Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia...

12
Djaduk Ferianto MENGEMBANGKAN YANG LAWAS DENGAN KEBARUAN Sinten Remen KERONCONG YANG TIDAK SEKEDAR ROMANTIS Victor Ganap MUSIK KRONTJONG INDONESIA Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016

Transcript of Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia...

Page 1: Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia Kita Edisi 20.pdf · Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang

Djaduk FeriantoMENGEMBANGKAN

YANG LAWAS DENGAN KEBARUAN

Sinten RemenKERONCONG YANG TIDAK

SEKEDAR ROMANTIS

Victor GanapMUSIK

KRONTJONG INDONESIA

Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016

Page 2: Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia Kita Edisi 20.pdf · Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang

Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 20162

SEKRETARIATJL.TEBET BARAT VI K, NO. 32JAKARTA SELATAN 12810TELP/FAX : (+62 21) 8370 - 8629website : www.kayan.co.id@infoKAYANKayan Production

S W A R ATIM PRODUKSI

ProduserButet Kartaredjasa

Pimpinan ProduksiLalang Zulita

KeuanganMedi Indra Kesuma

SekretariatDivana

Desain GrafisHafidh

Penanggung Jawab Media & PublikasiIndiah Sari, Ade April

Penanggung Jawab TiketHanifury, Achmad Sabur, Putra

Penanggung Jawab KonsumsiTante Tutut, Meta, Gilang

Pekerja SiagaYanto, Husni, Dadang

UsherHendra dkk.

Dokumentasi FotoWitjak Widi Cahya, Didik Mugi Triman, Yose

Dokumentasi VideoGiras Baswondo

TIM ARTISTIKTim Kreatif

Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, Agus Noor

Naskah/SutradaraAgus NoorPenata Musik

Djaduk FeriantoPenata Tari

B. Kristiono SoewardjoArtistik

Ong Hari Wahyu, Retno Ratih DamayantiSupervisi PanggungPatub LinduajiManager Panggung

Tinton PrianggoroKru Panggung

Aa Tokim, YogaPenata Cahaya

Deray SetyadiPenata Suara

Antonius GendelWardrobe

Bayu, Angga, YastiMake Up

Sena Sukarya, Paijo, KarinTalent

Dimas GimbalKarikatur

Toni Malakian

TIM BULETINPenanggung Jawab BuletinRatu Selvi Agnesia

PenulisRatu Selvi Agnesia, Mahesa Rinakit,

Ahmad Husein BejoDesign Grafis & Layouter

Ade Fahlevi

Halaman 3 : SorotDjaduk Ferianto : Mengembangkan Yang Lawas Dengan KebaruanHalaman 4 : LayarSubardjo HS : Keroncong Sebagai Persembahan KehidupanHeny Janawati : Agar Pertunjukan Opera MembumiHalaman 5 : LakonEndah Laras : Si Jenaka Melagu Keroncong PerjuanganOlga Lydia : Cinta Dalam Deru RevolusiMerlyn Sofjan : Seni Sebagai Media Reflektif

Sejak beberapa abad yang lalu telah terjadi hubungan an-tara orang-orang Indonesia dengan orang-orang yang datang dari daratan Eropa. Tidak terhindarkan lagi ter-

jadi akulturasi yang melibatkan kebudayaan yang datang dari Eropa dengan kebudayaan setempat. Kesenian musik keron-cong adalah salah satu yang mengalami kedua proses terse-but dan berlangsung secara terus menerus sejak abad ke-17 hingga abad ke-20.

Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang panjang dan penuh pertentangan. Dari musik peli-pur lara, pengiring acara pesta dan dansa-dansa, lagu puji-pujian hingga menjadi objek industri rekaman.

Pada masa yang lain keroncong dianggap sebagai pem-bangkit rasa cinta tanah air dan semangat kebangsaan. Pertun-jukan Doea Tanda Tjinta menjadikan keroncong sebagai ruh pertunjukan dibalut kisah cinta pada deru masa perjuangan.

Lakon Doea Tanda Tjinta menghadirkan Subardjo HS

maestro keroncong asal kota gede Yogyakarta, berdampingan de-ngan penyanyi keroncong yang selalu tampil jenaka Endah Laras dan penyanyi seriosa Heny Janawati. Selanjutnya, bintang tamu yang akan memainkan tokoh utama dalam kisah percintaan, tiada lain Olga Lydia sebagai Noni, bersama Merlyn Sopjan.

Di rubrik Ragam, peneliti keroncong yang paling mum-puni saat ini, Prof.Dr. Victor Ganap akan memaparkan seja-rah keroncong dalam masa kemerdekaan Indonesia. Sedang-kan di Arena, kelompok Sinten Remen menyuguhkan musik keroncong tidak hanya sebagai musik yang dianggap lawas namun dengan kebaruan yang lebih menyegarkan telinga pe-nonton.

Selamat menyaksikan Doea Tanda Tjinta.

Salam CintaRedaksi

DAfTAR ISIEdisi Keduapuluh 29 - 30 Juli 2016

Redaksi Indonesia Kita

Halaman 6-7 : Langgam Pemain dan Peran Doea Tanda TjintaHalaman 8 : ArenaSinten Remen : Keroncong Yang Tidak Sekedar RomantisHalaman 9 : RagamVictor Ganap : Musik Krontjong Indonesia

Halaman 10 : Panggung SelanjutnyaHalaman 11 : Ucapan Terima Kasih Kayan Production @InfoKAYANwww.kayan.co.id

Page 3: Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia Kita Edisi 20.pdf · Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang

Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 3 S O R O T

Melalui pijakan pemanggungan inilah tentunya berpengaruh pada pilih-an musik keroncong yang diampu oleh Djaduk ferianto sebagai penata musik yang juga pim pinan grup musik Sinten Remen.

“Saya memilih lagu-lagu lawas yang semangat dan waktunya bersamaan de-ngan tren opera masa itu” tutur Djaduk menceritakan konsep musiknya yang ber kaitan erat dengan benang merah pe-manggungan.

Menjelang pertunjukan, di Yogya-karta para pemain Sinten Remen berlatih memainkan lagu-lagu lawas. Seperti lagu Citra, Ojo Gelo, Maria Elena, Keroncong Pemudi dan Pemuda, Pengantin Anyar, Danana beserta berbagai lagu lawas lain-nya. “Ini melodi zaman kemerdekaan dengan lagu-lagu Eropa dan semangat rakyat sesuai Indonesia.” tutur seniman yang baru saja menginjak usia 51 tahun yang tentunya semakin memantapkan diri sebagai seniman yang gelisah.

Setiap lagu memiliki kisah, keunik-an dan tantangan sendiri untuk diaran-semen dan diinterpretasikan ulang. Pada lagu Citra karya Ismail Marzuki, Djaduk mengubah beat nya menjadi kental dengan dengan keroncong. Be-gitu pula dengan lagu Maria Elena yang akan di bawakan oleh maestro keroncong Su bardjo HS. Lagu ini berbahasa asli Spa nyol dan akan dibawakan Su bardjo dalam bahasa Indonesia.

“Lagu-lagu Eropa itu dialihbaha-

sakan dan diadaptasi dalam bahasa Indo-nesia menjadi lagu-lagu rakyat yang sering kita dengar” ungkapnya.

Begitu pula dengan beberapa lagu yang akan dibawakan oleh penyanyi ke-roncong Endah Laras dan penyanyi Seriosa Heny Janawati. “Keroncong dan seriosa ini akan menjadi menarik untuk spirit musik baru di keroncong” tegasnya.

