DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi
-
Upload
latifolia-hidayati -
Category
Documents
-
view
217 -
download
1
Transcript of DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Luas kawasan hutan di Indonesia tercatat jumlahnya kurang lebih 136,88
juta hektar, termasuk kawasan konservasi perairan. Sebagai negara yang
terletak pada kawasan tropis dunia, hutan Indonesia terdiri dari 15
formasi hutan dan sebagian besar didominasi oleh tipe hutan hujan tropis.
Hutan tropis Indonesia dikenal sebagai tempat megadiversity sehingga
menjadi pusat konsentrasi keragaman hayati, baik di daratan maupun
perairan.1
Sektor kehutanan telah memberikan kontribusi secara signifikan dalam
pertumbuhan ekonomi nasional, pada periode tahun 1990-1995 sektor
kehutanan Indonesia menguasai pasar kayu tropis (hardwood) dunia, dan
menyumbangkan devisa 16 miliar dolar AS/tahun dan terbesar ke-2
setelah migas. Industri kehutanan juga memberikan multiplier effect
terhadap peningkatan sosial-ekonomi bagi masyarakat di sekitar hutan
berupa kesempatan kerja, infrastruktur dan percepatan pembangunan
wilayah. Namun, sejak lima tahun terakhir, kinerja produksi dan ekspor
industri kehutanan (kecuali pulp) mengalami kemerosotan. Industri
kehutanan saat ini menghadapi berbagai permasalahan, seperti
penurunan secara drastis khususnya bahan baku industri (BBI) dari hutan
alam. Industri kehutanan belum siap menggunakan BBI kayu fast growing
species berdiameter kecil, inefisiensi produksi, biaya ekonomi tinggi,
distorsi pasar akibat krisis ekonomi global, dukungan kebijakan dan
regulasi kurang kondusif, serta hambatan eksternal trade barrier dan isu
lingkungan. Jika keadaan tersebut berlanjut, dikhawatirkan industri
kehutanan semakin terpuruk dan kalah dalam persaingan di pasar global.2
1 Kementerian Kehutanan, Rencana Strategis 2010-2014, (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.08/Menhut-II/2010 Tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014) hlm 42 http://agroindonesia.co.id/2010/10/11/selamatkan-industri-kehutanan-nasional/ Dibuka tanggal 21-01-2011
2
Pembangunan kehutanan tahun 2011 secara umum dilatarbelakangi
dengan kondisi bahwa perspektif optimalisasi pemanfaatan hutan perlu
lebih dikembangkan tidak hanya bertumpu pada produk kayu tetapi juga
hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan sebagai penyedia udara
bersih, penyerap karbon, keanekaragaman hayati, penyedia air dan
wisata alam. Era sektor kehutanan yang berbasis kayu dan diluar
kemampuan hutan untuk memproduksinya sudah saatnya dibatasi dan
selanjutnya dilakukan penggalian potensi di luar kayu. Banyak ahli yang
berpendapat bahwa kayu berkontribusi hanya sebesar 1% dari seluruh
potensi hutan yang ada, dan ketika pohon di eksploitasi, 99% potensi
lainnya ikut hilang3
Kementrian kehutanan mencatat, di dalam dan di sekitar kawasan hutan
di Indonesia terdapat masyarakat yang kehidupannya terkait erat dengan
hutan. Pada tahun 2003 dari 220 juta penduduk Indonesia terdapat 48,8
juta orang diantaranya tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan, dan
kurang lebih 10,2 juta secara struktural termasuk kategori
miskin/tertinggal. Penduduk tersebut sebagian bermata pencaharian
langsung dari hutan yang ada disekitarnya, sedangkan yang bekerja
disektor swasta kurang lebih 3,4 juta orang. Upaya untuk meningkatkan
kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang dilakukan
pemerintah antara lain melalui Pembangunan Masyarakat Desa Hutan
(PMDH) oleh para pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
(IUPHH)/Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di luar Pulau Jawa dan
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Pulau Jawa, serta
bentuk pemberdayaan masyarakat lainnya seperti melalui kegiatan hutan
kemasyarakatan, hutan rakyat dan hutan desa.4
Namun demikian, pengelolaan dan pemanfaatan hutan seringkali diikuti
dengan munculnya konflik. CIFOR dan FWI menyatakan bahwa antara
tahun 1997 – 2003, terdapat 359 kasus konflik. Sebesar 39% konflik
3 Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Pada Pembukaan Rakornis Ditjen Planologi Kehutanan Tahun 2010, Jakarta, Rapat Koordinasi Teknis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Tahun 2010, 26 Juli 20104 Ibid hlm 7
3
terjadi di areal HTI, 34% di kawasan konservasi (termasuk hutan lindung
dan taman nasional), dan 27% di areal HPH. Akibat konflik ini, warga
masyarakat sebagai pihak yang lemah kehilangan hak atas hutan atau
dipenjara bahkan sering terjadi korban jiwa karena dianggap menghuni
kawasan hutan negara secara melawan hukum atau illegal.5
Hasil pendokumentasian HuMa dan mitranya, sedikitnya 69 kasus
sengketa Kehutanan yang terjadi di sepuluh Provinsi.6 Sementara itu, KPA
mencatat, konflik agraria khususnya di sektor kehutanan mengalami
peningkatan dalam setahun terakhir. Konflik itu melibatkan masyarakat
dan perusahaan. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
mencatat sepanjang 2011 terdapat 163 konflik agraria atau meningkat
35% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 106 konflik.
