Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia...
Transcript of Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia...
Djaduk FeriantoMENGEMBANGKAN
YANG LAWAS DENGAN KEBARUAN
Sinten RemenKERONCONG YANG TIDAK
SEKEDAR ROMANTIS
Victor GanapMUSIK
KRONTJONG INDONESIA
Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016
Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 20162
SEKRETARIATJL.TEBET BARAT VI K, NO. 32JAKARTA SELATAN 12810TELP/FAX : (+62 21) 8370 - 8629website : www.kayan.co.id@infoKAYANKayan Production
S W A R ATIM PRODUKSI
ProduserButet Kartaredjasa
Pimpinan ProduksiLalang Zulita
KeuanganMedi Indra Kesuma
SekretariatDivana
Desain GrafisHafidh
Penanggung Jawab Media & PublikasiIndiah Sari, Ade April
Penanggung Jawab TiketHanifury, Achmad Sabur, Putra
Penanggung Jawab KonsumsiTante Tutut, Meta, Gilang
Pekerja SiagaYanto, Husni, Dadang
UsherHendra dkk.
Dokumentasi FotoWitjak Widi Cahya, Didik Mugi Triman, Yose
Dokumentasi VideoGiras Baswondo
TIM ARTISTIKTim Kreatif
Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, Agus Noor
Naskah/SutradaraAgus NoorPenata Musik
Djaduk FeriantoPenata Tari
B. Kristiono SoewardjoArtistik
Ong Hari Wahyu, Retno Ratih DamayantiSupervisi PanggungPatub LinduajiManager Panggung
Tinton PrianggoroKru Panggung
Aa Tokim, YogaPenata Cahaya
Deray SetyadiPenata Suara
Antonius GendelWardrobe
Bayu, Angga, YastiMake Up
Sena Sukarya, Paijo, KarinTalent
Dimas GimbalKarikatur
Toni Malakian
TIM BULETINPenanggung Jawab BuletinRatu Selvi Agnesia
PenulisRatu Selvi Agnesia, Mahesa Rinakit,
Ahmad Husein BejoDesign Grafis & Layouter
Ade Fahlevi
Halaman 3 : SorotDjaduk Ferianto : Mengembangkan Yang Lawas Dengan KebaruanHalaman 4 : LayarSubardjo HS : Keroncong Sebagai Persembahan KehidupanHeny Janawati : Agar Pertunjukan Opera MembumiHalaman 5 : LakonEndah Laras : Si Jenaka Melagu Keroncong PerjuanganOlga Lydia : Cinta Dalam Deru RevolusiMerlyn Sofjan : Seni Sebagai Media Reflektif
Sejak beberapa abad yang lalu telah terjadi hubungan an-tara orang-orang Indonesia dengan orang-orang yang datang dari daratan Eropa. Tidak terhindarkan lagi ter-
jadi akulturasi yang melibatkan kebudayaan yang datang dari Eropa dengan kebudayaan setempat. Kesenian musik keron-cong adalah salah satu yang mengalami kedua proses terse-but dan berlangsung secara terus menerus sejak abad ke-17 hingga abad ke-20.
Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang panjang dan penuh pertentangan. Dari musik peli-pur lara, pengiring acara pesta dan dansa-dansa, lagu puji-pujian hingga menjadi objek industri rekaman.
Pada masa yang lain keroncong dianggap sebagai pem-bangkit rasa cinta tanah air dan semangat kebangsaan. Pertun-jukan Doea Tanda Tjinta menjadikan keroncong sebagai ruh pertunjukan dibalut kisah cinta pada deru masa perjuangan.
Lakon Doea Tanda Tjinta menghadirkan Subardjo HS
maestro keroncong asal kota gede Yogyakarta, berdampingan de-ngan penyanyi keroncong yang selalu tampil jenaka Endah Laras dan penyanyi seriosa Heny Janawati. Selanjutnya, bintang tamu yang akan memainkan tokoh utama dalam kisah percintaan, tiada lain Olga Lydia sebagai Noni, bersama Merlyn Sopjan.
Di rubrik Ragam, peneliti keroncong yang paling mum-puni saat ini, Prof.Dr. Victor Ganap akan memaparkan seja-rah keroncong dalam masa kemerdekaan Indonesia. Sedang-kan di Arena, kelompok Sinten Remen menyuguhkan musik keroncong tidak hanya sebagai musik yang dianggap lawas namun dengan kebaruan yang lebih menyegarkan telinga pe-nonton.
Selamat menyaksikan Doea Tanda Tjinta.
Salam CintaRedaksi
DAfTAR ISIEdisi Keduapuluh 29 - 30 Juli 2016
Redaksi Indonesia Kita
Halaman 6-7 : Langgam Pemain dan Peran Doea Tanda TjintaHalaman 8 : ArenaSinten Remen : Keroncong Yang Tidak Sekedar RomantisHalaman 9 : RagamVictor Ganap : Musik Krontjong Indonesia
Halaman 10 : Panggung SelanjutnyaHalaman 11 : Ucapan Terima Kasih Kayan Production @InfoKAYANwww.kayan.co.id
Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 3 S O R O T
Melalui pijakan pemanggungan inilah tentunya berpengaruh pada pilih-an musik keroncong yang diampu oleh Djaduk ferianto sebagai penata musik yang juga pim pinan grup musik Sinten Remen.
“Saya memilih lagu-lagu lawas yang semangat dan waktunya bersamaan de-ngan tren opera masa itu” tutur Djaduk menceritakan konsep musiknya yang ber kaitan erat dengan benang merah pe-manggungan.
Menjelang pertunjukan, di Yogya-karta para pemain Sinten Remen berlatih memainkan lagu-lagu lawas. Seperti lagu Citra, Ojo Gelo, Maria Elena, Keroncong Pemudi dan Pemuda, Pengantin Anyar, Danana beserta berbagai lagu lawas lain-nya. “Ini melodi zaman kemerdekaan dengan lagu-lagu Eropa dan semangat rakyat sesuai Indonesia.” tutur seniman yang baru saja menginjak usia 51 tahun yang tentunya semakin memantapkan diri sebagai seniman yang gelisah.
Setiap lagu memiliki kisah, keunik-an dan tantangan sendiri untuk diaran-semen dan diinterpretasikan ulang. Pada lagu Citra karya Ismail Marzuki, Djaduk mengubah beat nya menjadi kental dengan dengan keroncong. Be-gitu pula dengan lagu Maria Elena yang akan di bawakan oleh maestro keroncong Su bardjo HS. Lagu ini berbahasa asli Spa nyol dan akan dibawakan Su bardjo dalam bahasa Indonesia.
“Lagu-lagu Eropa itu dialihbaha-
sakan dan diadaptasi dalam bahasa Indo-nesia menjadi lagu-lagu rakyat yang sering kita dengar” ungkapnya.
Begitu pula dengan beberapa lagu yang akan dibawakan oleh penyanyi ke-roncong Endah Laras dan penyanyi Seriosa Heny Janawati. “Keroncong dan seriosa ini akan menjadi menarik untuk spirit musik baru di keroncong” tegasnya.
Berbicara tentang keroncong, meski-pun musik ini berasal dari Portugis namun memiliki akuturasi erat dengan budaya Indonesia. Bahkan kata keroncong sendiri memang asli dari Indonesia yang kemudi-an dikenal dengan alat musik yang khasnya adalah ukulele. Alat musik petik jenis gitar kecil yang selalu menjadi identitas keron-cong. Selanjutnya, perkembangan kelom-pok yang menekuni musik keroncong ini salah satunya adalah komunitas tugu yang kemudian membentuk keroncong tugu di Jakarta Utara.