Berbicara tentang keroncong, meski-pun musik ini berasal dari Portugis namun memiliki akuturasi erat dengan budaya Indonesia. Bahkan kata keroncong sendiri memang asli dari Indonesia yang kemudi-an dikenal dengan alat musik yang khasnya adalah ukulele. Alat musik petik jenis gitar kecil yang selalu menjadi identitas keron-cong. Selanjutnya, perkembangan kelom-pok yang menekuni musik keroncong ini salah satunya adalah komunitas tugu yang kemudian membentuk keroncong tugu di Jakarta Utara.

Begitu pula dengan berdirinya Sinten Remen pada tahun 1997 sebagai kelompok keroncong yang kreatif, jenaka dan unik merupakan sebuah upaya untuk mendekat-kan keroncong pada publiknya. Oleh sebab itu, diperlukan formula supaya anak seka-rang (generasi muda) mau meng apresiasi. Tentunya jalan yang dilakukan adalah meng aransemen banyak pola dan ragam yang dimasukan di luar mainstream keron-cong lawas. “Kalau bahasa saya dibuat “le-bih ngetren” disesuaikan dengan masa kini”.

Djaduk pun optimis bila keroncong tidak menutup diri pada zaman dan akan selalu berkembang. Pada tahun 2015 ia mendaulat Pasar Keroncong di Kota Gede-Yogyakarta sebagai surganya para musisi keroncong. Ada pula Solo Keroncong fes-tival 2016 pada Mei silam. Dalam waktu dekat, Djaduk siap untuk mewujudkan festival keroncong se-Indonesia.

“Ini saatnya tren kembalinya ma-suk keroncong di hati anak muda, bukan sekedar musik klangenan, bukan musik tua”. Sebab, memang terdapat feno mena di mana komunitas keroncong berisi seni-man yang masih berpikir mainstream. Perlu dilakukan sebuah dekonstruksi oleh seniman-seniman muda sebagai sebuah gerakan musik yang total untuk menjadi-kan keroncong semakin berkembang.

Meskipun di balik perkembangan ter-sebut, Djaduk mengharapkan bahwa pemi-kiran yang ingin disampaikannya, melalui kar ya-karyanya semoga dapat diterima utuh oleh masyarakat dan tidak tereduksi mak-nanya. Serupa dengan kunci berkesenian Djaduk selama ini, bahwa yang terpenting adalah “membangun kegelisahan dan meng-isi apa yang kita punya untuk jagad seni dan bangsa.” Ratu Selvi Agnesia

Panggung Indonesia Kita dalam Doea Tanda Tjinta menyuguhkan kilas balik sejarah masa lalu, yang lawas namun selalu dikenang. Dari kisah cinta di deru masa Indonesia Tempo Doloe hingga konsep pemanggungan bergaya opera. Pada masa lalu, pertunjukan Toneel,

Dardanella merupakan jenis opera yang pernah berkembang pesat di Indonesia. Di dalam pertunjukannya kental dengan akulturasi budaya dan melahirkan bintang yang cemerlang pada masanya, salah satunya Miss Dja.

FOTO: WITJAK WIDhI CAhYA

Page 4: Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia Kita Edisi 20.pdf · Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang

Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 20164

Heny JanawatiAGAR PERTUNjUKAN OPERA MEMBUMI

L A Y A R

Heny Janawati gamang. “Apa yang bisa saya per-buat,” ungkap penyanyi mezzo-soprano sepu-lang menimba studi Pertunjukan Opera pada

University of British Columbia, Vancouver, Kanada dan berkarya di Amerika Utara dan Eropa. Di benua biru, pemilik nama lengkap I Gusti Ayu Ngurah Heny Janawati dapat bermain opera kian kemari, menjajal be-ragam watak dengan fasilitas sangat memadai.

Dia selalu berusaha tampil total pada segala pe-ran. Tak peduli, apakah mendapat peran sebagai tokoh gloomy selaik Nenek Sihir pada opera Hanseland Gretel, atau berolah watak sebagai Tituba, perempuan peng-anut ilmu hitam dalam The Crucible, maupun Carmen, seorang gadis Gipsi nan kuat dan memesona banyak pria. “Saya harus menjadi karakter”.

Heny mendalami peran, mencari makna implisit di balik teks tersurat. Dia menjadi stage animal, maksudnya julukan dari penggiat seni pertunjukan Kanada, bagi orang yang sangat menguasai panggung. Itu semua berlaku di luar negeri, bagaimana de ngan langkahnya di Indonesia.

Dia semula ragu bila bakatnya akan sia-sia. Sang suami, Ketut Suarma, lantas meyakinkan bahwa sang is-tri dapat melakukan banyak dengan bekal kemampuan dan pengalaman sebagai penyanyi opera di luar negeri. Ide mendirikan sekolah vokal, dan seni pertunjukan mencuat. Staccato Bali lahir.

Lewat lembaga pendidikan pelatihan vokal terse-

but, dia ingin mengajak siapapun untuk meng -asah kekuatan vokal dan menikmati ke gem-biraan sebagai seorang performer. Dia pun beroleh pijakan pasti untuk me-masyarakatkan ope ra. Salah satu-nya dengan menggelar pertunjukan Carmen, karya musikus Prancis, Georges Bizet. “Saat menyaksi-kan pertunjukan opera, seperti Carmen, masyarakat kemudian me ngenal bentuk pertunjukan op-era,” ujarnya.

Pertunjukan tersebut menuai sukses. Heny tuntas memerankan tokoh Carmen, sebagai perempuan ko-koh, galak menghadapi dunia lelaki, liar, dan kuat pada prinsip. Pujian bertubi datang padanya dari pelbagai surat kabar cetak maupun elek-tronik. Carmen merupakan tokoh dambaan para mezzo-soprano, jenis suara tengah bagi perempuan dalam musik.

Heny menapaki penggung opera melalui jalan panjang. Dia sedari kecil sangat akrab dengan kesenian, khu susnya Bali. Sang ayah, I Gusti Bagus Ngurah Ardja-na, merupakan penggubah lagu Bali Sekar Sandat, dan ibu nya, Ni Made Purwanti, penari Bali sekaligus pus-takawan. Sejak remaja, Heny aktif bernyanyi pada pentas kesenian, “Saya sempat nyanyi jazz, suka juga pop, rock,

seperti lagu Alanis Morissette,” tuturnya.Bungsu empat bersaudara

ke la hiran Denpasar, Bali, 27 April 1978, tersebut mulai

tertarik musik klasik, lan-taran mendengar lagu Maria Callas, soprano berpengaruh di dunia opera abad 20. Keter-tarikannya kemudian bersambut. Sang ayah

berkawan baik dengan Pranajaya, penyanyi seka-

ligus pendiri sekolah vokal Bina Vokalia. Dia lantas giat

mengasah kemampuan vokal. Pada tahun 2002, dia mendapat

kesempatan menempuh studi Pertunjuk-an Opera, University of British Columbia, Vancouver, Kanada. “Di Eropa maupun Amerika, pertunjukan Ope-ra berkembang sangat pesat. Penikmat Opera juga sangat banyak. Begitupun fasilitasnya sangat mendukung”.

Di tanah air, menurutnya, pertunjukan Opera rela-tif menunjukan kemajuan. Beberapa pertunjukan Opera terselenggara, walau beberapa lebih dekat terhadap ben-tuk drama musikal. “Namun tak kalah penting edukasi masyarakat tentang Opera”. Mahesa Rinakit

Sosok maestro keroncong asal Kota Gede-Yogyakarta ini lahir dari berbagai kejuaraan keroncong. Tak main-main di era tahun

1980an, ia meraih juara Bintang Radio dan Televisi (BRTV) hingga lima kali. Namun, berbagai prestasi yang diraih-nya adalah buah hasil segala usaha dan kerja keras yang pernah dilakoninya sedari muda. Bahkan hingga saat ini kesetiaanya sebagai seniman untuk mengembangkan musik keroncong tidak pernah surut.