Sebanyak 33 koflik di antaranya merupakan konflik yang berada di areal
kehutanan.7
Berdasarkan fakta-fakta pengelolaan hutan dan kondisi kehutanan
umumnya, Kementrian Kehutanan menyusun kerangka kerja jangka
panjang untuk memperbaiki posisi sektor kehutanan dalam pembangunan
bangsa. Kondisi sumberdaya hutan yang secara kualitas semakin
menurun, maka esensi pembangunan kehutanan dalam 20 tahun kedepan
dimulai dari awal periode Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN), adalah mengoptimalkan pemanfaatan potensi yang masih ada,
melalui penerapan secara ketat kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari,
termasuk mencegah laju kerusakan, serta melakukan percepatan
rehabilitasi hutan dan lahan yang telah terdegradasi guna memulihkan
fungsi dan/atau meningkatkan produktivitasnya. Berdasarkan arah
kebijakan dan strategi pembangunan nasional di atas ditetapkan visi
pembangunan kehutanan dalam Renstra Kementerian Kehutanan Tahun
5 Cahya Wulan, Yuliana, Purba, Christian, Yasmi, Yurdi, Wollenberg, Eva, 2004, Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003, Bogor: Center for International Forestry Research, hal. 1 dan 86 http://nasional.kompas.com/read/2011/11/17/11370470/Konflik.Kehutanan.Mencemaskan. Dibuka tanggal 21-01-20117 Media Indonesia, Jumat, 06 Januari 2012, http://idsps.org/idsps-news-indonesia/berita-media/kemenhut-terus-atasi-konflik-kehutanan/
4
2010-2014, yaitu “Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang
Berkeadilan”.8
Ketika isu perubahan iklim bergulir, hutan Indonesia menjadi sorotan
dunia. Masyarakat dunia mengharapkan hutan Indonesia memberikan
kontribusi penting terhadap penyerapan dan penyimpanan karbon yang
menjadi satu penyebab terjadinya perubahan iklim. Untuk itu Indonesia
berkomitmen untuk menurunkan emisi gas-gas rumahkaca sebanyak 26
persen dari level “business as usual,” pada tahun 2020, atau 41 persen
bila ada bantuan keuangan dari negara-negara maju. Pengumuman ini
dibuat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di pertemuan G20
di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, pada September 2009.9
Sebagai tindak lanjut kongkrit dari komitmen tersebut, pemerintah
Indonesia telah menerbitkan Inpres No 10 Tahun 2011 tentang Penundaan
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer
dan Lahan Gambut. Inpres ini dikeluarkan bulan Mei 2011 untuk
memerintahkan 10 Institusi Pemerintah segera mengambil langkah-
langkah penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan
menunda pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang
berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan
produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat
dikonversi) dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta
Indikatif Penundaan Izin Baru yang menjadi Lampiran Instruksi Presiden.
Merespons Inpres ini, Kementerian Kehutanan pun mengeluarkan SK
323/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan
Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan
dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain.
Kementrian Kehutanan dalam Renstranya telah mempertimbangkan
sebagai respon terhadap pengurusutamaan pembangunan berkelanjutan 8 Opcit, Kementerian Kehutanan, Rencana Strategis 2010-2014, (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.08/Menhut-II/2010 Tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014) hlm 49 http://iklimkarbon.com/2010/02/24/komitmen-penurunan-emisi-indonesia-2020%E2%80%A8-26-%E2%80%93-41-di-bawah-bau/ dibuka tanggal 21-01-2012
5
guna mewujudkan kelestarian pemanfaatan sumberdaya hutan, serta
respon terhadap pengurusutamaan perubahan iklim menuju penurunan
emisi karbon sektor kehutanan sebesar kurang lebih 13% pada tahun
2020 melalui upaya-upaya sistematis dalam skema mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan iklim.10
Bangsa Indonesia, telah menyadari berbagai masalah yang muncul dalam
pemanfaatan kekayaan alam ini sudah lama berlangsung. Sehingga poin-
poin penting mengenai ini beserta langkah penyelesaiannya telah menjadi
komitmen bangsa yang tertuang dalam dokumen negara yaitu TAP
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam memerintahkan sejumlah langkah-langkah konkrit untuk
mewujudkan pembaruan agraria dan pengelolan sumber daya alam
mendukung kualitas lingkungan, menghapus ketimpangan struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta
mencegah konflik. Pada pasal 5 disebutkan bahwa arah kebijakan
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam adalah :
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka
sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan
perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan
dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan
registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan
landreform.
d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya
agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi
potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya
10 Renstra Kehutanan halaman 67
6
penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.
e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka
mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan
konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang
terjadi.
f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam
melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-
konflik sumber daya agraria yang terjadi.
Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah :
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang
berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4
Ketetapan ini.
b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam
melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber
daya alam sebagai potensi pembangunan nasional.
c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat
mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong
terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi
ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber
daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah
dari produk sumber daya alam tersebut.
e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang
timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di
masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum
dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal
4 Ketetapan ini.
f. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat
eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
7
g. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan
pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi,
kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun
nasional. 11
Terkait dengan konflik kehutanan, guna mengatasi dan mencegah konflik
meluas, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menggunakan berbagai
macam langkah-langkah, termasuk memberdayakan masyarakat yang
tinggal di areal konflik. “Kita harus jamin kepastian dan keadilan, harus
berdayakan masyarakat. Jangan justru membuat pagar berduri, tapi pagar
mangkuk atau kesejahteraan bagi masyarakat,” kata Menteri Kehutanan
Zulkifli Hasan, Rabu (4/1).12
Selain itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan pada 2012
kementeriannya berfokus menyelesaikan konflik lahan. “Tahun depan,
pemanfaatan lahan diutamakan untuk masyarakat. Pengusaha nanti
dulu,” ujar Zulkifli di kantornya, Rabu, 28 Desember 2011. Program
penyelesaian konflik ini, menurut Zulkifli, bakal melibatkan pemerintah
daerah dan didukung lembaga swadaya masyarakat. Pemerintah daerah,
dia menjelaskan, berperan membagi lahan kepada masyarakat.
Sedangkan LSM kebagian tugas mendata lahan yang disengketakan.13
Salah satu konflik kehutanan yang mengemuka kepermukaan dua bulan
terakhir ini adalah konflik kehutanan yang terjadi di Pulau Padang Riau.