Begitu pula dengan berdirinya Sinten Remen pada tahun 1997 sebagai kelompok keroncong yang kreatif, jenaka dan unik merupakan sebuah upaya untuk mendekat-kan keroncong pada publiknya. Oleh sebab itu, diperlukan formula supaya anak seka-rang (generasi muda) mau meng apresiasi. Tentunya jalan yang dilakukan adalah meng aransemen banyak pola dan ragam yang dimasukan di luar mainstream keron-cong lawas. “Kalau bahasa saya dibuat “le-bih ngetren” disesuaikan dengan masa kini”.
Djaduk pun optimis bila keroncong tidak menutup diri pada zaman dan akan selalu berkembang. Pada tahun 2015 ia mendaulat Pasar Keroncong di Kota Gede-Yogyakarta sebagai surganya para musisi keroncong. Ada pula Solo Keroncong fes-tival 2016 pada Mei silam. Dalam waktu dekat, Djaduk siap untuk mewujudkan festival keroncong se-Indonesia.
“Ini saatnya tren kembalinya ma-suk keroncong di hati anak muda, bukan sekedar musik klangenan, bukan musik tua”. Sebab, memang terdapat feno mena di mana komunitas keroncong berisi seni-man yang masih berpikir mainstream. Perlu dilakukan sebuah dekonstruksi oleh seniman-seniman muda sebagai sebuah gerakan musik yang total untuk menjadi-kan keroncong semakin berkembang.
Meskipun di balik perkembangan ter-sebut, Djaduk mengharapkan bahwa pemi-kiran yang ingin disampaikannya, melalui kar ya-karyanya semoga dapat diterima utuh oleh masyarakat dan tidak tereduksi mak-nanya. Serupa dengan kunci berkesenian Djaduk selama ini, bahwa yang terpenting adalah “membangun kegelisahan dan meng-isi apa yang kita punya untuk jagad seni dan bangsa.” Ratu Selvi Agnesia
Panggung Indonesia Kita dalam Doea Tanda Tjinta menyuguhkan kilas balik sejarah masa lalu, yang lawas namun selalu dikenang. Dari kisah cinta di deru masa Indonesia Tempo Doloe hingga konsep pemanggungan bergaya opera. Pada masa lalu, pertunjukan Toneel,
Dardanella merupakan jenis opera yang pernah berkembang pesat di Indonesia. Di dalam pertunjukannya kental dengan akulturasi budaya dan melahirkan bintang yang cemerlang pada masanya, salah satunya Miss Dja.
FOTO: WITJAK WIDhI CAhYA
Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 20164
Heny JanawatiAGAR PERTUNjUKAN OPERA MEMBUMI
L A Y A R
Heny Janawati gamang. “Apa yang bisa saya per-buat,” ungkap penyanyi mezzo-soprano sepu-lang menimba studi Pertunjukan Opera pada
University of British Columbia, Vancouver, Kanada dan berkarya di Amerika Utara dan Eropa. Di benua biru, pemilik nama lengkap I Gusti Ayu Ngurah Heny Janawati dapat bermain opera kian kemari, menjajal be-ragam watak dengan fasilitas sangat memadai.
Dia selalu berusaha tampil total pada segala pe-ran. Tak peduli, apakah mendapat peran sebagai tokoh gloomy selaik Nenek Sihir pada opera Hanseland Gretel, atau berolah watak sebagai Tituba, perempuan peng-anut ilmu hitam dalam The Crucible, maupun Carmen, seorang gadis Gipsi nan kuat dan memesona banyak pria. “Saya harus menjadi karakter”.
Heny mendalami peran, mencari makna implisit di balik teks tersurat. Dia menjadi stage animal, maksudnya julukan dari penggiat seni pertunjukan Kanada, bagi orang yang sangat menguasai panggung. Itu semua berlaku di luar negeri, bagaimana de ngan langkahnya di Indonesia.
Dia semula ragu bila bakatnya akan sia-sia. Sang suami, Ketut Suarma, lantas meyakinkan bahwa sang is-tri dapat melakukan banyak dengan bekal kemampuan dan pengalaman sebagai penyanyi opera di luar negeri. Ide mendirikan sekolah vokal, dan seni pertunjukan mencuat. Staccato Bali lahir.
Lewat lembaga pendidikan pelatihan vokal terse-
but, dia ingin mengajak siapapun untuk meng -asah kekuatan vokal dan menikmati ke gem-biraan sebagai seorang performer. Dia pun beroleh pijakan pasti untuk me-masyarakatkan ope ra. Salah satu-nya dengan menggelar pertunjukan Carmen, karya musikus Prancis, Georges Bizet. “Saat menyaksi-kan pertunjukan opera, seperti Carmen, masyarakat kemudian me ngenal bentuk pertunjukan op-era,” ujarnya.
Pertunjukan tersebut menuai sukses. Heny tuntas memerankan tokoh Carmen, sebagai perempuan ko-koh, galak menghadapi dunia lelaki, liar, dan kuat pada prinsip. Pujian bertubi datang padanya dari pelbagai surat kabar cetak maupun elek-tronik. Carmen merupakan tokoh dambaan para mezzo-soprano, jenis suara tengah bagi perempuan dalam musik.
Heny menapaki penggung opera melalui jalan panjang. Dia sedari kecil sangat akrab dengan kesenian, khu susnya Bali. Sang ayah, I Gusti Bagus Ngurah Ardja-na, merupakan penggubah lagu Bali Sekar Sandat, dan ibu nya, Ni Made Purwanti, penari Bali sekaligus pus-takawan. Sejak remaja, Heny aktif bernyanyi pada pentas kesenian, “Saya sempat nyanyi jazz, suka juga pop, rock,
seperti lagu Alanis Morissette,” tuturnya.Bungsu empat bersaudara
ke la hiran Denpasar, Bali, 27 April 1978, tersebut mulai
tertarik musik klasik, lan-taran mendengar lagu Maria Callas, soprano berpengaruh di dunia opera abad 20. Keter-tarikannya kemudian bersambut. Sang ayah
berkawan baik dengan Pranajaya, penyanyi seka-
ligus pendiri sekolah vokal Bina Vokalia. Dia lantas giat
mengasah kemampuan vokal. Pada tahun 2002, dia mendapat
kesempatan menempuh studi Pertunjuk-an Opera, University of British Columbia, Vancouver, Kanada. “Di Eropa maupun Amerika, pertunjukan Ope-ra berkembang sangat pesat. Penikmat Opera juga sangat banyak. Begitupun fasilitasnya sangat mendukung”.
Di tanah air, menurutnya, pertunjukan Opera rela-tif menunjukan kemajuan. Beberapa pertunjukan Opera terselenggara, walau beberapa lebih dekat terhadap ben-tuk drama musikal. “Namun tak kalah penting edukasi masyarakat tentang Opera”. Mahesa Rinakit
Sosok maestro keroncong asal Kota Gede-Yogyakarta ini lahir dari berbagai kejuaraan keroncong. Tak main-main di era tahun
1980an, ia meraih juara Bintang Radio dan Televisi (BRTV) hingga lima kali. Namun, berbagai prestasi yang diraih-nya adalah buah hasil segala usaha dan kerja keras yang pernah dilakoninya sedari muda. Bahkan hingga saat ini kesetiaanya sebagai seniman untuk mengembangkan musik keroncong tidak pernah surut.
