsep penting dalam mengukur kinerja ekonomi

suatu proses produksi. Efisiensi dalam produksi disebut dengan efisiensi

ekonomi atau efisiensi produktif. Hal ini menggambarkan keberhasilan dalam

produksi mencapai output maksimum dari penggunaan sejumlah input tertentu.

Efisiensi dalam usahatani terdiri atas efisiensi teknik dan alokatif. Efisiensi teknik

(TE) menyangkut kemampuan perusahaan untuk mencapai output tertentu dengan

penggunaan input minimal atau kemampuan perusahaan untuk mencapai output

maksimal dengan penggunaan sejumlah input tertentu

Farrell (1957) memperkenalkan perbedaan antara efisiensi teknik dengan

efisiensi alokatif. Inefisiensi teknik terjadi output yang dicapai lebih kecil dari

output maksimum dengan menggunakan sejumlah input tertentu dan itu muncul

ada kesalahan dalam pengelolaan (mismanagement) metode aplikasi input yang

digunakan untuk memproduksi output. Kegagalan untuk mencapai output

maksimal dengan sejumlah input tertentu disebut dengan inefisiensi. Inefisiensi

dapat disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap teknologi, pasar, kredit,

penyuluhan, skala produksi yang tidak sesuai, dan alokasi input yang tidak

optimal (Wadud, 1999). Inefisiensi alokatif muncul ketika rasio dari produk

marjinal tidak sama dengan rasio harga input. Usahatani akan mengkombinasikan

input dan outputnya secara alokatif efisien jika harga pasar dari input tetap.

Kumbhakar dan Lovell (2000), mengukur efisiensi sebagai tingkat

keberhasilan seorang manajer dalam mengalokasikan input dan output yang

tersedia dalam mencapai tujuan dan mencapai tingkat efisiensi yang paling tinggi

dalam biaya, penerimaan dan keuntungan. Selanjutnya Doll dan Orazem (1984),

Lipsey (1987), Debertin (1986) mendefinisikan efisiensi sebagai jumlah output

maksimal yang dapat dicapai dengan penggunaan sejumlah input tertentu atau

untuk menghasilkan jumlah output tertentu digunakan input yang sekecil-

kecilnya. Sebuah fungsi produksi frontier (batas) merujuk pada jumlah output

maksimal yang dapat dicapai pada penggunaan input tertentu dan teknologi yang

tersedia.

Page 55: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

19

Efisiensi teknik adalah penggunaan input minimal untuk mencapai output

tertentu atau output maksimal yang dapat dicapai dengan penggunaan input

tertentu (Farrel (1957), Doll dan Orazem (1984), Lipsey (1987), Debertin (1986).

Jika produksi aktual lebih kecil dari produksi maksimal yang bisa dicapai, maka

produksi berada di bawah frontier dan jarak dari output aktual di bawah frontier

dengan produksi frontiernya disebut dengan inefisensi perusahaan. Farrel (1957)

dan Greene (1993) mendefinisikan efisiensi sebagai produktivitas aktual

dibandingkan dengan produktivitas maksimal yang dapat dicapai.

. Efisiensi alokatif (AE) menyangkut kemampuan perusahaan untuk

mengkombinasikan inputnya pada tingkat biaya minimum dan pada rasio harga

input tertentu. Penggunaan input secara alokatif efisien bila nilai produk marjinal

sama dengan harga input. Kondisi biaya minimum dapat dilihat pada Gambar 1.

Berdasarkan Gambar 1, diasumsikan produsen berproduksi pada tingkat output

tertentu (Yo) dan tingkat harga input yang tertentu pula (p1 dan p2). Kombinasi

input yang meminimalkan biaya tercapai pada saat kemiringan garis isokuan sama

dengan kemiringan garis isocost yaitu di titik G.

Gambar 1. Isoquant, Isocost, dan Titik Kombinasi Biaya Minimal

⁄ / Garis isocost:

, Isoquant

21

11 1

A

0 B

G

Page 56: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

20

Menurut Lovell (1993) sebuah perusahaan akan bekerja secara alokatif

efisien bila dapat mengkombinasikan input dan outputnya dalam proporsi yang

optimal pada tingkat harga yang tetap. Inefisiensi alokatif terjadi bila faktor

produksi digunakan dalam proporsi yang tidak meminimalkan biaya pada tingkat

output tertentu. Dengan kata lain, inefisiensi alokatif muncul ketika rasio nilai

produk marjinal tidak sama dengan harga input. Seluruh kinerja tersebut

mengukur efisiensi ekonomi (TE x AE). Efisiensi ekonomi tercapai bila usahatani

mencapai efisiensi teknik dan alokatif. Usahatani yang mencapai efisien secara

teknik dan alokatif maka secara ekonomi juga efisien.

2.2.1. Pengukuran Efisiensi Berorientasi Input

Model Fungsi Frontier pertama kali diperkenalkan oleh Farrel (1957)

dengan menggunakan kurva isokuan untuk menggambarkan efisiensi teknik,

alokatif dan ekonomi (Gambar 2.). Efisiensi teknik (TE) didefinisikan sebagai

kemampuan perusahaan untuk menghasilkan output maksimal dengan

penggunaan sejumlah input tertentu. Efisiensi alokatif (AE) mengukur kombinasi

input pada tingkat biaya minimal (least cost combination) dalam menghasilkan

output tertentu. Efisiensi alokatif akan tercapai bila rasio produk marjinal untuk

masing-masing input sama dengan rasio harga dari input tersebut. Dalam

kerangka Farrel, efisiensi ekonomi (EE) mengukur seluruh kinerja dan sama

dengan TE x AE atau EE = TE x AE.

Farrel (1957) menyatakan bahwa efisiensi teknik dapat diukur melalui

pendekatan input dan output. Gambar 2 mengilustrasikan konsep efisiensi teknik,

alokatif, dan ekonomi dengan pendekatan input. Pada Gambar 2 isokuan K dapat

digunakan untuk mengilustrasikan hubungan antara dua input pada tingkat output

tertentu. Input X1 dan X2 digunakan untuk menghasilkan sejumlah output yang

sama (Y). Setiap observasi pada isokuan mencapai efisiensi teknik (TE),

sedangkan observasi di atas frontier adalah inefisiensi teknis. Dari Gambar 2

terlihat bahwa pada observasi ‘a’ untuk memproduksi output sebesar Y digunakan

input X1 dan X2 yang lebih besar dibandingkan pada observasi ‘b’. Dengan kata

lain, efisiensi teknis dari observasi ‘a’ adalah 0b/0a.

TE =Ob/Oa = 1 – ba/oa =1 – inefisiensi teknik (0 TE 1)

Page 57: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

21

Efisiensi ekonomis

a-b : inefisiensi teknis b-c : inefisiensi alokatif

Efisiensi Teknis

Sumber: Farrel, 1957; Coelli, 1998; Bravo-Ureta, 1997. Gambar 2. Isokuan, Isocost, Efisiensi Teknis (TE), Efisensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) dengan Pendekatan Input

Jika informasi dari harga diketahui, dan beberapa perilaku asumsi (seperti

minimisasi biaya) sesuai, maka efisiensi alokatif (AE) dapat dihitung. Efsiensi

alokatif adalah kombinasi X1 dan X2 yang meminimalkan biaya. Pada Gambar 2.

terlihat seluruh observasi pada isocost ‘L’ adalah efisiensi alokatif. Observasi ‘b’

secara teknis efisien, tetapi mempunyai AE yang lebih kecil dari 1. Efisiensi

Alokatif didefinisikan sebagai:

AE = 0c/0b.

Kombinasi TE dan AE menghasilkan sebuah ukuran efisiensi ekonomi

(EE). Hanya observasi ‘d’ secara ekonomis efisien, pada saat itu isokuan akan

bersinggungan dengan isocost. Dengan demikian efisensi ekonomi

EE = TE x AE

EE = 0b/0a x 0c/0b

EE = 0c/0a.

Nilai efisiensi ekonomi berkisar antara 0 dan 1. Nilai 1 menunjukkan usahatani

secara penuh mencapai efisiensi ekonomi, sedangkan EE < 1 menunjukkan secara

ekonomi inefisien. Lebih dari tiga dekade, metodologi Farrel sudah diaplikasikan

secara luas. Beberapa studi telah dilakukan oleh: Aigner and Chu (1968), Aigner,

L

K

c

TE=0b/0a AE=0c/0b EE=TE*AE=0c/0a

X2/Y

X1/Y 0

b

d

a

Page 58: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

22 Lovell and Schmidt (1977), Meeusen and van den Broeck (1977), kemudian

dimodifikasi oleh Bravo-Ureta (1997).

2.2.2. Pengukuran Efisiensi Berorientasi Output

Pengukuran efisiensi berorientasi output terfokus pada perubahan output

dari sebuah usahatani yang dapat dicapai ketika menggunakan jumlah input yang

sama. Gambar 3 menyajikan ilustrasi efisiensi dengan metode pendekatan output.

Pada pendekatan input terdapat pertanyaan yang muncul adalah berapa banyak

input dapat dikurangi tanpa mengubah output yang diproduksi? Atau berapa

banyak output dapat ditingkatkan tanpa mengubah penggunaan input?

Sumber: Coelli, et al., 1998 Gambar 3. Efisiensi Teknik dan Alokatif dengan Pendekatan Output

Diagram pada Gambar 3 menggambarkan fungsi produksi dengan dua

output (y1 dan y2) dengan satu input (x). Pada tingkat teknologi tertentu kurva

kemungkinan produksi digambarkan dengan garis ZZ’, kurva isorevenue

digambarkan dengan garis DD’. Titik A adalah titik yang menggambarkan

kondisi inefisien karena berproduksi di bawah output maksimum yang dapat

dicapai (Coelli, et al., 1998). Mangacu pada Farrel (1957) jarak AB

menunjukkan kondisi inefisiensi teknik, sehingga:

Jika informasi harga diketahui, maka garis isorevenue DD’ dapat diperoleh.

Efisiensi alokatif dapat diukur dengan :

y2/x1

y2/x2

Z΄ 0

Z

C

B

D

B΄ A

Page 59: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

23

Selanjutnya efisiensi ekonomi dapat diukur dengan :

Dengan : 0 < EE < 1

2.3 Pendekatan Pengukuran Efisiensi

2.3.1. Pendekatan Fungsi Produksi

Pengukuran tingkat efisiensi dan penggunaan input optimum secara

konvensional sering dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi.

Pendekatan fungsi produksi menyangkut estimasi rata-rata dari fungsi produksi.

Penggunaan input akan optimum atau efisien bila Nilai Produk Marjinal

(Marginal Value Product =MVP) untuk masing-masing input sama dengan biaya

input marjinal (Marginal Factor Cost). Dalam pasar persaingan sempurna MFC =

harga input. Bila NVP MFC, menunjukkan penggunaan input tidak efisien.

Pendekatan fungsi produksi rata-rata telah banyak digunakan secara luas

dalam penelaahan ekonomi produksi pada dekade yang lalu untuk mengukur

efisiensi alokatif. Namun demikian Lau and Yotopoulus (1971) menyatakan

bahwa pendekatan fungsi produksi rata-rata mempunyai masalah persamaan

simultan yang bias dan mudah terjadi multikolinier. Upton (1979) menyatakan

bahwa petani beroperasi pada kondisi yang dinamis dan kompleks, karenanya

fungsi produksi secara tunggal tidak dapat digunakan untuk menerangkan kondisi

tersebut. Sejumlah petani merupakan “risk averse” dan menguji perilaku

maksimisasi keuntungan menjadi tidak realistis.

2.3.2. Pendekatan Fungsi Produksi Frontier

Pendekatan fungsi produksi frontier dilakukan untuk mengestimasi

frontier dan bukan fungsi produksi rata-rata. Metodologi frontier pertama kali

diperkenalkan oleh Farrel (1957) dan telah berkembang secara luas digunakan

dalam aplikasi analisis produksi. Menurut Farrel (1957) pengukuran efisiensi

dapat diklasifikasikan menjadi dua katagori yaitu parametrik frontier dan non

parametrik frontier. Model parametrik dibagi ke dalam model stokastik

(Stochastic Frontier Analysis) dan deterministik ( deterministic frontier )(Coelli et

al., 1998, Bravo-Ureta, 2007, Wadud, 1999). Pendekatan yang digunakan

disajikan pada Gambar 4.

Page 60: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

24

Sumber : Wadud, 1999. Gambar 4. Pendekatan Pengukuran Efisiensi.

Pendekatan non parametrik menggunakan model DEA (Development

Envelopment Analysis) yang didasarkan pada teknik program matematika.

Pengukuran efisiensi melalui pendekatan DEA meliputi penggunaan Linear

Programming dalam menghitungkan efisiensi. Beberapa studi dengan

menggunakan model non parametrik telah dilakukan antara lain oleh Abay

(2004), de Koeijer (2002), Sherlund (2002), Wadud (2000). Gambar 4

memperlihatkan diagram pengukuran efisiensi.

2.3.3. Pendekatan Parametrik

Pendekatan parametrik dapat dibedakan menjadi pendekatan

parametrik deterministik dan stokastik (Bravo-Ureta and Pinheiro (1993),

Murillo-Zamorano (2004). Battesse (1992) dan Coelli et al. (1998) sudah

meninjau kembali perkembangan dalam produksi fungsi frontier ekonometrik.

Pendekatan deterministik disebut juga model ”full frontier” karena untuk seluruh

observasi, jarak antara produksi yang diobservasi dengan produksi frontier pada

tingkat teknologi yang tersedia dinyatakan sebagai inefisiensi teknik. Kritik

utama dari model deterministic frontier adalah bahwa tidak terdapat kemungkinan

pengaruh dari kesalahan pengukuran dan gangguan lain terhadap frontier. Semua

deviasi dari frontier dianggap sebagai hasil dari inefisiensi teknis (Kopp and

Diewert, 1982).

Pengukuran Efisiensi

Stochastic Frontier

Non Parametrik/Program Matematika

(Data Envelopment Analysis) Parametrik

Deterministic Frontier

Orientasi Output

Orientasi Input

Efisiensi

Page 61: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

25

Model deterministik mengasumsikan bahwa deviasi dari frontier

disebabkan oleh inefisiensi sementara dalam model stokastik, error disebabkan

oleh gangguan statistik yang berasal dari gangguan diluar kontrol produksi dan

berasal dari efek inefisiensi. Karenanya masalah utama dalam model

deterministik dan stokastik adalah dalam pengukuran error (Greene, 1993).

2.3.3.1. Pendekatan Parametrik Deterministik Frontier

Pendekatan Frontier Deterministik dikembangkan lagi oleh Aigner et al

(1977), Meeusen van den Broeck (1977) dan dikembangkan lagi oleh Jondrow et

al (1982). Beberapa studi sebelumnya dengan menggunakan pendekatan model

deterministik telah dilakukan oleh Ahmad (1996), Ekanayake (1987), Hallam

(1996). Dalam kerangka fungsi produksi cross-sectional, parametrik frontier

Aigner and Chu (1968) menspesifikan fungsi deterministik frontier sebagai:

, . exp ; 0 ....................................................... (1)

dimana :

i = petani ke-i

= output petani ke-i (output yang diobservasi)

, = ouput /fungsi produksi frontier

= vektor input petani ke-i

β = parameter yang akan diukur

= inefisiensi teknik petani ke-i,

Aigner and Chu (1968) adalah orang pertama yang mengestimasi fungsi

produksi deterministik frontier menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas.

Argumentasi yang dikemukakan adalah pada industri tertentu, perusahaan akan

berbeda dengan perusahaan lain dalam hal proses produksi, disebabkan oleh

parameter teknik dalam industri, perbedaan skala operasi, dan struktur organisasi.

Dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas persamaan (1) menjadi :

ln ln ; 0 .

… … … … … … … … … … … …. 2

Dari persamaan (2) diperoleh: , sehingga 0, dan

TE = exp (-ui), 0 TEi 1 ...................................................................................... (3)

Page 62: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

26

Afriat (1972) membuat model yang hampir sama dengan aigner and Chu

(1968) dengan hanya berbeda bahwa ui mempunyai sebuah distibusi gamma dan

parameter dari model diestimasi dengan menggunakan prosedur Maximum

Likelihood (ML). Richmond (1974) menemukan bahwa parameter dari Afriat

(1972) dapat diestimasi dengan menggunakan metode Corrected Ordinary Least

Square (COLS), dan mudah diaplikasikan karena tidak ada asumsi spesial tentang

error term (Daryanto, 2000). Metode COLS adalah prosedur dua tahap, pertama

model diestimasi dengan menggunakan OLS kemudian intersep dikoreksi dengan

menggeser ke atas selama tidak ada residual yang positif dan nol. Residual yang

terkoreksi kemudian digunakan untuk mengestiamsi efisiensi teknik (Daryanto,

2000).

Pendekatan deterministik frontier tidak lepas dari kelemahan yaitu

mengasumsikan bahwa seluruh deviasi dari frontier berasal dari efek inefisiensi,

(Russel and Young, 1983) dan bukan berasal dari pengaruh kesalahan

pengukuran, gangguan statistik lain, dan gangguan random di luar kontrol

perusahaan/usahatani. Seperti diketahui, kinerja usahatani dipengaruhi oleh

faktor di luar kontrol petani dan di bawah kontrol petani. Faktor di luar kontrol

petani meliputi iklim, cuaca, kegagalan pasar dan pengukuran error. Faktor yang

dapat dikontrol petani meliputi karakteristik sosial ekonomi dan manajemen

praktis. Karenanya fungsi produksi parametrik frontier dikembangkan dengan

memasukkan pengaruh variabel ini seperti telah dikembangkan oleh Aigner et al.,

(1977) dan Meeusen Van den Broeck (1977).

Lebih dari dua dekade model ini telah banyak digunakan dan pada dekade

tahun 1970-an model produksi frontier deterministik diperluas oleh Afriat (1972)

dan lebih sistematik oleh Aigner, Lovell dan Schmidt (1977), Meeusen dan van

den Broeck (1977) dan Batesse dan Corra (1977) yang secara simultan

mengembangkan Model Stochastic Frontier (SFM).

2.3.3.2. Pendekatan Parametrik Stochastic Frontier

Seperti telah dikemukakan di atas, model fungsi produksi deterministik

mengasumsikan bahwa seluruh sampel mempunyai frontier yang sama dan

seluruh deviasi dari frontier berasal dari efek inefisiensi. Asumsi ini telah banyak

dkritisi, karena pada kenyataannya produksi dipengaruhi oleh faktor diluar kontrol

Page 63: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

27

petani (cuaca, iklim, dan pengukuran (error) yang muncul dari usahatani) dan

inefisiensi teknis yang disebabkan oleh variasi faktor manajemen di bawah

kontrol petani.

Pendekatan stokastik frontier menggunakan metode ekonometrika. Model

stokastik frontier dan pengukuran efisiensi ini sudah banyak dibahas antara lain

oleh Schmidt (1976), Schmidt (1986), Battese (1992), Greene (1993), Coelli et

al., (2005), Bravo-Ureta et al. (2007), Sukiyono (2005), Msuya et al (2008), Solis

et al (2009), Saptana (2011).

Coelli et al., (2005) secara terpisah dan cukup terinci mengemukakan

konsep tentang fungsi produksi stokastik frontier. Ide penting dibalik model

frontier stokastik adalah bahwa kesalahan digabung ke dalam dua bagian.

Komponen simetrik mengizinkan variasi random dari frontier antar perusahaan,

dan menangkap pengaruh kesalahan pengukuran, gangguan statistik lain, dan

gangguan random di luar kontrol perusahaan. Komponen satu-sisi menangkap

pengaruh inefisiensi relatif terhadap frontier statistik. Model frontier stochastic

dikembangkan oleh Aigner and Chu (1977) dan Meeusen Van den Broeck (1977)

dan ditulis sebagai:

( ) ( )ittiitit UVXfY −+= β , i=1,...,N, ..................................... (4)

Gambar 5. memperlihatkan fungsi produksi stochastic frontier untuk

kegiatan dua usahatani i dan j seperti yang dilustrasikan oleh Coelli et al (2005).

Penggunaan input digambarkan oleh garis horizontal dan output oleh garis

vertikal. Dalam Gambar 5. tersebut juga diperlihatkan output frontier, output

yang diobservasi dan fungsi produksi. Output deterministik dari model frontier

adalah Y = f(Xi,β). Usahatani i menggunakan input xi untuk memproduksi

output yi dengan output frontier Yi*. Nilai input-output yang diobservasi

ditunjukkan dengan tanda x. Nilai output stochastic frontier Y* = exp (xiβ + vi)

diberi tanda . Pada kondisi ini output Y*> output deterministik f(f(xi,β) karena

aktivitas usahataninya dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan (vi > 0).

Usahatani j menggunakan input xj untuk memproduksi output sebesar Yj.

Output stochastic frontiernya lebih kecil dari output deterministik f(xi,β) karena

aktivitasnya dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan dan vi < 0.

Page 64: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

28

Sumber: Coelli et al., 1998, 2005. Gambar 5. Fungsi Produksi Frontier dan Efisiensi

Untuk kedua usahatani output yang diobservasi lebih kecil dari output

frontiernya. Output aktual (yang diobservasi) dapat lebih besar dari output

deterministik frontier bila random error (vi) lebih besar dari inefisiensi teknis

(ui).

Keunggulan pendekatan frontier stokastik adalah dilibatkannya disturbance

term yang mewakili gangguan, kesalahan pengukuran dan kejutan eksogen yang

berada di luar kontrol unit produksi. Sementara itu, beberapa kelemahan dari

pendekatan ini adalah: (1) teknologi yang dianalisis harus digambarkan oleh

struktur yang cukup rumit/besar, (2) distribusi dari simpangan satu-sisi harus

dispesifikasi sebelum mengestimasi model, (3) struktur tambahan harus

dikenakan terhadap distribusi inefisiensi teknis, dan (4) sulit diterapkan untuk

usahatani yang memiliki lebih dari satu output (Adiyoga, 1999).

2.4. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis

Inefisiensi teknis dalam usahatani dapat disebabkan oleh beberapa faktor

seperti perbedaan besarnya usahatani, manajemen, faktor institusi, dan aspek

lingkungan. Beberapa variabel yang sering digunakan untuk menganalisis

efisiensi teknik antara lain sumberdaya rumah tangga petani yang berupa lahan,

tenaga kerja, modal, agregasi dari semua input yang dibeli, dan sekumpulan

0 xjxi

Ouput frontier Exp (xiβ +vi), jika vi > 0

Fungsi produksi y = exp (xβ)

Ouput frontier Exp (xjβ +vj), jika vj < 0 yj

yi

y

x

Page 65: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

29

peubah lingkungan, misalnya jenis tanah dan curah hujan. Gambar 6

memperlihatkan faktor karakteristik manajerial dan struktural yang mempengaruhi

efisiensi usahatani. Faktor agen adalah karakteristik manajerial dari usahatani

seperti umur, tingkat pendidikan, pengalaman, training, penyuluhan, pelatihan,

jender dan lainnya.

Faktor struktural diklasifikasikan ke dalam faktor on farm dan off farm.

Contoh on farm adalah ukuran lahan, tipe usahatani (spesialisasi, diversifikasi),

tipe organisasi (sewa, bagi hasil, kepemilikan), lokasi, dan faktor struktural

lainnya adalah karakteristik lingkungan (seperti kualitas tanah, vegetasi,

ketinggian tempat, , iklim, temperatur, kemiringan lahan, dan curah hujan), faktor

keuangan, dan teknologi. Intervensi pemerintah adalah salah satu contoh faktor

off farm. Beberapa studi telah dilakukan untuk melihat mengapa kinerja usahatani

bervariasi khususnya efisiensi teknik. Efisiensi teknik dipengaruhi oleh luas

lahan, tipe organisasi, dan faktor agen. Beberapa studi juga membuat definisi

yang berbeda-beda untuk efisiensi teknik (Batesse and Coelli, 1995), Liu and

Zhuang (2000), Kalirajan (1990). Selain definisi yang berbeda, pendekatan yang

dilakukan juga berbeda.

Sumber: Van Passel, et al., 2006a

Gambar 6. Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi

Contohnya: Kebijakan pemerintah

EFISIENSI USAHATANI

Faktor structural

Faktor Agen

Faktor On-farm

Faktor Off-farm

Contohnya: Pendidikan, umur, pengalaman, training,penyuluhan

Contohnya: Lokasi, tipe usahatani, luas lahan, kualitas tanah, ketinggian,

Page 66: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

30

Thirtle and Holding (2003) menemukan bahwa usahatani dengan lahan

luas lebih efisien dibandingkan lahan sempit. Herdt and Mandac (1981)

menemukan hubungan yang negatif antara luas lahan dengan efisiensi. Beberapa

peneliti menyatakan bahwa hubungan lahan dengan efisiensi tidak berlaku umum

karena selain dipengaruhi oleh luas lahan, kualitas dan sistem pengelolaan juga

mempengaruhi efisiensi. Struktur dan penguasaan lahan, sewa, bagi hasil,

mempunyai bentuk yang berbeda antar usahatani. Thiele and Brodersen (1999)

menemukan bahwa status kepemilikan lahan tidak dapat menerangkan perbedaan

efisiensi di usahatani Jerman. Namun Reddy (2002) menemukan bahwa petani

penyewa kurang efisien dibandingkan dengan petani pemilik.

Perbedaan dalam efisiensi juga dapat diterangkan oleh perbedaan

lingkungan seperti iklim, kualitas lahan, vegetasi, ketinggian tempat, dan

temperatur (van Passel, 2006). O’Neil et al (2001) menemukan bahwa terdapat

perbedaan efisiensi di Irlandia Timur dengan di Irlandia Barat. Selanjutnya

Thirtle dan Holding (2003) menyatakan petani pemilik lebih efisien dibandingkan

penyewa dan penggarap. Struktur off farm juga mempengaruhi efisiensi.

Efisiensi akan meningkat sejalan dengan adopsi teknologi dan akses terhadap

kredit. Agen faktor yang mempengaruhi efisiensi antara lain umur, pengalaman,

pendidikan, struktur manajemen. Battesse dan Coelli (1995) menguji pengaruh

umur tehadap efisiensi, dan menemukan bahwa petani tua lebih tidak efisien

dibandingkan petani muda. Parikh et al (1995) juga melaporkan hal yang sama,

petani tua kurang respon terhadap adopsi inovasi.

Banyak studi telah mengkaitkan umur petani, pendidikan, akses terhadap

penyuluhan, akses terhadap kredit, agro-ekologi, luas lahan, jumlah plot yang

dimiliki, jumlah tanggungan keluarga, jender, akses ke pasar, akses pada

teknologi pemupukan,kebijakan intervensi pemerintah dengan efisiensi teknik.

Variabel tersebut mempunyai pengaruh positif terhadap efisiensi (Amos 2007;

Ahmad et al 2002; Kibaara 2005; Tchale 2007; dan Basnayake and Gunaratne

2002). Bravo-Ureta and Pinheiro 91993) menemukan keterkaitan antara efisiensi

teknis dengan variabel sosial ekonomi seperti umur, tingkat pendidikan, ukuran

lahan, akses terhadap kredit, dan akses terhadap penyuluhan.

Page 67: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

31

2.5 Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam World

Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United

Nations Environment Programme (UNEP), International Union for the

Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for

Nature (WWF) pada 1980.

Konsep pertama Pembangunan Berkelanjutan dirumuskan dalam

Bruntland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai

Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1987

World Comission on Environment and Development (WCED) mempublikasikan

formulasi Brundtland dalam “Our Common Future” yang menghubungkan

dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Bruntland Report mendefinisikan:

“sustainable development as development which meets the needs of current

generations without compromising the ability of future generations to meet their

own needs “ (WCED, 1987).

Banyak definisi yang telah dikemukakan mengenai pembangunan

berkelanjutan. Munasinghe (2004) menyatakan bahwa pembangunan

berkelanjutan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi (economic

objective), tujuan ekologi (ecological objective) dan tujuan sosial (social

objective). Tujuan ekonomi terkait dengan masalah efisiensi (efficiency) dan

pertumbuhan (growth); tujuan ekologi terkait dengan masalah konservasi

sumberdaya alam (natural resources conservation); dan tujuan sosial terkait

dengan masalah pengurangan kemiskinan (poverty) dan pemerataan (equity).

Dengan demikian, tujuan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada

adanya harmonisasi antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan tujuan sosial,

seperti yang digambarkan dalam Gambar 7.

Gambar 7 memperlihatkan tiga tujuan yang berkaitan, sinergis dan

terintegrasi. Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran

pendapatan yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan asset

produktif yang menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator

utama dimensi ekonomi ini ialah tingkat efisiensi, dan daya saing, besaran dan

pertumbuhan nilai tambah (termasuk laba), dan stabilitas ekonomi. Dimensi

Page 68: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

32 ekonomi menekankan aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi (material) manusia

baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang.

• Intra-generationalequity - valuation/internalisation • Basic needs/livelihood - insidence of impacts

• Intergenerational equity • Values/culture

Sumber: Munasinghe, 2004

Gambar 7. Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan

akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis

(termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan modal

sosio-kebudayaan, termasuk perlindungan terhadap suku minoritas. Untuk itu,

pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan,

partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial-budaya merupakan indikator-

indikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.

Dengan demikian pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan melalui

keterkaitan yang tepat antara sumberdaya alam, kondisi ekonomi, dan sosial.

Nurmalina (2007) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah

situasi harmoni yang sifatnya statis, namun merupakan suatu proses perubahan

yang eksploitasi sumberdaya alamnya, orientasi perkembangan teknologi, dan

pengembangan kelembagaan konsisten dengan pemenuhan kebutuhan pada saat

ini dan masa depan.

• Growth • Efficiency • Stability

ECONOMIC

SOCIAL • Enpowerment • Inclusion/consultation • Institution/governance

ENVIRONMENTAL • Resilience/biodiversity • Natural resources • pollution

• Poverty • Equity • Sustainability • Climate

Page 69: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

33

2.5.1. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pertanian berkelanjutan atau usahatani berkelanjutan sudah dirangkum

sebagai sebuah isu luas yang meliputi peran usahatani dalam masyarakat

pedesaan, kebutuhan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan, penggunaan

lahan pedesaan, ternak, pembangunan pasar pangan lokal, dan kebutuhan

pertanian untuk mendorong sektor lainnya misalnya kepariwisataan. Empat pilar

diartikan sebagai (1) secara ekonomi fisibel (economically feasible) untuk

membentuk sistem produksi jangka panjang, merujuk pada perbaikan

produktivitas tanaman dan, (2) penggunaan teknologi yang sepadan

(technologically appropriate), (3) secara lingkungan tidak merusak dan

berkelanjutan dan merujuk pada pelestarian peningkatan sumberdaya lingkungan,

(environmentally sound and sustainable), (4) secara`sosial dan budaya dapat

diterima dan merujuk pada keadilan, dan peningkatan kualitas hidup ( socially and

culturally acceptable) (Munasinghe, 2004; Zhen, 2003).

Suryana (2005) menyatakan bahwa konsep keberlanjutan mengandung

pengertian pengembangan produksi pertanian harus tetap memelihara kelestarian

sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Untuk menjaga pertanian berkelanjutan

dalam jangka panjang lintas generasi antara lain mengembangkan sistem

usahatani konservasi, pengendalian hama terpadu dan AMDAL. Pertanian

berkelanjutan dapat merespon perubahan pasar, inovasi teknologi terus menerus,

teknologi ramah lingkungan, dan pelestarian sumberdaya alam. Salah satu

strategi adalah penggunaan LEISA.

2.5.2. Pengukuran Indikator Pertanian Keberlanjutan

Untuk menilai keberlanjutan diperlukan beberapa indikator, namun

indikator keberlanjutan yang terdiri atas banyak aspek masih beragam. Beberapa

indikator yang telah dikenal dikemukakan oleh Smith dan McDonald (1998),

Ceyhan (2010) dan lainnya. Secara umum, indikator dijabarkan dari tiga pilar

pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan,

sebagai aspek multidimensi dari keberlanjutan. Beberapa analisis indikator yang

telah digunakan antara lain RISE ( Response-Inducing Sustainability Evaluation),

AMOEBA serta analisis multi-dimensi. Kesulitan menilai keberlanjutan

menggunakan pendekatan multidimensi adalah unit yang diukur dan skala yang

Page 70: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

34 sesuai untuk pengukuran yang berbeda antar dimensi keberlanjutan (Rigby, 2001).

Beberapa kerangka kerja indikator yang digunakan dalam pertanian dapat

ditemukan dalam Smith dan McDonald (1998), Meul et al, (2009), Zhen &

Routray (2003) dan Ceyhan (2010).

Beberapa peneliti membuat komponen atau indikator pertanian

berkelanjutan yang berbeda. Rao dan Rogers (2006), menyatakan bahwa

pertanian berkelanjutan menyangkut faktor agronomi, ekologi, ekonomi, sosial,

dan etika. Pada dasarnya peneliti menyatakan bahwa sistem usahatani

berkelanjutan harus berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan dan

harus terintegrasi secara menyeluruh(Zhen & Routray, 2003; Ceyhan,2010).

Dalam Assessing the Sustainability of Agriculture at the Planning Stage,

Smith dan Mc Donald (1998) mengusulkan beberapa indikator penting untuk

menilai keberlanjutan usahatani di Australia. Mereka berargumentasi bahwa dari

sisi ekonomi, keuntungan seperti produksi total dan pendapatan bersih usahatani

merupakan indikator penting dari pertanian berkelanjutan. Dari sisi lingkungan,

difokuskan pada kecenderungan penggunaan lahan dan air karena pengaruhnya

pada produksi jangka panjang. Peningkatan efisiensi penggunaan air, perbaikan

hara, perbaikan biodiversitas, pengurangan kehilangan tanah dipandang sebagai

indikator keberlanjutan yang potensial.

2.6. Konsep Pendekatan Nilai Keberlanjutan (Sustainable Value Added)

Konsep pembangunan berkelanjutan sudah banyak dikembangkan sejak

tahun 1980-an terutama pada level makro. Callens dan Tyteca (1999)

mengembangkan konsep pembangunan berkelanjutan pada level mikro yaitu pada

tingkat perusahaan/usahatani. Namun penemuan pengukuran yang berkaitan

dengan keberlanjutan perusahaan dalam ukuran absolut sering dianggap tidak

penting (Figge dan Hahn, 2002). Atkinson (2000) mengembangkan sebuah

ukuran keberlanjutan pada level mikroekonomi dalam terminology “corporate

contribution to sustainability”. Hal ini membawa konsekuensi ukuran

keberlanjutan dipertimbangkan dalam kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan.

Callens and Tyteca (1999) menyatakan bahwa efisiensi ekonomi, sosial,

dan lingkungan merupakan sebuah syarat keharusan tetapi bukan syarat

kecukupan ke arah keberlanjutan. Selanjutnya Templet (2001) menyatakan

Page 71: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

35

bahwa keberlanjutan dapat ditingkatkan melalui strategi yang mempromosikan

penggunaan sumberdaya yang efisien dalam sistem ekonomi.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, konsep produktivitas, efisiensi, dan

eco-efficiency merupakan konsep penting untuk menilai keberlanjutan.

Produktivitas adalah output dibagi dengan input. Farrel (1957) mendefinisikan

efisiensi sebagai produktivitas aktual usahatani dibandingkan dengan

produktivitas maksimum yang dapat dicapai. Di samping kedua konsep tersebut,

satu lagi ukuran keberlanjutan adalah eco-efficiency. OECD (1998)

mendefinisikan efisiensi sebagai manajemen ekonomi terbaik dengan tekanan

lingkungan terbaik, dan sekarang dikenal dengan pendekatan keberlanjutan (Van

Passel, 2009). Meskipun terdapat bermacam-macam definisi eco-efficiency, tetapi

sebuah definisi yang terkenal adalah rasio dari nilai yang diciptakan per unit

dampak lingkungan, atau disebut pula produktivitas lingkungan.

Salah satu cara untuk menilai kontribusi perusahaan terhadap keberlanjutan

adalah mengurangi biaya dari keuntungan yang dapat diciptakan. Untuk tujuan

tersebut harus dipertimbangkan biaya internal dan eksternal (Figge dan Hahn,

2002). Jika keuntungan (benefit) lebih besar dari biaya internal dan eksternal

maka disebut net value added. Atkinson (2000) menyebutnya “Green value

added”. Selain ukuran absolut, ukuran relatif menggambarkan kontribusi

perusahaan sebagai keuntungan per unit dampak lingkungan dan sosial, dan

disebut “eco-efficiency”. Eco-efficiency merupakan sebuah rasio dari nilai yang

diciptakan dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan, atau menggambarkan

tingkat penggunaan sumberdaya lingkungan terhadap aktivitas ekonomi Callens

dan Tyteca, 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa peningkatan dalam eco-

efficiency akan meningkatkan kontribusi perusahaan terhadap keberlanjutan.

Suatu perusahaan akan membandingkan penerimaan dari penggunaan investasi

(sumberdaya) dengan alternatif penggunaan yang lain dari investasi (sumberdaya)

yang sama. Alternatif investasi (sumberdaya) disebut dengan benchmark.

Nilai tambah lingkungan (the environmental value added) berkaitan

dengan nilai ekonomi yang diciptakan oleh eco-efficiency perusahaan diatas eco-

effiency benchmark (Figge and Hahn, 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa eco-

efficiency sama dengan economic value added. Nilai tambah lingkungan dihitung

Page 72: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

36 melalui empat langkah. Langkah perhitungan nilai tambah lingkungan dapat

dilihat pada Gambar 8.

1. Langkah pertama adalah menghitung eco-efficiency dari perusahaan.

Terdapat beberapa rasio yang dapat digunakan tetapi yang sering digunakan

adalah rasio value added dibagi dengan environmental impact added.

Sumber: Figge and Hahn, 2002 Gambar 8. Langkah untuk Mengevaluasi Nilai Tambah Lingkungan dan nilai Tambah Sosial 2. Langkah kedua, menghitung eco-efficiency dari benchmark. Pemilihan

benchmark tergantung pada signifikansi yang diinginkan (Figge and Hahn,

2002) dapat perusahaan yang sama, sektor, atau ekonomi terbaik. Eco-

efficiency dari benchmark sama dengan value added benchmark dibagi

dengan environmental impact added benchmark.

3. Langkah ketiga menghitung value spread. Value spread membandingkan

eco-efficiency dari perusahaan dengan eco-efficiency dari benchmark. yaitu

eco-efficiency dari perusahaan dikurangi eco-efficiency dari benchmark.

4. Terakhir, menghitung Nilai Kontribusi (Environmental Value Added) yaitu:

……………………………………… (5)

Dengan:

3

4

Perusahaan Benchmark

Value Added Impact Added Value Added Impact Added

Eco- or Social-Efficiency

Eco- or Social-Efficiency

Impact Added Value Spread

Environmental or Social Value

Added

: : 21

Page 73: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

37

Nilai Kontribusi (Environmental Value Added) dapat dilihat pada Gambar 9.

Sumber : Figge dan Hahn, 2004) Gambar 9. Grafik yang menggambarkan Dampak Lingkungan Perusahaan Sampel

Eco-efficiency dari menunjukkan bagaimana efisiensi dari

aktivitas ekonomi yang dijadikan menggunakan sumberdaya

lingkungan yang terbatas. Untuk menjadi lebih berkelanjutan setingkat

benchmark, sumberdaya perusahaan dapat dialokasikan lebih eco-efficiency.

Figge dan Hahn (2005) menyatakan bahwa pada kenyataannya suatu sumberdaya

yang mempunyai produktivitas tinggi dapat mengkompensasi penggunaan

sumberdaya lain yang produktivitasnya rendah. Namun ketika menilai perbedaan

sumberdaya, akan muncul masalah agregasi sumberdaya. Oleh karena itu untuk

memecahkan masalah yang ada, sebuah konversi dari dampak seluruh

sumberdaya lingkungan kedalam sebuah dampak dari penggunaan sumberdaya

perlu dipertimbangkan.

Berkaitan dengan konsep-konsep di atas, selanjutnya dari nilai kontribusi

dapat dihitung nilai keberlanjutan (Sustainable Value Added). Nilai ini didasarkan

pada fakta bahwa sumberdaya ekonomi, lingkungan, sosial diintegrasikan secara

B

Impact Added Eb Ec Environmental

C

Val

ue

a A

Add

ed

Eco-efficiency (Company)

Environmental Value Added

Eco-efficiency (Benchmark)

c b

Page 74: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

38 berbeda. Untuk menilai penggunaan sumberdaya maka digunakan pendekatan

opportunity cost, artinya nilai diciptakan jika sumberdaya digunakan secara lebih

efisien dibandingkan alternatif penggunaan untuk sumberdaya yang sama.

Berdasarkan konsep ini suatu perusahaan akan menciptakan nilai yang

berkelanjutan bila menggunakan sumberdaya ekonomi, lingkungan, dan sosial

lebih efisien dibandingkan dengan benchmarknya. Nilai diciptakan bila

pengembalian dari investasi lebih besar dari biaya investasi. Benchmark juga

dapat didefinisikan sebagai biaya kapital (ADVANCE, 2006).

Seperti telah dikemukakan di depan, beberapa pendekatan untuk menilai

pembangunan berkelanjutan telah banyak dilakukan, salah satunya adalah

perhitungan nilai keberlanjutan (sustainable value = SVA) yang diperkenalkan

oleh Figge dan Hahn (2004), (2005). Nilai keberlanjutan (sustainable value)

adalah sebuah metode untuk mengukur kontribusi dari sebuah perusahaan,

usahatani atau sektor pertanian keseluruhan kearah keberlanjutan (sustainable

development) dari sebuah wilayah, negara atau dalam skala global. Sebuah

perusahaan berkontribusi terhadap keberlanjutan apabila benefit (keuntungan)

yang diciptakan lebih besar dari biaya ekonomi, social, dan lingkungan (Figge and

Hahn, 2004, hal.175).

Figge dan Hahn (2004) mencoba mengintegrasikan duality antara

keefektifan dengan efisiensi melalui pendekatan sustainable value. Berdasarkan

konsep opportunity cost, sumberdaya akan menciptakan nilai hanya ketika tidak

ada alternatif penggunaan yang menghasilkan nilai yang lebih besar dari

sumberdaya yang sama. Teori opportunity cost membandingkan keuntungan yang

diperoleh dari alokasi sumberdaya pada suatu proyek terhadap alokasi

sumberdaya pada alternative yang lain. Biaya sumberdaya merupakan

keuntungan yang diterima bila sumberdaya dialokasikan pada penggunaan yang

lain. Dengan cara yang sama Figge and Hahn (2004) mengaplikasikan teori ini

pada kapital lingkungan dan sosial. Nilai Keberlanjutan (Sustainable Value

Added = SVA) merupakan suatu pendekatan yang didasarkan pada opportunity

cost dari penggunaan sumberdaya yang digunakan suatu usahatani dibandingkan

dengan penggunaan sumberdaya dari tolok ukur (digambarkan oleh kumpulan

petani atau tujuan keberlanjutan). SVA merupakan sebuah alat untuk

Page 75: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

39

menentukan dimana usahatani menggunakan sumberdaya dalam rangka mencapai

kontribusi tertinggi terhadap keberlanjutan (Merante et al, 2008).

Ruff (2008) menyatakan bila Perusahaan A memproduksikan atau

menghasilkan keuntungan dari penggunaan kapital lingkungan dan sosial,

kemudian perusahaan B juga menggunakan sumberdaya yang sama dan

menghasilkan investasi yang lebih baik untuk masyarakat (pemilik kapital

lingkungan dan sosial) maka opportunity cost adalah keuntungan yang dapat

dicapai dalam alternatif investasi dengan menggunakan kapital yang sama.

Penggunaan konsep opportunity cost untuk mengevaluasi kapital lingkungan dan

sosial secara total merupakan kontribusi yang penting pada nilai keberlanjutan.

Kemudian metode tradisional juga digunakan untuk mengevaluasi nilai kontribusi

perusahaan terhadap keberlanjutan misalnya perbedaan antara keuntungan

perusahaan dengan opportunity cost dari sumberdaya kapital ekonomi, lingkungan

dan sosial.

Kualitas model dari keberlanjutan tergantung pada tiga hal yaitu pilihan

benchmark, sumberdaya yang diikutkan pada model, dan return yang akan

diterima (van Passel, 2009, Erhman, 2008, Illge (2008), Ruff (2008). Pilihan

benchmark akan menentukan biaya peluang. Dalam beberapa studi benchmark

ditentukan berdasarkan nilai terbaik dari ekonomi nasional (ADVANCE, 2006),

rata-rata dari perusahaan (Erhman, 2008, Illge (2008), rata-rata usahatani terbaik

dan juga rata-rata usahatani terbobot (Van Passel, 2009). Efisiensi benchmark

menggambarkann rata-rata kinerja dari alternatif penggunaan sumberdaya. Pilihan

benchmark bergantung pada tujuan penelitian. Figge dan Hahn (2005)

menggunakan ekonomi UK sebagai tolok ukur. Van Passel et al (2009)

menggunakan rata-rata penerimaan/keuntungan dalam sebuah sampel besar di

peternakan untuk menjelaskan perbedaan dalam keberlanjutan peternakan.

Erhman (2008) menggunakan tolok ukur rata-rata terbobot dari seluruh usahatani.

Keluaran penting dari SV adalah dapat meranking usahatani atau perbedaan

sistem produksi dari penggunaan sumberdaya yang efisien.

Pendekatan nilai keberlanjutan dapat dilihat sebagai sebuah penilaian

dampak “value-oriented”. Pendekatan “value oriented” mengintegrasikan apek

ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan keterkaitan pada opportunity cost, dan

Page 76: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

40 menganalisis berapa nilai yang hilang ketika sebuah bundel sumberdaya

digunakan. Dengan kata lain, pendekatan “value-oriented” mengusulkan dimana

sumberdaya dapat dialokasikan, artinya berapa banyak nilai yang akan diciptakan

dengan set sumberdaya jika sudah digunakan oleh perusahaan yang lebih efisien

(van Passel, 2009). Nilai SVA yang positif menunjukkan bahwa usahatani

berkelanjutan sementara SVA yang negatif menunjukkan bahwa usahatani lain

(benchmark) mempunyai nilai yang lebih tinggi dengan menggunakan

sumberdaya yang sama (Figge dan Hahn, 2004).

Pendekatan SVA menyediakan ukuran keuangan dari kontribusi

perusahaan terhadap keberlanjutan. Penilaian dilakukan dengan membandingkan

penggunaan sumberdaya perusahaan dengan penggunaan sumberdaya dari

benchmark. Meskipun Figge dan Hahn (2005) menyatakan bahwa SVA tidak

menunjukkan apakah perusahaan berkelanjutan, mereka menamai perusahaan

dalam terminologi berkontribusi pada keberlanjutan, secara implisit

mengasumsikan penggunaan sumberdaya yang efisien sebagai ‘berkelanjutan’.

Suatu perusahaan berkontribusi lebih berkelanjutan apabila return to capital lebih

besar dari rata-rata return on resource dari benchmark, dan sebaliknya.

Sebuah nilai keberlanjutan yang positif menunjukkan sumberdaya

digunakan lebih efisien dibandingkan dengan tolok ukurnya (benchmark). Nilai

ini memperlihatkan kelebihan penerimaan yang diciptakan atau kehilangan

penggunaan sumberdaya ekonomi, lingkungan, dan sosial relatif terhadap tolok

ukurnya (Illge et al, 2008). Menurut Figge dan Hahn (2004), SVA tidak

menunjukkan bahwa usahatani/perusahaan berkelanjutan tetapi hanya

menunjukkan berapa banyak usahatani sudah berkontribusi untuk lebih

keberlanjutan. Kontribusi ini dapat digambarkan dalam terminologi ekonomi,

sosial dan lingkungan, dan merupakan ukuran kinerja usahatani dibandingkan

dengan benchmark. ADVANCE (2006) menyatakan SVA membandingkan

penggunaan sumberdaya dari perusahaan dibandingkan dengan benchmark dan

menentukan biaya untuk masing-masing sumberdaya melalui opportunity cost.

Merante et al (2008) menyatakan nilai keberlanjutan (SVA) merupakan

suatu pendekatan yang didasarkan pada opportunity cost dari penggunaan

sumberdaya yang digunakan usahatani dibandingkan dengan penggunaan

Page 77: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

41

sumberdaya dari benchmark. Figge dan Hahn (2004, 2005) menyatakan bahwa

SVA menentukan bagaimana sumberdaya perusahaan digunakan dalam rangka

mencapai kontribusi tertinggi pada keberlanjutan. Nilai ini tidak memperlihatkan

penggunaan sumberdaya perusahaan berkelanjutan, tetapi hanya menyatakan

apakah perusahaan lebih berkelanjutan atau tidak dibandingkan dengan

perusahaan lainnya atau dibandingkan dengan benchmark.

Van Passel (2009) menyatakan terdapat beberapa keunggulan dari

pendekatan nilai keberlanjutan antara lain: (1) pendekatan ini dapat

mengintegrasikan keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan dan (2)

merupakan metode pertama yang memungkinkan sebuah integrasi dari

sumberdaya yang berbeda dan dapat membandingkan keberlanjutan antar sistem.

Namun demikian terdapat kelemahan dalam pendekatan ini yaitu (1) pendekatan

nilai keberlanjutan tidak menunjukkan apakah seluruh sumberdaya yang

digunakan berkelanjutan atau tidak tetapi hanya menunjukkan berapa perusahaan

berkontribusi untuk lebih berkelanjutan dari input yang digunakan dibandingkan

dengan benchmark, (2) ketidakmampuan dari metodologi dibatasi oleh data yang

tersedia dari penggunaan sumberdaya dan opportunity cost dari sumberdaya yang

berbeda (Figge and Hahn, 2005), dan (3) pendekatan ini tidak memasukkan

aspek kualitatif dari keberlanjutan.

2.7. Keterkaitan Antara Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan

Callens dan Tyteca (1999) menyatakan bahwa efisiensi ekonomi, sosial

dan lingkungan merupakan suatu langkah keharusan (tetapi bukan kecukupan)

kearah keberlanjutan. Peningkatan efisiensi penting menuju kearah keberlanjutan

karena dapat mentolelir pertentangan atau konflik tujuan ekonomi, sosial, dan

lingkungan yang dapat dicapai secara simultan. Peningkatan output per unit input

tidak hanya mengurangi dampak lingkungan yang merugikan tetapi juga dapat

meningkatkan pendapatan dengan cara mengurangi biaya atau meningkatkan

output (de Koeijer, 2002). Selanjutnya de Koeijer et al (2002) menyatakan bahwa

peningkatan efisiensi dapat mendukung keberlanjutan. Efisiensi merupakan

syarat keharusan tetapi bukan kecukupan untuk keberlanjutan.

Lebih jauh peningkatan sumberdaya yang efisien merupakan suatu hal yang

harus dilakukan untuk sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun tidak dapat

Page 78: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

42 diperbaharui (Van Passel, 2009). Tetapi efisiensi bukan syarat perlu untuk

keberlanjutan. Efisiensi menempatkan masyarakat pada kemungkinan utilitas

frontier, tetapi juga mengandung arti mendistribusikan kekayaan antar generasi

(Howarth and Norgaard, 1990). Keberlanjutan tidak hanya tentang kesamaan

intergenerasi, tetapi juga meliputi elemen efisiensi dan kesamaan distribusi

(Stavins et al, 2002). Dengan demikian peningkatan efisiensi dapat dilihat sebagai

sebuah langkah penting dan syarat keharusan kearah keberlanjutan yang lebih

tinggi.

Salah satu pengukuran kinerja ekonomi suatu usahatani adalah mengukur

efisiensi. Beberapa karakteristik struktural dan manajerial dapat menerangkan

perbedaan dalam efisiensi. Untuk analisis yang lebih mendalam, maka variabel

lingkungan dan sosial dapat diintegrasikan ke dalam perhitungan kinerja

pertanian, dan sebagai aplikasinya dapat diukur dalam terminologi “nilai

keberlanjutan”. Nilai ini dapat digunakan untuk mengukur usahatani

berkelanjutan.

Untuk menilai keberlanjutan usahatani dapat dilakukan dengan dua

pendekatan. Pertama, menilai atau menganalisis kinerja ekonomi usahatani yaitu

mengukur efisiensi teknis sebagai determinan kinerja ekonomi dan kedua

mengintegrasikan penggunaan sumberdaya lingkungan ke dalam analisis ekonomi

untuk menilai keberlanjutan usahatani. Integrasi lingkungan ke dalam

perhitungan kinerja usahatani merupakan penelitian yang penting oleh karena itu

konsep dari nilai keberlanjutan untuk mengukur kontribusi kearah keberlanjutan.

Akhirnya pendekatan nilai keberlanjutan dikombinasikan dengan metode frontier

(analisis efisiensi) digunakan untuk membangun benchmark. Analisis empiris

memperlihatkan bahwa karakteristik struktural dan manajerial dapat menerangkan

perbedaan dalam kinerja usahatani. Keberadaan dan kelayakan dari perbedaan

dalam efisiensi antar usahatani penting untuk menerangkan perubahan struktur di

pertanian. Dalam jalan ini, teori produksi melalui analisis efisiensi memperkaya

‘pendekatan nilai keberlanjutan”

Page 79: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

43

2.8. Penelitian Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan pada Berbagai Usahatani Komoditas Pertanian

Penelitian tentang efisiensi sudah banyak dilakukan. Seperti telah dibahas

sebelumnya, efisiensi teknis merupakan sebuah ukuran relatif dari kemampuan

manajerial petani pada tingkat teknologi yang ada. Hal ini berarti efisiensi teknis

terjadi karena adanya perbaikan keterampilan teknis dan kemampuan manajerial

dari petani. Menurut Van Passel (2006) kapabilitas manajerial berhubungan

dengan umur, pendidikan baik formal maupun non formal, pengalaman, akses

terhadap penyuluhan, kredit, dan pasar.

Pengukuran efisiensi dengan menggunakan model frontier sudah banyak

dilakukan baik menggunakan pendekatan ekonometrik maupun pendekatan

matematika. Pendekatan ekonometrik menggunakan pendekatan deterministik

dan stokastik. Pendekatan deterministik diklasifikasikan menjadi parametrik dan

non parametrik, sedangkan pendekatan matematika menggunakan pendekatan

linear programming dan model yang digunakan adalah DEA. Berkaitan dengan

studi dengan menggunakan pendekatan deterministik frontier telah dilakukan

antara lain oleh: Bravo-Ureta et al (1990), Ali dan Chaudry (1990), Ekanayake

and Jayasuriya (1987 ), Bakhshoodeh (2001). Berkaitan dengan studi Stochastic

Production Frontier telah dilakukan antara lain oleh Abedullah et al., (2006),

Kalirajan dan Shand (1986), Battesse dan Coelli (1992), Wadud and White

(2000), Bravo-Ureta (1997), Coelli (2004). Studi empiris mengenai penelitian

Efisiensi teknik dapat dilihat pada Tabel 1.

Studi yang dilakukan oleh Bravo Ureta and Pinheiro (1993) di 14 negara

yang berbeda menemukan bahwa dari 30 studi yang dilakukan padi menempati

urutan pertama untuk analisis efisiensi dan negara yang banyak mengkaji adalah

India. Dalam studinya yang dilakukan pada tahun 2007, Bravo-Ureta et al.

menggunakan data yang dipublikasikan antara tahun 1979 sampai tahun 2005

diperoleh 167 studi efisiensi. Komoditas yang paling banyak dianalisis adalah

padi, diikuti oleh peternakan sapi perah, dan usahatani keseluruhan. Dalam studi

tersebut penelitian hortikultura relatif terbatas hanya sekitar 2 persen dari

keseluruhan penelitian.