Kasus ini bermula dari terbitnya Surat keputusan yang menambah luasan
areal HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper (PT. RAPP) seluas 235.140 hektar
menjadi 350.167 hektar pada tahun 2009. Dari jumlah itu, 41.205 hektar
11 Oleh UU No 12 Tahun 2011, TAP ini telah ditempatkan dalam struktur peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-undang. Karena itu, TAP ini harus dijalankan oleh berbagai regim hukum sumber daya alam, termasuk bidang kehutanan.12 Media Indonesia, Jumat, 06 Januari 2012, http://idsps.org/idsps-news-indonesia/berita-media/kemenhut-terus-atasi-konflik-kehutanan/dibuka tanggal 21-01-201113 http://www.tempo.co/read/news/2011/12/29/206374192/2012-Menteri-Kehutanan-Bereskan-Konflik-Lahan, dibuka tanggal 21-01-2012
8
berada di Pulau Padang.14 Perluasan ini mendapat penolakan dari
masyarakat Pulau Padang dan lembaga swadaya masyarakat dengan
alasan utama yaitu 1) pelanggaran proses perizinan, 2) isu lingkungan
terkait dengan Pulau Padang sebagai pulau yang seluruh daerahnya
terdiri dari lahan gambut dalam dan 3) tumpang tindihnya pemanfaatan
lahan dan hutan di Pulau Padang yang dilakukan oleh masyarakat dengan
area konsesi perusahaan. Konflik ini kemudian mengemuka di media-
media nasional seiring dengan aksi jahit mulut yang dilakukan perwakilan
warga Pulau Padang di depan gedung DPR RI.
Mensikapi hal tersebut, kementrian kehutanan kemudian mengambil dua
opsi yaitu 1) meminta rekomendasi pencabutan/pengurangan izin dari
pemerintah daerah dan 2) membentuk tim mediasi konflik tersebut. Tim
mediasi konflik ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor : SK.736/Menhut-II/2011II/2011 Tentang Pembentukan Tim Mediasi
Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di
Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau.
1.2. Tujuan dan Sasaran
Laporan ini adalah laporan hasil kerja tim yang bertujuan untuk :
1. Menjelaskan posisi kasus Pulau Padang, dan keinginan para pihak
terkait dengan penyelesaian kasus tersebut.
2. Memberikan gambaran arah penyelesaian dan rekomendasi-
rekomendasi kepada Kementrian Kehutanan.
1.3. Proses Mediasi
Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
SK.736/Menhut-II/2011II/2011 Tentang Pembentukan Tim Mediasi
Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha 14 http://cetak.kompas.com/read/2011/12/21/03523413/jahit.mulut.warga.pulau.padang.berlanjut., dibuka tanggal 21-01-2011
9
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di
Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau Menteri
Kehutanan memberikan tugas kepada tim sebagai berikut :
1. Melakukan desk analisis atas data dan informasi perijinan hutan
tanaman dan tuntutan masyarakat setempat;
2. Mengumpulkan dan menelaah fakta, data dan informasi di
lapangan;
3. Mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait
tuntutan masyarakat setempat;
4. Melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder terkait dengan
tuntutan masyarakat;
5. Melaksanakan mediasi terhadap masyarakat setempat;
6. Melaporkan hasil kerja Tim kepada Menteri Kehutanan paling
lambat pada minggu IV bulan Januari 2012.
Felix Oentoeng Soebagjo, Partner, Konsultan Hukum pada Soebagjo,
Jatim, Djarot - Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mendeskripsikan pengertian
mediasi diantaranya 1) “Mediasi” adalah proses negosiasi penyelesaian
masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak
bekerja dengan para pihak yang besengketa, membantu mereka (yang
bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang
memuaskan (Goodpaster, 1999 : 241), 2) “Mediation is a process in which
two or more people involved in a dispute come together, to try to work out
a solution to their problem with the help of a neutral third person, called
the “Mediator” (Lovenheim, 1996 : 1.3) dan 3) “Mediasi” adalah proses
penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para
pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk
kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang
disengketakan (PBI No. 8/5/PBI/2006, angka 5). Dari perumusan-
perumusan diatas dapat disimpulkan bahwa 1) Tidak sebagaimana halnya
seorang hakim atau arbiter, seorang mediator tidak dalam posisi (tidak
mempunyai kewenangan) untuk memutus sengketa para pihak, 2) Tugas
10
dan kewenangan mediator hanya membantu dan memfasilitasi pihak
pihak yang bersengketa dapat mencapai suatu keadaan untuk dapat
mengadakan kesepakatan tentang hal-hal yang disengketakan. “The
assumption…….is that third party will be able to alter the power and social
dynamics of the conflict relationship by influencing the beliefs and
behaviors of individual parties, by providing knowledge and information ,
or by using a more effective negotiation process and thereby helping the
participants to settle contested issues” (Goodpaster, Tinjauan Dalam
Penyelesaian Sengketa, dalam Soebagjo dan Radjagukguk, 1995 : 11-12 )
dan 3) 3. Mediasi adalah Non-Coercive. Ini berarti bahwa tidak ada suatu
sengketa (yang diselesaikan melalaui jalur mediasi) akan dapat
diselesaikan, kecuali hal tersebut disepakati / disetujui bersama oleh
pihak-pihak yang bersengketa.15
Di Indonesia, mediasi adalah sebuah cara penyelesaian sengketa
alternatif yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan
diantaranya yaitu; 1) UU-30 /1999 (Alternatif Penyelesaian Sengketa
adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli), 2) PP-54/2000 (Mediator atau Pihak ketiga lainnya adalah
seorang atau lebih yang ditunjuk dan diterima oleh para pihak yang
bersengketa dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang
tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan) dan 3) PERMA NO. 01
TAHUN 2008 (Cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator
(Pasal 1 angka 7)).
15 Felix Oentoeng Soebagjo, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dibidang Perbankan, bahan Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia Dan Pembentukan Lembaga Independen Mediasi Perbankan”. Kerjasama Magister Hukum Bisnis Dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dan Bank Indonesia. Yogyakarta, 21 Maret 2007, hlm 1
11
Berdasarkan pengertian mediasi dan tugas-tugas yang ada dalam SK
Menteri Kehutanan Nomor : SK.736/Menhut-II/2011II/2011 tersebut, tim
kemudian menterjemahkan menjadi tahapan mediasi yaitu :
1.2 Tim Mediasi
a. Dasar Hukum :
1. SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011 tentang
Pembentukan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat
Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang Kabupaten
Kepulauan Meranti Provinsi Riau.