Subardjo HS lahir dari keluarga pengrajin perak, ia bernama asli Sub-ardjo Purwo Hartono, inisial HS diam-bil dari nama sang ayah Hardjo Sumarto. Subardjo mempelajari dunia tarik suara secara otodidak dan diam-diam, karena sebenarnya sang ayah ingin mengarahkan anak-anaknya menjadi pengra-jin perak.

Awalnya Subardjo adalah penyanyi pop. Hingga panggilan hatinya beralih haluan ke musik keroncong. Salah satu guru yang menempanya dengan keras adalah

Kusbini, pegiat musik tiga zaman dan tokoh keron-cong yang dikenal sebagai pencipta

lagu Bagimu Negeri. Tahun 1963 menginjak kelas II SMA Ne-

geri 6 Yogyakarta, Subardjo privat di rumah Kusbini

dengan biaya kursus ha-sil usaha menjual ikan hias hingga ternak ayam.

Subardjo me-ngenang kegalakan dan

kedisiplinan sang guru melatih serupa harimau.

Kusbini tak segan memu-kul mulut dan kepala Su-

bardjo dengan sebilah bambu kecil yang digunakan untuk mem-

baca not balok. Seringnya pukulan itu di-lakukan karena kurang lebar membuka mulut saat ber-nyanyi. Namun, Subardjo tetap tidak kapok selama setahun lebih bersama Kusbini. Pil pahit yang akhirnya berbuah manis.

Usai ditempa keras, pada tahun 1964 pertama ka-linya Subardjo HS mengikuti lomba nyanyi keroncong tingkat regional di Daerah Istimewa Yogyakarta dan langsung meraih juara I. Bahkan hingga tahun 1989 prestasi menjadi juara I selalu menghampirinya, hanya sekali Subardjo HS meraih juara II. Dengan berbagai prestasi di kejuaraan ia kemudian diikuti tawaran reka-man di studio komersial. Di antaranya Wisanda Record, Borobudur Record Semarang, Pertiwi Record Jakarta, Irama Mas dan Musica Studio Jakarta.

Menanggapi perkembangan musik keroncong saat ini. Bagi Subardjo, keroncong semakin berkembang dengan memiliki impresi tersendiri dan kolaborasi. Perkembangan ini bagus menurutnya, asalkan jangan dihilangkan keasliannya. Sedangkan cara Subardjo un-tuk melestarikan keroncong khususnya antar generasi dilakukan di mulai dari keluarga. Ia mendirikan Orkes Keroncong Timpasko Baru bersama ketiga adik dan teman-temanya. Selain mewariskan harta keroncong kepada anak dan cucunya juga generasi muda. Agar ke-roncong tidak hanya sekedar lestari dan terpelihara tapi turut menjadi bagian erat dari kehidupan.

Ratu Selvi Agnesia

KERONCONG SEBAGAI PERSEMBAHAN KEHIDUPANSubardjo HS

Page 5: Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia Kita Edisi 20.pdf · Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang

Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 5 L A K O N

enaka”. Kata ini cocok untuk meng-gambarkan sosok perempuan berpe-rawakan besar, bersanggul, berbusana

kebaya, dan acap bermain ukulele pada se-tiap penampilan. Genjrengan ukulele ber-sahut lelagu riang keroncong semisal Ayo Ngguyu, Tanjung Perak, dan Jangkrik Geng-gong mampu mengubah senyum simpul penonton jadi tawa. Penonton pun larut, turut menyanyi sembari bertepuk tangan. Bersuka ria. Demikian Endah Laras me-nyihir penonton.

Perempuan kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 3 Agustus 1976, semula tak per-nah menyangka akan menjadi penyanyi keroncong kenamaan. Putri pasangan Dalang Surakarta Sri Joko Raharjo dan Sri Maryati, Guru Tari Tradisi, memulai berolah suara menjadi sinden. “Saya justru

lebih dahulu mengenal sin-den,” ujarnya. Dia sering ikut pentas sang ayah, mengisi ade gan Limbuk-Cangik.

Album perdana Endah bertajuk “Gemes”, menyusul kemudian dua album cam-pursari di bawah naungan Nirwana Record, perusahaan rekaman di Surabaya, dengan tembang andalan Tak Lela-lela Lela Ledung.

Pembawaan Endah Laras nan jenaka se-makin kentara saat dirinya mulai membawa ukulele saat bernyanyi. “Mas Garin Nug-roho yang meminta saya bernyanyi de ngan ukulele. Sekarang malah jadi semacam gaya saya. Apik kok,” ungkapnya. Aksinya begitu memikat saat berduet dengan Wouter Braaf

kala mendendang lagu Boenga Anggrek gubahan Ismail Marzuki pada film Soegija garapan Garin Nugroho. Nuansa masa re-volusi begitu kentara.

Keroncong memang menjadi penanda jaman revolusi. Beragam karya Ismail Marzuki begitu kaya dengan suasana masa perjuangan. Lagu selaik

Sepasang Mata Bola, Juwita Malam, dan Sabda Alam menggambarkan riuh-rendah nuansa pergolakan jaman kolonial. Endah Laras berpendapat bahwa musik keron-cong membawa jiwa jamannya.

“Maka muncul sebutan keroncong perjuangan,” tukasnya.

Kesan kuat keroncong, menurutnya, dapat membuat para penikmatnya terbawa ke masa lampau, menikmati suka-duka maupun lukisan masa lalu. Endah Laras pun acap menyanyikan lagu-lagu dari masa kolonial, salah satunya lagu Kopi Susu pada pementasannya bersama Garin Nugroho. “Biasanya ada beberapa kata-kata bahasa Belanda. Saya harus extra keras menghapal kata-kata itu”.

Kejenakaan si perempuan ber suara En-dah (indah) juga Laras (harmoni) mem ba-wanya menyasar pada pentas inter nasional. Dari semua pengelanaannya, ke ron cong merupakan sebuah palagan. Perjuangannya. Meniti pentas demi pentas, ba ik dari dalam maupun luar negeri. Sebentuk penghor-matan baginya dapat terus berkarir di dunia keroncong. Mahesa Rinakit

Pertunjukan Doea Tanda Tjinta ta-hun ini merupakan penampilan keempat bagi Merlyn Sopjan (43

tahun) di Indonesia Kita. Sebelumnya, ia pernah bermain dalam pertunjukan Kartolo Mbalelo (2011), Kadal Nguntal Negoro (2011) dan Nyonya-nyonya Istana (2012).

“Saya selalu siap sedia kapan pun,” katanya bersemangat. Namun, pertun-jukan tahun ini cukup berbeda dari yang sebelumnya. “Tantangan kali ini adalah temanya, yaitu perihal perjuangan ke-merdekaan,” akunya. “Saya tertantang memainkan peran dengan latar masa

menjelang kemerdekaan.”Meskipun berlatar lam-

pau, pertunjukan kali ini tentu dihadirkan dengan ciri khas pertunjukan di “Indonesia Kita” itu sen-diri, se perti penuh humor dan mendidik. “Mesti bisa lebih baik dan menghibur dibanding tiga per tunjuk-an sebelumnya,” jelasnya. “Seni, apapun itu, mesti memberikan refleksi dan hiburan bagi jiwa dan pikiran yang lelah,” lanjutnya.

Bicara soal seni, ia memandang seni

dengan cara yang beragam. Ia percaya bahwa seni bisa berguna sebagai media reflektif, juga sebagai me-dia partisipatif. “Seni buat saya adalah salah satu cara untuk menyuarakan se-suatu, tapi tetap sesuai de-ngan jiwa dari kesenian itu sendiri,” tegasnya.