Page 80: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

44 Tabel 1. Ringkasan Beberapa Studi Empiris Efisiensi Teknik untuk Pertanian

Penulis Tahun Negara Produk Jumlah

Observasi Rata-

rata TE I. Non Parametrik Abay 2004 Turki Other crops 300 45.6 Chavas 1993 USA Seluruh pertanian 545 96.4 De Koeijer 2002 Belanda OthercCrops 467 63.0 De Koeijer 2003 Belanda Usahatani keseluruhan 57 55.0 Sherlund 2002 Cote d’Ivoire Padi 464 35.0 Wadud 2000 Jerman Padi 150 85.6 II. Parametrik Deterministik Frontier Ahmad 1996 USA Peternakan sapi perah 1072 76.5 Alvarez 2004 Spanyol Peternakan sapi perah 196 70.0 Bakhshoodeh 2001 Iran Gandum 164 92.0 Bravo-Ureta 1986 USA Peternakan sapi perah 222 82.2 Bravo-Ureta 1990 USA Peternakan sapi perah 404 63.3 Dawson 1991 Philipina Padi 22 59.0 Ekanayake 1987 Sri Lanka Padi 62 51.5 Hallam 1996 Portugal Peternakan sapi perah 340 62.5 Stochastic frontier Abdulai 2001 Nicaragua Jagung 120 72.0 Ahmad 1996 USA Peternakan sapi perah 1 072 81.0 Ali 1994 Pakistan Panen 436 24.0 Bakhshoodeh 2001 Iran Other grains 164 33.0 Battese 1992 India Padi 129 89.1 Battese 1996 Pakistan Gandum 400 68.0 Binam 2004 Kamerun Other crops 150 75.0 Bravo-Ureta 1997 Republik

Dominika Jagung, padi, potato dll

60 70.0

Coelli 2004 Papua New Guinea

Other crops 72 78.0

Ekanayake 1987 Sri Lanka Padi 62 75.0 Iraizoz 2003

Spanyol Tomat dan Asparagus 46

80.0 dan 89.0

Kaalirajan 2001 India Padi 500 67.5 Kumbhakar 1994 India Padi 227 75.5 Parikh 1995 Pakistan Other crops 436 88.5 Reinhard 1999

Belanda Peternakan sapi perah 1 545 89,4

Reinhard 2000 Belanda Peternakan sapi perah 1 535 89.5 Seyoum 1998 Ethiopia Jagung 20 86.6 Sherlund 2002 Cote d’Ivoire Padi 464 43.0

Page 81: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

45

Tabel 1. Lanjutan

Penulis Tahun Negara Produk Jumlah Observasi

Rata-rata TE

Wadud 2000 Bangladesh Padi 150 79.1 Wilson 1998 UK Potato 140 89.5 Msuya et al.* 2008 Tanzania Jagung 233 60.6 Solis,D et al.* 2009 Amerika

Tengah Cash crop 465 78.0

Omonona et al.*

2010 Nigeria Cowpea 120 87.0

Obare et al.* 2010 Kenya Kentang 127 57.0 (AE)

Hasan* 2010 Bangladesh Gandum 293 84.0 Ahmed* 2011 Bangladesh Crops 80 0.69 Sukiyono* 2005 Indonesia Cabe merah 60 64.9 Udoh* 2005 Nigeria Sayuran 320 65.1 Abedullah, Baksh&Ahmad*

2006 Pakistan Kentang 100 84.0

Nwuru, J.C., 2011 Nigeria Kentang 120 77.0 Kibaara Tchale dan Sauer 2007

Bakhsh and Hassan 2008 Pakistan Wortel 100 0.75

Manganga* 2012 Malawi Kentang 200 83.0 Saptana* 2011

Indonesia Cabe merah besar dan keriting 296

90.0 dan 93.0

Sinaga* 2011

Indonesia Tomat dan kentang 125

70.0 dan 44.0

Sumber : Bravo-Ureta et al., 2007 (hanya sebagian diadaptasi) Tanda* menunjukkan data dan informasi terbaru

Sebuah survey komprehensif dilakukan oleh Bravo-Ureta (2007). Hasil

beberapa penelitian sebelumnya mengenai besaran efisiensi teknik dapat dilihat

pada Tabel 2. Dari 167 studi total yang dianalisis, 68 studi menggunakan

pendekatan deterministic dan 117 studi menggunakan pendekatan stochastic.

Secara keseluruhan pendekatan parametrik, penggunaan data panel, dan fungsi

produksi Cobb Douglas banyak digunakan dalam studi sebelumnya.

Banyak studi sudah mengkaitkan umur petani, pendidikan, akses terhadap

penyuluhan, akses pada kredit, agro-ekologi, luas lahan yang diusahakan, jumlah

persil yang dimiliki, jumlah tanggungan keluarga, gender, sewa, akses ke pasar,

Page 82: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

46 akses pada teknologi (pupuk, pestisida, traktor, benih, intervensi pemerintah)

mempunyai pengaruh positif terhadap efisiensi teknik (Ahmad et al., 2002;

Basnayake and Gunaratne, 2002, Tchale dan Sauer, 2007 ).

Battesse and Coelli (1995), Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993)

mengidentifikasi sejumlah variabel yang mempengaruhi efisiensi teknik di

pertanian. Gorton dan Davidova (2004) menyatakan bahwa variabel-variabel itu

dapat diklasifikasikan dalam dua katagori yaitu : human capital dan faktor

struktural. Human capital meliputi pendidikan formal dan informal, pengalaman,

training, dan umur. Faktor struktural meliputi: pendapatan keluarga, jumlah

tanggungan, akses terhadap kredit, status kepemilikan, jender, pendapatan diluar

usahatani, dan variabel lingkungan.

Tabel 2. Nilai Tengah Rata-rata Efisiensi Teknik (AMTE) berdasarkan Karakteristik Metodologi

Kategori Jml. Studi

Deterministik Stochastik AMTE Rata-rata Max. Min. Rata-rata Max. Min. Pendekatan: a.Parametrik 482 70.2 95.5 26.0 77.3 100.0 17.0 76.3 b. Non- Parametrik 87 78.3 100.0 35.0 - - - 78.3 c. Data Panel 340 77.5 96.0 35.0 78.4 96.0 43.0 78.2 d. Cross sectional 229 72.8 100.0 26.0 75.2 100.0 17.0 74.2 Functional forma a.Cobb- Douglas 308 72.6 95.5 41.0 76.3 100.0 17.0 75.7 b.Translog 146 68.1 77.6 49.0 79.7 99.8 24.0 78.9 c. Lainnya 28 64.6 79.7 26.0 73.2 86.4 66.2 68.3 Representasi Teknologi a. Primal 478 75.5 100.0 26.0 77.0 100.0 33.0 76.5 b.Dual 91 67.7 86.7 49.0 79.0 96.0 17.0 76.9 AMTE 74.6 77.3 76.6 Jumlah studi 159 410 569 Jml Pene- litian 68 117 167 Sumber : Bravo-Ureta et al (2007)

Bozoglu and Ceyhan (2007) menilai efisiensi teknik dari produksi sayuran

di Turki dengan menggunakan pendekatan SFA. Data yang digunakan adalah

data cross-section dari 275 usahatani sayuran dan model yang digunakan adalah

Page 83: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

47

model fungsi produksi stochastic frontiert Cobb-Douglas. Analisis data

didasarkan pada data output usahatani sayuran dan input meliputi: lahan, tenaga

kerja, modal (meliputi pengeluaran untuk pupuk, pestisida, pengolahan lahan, dan

panen). Determinan yang menentukan efisiensi teknik meliputi umur petani,

pengalaman, pendidikan, ukuran keluarga, dummy pendapatan di luar usahatani,

dummy kredit, dummy partisipasi wanita, dan skor informasi. Hasil

memperlihatkan bahwa rata-rata efisiensi teknik adalah 0.82. Sumber penyebab

inefisiensi yang positif dan berpengaruh secara nyata adalah umur petani. Namun

pengalaman, pendidikan, penggunaan kredit, partisipasi wanita, dan skor

informasi mempunyai tanda negatif dan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi

teknik.

Iraizoz et al. (2003) melakukan studi efisiensi teknik tomat dan asparagus

di Spanyol menggunakan pendekatan DEA dan SFA. Data yang digunakan

adalah data cross section dari 46 petani sampel dan fungsi produksi yang

digunakan adalah fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas untuk

pendekatan SFA. Analisis data didasarkan pada data output tomat dan asparagus

dan input meliputi: lahan, tenaga kerja, modal dan pengeluaran (meliputi

pengeluaran untuk pupuk, pestisida, dan pengeluaran lainnya). Temuan untuk

rata-rata efisiensi dengan menggunakan SFA, CRS dan VRS untuk tomat

berturut-turut adalah 0.89, 0.81, and 0.89. Selanjutnya untuk asparagus SFA,

CRS dan VRS berturut-turut adalah 0.80, 0.75, and 0.80, Mereka menyimpulkan

bahwa perhitungan efisiensi dengan pendekatan SFA dan VRS menghasilkan

hasil yang sama.

Wadud and White (2000) melakukan studi efisiensi teknik usahatani padi

di Bangladesh dengan menggunakan pendekatan DEA dan SFA. Data yang

digunakan adalah data cross section dari 150 petani sampel dan untuk pendekatan

SFA digunakan fungsi produksi Translog. Analisis data didasarkan pada data

output padi dan kombinasi input (unit biaya) meliputi: lahan, tenaga kerja, irigasi,

pupuk, dan pestisida. Determinan yang menentukan efisiensi teknik meliputi

umur petani, plot, pendidikan, infrastruktur irigasi (dummy), dan degradasi

lingkungan (dummy). Temuan untuk rata-rata efisiensi dengan menggunakan

SFA, CRS dan VRS untuk padi berturut-turut adalah 00.79, 0.79, and 0.86. Hasil

Page 84: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

48 regresi memperlihatkan sumber penyebab inefisiensi yang berpengaruh nyata dan

positif (berdampak negatif pada efsiiensi) adalah infrastruktur irigasi dan

degradasi lahan.

Udoh ( 2005) mengaplikasikan fungsi produksi stochastic frontier untuk

mengestimasi output-oriented efisiensi teknik dari waterleaf. Hasil empiris

diperoleh bahwa rata-rata inefisiensi teknik adalah 65 persen. Hal ini

memperlihatkan bahwa produksi dapat ditingkatkan sebesar 35 persen dari

teknologi sekarang. Hasil juga memperlihatkan keberadaan dari constan return to

scale dan produksi marjinal positif dari input yang digunakan.

Selanjutnya Abedullah, Bakhsh dan Ahmad (2006) menggunakan

pendekatan fungsi produksi stokastik frontier untuk mengestimasi inefisiensi

teknis pada produksi kentang. Berdasarkan hasil observasi, ditemukan petani

kentang 84 persen sudah mencapai efisiensi teknis. Hal ini menunjukkan bahwa

untuk mencapai produk potensial dapat ditingkatkan melalui peningkatan

penggunaan sumberdaya. Koefisien dari pupuk kimia dan irigasi negatif, tetapi

tidak signifikan berimplikasi bahwa kedua input digunakan secara berlebihan.

Penelitian yang akan datang harus difokuskan pada menentukan tingkat

penggunaan pupuk optimum untuk produksi kentang. Tetapi koefisien dari irigasi

bertanda negatif disebabkan oleh kualitas air tanah yang miskin. Studi ini juga

mengidentifikasi bahwa jasa penyuluhan tidak diseminasikan didalam studi

karena hanya 37 persen dari petani mempunyai kontak dengan penyuluh. Namun

hasil koefisien yang besar dari jasa penyuluhan menunjukkan bahwa peningkatan

dalam penyuluhan ini dapat secara signifikan meningkatkan efisiensi teknis dari

produksi kentang.

Msuya, et al (2008) melakukan penelitian yang bertujuan untuk

mengestimasi tingkat efisiensi teknik dari 233 petani jagung di Tanzania,

menggunakan fungsi produksi stochastic frontier, juga untuk melihat faktor

penentu yang mempengaruhi inefisiensi sehingga dapat ditemukan cara untuk

meningkatkan produksi dan produktivitas petani gandum berskala kecil di

Tanzania. Efisiensi teknik bervariasi antara 1.1 persen sampai 91 persen dengan

rata-rata TE = 60.6 persen. Faktor yang mempunyai pengaruh negatif terhadap

efisiensi teknik antara lain: pendidikan rendah, ketidakaksesan terhadap kredit,

Page 85: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

49

keterbatasan kapital, fragmentasi lahan, ketidaktersediaan input, dan tingginya

harga input. Petani yang mempunyai pendapatan di luar usahatani ditemukan

lebih efisien, dan petani yang menggunakan pestisida kimia kurang efisien dalam

mengusahakan usahataninya.

Bakhsh dan Hassan (2008) melihat hubungan antara efisiensi teknik

dengan kemampuan manajerial. Dalam penelitiannya dianalisis hubungan

efisiensi teknik dengan kemampuan manajerial dari petani wortel. Tingkat

pendidikan dan keterbukaan pada jasa penyuluhan merupakan faktor penentu dari

kemampuan manajerial petani wortel. Dengan menggunakan fungsi stochastic

frontier, pendidikan dan penyuluhan mempunyai pengaruh yang signifikan

terhadap efisiensi teknik. Dengan demikian peningkatan pendidikan dan

perluasan penyuluhan dapat meningkatkan efisiensi teknik dan mengurangi

pengunaan sumberdaya yang berlebihan.

Solis et al. (2006), melakukan studi untuk melihat bagaimana efisiensi

teknik dihubungkan dengan aktivitas dari dua program manajemen sumberdaya

alam di Amerika Tengah. Data diambil dari 639 petani di El Salvador dan

Honduras untuk mengestimasi fungsi stochastic frontier dan efek inefisiensi

teknik secara simultan. Temuan penting dari penelitian ini adalah peningkatan

efisiensi teknik secara finansial menguntungkan dan juga berkontribusi pada

keberlanjutan lingkungan. Selanjutnya diperoleh hubungan positif antara

produktivitas dengan diversifikasi output dan hubungan positif antara efisiensi

teknik dengan pendapatan di luar usahatani, human capital, dan penyuluhan

pertanian. Erosi menyebabkan produkstivitas menurun sehingga kemiskinan

pedesaan dan degradasi lingkungan meningkat.

Lebih lanjut Solis et al. (2006) mengukur pengaruh investasi konservasi

lahan terhadap efisiensi teknik pada rumah tangga petani di El Salvador. Alat

analisis menggunakan regresi switching untuk mengestimasi fungsi produksi

frontier. Hasil penelitian membuktikan bahwa petani dengan investasi konservasi

tinggi mempunyai tingkat efisiensi teknik lebih tinggi dibandingkan dengan petani

yang tidak mengkonservasi lahannya. Selanjutnya akses terhadap kredit

merupakan sumber inefisiensi yang penting dalam penelitian ini.

Page 86: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

50

Studi mengenai hubungan antara aktivitas di luar usahatani dengan

efisiensi menjadi isu yang menarik. O’Neill dan Matthews (2001) menyatakan

ada hubungan negatif antara pendapatan di luar usahatani dengan efisiensi.

Akses terhadap kredit juga berpengaruh terhadap efisiensi. Ekanayake and

Jayasuriya (1987) menemukan hubungan positif dan signifikan antara akses

terhadap kredit dengan efisiensi teknik pada petani padi di Sri langka. Tetapi

Deininger et al (2004) menyimpulkan bahwa ketersediaan kredit pada petani lokal

tidak berdampak pada petani di Colombia. Hasil yang sama dikemukakan oleh

Rios dan Shively (2006), Binam et al (2003) untuk sampel petani di Vietnam dan

Ivory Coast.

Dampak dari penyuluhan pertanian dan training pendidikan, pengalaman

petani terhadap efisiensi teknik telah banyak dilakukan dalam beberapa studi.

Stefanou dan Saxena (1988) menemukan pengaruh positif dan signifikan antar

pendidikan dan pengalaman terhadap efisiensi, dan dalam beberapa kasus kedua

variabel tersebut diperlakukan sebagai faktor yang menerangkan kinerja

usahatani. Selanjutnya O’Neill and Matthew (2001) mempelajari peran

penyuluhan pertanian pada efisiensi di Irlandia dan menemukan hubungan positif

diantara kedua variabel tersebut.

Obare, Nyagaka, Nguyo dan Mwakubo (2010) melakukan penelitian untuk

melihat tingkat efisiensi alokatif sumberdaya dari petani kentang dan melihat

faktor yang mempengaruhi efisiensi alokatif. Pendekatan yang digunakan adalah

fungsi dual stochastic frontier dan model two-limit tobit. Hasil menunjukkan

pengalaman, akses terhadap kredit, akses terhadap penyuluhan, keanggotaan

dalam kelompok berpengaruh positif dan signifikan mempengaruhi efisiensi

alokatif. Hasan dan Islam (2010) menggunakan data cross section dari tiga

daerah di Bangladesh dan pendekatan fungsi produksi Cobb Douglas

menyimpulkan bahwa pendidikan dan training mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap inefisiensi teknik. Studi empiris faktor-faktor yang

mempengaruhi efisiensi disarikan pada Tabel 3.

Page 87: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

51

Tabel 3. Studi Empiris Faktor-faktor yang Menentukan Inefisiensi Teknis dengan Pendekatan Stochastic Frontier

Penulis Lokasi/Negara Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Msuya et al, 2008 Tanzania Umur (-), tingkat pendidikan primer (-),

dummy pupuk (-), pendapatan luar ustan (-), jumlah tanggungan keluarga (-), hanhoe (-), benih tradisional (-), keanggotaan kelompok (-), gender (-), akses kredit(-), plot (+), Kontak penyuluhan (+),

Solis,D et al.,2009 Amerika Tengah Umur (+), pendidikan (-), jender (-), penyuluhan (-), akses kredit (-), kepemilikan (+), partisipasi (-), pelatihan (-).

Omonona et al.,2010

Nigeria Luas lahan (+), umur (-), penyuluhan (+), keanggotaan (+) dan pengalaman (+)

Obare et al., 2010 Kenya Faktor yang mempengaruhi efisiensi alokatif semuanya bertanda positif (+) yaitu: jender, umur, pendidikan, pengalaman, kontak penyuluhan, akses kredit, keanggotaan

Hasan, 2010 Bangladesh Luas lahan (+), umur (-), pendidikan (-), pengalaman (-), jumlah tanggungan (-), penyuluhan (+), pelatihan gandum (-)

Ahmed,2011 Bangladesh Fragmentasi lahan (-), pendidikan (-), kredit (-), jumlah tanggungan (+)

Sukiyono,2005 Indonesia Umur (-), pendidikan (+), pengalaman (-), luas lahan (+)

Udoh, 2005 Nigeria Pendidikan (-), umur (+), pengalaman (-) Abedullah, Baksh&Ahmad, 2006

Pakaistan Umur (-), pendidikan (-), status pemilik (+), konsultasi ke penyuluh (-), konsultasi ke dealer input (-), areal sayuran (-)

Sherlund et al, 2002

Coˆte d’Ivoire Afrika Barat

Varietas padi (-), pengalaman (-), jender (-), umur (+), pendidikan (+), plot (+), variabel manajetrial (+)

Saptana,2011 Indonesia Rasio pendapatan (-), luas lahan garapan (-),pendidikan (-), pengalaman (-)

Sinaga,2011 Indonesia Pendidikan (+), pengalaman (-), kepemilikan (-) dan akses terhadap kredit (+)

Reddy, 2002 Fiji Penyewa: umur (+), pendidikan (-), status lahan (-), kelas lahan (+), luas lahan (-) Pemilik : umur (+), pendidikan (-), status lahan (-), kelas lahan (+), luas lahan (-)

Fauziyah (2010) Indonesia Umur (+), pendidikan (-), pendapatan non pertanian (-), teknik budidaya (-), kelompok tani (-), penyuluhan pertanian (-)

Ahmad, Chaudry, and Iqbal, 2002

Pakistan Umur (+), pendidikan (-), pemilik (-), penyewa (-), penyuluhan (-), kredit (-), luas lahan (-)

Bakhsh, Khuda dan Sarfraz Hassan ,2008

Pakistan Umur (-), pendidikan (-), luas lahan (-), akses penyuluhan (-), distrik (-), dummy input (+)

Page 88: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

52 Tabel 3. Lanjutan

Penulis Lokasi/Negara Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Kalirajan dan Flinn, 1983

India Pendidikan (-), pengalaman (-), Pengetahuan (-), Kontak penyuluhan (-), penggarap bagi hasil (+)

Ekanayake, 1987 Srilanka Petani zona barat (-), kemampuan baca tulis (-), petani paruh waktu (+), kredit (-), petani terbelit utang (+), varietas berumur pendek yang mudah ditanam (-)

Ali dan Flinn, 1989

Pakistan Pendidikan (-), menyewa (-), pekerjaan off-farm (+), ketidaktersediaan kredit (+), ukuran lahan/usahatani (+), pemilikan sumur (-), penggunaan traktor (-), hambatan air/irigasi (+), tanam terlambat (+), terlambat memupuk (-)

Wilson et al., 1998

Inggris Proporsi lahan irigasi (-), keikutsertaan kelembagaan koperasi (-), rotasi tnaman(-)*

Nwuru, J.C., 2011 Nigeria Umur (-), jumlah tanggungan (+), luas lahan (-), pendidikan (-), akses kredit (+), keanggotaan (+), kunjungan penyuluh (+), jender (-).

Maganga et al, 2012

Malawi Pekerjaan di luar usahatani (+), pendidkan (-), kunjungan penyuluh (-), kredit (-), pengalaman (-), tingkat spesialisasi (-), umur (+), Ukuran keluarga (+), frekuensi penyaiangan gulma (-)

Sumber: diadaptasi dari berbagai sumber

Dari berbagai literatur sebelumnya, masih sedikit studi memperhatikan

hubungan antara keberlanjutan lingkungan dengan efisiensi usahatani. Salah

satu studi yang dilakukan oleh Pascual (2005) dengan menggunakan model

frontier tetapi dengan sedikit sampel, menyimpulkan bahwa peningkatan efisiensi

teknik dapat dilakukan melalui alokasi input yang lebih baik dan intensifikasi

lahan secara signifikan dapat mengurangi erosi lahan berkaitan dengan praktek

usahatani slash-and-burn di Meksiko. Wadud dan White (2000) juga menemukan

adanya hubungan positif antara degradasi lahan rendah dengan efisiensi teknik

untuk petani padi di Bangladesh. Otsuki et al (2002) menemukan bahwa

kebijakan publik dihubungkan dengan kepemilikan lahan dapat mengurangi

degradasi lingkungan dan dapat meningkatkan efisiensi teknik di Amazon Brazil.

Aplikasi model frontier untuk komoditas hortikultura masih jarang

ditemukan di Indonesia. Berdasarkan literatur sebelumnya dijumpai pada studi

Sukiyono (2005) pada usahatani cabai merah di Rejang-Lebong Bengkulu,

Page 89: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

53

Saptana (2011) pada usahatani cabai merah di Jawa Tengah, dan Sinaga (2011)

pada usahatani tomat dan kentang di Sumatera Utara. Dalam penelitiannya

Saptana (2011) menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier yang

memfokuskan pada pengaruh perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi

terhadap alokasi input usahatani cabai merah besar dan cabai keriting.

Dalam penelitian ini tidak semua variabel penyebab inefisiensi

dimasukkan ke dalam model. Contohnya: akses ke dealer/kios sarana produksi,

irigasi, jumlah persil, tidak dimasukkan ke dalam model. Akses ke dealer/kios

sarana produksi tidak dimasukkan ke dalam model karena hampir semua petani

mempunyai akses ke kios/sarana produksi. Demikian halnya dengan akses ke

pasar input tidak dimasukkan ke dalam model karena hampir 90 persen petani

menjual ke pedagang pengumpul sehingga tidak dimungkinkan ada variasi data.

Demikian halnya sistem penanaman (konservasi) dimasukkan ke dalam model

efisiensi mewakili variabel lingkungan. Sementara itu, variabel kemiringan

lahan dimasukkan ke dalam model fungsi produksi karena produktivitas usahatani

kentang dan kubis dipengaruhi oleh kemiringan lahan dan dummy lokasi

mewakili agroekologi.

2.8.1. Penelitian Pengukuran Kinerja Usahatani Berkelanjutan

Pendekatan untuk menilai usahatani berkelanjutan sangat banyak dan

berbeda. Beberapa pendekatan antara lain: (i) laporan keuangan (ii) eco-effciency

(iii) pendekatan indikator, (iv) analisis multi-kriteria, (v) analisis efisiensi (vi)

life cycle analysis dan (vii) farm level modeling (Van Passel et al, 2009).

(1). Pendekatan Laporan Keuangan

Penelitian dalam menilai keberlanjutan usahatani melalui pendekatan

laporan keuangan telah dilakukan oleh Paccini et al. (2004) mengembangkan

sebuah kerangka kerja yang menyeluruh dan terintegrasi antara ekonomi-

lingkungan untuk mengevaluasi keberlanjutan usahatani dari tiga sistem

pertanian di tingkat usahatani, site-level, dan kawasan. Mereka menemukan

bahwa sistem organik yang ramah lingkungan lebih baik dari sistem

konvensional. Namun tidak berarti sistem ini berlanjut, ketika dibandingkan

dengan kapasitas dan resilience ekosistem tertentu.

(2). Pendekatan Eco-efficiency

Page 90: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

54

Dalam menelaah usahatani berkelanjutan melalui pendekatan eco-

efficiency, sebuah definisi yang muncul dari konsep keberlanjutan adalah

“sustainable development is an example of increasing eco-efficiency (Lawn,

2006). Ukuran eco-efisiensi secara luas telah digunakan untuk mengukur

keberlanjutan usahatani, salah satunya digunakan oleh OECD (1998). Eco-

efficiency merujuk pada manajemen ekonomi yang lebih baik dengan tekanan

lingkungan yang lebih kecil. Definisi Eco-efficiency adalah rasio dari nilai yang

diciptakan/dihasilkan per unit dampak lingkungan (Figge dan Hahn, 2005).

Figge dan Hahn (2004) memperkenalkan sebuah konsep dari nilai

keberlanjutan, sebuah pendekatan baru untuk mengukur keberlanjutan,

berdasarkan pada penilaian dari nilai kapital /ekonomi kapital. Studi tersebut

dilakukan untuk meneliti hubungan antara nilai dan kapital, yang secara jelas

relevan dalam konteks analisis keberlanjutan intergenerasi. Peneliti

mengembangkan sebuah metode valuasi untuk menghitung biaya kapital

berkelanjutan dan nilai keberlanjutan yang diciptakan dari perusahaan. Metode

lainnya untuk mengembangkan analisis eco-efficiency adalah score keseimbangan

keberlanjutan (Figge et al, 2002). Aplikasi Eco-efficiency untuk pertanian

digunakan oleh Meul et al. (2007).

(3). Pendekatan Indikator

Rigby et al. (2000) mengembangkan indikator keberlanjutan tingkat

usahatani, berdasarkan pada pola penggunaan input untuk sampel 80 perusahaan

organik dan 157 produsen konvensional di UK. Indikator ini diturunkan dari

indikator yang digunakan oleh Taylor et al. (1993), dan Gomez et al. (1996).

Meskipun fokus penelitian ini pada isu lingkungan, namun analisis mereka

menyediakan beberapa konsep untuk mengukur keberlanjutan usahatani seperti

pembobotan, presentasi, dan validasi.

Nambiar (2008) dalam penelitiannya menggunakan ASI (Agricultural

Sustainability Index) untuk mengukur pertanian berkelanjutan sebagai fungsi dari

indikator biofisik, kimia, dan sosial ekonomi. Niyongabo (2004) melakukan

penelitian yang bertujuan untuk melihat bagaimana petani di Gikongoro Rwanda

dapat meningkatkan produktivitas tanaman pangan dengan mengaplikasikan

prinsip pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Studi ini mengekspos

Page 91: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

55

faktor-faktor tekanan demografi, penebangan hutan, erosi tanah, dan degradasi

lahan yang diduga saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Hasil

penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi rendahnya

produktivitas di Ruwanda adalah tekanan populasi, erosi tanah, kelangkaan lahan,

penggundulan hutan, penyuluhan konvensional, serta konservasi. Produktivitas

yang rendah mengakibatkan ketidakamanan pangan, banyaknya penduduk keluar

desa (migrasi), dan terjadinya penebangan hutan oleh penduduk setempat.

Pertanian dan lingkungan berkelanjutan didasarkan pada peningkatan human

asset, social asset, physical asset dan financial aset

Selanjutnya hasil studi menyatakan bahwa pertanian tradisional atau industri

pertanian tidak dapat memecahkan masalah ketidakamanan pangan dan dapat

meningkatkan degradasi lingkungan. Sebaliknya pertanian berkelanjutan dapat

meningkatkan/memperbaiki secara simultan produktivitas pertanian, keamanan

pangan, dan degradasi lingkungan walaupun membutuhkan biaya.

Zhen, et al. (2005) melakukan studi untuk menilai aspek ekonomi,

lingkungan dan sosial dari tanaman utama di NCP Cina berdasarkan pada seleksi

indikator spesifik lokasi serta menentukan/menetapkan ambang pembatas.

Informasi penting untuk studi ini diperoleh melalui survey 270 rumah tangga

usahatani untuk 4 desa di Kabupaten Ninggjin. Variabel yang digunakan adalah

analisis tanah, uji kimia dari konsentrasi nitrogen di dalam tanah dan tanaman,

observasi ladang dan diskusi dengan informan kunci. Hasil analisis diekspos

untuk seluruh sistem usahatani dalam area untuk keberlanjutan ekonomi. Biaya

yang riil dari degradasi lingkungan meningkat sejalan dengan penurunan air

tanah, salinitas tanah, pemadatan dan hilangnya lahan setiap tahun, kontaminasi

nitrogen dalam air tanah dan produk pertanian, serta kehilangan serangga dan

hama predator.

Hasil analisis sensitivitas memperlihatkan bahwa produksi tanaman sensitif

terhadap perubahan harga output dan biaya input, yang mengimplikasikan sebuah

situasi produksi yang tidak stabil pada periode panjang. Hanya sekitar 6 persen

dari usahatani yang disurvey mengaplikasikan rekomendasi penggunaan input

seimbang. Studi ini menekankan bahwa usahatani praktis, yang secara ekonomi

berlanjut, belum tentu berlanjut pada tingkat biaya dari lingkungan, selain itu

Page 92: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

56 dapat menyebabkan kerusakan parah pada lingkungan dan kehilangan ekonomi

dalam jangka panjang.

De Prada et al. (2003) bertujuan untuk menganalisis sebuah fungsi

produksi yang dihubungkan dengan penggunaan lahan, land tenure, dan ukuran

lahan dengan nilai total dari output tanaman serta pertanian berkelanjutan. Isu

sustainability dibandingkan pada sistem usahatani yang berbeda. Isu

keberlanjutan dapat dilihat dari dua komponen langsung yaitu sistem usahatani

dan tillage. Petani dengan lahan kecil sangat melindungi produktivitas jangka

panjang dan sedikit kerusakan lingkungan. Dipandang dari sudut keberlanjutan,

teknologi tillage meningkatkana kondisi tanah jangka panjang, mengurangi erosi

tanah, dan mengurangi water runoff dibandingkan tillage tradisional. Hal ini

berarti usahatani kecil lebih confirm terhadap persepektif ekonomi dan

lingkungan. Usahatani kecil melindungi lahannya dengan mengadopsi sistem

konservasi, sedangkan usahatani besar melindungi lahannya dengan sistem

usahatani terintegrasi yaitu lebih banyak diversifikasi dan rotasi tanaman.

Ceyhan (2010), melakukan penelitian di Samsum Provinsi Turki untuk

menilai keberlanjutan, indikator dibagi ke dalam tiga komponen yaitu dimensi

ekonomi, sosial, dan ekologi/lingkungan. Data yang digunakan dalam penelitian

ini menggunakan survey dari 300 petani yang dipilih secara acak. Hasil

menyimpulkan bahwa tingkat pengembalian asset yang rendah dari investasi dan

kurangnya keinginan berinvestasi masa yang akan datang merupakan faktor

ekonomi penting yang menghambat keberlanjutan. Infrastruktur dan masalah

kepemilikan merupakan masalah sosial penting untuk keberlanjutan. Penggunaan

pupuk kimia yang berlebihan, cadangan lahan yang berkualitas tinggi untuk non

pertanian, kurangnya air irigasi, dan erosi adalah hambatan lain untuk

keberlanjutan.

2.8.2. Penelitian Usahatani Berkelanjutan dengan Pendekatan Efisiensi

Penelitian pertanian berkelanjutan dalam terminologi efisiensi telah

dilakukan oleh Tyteca (1998), Callens dan Tyteca (1999), Reinhard (1999,

2002), De Koeijer et al (2002), Abay (2004), Okike et al (2004), Sauer dan

Abdallah (2007), dan Van Passel et al (2009). Penelitian nilai keberlanjutan yang

Page 93: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

57

dikaitkan dengan efisiensi melalui pendekatan stochastic frontir hanya dapat

ditemukan pada penelitian Van passel (2009).

Tyteca (1998) memperlihatkan bahwa prinsip ekonomi produksi dapat

digunakan untuk menjelaskan indikator keberlanjutan pada tingkat usahatani.

Callens dan Tyteca (1999) menggunakan indikator berdasarkan pada konsep cost-

benefit analysis dan prinsip efisiensi produktif. Selanjutnya Callens dan Tyteca

(1999) menyatakan bahwa efisensi merupakan sebuah syarat keharusan (tetapi

bukan kecukupan) kearah keberlanjutan. Mengembangkan efisiensi merupakan

langkah penting kearah lebih berkelanjutan karena hal tersebut dapat mentolelir

konflik tujuan ekonomi dan lingkungan yang dapat dicapai secara simultan.

Keberlanjutan dapat ditingkatkan oleh strategi yang mendorong penggunaan

sumberdaya yang efisien dalam sistem ekonomi (van Passel, 2009). Tepatnya,

efisiensi membentuk kunci kebijakan, perencanaan dan pendekatan bisnis untuk

pembangunan berkelanjutan.

Reinhard et al. (1999) mengestimasi efisiensi teknik dan lingkungan dari

sebuah usahatani peternakan di Belanda. Selanjutnya Reinhard et al. (1999),

mengestimasi efisiensi teknik dan lingkungan dengan menggunakan panel data

usahatani susu di Belanda. Kelebihan nitrogen muncul dari aplikasi jumlah

pemupukan dan pupuk kimia yang berlebihan, diperlakukan sebagai sebuah input

lingkungan yang tidak baik (berbahaya). Untuk mengestimasi efisiensi teknik

digunakan model translog produksi stokastik frontier. Efisiensi lingkungan

diestimasi sebagai efisiensi teknik input-oriented dari input single yaitu surplus

nitrogen dari masing-masing usahatani. Rataan dari efisiensi teknik output cukup

tinggi 0.894, tetapi rataan efisiensi lingkungan input hanya 0.441. Usahatani susu

yang intensif secara teknik dan aman bagi lingkungan lebih efisien daripada usaha

ekstensif.

Hasilnya menyatakan terdapat hubungan positif antara efisiensi

lingkungan dengan intensitas usahatani. Pengukuran efisiensi lingkungan dapat

mengidentifikasi usahatani seberapa besar pengurangan lingkungan yang aman

terhadap output maupun penggunaan input konvensional. Dalam model ini

diperlihatkan bahwa efisiensi lingkungan dapat diestimasi dengan model translog

Page 94: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

58 stokastik frontier, dan ada hubungan positif antara efisiensi teknik dengan

efisiensi lingkungan.

Efisiensi lingkungan didefinisikan sebagai rasio minimal untuk

mengobservasi penggunaan input detrimental. Reinhard et al. (2002)

mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah metodologi untuk

menganalisis sumber dari variasi dalam efisiensi lingkungan antar produsen pada

usahatani susu di Belanda. Peneliti memformulasikan dua tahap model. Tahap

pertama, digunakan analisis stochastic frontier untuk mengestimasi efisiensi

teknik dan efisiensi lingkungan. Tahap kedua, kembali mengggunakan stokastik

frontier untuk meregresikan estimasi skor efisiensi lingkungan pada variasi

teknologi, lingkungan fisik, dan variabel manajemen. Pada tahap ini dilakaukan

estimasi dampak dari masing-masing explanatory variable terhadap efisiensi

lingkungan, dan diturunkan estimasi kondisional efisiensi lingkungan dari

komponen one-side error. Hasil analisis menemukan bukti relatif rendahnya

tingkat efisiensi lingkungan, dan efisiensi lingkungan dapat ditingkatkan melalui

sejumlah kebijakan, meliputi provisi kepada petani dengan lebih banyak tanggap

terhadap keseimbangan nutrient dari usaha mereka.

De Koeijer et al. (2002) menggunakan kerangka kerja konseptual untuk

mengukur keberlanjutan usahatani berdasarkan basis teori efisiensi. Peneliti

mengkuantifikasi efisiensi keberlanjutan dan efisiensi teknik untuk sampel petani

sugar beet Belanda dan mereka menemukan sebuah korelasi positif antara

keberlanjutan dan efisiensi teknis. Lebih jauh perbedaan dalam efisiensi antar

petani kuat di dalam dan antar tahun. Selanjutnya De Koeijer et al (2002)

mengembangkan model konseptual perilaku produksi berkelanjutan, dan

menghadirkan sebuah teknik perhitungan untuk meneliti/menguji keberlanjutan,

mendemontrasikan pendekatan serta menilai apakah efisiensi teknik dan

keberlanjutan selaras atau tidak. Peneliti mengukur keberlanjutan berdasarkan

atribut sosial-ekonomi dan bio-ekologi. Peneliti menggunakan Model DEA untuk

mengukur kemampuan bertahan dari petani sugar bit di Belanda. Peneliti

mengasumsikan keberlanjutan sebagai efisiensi lingkungan ditambah kemampuan

ekonomi. Dalam hasilnya dinyatakan bahwa “jika petani meningkat efisiensi

tekniknya dari penggunaan input tercemar, mereka secara simultan mencapai

Page 95: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

59

tujuan ekonomi dan lingkungan. Ini berarti bahwa peningkatan efisiensi teknik

dapat mendukung keberlanjutan.

Pendekatan lainnya digunakan oleh Van Calker et al. (2004). Peneliti

menggunakan model tingkat usahatani untuk melihat bagaimana penyesuaian

manajemen usahatani dan kebijakan lingkungan mempengaruhi keragaman

indikator keberlanjutan. Van Calker et al. (2006) menggunakan kombinasi multi

atribut dengan goal programming untuk mengembangkan fungsi keberlanjutan

keseluruhan untuk usahatani peternakan di Belanda. Disamping data pada tingkat

atribut, stakeholders, dan para ahli digunakan untuk menilai atribut baik subjektif

maupun objektif. Pacini et al (2004) mengembangkan sebuah model ekonomi-

ekologi untuk mengevaluasi trade off ekonomi-lingkungan pada tingkat usahatani

dan regional.

Sauer dan Abdallah (2007) melakukan studi produksi tembakau di

Tanzania. Peneliti mencari hubungan antara efisiensi, biodiversitas dan

penggunaan sumberdaya. Hasilnya menyatakan bahwa peningkatan efisiensi

produksi tembakau kondusif untuk keberlanjutan lingkungan di Tanzania. Hasil

menyatakan bahwa mayoritas petani sudah berhasil mengembangkan dengan baik

sistem produksi, dengan kata lain sebuah jaminan keberlanjutan. Tenaga kerja

menjadi faktor pembatas dalam keberlanjutan sosial ekonomi di Machadinho.

Hasil model memperlihatkan bahwa jumlah tenaga kerja tidak menjustifikasi

produksi padi, jagung, dan kopi. Tanaman kopi adalah labor intensif yang

menurunkan produksi dalam hubungannya dengan tanaman lainnya. Gabungan

dari tanaman tahunan merupakan dasar keberlanjutan usahatani jika ukuran

ekologi diadopsi.

Okike et al.(2004) memasukkan variabel ekologi dan sosial ekonomi

dalam modelnya. Intensifikasi pertanian menghasilkan interaksi yang kuat antara

crop-livestock dan integrasi ini sebagai strategi untuk meningkatkan produksi

pertanian dan produktivitas di Sub Sahara Afrika. Data yang digunakan di Afrika

Barat sebanyak 559 rumahtangga petani dari Sudan Savana dan Northern Guinea

Savanna, digunakan untuk studi faktor yang mempengaruhi efisiensi produksi

sebagai adanya perbedaan sosial ekonomi dengan pendekatan pada kepadatan

penduduk dan akses ke pasar.

Page 96: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

60

Dengan mengontrol variabel lingkungan dan potensi pertanian, studi ini

memperlihatkan bahwa peningkatan infrastruktur dan fasilitas perbaikan/

distribusi input pertanian dan penjualan output akan meningkatkan produktivitas.

Tetapi kemampuan manajerial tidak mengikuti pola yang sama. Terutama di

Sudan, inefisiensi produksi dipengaruhi oleh pelayanan penyuluhan yang tidak

efisien dan pengiriman kredit.

Van Passel et al. ( 2009), mengembangkan suatu metodologi yang

dibangun untuk melihat dan menilai keberlanjutan dengan dua metodologi yaitu

mengkombinasikan pendekatan nilai keberlanjutan dengan tolok ukur efisiensi

frontier. Metodologi nilai keberlanjutan mencoba menghubungkan keragaan

usahatani/perusahaan pada penggunaan sumberdaya yang berbeda. Pendekatan

ini menilai kontribusi untuk keberlanjutan usahatani dengan membandingkan

produktivitas sumberdaya dengan produktivitas dari sumberdaya yang dijadikan

tolok ukur (benchmark). Efisiensi ini dihitung dengan mengestimasi fungsi

produksi frontier yang menunjukkan kemungkinan produksi maksimal. Pada

penelitian ini pendekatan nilai keberlanjutan dikombinasikan antara metode

analisis efisiensi dengan tolok ukur penilaian keberlanjutan

2.8.3. Penelitian Pendekatan Nilai Keberlanjutan (Sustainable Value)

Beberapa pendekatan untuk menilai keberlanjutan belum banyak

dilakukan, salah satunya adalah perhitungan nilai keberlanjutan (Sustainable value

= SV) yang diperkenalkan oleh Figge dan Hahn (2004), 2005). SV bertujuan

untuk menghitung biaya kapital untuk keberlanjutan dan nilai keberlanjutan yang

diciptakan oleh perusahaan dan membandingkannya dengan penggunaan

sumberdaya dari tolok ukur. Jadi SV menyediakan sebuah alat untuk menentukan

bagaimana sumberdaya perusahaan akan digunakan dalam mencapai kontribusi

tertinggi terhadap keberlanjutan.

Beberapa penelitian untuk mengevalusi usahatani berkelanjutan dengan

menggunakan pendekatan SV dapat dilihat pada: Figge dan Hahn ( 2002, 2004,

2005), Erhman dan Kleinhanss ( 2008), Illge et al., (2008), Molnar (2008), Jan et

al., (2008), Kuosmanen and Kuosmanen (2009a, 2009b), Van Passel et al., (2009).

Figge dan Hahn (2004) memperkenalkan sebuah konsep dari nilai

keberlanjutan, yang merupakan sebuah pendekatan baru untuk mengukur

Page 97: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

61

keberlanjutan didasarkan pada penilaian dari nilai kapital /ekonomi kapital.

Mereka meneliti hubungan antara nilai dan kapital, yang secara jelas relevan

dalam konteks analisis keberlanjutan intergenerasi. Mereka mengembangkan

sebuah metode valuasi untuk menghitung biaya kapital berkelanjutan dan nilai

keberlanjutan yang diciptakan dari perusahaan. Metode lainnya untuk

mengembangkan analisis eco-efisiensi adalah score keseimbangan keberlanjutan

dapat dilihat pada (Figge et al, 2002) dan aplikasi eco-efisiensi untuk pertanian

digunakan oleh Meul et al. (2009).

Ehrmann and Kleinhanss (2008) menilai keberlanjutan melalui pendekatan

efisiensi dengan membandingkan pendekatan DEA dan SVA. Variabel yang

dimasukkan dalam analisis adalah variabel ekologi dan ekonomi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa return to cost (RtC) pada usaha peternakan dengan

pemilikan sapi > 100 ekor mempunyai nilai RtC lebih besar dari 1, usaha

peternakan dengan hasil susu > 10000 kg/sapi/tahun dua kali lebih tinggi

daibandingkan dengan hasil susu 4000 kg/sapi/ha. Nilai SVA berkisar antara -

327.307€ - 987.575€. Rata-rata SVA negatif (-2.188) menunjukkan bahwa

kebanyakan usaha peternakan di Jerman mempunyai tingkat keberlanjutan < 0.79

persen usaha peternakan mempunyai nilai keberlanjutan antara -20 000€ - 20

000€ dan 49 persen usaha peternakan mempunyai nilai keberlanjutan antara -10

000€ sampai 10 000€.

Dengan membandingkan hasil pendekatan DEA dan SVA diperoleh hasil

bahwa dalam kebanyakan indikator memperlihatkan hasil yang sama. Nilai

keberlanjutan dengan DEA berkorelasi tinggi, dan berkorelasi rendah dengan

indikator ekologi. Hasil SV untuk indikator ekonomi berkebalikan dengan

indikator ekologi. Erhmann menyimpulkan bahwa perbedaan pendekatan dalam

mengukur keberlanjutan akan menghasilkan perbedaan ranking keberlanjutan.

Disarankan untuk penelitian selanjutnya perlu untuk membuktikan metode

aplikasi yang lebih andal (reliabel) untuk mengevaluasi keberlanjutan usahatani.

Jan et al. (2008) menggunakan pendekatan ‘Sustainable value’ untuk

menilai keberlanjutan usaha peternakan di Swiss. Data dikumpulkan dari 480

sampel peternakan susu sapi perah. Hasil menyatakan bahwa terdapat hubungan

positif antara kinerja keberlanjutan dengan kinerja usahatani. Intensitas

Page 98: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

62 penggunaan konsumsi intertermediate merupakan faktor penentu dari efisiensi

keberlanjutan. Usahatani yang mempunyai nilai keberlanjutan tinggi ditemukan

menggunakan konsumsi intermediate lebih efisien, keuntungan kotor mempunyai

pengaruh negatif terhadap efisiensi keberlanjutan, sedangkan karakteristik kultural

dan karakteristik sosial dari petani mempunyai pengaruh yang kuat terhadap

efisiensi keberlanjutan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan efisiensi teknik untuk mengukur

kontribusi petani terhadap keberlanjutan seperti yang dilakukan oleh Van Passel

(2009). Model yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb Douglas Frontier

sebagai benchmark. Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi

usahatani kentang dan kubis serta inefisensi digunakan pendekatan Fungsi

Produksi Stochastic Frontier Cobb Douglas, dan untuk mengukur efisiensi

alaokatif dan ekonomi digunakan model biaya dual yang diturunkan dari fungsi

produksi Cobb Douglas.

Page 99: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Pendekatan Stochastic Frontier dan Pengukuran Efisiensi Teknik

Aigner, Lovell dan Schmidt (1977), Meeusen dan van den Broeck (1977)

dan Batesse dan Corra (1977) secara simultan mengembangkan Model Stochastic

Frontier (SFM). Ide penting dibalik model frontier stokastik adalah bawa

kesalahan digabung ke dalam dua bagian. Komponen simetrik mengizinkan

variasi random dari frontier antar perusahaan, dan menangkap pengaruh kesalahan

pengukuran, gangguan statistik lain, dan gangguan random di luar kontrol

perusahaan. Komponen satu-sisi menangkap pengaruh inefisiensi relatif terhadap

frontier statistik. Model frontier produksi stokastik ditulis sebagai:

Y = f (Xi, β ) + i ............................................................................. (6)

Yi = produksi dari usahatani ke i;

Xi = vektor k×1 dari (transformasi) jumlah output usahatani ke-i.;

β = vektor dari parameter yang tidak diketahui;

i = ”composed error term”

Aigner, Lovell, dan Schmidt (1977) dan van den Broek (1977) mendefinisikan:

i = v – ui ............................................................................................ (7)

Sehingga persamaan (6) dapat ditulis :

( ) ( )ittiitit UVXfY −+= β , i=1,...,N, .......................................(8)

Vit adalah two-sided random error (-∞ < v < ∞) variabel random yang

diasumsikan iid (identically independenly distributed) (v~ N(0,σV2), yang

menangkap efek stochastic di luar kontrol petani (misalnya iklim, bencana alam

dan lainnya) dan gangguan statistik lainnya. Ui merupakan variabel random non-

negatif ( 0 ) yang diasumsikan disebabkan oleh inefisiensi teknis dalam

produksi dan juga sering diasumsikan sebagai iid, (u~N[0, ]).

Pada setiap model frontier, simpangan yang mewakili gangguan statistik

(statistical noise) diasumsikan independen dan identik dengan distribusi normal.

Distribusi yang paling sering diasumsikan adalah setengah-normal (half-normal).

Page 100: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

64 Jika dua simpangan diasumsikan independen satu sama lain serta independen

terhadap input, dan dipasang asumsi distribusi spesifik (normal dan setengah-

normal secara berturut-turut), maka fungsi likelihood dapat didefinisikan dan

penduga maximum likelihood (maximum likelihood estimators) dapat dihitung.

Cara lain yang dapat digunakan adalah melalui estimasi model dengan

OLS dan mengkoreksi konstanta dengan menambahkan suatu penduga konsisten

dari E (ui) berdasarkan momen yang lebih tinggi (dalam kasus setengah-normal,

digunakan momen kedua dan ketiga) dari residual kuadratik terkecil. Setelah

model diestimasi, nilai-nilai (vi-ui) juga dapat diperoleh. Pada pengukuran

efisiensi, penduga untuk uj juga diperlukan. Sesuai saran Jondrow et al.(1982),

kemungkinan yang paling relevan adalah E(ui|vi-uj) yang dievaluasi berdasarkan

nilai-nilai (vi-ui) dan parameter-parameternya. Dalam makalah Jondrow et al.

(1982) juga dikemukakan formula E(u|v -u) untuk kasus normal dan setengah

normal (Greene, 1993)

Maksimum likelihood dari persamaan (8) mengestimasi output yang

konsisten untuk β, λ, dimana β = parameter yang tidak diketahui, λ = /

dan . Jondrow (1982) memperlihatkan efisiensi teknik adalah:

//

………………..……………… (9)

Dimana = , f* = fungsi standar normal, F* = fungsi distribusi

Untuk model Fungsi Produksi Cobb-Douglas dapat dituliskan:

ln ∑ ln ) .......................................... (10)

Efisiensi teknik dapat diukur dengan menggunakan formulasi:

TEi =

= = ……………………….… ( 11)

Dengan TEi = efisiensi petani ke-i. Nilai TE akan berkisar antara 0 < TE < 1.

Greene (1993) dan Zamorano (2004) menyatakan bahwa parameter dari

model stochastic dapat diestimasi dengan menggunakan metode Maximum

Likelihood (ML) atau Corrected Ordinary Least Square (COLS) . Selanjutnya

Coelli (2005) menyatakan bahwa estimasi dengan metode ML lebih efisien

dibandingkan dengan estimasi COLS. Greene (1993) menyatakan bahwa

efisiensi teknik dapat diestimasi dengan menggunakan software komputer

Page 101: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

65

LIMDEP dan Coelli (1996) menggunakan paket komputer FRONTIER 4.1.

Program ini secara lebih luas banyak digunakan dalam penelitian efisiensi,

program komputer ini digunakan untuk mengestimasi parameter dari produksi

frontier stochastic dengan metode MLE.

Nilai efisiensi teknis akan berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi

teknis dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input

tertentu (cross section data). Pengujian parameter stochastic frontier dan efek

inefisiensi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan pendugaan

parameter αi dengan menggunakan metode OLS, sedangkan tahap dua dilakukan

pengujian menggunakan Maximum Likelihood Estimator (MLE) untuk

mengestimasi pendugaan seluruh parameter αi (kecuali α0) dan serta varians

dan vi.

Menurut Aigner and Chu (1968) dan Jondrow et al. (1982), hasil

pengolahan FRONTIER 4.1 akan memberikan perkiraan varians dalam bentuk

persamaan :

......................................................................................... (12)

……………………………………………………………... … (13)

di mana v merupakan standar deviasi dari kesalahan pengganggu dari v.

sedangkan v dan u adalah masing-masing sebagai varians populasi dan varians

dari u. Karena efisiensi-efisiensi teknis individu dari usahatani-usahatani contoh

dapat diprediksi, maka suatu penduga alternatif untuk rata-rata efisiensi teknis

adalah rata-rata aritmatik dari prediktor untuk efsiensi-efisiensi teknis individu

dari usahatani-usahatani contoh.

Parameter dari nilai nilai varians dapat menngestimasi nilai sehingga

nilai 0 1. Nilai merupakan kontribusi efisiensi teknis di dalam efek

residual total. Nilai parameter γ ini merupakan kontribusi dari efisiensi teknis

terhadap efek residual total. Persamaan inefisiensi teknis dari usahatani

diperlakukan sebagai suatu bentuk persamaan simultan dengan persamaan

efisiensi teknis. Estimasi ML dari model stokastik frontier diprogramkan di

dalam FRONTIER 4.1. dan disebut model 2 atau model efek efisiensi teknis (TE)

yang dianalisis secara simultan (satu tahap) (Adar, 2011)

Page 102: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

66 Menurut Coelli et al. (1996) terdapat tiga tahap pekerjaan dalam program

FRONTIER 4.1. yaitu :

1. Menggunakan OLS untuk menghitung nilai β dan 2 dan yang keduanya

adalah estimator yang bersifat bias;

2. Fungsi log likelihood akan mengevaluasi besarnya nilai-nilai 0< γ < 1. Pada

perhitungan ini estimasi dengan metode OLS menghasilkan σ 2 dan β0 yang

bersifat adjusted. Estimasi OLS digunakan untuk menghitung nilai parameter

β untuk tiap-tiap input produksi.

3. Menggunakan nilai dari β, σ 2 dan γ dari langkah pertama dan kedua untuk

melakukan iterasi maksimisasi hingga nilainya konvergen. Metode iterasi yang

digunakan adalah Davidson Fletcher-Powell (DFP) yang akan menghasilkan

nilai likelihood paling maksimum

Setelah tahap 1, 2 dan 3 dilaksanakan, hasil estimasi parameter akan

diperoleh bersamaan dengan nilai tengah efisiensi teknis model tersebut.

Selanjutnya untuk menguji hipotesis bahwa semua petani telah mengelola

usahataninya dengan efisien perlu diuji. Uji hipotesis dilakukan dengan

menggunakan uji Likelihood Ratio Test sebagai berikut:

= 0

: 0

Hipotesis ini menyatakan:

0, berarti 0 dan ncdf = 0. Nilai LR-Test dapat dihitung dengan

rumus:

2 . …………………………………………………(14)

Selanjutnya nilai LR-Test dibandingkan dengan nilai kritis chi-square ( ).

3.2. Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stochastic Frontier

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, efisiensi dalam usahatani terdiri atas

efisiensi teknik, alokatif dan ekonomis. Farrell (1957) mengembangkan literatur

untuk melakukan estimasi empiris untuk efisiensi teknis (tehcnical efficiency/TE),

efisiensi alokatif (alocative efficiency/AE), dan efisiensi ekonomi (economic

efficiency/EE). Berdasarkan pada persamaan (8) sebelumnya, untuk melihat

pengaruh karakteristik manajerial dan struktural terhadap efisiensi, ke dalam

Page 103: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

67

model ditambahkan variabel manajerial dan struktural dan diestimasi secara

simultan (Batesse dan Coelli, 1995), sehingga persamaan menjadi :

, , v u ……………………… (15)

Variabel yang menunjukkan struktur usahatani adalah : jarak lokasi, tipe

usahatani (mono cropping atau tumpang sari), status kepemilikan lahan usahatani,

akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar dan kredit, akses terhadap

penyuluhan dan pelatihan. Karakteristik manajerial usahatani meliputi umur,

tingkat pendidikan, pengalaman bertani sayuran, dan jumlah tanggungan keluarga

(Van Passel, 2006a).

Battese dan Coelli (1992), dan Coelli et al. (1998) menyatakan terdapat dua

pendekatan untuk menguji faktor-faktor determinan (sumber-sumber) efisiensi

teknis dan sekaligus inefisiensi teknis. Metode pertama adalah prosedur dua

tahap. Tahap pertama mengestimasi nilai efisiensi atau efek-efek inefisiensi untuk

usahatani individu setelah dilakukan estimasi terhadap fungsi produksi frontier.

Tahap kedua mengestimasi model regresi di mana nilai efisiensi (inefisiensi)

digambarkan sebagai suatu fungsi dari variabel-variabel sosial ekonomi yang

mempengaruhi inefisiensi teknis. Metode kedua adalah prosedur satu tahap

(simultan) di mana efek-efek inefisiensi di dalam model stokastik frontier

dimodelkan dengan menggunakan variabel-variabel yang relevan di dalam

menjelaskan inefisiensi produksi.

3.3. Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomis

Menurut Debertin (1996), untuk mengukur efisiensi alokatif dan efisiensi

ekonomis dapat diturunkan dari fungsi biaya dual dari fungsi produksi Cobb

Douglas yang homogenous. Doll and Orazem (1984), Debertin (1986), Bravo

Ureta (1997), menyatakan bahwa dalam penelaahan ekonomi produksi, di dalam

suatu proses terdapat tiga input konvensional yaitu lahan, tenaga kerja, dan modal.

Asumsikan fungsi produksi Cobb Douglas dengan satu output (Y) dan

menggunakan tiga faktor produksi yaitu lahan (x1), tenaga kerja (x2) dan modal

(x3):

…………………………………………..………. (16)

Page 104: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

68 Fungsi biaya dengan tiga input adalah :

+ …………………………..………………….. (17)

Bentuk fungsi biaya dual dapat diturunkan melalui minimisasi biaya dengan

kendala output Y = Y*

Fungsi Lagrange menjadi :

, ………. (18)

Untuk memperoleh nilai X1 dan X2 dan X3 yang meminimalkan biaya dapat

diturunkan sebagai berikut:

FOC :

… … … … … … … … … … … … … .. 19

… … … … … … … … … … …. 20

… … … … … … … … … … … … … 21

… … … … … … … … … … … … … … … … … … 22 Dari persamaan (19) dan (20), diperoleh:

.

. .

Dari persamaan (20) dan (21) diperoleh

.

. .