Subardjo HS lahir dari keluarga pengrajin perak, ia bernama asli Sub-ardjo Purwo Hartono, inisial HS diam-bil dari nama sang ayah Hardjo Sumarto. Subardjo mempelajari dunia tarik suara secara otodidak dan diam-diam, karena sebenarnya sang ayah ingin mengarahkan anak-anaknya menjadi pengra-jin perak.
Awalnya Subardjo adalah penyanyi pop. Hingga panggilan hatinya beralih haluan ke musik keroncong. Salah satu guru yang menempanya dengan keras adalah
Kusbini, pegiat musik tiga zaman dan tokoh keron-cong yang dikenal sebagai pencipta
lagu Bagimu Negeri. Tahun 1963 menginjak kelas II SMA Ne-
geri 6 Yogyakarta, Subardjo privat di rumah Kusbini
dengan biaya kursus ha-sil usaha menjual ikan hias hingga ternak ayam.
Subardjo me-ngenang kegalakan dan
kedisiplinan sang guru melatih serupa harimau.
Kusbini tak segan memu-kul mulut dan kepala Su-
bardjo dengan sebilah bambu kecil yang digunakan untuk mem-
baca not balok. Seringnya pukulan itu di-lakukan karena kurang lebar membuka mulut saat ber-nyanyi. Namun, Subardjo tetap tidak kapok selama setahun lebih bersama Kusbini. Pil pahit yang akhirnya berbuah manis.
Usai ditempa keras, pada tahun 1964 pertama ka-linya Subardjo HS mengikuti lomba nyanyi keroncong tingkat regional di Daerah Istimewa Yogyakarta dan langsung meraih juara I. Bahkan hingga tahun 1989 prestasi menjadi juara I selalu menghampirinya, hanya sekali Subardjo HS meraih juara II. Dengan berbagai prestasi di kejuaraan ia kemudian diikuti tawaran reka-man di studio komersial. Di antaranya Wisanda Record, Borobudur Record Semarang, Pertiwi Record Jakarta, Irama Mas dan Musica Studio Jakarta.
Menanggapi perkembangan musik keroncong saat ini. Bagi Subardjo, keroncong semakin berkembang dengan memiliki impresi tersendiri dan kolaborasi. Perkembangan ini bagus menurutnya, asalkan jangan dihilangkan keasliannya. Sedangkan cara Subardjo un-tuk melestarikan keroncong khususnya antar generasi dilakukan di mulai dari keluarga. Ia mendirikan Orkes Keroncong Timpasko Baru bersama ketiga adik dan teman-temanya. Selain mewariskan harta keroncong kepada anak dan cucunya juga generasi muda. Agar ke-roncong tidak hanya sekedar lestari dan terpelihara tapi turut menjadi bagian erat dari kehidupan.
Ratu Selvi Agnesia
KERONCONG SEBAGAI PERSEMBAHAN KEHIDUPANSubardjo HS
Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 5 L A K O N
enaka”. Kata ini cocok untuk meng-gambarkan sosok perempuan berpe-rawakan besar, bersanggul, berbusana
kebaya, dan acap bermain ukulele pada se-tiap penampilan. Genjrengan ukulele ber-sahut lelagu riang keroncong semisal Ayo Ngguyu, Tanjung Perak, dan Jangkrik Geng-gong mampu mengubah senyum simpul penonton jadi tawa. Penonton pun larut, turut menyanyi sembari bertepuk tangan. Bersuka ria. Demikian Endah Laras me-nyihir penonton.
Perempuan kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 3 Agustus 1976, semula tak per-nah menyangka akan menjadi penyanyi keroncong kenamaan. Putri pasangan Dalang Surakarta Sri Joko Raharjo dan Sri Maryati, Guru Tari Tradisi, memulai berolah suara menjadi sinden. “Saya justru
lebih dahulu mengenal sin-den,” ujarnya. Dia sering ikut pentas sang ayah, mengisi ade gan Limbuk-Cangik.
Album perdana Endah bertajuk “Gemes”, menyusul kemudian dua album cam-pursari di bawah naungan Nirwana Record, perusahaan rekaman di Surabaya, dengan tembang andalan Tak Lela-lela Lela Ledung.
Pembawaan Endah Laras nan jenaka se-makin kentara saat dirinya mulai membawa ukulele saat bernyanyi. “Mas Garin Nug-roho yang meminta saya bernyanyi de ngan ukulele. Sekarang malah jadi semacam gaya saya. Apik kok,” ungkapnya. Aksinya begitu memikat saat berduet dengan Wouter Braaf
kala mendendang lagu Boenga Anggrek gubahan Ismail Marzuki pada film Soegija garapan Garin Nugroho. Nuansa masa re-volusi begitu kentara.
Keroncong memang menjadi penanda jaman revolusi. Beragam karya Ismail Marzuki begitu kaya dengan suasana masa perjuangan. Lagu selaik
Sepasang Mata Bola, Juwita Malam, dan Sabda Alam menggambarkan riuh-rendah nuansa pergolakan jaman kolonial. Endah Laras berpendapat bahwa musik keron-cong membawa jiwa jamannya.
“Maka muncul sebutan keroncong perjuangan,” tukasnya.
Kesan kuat keroncong, menurutnya, dapat membuat para penikmatnya terbawa ke masa lampau, menikmati suka-duka maupun lukisan masa lalu. Endah Laras pun acap menyanyikan lagu-lagu dari masa kolonial, salah satunya lagu Kopi Susu pada pementasannya bersama Garin Nugroho. “Biasanya ada beberapa kata-kata bahasa Belanda. Saya harus extra keras menghapal kata-kata itu”.
Kejenakaan si perempuan ber suara En-dah (indah) juga Laras (harmoni) mem ba-wanya menyasar pada pentas inter nasional. Dari semua pengelanaannya, ke ron cong merupakan sebuah palagan. Perjuangannya. Meniti pentas demi pentas, ba ik dari dalam maupun luar negeri. Sebentuk penghor-matan baginya dapat terus berkarir di dunia keroncong. Mahesa Rinakit
Pertunjukan Doea Tanda Tjinta ta-hun ini merupakan penampilan keempat bagi Merlyn Sopjan (43
tahun) di Indonesia Kita. Sebelumnya, ia pernah bermain dalam pertunjukan Kartolo Mbalelo (2011), Kadal Nguntal Negoro (2011) dan Nyonya-nyonya Istana (2012).
“Saya selalu siap sedia kapan pun,” katanya bersemangat. Namun, pertun-jukan tahun ini cukup berbeda dari yang sebelumnya. “Tantangan kali ini adalah temanya, yaitu perihal perjuangan ke-merdekaan,” akunya. “Saya tertantang memainkan peran dengan latar masa
menjelang kemerdekaan.”Meskipun berlatar lam-
pau, pertunjukan kali ini tentu dihadirkan dengan ciri khas pertunjukan di “Indonesia Kita” itu sen-diri, se perti penuh humor dan mendidik. “Mesti bisa lebih baik dan menghibur dibanding tiga per tunjuk-an sebelumnya,” jelasnya. “Seni, apapun itu, mesti memberikan refleksi dan hiburan bagi jiwa dan pikiran yang lelah,” lanjutnya.
Bicara soal seni, ia memandang seni
dengan cara yang beragam. Ia percaya bahwa seni bisa berguna sebagai media reflektif, juga sebagai me-dia partisipatif. “Seni buat saya adalah salah satu cara untuk menyuarakan se-suatu, tapi tetap sesuai de-ngan jiwa dari kesenian itu sendiri,” tegasnya.
