E-Newsletter YapThiamHien (Edisi 01 | Tahun II | 2014)

8
T AHUN 2014 merupakan tahun politik bagi rakyat Indo- nesia, dimana rakyat Indonesia melaksanakan pemi- lihan umum, yaitu pemilihan anggota legislatif (PI- LEG) pada April 2014 dan pemilihan Presiden/Wakil Presiden pada Juli 2014. Selama masa pemilihan tersebut, Yayasan Yap Thiam Hien ikut serta menjadi pemantau jalan- nya pemilihan umum tersebut melalui sarana media sosial. Dan sejak 20 Oktober 2014 yang lalu, Indonesia telah memiliki Presiden/Wakil Presiden baru yang dianggap mewakili rakyat. Joko Widodo sebagai Presiden – yang dikenal dengan pang- gilan ‘Jokowi’ dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden, yang akrab dengan panggilan ‘JK.’ Pemerintahan baru ini memba- wa secercah harapan bagi rakyat Indonesia untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik. Dalam semangat inilah, kelompok aktivis HAM kemudian melakukan beberapa aktivitas yang diharapkan dapat men- dukung terwujudnya cita-cita yang diimpikan. Sehubungan dengan harapan menuju Indonesia yang lebih baik dalam pen- egakan HAM, Yayasan Yap Thiam Hien pada edisi ini men- coba mengangkat sosok Yap Thiam Hien sebagai pengacara sebagai suri tauladan bagi rakyat Indonesia bagaimana tokoh tersebut mengupayakan penegakan keadilan dan HAM, tanpa diskriminasi. Sejalan dengan peringatan Hari HAM Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember, Yayasan Yap Thiam Hien di tahun 2014 ini melakukan beberapa kegiatan bersama-sama den- gan kelompok aktivis HAM maupun komunitas korban. Salah satunya adalah mencoba mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan untuk mengin- gatkan pemerintahan baru agar dapat berupaya menuntaskan kasus-kasus tersebut.Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono penuntasan kasus pelanggaran HAM terasa berjalan di tempat. Beberapa kegiatan tersebut adalah mendukung kegiatan Aksi Kamisan dari Kelompok Korban JSKK, penyelenggaraan Lomba Poster HAM yang mewakili harapan atas penegakan HAM sekaligus mengumumkan kem- bali penghargaan Yap Thiam Hien Award 2014. Sambil menunggu 100 hari pemerintah baru Yayasan Yap Thiam Hien dan kelompok aktivis HAM lainnya perlu mengaw- al Kabinet Kerja Presiden Jokowi/JK, sehingga di tahun 2015 Indonesia menjadi tahun yang lebih baik bagi kita semua. MERAWAT KEMANUSIAAN UNTUK INDONESIA SATU Editorial YAYASAN YAP THIAM HIEN Dewan Pembina: Prof. Dr. Saparinah Sadli (Ketua) Dr. Makarim Wibisono Dewan Pengawas: Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki (Ketua) Dra Maria Hartiningsih Dewan Pengurus: Dr. Todung Mulya Lubis (Ketua) Clara Joewono, MA Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU Asep Rahmat Fajar, MA Yulia Siswaningsih, S.Sos (Sekretaris) Kantor Seketariat : Jln. Cemara VI no. 1 Pangkalan Jati, Pondok Labu. Jakarta 12450 c/p: Yulia Siswaningsih Telp. 021-750-2401, 021-8591-8070, Mobile. 0815-1322-0269 (Yulia) Email: [email protected], [email protected] Website: www.yapthiamhien.org Twitter : @yapthiamhien | Facebook : Yap iam Hien Daſtar Isi Editorial 1 Kesetiaan Dalam Kamisan: Daya Juang Tanpa Henti 2 YAP THIAM HIEN, Perjuangan Pengacara Tanpa Pengadilan 4 Serba-serbi Yayasan Yap iam Hien 7 Edisi I | Tahun II | 2014

description

E-Newsletter YapThiamHien diterbitkan oleh @yapthiamhien_in sebagai alat kami menceritakan tentang apa saja yang kami lakukan untuk memperkuat upaya-upaya perjuangan keadilan di bidang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui partisipasi masyarakat luas.

Transcript of E-Newsletter YapThiamHien (Edisi 01 | Tahun II | 2014)

Page 1: E-Newsletter YapThiamHien (Edisi 01 | Tahun II | 2014)

TAHUN 2014 merupakan tahun politik bagi rakyat Indo-nesia, dimana rakyat Indonesia melaksanakan pemi-lihan umum, yaitu pemilihan anggota legislatif (PI-LEG) pada April 2014 dan pemilihan Presiden/Wakil

Presiden pada Juli 2014. Selama masa pemilihan tersebut, Yayasan Yap Thiam Hien ikut serta menjadi pemantau jalan-nya pemilihan umum tersebut melalui sarana media sosial. Dan sejak 20 Oktober 2014 yang lalu, Indonesia telah memiliki Presiden/Wakil Presiden baru yang dianggap mewakili rakyat. Joko Widodo sebagai Presiden – yang dikenal dengan pang-gilan ‘Jokowi’ dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden, yang akrab dengan panggilan ‘JK.’ Pemerintahan baru ini memba-wa secercah harapan bagi rakyat Indonesia untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik.

Dalam semangat inilah, kelompok aktivis HAM kemudian melakukan beberapa aktivitas yang diharapkan dapat men-dukung terwujudnya cita-cita yang diimpikan. Sehubungan dengan harapan menuju Indonesia yang lebih baik dalam pen-egakan HAM, Yayasan Yap Thiam Hien pada edisi ini men-coba mengangkat sosok Yap Thiam Hien sebagai pengacara sebagai suri tauladan bagi rakyat Indonesia bagaimana tokoh tersebut mengupayakan penegakan keadilan dan HAM, tanpa diskriminasi.

Sejalan dengan peringatan Hari HAM Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember, Yayasan Yap Thiam Hien di tahun 2014 ini melakukan beberapa kegiatan bersama-sama den-gan kelompok aktivis HAM maupun komunitas korban. Salah satunya adalah mencoba mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan untuk mengin-gatkan pemerintahan baru agar dapat berupaya menuntaskan kasus-kasus tersebut.Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono penuntasan kasus pelanggaran HAM terasa berjalan di tempat. Beberapa kegiatan tersebut adalah mendukung kegiatan Aksi Kamisan dari Kelompok Korban JSKK, penyelenggaraan Lomba Poster HAM yang mewakili harapan atas penegakan HAM sekaligus mengumumkan kem-bali penghargaan Yap Thiam Hien Award 2014.