Page 105: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

69

Substitusikan nilai x2 dan x3 kedalam persamaan (22), sehingga diperoleh

persamaan untuk penggunaan input yang efisien:

∏ …………………………. (23)

∏ ………………………….… (24)

∏ ………………………….… (25)

Secara umum untuk input x ke – i dapat ditulis:

∏ … … … … … … … … … … … … … . 26

Selanjutnya nilai xi* dimasukkan ke dalam fungsi biaya sehingga diperoleh

fungsi biaya dual :

∏ ………………… (27)

Parameter merupakan hasil estimasi fungsi produksi frontier, Pxj

merupakan harga input ke-j. Penurunan fungsi biaya dual selengkapnya dapat

dilihat pada Lampiran 4. Jondrow et al. (1982) mendefinisikan efisiensi ekonomi

sebagai rasio antara biaya total minimum yang diobservasi (C*) dengan biaya

total produksi aktual ( C ), sehingga persamaan efisiensi ekonomi menjadi :

| ,Y ,P| ,Y ,P

. / …………….…… (28)

Dengan demikian persamaan efisiensi alokatif adalah :

; dengan 0 1 ……………..………………………. (29)

3.4. Perhitungan Nilai Keberlanjutan

ADVANCE (2006), Van Passel (2009) menyatakan sebelum

menghitung nilai keberlanjutan terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan

seperti:

Page 106: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

70

1. Memilih perusahaan/aktivitas ekonomi yang akan dianalisis.

2. Memilih benchmark; merupakan langkah penting dalam menghitung nilai

keberlanjutan, karena mencerminkan opportunity cost. Pilihan benchmark

dapat berbeda-beda. Figge dan Hahn (2004) menggunakan nilai dari

ekonomi nasional. Pilihan benchmark menggambarkan sebuh keputusan

normatif dan menentukan kekuatan dari hasil penilaian keberlanjutan.

3. Mendefinisikan sumberdaya yang akan digunakan. Sumberdaya yang

relevan, misalnya tenaga kerja dan lahan harus ditentukan. Secara teoritis,

pilihan akan meliputi sumberdaya yang kritis untuk keberlanjutan dari

perusahaan.

Perhitungan SVA didasarkan pada konsep opportunity cost, artinya nilai ini

diformulasikan ketika sebundel sumberdaya yang digunakan oleh perusahaan

lebih efisien dibandingkan dengan benchmarknya atau dengan kata lain SVA

terwujud ketika penerimaan yang dapat dicapai dari sebundel sumberdaya yang

digunakan lebih besar dari opportunity cost- nya ( Figge and Hahn, 2004, 2005,

Illge et al., 2008, Van Passel, 2009). Lebih lanjut Illge et al. (2008) menyatakan

bahwa secara teknik cara menghitung SV dapat berbeda tergantung pada fungsi

produksi atau asumsi benchmark yang digunakan untuk menghitung opportunity

cost.

Dengan demikian langkah yang dilakukan untuk menghitung nilai

keberlanjutan ADVANCE (2006), (Illge et al (2008), van Passel (2009) adalah:

1. Menghitung berapa banyak return/penerimaan yang dapat diciptakan dari

penggunaan sumberdaya perusahaan (eco-efficiency) = dan eco-efficiency

benchmark = ...........................................................................................(30)

2. Menghitung berapa banyak return/penerimaan yang dapat diciptakan oleh

benchmark bila menggunakan sumberdaya perusahaan untuk masing-masing

sumberdaya (opportunity cost) = …………………………. (31)

3. Menghitung (value spread) = …………………………………. (32)

4. Mengitung nilai kontribusi untuk masing-masing sumberdaya =

……………………………………………….……. (33)

Page 107: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

71

Nilai ini memperlihatkan berapa banyak (lebih besar/kecil) nilai yang dapat

diciptakan perusahaan dari sumberdaya yang digunakan dibandingkan dengan

opportunity cost -nya.

5. Menghitung berapa banyak nilai keberlanjutan yang dapat diciptakan

perusahaan (sustainable value). Perhitungan Nilai keberlanjutan (SV):

.................................................................. (34)

∑ ……………………………….……………….. (35)

dengan :

SVir = nilai keberlanjutan dari usahatani yang diobservasi

r = jumlah sumberdaya yang digunakan usahatani yang diobservasi

Yi = value added dari perusahaan yang diobservasi

Xi = jumlah sumberdaya yang digunakan oleh usahatani yang

diobservasi

Y* = value added dari benchmark

X* = jumlah sumberdaya yang digunakan oleh benchmark

Nilai keberlanjutan (SVir) positif (> 0) menunjukkan bahwa perusahaan

telah menggunakan sumberdayanya lebih efisien dibandingkan dengan

benchmarknya. Nilai keberlanjutan negatif (< 0) menunjukkan bahwa perusahaan

telah menggunakan sumberdayanya kurang efisien dibandingkan dengan

benchmarknya

Untuk membandingkan return yang dihasilkan perusahaan dengan return

benchmark yang dapat diciptakan dari penggunaan sumberdaya perusahaan

(opportunity cost) diukur dengan return to cost ( RtC). Nilai ini sama dengan

konsep benefit- cost ratio. RtC dikenal pula sebagai efisiensi keberlanjutan

(sustainable efficiency).

… … … … … … … … . . 36

Nilai RtC > 1 menunjukkan bahwa penerimaan usahatani lebih besar dari

return/penerimaan per unit sumberdaya. Hal ini berarti perusahaan lebih efisien

dalam menggunakan sumberdaya dibandingkan dengan benchmarknya. ( Hahn et

al., 2006). Dengan kata lain value added yang diciptakan oleh

Page 108: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

72 perusahaan/usahatani lebih besar dari opportunity cost dari sumberdaya yang

digunakan oleh benchmarknya.

Secara umum, benchmark dapat ditentukan dengan menggunakan: a) nilai

dari praktik terbaik perusahaan/ usahatani, b) rata-rata dari seluruh perusahaan/

usahatani atau c) nilai dari ekonomi nasional. Dalam studi ini bobot rata-rata dari

seluruh usahatani diambil untuk perhitungan tolok ukur (van Passel, 2008)

3.5. Pengukuran Nilai Keberlanjutan dengan Menggunakan Pendekatan Efisiensi

3.5.1. Formulasi dari Benchmark

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dua pendekatan yang digunakan

dalam analisis frontier adalah pendekatan parametrik dan non parametrik.

Pendekatan parametrik (seperti stochastic frontier) dapat mengukur error dan

gangguan lainnya seperti efek inefisiensi. Pada pendekatan keberlanjutan ini

digunakan pendekatan parametrik untuk mengestimasi fungsi produksi frontier

karena dapat menangkap efek efisiensi dan ganguan diluar kontrol petani (Coelli,

1998). Van Passel (2009) merumuskan fungsi produksi sebagai:

ln , ……………………………. (37)

Dimana Yit adalah output usahatani ke i pada tahun t, Xit adalah input

yang digunakan dalam proses produksi usahatani ke i pada tahun t, β adalah

vector dari parameter yang tidak diketahui, vit error term, uit inefisensi teknik.

Jumlah Xit yang efisien dapat digambarkan sebagai berikut :

, , … , , …….………………………………… (38)

Secara spesifik fungsi produksi stochastic frontier dengan memasukkan variabel

lingkungan dan sosial adalah:

ln , , …….……………………………... (39)

Untuk seluruh usahatani diindex dengan i; VAi adalah value added (nilai

tambah); Xi adalah vector dari input ekonomi konvensional, Zi adalah vector dari

asset lingkungan dan sosial. β adalah parameter yang tidak diketahui; vi random

error untuk menangkap kontrol dari manajer; ui non negative random error untuk

menangkap inefisiensi teknik. Jumlah xi dan zi yang efisien dapat digambarkan

sebagai :

Page 109: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

73

, , … , , , … , , …………………………… (40)

, , … , , , ………………………………… (41)

Diasumsikan tidak ada perbedaan yang dibuat antara input ekonomis

konvensional (xi) dengan asset lingkungan dan sosial (zi). Dengan asumsi semua

input berkontribusi terhadap VA di dalam system keberlanjutan, maka

dimasukkan sumberdaya r yang meliputi bentuk capital ekonomi, lingkungan dan

sosial, sehingga :

, , … , , ) ………………………………………. (42)

Dengan demikian nilai keberlanjutan dari usahatani dengan n sumberdaya

yang berbeda dapat dihitung sebagai :

∑ …... (43)

Notasi r menyatakan sumberdaya capital (ekonomi, lingkungan, social) dari

usahatani ke-iI dan VAi adalah nilai tambah untuk usahatani ke i.

Dengan menggunakan analisis efisiensi, kemudian dihitung tolok ukur :

, ,…, ,

……….………………… (44)

Dengan memasukkan persamaan (44) ke persamaan (43) maka

perhitungan nilai keberlanjutan dari usahatani ke i dengan usahatani spesifik tolok

ukur dapat dihitung:

∑ ……….. (45)

3.5.2. Formulasi Nilai Keberlanjutan dengan Mengggunakan Fungsi Produksi Cobb Douglas Van Passel (2009) mengembangkan nilai keberlanjutan dengan

menggunakan pendekatan efisiensi dengan model Fungsi Produksi Frontier Cobb

Douglas. Pilihan model ini didasarkan pada elstisitas input yang konstan, skala

usaha yang konstan, dan elastisitas substitusi input sama dengan satu.

Diasumsikan bentuk fungsional dari Cobb Douglas dengan dua sumberdaya r1 dan

r2 untuk memproduksi Value Aded = VA (nilai tambah). Usahatani ke-i tidak

menggunakan input 100% efisien, sehingga ui berbeda dengan nol. Formulasi

yang dikemukakan oleh Figge dan Hahn (2005) dan Van Passel (2009) adalah:

Persamaan fungsi produksi frontier Cobb Douglas:

Page 110: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

74

ln ln ln ……………………….. (46)

Untuk melakukan perhitungan, pertama harus membersihkan ukuran

output (VA) dari komponen gangguan ui sehingga dapat dikerjakan dalam

kerangka deterministik menjadi:

ln ln ln ln ;

ln ln ………………………………..……..... (47)

Selanjutnya dicari efisiensi teknik sumberdaya (refisien) pada tingkat

tertentu. Ini dapat diturunkan secara simultan dari persamaan (39) dan rasio

sumberdaya (r1/r2)=k. Pemecahan secara simultan diperoleh setelah parameter

dari fungsi Cobb Douglas sudah diestimasi dengan menggunakan metode

maksimum likelihood. Setelah diestimasi maka akan diperoleh persamaan:

ln ln ln

ln ln = ln …………………………..…… (48)

Notasi VAi adalah output frontier yang diprediksi, dan VA adalah output

yang diobservasi. Dengan demikian refisien adalah :

. exp . …............................................. (49

exp . .............................................. (50)

Perhitungan untuk lima variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Dengan

memasukkan persamaan (49 dan 50) ke persamaan (45), maka nilai keberlanjutan

dapat dicari. Nilai keberlanjutan dari usahatani i dengan hanya menggunakan dua

sumberdaya dengan asumsi menggunakan teknologi Cobb Douglas, maka nilai

keberlanjutan adalah:

.. .

..

…………... (51)

Page 111: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

75

Karena Cobb Douglas mempunyai elastisitas substitusi konstan ( = 1) secara

sederhana perhitungan nilai keberlanjutan untuk usahatani sebagai berikut:

.. .

..

…………. (52)

Penurunan fungsi untuk mencari input (sumberdaya) yang efisien dengan lima

variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.

Fungsi Produksi Cobb Douglas mempunayi nilai dual sendiri, maka fungsi

biaya dual dapat diturunkan sebagai :

, ; ……………………………………………...…...... (53)

Dimana ci adalah biaya minimum dari usahatani ke-i berkaitan dengan nilai

tambah ( ; wi = harga inputdari usahatani ke-i ; adalah parameter dugaan

dari fungsi produksi. Dengan menggunakan Sheppard Lemma maka X efisien

(permintaan input) pada kondisi biaya minimum adalah :

, ; ……………………………... (54)

3.6. Kerangka Pemikiran Konsepsional

Variabel yang diduga mempengaruhi variabilitas produksi kentang dan

kubis terdiri atas luas lahan, jumlah penggunaan input (benih, pupuk anorganik,

pupuk organik, pestisida), penggunaan tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga

maupun tenaga kerja luar keluarga. Selain faktor tersebut kemiringan lahan juga

diduga mempengaruhi produksi karena sayuran dataran tinggi diusahakan pada

lahan dengan kemiringan yang bervariasi dari kemiringan datar (0 persen ) hingga

diusahakan pada kemiringan hampir 80 persen.

Efisiensi usahatani selain dipengaruhi oleh karakteristik struktural juga

dipengaruhi oleh karakteristik manajerial. Ini berhubungan dengan kemampuan

petani dalam mengelola usahataninya. Isu inefisiensi muncul karena petani dalam

menjalankan usahataninya belum 100 persen efisien. Saptana (2011) dalam

analisisnya pada cabe merah besar dan cabe merah kerinting menunjukkan

Page 112: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

76 beberapa determinan sebagai sumber inefisiensi antara lain: umur kepala keluarga,

pendididkan, pengalaman, pangsa anggota rumahtangga terhadap total anggota

rumahtangga, keanggotaan dalam kelompok, pendapatan dan pangsa pendapatan,

rotasi tanaman, akses ke pasar output dan ketergantungan kepada pedagang

langganan, dan kemandirian permodalan.

Secara teoritis, keberlanjutan usahatani sayuran dipengaruhi oleh tiga

aspek yaitu aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dari sisi lingkungan,

rumahtangga petani sayuran dataran tinggi dalam mengelola usahataninya

menghadapi masalah menurunnya kesuburan lahan yang diakibatkan oleh

tingginya erosi pada lahan berlereng. Akibatnya mereka menggunakan pupuk

tidak sesuai dengan anjuran. Penggunaan pupuk bervariasi dari penggunaan

rendah sampai berlebihan. Demikian halnya pemakaian pestisida. Penggunaan

pupuk Nitrogen dan Fosfor yang berlebihan dapat menjadi ancaman yang

berbahaya terhadap lingkungan, sehingga pertanian menjadi tidak berkelanjutan.

Di sisi lain, status kepemilikan lahan (bukan lahan milik) yang banyak

dijumpai di daerah penelitian, tingginya biaya untuk konservasi, rendahnya

tingkat pendidikan, rendahnya modal finansial, rendahnya tingkat pengetahuan,

akan mengakibatkan rendahnya adopsi konservasi lahan di lahan berlereng,

sehingga erosi terus berlanjut yang pada akhirnya dalam jangka panjang terjadi

penurunan produktivitas. Dengan demikian untuk mempertahankan

keberlanjutan usahatani, diperlukan penilaian bagaimana petani berkontribusi

pada keberlanjutan usahataninya.

Wilson et al. (1998) mengungkapkan hasil estimasi beberapa determinan

penyebab terjadinya inefisiensi teknis dalam usahatani kentang di Inggris, antara

lain : (1) Pengalaman petani mengusahakan komoditas kentang, (2) Keikutsertaan

petani dalam kelembagaan koperasi, (3) Rotasi tanaman kentang dengan tanaman

serealia, (4) Proporsi lahan usahatani kentang yang beririgasi, (5) Adanya tempat

atau gudang untuk penyimpanan sebelum dilakukan penjualan, (6) Jenis benih

atau bibit yang digunakan atau tercatat/tersertifikasi tidaknya bibit yang

digunakan, dan (7) Skala pengusahaan komoditas kentang. Determinan utama

inefisiensi teknis adalah proporsi luas usahatani kentang yang menggunakan

Page 113: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

77

irigasi, keikutsertaan dalam kelembagaan koperasi, serta pola rotasi tanaman yang

melibatkan tanaman serealia.

Berdasarkan tinjauan teoritis dan kajian empiris maka beberapa faktor

yang mempengaruhi inefisiensi usahatani kentang dan kubis, antara lain adalah:

umur petani, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah anggota rumah tangga,

keanggotaan dalam kelembagaan kelompok tani, akses terhadap kredit, status

kepemilikan, dan sistem penanaman searah lereng, searah kontur dan teras

bangku.

3.7. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran maka dapat disusun hipotresis penelitian:

1. Peningkatan luas lahan, penggunaan jumlah benih, pupuk, pestisida, dan

tenaga kerja dapat meningkatkan produksi kentang dan kubis. Kemiringan

lahan dan sistem penanaman akan mempengaruhi produksi, semakin tinggi

kemiringan lahan akan menurunkan produksi.

2. Faktor-faktor kapabilitas manajerial seperti umur, pendidikan, pengalaman,

keanggotaan dalam kelompok, penyuluhan, akan menurunkan inefisiensi

teknis, alokatif, dan ekonomi atau meningkatkan efisiensi teknis, alokatif, dan

ekonomi.

3. Semakin baik sistem pananaman akan menurunkan inefisiensi

4. Kontribusi petani terhadap keberlanjutan usahatani dan efisiensi

keberlanjutan petani kentang dan kubis masih lebih kecil dari benchmark,

Page 114: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

Faktor Internal 1. Penggunaan

Sarana Produksi • Luas Lahan • Benih • Pupuk • Pestisida • Tenaga kerja

2. Sumber Inefisiensi • Karakteristik

Struktural • Karakteristik

manajerial • Status

Kepemilikan

Latar Belakang dan Permasalahan

Faktor Eksternal • Kemiringan Lahan • Tingkat Erosi

Faktor Usahatani Berkelanjutan • Keuntungan • Lahan • Tenaga Kerja • Modal • Biaya Sarana Produksi• Erosi

Stochastic Production Frontier

Sustainable Value Approach (SVA)

Implikasi • Sumber TE, AE • Mengurangi inefisiensi • Strategi Keberlanjutan

Fungsi Produksi Cobb-Douglas

SVA dikaitkan dengan Fungsi Produksi Frontier Cobb-Douglas

Penggunaan Input-input Produksi

Produksi Usahatani Kentang dan Kubis Serta Tingkat TE, AE,EE

Determinan faktor yang mempengaruhi inefisiensi

Pertanyaan 1. Faktor apa yang

mempengaruhi Produksi

2. Faktor apa yang mempengaruhi inefisiensi

3. Seberapa besar tk. TE, AE, dan EE

4. Seberapa besar tingkat kontribusi petani terhadap keberlanjutan

Tujuan Menjawab pertanyaan diatas

Hipotesis Pendekatan

Analisis

1. Faktor-faktor penentu produksi kentang dan kubis

2. Tingkat TE, AE, EE

3. Sumber-sumber Inefisiensi Teknis (IT), IA, dan IE

4. - Nilai Keberlanjutan (SV) - Efisiensi Keberlanjutan (Return to Cost)

Output dan Implikasi

Pengukuran/ PendugaanKerangka Konseptual

• Terjadi masalah inefisiensi ( IT, IA, IE) pada usahatani kentang dan kubis

• Kontribusi petani terhadap keberlanjutan dibawah “Tolok ukurnya”

Keberlanjutan Usahatani Sayuran

Pertanyaan dan Tujuan

Gambar10. Kerangka Operasional Studi Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran TInggi di Provinsi Jawa Barat, 2011

Page 115: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

IV. METODE PENELITIAN

Dalam metode penelitian ini diuraikan beberapa tahapan penelitian yaitu

penentuan lokasi penelitian, metode pengambilan sampel, metode pengumpulan

data, dan perumusan model.

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat dengan pertimbangan Jawa

Barat merupakan sentra produksi kentang dan kubis. Hal ini dapat dilihat dari

kontribusi luas panen dan produksi kentang dan kubis di Jawa Barat sebesar 20,3

persen dan 25,9 persen terhadap luas panen dan produksi nasional (BPS, 2011).

Secara spesifik penelitian dilakukan di dua kabupaten yaitu Kabupaten Bandung

dan Garut. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan

pertimbangan bahwa kedua kabupaten ini merupakan sentra produksi terbesar

sayuran kentang dan kubis di Provinsi Jawa Barat (Dinas Pertanian Jawa Barat,

2010). Lokasi ini juga merupakan daerah dengan kerentanan yang tinggi akibat

degradasi lahan (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2010).

Penentuan lokasi penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama

memilih kabupaten yang menjadi sentra produksi kentang dan kubis di Jawa

Barat. Data luas panen dan produksi kentang & kubis disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas Panen, Produksi Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2009

Kabupaten Kentang Kubis Luas Panen

(ha) Produksi (ton) Luas Panen

(ha) Produksi (ton)

Bandung 8 974 182 858 5 975 140 973Garut 5 126 118 175 4 617 112 388Majalengka 759 14 754 819 8 380Bandung Barat 291 4 389 233 11 584Sumedang 74 1 099 499 4 449Total* 15 337 323 543 13 162 298 525Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2010 Keterangan: *: Jumlah total dari 26 kabupaten/kota di Jawa Barat.

Berdasarkan data pada Tabel 4, Kabupaten Bandung dan Garut

menyumbang produksi kentang sebesar 45,5 persen dan 35,1 persen dan kubis

sebesar 47,2 persen dan 37,7 persen. Kontribusi luas panen kentang di Kabupaten

Page 116: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

80

Bandung dan Garut sebesar 58,5 persen dan 33,4 persen. Sedangkan kontribusi

luas panen kubis di Kabupaten Bandung dan Garut sebesar 56,5 persen dan 36,5

persen. Dengan demikian terpilih Kabupaten Bandung dan Garut sebagai lokasi

penelitian.

Tahap kedua memilih kecamatan yang akan dijadikan lokasi penelitian.

Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Bandung (2011), daerah yang menjadi

sentra produksi kentang dan kubis di Kabupaten Bandung adalah Kecamatan

Pangalengan dan Kertasari. Sedangkan untuk Kabupaten Garut, kecamatan yang

menjadi sentra produksi kentang dan kubis adalah Kabupaten Cikajang dan

Pasirwangi (Tabel 5).

Tabel 5. Luas Panen, Produksi Kentang dan Kubis di Kabupaten Garut, 2009

Kabupaten Kentang Kubis Luas Panen

(ha) Produksi (ton) Luas Panen

(ha) Produksi (ton)

Garut Cikajang 1 407 30 710 830 19 237 Pasirwangi 1 042 20 976 625 14 723 Cisurupan 551 11 768 345 8 855 Samarang 338 9 403 330 0 Total** 4 895 110 018 4 192 84 160 Sumber: Sistem Informasi Kecamatan Kabupaten Garut, 2011 Keterangan: **: Jumlah total dari 26 kabupaten/kota di Jawa Barat.

Berdasarkan jarak ke ibukota kecamatan (jauh/dekat) dan keadaan

infrastruktur (baik/kurang baik) serta kemiringan lahan yang diusahakan, maka

terpilih 6 desa dari Kecamatan Pangalengan dan jumlah desa terpilih dari

Kecamatan Kertasari, Pasirwangi dan Cikajang masing-masing dua desa. Melalui

pemilihan berdasarkan kriteria di atas, diharapkan dapat menangkap fenomena

keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di Provinsi Jawa Barat.

Gambar 11 meringkaskan metode pengambilan sampel, atau secara

ringkas langkah yang dilakukan dalam penentuan sampel adalah sebagai berikut:

1. Memilih Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bandung dan Garut secara purposif.

2. Memilih kecamatan dan desa berdasarkan kondisi infrastruktur, dan

kemiringan lahan.

Page 117: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

81

Gambar 11. Metode Sampling Pengambilan Data Primer

Metode Sampling:

Purposif

Purposif

Langkah Satu

Dua Langkah:

Langkah Dua

Simple Random Sampling

Kerangka Populasi

Jawa Barat

Kab. Bandung Kab. Garut

Kec.Pangalengan Kec.Kertasari Kec.Cikajang Kec.Pasir Wangi

200 Petani/Usahatani Kentang dan Kubis

SukaluyuMargaluyu Margamekar

Pulosari MargamulyaMargamukti

Cibeureum Cikembang Barusari Padaawas Cikandang Margamulya

Page 118: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

82 3. Membuat kerangka sampling petani sayuran yang terdapat di desa. Data

petani yang ikut dalam kelompok berasal dari Koordinator PPL dan data

petani yang tidak ikut dalam kelompok dikumpulkan dari kepala desa.

4. Menentukan jumlah sampel secara acak sederhana (simple random sampling)

Berdasarkan kriteria di atas, maka desa yang terpilih dari Kecamatan

Pangalengan adalah : Desa Margaluyu, Margamukti, Margamekar, Pulosari,

Margamulya, dan Sukaluyu. Dari Kecamatan Kertasari terpilih : Desa Cibeureum

dan Desa Cikembang. Dari Kecamatan Cikajang dan Pasirwangi masing-masing

Desa Cikandang dan Margamulya, Padaawas dan Barusari (Tabel 6).

Tabel 6. Pemilihan Desa Berdasarkan Kriteria yang Ditetapkan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011

Kriteria

Desa

Kemiringan (o)

Ketinggian (dpl)

Infrastruktur

Jarak ke Pusat

kecamatan (Km)

Tanaman Utama*)

Margamulya 40 1200 baik 0.7 Jagung-kentang-kubis

Pulosari 32 1446 baik 3.0 Kentang-kubis-tomat

Margamekar 0 (datar) 1400 Kurang baik 3.2 Kentang-kubis-jagung

Margamukti 36 1485 baik 1.7 Kubis-kentang-tomat

Margaluyu 3.5 1550 baik 13 Kubis-kentang-tomat

Sukaluyu 41 1552 Kurang baik 10 Kentang-kubis-tomat

Cibeureum 5-10 500-1000 baik 0 Kentang-kubis-bawang daun

Cikembang 40 >1500 Kurang baik 10 Kentang-kubis-bawang daun

Cikandang 0 - > 40 >1000 baik 8 Kentang-kubis-tomat

Margamulya 2 - > 40 >1000 Kurang baik 9 Kentang-kubis-tomat

Padaawas 0 - > 40 500 - > 1000 baik 2 Kentang-kubis-

tomat

Barusari 2 - > 40 500 - > 1000 Kurang baik 3,5 Kentang-kubis-

tomat Sumber: Profil Kecamatan Pangalengan (2010), Monografi Kecamatan Kertasari (2010) dan Profil Garut per kecamatan (2012) Keterangan *: Urutan komoditas berdasarkan luas lahan yang diusahakan (urutan

pertama menunjukkan tanaman utama)

Page 119: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

83

4.2. Metode Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan petani sampel adalah

rumahtangga petani sayuran kentang dan kubis sebagai unit analisis.

Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling method) sehingga

setiap petani di desa-desa tersebut mempunyai peluang yang sama untuk dipilih

sebagai sampel. Jumlah sampel yang dipilih sebanyak 200 petani dengan

katagori petani yang mengusahakan lahan pada kemiringan dan ketinggian yang

berbeda serta infrastruktur yang berbeda pula. Jumlah sampel untuk setiap desa

dipilih sebanyak 20 orang.

Data primer dikumpulkan untuk tiga musim tanam dalam setahun yaitu

pada MT 2010/2011, mulai MK II (Juni 2010- MH – MK I tahun 2011). Data

dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah

disiapkan dan pengamatan langsung di lapangan. Selain itu dilakukan pula

wawancara dengan orang yang menjadi informan kunci baik untuk usahatani

maupun pemasarannya. Orang yang dijadikan informan kunci adalah Ketua

Kelompok Tani/Gapoktan, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), Koordinator

PPL, Penangkar Benih, Perusahaan Hikmah Farm, dan Vendor. Pertanyaan lebih

bersifat “deep information” untuk menangkap keadaan dan informasi umum di

wilayah penelitian.

Peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan yang sistematik terhadap

subjek, melalui wawancara langsung dengan petani dan nara sumber lainnya. Data

primer bersumber dari petani sayuran kentang dan kubis sebagai sampel. Data

primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik rumahtangga petani (umur,

pendidikan, formal, pendidikan non formal, pengalaman bertani, jumlah anggota

keluarga), penguasaan lahan usahatani, pola tanam, input dan output usahatani,

aktivitas kerja, pendapatan, pengeluaran rumahtangga, serta permasalahan yang

dihadapi petani. Selanjutnya data sekunder dikumpulkan dari Badan Pusat

Statistik (BPS), Dinas Pertanian Kabupaten Bandung dan Garut serta Dinas

Pertanian Provinsi Jawa Barat dan instansi terkait lainnya. Data yang

dikumpulkan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Page 120: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

84 Tabel 7. Variabel yang Dikumpulkan dan Ukurannya Usahatani Kentang dan

Kubis di Provinsi Jawa Barat, 2011 Variabel Satuan 1. Output a. Produksi per hektar Kilogram

b. Harga produk per kg Rupiah c. Penerimaan Rupiah

2. Lahan a. Luas lahan total yang diusahakan Hektar b. Harga lahan per ha atau sewa lahan Rupiah c. Nilai lahan Rupiah d. Luas lahan milik Ha e. Luas lahan sewa, garap, gadai dll Ha f. Kemiringan lahan Persen g. Jarak lahan ke rumah Km h. Jarak lahan ke sumber air Km i. Jarak lahan ke pusat kecamatan Km j. Jumlah persil Unit/ha

3. Benih a. Jumlah Benih yang digunakan kg b. Harga Benih c. Biaya benih

Rupiah

4. Pupuk a. Jumlah pupuk anorganik yang diaplikasikan per ha (Urea, TSP, ZA, KCl, NPK)

Kg

b. Jumlah pupuk organik (pupuk kandang) yang diaplikasikan

Kg

c. Harga pupuk Rupiah d. Biaya total pupuk (anorganik dan

organik) Rupiah

5. Pestisida a. Jumlah pestisida yang digunakan (insektisida, fungisida, herbisida, perekat)

Gram, liter

b. Harga (insektisida, fungisida, herbisida) per liter atau per kg

Rupiah

c. Biaya pestisida per ha Rupiah 6. Tenaga kerja a. Jumlah tenaga kerja (pria dan wanita)

setara pria per ha mulai pengolahan tanah sampai panen)

Hkp

b. Upah tenaga kerja per HKP Rupiah c. Biaya tenaga kerja per ha

7. Faktor yang berhubungan dengan inefisiensi

Umur petani, pendidikan, pengalaman, jumlah tanggungan keluarga, keanggotaan dalam kelompok frekuensi penyuluhan akses terhadap kredit konservasi

Tahun Tahun Tahun Orang Dummy Dummy Dummy Dummy

8. Penerimaan dari Off farm dan Non farm

Penerimaan dari komoditas selain kentang dan kubis seta pekerjaan lainnya

Rupiah

9. Data lainnya Nama, alamat, sifat usahatani sayuran, pemilikan asset, pengeluaran rumah tangga, pemilikan aset non lahan, teknologi dan kelembagaan,konservasi.

Page 121: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

85

4. 3. Metode Analisis

Untuk menganalisis kinerja usahatani sayuran kentang dan kubis ini

digunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama dianalisis kinerja ekonomi dari

usahatani sayuran, determinan dari kinerja ini diukur dengan efisiensi teknik,

efisiensi alokatif, dan efisiensi ekonomi. Langkah kedua mengintegrasikan

sumberdaya lingkungan dan sosial ke dalam analisis ekonomi untuk menilai

kinerja keberlanjutan usahatani. Pada pendekatan ini diperkenalkan konsep

“Sustainable Value Approach” (SVA) untuk megukur kontribusi usahatani kearah

keberlanjutan. Pengukuran keberlanjutan usahatani (the sustainable value

approach) dikombinasikan dengan metode efisiensi frontier. Metode ini

digunakan untuk membangun “tolok ukur” (benchmark).

4.3.1. Spesifikasi Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Untuk menganalisis efisiensi teknik, alokatif, dan ekonomi, digunakan

model Stochastic Frontier Analysis (SFA). Model ini digunakan untuk

mengestimasi fungsi produksi frontier. Penggunaan analisis stochastic frontier

berimplikasi pada pilihan bentuk fungsional. Analisis fungsi produksi stochastic

frontier dapat digunakan untuk mengukur dan mengestimasi efisiensi teknis dari

usahatani sayuran dari sisi input serta faktor- faktor yang mempengaruhinya.

Untuk menganalisis efisiensi alokatif dan ekonomis digunakan fungsi biaya dual

frontier.

Analisis efisiensi teknik dalam penelitian ini menggunakan model fungsi

produksi Stochastic Frontier Cobb Douglas. Beberapa alasan menggunakan

fungsi ini antara lain: a) bersifat homogen sehingga dapat digunakan untuk

menurunkan fungsi biaya dual dan fungsi produksi, b) lebih sederhana, dan c)

jarang menimbulkan masalah. Selanjutnya fungsi produksi frontier Cobb Douglas

juga telah secara luas digunakan di negara maju dan berkembang untuk

mengestimasi model frontier (Bravo-Ureta (1997). Namun fungsi ini mempunyai

kelemahan diantaranya elastisitas input dan return to scale yang konstan.

Fungsi produksi adalah hubungan teknis antara input yang digunakan

dengan output yang dihasilkan. Dengan demikian fungsi produksi kentang dan

kubis diduga secara langsung dipengaruhi oleh luas lahan yang digunakan, jumlah

Page 122: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

86 pupuk organik dan anorganik, jumlah pestisida, jumlah tenaga kerja, kemiringan

lahan, musim tanam (musim hujan dan musim kemarau) serta dummy lokasi.

Dengan demikian ke dalam model frontier dimasukkan 10 peubah bebas.

Spesifikasi dari model yang digunakan adalah :

Ln Yi = βo + β1ln X1 + β2 ln X2 + β3 ln X3 + β 4 ln X4 + β 5 ln X5 + β 6 ln X6

+ β 7 ln X7 + β 8 ln X8 + β 9 ln X9 + β 10 ln X10 + vi - ui ……… (55)

Dengan :

Yi = produksi total kentang atau kubis (usahatani ke i ) (kg)

X1 = luas lahan yang digunakan untuk usahatani kentang atau kubis ke i (ha)

X2 = jumlah benih (kg) untuk usahatani kentang atau kubis ke i

X3 = jumlah pestisida (liter) untuk usahatani kentang atau kubis ke i

X4 = jumlah pupuk K ( kg) yang digunakan usahatani kentang ke i ; atau

= jumlah pupuk N (kg) yang digunakan usahatani kubis ke-i

X5 = jumlah N+P (kg) yang digunakan usahatani kentang ke i atau

= jumlah pupuk P+K yang digunakan usahatani kubis ke-i

X6 = jumlah pupuk kandang (kg) untuk usahatani kentang atau kubis ke i

X7 = jumlah tenaga kerja (HKP) untuk usahatani kentang atau kubis ke i

X8 = kemiringan lahan (%) untuk usahatani kentang atau kubis ke i

X9 = musim tanam (dummy); D=1 musim hujan, D=0 musim kemarau

X10 = lokasi (dummy) D=1 Kabupaten Bandung; D=0 Kabupaten Garut

vit = Vi adalah variabel random yang diasumsikan iid (identically

independenly distributed)

uit

α1, ..

= Ui yang merupakan variabel random non-negatif random yang

diasumsikan disebabkan oleh inefisiensi teknis dalam produksi dan

juga sering diasumsikan sebagai iid

..α11 = parameter fungsi yang diduga

Nilai kopefisien yang diharapkan: β1, β2, β3, β4, β5, β6, β7, > 0, dan β8 < 0,

0 < β9, β10 < 0. Nilai koefisien positif artinya semakin tinggi penggunaan input

tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi sayuran.

Langkah selanjutnya adalah menghitung efisiensi teknik (TE) yang diukur

dengan:

Page 123: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

87

TEi =

= = …...………………………… (56)

Variabel yang menunjukkan struktur usahatani dan karakteristik

manajerial adalah: umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani sayuran,

keanggotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses terhadap pasar dan

kredit, status kepemilikan, dan sistem penanaman . Secara sfesifik efek inefisiensi

teknis usahatani kentang maupun kubis pada penelitian ini adalah

=

+ wt ............…………………………………………………. (57)

Dengan :

Z1 = umur petani (tahun)

Z2 = pendidikan petani (tahun)

Z3 = pengalaman bertani (tahun)

Z4 = keanggotaan dalam kelompok (dummy)

Z5 = Frekuensi penyuluhan

Z6 = dummy akses terhadap kredit (D=1 bila petani mempunyai akses,

D=0 bila tidak

Z7 = dummy status kepemilikan lahan (D= 1 bila lahan milik; D = 0

lainnya (lahan sewa, garap)

Z8 = sistem penanaman (1 =penanaman searah lereng, 2 = penanaman

searah kontur; 3 = penanaman teras bangku

Koefisen yang diharapkan : 0; , ...... < 0, 0 , < 0

Untuk melihat pengaruh karakteristik struktural dan manajerial terhadap

efisiensi teknis, ke dalam model ditambahkan variabel yang ada dalam persamaan

(53) dan (55), sehingga persamaan yang dimasukkan ke dalam fungsi produksi

dan efek inefisiensi menjadi :

Y = αo + β1ln X1 + β2 ln X2 + β3 ln X3 + β 4 ln X4 + β 5 ln X5 + β 6 ln X6 +

β 7 ln X7 + β 8 ln X8 + β 9 ln X9 + β 10 ln X10 +

vi - ui ……………. (58)

Pendugaan parameter fungsi produksi dan fungsi inefisiensi teknis baik

untuk usahatani kentang maupun kubis pada (persamaan (53), (55) dan

Page 124: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

88 persamaaan (56) dilakukan secara simultan menggunakan program Frontier 4.1.

(Coelli, 1996). Pengujian parameter stochastic frontier dan efek inefisiensi

dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan pendugaan parameter αi

dengan menggunakan metode OLS, sedangkan tahap dua dilakukan pengujian

menggunakan Maximum Likelihood Estimator (MLE) untuk mengestimasi

pendugaan seluruh parameter αi (kecuali α0) dan serta varians dan vi.

Parameter dari nilai nilai varians dapat menngestimasi nilai sehingga nilai 0

1. Nilai merupakan kontribusi efisiensi teknis di dalam efek residual total.

4.3.2. Analisis Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomis

Menurut Debertin (1986), untuk mengukur efisiensi alokatif dan efisiensi

ekonomis dapat diturunkan dari fungsi biaya dual dari fungsi produksi Cobb

Douglas yang homogenous. Dengan menggunakan 10 variabel bebas seperti pada

persamaan (68), maka jumlah input (X*i) optimum pada kondisi biaya minimum

dapat diketahui dengan persamaan:

∏ … … … … … … … … … … … … … . 59

Nilai x1, x2 …..x7 pang efisien dapat diperoleh dengan menjabarkan persamaan

57.

1

… . 60

1

… 61

Dengan cara yang sama, x3*, x4*, x5*, x6*, dan x7* dapat dicari. Secara ringkas, x7* adalah

1

… 62

Page 125: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

89

Selanjutnya nilai Xi* dimasukkan ke dalam fungsi biaya sehingga diperoleh

fungsi biaya dual :

∏ ……………………… (63)

1

… … … … … … … … 64

Penurunan fungsi biaya dual secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 4.

Dengan:

C* = jumlah biaya minimum usahatani kentang atau kubis petani ke-i (Rp)

y = jumlah ouput kentang atau kubis (kg)

β0 = konstanta dari parameter estimasi fungsi produksi frontier Cobb Douglas

dari usahatani kentang maupun kubis

βi = parameter estimasi fungsi produksi frontier Cobb Douglas usahatani

kentang atau kubis ke-i. (i= 1,2, ……..7; berturut-turut β1, β2, …. β7

adalah luas lahan, benih, pestisida, pupuk K (untuk kentang) dan N

(untuk kubis), pupuk N+P (untuk kentang) dan P+K untuk kubis, pupuk

kandang, dan jumlah tenaga kerja

pi = harga input ke i ( I = 1,2,……7) ,

p1 = sewa lahan (Rp)

p2 = harga benih per kg (Rp)

p3 = harga pestisida setara daconil per liter untuk kentang (Rp) dan setara

demolish untuk kubis

p4 = harga pupuk K per kg untuk kentang dan harga pupuk N untuk kubis

(Rp)

p5 = harga pupuk N+P per kg untuk kentang dan harga pupuk P+K untuk

kubis (Rp)

p6 = harga pupuk kandang per kg (Rp)

p7 = harga /upah tenaga kerja per HKP (Rp)

Page 126: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

90

Efisiensi Ekonomi (EE) dihitung dengan menbandingkan biaya optimum

dengan biaya aktual dengan rumus EE = C*/C.

| ,Y ,P| ,Y ,P

. / …………….… (65)

dengan: C = biaya aktual total usahatani kentang atau kubis ke-i (Rp)

Dengan demikian persamaan efisiensi alokatif ( AE) adalah :

; dengan 0 1 …………..…………….…………. (66)

4.3.3. Pendugaan Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis

dianalisis dari fungsi produksi frontier dan efek inefisiensi, selanjutnya untuk

melihat faktor-faktor yang mempengaruhi inefsiensi alokatif dan ekonomi,

variabel pada persamaan (55) dimasukkan ke dalam model dengan dependent

variabel tingkat inefsiensi alokatif dan ekonomi setiap petani. Dengan demikian

persamaannya adalah:

IA =

+ ε …………………………………………………………(67)

IE =

+ ε …………………………………………………………(68)

dengan:

IA = inefisiensi alokatif untuk kentang atau kubis, dihitung dengan

IA = 1 – AE

IE = inefisiensi ekonomi untuk kentang atau kubis, dihitung dengan

IE = 1- EE

Pendugaan faktror-faktor yang mempengaruhi inefisiensi alokatif dan

ekonomi pada persamaan (60) dan (61) dilakuakn dengan program SPSS 16.

4.3.4. Metode untuk Mengukur Kontribusi Petani terhadap Keberlanjutan

Untuk menghitung nilai keberlanjutan, langkahnya sebagai berikut:

1. Menghitung opportunity cost (eco-efficiency) = …….. ……….(69)

dan opportunity cost benchmark (tolok ukur) = ……………… (70)

Page 127: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

91

2. Menghitung Value spread = …………………………… (71)

3. Nilai kontribusi = ……………………….. (72)

4. Menghitun Nilai keberlanjutan (SV):

……………………………… (73)

5. Menghitung efisiensi keberlanjutan (RtC) = … … … … … … . 74

Dengan :

SVir = nilai keberlanjutan usahatani kentang atau kubis

N = jumlah sumberdaya yang digunakan ( n =1,2,3,4,5) Yi = value added

( penerimaan) dari kentang atau kubis (Rp)

Xi = sumberdaya yang digunakan oleh usahatani kentang atau kubis yaitu

lahan, tenaga kerja, kapital, pengeluaran sarana produksi dan tingkat

erosi

Y* = value added dari benchmark (tolok ukur)

X* = jumlah sumberdaya yang digunakan oleh benchmark yaitu lahan, tenaga

kerja, kapital, pengeluaran sarana produksi dan tingkat erosi

Dalam rangka menghitung konrtribusi petani terhadap keberlanjutan,

digunakan pendekatan stochastic frontier. Model yang digunakan adalah model

Cobb Douglas Frontier. Fungsi ini mengasumsikan elastisitas input dan elastisitas

produksi konstan, dan elastisitas substitusi sama dengan satu. Pada penelitian ini

digunakan formulasi yang dikemukakan oleh Figge dan Hahn (2005) dan Van

Passel (2009).

Persamaan fungsi produksi frontier Cobb Douglas:

ln ln ln ln ln ln

……………………………………………………………... (75)

Dengan:

VA = value added = penerimaan (rupiah)

r1 = luas lahan yang digunakan (ha)

r2 = jumlah tenaga kerja (HKP)

r3 = jumlah working capital (rupiah)

Page 128: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

92 r4 = pengeluaran benih, pupuk anorganik, pestisida, dan pupuk kandang

(rupiah)

r5 = tingkat erosi (ton/ha)

Pemecahan secara simultan diperoleh setelah parameter dari fungsi Cobb

Douglas sudah diestimasi dengan menggunakan metode maksimum likelihood.

Setelah diestimasi maka akan diperoleh persamaan :

ln ln ln ln ln ln

ln ln = ln ………………………………. (76)

Notasi VAi adalah output frontier yang diprediksi, dan VAi adalah output

yang diobservasi. Dengan demikian refisien adalah :

exp . ..................................... (77)

exp . .......................... ……….(78)

exp . \ ……………………. (79)

exp . ……………………… (80)

exp . ……………………….. (81)

Dengan memasukkan persamaan (75) sampai persamaann (79) ke

persamaan (71), maka nilai keberlanjutan dapat dicari dari usahatani i dengan

menggunakan lima sumberdaya dan dengan asumsi teknologi Cobb Douglas, nilai

keberlanjutan adalah:

..

..

Page 129: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

93

..

..

..

………….. ……….. (82)

Tingkat erosi mewakili variabel lingkungan dalam penelaahan keberlanjutan

usahatani ini. Besarnya erosi dalam penelitian ini tidak diukur langsung tetapi

menggunakan prediksi erosi USLE. Rumus yang digunakan untuk memprediksi

besarnya erosi adalah :

A = K.R.L.S.C.P. ……………………………………………………(83)

A = Tingkat erosi (ton/ha)

K = Faktor erodibilitas tanah

R = Curah hujan dan aliran permukaan

L = Panjang lereng

S = Kecuraman lereng

C = Vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman

P = Tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (Arsyad, 2000)

Pada penelitian ini data K diambil dari basis data penelitian terdahulu,

data R diperoleh dari curah hujan selama satu tahun dari stasiun Malabar yang ada

di Pangalengan dan Pamegatan yang ada di Kecamatan Cikajang. Data L dan S

diperoleh dari hasil wawancara dengan petani kemudian perhitungan LS

mengunakan rumus dari Arsyad (2000). Karena data untuk nilai C (vegetasi)

untuk tanaman berurutan kentang dengan tanaman lain atau nilai C untuk tanaman

tumpangsari kentang dengan tanaman lain tidak tersedia, maka nilai C diambil

Page 130: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

94 dari nilai C monokultur kentang. Prediksi erosi dihitung dengan menggunakan

program Splash dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak).

Setelah parameter dari persamaan (67) diperoleh, maka langkah

selanjutnya mencari efisiensi teknik sumberdaya (refisien) pada tingkat

tertentu, perhitungan dapt dicari dengan menggunakan persamaan (61) dan (62).

Nilai sumberdaya (r ) yang efisien inilah yang akan dijadikan benchmark.

Figge dan Hahn (2005) menggunakan konsep opportunity cost untuk

mentransfer dampak ke dalam ekuivalent nilai. Yang dimaksud dengan

opportunity cost dari sebuah sumberdaya adalah biaya dari kesempatan yang

hilang (dan benefit yang dapat diterima dari kesempatan itu). Setelah nilai

sumberdaya yang efisien diketahui dan dijadikan benchmark, maka langkah

selanjutnya adalah menghitung opportunity cost (eco-efficiency (persamaan 43),

opportunity cost benchmark (persamaan 44), value spread (persamaan 45), nilai

kontribusi (persamaan 46), dan perhitungan nilai keberlanjutan (SVA)

menggunakan persamaan (47) dan efisiensi keberlanjutan menggunakan

persamaan (49).

4.4. Definisi Operasional

1. Produk (Y) adalah jumlah produksi kentang atau kubis yang dihasilkan

dalam proses produksi, diukur dalam kilogram (kg)

2. Harga produk (Py) adalah harga kentang atau kubis di tingkat petani, diukur

dalam rupiah/kg

3. Penerimaan adalah jumlah uang yang dihasilkan dari penjualan produk, atau

jumlah produk yang dihasilkan dilkalikan harganya, diukur dalam rupiah

4. Luas lahan (X1) adalah luas lahan total yang ditanami kentang atau kubis per

musim tanam diukur dalam hektar (ha)

5. Sewa lahan adalah besarnya uang sewa yang berlaku di daerah penelitian

yang besannya bervariasi untuk setiap tingkat kemiringan lahan, diukur

dalam rupiah

6. Benih adalah jumlah benih yang digunakan petani dalam proses produksi

diukur dalam satuan kilogram. Benih yang digunakan adalah benih

bersertifikat G2 – G4. Harga benih adalah harga benih yang berlaku umum

Page 131: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

95

di daerah penelitian ditambah dengan biaya transport sampai lokasi lahan

dihitung dalam satuan rupiah.

7. Pupuk anorganik adalah jumlah pupuk Urea, ZA, TSP/SP36, KCl, dan NPK

yang diukur dalam kandungan hara N, P, dan K. Kandungan N dalam

pupuk Urea adalah 46 persen, ZA 21 persen, dan NPK 15 persen.

Kandungan P dalam SP36 sebesar 36 persen, dan kandungan K dalam KCl

sebesar 60 persen. Diukur dalam kilogram.

8. Pupuk organik adalah jumlah pupuk kandang (terbuat dari kotoran ayam)

diukur dalam satuan kilogram. Harga pupuk kandang adalah harga yang

berlaku di daerah penelitian ditambah dengan biaya transport dan biaya

angkut diukur dalam rupiah.

9. Pestisida adalah jumlah penggunaan pestisida baik cair maupun padat.

Dalam penelitian ini digunakan jumlah pestsida yang terbanyak digunakan

oleh petani. Jumlah pestsida setara Daconil digunakan untuk usahatani

kentang dan setara Demolish untuk usahatani kubis, dan diukur dalam liter

Harga pertisida adalah harga Daconil dan Demolish yang berlaku di daerah

penelitian ditambah dengan biaya transportasi diukur dalam rupiah.

10. Tenaga kerja adalah jumlah total tenaga kerja meliputi tenaga kerja dalam

dan luar keluarga diukur dalam hari kerja setara pria (HKP). Harga tenaga

kerja adalah upah yang berlaku di daerah penelitian diukur dalam rupiah.

11. Kemiringan lahan adalah persen kelerengan lahan yang ditanami kentang

dan kubis diukur dalam persen

12. Musim tanam adalah musim pada waktu proses penanaman kentang dan

kubis dilakukan, terbagi ke dalam musim hujan dan musim kemarau dan

merupakan variabel dummy.

13. Umur petani adalah umur petani sampai wawancara dilakukan diukur dalam

tahun.

14. Pendidikan adalah waktu yang ditempuh petani untuk menyelesaikan

pendidikan formal mulai dari SD, SMP, SMA, DIPLOMA, dan strata satu.

Diukur dalam tahun

15. Pengalaman adalah lamanya waktu yang dilalui petani mulai bertanam

sayuran sampai saat wawancara dilakukan, diukur dalam tahun.

Page 132: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

96 16. Keanggotaan dalam kelompok adalah petani tersebut masuk dalam

kelompok tani dan merupakan variabel dummy.

17. Frekuensi Penyuluhan adalah jumlah kunjungan penyuluh ke kelompok,

diukur dalam unit.

18. Akses terhadap kredit adalah kemampuan petani untuk akses terhadap

tambahan modal baik dari lembaga formal maupun informal, merupakan

variabel dummy.

19. Status kepemilikan lahan adalah adalah status petani sebagai pemilik,

penggarap, atau penyewa, merupakan variabel dummy.

20. Konservasi adalah sistem penanaman yang dilakukan petani meliputi sistem

penanaman searah lereng (tidak dikatagorikan konservasi), searah kontur,

dan teras bangku. Kedua sistem penanaman ini dikatagorikan ke dalam

sistem konservasi.

21. Tingkat erosi adalah besarnya erosi yang terjadi. Dihitung dengan

menggunakan prediksi erosi.

Page 133: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Jawa Barat merupakan daerah beriklim tropis dan curah hujan tinggi

dengan banyak jumlah hari hujan. Kondisi tersebut didukung oleh lahan yang

subur yang berasal dari endapan vulkanis dan banyaknya aliran sungai sehingga

cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Kondisi topografi utara Jawa Barat

merupakan dataran rendah dan daerah selatan merupakan daerah berbukit-bukit

dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung di daerah tengah (Bappeda

Jawa Barat, 2010). Dengan demikian Jawa Barat merupakan daerah yang cocok

untuk tanaman hortikultura.

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten yang dijadikan

daerah penelitian yaitu Kabupaten Bandung dan Garut, kedua daerah tersebut

merupakan sentra produksi kentang terbesar di Jawa Barat. Kabupaten Bandung

terdiri atas 31 kecamatan, yang dibagi lagi menjadi 277 desa dan kelurahan

(pasca-pemekaran). Pusat pemerintahan terletak di Kecamatan Soreang. Batas

wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bandung adalah:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung,

dan Kabupaten Sumedang;

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut;

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur;

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung

dan Kota Cimahi

Kabupaten Bandung memiliki luas wilayah 176 239 Ha. Berada pada

koordinat 107°22’ - 108°5’ BT dan 6°41’ - 7°19’ LS, di ketinggian 110 – 2 429 m

dpl, sehingga memiliki wilayah yang datar/landai, kaki bukit, dan pegunungan

dengan kemiringan lereng beragam antara 0-8 persen, 8-15 persen hingga di atas

45 persen. Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim

muson dengan curah hujan rata-rata antara 1 500 mm sampai dengan 4 000 mm

per tahun. Suhu udara berkisar antara 120 C sampai 240 C dengan kelembaban

antara 78 persen pada musim hujan dan 70 persen pada musim kemarau (Bappeda

Kabupaten Bandung, 2010)

Page 134: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

98

Daerah sentra produksi komoditas hortikultura di Kabupaten Bandung,

terutama sayuran dan tanaman hias, umumnya terdapat di kawasan dataran tinggi

yang memiliki jenis tanah andosol yang cukup subur. Komoditas yang paling

banyak diusahakan meliputi; kentang, kubis, wortel, seledri, bawang merah, cabe,

bloom kol, tomat. selada, sawi putih, ceisin, terung, dan sekarang strowberry.

Penelitian di Kabupaten Bandung dilakukan di dua kecamatan yaitu

Kecamatan Pangalengan dan Kecamatan Kertasari sebagai daerah sentra produksi

kentang dan kubis. Kecamatan Pangalengan terdiri atas 13 desa yaitu Desa

Pangalengan, Margaluyu, Warnasari, Sukamanah, Lamajang, Margamukti,

Margamulya, Banjarsari, Sukaluyu, Tribaktimulya, Pulosari, Wanasuka, dan

Margamekar. Dari tiga belas desa tersebut dipilih enam desa yang dijadikan

sampel daerah penelitian.

Jarak dari Kecamatan Pangalengan ke ibukota kabupaten 36 km dan jarak

ke ibukota provinsi 42 km, jarak ke ibukota negara 220 km. Berdasarkan data

pada tahun 2010 curah hujan rata-rata di Kecamatan Pangalengan adalah 2 114

mm dengan jumlah bulan hujan 6 bulan., kelembaban 2, dengan ketinggian antara

983 dpl - 1564 dpl. Kecamatan Pangalengan mempunyai warna tanah hitam

dengan tekstur lampungan, pasir, dan debuan.

Berdasarkan tingkat kemiringan lahan, tingkat kemiringan lahan antara 2

persen sampai lebih dari 45 persen. Karena tanah di Pangalengan mempunyai

tingkat kemiringan yang curam, maka berdasarkan luas tanah yang tererosi, 16

persen lahan termasuk ke dalam erosi ringan, 19 persen erosi sedang, 21 persen

erosi berat dan 44 persen tak tererosi. Berdasarkan luas wilayah menurut

penggunaannya, perkebunan mempunyai luas terbesar diikuti oleh pesawahan

dan pemukiman (Monografi Kecamatan Pangalengan, 2010)

Kecamatan Kertasari terletak 45 km dari ibukota Kabupaten Bandung dan

55 km dari ibukota provinsi. Kecamatan ini terdiri atas tujuh desa, yaitu Desa

Sukapura, Cibeureum, Santosa, Tarumajaya, Neglawangi, Cihawuk, dan

Cikembang dengan luas wilayah 14 178 ha dari tujuh desa, terpilih dua desa

sebagai desa sampel penelitian yaitu Desa Cikembang dan Desa Cibeureum.

Berdasarkan data Kecamatan Kertasari tahun 2010, Kecamatan Kertasari

mempunyai ketinggian 1700 m dpl, dengan suhu berkisar antara 18o – 25o.

Page 135: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

99

Bentuk wilayah datar berombak (10 persen), berombak sampai berbukit (15

persen) dan berbukit sampai bergunung (75 persen). Komoditas yang banyak

diusahakan di Kecamatan Kertasari adalah sayuran (3 479 hektar), diikuti oleh

padi (180 hektar), jagung (125 hektar), dan ketela pohon (45 hektar).

Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian selatan pada

koordinat 6º56'49'' - 7º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur

Timur. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306 519 Ha

(3 065.19 km²) dengan batas-batas sebagai berikut :

Utara : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang

Timur : Kabupaten Tasikmalaya

Selatan : Samudera Indonesia

Barat : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur

Hingga tahun 2009 Kabupaten Garut memiliki 42 Kecamatan, 21

Kelurahan dan 403 Desa. Berdasarkan jenis tanah dan medan topografi di

Kabupaten Garut, wilayah Kabupaten Garut mempunyai kemiringan antara 0

persen sampai lebih dari 40 persen, dan 77 persen wilayah Kabupaten Garut

mempunyai kemiringan 15 persen sampai di atas 40 persen. Penggunaan lahan

secara umum di Garut Utara digunakan untuk persawahan dan Garut Selatan

didominasi oleh perkebunan dan hutan.

Kecamatan Cikajang terletak 26 km dari ibukota Kebupaten Garut.

Memiliki luas wilayah 12 495 Ha dengan penggunaan terbesar untuk perkebunan

(37 persen). Kemiringan lereng di Kecamatan Cikajang bervariasi antara 0 – 2

persen, 2 – 5 persen, 15 – 40 persen, hingga lebih dari 40 persen. Secara

administratif Kecamatan Cikajang terdiri atas 11 desa yang berbatasan dengan

Cisurupan, Cigedung, Banjarwangi, Pamulihan, Pakenjeng, Cisompet, dan

Cihurip. Pada sektor pertanian, komoditas unggulan yang ditanam yaitu kentang,

kubis, wortel, cabe besar, dan tomat.