2. Surat Perintah Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan
Nomor : PT.I/II-KUM/2012 tanggal 3 Januari 2012.
3. Surat Perintah tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan
Nomor : PT.I/II-KUM/2012 tanggal 3 Januari 2012.
b. Tugas dan Tanggungjawab :
12
1) Melakukan desk analisys atas data dan informasi perijinan hutan
tanaman dan tuntutan masyarakat setempat;
2) Mengumpulkan dan menelaah fakta, data dan informasi di
lapangan;
3) Mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait
tuntutan masyarakat setempat;
4) Melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder terkait dengan
tuntutan masyarakat;
5) Melaksanakan mediasi terhadap masyarakat setempat;
6) Melaporkan hasil kerja Tim kepada Menteri Kehutanan paling
lambat pada minggu IV bulan Januari 2012.
c. Susunan Tim Mediasi
Pengarah : 1. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan
2. Staf Ahli Hubungan Antar Lembaga Kementerian
Kehutanan
3. Ketua Presidium DKN
Ketua : Andiko SH (Presidium DKN-Ketua Perkumpulan
Huma/LSM)
Sekretaris : Ir. Timbul Batubara MSi (Kasubdit Rencana Kerja dan
Produksi Ditjen BUK)
Anggota Tim :
1. Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar (Presidium DKN-Dosen Universitas
Sumatera Utara)
2. Jomi Suhendri, SH (Presidium DKN-Wakil Masyarakat)
3. Ir. Iman Harmaen, MBA (Presidium DKN-Asosiasi Pengusaha Hutan
Indonesia)
4. Ahmad Zazali (Presidium DKN-Scaleup Riau/LSM)
13
5. Dr. Ir. Wawan, MP (Tim Pakar Independent Post Evaluation
Terhadap Rencana Dan Pelaksanaan Pengelolaan Ekohidro Di Areal
Kerja PT. RAPP Di Lahan Gambut HTI-Ring Semenanjung Kampar
Riau-Dosen Universitas Riau)
6. Ir. Agus Setiadi (Plt Kasubdit Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan
Ditjen Planologi)
7. Iman Sukendar,S.Hut, M.Si (Dinas Kehutanan Propinsi Riau)
8. Kaselan S.Hut (Dinas Kehutanan Dishutbun Kab.Kep.Meranti)
9. Camat Kecamatan Tanjung Belitung.
Pada tahap Pra Mediasi, tim mendapat tugas sesuai SK Menhut sebagai
berikut :
1. Melakukan desk analisis atas data dan informasi perijinan hutan
tanaman dan tuntutan masyarakat setempat;
2. Mengumpulkan dan menelaah fakta, data dan informasi di
lapangan;
3. Mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait
tuntutan masyarakat setempat;
4. Melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder terkait dengan
tuntutan masyarakat;
Dalam melaksanakan aktifitas Pra Mediasi, Tim Mediasi telah melakukan
kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a) Melakukan penggalian data kepada pihak-pihak terkait seperti
masyarakat, perusahaan, pemerintah (Kementrian Kehutanan,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten) dan Lembaga Swadaya
Masyarakat
b) Melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait seperti
masyarakat, perusahaan, pemerintah (Kementrian Kehutanan,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten) dan Lembaga Swadaya
Masyarakat
14
c) Melakukan investigasi lapangan untuk mencari data-data primer
melalui teknik wawancara, diskusi terfokus dan observasi lapangan.
d) Melakukan diskusi terfokus dengan para pakar.
e) Menggali pilihan-pilihan penyelesaian kasus kepada para pihak
terkait.
f) Melakukan analisis data.
Output dari kegiatan-kegiatan pra mediasi (tugas 1-4) dihasilkan Laporan
Akhir yang berisi antara lain :
1. Gambaran Konflik PT. RAPP dan masyarakat di Pulau Padang
2. Kronologis Konflik
3. Temuan Investigasi
4. Analisis Temuan
5. Rekomendasi
Selanjutnya, untuk melaksanakan tugas ke lima, yaitu melaksanakan
proses mediasi diperlukan sejumlah prasyarat, antara lain :
1. Mendapatkan mandat dari para pihak tentang kesediaan untuk
dimediasi
2. Membangun Kesepakatan Para Pihak tentang protokol Mediasi
(Subjek-Objek-Mediator)
3. Proses Mediasi-Perundingan Antar Pihak dipandu Mediator
4. Kesepakatan para pihak terhadap hasil mediasi
15
BAB II
DATA, FAKTA DAN INFORMASI LAPANGAN
A. DESKRIPSI PULAU PADANG
1. Topografi dan Demografi Pulau Padang
Berdasarkan letak geografis, Pulau Padang terletak di sebelah timur Pulau Sumatera yang
dipisahkan dengan Selat Panjang, dengan batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah barat dengan pulau Sumatera
- sebelah timur dengan pulau Merbau
- Sebelah tenggara denan pulau Rantau
- sebelah Utara dengan pulau Bengkalis
Panjang Pulau Padang dari utara ke Selatan adalah 60 km, lebarnya 29 km dan sebagian besar
merupakan areal dengan topografi datar/landai dengan ketinggian 0-6 m dpl. Berdasarkan
wilayah administratif pemerintahan, Pulau Padang termasuk wilayah Kecamatan Merbau,
Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan
kabupaten termuda di Propinsi Riau yang baru berdiri tahun 2009 sebagai pemekaran wilayah
Kabupaten Bengkalis. Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti terdiri dari 13 pulau-pulau
kecil yaitu pulau Tebing Tinggi, Pulau Padang, Pulau Merbau, Pulau Ransang, Pulau Topang,
Pulau Manggung, Pulau Panjang, Pulau Jadi, Pulau Setahun, Pulau Tiga, Pulau Baru, Pulau
Paning, dan Pulau Dedap.