Sambil menunggu 100 hari pemerintah baru Yayasan Yap Thiam Hien dan kelompok aktivis HAM lainnya perlu mengaw-al Kabinet Kerja Presiden Jokowi/JK, sehingga di tahun 2015 Indonesia menjadi tahun yang lebih baik bagi kita semua.

MERAWAT KEMANUSIAAN UNTUK INDONESIA SATU

Editorial

YAYASAN YAP THIAM HIENDewan Pembina:Prof. Dr. Saparinah Sadli (Ketua)Dr. Makarim WibisonoDewan Pengawas:Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki (Ketua) Dra Maria HartiningsihDewan Pengurus:Dr. Todung Mulya Lubis (Ketua)Clara Joewono, MA Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APUAsep Rahmat Fajar, MA Yulia Siswaningsih, S.Sos (Sekretaris)

Kantor Seketariat : Jln. Cemara VI no. 1 Pangkalan Jati, Pondok Labu. Jakarta 12450 c/p: Yulia Siswaningsih Telp. 021-750-2401, 021-8591-8070, Mobile. 0815-1322-0269 (Yulia) Email: [email protected], [email protected] Website: www.yapthiamhien.org Twitter : @yapthiamhien | Facebook : Yap � iam Hien

Da� ar IsiEditorial 1Kesetiaan Dalam Kamisan: Daya Juang Tanpa Henti 2YAP THIAM HIEN, Perjuangan Pengacara Tanpa Pengadilan 4Serba-serbi Yayasan Yap � iam Hien 7

Edisi I | Tahun II | 2014

Page 2: E-Newsletter YapThiamHien (Edisi 01 | Tahun II | 2014)

2

Jumat, 13 November 1998, di kawasan Semanggi, Jakarta, ter-jadi peristiwa tragedi yang tidak dapat dilupakan oleh Sumarsih. Tepatnya di depan halaman parkir kampus Universitas Katolik Atma Jaya peluru tajam aparat ditembakkan ke arah para ma-hasiswa yang berunjuk rasa damai menolak Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU MPR). Saat itu MPR masih dikuasasi politik Orde Baru yang tidak men-dukung agenda reformasi. Seketika Berna-dirnus Realino Norman Irmawan alias Wawan tewas bersama dengan 7 mahasiswa lainnya, dalam sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Semanggi I.

Setelah kepergian Wawan, hidup Sumarsih seperti diselimuti kegelapan. Meski langit cerah dan matahari bersinar, itu tak bergerak, berbicara dan beraktifi tas. Ia bungkam tak bisa berkata-kata. Hanya berucap, “Ya Tuhan untuk apa saya hidup?” Ketiadaan Wawan di sampingnya memaksa Sumarsih berdiri tegak dan terus memperjuangkan ketidakadilan atas nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia. Meski sering merasa letih luar biasa, selalu terselip

2

Maria Catharina Sumarsih, anak kedua dari enam bersaudara ini lahir pada 5 Mei 1952, di Desa Rogomulyo, Kecamatan Susukan,

Semarang, Jawa Tengah. Akrab disapa dengan nama Sumarsih, adalah penyintas yang bermetamorfosa menjadi salah satu pegiat HAM,

setelah kesadaran nuraninya dibangkitkan oleh realitas kekerasan yang merenggut nyawa buah hatinya – Bernadirnus Realino Norman Ir-

mawan. Wawan, begitu sapaannya, telah tewas tertembus peluru aparat dalam Tragedi Semanggi I. Sejak peristiwa itu yang mulanya ia masih menutup diri atas kematian Wawan, setelah membaca harian Kompas,

Sabtu 10 April 1999 mengenai Aksi Damai Menolak Kekerasan hatinya kemudian tergugah untuk mengungkap misteri kematian anaknya. Mis-

teri siapa pelaku yang harus bertanggung jawab atas kematian anaknya sampai saat ini belum juga terungkap. Sosok Sumarsih adalah korban yang berdaya, begitu ungkapan Farida Indriastuti dalam buku 20 Ta-

hun Wajah HAM Indonesia (1992-2011). Kesetiaan dalam Aksi Kamis-an merupakan daya juang tanpa henti untuk menegakkan ketidakadilan

dan kebenaran, demi pemajuan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negaranya. Hal inilah yang membuat Sumarsih mendapat-kan penganugerahan Yap Thiam Hien Award 2004. Tulisan ini merupa-kan rangkuman dari buku 20 Tahun Wajah HAM Indonesia (1992-2011)

terbitan Yayasan Yap Thiam Hien, dan informasi yang berasal dari postingan BLOG oleh KontraS di berbagai linimasa internet.

Maria Catharina Sumarsih

Jumat, 13 November 1998, di kawasan Semanggi, Jakarta, ter-jadi peristiwa tragedi yang tidak dapat dilupakan oleh Sumarsih. Tepatnya di depan halaman parkir kampus Universitas Katolik Atma Jaya peluru tajam aparat ditembakkan ke arah para ma-

dan beraktifi tas. Ia bungkam tak bisa berkata-kata. Hanya berucap, “Ya Tuhan untuk apa saya hidup?” Ketiadaan Wawan di sampingnya memaksa Sumarsih berdiri tegak dan terus memperjuangkan ketidakadilan atas nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia. Meski sering merasa letih luar biasa, selalu terselip

Kesetiaan Dalam Kamisan: Daya Juang Tanpa Henti

KORBAN BERDAYA

dorongan yang menguatkan jiwanya, yakni Wawan. “Dulu saya hanya berdiam di rumah tanpa mau mengerjakan aktifi tas, kecuali pergi ke gereja atau ke makam Wawan,” katanya.

Dalam pemberitaan harian Kompas Sabtu, 10 April 1999 Sumarsih mengetahui bahwa ada beberapa aktivis perempuan dari berbagai kota besar berkumpul setiap Jumat sore di Bundaran HI, Jakarta melakukan aksi damai menolak kekerasan. Pada Jumat, 16 April 1999 Sumarsih pertama kali ikut berdemonstrasi. Semangatnya kembali dipupuk. Ia memutuskan tidak lagi bekerja di sektor birokrasi politik. Selama lebih dari satu dekade Sumarsih memilih bergabung bersama dengan komunitas korban dan keluarga korban dalam berbagai aktivi-tas.