Kecamatan Pasirwangi merupakan pemekaran dari Kecamatan Samarang

yang diresmikan pada 20 Januari 2001, terletak 27 km sebelah barat dari ibu kota

Kabupaten Garut dan 80 km sebelah selatan dari ibukota provinsi (Bandung).

Secara geografis, kecamatan ini terletak pada 7010’-7015’ Lintang Selatan dan

107041’ – 107050’ Bujur Timur. Secara administratif Kecamatan Pasirwangi

Page 136: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

100

terdiri dari 12 desa yaitu Desa Pasirwangi, Karyamekar, Padaasih, Padamulya,

Padaawas, Padasuka, Pasirkiamis, Sarimukti, Talaga, Barusari, Padamukti, dan

Sirnajaya.

Luas wilayah Kecamatan Pasirwangi adalah 5 002.888 Ha. Kecamatan ini

berada pada ketinggian antara 900 – 1400 m diatas permukaan laut dengan

bentuk wilayah, 23 persen datar sampai berombak, 57 persen berombak sampai

berbukit, dan 20 persen berbukit sampai bergunung. Jenis tanah didominasi oleh

jenis asosiasi andosol (60 persen), dan podsolik (40 persen) dengan derajat

keasaman (PH) tanah umumnya berkisar 4.5 – 6.5. Suhu udara berkisar antara

200C- 340C dengan curah hujan rata-rata adalah 1 592.7 mm per tahun (132.7 mm

per bulan). Bulan basah terjadi selama 6.3 bulan, yaitu periode Oktober sampai

dengan April, bulan Kering 4.3 bulan, yaitu periode Mei sampai dengan

September. Kondisi ini membuat Kecamatan Pasirwangi merupakan salah satu

wilayah potensial penghasil sayur-sayuran terutama kembang kol, labu siam,

kubis, dan kentang.

5.2. Karakteristik Rumahtangga Petani Sampel

5.2.1. Struktur Umur Kepala Keluarga dan Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis Rumah tangga yang dijadikan sampel adalah rumah tangga petani yang

melakukan usahatani kentang dan atau kubis. Dari pengamatan tiga musim tanam

dalam setahun, berdasarkan hasil wawancara dengan petani sampel diperoleh

karakteristik petani di wilayah penelitian yang relatif beragam dalam hal umur,

tingkat pendidikan, pengalaman bertani, penguasan lahan, status kepemilikan dan

sistem penanaman baik untuk kentang maupun kubis. Beberapa karakteristik

petani dan keluarganya disajikan pada Tabel 8.

Rata-rata umur kepala keluarga petani sayuran baik untuk kentang maupun

kubis relatif sama sekitar 46 tahun. Demikian halnya umur istri petani relatif

sama sekitar 40 tahun. Struktur umur ini menunjukkan di daerah penelitian petani

sayuran maupun istri petani masih tergolong usia produktif. Jumlah tanggungan

keluarga rata-rata 3 orang, dan ini dikatagorikan sebagai keluarga kecil.

Page 137: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

101

Tabel 8. Karakteristik Petani dan Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Uraian Kentang Kubis Rata-rata Std Rata-rata Std

Umur Kepala keluarga (tahun) 45.9 11.8 45.8 12.5Pendidikan kepala keluarga (tahun) 7.7 3.3 7.8 3.6Pengalaman Usahatani (tahun) 18.7 12.5 16.7 12.1Umur Istri (tahun) 40.1 11.5 40.6 11.7Pendidikan istri (tahun) 7.5 2.9 7.0 3.0Jumlah tanggungan Keluarga (orang) 3.2 1.6 3.0 1.31Keterangan: Std = Standar Deviasi

Jika dilihat berdasarkan struktur umur, berdasarkan hasil wawancara

terhadap 203 petani kentang dan 166 petani kubis, sebagian besar umur KK

rumahtangga petani berada pada usia produktif dengan persentase untuk petani

kentang sebesar 67.2 persen dan petani kubis 67.4 persen. Yang menarik adalah

sebanyak 64 orang (31 persen) petani kentang dan 58 orang petani kubis (34

persen) berada pada umur muda yaitu 31-40 tahun (Tabel 9)

Tabel 9. Sebaran Umur Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Kentang Kubis

Interval Jumlah Petani(orang)

Persentase (%)

Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

< 30 Thn 16 7.8 17 10.2 31 – 40 64 31.6 58 34.9 41 – 50 57 28.1 37 22.3 51 – 60 40 19.7 30 18.1 > 60 26 12.8 24 14.5 Total 203 100.0 166 100.0 Sumber: data primer diolah

Bila dikaitkan dengan umur produktif (sampai umur 50 tahun) maka baik

petani kentang maupun petani kubis sekitar 67 persen berada pada kisaran umur

tersebut. Hal ini menunjukkan di daerah penelitian penduduk usia muda masih

tertarik dan berminat menjadi petani sayuran atau masih mau bekerja sebagai

petani dibandingkan beralih ke komoditas lain serta memiliki keinginan yang

tinggi untuk mempelajari dan menerapkan teknologi. Karena kentang dan kubis

ditanam pada lahan berlereng, maka dalam pengelolaannya memerlukan tenaga

fisik yang kuat. Seperti diketahui, usahatani sayuran masih memberikan

pendapatan per hektar yang lebih tinggi dibandingkan komoditas lainnya. Data

Page 138: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

102

Dirjen Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2009) menunjukkan bahwa tanaman

kentang mampu memberikan R/C sebesar 1.05 dan kubis 1.33. Penelitian

Katharina (2007) menyebutkan tanaman kentang yang ditanam serarah lereng

memberikan R/C lebih tinggi yaitu sebesar 1.73, sementara data Kabupaten Garut

menyebutkan R/C untuk tanaman kentang sebesar 1.73.

5.2.2. Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga

Pendidikan dapat dibedakan menjadi pendidikan formal, non formal, dan

pendidikan informal. Pendidikan formal menyediakan pengetahuan spesifik atau

keterampilan umum yang berkontribusi pada produktivitas usahatani. Pendidikan

non formal menyediakan informasi spesifik tentang teknologi baru atau praktik

yang sesuai. Pendidikan informal membentuk sikap, kepercayaan, dan kebiasaan

Weir dan Knight (2004). Seluruh jenis pendidikan tersebut sangat penting dalam

difusi inovasi dan menciptakan eksternalitas pendidikan.

Tingkat pendidikan diukur dari lamanya tahun pendidikan formal yang

diselesaikan. Berdasarkan pada data Tabel 10, rata-rata pendidikan kepala

keluarga antara 7 tahun sampai dengan 8 tahun atau setara Sekolah Menengah

Pertama. Tabel 8. memperlihatkan tingkat pendidikan yang ditempuh petani

contoh. Jika dilihat dari jenjang pendidikan, maka dari pendidikan yang

diselesaikan sebagian petani sampel baik petani kentang (43.3 persen) maupun

petani kubis (41 persen) adalah lulusan SD. Namun demikian masih ada (>10

persen) petani yang tidak tamat SD. Dari hasil wawancara dengan petani,

umumnya mereka beranggapan untuk menjadi petani tidak perlu pendidikan tinggi

tetapi yang penting adalah keterlibatan dan keaktifan mereka untuk memperoleh

informasi dari sesama petani. Sekitar 4 persen petani kentang dan 5 persen petani

kubis mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, dan 18-21 persen petani

kentang dan kubis mengenyam pendidikan sampai SMA. Berdasarkan hasil

wawancara, sebenarnya petani sayuran sangat memperhatikan pendidikan anggota

keluarganya, terbukti beberapa sampel petani berhasil menyekolahkan anak-

anaknya minimal SMA bahkan sampai perguruan tinggi.

Page 139: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

103

Tabel 10. Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Kentang Kubis Jumlah Petani

(orang) Persentase

(%) Jumlah Petani

(orang) Persentase

(%) TL SD 23 11.3 20 12.0SD 88 43.4 68 41.0SMP 48 23.7 34 20.5SMA 36 17.7 36 21.7PT 8 3.9 8 4.8Total 203 100 166 100Sumber: data primer diolah

Meskipun tingkat pendidikan formal rata-rata hanya 8 tahun, namun para

petani terus menerus belajar untuk menambah pengalaman bertaninya. Lebih dari

90 persen petani pernah mengikuti pendidikan non formal. Adapun pendidikan

non formal yang pernah diikuti berupa Sekolah Lapang yang diselenggarakan

oleh ACIAR, pelatihan budidaya sayuran, pengendalian hama terpadu yang

diselenggarakan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta seperti PT Indagro

Sygenta dan Buyer, pembuatan pupuk bokasi, bahkan beberapa petani pernah

mengikuti pelatihan penagkaran benih kentang dan pemasaran. Bentuk kegiatan

penyuluhan yang diikuti antara lain pembinaan di lapangan secara berkelompok.

5.2.3. Pengalaman Berusahatani Kentang dan Kubis

Dilihat dari pengalaman bertani (Tabel 11), diperoleh rata-rata pengalaman

bertani kepala keluarga (menjadi petani mandiri) adalah 19 tahun untuk petani

kentang dan 17 tahun untuk petani kubis. Berdasarkan hasil wawancara,

berusahatani kentang sudah menjadi mata pencaharian pokok dan merupakan

usahatani yang turun temurun. Kegiatan ini sudah dilakukan oleh petani sejak

mereka masih sekolah dengan membantu orangtuanya maupun sebelum menikah,

bahkan empat orang petani sampel ditemukan belum menikah dan masih berusia

sekitar 25 tahun. Ke empat petani tersebut mengatakan bahwa sebelumnya

mereka bekerja sebagai pegawai di salah satu petani kentang dengan skala besar,

kemudia mereka memutuskan untuk berusahatani sendiri dengan jalan menyewa

lahan perkebunan dan tanah desa serta memanfaatkan tanah warisan orang tua

untuk dikelola.

Page 140: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

104

Berdasarkan pengalaman pengusahaan sayuran selama 5 tahun terakhir,

petani mempersepsikan karakteristik tertentu untuk beberapa sayuran utama.

kentang dipersepsikan sebagai komoditas sayuran dengan teknik budidaya paling

dikuasai serta paling dapat diandalkan/menguntungkan. Tomat dan kubis

dikategorikan sebagai jenis sayuran yang memiliki risiko produksi paling tinggi

(terutama dikaitkan dengan risiko kehilangan hasil panen akibat serangan hama

penyakit). Komoditas sayuran yang di satu sisi fluktuasi harganya seringkali

bersifat ekstrim sehingga berpotensi tinggi menimbulkan kerugian, tetapi di sisi

lain membutuhkan biaya produksi paling tinggi adalah cabai (Adiyoga et al,

2004).

Sebagian besar petani kentang dan kubis (kurang lebih 60 persen)

mempunyai pengalaman berusahatani kurang dari 20 tahun dengan rata-rata

pengalaman 17 – 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah cukup lama

mengenal budidaya sayuran. Pengalaman bertani dapat mempengaruhi petani

dalam menentukan waktu tanam, pola tanam, atau jenis tanaman yang akan

ditanam berdasarkan pada musim. Selain itu pengalaman juga memungkinkan

petani untuk dapat mengalokasikan penggunaan input lebih efisien baik efisiensi

teknis maupun alokatif.

Tabel 11. Pengalaman Bertani Petani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Kentang Kubis

Interval Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

< 20 122 60.1 103 62.1 21 – 30 43 21.2 41 24.7 31 – 40 25 12.3 14 8.4 41 – 50 11 5.4 8 4.8 > 51 2 1.0 0 0 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah

5.2.4. Kegiatan Kerja Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 Di daerah penelitian, bertanam sayuran kentang dan kubis merupakan

pekerjaan utama. Petani dan keluarganya tidak hanya melakukan pekerjaan di

dalam usahatani (on farm) tetapi juga melakukan kegiatan berburuh tani (off farm)

dan kegiatan di luar usahatani (non farm). Kegiatan on farm yang dilakukan

Page 141: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

105

selain mengusahakan sayuran mereka juga melakukan kegiatan beternak sapi dan

domba. Sebagian besar petani sampel mempunyai pekerjaan diluar usahataninya

(kegiatan non farm) seperti berdagang, tukang ojeg, dan ada pula yang menjadi

PNS, karyawan PTPN VIII dan karyawan KPPBS. Kegiatan off farm yang

dilakukan adalah menjadi buruh tani. Berdasarkan wawancara dengan petani

sampel pada umumnya istri terlibat dalam pengelolaan usahatani sayuran kentang

dan kubis, hanya sekitar kurang dari 15 persen anggota keluarga tidak terlibat

dalam usahatani sayuran.

5.2.5. Keanggotaan dalam Kelompok Tani

Dilihat dari keanggotaan kelompok tani, baik untuk petani kentang

maupun kubis hanya sekitar 50 persen ikut dalam kelompok tani yang ada di

desanya. Sisanya tidak ikut dalam kelompok (Tabel 12). Beberapa alasan yang

dikemukakan adalah lahan usahatani yang diusahakan sempit, lokasi ke tempat

pertemuan jauh, atau sebagian dari petani belum merasakan manfaat dari

berkelompok. Petani beranggapan pertemuan seringkali penyuluhan digunakan

oleh distributor pestisida untuk mempromosikan produknya sehingga informasi

mengenai budidaya, permasalahan hama penyakit, dan permasalahan pertanian

relatif kurang dibahas. Di samping itu informasi yang tidak menyeluruh

sehubungan dengan kegiatan kelompok menjadi alasan petani tidak ikut

berkelompok.

Tabel 12. Keanggotaan Dalam Kelompok Petani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Kentang Kubis Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

Tidak ikut dalam keanggotaan 98 48.3 80 48.2Ikut dalam keanggotaan 105 51.7 86 51.8Total 203 100 166 100Sumber: data primer diolah

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani sampel, sekitar 64 persen

petani merasakan manfaat yang besar dengan berkelompok, karena dapat

menambah wawasan, namun 36 persen petani menyatakan tidak ikut berkelompok

Page 142: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

106

karena kurang berfungsi, dan kebanyakan pertemuan sering digunakan untuk

menjual produk. Selanjutnya dikatakan oleh hampir 100 persen petani bahwa

informasi mengenai teknik budidaya sering mereka dapatkan dari teman sesama

petani baik dalam satu desa maupun di luar desa, PPL, dan kelompok tani.

Informasi pemasaran sering mereka dapatkan dari pedagang sarana produksi baik

yang ada di desa maupun di luar desa, dan pedagang hasil produksi.

Frekuensi pertemuan dengan penyuluh relatif kurang. Berdasarkan hasil

wawancara dengan koordinator PPL, diakui bahwa bahwa dalam melaksanakan

tugasnya hampir 75 persen waktunya habis untuk rapat, membuat laporan dan

kegiatan administrasi lainnya sehingga waktu untuk memberikan penyuluhan

berkurang. Pada umumnya kelembagaan penyuluhan yang ada di daerah

penelitian sudah terbentuk dengan baik. Namun kelemahan yang ada, selain pada

materi penyuluhan, juga jumlah penyuluh di lapangan yang relatif kurang. Para

penyuluh yang ada sekarang sebagian besar mendekati umur pensiun, dan para

penyuluh Tenaga Harian Lepas (THL) yang pada umumnya relatif masih muda.

Digabungkannya para penyuluh dalam satu badan yaitu Badan

Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan( BP3K) membuat para penyuluh

menghadapi kendala dalam memberikan penyuluhan, karena tidak jarang

penyuluh kehutanan atau perikanan harus memberikan penyuluhan tentang

komoditas hortikultura. Akibatnya ada rasa kurang percaya diri dari penyuluh.

Frekuensi pertemuan dengan penyuluh relatif sama untuk petani kentang dan

kubis. Sekitar 40 persen petani menyatakan tidak pernah bertemu penyuluh dalam

satu tahun terakhir ini. Namun demikian sebagian besar petani menyatakan

mereka bertemu penyuluh antara 2 – 5 kali dalam setahun, bahkan beberapa orang

petani menyatakan lebih dari enam kali bertemu dengan penyuluh. Mereka adalah

ketua kelompok tani yang kadang-kadang ikut dalam pertemuan di luar desa.

Page 143: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

107

Tabel 13. Frekuensi Keikutsertaan dalam Penyuluhan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Kentang Kubis

Interval Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

0 84 41.4 66 39.8 1 sd 2 41 20.2 40 24.1 3 sd 4 58 28.6 47 28.3 5 sd 6 18 8.8 10 6.0 > 6 2 1.0 3 1.8 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah

5.2.6. Penguasaan Lahan Usahatani

Lahan merupakan sumberdaya alam yang paling penting dalam usaha

budidaya pertanian. Potensi Lahan di Kabupaten Bandung, terdiri atas lahan

sawah seluas 36 212 hektar atau 20.55 persen dari luas wilayah Kabupaten

Bandung (176.239 Ha), lahan kering seluas 140 027 hektar (79.45 persen) yang

terdiri atas lahan kering pertanian seluas 74 778 Ha (42.43 persen) dan lahan

kering bukan pertanian 65 249 Ha (37.02 persen). Di Kabupaten Garut, lahan

kering yang digunakan untuk sayuran sebesar 16 persen atau seluas 51 146 ha.

Berdasarkan pembagian lahan tersebut, maka 100 persen petani mengusahakan

sayuran di lahan kering. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa daerah

penelitian mempunyai ketinggian 983 – 1564 meter dpl dan dikatagorikan lahan

dataran tinggi. Tabel 14. menyajikan sebaran luas lahan garapan petani kentang

dan kubis.

Tabel 14. Luas Lahan Garapan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Kentang Kubis

Interval Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

< 0.5 ha 156 76.8 134 80.7 0.51 – 1 ha 26 12.9 21 12.7 > 1.1 ha 21 10.3 11 6.6 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah

Page 144: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

108

Berdasarkan luas penguasaan lahan, di daerah penelitian luas lahan yang

diusahakan untuk tanaman sayuran berkisar antara 0.035 hektar sampai 8 ha untuk

kentang dan kubis berkisar 0.04 hektar sampai 6 hektar. Di daerah penelitian,

luas lahan yang digarap rata-rata 0.54 hektar. Sebagian besar petani kentang (76

persen) dan 81 persen petani kubis mengusahakan lahannya kurang dari 0.5

hektar. Sebanyak 12 persen petani kentang dan petani kubis mengusahakan

lahannya pada kisaran 0.5 – 1 hektar dan hanya sebagian kecil petani yang

mengusahakan lahannya lebih dari 1 hektar. Dari petani contoh yang

diwawancarai, 76.8 persen petani kentang mengusahakan sayuran di tanahnya

sendiri, 23.2 persen sebagai penyewa atau penggarap. Sedangkan bagi petani

kubis 75.3 persen mengusahakan lahan sebagai pemilik dan 24.7 persen sebagai

penyewa atau penggarap.

Berdasarkan hasil wawancara, mayoritas petani menggarap lahan dengan

kemiringan lebih dari 10 persen, yaitu sebanyak 55.2 persen untuk penanaman

kentang dan 58.4 persen untuk penanaman kubis (Tabel 15).

Tabel 15. Jumlah Petani Sayuran Kentang dan Kubis Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Jawa Barat, 2011

Uraian Kentang Kubis

Jumlah Petani (orang) Persen

Jumlah Petani (orang)

Persen

1.Lahan Milik a. Memiliki lahan 156 76.8 125 75.3 b. Tidak Memiliki 47 23.2 41 24.7

Jumlah 203 100.0 166 100.0 2.Lahan bukan milik a. Menguasai 145 71.4 125 75.3 b. Tidak menguasai 58 28.6 41 24.7 Jumlah 203 100.0 166 100.0 3.Satus Penguasaan lahan a. Pemilik saja 59 29.1 49 29.5 b. Pemilik-penyewa 98 48.3 76 45.8 c. Penyewa saja 46 22.6 41 24.7

Jumlah 203 100.0 166 100.0 Sumber: data primer diolah

Selain itu, berdasarkan sistem penanaman yang dilakukan oleh petani

kentang maupun kubis, mayoritas adalah sistem penanaman searah kontur,

masing-masing sebanyak 47.3 persen dan 41. 6 persen (Tabel 16).

Page 145: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

109

Tabel 16. Kemiringan Lahan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Kemiringan (%) Kentang Kubis

Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

< 10 91 44.8 69 41.6 11 – 20 44 21.7 34 20.5 21 – 30 27 13.3 31 18.7 31 – 40 21 10.3 14 8.4 > 40 20 9.9 18 10.8 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah

Selain mengusahakan sayuran di lahanya sendiri banyak petani

memperluas lahan usahataninya dengan menyewa lahan milik orang lain. Namun

tidak sedikit petani yang mengarahkan lahannya untuk menanam kentang atau

kubis pada lahan berlereng. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya lahan milik yang

dikuasai petani. Para petani menyewa lahan pribadi, lahan carik desa, lahan

perkebunan PTPN VIII, lahan PLN, dan lahan perhutani/kehutanan. Berdasarkan

informasi yang diperoleh dari beberapa petani sampel, pada awalnya lahan dengan

kemiringan >30 persen merupakan lahan kehutanan dan lahan perkebunan yang

ditanami oleh tanaman tahunan/tanaman keras, namun karena terdesak kebutuhan

lahan yang semakin meningkat, sedangkan lahan untuk sayuran terbatas, maka

kebanyakan petani membuka hutan dan menggarapnya untuk ditanami sayuran.

Ketika membuka lahan para petani mengeluarkan biaya yang cukup besar yaitu

sekitar Rp 5 juta /hektar sehingga sekarang mereka menganggap lahan tersebut

seolah-olah sudah menjadi miliknya.

Dilain pihak, untuk daerah Panglengan kepemilikan lahan terdiri atas

lahan milik masyarakat dan lahan milik negara yang berupa kawasan hutan dan

lahan milik PT Indonesia Power (Anak perusahaan PLN) (Arini, 2010). Selama

ini sebagian besar lahan milik PT Indonesia Power (PT IP) digarap oleh

masyarakat dengan didominasi oleh tanaman sayuran yang rentan terhadap erosi.

Namun sejak tahun 2007 oleh pihak PT IP dilakukan upaya perubahan pola tanam

bersama masyarakat menjadi usahatani konservasi lahan dengan system

agroforestri. Pada sistem ini, petani menanam berbagai jenis sayuran dan

dikombinasikan dengan tanaman kopi. Selain itu, sejak tahun 2001 Perum

Page 146: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

110

Perhutani pun bersama masyarakat melakukan agroforestri dengan menanam kopi

bersama tanaman kehutanan dan telah panen sejak tahun 2004. Namun, karena

petani lebih mengandalkan hasil dari tanaman sayuran yang lebih cepat didapat

daripada hasil dari tanaman kopi, lambat laun petani justru menebang tanaman

keras yang telah ditanam karena menaungi sayuran tersebut dan dianggap

mengganggu pertumbuhan sayuran. Selain itu, tanaman kopi dianggap

mengurangi luasan lahan yang dapat digunakan untuk menanam sayuran sehingga

pendapatan yang diterima menurun.

Sebagian petani menggarap lahan kehutanan atau lahan perkebunan

dengan besarnya sewa tidak ditentukan. Selama ini Perum Perhutani belum

memberlakukan ketentuan berapa sewa lahan secara tertulis, tetapi yang terjadi

adalah tidak ada batas waktu kapan sewa berakhir. Pada umumnya petani

membayar sewa ke Perhutani berupa hasil kentang yang jumlahnya juga tidak

ditentukan. Hasil wawancara dengan Koordinator Penyuluh di Pangalengan,

menyatakan bahwa di daerah Pangalengan baru ada satu desa yang mempunyai

perjanjian tertulis (KSO) antara masyarakat dengan PTPN VIII yaitu di Desa

Margamukti, dengan sewa lahan yang telah ditetapkan yaitu sekitar Rp 3 juta –

3.5 juta rupiah per hektar per tahun. Di daerah lainnya harga sewa lahan

didasarkan pada kualitas lahan, jarak ke pusat desa dan kemiringan lahan.

Semakin datar harga sewa semakin mahal. Pada umumnya sewa lahan berkisar

antara Rp 500 000 – Rp 350 000/patok (Rp 6 750 000/hektar/tahun).

Berkaitan dengan akses terhadap kredit di daerah penelitian terdapat

lembaga perkreditan formal yang menyalurkan kreditnya kepada peminjam uang

yang diatur oleh undang-undang dan diatur juga oleh pemerintah. Lembaga-

lembaga tersebut adalah bank swasta, bank negara, dan koperasi yang terdaftar.

Lembaga perkreditan non-formal umumnya tidak diawasi oleh pemerintah dan

meliputi antara lain pelepas uang, pedagang, sahabat, keluarga, dan toko sarana

produksi pertanian. Untuk mengakses kredit dari lembaga keuangan formal

mengharuskan adanya agunan, sedangkan jika mengakses kredit dari lembaga

keuangan non formal tidak mengharuskan adanya agunan, melainkan didasarkan

lebih kepada kepercayaan antara peminjam dan pemilik uang yang meminjamkan.

Page 147: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

111

Pilihan petani terhadap salah satu sumber kredit berhubungan erat dengan

karakteristik, sikap dan nilai dari petani serta lingkungan hidupnya maupun

karakteristik dari lembaga perkreditan. Karakteristik dari petani meliputi total luas

lahan, jenis usahatani, pendapatan diluar usahatani, umur petani, tingkat

pendidikan dan lamanya berusahatani (Sinaga, 2011). Karakteristik lembaga

perkreditan meliputi tingkat suku bunga, agunan, dan tingkat kemudahan dalam

memberikan kredit baik yang menyangkut prosedur maupun waktu. Bagi petani,

tinggi rendahnya bunga bukan merupakan faktor penentu. Prosedur yang terlalu

panjang serta proses pengambilan kredit yang terlalu lama akan meningkatkan

biaya-biaya yang dikeluarkan sehingga total biaya kredit akan semakin tinggi.

Murah atau mahalnya kredit tidak hanya ditentukan oleh besarnya bunga nominal,

tetapi juga oleh biaya transaksi yang harus dibayar oleh peminjam. Semakin tinggi

biaya transaksi akan menyebabkan biaya kredit secara total akan semakin tinggi

(Sinaga, 2011).

Berdasarkan hasil wawancara 36.9 persen petani kentang, dan 36.1 persen

petani kubis memiliki akses terhadap kredit (Tabel 17), artinya mereka memiliki

akses terhadap lembaga keuangan formal maupun non-formal (penyedia sarana

produksi, maupun tengkulak). Di daerah penelitian, sebagian besar petani

meminjam modal untuk pembelian sarana produksi pada tengkulak yang nantinya

akan dibayar setelah panen. Di lain pihak, petani yang memiliki akses kepada

lembaga keuangan formal (bank) relatif sedikit, hal ini disebabkan pinjaman ke

bank memerlukan agunan dan prosedur yang lebih rumit menurut pandangan

petani, disamping itu dengan meminjam ke bank, petani harus membayar cicilan

setiap bulan, padahal mereka memperoleh hasil 100 hari kemudian.

Tabel 17. Akses Terhadap Kredit Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Aksesibilitas Kentang Kubis

Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

Tidak akses 128 63.1 106 63.9 Akses 75 36.9 60 36.1 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah

Page 148: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

112

5.2.7. Pola Tanam Usahatani Sayuran Kentang dan Kubis

Kecamatan Pangalengan, Kertasari, Pasirwangi, dan Cikajang merupakan

sentra produksi kentang dan kubis di Jawa Barat. Komoditas lainnya yang banyak

ditanam di daerah tersebut adalah wortel, petsay, bawang daun, kacang, tomat,

jagung, kembang kol, dan cabe. Semua komoditas tersebut sudah turun temurun

diusahakan. Intensitas penggunaan lahan di daerah penelitian tergolong tinggi.

Intensitas penggunaan lahan selama satu tahun mencapai 300 persen. Artinya

selama satu tahun petani menggunakan lahannya untuk tiga kali tanam yaitu pada

musim kemarau I (MKI), musim hujan (MH) dan musim kemarau II (MKII).

Pada umumnya petani melakukan rotasi untuk sayuran yang ditanam. Pola tanam

di daerah penelitian sangat beragam, namun setiap petani tetap mengusahakan

tanaman kentang dan kubis untuk setiap kegiatan usahataninya. Kentang dan

kubis ditanam secara monokultur.

Pada umumnya lahan petani lebih dari satu persil, sehingga bisa saja petani

mengusahakan kentang dan kubis pada waktu yang sama tetapi pada persil yang

berbeda. Berdasarkan wawancara dengan Koordinator PPL dan informan kunci,

pada umumnya lahan yang telah ditanami kentang sebaiknya tidak ditanami

kentang lagi, tetapi diganti dengan tanaman lain. Hal ini dimaksudkan untuk

memutus rantai hama dan penyakit. Secara umum pola tanam setahun adalah

kentang-kubis-kentang, kubis-kentang-kubis, kentang-kubis-wortel/ cabe/ kacang/

jagung. Berdasarkan hasil wawancara, petani sampel dalam satu tahun menanam

kentang dua kali diselingi oleh kubis atau tanaman lainnya seprti tomat, wortel,

petsay, bawang daun, atau jagung.

5.2.8. Sistem Penanaman dan Konservasi

Di daerah penelitian terdapat tiga bentuk sistem penanaman yang biasa

dilakukan oleh petani yaitu penanaman pada guludan searah lereng, penanaman

pada guludan searah kontur, dan sistem penanaman dengan teras bangku. Menurut

Arsyad (2000), sistem penanaman searah lereng tidak dikatagorikan sebagai suatu

sistem konservasi pertanian. Adapun yang termasuk sistem konservasi adalah

penanaman searah kontur dan teras bangku, penggunaan mulsa, dan penanaman

tanaman sela. Pada umumnya petani menggunakan satu sistem penanaman dalam

Page 149: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

113

mengelola usahataninya, namun hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat 5

orang petani yang menggunakan dua sistem penanaman yang berbeda tergantung

musim pada saat tanam. Pada musim hujan petani menanam pada guludan searah

lereng dengan alasan agar tanamannya tidak terbawa air, dan pada musim

kemarau digunakan penanaman searah kontur dengan tujuan agar dapat menahan

air lebih lama.

Petani melakukan penanaman searah lereng dengan alasan kebiasaan,

mudah dalam perawatannya, air bisa langsung mengalir sehingga guludan tidak

tergenang, sebab kalau tergenang mudah menimbulkan penyakit busuk akar.

Selanjutnya petani menanam dengan sistem penanaman dengan guludan searah

kontur disebabkan oleh beberapa alasan yaitu: menghindari erosi/longsor,

instruksi dari dinas pertanian, dapat menahan air, dan produksi lebih tinggi

dibandingkan dengan penanaman searah lereng.

Arsyad (2000) menyatakan bahwa sistem penanaman serah kontur dan

teras bangku termasuk ke dalam sistem konservasi pertanian. Berkaitan dengan

sistem konservasi, para petani mendapatkan informasi teknologi konservasi dari

penyuluh (45.6 persen) dan dari sesama petani (54.4 persen). Petani sampel

menyatakan bahwa konservasi bermanfaat karena dapat meningkatkan produksi,

melindungi sumberdaya lahan, kualitas lingkungan membaik, dan dapat

menghemat tenaga kerja. Tabel 18 menyajikan sistem penanaman di daerah

sampel

Tabel 18. Sistem Penanaman Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Sistem Penanaman

Kentang Kubis Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

Jumlah Petani (orang)

Persentase (%)

Searah Lereng (tanpa konservasi) 96 47.3 69 41.6 Searah Kontur (konservasi) 61 30.0 63 37.9 Teras Bangku (konservasi) 46 22.7 34 20.5 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah

Dalam kaitannya dengan kemiringan lahan, yang banyak menjadi masalah

adalah erosi dan degradasi lahan. Oleh karena itu perlu upaya konservasi untuk

Page 150: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

114

mencegah timbulnya erosi yang lebih tinggi. Metode konservasi tanah yang

banyak digunakan petani adalah pengolahan tanah searah kontur, guludan, dan

teras bangku. Pada pengolahan tanah menurut kontur, pencangkulan dilakukan

memotong lereng sehingga terbentuk jalur tumpukan atau alur yang melintang

lereng. Menurut Arsyad (2000) pengolahan tanah dengan cara ini akan efektif

bila diikuti oleh penenaman searah kontur juga. Teras bangku berfungsi untuk

mengurangi panjang lereng agar dapat mengurangi erosi. Teras bangku cocok

untuk lereng 20 – 30 persen atau lebih. Pada umumnya petani di daerah penelitian

jarang menggunakan sistem konservasi ini karena selain mahal, mereka

beranggapan bahwa teras bangku akan mengurangi luasan lahan dan disamping

itu biaya untuk sistem ini relatih mahal. Hasil wawancara dengan Koordinator

PPL menyatakan bahwa biaya pembuatan teras bangku sebesar Rp 30 juta per

hektar.

5.3. Keragaan Usahatani Sayuran Kentang dan Kubis

Kentang dan kubis di daerah penelitian ditanam pada lahan dengan

ketinggian > 1000 m dpl. Hamparan lahan mulai 0 persen sampai 80 persen. Pola

tanam yang dilakukan bervariasi, namun pada umumnya petani kentang dan kubis

menggunakan lahannya secara intensif dua sampai tiga kali dalam setahun.

Kepemilikan lahan usahatani bervariasi, mulai dari 0.04 hektar sampai 8 hektar,

dengan rata-rata 0.54 hektar untuk kentang dan 0.5 ha untuk kubis. Untuk

memperluas lahannya, pada umumnya petani menyewa lahan baik dari penduduk

sekitar maupun menyewa pada lahan perkebunan atau lahan kehutanan.

Penggunaan benih di lokasi penelitain berasal dari benih sebelumnya yang

mereka beli dari petani lain atau petani melakukan pembenihan sendiri dengan

kelas benih yang kurang jelas. Petani juga menggunakan benih bersertifikat yang

mereka beli dari penangkar benih. Pada umumnya petani jarang membeli dari

toko pertanian, karena sejak impor benih dilarang pemerintah, maka toko sarana

produksi tidak menyediakan benih kentang. Di daerah penelitian harga benih

bervariasi mulai Rp 10000 /kg sampai Rp 18000/kg. Penggunaan benih per

hektar rata-rata sebesar 1 1382 kilogram untuk kentang dan 26 500 pohon per

hektar.

Page 151: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

115

Varietas yang digunakan petani di daerah penelitian adalah Granola.

Varietas ini mempunyai hasil yang tinngi, berumur pendek (90 hari) dan memiliki

daya adaptasi yang luas, serta toleran terhadap serangan layu bakteri (Ridwan,

2010). Varietas lainnya yang ditanam petani adalah varietas atlantik.

Berdasarkan wawancara dengan petani sampel 90 persen petani menggunakan

varietas granola, dan sisanya 10 persen menggunakan varietas atlantik (ditanam

oleh petani yang bermitra dengan PT Indofood). Selanjutnya untuk tanaman

kubis varietas yang paling banyak ditanam petani adalah greenova dengan

penggunaan benih sekitar 26500 pohon bibit per hektar.

Sejak impor benih kentang dari Belanda dan Australia dilarang, petani di

Pangalengan, Kertasari, Pasirwangi, dan Cikajang sering mengeluhkan kurangnya

ketersediaan benih kentang, terutama benih bersertifikat. Pangalengan sebagai

sentra produksi kentang Jawa Barat masih dihadapkan pada kurangnya jumlah

penangkar, sehingga benih yang dihasilkan masih belum dapat memenuhi

kebutuhan benih kentang yang ada. Disisi lain, benih yang digunakan petani di

Kertasari, Pasirwangi, dan Cikajang mengandalkan ketersediaan benih yang

berasal dari Pangalengan, karena kurangnya jumlah penangkar di kecamatan

tersebut. Hal ini menyebabkan tingginya ongkos yang dikeluarkan petani untuk

pembelian benih. Akibat keterbatasan tersebut, akhirnya petani lebih banyak

menggunakan benih kentang dari hasil produksi sebelumnya baik dari produksi

sendiri, maupun produksi petani lain. Hal ini mengakibatkan kualitas maupun

kuantitas kentang yang dihasilkan kurang maksimal.

Berbeda dengan kentang, ketersediaan benih kubis di daerah penelitian

tidak mengalami kendala yang berarti. Pada umumnya benih dapat dibeli di kios

produksi untuk disemaikan. Namun, petani lebih memilih membeli bibit dari

petani lain karena berbagai alasan. Pertama, dengan menanam benih yang sudah

menjadi bibit, petani sudah dapat memperkirakan daya tumbuh dari bibit tersebut.

Kedua, adanya efisiensi waktu dan tenaga kerja yang digunakan.

Pengolahan tanah bertujuan untuk menyiapkan tempat tumbuh yang baik

untuk tanaman, menekan pertumbuhan gulma, dan memperbaiki sifat fisik, kimia,

dan biolagi tanah. Kegiatan olah tanah yang dilakukan oleh petani menggunakan

sistem cangkul, yaitu sistem olah tanah yang tergantung pada bekas lahan

Page 152: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

116

penanaman sebelumnya. Di daerah penelitian petani mengolah lahan dengan cara

mencangkulnya dengan kedalaman 30 cm. Kemudian dibuat garitan dengan jarak

antar garitan 70-80 cm. Bedengan dibuat dengan panjang 6 - 7 m dan lebar 70

cm. Jarak antar bedengan dibuat seukuran dengan lebar cangkul lebih kurang 25

cm sampai 30 cm. Bedengan dibuat dengan tujuan untuk melindungi kerusakan

akar tanaman kentang terhadap genangan air karena akar mudah busuk. Arah

bedengan disesuaikan dengan topografi lahan.

Pada lahan yang memiliki topografi datar, arah bedengan dapat ke segala

arah diusahakan searah dengan saluran irigasi sedangkan lahan yang bertoporafi

lereng, arah bedengan idealnya dibuat searah kontur (memotong lereng). Lereng

yang semakin curam akan meningkatkan kecepatan aliran permukaan sehingga

kekuatan mengangkut dan erosi akan meningkat pula. Lereng yang semakin

panjang akan menyebabkan volume air yang mengalir menjadi meningkat

(Dariah, 2005). Hampir 60 persen petani menggunakan teknik penanaman searah

lereng. Berdasarkan hasil wawancara petani menerapkan sistem membuat

guludan searah lereng karena kalau musim hujan mencegah genangan air,

menghindari pembusukan akar tanaman, dan satu alasan lagi adalah sulit dalam

pengerjaannya sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengolah

lahan.

Pupuk yang digunakan petani di Pangalengan, Kertasari, Pasirwangi, dan

Cikajang adalah Urea, ZA, KCl, TSP/SP-36, dan pupuk majemuk NPK. Dalam

penelitian ini untuk estimasi fungsi produksi pupuk tidak didefinisikan dalam

bentuk agregatnya namun dihitung dalam bentuk unsur hara utama yang

dikandungnya yaitu N, P2O5, dan K2O. Kandungan tersebut dapat terlihat dari

kemasan yang dibeli petani. Unsur hara N berasal dari pupuk Urea sebanyak 46

persen, dari NPK sebanyak 15 persen dan dari ZA sebanyak 21 persen. Unsur

hara P berasal dari pupuk SP 36 sebesar 36 persen dan dari NPK 15 persen.

Unsur hara K2O berasal dari NPK 15 dan KCl 60 persen.

Baik pada budidaya kentang maupun kubis, pupuk yang digunakan adalah

pupuk anorganik (Urea, ZA, TSP/KCl, NPK serta pupuk organik atau pupuk

kandang. Penggunaan pupuk ini sangat bervariasi, pada tanaman kentang, rata-

rata penggunaan pupuk Urea + ZA sebesar 580 kg/ha, TSP 461 kg/ha, NPK 710

Page 153: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

117

kg/ha, dan KCl 112 kg/ha. Sementara itu penggunaan pupuk pada kubis adalah :

Urea + ZA 536.5 kg/ha, TSP 280 kg/ha, NPK 648 kg/ha, dan KCl 261 kg/ha.

Petani kentang hampir 84 persen menggunakan pupuk majemuk, selebihnya

pupuk tunggal, sedangkan pada petani kubis hanya 78 persen yang menggunakan

pupuk majemuk NPK.

Pupuk organik (pupuk kandang) berfungsi untuk mengikat air tanah yang

lebih besar sehingga pupuk yang terlarut masih ada. Pupuk kandang dapat

meningkatkan agregasi tanah, pori-pori tanah dan air tanah. Semua petani

kentang dan kubis menggunakan pupuk kandang dalam usahataninya. Pupuk

kandang berasal dari kotoran sapi, domba, atau ayam. Rata-rata penggunaan

pupuk kandang adalah 18.9 ton/ha untuk kentang dan 12.7 ton untuk kubis. Para

petani di daerah penelitian mendapatkan pupuk kandang pada umumnya dari luar

kota, seperti dari Sukabumi dan Tangerang. Yang perlu dicermati adalah

kontinuitas ketersediaan pupuk ini sehubungan dengan tingginya penggunaan.

Barangkali perlu difikirkan bagaimana supaya ketersediaan ini terus berlanjut.

Berbagai faktor yang mempengaruhi penggunaan pupuk antara lain: petani

masih belum memahami kebutuhan pupuk maupun berbagai jenis hara makro

(baik hara makro maupun mikro) dan kegunaan masing-masing unsur hara

tersebut untuk pertumbuhan tanaman, sehingga pemakaian pupuk ini berlebihan.

Faktor kebiasaan juga menjadi penyebab penggunaan pupuk yang berlebihan. Di

lain pihak ada petani yang menggunakan pupuk di bawah anjuran, karena

keterbatasan modal, petani tidak bisa membeli pupuk karena pupuk relatif mahal.

Sehingga tidak mampu membeli pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Pada umumnya petani menggunakan pestisida untuk mencegah terjadinya

serangan hama dan penyakit. Petani kentang dan kubis menggunakan merek

pestisida (fungisida padat/cair, herbisida padat/cair dan insektisida pada/cair).

Berdasarkan wawancara dengan petani dan pedagang sarana produksi, lebih dari

30 merek pestisida yang beredar di masyarakat. Fungisida adalah zat kimia yang

digunakan untuk mengendalikan cendawan. Jenis fungisida yang biasa digunakan

para petani yaitu: sistemik misalnya Aminil, Antracol, Acrobat, Revus, dan

Thrivicur, serta kontak misalnya Amcozeb. Insektisida adalah zat kimia yang

Page 154: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

118

digunakan untuk membunuh serangga pengganggu. Jenis insektisida antara lain:

Winder, Ramvage, Alika, dan Prevathon.

Berdasarkan jumlah penggunaan pestisida maka dalam penelitian ini

jumlah pestisida yang digunakan disetarakan dengan jumlah merek pestisida yang

paling banyak digunakan oleh petani. Untuk tanaman kentang pestisida yang

paling banyak adalah Daconil, sehingga penggunaannya disetarakan dengan

Daconil (konversi ke fungisida Daconil) untuk kentang, dan setara Demolish

untuk kubis (konversi ke fungisida Demolish). Pada umumnya petani

menyemprot 2 -3 kali dalam seminggu pada saat musim hujan,dan menyemprot 4-

5 hari sekali pada saat musim kemarau. Secara rata-rata penyemprotan berkisar

antara 4 – 20 kali. Namun banyak petani yang menyatakan mereka menyemprot

ada atau tidak ada serangan sehingga penggunaan pestisida menjadi berlebihan.

Berdasarkan hasil wawancara petani kentang lebih intensif dalam mengendalikan

OPT. Hampir 90 persen petani menyatakan bahwa penyemprotan dengan

frekuensi tinggi dilakukan untuk antisipasi atau pencegahan sebelum hama

nmenyerang sebab kalau sudah terserang sulit dihindari, alasan lainnya adalah

menghindari gagal panen.

Hasil wawancara dengan para petani ditemukan bahwa sebagian besar

petani menggunakan dosis yang berlebihan dan frekuensi aplikasi yang terlalu

sering bahkan sebelum hama/penyakit menyerang. Perilaku ini tentu saja

merupakan suatu pemborosan karena bertambahnya biaya selain biaya pestisida

juga biaya tenaga kerja untuk menyemprot. Penggunaan pestisida yang

berlebihan ini akan menyebabkan residu pestisida.

Sebagian besar petani menyatakan tanaman kentangnya pernah terkena

serangan hama penyakit, yang sering menyerang adalah hama ulat grayak, hama

kutu daun, dan hama ulat tanah serta hama trip. Penyakit yang sering menyerang

tanaman kentang adalah penyakit busuk daun, layu bakteri, dan bercak kering.

Hal ini menyebabkan para petani menyemprot tanaman kentangnya ada atau tidak

ada serangan. Hal ini pula yang menyebabkan petani jarang menanam kentang

searah kontur, karena mereka beranggapan penanaman searah kontur dapat dapat

menyebabkan air hujan tertahan sehingga menyebabkan serangan penyakit.

Aryad (2000) menyatakan bahwa penanaman searah kontur dapat menghambat

Page 155: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

119

aliran permukaan sehingga terjadi penyerapan air dan mencegah terangkutnya

tanah.

Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani kentang dan kubis berasal

dari tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga atau tenaga kerja upahan.

Biasanya petani lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga pada saat

pengolahan lahan dan panen. Banyaknya tenaga kerja upahan ini tergantung pada

luas lahan yang dikelola. Pekerjaan seperti mengolah lahan, mengangkut sarana

produksi dan hasil produksi, menyemprot, lebih banyak digunakan tenaga kerja

pria sedangkan wanita lebih banyak mengerjakan menyiram, memupuk, atau

panen. Berbeda dengan tanaman pangan terutama padi, pada tanaman sayuran

pengolahan lahan juga banyak dikerjakan kaum wanita. Namun demikian karena

kentang dan kubis ditanam pada lahan berlereng, apalagi pada musim kemarau

pekerjaan menyiram lebih banyak dilakukan oleh tenaga kerja pria. Secara umum

kegiatan pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman memerlukan tenaga kerja

lebih banyak dibandingkan kegiatan lainnya. Adanya penggunaan tenaga kerja

harian untuk jaga malam setelah tanaman berumur kurang lebih 70 hari, sampai

100 hari (sampai panen) terutama untuk tanaman kentang menyebabkan

kebutuhan tenaga kerja menjadi lebih banyak.

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani sampel, kentang dipanen rata-

rata setelah berumur 100 hari, sedangkan kubis dipanen setelah berumur 90 hari.

Jumlah produksi kentang di daerah penelitian rata-rata mencapai 18.84 ton.

Kentang yang dihasilkan diklasifikasikan pada Grade AL, ABC, DN dan ARS.

Pengkelasan dilakukan berdasarkan jumlah umbi per kg atau berat umbi dalam

gram. Untuk grade AL jumlah umbi per kg sebanyak 2-5, grade ABC 10-12 per

kg, DN 20-30 umbi per kg dan ARES lebih dari 30 umbi per kg. Untuk kubis,

panen dilakukan pada umur 90 -120 hari. Berbeda dengan kentang tidak ada

pengkelasan dalam kubis dan pda umumnya panen kubis dilakukan secara

borongan. Rata-rata produksi kubis di daerah penelitian adalah 23.6 ton per ha

Pemasaran kentang di daerah penelitian dilakukan melalui tiga jalur

pemasaran yaitu pasar tradisional, pasar modern, dan industri pengolahan.

Namun untuk petani sampel, pemasaran banyak dilakukan ke pasar tradisional,

baik pasar lokal maupun pasar induk yang ada di Jakarta, Bandung, Tangerang,

Page 156: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

120

dan Bogori. Pasar tradisional yang menjadi tujuan pemasaran adalah Pasar Garut,

Pasar Pangalengan, Pasar Caringin Bandung, Pasar Induk Kramat Jati Jakarta dan

Pasar Kemang Bogor. Pada saat penelitian harga kentang konsumsi di pasaran

berkisar anatar Rp 2500 – Rp 6000 per kilogram. Adapun jalur pemasaran yang

dilalui adalah:

Petani pedagang pengumpul pedagang besar pedagang pasar lokal/pasar

induk.

Pada saat panen biasanya petani sudah memisahkan ukuran kentang

(grading). Bila transaksi penjualan dilakukan di kebun, maka akan terjadi

kesepakatan antara penjual dengan pembeli siapa yang akan membiayai biaya

sortasi dan grading, namun pada umumnya untuk kentang biaya ini ditanggung

oleh petani. Sebaliknya untuk kubis karena kebanyakan penjualan menggunakan

sistem tebas maka biaya angkut dan lainnya ditanggung oleh pedagang

pengumpul. Jenis kentang yang dipasarkan adalah varietas granola. Harga

ditentukan berdasarkan ukuran atau keseragaman dan kondisi kulit serta

kebersihan umbi.

Pada saat dilakukan wawancara dengan pedagang pengumpul, biasanya

mereka sudah mendapat informasi mengenai harga kentang di pasar induk baik di

Bandung, Bogor, Tangerang, maupun Jakarta. Namun demikian tidak dapat

dipungkiri bahwa sekarang petani pun sudah bisa mendapat informasi mengenai

harga kentang di pasaran sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi

handphone yang sudah sampai ke pelosok perdesaan. Dengan demikian posisi

tawar petani meningkat, karena apabila tidak sepakat dengan harga petani dapat

menyimpannya beberapa hari sampai harga dianggap bagus. Tidak demikian

dengan kubis. Pemasaran kubis umumnya dilakukan secara langsung sesaat

setelah panenke pedagang pengumpul karena kubis termasuk tanaman yang

mudah busuk.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang pengumpul dan pedagang

besar, biasanya para pedagang membawa kentang atau kubis ditambah dengan

komoditas lainnya seperti wortel, tomat, bawang daun, seledri, sawi putih, dan

lainnya. Kendaraan yang digunakan adalah truk dengan kapasitas 7 – 8 ton dan

ongkos angkut dari Pangalengan dan Kertasari sebesar Rp 1,2 juta sampai di

Page 157: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

121

Pasar Induk Kramat jati atau Tangerang. Pemasaran ke industri pengolahan

dilakukan ke PT Indofood terutama oleh petani mitra dengan kualitas yang telah

ditentukan, dan varietas yang ditanam adalah Atlantik. Biasanya kemitraan

dilakukan melalui Kelompok tani.

5.4. Analisis Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Pada penelitian ini, biaya pembelian input (benih, pupuk, pestisida, pupuk

kandang) dihitung berdasarkan harga di tingkat petani. Harga tersebut dihitung

sebagai harga pembelian ditambah dengan ongkos/biaya transportasi ke lokasi.

Semakin jauh ke lokasi biaya transportasi semakin mahal. Untuk menganggkut

pupuk ke lokasi lahan yang berlereng curam, biaya transportasi pupuk biasanya

dihitung per karung (kurang lebih 50 kg), ongkos motor/ojeg berkisar antara Rp

7000 – Rp 15 000 per karung tergantung pada jarak yang ditempuh. Biaya tenaga

kerja dihitung berdasarkan upah yang berlaku ditambah dengan pengeluaran

lainnya seperti pengeluaran untuk rokok, makan, dan minum.

Harga output baik kentang maupun kubis, dihitung berdasarkan harga

yang berlaku di tingkat petani. Harga kentang dihitung sebagai harga yang

berlaku dikurangi dengan biaya angkut dari lokasi sampai pinggir jalan besar.

Besarnya biaya angkut berkisar antara Rp 50- Rp 100 per kg. Khusus komoditas

kentang harga yang berlaku didasarkan pada grade dari kentang yaitu garade AL,

ABC, DN, dan ARES. Harga kentang pada saat penelitian dilakukan berkisar

antara Rp 2500 – Rp 6000. Grade AL mempunyai harga tertinggi dan grade

ARES mempunyai harga yang paling rendah. Di daerah penelitian, sebagian

petani kentang juga melakukan kemitraan dengan PT Indofood, harga kemitraan

relatif stabil pada harga Rp 4.800/kg. Menurut para petani mitra salah satu

keuntungan dari kemitraan ini adalah adanya kepastian harga yang relatif stabil.

Namun kerugiannya adalah pada saat harga naik, harga kentang petani mitra tidak

ikut naik.

Panen kubis dilakukan oleh hampir 100 persen petani menggunakan

sistem tebas, sehingga tidak ada biaya angkut (biaya angkut ditanggung para

pedagang atau tengkulak). Sistem ini sudah menjadi kebiasaan di daerah

penelitian baik di Kabupaten Bandung maupun Garut. Akibatnya para petani

Page 158: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

122

kadang-kadang tidak tahu berapa sebenarnya produksi yang dihasilkan, karena

hanya didasarkan pada tawar menawar antara petani dengan tengkulak. Biasanya

produksi untuk luasan tertentu sudah bisa ditaksir berdasarkan pengalaman.

Analisis pendapatan untuk usahatani kentang dan kubis disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Struktur Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Kentang dan Kubis per Hektar di Jawa Barat, 2011

Kentang Kubis

Uraian Jumlah Harga (Rp000)

Total (Rp000) Jumlah Harga

(Rp000) Total

(Rp000) Produksi (kg) 18 841.20 23 604.3 Harga (Rp) 4.589 1,17 Penerimaan ( R ) 86 462 276.8 27 630.56 Biaya Variabel Benih (kg) 1 382.70 12.784 17 676.44 26 499.7* 0.061. 1 616.48 Pupuk buatan(Kg) Urea +ZA 579.70 1.736 1 006.36 536.5 1.736. 931.36 TSP 461.20 2.021 932.09 280.2 2.021. 566.28 KCl 112.60 2.435 274.18 261.2 2.435. 636.02 NPK 710.50 2.859 2 031.32 648.4 2.859. 1 853.78 Pupuk Kandang(kg) 18 877.20 0.364 6 871.31 12 674.4 0.396. 5 019.06 Pestisida (L) 44.30 13.722 6 078.85 12.0 143.783. 1 725.40 Tenaga kerja (HKP) 477.40 18.718 8 935.97 272.0 19.803. 5 386.42 Ajir 14 285.00 0. 050 714.25 - rafia/tali wuri 10.00 35.000 350.00 Biaya Variabel Total 44 870.75 Biaya Tetap: Sewa lahan 3 000.00 3 000.00 Penyusutan Alat 246.62 202.07 Biaya Tetap Total 3 246.62 3 202.07 Biaya Total ( C ) 48 117.37 20 590.62 Pendapatan (R-C) 38 344.90 7 039.94 R/C 1.8 1.3 Keterangan * = jumlah bibit dalam (pohon)

Dari Tabel 19 terlihat bahwa untuk kentang biaya benih merupakan

komponen biaya terbesar, diikuti oleh biaya tenaga kerja. Sedangka untuk kubis

biaya tenaga kerja merupakan komponen terbesar. Kentang merupakan tanaman

untama untuk petani sayuran di daerah penelitian. Meskipun biaya yang

dikeluarkan besar, namun pendapatan yang diperoleh juga besar dengan R/C 1.8.

Artinya usahatani kentang bisa mendatangkan keuntungan hampir dua kali biaya

Page 159: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

123

yang dikeluarkan. Sebaliknya kubis, hanya mempunyai R/C sebesar 1.3. Salah

satu penyebab rendahnya R/C untuk kubis adalah fluktuasi harga yang sangat

besar. Di daerah penelitian harga tertinggi adalah Rp 3000/kg dan terendah Rp

200/kg. Pada saat penelitian dilakukan, hampir 10 persen petani tidak memanen

kubisnya karena harga jauh lebih kecil dari biaya angkut yang harus dikeluarkan,

sehingga petani membiarkan tanaman kubisnya tidak dipanen.

Yang menarik adalah meskipun kubis mempunyai RC lebih rendah dari

kentang, dan secara absolut tingkat keuntungan kubis hanya kurang lebih satu per

lima keuntungan kentang (Rp 7039940 : Rp 38344900) namun petani tetap

menanam kubis sebagai tanaman utama setelah atau sebelum kentang. Hal ini

disebabkan secara agronomis setelah menanam kentang perlu diselingi dulu

dengan tanaman lain untuk tujuan memotong siklus hama dan penyakit.

5.5. Keberlanjutan Usahatani Kentang dan Kubis

Pengelolaan usahatani sayuran terutama kentang dan kubis dihadapkan

pada tingginya risiko yang dihadapi petani seprti risiko produksi dan risiko harga

Indikasi adanya risiko produksi dicirikan oleh berfluktuasinya produksi (Fariyanti,

2008). Besarnya risiko ini akan berdampak pada efisiensi dan keberlanjutan

usahatani kentang dan kubis. Data produktivitas sayuran Provinsi Jawa Barat

(2010) menunjukkan kecenderungan yang menurun. Hal ini berdampak pada

penerimaan petani yang akhirnya berdampak pada keberlanjutan usahatani.

Dilihat dari rata-rata produktivitas yang dicapai petani sampel pada tahun

2010/2011 sebesar 18 874 kg per hektar untuk kentang. Besarnya produktivitas

ini menurun dibandingkan penelitian yang telah dilakukan oleh Fariyanti (2008)

di daerah Pangalengan. Fariyanti (2008) menemukan bahwa pada kondisi normal

produktivitas kentang pada tahun 2005/2006 untuk petani dengan lahan sempit,

sedang dan luas berturut-turut 19.38 ton, 20.9 ton, dan 20.1 ton. Ridwan (2010)

melaporkan bahwa produktivitas kentang di Pangalengan adalah 26.36 ton/ha.