Sebagai daerah Kepulauan, Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan daerah yang terdiri
dari daratan-daratan rendah, dengan ketinggian rata-rata sekitar 1-6,4 meter diatas permukaan
laut. Didaerah ini juga terdapat beberapa sungai dan tasik (danau) seperti Sungai Siur dan
16
Tasik Nembus di Pulau Tebing Tinggi; Sungai Merbau, Sungai Selat Akar dan Tasik Putri
Puyu di Pulau Padang; Tasik Air Putih dan Tasik Penyagun di Pulau Rangsang. Gugusan
daerah pulau ini terdapat beberapa pulau seperti Pulau Tebingtinggi (1.438,83 km2), Pulau
Rangsang (922,10 km2), Pulau Padang (1.109 km2) dan Pulau Merbau (1.348, 91 km2).
Sebelum pemekaran, Kecamatan Merbau terdiri dari Pulau Padang, Pulau Merbau dan Pulau
Dedap. Namun setelah pemekaran Kecamatan Merbau tinggal Pulau Padang dan Pulau
Dedap. Pulau Padang terdiri dari 13 desa dan 1 kelurahan, dan semuanya termasuk wilayah
Kecamatan Merbau. Sedangkan untuk wilayah Pulau Dedap (luas sekitar 2 ha) kondisinya
tidak berpenghuni.
Pulau Padang terbagi atas 14 desa, uraian singkat terhadap 14 desa tersebut disajikan sebagai
berikut:
1. Kelurahan Tanjung Belitung,Jumlah Penduduk : 1.179 KK / 5.120
jiwaSuku : Melayu (75%),
Jawa, Akit, Batak, Padang, Sunda, Lombok, Bugis, Cina
Agama : Islam (90%)Mata Pencaharian : Petani Karet
(70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
2. Desa Tanjung Padang,Jumlah Penduduk : 400 KKSuku : Melayu (80%),
Akit (15%) dan Jawa, Batak,dll (5%).
Agama : Islam (85%) dan lainnya beragama Kristen, Budha dan konghucu.
Mata Pencaharian : Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
3. Desa DedapJumlah Penduduk : 638 KK / 2.590
jiwaSuku : Banjar (70%),
Melayu (20%), Jawa, Cina dan Akit (10%).
Agama : Islam (85%) dan lainnya beragama Kristen, Budha dan konghucu.
Mata Pencaharian : Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
4. Desa KudapJumlah Penduduk : 560 KK / 2.590
jiwaSuku : Akit (70%),
Melayu (30%), Jawa (25%), Cina, Batak, Padang dan Banjar (5%).
Agama : Islam (55%), Budha (45%) dan Kristen
Mata Pencaharian : Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
5. Desa BandulJumlah Penduduk : 812 KKSuku : Melayu (80%),
6. Desa Selat AkarJumlah Penduduk : 574 KK / 2.406
jiwa.
17
Akit, Jawa, Cina, Batak, Padang (20%).
Agama : Islam (95%), Budha dan Kristen
Mata Pencaharian : Petani Karet (80%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
Suku : Melayu (90%), Jawa, Cina, Batak, dll.
Agama : Islam (85%), Budha, Kristen dan Konghucu (15%)
Mata Pencaharian : Petani Karet (80%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
7. Desa MengkopotJumlah Penduduk : 636 KK / 2.245
jiwaSuku : Melayu (85%),
Jawa, Akit, Cina, Batak, Padang (15%).
Agama : Islam (95%), Budha dan Kristen
Mata Pencaharian : Petani Karet (60%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
8. Desa Bagan MeliburJumlah Penduduk : 716 KK / 2.915
jiwaSuku : Melayu (75%),
Melayu, Akit, Batak, Lombok, Bugis, Cina (10%)
Agama : Islam (98%), Budha, Kristen
Mata Pencaharian : Petani Karet (60%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
9. Desa MengkirauJumlah Penduduk : 537 KK / 2.186
jiwaSuku : Melayu (90%),
Jawa, Cina, Batak, dll (10%).
Agama : Islam (95%), Budha dan Kristen
Mata Pencaharian : Petani Karet (60%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
10. Desa Mekar SariJumlah Penduduk : 273 KKSuku : Melayu (50%),
Jawa (40%), Akit, Batak, Lombok, Bugis, Cina (10%)
Agama : Islam (90%), Budha, Kristen
Mata Pencaharian : Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
11. Desa PelantaiJumlah Penduduk : 485 KK / 2.192
jiwaSuku : Melayu (55%),
Jawa (45%).Agama : Islam (100%)
Mata Pencaharian : Petani Karet (80%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
12. Desa Meranti buntingJumlah Penduduk : 354 KK Suku : Melayu (95%),
Jawa, Lombok (5%).
Agama : Islam (100%)Mata Pencaharian : Petani Karet, Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
13. Desa Tanjung Belitung 14. Desa LukitJumlah Penduduk : 548 KK / 2.192
jiwaSuku : Melayu, Jawa, Akit
(90%), Cina, Padang, Bugis, tapanuli (10%).
Agama : Islam (95%), Budha dan Kristen
18
(5%)Mata Pencaharian : Petani Karet (80%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.
Asal Usul Kepemilikan dan Sejarah Masyarakat Pulau Padang
Masyarakat yang ada di desa-desa di Pulau Padang sudah ada sebelum tahun 1918. Terdiri
dari 14 desa yaitu Lukit, Tanjung Padang, Kudap, Dedap, Mengkirau, Bagan Melibur, Mekar
Sari, Meranti Bunting, Mengkopot, Selat Akar, Bandul,dan satu kelurahan; Belitung. Jumlah
penduduk Pulau Padang sekitar 35.224 penduduk, berasal dari Etnis Melayu, Jawa, Bugis,
Minang, Lombok, Batak dan Akit. Walaupun terdapat heterogenitas, namun kehidupan
masyarakat Pulau Padang hidup rukun dan damai.
Ragam Mata pencaharian utama dari penduduk Pulau Padang adalah 70% petani, dan
sisanya adalah nelayan, PNS, buruh lepas, dan karyawan swasta. Rencana pembangunan HTI
di Pulau Padang telah mengubah dinamika yang sebelumnya kondusif menjadi berpotensi
konflik terbuka.