Meskipun Merlyn percaya bahwa seni bisa menyuarakan suatu pikiran, ia tetap berpegang-teguh bahwa cara penyampaiannya tetap harus elegan. “Supaya seni tetap bisa dinikmati
dan dilestarikan, bagi saya, yang terpen-ting bagaimana kita bisa menyuarakan ga-gasan atau suara hati dengan kesantunan,” katanya, “bagaimanapun juga, saya senang berkumpul dan menimba ilmu dengan seniman yang lebih berpengalaman.”
Selain berkesenian, aktivis gender ini juga seorang penulis buku. Ia banyak me nyorot masalah-masalah gender. Pada September 2016 ini, buku ketiganya akan dipublikasikan. Buku pertamanya terbit pada tahun 2005 dan setahun kemudian buku ke duanya pun diluncurkan. “Saya pe-ngagum pikiran-pikiran cerdas dan out of the box,” akunya. Ahmad Husein Bejo
Wajah oriental bertubuh semam-pai acap menghiasi layar kaca, entah sebagai pembawa acara,
beradu peran dalam sinema elektronik, bah-kan mengisi beragam pariwara. Dara kela-hiran Jakarta, 4 Desember 1976, merupa-kan pesohor serba bisa dengan segudang ke-giatan sosial. Dia pernah terlibat dalam ge-rakan donasi publik untuk menyewa lahan hutan lindung untuk mencegah perusahaan tambang mengeksplorasi hutan lindung.
Meskipun aktifitas sosial terbilang tinggi, namun eksistensinya di jagat hiburan juga tak kalah. Pemeran ibu Ling-Ling pada film Soegija tersebut memang jarang tampil di layar kaca, lantaran sibuk pada kegiatan
di belakang layar. Mengurus produksi film.
Dia memulai aktifitas-nya di belakang layar ketika menyutradarai film pendek berdurasi sepuluh menit dengan judul Real love untuk sebuah ajang Indie Movie festival. Pada penggarapan omnibus Rectoverso karya Dee Lestari, melibatkan em-pat sutradara, Olga Lidya, menjadi salah satu sutradara penggarap segmen bertajuk Cerita Buat Sahabat. film tersebut banyak mengulas cerita persahabatan perempuan dengan beragam permasalahannya.
Tak berhenti sampai di situ, dia pun berperan se bagai produser dalam pro-duksi film Sang Pemimpi ga-rapan Riri Riza. Dia mem-peroleh banyak pe ngalaman baru selama bekerja di be-lakang layar. Tak kurang susahnya dari berperan di depan kamera. Selain Sang Pemimpi, Olga pula turut
memproduseri film Di Antara Nada.Dari bekerja di balik layar, Olga sem-
pat mendapat tugas besar menyelenggara-kan perhelatan akbar penganugerahan ter-hadap sineas-sineas Indonesia, pada ajang
festival film Indonesia 2015. Kegiatannya kembali meninggi, juga rumit, sebab dia punya beragam urusan, mulai dari promosi acara, penjurian, hingga menyelenggara-kan malam puncak. Perhelatan berlang-sung apik, tanpa aral berarti.
Meski punya bertumpuk gawai, tan-tangan untuk meladeni peran di atas pang-gung Indonesia Kita tak bisa dia lewatkan. Dia akan bermain dengan beragam karakter, mulai dari komedian, penyanyi keroncong, hingga pemain opera. Tentu kehadiran Olga akan memberi nuansa berbeda pada perhe-latan bertajuk Doea Tanda Tjinta. Berkisah seputar kisah cinta sepasang sejoli pada deru masa revolusi. Mahesa Rinakit
Endah LarasSI jENAKA MELAGU KERONCONG PERjUANGAN
Merlyn SopjanSENI SEBAGAI MEDIA REFLEKTIF
Olga LidyaCINTA DALAM DERU REvOLUSI
Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 20166 L A N G G A M
Butet KartaredjasaButet adalah salah satu
penggagas dan tim kreatif dari program Indonesia Kita hingga memasuki pertunjukan ke 20 kalinya. Di mulai sejak tahun 2011 hingga saat ini, panggung Indonesia Kita selalu tak luput dipadati penonton pada setiap pementasannya di Graha Bhakti BudayaTaman Ismail Marzuki.
Lahir di Yogyakarta 21 November 1961. Anak ke5 dari 7 bersaudara keluarga seniman (Koreografer dan pelukis) almarhum Bagong Kussudiardja. Sang ayah diakuinya sebagai sosok yang telah memberikan atmosfer kesenian sejak awal di keluarga. Sejak kecil pun ia sudah terbiasa menonton ketoprak di Tobong dan membatik.
Butet dikenal sebagai seniman yang menekuni lintas seni dan multi talent. Mulai 19781992 menjadi sketser (penggambar vignet) dan penulis freelance untuk li putan masalahmasalah sosial budaya untuk mediamedia lokal maupun nasional: KR, Bernas, Kompas, Mutiara, Sinar Harapan, Hai, Merdeka, Topik, Zaman, dan lainlain. Aktif sebagai pelukis dan pengamat seni rupa. Sampai sekarang masih menulis esai budaya atau kolom (tentang masalah so sial budaya) di berbagai media massa cetak nasional.
Pengalaman di bidang teater di antaranya: Teater KitaKita (1977), Teater SSRI (19781981), Sanggarbambu (19781981), Teater Dinasti (19821985), Teater Gandrik (1985sekarang), Komunitas Pak Kanjeng (19931994), Teater Paku (1994) dan Komunitas seni Kua Etnika (1995sekarang). Butet juga tersohor sebagai tukang monolog
dan bermain berbagai peran di berbagai pertunjukan komunitas teater lainnya, sinetron bahkan dunia film.
agus NoorAgus Noor selalu men
jadi penulis naskah di setiap program Indonesia Kita hingga pertunjukan Doea Tanda Tjinta, sebagai pertunjukan ke 20 Indonesia Kita. Ia dikenal sebagai penulis cerita pendek, puisi, esai, skenario televisi dan naskah lakon, serta menjadi artistic director untuk banyak pertunjukan teater dan musik.
Sejak tahun 2011 sampai saat ini menjadi creative dan artistic director untuk panggung Indonesia Kita, yang rutin menggelar pertunjukan 3 sampai empat kali dalam setahun: Laskar Dagelan, Beta Maluku, Kartolo Mbalelo, Mak Jogi, Kutukan Kudungga, Kadal Nguntal Negara, Kabayan Jadi Presiden, Maling Kondang. Nyonya-Nyo-nya Istana, Orde Omdo, Matinya Sang Maes-tro, Semar Mendem, Roman Made in Bali, Tabib dari Timur, Sinden Republik, Datuk Bagindo Presiden dan Nyonya Nomor Satu dan Komedi Tali Jodo.
Lahir di Tegal, 16 Juni 1968. Pada tahun 1987, cerpennya “Kecoa” muncul di Kompas pertama kali. Tahun 1984 cerpen “Peang” yang ditulisnya masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas, dan sejak itu cerpennya nyaris selalu masuk dalam buku cerpen pilihan Kompas.
Bukubukunya yang sudah terbit Bapak Presiden yang Terhormat (Pustaka Pelajar, 1998), Memorabila, (Yayasan Obor Indonesia, 2000), Selingkuh Itu In-
dah (Galang Pustaka, 2001), Rendezvous (Galang Pustaka, 2002,) Potongan Cerita di Kartu Pos (Penerbit Buku Kompas, 2005), Matinya Toekang Kritik (Lamalera Pers, 2007) Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (2007), Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan (Motion Publising, 2010), Cerita buat Para Kekasih (Gramedia, 2014).