Produktivitas kubis di daerah penelitian diperoleh sebesar 23.6 ton per

hektar dan hasil penelitian Fariyanti (2008) menyatakan produktivitas kubis

sebesar 25.96 ton/ha, 26.88 ton/ha, dan 26.59 ton/ha untuk lahan sempit, sedang,

dan luas. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini maka produktivitas

Page 160: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

124

kentang pada tahun 2010/2011 telah mengalami penurunan, dan ini akan

mengancam keberlanjutan usahatani kentang dan kubis.

Faktor lingkungan juga mempengaruhi keberlanjutan usahatani. Hampir

100 persen rumahtangga sayuran sampel menyatakan bahwa penggunaan input

terutama pupuk dan pestisida akan menyebabkan penurunan kualitas tanah,

tanaman menjadi kering sehingga banyak tanaman yang mati dan akhirnya

mengurangi produksi. Sebagian besar petani menyatakan bahwa lahan mereka

sudah mengalami penurunan kualitas dengan dicirikan menurunnya produktivitas.

Bila dikaitkan dengan intensitas penanaman, di daerah penelitian pemanfaatan

lahan sangat tinggi mencapai 300 persen artinya dalam setahun mereka rata-rata

menanam sayuran tiga kali atau terus menerus sepanjang tahun. Berdasarkan

hasil wawancara hanya 5 persen petani yang memberakan lahannya pada musim

ketiga. Intensitas tanam yang tinggi menyebabkan pengambila unsur hara yang

banyak dari dalam lahan, sehingga menghambat pertumbuhan tanaman dan pada

akhirnya menurunkan produktivitas.

Didaerah penelitian penggunaan pupuk kimia dan pupuk kandang

diberikan dalam jumlah banyak. Hasil penelitian Nurida dan Dariah ( 2006)

pupuk N diberikan dalam jumlah tinggi sampai 500 kg Urea, pupuk kandang juga

diberikan dalam jumlah tinggi sekitar 50 ton/ha /tahun hal ini akan menyebabkan

produktivitas lahan menurun.

Lereng atau kemiringan lahan merupakan salah satu faktor pemicu

terjadinya erosi dan longsor di lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan

longsor semakin besar dengan makin curamnya lereng karena volume dan

kecepatan aliran permukaan semakin besar. Selain kecuraman, panjang lereng

juga menentukan besarnya longsor dan erosi (Arsyad, 2000). Berkaitan dengan

kemiringan lahan, sekitar 70 persen petani sampel menyatakan bahwa kemiringan

lahan menjadi faktor penyebab erosi. Rumah tangga petani sampel menyatakan

bahwa dengan kemiringan diatas 25 persen produksi dapat menurun sebanyak 30

persen pada musim kemarau, bahkan dalam musim hujan penurunan bisa sampai

50 persen dari produksi normal. Untuk mengantisipasi penurunan produksi

biasanya petani menambah jumlah penggunaan pupuk kimia sampai 20 kg/ha.

Hal ini disebabkan pada lahan berlereng curam, pupuk mudah hanyut terbawa air.

Page 161: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

125

Kondisi ini diperparah bila ada hujan pencucian nutrisi lebih cepat, pupuk

Nitrogen dan Phospor mudah larut dalam air.

Pada tahun 2006 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri

Pertanian (Permentan No 47/Permentan/OT.140/10/2006 tentang pedoman umum

budidaya pertanian pada lahan pegunungan. Dalam permentan tersebut

disebutkan bahwa pada kecuraman lereng 15-25 persen tanaman semusim yang

boleh ditanam maksimum 50 persen, pada kecuraman lereng 25-40 persen

maksimum 25 persen, dan kecuraman lereng > 40 persen tidak dianjurkan untuk

ditanami tanaman semusim. Larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah

timbulnya erosi yang lebih besar. Menurut Katharina (2007) tingkat erosi di

daerah penelitian (Pangalengan) untuk sistem penanam serah lereng, serah kontur

dan teras bangku pada tahun pertama berturut-turut adalah 16.1 ton/ha, 12.1

ton/ha, dan 6.7 ton/ha. Unsur hara N dan P yang hilang adalah 47.96 kg/ha/tahun,

7.57 kg/ha/tahun untuk penanaman searah lereng. Pengamatan di lapangan

menunjukkan bahwa petani yang menanam sayuran kentang dan kubis di

kemiringan lahan lebih dari 15 persen sebanyak 55.2 persen. Di Pangalengan,

Kertasari, dan Pasirwangi lahan diatas 40 persen semuanya diusahakan untuk

ditanami sayuran. Berdasarkan wawancara dengan Koordinator PPL dan para

informan kunci, sulit mencegah petani untuk tidak menanam sayuran pada tingkat

kemiringan diatas 40 persen karena berkaitan dengan masalah ekonomi dan sosial.

Masalah ekonomi yang timbul adalah kehilangan pendapatan yang akan

berdampak pada masalah sosial berupa tindakan kriminal dan kemiskinan yang

berkelanjutan.

Katharina (2007) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa konservasi

adalah keputusan yang masih selaras dengan keuntungan usahatani. Hasil

penelitian membuktikan bahwa usahatani kentang yang menerapkan sistem

pertanian konservasi dalam satu musim tanam memberikan pendapatan yang lebih

kecil dibandingkan usahatani yang tidak melakukan konservasi, namun dalam

jangka panjang (20 tahun) usahatani kentang yang menerapkan sistem konservasi

memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak

mengadopsi teknik konservasi. Selanjutnya dikatakan bahwa menerapkan

Page 162: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

126

konservasi merupakan investasi jangka panjang yang memberikan penerimaan

kumulatif lebih tinggi daripada biaya yang ditimbulkan.

Konservasi tanah memiliki peran penting dalam menentukan keberlanjutan

sektor pertanian. Di Indonesia lahan kering kebanyakan berada pada daerah

berlereng > 3 persen dengan bentuk wilayah berombak, bergelombang, berbukit

dan bergunung (Dariah et al, 2005) sehingga menyebabkan banyaknya erosi

akibat curah hujan yang tinggi, dan ini menyebabkan degradasi lahan di

Indonesia. Dilain pihak penelitian konservasi tanah juga telah banyak dilakukan

antara lain oleh Arsyad (2000), menurutnya usaha konservasi ditujukan untuk (1)

mencegah kerusakan tanah dan erosi (2) memperbaiki tanah yang rusak (3)

memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara

lestari.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang

menjadi penyebab ketidakberlanjutan usahatani tanaman kentang dan kubis

adalah: kondisi iklim yang tidak menentu, serangan hama dan penyakit, air yang

sulit diperoleh terutama pada musim kemarau, penggunaan bibit yang tidak

berkualitas/tidak bersertifikat, dan tingkat kesuburan lahan yang mulai menurun.

Hal ini menyebabkan produktivitas turun yang pada akhirnya akan menurunkan

tingkat pendapatan dan menurunkan keberlanjutan usahatani kentang dan kubis. .

Page 163: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

VI. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI

SAYURAN DATARAN TINGGI DI JAWA BARAT

6.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sayuran Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat

Pada bab ini pembahasan dibagi menjadi dua sub bagian meliputi analisis

fungsi produksi dan analisis efisiensi teknik, alokatif, dan ekonomi serta sumber-

sumber inefisiensi. Sebagaimana telah disebutkan di metode penelitian, dalam

penelitian ini digunakan model Fungsi Produksi Stochastic Frontier Cobb

Douglas. Model ini digunakan karena mempunyai self dual untuk menurunkan

fungsi biaya yang akan digunakan untuk perhitungan efisiensi alokatif dan

ekonomi. Variabel penjelas dalam model produksi komoditas kentang dataran

tinggi ini antara lain: luas lahan, jumlah benih, jumlah pestisida, jumlah pupuk

anorganik yang diukur dalam bentuk jumlah hara makro Nitrogen (N), Phosfor

(P2O5), dan Kalium (K2O) unsur hara tersebut berasal dari pupuk Urea, TSP/SP-

36, ZA, KCl, dan NPK) , jumlah pupuk kandang (organik), jumlah tenaga kerja,

kemiringan lahan, dan dua variable dummy yaitu musim tanam dan lokasi .

Inefisiensi dipengaruhi oleh karakteristik struktural dan manajerial.

Kemampuan manajerial petani dapat dipengaruhi oleh umur, pendidikan,

pengalaman bertani, keanggotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses

terhadap kredit (baik kredit ke lembaga keuangan formal maupun penyedia jasa

saprodi). Kemampuan manajerial meningkat dengan tingkat pendidikan, akses

penyuluhan dan pengalaman, yang pada akhirnya menghasilkan tingkat produksi

yang tinggi. Sistem penanaman (searah lereng, searah kontur, dan teras bangku),

dan status kepemilikan lahan apakah lahan milik, lahan sewa, atau lahan garap

merupakan sumber inefisiensi

Penelitian ini menggunakan model stochastic frontier dengan metode

pendugaan Maximum Likelihood Estimator (MLE) yang dilakukan melalui proses

pendugaan dua tahap. Tahap pertama menggunakan Ordinary Least Square

(OLS) dan tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga parameter

secara keseluruhan (βi), intersep (β0), dan varians dari komponen kesalahan vi

dan ui (σv2 dan σu

2). Estimasi MLE untuk parameter fungsi produksi Cobb

Page 164: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

128

Douglas dan model efek inefisiensi teknis dilakukan secara simultan dengan

menggunakan paket komputer Program Frontier 4.1 dari Coelli (1996).

Dengan menggunakan persamaan (56) dengan variabel terikat (Y) =

produksi kentang (kilogram), hasil pendugaan parameter MLE fungsi produksi

Cobb Douglas Frontier disajikan pada Tabel 20. Hasil yang disajikan pada

Tabel 20 merupakan model terbaik. Pada model ini variabel pupuk N dan P

digabungkan karena ada multikolinier ganda antara pupuk N dan P secara sendiri-

sendiri. Pupuk K tidak digabungkan karena pupuk K ini merupakan hara penting

untuk tanaman umbi-umbian sehingga diharapkan dapat dilihat pengaruh

langsung terhadap produksi kentang. Hasil estimasi selengkapnya dapat dilihat

pada Lampiran 5.

Tabel 20. Parameter Dugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011

Koefisien standar-error t-rasio Konstanta 7.7953 0.6659 11.7065 Luas lahan (X1) 0.6686*** 0.0894 7.4758 Benih (X2) 0.1262** 0.0691 1.8258 Pestisida (X3) 0.0447 0.0372 1.2023 Pupuk K (X4) 0.0012 0.0068 0.1700 Pupuk N+P (X5) 0.0014 0.0135 0.1038 Pupuk Kandang (X6) 0.1097*** 0.0445 2.4677 Tenaga Kerja (X7) 0.0066 0.0669 0.0984 Kemiringan (X8) -0.0079*** -0.0018 -4.3659 Dummy Musim Tanam(X9) -0.0640 0.0631 -1.0134 Dummy Lokasi (X10) 0.1420** 0.0613 2.3149 Varians dan nilai gamma σ2= σv

2 + σu2 0.7100*** 0.3312 2.1439

γ = σv2/ σu

2 0.8401*** 0.0765 10.9830 L-R test 21.87 Sumber: data primer diolah Keterangan: *** = nyata pada taraf α= 0.01; ** = nyata pada taraf α= 0.05; * = nyata pada taraf α= 0.1;

Berdasarkan hasil pendugaan pada Tabel 20. terlihat bahwa nilai rasio

generalized-likelihood (LR) lebih besar dari nilai tabel artinya secara statistik

nyata pada taraf α = 0.05 (diperoleh dari tabel distribusi X Chi Square). Hal ini

mempunyai arti nilai LR test secara kuat menolak hipotesis bahwa tidak ada efek

Page 165: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

129

inefisiensi. Artinya hampir semua variasi dalam keluaran dari fungsi produksi

frontier dapat dianggap sebagai pencapaian efisiensi teknis berkaitan dengan

persoalan manajerial dalam pengelolaan usahatani. Pengaruh bersama dari

usahatani individu secara sfesifik diterangkan oleh nilai LR test yang juga

menolak Ho. Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi ini dapat menerangkan

keberadaan efisiensi dan inefisiensi teknis petani di dalam proses produksi

kentang, atau dengan kata lain aktivitas usahatani kentang dipengaruhi oleh

efisiensi teknik.

Pengaruh inefisiensi dalam model stochastic frontier ditunjukkan oleh nilai

σ2 dan α. Parameter γ dugaan merupakan rasio dari varians efisiensi teknis (ui)

terhadap varians total (εi). Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 18.

Koefisien dugaan dari σ2 adalah 0.71 dan γ sebesar 0.84 dan keduanya tidak

berbeda nyata dengan nol atau nyata berpengaruh pada taraf α = 0.01. Angka ini

menunjukkan bahwa 84 persen dari variasi hasil diantara petani sampel

disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan sisanya sebesar 16 persen

disebabkan oleh pengaruh eksternal seperti iklim, serangan hama penyakit, dan

kesalahan dalam pemodelan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh inefisiensi

teknik merupakan faktor yang berpengaruh nyata di dalam variabilitas output.

Di daerah penelitian, pada saat dilakukan penelitian terjadi perubahan

iklim yang tidak menentu, pada bulan-bulan MK II yang seharusnya sudah musim

kemarau, tetapi saat itu hujan masih ada dengan curah hujan yang tinggi (hujan

hampir terjadi sepanjang tahun 2011 (selama 11 bulan)). Data dari stasiun

Malabar Pangalengan menunjukkan angka curah hujan rata-rata sebesar 136 mm,

dan merupakan curah hujan tertinggi. Faktor ini diduga mempengaruhi faktor

eksternal dalam model.

Berdasarkan hasil pada Tabel 20, terlihat bahwa semua parameter dugaan

mempunyai tanda sesuai dengan harapan. Tanda koefisien β semuanya positif,

kecuali untuk kemiringan lahan dan dummy musim tanam. Beberapa variabel

berpengaruh pada α= 0.01 dan α= 0.05 yaitu lahan, penggunaan benih, pupuk

kandang, sedangkan penggunaan pestisida, penggunaan pupuk Kalium, Nitrogen,

Phosfor dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata pada taraf α= 0.1. Kemiringan

lahan, dan dummy lokasi juga berpengaruh nyata terhadap produksi batas

Page 166: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

130

(frontier), sedangkan dummy musim tanam (MH dan MK) tidak berpengaruh

nyata pada taraf α= 0.1. Hal ini mempunyai arti secara statistik produksi tidak

berbeda baik pada musim kemarau maupun musim hujan.

Secara umum nilai elastisitas pada data rata-rata geometrik lahan, benih,

dan pupuk kandang mempunyai kontribusi yang besar terhadap produksi kentang.

Msuya et al., (2008), Obare (2010) melaporkan hasil yang positif dan signifikan

pengaruh lahan terhadap produksi petani kecil dan sebaliknya tidak ada pengaruh

nyata luas lahan terhadap produksi yang dilaporkan oleh Wadud dan White

(2000), Ahmad dan Bravo (1995).

Parameter dugaan pada fungsi produksi Cobb Douglas menyatakan

besarnya elastisitas input. Seluruh input inelastis, artinya penambahan input 1

persen akan meningkatkan produk lebih kecil dari 1 persen. Besaran elastisitas

untuk lahan sebesar 0.67. Artinya apabila lahan ditambah 10 persen maka

produksi kentang akan bertambah 6.7 persen. Angka ini menunjukkan bahwa

produksi kentang sangat responsif terhadap luas lahan, atau dengan kata lain lahan

merupakan faktor dominan dari produksi kentang di Jawa Barat. Mengingat

tingkat produktivitas sayuran masih relatif rendah, maka hasil ini perlu dikaji

lebih mendalam karena sumberdaya lahan secara keseluruhan cenderung semakin

menurun.

Hasil ini juga konsisten dengan adanya kelangkaan lahan, terutama untuk

sentra produksi Kabupaten Bandung dan Garut. Pada tahun 2010 di Kabupaten

Bandung terjadi penurunan produksi total untuk kentang, salah satu penyebab

menurunnya produksi adalah berkurangnya luas lahan kering untuk tanaman

kentang sehingga sulit untuk memperluas areal tanam dan kebanyakan petani

menyewa lahan atau menggarap lahan perkebunan dan kehutanan pada

kemiringan lahan yang tinggi. Besarnya kontribusi lahan pada produksi juga

tercermin dari harga sewa lahan baik di Bandung maupun Garut. Harga sewa

lahan berkisar antara Rp 75 000 – Rp 350 000 per patok (400 m2) per musim

tergantung pada kualitas lahan, jarak, dan kemiringan lahan.

Gejala kelangkaan lahan dalam jangka panjang perlu disikapi dengan

cermat dan bijaksana oleh pengambil kebijakan mengingat semakin banyaknya

fenomena alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, sementara kebutuhan

Page 167: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

131

sayuran semakin meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Dengan

demikian karena perluasan lahan relatif sulit dilakukan maka alternatif lain adalah

melalui intensitas pertanaman tiga kali dalam setahun atau diversifikasi pola

tanam. Oleh karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas perlu

ditekankan oleh pengambil kebijakan.

Benih merupakan faktor penting lainnya dengan besaran elastisitas kedua

setelah lahan (0.13) diikuti pupuk kandang (0.11). Seperti diketahui saat ini benih

menjadi pembatas dalam produksi kentang. Setelah impor benih dilarang oleh

pemerintah, maka petani membeli benih kepada penangkar sekitar lokasi atau

membeli benih kentang yang tidak bersertifikat kepada petani lain. Berdasarkan

hasil wawancara, sebagian besar petani Garut juga kesulitan mendapatkan benih

bersertifikat karena kurangnya penangkar yang berada di Garut (hanya 5 orang

penangkar benih). Petani seringkali harus membeli benih dari penangkar di

Pangalengan.

Berdasarkan hasil wawancara, ketersediaan benih bersertifikat dalam

jumlah yang cukup belum tersedia. Di samping itu harga benih relatif mahal,

sehingga banyak petani menggunakan benih hasil panen sebelumnya. Dengan

demikian ketersediaan dan distribusi benih unggul sangat penting difasilitasi oleh

pemerintah karena petani masih menghadapi permasalahan baik ketersediaan,

maupun kualitas benih kentang. Balai Benih Induk (BBI) yang ada di

Pangalengan agar lebih difasilitasi terutama untuk benih dasar (G2) dan benih

sumber (G3). Pengawasan kepada para penangkar yang ada sekarang perlu

ditingkatkan mengingat masih adanya benih campuran/oplosan antara benih

berlabel dengan benih konsumsi.

Pupuk kandang yang digunakan mempunyai tanda positif dan berpengaruh

pada taraf α= 0.01 serta mempunyai nilai elastisitas ketiga setelah lahan dan

benih, dengan elstisitas produksi sebesar 0.12. Pupuk kandang berfungsi untuk

mengikat air tanah yang lebih besar sehingga pupuk yang terlarut masih tersedia

dalam tanah, pupuk kandang juga dapat meningkatkan agregasi tanah, pori-pori

tanah dan air tanah. Di daerah penelitian hampir 100 persen petani menggunakan

pupuk kandang. Rata-rata penggunaan pupuk kandang adalah 17 ton/ha untuk

kentang. Para petani di daerah penelitian mendapatkan pupuk kandang pada

Page 168: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

132

umumnya dari luar kota, seperti dari Sukabumi dan Tangerang. Perlu dicermati

adalah kontinuitas ketersediaan pupuk ini sehubungan dengan tingginya

penggunaan pupuk kandang. Barangkali perlu difikirkan supaya ketersediaan ini

terus berlanjut. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah integrasi

sayuran dengan ternak sapi, mengingat di kedua daerah penelitian cocok untuk

peternakan sapi perah atau atau pedaging.

Pestisida mempunyai dampak yang positif terhadap produksi kentang,

namun tidak berpengaruh nyata pada α= 0.1. Selanjutnya pupuk anorganik (K,

N, P) serta tenaga kerja mempunyai pengaruh yang kecil terhadap produksi dan

tidak berpengaruh nyata. Dengan kata lain penggunaan pestisida dan pupuk

anorganik sudah berlebihan (overuse). Hasil ini konsisten dengan temuan Saptana

(2011) pada usahatani cabai merah, Obare (2010) pada tanaman kentang di

Kenya, Sukiyono (2005), namun kontradiktif dengan temuan Abedullah (2006),

Udoh (2005), Reddy (2002).

Seperti diketahui pada tanaman kentang, pupuk K berfungsi sebagai

pengatur tekanan osmotik dan cofaktor enzim yang sangat diperlukan untuk

tanaman umbi-umbian. Kekurangan K akan menyebabkan daun menguning mulai

pinggiran daun sampai pada daun tua. Sebaliknya kelebihan pupuk K tidak

menunjukkan gejala dan disebut konsumsi mewah. Seperti telah dibahas pada bab

sebelumnya, di daerah penelitian penggunaan pupuk Urea dan ZA sudah melebihi

dosis yang dianjurkan (579.7 kg/ha). Demikian halnya dengan pupuk TSP dosis

penggunaan di daerah penelitian rata-rata sebesar 461 kg/ha. Dosis penggunaan

pupuk anorganik ini sudah melebihi dosis yang dianjurkan Penggunaan yaitu

sebesar 217 kg Urea dan 416 kg TSP.

Walaupun penggunaan pupuk sudah berlebihan namun kentang banyak

ditanam di lahan berlereng dengan kemiringan yang tinggi (> 20 persen). Kondisi

ini dapat menyebabkan pencucian nutrisi yang lebih cepat bila kena hujan,

disamping itu pupuk Nitrogen dan Phosfor mudah larut dalam air. Kondisi ini

menyebabkan tidak berpengaruh nyatanya peubah pestisida dan pupuk anorganik.

Kemiringan lahan sangat berpengaruh nyata pada α= 0.01. Koefisiennya

yang negatif mengindikasikan bahwa semakin tinggi ketinggian lahan, semakin

kecil produksi kentang yang dihasilkan. Temuan ini sejalan dengan Solis et al.

Page 169: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

133

(2009). Dummy musim tanam tidak berpengaruh nyata, yang berarti bahwa

produksi kentang tidak berbeda pada musim hujan dan kemarau. Hasil ini tidak

sesuai dengan yang diharapkan, karena berdasarkan hasil wawancara dengan

beberapa petani sampel pada musim hujan produksi di lahan miring lebih tinggi

dibandingkan di lahan datar. Hal ini dapat dimengerti bila hujan datang, air

langsung mengalir (terutama pada sistem penanaman searah lereng) tidak

menggenangi guludan. Sebaliknya pada musim kemarau produksi kentang di

lahan datar lebih tinggi hasilnya, hal ini terkait dengan ketersediaan air. Pada

musim kemarau air sulit diperoleh di lahan yang mempunyai kelerengan tinggi,

padahal kentang adalah tanaman yang memerlukan banyak air dalam

pertumbuhannya. Dengan demikian pada musim kemarau produksi kentang lebih

baik pada lahan datar dibandingkan pada lahan berlereng dan sebaliknya. Dummy

lokasi menunjukkan tanda positif dan berpengaruh nyata, hal ini mempunyai arti

produksi kentang berbeda di kedua lokasi.

Berdasarkan hasil estimasi parameter di atas, bahwa benih dan pupuk

kandang (organik) mempunyai pengaruh yang relatif besar terhadap produksi

kentang. Demikian halnya dengan kemiringan lahan. Hal ini dapat dikatakan

benih sebagai dan pupuk organik merupakan input produksi penggeser fungsi

produksi kearah frontiernya. Implikasinya adalah diperlukan teknologi benih baru

(misalnya HYV) yang lebih adaptif supaya mendorong produksi lebih tinggi lagi.

Selanjutnya memperbanyak penangkar benih agar petani dapat memperoleh benih

yang lebih bermutu (bersertifikat) sebagai jaminan untuk berproduksi lebih

tinggi. Kemudian dilihat dari aspek keberlanjutan pupuk kandang diduga dapat

memperbaiki kesuburan lahan dengan cara menahan air lebih lama di dalam

tanah, pupuk kandang berfungsi untuk mengikat air tanah yang lebih besar

sehingga pupuk yang terlarut masih tersedia dalam tanah, pupuk kandang juga

dapat meningkatkan agregasi tanah, pori-pori tanah dan air tanah.

Penjumlahan elstisitas input menunjukkan skala usaha (return to scale)

Jumlah elastisitas produksi sama dengan 0.9584 menunjukkan skala usaha yang

menurun (decreasing return to scale). Artinya apabila input secara bersama-sama

ditingkatkan sebesar 1 persen maka produksi kentang akan meningkat sebesar

0.96 persen.

Page 170: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

134

6.2. Analisis Efisiensi Teknis (TE) Usahatani Kentang

6.2.1. Sebaran Efisiensi Teknis Usahatani Kentang

Efisiensi teknis dihitung dengan menggunakan persamaan TE= exp(-ui).

Dalam penelitian ini efisiensi teknik diperoleh dari hasil pendugaan persamaan

(68), error (ei =vi, ui) dan dievaluasi menggunakan parameter estimasi yang telah

disajikan pada Tabel 20 dari fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglas.

Efisiensi teknis dihitung untuk masing-masing usahatani, selanjutnya analisis

diteruskan dengan menganalisis efisiensi teknis berdasarkan kemiringan lahan dan

sistem penanaman (searah lereng, serah kontur dan teras bangku).

Sebaran efisiensi teknis dapat dilihat pada Tabel 21. dan sebaran efisiensi

teknis per individu petani sampel dapat dilihat pada Lampiran 11. Berdasarkan

nilai sebaran pada Tabel 21, terlihat bahwa efisiensi teknik (TE) berkisar antara 21

– 95 persen, dengan rata-rata efisiensi teknik sebesar 84 persen. Hal ini

menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, produksi kentang masih dapat

ditingkatkan sebesar 16 persen melalui penggunaan teknologi terbaik. Secara

rata-rata 16 persen dari produksi hilang karena inefisiensi.

Tabel 21. Distribusi Frekuensi Efisiensi Teknik (TE) Petani Kentang di Jawa Barat, 2011

Sebaran Efisiensi (%)

Jumlah petani (orang)

Persentase (%)

0-10 - - 11.-20 - - 21-30 2.00 1.0 31-40 1.00 0.5 41-50 3.00 1.5 51-60 1.00 0.5 61-70 6.00 3.0 71-80 25.00 12.3 81-90 129.00 63.5

91-100 36.00 17.7 Jumlah 203.00 100.0 Minimum : 21 Maksimum: 95 Rata-rata: 84 Sumber: data primer diolah

Page 171: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

135

Hasil ini konsisten dengan penemuan Bravo-Ureta et al (2007) dalam

analisis meta regresi dari TE di pertanian, yang menemukan rata-rata TE sebesar

78 persen di Amerika Latin. Saptana menemukan hasil rata-rata TE sebesar 90

persen untuk cabe merah besar di Jawa Tengah, Abedullah (2006) menemukan

rata-rata efisiensi teknik untuk kentang sebesar 84 persen dan Obare (2010)

menemukan efisiensi teknik untuk kentang sebesar 57.3 persen. Bravo-Ureta

(2007) menyatakan suatu usahatani dikatakan telah efisien secara teknik apabila

rata-rata TE sebesar 70 persen.

Berdasarkan hasil perhitungan TE terlihat bahwa sebanyak 93.5 persen

petani kentang mencapai efisiensi teknik lebih besar dari 70 persen, dan sebanyak

6.5 persen masih berada pada kondisi tidak efisien atau masih mengalami

inefisiensi teknis dalam usahataninya. Bravo, Ureta dan Pinheiro (1993)

melakukan studi review pada tingkat usahatani di 14 negara berkembang yang

berbeda. Dari 30 studi frontier, ditemukan tingkat efisiensi teknik berkisar antara

17 persen sampai 100 persen dengan rata-rata 72 persen. Selanjutnya dilaporkan

efisiensi alokatif lebih rendah lagi yaitu antara 43 sampai 89 persen dengan rata-

rata 68 persen. Efisiensi ekonomi berkisar antara 13-69 persen dengan rata-rata

43 persen. Selanjutnya Bravo-Ureta et al (2007) melakukan analisis meta frontier

menemukan bahwa dari 167 studi efisiensi, dengan menggunakan pendekatan

stochastic frontier rata-rata efisiensi yang dicapai oleh petani berkisar 75.2 persen

sampai 78.4 persen.

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 21 terlihat bahwa usahatani kentang di

Jawa Barat sudah mencapai efisiensi teknik rata-rata 84 persen, ini menunjukkan

secara rata-rata petani sampel masih mempunyai peluang untuk memperoleh hasil

potensial yang maksimum seperti yang diperoleh petani paling efisien secara

teknis. Efisiensi teknik masih dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknologi

sekarang. Hal ini berimplikasi produktivitas kentang dapat ditingkatkan dengan

menggunakan manajemen teknik terbaik. Jika petani mencapai efisiensi rata-rata

dan ingin mencapai efisiensi maksimum maka peluang untuk meningkatkan

produksi adalah sebesar 11.6 persen (1- 84/95). Perhitungan yang sama jika

Page 172: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

136

petani yang tidak efisien ingin mencapai efisiensi maksimum, maka peluang

peningkatan produksi sebesar 77.9 persen (1-21/95).

Di daerah penelitian, secara rata-rata petani kentang telah mencapai

efisiensi teknis yang relatif tinggi. Beberapa faktor penyebabnya adalah petani

mempunyai keterampilan teknis yang tinggi berkaitan dengan pengelolaan yang

tepat waktu, ketepatan waktu tanam, jumlah penggunaan input yang tepat dan

keterampilan teknis lainnya. Namun demikian produksi masih dapat ditingkatkan

sampai mencapai produksi maksimum. Salah satu cara yang dapat dilakukan

adalah penggunaan benih bersertifikat dan mengembangkan teknologi biologi

yang dapat menghasilkan High Yield Variety (HYV), optimalisasi penggunaan

pupuk kandang, dan melakukan penanaman yang direkomendasikan sesuai

dengan kemiringan lahan.

6.2.2. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kentang

Produksi potensial dihitung untuk masing-masing usahatani dan hasilnya

disajikan pada Tabel 22. Produksi potensial (frontier) dihitung dengan

menggunakan rumus :

Produksi potensial = 100/TE * produksi aktual

Kehilangan produksi yang disebabkan oleh inefisensi teknik dihitung sebagai

selisih antara rata-rata produksi aktual dengan produksi frontiernya jika petani

mencapai 100 persen efisien. Nilai kehilangan dihitung dengan mengalikan

jumlah produksi yang hilang dengan harga kentang per kg sebesar Rp 4589. Dari

Tabel 22 terlihat bahwa semakin kecil efisiensi teknik petani semakin besar

kehilangan produksinya.

Tabel 22 baris 3 memperlihatkan bahwa bagi petani yang mencapai

efisiensi teknik hanya 25 persen (kolom 3) dengan produksi aktual sebesar 6.9 ton

/ha (kolom 4), petani tersebut akan mencapai produksi tertinggi sebesar 26.6

ton/ha apabila mengelola usahataninya pada kondisi 100 persen efisien, maka

petani tersebut akan kehilangan produksi sebesar 19.8 ton/ha (kolom 6). Dengan

demikian untuk mencapai efisiensi penuh (100 persen), petani dengan tingkat

efisiensi yang paling kecil (25.8 persen) dapat meningkatkan produksinya sebesar

288.1 persen dan sebaliknya petani yang efisiensinya tinggi (91.9 persen) untuk

mencapai efiensi penuh 100 persen dapat meningkatkan produksi sebesar 8.8

Page 173: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

137

persen. Bila dikaitkan dengan nilai ekonomi, maka petani yang mencapai

efisiensi terendah akan kehilangan penerimaan sebesar 90.7 juta rupiah per ha.

Tabel 22. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kentang pada Berbagai Tingkat Efisiensi di Jawa Barat, 2011

Sebaran Efisiensi

(%)

Jumlah Usaha-

tani

Rata-rata Efisiensi

(%)

Produksi Aktual (Kg/ha)

Produksi Potensial (Frontier) (Kg/ha)

Kehilangan

Produksi (kg/ha)

Persentase (%)

Nilai (juta Rp)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 0-10 0 - - - -

11-20 0 - - - - 21-30 2 25.8 6 857 26 611 19 754 288.1 90.7 31-40 1 38.0 8 750 23 026 14 276 163.2 65.5 41-50 3 48.3 9 144 18 936 9 792 107.1 44.9 51-60 1 59.3 5 714 9 628 3 914 68.5 18.0 61-70 6 65.6 10 572 16 122 5 551 52.5 25.5 71-80 25 76.4 14 584 19 091 4 508 30.9 20.7 81-90 129 86.3 18 704 21 665 2 961 15.8 13.6

91-100 36 91.9 27 557 29 992 2 435 8.8 11.2 Jumlah 203

Sumber: data primer diolah. Kolom (5) = kolom (4)/kolom (3); kolom 6 = kolom (5) – kolom (4)

Salah satu penyebab kehilangan produksi berkaitan dengan keterampilan

teknis petani tersebut seperti ketepatan dalam waktu tanam, jumlah pupuk, benih,

dan ketepatan penggunaan aplikasi pestisida. Hal lain yang menjadi penyebab

adalah tingkat kemiringan lahan dan sistem penanaman. Perhitungan produksi

potensial juga dihitung oleh Kibaara (2005) yang menyimpulkan bahwa

peningkatan ke arah produksi potensial dapat dilakukan melalui peningkatan

efisiensi.

6.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Usahatani Kentang

Sejauh ini analisis difokuskan pada model Cobb Douglas. Bagian ini

akan membahas sumber inefisiensi yang juga diestimasi dari model Cobb Douglas

secara simultan. Tanda negatif pada parameter inefisiensi menunjukkan bahwa

veriabel tersebut menurunkan inefisiensi teknik atau meningkatkan efisiensi

teknik dan sebaliknya tanda positif menunjukkan bahwa peningkatan variabel

tersebut akan meningkatkan inefisiensi teknik atau menurunkan efisiensi teknik.

Perbedaan dalam efisiensi dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang

berbeda antara petani. Faktor sosial ekonomi, infrastruktur dan faktor lingkungan

Page 174: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

138

dapat mempengaruhi efisiensi. Inefisiensi dihipotesakan dipengaruhi oleh ketiga

faktor tersebut. Terdapat delapan variabel yang dihipotesakan menjadi sumber

inefisiensi usahatani kentang. Kedelapan variabel tersebut adalah umur (z1),

pendidikan formal yang diselesaikan (z2), pengalaman bertani (z3), keanggotaan

dalam kelompok (dummy) (z4), frekuensi penyuluhan (z5), akses terhadap kredit

(z6), status kepemilikan (dummy) (z7), dan sistem penanaman (z8).

Faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis setiap petani sampel dianalisis

secara simultan dengan model efek inefisiensi teknis menggunakan model fungsi

produksi stochastic frontier seperti dalam persamaan (56). Dengan menggunakan

program Frontier 4.1. Tujuh variabel ditemukan berpengaruh nyata terhadap

efisiensi teknik. Hasil pendugaan faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis

disajikan pada Tabel 23.

Table 23. Hasil Estimasi Parameter Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stokastik Frontier Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011

Koefisien standard-error t-ratio

Konstanta -3.8679 3.6601 -1.0568 Umur (δ

1) 0.0726** 0.0452 1.6069

Pendidikan (δ2) -0. 0154 0.0346 -0.4447

Pengalaman(δ3) -0.0228** 0.0168 -1.3527

Anggota kelompok (D) (δ4) -1.2373** 0.6673 -1.8541

Frekuensi penyuluhan (δ5) -0.1599** 0.1215 -1.3167

Akses Kredit (D) (δ6) 0.5882* 0.5478 1.0737

Status Kepemilikan (D) (δ7) 1.4497* 1.1414 1.2702

Sistem Penanaman (D) (δ8) -0.5367*** 0.2807 -1.9121

Sumber: data primer diolah Keterangan: *** = nyata pada taraf α= 0.01; ** = nyata pada taraf α= 0.05;

* = nyata pada taraf α= 0.1;

Tanda dan besaran koefisien hasil estimasi di dalam model efek inefisiensi

umur, akses terhadap kredit, status kepemilikan lahan bertanda positif, artinya

semakin tinggi ketiga varabel tersebut akan menurunkan efisiensi teknik. Tanda

ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan pendidikan, pengalaman,

keanggotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, dan sistem penanaman

Page 175: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

139

/konservasi bertanda negatif, dan karenanya mengurangi inefisiensi teknis atau

meningkatkan efisiensi teknik, dan tanda ini sesuai dengan harapan.

Berdasarkan kriteria statistik, terlihat bahwa umur, pengalaman,

keanggotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses terhadap kredit, status

kepemilikan, dan sistem penanaman berpengaruh nyata pada taraf α = 0.05 dan

0.1 persen. Hal ini menunjukkan semua variabel tersebut merupakan faktor

penentu ketidakefisienan dalam berusahatani sayuran kentang. Sedangkan

variabel pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap efek inefisiensi.

Umur. Umur merupakan sebuah indikator untuk pengalaman usahatani.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur bertanda positif dan nyata

mempengaruhi efisiensi teknik usahatani sayuran. Artinya bahwa semakin tua

umur seseorang maka inefisiensi teknis akan meningkat atau dengan kata lain

semakin muda umur petani semakin efisien secara teknik. Hal ini sesuai dengan

anggapan bahwa semakin tua umur petani maka kemampuan kerjanya dan

kemampuan teknisnya semakin menurun dan berdampak negatif terhadap efisiensi

teknik.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kentang ditanam di lahan

berlereng yang memerlukan kekuatan fisik untuk pergi ke lahannya. Seorang

petani yang umurnya tua kemungkinan mempunyai pengalaman dan keterampilan

yang semakin tinggi, namun secara fisik semakin melemah. Sebaliknya petani

muda masih energik dan mempunyai kekuatan fisik yang tinggi untuk mengelola

usahataninya di lahan yang berlereng tinggi. Tanda positif ini juga kemungkinan

berkaitan dengan umur rata-rata petani kentang di daerah penelitian adalah 46

tahun yang merupakan umur produktif, memiliki kemampuan kerja yang tinggi

sehingga produksi semakin tinggi pula. dan akhirnya berdampak pada

meningkatnya efisiensi teknik

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Battesse and Coelli 1995;

Fauziyah 2010; Saptana 2011; Bakhsh and Hassan 2005, Solis et al., 2009; Udoh,

2005; O’Neil, 2001, Sherlund, 2002; Reddy, 2002, Ahmad, 2002, dan Maganga et

al., 2012. Namun hasil ini tidak sesuai dengan hasil temuan (Msuya et al 2008;

Amos 2007; Kibaara 2005; Tchale and Sauer 2007; Liu and Zhuan, 2000;

Page 176: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

140

Basnayake and Gunaratne 2002; Kalirajan and Flin 1983; Omonona, 2010;

Sukiyono, 2005, Abedullah et al., 2008, dan Nwaru2011.

Pengujian untuk melihat pengaruh umur terhadap efisiensi telah

dilakukan oleh Battesee dan Coelli (1995) yang menyatakan bahwa petani tua

kurang efisien dibandingkan dengan petani yang masih muda. Thirtle and Holding

(2003), Herdt and Mandact (1981), Parikh et al. (1995) menemukan bahwa petani

tua kurang mengadopsi teknologi. Hubungan positif antara umur dan efisiensi

teknik ditemukan di UK (O’Neil 2001), Liu dan Zhuan (2000) menyatakan

efisiensi teknis meningkat sebelum petani mencapai umur 40 tahun. Petani

menjadi lebih trampil sejalan dengan bertambahnya umur, namun learning by

doing menurun sampai petani mencapai umur 40 an.

Pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan variabel pendidikan bertanda

negatif namun tidak berpengaruh nyata. Tanda negatif ini menunjukkan bahwa

peningkatan pendidikan petani dapat menurunkan inefisiensi teknis atau

meningkatkan efisiensi teknis, namun karena tidak berpengaruh nyata maka

pendidikan formal tidak berpengaruh dalam meningkatkan efisensi teknis.

Penemuan ini konsisten dengan hasil penelitian Ali and Flin 2003; Kalirajan

2004; Batesse and Coelli 2005; Solis et al, 2009; Hasan, 2010; Ahmed, 2011;

udoh, 2005; Abedullah, Baksh, and ahmad, 2006; Saptana, 2011, Fauziyah 2010,

Awudu et al (2001), Msuya 2008, Bakhsh and Hassan 2005. Namun tidak sesuai

dengan hasil temuan Sherlund et al, 2002; Obare, 2010; dan Sukiyono, 2005.

Awudu et al (2001) yang menyatakan bahwa pendidikan meningkatkan

efisiensi teknis, sementara itu Solis et al (2009) menyatakan bahwa pendidikan

dan penyuluhan berpengaruh positif terhadap efisiensi teknik. Hasil ini

mendukung pernyataan bahwa peningkatan human capital di rumahtangga

perdesaan dapat meningkatkan pengelolaan usahatani dan akhirnya dapat

mencapai produktivitas yang tinggi.

Secara teoritis, investasi untuk pendidikan dapat dilihat sebagai sebuah

strategi untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui hubungan

komplementer dengan penggunaan pupuk, pestisida, irigasi, varietas unggul, dan

penelitian, dan penyuluhan (Lockehed et al, 1980 dalam Van Passel 2009). Petani

dengan pendidikan tinggi dapat mencapai efisiensi teknik yang tinggi pula. Hasil

Page 177: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

141

penelitian di Pennsylvania pada peternakan sapi, Stevanou dan Saxena (1988)

menemukan bahwa pendidikan dan pengalaman memainkan peranan penting

terhadap efisiensi. Selanjutnya pendidikan berpengaruh positif terhadap

kemampuan (skill) petani sehingga dapat mengelola usahataninya lebih efisien

(Kalirajan, 1990, Batesse dan Coelli (1993), Parikh et al (1995), Liu dan Zhuang

(2000). Pendidikan juga berpengaruh positif terhadap lingkungan dalam pertanian

modern dibandingkan dengan pertanian konvensional.

Namun ternyata dalam penelitian ini pendidikan tidak berpengaruh nyata

artinya ketidakefisienan usahatani kentang bukan karena pengaruh tinggi

rendahnya pendidikan tetapi lebih pada pengalaman petani dalam mengelola

usahataninya. Petani dengan pendidikan yang lebih rendah tetapi mempunyai

ketekunan yang tinggi dalam mengelola usahatani kentang akan lebih efisien

dibandingkan petani yang berpendidikan tinggi tetapi kurang tekun. Liu and

Zhuang (2000), menyimpulkan bahwa petani jagung tidak membutuhkan

pendidikan tinggi untuk mengaplikasikan pupuk dan benih dengan benar

Pengalaman berusahatani. Hasil penelitian menunjukkan variabel

pengalaman bertanda negatif dan berpengaruh nyata, artinya semakin tinggi

pengalaman maka petani dapat mengelola usahataninya lebih efisien. Hal ini

menunujukkan bahwa inefisiensi teknis yang tinggi terjadi pada petani yang

mempunyai pengalaman relatif rendah dalam berusahatani kentang. Hasil ini

konsisten dengan temuan Wilson, 2001; Sukiyono, 2005; Sherlund et al, 2002;

Sinaga, 2011; Kalirajan and Flin, 1983; Maganga, 2012. Namun tidak konsisten

dengan penemuan Omonona, 2010. (Wilson (2001) menyatakan petani gandum

yang berpengalaman lebih efisien. Stevanou dan Saxena (1988) menemukan

bahwa pendidikan dan pengalaman memainkan perana penting terhadap efisiensi.

Dari sisi teori, kesimpulan ini sesuai dengan yang dihipotesakan. Petani

yang lebih berpengalaman mempunyai kemampuan dan adopsi teknologi yang

lebih baik sehingga mampu menghindari kecenderungan turunnya produktivitas

sebagai akibat turunnya degradasi sumberdaya (Saptana, 2011). Petani yang

berpengalaman juga mempunyai kapabilitas manajerial yang lebih baik karena

mereka belajar dari pengelolaan usahataninya tahun-tahun sebelumnya. Nwaru et

Page 178: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

142

al (2011) menyatakan petani yang berpengalaman lebih efisien dalam membuat

keputusan dan lebih dapat menghindari risiko berkaitan dengan adopsi inovasi.

Keanggotaan dalam kelompok dan Frekuensi penyuluhan. Hasil

penelitian menunjukkan variabel keanggotaan dalam kelompok dan frekuensi

penyuluhan bertanda negatif dan berpengaruh nyata, artinya petani yang ikut

dalam anggota kelompok tani dan menerima kunjungan penyuluhan lebih banyak

dapat mengelola usahataninya lebih efisien. Hal ini sesuai dengan harapan.

Temuan ini konsisten dengan hasil penemuan Msuya, 2008; Abedullah et al,

2006; fauziyah, 2010; Ahmad and Chaudry, 2002; dan Maganga, 2012. Namun

tidak sesuai dengan penemuan Omonona, 2010; Hasan, 2010; dan Nwuru, 2011.

Kalirajan (1991,1984) dan Kalirajan (1991) menggunakan data panel

untuk periode 1983 -1986 pada 30 petani padi di India menemukan pengaruh

keanggotaan dan kunjungan penyuluh berpengaruh positif terhadap efisiensi

teknik pada petani padi di India dan Philipina dan menjadi faktor dominan dari

efisiensi teknik. Dengan demikian petani yang mempunyai akses terhadap

penyuluhan mempunyai posisi yang lebih baik menggunakan sumberdaya yang

tersedia dengan menggunakan pengetahuan mereka. Hasil ini membuktikan

bahwa ketersediaan informasi berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi teknik.

Solis et al (2009) menyatakan bahwa penyuluhan berpengaruh positif terhadap

efisiensi teknik.

Akses terhadap Kredit. Koefisien akses terhadap kredit positif dan

signifikan pada α = 0.2. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis sebelumnya.

Hasil ini konsisten dengan penemuan Sinaga, 2011 dan Nwuru, 2011 namun tidak

konsisten dengan temuan Ayaz et al., 2010, Munir, 2002; Obare, 2010; Solis et

al., 2009, Msuya et al, 2008; dan Ahmed, 2011. Kredit memainkan peranan

penting agar usahatani lebih produktif dan efisien. Kekurangan ketersediaan

kredit atau keterbatasan kapital yang dihadapi oleh petani merupakan salah satu

masalah penting dalam perbaikan efisiensi di sektor pertanian. Berdasarkan hasil

penelitian ternyata kredit berpengaruh positif terhadap efisiensi artinya petani

yang mempunyai akses ke lembaga keuangan formal mempunyai efisiensi teknik

yang lebih kecil dibandingkan dengan petani yang mempunyai akses ke lembaga

keuangan non formal. Hal ini disebabkan oleh keterikatan petani terhadap sumber

Page 179: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

143

kredit informal antara lain pedagang sarana produksi dengan tingkat bunga 5

persen, pedagang pengumpul, dan pedagang produk.

Ketergantungan ini berdampak pada meningkatnya inefisiensi teknis

usahatani kentang. Ini mengindikasikan pentingnya kelembagaan keuangan mikro

pada daerah sentra produksi kentang. Faktor lainnya yang menjadi penyebab

tanda parameter akses kredit tidak sesuai adalah adanya kelemahan dalam

menggunakan variable yang hanya menggunakan dummy ya dan tidak

menunjukkan besaran. Di daerah penelitian besarnya kredit yang diambil petani

berkisar antara Rp 500 000 sampai Rp 50 juta, hal ini menyebabkan perilaku

petani akan berbeda antara petani yang mengambil kredit dengan jumlah kecil

dengan petani yang mengambil kredit dengan jumlah besar.

Status Kepemilikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status

kepemilikan bertanda positif terhadap inefisensi dan berpengaruh nyata, hal ini

tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ini menunjukkan bahwa petani dengan

status lahan milik kurang efisien dibandingkan dengan petani penyewa atau

penggarap. Hasil ini sesuai dengan penemuan Kalirajan and Flin, 1983;

Abedullah et al, 2006; Namun kontradiktif dengan beberapa studi empiris yang

dilakukan oleh Byiringiro and Reardon (1996); Binam et al (2003), Deininger et al

(2004); dan Khuda (2006) yang menemukan hubungan negatif antara status

kepemilikan dengan inefisiensi atau hubungan positif antara status kepemilikan

dengan efisiensi. Reddy (2002); Sinaga, 2011 dan Solis et al (2009) menemukan

bahwa petani non pemilik mempunyai efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan

dengan petani pemilik. .

Secara teori temuan ini kontradiktif dengan pemikiran yang ada yang

menyatakan bahwa petani pemilik dapat mengurangi risiko dan akibatnya dapat

meningkatkan penerimaan yang diharapkan dan mendorong untuk berinvestasi

pada teknologi yang lebih produktif. Namun demikian temuan ini konsisten

dengan fakta di lapangan bahwa penyewa mempunyai tambahan biaya sebagai

kewajiban untuk membayar sewa lahan dan itu menjadi insentif untuk berproduksi

lebih efisien.

Penyewa dan penggarap mempunyai keterbatasan sumberdaya. Petani

di kedua kabupaten memperluas usahanya dengan menyewa lahan. Dari 203

Page 180: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

144

petani sampel, 40 persen petani lahannya berstatus sewa. Petani dapat menyewa

lahan dalam satu atau dua musim. Fenomena yang terjadi sekarang adalah petani

memperluas lahan garapan ke lahan kehutanan dengan kecuraman yang tinggi,

dan pembayaran sewa yang tidak ditentukan. Dinas kehutanan memperbolehkan

petani menggarap lahan kehutanan dengan syarat petani menanam tanaman

tahunan seperti kopi dan kayu-kayuan dengan tujuan selain meningkatkan

pendapatan petani, juga untuk mengurangi erosi. Tetapi yang terjadi adalah

karena dianggap mengurangi produksi kentang maka akhirnya tanaman tahunan

tersebut ditebang sehingga luasan tanam untuk sayuran bertambah. Berdasarkan

fakta di lapangan, dapat disimpulkan bahwa status sewa menyebabkan petani

memaksimalkan lahannya untuk berproduksi maksimum, karena mempunyai

tambahan kebutuhan uang tunai untuk membayar sewa lahan.

Reddy (2002) dalam penelitiannya mengenai pengaruh petani penyewa

terhadap produktivitas dan efisiensi menemukan bahwa petani pemilik lebih

produktif dan efisien dibandingkan dengan petani penyewa. Namun penelitian

Khuda (2006) melaporkan hal yang sebaliknya, status penyewa lebih efisien

dibandingkan pemilik. Hal ini disebabkan oleh petani penyewa benar-benar

mengusahakan lahannya untuk memperoleh produksi tinggi karena memang

tujuan mereka menyewa lahan adalah untuk menghasilkan produksi maksimum.

Sistem penanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konservasi

bertanda negatif dan berpengaruh nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa petani

yang melakukan sistem penanaman searah kontur dan teras bangku lebih efisien

dibandingkan dengan petani yang melakukan sistem penanaman searah lereng.

Hasil ini konsiten dengan penemuan Solis (2009) yang mendukung hipotesis

bahwa adopsi konservasi lahan tidak hanya bertujuan untuk mengontrol degradasi

lingkungan tetapi juga berkaitan dengan efisiensi yang tinggi. Penemuan penting

dari penelitian Solis (2009) adalah keberlanjutan ekonomi dan lingkungan

merupakan tujuan yang berkomplemen daripada tujuan yang saling berkompetirif.

Peningkatan TE tidak hanya menguntungkan secara financial, tetapi juga dapat

berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan.

Seperti diketahui di daerah penelitian kentang ditanam pada lahan

berlereng. Hal ini dapat menimbulkan degradasi lingkungan dilihat dari

Page 181: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

145

konservasi yang dilakukan maupun erosi yang ditimbulkan. Sistem penanaman

yang dilakukan searah kontur dapat menekan laju erosi dibandingkan dengan

sistem penanaman searah lereng (tanpa konservasi) sehingga produksi relatif

lebih tinggi. Hasil ini juga sesuai dengan estimasi fungsi produksi yang juga

menghasilkan variabel kemiringan yang negatif dan signifikan.

Studi review literatur dengan menggunkan SFA yang dilakukan oleh

Bravo, Ureta, dan Pinheiro (1993) di 14 negara berkembang telah memasukkan

varabel pendidikan, pengalaman, kontak penyuluhan, akses terhadap kredit dan

ukuran lahan mengarah pada hubungan positif terhadap efisiensi teknik. Secara

umum penemuan tersebut konsisten dengan penelitian non frontier yang dilakukan

oleh Jamison dan Feder (1988). Hal ini menunjukkan bahwa human capital

memainkan peranan penting dalam meningkatkan produktivitas di negara

berkembang. Berdasarkan hasil temuan penelitian ini, tampaknya kelembagaan

penyuluhan maupun kelembagaan benih agar ditingkatkan lagi perannya untuk

meningkatkan efisiensi yang pada akhirnya dapat meningkatkan produksi.

6.3. Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Usahatani Kentang

Efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi diukur dengan menggunakan dual

cost frontier yang secara analitis diturunkan dari fungsi stochastic frontier.

Penurunan fungsi dual didasarkan pada hasil dari persamaan (56) kemudian

diturunkan dengan menggunakan persamaan (62). Penurunan selengkapnya

dapat dilihat pada Lampiran (4). Hasil analisis fungsi biaya dual diperoleh

persamaan biaya minimum:

ln C exp 0.0007 1.043 ln 0.6976 ln 10.1317 ln 2 0.0467 ln 3

0.0012 ln 4 0.0015 ln 5 0.1145 ln 6 0.0069 ln 7

Berdasarkan persamaan biaya minimum di atas, kemudian dihitung nilai

efisiensi ekonomi dengan persamaan:

dan efisiensi alokatif

Sebaran efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi disajikan pada Tabel 24.

Page 182: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

146

Tabel 24. Efisiensi Alokatif (AE) dan Ekonomi (EE) Petani Kentang di Jawa Barat, 2011

Tingkat Efisiensi (%)

Efisiensi Alokatif (AE) Efisiensi Ekonomi (EE) Jml Petani Persentase Jumlah Petani Persentase

0-10 - - - - 11.-20 3 1.5 6 3.0 21-30 28 13.8 55 27.1 31-40 56 27.6 70 34.5 41-50 50 24.6 41 20.2 51-60 27 13.3 20 9.9 61-70 20 9.9 3 1.5 71-80 6 3.0 7 3.4 81-90 7 3.4 1 0.5 91-100 6 3.0 - - Jumlah 203 100.0 203 100.0

Minimum 0.19 0.15Maksimum 0.99 0.85Rata-rata 0.47 0.38

Sumber : data primer, diolah

Pada penelitian ini perhitungan efisiensi ekonomi menggunakan harga

yang berbeda untuk setiap kemiringan lahan, terutama sewa lahan yang bervariasi

antar kemiringan lahan. Harga (sewa) lahan rata-rata berkisar antara Rp. 6 750

000 ( untuk lahan datar) dan Rp. 500 000 untuk lahan di atas kemiringan 40

persen. Adapun harga rata-rata untuk benih kentang adalah Rp 12 784, harga

pupuk anorganik (Urea Rp 1736, TSP Rp 2012, KCl Rp 2 435, dan harga pupuk

NPK Rp 2859) kemudian harga pupuk tersebut dikonversi ke harga hara N,P, dan

K. Adapun rata-rata harga pupuk kandang adalah Rp 364/kg, dan upah tenaga

kerja Rp18 718 per HKP. Gambar 12 menyajikan histogram dari TE, AE dan

EE usahatani kentang di Jawa Barat, 2011.

Berdasarkan Tabel 24 terlihat bahwa efisiensi alokatif (AE) berkisar antara

19 – 99 persen dan efisiensi ekonomi (EE) berkisar antara 15 – 85 persen. Rata-

rata AE dan EE sebesar 47 persen dan 38 persen. Temuan ini sesuai dengan hasil

peneluan Bravo-Ureta et al., (1997) dan Wadud (1999). Angka-angka ini

menunjukkan bahwa pada usahatani kentang di Jawa Barat tingkat efisiensi masih

rendah. Hasil ini menjadi dasar untuk meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan petani kentang.

Page 183: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

147

Gambar 12. Histogram dari TE, AE dan EE usahatani Kentang di Jawa

Barat, 2011

Efisiensi ekonomi berkisar antara 15 – 85 persen, dengan rataan sebesar 38

persen. Berdasarkan hasil perhitungan EE terlihat bahwa sebanyak 96 persen

petani mencapai efisiensi ekonomi pada kisaran 11 – 70 persen, dan hanya 4

persen petani mencapai efisiensi ekonomi di atas 70 persen. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa petani yang mempunyai nilai efisiensi alokatif dan

ekonomi kurang dari 70 persen cukup besar yaitu di atas 90 persen.