Di Pulau Padang juga terdapat contoh budidaya tanaman keras (karet, sagu) yang telah
berlangsung puluhan tahun pada kawasan gambut dalam dengan tata kelola air menggunakan
kanal berukuran kecil, dan menjadi andalan ekonomi Pulau Padang.
Pulau Padang sejak zaman kolonial sudah dihuni oleh masyarakat. Hal ini terlihat pada peta
yang dibuat pada tahun 1933 oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Pada peta tersebut dapat
dijelaskan letak beberapa perkampungan yang sudah ada sejak dibuatnya peta tersebut,
seperti Tandjoeng Padang, Tg. Roembia, S. Laboe, S. Sialang Bandoeng, Meranti, Boenting,
Tandjoeng Kulim, Lukit, Gelam, Pelantai, S. Anak Kamal dan lain-lain. Dari waktu ke waktu
desa Lukit dan desa-desa lain di Pulau Padang, sebagaimana telah disebutkan diatas semakin
ramai didiami oleh masyarakat, baik penduduk asli pedalaman suku Akid /Sakai, Melayu,
Jawa dan Cina.
Dari informasi masyarakat, bahwa kedatangan pertama kali masyarakat jawa di Desa
Mengkirau yaitu tahun 1918 yang dipelopori oleh Mbah Yusri. Setelah Mbah Yusri wafat
kemudian digantikan oleh Haji Amat yang digantikan oleh Selamat dan Jumangin (Haji
Ridwan). Selamat membuka lahan ke arah Mengkirau dan Haji Ridwan ke arah Bagan
Melibur. Ketika masyarakat Jawa pertama kali masuk ke daerah ini (1918) sudah ada
masyarakat Melayu yang dipimpin oleh Wan Husen. Kedatangan masyarakat Jawa sekitar
tahun 1918 tersebut untuk bekerja di kilang-kilang sagu. Hasil bekerja di kilang sagu tersebut
19
dipergunakan untuk membuka lahan-lahan/kebun dipinggir sungai. Seiiring terjadinya abrasi
di pinggir sungai, masyarakat kemudian pindah kearah dalam sehingga terjadi penyebaran
penduduk seperti saat ini.
a. Perekonomian16
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Meranti pada tahun 2009 yaitu sebesar 6,59
persen,dibandingkan dengan tahun 2008 berkisar 7,34 persen. PDRB per kapita dan
pendapatan regional per kapita tahun 2009 mengalami peningkatan. Atas dasar harga
berlaku,PDRB per kapita tahun 2008 sebesar Rp 20,67 juta menjadi Rp 24,43 juta pada tahun
2009. Atas dasar harga konstan 2000, PDRB per kapita tahun 2009 mengalami peningkatan
dari sebesar Rp 6,13 juta pada tahun 2008 menjadi Rp 6,46 juta pada tahun 2009. Nilai
ekspor di Kabupaten Kepulauan Meranti hingga Desember 2009 mencapai US$ 10.759.426 .
Nilai ekspor tersebut hanya dari Pelabuhan Selatpanjang. Nilai impor di Kabupaten
Kepulauan Meranti selama 2009 mencapai US$ 155.313 melalui pelabuhan Selatpanjang.
Sagu
Meranti termasuk salah satu Kawasan Pengembangan Ketahanan Pangan Nasional karena
penghasil sagu terbesar di Indonesia. Selain itu masih ada kelapa, karet, kopi, pinang dan
perikanan. Luas area tanaman sagu di Kepulauan Meranti ( 44,657 Ha / 2006 )yaitu 2,98%
luas tanaman sagu nasional.Perkebunan sagu di Meranti telah menjadi sumber penghasilan
utama hampir 20% masyarakat Meranti.Tanaman sagu atau rumbia termasuk dalam jenis
tanaman palmae tropical yang menghasilkan kanji (starch) dalam batang (steam). Sebatang
pohan sagu siap panen dapat menghasilkan 180 – 400 kg tepung sagu kering. Tanaman sagu
dewasa atau masak tebang (siap panen) berumur 8 sampai 12 tahun atau setinggi 3 – 5 meter.
(Jong Foh Soon, Ph.D, PT National Timber Forest product) Produksi sagu (Tepung Sagu) di
Kepulauan Meranti pertahun mencapai 440.339 Ton (tahun 2006). Produktivitas lahan
tanaman sagu per tahun (kondisi eksisiting) dalam menghasilkan tepung sagu di Kepulauan
Meranti mencapai 9,89 Ton/Ha. Pada tahun 2006 di Kepulauan Meranti 440.000 ton lebih
tepung sagu dihasilkan dari pabrik pengolahan sagu (kilang sagu). Tak didapat data pasti
mengenai jumlah kilang dan kapasitas kilang pengolahan, namun diperkirakan terdapat 50
16 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kepulauan_Meranti, dibuka tanggal 23-01-2012
20
kilang sagu dengan mengunakan teknologi semi mekanis dan masih memanfaatkan sinar
matahari untuk pengeringan (penjemuran). Terdapat dua kilang sagu yang telah beroperasi
dan memproses sagu secara modern dengan kapasitas desain 6.000 dan 10.000 Ton tepung
sagu kering per tahun. Selain itu limbah dari pengolahan tual sagu berupa kulit batang sagu
(ruyung), dapat dikembangkan jadi bio energi sebagai pengganti minyak tanah ataupun dibuat
pellet sebagai bahan pencapur bahan bakar batubara untuk keperluan ekspor ke Eropa yang
mulai dilirik investor Finlandia.