CaK LoNtoNgPada pertunjukan
Doea Tanda Tjinta, Cak Lontong berperan sebagai sinyo Belanda yang jenaka. Seorang anak tuan besar yang baru datang dari negeri Holand. Di hampir setiap pertunjukan Indonesia Kita, lawakan Cak Lontong terbilang sederhana, dengan ekspresi wajah yang datar, disampaikan dengan bahasa yang baku dan terstruktur bersama logika absurd. Menantang penonton untuk berpikir dalam tawanya.
Lahir di Magetan, 7 Oktober 1970 bernama asli Lies Hartono. Ia adalah salah satu ‘dedengkot’ ludruk Cap Toegoe Pahlawan yang lumayan terkenal di Surabaya, memiliki karakter tersendiri. Kekhasan itulah yang membuat ia berbeda dengan pelawak lainnya. Selama ini Cak Lontong dikenal sebagai pelawak yang jago plesetan dan anekdot. Ia dituntut untuk cerdas, rada nyinyir, pintar menganalisa, dan mampu menawarkan solusi dari setiap topik yang diangkat.
Berbicara tentang Cak Lontong pasti tidak jauh dari materi Stand Up Comedy yang sedang hot di Indonesia, banyak komedian stand up bermunculan satu persatu. Sejatinya, seseorang yang mengaku
komedian atau dalam istilah Stand Up Comedy (SUC) adalah comic haruslah pintar di mana saja dan kapan saja, comic harus pintar membawakan materi yang membuat penonton tertawa. Setidaknya itu yang dikatakan Cak Lontong. Tentang pertumbuhan SUC di Indonesia, Cak Lontong melihat sebagai fenomena perubahan kultur. Bahwa komedi itu sebetulnya lahir dari kultur. Saksikan kelucuan Cak Lontong sebagai sinyo Belanda.
aKBarDi panggung Indonesia
Kita, Akbar dan Cak Lontong selalu adu lawak dan argumen dalam melengkapi pertunjukan. Seringkali mereka saling menghina tapi turut pula saling mendukung. Serupa benci tapi cinta. Termasuk peran Akbar kali ini di pertunjuak Doea Tanda Tjinta. Akbar berperan sebagai pribumi, pekerja di rumah Tuan besar, yang kemudian jadi pengawal Sinyo Lontong.
Gaya lawakan yang lugas adalah ciri khas Insan Nur Akbar. Lahir di Soppeng, 26 Juni 1977. Memulai karirnya dengan menjadi Master Of Ceremony (MC) di berbagai acara di Jawa Timur. Akbar semakin dikenal dunia entertainment sejak mengikuti ajang pencarian bakat Stand Up Comedy di Kompas TV yang membawanya menjadi Runner Up. Menariknya, gaya dan ciri khas humor Akbar selalu menyoal realitas sosial dan politik masyarakat Indonesia seperti menjadi Panelis di ILK (Indonesia Lawak Klub) Trans 7. Selain wajahnya pun sering muncul di iklan dan program televisi maupun sebagai pelawak tunggal.
TRIO GAM (GUYONAN ALA MATARAMAN)GARENG RAKASIWI
Kecintaan Gareng pada seni lawak tidak akan pernah pudar, sejak tahun 1993 hingga sekarang, ia semakin aktif melawak di tempat asalnya Yogyakarta bahkan hingga ke luar negeri. Seperti tampil bersama Didik Nini Thowok saat pentas di London.
Pelawak yang bernama asli Dwiyanto ini lahir 20 April 1967 di Sleman Yogyakarta. Seringkali sebagai pelawak tunggal, di atas panggung ia selalu pandai memainkan katakata dan peristiwa dengan ekspresi polosnya. Ditambah dengan postur tubuh yang jenaka.
Permainan Gareng bersama grup Trio GAM (Guyonan Ala Matraman) yang terdiri dari Marsudi Wiyono dan Wisben Antoro selalu kompak. di atas panggung. Ia juga seringkali memparodikan lagulagu dengan berbagai bahasa daerah dalam materi lawaknya. Ciri khas tersebutlah yang membuat Gareng dan Trio GAM nya selalu di gemari masyarakat.
WISBEN ANTORO Walaupun diakui melawak itu tidak
mudah, namun Wisben terus belajar dan menggali potensi yang ada di dalam dirinya agar terus bisa mengapresiasi kreativitasnya dan membuat orang lain tertawa. Meski pernah menjadi langganan juara, nama Wisben bukan jaminan laku di panggung.
Wisben pun mencari gaya lawakannya sehingga pada tahun 2001 dirinya mempunyai ide untuk memanfaatkan permainan sulap. Selanjutnya membocorkan rahasia sulapnya di akhir penam pilan dengan gaya yang nyeleneh dan lucu, sehingga membuat penonton terpingkal
Lahir di Yogyakarta, 5 Oktober 1967. Wisben sudah aktif melawak sejak masa sekolah dan menjadi pengisi acara Obrolan Angkring di TVRI. Ibunya bernama Sri Rahayu, seorang sinden. Ayahnya bernama Kasmadi, seorang sungging wayang. Tak heran darah seni mengalir
dari kedua orang tuanya. SMKI merupakan tempat pertemuan pertama Wisben dengan temanteman yang samasama menyukai lawak, grup lawak “Jengjeng Jus” berhasil menjadi juara bertahan dalam lomba lawak di Sekaten pada tahun 1987. Sejak itu ia terus melawak dan berkeliling Indonesia.
JONED Marsudi Wiyono, atau dikenal de
ngan nama Joned. Seorang seniman lawak yang berhasil memerankan tokoh yang penyakitan. Hal ini didukung dengan perawakannya kurus tinggi lengkap dengan hiasan koyo di kedua sisi dahi. Melihat
hal demikian, lengkap sudah tokoh nyelelek dan penyakitan ini melekat pada sosok seorang Joned.
Meski demikian pria kelahiran kota gudeg 03 Juni 1970 ini mempunyai banyak eksplorasi kreativitas. Sebelum koyo menjadi salah satu pelengkap dalam setiap tampilannya, pria berumur 44 tahun ini pernah beberapa kali mencoba berpenampilan beda, salah satunya penggunaan perban di tangan berikut kepala berbalut dengan sedikit efek darah merah. Hasilnya, bagi warga Jogja yang menyukai pentas komedi, kemungkinan besar mengenal seniman yang satu ini termasuk bagi penonton setia Indonesia Kita.
Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 7 L A N G G A M
MarWotoMarwoto selalu
suk ses menggiring penonton untuk tertawa dengan lepas. Peranperannya di Indonesia Kita dengan tokoh yang beragam selalu sukses dibawakan. Termasuk kali ini perannya sebagai Babah Mar Wo Tong atau pedagang candu.
Kecintaan Marwoto pada dunia kesenian berawal sejak kecil. Se niman tradisi kelahiran Yogyakarta, 21 Oktober 1952 ini lahir dari keluarga seniman. Sejak kakek hingga bapaknya Sudjadi Cokro Admodjo serta Ibunya Sudjilah merupakan pemain ketoprak Tobong yang kerap berpentas keliling berbagai kota.
Bernama lengkap Sri Slamet Sumarwoto. Pertama kali terjun kedunia teater tradisional, ketoprak pada tahun 1969. Awalnya ia hanya crew panggung dan pada malam hari muncul menjadi baladupakan (tokoh pelengkap dalam suatu adegan). Selanjutnya mulai belajar teknik lampu juga dekorasi panggung. Mempelajari teknik penyutradaraan dengan cara mengamati. Dalam teknik perang ketoprak ia juga mempelajari ilmu silat di berbagai tempat.