Bravo, Ureta dan Pinheiro (1993) melakukan studi review pada tingkat

usahatani dari 14 negara berkembang yang berbeda terdapat 30 studi frontier,

menemukan tingkat efisiensi teknik berkisar antara 17 persen sampai 100 persen

dengan rata-rata 72 persen. Selanjutnya dilaporkan efisiensi alokatif lebih rendah

lagi yaitu antara 43 sampai 89 persen dengan rata-rata 68 persen. Efisiensi

ekonomi berkisar antara 13-69 persen dengan rata-rata 43 persen. Catatan yang

perlu digarisbawahi dari studi mereka adalah penelitian di negara berkembang

lebih banyak terfokus pada efisiensi teknik dengan perhatian utama bagaimana

mencapai produksi maksimum, belum melihat bagaimana dampak efisiensi

alokatif dan ekonomi pada kinerja usahatani. Studi lainnya yang dilakukan

Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997) di Negara Dominika menemukan rata-rata

TE,AE, dan EE adalah 77 persen, 41persen dan 31 persen. Kisaran tingkat TE

(42-85 persen), AE (9.5 – 84 persen) dan EE (5.3 – 62 persen).

0

20

40

60

80

100

120

140

0 ‐ 10  11 ‐ 2021 ‐ 30 31 ‐ 40 41 ‐ 50 51 ‐ 60 61 ‐ 70 71 ‐ 80 81 ‐ 90 91 ‐100

FREK

UEN

SI

INDEKS EFISIENSI (%)

TE

AE

EE

Page 184: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

148

Rendahnya efisiensi alokatif yang dicapai petani memungkinkan petani

untuk mengoptimalkan kobinasi input yang dipakainya pada tingkat teknologi

yang tersedia dan pada tingkat harga yang ada. Untuk itu perlunya petani

meperoleh informasi pasar yang berkaitan dengan harga input dan harga output.

Di daerah penelitian sebenarnya akses terhadap informasi pasar cukup baik,

terbukti para petani telah dapat memanfaatkan teknologi komunikasi untuk

berinteraksi dengan pedagang output maupun input, sehingga informasi harga

relatif cepat diperoleh. Pada umumnya petani telah memperoleh informasi yang

cukup baik terutama untuk informasi harga input seperti harga pupuk dan

pestisida, yang berasal dari took /kios sarana produksi. Informasi harga output

diperoleh dari pedagang di pasar Cibitung dan Pasar Kramat Jati. Akibatnya

pedagang pengumpul ataupun tengkulak kekuatannya kurang karena informasi

sudah sampai ke petani.

Efisiensi teknik dan alokatif menyediakan sebuah ukuran untuk mengukur

efisensi ekonomi. Ukuran efisiensi teknik dan alokatif dapat memberikan

gambaran tentang keberhasilan relatif suatu usahatani. Hal ini dapat dilihat

melalui empat cara : (1) usahatani secara teknis dan alokatif efisien, (2) usahatani

secara teknis efisien tetapi secara alokatif tidak efisien, (3) usahatani secara teknis

tidak efisien tetapi secara alokatif efisien, dan (4) usahatani secara teknis dan

alokatif tidak efisien (Wadud, 1999).

Seperti telah dibahas sebelumnya, rata-rata efisiensi alokatif untuk petani

sampel adalah 47 persen dengan kisaran 19 – 99 persen. Efek kombinasi efisiensi

teknik dan alokatif memperlihatkan bahwa efisiensi ekonomi mempunyai rata-rata

38 persen dengan kisaran 15 – 85 persen. Gambaran ini menunjukkan bila petani

sampel mempunyai rata-rata EE (38 persen) dan ingin mencapai efisiensi ekonomi

maksimum maka petani dapat merealisasikannya dengan penghematan biaya

sebesar 55.3 persen (1-38/85) sedangkan pada petani yang tidak efisien (15

persen) dan ingin mencapai EE maksimum mereka dapat menghemat biaya

sebesar 82.3 persen (1-15/85). Berdasarkan temuan di atas, efisiensi ekonomi

masih dapat ditingkatkan, dan inefisiensi alokatif merupakan masalah yang serius

dibandingkan dengan inefisiensi teknik karena rata-rata AE lebih kecil dari rata-

rata TE. Hal ini menggambarkan kemampuan petani dalam mengkombinasikan

Page 185: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

149

input pada tingkat biaya minimal relatif lebih rendah dibandingkan dengan

kemampuan teknis manajerial untuk meningkatkan efisiensi teknis.

Kondisi efisiensi teknik yang tinggi namun efisiensi alokatif yang rendah

dapat dijelaskan pada Gambar 13. Titik A dan B adalah dua kondisi yang sama-

sama berada pada produksi frontier, sehingga titik A dan B telah mencapai

produksi maksimum. Di titik A telah tercapai efisiensi alokatif karena pada titik

itu terjadi persinggungan produk frontier dengan rasio harga input dan output.

Sebaliknya di titik B belum efisien secara alokatif karenanya untuk mencapai

efisiensi alokatif penggunaan input harus dikurangi dari X2 ke X1.

Salah satu penyebab inefisiensi alokatif adalah penggunaan pupuk Urea,

TSP, dan KCl yang berlebihan. Hal ini menyebabkan variabel pupuk N, P, K

tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kentang. Penggunaan pupuk N, P, K

Y F(x, β) B A Px/Py 0 X1 X2 X

Gambar 13. Kondisi Produksi yang Efisien secara Teknis dan Inefisien Alokatif

yang berlebihan ini menyebabkan biaya menjadi lebih tinggi. Di daerah

penelitian, rata-rata penggunaan Urea per hektar sebesar 579 kg, 461 kg SP36 dan

112 kg KCl. Penggunaan ini lebih tinggi dari yang direkomendasikan yaitu

sebesar 217 kg Urea, 416 kg TSP, dan 166-250 kg KCl. Demikian halnya

penggunaan pestisida kebanyakan petani melakukan penyemprotan walaupun

tidak ada hama/penyakit menyerang sehingga penggunaannya sudah berlebihan.

Page 186: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

150

6.3.1. Faktor yang Mempengaruhi Inefisensi Alokatif dan Inefisiensi Ekonomi Usahatani Kentang Selanjutnya untuk melihat faktor struktural dan manajerial petani

terhadap inefisiensi alokatif dan ekonomi dilakukan estimasi lebih lanjut dengan

menggunakan persamaan regresi berganda. Pengolahan dilakukan dengan SPSS

16. Inefisiensi alokatif (AI) dan Inefisiensi Ekonomi (EI) dimasukkan ke dalam

model sebagai variabel terikat dan umur, pendidikan, pengalaman, keanggotaan,

frekuensi penyuluhan, akses terhadap kredit, kepemilikan dan sistem penanaman

dimasukkan sebagai variabel bebas. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada

Lampiran 7 dan Lampiran 8.

Berdasarkan hasil pada Tabel 25, untuk efisiensi alokatif, umur,

pendidikan, akses terhadap kredit, status kepemilikan, dan sistem penanaman

(disebut konservasi untuk penanaman searah kontur dan teras bangku (Arsyad,

2000; Khatarina, 2007) mempunyai tanda negatif, namun hanya umur dan status

kepemilikan yang berpengaruh nyata terhadap efisiensi. Artinya menjadi petani

pemilik dapat meningkatkan efisiensi alokatif maupun efisiensi ekonomi.

Tabel 25. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Alokatif (IA) dan Inefisiensi Ekonomi (IE) Sayuran Kentang di Jawa Barat, 2011

IA IE Koefisien Sig Koefisien Sig Konstanta 0.687 0.000 0.713 0.000 Umur -0.003*** 0.024 0.00006 0.950 Pendidikan -0.005 0.196 -0.006** 0.064 Pengalaman 0.001 0.617 0.000 0.415 DKeanggKel 0.028 0.281 -0.008 0.676 FrekPenyul 0.009 0.155 0.003 0.604 DaksKredit -0.019 0.448 0.007 0.735 DKepemilikan -0.099**** 0.000 -0.054*** 0.005 DKonservasi -0.009 0.571 -0.002 0.849

R2 0.126 0.067 Sumber: data primer diolah Keterangan : **** = nyata pada taraf α= 0.01; *** = nyata pada taraf α= 0.05; ** = nyata pada taraf α= 0.1;

Obare (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa umur, pendidikan,

pengalaman, kontak kepada penyuluh, akses terhadap kredit, dan keanggotaan

dalam kelompok berpengaruh positif terhadap efisiensi alokatif. Dalam penelitian

Page 187: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

151

ini, ditemukan bahwa pendidikan mempunyai tanda negatif untuk kedua efisiensi,

namun tidak berpengaruh nyata. Hal ini memperlihatkan bahwa petani dengan

pendidikan lebih tinggi dapat meningkatkan efisiensi alokatif dan ekonomi,

Penemuan ini konsisten dengan penemuan Obare (2010). Petani yang

berpendidikan tinggi secara alokatif, dan ekonomi lebih efisien dibandingkan

dengan petani yang pendidikannya rendah. Petani dengan pendidikan tinggi dapat

merespon lebih cepat dalam mengkombinasikan penggunaan input apabila terjadi

perubahan harga karena mereka dapat lebih cepat memperoleh informasi berkaitan

dengan harga.

Variabel pengalaman bertanda positif untuk IA dan IE, namun variabel

ini tidak signifikan, artinya bahwa pengalaman bukan merupakan faktor yang

mempengaruhi efisiensi alokatif dan ekonomi. Pengalaman tidak cukup nyata

bagi petani untuk mencapai efisiensi alokatif tertinggi jika petani tidak dapat

mengalokasikan inputnya pada tingkat biaya minimal. Secara teoritis, petani

dengan pengalaman yang tinggi akan lebih efisien dalam mengalokasikan

inputnya dan lebih efisien dalam membuat keputusan untuk menghindari risiko

berkaitan dengan adopsi inovasi.

Koefisien estimasi keanggotaan dalam kelompok untuk kedua inefisiensi

adalah negatif artinya petani yang menjadi anggota kelompok tani dapat

mengelola usahataninya lebih efisien, namun koefisien ini tidak berpengaruh

nyata. Kinerja yang lebih baik antar petani ditunjukkan oleh aplikasi yang baik

dari teknologi seperti pemupukan, aplikasi pestisida, dan penggunaan benih

bermutu.

Dummy akses terhadap kredit menunjukkan semakin petani mempunyai

akses terhadap kredit semakin efisien secara alokatif namun tidak berpengaruh

nyata untuk kedua inefisiensi. Hal ini menunjukkan akses terhadap kredit bukan

faktor penentu inefisiensi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sedikit petani

yang mempunyai akses ke lembaga keuangan formal seperti bank. Dalam

mengelola usahataninya petani yang kekurangan modal lebih senang meminjam

sarana produksi ke para tengkulak yang akan dibayar setelah panen, karena

prosedurnya mudah dan tidak perlu agunan.

Page 188: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

152

Konsisten dengan penemuan Kalirajan (1981), Binam (2004), Nwuru

(2010), Gbigbi (2011) akses terhadap kredit akan meningkatkan efisiensi

ekonomi. Ketersediaan kredit akan menggeser keterbatasan modal ke kanan dan

meningkatkan kemampuan petani untuk membeli input yang tidak dapat

disediakan oleh petani. Kredit akan membuat petani untuk lebih dapat

mengkombinasikan input yang dibelinya pada tingkat biaya minimum. Nwuru et

al (2011) menyatakan bahwa kredit dapat meningkatkan efisiensi ekonomi (AE)

melalui peningkatan kemampuan petani untuk menanggung risiko. Hazanka and

Alwang (2003), menyatakan petani yang akses terhadap kredit sanggup untuk

menerima risiko tetapi potensial untuk meningkatkan keuntungan teknologi atau

dapat merencanakan untuk menanam tanaman yang mempunyai nilai ekonomi

tinggi walaupun cenderung kekeringan.

Status kepemilikan meliputi status lahan milik, sewa dan garap. Dummy

(D)=1 untuk lahan milik, dan D=0 untuk lainnya. Hasil penelitian menunjukkan

koefisien dugaan bertanda negatif untuk IA dan IE dan berpengaruh nyata untuk

kedua efisiensi. Hal ini menunjukkan bahwa petani pemilik lebih efisien dalam

mengelola usahataninya dan juga lebih mampu mengkombinasikan inputnya pada

tingkat biaya minimum jika terjadi perubahan harga dan mereka lebih mendekati

pada produksi frontiernya.

Dummy konservasi menunjukkan tanda yang negatif untuk IA dan IE

dan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini menunjukkan pengaruh sistem

penanaman yang positif terhadap efisiensi. Artinya petani yang menggunakan

sistem penanaman yang searah kontur dan teras bangku lebih efisien secara

teknis. Namun variabel ini tidak mempengaruhi petani untuk mengalokasikan

inputnya pada tingkat biaya minimal.

6.4. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sayuran Kubis

Seperti halnya kentang, ke dalam model kubis dimasukkan variabel luas

lahan, benih, pestisida, pupuk an organik, Urea, TSP/SP-36), ZA, KCl, dan NPK

(yang dihitung dengan menggunakan hara makro N, P, dan K), pupuk kandang

(organik) dan tenaga kerja. Selanjutnya dimasukkan pula variabel kemiringan,

musim tanam dan dummy lokasi yang diduga mempengaruhi variasi produksi

kubis. Karakteristik struktural dan manajerial yang mempengaruhi inefisensi

Page 189: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

153

usahatani kubis meliputi umur, pendidikan, pengalaman bertani, keanggotaan

dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses terhadap kredit (baik kredit

lembaga keuangan formal maupun penyedia jasa saprodi), sistem penanaman

searah lereng, searah kontur, dan teras bangku, serta status kepemilikan lahan

apakah lahan milik atau lahan sewa. Tabel 26. menyajikan hasil pendugaan

parameter MLE Fungsi Produksi Frontier Cobb Douglas.

Berdasarkan Tabel 26 menunjukkan hasil pendugaan bahwa nilai rasio

generalized-likelihood (LR) lebih besar dari nilai tabel artinya secara statistik

berpengaruh nyata pada taraf α = 5 persen yang diperoleh dari tabel distribusi X

Chi Square. Ini berarti Nilai LR test secara kuat menolak hipotesis bahwa tidak

ada efek inefisiensi. Pengaruh bersama dari usahatani individu secara sfesifik

diterangkan oleh nilai LR test yang juga menolak Ho. Hal ini mengindikasikan

bahwa fungsi ini dapat menerangkan keberadaan efisiensi dan inefisiensi teknis

petani di dalam proses produksi kubis, atau dengan kata lain aktivitas usahatani

kubis dipengaruhi oleh efisiensi teknik.

Table 26. Parameter Dugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier untuk Komoditas Kubis dengan Metode MLE di Jawa Barat, 2011

Koefisien standard-error t-ratio Konstanta 4.4473 1.1727 3.7925 LLahan 0.3532**** 0.1094 3.2292 Benih 0.3334**** 0.0980 3.4031 Pestisida 0.0271*** 0.0204 1.3275 PpkN 0.0093 0.0524 0.1766 PpkPK 0.0022 0.0104 0.2089 PpkKandang 0.2449**** 0.0729 3.3581 TKerja 0.0489 0.0726 0.6739 Kemiringan -0.0070**** 0.0023 -3.0669 DMT 0.0510 0.0745 0.6847 Dlokasi -0.0168 0.0820 -0.2045 Sigma squared 0.4601 0.2338 1.9682 Gamma 0.7534 0.1765 4.2691 LR-Test 17.05 Sumber: data primer diolah Keterangan: **** = nyata pada taraf α= 0.01; ** = nyata pada taraf α= 0.1; *** = nyata pada taraf α= 0.05; * = nyata pada taraf α= 0.02;

Page 190: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

154

Koefisien dugaan dari 2 =0.46 dan � = 0.75 dan keduanya signifikan

pada taraf α= 0.05. Angka ini menunjukkan bahwa 75 persen dari variasi hasil

diantara petani sampel disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan sisanya

sebesar 25 persen disebabkan oleh pengaruh eksternal seperti iklim, serangan

hama penyakit, dan kesalahan dalam pemodelan. Ini menunjukkan bahwa

pengaruh inefisiensi teknik merupakan faktor yang berpengaruh nyata di dalam

variabilitas output komoditas kubis.

Berdasarkan hasil pada Tabel 26 terlihat bahwa semua koefisien dugaan

mempunyai tanda sesuai dengan harapan. Tanda koefisien β semuanya positif,

kecuali untuk kemiringan lahan dan dummy lokasi. Beberapa variabel signifikan

yaitu lahan, penggunaan benih, penggunaan pestisida, dan pupuk kandang,

sedangkan pupuk N, P+K, dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata pada taraf

α= 0.1. Kemiringan lahan, berpengaruh nyata terhadap produksi batas (frontier).

Berbeda dengan kentang, dummy lokasi dan dummy musim tanam tidak berbeda

nyata pada taraf α= 0.1.

Lahan mempunyai nilai koefisien dugaan bertanda positif dan berpengaruh

nyata pada taraf α= 0.01. lahan juga mempunyai nilai elastisitas produksi yang

paling tinggi sebesar 0.35, artinya apabila lahan ditambah 1 persen maka produksi

kubis akan bertambah 0.35 persen. Angka ini menunjukkan bahwa produksi kubis

sangat responsif terhadap luas lahan, atau dengan kata lain lahan merupakan

faktor dominan dari produksi kubis di Jawa Barat. Hasil ini konsisten dengan

adanya kelangkaan lahan. Variabel benih mempunyai tanda positif dan nyata pada

taraf α= 0.05. Benih mempunyai nilai elastisitas sebesar 0.33 kedua setelah

lahan. Artinya apabila benih ditambah 1 persen maka produksi akan meningkat

0.33 persen. Angka ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah benih yang

digunakan produksi akan meningkat.

Pupuk kandang yang digunakan mempunyai tanda positif dan berpengaruh

nyata pada taraf α= 0.01 serta mempunyai nilai elastisitas ketiga setelah lahan dan

benih, dengan elstisitas produksi sebesar 0.25. Pestisida mempunyai pengaruh

yang relatif kecil terhadap produksi dan nyata pada taraf α= 0.1, namun peubah ini

mempunyai tanda positif. Hal ini berarti penambahan pestisida akan

meningkatkan produksi kubis. Tenaga kerja, pupuk anorganik (N,P,K)

Page 191: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

155

mempunyai pengaruh yang sangat kecil terhadap produksi kubis, artinya produksi

relatif kurang responsif terhadap ketiga variabel ini.

Tidak nyatanya variabel pupuk anorganik dapat dijelaskan bahwa kubis

kebanyakan ditanam pada lahan yang berlereng, yang dapat menyebabkan

pencucian nutrisi yang lebih cepat bila kena hujan, disamping N + P mudah larut

dalam air. Sebaliknya pupuk kandang menunjukkan pengaruh yang signifikan,

karena pupuk kandang berfungsi untuk mengikat air tanah yang lebih besar

sehingga pupuk yang terlarut masih ada. Pupuk kandang dapat meningkatkan

agregasi tanah, pori-pori tanah dan air tanah.

Kemiringan lahan dan dummy musim tanam mempunyai tanda negatif dan

berpengaruh nyata pada taraf taraf α= 0.01. Ini menunjukkan bahwa semakin

tinggi kemiringan lahan, produksi semakin kecil. Skala usaha menunjukkan

constant return to scale, yang ditunjukkan oleh nilai elstisitas sebesar 1.01.

6.5. Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Kubis

Efisiensi teknik dihitung dengan menggunakan persamaan TE= exp(-ui).

Dalam penelitian ini efisiensi teknik diperoleh dari dugaan persamaan (56), dan

dievaluasi menggunakan parameter estimasi seperti yang telah yang disajikan

pada Tabel 27 dari fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglas. Efisiensi

teknis dihitung untuk masing-masing usahatani, selanjutnya analisis diteruskan

dengan menganalisis efisiensi teknis berdasarkan kemiringan lahan dan sistem

penanaman (searah lereng, serah kontur dan teras bangku).

Sebaran efisiensi teknis dapat dilihat pada Tabel 27. dan sebaran efisiensi

teknis per individu petani kubis sampel dapat dilihat pada Lampiran 12.

Berdasarkan nilai sebaran pada Tabel 27, terlihat bahwa efisiensi teknik (TE)

berkisar antara 28 – 99 persen, dengan rata-rata efisiensi teknik sebesar 73 persen.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, produksi kentang masih dapat

ditingkatkan sebesar 27 persen melalui penggunaan teknologi terbaik. Secara

rata-rata 27 persen dari produksi hilang karena inefisiensi.

Page 192: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

156

Tabel 27. Distribusi Frekuensi Efisiensi Teknik (TE) Petani Kubis di Jawa Barat, 2011

Indeks Efisiesnsi (%) Jumlah Petani Persen Petani 0 – 10 0 0 11 – 20 0 0 21 – 30 2 1.2 31 – 40 6 3.6 41 -50 11 6.6 51 – 60 10 6.0 61 – 70 19 11.5 71 – 80 47 28.3 81 – 90 71 42.8 91 – 100 0 0

Jumlah 166 100 Minimum : 28 maksimum : 91 Rataan : 73 Sumber: data primer diolah

Hasil penelitian terdahulu (Kumbakar, 2001; Bakhsh, 2006) menunjukkan

bahwa nilai indeks efisiensi hasil analisis dikategorikan cukup efisien jika lebih

besar dari 0.70. Berdasarkan hasil perhitungan TE terlihat bahwa sebanyak 71

persen petani kubis mencapai efisiensi teknik pada lebih besar dari 70 persen, dan

sebanyak 19 persen masih berada pada kondisi tidak efisien atau masih

mengalami inefisiensi teknis dalam usahataninya.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan rata-rata efisiensi teknis untuk

kubis adalah 73 persen, dan petani yang mencapai efisiensi teknis lebih besar dari

80 persen ada sekitar 43 persen. Hal ini menunjukkan masih ada ruang untuk

meningkatkan efisiensi teknis melalui peningkatan manajemen usahatani.

6.6. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kubis

Produksi potensial dihitung untuk masing-masing usahatani dan hasilnya

disajikan pada Tabel 28. Produksi potensial (frontier) dihitung dengan

menggunakan rumus

Produksi potensial = 100/TE * produksi aktual

Kehilangan produksi yang disebabkan oleh inefisensi teknik dihitung sebagai

selisih antara rata-rata produksi aktual dengan produksi frontiernya jika petani

Page 193: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

157

mencapai 100 persen efisien. Nilai kehilangan dihitung dengan mengalikan

jumlah produksi yang hilang dengan harga kubis per kg sebesar Rp 1170. Dari

Tabel 28 terlihat bahwa semakin kecil efisiensi teknik petani semakin besar

kehilangan produksinya.

Tabel 28. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kubis pada Berbagai Tingkat Efisiensi di Jawa Barat, 2011

Sebaran Efisiensi

(%)

Jumlah Usaha-

tani

Rata-rata

Efisiensi (%)

Produksi Aktual (Kg/ha)

Produksi Potensial (Frontier) (Kg/ha)

Kehilangan

Produksi (kg/ha)

Persentase (%)

Nilai (juta Rp)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 0-10 0 - - - -

11.-20 0 - - - - 21-30 2 28.5 9 881 34 624 24 743 250.4 28.95 31-40 6 37.9 10 675 28 199 17 523 164.1 20.50 41-50 11 46.3 11 844 25 587 13 744 116.0 16.08 51-60 11 56.0 13 139 23 464 10 325 78.6 12.08 61-70 19 65.7 16 506 25 114 8 608 52.2 10.07 71-80 51 76.1 21 629 28 422 6 793 31.4 7.95 81-90 64 84.8 31 720 37 409 5 689 17.9 6.66 91-100 2 91.0 33 538 36 857 3 319 9.9 3.89 Jumlah 166 Sumber: data primer diolah. Kolom (5) = kolom (4)/kolom (3);

kolom 6 = kolom (5) – kolom (4)

Tabel 28 baris 3 memperlihatkan bahwa bagi petani yang mencapai

efisiensi teknik hanya 28.3 persen (kolom 3) dengan produksi aktual sebesar 9.8

ton /ha (kolom 4), petani tersebut akan mencapai produksi tertinggi sebesar 34.6

ton/ha apabila mengelola usahataninya pada kondisi 100 persen efisien, maka

petani tersebut akan kehilangan produksi sebesar 24.7 ton/ha (kolom 6). Dengan

demikian untuk mencapai efisiensi penuh (100 persen), petani dengan tingkat

efisiensi yang paling kecil (28.3 persen) dapat meningkatkan produksinya sebesar

250.4 persen dan sebaliknya petani yang efisiensinya tinggi (91.0 persen) untuk

mencapai efisiensi penuh 100 persen dapat meningkatkan produksi sebesar 9.9

persen. Bila dikaitkan dengan nilai ekonomi, maka petani yang mencapai

efisiensi terendah akan kehilangan penerimaan sebesar 28.95 juta rupiah per ha.

Salah satu penyebab kehilangan produksi berkaitan dengan keterampilan teknis

petani tersebut seperti ketepatan dalam waktu tanam, jumlah pupuk, benih, dan

Page 194: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

158

ketepatan penggunaan aplikasi pestisida. Hal lain yang menjadi penyebab adalah

tingkat kemiringan lahan dan sistem penanaman. Perhitungan produksi potensial

juga dihitung oleh Kibaara (2005) yang menyimpulkan bahwa peningkatan ke

arah produksi potensial dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi

6.7. Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) Usahatani Kubis

Efisiensi alokatif dan ekonomi diukur dengan menggunakan dual cost

frontier secara analitis diturunkan dari fungsi stochastic frontier. Penurunan

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

exp 3,8758 0,9813 ln 0,3466 ln 0,3272 ln

0,0266 ln 0,0091 ln 0,0021 ln 0,2483 ln

0,0480 ln

Distribusi frekuensi dan ringkasan deskripsi statistik dari alokatif

disajikan pada Tabel 29 dan Gambar 11 yang menyajikan histogram dari TE,

AE dan EE usahatani kubis.

Tabel 29. Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011

Tingkat Efisiensi (%)

Efisiensi Alokatif (AE) Efisiensi Ekonomi (EE)

Jumlah petani (orang)

Persentase (%)

Jumlah petani(orang)

Persentase (%)

0-10 0 - 0 - 11.-20 0 - 1 0.6 21-30 1 0.6 7 4.2 31-40 4 2.4 22 13.3 41-50 9 5.4 27 16.3 51-60 13 7.8 46 27.7 61-70 22 13.3 37 22.3 71-80 34 20.5 24 14.5 81-90 44 26.5 2 1.2 91-100 39 23.5 0 -

166 100.0 166 100.0 Maksimum 99 83 Minimum 23 18 Rata-rata 77 56 Sumber : Data primer, diolah

Page 195: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

Efi

ekonomi (

persen d

kubis di J

dasar untu

telah diba

77 persen

alokatif m

dengan ki

dalam sam

merealisas

sedangkan

78.3 pers

ditingkatk

dibanding

Gambar 1

Sumber : D

Ef

efisensi e

gambaran

melalui em

0102030405060708090100

FREK

UEN

SI

fisiensi alok

(EE) berkis

dan 56 pers

Jawa Barat

uk meningk

ahas sebelum

n dengan ki

memperlihatk

isaran 18 -

mpel dapat

sikannya de

n pada peta

en (1-18/8

kan, dan

gkan dengan

14. Histogr2011

Data primer

fisiensi tekn

ekonomi.

tentang k

mpat cara :

00000000000

0 ‐ 10  11 ‐

katif (AE)

sar antara 1

sen. Angka

tingkat ef

katkan pend

mnya, rata-r

isaran 23-9

kan bahwa

83 persen.

mencapai

engan peng

ani yang tid

3). Berdasa

inefisiensi

n inefisiensi

ram dari TE

r, diolah

nik dan alok

Ukuran ef

keberhasilan

(1) usahatan

‐ 2021 ‐ 30 31

berkisar a

8 – 83 pers

a-angka ini

fisiensi mas

dapatan dan

rata efisien

99 persen.

efisiensi ek

Gambaran

efisiensi ek

ghematan b

ak efisien m

arkan temu

alokatif

teknik.

E, AE dan E

katif menye

fisiensi tek

n relatif sua

ni secara te

1 ‐ 40 41 ‐ 50 5

INDEKS EFIS

antara 23 –

sen. Rata-r

i menunjuk

sih rendah,

n kesejahte

nsi alokatif u

Efek kom

konomi mem

n ini menun

konomi mak

biaya sebes

mereka dapa

uan di atas

merupaka

EE Usahatan

ediakan sebu

knik dan a

atu usahata

knis dan alo

51 ‐ 60 61 ‐ 70

SIENSI (%)

– 99 perse

rata AE dan

kkan bahwa

terutama E

eraan petani

untuk petan

mbinasi efisi

mpunyai rat

njukkan bila

ksimum ma

sar 32.5 p

at menghem

s, efisiensi

an masalah

ni Kubis di

uah ukuran

alokatif dap

ani. Hal i

okatif efisie

0 71 ‐ 80 81 ‐ 9

en dan efis

n EE sebes

a pada usah

EE. Ini me

i kubis. Se

ni sampel a

iensi teknik

ta-rata 56 p

a petani rata

aka petani

persen (1-5

mat biaya se

ekonomi

h yang s

Jawa Barat,

untuk meng

pat membe

ini dapat d

en, (2) usah

90 91 ‐100

159

siensi

sar 77

hatani

enjadi

eperti

adalah

k dan

persen

a-rata

dapat

56/83)

ebesar

dapat

serius

,

gukur

erikan

dilihat

hatani

TE

AE

EE

Page 196: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

160

secara teknis efisien tetapi secara alokatif tidak efisien, (3) usahatani secara teknis

tidak efisien tetapi secara alokatif efisien, dan (4) usahatani secara teknis dan

alokatif .

6.8. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Usahatani Kubis

Seperti halnya kentang ke dalam model inefisiensi kubis dimasukkan 8

variabel penjelas. Tanda dan besaran koefisien hasil estimasi di dalam model

efek inefisiensi umur, pendidikan, keanggotaan dalam kelompok, frekuensi

penyuluhan, akses terhadap kredit, dan konservasi yang digunakan bertanda

negatif sesuai dengan yang diharapkan, sedangkan pengalaman dan status

kepemilikan bertanda positif. Koefisien estimasi yang bertanda positif

menunjukkan efek yang negatif terhadap efisiensi teknis. Penambahan variabel

tersebut akan menurunkan efisiensi teknik usahatani kubis. Sebaliknya koefisien

estimasi yang bertanda negatif menunjukkan efek yang positif terhadap efisiensi

teknis. Penambahan variabel tersebut akan meningkatkan efisiensi teknik

usahatani kubis. Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi

kubis telah disajikan pada Tabel 26, dan hasil pendugaan faktor yang

mempengaruhi inefisiensi teknis disajikan pada Tabel 29.

Tabel 30. Estimasi Parameter Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stokastik Frontier Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011

Coefficient standard-error t-ratio Konstanta (δ

0)

2.3321 1.5473 1.5072 Umur (δ

1)

-0.0079 0.0114 -0.6891 Pendidikan (δ

2) -0.0093 0.0333 -0.2788

Pengalaman(δ3) 0.0106 0.0134 0.7913

Anggota kelompok (D) (δ4) -0.8950* 0.8914 -1.0040

Frekuensi penyuluhan (δ5) -0.1761* 0.1608 -1.0950

Akses Kredit (D) (δ6) -0.6427* 0.6746 -0.9527

Status Kepemilikan (D) (δ7) 0.1036 0.2483 0.4171

Konservasi (D) (δ8) -0.4137* 0.4280 -0.9666

Sumber: data primer diolah Keterangan: * = nyata pada taraf α >= 0.1;

Berdasarkan kriteria statistik, terlihat bahwa keanggotaan dalam

kelompok, frekuensi penyuluhan, akses terhadap kredit, dan sistem penanaman

Page 197: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

161

berpengaruh nyata pada taraf α = 0.2 persen. Hal ini menunjukkan semua

variabel tersebut merupakan faktor penentu ketidakefisienan dalam berusahatani

sayuran kubis. Sebaliknya variabel pengalaman berusahatani tidak berpengaruh

nyata terhadap efek inefisiensi.

Umur KK rumah tangga petani dan pendidikan formal KK rumah tangga

petani mempunyai tanda negatif terhadap inefisiensi teknis tetapi tidak

berpengaruh nyata. Artinya semakin tua umur petani semakin efisien. Hasil ini

tidak sesuai dengan yang dihipotesakan. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian

Battesse and Coelli 1995; Fauziyah 2010; Saptana 2011; Bakhsh and Hassan

2005. Namun hasil ini tidak sesuai dengan hasil temuan (Msuya et al 2008;

Amos 2007; Ahmad et al 2002; Kibaara 2005; Tchale and Sauer 2007; Liu dan

Zhuan (2000) dan Basnayake and Gunaratne 2002; Kalirajan and Flin 1983;

Siregar dan Sumaryanto 2003; Sumaryanto 2003;

Hal ini terjadi karena di daerah penelitian petani kubis berada pada umur

produktif. Di daerah penelitian juga ditemukan petani yang berusia muda mulai

terjun dalam pengelolaan usahatani kubis, mereka masih kurang berpengalaman

dalam hal keterampilan teknis yang dimilikinya sehingga inefisiensi masih

tinggi. Hasil ini tidak sesuai dengan pengujian yang telah dilakukan oleh

Battesee dan Coelli (1995) yang menyatakan bahwa petani tua kurang efisien

dibandingkan dengan petani yang masih muda.

Thirtle and Holding (2003), Herdt and Mandact (1981), Parikh (1995)

menemukan bahwa petani tua kurang mengadopsi teknologi Hubungan positif

anatar umur dan efisiensi teknik ditemukan di UK (O’Neil 2001), Liu dan Zhuan

(2000) menyatakan efisiensi teknis meningkat sebelum petani mencapai umur

40 tahun. Petani menjadi lebih trampil sejalan dengan bertambahnya umur,

namun learning by doing menurun sampai petani mencapai umur 40 an.

Hasil penelitian menunjukkan nilai koefisien variabel pendidikan terhadap

inefisiensi teknis bertanda negatif namun tidak berpengaruh nyata. Artinya

semakin tinggi pendidikan maka petani dapat menurunkan inefisensi teknisnya

dalam mengelola usahataninya atau dengan kata lain lebih efisien. Hasil ini sesuai

dengan harapan. Penemuan ini konsisten dengan hasil penelitian Kalirajan and

Flin 2003; Kalirajan 2004; Batesse and Coelli 2005; Villano and Fleming 2005;

Page 198: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

162

Fauziyah 2010, Awudu et al (2001), Msuya 2008, Bakhsh and Hassan 2005 dan

Solis et al 2009. Namun tidak sesuai dengan hasil temuan Saptana 2011; Dev dan

Hossain 1995. Awudu et al (2001) yang menyatakan bahwa pendidikan

meningkatkan efisiensi teknis, sementara itu Solis et al (2009) menyatakan bahwa

pendidikan dan penyuluhan berpengaruh positif terhadap efisiensi teknik. Hasil

ini mendukung pernyataan bahwa peningkatan human capital di rumahtangga

perdesaan dapat meningkatkan pengelolaan usahatani dan akhirnya dapat

mencapai produktivitas yang tinggi.

Investasi untuk pendidikan dapat dilihat sebagai sebuah strategi untuk

meningkatkan produktivitas pertanian melalui hubungan komplementer dengan

penggunaan pupuk, pestisida, irigasi, varietas unggul, dan penelitian, dan

penyuluhan (Lockehed et al, 1980 dalam Van Passel (2008). Petani dengan

pendidikan tinggi dapat mencapai efisiensi teknik yang tinggi pula. Selanjutnya

pendidikan berpengaruh positif terhadap kemampuan (skill) petani sehingga dapat

mengelola usahataninya lebih efisien (Kalirajan, 1990, Batesse dan Coelli (1993),

Parikh et al (1995). Pendidikan juga berpengaruh positif terhadap lingkungan

dalam pertanian modern dibandingkan dengan pertanian konvensional (Loched,

1980)

Pengalaman berusahatani. Hasil penelitian menunjukkan variabel

pengalaman bertanda positif namun tidak berpengaruh nyata. Tanda ini tidak

sesuai dengan yang diharapkan. Temuan ini konsisten dengan penemuan Obare

(2010), Abedullah (2006), dan Udoh (2005). Pengalaman tidak berpengaruh

nyata artinya pengalaman tidak cukup bagi petani untuk mencapai efisensi

tertinggi, jika petani tidak dapat menyusun kembali inputnya untuk mencapai

output maksimum pada teknologi sekarang. Wilson (2001) menyatakan bahwa

petani gandum yang berpengalaman akan lebih efisien. Stevanou dan Saxena

(1988) menemukan bahwa pendidikan dan pengalaman memainkan perana

penting terhadap efisiensi.

Keanggotaan dalam kelompok dan Frekuensi penyuluhan. Hasil

penelitian menunjukkan variabel keanggotaan dalam kelompok dan frekuensi

penyuluhan bertanda negatif dan berpengaruh nyata, artinya petani yang ikut

dalam anggota kelompok tani dan menerima kunjungan penyuluhan lebih banyak

Page 199: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

163

dapat mengelola usahataninya lebih efisien. Hal ini sesuai dengan harapan.

Kalirajan (1991,1984) dan Kalirajan (1991) menggunakan data panel untuk

periode 1983-1986 pada 30 petani padi di India menemukan pengaruh

keanggotaan dan kunjungan penyuluh berpengaruh positif terhadap efisiensi

teknik pada petani padi di India dan Philipina dan menjadi faktor dominan dari

efisiensi teknik.

Akses terhadap Kredit. Konsisten dengan penemuan Kalirajan (1981)

dan Nwani (2011), akses terhadap kredit meningkatkan efisiensi teknis, ini terlihat

dari koefisiennya yang negatif. Variable ini juga berpengaruh nyata pada tingkat

α >= 0.1. Ketersediaan kredit akan menggeser keterbatasan modal ke kanan dan

meningkatkan kemampuan petani untuk menanggung risiko atau dapat menanam

tanaman yang benilai ekonomi tinggi meskipun cenderung kekeringan (Nwani,

2011). Karenanya peningkatan efisiensi produksi komoditas kubis dapat

mengikutkan kebijakan program untuk meningkatkan petani agar akses terhadap

fasilitas kredit. Di daerah penelitian, banyak petani menanam kubis sebelum

tanaman kentang, hal ini akan mengakibatkan pada saat tanam petani kubis

kekurangan modal untuk membeli input dan membayar tenaga kerja. Dengan

demikian bila petani akses terhadap kredit baik kredit lembaga formal maupun

kelembagaan kios sarana produksi akan meningkatkan efisiensi teknisnya

sehubungan dengan manajemen teknis yang lebih baik. Hal yang sebaliknya

terjadi bila kubis ditanam sesudah kentang maka petani kurang membutuhkan

biaya untuk membeli input, karena keuntungan yang besar dari kentang dapat

disisihkan untuk menanam kubis.

Status Kepemilikan memainkan peran penting dalam inefsiensi teknik

suatu usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status kepemilikan

bertanda positif namun tidak signifikan. Ini menunjukkan bahwa petani dengan

status lahan milik lebih efisien dibandingkan dengan petani penyewa atau

penggarap. Tidak signifikannya variabel ini menunjukkan bahwa petani pemilik

atau penyewa tidak mempengaruhi efisiensi dalam pengelolaan usahatani kubis.

Sistem Penanaman Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem

penanaman bertanda negatif dan berpengaruh nyata. Hal ini mengindikasikan

bahwa petani yang melakukan konservasi teras bangku lebih efisien dibandingkan

Page 200: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

164

dengan petani yang melakukan tanpa konservasi (penanaman searah lereng).

Seperti diketahui di daerah penelitian kubis ditanam pada lahan berlereng. Hal ini

dapat menimbulkan degradasi lingkungan dilihat dari konservasi yang dilakukan

maupun erosi yang ditimbulkan. Konservasi yang dilakukan serah kontur dapat

menekan laju erosi dibandingkan dengan yang searah lereng sehingga produksi

relatif lebih tinggi. Hasil ini juga sesuai dengan estimasi fungsi produksi yang

juga menghasilkan variabel kemiringan yang negatif dan signifikan. Tabel 30.

meringkas temuan faktor yang mempengaruhi produksi kentang dan kubis serta

faktor yang mempengaruhi efisiensi.

Tabel 31. Ringkasan faktor-faktor yang mempengaruhi Produksi dan Inefisiensi Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Peubah Kentang Kubis Tanda Signifikansi Tanda Signifikansi

Konstanta + √ + √ Luas lahan (X1) + √ + √ Benih (X2) + √ + √ Pestisida (X3) + √ + √ Pupuk K (X4) + x + X Pupuk N+P (X5) + x + X Pupuk Kandang (X6) + √ + √ Tenaga Kerja (X7) + x + Kemiringan (X8) - √ - √ Dummy Musim Tanam(X9) - √ + X Dummy Lokasi (X10) + √ - X Umur + √ - X Pendidikan - √ - X Pengalaman - x + X Keanggotaan - √ - √ FrekPenyuluhan - √ - √ Akses kredit + √ - √ Status lahan + √ + X Sistem penanaman + √ - √ Sumber : data primer, diolah

6.9. Sumber Inefisiensi Teknik, Alokatif dan Ekonomis Usahatani Kubis

Tabel 32 menyajikan faktor yang menjadi sumber inefisiensi

teknik,alokatif dan ekonomi.

Page 201: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

165

Tabel 32. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Alokatif (AI) dan Inefisiensi Ekonomi (EI) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011

IA IE Koefisien Sig Koefisien Sig Konstanta -0.016 0.873 0.604 0.000 Umur 0.002 0.152 0.000 0.797 Pendidikan -0.002 0.697 -0.003 0.360 Pengalaman -0.001 0.187 0.000 0.855 DKeanggKel 0.053*** 0.055 -0.069**** 0.005 FrekPenyul 0.015*** 0.028 -0.007 0.271 DaksKredit 0.017 0.522 -0.059** 0.012 DKepemilikan -0.023 0.373 -0.005 0.821 DKonservasi 0.056**** 0.002 -0.005 0.741 Sumber: data primer diolah Keterangan: **** = nyata pada taraf α= 0.01; *** = nyata pada taraf α= 0.05;

** = nyata pada taraf α= 0.1;

Koefisien untuk umur adalah positif untuk kedua jenis efisiensi, tetapi

tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa petani berumur muda lebih efisien

dibandingkan dengan petani berumur tua. Demikian halnya variable umur

mempunyai dampak positif pada AI dan EI namun tidak signifikan pada EI. Hal

ini menunjukkan bahwa petani muda lebih lebih mampu mengalokasikan inputnya

pada tingkat biaya minimum.

Koefisien untuk pendidikan bertanda negatif IA dan IE sesuai dengan

yang diharapkan dan berpengaruh nyata. Artinya bahwa petani dengan

pendidikan tinggi secara teknis dan alokatif lebih efisien dibandingkan dengan

petani yang pendidikannya rendah. Petani dengan penddikan tinggi dapat

merespon lebih cepat dalam mengkombinasikan penggunaan input apabila terjadi

perubahan harga, dan merspon lebih cepat menggunakan teknologi baru dan

memproduksi mendekati output frontiernya.

Pengalaman mempunyai koefisien dugaan bertanda negatif untuk AI,

namun variabel ini tidak signifikan, artinya bahwa pengalaman tidak cukup

signifikan bagi petani untuk mencapai efisiensi tertinggi, apabila petani tidak

dapat menyusun kembali inputnya untuk mencapai output maksimum pada

tingkat teknologi sekarang.

Koefisien estimasi keanggotaan dalam kelompok dan frekuensi

penyuluhan untuk inefisiensi alokatif adalah positif dan berpengaruh nyata,

artinya petani yang menjadi anggota kelompok tani mengelola usahataninya

Page 202: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

166

kurang efisien. Untuk efisiensi ekonomi keduanya bertanda negatif artinya petani

kubis dapat meningkatkan efisiensi ekonomi untuk mendapat keuntungan

maksimum sejalan dengan peningkatan keanggotaan dan frekuensi penyuluhan.

Namun frekuensi penyuluhan tidak signifikan untuk EI. Kinerja yang lebih baik

antar petani ditunjukkan oleh aplikasi yang baik dari teknologi seperti

pemupukan, aplikasi pestisida, dan penggunaan benih bermutu. Petani yang

menjadi anggota kelompok lebih cepat memperoleh informasi pasar dan harga

output yang terjadi sehingga mereka lebih responsif dalam mengalokasikan

inputnya pada tingkat biaya minimum.

Dummy akses terhadap kredit bertanda negatif dan signifikan AI namun

tidak signifikan untuk EI. Hal ini menunjukkan bahwa petani yang mempunyai

akses ke lembaga keuangan lebih efisien dalam mengelola usahataninya. Fakta di

lapangan menunjukkan bahwa sedikit petani yang mempunyai akses ke lembaga

keuangan formal seperti bank. Dalam mengelola usahataninya petani yang

kekurangan modal lebih senang meminjam sarana produksi ke para tengkulak

yang akan dibayar setelah panen, karena prosedurnya mudah dan tidak perlu

agunan. Kredit usahatani ditujukan untuk meningkatkan produksi. Petani

membutuhkan biaya setelah periode panen untuk penanaman selanjutnya karena

keterbatasan modal yang dimiliki. Ketersediaan dan kemudahan akses terhadap

kredit secara langsung akan meningkatkan penggunaan input dan akhirnya

meningkatkan output sehingga pendapatan pun meningkat.

Status kepemilikan meliputi status lahan milik, sewa dan garap. Hasil

penelitian menunjukkan koefisien dugaan bertanda negatif untuk IA dan IE,

namun tidak signifikan untuk kedua efisiensi. Tanda negatif untuk IA

menujukkan bahwa petani pemilik lebih dapat meminimalkan biaya untuk

mencapai output pada teknologi sekarang. Dengan kata lain pemilik lebih mampu

mengkombinasikan inputnya pada tingkat biaya minimum jika terjadi perubahan

harga dan mereka lebih mendekati pada produksi frontiernya.

Dummy sistem penanaman menunjukkan tanda yang negatif untuk TI

dan EI sesuai dengan yang diharapkan dan positif dan signifikan untuk AI. Hal

ini berimplikasi bahwa petani yang menggunakan konservasi yang searah kontur

atau teras bangku dapat menurunkan inefisiensi teknisnya untuk mencapai

Page 203: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

167

produksi frontiernya. Tanda positif untuk AI menunjukkan bahwa petani dengan

sistem penanaman searah kontur atau teras bangku dapat mencapai biaya

minimumnya.

6.10. Pengaruh Perbedaan Kemiringan Lahan terhadap Sebaran Efisiensi Teknik, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Kentang Berdasarkan analisis sebelumnya, kentang banyak ditanam di lahan

berlereng dengan kemiringan yang tinggi. Dari hasil pendugaan fungsi produksi

sebelumnya terlihat bahwa kemiringan lahan mempunyai pengaruh yang nyata

terhadap produksi kentang di dataran tinggi. Dengan demikian analisis

dilanjutkan untuk melihat perbedaan efisiensi yang disebabkan oleh perbedaan

kemiringan lahan. Tabel 33 menggambarkan hubungan antara kemiringan lahan

(kelerengan) dengan efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi. Tabel 33

memperlihatkan semakin tinggi kemiringan lahan tingkat efisiensi teknis, alokatif

maupun ekonomi secara umum semakin menurun. Hal

Tabel 33. Hubungan Kemiringan Lahan dengan Efisiensi teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) pada Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011

Kemiringan (%) TE(%) AE(%) EE(%) 0-9 85 58 48

10-19 84 48 37 20-29 84 42 35 30-39 83 41 32 40-49 82 36 28 >50 72 31 24

Rataan 84 47 38 Sumber : data primer, diolah

ini dapat diterangkan bahwa dengan kemiringan lahan yang tinggi dan curam,

petani lebih sulit mengelola usahataninya. Lahan dengan kelerengan yang tinggi

rawan dengan erosi sehingga kualitas lahan semakin menurun. Penurunan

kualitas lahan ini diantisipasi petani dengan menambah jumlah pupuk anorganik,

namun sebagian petani terutama bila yang mengelola adalah buruh tani,

penggunaan sarana produksi seadanya karena terkait dengan risiko. Hal ini akan

berdampak pada efisiensi alokatif dan ekonomi.

Gambar 12. menunjukkan hubungan antara kemiringan dengan tingkat

efisiensi. Semakin tinggi kemiringan lahan, kecenderungan yang terjadi adalah

Page 204: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

168

semakin menurunnya tingkan efisiensi, baik efisiensi teknis, alokatif, maupun

ekonomi.

Gambar 15. Hubungan Kemiringan Lahan dengan Efisiensi teknik (TE), Efisiensi

Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) pada Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011

Sumber : data primer, diolah

Selanjutnya dari Tabel 34. dapat dilihat bahwa sistem penanaman teras

bangku akan meningkatkan efisiensi teknik diikuti oleh penanaman searah kontur

dan searah lereng. Hal ini dapat dimengerti karena dengan konservasi teras

bangku produktivitas semakin baik. Namun sebaliknya semakin baik konservasi,

efisiensi alokatif dan ekonomi semakin menurun, hal ini diduga penggunaan input

pada lahan berlereng dikurangi oleh petani karena terkait dengan risiko, walaupun

pupuk kimia ditambah. Dengan demikian diduga semakin tinggi kelerengan

biaya yang dikeluarkan lebih rendah dan ini mendekati biaya minimalnya. Hasil

ini sesuai dengan hasil temuan Solis (2006) yang menyatakan bahwa petani

dengan investasi yang tinggi dalam konservasi lahan mempunyai rata-rata efisensi

lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa konservasi.

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

0 1 2 3 4 5 6 7

Besaran Efisiensi

KemiringanKet :  1 = 0‐9     2 = 10‐19     3 = 20‐29     4 = 30‐39     5 = 40‐49     6 = > 50

Hubungan Kemiringan dengan TE, AE, dan EE

TE

AE

EE

Page 205: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

169

Tabel 34. Pengaruh Sistem Konservasi terhadap Efisiensi Teknik, Alokatif dan Ekonomi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011

Sistem Penanaman TE (%) AE(%) EE(%) searah lereng 81 51 39 searah kontur 85 46 38 teras bangku 85 46 39

Sumber : data primer, diolah

Dengan demikian bagi petani yang belum efisien secara teknis masih ada

peluang untuk dioptimalkan penggunaan faktor inputnya agar usahataninya lebih

efisien sampai mencapai produksi maksimum seperti yang dapat dicapai petani

paling efisien di daerah penelitian. Secara rata-rata di daerah penelitian petani

berpeluang meningkatkan produksinya sebesar 11.5 persen ( 1- 0.84/0.95) dengan

cara menerapkan teknik budidaya petani yang paling efisien.

6.11. Pengaruh Kemiringan Lahan dan Sistim Konservasi terhadap Efisiensi Teknik, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Kubis Berdasarkan analisis sebelumnya, kubis banyak ditanam di lahan berlereng

dengan kemiringan yang tinggi. Dari hasil pendugaan fungsi produksi

sebelumnya terlihat bahwa kemiringan lahan mempunyai pengaruh yang nyata

terhadap produksi kentang di dataran tinggi. Tabel 35. menggambarkan hubungan

antara kemiringan lahan (kelerengan) dengan efisiensi teknik, alokatif dan

ekonomi. Tabel 35 memperlihatkan semakin tinggi kemiringan lahan tingkat

efisiensi teknis, alokatif maupun ekonomi secara umum semakin menurun. Hal

ini dapat diterangkan bahwa dengan kemiringan lahan yang tinggi dan curam,

ditambah dengan curah hujan tinggi maka erosi akan semakin besar. Hasil ini

sesuai dengan hasil temuan Solis (2006) yang menyatakan bahwa petani dengan

investasi yang tinggi dalam konservasi lahan mempunyai rata-rata efisensi lebih

tinggi dibandingkan dengan tanpa konservasi.

Selanjutnya dari Tabel 36 dapat dilihat bahwa sistem penanaman teras

bangku akan meningkatkan efisiensi teknik diikuti oleh penanaman serah kontur

dan searah lereng. Hal ini dapat dimengerti karena dengan konservasi teras

bangku produktivitas semakin baik. Namun sebaliknya semakin baik konservasi,

efisiensi alokatif dan ekonomi semakin menurun, hal ini diduga penggunaan input

pada lahan berlereng dikurangi oleh petani karena terkait dengan risiko.

Page 206: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

170

Tabel 35. Hubungan Kemiringan Lahan dengan Efisiensi teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) pada Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011

kemiringan (%) TE (%) AE(%) EE(%) 0 71 80 55 5 76 85 64 10 67 78 51 15 72 75 53 20 73 78 56 25 79 70 56 30 74 77 56 35 80 72 58 40 81 84 67 45 80 74 59

>50 70 58 40 Sumber : data primer, diolah

Dengan demikian diduga semakin tinggi kelerengan biaya yang

dikeluarkan lebih rendah dan ini mendekati biaya minimalnya.

Tabel 36. Pengaruh Sistem Konservasi terhadap Efisiensi Teknik, Alokatif dan Ekonomi Usahatani Kubis Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011

Sistem Konservasi TE AE EE searah lereng 0.72 0.81 0.57 searah kontur 0.72 0.76 0.54 teras bangku 0.79 0.72 0.57 Sumber : data primer, diolah

Hasil ini konsisten dengan penemuan Solis et al., 2006 yang menemukan

bahwa petani yang mengkonservasi lahannya lebih efisien dibandingkan dengan

yang tidak mengkonservasi. Wadud (1999) menemukan bahwa degradasi lahan

akan menurunkan efisiensi teknik. Selanjutnya

Page 207: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

VII. PENGUKURAN NILAI KEBERLANJUTAN USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI DI JAWA BARAT

Dalam rangka menilai keberlanjutan usahatani, sebuah pendekatan perlu

dilakukan sebagai petunjuk untuk pengambil keputusan. Pengembangan indikator

keberlanjutan dapat dipandang sebagai sebuah cara yang efektif untuk

mengoperasionalkan pertanian berkelanjutan (Rigby et al, 2001, van Calker et al

2006, van Passel 2009). Perusahaan berinvestasi untuk meningkatkan kinerja

usahatani. Kinerja ini memerlukan penilaian yang akurat dari efisiensi usahatani

dan mengidentifikasi sumber inefisiensi dalam merumuskan kebijakan untuk

meminimalkan inefisiensi (Sherlund et al, 2002). Karenanya penting untuk

mengukur keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi melalui pendekatan

“sustainable value” dan return to cost (sustainability efficiency). Untuk tujuan

itu, analisis dilanjutkan dengan menghubungkan antara produktivitas, eco-

efficiency, efisiensi teknik, dan efisiensi keberlanjutan. Selanjutnya pendekatan

dilakukan melalui model Stochastic Frontier dengan metode Cobb Douglas

Frontier.

Terdapat empat faktor penggerak dalam pembangunan pertanian ( dalam hal

ini usahatani kentang dan kubis) yaitu:

1. Sumberdaya alam dan lingkungan (lahan, air, ekologi) terkait dengan

kemiringan lahan dan tingkat erosi

2. Sumberdaya manusia (fisik dan kreativitas)

3. Teknologi (modal dan sarana produksi)

4. Organisasi petani/kelembagaan/sosial misalnya berpartisipasi dalam

kelompok

Dengan demikian dalam penelitian ini variabel yang relevan dimasukkan ke

dalam model adalah lahan, tenaga kerja, modal, pengeluaran sarana produksi

(benih, pupuk, pestisida, pupuk kandang), dan tingkat erosi. Lahan, tenaga kerja,

dan modal mewakili input konvensional atau sebagai input utama. Tenaga kerja

dapat dipandang sebagai indikator sosial dalam keberlanjutan (Illge et al, 2008).

Selanjutnya di daerah penelitian erosi merupakan faktor lingkungan yang penting

diperhatikan karena kentang dan kubis ditanam di lahan berlereng yang dapat

menyebabkan erosi yang tinggi, oleh karena itu tingkat erosi mewakili input

Page 208: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

172

lingkungan. Pada penelitian ini tingkat erosi tidak diukur langsung di lapangan

tetapi menggunakan perhitungan prediksi erosi seperti yang dirumuskan oleh

Arsyad (2000). Pengolahan perhitungan menggunakan program Splash. Untuk

kelembagaan/aspek sosial seperti partisipasi dalam kelompok tidak dimasukkan

ke dalam model dan merupakan keterbatasan penelitian ini.

Benchmark merupakan sebuah alat yang penting untuk mengevaluasi

kinerja dan kebijakan usahatani (Figge and Hahn, 2002, 2004, 2005). Sebuah

usahatani berkontribusi lebih berkelanjutan ketika menggunakan sumberdaya

yang dimilikinya lebih produktif dibandingkan usahatani lainnya. Menurut Figge

dan Hahn (2005), untuk lebih berkontribusi terhadap keberlanjutan, maka value

added yang diciptakan harus lebih besar dari opportunity cost sumberdaya

tersebut. Dengan demikian dalam bab ini akan dianalisis nilai kontribusi, nilai

keberlanjutan, dan efisiensi keberlanjutan sebagai indikator untuk menganalisis

keberlanjutan usahatani. Kemudian dalam bab ini juga dibangun sebuah model

ekonometrika untuk menganalisis dampak beberapa karakteristik struktural dan

manajerial terhadap kinerja keberlanjutan.