Migas
Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki potensi sumber daya alam, baik sektor Migas
maupun Non Migas, di sektor Migas berupa minyak bumi dan gas alam, yang terdapat di
daerah kawasan pulau Padang. Di kawasan ini telah beroperasi PT Kondur Petroleum S.A di
daerah Kurau desa Lukit (Kecamatan Merbau), yang mampu produksi 8500 barel/hari.Selain
minyak bumi, juga ada gas bumi sebesar 12 MMSCFD (juta kubik kaki per hari) yang
direncanakan penggunaannya dimulai 2011–2020. Di sektor Non MIgas kabupaten
Kepulauan Meranti memiliki potensi beberapa jenis perkebunan seperti sagu(Metroxylon sp)
dengan produksi 440.309 ton/tahun(2006), kelapa: 50.594,4 ton/tahun, karet: 17.470
ton/tahun, pinang: 1.720,4 ton/tahun, kopi: 1.685,25 ton/tahun. Hingga kini potensi
perkebunan hanya diperdagangkan dalam bentuk bahan baku keluar daerah Riau dan belum
dimaksimalkan menjadi industri hilir, sehingga belum membawa nilai tambah yang
mendampak luas bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Sementara di sektor kelautan dan
perikanan dengan hasil tangkapan: 2.206,8 ton/tahun. Selain itu masih ada potensi dibidang
kehutanan, industri pariwisata, potensi tambang dan energi.
Industri Pengolahan Arang Bakau
Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan,jumlah lokasi dan kapasitas produksi
perusahaan industri arang bakau adalah : 1) 22 perusahaan berlokasi di Kecamatan Tebing
Tinggi dengan kapasitas produksi 2.710/ton, 2) 14 perusahaan berlokasi di Kecamatan
Rangsang dengan kapasitas produksi 1.540/ton dan 3) 11 perusahaan berlokasi di Kecamatan
Merbau dengan kapasitas produksi 1.300/ton
Perdagangan
21
Survei potensi industri dan perdagangan pada sektor industri mikro kecil terakhir kali
dilakukan pada kabupaten yang memiliki empat pulau besar itu yakni Pulau Padang, Pulau
Merbau, Pulau Rangsang, dan Pulau Tebing Tinggi menyebutkan industri rumah tangga
hampir merata terdapat disetiap kecamatan. Sebagian besar industri rumah tangga itu terdapat
di Kecamatan Tebing Tinggi dengan jumlah 234 unit usaha, kemudian disusul Kecamatan
Rangsang Barat 114 unit usaha, Kecamatan Rangsang 109 unit usaha, Kecamatan Merbau 38
unit usaha dan Kecamatan Tebing Tinggi Barat 37 unit usaha. Usaha yang digeluti itu antara
lain anyaman tikar pandan, atap rumbia, pembuatan tempe, makanan ringan, arang, perabotan
rumah tangga, batu bata, batako, pembuatan perahu/sampan, kopra, tepung sagu, mie sagu,
sagu rendang, dan kopi. Sebagian produk dari industri rumah tangga itu juga dipasarkan ke
luar daerah, seperti Batam, Cirebon bahkan sampai ke negeri jiran Malaysia dan Singapore
dalam bentuk industri hulu.
Perikanan
Masyarakat Kepulauan Meranti,khususnya daerah pesisir pantai Pulau Rangsang memiliki
ketergantungan tinggi terharap produk produk perikanan hal itu sebagai produk yang
diperdagangkan lokal sebagai sumber pemasukan pendapatan bagi masyarakat
setempat.Setidaknya terdapat 47 spesies ikan yang telah dikenal sebagai ikan tangkapan
masyarakat.Di antara ikan spesies yang dikenal ditangkapan masyarakat juga merupakan ikan
komsumsi yang dikenal luas dan diperdagangan di restoran-restoran besar baik di Riau
maupun Luar Riau, antara lain Baung, Patin, Selais dan Toman. Ikan-ikan tersebut sangat
potensial untuk dibudidaya sebagai alternatif mata pencaharian masyarakat Meranti
khususnya masyarakat Pulau Rangsang.
Budidaya Sarang Burung Walet
Sejak awal keberadaannya budidaya sarang burung walet menjadi primadona bagi masyarat
Kabupaten Meranti,terutama daerah kawasan Kota Selatpanjang.Dalam Jangka 10 tahun dari
tahun 2000 sampai sekarang telah menjamur ratusan penangkaran burung walet.hal tersebut
dikarena permintaan komoditas sarang burung walet sangat tinggi.Dari tempat ini sarang
burung walet diekspor ke Singapore dan Hongkong(China).Ditempat ini harga sarang burung
walet untuk kualitas terbaik bisa mencapai 20 juta per kg,walaupun disinyalir pola
perdagangan melalui Black Market.Pedagang atau perantara biasa mendatangi langsung ke
22
lokasi lokasi produsen sarang walet dan perkilonya dihargai cuma 9 - 12 juta per kg,Nilai itu
jauh berbeda bila sarang burung walet dikelolah sendiri dan dijual langsung ke pusat
perdagangan yang ada di Singapore dan Hongkong. Tempat atau rumah penangkaran burung
walet di daerah kawasan kota Selatpanjang,pada umumnya dimiliki oleh masyarakat yang
dimiliki kemampuan finansial yang mapan,karena untuk membangun satu rumah biasa(kayu)
perlu dana sekitar 100 juta untuk ukuran 5x10x12 m.Biaya sebesar itu untuk komponen:
Upah borongan tenaga kerja sekitar 25 juta,bahan baku kayu 17 juta, dan sisanya untuk
perangkat budidaya itu sendiri.Pemelihara rumah walet tidak terlalu sulit kecuali pada saat
awal dengan memasang perangkap suara buatan dan membuat sumber makanan walet dari
nanas yan mulai membusuk.
b. Gambaran Singkat Kawasan Hutan Di Pulau Padang
Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan Menteri Kehutanan menerbitkan Penujukan
Kawasan Hutan dalam Keputusan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang
penunjukan kawasan hutan di Provinsi Dati I Riau seluas ± 4.686.075 Ha.
Kawasan Hutan di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor Keputusan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang
penunjukan kawasan hutan di Provinsi Dati I Riau seluas ± 4.686.075 Ha (berdasarkan
TGHK) terdiri dari :
1. SM. Tasik Tanjung Padang selus ± 4.925 ha
2. HPT seluas ± 72.346 ha
3. HPK seluas ± 33.300 ha
Total luasan Kawasan Hutan Pulau Padang adalah seluas 110.939 Ha. SM Tasik Tanjung
Padang telah ditatabatas sesuai berita acara tatabatas yang ditandatangani oleh Panitia Tata
Batas Kabupaten Bengkalis tanggal 5 Maret 1997 dan disahkan oleh Menteri Kehutanan pada
tanggal 25 Mei 1999.