Ia terus aktif bergerak dalam kegiatan kemanusiaan. Ia terus menuntut keadilan dan proses hukum peristiwa Semanggi I yang menewaskan Wawan dan mahasiswa lainnya. Sumarsih tidak tunduk pada janji-janji penyelesaian kasus Semanggi I oleh pemerintah. Sejak 11 April 2007, setiap Kamis Pukul 16.00 di depan Istana Presiden di jalan Medan Merdeka Utara, ia bersama keluarga korban pelanggaran HAM melakukan aksi bungkam dengan mengenakan baju hitam dan memegang poster berisi tuntutan, yang dikenal dengan Aksi Kamisan. Aksi tersebut, diikuti oleh 10 sampai 35 pengunjuk rasa. “Terkadang teman-teman seperjuangan Wawan juga mampir, bergabung dalam Aksi Kamisan,” tuturnya.

Bersama keluarga korban kasus pelanggaran HAM lainnya, Sumarsih memben- tangkan spanduk, diam tanpa suara, mengingatkan

pemerintah guna menun-taskan berbagai kasus pelanggaran HAM yang belum tersentuh keadilan hukum. Hing-ga kini, ia aktif di Jarin-gan Solidaritas Untuk Keadilan (JSKK) yang berbentuk paguyuban keluarga korban. Perjuangan panjang Sumarsih untuk mendorong terbentuknya mekanisme Pen-gadilan HAM ad hoc untuk kasus

Trisakti, Semanggi I, II dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya

memang tidak mudah.

Edisi I | Tahun II | 2014

Page 3: E-Newsletter YapThiamHien (Edisi 01 | Tahun II | 2014)

3

sih saat ini adalah sederhana, yaitu adanya proses pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan hingga saat ini. Ia ingin melihat negara berkeringat kepada rakyatnya. Sumarsih memberikan waktu selama satu tahun kepada Jokowi untuk membentuk pengadilan tersebut dengan menunjuk Jaksa Agung yang baru untuk segera menindak-lanjuti berkas-berkas pelanggaran HAM yang sudah berada dibawah kewenangan aparatur Adhiyaksa itu. Meskipun demikian, harapan keadilan tersebut sempat seakan sirna ketika beberapa nama yang diduga menjadi pelanggar HAM menjadi pendukung pemerintahan Jokowi.

Jika Jokowi tidak memenuhi janjinya, seperti yang disampaikan pada masa kampanye Pemilu Presiden yang dilaksanakan 9 Juli lalu, Sumarsih akan terus menggelar Aksi Kamisan untuk memperjuang-kan penyelesaian kasus pelanggaran HAM. “Kami pernah sepakat, Aksi Kamisan akan berakhir kalau kami tinggal tiga orang, yaitu saya, Suciwati (istri Munir), dan Yati Andriani (Aktivis HAM), tetapi sejauh ini enggak pernah sampai tiga orang yang melakukan aksi menuntut ketidakdilan ini, malah terus bertambah hingga pernah 200-an orang”, ungkapnya.

“Hingga saat ini Aksi Kamisan telah dilakukan pula di sejumlah kota lainnya seperti Depok, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Pekanba-ru, Samarinda, bahkan hingga Palu dan Ternate,” tambahnya. Untuk itu, derap langkah Sumarsih pada masa Kabinet Kerja Presiden Jo-kowi ini adalah segera membuat pengadilan HAM ad hoc, sehingga bisa menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM seperti Tragedi 1965/1966, kasus Tanjung Priok (1984), kasus Talangsari (1989), kasus Trisaksi (1998), kasus Semanggi I dan II (1988-1999), dan tentu saja kasus pembunuhan Munir (2004).

(DediSetiansah)

Pada era reformasi, tim penyelidik yang dibentuk oleh Komnas HAM memang berhasil menemukan serangkaian bukti yang mem-perkuat adanya praktik pelanggaran HAM yang berat pada Tragedi

Semanggi I. Namun demikian, hingga kini belum ada Pengadilan HAM ad hoc yang digelar. Sumarsih kerap mengekspresikan kekecewaann-ya atas modus pengembalian berkas penyelidikan Komnas HAM yang

dilakukan Kejaksaan Agung.Kekecewaannya berlipat ganda ketika mengetahui bahwa Kejak-

saan Agung menyatakan bahwa mereka tidak bisa melakukan tinda-kan konkret apapun, karena terbentur dengan prinsip Nebis in Idem, terkait pengadilan militer telah memvonis dan menjatuhkan hukuman

kepada para pelaku penembakan Trisakti, Semanggi I dan II. Juga ke-tiadaan rekomendasi politik DPR untuk menggelar sebuah penyidikan

perkara untuk kasus serupa. Kekecewaan tidak membuat Sumarsih patah semangat. Dia dan beberapa keluarga korban lain tetap meng-hidupi komunitas-komunitas kemanusiaan yang ada. Ia kerap mengh-adiri diskusi publik di banyak kampus, media massa, pertemuan diplo-

mat untuk mendorong penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Persis layaknya Pendekar Keadilan, Pembela Hak Asasi Manusia dan Pejuang Segala ‘Umat’, Sumarsih mendapat Yap Thiam Hien

Award di tahun 2004 atas konsistensi dan komitmennya untuk men-dorong penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. “Saya

mungkin tidak memiliki semua pengetahuan dan keahlian yang luar biasa. Tapi saya sungguh mengetahui bahwa kekuatan korban yang

bersatu tak akan mungkin dikalahkan”.

DERAP LANGKAH KEADILAN PADA REJIM KABINET KERJA

Menjelang Pukul 16.00 Kamis sore semangatnya masih terasa be-sar di depan Istana Presiden. Di usia senja, Sumarsih tetap berdiri tegar bersama dengan kelompok korban pelanggaran HAM lainnya yang ia kelola bersama JSKK. Wajah bersahaja layaknya seorang Ibu terbias saat beberapa gerakan kepemudaan mengawal kegia-tan ini. Kini, Aksi Kamisan sudah berjalan sepanjang 8 tahun tanpa ada wujud keadilan yang bisa ia raih. Perjuangan dalam mencari keadilan dan kebenaran di negeri ini seperti ibarat isapan jempol. Demi keadilan, Sumarsih dan keluarga korban lainnya juga telah mendatangi berbagai instansi yang dapat memengaruhi kebijakan agar kasus Semanggi I, II dan kasus-kasus pelanggaran HAM lain-nya.