Setelah puluhan tahun, ketoprak telah membentuk pribadi Marwoto sebagai seniman tradisi yang mumpuni, serba bisa, dan sarat pengalaman hidup. Ia berkelana dari ketoprak tobong satu ke tobong lain yang ada di Jawa, hingga dijuluki “pemain minggatan” karena ia ingin memperoleh pengalaman dan mengetahui seluk beluk dari setiap grup ketoprak yang ia ikuti. Dengan berbekal pengalaman tadi, Marwoto belajar berbagai gaya ketoprak Jawa Timuran, Pesisiran, atau pun ketoprak gaya Mataraman.
susILo NugroHoSusilo Nugroho
mendapat peran istimewa dalam panggung Indonesia Kita kali ini, yakni sebagai meener Belanda atau Tuan Besar. Tokoh pimpinan di masa Belanda tersebut tentunya akan mengundang gelak tawa bila Susilo yang memerankannya.
Mengkilas balik perjalanan karirnya, Susilo lahir di Yogyakarta 5 Januari 1959, adalah seorang pelawak yang pernah dikenal dengan acara “MbangunDesa”di TVRI Yogyakarta pertengahan 1990an. Baginya kesenian bukan sebagai profesi melainkan hanya hobi atau kesenangan saja. Di samping memang karena kecintaannya terhadap seni peran, aktivitasnya di panggung adalah mencari teman dan mencari tambahan nafkah.
Mulai terjun dalam seni peran sejak duduk di bangku SLTA sekitar tahun 1977. Pengetahuan dan keahlian tentang seni peran ia dapatkan dari kelompok teater yang diikutinya selain dari pengalamanpengalamannya selama berpentas di berbagai panggung.
Kresna Indonesia dilliani merupakan lulusan Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sebagai penari, ia pernah terlibat dalam karya dari berbagai ko
reografer terkenal, baik dari dalam atau luar negeri seperti Jepang, Jerman, dan Swiss. Sebagai koreografer, ia pernah menampilkan karya No Mart, di acara Imove 2, Teater Kecil (2012), Kungkung, Fes tival Kesenian Indonesia FKI di Surabaya (2004), Ilalang di Langkahku dan Gerakku Pada Nada (2005), dan Aceh, Solok Folklor Festival, Sumatra Barat (2012). Selain itu, ia juga berkontribusi dalam film Generasi Biru (Slank) dan Musik untuk Cinta.
Helda Yosiana lahir di Lampung, 27 Maret 1987. Ia telah menyelesaikan S1 dan S2 di Institut Kesenian Jakarta. Ia pernah menjadi salah satu Emerging Choreographer pada Indo
nesian Dance Festival (IDF) 2012 dengan karya Miss Jinjing. Ia pernah menjadi penari dalam beberapa karya dari koreografer terkemuka dan telah mengikuti beberapa festival di Swiss, Berlin, Jepang, Malysia, Singapura, juga Groningen. Mendapatkan kesempatan berkolaborasi tari, musik, dan animasi bersama mahasiswa California Intstitute Of The Arts, California, Los Angeles. Tahun 2015 mengikuti Residance program di Korea selama 5 Bulan dan tampil dalam Seoul International Dance Festival.
daniel setyoPambudi lahir 15 Mei 1991di Surabaya, Jawa Timur. Ia merupakan lulusan Jurusan Seni Tari Universitas Negeri Jakarta. Namun, secara nonformal, ia sudah
menekuni dunia tari dari tahun 1998 di Sanggar Tari Progel, Purworejo. Ia pernah mengikuti iven internasional, beberapa di antaranya International Dance Folk Festival Karagoz Turkey(2014) dan Folkclore Festival Brazil (2013). Ia juga aktif terlibat dalam beberapa karya tari karya seniman
nasional seperti Hartati, Tom Ibnur, Jefry Usman, Indera Zubir, dan Jhon Phajok. Selain menari, ia pernah mengajar sebagi pelatih tari kontemporer di North Jakarta International School.
shinta Maulita menari sejak usia 7 tahun dan kemudian mendalami seni tari di Institut Kesenian Jakarta dan lulus tahun 2014. Sebagai penari, ia pernah mengikuti berbagai festi
val, baik di dalam maupun luar negeri.
Wilbrordus Wolo Mayng lahir di Jakarta, 14 Februari 1986. Ia merupakan lulusan Jurusan Seni Tari Universitas Negeri Jakarta. Ia pernah terlibat dalam beberapa karya
tari seperti FOKLORE Festival di Republik Ceko (2007), FOKLORE Festival di Praha dan Slovakia (2009), Pembukaan Pameran Pariwisata di Oslo Norwegia (2009), penari dalam FOKLORE Festival di Taiwan (2012). Selain penari, ia juga pernah menjadi asisten penata tari ABNON Jakarta Utara (2007 – 2009), sebagai penata tari terbaik dalam FOKLORE Festival di Yunani dan Turki pada tahun 2012. Kini ia menjadi pengajar ekstrakulikuler di SMA Lab School Cibubur dan SMA Lab School Rawamangun.
grace allen sahetapy lahir di Kendari, 11 Juni 1977. Ia tak hanya dikenal sebagai penari kontemporer professional, tetapi juga koreografer untuk berbagai pertunjukan di
dunia industri hiburan. Ia memulai karir sebagai penari profesional dari tahun 19941997 di Dunia Fantasi – Jakarta. Per jalanan pertama karirnya, ia ikut berpartisipasi sebagai aktris di sejumlah kelompok teater, beberapa di antaranya pertunjukan Opera Hanoman oleh Teater Tanah Airku (19971999), pertunjukan Saputangan Merah Jambu oleh Dur Teater (1999), dan sebagai penari di pertunjukan Tanda Cinta oleh Teater Koma (2005). Sekarang ia menjadi koregrafer di Yayasan Pendar Pagi.
endang suwandi lahir di Sukabumi, 25 Mei 1991. Ia merupakan lulusan Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Jakarta. Tahun 2013 ia masuk ke dalam penyaji terbaik
dalam Festival Nasional Seni Pertun jukan Indonesia, ia mendapat Juara Umum dalam Parade Tingkat daerah Jawa Barat pada 2015 dan 2016 ia mendapat Juara 2 dalam Festival Seni Tari Kreasi tingkat provinsi Banten. Ia juga bertindak sebagai pengajar tari, di antaranya tahun 2010 sebagai pelatih tari jaipong pada Canisius Education Fair, tahun 2011 sebagai pelatih tari kolosal pada Canisius Education Fair, tahun 2013 sebagai perwakilan DKI di Festival Nasional Seni Pertunjukan indonesia, dan 20152016 ia aktif sebagai guru tari SD Santa Milenia Rawasari, Jakarta Pusat.
Yosaphat d sipayung. Lahir di Jakarta, 29 September 2016. Lulusan Pendidikan Seni TariUniversitas Negeri Jakarta. Sejak tahun 2007, Yosaphat mulai berkecimpung dalam kesenian
khususnya bidang seni tari di antaranya: Dewan juri pesta tortor kreasi Sumatra Utara tingkat remaja (2014). Penari tunggal tortor bolon Festival Danau Toba (2013). Pelatih tortor dan Musik tradisi sanggar “Bhatara Guru” Jakarta TMII 2011 hingga saat ini dan aktif menjadi penari/koreografer di dalam kampus dan luar kampus. Menurut Yosaphat, berbicara soal kesenian daerah, kita harusnya bangga dengan tarian daerahmu sendiri dibandingkan tarian modern lainnya. Tarian tradisional Indonesia itu asli, tidak menjiplak atau meniru bangsa lain. Tarian Indonesia juga sangat halus dan memiliki nilai estetika yang tinggi. Setiap tari tradisional di Indonesia mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi. Biasanya taritari ini mengadaptasi dari lingkungan dan cerita tempat tumbuhnya tari tersebut karena diadaptasi dari lingkung an tempat lahir dan tumbuhnya tari tersebut, maka setiap tarian tradisional di Indonesia mempunyai karakter yang mewakili daerahnya.