Meskipun Merlyn percaya bahwa seni bisa menyuarakan suatu pikiran, ia tetap berpegang-teguh bahwa cara penyampaiannya tetap harus elegan. “Supaya seni tetap bisa dinikmati

dan dilestarikan, bagi saya, yang terpen-ting bagaimana kita bisa menyuarakan ga-gasan atau suara hati dengan kesantunan,” katanya, “bagaimanapun juga, saya senang berkumpul dan menimba ilmu dengan seniman yang lebih berpengalaman.”

Selain berkesenian, aktivis gender ini juga seorang penulis buku. Ia banyak me nyorot masalah-masalah gender. Pada September 2016 ini, buku ketiganya akan dipublikasikan. Buku pertamanya terbit pada tahun 2005 dan setahun kemudian buku ke duanya pun diluncurkan. “Saya pe-ngagum pikiran-pikiran cerdas dan out of the box,” akunya. Ahmad Husein Bejo

Wajah oriental bertubuh semam-pai acap menghiasi layar kaca, entah sebagai pembawa acara,

beradu peran dalam sinema elektronik, bah-kan mengisi beragam pariwara. Dara kela-hiran Jakarta, 4 Desember 1976, merupa-kan pesohor serba bisa dengan segudang ke-giatan sosial. Dia pernah terlibat dalam ge-rakan donasi publik untuk menyewa lahan hutan lindung untuk mencegah perusahaan tambang mengeksplorasi hutan lindung.

Meskipun aktifitas sosial terbilang tinggi, namun eksistensinya di jagat hiburan juga tak kalah. Pemeran ibu Ling-Ling pada film Soegija tersebut memang jarang tampil di layar kaca, lantaran sibuk pada kegiatan

di belakang layar. Mengurus produksi film.

Dia memulai aktifitas-nya di belakang layar ketika menyutradarai film pendek berdurasi sepuluh menit dengan judul Real love untuk sebuah ajang Indie Movie festival. Pada penggarapan omnibus Rectoverso karya Dee Lestari, melibatkan em-pat sutradara, Olga Lidya, menjadi salah satu sutradara penggarap segmen bertajuk Cerita Buat Sahabat. film tersebut banyak mengulas cerita persahabatan perempuan dengan beragam permasalahannya.

Tak berhenti sampai di situ, dia pun berperan se bagai produser dalam pro-duksi film Sang Pemimpi ga-rapan Riri Riza. Dia mem-peroleh banyak pe ngalaman baru selama bekerja di be-lakang layar. Tak kurang susahnya dari berperan di depan kamera. Selain Sang Pemimpi, Olga pula turut

memproduseri film Di Antara Nada.Dari bekerja di balik layar, Olga sem-

pat mendapat tugas besar menyelenggara-kan perhelatan akbar penganugerahan ter-hadap sineas-sineas Indonesia, pada ajang

festival film Indonesia 2015. Kegiatannya kembali meninggi, juga rumit, sebab dia punya beragam urusan, mulai dari promosi acara, penjurian, hingga menyelenggara-kan malam puncak. Perhelatan berlang-sung apik, tanpa aral berarti.

Meski punya bertumpuk gawai, tan-tangan untuk meladeni peran di atas pang-gung Indonesia Kita tak bisa dia lewatkan. Dia akan bermain dengan beragam karakter, mulai dari komedian, penyanyi keroncong, hingga pemain opera. Tentu kehadiran Olga akan memberi nuansa berbeda pada perhe-latan bertajuk Doea Tanda Tjinta. Berkisah seputar kisah cinta sepasang sejoli pada deru masa revolusi. Mahesa Rinakit

Endah LarasSI jENAKA MELAGU KERONCONG PERjUANGAN

Merlyn SopjanSENI SEBAGAI MEDIA REFLEKTIF

Olga LidyaCINTA DALAM DERU REvOLUSI

Page 6: Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia Kita Edisi 20.pdf · Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang

Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 20166 L A N G G A M

Butet KartaredjasaButet adalah salah satu

penggagas dan tim kreatif dari program Indonesia Kita hingga memasuki pertun­jukan ke 20 kalinya. Di mulai sejak tahun 2011 hingga saat ini, panggung Indonesia Kita selalu tak luput dipadati penonton pada se­tiap pementasannya di Graha Bhakti Buda­ya­Taman Ismail Marzuki.

Lahir di Yogyakarta 21 November 1961. Anak ke­5 dari 7 bersaudara keluarga seni­man (Koreografer dan pelukis) almarhum Bagong Kussudiardja. Sang ayah diakuinya sebagai sosok yang telah memberikan at­mosfer kesenian sejak awal di keluarga. Se­jak kecil pun ia sudah terbiasa menonton ketoprak di Tobong dan membatik.

Butet dikenal sebagai seniman yang menekuni lintas seni dan multi talent. Mulai 1978­1992 menjadi sketser (penggambar vignet) dan penulis freelance untuk li putan masalah­masalah sosial budaya untuk me­dia­media lokal maupun nasional: KR, Ber­nas, Kompas, Mutiara, Sinar Harapan, Hai, Merdeka, Topik, Zaman, dan lain­lain. Aktif sebagai pelukis dan pengamat seni rupa. Sampai sekarang masih menulis esai bu­daya atau kolom (tentang masalah so sial budaya) di berbagai media massa cetak nasional.

Pengalaman di bidang teater di anta­ranya: Teater Kita­Kita (1977), Teater SSRI (1978­1981), Sanggarbambu (1978­1981), Teater Dinasti (1982­1985), Teater Gandrik (1985­sekarang), Komunitas Pak Kanjeng (1993­1994), Teater Paku (1994) dan Komu­nitas seni Kua Etnika (1995­sekarang). Bu­tet juga tersohor sebagai tukang monolog

dan bermain berbagai peran di berbagai pertunjukan komunitas teater lainnya, si­netron bahkan dunia film.

agus NoorAgus Noor selalu men­

jadi penulis naskah di se­tiap program Indonesia Kita hingga pertunjukan Doea Tanda Tjinta, sebagai pertunjukan ke 20 Indone­sia Kita. Ia dikenal sebagai penulis cerita pendek, puisi, esai, skenario televisi dan naskah lakon, serta menjadi artistic director untuk banyak pertunjukan teater dan musik.

Sejak tahun 2011 sampai saat ini menjadi creative dan artistic director un­tuk panggung Indonesia Kita, yang rutin menggelar pertunjukan 3 sampai empat kali dalam setahun: Laskar Dagelan, Beta Maluku, Kartolo Mbalelo, Mak Jogi, Kutukan Kudungga, Kadal Nguntal Negara, Kabayan Jadi Presiden, Maling Kondang. Nyonya-Nyo-nya Istana, Orde Omdo, Matinya Sang Maes-tro, Semar Mendem, Roman Made in Bali, Tabib dari Timur, Sinden Republik, Datuk Bagindo Presiden dan Nyonya Nomor Satu dan Komedi Tali Jodo.

Lahir di Tegal, 16 Juni 1968. Pada tahun 1987, cerpennya “Kecoa” muncul di Kompas pertama kali. Tahun 1984 cerpen “Peang” yang ditulisnya masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas, dan sejak itu cerpennya nyaris selalu masuk dalam buku cerpen pilihan Kompas.

Buku­bukunya yang sudah terbit Bapak Presiden yang Terhormat (Pusta­ka Pelajar, 1998), Memorabila, (Yayasan Obor Indonesia, 2000), Selingkuh Itu In-

dah (Galang Pustaka, 2001), Rendezvous (Galang Pustaka, 2002,) Potongan Cerita di Kartu Pos (Penerbit Buku Kompas, 2005), Matinya Toekang Kritik (Lamalera Pers, 2007) Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (2007), Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan (Motion Publising, 2010), Cerita buat Para Kekasih (Gramedia, 2014).