Di masa Kabinet Kerja Presiden Jokowi, harapan besar Sumar-

Edisi I | Tahun II | 2014

Page 4: E-Newsletter YapThiamHien (Edisi 01 | Tahun II | 2014)

4

Perjuangan Pengacara Tanpa PengadilanYAP THIAM HIEN

Yap Thiam Hien (25 Mei 1913- 25 April 1989), dijuluki

Pendekar Keadilan, Pembela Hak Asasi Manusia dan Pejuang Segala ‘Umat’. Seka-rang kita mengenang tokoh yang penuh in-tegritas ini melalui Yap Thiam Hien Award. Penghargaan bagi para pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) pertama diterima Muhi-din J Hasyim (alm), HCJ Princen (alm)

dan Johny Simanjuntak, pada 1992. Sejak itu hingga peringatan 100 tahun kelahiran Yap Thiam Hien 2013, sudah 24 penerima penghargaan ini. Tulisan ini merupakan

rangkuman dari Yap Thiam Hien 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan (seri Buku Tem-po), No Consesion, karya Daniel Lev, dan

Postingan Blog dalam website Yayasan Yap Thiam Hien

“Yap, Dian Yang Tak Kunjung Padam”.

YAP Thiam Hien lahir di Peunayong (Kuta Raja, yang kini dikenal sebagai Banda Aceh). Bersekolah dasar di kota kelahirannya. Ia melanjutkan pendidikan ke Batavia, pindah ke Medan hingga menyelesaikan sekolah menen-gahnya. Yap Thiam Hien tahun 1930 masuk Algemene Middelbare School setingkat SMA, di Bandung, pindah ke Yogyakarta hingga lulus 1933.

Masa sekolah di Yogyakarta , Yap Thiam Hien kos di keluarga Herman Jopp dan istrin-ya Nell O’Brien. Di keluarga ini ia mengikuti kebiasaan agama mereka, ibadah tiap minggu di Hervormd Kerk, gereja reformasi Protestan Belanda.

Perkenalan Yap Thiam Hien dengan agama Kristen berlanjut hingga kepindahannya ke Batavia untuk sekolah menjadi guru di Se-kolah Belanda – Cina (Holandsche Chinese Kweekschool) Jatinegara. Ia tetap rajin ke gereja hingga akhirnya pada 1938 saat usian-ya 25 tahun, resmi memeluk Kristen Protes-tan. Profesi pertama Yap Thiam Hien sebagai guru di Chineesche Zending School yang dikenal dengan HCS di kota Cirebon.

Yap Thiam Hien oleh rekan kerja dan teman disapa John Yap. Selama masa mengajar John Yap juga berpindah-pindah kota. Di Cirebon ia dua kali pindah hingga ke Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Kepindahan perta-ma karena John Yap dinilai tidak sesuai oleh pimpinan sekolah karena di saat rekan rekan guru ke gereja, John Yap menekuni berenang, kasti, badminton, naik gunung pada hari Ming-gu. Di sekolah keduanya gaji John Yap tidak mencukupi. Ia bekerja untuk menghidupi diri-

nya, membantu adiknya sekolah dan mena-bung untuk kuliah.

John Yap pun pindah ke Lasem naik karir menjadi direktur sekolah “liar.” Wilden Scholen adalah sekolah Kristen keturunan Tionghoa yang liar karena ada pembatasan jumlah se-kolah oleh pemerintah kolonial Belanda. Dari 106 sekolah HCS, 44 diantaranya liar.

Di sekolah yang hanya didukung pengu-saha keturunan Cina ini John Yap mengenal penderitaan masyarakat. Murid-muridnya di Lasem banyak yang berasal dari keluarga miskin, kehidupannya pun bersahaja saat itu hingga ia pindah lagi, kembali ke Batavia pada 1938. Ia pindah profesi bekerja jualan langgan telepon di kawasan Tionghoa, Molenweg yang sekarang adalah Jalan Hayam Wuruk. Peng-hasilannya mencukupi untuknya menabung dan masuk Rechthogeschool yang setelah

kemerdekaan menjadi Fakultas Hukum Uni-versitas Indonesia. Ia kemudian ke Universitas Leiden, Belanda. John Yap masuk Fakultas Hukum, dan meraih meester in de rechten pada 1947.

Kepulangan John Yap dari kuliahnya me-nempatkan pemuda yang aktif pada Perhim-punan Kristen Indonesia (Perki) berada dalam persimpangan. John Yap berkawan dengan Tom Sigar di Perki. Dari Tom Sigar, John Yap mengenal perjuangan buruh dan persamaan hak. Ini karena Tom Sigar dekat dengan Par-tai Buruh di Belanda. Mereka berdua mewakili Perki dalam Konferensi Dunia Pemuda Kris-ten di Oslo, Norwegia, 1947.

Setelah kuliah John Yap ditawari pelatihan agar ia dipersiapkan menjadi pimpinan pemu-da gereja di Jawa Barat. John menyetujui hingga 1948 ia masih berada di Eropa untuk mengikuti berbagai kursus dan pelatihan.

Tahun pertama kembali ke tanah air, Yap Thiam Hien didera derita. Ayahnya, Yap Sin Eng meninggal karena sakit kelenjar hati. Disusul nenek tirinya, Sato Nakashima, yang menggantikan peran ibu Yap Thiam Hien saat meninggal tahun 1922.

Yap Thiam Hien pada tahun itu menikah dengan Than Gien King. Yap dihadapkan pada perubahan dalam hidupnya. Ia memiliki pilihan meneruskan keterlibatannya dalam gereja atau menjadi pengacara. Pada awal-nya Yap cenderung pada pekerjaannya untuk pemuda gereja. Yap seorang yang aktif dan tidak kekurangan enerji untuk apa pun peker-jaan yang dihadapinya. Namun pekerjaannya di gereja dirasakan kurang memenuhi seluruh hasratnya, lagipula pendapatannya tidak men-cukupi. Pada 11

GEREJA, GURU KE PENGACARA

Artikel Utama

Edisi I | Tahun II | 2014

Page 5: E-Newsletter YapThiamHien (Edisi 01 | Tahun II | 2014)

5

Mengenang Yap Thiam Hien harus me-nengok ke belakang kehidupannya yang melampaui masa penjajahan dan masa ke-merdekaan. Pada masa kemerdekaan ti-dak banyak pilihan bidang bagi pengacara keturunan Tionghoa. Dari sejak pendidikan-nya di Belanda Yap sudah memikirkan untuk berprofesi sebagai pengacara. Ia menang-guhkannya untuk kegiatannya di gereja. Setelah beberapa bulan di Jakarta, Yap me-minta ijin di gereja tempat beraktivitas untuk praktik sebagai pengacara. Yap memutuskan untuk tetap bekerja bagi gereja hanya se-bagai relawan .