7.1. Nilai kontribusi, Nilai Keberlanjutan, dan Efisiensi Keberlanjutan

Dengan menggunakan data 203 petani kentang dan 166 petani kubis, nilai

kontribusi (value contribution), nilai keberlanjutan (sustainable value), dan nilai

efisiensi keberlanjutan (return to cost) dapat dihitung, seperti disajikan pada Tabel

37. Menurut Van Passel (2009) salah satu cara mengukur benchmark adalah

menggunakan rata-rata penerimaan/keuntungan tidak dibobot, artinya benchmark

diukur dengan menjumlahkan seluruh penerimaan untuk seluruh petani sampel

dibagi dengan jumlah petani. Dengan demikian pada bahasan pertama ini

digunakan rata-rata penerimaan sampel sebagai benchmark. Tabel 37

memperlihatkan contoh perhitungan nilai keberlanjutan untuk seorang petani

sampel. Tingkat erosi dihitung dengan menggunakan persamaan (83) . Pada

kolom B terlihat petani tersebut menggunakan 2 hektar lahan, jumlah tenaga kerja

adalah 492 HKP, jumlah modal yang dimiliki Rp 5 780 000, pengeluaran sarana

produksi Rp 67 315 850 untuk 2 hektar, dan erosi 8.68 ton/ha/tahun. Penerimaan

untuk usahatani adalah Rp 135 000 000.

Page 209: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

173

Pada perhitungan ini benchmark yang digunakan adalah rata-rata

penerimaan untuk seluruh sampel petani yaitu sebesar Rp 81 200 000. Dari Tabel

37 dapat dilihat jenis sumberdaya yang digunakan untuk setiap usahatani dan

benchmark ada pada kolom A. Kolom B dan C memperlihatkan penggunaan

Tabel 37. Contoh Perhitungan Nilai Keberlanjutan dari Seorang Petani Sampel di Jawa Barat, 2011 (untuk Menghasilkan Rata-rata Penerimaan Rp 81.2 juta per musim dan value added = Rp 135 juta)

Penggunaan Sumberdaya Eco efficiency (Rp) Nilai Kontribusi

(Rp) Jenis

Sumberdaya Usahatani

Sampel Benchmark Usahatani sampel Benchmark

(A) (B) (C ) (D) (E) (F) Lahan 2 ha 0.54 ha 67.5 juta 150.4 juta -165 740 741 Tenaga kerja 492 HKP 223.91 HKP 274 390 362 646 - 43 421 687 Kapital Rp 5,78 juta Rp 3. 66 juta 23 22.1 6 906 114 Sarana produksi Rp 67, 32 juta Rp14. 65 juta 2 6 -238 182 424

Erosi 8.68 ton/ha/th 10.95 ton/ha/th 15.55juta 7.42 juta 70 633 242 Nilai keberlanjutan (SV) -369 805 497

Keterangan: kolom D = Rp135 000 000/kolom B kolom E = Rp 81 200 000/kolom C kolom F = kolom B *(kolom D – kolom E) SV = penjumlahan nilai kontribusi seluruh sumberdaya sumberdaya yang digunakan oleh usahatani sampel dan benchmark. Kolom D

dan E adalah perhitungan produktivitas (eco efficiency) untuk usahatani sampel

dan benchmark. Kolom D dihitung dengan cara membagi nilai penerimaan (Rp

135 000 000 : kolom B) dan kolom E dihitung dengan cara membagi nilai

penerimaan (Rp 81200000: kolom C). Nilai kontribusi pada kolom F

menunjukkan bahwa sumberdaya digunakan oleh usahatani untuk menciptakan

nilai (penerimaan). Kemudian untuk melihat apakan sumberdaya telah digunakan

lebih produktif atau tidak dibandingkan dengan benchmark dihitung dengan nilai

keberlanjutan (SV), dengan cara menjumlahkan nilai kontribusi untuk seluruh

sumberdaya. Rumus perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada persamaan 69

sampai persamaan 74.

Tabel 38. dan Tabel dan Gambar 16. memperlihatkan hasil perhitungan

nilai keberlanjutan dan untuk 203 petani kentang dengan benchmark

menggunakan rata-rata seluruh sampel.

Page 210: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

174

Tabel 38. Distribusi Frekuensi Nilai Keberlanjutan (SV) Usahatani Kentang dengan Benchmark Rata-rata Sampel di Jawa Barat, 2011

Nilai keberlanjutan ( Rp 000)

Kentang Kubis Jumlah petani

(orang)

Persentase (%)

Jumlah petani (orang)

Persentase (%)

< - 30 000 93 45.81 47  28.31 

-30 001 – 0 94 46.31 107  64.46  1 – 30 000 13 6.40 0  0  30 001 – 60 000 2 0.99 12  6.63  > 60 001 1 0.49 1  0.60 

Rata-rata : - 37 189    Jumlah 203 100 166  100 

Gambar 16. Distribusi Frekuensi Nilai Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011.

Berdasarkan hasil Tabel 38 dan Gambar 16 terlihat bahwa hampir 92.12

persen petani kentang mempunyai nilai keberlanjutan negatif dengan rata-rata Rp

-37.189.000. Temuan ini konsisten dengan dengan hasil penelitian Van Passel

(2009), Figge dan Hahn (2005), Van Passel et al (2006), Merante et al (2008),

Ehrman (2008). Van passel (2009) dalam penelitiannya pada peternakan sapi

menemukan nilai keberlanjutan semua petani sampel masih negatif dan tidak

terdapat usahatani yang positif (super farm). Sementara itu Erhman (2008)

menemukan nilai keberlanjutan untuk petani sampai dengan 50 hektar masih

negatif dan petani dengan luas lahan lebih besar 50 hektar baru mencapai nilai

keberlanjutan positif. Demikian halnya Erhman (2008) menemukan kepemilikan

sapi di bawah 50 ekor masih mempunyai nilai keberlanjutan negatif. Nilai

93 94

132 1

45.81 46.31

6.4 0.99 0.490

20

40

60

80

100

< ‐ 30000.00 ‐ 30001 ‐ 0 1‐ 30000 30001 ‐60000

> 60001

Jumlah Pe

tani

Nilai Keberlanjutan (SV)

Frekuensi

Page 211: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

175

keberlanjutan yang positif (negatif) menunjukkan usahatani menggunakan

sumberdayanya lebih besar (lebih kecil) dibandingkan dengan benchmark. Atau

dengan kata lain apakah nilai yang diciptakan usahatani melebihi opportunity cost

dari penggunaan sumberdaya tersebut.

Kondisi di lapangan memperlihatkan bahwa faktor yang mempengaruhi

keberlanjutan seperti lahan sudah mengalami kelangkaan sehubungan dengan alih

fungsi lahan pertanian. Oleh karena itu perluasan lahan sayuran tidak

memungkinkan dilakukan, kecuali petani memperluas lahan sewa ke arah lahan

dengan kemiringan lereng tinggi. Namun hal ini juga berdampak pada

sumberdaya lingkungan seperti tingkat erosi yang tinggi. Hasil perhitungan

prediksi erosi di wilayah penelitian menunjukkan angka rata-rata 11,56

ton/ha/tahun, meskipun masih d bawah toleransi erosi yang diperbolehkan (13

ton/ha/tahun) namun dalam jangka panjang dimugkinkan erosi dan kehilangan

hara akan semakin besar. Hasil penelitian Katharina (2007) di Pangalengan

menemukan bahwa erosi yang akan muncul 20 tahun yang akan datang berada

pada kisaran 13 – 16 ton/ha, angka ini melebihi Tolerable Soil Loss Pangalengan

yaitu 12,75 ton /ha.

Dari sisi permodalan, petani di daerah penelitian masih terjebak dengan

meminjam modal kepada para tengkulak atau toko sarana produksi, sehingga bila

panen para petani tidak mempunyai kekuatan mencari harga yang lebih tinggi

karena sudah terikat utang piutang. Akibatnya petani kentang dan juga kubis

mempunyai pendapatan yang tidak stabil, yang secara langsung akan berakibat

pada usahatani non konservasi. Hal ini akan memacu lebih cepat terjadinya erosi

dan kerusakan ligkungan yang lebih parah. Demkian halnya pembentukan modal

kapital di daerah penelitian masih rendah, selama 5 tahun peningkatan aset lahan

sangat rendah hanya 0.17 hektar namun nilainya bisa ratusan juta rupiah seiring

dengan peningkatan harga lahan yang signifikan karena lahan semakin langka.

Pada petani sempit peningkatan luas lahan dalam 5 tahun lebih kecil lagi yaitu

sekitar 0.04 M2.

Faktor lainnya yang menjadi penyebab kontribusi petani terhadap

keberlanjutan masih rendah adalah faktor kemiringan lahan. pada umumnya

petani kentang atau kubis menanam pada kemiringan lereng 0-65 persen. Hal ini

Page 212: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

176

tidak sesuai dengan kaidah konservasi. Arsyad (2000) menyatakan bahwa lahan

dengan kemiringan >30 persen kurang cocok untuk tanaman semusim. Sebagian

besar petani menanam > 65 persen, sehingga apabila ingin diusahakan untuk

usahatani sayuran sebaiknya ditanami tanaman permanen (Katharina, 2007). Hal

ini diperparah dengan sistem penanaman searah lereng sehingga dapat dikatakan

petani belum menerapkan teknik konservasi. Data penelitian menunjukkan bahwa

hampir 50 persen petani menanam kentang atau kubis dengan sistem penanaman

searah lereng (lihat kembali gambaran umum Bab V). Tingginya intensitas

pertanaman di daerah penelitian (3 kali setahun bahkan lebih) akan mempercepat

kerusakan lingkungan, sehingga lahan kritis akan semakin besar dan ini akan

mengancam keberlanjutan usahatani.

Dalam hal penggunaan sarana produksi, keberlanjutan usahatani kentang

maupun kubis juga ditentukan oleh kualitas benih. Seperti telah dikemukakan

pada bab V dan VI, teknologi benih kentang masih rendah karena terbatasnya

penangkar benih yang menghasilkan benih bersertifikat. Penggunaan benih yang

tidak bersertifikat, atau maraknya benih oplosan menyebabkan produksi tidak

dapat mencapai maksimal, dan kalau terus dibiarkan tanpa ada perbaikan

produktivitas akan semakin menurun dan akan menurunkan keberlanjutan

usahatani kentang. Namun untuk benih kubis tidak jadi masalah karena benih

impor masih diperbolehkan dan petani dapat membelinya di kios pertanian

terdekat.

Seperti telah dikemukakan pada Bab V kontinuitas tanaman kentang di

daerah penelitian terjadi karena dukungan input luar yang relatif tinggi.

Tingginya penggunaan pupuk NPK ini akan menyebabkan biaya semakin tinggi

disamping itu akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Rata-rata penggunaan

pupuk NPK per hektar di daerah penelitian sekitar 710 kg, 579 kg Urea, 461 kg

TSP dan 112 kg KCl untuk kentang sedangkan untuk kubis penggunaan NPK per

hektar sebesar 648 kg, Urea sebesar 537 kg, TSP 280 kg, dan KCl 261 kg.

Kebutuhan NPK ini sudah melebihi dosis anjuran Dinas Pertanian jawa Barat

sebesar 714 kg yang terdiri atas Urea 256 kg/ha, SP 36 sebesar 125 kg/ha, dan

KCl 333 kg/ha. Di lapangan yang terjadi adalah gejala penurunan produktivitas

dan stagnasi produksi pada tingkat penggunaan input yang lebih tinggi

Page 213: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

177

Seperti dikemukakan sebelumnya, nilai keberlanjutan menunjukkan berapa

banyak value added yang dapat diciptakan dari sumberdaya yang tersedia

dibandingkan dengan benchmark, maka Return to cost (efisiensi keberlanjutan)

merupakan indikator untuk mengukur efisiensi dari penggunaan sumberdaya, dan

ukuran ini lebih konsisten dengan konsep efisiensi dan produktivitas. Efisiensi

keberlanjutan (return to cost) dapat dihitung dengan cara membagi nilai

penerimaan dengan biaya dari keberlanjutan kapital (ADVANCE, 2006; Figge

dan Hahn, 2005; dan Van Passel, 2009. Biaya dari nilai keberlanjutan kapital

sama dengan nilai value added dikurangi dengan nilai keberlanjutan (Van Passel,

2009).

Rumus efisiensi keberlanjutan (RtC) dapat dilihat pada persamaan (74).

Nilai efisiensi keberlanjutan =1 artinya nilai value added sama dengan biaya

untuk seluruh sumberdaya. Nilai efisiensi keberlanjutan > 1 menunjukkan bahwa

usahatani secara keseluruhan lebih produktif dibandingkan benchmarknya. Dalam

contoh di atas, efisiensi keberlanjutan = 0,26 (=135 000 000/(135 000 000-(-360

805 497). Angka ini menunjukkan bahwa sumberdaya ekonomi, sosial,

lingkungan belum dapat menutup biaya sumberdaya dibandingkan benchmarknya.

Efisiensi keberlanjutan lebih besar 1 menunjukkan bahwa penerimaan usahatani

lebih besar dari penerimaan per unit sumberdaya. Tabel 39. menyajikan nilai

efisiensi keberlanjutan dari usahatani kentang dan kubis. Hasil perhitungan

menunjukkan nilai maksimum dari efisensi keberlanjutan usahatani kentang

adalah 1.60 dan minimum 0.04 dengan rata-rata 0.49 Angka ini menunjukkan

petani mengelola usahataninya hanya 49 persen (atau hanya setengahnya)

produktif (kurang efisien) dibandingkan dengan kondisi kalau sumberdaya

tersebut digunakan oleh benchmark.

Bila dikaitkan dengan rata-rata nilai keberlanjutan Rp -37,19 juta (Tabel

38) maka hal ini berarti sumberdaya dapat dialokasikan dan masih dapat

ditingkatkan untuk mencapai produksi frontiernya. Dengan kata lain usahatani

dapat mengubah komposisi sumberdayanya, sumberdaya yang berlebihan dapat

digantikan dengan sumberdaya yang lebih efisien sehingga tambahan 37 juta

dapat diciptakan. Nilai efisiensi keberlanjutan untuk usahatani kubis lebih kecil

dibandingkan kentang. Hal ini menggambarkan pengelolaan sumberdaya untuk

Page 214: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

178

kubis lebih kurang produktif dibandingkan dengan kentang. Bila dikaitkan

dengan pencapaian efisiensi teknik, fakta dilapangan menunjukan efisiensi teknik

untuk kubis lebih kecil dibandingkan dengan kentang.

Tabel 39. Distribusi Frekuensi Return to Cost (Efisiensi Keberlanjutan) Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011

Nilai

Efisiensi keberlanjutan (RtC)

Kentang Kubis Jumlah petani

(orang) Persentase

(%) Jumlah petani

(orang) Persentase

(%) < 0.4 92 45.3 107 64.5

0.41 - 0.8 80 39.4 37 22.3 0.81 - 1.2 23 11.3 13 7.8 1.21 - 1.6 7 3.5 2 1.2

> 1.61 1 0.5 7 4.2 Total 203 100 166 100 Minimum 0.04

1.60 0.49

0.01 2.89 0.42

Maksimum Rata-rata

Dari Tabel 39 terlihat bahwa 86.8 persen petani masih mempunyai

efisiensi keberlanjutan < 0.8. Usahatani ke-i lebih efisien jika value added dalam

hal ini penerimaan melebihi biaya dari keberlanjutan. nilai RtC =1 jika

penerimaan sama dengan nilai keberlanjutan dari usahatani, dan RtC > 1

menunjukkan bahwa usahatani secara keseluruhan lebih produktif dibandingkan

benchmarknya. Temuan ini konsisten dengan dengan hasil penelitian Figge dan

Hahn (2005), Van Passel et al (2006), Merante et al (2008), dan Ehrman (2008).

Namun hasil ini Van Passel (2009) menemukan bahwa pada peternakan sapi

tidak ditemukan petani yang mencapai efisiensi keberlanjutan =1, rata-rata di

bawah 1.

Page 215: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

179

Gambar 17. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011. 7.2. Pengukuran Nilai Keberlanjutan dengan Menggunakan Pendekatan

Efisiensi 7.2.1. Fungsi Produksi Cobb Douglas sebagai Benchmark

Seperti dijelaskan pada uraian di atas, sumberdaya yang digunakan untuk

mengukur keberlanjutan dengan menggunakan Fungsi produksi Cobb Douglas

sebagai benchmark. variabel terikat yang dimasukkan adalah penerimaan dari

usahatani kentang dan kubis, yaitu hasil penjualan dikalikan dengan harganya. Ini

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Van Passel (2009) yang memasukkan

variabel nilai tambah (VA) sebagai penerimaan. Variabel yang mempengaruhi

nilai tambah adalah adalah lahan, tenaga kerja, kapital, sarana produksi dan erosi.

Rumus perhitungan diadopsi dari persamaan (75) dengan :

ln exp ln

ln ln

Perhitungan erosi menggunakan persamaan 83. Hasil estimasi dengan

menggunakan metode Maximum Likelihood dapat dilihat pada Tabel 40. Dari

Tabel 40. terlihat bahwa semua variabel yang dimasukkan ke dalam model

keberlanjutan usahatani kentang mempunyai tanda sesuai dengan yang

diharapkan. Lahan, tenaga kerja, modal dan biaya sarana produksi berpengaruh

positif terhadap nilai tambah (penerimaan) usahatani kentang. Peubah erosi

memperlihatkan tanda yang negatif, menunjukkan bahwa semakin tinggi erosi,

92

80

23

71

45.3239.41

11.333.45 0.49

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

< 0.4 0.41 ‐ 0.8 0.81 ‐ 1.2 1.21 ‐ 1.6 > 1.61

Jumlah Pe

tani

Nilai Efisiensi keberlanjutan (RtC)

Frekuensi

Persen

Page 216: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

180

nilai tambah atau penerimaan semakin kecil. Dari lima variabel yang dimasukkan

ke dalam model, tiga peubah berpengaruh nyata kecuali peubah modal dan biaya

sarana produksi. Koefisien dugaan dari σ2 adalah 0,68 dan γ sebesar 0,85 dan

keduanya berpengaruh nyata pada taraf α = 0,01. Angka ini menunjukkan bahwa

85 persen dari variasi hasil diantara petani sampel disebabkan oleh perbedaan

efisiensi teknis.

Tabel 40. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Frontier Cobb Douglas untuk Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011.

Koefisien Standar Error t-ratio Konstanta 8.82 1.29 6.83 Lahan 0.64 *** 0.12 5.25 Tenaga Kerja 0.12 ** 0.08 1.42 Modal 0.01 0.02 0.40 Sarana prod 0.22 ** 0.12 1.73 Tingkat erosi -0.01 0.03 - 0.47 sigma-s 0.68 0.10 6.83 gamma 0.85 0.05 16.36 Keterangan: *** nyata pada taraf α =0.001; ** α = 0.05 dan * α = 0.1

Tabel 41 menyajikan hasil estimasi keberlanjutan usahatani kubis. Sama

halnya dengan kentang, fungsi produksi frontier untuk keberlanjutan usahatani

kubis pun menunjukkan hal yang relatif sama. Namun yang menarik adalah

biaya sarana produksi mempunyai tanda negatif dan ini sesuai dengan yang

diharapkan. Variabel erosi mempunyai tanda positif namun tidak berpengaruh

nyata pada α= 10 persen. Tidak berpengaruhnya variabel modal disebabkan

modal adalah aset jangka panjang yang pemanfaatannya digunakan dalam waktu

yang panjang, sedangkan analisis ini hanya untuk tiga musim tanam. Ini juga

berkaitan dengan pemanfaatan aset yang belum optimal karena di daerah

penelitian pemanfaatan modal terutama untuk kubis tidak terlalu intensif

(underuse). Sarana produksi merupakan input yang yang sudah berlebih, ini

dilihat dari tanda parameter dugaan yang negatif. Berdasarkan data yang

dikumpulkan, di daerah penelitian penggunaan pupuk dan pestisida sudah

melebihi dosis yang direkomendasikan dan ini membuat biaya menjadi tinggi.

Page 217: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

181

Tabel 41. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Frontier Cobb Douglas.Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011

Koefisien Standar Error t-ratio Konstanta 9.95 2.22 4.48 Lahan 0.66 *** 0.19 3.40 Tenaga Kerja 0.56 *** 0.23 2.49 Modal 0.01 0.06 0.26 Sarana prod -0.26 0.31 -0.83 Tingkat erosi 0.05 0.06 0.82 sigma-s 2.66 0.62 4.27 gamma 0.84 0.12 7.28 Sumber : Data primer, diolah Keterangan: *** nyata pada taraf α =0.001; ** α = 0.05

Selanjutnay untuk mengukur nilai keberlanjutan mengikuti langkah

sebagai berikut. Langkah pertama untuk mengukur tingkat kontribusi terhadap

keberlanjutan adalah peubah output dipisahkan dari komponen “noise” untuk

dapat bekerja dalam kerangka deterministic seperti pada persamaan (76).

Langkah kedua dihitung pengunaan input yang efisien (optimum) untuk setiap

sumberdaya yang dimasukkan kedalam model. Perhitungan ini menggunakan

koefisien estimasi yang diperoleh dari pengolahan persamaan 76. Kemudian

tingkat input yang efisien dihitung dengan menggunakan persamaan (77) sampai

(81). Langkah selanjutnya menghitung nilai keberlanjutan dengan menggunakan

nilai input optimum sebagai benchmark dengan menggunakan persamaan (82).

Usahatani dapat mengurangi penggunaan inputnya untuk memproduksi tingkat

output yang sama (Van Passel, 2009).

Selanjutnya dapat dihitung nilai kontribusi setiap sumberdaya terhadap

keberlanjutan. Nilai ini menunjukkan berapa besar sumberdaya berkontribusi

dalam menciptakan nilai tambah. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat nilai

kontribusi pada Tabel 42. Analisis nilai kontribusi mengidentifikasi sumberdaya

mana yang mempunyai kontribusi tinggi atau rendah terhadap keberlanjutan.

Kapital merupakan sumberdaya kritis terhadap keberlanjutan baik pada tanaman

kentang maupun kubis. Hal ini terlihat dari nilai kapital yang mempunyai nilai

kontribusi negatif terbesar (Rp -77 492 000 dan Rp -77 292 000). Di daerah

penelitian, kapital merupakan sumberdaya yang relatif kecil dipunyai oleh petani

hanya sekitar Rp 2 juta , meliputi kapital untuk alat penyiram, penyemprot, atau

Page 218: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

182

alat lain, karena modal terbesar petani tertanam pada lahan dengan nilai hampir

100 juta rata-rata per petani.

Tabel 42. Rata-rata Nilai Kontribusi Sumberdaya terhadap Keberlanjutan Relatif terhadap Benchmark di Jawa Barat, 2011

Komoditas Nilai Kontribusi Sumberdaya (Rp) Lahan Tkerja Modal Sprod Erosi

Kentang -28 032 300 6 429 877 -77 429 000 -33 682 100 -8 904 592 Kubis -15 725 000 -3 575 000 -77 292 000 -1 976 000 -2 755 000

Seperti dijelaskan di atas, untuk menghitung nilai keberlanjutan, parameter

dugaan fungsi Cobb Douglas dijadikan dasar untuk perhitungan penggunaan

sumberdaya yang efisien, yang nantinya akan dijadikan sebagai benchmark. Nilai

keberlanjutan untuk seluruh observasi dapat dihitung dengan menggunakan input

efisien sebagai benchmark. Prosedur perhitungan selengkapnya untuk

menghitung sumberdaya yang efisien dapat dilihat pada Lampiran 13. Hasil

perhitungan nilai keberlanjutan disajikan pada Tabel 43. Terlihat bahwa sebanyak

97 persen petani sampel mempunyai nilai keberlanjutan negatif dengan rata-rata -

164 133 873. Angka negatif mempunyai arti petani menggunakan inputnya

kurang produktif dibandingkan dengan benchmark atau dengan kata lain masih

kurang efisien. Ini berarti petani dapat meningkatkan nilai keberlanjutannya

dengan mengaplikasikan inputnya lebih produktif atau dengan kata lain bergerak

kearah produksi frontiernya.

Tabel 43. Nilai Keberlanjutan Usahatani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011

Kentang Kubis Nilai Keberlanjutan

(Rp 000)

Jumlah petani (orang)

Persentase (%)

Jumlah petani (orang)

Persentase (%)

< - 30 000 164 80.8 47 28.3 - 30 001 - 0 33 16.3 107 64.5 1 – 30 000 5 2.5 10 6.0 0 001 – 60 000 0 0 1 0.6 > 60 001 1 0.5 1 0.6 Rata-rata : -164 000

Jumlah 203 100 166 100

Page 219: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

183

Sama halnya dengan kentang, petani kubis pun masih mempunyai nilai

keberlanjutan negatif. Hampir 92.8 persen petani masih mempunyai nilai

keberlanjutan negatif dan sebesar 8 persen petani sudah berkontribusi positif

kearah keberlanjutan, dalam arti usahatani sudah dapat mengelola usahataninya

lebih efisien dibandingkan dengan benchmarknya.

Return to cost (efisiensi keberlanjutan) merupakan indikator unruk

mengukur efisiensi dari penggunaan sumberdaya. Ukuran ini juga dgunakan

untuk membandingkan penerimaan petani dengan benchmarknya. Efisiensi

keberlanjutan lebih besar 1 menunjukkan bahwa penerimaan usahatani lebih besar

dari penerimaan per unit sumberdaya. Tabel 44 menyajikan nilai efisiensi

keberlanjutan dari usahatani kentang. Efisiensi keberlanjutan menghubungkan

nilai keberlanjutan dengan opportunity cost sumberdaya. Hasil perhitungan

dengan menggunakan fungsi produksi frontier Cobb Douglas menunjukkan nilai

maksimum dari efisensi keberlanjutan adalah 1,57 dan minimum 0,01 dengan

rata-rata 0.26 Angka ini menunjukkan petani mengelola usahataninya hanya 26

persen produktif (kurang efisien) dibandingkan dengan kondisi dimana

sumberdaya tersebut digunakan oleh benchmarkartinya . Kondisi ini

menggambarkan bahwa keberlanjutan uasahatani kentang masih dapat

ditingkatkan untuk mencapai produksi frontiernya. Dengan kata lain usahatani

dapat mengubah komposisi sumberdayanya yang berlebihan dapat digantikan

dengan sumberdaya yang lebih efisien.

Tabel 44. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan (RtC) Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011

Nilai RtC Jumlah petani (orang) Persen < 0.4 162 79.8 0.41 - 0.8 28 13.8

0.81 -1.2 8 3.9 1.21 - 1.6 5 2.5

> 1.61 0 0 Minimum : 0.01 Maksimum : 1.57 Rata-rata : 0.26

Jumlah 203 100

Page 220: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

184

Gambar 18. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kubis di

Jawa Barat, 2011

Berbeda dengan kentang, usahatani kubis memperlihatkan hasil yang lebih

baik. Nilai efisiensi keberlanjutan berkisar antara 0 – 2,47. Dengan rata –rata

0,34. Hal ini dapat diterangkan di daerah penelitian pengelolaan kubis kurang

intensif, penggunaan input pupuk maupun pestisida tidak terlalu besar

dibandingkan dengan kentang. Hasil perhitungan disajikanpada Tabel 45 dan

Gambar 24.

Tabel 45. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan (RtC) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011

Nilai RtC Jumlah petani (orang) Persen < 0.4 121 72.9

0.41 - 0.8 28 16.9 0.81-1.2 7 4.2 1.21 - 1.6 5 3.0

> 1.61 5 3.0 Total 166 100

Minimum : 0 Maksimum : 2.47 Rata-rata : 0.34

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

< 0.4 0.41 ‐ 0.8 0.81‐1.2 1.21 ‐ 1.6 > 1.61

Jumlah Pe

tani

Nilai Efisiensi keberlanjutan

Frekuensi

Persen

Page 221: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

185

Gambar 19. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kubis di

Jawa Barat, 2011

7.3. Perbedaan dalam Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi85

Berdasarkan hasil analisis terhadap efisiensi keberlanjutan terlihat bahwa

nilainya bervariasi antar usahatani. Dari 203 petani kentang dan 166 petani kubis

dapat dilihat perbedaan kinerja keberlanjutan berdasarkan karakteristik manajerial

dan struktural. Untuk menganalisis perbedaan tersebut, dihitung beberapa

determinan untuk usahatani keseluruhan, 10 persen usahatani terbaik, dan 10

persen usahatani terendah dengan didasarkan pada nilai efisiensi keberlanjutan.

Hasilnya disajikan pada Tabel 46.

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 46 terlihat bahwa pada usahatani

kentang, usahatani terbaik dikelola oleh petani yang berumur muda dan

mempunyai pendidikan lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa umur muda

dan pendidikan yang lebih tinggi mempengaruhi petani untuk berkontribusi dalam

keberlanjutan usahataninya. Namun pengalaman menunjukkan hal yang

sebaliknya. Bila dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya, bahwa pengalaman

tidak mempengaruhi efisiensi teknik artinya petani yang berpengalaman belum

tentu mencapai efisiensi teknik tinggi tetapi yang mempengaruhi adalah

bagaimana petani tersebut berpartisipasi dalam kelompok untuk memperoleh

informasi. Kemungkinan hal ini juga menjadi salah satu faktor mengapa petani

0

20

40

60

80

100

120

140

< 0.4 0.41 ‐ 0.8 0.81‐1.2 1.21 ‐ 1.6 > 1.61

Jumlah PE

tani

Interval

Frekuensi

Persen

Page 222: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

186

yang berpengalaman berkontribusi terhadap keberlanjutan lebih rendah

dibandingkan dengan petani yang pengalamannya lebih rendah.

Tabel 46. Deskripsi Statistik Seluruh Observasi, Observasi Terbaik, dan Observasi Terendah Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011

Seluruh 10 %usahatani 10% usahatani

usahatani terbaik terendah Kentang SV (Rp 000) -164,133.87 4266.07 -228,830.19 RtC 0.26 0.96 0.02 Umur tahun) 45.94 43.40 44.70 Pendidikan(tahun) 7.68 8.10 7.00 Pengalaman (tahun) 18.68 15.30 18.90 Luas lahan (ha) 0.54 1.11 0.13 Produksi (kg) 9 247.80 23 506.25 1 401.25

Kubis SV (Rp 000) -20264.51 16281.82 -31447.02 RtC 0.34 1.37 0.02 Umur tahun) 45.80 55.59 40.47 Pendidikan(tahun) 7.81 6.06 9.00 Pengalaman (tahun) 16.67 14.18 17.35 Luas lahan (ha) 0.50 1.11 0.25 Produksi (kg) 10 613.50 23 905.88 3 919.26 Sumber: data primer diolah.

Namun pola yang berbeda diperlihatkan oleh usahatani kubis.

Pengelolaan usahatani terbaik (RtC lebih tinggi) dikelola oleh petani yang

berumur lebih tua, berpendidikan lebih rendah dan pengalaman lebih rendah.

Hasil pada Tabel 46 juga memperlihatkan bahwa baik pada petani kentang

maupun kubis, petani yang mempunyai luas lahan lebih luas dan produksi yang

lebih tinggi mempunyai nilai keberlanjutan dan efsiensi keberlanjutan yang lebih

tinggi.

Bila dikaitkan dengan efisiensi teknik yang dicapai petani, dengan

menggunakan lima variabel di atas, tampak bahwa usahatani kentang dan kubis

belum efisien karena masih dibawah 70 persen (rata-rata efisiensi kentang 60

persen dan kubis hanya 40 persen). Namun bila dikaitkan antara efisiensi teknis

dengan efisiensi keberlanjutan tampak bahwa ada kecenderungan hubungan

positif antara efisiensi teknis dengan efisiensi keberlanjutan. Semakin tinggi

Page 223: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

187

efisiensi teknis, efisiensi keberlanjutan cenderung meningkat. Gambar 25 dan 26

memperlihatkan bagaimana hubungan antara efisiensi teknis dengan efisiensi

keberlanjutan usahatani kentang dan kubis. Garis horizontal menunjukkan

besaran efisiensi teknis dan garis vertikal menunjukkan efisiensi keberlanjutan.

Dari Gambar tersebut dapat dilihat ada kecenderungan meningkat dari efissiensi

keberlanjutan, apabila efisensi teknik meningkat.

Gambar 20. Hubungan efisiensi Teknik dengan Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kentang dengan menggunakan Pendekatan Fungsi Produksi Cobb Douglas

Gambar 26. Hubungan efisiensi Teknik dengan Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kubis dengan menggunakan Pendekatan Fungsi Produksi Cobb Douglas

0.50 

1.00 

1.50 

2.00 

2.50 

3.00 

3.50 

4.00 

‐ 0.20  0.40  0.60  0.80  1.00 

Efisiensi Keb

erlanjutan

Efisiensi Teknik

1.00 

2.00 

3.00 

4.00 

5.00 

6.00 

‐ 0.20  0.40  0.60  0.80  1.00 

Efisiensi Keb

erlanjutan

Efisiensi Teknik

Page 224: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

188

Pendekatan nilai keberlanjutan memperlihatkan bagaimana kelangkaan

sumberdaya dapat digunakan untuk mengelola penerimaan yang lebih tinggi.

Nilai keberlanjutan = 0 menunjukkan usahatanimenggunakan seluruh sumberdaya

dengan produktif. Usahatani dapat meningkatkan nilai keberlanjutan dengan

mengaplikasikan sumberdayanya lebih produktif atau dengan kata lain bergerak

kearah produksi frontier. Usahatani dapat meningkatkan nilai keberlanjutannya

dengan cara mengganti sumberdaya yang mempunyai nilai kontribusi kecil untuk

menciptakan nilai tambah yang lebih besar.

Akhirnya peningkatan dalam eco-eficiency (diukur dengan pendekatan

nilai keberlanjutan) sering menjadi cara untuk mengurangi tekanan lingkungan

(Kuosmanen and Kortelainen, 2005). Peningkatan efisiensi dapat dilihat sebagai

langkah awal yang penting kearah keberlanjutan. Pendekatan nilai keberlanjutan

tidak mengklaim bahwa penggunaan sumberdaya sekarang berkelanjutan (Van

Passel, 2009) tetapi hanya menunjukkan apakah sumberdaya yang digunakan

berkelanjutan dibandingkan dengan benchmark.

Page 225: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

8.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan

1. Beberapa faktor produksi masih berada pada di bawah kebutuhan tanaman

kentang atau kubis (under use) yaitu luas lahan, jumlah benih, pupuk organik

dan (kandang). Sementara itu jumlah pupuk an organik, pestisida, dan tenaga

kerja penggunaannya sudah melebihi kebutuhan tanaman (overuse).

Kemiringan lahan berpengaruh secara nyata terhadap produksi kentang dan

kubis. Semakin tinggi kemiringan lahan, produksi kentang dan kubis

semakin menurun. Produksi kentang maupun kubis sangat responsif

terhadap perubahan luas lahan, jumlah benih, dan penggunaan pupuk

organik.

2. Usahatani kentang dan kubis belum efisien, namun meskipun efisiensi

berbeda-beda untuk setiap petani secara umum efisiensi teknik cukup tinggi.

Rata-rata efisiensi untuk kentang dan kubis baru mencapai 84 persen dan 73

persen, artinya masih terdapat ruang untuk meningkatkan efisiensi teknik

pada tingkat teknologi sekarang untuk mencapai produksi maksimal. Ra-rata

efisiensi alokatif untuk kentang masih rendah baru mencapai 47 persen,

sementara untuk kubis relatif cukup tinggi mencapai 77 persen. Artinya pada

tingkat harga input dan output, masih terdapat potensi yang cukup besar

untuk petani kentang dalam mengalokasikan inputnya pada tingkat biaya

minimal.

3. Faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab inefisiensi teknis pada tanaman

kentang adalah umur, pengalaman, keanggotaan dalam kelompok, frekuensi

penyuluhan, status kepemilikan lahan, dan sistem penanaman. Selanjutnya

faktor-faktor yang berepengaruh signifikan terhadap efisiensi teknis kubis

adalah keangotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses terhadap

kredit, dan sistem penanaman. Pengalaman tidak mempunyai pengaruh yang

nyata terhadap efisiensi teknis kubis, dilain pihak keanggotaan dalam

kelompok berpengaruh nyata, hal ini berimplikasi bahwa untuk meningkatkan

Page 226: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

190

efisiensi teknik peningkatan human capital dapat dilakukan melalui

kelembagaan penyuluhan .

4. Secara rata-rata nilai keberlanjutan (sustainable value) di daerah penelitian

masih negatif, mempunyai arti sumberdaya yang digunakan oleh petani masih

kurang produktif dibandingkan bila sumberdaya tersebut digunakan oleh

benchmarknya.

8.2. Saran dan Implikasi Kebijakan

1. Pada teknologi sekarang dan pada tingkat harga faktor produksi yang

tetap, maka upaya peningkatan produksi diarahkan pada kelompok petani

sasaran melalui peningkatan faktor produksi yang masih underuse atau

mengurangi penggunaan factor produksi yang sudah berlebih, seperti

pupuk anorganik (Urea, ZA, TSP, KCl, dan NPK) dan pestisida.

Berdasarkan hasil penelitian lahan merupakan faktor dominan, artinya luas

lahan merupakan jaminan untuk meningkatkan efisiensi tetapi peningkatan

luas lahan tanpa diikuti oleh peningkatan kualitas lahan terutama pada

lahan dengan kemiringan tinggi dengan erosi tinggi dan tanpa konservasi

akan menurunkan baik efisiensi teknik maupun alokatif.

2. Masih terdapat ruang untuk meningkatkan efisiensi baik pada usahatani

kentang maupun kubis. Untuk mencapai produksi maksimum efisiensi

usahatani kentang dapat ditingkatkan sebesar 16 persen dan usahatani

kubis sebesar 27 persen. Peningkatan efisiensi teknis dapat diarahkan

kepada kelompok petani sasaran dengan efisiensi teknik yang masih

rendah (<70 persen). Peningkatan efisiensi ini dapat dilakukan melalui

peningkatan manajemen usahatani baik keterampilan teknis maupun

kapabilitas manajerial petani. Peningkatan keterampilan teknis dapat

dilakukan melalui ketepatan dalam penggunaan pupuk yang berimbang,

teknologi pengendalian OPT yang terpadu dengan prinsip pengemdalian

hama terpadu, dan penggunaan benih yang bersertifikat. Peningkatan

kapabilitas manajerial dapat difokuskan pada kemampuan mengakses

informasi, kredit, dan meningkatkan peran kelembagaan penyuluhan.

Page 227: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

191

3. Di daerah penelitian, petani yang menanam sayuran pada kemiringan yang

tinggi mengantisipasi peningkatan produksi melalui peningkatan

penggunaan input kimia dan juga pupuk organik. Berdasarkan hasil studi

ditemukan bahwa pupuk kandang dan juga benih nyata mempengaruhi

efisiensi. Namun, dengan kebutuhan pupuk kandang yang tinggi,

ketersediaan pupuk kandang akan menjadi pembatas untuk peningkatan

produksi kentang dan kubis. Dengan demikian, diperlukan perencanaan

yang selaras dengan perencanaan input (pupuk organik) yang lebih baik.

Perlu integrasi usahatani sayuran dataran tinggi dengan ternak sapi

potong/sapi perah.

4. Ketersediaandan distribusi benih unggul bersertifikat perlu difasilitasi oleh

pemerintah karena petani masih menghadapi permasalahan ketersediaan

benih. Penambahan penangkar benih perlu dilakukan untuk menjamin

ketersediaan benih terutama benih induk (G2) dan benih sumber (G3).

Diperlukan pula pengawasan yang lebih baik untuk menghindari

pencampuran antara benih berlabel dengan benih konsumsi.

5. Analisis menunjukkan bahwa sistem penanaman konservasi akan

meningkatkan efisiensi artinya untuk keberlanjutan usahatani maka

manajemen sumberdaya diarahkan pada teknologi yang dapat menurunkan

degradasi lahan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa penggunaan

lahan yang intensif dan input yang berlebihan menyebabkan degradasi

lahan yang diikuti oleh penurunan produktivitas. Dengan demikian

kebijakan langsung adalah mengontrol degradasi lahan diikuti oleh

peningkatan kapasitas manajerial (human capital) melalui training akan

meningkatkan efisiensi.

6. Pengalaman berusahatani tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi, di

sisi lain keanggotaan dalam kelompok dan frekuensi penyuluhan dapat

meningkatkan efisiensi. Dengan demikian diperlukan kebijakan yang

dapat mendorong kelembagaanpenyuluhan sebagai wadah untuk transfer

teknologi, informasi, perencanaan produksi, penentuan pola tanam,

memperbaiki posisi tawar di pasar output terutama kubis, dan peningkatan

teknologi konservasi. Upaya ini dilakukan agar terjadi sinergi antara

Page 228: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

192

efisiensi teknik dengan efisiensi alokatif untuk meningkatkan pendapatan

petani.

8.3. Saran Penelitian Lanjutan

Penelitian empiris usahatani berkelanjutan masih terbatas. Metode

pengukuran nilai keberlanjutan masih lebih banyak dalam teori daripada aplikasi

di lapangan melalui penelitian empiris untuk menggambarkan, mengukur,

menganalisis, menerangkan dan menilai kontribusi terhadap keberlanjutan. Untuk

penelitian lanjutan disarankan untuk menggunakan variabel yang lebih relevan,

misalnya untuk faktor lingkungan dan sosial dapat digunakan indikator kualitas

tanah. Data yang dikumpulkan akan lebih baik lagi jika menggunakan data time

series untuk melihat evolusi dari keberlanjutan usahatani..  

Page 229: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

 

 

DAFTAR PUSTAKA Abay, C., Miran B., and Gunden,C. 2004. An Analysis of Input Use Efficiency in

Tobacco Production Respect to Sustainability. The Case Study of Turkey. Journal of Sustainable Agriculture 24(3), 123-143.

Abdurrachman, 2005. Rangkuman Bahasan Lahan Kering di Indonesia. Dalam

Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Depatemen Pertanian. Bogor.

Abedullah, Khuda Bakhsh and Bashir Ahmad, 2006. Technical Efficiency and its

Determinants in Potato Production, Evidence from Punjab, Pakistan. The Lahore Journal of Economics 11 : 2 (Winter 2006) pp 1-22

Acharya, S.S. 2006. Sustainable Agriculture and Rural Livelihoods. Agricultural

Economics Research Review Vol. 19 July-December 2006 pp 205-217 Adar, D. 2011. keragaan Usahatani dan Efisiensi Produksi Jeruk Keprok Soe

Berdasarkan Zona Agroklimat di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fakultas Pasca sarjana, Institut Pertanian Bogor. Disertasi tidak dipublikasikan.

Adiyoga, W. 1999. Beberapa Alternatif Pendekatan untuk Mengukur Efisiensi

atau In-Efisiensi dalam Usahatani. Informatika Pertanian Volume 8 (Desember 1999)

---------------, R. Suherman, N. Gunadi, dan A. Hidayat. 2004. Aspek Nonteknis

dan Indikator Efisiensi Sistem Pertanaman Tumpangsari Sayuran Dataran Tinggi. J. Hort. 14(3):217-227, 2004

ADVANCE. 2006. Sustainable Value of European Industry: a Value-based

Analysis of the Environmental Performance of European Manufacturing Companies. Technical report, Fullversion Report (http://www.advance-project.org).

Afriat, S. N. 1972. Efficiency Estimation of Production Function. Int. Economic

Review 13 (3). pp. 558-568. Ahmad, M.,Ghulam Mustafa Chaudhry, Mohammad Iqbal. 2002. Wheat

Productivity, Efficiency, and Sustainability: A Stocastic Production Frontier Analysis. The Pakistan Development Review 41:4 Part II (Winter, 2002) pp 643-663

Aigner, C. D., K. Lovell, and P. Schmidt. 1977. Formulation and Estimation

Stochastic Frontier Production Function Model. Journal of Economics 6. pp. 21 – 37.

Page 230: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

194  

 

, and S. F. Chu. 1968. On Estimation The Industry Production

Function. American Economics Review 58 (4). pp 826 – 839. Ali, M. and Flinn, J. Profit efficiency among basmati rice producers in Pakistan

Punjab. American Journal of Agricultural Economics, Vol. 71, (1987) pp. 303–310.

Ali, M. and Chaudhry, M.A. 1990. Inter-regional Farm Efficiency in Pakistan’s

Punjab: A Frontier Production Function Study. Journal of Agricultural Economics 41:62-74.

Alvarez, A., Carlos Arias. 2004. Technical Efficiency and Farm Size: A

Conditional Analysis. Agricultural Economics 30 (2004) 241- 250. Amaza, P. S, Y. Billa, and A. C. Iheanacho. 2006. Identification of Factors that

Influence Technical Efficiency of Food Crop Production in West Africa: Empirical Evidence from Borno State, Nigeria. Journal of Agriculture and Rural Development in the Tropics and Subtropics Volume 107, No. 2, 2006, pages 139 – 147.

Amos T.T. 2007. An Analysis of productivity and Technical Efficiency of

Smallholder Cocoa Farmers in Nigeria. Journal of Social Science, 15(2): 127-133

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Asadullah, M.N dan Sanzidur Rahman. 2005. Farm Productivity and Efficiency

in Rural Bangladesh: the role of Education revisited. CSAE WPS/2005-10 Atkinson, G. 2000, Measuring Corporate Sustainability. Journal of Environmental

Planning and Management 43(2), 235-252. Atkinson, G., Tannis Hett, Jodi Newcombe. 2000. Measuring ‘Corporate

Sustainability’. CSERGE Working Paper GEC 99-01. Ayaz, S., Zakir Hussain, Maq Bool Hussain Sial. 2010. Role of Credit on

Production Efficiency of Farming Sector in Pakistan (A. Data Employment Analysis). World Academy of Science Enginering and Technology 66, 240.

Badan Kebijakan Fiskal. 2011. Pertumbuhan PDB Menurut Sektor Ekonomi

2005-2010. Kementrian Keuangan RI, Jakarta. Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kabupaten Garut. 2010. Programa Penyuluhan

Pertamiam BPP Kecamatan Pasirwangi Tahun 2010. Garut. Badan Pusat Statistik. 2011. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kentang,

2009-2010. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Jakarta

Page 231: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

195  

  

Badan Pusat Statistik. 2012a. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Berita Resmi Statistik No. 13/02/Th. XV, 6 Februari 2012. Jakarta Indonesia.

_______________ . 2012b. Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2012. Berita Resmi Statistik No. 33/05/Th. XV, 7 Mei 2012. Jakarta Indonesia.

_______________ Jawa Barat. 2010. Jawa Barat dalam Angka 2010. Bandung Bakhsh, K.A, and Bashir Ahmad. 2006. Technical Efficiency and Its

Determinant in Potato Production, Evidence from Punjab, Pakistan. The Lahor Journal of Economics 11:2 (Winter 2006) pp 1-22.

Bakhsh, K., and Sarfraz Hassan. 2008. Relationship between Technical

Efficiency and Managerial Ability Evidence from Punjab, Pakistan. http://www.wbiconpro.com/Management/411-Bakhsh,L %20&%20 Hassan ,S. pdf

Bakhshoodesh, Mohammad, Kenneth J. Thomson. 2001. Input and Output

Technical Efficiencies of Wheat Production in Kerman, Iran. Agricultural Economics 24 (2001) 307 – 313.

Basit, Abdul. 1996. Analisis Ekonomi Penerapan Teknologi Usahatani

Konservasi pada Lahan Kering Berlereng di Wilayah Hulu DAS Jratunseluna Jawa Tengah. Program Pascasarjana IPB. Disertasi (tidak dipublikasikan).

Basnayake, B. M. J. K., and Gunaratne, L. H. P. 2002. ‘Estimation of Technical

Efficiency and It’s Determinants in the Tea Small Holding Sector in the Mid Country Wet Zone of Sri Lanka’, Sri Lanka Journal of Agricultural Economics 4: 137-150.

Battese, G. E. 1992. Frontier Production Function and Technical Efficiency: A

Survey of Empirical Applications in Agricultural Economics. Agricultural Economics, 7 (1992) 185-208. Elseiver Science Publishers B. V., Amsterdam.

____________ dan T. J. Coelli. 1993. A Stochastic Frontier Production Function

Incorporating A Model for Technical Inefficiency Effects. No. 69 – October 1993.

Battese, G. and Coelli, T. 1995. A Model for Technical Inefficiency Effects in a

Stochastic Frontier ProductionFfunction for Panel Data. Empirical Economics, Vol. 20, (1995) pp. 325–332.

Page 232: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

196  

 

Battesse, G.E., and G.S. Corra. 1977. Estimation on Production Frontier Model:With Application to the Pastoral Zone of Eastern Australia. Australian Journal of Agricultural Economics, 48(1977):169-179

Beattie, B.R., and C.Robert Taylor. 1994. Ekonomi Produksi (Terjemahan). Edisi 1. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta Indonesia.

Becker, B. 1997. Sustainability Assessment: A Review of Values, Concept and

Methodological Approaches. Issues in Agricultural 10. The Consultative Group on International Agricultural research (CGIAR) Washington DC.

Binam, J., Sylla, K., Diarra, I., and Nyambi, G. 2003. Factors Affecting

Technical Efficiency among Coffee Farmers in Cote d’Ivoire: Evidence from the Centre West region. African Development Review, Vol. 15 (2003) pp.66-76

Binam J, Tonye J, Njankoua W, Nyambi G, Akoa M. 2004. Factors Affecting the

Technical Efficiency Among Smallholder Farmers in the Slash and Burn Agriculture Zone of Cameroon. Food Policy 29:531–545.

Bozoglu and Ceyhan, V. 2007. Measuring the Technical Efficiency and

Exploring the Inefficiency Determinant of Vegetable Farms in Samsung Province, Turkey. Agric. Syst. 94: 649-656

Bravo-Ureta, B, E. and Antonio E. Pinheiro. 1993. Efficiency Analysis of

Developing Country Agriculture: A Review of the Frontier Function Literature. Agricultural and Resource Economics Review, Vol. 22, (1993) pp. 88–101.

. 1997. Technical, Economic, and

Allocative Efficiency in Peasant Farming: Evidence from the Dominican Republic. The Developing Economies, XXXV-1 (March 1997): 48 – 67.

-------------------------, Solıs, D., Cocchi, H. and Quiroga, R., 2006. ‘The impact of

Soil Conservation and Output Diversification on Farm Income in Central American Hillside Farming’, Agricultural Economics, Vol. 35, (2006) pp. 267–276.

--------------------------., Solıs, D., Moreira, V., Maripani, J., Thiam, A. and Rivas,

T. ‘Technical Efficiency in Farming: A Meta-Regression Analysis’, Journal of Productivity Analysis, Vol. 27, (2007) pp. 57–72.

Byiringiro, F. and Reardon, T. ‘Farm Productivity in Rwanda: Effects of Farm

Size, Erosion, and Soil Conservation Investments’, Agricultural Economics, Vol. 15, (1996) pp. 127–136.

Page 233: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

197  

  

Callens, I., Daniel Tyteca. 1999. Methods Towards Indicator of Sustainable Development for Firms A Productive Efficiency Perspective. Ecological Economics 28 (1999) 41-53.

Ceyhan, V. 2010. Assessing the Agricultural Sustainability of Conventional

Farming System in Samsun Province of Turkey. African Journal of Agricultural Research Vol. 5(13), pp. 1572-1583, 4 July 2010. At http://www.academicjournals.org/AJAR

Chavas, J., Petrie, R. and Roth, M. 2005. Farm Household Production Inefficiency

in the Gambia: Resource constraints and market failures. American Journal of Agricultural Economics, Vol. 87, (2005) pp. 160–179.

Christensen, L., Jorgenson, D. and Lau, L. 1973. Transcendetal Logarithmic

Production Frontiers. Review of Economics and Statistics 55 (1), 28-45. Coelli, T., 1996. Frontier Version 4.1 : A Computer Program for Stochastic

Frontier Production and Cost Function Estimation. Working Paper 96/7, CEPA, Departemen of Econometrics University of New England, Armidale, Australia.

Coelli, T., D.S. Prasada Rao, and G. E. Battese. 1998. An Introduction to

Efficiency and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publisher, Boston.

Coelli, T., D.S. Prasada Rao, C.J. O’Donnel, and G.E. Battese. 2005. An

Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Second Edition. Kluwer Academic Publisher, Boston.

Dantsis, T., Caterina Douma, Christina Giourga , Aggeliki Loumou , Eleni A.

Polychronaki . 2010. A Methodological Approach to Assess and Compare the Sustainability Level of Agricultural Plant Production Systems. Ecological Indicators 10 (2010) 256–263. Tersedia dalam www.elsevier.com/locate/ecolind

Dariah, Ai, Achmad Rachman, Undang Kurnia. 2005. Erosi dan Degradasi

Lahan di Indonesia. Puslittanak Bogor. Daryanto, H. K. S. 2000. Analysis of the Technical efficiency of Rice Production

in West Java Province, Indonesia: A Stochastic Frontier Production Function Approach. School of Economics, University of New England, Australia.

Debertin, David L., 1986. Agricultural Production Economics. Mcmillan

Publishing Company, New York.

Page 234: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

198  

 

Deininger, K., Castagnini, R. and Gonzalez, M. 2004. Comparing Land Reform and Land Markets in Colombia: Impacts on Equity and Efficiency (World Bank Working Papers No. 3258, Washington, DC, 2004).

De Koeijer, T.J., G. A. A. Wossink, P.C. Struik and J. A. Renkema . 2002.

Measuring Agricultural Sustainability in Terms of Efficiency: the Case of Dutch Sugar Beet Growers. Journal of Environmental Management (2002) 66, : 9-17.

De Koeijer, T.J., G. A. A. Wossink, Smit A, Jansssens S., J. A. Renkema, and

P.Struik. 2003. Assessment of the Quality of Farmers’Environment Management and Its Effects on Resource Use Efficiency: a Dutch Case Study. Agric.Syst 78: 85-103.

De Prada, Jorge D., Boris Bravo-Ureta, Frhed Shah. 2003. Agricultural

Productivity and Sustainability : Evidence from Low Input Farming in Argentina.

Dinas Kehutanan Prop. Jabar, 2010. Luas Lahan Kritis di Jawa Barat. Perum

Perhutani Unit III, Dinas Kehutanan Kab/Kota dan Balai Pengelola DAS Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat. 2010. Luas Panen, Produksi, dan

Produktivitas Sayuran. Bandung Jawa Barat Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010. Pedoman Umum Pelaksanaan

Pengembangan Hortikultura tahun 2011. Kementrian Pertanian, Jakarta. Doll, John P. & Frank Orazem, 1984. Production Economics: Theory with

Applications. John Wiley & Sons, New York. Dumanski, J., Eugene Terry, Derek Byerlee, Christian Pieri. 1998. Performance

Indicators for Sustainable Agriculture (Discussion Note). The World Bank-Washinton DC

Ekanayake S.A.B., and S.K.W. Jayasuriya. 1987. Measurement of Farm Specific

Technical Efficiency: A Comparison of Methods. Journal of Agricultural Economics, 38 (1): 115-122.

Erhman, M., Werner Kleinhanss. 2008. Review of Concept for Evaluation of

Sustainable Agriculture in Germany and Comparison of Measurement Schemes for Farm Sustainability.

Fariyanti, Anna. 2008. Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Sayuran dalam

Menghadapi Risiko Produksi dan Harga Produk di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Disertasi Program Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Page 235: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

199  

  

Farrell, M. J. 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of The Royal Statistical Society. Series A (general), Vol. 120, No. 3, (1957), pp. 253 – 290. Blackwell Publishing for the Royal Statistical Society. http://www.jstor.org/stable/2343100.

Fauziyah, Elys. 2010. Pengaruh Perilaku Petani dalam Menghadapi Risiko

Produksi terhadap Alokasi Input Usahatani Tembakau: Pendekatan Fungsi Produksi Frontir Stokastik. Disertasi Program Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Figge,F., Tobias Hahn. 2002. Methods Sustainable Value Added—Measuring

Corporate Sustainable Performance beyond Eco-Efficiency.2nd revised edition. Luneburg: Centre for Sustainability Management.

__________________. 2004. Sustainable Value Added—Measuring Corporate

Contributions to Sustainability Beyond Eco-efficiency. Ecological Economics 48 (2004) 173– 187

__________________. 2005. The Cost of Sustainability Capital and the Creation

of Sustainable Value by Companies. Journal of Industrial Ecology Volume 9, Number 4. http://mitpress.mit.edu/jie.

Forsund, F. R., and L. Hjalmarsson. 1979. Generalised Farell Measures of

Efficiency: An Application to Milk Processing in Swedish Dairy Plants. Economic Journal 89(3) : 294-315.

Gbigbi, Miebi Theophilus. 2011. Economic Efficiency of Smallholder Sweet

Potato Producers in Delta State, Nigeria: a Case Study of Ughelli South Local Government Area. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences, 7(2): 163-168, 2011

Gomes, Eliane Gonçalves, Joao C. C. B.,Geraldo da Silva e Souza, Lidia A. M.,

Joao A. C. M. 2009. Efficiency and Sustainability Assessment for a Group of Farmers in the Brazilian Amazon. Ann Oper Res (2009) 169: 167–181. Diakses tanggal 9 Mei 2010.

Gorton, M. and Davidova, M. 2004. Farm Productivity and Efficiency in the CEE

Applicant Countries: a Synthesis of Results. Agricultural Economics 30(2004), 1:16.

Greene, W. H. 1993. The Econometric Approach to Efficiency Analysis, in H. O.

Fried, C. A. K. Lovell and S. S. Schidt (eds). The Measurement of Productive Efficiency: Techniques and Aplications. Oxford University Press, New York : 68-119.