CaK LoNtoNgPada pertunjukan

Doea Tanda Tjinta, Cak Lontong berperan sebagai sinyo Belanda yang jenaka. Seorang anak tuan besar yang baru datang dari ne­geri Holand. Di hampir setiap pertunjukan Indonesia Kita, lawakan Cak Lontong ter­bilang sederhana, dengan ekspresi wajah yang datar, disampaikan dengan bahasa yang baku dan terstruktur bersama logika absurd. Menantang penonton untuk ber­pikir dalam tawanya.

Lahir di Magetan, 7 Oktober 1970 ber­nama asli Lies Hartono. Ia adalah salah satu ‘dedengkot’ ludruk Cap Toegoe Pahlawan yang lumayan terkenal di Surabaya, me­miliki karakter tersendiri. Kekhasan itulah yang membuat ia berbeda dengan pelawak lainnya. Selama ini Cak Lontong dikenal sebagai pelawak yang jago plesetan dan anekdot. Ia dituntut untuk cerdas, rada nyinyir, pintar menganalisa, dan mampu menawarkan solusi dari setiap topik yang diangkat.

Berbicara tentang Cak Lontong pasti tidak jauh dari materi Stand Up Comedy yang sedang hot di Indonesia, banyak ko­median stand up bermunculan satu per­satu. Sejatinya, seseorang yang mengaku

komedian atau dalam istilah Stand Up Comedy (SUC) adalah comic haruslah pintar di mana saja dan kapan saja, comic harus pintar membawakan materi yang mem­buat penonton tertawa. Setidaknya itu yang dikatakan Cak Lontong. Tentang per­tumbuhan SUC di Indonesia, Cak Lontong melihat sebagai fenomena perubahan kul­tur. Bahwa komedi itu sebetulnya lahir dari kultur. Saksikan kelucuan Cak Lontong se­bagai sinyo Belanda.

aKBarDi panggung Indonesia

Kita, Akbar dan Cak Lontong selalu adu lawak dan argu­men dalam melengkapi per­tunjukan. Seringkali mereka saling menghina tapi turut pula saling mendukung. Serupa benci tapi cinta. Termasuk peran Akbar kali ini di per­tunjuak Doea Tanda Tjinta. Akbar berperan sebagai pribumi, pekerja di rumah Tuan besar, yang kemudian jadi pengawal Sinyo Lontong.

Gaya lawakan yang lugas adalah ciri khas Insan Nur Akbar. Lahir di Soppeng, 26 Juni 1977. Memulai karirnya dengan men­jadi Master Of Ceremony (MC) di berbagai acara di Jawa Timur. Akbar semakin dikenal dunia entertainment sejak mengikuti ajang pencarian bakat Stand Up Comedy di Kom­pas TV yang membawanya menjadi Runner Up. Menariknya, gaya dan ciri khas humor Akbar selalu menyoal realitas sosial dan politik masyarakat Indonesia seperti men­jadi Panelis di ILK (Indonesia Lawak Klub) Trans 7. Selain wajahnya pun sering mun­cul di iklan dan program televisi maupun sebagai pelawak tunggal.  

TRIO GAM (GUYONAN ALA MATARAMAN)GARENG RAKASIWI

Kecintaan Gareng pada seni lawak ti­dak akan pernah pudar, sejak tahun 1993 hingga sekarang, ia semakin aktif mela­wak di tempat asalnya Yogyakarta bah­kan hingga ke luar negeri. Seperti tampil bersama Didik Nini Thowok saat pentas di London.

Pelawak yang bernama asli Dwiyanto ini lahir 20 April 1967 di Sleman Yogya­karta. Seringkali sebagai pelawak tunggal, di atas panggung ia selalu pandai me­mainkan kata­kata dan peristiwa dengan ekspresi polosnya. Ditambah dengan pos­tur tubuh yang jenaka.

Permainan Gareng bersama grup Trio GAM (Guyonan Ala Matraman) yang terdiri dari Marsudi Wiyono dan Wisben Antoro selalu kompak. di atas panggung. Ia juga seringkali memparodikan lagu­lagu de­ngan berbagai bahasa daerah dalam ma­teri lawaknya. Ciri khas tersebutlah yang membuat Gareng dan Trio GAM nya selalu di gemari masyarakat.

WISBEN ANTORO Walaupun diakui melawak itu tidak

mudah, namun Wisben terus belajar dan menggali potensi yang ada di dalam dirinya agar terus bisa mengapresiasi kreativitasnya dan membuat orang lain tertawa. Meski pernah menjadi lang­ganan juara, nama Wisben bukan jamin­an laku di panggung.

Wisben pun mencari gaya lawakan­nya sehingga pada tahun 2001 dirinya mempunyai ide untuk memanfaatkan permainan sulap. Selanjutnya membo­corkan rahasia sulapnya di akhir pe­nam pilan dengan gaya yang nyeleneh dan lucu, sehingga membuat penonton terpingkal

Lahir di Yogyakarta, 5 Oktober 1967. Wisben sudah aktif melawak sejak masa sekolah dan menjadi pengisi acara Ob­rolan Angkring di TVRI. Ibunya bernama Sri Rahayu, seorang sinden. Ayahnya bernama Kasmadi, seorang sungging wayang. Tak heran darah seni mengalir

dari kedua orang tuanya. SMKI merupa­kan tempat pertemuan pertama Wisben dengan teman­teman yang sama­sama menyukai lawak, grup lawak “Jeng­jeng Jus” berhasil menjadi juara bertahan dalam lomba lawak di Sekaten pada ta­hun 1987. Sejak itu ia terus melawak dan berkeliling Indonesia.

JONED Marsudi Wiyono, atau dikenal de­

ngan nama Joned. Seorang seniman lawak yang berhasil memerankan tokoh yang penyakitan. Hal ini didukung dengan pe­rawakannya kurus tinggi lengkap dengan hiasan koyo di kedua sisi dahi. Melihat

hal demikian, lengkap sudah tokoh nyele­lek dan penyakitan ini melekat pada sosok seorang Joned.

Meski demikian pria kelahiran kota gudeg 03 Juni 1970 ini mempunyai ba­nyak eksplorasi kreativitas. Sebelum koyo menjadi salah satu pelengkap dalam se­tiap tampilannya, pria berumur 44 tahun ini pernah beberapa kali mencoba ber­penampilan beda, salah satunya penggu­naan perban di tangan berikut kepala ber­balut dengan sedikit efek darah merah. Hasilnya, bagi warga Jogja yang menyukai pentas komedi, kemungkinan besar me­ngenal seniman yang satu ini termasuk bagi penonton setia Indonesia Kita.

Page 7: Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia Kita Edisi 20.pdf · Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang

Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 7 L A N G G A M

MarWotoMarwoto selalu

suk ses menggiring pe­nonton untuk tertawa dengan lepas. Peran­pe­rannya di Indonesia Kita dengan tokoh yang bera­gam selalu sukses dibawakan. Termasuk kali ini perannya sebagai Babah Mar Wo Tong atau pedagang candu.

Kecintaan Marwoto pada dunia kesenian berawal sejak kecil. Se niman tradisi kelahiran Yogyakarta, 21 Ok­tober 1952 ini lahir dari keluarga se­niman. Sejak kakek hingga bapaknya Sudjadi Cokro Admodjo serta Ibunya Sudjilah merupakan pemain ketoprak Tobong yang kerap berpentas keliling berbagai kota.

Bernama lengkap Sri Slamet Sumar­woto. Pertama kali terjun kedunia teater tradisional, ketoprak pada tahun 1969. Awalnya ia hanya crew panggung dan pada malam hari muncul menjadi baladupakan (tokoh pelengkap dalam suatu adegan). Selanjutnya mulai belajar teknik lampu juga dekorasi panggung. Mempelajari teknik penyutradaraan dengan cara mengamati. Dalam teknik perang ketoprak ia juga mempelajari ilmu silat di berbagai tempat.