Saat bersamaan dirinya mendaftar ke Departemen Kehakiman, Yap Thiam Hien bergabung dengan Sin Ming Hui (SMH) organ-isasi sosial keturunan Tionghoa yang didiri-kan 1946. Saat itu masa yang tidak menentu bagi keturunan Tionghoa baik Totok maupun Peranakan. Yap bekerja di komisi legal yang menjadi cikal bakal lembaga bantuan hukum pada dekade 1970an.

Yap Thiam Hien menjadi pengacara bukan karena ia menyukai bidang hukum atau se-bagai pilihan profesi. Pada masa itu tidak ban-yak pilihan bagi pemuda keturunan Tionghoa untuk melanjutkan sekolah tinggi. Rechthoges-chool didirikan politik etis Belanda bagi pen-duduk daerah jajahannya. Pribumi dapat ma-suk dengan biaya dari pemerintah, sedangkan keturunan Tionghoa harus membayar sendiri. Itu sebabnya Yap harus menabung dan baru ke Unversitas Leiden setelah ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda dan bantu-an Gereja.

Seorang keturunan Tionghoa seperti Yap Tiam Hien yang tidak suka berdagang dan su-dah lulus sekolah menengah atas bisa memi-lih bidang kedokteran, farmasi atau insinyur. Pilihan lain adalah wartawan namun ini tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Bidang-bidang selain hukum tidak menjadi perhatian Yap, kecuali kedokteran. Ia sempat memikir-kan bidang kedokteran. Sayangnya, lulus AMS jurusan bahasa dengan kelebihan Yap menguasai empat bahasa tidak sesuai untuk kedokteran yang eksakta.

Bagi para pribumi lulusan bidang hukum jika memilih karir pengacara merupakan pilihan yang istimewa. Para pribumi memiliki kesempatan karena keistimewaannya untuk masuk di pemerintahan. Menjadi hakim dan bahkan perwakilan di Landraad (perwakilan rakyat khusus pribumi pada masa penjajahan). Sedangkan bagi keturunan Tionghoa peng-acara adalah pilihan utama karena tidakban-yak kesempatan lain. Lagi pula nasihat hukum sangat dibutuhkan dalam perdagangan.

Sin Min Hui bersama Gereja Kristen Indo-nesia (GKI) adalah organisasi yang turut mem-bangun Universitas Tarumanegera di kawasan

Grogol, Jakarta pada 1962. Berada bersebe-lahan dengan Universitas Res Publica atau Ureca yang didirikan Baperki (Badan Per-musyawaratan Kewarganegaraan Indonesia).

Baperki adalah organisasi untuk membela keturunan Tionghoa dari diskriminasi aturan negara. Didirikan oleh para anggota organi-sasi sosial keturunan Tionghoa, Sin Min Hui. Sin Min Hui diawaki beragam latar belakang politik. Ketua Baperki Siauw Giok Tjhan pen-dukung Demokrasi Terpimpin-nya Presiden Soekarno dan mengakibatkan Baperki cend-erung ke Partai Komunis. Anggota lain yang berseberangan pun dipecat atau keluar dari Baperki. Mereka menyaingi usaha Baperki dengan membuat universitas bersebelah-an. Akibat Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI), saat keturunan Tionghoa dicap dekat dengan Partai Komunis, Ureca dibakar massa. Pemerintah kemudian mendirikan yang baru dengan nama Universitas Trisakti.

Berbagai perkara dukungan legal di Sin Min Hui yang ditangani Yap Thiam Hien mengawali pengalamannya sebagai pengacara. Karir pun berkembang karena Lie Kian Kim pimpinan Sin Min Hui dari 1948 – 1950, dan sesama mahasiswa Rechtshogeschool. Lie Kian Kim menawarkan bekerja di Firma Hukum Lie Hwee Yoe Di kantor ini Yap Thiam Hien beker-ja cukup lama dari 1951 hingga 1970.

Sebelumnya ia mencoba membangun fi rma hukum pada akhir 1949 bersama Oei Kian Hong (John Karuin) Usaha mereka hanya setahun karena John Karuin yang dikenalnya di Universitas Leiden bisa mendapatkan klien tetapi tidak bisa mempertahankannya. Semen-tara Yap Thiam Hien tidak cukup pengalaman untuk membangun usaha sendiri. Mereka pun bubar, walau kemudian ternyata John Karuin berhasil mendirikan fi rma hukum terkemuka di Jakarta.

Di pengadilan Yap Thiam Hien dikenal karena ledakan suaranya hingga disebut mengaum seperti singa. Yap bahkan tetap menjadi “pembela” ketika ia terdakwa dalam kasus pencemaran jaksa dan polisi. Saat itu hakim Soetarno menjelekan Lie Hwee Yoe. Yap setengah berteriak di pengadilan terbuka memprotes ucapan hakim. Pada pengadilan berikutnya hakim Soetarno menarik ucapan-nya.

Firma Lie Hwee Yoe memiliki klien seluruhnya kalangan Tionghoa. Umumnya adalah pengusaha dan perusahaan komersil. Yap Thiam Hien tentu saja terlibat dalam per-data, namun segera terlihat lebih cenderung pada pidana.

Gaya singa Yap Thiam Hien tetap walau menghadapi polisi. Ia pada awal 50an menan-gani kasus perebutan ruang antar dua toko. Lawan seterunya menggunakan polisi untuk menakuti Yap hingga mereka hampir berkela-hi. Polisi yang sama pun menahan klien Yap untuk menakut takuti. Yap tiba saat kliennya baru turun dari kendaraan, langsung meminta surat penahanan yang kala itu belum berlaku. Ia pun mengancam akan menuntut hingga kliennya dilepas.

Yap belajar dari Lie Hwee Yoe dan rekan di kantor nya. Dari awal sudah terlihat jiwa Yap yang memiliki kesadaran sosial dan tanggung-

jawab publik yang besar. Ia juga berani men-gambil resiko yang besar tanpa mempedulikan keselamatan pribadi. Saat masih tinggal di rumah dua kamar di Krekot Yap berani secara lantang menggugat dinas perumahan dengan resiko tidak bisa mendapatkan hunian yang lebih baik. Ia jadi dikenal sebagai pengacara yang berani mengambil resiko yang lebih be-sar dari ancaman yang mungkin diterimanya.