Hallam, D. and F. Machado. 1996. Efficiency Analysis with Panel Data: a Study

of Portuguese Dairy Farm. European Review on Agricultural Economics, 12 (1) : 79-93.

Page 236: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

200  

 

Hartoyo, Sri. 2003. Sustainable Agricultural Development in Java. Paper 2.

International Workshop on Sustainable Agricultural Development in South Asia. Indonesia Institute of Science September 15-16, 2003. Jakarta Indonesia.

Haryati, U dan U. Kurnia. 2000. Pengaruh Teknik Konservasi Terhadap Erosi dan

Hasil Kentang (Sollanum Tuberosum pada Lahan Budidaya Sayuran). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk halaman 207– 219. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Buku 2.

Hasan, M. Kamrul, and S. M. Fakhrul Islam. 2010. Technical Ineficiency of

Wheat Production in some Selected Areas of Bangladesh. Bangladesh Journal Agril. Res. 35(1): 101-112, March 2010.

Herdt, R. and Mandac, A. 1981. Modern Technology and Economic Efficiency of

Philippine Rice Farmers. Economic Development and Cultural Change 29, 375 - 399.

Hitzhusen, F.J. Land Degradation ans Sustainability of Agricultural Growth:

Some Economic Concepts and Evidence from Selected Developing Countries. Agricultural Ecosystem and Environment, 46 (1993) 69-79. Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam

Howarth, R. B. and Norgaard, R. B. 1990. Intergenerational Resource Rights,

Efficiency and Social Optimality. Land Economics 66(1), 1-11. Illge L., Hahn T., and Figge, F. 2008. Applying and Extending the Sustainable

Value Method Related to Agriculture – an Overview . 12th Congress of the European Association of Agricultural Economists – EAAE 2008

Iraizoz, Belen, Manuel Rapu´n, Idoia Zabaleta. 2003. Assessing the Technical

Efficiency of Horticultural Production in Navarra, Spain. Agricultural Systems 78 (2003) 387–403

Irawan, Bambang, Pancar Simatupang, Sugiarto, Supadi, Nur K.Agustin, Julia F.

Sinuraya. 2006. Panel Petani nasional (PATANAS): Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Laporan Akhir Penelitian TA 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

Jan P., Lips M., Roesch A., Lehmann B., Dumondel M. 2008. Sustainable Value:

an Application to Swiss Dairy Farms of the Mountainous Area. 12th Congress of the European Association of Agricultural Economists – EAAE 2008

Javed, M.I., Wasif Khurshid, Ishtiaq Hassan, Asghar Ali, and Nasir Nadeem. 2012. Impact of Instituonal Credit and Extension Service on Productive

Page 237: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

201  

  

Efficiency of Farms: Evidence from Irrigated Punjab, Pakistan. J.Agric. Res. 2012, 50(1). http://www.jar.com.pk/admin/upload/545__145p15.pdf

Jondrow, J., C.A Knox Lovell, Ivan S. Materov, dan Peter Schmidt. 1982. On

The Estimation of Technical Inefficiency in the Stochastic Frontier production Function Model. Journal of Econometrics 19 (1982), 233-238. North Holland Publishing Company.

Kalirajan, K. 1990. On Measuring Economic Efficiency. J Appl Economet 5:75–

85 Kalirajan, K. and Flin J. 1983. The Measurement of Farm-specific Technical

Efficiency. Pak J Applied Econ 2:167-180. Kalirajan, K. and Shand R. 1986. Estimating Location-specific and Firm-specific

Technical Efficiency: An Analysis of Malaysian Agriculture. J Econ Develop 11:147-160.

Kassie,M., Precious Zikhali, John Pender, and Gunnar Köhlin. 2009b.

Sustainable Agricultural Practices and Agricultural Productivity in Ethiopia Does Agroecology Matter? Environment for Development. Discussion Paper Series April 2009.

Katharina, Ratna. 2007. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahatani kentang

di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan Bandung. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Disertasi tidak dipublikasikan.

Katharina, Ratna. 2007. Adopsi Konservasi sebagai Bentuk Investasi Usaha

Jangka Panjang (Studi Kasus Usahatani Kentang Lahan Kering Dataran Tinggi Pengalengan). Jurnal Manajemen dan Agribisnis Vol 4 No 1 Maret 2007

Kementrian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategis kementrian Pertanian

Tahun 2010 – 2014. Kibaara, B. W. 2005. Technical Efficiency in Kenyan’s Maize Production: An

application of the Stochastic Frontier Approach. Thesis Master of Science. Colorado State University. Fort Collins, Colorado

Kim, Jong Moo. 2001. Efficiency Analysis of Sustainable and Conventional

Farms in the Republic of Korea with Special Reference to the Data Envelopment Analysis (DEA). Journal of Sustainable Agriculture Vol 18 (4) 2001.

Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics : An Introductory Exposition of

Econometric Methods. Second Edition. The Macmillan Press Ltd, London.

Page 238: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

202  

 

Kopp, J. and Diewert, W. 1982. The Decomposition of Frontier Cost Function Deviations into Measures of Technical and Allocative Efficiency. Journal of Econometrics 19, 319-331.

Kumbhakar, S. and Lovell, C. 2000. Stochastic Frontier Analysis. Cambridge

University Press. Kuosmanen, T., Natalia Kuosmanen. 2009a. The Role of Benchmark

Technology in Sustainable Value Analysis an Application to Finnish Dairy Farms. Agricultural and Food Science Vol. 18 (2009): 302-316

Kuosmanen, T., Natalia Kuosmanen. 2009b. How not to Measure Sustainable

Value (and How One Might). Ecological Economics 69 (1999): 235 - 243 Kurnia, U. 2000. Penerapan Teknik Konservasi Tanah pada Lahan Usahatani

Dataran Tinggi. Hal 47-57. dalam A. Abdurachman et al. (Eds.). Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor, 2-3 september 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Lapar, Ma.Lucila and Sushil Pandey. 1999. Adoption of Soil ConsErvation: the

Case of the Philippine Uplands. Agricultural Economics 21(1999) 241-256. Lau, L.J. and P.A. Yotopoulos. 1971. A test for relative efficiency and

applications to Indian Agriculture. American Economic Review.61:94-109. Lawn, P. 2006. Eco-efficiency Indicators Applied to Australia and Their Policy

Relevance In: Sustainable Development Indicators in Ecological Economics edited by Lawn P., Edward Elgar, chapter 16, pp. 344{375.

Lipsey, R.G. Peter O. Steiner, Douglas D. Purvis. 1987. Economics. Eight Edition.

Harper dan Row Publishers. New York. Liu, Z., and Zhuang, J. 2000. Determinants of Technical Efficiency in Post-

Collective Chinese Agricultue: Evidence from Farm-Level Data. Journal of Comparative Economics 28, 545-564.

Lopez, F. 2008. Technical Efficiency in Portuguese Dairy Farms. Departement

de Economia e Gestao, Universidade dos Aqores Portugal. Lopez-Ridaura, S. Masera, O. and Astier M. 2002. Evaluating the Sustainability

of Complex Socio-Environmental System. The MEMSIS Framework. Ecological Indicators 2, 135-148.

Lovell, C.A.K. 1993. Production frontiers and productive efficiency. The

measurement of productive efficiency: Techniques and applications. Fried, H.O., A.A.K. Lovell and S.S. Schmidt (Eds.) Oxford University Press, New York, 3-67.

Page 239: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

203  

  

Maganga, A.M. 2012. Technical Efficiency and its Determinants in Irish Potato

Production: Evidence from Dedza District, Central Malawi. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 12 (2): 192-197, 2012

Meeusen, W., and J.V.D. Broeck. 1977. Efficiency Estimation from Cobb-

Douglas Production Function with Composed Error. International Economic Review, 18(June 1977) : 435-444.

Merante, P., Cesare Pacini, Steven Van Passel, Concetta Vazzana. 2008

Application of the Sustainable Value Concept to a Representative Dairy Farm of Florence Province, Tuscany, under a Modelling Perspective. 12th Congress of the European Association of Agricultural Economists – EAAE 2008

Meul. M., S. Van Passel. 2009. Sustainability of Flemish Farms: Advising

Farmers and Policymakers. AgSAP Conference 2009, Egmond aan Zee, The Netherlands

Molnar A. 2008. Applying Sustainable Value Methodology for Hungarian

Agriculture. 12th Congress of the European Association of Agricultural Economists – EAAE 2008

Monografi Kecamatan Pangalengan, 2010 Murillo-Zamurano, L. 2004. Economics Efficiency and Frontier Technique.

Journal of Economic Surveys Vol. 18 No 1 pp. 33-77. Munasinghe, M. 2004. Sustainomics: ATrans- Disciplanary Framework for

Making Development More Sustainable. Munasinghe Institute for Development,Colombo Srilangka. http://www.ecoeco.org/pdf/sustainomics. pdf

Msuya, EE. Hisano, S and Nariu, T. 2008. Explaining Productivity Variation

among Smallholder Maize Farmers in Tanzania. MPRA Paper No. 14626, posted 17. April 2009 / 15:03. Online at http://mpra.ub.uni-muenchen.de/14626/

Nambiar, K.K.M, A.P. Gupta, Qinglin Fu, S.Li. 2001. Biophysical, Chemical

and Socio-Economic Indicators for Assessing Agricultural Sustainability in the Chinese Coastal Zone. Agriculture, Ecosystems and Environment 87 (2001) 209–214

Niyongabo, J. 2004. Where Sustainable Agriculture Means Agricultural

productivity? The Case Study of Gikongoro in Southern Rwanda. Nurida. L. N., dan A. Dariah. 2006. Beberapa Tipe Penggunaan Lahan Kering:

Peranannnya sebagai Pendukung Ketahanan Pangan dan Pelestarian

Page 240: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

204  

 

Lingkungan (Studi Kasus di DAS Citarum Hulu dan DAS Kaligarang). Seminar Nasional Sumberdaya Lahan. Bogor. 18 – 19 September 2006. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pertanian. Balai Litbang Pertanian.

Nurmalina, R. 2007. Model Neraca Ketersediaan Beras yang Berkelanjutan untuk

Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Sekolah pasca sarjana IPB. Disertasi tidak dipublikasikan.

Nwuru, J.C. 2011. Measurement and Determinants of Production Efficiency

among Small-Holder Sweet Potato (Ipomoea Batatas) Farmers in Imo State, Nigeria. European Journal of Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.59 No.3 (2011), pp.307-317 © EuroJournals Publishing, Inc. 2011 http://www.eurojournals.com/ejsr.htm

Obare, A Gideon, Daniel O. Nyagaka, Wilson Nguyo, and Samuel M. Mwakubo.

2010. Are Kenyan smallholders allocatively efficient? Evidence from Irish potato producers in Nyandarua North district. Journal of Development and Agricultural Economics Vol. 2(3), pp. 078-085, March 2010. http://www.academicjournals.org/JDAE

OECD. 1998. Eco-efficiency, Organisation for Economic Co-operation and

Development, Paris. Okike, I., M.A. Jabbar., V.M. Manyong, J.W. Smith dan S.K. Ehui. 2004.

Factors Affecting Farm-specific Production Efficiency in Savanna Zones of West Africa. Journal of African Economics, 2004 Volume 13, Number 1, PP 134-165.

O’Neill, S., Leavy, A. and Mattews, A. 2001. Measuring Productivity Change and

Efficiency on Irish farm, Technical Report, Teagasc Rural Economy Centre.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (OECD). 2001.

Environmental Indicators for Agriculture Methods and Results Otsuki, K., Hardie, I. and Reis, E. 2002. The Implication of Property Rights for

Joint Agriculture–Timber Productivity in the Brazilian Amazon. Environment and Development Economics, Vol. 7, (2002) pp. 299–323.

Pacini, C., G Giensen, A Wossink, L Omodei-Zorini and R Huirne. 2004. The

EU’s Agenda 2000 Reform and Sustainability of Organic Farming in Tuscany: Ecological-economic Modelling at Field and Farm Level. Agricultural Systems 80, 171-197.

Pemerintah Kabupaten Bandung. 2011. Petensi Pertanian dan Perkebunan.

http://www.bandungkab.go.id/arsip/2341/kawasan-sentra-produksi-komoditas-unggulan-kabupaten-bandung

Page 241: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

205  

  

Pemerintah Kabupaten . 2011. Sistem Informasi Kecamatan Kabupaten Garut.

garut.go.id. http://sikec.garutkab.go.id/gda/t_2_1_03list.php? cmd=resetall &thn =2009

 P. Jan, Lips M, Roesch A, Lehmann B, & Dumondel M. 2008. Sustainable Value: An Application to the Swiss Dairy Farm of the Mountainious Area. 12th Congress of the European Association of Agricultural Economics – EAAE 2008.

Parikh, A., A Farman, and M. K. Shah. 1995. Measurement of Economic

Efficiency in Pakistani Agriculture. American Journal of Agricultural economics 77 (August 1995), 675-885.

Pascual, U. 2005. Land Use Intensification Potential in Slash-and-bum farming

Through Improvement in Technical Efficiency. Ecological Economics, Vol. 52, (2005) pp. 497 -511.

Pemerintah Kabupaten Bandung. 2011. Rancangan Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bandung Tahun 2010-2015. Bandung.

Pender, J., Berhanu Gebremedhin, Samuel Benin, and Simeon Ehui. 2001.

Strategies for Sustainable Agricultural Development in the Ethiopian Highlands. Amer. J. Agr. Econ. 83 (Number 5, 2001): 1231–1240

________, Ephraim Nkonya, Pamela Jagger, Dick Sserunkuumab, Henry Ssalic.

2004. Strategies to Increase Agricultural Productivity and Reduce Land Degradation: Evidence from Uganda. Agricultural Economics 31 (2004) 181–195

Pretty, J, and Rachel Hine. 2001. Reducing Food Poverty with Sustainable

Agriculture: A Summary of New Evidence. Final report from “SAFE-WORLD”. UK Departement for international development Bread for the World, and Greenpeace (Germany)

________, 2007. Agricultural Sustainability: Concept, Principles, and Evidence.

Phil. Trans. R.Soc. B 2008. 363, 447 – 465. Doi: 10.1098/rstb.2007.2163. Profil Kecamatan Pangalengan 2010. Kecamatan Pangalengan Bandung BPS Kabupaten Garut. 2012. Profil Garut per Kecamatan 2012. Garut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2005. Teknologi

Pengelolaan Lahan kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah lingkungan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

Page 242: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

206  

 

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2003. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

Rao, N. H., P.P. Rogers. 2006. Assessment of Agricultural Sustainability.

General Article. Current Science, Vol. 91, No. 4, 25 August 2006. Reddy, Mahendra. 2002. Implication of Tenancy Status on Productivity and

Efficiency: Evidence from Fiji. Sri Lanka Journal of Agricultural Economics. Volume 4. Part 1. Pp. 19 – 37.

Reinhard, S., C.A. Knox Lovell., and Geert Thijssen. 2002. Analysis of

Environmental Efficiency Variation. Amer. J. Agr. Econ. 84(4) November 2002: 1054-1065.

___________, C.A. Knox Lovell, dan Geert Thijssen. 1999. Econometric

Estimation of Technical and Environmental Efficiency: An Application to Dutch Dairy Farm. Amer. J. Agr. Econ. 81(February, 1999): 44-60.

Richmond, J. 1974. Estimating the efficiency of production. International Economic Review.15:515-521.

Ridaura, S. Lopez. 2005. Multi-Scale Sustainability Evaluation, A framework for

the Derivation and Quantification of Indicators for Natural Resource Management Systems. Thesis, Wageningen University.

Rigby, D., David Howlett, Phil Woodhouse. 2000. Sustainability Indicators for

Natural Resource Management & Policy. Working Paper 1. A Review of Indicators of Agricultural and Rural Livelihood Sustainability.

_________, et al. 2001. Constructing a farm level indicator of sustainable

agricultural practice. Ecological Economics 39 (2001) 463-478. www.elsevier.com/locate/ecolecon.

Rios, A., and Shively, G. 2006. Farm Size and Non Parametric Efficiency

Measurement for Coffee Farm in Vietnam. Forest, Tress, and Livelihood, Vol. 16, (2006) pp. 397- 412

Russel, N.P., and T.Young. 1983. Frontier Production Function and the

Measurement of Technical Efficiency. Journal of Agricultural Economics, 34:139-150.

Sauer, J., and Abdallah, J.M. 2007. Forest Diversity, Ttobacco Production and

Resource Management in Tanzania. Forest Policy and Economics, 9, 421-439. Doi:10.1016/j.forpol.2005.10.1007

Saptana. 2011. Efisiensi Produksi dan Perilaku Petani terhadap Risiko Produksi

Cabai Merah Besar dan Cabai Merah Keriting di Provinsi Jawa Tengah. Disertasi Program Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Page 243: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

207  

  

Schmidt, P. 1976. On the Statistical Estimation of Parametric Frontier Production

Function. The Review of Economics and Statistics, 37(2) : 355-374. --------------. 1986. Frontier Production Function. Econometric Review 4, 289-328.

Sharma , K.R. Pradhan, N.C. and Leung, P.S. 2000. Stochastic Frontier Approach to Measuring Irrigation Performance: An Application to Rice Production Under the Two Systems in the Tarai of Nepal Water Resources Research, VOL. 37, NO. 7, P. 2009, 2001. doi:10.1029/2000WR900407

Sherlund, M. S., Barret, C. B. & Adesina, A. A. 2002. Smallholder technical Efficiency Controlling for Environtment Production Condition. Journal of Development Economics 69 (2002), 85 – 101.

Sinaga, R. 2011. Analisis Akses Kredit dan Pengaruhnya Terhadap Usahatani

Tomat dan Kentang: Studi Kasus di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor . Bogor. Tesis tidak Dipublikasikan.

Smith, C. S., and G. T. McDonald. 1998. Assessing the Sustainability of

Agriculture at the Planning Stage. Journal of Environmental Management (1998) 52, 15–37

Soekartawi. 1990. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis

Fungsi Cobb Douglas. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Solis, D., Boris E. Bravo-Ureta, dan Ricardo E. Quiroga. 2009. Technical

Efficiency among Peasant Farmers Participating in Natural Resource Management Programmes in Central America. Journal of Agricultural Economics, Vol.60, No. 1, 2009, 202-219. Doi:10.1111/j.1477-9552.2008.00173.x

-----------, Boris Bravo-Ureta, and Ricardo E. Quiroga. 2006. The Effect of Soil

Conservation on Technical Efficiency: Evidence from Central America. Selected Paper prepared for presentation at the American Agricultural Economics Association Annual Meeting, Long Beach, California, July 23-26, 2006

Stavins, R. N., Wagner, A. F. and Wagner, G. 2002. Interpreting Sustainability in

Economic Terms: Dynamic Efficiency Plus Intergenerational Equity. Resources for the Future, discussion paper .

Stefanou, S. and Saxena, S. 1988. Education, Experience and Allocative

Efficiency: A Dual Approach. American Journal of Agricultural Economics, Vol. 2, (1988) pp. 338–345.

Page 244: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

208  

 

Subedi, M. et al. 2009. Use of Farmer’s Indicators to Evaluate the Sustainability of Cropping System on Sloping Land in Yunnan Province, China. Pedosphere 19(3): 344-355, 2009. on www.elsevier.com/locate/pedosphere diakses tanggal

Sudirman, Abdul Muti K.S., M. Sodik Djunaedi dan Undang Kurnia. 2000.

Pengaruh Berbagai Jenis Pupuk Kandang dan Mulsa terhadap Kehilangan Bahan Organik dan Hara dalam Aliran Permukaan pada Lahan Sayuran Dataran Tinggi. Laporan Akhir Bagian Proyek Suberdaya Lahan dan Agroklimat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor.

Suganda, H., M. Sodik Djunaedi, D Santoso dan S. Sukmana, 1997. Pengaruh

Cara Pengendalian Erosi terhadap Aliran Permukaan, Tanah Tererosi, dan Produksi Sayuran pada Andisols. Jurnal Tanah dan Pupuk No.15 tahun 1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor.

Suganda, H., H. Kusnadi dan U. Kurnia. 1999. Pengaruh Arah Barisan Tanaman

dan Bedengan dalam Pengendalian Erosi pada Budidaya Sayuran Dataran Tinggi. Jurnal Tanah dan Iklim. (17):55-64.

Sukiyono, Ketut. 2005. Faktor Penentu Tingkat Efisiensi Teknik Usahatani Cabai

Merah di Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong. Jurnal Agro Economi, Volume 23 No. 2, Oktober 2005 : 176 – 190.

Sumarna, A. dan Y. Kusandriani. 1992. Pengaruh Jumlah Pengairan Air tehadap

Pertumbuhan dan Hasil Cabe Paprika (Capsicum annum L. var groosum) Kultivar orion dan Yolo Wonder A. Buletin Penelitian Hortikultura XXIV (1):51-58

Suryana, Achmad. 2005. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Andalan Pembangunan Nasional. Makalah Seminar Sistem Pertanian Berkelanjutan untuk Mendukung Pembangunan Nasional tgl 15 Maret 2005. Universitas Sebelas Maret Solo.

Syaukat, Y., Sushil Pandey. The Future Perspective of Upland Rice farmer in

Indonesia in Era Globalization. IRRI. Taylor, D. C., Mohamed Z. A., Shamsudin M. N., mohayidin M. G. and Chiew E.

F. 1993. Creating a Farmer Sustainability Index: A Malaysian Case Study. American Journal of Alternative Agriculture 8(4), 175-183.

Tchale, Hardwick and Johannes Sauer . 2007. The efficiency of maize farming in

Malawi. A bootstrapped translog frontier Cahiers d'Economie et Sociologie Rurales, 2007, vol. 82-83, pages 33-56

Tchale, Hardwick and Johannes Sauer . 2009. The Efficiency of Smallholder

Agriculture in Malawi. AFJARE Vol 3 No 2 September 2009.

Page 245: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

209  

  

Templet, P.H. 1999. Energy, Diversity, and Development in Economic System:

an Empirical Analysis. Ecological Economic 30, 223-233. Thiele, H. and Brodersen, C. M. 1999. Difference in Farm Efficiency in Market

and Transition Economies: Empirical Evidence from West and East Germany. European Review of Agricultural Economics 26(3), 331- 347.

Thirtle, C. and Holding, J. 2003. Productivity of UK Agriculture: Causes and

Constraints, Technical Report, Department for Environment, Food and Rural Affairs.

Tyteca, D. 1998. Sustainability Indicators at The Firm Level, Pollution and

Resource Efficiency als a Necessary Condition Toward Sustainability. Journal of Industrial Ecology 2(4), 61-77.

Udoh, Ebet Joshua. 2005. Technical Inefficiency in Vegetable Farms of Humid

region: An Analysis of Dry Season Farming by Urban Woman in South Zone, Nigeria. Journal of Agriculture & Social Sciences 1813-2235/2005/01-2-80-85. http://www.ijabjass.org.

Upton, M. 1979. The unproductive production function. Journal of Agricultural

Economics. 30:179-194. Van Calker, K.J., 2005. Sustainability of Dutch dairy farming systems: A

modelling approach. PhD Thesis, Wageningen University, The Netherlands, 208 pp.

, K., P. Barentsen, I. de Boer, G. Giesen, and R. Huirne. 2004. An

LP-model to Analyse Economic and Ecological Sustainability on Dutch Dairy Farms: Model Presentation and Aplication for Experimental farm de Marke. Agricultural System 82, 139-160.

, C. Romero, G. Giesen, and R Huirne. 2006.

Development and Application of A Multi-attribute Sustainability Function for Dutch Dairy Farming Systems. Ecological Economics 57, 640-658

Van Passel, S., Lauwers, L., Guido Van Huylenbroeck. 2006a. Factors of Farm

Performance: an Empirical Analysis of Structural and Managerial Characteristics, In: Causes and Impact of Agricultural Structure. http://www.gapem.org/Text/VanPassel_etal-FactorsFarmPerformance-Ch.pdf

____________, Erik Mathijs, Guido Van Huylenbroeck. 2006b. Explaining Differences in Farm Sustainability: Evidence from Flemish Dairy Farms. Contributed paper prepared for presentation at the International Association of Agricultural Economists Conference, Gold Coast, Australia, August 12-18, 2006.

Page 246: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

210  

 

Van Passel, S. 2008. Assessing Farm Sustainability with Value Oriented Methods. 12th Congress of the European Association of Agricultural Economists – EAAE 2008.

___________ , Guido van Huylenbroeck, Ludwig Lauwers, Erik Mathijs. 2009.

Sustainable Value Assessment of Farm Using Frontier Efficiency Benchmarks. Journal of Environment Management 90 (2009) 3057 – 3069.

___________, and Marijke Meul. 2010. Multilevel Sustainability Assessment

of Farming System: a Practical Approach. 9th Europen IFSA Symposium, 4-7 July 2010. Vienna (Austria).

Wadud, M. D. A. 1999. Farm efficiency in Bangladesh. Thesis. Departemen of

Agricultural Economics and Food Marketing. New Castle University ----------------------- and White B (2000) Farm Household Efficiency in

Bangladesh: A Comparison of Stochastic Frontier and DEA Methods. Appl Econ 32:1665–1673

WCED (World Commission on Environment and Development). 1987. Our

Common Future. New York: Oxford University Press. Wilson P, Hadley D, Ramsden S, Kaltsas I. 1998. Measuring and Explaining

Technical Efficiency in UK Potato Production. Journal Agric Econ 49:294–305

Woodward, R.T., Richard G. Bishop. 1995. Analysis Efficiency, Sustainability,

and Global Warming. Ecological Economics 14 (1995) 101-111. Elsivier Science B.V.

Zamorano, L. R. M. 2004. Economic Efficiency and Frontier Techniques. Journal

of Economic Surveys Vol. 18, No. 1. 2004. Zhen, Lin, Jayant K. Routray. 2003. Operational Indicators for Measuring

Agricultural Sustainability in Developing Countries Environmental Management [Environ. Manage.]. Vol. 32, no. 1, pp. 34-46. Jul 2003. www.elsevier.com/locate/agree. DOI: 10.1007/ s00267-003-2881-1.

Zhen, Lin, Jayant K. Routray, Michael A. Zoebisch, Guibao Ched, Gaodi Xie,

Shengkui Cheng. 2005. Three dimensions of sustainability of farming practices in the North China Plain A case study from Ningjin County of Shandong Province, PR China. Agriculture, Ecosystems and Environment 105 (2005) 507–522. Tersedia dalam www.sciencedirect.com

Page 247: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

LAMPIRAN

Page 248: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...
Page 249: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

213  

Lampiran 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009—2011 (Persen)

Lapangan Usaha

2009

2010

2011 Rata-rata

1.Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan

15,3 15,3 14,7 15,1

2. Pertambangan dan Penggalian 10,6 11,1 11,9 11,23. Industri Pengolahan 26,4 24,8 24,3 25,24. Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,8 0,8 0,8 0,85. Konstruksi 9,9 10,3 10,2 10,16. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 13,3 13,7 13,8 13,67. Pengangkutan dan Komunikasi 6,3 6,6 6,6 6,58. Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan

7,2 7,2 7,2 7,2

9. Jasa-Jasa 10,2 10,2 10,5 10,3Produk Domestik Bruto (PDB) 100,0 100,0 100,0 PDB Tanpa Migas 91,7 92,2 91,5

Sumber: Berita Resmi Statistik No. 13/02/Th. XV, 6 Februari 2012 Lampiran 2. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia menurut Sektor

Ekonomi Tahun 2005 – 2010

Sektor Ekonomi Pertumbuhan PDB (%) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata

Pertanian 2,7 3,4 3,5 4,8 4,0 2,9 3,6Pertambangan 3,2 1,7 1,9 0,7 4,4 3,5 2,6Industri 4,6 4,6 4,7 3,7 2,2 4,5 4,1Listrik 6,3 5,8 10,3 10,9 14,3 5,3 8,8Konstruksi 7,5 8,3 8,5 7,6 7,1 7,0 7,7Perdagangan 8,3 6,4 8,9 6,9 1,3 8,7 6,8Transportasi 12,8 14,2 14,0 16,6 15,5 13,5 14,4Keuangan 6,7 5,5 8,0 8,2 5,1 5,7 6,5Jasa-jasa 5,2 6,2 6,4 6,2 6,4 6,0 6,1

Sumber : Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI, 2011

Page 250: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

214  

Lampiran 3. Perkembangan Luas Lahan, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kentang, Kubis, dan Total Sayuran di Jawa Barat Tahun 2005 - 2010

raian Tahun Laju 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (%/th)

Luas Tanam (Ha) Kentang 17 969 17 323 16 135 14 358 13 261 13 972 -4.75Kubis 16 077 15 701 14 597 13 197 12 655 12 920 -4.19Total Sayuran 169 583 172 302 168 143 163 875 163 641 175 888 0.80

Luas Panen (Ha) Kentang 17 744 17 242 16 479 13 973 15 344 13 553 -4.86Kubis 16 755 14 399 15 414 12 596 13 604 12 811 -4.62Total Sayuran 183 543 181 779 178 478 170 215 173 297 183 417 0.05

Produksi (Ton) Kentang 359 892 349 157 337 369 294 564 323 543 275 100 -4.84Kubis 434 578 351 091 367 859 280 364 298 515 286 648 -7.14Total Sayuran 3 109 849 2 859 014 2 861 474 2 677 859 2 944 367 2 549 262 -3.57

Produktivitas (Ton/Ha) Kentang 20 20 20 21 21 20 0.04Kubis 26 24 24 22 22 22 -2.86Total Sayuran 17 16 16 16 17 14 -3.46

Suimber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2011

Page 251: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

215  

Lampiran 4. Penurunan Fungsi Biaya Dual (Dual Cost Function) dari Fungsi

Produksi Cobb Douglas

Subject to : , , , … . ,

0

0

,

λ = Lagrange multiplier

FOC :

… … … … … … . . 1

… … … … … … 2

3

4

Dari persamaan (1) dan (2) diperoleh:

.

. .

Dari persamaan (2) dan (3) diperoleh

.

Page 252: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

216  

Lampiran 4. Lanjutan

. .

Substitusikan nilai x2 dan x3 kedalam persamaan (4)

. . . .

. .

. . . .

1 1

1

1

1

1

1

1

1

Page 253: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

217  

Lampiran 4. Lanjutan

1

Masukkan ke dalam persamaan fungsi biaya

,

1

1

1

1

1

1

Jadi

1

Page 254: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

218  

Lampiran 5. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknik Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011  Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal data file = potato.dat Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.73633945E+01 0.72808725E+00 0.10113341E+02 beta 1 0.62519954E+00 0.96704674E-01 0.64650395E+01 beta 2 0.14961526E+00 0.78459533E-01 0.19069099E+01 beta 3 0.56639068E-01 0.38324741E-01 0.14778722E+01 beta 4 0.17396156E-02 0.67911189E-02 0.25616038E+00 beta 5 0.35754317E-02 0.13596456E-01 0.26296791E+00 beta 6 0.93571980E-01 0.50980976E-01 0.18354294E+01 beta 7 0.47634820E-01 0.69305777E-01 0.68731385E+00 beta 8 -0.81066490E-02 0.19515652E-02 -0.41539218E+01 beta 9 -0.11865768E+00 0.66227454E-01 -0.17916691E+01 beta10 0.88511862E-01 0.63192645E-01 0.14006672E+01 sigma-squared 0.17822878E+00 the final mle estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.77952809E+01 0.66589276E+00 0.11706511E+02 beta 1 0.66860058E+00 0.89435647E-01 0.74757728E+01 beta 2 0.12621351E+00 0.69128647E-01 0.18257773E+01 beta 3 0.44732021E-01 0.37204997E-01 0.12023122E+01 beta 4 0.11531736E-02 0.67823788E-02 0.17002494E+00 beta 5 0.13976153E-02 0.13465264E-01 0.10379413E+00 beta 6 0.10971458E+00 0.44461132E-01 0.24676516E+01 beta 7 0.65810493E-02 0.66898278E-01 0.98373973E-01 beta 8 -0.78948827E-02 0.18082874E-02 -0.43659446E+01 beta 9 -0.63953927E-01 0.63105936E-01 -0.10134376E+01 beta10 0.14197620E+00 0.61332614E-01 0.23148565E+01 delta 0 -0.38679517E+01 0.36601273E+01 -0.10567806E+01 delta 1 0.72575161E-01 0.45163806E-01 0.16069319E+01 delta 2 -0.15404379E-01 0.34639361E-0 -0.44470737E+00 delta 3 -0.22773792E-01 0.16835471E-1 -0.13527268E+01 delta 4 -0.12373262E+01 0.66733058E+00 -0.18541429E+01 delta 5 -0.15995458E+00 0.12148477E+00 -0.13166636E+01 delta 6 0.58816353E+00 0.54780324E+00 0.10736766E+01 delta 7 0.14497252E+01 0.11413669E+01 0.12701658E+01 delta 8 -0.53674021E+00 0.28070992E+00 -0.19120813E+01 sigma-squared 0.71001080E+00 0.33118003E+00 0.21438817E+01 gamma 0.84008668E+00 0.76489883E-01 0.10982978E+02 log likelihood function = -0.96400931E+02 LR test of the one-sided error = 0.21866408E+02 with number of restrictions = * [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 36 (maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 203 number of time periods = 1 total number of observations = 203 thus there are: 0 obsns not in the panel

Page 255: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

219  

Lampiran 6. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknik Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011  Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal data file = kubisf1.dat Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.50265220E+01 0.12110909E+01 0.41504084E+01 beta 1 0.42935090E+00 0.11772467E+00 0.36470767E+01 beta 2 0.24992245E+00 0.11273331E+00 0.22169353E+01 beta 3 0.22122892E-01 0.23127774E-01 0.95655086E+00 beta 4 0.11218986E-01 0.59256864E-01 0.18932805E+00 beta 5 0.54172035E-02 0.10933543E-01 0.49546641E+00 beta 6 0.23440680E+00 0.82506262E-01 0.28410789E+01 beta 7 0.37941022E-01 0.72892208E-01 0.52050861E+00 beta 8 -0.42291180E-02 0.24624874E-02 -0.17174171E+01 beta 9 0.23388378E-01 0.77788510E-01 0.30066623E+00 beta10 -0.60832067E-01 0.89463342E-01 -0.67996640E+00 sigma-squared 0.23023198E+00 the final mle estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.44472763E+01 0.11726594E+01 0.37924706E+01 beta 1 0.35320133E+00 0.10937786E+00 0.32291849E+01 beta 2 0.33343662E+00 0.97978852E-01 0.34031488E+01 beta 3 0.27115073E-01 0.20425160E-01 0.13275329E+01 beta 4 0.92630635E-02 0.52447521E-01 0.17661585E+00 beta 5 0.21725105E-02 0.10400847E-01 0.20887822E+00 beta 6 0.24490177E+00 0.72928707E-01 0.33580983E+01 beta 7 0.48947255E-01 0.72637510E-01 0.67385645E+00 beta 8 -0.69554415E-02 0.22678799E-02 -0.30669356E+01 beta 9 0.51005015E-01 0.74494097E-01 0.68468533E+00 beta10 -0.16779137E-01 0.82046252E-01 -0.20450827E+00 delta 0 0.23320975E+01 0.15472629E+01 0.15072407E+01 delta 1 -0.78709548E-02 0.11422692E-01 -0.68906304E+00 delta 2 -0.92893207E-02 0.33315359E-01 -0.27882998E+00 delta 3 0.10596535E-01 0.13391021E-01 0.79131642E+00 delta 4 -0.89495879E+00 0.89137923E+00 -0.10040158E+01 delta 5 -0.17606419E+00 0.16079276E+00 -0.10949759E+01 delta 6 -0.64271874E+00 0.67462274E+00 -0.95270838E+00 delta 7 0.10359090E+00 0.24833391E+00 0.41714359E+00 delta 8 -0.41372901E+00 0.42804267E+00 -0.96656021E+00 sigma-squared 0.46012183E+00 0.23377598E+00 0.19682169E+01 gamma 0.75337322E+00 0.17647207E+00 0.42690792E+01 log likelihood function = -0.99429826E+02 LR test of the one-sided error = 0.17047663E+02 with number of restrictions = * [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 39 (maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 166 number of time periods = 1 total number of observations = 166 thus there are: 0 obsns not in the panel

Page 256: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

220  

Lampiran 7. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Alokatif Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT IA /METHOD=ENTER Umur Pendidikan Pengalaman Keanggotaan Penyuluhan Kredit Statlahan Konservasi.

Regression

Model Summary

Model R R Square Adjusted R SquareStd. Error of the

Estimate

1 .357a .127 .091 .16676

a. Predictors: (Constant), Konservasi, Penyuluhan, Pendidikan, Kredit, Statlahan, Pengalaman, Keanggotaan, Umur

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression .786 8 .098 3.534 .001a

Residual 5.395 194 .028

Total 6.181 202

a. Predictors: (Constant), Konservasi, Penyuluhan, Pendidikan, Kredit, Statlahan, Pengalaman, Keanggotaan, Umur

b. Dependent Variable: IA

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) .687 .098 7.032 .000

Umur -.003 .001 -.197 -2.280 .024

Pendidikan -.005 .004 -.098 -1.299 .196

Pengalaman .001 .001 .040 .501 .617

Keanggotaan .028 .026 .079 1.081 .281

Penyuluhan .009 .007 .105 1.427 .155

Kredit -.019 .025 -.053 -.761 .448

Statlahan -.099 .024 -.277 -4.051 .000

Konservasi .009 .017 .039 .568 .571

a. Dependent Variable: IA

Page 257: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

221  

Lampiran 8. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Ekonomi Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT IE /METHOD=ENTER Umur Pendidikan Pengalaman Keanggotaan Penyuluhan Kredit Statlahan Konservasi.

Regression

Model Summary

Model R R Square Adjusted R SquareStd. Error of the

Estimate

1 .259a .067 .029 .12811

a. Predictors: (Constant), Konservasi, Penyuluhan, Pendidikan, Kredit, Statlahan, Pengalaman, Keanggotaan, Umur

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression .229 8 .029 1.747 .090a

Residual 3.184 194 .016

Total 3.413 202

a. Predictors: (Constant), Konservasi, Penyuluhan, Pendidikan, Kredit, Statlahan, Pengalaman, Keanggotaan, Umur

b. Dependent Variable: IE

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) .713 .075 9.489 .000

Umur 6.161E-5 .001 .006 .062 .950

Pendidikan -.006 .003 -.145 -1.863 .064

Pengalaman .000 .001 -.068 -.818 .415

Keanggotaan -.008 .020 -.032 -.419 .676

Penyuluhan .003 .005 .040 .519 .604

Kredit .007 .019 .024 .339 .735

Statlahan -.054 .019 -.203 -2.870 .005

Konservasi -.002 .013 -.014 -.191 .849

a. Dependent Variable: IE

Page 258: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

222  

Lampiran 9. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Alokatif Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 DATASET ACTIVATE DataSet1. DATASET CLOSE DataSet0. REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT IAkubis /METHOD=ENTER Umur Pendidikan Pengalaman Keanggotaan Penyuluhan Kredit Statlahan Konservasi.

Regression Model Summary

Model R R Square Adjusted R SquareStd. Error of the

Estimate

1 .343a .117 .072 .15734

a. Predictors: (Constant), Konservasi, Kredit, Umur, Statlahan, Penyuluhan, Pengalaman, Keanggotaan, Pendidikan

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression .517 8 .065 2.612 .010a

Residual 3.887 157 .025

Total 4.404 165

a. Predictors: (Constant), Konservasi, Kredit, Umur, Statlahan, Penyuluhan, Pengalaman, Keanggotaan, Pendidikan

b. Dependent Variable: IAkubis

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) -.016 .102 -.160 .873

Umur .002 .001 .132 1.439 .152

Pendidikan -.002 .004 -.035 -.391 .697

Pengalaman -.001 .001 -.109 -1.325 .187

Keanggotaan .053 .027 .163 1.935 .055

Penyuluhan .015 .007 .189 2.221 .028

Kredit .017 .026 .050 .641 .522

Statlahan -.023 .026 -.070 -.894 .373

Konservasi .056 .017 .254 3.202 .002

a. Dependent Variable: IAkubis

Page 259: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

223  

Lampiran 10. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Ekonomi Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011  REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT IEkubis /METHOD=ENTER Umur Pendidikan Pengalaman Keanggotaan Penyuluhan Kredit Statlahan Konservasi.

Regression

Model Summary

Model R R Square Adjusted R SquareStd. Error of the

Estimate

1 .293a .086 .039 .13733

a. Predictors: (Constant), Konservasi, Kredit, Umur, Statlahan, Penyuluhan, Pengalaman, Keanggotaan, Pendidikan

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression .278 8 .035 1.842 .073a

Residual 2.961 157 .019

Total 3.239 165

a. Predictors: (Constant), Konservasi, Kredit, Umur, Statlahan, Penyuluhan, Pengalaman, Keanggotaan, Pendidikan

b. Dependent Variable: IEkubis

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) .604 .089 6.814 .000

Umur .000 .001 .024 .257 .797

Pendidikan -.003 .004 -.084 -.919 .360

Pengalaman .000 .001 .015 .183 .855

Keanggotaan -.069 .024 -.246 -2.869 .005

Penyuluhan -.007 .006 -.096 -1.105 .271

Kredit -.059 .023 -.202 -2.545 .012

Statlahan -.005 .022 -.018 -.227 .821

Konservasi -.005 .015 -.027 -.331 .741

a. Dependent Variable: IEkubis

Page 260: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

224  

Lampiran 11. Hasil Estimasi fisiensi Teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 No Petani TE AE EE

1 0.84 0.70 0.59 2 0.85 0.69 0.59 3 0.91 0.52 0.47 4 0.84 0.51 0.43 5 0.91 0.42 0.38 6 0.81 0.54 0.44 7 0.92 0.45 0.41 8 0.82 0.38 0.31 9 0.86 0.47 0.41 10 0.80 0.67 0.53 11 0.82 0.89 0.73 12 0.91 0.46 0.42 13 0.86 0.28 0.24 14 0.83 0.49 0.41 15 0.83 0.64 0.53 16 0.93 0.45 0.42 17 0.80 0.65 0.52 18 0.80 0.61 0.49 19 0.87 0.49 0.42 20 0.82 0.45 0.37 21 0.77 0.73 0.56 22 0.68 0.70 0.48 23 0.88 0.44 0.39 24 0.87 0.74 0.64 25 0.71 0.79 0.56 26 0.88 0.42 0.37 27 0.92 0.58 0.40 28 0.88 0.68 0.60 29 0.86 0.69 0.59 30 0.78 0.63 0.49 31 0.82 0.88 0.73 32 0.81 0.94 0.76 33 0.89 0.95 0.85 34 0.87 0.66 0.57 35 0.84 0.42 0.35 36 0.89 0.63 0.56 37 0.83 0.38 0.31 38 0.88 0.59 0.53

No Petani TE AE EE 39 0.84 0.41 0.35 40 0.90 0.90 0.80 41 0.89 0.33 0.29 42 0.89 0.47 0.42 43 0.91 0.52 0.47 44 0.87 0.53 0.46 45 0.89 0.59 0.52 46 0.85 0.52 0.44 47 0.89 0.84 0.76 48 0.93 0.44 0.41 49 0.74 0.53 0.39 50 0.88 0.54 0.48 51 0.88 0.55 0.48 52 0.91 0.78 0.71 53 0.89 0.47 0.42 54 0.73 0.68 0.49 55 0.93 0.25 0.23 56 0.95 0.92 0.35 57 0.87 0.45 0.40 58 0.84 0.95 0.80 59 0.74 0.76 0.56 60 0.78 0.35 0.27 61 0.90 0.49 0.44 62 0.84 0.45 0.38 63 0.94 0.41 0.38 64 0.93 0.33 0.31 65 0.61 0.56 0.34 66 0.90 0.48 0.44 67 0.81 0.68 0.55 68 0.90 0.52 0.47 69 0.86 0.41 0.35 70 0.21 2.54 0.54 71 0.83 0.42 0.35 72 0.93 0.64 0.59 73 0.91 0.48 0.44 74 0.82 0.62 0.51 75 0.87 0.32 0.28 76 0.85 0.46 0.39

Page 261: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

225  

Lampiran 11. Lanjutan

No Petani TE AE EE 77 0.88 0.50 0.44 78 0.90 0.26 0.23 79 0.90 0.40 0.36 80 0.89 0.40 0.36 81 0.89 0.43 0.38 82 0.90 0.43 0.39 83 0.91 0.57 0.52 84 0.83 0.23 0.19 85 0.91 0.46 0.42 86 0.86 0.26 0.22 87 0.90 0.34 0.30 88 0.79 0.35 0.28 89 0.82 0.44 0.36 90 0.91 0.24 0.22 91 0.91 0.53 0.48 92 0.76 0.82 0.63 93 0.90 0.40 0.36 94 0.85 0.51 0.43 95 0.87 0.45 0.39 96 0.88 0.54 0.47 97 0.50 0.88 0.44 98 0.83 0.52 0.43 99 0.84 0.56 0.47 100 0.87 0.47 0.41 101 0.84 0.36 0.30 102 0.94 0.27 0.25 103 0.85 0.33 0.28 104 0.83 0.39 0.32 105 0.83 0.39 0.33 106 0.92 0.42 0.39 107 0.93 0.34 0.32 108 0.90 0.29 0.26 109 0.89 0.31 0.28 110 0.85 0.40 0.34 111 0.92 0.31 0.29 112 0.77 0.37 0.28 113 0.92 0.33 0.30 114 0.87 0.38 0.33 115 0.86 0.46 0.40 116 0.85 0.37 0.31

 

No Petani TE AE EE 117 0.75 0.64 0.48 118 0.90 0.36 0.32 119 0.89 0.50 0.44 120 0.86 0.36 0.31 121 0.88 0.36 0.32 122 0.76 0.47 0.36 123 0.82 0.70 0.57 124 0.92 0.34 0.31 125 0.85 0.33 0.28 126 0.83 0.41 0.34 127 0.89 0.41 0.37 128 0.88 0.40 0.35 129 0.89 0.36 0.32 130 0.73 0.46 0.34 131 0.81 0.33 0.26 132 0.77 0.53 0.40 133 0.87 0.40 0.34 134 0.85 0.35 0.30 135 0.92 0.36 0.33 136 0.91 0.39 0.35 137 0.75 0.39 0.29 138 0.82 0.49 0.40 139 0.90 0.30 0.27 140 0.85 0.41 0.35 141 0.90 0.40 0.36 142 0.90 0.42 0.38 143 0.69 0.42 0.39 144 0.86 0.31 0.26 145 0.88 0.31 0.27 146 0.49 0.61 0.30 147 0.77 0.59 0.45 148 0.88 0.36 0.32 149 0.91 0.36 0.32 150 0.89 0.26 0.24 151 0.87 0.36 0.31 152 0.92 0.29 0.26 153 0.86 0.41 0.35 154 0.86 0.45 0.39 155 0.89 0.54 0.48 156 0.90 0.31 0.28

Page 262: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

226  

Lampiran 11. Lanjutan

No Petani TE AE EE 157 0.85 0.31 0.26 158 0.85 0.58 0.49 159 0.92 0.36 0.33 160 0.92 0.43 0.40 161 0.87 0.42 0.37 162 0.81 0.51 0.41 163 0.30 1.03 0.31 164 0.87 0.24 0.21 165 0.87 0.24 0.21 166 0.91 0.30 0.27 167 0.88 0.30 0.26 168 0.87 0.35 0.30 169 0.67 0.63 0.42 170 0.88 0.30 0.26 171 0.93 0.35 0.32 172 0.86 0.28 0.25 173 0.46 0.83 0.38 174 0.83 0.33 0.28 175 0.87 0.24 0.21 176 0.87 0.72 0.63 177 0.67 0.34 0.23 178 0.62 0.34 0.21 179 0.84 0.26 0.22 180 0.93 0.23 0.21

No Petani TE AE EE 181 0.80 0.33 0.26 182 0.78 0.43 0.33 183 0.91 0.27 0.25 184 0.88 0.32 0.28 185 0.89 0.23 0.20 186 0.78 0.49 0.38 187 0.74 0.37 0.27 188 0.87 0.30 0.26 189 0.85 0.33 0.28 190 0.87 0.32 0.28 191 0.90 0.26 0.24 192 0.86 0.29 0.26 193 0.90 0.28 0.25 194 0.86 0.41 0.35 195 0.90 0.29 0.26 196 0.82 0.44 0.36 197 0.84 0.34 0.28 198 0.89 0.20 0.18 199 0.91 0.19 0.17 200 0.75 0.21 0.15 201 0.38 0.19 0.18 202 0.59 0.57 0.34 203 0.78 0.51 0.40

Page 263: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

227  

Lampiran 12. Hasil Estimasi Efisiensi Teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 No resp TE AE EE

1 0.82 0.79 0.65 2 0.89 0.75 0.66 3 0.41 0.83 0.34 4 0.81 0.95 0.77 5 0.85 0.59 0.50 6 0.84 0.75 0.63 7 0.80 0.74 0.59 8 0.73 0.84 0.62 9 0.76 0.80 0.61 10 0.87 0.45 0.40 11 0.84 0.56 0.47 12 0.81 0.83 0.68 13 0.71 0.89 0.63 14 0.60 0.96 0.58 15 0.87 0.60 0.52 16 0.84 0.76 0.64 17 0.83 0.79 0.66 18 0.39 0.91 0.35 19 0.89 0.50 0.45 20 0.35 0.99 0.35 21 0.81 0.97 0.79 22 0.81 0.96 0.78 23 0.82 0.85 0.70 24 0.73 0.65 0.48 25 0.42 0.83 0.35 26 0.87 0.63 0.55 27 0.78 0.87 0.67 28 0.29 0.97 0.28 29 0.74 0.96 0.71 30 0.79 0.83 0.66 31 0.65 0.73 0.47 32 0.87 0.68 0.59 33 0.38 1.00 0.38 34 0.28 0.96 0.27 35 0.88 0.60 0.53 36 0.89 0.77 0.68 37 0.40 0.94 0.37 38 0.66 0.96 0.63 39 0.46 0.99 0.46 40 0.79 0.73 0.58

No resp TE AE EE 41 0.74 0.80 0.59 42 0.71 0.72 0.51 43 0.90 0.65 0.59 44 0.61 0.85 0.52 45 0.50 0.87 0.43 46 0.82 0.95 0.77 47 0.79 0.98 0.77 48 0.81 0.89 0.72 49 0.78 0.61 0.47 50 0.69 0.85 0.58 51 0.72 0.92 0.66 52 0.53 0.89 0.47 53 0.78 0.94 0.73 54 0.47 0.96 0.45 55 0.68 0.81 0.55 56 0.44 0.86 0.38 57 0.55 0.84 0.46 58 0.77 0.23 0.18 59 0.86 0.59 0.50 60 0.37 0.95 0.35 61 0.49 0.93 0.46 62 0.84 0.65 0.54 63 0.60 0.90 0.54 64 0.65 0.80 0.52 65 0.80 0.55 0.44 66 0.87 0.63 0.55 67 0.86 0.80 0.69 68 0.80 0.96 0.77 69 0.68 0.80 0.54 70 0.70 0.81 0.57 71 0.90 0.66 0.59 72 0.81 0.89 0.72 73 0.81 0.75 0.61 74 0.84 0.57 0.48 75 0.76 0.64 0.48 76 0.49 0.82 0.40 77 0.73 0.84 0.61 78 0.48 0.94 0.46 79 0.81 0.88 0.71 80 0.75 0.67 0.50

 

Page 264: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

228  

Lampiran 11. Lanjutan

No Petani TE AE EE 81 0.74 0.72 0.53 83 0.55 0.83 0.46 84 0.78 0.68 0.53 85 0.77 0.79 0.61 86 0.52 0.98 0.51 87 0.50 0.81 0.41 88 0.73 0.77 0.56 89 0.58 0.56 0.33 90 0.80 0.94 0.76 91 0.80 0.42 0.34 92 0.87 0.87 0.76 93 0.68 0.82 0.56 94 0.78 0.52 0.40 95 0.36 0.99 0.36 96 0.84 0.67 0.57 97 0.88 0.55 0.48 98 0.74 0.86 0.64 99 0.83 0.90 0.75 100 0.83 0.91 0.76 101 0.84 0.95 0.79 102 0.69 0.88 0.61 103 0.75 0.72 0.54 104 0.76 0.74 0.57 105 0.82 0.66 0.54 106 0.86 0.78 0.67 107 0.65 0.59 0.38 108 0.87 0.63 0.55 109 0.73 0.90 0.65 110 0.82 0.83 0.68 111 0.83 0.50 0.41 112 0.85 0.81 0.69 113 0.88 0.83 0.73 114 0.73 0.70 0.51 115 0.62 0.61 0.38 116 0.79 0.88 0.70 117 0.81 0.87 0.70 118 0.52 0.96 0.50 119 0.61 0.93 0.56 120 0.71 0.72 0.51 121 0.89 0.44 0.39 122 0.87 0.83 0.72 123 0.59 0.99 0.59 124 0.83 0.73 0.60

No Petani TE AE EE 125 0.80 0.71 0.57 126 0.84 0.37 0.31 127 0.91 0.66 0.60 128 0.76 0.65 0.49 129 0.77 0.87 0.67 130 0.77 0.95 0.73 131 0.55 0.97 0.53 132 0.76 0.94 0.72 133 0.42 0.97 0.41 134 0.80 0.35 0.28 135 0.89 0.83 0.74 136 0.84 0.34 0.28 137 0.83 0.67 0.55 138 0.84 0.96 0.81 139 0.77 0.78 0.60 140 0.78 0.88 0.69 141 0.67 0.58 0.39 142 0.88 0.81 0.71 143 0.88 0.66 0.58 144 0.78 0.85 0.66 145 0.82 0.83 0.68 146 0.61 0.97 0.59 147 0.84 0.99 0.83 148 0.85 0.78 0.66 149 0.89 0.79 0.70 150 0.90 0.50 0.45 151 0.81 0.79 0.65 152 0.81 0.97 0.79 153 0.86 0.72 0.61 154 0.91 0.84 0.77 155 0.74 0.76 0.56 156 0.67 0.50 0.34 157 0.77 0.87 0.67 158 0.71 0.43 0.30 159 0.78 0.76 0.59 160 0.75 0.92 0.69 161 0.75 0.73 0.55 162 0.81 0.73 0.60 163 0.69 0.53 0.36 164 0.77 0.38 0.30 165 0.57 0.61 0.35

166

0.64

0.64

0.41

Page 265: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

229   Lampiran 13. Penurunan Sumberdaya Efisien untuk menghitung Benchmark

Diketahui Persamaan Nilai Tambah (VA):

exp

Dengan:

= nilai tambah (penerimaan)

Asumsikan usahatani menggunakan dua sumberdaya yaitu:

r1 = sumberdaya ke-1

r2 = sumberdaya ke-2

Maka penggunaan input yang efisien dapat diperoleh dengan menghitung:

exp 1

exp1

exp1

exp1

exp

exp

exp

exp

exp

exp

Page 266: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

230  Lampiran 5. Lanjutan

Dengan cara yang sama penggunaan r2 yang efisien dapat diperoleh dengan:

1

exp1

exp1

exp

exp

exp

Untuk tiga variabel:

exp

1

exp1 1

exp1 1

exp

exp

exp

exp

Untuk memperoleh r2* maka:

Page 267: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

231  

1

exp1 1

exp1 1

exp

exp

exp

Untuk memperoleh r3* maka:

1

exp1 1

exp1 1

exp

exp

Dengan demikian untuk 5 variabel:

exp

exp

exp

Page 268: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

232  Lampiran 5. Lanjutan

exp

exp

Page 269: efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di ...

233  

Lampiran 10a. Nilai Kontribusi Kubis

Interval

Nilai Kontribusi Lahan TKerja Modal Sprodi Erosi

Jumlah Petani (orang)

Persen Jumlah Petani (orang)

Persen Jumlah Petani (orang)

Persen Jumlah Petani (orang)

Persen Jumlah Petani

(orang)\ Persen

< -10000 74 44.58 27 16.27 127 76.51 22 13.25 53 31.93 min 10 001 sd 0 69 41.57 93 56.02 20 12.05 98 59.04 58 34.94

1 sd 10000 20 12.05 36 21.69 15 9.04 33 19.88 35 21.08 10 001 sd 20000 2 1.20 3 1.81 0 - 6 3.61 8 4.82

> 20 001 1 0.60 7 4.22 4 2.41 7 4.22 12 7.23 TOTAL 166 100 166 100 166 100 166 100 166 100

Lampiran 10b. Nilai Kontribusi Kentang

Interval

Nilai Kontribusi Lahan TKerja Modal Sprodi Erosi

Jumlah Petani (orang)

Persen Jumlah Petani (orang)

Persen Jumlah Petani (orang)

Persen Jumlah Petani (orang)

Persen Jumlah Petani

(orang)\ Persen

< - 10000 116 57.14 39 19.21 187 92.12 149 73.40 66 32.51 - 10 001 - 0 63 31.03 55 27.09 4 1.97 37 18.23 19 9.36 1 - 10000 13 6.40 46 22.66 8 3.94 7 3.45 35 17.24 10 001 - 20000 7 3.45 29 14.29 3 1.48 4 1.97 29 14.29 > 20 001 4 1.97 34 16.75 1 0.49 6 2.96 54 26.60

TOTAL 203 100.00 203 100.00 203 100.00 203 100.00 203 100.00