Setelah puluhan tahun, ketoprak telah membentuk pribadi Marwoto se­bagai seniman tradisi yang mumpuni, serba bisa, dan sarat pengalaman hi­dup. Ia berkelana dari ketoprak tobong satu ke tobong lain yang ada di Jawa, hingga dijuluki “pemain minggatan” karena ia ingin memperoleh pengala­man dan mengetahui seluk beluk dari setiap grup ketoprak yang ia ikuti. De­ngan berbekal pengalaman tadi, Mar­woto belajar berbagai  gaya  ketoprak Jawa Timuran, Pesisiran, atau pun keto­prak gaya Mataraman.

susILo NugroHoSusilo Nugroho

mendapat peran istime­wa dalam panggung In­donesia Kita kali ini, yakni sebagai meener Belanda atau Tuan Besar. Tokoh pimpinan di masa Belanda tersebut ten­tunya akan mengundang gelak tawa bila Susilo yang memerankannya.

Mengkilas balik perjalanan karirnya, Susilo lahir di Yogyakarta 5 Januari 1959, adalah seorang pelawak yang pernah dikenal dengan acara “MbangunDesa”di TVRI Yogyakarta pertengahan 1990­an. Baginya kesenian bukan sebagai profesi melainkan hanya hobi atau kesenangan saja. Di samping memang karena kecin­taannya terhadap seni peran, aktivitas­nya di panggung adalah mencari teman dan mencari tambahan nafkah.

Mulai terjun dalam seni peran se­jak duduk di bangku SLTA sekitar ta­hun 1977. Pengetahuan dan keahlian tentang seni peran ia dapatkan dari ke­lompok teater yang diikutinya selain dari pengalaman­pengalamannya selama berpentas di berbagai panggung.

Kresna Indonesia dilliani merupakan lu­lusan Jurusan Tari, Fa­kultas Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sebagai penari, ia pernah terlibat dalam karya dari berbagai ko­

reografer terkenal, baik dari dalam atau luar negeri seperti Jepang, Jerman, dan Swiss. Sebagai koreografer, ia pernah me­nampilkan karya No Mart, di acara Imove 2, Teater Kecil (2012), Kungkung, Fes ti­val Kesenian Indonesia FKI di Surabaya (2004), Ilalang di Langkahku dan Gerakku Pada Nada (2005), dan Aceh, Solok Folklor Festival, Sumatra Barat  (2012). Selain itu, ia juga berkontribusi dalam film Generasi Biru (Slank) dan Musik untuk Cinta.

Helda Yosiana lahir di Lampung, 27 Maret 1987. Ia telah menyelesaikan S1 dan S2 di Institut Kesenian Jakarta. Ia pernah men­jadi salah satu Emerging Choreographer pada Indo­

nesian Dance Festival (IDF) 2012 dengan karya Miss Jinjing. Ia pernah menjadi penari dalam beberapa karya dari koreografer terkemuka dan telah mengikuti beberapa festival di Swiss, Berlin, Jepang, Malysia, Singapura, juga Groningen. Mendapatkan kesempatan berkolaborasi tari, musik, dan animasi bersama mahasiswa California In­tstitute Of The Arts, California, Los Angeles. Tahun 2015 mengikuti Residance program di Korea selama 5 Bulan dan tampil dalam Seoul International Dance Festival.

daniel setyoPambudi lahir 15 Mei 1991di Sura­baya, Jawa Timur. Ia meru­pakan lulusan Jurusan Seni Tari Universitas Ne­geri Jakarta. Namun, se­cara non­formal, ia sudah

menekuni dunia tari dari tahun 1998 di Sanggar Tari Progel, Purworejo. Ia pernah mengikuti iven internasional, beberapa di antaranya International Dance Folk Fes­tival Karagoz Turkey(2014) dan Folkclore Festival Brazil (2013). Ia juga aktif terlibat dalam beberapa karya tari karya seniman

nasional seperti Hartati, Tom Ibnur, Jefry Usman, Indera Zubir, dan Jhon Phajok. Selain menari, ia pernah mengajar sebagi pelatih tari kontemporer di North Jakarta International School.

shinta Maulita menari se­jak usia 7 tahun dan kemu­dian mendalami seni tari di Institut Kesenian Jakarta dan lulus tahun 2014. Se­bagai penari, ia pernah mengikuti berbagai festi­

val, baik di dalam maupun luar negeri.

Wilbrordus Wolo Mayng lahir di Jakarta, 14 Febru­ari 1986. Ia merupakan lulusan Jurusan Seni Tari Universitas Negeri Ja­karta. Ia pernah terlibat dalam beberapa karya

tari seperti FOKLORE Festival di Republik Ceko (2007), FOKLORE Festival di Praha dan Slovakia (2009), Pembukaan Pam­eran Pariwisata di Oslo Norwegia (2009), penari dalam FOKLORE Festival di Taiwan (2012). Selain penari, ia juga pernah men­jadi asisten penata tari ABNON Jakarta Utara (2007 – 2009), sebagai penata tari terbaik dalam FOKLORE Festival di Yu­nani dan Turki pada tahun 2012. Kini ia menjadi pengajar ekstrakulikuler di SMA Lab School Cibubur dan SMA Lab School Rawamangun.

grace allen sahetapy lahir di Kendari, 11 Juni 1977. Ia tak hanya dikenal sebagai penari kontem­porer professional, tetapi juga koreografer untuk berbagai pertunjukan di

dunia industri hiburan. Ia memulai karir sebagai penari profesional dari tahun 1994­1997 di Dunia Fantasi – Jakarta. Per jalanan pertama karirnya, ia ikut ber­partisipasi sebagai aktris di sejumlah kelompok teater, beberapa di antara­nya pertunjukan Opera Hanoman oleh Teater Tanah Airku (1997­1999), pertun­jukan Saputangan Merah Jambu oleh Dur Teater (1999), dan sebagai penari di per­tunjukan Tanda Cinta oleh Teater Koma (2005). Sekarang ia menjadi koregrafer di Yayasan Pendar Pagi.

endang suwandi lahir di Sukabumi, 25 Mei 1991. Ia merupakan lulusan Pendidikan Seni Tari Uni­versitas Negeri Jakarta. Tahun 2013 ia masuk ke dalam penyaji terbaik

dalam Festival Nasional Seni Pertun jukan Indonesia, ia mendapat Juara Umum dalam Parade Tingkat daerah Jawa Barat pada 2015 dan 2016 ia mendapat Juara 2 dalam Festival Seni Tari Kreasi tingkat provinsi Banten. Ia juga bertindak se­bagai pengajar tari, di antaranya tahun 2010 sebagai pelatih tari jaipong pada Canisius Education Fair, tahun 2011 se­bagai pelatih tari kolosal pada Canisius Education Fair, tahun 2013 sebagai per­wakilan DKI di Festival Nasional Seni Per­tunjukan indonesia, dan 2015­2016 ia aktif sebagai guru tari SD Santa Milenia Rawasari, Jakarta Pusat.

Yosaphat d sipayung. Lahir di Jakarta, 29 Sep­tember 2016. Lulusan Pendidikan Seni Tari­Uni­versitas Negeri Jakarta. Sejak tahun 2007, Yo­saphat mulai berkecim­pung dalam kesenian

khususnya bidang seni tari di antaranya: Dewan juri pesta tor­tor kreasi Suma­tra Utara tingkat remaja (2014). Penari tunggal tor­tor bolon Festival Danau Toba (2013). Pelatih tor­tor dan Musik tradisi sanggar “Bhatara Guru” Jakarta TMII 2011 hingga saat ini dan aktif menjadi penari/koreografer di dalam kampus dan luar kampus. Menurut Yosaphat, berbicara soal kesenian daerah, kita ha­rusnya bangga dengan tarian daerahmu sendiri dibandingkan tarian modern lain­nya. Tarian tradisional Indonesia itu asli, tidak menjiplak atau meniru bangsa lain. Tarian Indonesia juga sangat halus dan memiliki nilai estetika yang tinggi. Setiap tari tradisional di Indonesia mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi. Biasanya tari­tari ini mengadaptasi dari lingkungan dan cerita tempat tumbuhnya tari terse­but karena diadaptasi dari lingkung an tempat lahir dan tumbuhnya tari terse­but, maka setiap tarian tradisional di In­donesia mempunyai karakter yang me­wakili daerahnya.