Keberanian, dan ledakannya timbul dari keteguhan Yap Thiam Hien memegang prin-sip. Kebenaran dan keadilan menjadi pegan-gan Yap Thiam Hien.

Setelah lebih berpengalaman, Yap bersa-ma John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar membuka kantor pengacara pada 1950. Sampai kemudian, Yap membuka kan-tor pengacara sendiri di tahun 1970 dan kemu-dian memelopori berdirinya Peradin (Persatu-an Advokat Indonesia) di tahun 1963.

Yap pun sempat memimpin asosiasi ad-vokat itu. Pak Yap menemukan rumahnya yang benar dan paguyuban yang paling mem-berinya arti saat Peradin. Di sini ia menjumpai kolega yang sama-sama mengabdi kepada negara hukum dan yang menerimanya se-bagai rekan advokat profesional tanpa me-mandang asal-usul etnisnya.

Yap juga bertemu dengan kawan-kawan yang paling ia hargai, seperti: Lukman Wiriadi-nata, Jamaluddin Dtk Singomangkuto, Suardi Tasrif, Hasjim Mahdan, dan lain-lain. Hanya sekali sejak itu ia mengemukakan masalah yang khusus menyangkut keturunan Cina, ke-tika ia dengan berapi-api menentang desakan agar keturunan Cina memakai nama Indone-sia, sebab ia menganggap hal itu tak adil dan naif dan bukan penyelesaian.

Namun, sejak itu ia memutuskan bahwa hak asasi manusia harus dimenangkan un-tuk tiap orang Indonesia, tanpa pembedaan, dan dalam soal ini para sesepuh Peradin sepenuhnya setuju.

Perjalanan karier dan perjuangannya juga ditopang oleh istrinya, Tan Gien Khing Nio, yang berprofesi guru. Mereka kemudian dikaruniai dua anak, Yap Hong Gie dan Yap Hong Ai, serta empat cucu.

Selama menjadi pengacara, Yap juga pernah membela pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Yap mampu mengbangkitkan seman-gat wong cilik yag tertindas dan tergusur untuk melawan kebijakan pemerintah yang salah, demi tegaknya keadilan.

Tak berapa lama kemudian, Yap juga mem-bidani lahirnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Di situ kiprahnya semakin bersinar. Pada era Bung Karno, Yap menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen.

Begitu pula ketika terjadinya Peristiwa G30S, Yap, yang dikenal sebagai pribadi yang antikomunis, Yap maju membela para tersang-ka G30S seperti Abdul Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Yap bersama H.J.C Prin-cen, Aisyah Aminy, Dr Halim, Wiratmo Suki-to, dan Dr Tambunan yang tergabung dalam Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (LPHAM) yang mereka dirikan 29 April 1966

Juli 1949, Yap Thiam Hien resmi terdaftar se-bagai pengacara di Dep artemen Kehakiman yang kala itu masih dikelola Belanda.

Dua jalan tersedia dihadapan Yap. Kedua jalan itu, pengacara dan gereja akan mem-bawanya ke jalan politik dalam satu dekade. Menjadikan Yap, pengacara yang membela tanpa berada di ruang pengadilan.

PENGACARA KEBENARAN

Edisi I | Tahun II | 2014

Page 6: E-Newsletter YapThiamHien (Edisi 01 | Tahun II | 2014)

6

Jika Saudara hendak menang perkara jangan memilih saya sebagai pengacara Anda, kare-na kita pasti akan kalah.

Maka jika Saudara cukup puas dengan mengemu-kakan kebenaran, saya mau menjadi pembela

Saudara.

dan sekaligus mewakili Amnesty International di Indonesia, meminta supaya para tapol PKI dibebaskan.

Ia juga membuktikan nasionalisme tidak dapat dikaitkan dengan nama yang disandang seseorang. Ini dibuktikannya dengan tidak mengganti nama Tionghoa yang ia sandang sampai akhir hayatnya, walaupun ada himbau-an dari pemerintah Orde Baru kepada orang Tionghoa di Indonesia untuk mengganti nama Tionghoa mereka.

Bukan saja kepada polisi, hakim dan pe-merintahan, Yap mengaum keras. Pada ses-ama pengacara pun ia keras jika dia, yang kerap cepat memberi penilaian, merasa lawan sidangnya melakukan kelalaian yang merugikan klien. Kerap dalam kegigihannya membela klien Yap Thiam Hien bisa melang-gar etika sesama pengacara. Dalam perkara perdata antara klien Yap seorang miskin melawan seseorang yang lebih kaya, Yap menuduh pengacara lawannya, Gauw Giok Siong (Sudargo Gautama) tidak memiliki nura-ni. Keduanya hampir berhantam.

Anekdot kecenderungan Yap terhadap keadilan adalah ketika gereja tempatnya aktif GPIB (Gereja Protestan Indonesia Jawa Barat) hendak meluaskan tanah dengan membeli tanah milik Gereja Pasundan yang keuangannya lebih miskin. Yap Thiam Hien malah menganjurkan untuk membantu Gere-ja Pasunda bukannya mengurangi kekayaan mereka. Ini tentu membingungkan bagi pen-dukung gereja dari kalangan pengusaha. Yap menyitir kisah AlKitab mengenai si miskin Lazarus yang tinggal bertetangga orang kaya. “Jika ada tetangga yang menjual warisannya karena miskin, apakah kita harus membayarn-ya dan membuatnya tambah miskin. Tidak, seharusnya yang miskin dibantu yang kaya.”

Sikap ini membuat Yap Thiam Hien pun berbeda dengan imaji pengacara masa kini. Ia tidak mewah malah kebalikannya sederhana. Todung Mulya Lubis murid Yap sejak tahun 70an menyatakan Yap sebagai advokat bersa-haja jauh dari kesan glamor.

Padahal glamor zaman sosial media sep-erti sekarang ini mudah menghinggap Yap. Ia melambung namanya ketika membela Soe-bandrio, wakil perdana menteri yang dituduh terlibat G30S PKI. Yap sendiri anti komunis. Yap kalah, dan Soebandrio divonis hukuman mati, yang kemudian dijadikan hukuman seu-mur hidup. Namun akhirnya pun dibebaskan pada hari tuanya. Pada tahun 1973, ia mende-sak Kongres Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), lembaga yang didirikannya, untuk mengeluarkan pernyataan tegas soal pem-bebasan tahanan politik PKI di Pulau Buru, yang kebanyakan ditahan tanpa peradilan yang jelas. Deskriminasi dan perlakuan seme-na-mena penguasa adalah 2 hal yang paling dibencinya.