KoreograferB. Kristiono soewardjo.
atau lebih dikenal dengan nama Kris Soewardjo, merupakan lulusan Institut Kesenian Jakarta. Sejak umur 10 tahun mulai belajar menari tari tradisional Sunda, Jawa, Bali, Melayu, dan Sumatra. Ia bergabung dengan Swara Maharddhika (1986) dan ikut misi kesenian ke Jerman Barat dan Austria (1988).
Kris juga pernah menjadi Koreografer Opening Ceremony SEA Games XIX di Jakarta (1997). Dua tahun kemudian ia mendapat predikat kedua pada acara GKJ Award (1999) dengan tarian yang
berjudul Ngangres. Ia membawakan tarian tersebut ke Seoul International Dance Festival (2000) dan memenangkan beberapa kejuaraan pada acara Bandar Serai Award di Riau (2002) sebagai Penari Terbaik, Koreografi Terbaik, dan Penata Tari Terbaik. Pada tahun 2002 menampilkan karya tarinya sendiri Melintas Cahaya dalam acara Indonesia Dance Festival (IDF) dan beberapa tahun berikut mengajar Lokakarya Koreografi IDF. Ia berpartisipasi sebagai koreografer dan tim artistik dalam pementasan Jaka Tarub (2007) dan sebagai koreografer dan penari dalam acara Festival Folklore di Perancis (2008). Saat ini ia mengajar di Universitas Negeri Jakarta dan IKJ. Selain dosen, dia juga tetap berkecimpung di dunia tari baik di dalam dan di luar negeri.
Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 20168
Sinten Remen
Sinten Remen didirikan pada tahun 1997 berdasarkan atas sebuah ke-ge lisahan. Di sebuah gang kecil
di Bantul, Jogjakarta, Djaduk ferianto dan seniman musik lainnya pun mulai gusar dengan perkembangan yang stagnan dihadapi oleh musik keroncong. Pada dekade 1980 sebenarnya mereka sudah membentuk Orkes Keroncong Taman Budaya (OKTB). Tapi, beberapa anggotanya sudah hijrah ke berbagai
daerah dan sulit untuk berkumpul kembali. Maka, di tahun-tahun terakhir abad 20 itu, OKTB beralih menjadi Orkes Sinten Remen. Selain Djaduk, ada pula Indra Gunawan, fafan Isfandiar, Agus Sapendi, Kendar Iswahyudi, Marsa Juliantara, Silir Pujiwati, Anita Siswanto, Benny fuad H, Dhany Eriawan W, Arie Senjayanto, Andi Prihtyastoko, Sukoco, Purwanto. Peralihan itu juga seiring-sejalan dengan berubahnya gaya mereka
KERONCONG YANG TIDAK SEKEDAR ROMANTIS
8A R E N A
dalam memainkan ke-roncong menjadi le-bih segar.
“Spirit Sinten Remen memang spi-rit keroncong,” kata Djaduk. Tapi, Sinten Remen sebagai orkes keroncong abad 21 ini ti dak lagi memainkan ke roncong konvensional, mes kipun tetap mengambil ba-gian terbaik darinya. Kekayaan model “tetabuhan” seperti dalam keroncong stambul, keroncong langgam, keroncong moresko, dan keroncong tugu dipakai Sinten Remen dengan mengambil un sur instrumen cello, cuk, dan gitar. Ter masuk beat, melodi dan temponya. “Aran semen-nya dikopyok,” begitu penjelasan Djaduk, “cara bermusik yang tidak ikut aturan main yang kaku.”
Itu sebabnya Sinten Remen jadi tampak ‘urakan’ dan ‘gila’. Komposisi musiknya mengambil berbagai inspi-rasi dari berbagai khazanah musik dunia. Dalam karya-karyanya akan kita temu-kan keroncong yang berjalin-kelindan dengan musik jazz, blues, rock, country, samba, sampai dangdut. Namun, segala pertemuan dengan berbagai gaya musik itu tak membuat orkes ini jadi seperti ‘gado-gado’. Setiap pertemuan tetap diikat oleh pertimbangan yang selektif. Maka, tak heran, orkes ini kemudian jadi orkes keroncong berhasil mencoba melintasi za-mannya sendiri. Bahkan, dalam liriknya
pun Sinten Remen tidak lagi seperti gaya lama, melainkan memilih berbicara tentang ber-bagai persoalan zaman ini. Hingar-bingar ma-salah sosial hari disam-
paikan dengan penuh humor dan tetap kritis.
Dikenal sebagai ke-lompok keroncong yang kre-
atif. Musik keroncong, ditangan anak-anak Sinten Remen, tarasa segar, jenaka dan unik. Mengolah musik ke-roncong menjadi sesuatu yang menarik dalam situasi kekinian, memang menjadi “tantangan” Sinten Remen.
Orkes Sinten Remen adalah musik yang mendidik, bikin cerdas, kreatif, penuh canda tawa, tetapi juga menggam-barkan kehidupan bangsa ini sebenarnya. Isinya pun unik banget, keroncong de-ngan sentuhan tradisi (perkusif ) plus hu-mor yang sangat satiris. Satir getir men-dengarnya, sekaligus lucu.
Dengan berlandaskan spirit keron-cong dengan kebaruan dalam menang-gapi kehidupan bahwa keroncong harus memiliki nilai kritis, tidak sekedar ro-mantis serupa keroncong konvensional. Sinten Remen berharap musik keron-cong bisa menemukan “revitalitas”-nya. Minimal bisa diapresiasi oleh kalangan yang lebih luas setelah beberapa album di antaranya Parodi Iklan,Komedi Putar, Maling Budiman, Kumpulan Parodi & Omdo. Ahmad Husein Bejo
Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 9 R A G A M
Musik krontjong yang kita kenal saat ini telah berusia lebih dari tiga setengah abad. Sejarahnya
diawali dari kedatangan Portugis ke Maluku pada abad ke-16 untuk berdagang rempah-rempah. Mereka mendirikan loji di pulau Banda yang dijaga oleh laskar Portugis asal Goa, India. Pada abad ke-17 ketika VOC menduduki pulau Banda, sebuah kapal yang ditumpangi laskar Goa beserta keluarga asal Banda karam di lepas pantai Batavia dalam pelarian mereka ke Malaka.
Mereka ditangkap VOC lalu dibuang ke kampung Toegoe, dan membentuk komuni-tas Toegoe. Mereka mewarisi budaya Portugis moresco dan cafrinho, dan kerajinan membuat gitar. Karena letak kampung Toegoe yang terisolasi mereka menghibur diri dengan menyanyi diiringi gitar. Mereka menamakan gitar itu krontjong, karena berbunyi tjrong.