KoreograferB. Kristiono soewardjo.

atau lebih dikenal dengan nama Kris Soewardjo, merupakan lulusan Institut Ke­senian Jakarta. Sejak umur 10 tahun mulai belajar menari tari tradisional Sunda, Jawa, Bali, Melayu, dan Sumatra. Ia bergabung dengan Swara Maharddhika (1986) dan ikut misi kesenian ke Jerman Barat dan Austria (1988).

Kris juga pernah menjadi Koreo­grafer Opening Ceremony SEA Games XIX di Jakarta (1997). Dua tahun ke­mudian ia mendapat predikat kedua pada acara GKJ Award (1999) dengan tarian yang

berjudul Ngangres. Ia membawakan tarian tersebut ke Seoul International Dance Fes­tival (2000) dan memenangkan beberapa kejuaraan pada acara Bandar Serai Award di Riau (2002) sebagai Penari Terbaik, Ko­reografi Terbaik, dan Penata Tari Terbaik. Pada tahun 2002 menampilkan karya tarinya sendiri Melintas Cahaya dalam acara Indone­sia Dance Festival (IDF) dan beberapa tahun berikut mengajar Lokakarya Koreografi IDF. Ia berpartisipasi sebagai koreografer dan tim ar­tistik dalam pementasan Jaka Tarub (2007) dan sebagai koreografer dan penari dalam acara Festival Folklore di Perancis (2008). Saat ini ia mengajar di Universitas Negeri Jakarta dan IKJ. Selain dosen, dia juga tetap berkecimpung di du­nia tari baik di dalam dan di luar negeri.

Page 8: Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia Kita Edisi 20.pdf · Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang

Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 20168

Sinten Remen

Sinten Remen didirikan pada tahun 1997 berdasarkan atas sebuah ke-ge lisahan. Di sebuah gang kecil

di Bantul, Jogjakarta, Djaduk ferianto dan seniman musik lainnya pun mulai gusar dengan perkembangan yang stagnan dihadapi oleh musik keroncong. Pada dekade 1980 sebenarnya mereka sudah membentuk Orkes Keroncong Taman Budaya (OKTB). Tapi, beberapa anggotanya sudah hijrah ke berbagai

daerah dan sulit untuk berkumpul kembali. Maka, di tahun-tahun terakhir abad 20 itu, OKTB beralih menjadi Orkes Sinten Remen. Selain Djaduk, ada pula Indra Gunawan, fafan Isfandiar, Agus Sapendi, Kendar Iswahyudi, Marsa Juliantara, Silir Pujiwati, Anita Siswanto, Benny fuad H, Dhany Eriawan W, Arie Senjayanto, Andi Prihtyastoko, Sukoco, Purwanto. Peralihan itu juga seiring-sejalan dengan berubahnya gaya mereka

KERONCONG YANG TIDAK SEKEDAR ROMANTIS

8A R E N A

dalam memainkan ke-roncong menjadi le-bih segar.

“Spirit Sinten Remen memang spi-rit keroncong,” kata Djaduk. Tapi, Sinten Remen sebagai orkes keroncong abad 21 ini ti dak lagi memainkan ke roncong konvensional, mes kipun tetap mengambil ba-gian terbaik darinya. Kekayaan model “tetabuhan” seperti dalam keroncong stambul, keroncong langgam, keroncong moresko, dan keroncong tugu dipakai Sinten Remen dengan mengambil un sur instrumen cello, cuk, dan gitar. Ter masuk beat, melodi dan temponya. “Aran semen-nya dikopyok,” begitu penjelasan Djaduk, “cara bermusik yang tidak ikut aturan main yang kaku.”

Itu sebabnya Sinten Remen jadi tampak ‘urakan’ dan ‘gila’. Komposisi musiknya mengambil berbagai inspi-rasi dari berbagai khazanah musik dunia. Dalam karya-karyanya akan kita temu-kan keroncong yang berjalin-kelindan dengan musik jazz, blues, rock, country, samba, sampai dangdut. Namun, segala pertemuan dengan berbagai gaya musik itu tak membuat orkes ini jadi seperti ‘gado-gado’. Setiap pertemuan tetap diikat oleh pertimbangan yang selektif. Maka, tak heran, orkes ini kemudian jadi orkes keroncong berhasil mencoba melintasi za-mannya sendiri. Bahkan, dalam liriknya

pun Sinten Remen tidak lagi seperti gaya lama, melainkan memilih berbicara tentang ber-bagai persoalan zaman ini. Hingar-bingar ma-salah sosial hari disam-

paikan dengan penuh humor dan tetap kritis.

Dikenal sebagai ke-lompok keroncong yang kre-

atif. Musik keroncong, ditangan anak-anak Sinten Remen, tarasa segar, jenaka dan unik. Mengolah musik ke-roncong menjadi sesuatu yang menarik dalam situasi kekinian, memang menjadi “tantangan” Sinten Remen.

Orkes Sinten Remen adalah musik yang mendidik, bikin cerdas, kreatif, penuh canda tawa, tetapi juga menggam-barkan kehidupan bangsa ini sebenarnya. Isinya pun unik banget, keroncong de-ngan sentuhan tradisi (perkusif ) plus hu-mor yang sangat satiris. Satir getir men-dengarnya, sekaligus lucu.

Dengan berlandaskan spirit keron-cong dengan kebaruan dalam menang-gapi kehidupan bahwa keroncong harus memiliki nilai kritis, tidak sekedar ro-mantis serupa keroncong konvensional. Sinten Remen berharap musik keron-cong bisa menemukan “revitalitas”-nya. Minimal bisa diapresiasi oleh kalangan yang lebih luas setelah beberapa album di antaranya Parodi Iklan,Komedi Putar, Maling Budiman, Kumpulan Parodi & Omdo. Ahmad Husein Bejo

Page 9: Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia Kita Edisi 20.pdf · Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang

Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 9 R A G A M

Musik krontjong yang kita kenal saat ini telah berusia lebih dari tiga setengah abad. Sejarahnya

diawali dari kedatangan Portugis ke Maluku pada abad ke-16 untuk berdagang rempah-rempah. Mereka mendirikan loji di pulau Banda yang dijaga oleh laskar Portugis asal Goa, India. Pada abad ke-17 ketika VOC menduduki pulau Banda, sebuah kapal yang ditumpangi laskar Goa beserta keluarga asal Banda karam di lepas pantai Batavia dalam pelarian mereka ke Malaka.

Mereka ditangkap VOC lalu dibuang ke kampung Toegoe, dan membentuk komuni-tas Toegoe. Mereka mewarisi budaya Portugis moresco dan cafrinho, dan kerajinan membuat gitar. Karena letak kampung Toegoe yang terisolasi mereka menghibur diri dengan menyanyi diiringi gitar. Mereka menamakan gitar itu krontjong, karena berbunyi tjrong.

Melalui gitar yang mereka mainkan la-hirlah musik krontjong, membawakan fado Portugis berupa moresco dan cafrinho. Ta rian moresco merupakan warisan orang Moor Islam dari Afrika utara, sedangkan tarian cafrinho dibawa oleh para budak kulit hitam

dari Afrika barat. Dalam pelayaran ke Timur, Portugis memperkenalkan moresco dan cafrin-ho pada penduduk

Goa yang diterima sebagai laskar Portugis setelah mereka menjadi Katolik dan men-gadaptasi budaya Portugis. Tidaklah meng-herankan bilamana komunitas Toegoe asal Goa berhasil menghidupkan kembali mo-resco dan cafrinho, sebagai prototipe musik krontjong yang dikenal sebagai Krontjong Toegoe.