Yap pernah ditahan polisi Grogol karena dipersidangan meminta hakim menahan polisi dan jaksa dalam perkara pengusaha bengkel yang diperas. Ditahanan ia berkenalan den-gan Taufi k bandit dari Ujung Pandang. Ketika keluar Yap pun sesuai janji membela Taufi k. Ia juga kalah.

Pada tahun 1976, Yap membela Soewito Kartowibowo pegawai Departemen Pertanian yang dituduh makar. Soewito membuat surat pernyataan berdasarkan wangsit dari medita-

sinya di Gunung Muria, agar Presiden Soehar-to menyerahkan kekuasaannya. Soewito pun dihukum delapan tahun penjara.

Pembelaan Soewito dilakukan setelah Yap membuka kantor pengacaranya sendiri. Ber-tempat di Jalan Gajah Mada. Utama Wijaya asisten Yap selama tujuh tahun sampai Yap meninggal. Kantor kecil hanya dihuni berti-ga, merek berdua ditambah pesuruh kantor. Utama Wijaya menjelaskan selama ia bekerja Yap menangani 50 perkara. Walau domain Yap pada perkara pidana kantor ini juga men-jalani perkara perdata dari perceraian hingga sengketa warisan. Utama Wijaya menjelas-kan dalam kasus perceraian banyak yang pro bono karena perempuan yang dianiaya.

Hal yang terungkap dari asisten Yap ada-lah dalam menerima klien, Yap menjelaskan, “Jika Saudara hendak menang perkara jangan memilih saya sebagai pengacara Anda, kare-na kita pasti akan kalah. Maka jika Saudara cukup puas dengan mengemukakan kebe-naran, saya mau menjadi pembela Saudara.”

DARI PENJARA KE PENJARA

Membela klien secara pro bono (tanpa bayaran) memang butuh pengorbanan dan pengabdian. Berjalan di jalan lurus pasti ada resikonya. Yap Thiam Hien telah membuktikan itu, meskipun ia harus mendekam di penjara. Lantaran kegigihannya menyerang dan me-nentang korupsi di lembaga pemerintah, Yap harus mendekam di balik jeruji penjara selama seminggu pada 1968.

Saat peristiwa Malari terjadi 1974, advokat berperawakan kecil ini juga ditahan bersama, H.J.C. Princen. Kali ini, ia dijaring pasal karet anti subversi atas tudingan mendalangi peris-tiwa Malari. Setelah mendekam setahun di penjara militer Budi Utomo, ia dilepas pada 24 Desember 1974.

Begitu pula ketika terjadi Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap maju ke depan membe-

la para tersangka. Ia membela perkara-per-kara politik (subversi) yang disegani banyak koleganya.

Saat stigma ekstrem kanan masih begitu melekat, Yap, seorang pemeluk Kristen yang taat, justru tampil membela para tersangka Komando Jihad dan Tanjung Priok, yang di cap rezim Orde Baru sebagai Islam Radikal.

Salah satu kasus bersejarah yang menye-babkan Yap dihukum penjara adalah tuduhan

pencemaran nama baik. Lantaran membela secara lurus kliennya Tjan Hong Lian di pen-gadilan, Yap dituduh mencemarkan nama baik seorang jaksa tinggi Jakarta bernama BRM Simanjuntak dan Irjen Polisi Drs Mardjaman.

Berdasarkan dakwaan jaksa, Yap diseret ke pengadilan karena menuduh kedua pejabat negara tadi melakukan pemerasan terhadap kliennya. Pada 14 Oktober 1968, PN Jakarta Raya akhirnya menjatuhkan hukuman satu ta-hun penjara kepada Yap. Seperti yang ia tulis dalam pledoinya di PN Jakarta Raya pada 16 September 1968.

“Tuhan Allah yang Rahmani dan Rahimi dalam cinta kasih-Nya yang ajaib itu, telah mengkaruniakan bumi dan negara Indone-sia ini sebagai tempat lahir dan besar saya, sebagai ruang hidup dan kerja saya. Ia telah menganugerahkan cinta kasih kepada bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, dalam segala ketaatan dan rendah hati, saya ber-syukur kepada Yang Maha Besar dan berdoa kiranya diperkenankan menjadi hamba yang setia hal apapun yang dikehendaki-Nya bagi saya.”

Seperti fi rman Tuhan yang ia kutip, Yap berharap diperkenankan menjadi suatu pelita yang ditaruhkan di atas kaki pelita, maka ia memberi terang kepada segala orang yang berada di dalam rumah. Dan seorang Yap Thiam Hien telah membuktikan dirinya menja-di salah satu pelita yang tak kunjung padam di dunia hukum.

Meski keluar masuk penjara Yap tak men-gurungkan niatnya untuk membela kaum tertindas. Ia tetap menjalankan politik jalan lurus di dunia advokasi sampai ia merasa lingkungan peradilan mulai tercemari oleh tangan-tangan mafi a. Yap juga seorang tokoh yang antikorupsi. Ia bahkan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.

MASA SURAMPasca pengesahan Undang-Undang No. 2

Tahun 1986, mafi a peradilan kian terasa mera-suk dan membuat Yap geram.

Yap yang dikenal sebagai advokat ber-politik jalan lurus mulai tereliminasi dari dun-ia litigasi. Kantornya mulai sepi dikunjungi klien. Seorang advokat menyindir keadaan itu dengan kalimat: kalau klien mau kalah berperkara silahkan datang ke kantor Yap. Dalam kata pengantar buku Yap Thiam Hien Pejuang Hak Asasi Manusia, Todung Mulya Lubis menggambarkan kondisi tersebut den-gan baik. Praktek yang dikenal sebagai mafi a pengadilan telah membuatnya setengah putus asa untuk terus berjuang di forum pengadilan karena dia mulai melihat bahwa kebenaran dan keadilan bisa diputarbalikkan.

Yap pada akhirnya tinggal sebagai advokat model lama yang menunjunjung tinggi etika profesi, idealisme dan aturan main. Dia me-nolak untuk jadi calo hukum, dan untuk itu ia bersedia kesepian tanpa dikunjungi banyak klien.