Melalui gitar yang mereka mainkan la-hirlah musik krontjong, membawakan fado Portugis berupa moresco dan cafrinho. Ta rian moresco merupakan warisan orang Moor Islam dari Afrika utara, sedangkan tarian cafrinho dibawa oleh para budak kulit hitam
dari Afrika barat. Dalam pelayaran ke Timur, Portugis memperkenalkan moresco dan cafrin-ho pada penduduk
Goa yang diterima sebagai laskar Portugis setelah mereka menjadi Katolik dan men-gadaptasi budaya Portugis. Tidaklah meng-herankan bilamana komunitas Toegoe asal Goa berhasil menghidupkan kembali mo-resco dan cafrinho, sebagai prototipe musik krontjong yang dikenal sebagai Krontjong Toegoe.
Pada abad ke-19, musik krontjong mu-lai dikenal penduduk kota Batavia melalui penampilan orkes krontjong dalam pera-yaan Pasar Malam Gambir, yang didukung oleh pemerintah Hindia Belanda dan ma-syarakat urban non-pribumi.
Komunitas Indo-Belanda di kampung
Kemajoran turut mempopulerkan krontjong melalui penampilan mereka sebagai pe-musik jalanan. Mereka menamakan diri se bagai pemusik de Krokodilen atau buaya krontjong, predikat yang kemudian juga diberikan kepada para pemusik krontjong setelah masa kemerdekaan.
Krontjong menjadi musik populer perkotaan Batavia dengan lagu krontjong dalam bahasa Belanda atau campuran ba-hasa Melayu. Syairnya menggambarkan kehidupan para sinyo Indo-Belanda dan kisah pertjintaan mereka, seperti lagu Oud Batavia, Schoon ver van jou, Sarinah, dan Waarom huil, sedangkan moresco menjadi satu-satunya lagu yang masih dinyanyikan dalam bahasa Portugis. Orkes krontjong bermunculan di pelosok Batavia, Passer Baroe menjadi pusat penjualan alat musik krontjong, ukulele, gitar, mandolin, biola, cello dan bass dalam membentuk sebuah orkes krontjong yang terkadang ditambah-kan dengan hawaiian guitar, seperti pada OK Lief Java.
Memasuki abad ke-20 musik krontjong telah tersebar di kota-kota besar di Jawa seperti Bandoeng, Semarang, Djogdja, Solo, dan Soerabaja, disiarkan oleh Radio NIROM yang juga menggelar concours (lomba) krontjong. Koesbini, seorang buaya krontjong dari Djogja pada tahun 1933 menciptakan lagu Kr. Moritsku dengan syair bahasa Melayu, terinspirasi dari lagu Moresco berbahasa Portugis dalam concours krontjong di pasar malam Jaar Markt Soerabaja. Koesbini menulis Kr. Moritsku dalam format da-capo aria sepanjang 28
birama yang diselingi 2-3 birama interlude secara in-stru mental. Lagu Kr. Moritsku kemudian menjadi prototipe lagu jenis krontjong asli seperti Kr. Bandar Jakarta, Kr. Kemayoran, Kr. Pemuda Pemudi, Kr.Sapulidi, Kr. Pang gilan Pertiwi, dan Kr.
Irama Malam. Koesbini juga berhasil membakukan
format orkestrasi krontjong sebagai replika dari gamelan Jawa yang berpengaruh pada pola ritmik krontjong yang khas melalui permainan cello petik, ukulele, dan gitar. Ketika Jepang masuk pada tahun 1942, lembaga Keimin Bunka Shidosho melarang pementasan musik krontjong karena diang-gap sebagai warisan budaya Belanda.
Beruntung saat itu Gesang, seorang buaya krontjong dari Soerakarta pada tahun 1940 berhasil menciptakan lagu Bengawan Solo, yang syairnya menggambarkan le-genda keindahan pastoral Jawa dalam format langgam berbentuk pantun. Lagu Bengawan Solo berhasil menarik perhatian Jepang yang
kemudian membuka kembali concours krontjong di Solo pada tahun 1944. Seusai perang, tentara Jepang mem ba wa pulang Bengawan Solo dan menjadi lagu yang populer di Jepang. Lagu Lgm.Bengawan Solo juga menjadi prototipe la gu jenis langgam krontjong, seperti Lgm.Gam bang Semarang, Lgm. Jembatan Merah, Lgm. Saputangan, Lgm. Rangkaian Melati, Lgm. Ditepinya Sungai Serayu, dan Lgm. Di bawah Sinar Bulan.
Setelah Indonesia merdeka, pembinaan musik krontjong dilakukan oleh lembaga penyiaran RRI, yang untuk memperingati Hari Radio sejak tahun 1951 menggelar acara pemilihan Bintang Radio termasuk jenis krontjong, yang kemudian bergabung dengan TVRI mulai tahun 1964. Dari fo-rum ini lahirlah para bintang penyanyi krontjong seperti Masnun, Sayekti, Rita Zahara, Waldjinah, Hetty Koes Endang dan Sundari Sukoco.
Selanjutnya untuk mempromosikan pengenalan budaya Indonesia dalam New York World’s fair tahun 1964, OK Tetap Segar asuhan Rudi Pirngadie tampil pada anjungan Indonesia, menggelar musik krontjong beat yang mengiringi lagu-lagu Barat dalam irama krontjong, dibawakan oleh para penyanyi yang pernah menjuarai Bintang Radio. Sejak itu krontjong dikenal dunia sebagai musik Indonesia yang berawal dari moresco dan cafrinho.
Apabila moresco mengalami proses in-donesianisasi menjadi Kr. Moritsku, maka cafrinho yang berbahasa Portugis hanya terdengar di kampung Toegoe. Sejarah me-nyaksikan bahwa cafrinho ternyata lebih populer di tanah Melayu, dikenal dengan sebutan dendang Kaparinyo, yang juga me-nyebar ke Minangkabau melalui musik ga-mad, atau krontjong versi Melayu.
Krontjong mengalami masa surut de-ngan lahirnya musik rock yang mendunia sejak tahun 1960, menggunakan perangkat drum perkusi yang digemari anak muda. Krontjong menjadi tidak nyaman terdengar di telinga generasi muda karena tidak meng-gunakan pukulan drum, selain hanya meng-andalkan pada petikan cello dan bass.
Sejarah juga mengatakan bahwa krontjong pernah menjadi musik pengan-tar dalam pertunjukan teater komedi bang-sawan, yang meski komedinya mengalami ke punahan lagunya masih tetap eksis dalam stambul krontjong. Upaya inovasi terhadap krontjong telah banyak dilakukan agar musik krontjong senantiasa akan terdengar sepanjang masa. Salah satu dari inovasi krontjong dengan kreativitas yang noveltis datang dari Yogyakarta, yang dapat kita saksikan malam ini melalui penampilan Sinten Remen asuhan Djaduk ferianto. Selamat menikmati.
MUSIK KRONTjONG INDONESIA
Oleh: victor Ganap
Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 201610 PANGGUNG SELANJUTNYA
Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 11
Mengucapkan terima kasih kepada:Men’s ObsessionSeputarEvent.comJakartaVenue.comUltimagzRumah Jawa GalleryDSS Sound SystemMaxrip ProductionPT. Samuel Aset ManajemenRekan Rekan dari Unit Pengelola PKJ TIMPara wartawan media cetak cyber serta media elektronik
U C A P A N T E R I M A K A S I H
Bakti Budaya Djarum FoundationMetro TV
MacroAd LinikiniKBR
89.6 FM IRadio Indonesia Keren BangetBeritagar.id
Akarpadinews.comLiputan6.comBintang.com
Vidio.com
Indonesia Kaya @IndonesiaKaya @indonesia_kayaIndonesia Kaya @IndonesiaKaya @indonesia_kaya