Pada abad ke-19, musik krontjong mu-lai dikenal penduduk kota Batavia melalui penampilan orkes krontjong dalam pera-yaan Pasar Malam Gambir, yang didukung oleh pemerintah Hindia Belanda dan ma-syarakat urban non-pribumi.

Komunitas Indo-Belanda di kampung

Kemajoran turut mempopulerkan krontjong melalui penampilan mereka sebagai pe-musik jalanan. Mereka menamakan diri se bagai pemusik de Krokodilen atau buaya krontjong, predikat yang kemudian juga diberikan kepada para pemusik krontjong setelah masa kemerdekaan.

Krontjong menjadi musik populer perkotaan Batavia dengan lagu krontjong dalam bahasa Belanda atau campuran ba-hasa Melayu. Syairnya menggambarkan kehidupan para sinyo Indo-Belanda dan kisah pertjintaan mereka, seperti lagu Oud Batavia, Schoon ver van jou, Sarinah, dan Waarom huil, sedangkan moresco menjadi satu-satunya lagu yang masih dinyanyikan dalam bahasa Portugis. Orkes krontjong bermunculan di pelosok Batavia, Passer Baroe menjadi pusat penjualan alat musik krontjong, ukulele, gitar, mandolin, biola, cello dan bass dalam membentuk sebuah orkes krontjong yang terkadang ditambah-kan dengan hawaiian guitar, seperti pada OK Lief Java.

Memasuki abad ke-20 musik krontjong telah tersebar di kota-kota besar di Jawa seperti Bandoeng, Semarang, Djogdja, Solo, dan Soerabaja, disiarkan oleh Radio NIROM yang juga menggelar concours (lomba) krontjong. Koesbini, seorang buaya krontjong dari Djogja pada tahun 1933 menciptakan lagu Kr. Moritsku dengan syair bahasa Melayu, terinspirasi dari lagu Moresco berbahasa Portugis dalam concours krontjong di pasar malam Jaar Markt Soerabaja. Koesbini menulis Kr. Moritsku dalam format da-capo aria sepanjang 28

birama yang diselingi 2-3 birama interlude secara in-stru mental. Lagu Kr. Moritsku kemudian menjadi prototipe lagu jenis krontjong asli seperti Kr. Bandar Jakarta, Kr. Kemayoran, Kr. Pemuda Pemudi, Kr.Sapulidi, Kr. Pang gilan Pertiwi, dan Kr.

Irama Malam. Koesbini juga berhasil membakukan

format orkestrasi krontjong sebagai replika dari gamelan Jawa yang berpengaruh pada pola ritmik krontjong yang khas melalui permainan cello petik, ukulele, dan gitar. Ketika Jepang masuk pada tahun 1942, lembaga Keimin Bunka Shidosho melarang pementasan musik krontjong karena diang-gap sebagai warisan budaya Belanda.

Beruntung saat itu Gesang, seorang buaya krontjong dari Soerakarta pada tahun 1940 berhasil menciptakan lagu Bengawan Solo, yang syairnya menggambarkan le-genda keindahan pastoral Jawa dalam format langgam berbentuk pantun. Lagu Bengawan Solo berhasil menarik perhatian Jepang yang

kemudian membuka kembali concours krontjong di Solo pada tahun 1944. Seusai perang, tentara Jepang mem ba wa pulang Bengawan Solo dan menjadi lagu yang populer di Jepang. Lagu Lgm.Bengawan Solo juga menjadi prototipe la gu jenis langgam krontjong, seperti Lgm.Gam bang Semarang, Lgm. Jembatan Merah, Lgm. Saputangan, Lgm. Rangkaian Melati, Lgm. Ditepinya Sungai Serayu, dan Lgm. Di bawah Sinar Bulan.

Setelah Indonesia merdeka, pembinaan musik krontjong dilakukan oleh lembaga penyiaran RRI, yang untuk memperingati Hari Radio sejak tahun 1951 menggelar acara pemilihan Bintang Radio termasuk jenis krontjong, yang kemudian bergabung dengan TVRI mulai tahun 1964. Dari fo-rum ini lahirlah para bintang penyanyi krontjong seperti Masnun, Sayekti, Rita Zahara, Waldjinah, Hetty Koes Endang dan Sundari Sukoco.

Selanjutnya untuk mempromosikan pengenalan budaya Indonesia dalam New York World’s fair tahun 1964, OK Tetap Segar asuhan Rudi Pirngadie tampil pada anjungan Indonesia, menggelar musik krontjong beat yang mengiringi lagu-lagu Barat dalam irama krontjong, dibawakan oleh para penyanyi yang pernah menjuarai Bintang Radio. Sejak itu krontjong dikenal dunia sebagai musik Indonesia yang berawal dari moresco dan cafrinho.

Apabila moresco mengalami proses in-donesianisasi menjadi Kr. Moritsku, maka cafrinho yang berbahasa Portugis hanya terdengar di kampung Toegoe. Sejarah me-nyaksikan bahwa cafrinho ternyata lebih populer di tanah Melayu, dikenal dengan sebutan dendang Kaparinyo, yang juga me-nyebar ke Minangkabau melalui musik ga-mad, atau krontjong versi Melayu.

Krontjong mengalami masa surut de-ngan lahirnya musik rock yang mendunia sejak tahun 1960, menggunakan perangkat drum perkusi yang digemari anak muda. Krontjong menjadi tidak nyaman terdengar di telinga generasi muda karena tidak meng-gunakan pukulan drum, selain hanya meng-andalkan pada petikan cello dan bass.

Sejarah juga mengatakan bahwa krontjong pernah menjadi musik pengan-tar dalam pertunjukan teater komedi bang-sawan, yang meski komedinya mengalami ke punahan lagunya masih tetap eksis dalam stambul krontjong. Upaya inovasi terhadap krontjong telah banyak dilakukan agar musik krontjong senantiasa akan terdengar sepanjang masa. Salah satu dari inovasi krontjong dengan kreativitas yang noveltis datang dari Yogyakarta, yang dapat kita saksikan malam ini melalui penampilan Sinten Remen asuhan Djaduk ferianto. Selamat menikmati.

MUSIK KRONTjONG INDONESIA

Oleh: victor Ganap

Page 10: Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia Kita Edisi 20.pdf · Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang

Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 201610 PANGGUNG SELANJUTNYA

Page 11: Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia Kita Edisi 20.pdf · Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang

Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 11

Mengucapkan terima kasih kepada:Men’s ObsessionSeputarEvent.comJakartaVenue.comUltimagzRumah Jawa GalleryDSS Sound SystemMaxrip ProductionPT. Samuel Aset ManajemenRekan Rekan dari Unit Pengelola PKJ TIMPara wartawan media cetak cyber serta media elektronik

U C A P A N T E R I M A K A S I H

Bakti Budaya Djarum FoundationMetro TV

MacroAd LinikiniKBR

89.6 FM IRadio Indonesia Keren BangetBeritagar.id

Akarpadinews.comLiputan6.comBintang.com

Vidio.com

Page 12: Edisi Keduapuluh | 29 - 30 Juli 2016 - Kayan – Kayan ...kayan.co.id/dev/wp-content/PDF/Indonesia Kita Edisi 20.pdf · Keroncong adalah sebuah kesenian yang memiliki seja-rah yang

Indonesia Kaya @IndonesiaKaya @indonesia_kayaIndonesia Kaya @IndonesiaKaya @indonesia_kaya