Meski sepi klien, Yap pantang menyerah untuk berkiprah menegakkan hukum di tanah air. Di dunia internasional, kiprahnya juga terus berkibar termasuk di International Com-mission of Jurists. Politik jalan lurus dalam beradvokasi telah

Edisi I | Tahun II | 2014

Page 7: E-Newsletter YapThiamHien (Edisi 01 | Tahun II | 2014)

7

mematrikan diri Yap sebagai seorang fi gur yang memegang prinsip, konsisten dan demokratis.

Bak pelita yang tak kunjung padam, nama Yap akan selalu dikenang dalam ranah bantuan hukum di Indonesia. Di sinilah ia hidup, bekerja dan mengabdikan diri. Jalur pengabdian di bidang hukum seperti telah menjadi pilihan hidup yang ditentukan Tuhan kepada Yap.

RAUNGAN DI SIDANG BAPERKI

Menjadi pengacara bukanlah tujuan akhir Yap. Ia bukan ingin dikenal sebagai pengacara yang cakap, ia ingin dikenal sebagai pen-gusung reformasi dengan keberanian untuk mengejar visinya walau menghadapi apa pun. Perjuangannya adalah prinsip politik dan sosial yang signifi kan. Politiknya adalah Negara hukum yang bertanggu-ngjawab dan akuntabel. Dalam hal sosial ia memperjuangkan kese-taraan. Menjadi pengacara adalah cara mendapatkan penghasilan dan jalan untuk mencapai tujuan perjuangannya

Sin Min Hui dengan anggota-anggotanya yang membentuk Baperki. Firma hukum Lie Hwee Yoe, tempat Yap belajar juga dipenuhi peng-acara sekaligus politikus. Dalam masa satu dekade Yap Thiam Hien sejak terdaftar sebagai pengacara dan relawan Gereja, telah tumbuh menjadi aktivis politik. Ia menjadi wakil ketua Baperki bersama Oei Tjoe Tat, dengan ketuanya Siauw Giok Tjhan. Yap bergabung dalam Baperki karena memperjuangkan tujuan organisasi untuk persamaan hak.

Siauw Giok Tjhan mengarahkan Baperki mendukung Presiden Soekarno lewat manifesto politik untuk kembali ke Undang Undang Dasar 45. Yap menentang ini karena Pasal 6 UUD 1945 menya-takan Presiden Indonesia harus orang Indonesia asli. Menurutnya, ini diskriminasi ras.

Pada kongres Baperki 24 Desember 1960, walau sudah diingat-kan kawan-kawannya, dihadapan pendukung Siauw Giok Tjhan, Yap menggugat. “Penyelewangan-penyelewengan Saudara Ketua dan kawan kawan saya gugat dan tuntut.”

Auman Singa di pengadilan itu ia geramkan di luar gedung penga-dilan. Tidak lagi dalam perlindungan hukum, Yap membela penyimpan-gan diskriminasi ras yang menimpa Indonesia. Sesuatu yang kini oleh Amandemen UUD45 akhirnya dilakukan.

Ketika itu, Yap pun kalah. Ia di caci maki dan diusir keluar dari kongres. “Dia mau dipukuli, disuruh keluar, disoraki,” cerita Harry Tjan Silalahi.

Ini menjadikan Yap dikenal anti komunis. Namun ia sebagai peng-acara para tokoh komunis, membela Soebandrio, Kolonel Abdul Latief, Asep Suryawan dan Oei Tjoe Tat.

Pengacara pencari kebenaran ini sekarang lebih dikenang karena perjuangannya untuk HAM. Ia juga pendiri Persatuan Advokat Indone-sia (Peradin) pada 1964 dan ikut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum pada 1975.

Yap Thiam Hien memang sering kalah di pengadilan begitu diakui Adnan Buyung Nasution, pengacara senior mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

“Sebab ia membela bukan untuk menang, tetapi untuk membela ke-manusiaan,” ungkap Adnan Buyung Nasution. Pekerjaan yang dilaku-kannya diluar pengadilan.“membela kemanusiaan.”

(Adiseno, Citarik, 1 Desember 2014).

Edisi I | Tahun II | 2014

SERBA – SERBI YAYASAN YAP THIAM HIEN

Sejak awal tahun 2014, Yayasan Yap Thiam Hien berupaya untuk memperluas jaringan kerja dengan berbagai pihak. Sejak Februari hingga April 2014, Yayasan terlibat dengan persiapan Konvoi OBOR MARSINAH dari Jakarta ke Surabaya, yang dilaksanakan pada tanggal 1-10 Mei 2014 untuk memperingati Hari Buruh dan tanggal ditemu-kannya Marsinah dalam keadaan tewas pada tanggal 9 Mei 2014. Pada tanggal 30 April dilakukan pelepasan Tim Konvoi di depan Taman Ismail Marzuki (TIM) yang dihadiri oleh Marsini (kakak Marsinah).

Sejak April hingga Juli 2014, kegiatan Yayasan Yap Thiam Hien leb-ih berfokus pada pemantauan jalannya Pemilihan Umum melalui media massa, baik Pemilihan Anggota Legislatif pada 9 April 2014 maupun Pemilihan Presiden/Wakil Presiden pada 9 Juli 2014.

Sejak bulan Oktober 2014, Yayasan mulai aktif terlibat dalam kegia-tan Aksi Kamisan yang dikelola oleh JSKK (Jaringan Solidaritas untuk Keadilan Korban) yang dipimpin oleh Ibu Sumarsih (Peraih Yap Thiam Hien 2004.

Page 8: E-Newsletter YapThiamHien (Edisi 01 | Tahun II | 2014)

Edisi I | Tahun II | 2014

Dalam rangka memperingati Hari HAM sedunia, Yayasan Yap Thiam Hien mengadakan kegiatan Lomba Poster HAM bersa-ma-sama dengan INFID dan KontraS. Pengumuman Pemenang Lomba Poster ini akan diumumkan bersamaan dengan Konferensi Pers Peraih Yap Thiam Hien Award 2014 di Hotel JS Luwansa pada tanggal 9 Desember 2014 jam 16.00, pada saat pelaksanaan Konferensi Human Rights Cities. Dalam kegiatan ini 12 karya terbaik Lomba Poster juga akan ditampilkan. Sementara itu, Malam Penganugerahan Yap Thiam Hien Award 2014 akan dilaksanakan pada bulan Januari 2015.