B. KRONOLOGIS PERIZINAN DAN KASUS
Awal mula penolakan masyarakat terhadap PT.RAPP terjadi pada akhir tahun 2009, dimana
saat itu Masyarakat Kepulauan Meranti melalui wadah Forum Masyarakat Peduli Lingkungan
Kabupaten Kepulauan Meranti (FMPL-KM) mengirim Surat ke Menteri Kehutanan yang
isinya menolak keberadaan PT RAPP di Pulau Padang, PT. SRL di Pulau Rangsang dan PT.
LUM di Pulau Tinggi. Kemudian masyarakat Pulau Padang terutama dari Desa Lukit, Bagan
23
Melibur dan Mengkirau mengajukan tuntutan kepada Kementerian Kehutanan berupa
pencabutan/pembatalan blok areal HTI PT.RAPP di Pulau Padang hingga saat ini.
Alasan-alasan yang dikemukakan pada tuntutan tersebut antara lain :
1. Adanya HTI di Pulau Padang akan mengakibatkan tenggelamnya Pulau Padang.
2. Beberapa wilayah desa masuk dalam areal konsesi PT.RAPP.
3. Banyak lahan masyarakat desa yang terambil oleh PT.RAPP.
4. PT.RAPP kurang menyerap/melibatkan masyarakat desa setempat.
5. Perizinan/Amdal HTI PT.RAPP ada yang tidak sesuai aturan.
1. Kronologis Perizinan
Kronologis perizinan yang diberikan pada PT. RAPP dijelaskan sebagai berikut :
1. PT. Riau Andalan Pulp and Paper mengajukan permohonan persetujuan penambahan IUPHHK
pada hutan tanaman kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia dengan surat No. 02/RAPP-
DU/I/04 tanggal 19 Januari 2004.
2. Berdasarkan permohonan dimaksud Menteri Kehutanan memberikan persetujuan
Penambahan/perluasan areal kerja IUPHHK pada Hutan Tanaman atas nama PT. RAPP sesuai
surat Menhut No. S.143/MENHUT-VI/2004 tanggal 29 April 2004, dengan meminta kepada
PT. RAPP antara lain yaitu :
a. Memperoleh perubahan rekomendasi Gubernur yang semula ditujukan untuk PT. Nusa
Prima Manunggal (NPM) dan PT. Selaras Abadi Utama (SAU) menjadi rekomendasi atas
nama PT. RAPP dan memperoleh rekomendasi Bupati
b. Menyusun dan menyampaikan suplemen studi kelayakan hutan tanaman, sesuai dengan
areal penambahan/perluasannya.
c. Menyusun dan menyampaikan AMDAL berdasarkan areal penambahan/perluas-annya.
d. Konsultasi dengan Badan Planologi Kehutanan untuk Peta areal kerja penambahan
perluasan dimaksud
3. Berdasarkan point 2 di atas pihak PT. RAPP memohon rekomendasi Rekomendasi
Penambahan/ Perluasan Areal Kerja IUPHHK Hutan Tanaman atas nama PT. RAPP kepada
Gubernur Riau sesuai dengan surat permohonan Direktur Utama PT.RAPP nomor
05/RAPP/VI/2004 tanggal 15 Juni 2004.
4. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau melalui surat nomor 522.1/PR/0914 tanggal 16 Juni
2004 mendukung perubahan/perluasan areal kerja IUPHHK-HT PT. Nusa Prima Manunggal
(PNM) seluas 150.000 ha dan PT. Selaras Abadi Utama seluas 64.870 ha kepada PT.RAPP,
dengan syarat sebagai berikut :
24
a. Sebelum menteri kehutanan memberikan persetujuan prinsip pembangunan
IUPHHK-HT kepada PT. RAPP, harus terlebih dahulu mengaddendum surat
keputusan HPH yang tumpang tindih dengan areal yang dicadangkan kepada
PT.RAPP.
b. Perlu dilakukan perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan
produksi tetap (HP)
c. PT.RAPP diwajibkan menyelesaikan hak-hak masyarakat dan perusahaan lain yang
berada di dalam areal pencadangan.
5. Gubernur Riau memberikan persetujuan perubahan Rekomendasi Penambahan/ Perluasan Areal
Kerja IUPHHK Hutan Tanaman PT. NPM dan PT. SAU kepada PT. RAPP, melalui surat
Gubernur No. 522/EKBANG/33.10 tanggal 2 Juli 2004, yang ditujukan kepada Bapak Menteri
Kehutanan RI, dengan persyaratan sebagai berikut :
a. Sebelum menteri kehutanan memberikan persetujuan prinsip pembangunan
IUPHHK-HT kepada PT. RAPP, harus terlebih dahulu mengaddendum surat
keputusan HPH yang tumpang tindih dengan areal yang dicadangkan kepada
PT.RAPP.
b. Perlu dilakukan perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan
produksi tetap (HP)
c. PT.RAPP diwajibkan menyelesaikan hak-hak masyarakat dan perusahaan lain yang
berada di dalam areal pencadangan.
6. PT. RAPP mendapatkan Keputusan Gubernur Riau No. Kpts.667/XI/2004 tanggal 11
November 2004 tentang Kelayakan Lingkungan Kegiatan IUPHHK-HT di Areal Tambahan
Kabupaten Pelalawan, Siak dan Bengkalis Provinsi Riau oleh PT. RAPP seluas 152.866 ha.
5. PT. RAPP mendapatkan Keputusan Gubernur Riau No. Kpts.326/VII/2006 tanggal 6 Juli 2006
tentang Kelayakan Lingkungan Kegiatan IUPHHK-HT di Areal Tambahan Kabupaten
Pelalawan, Siak dan Bengkalis Provinsi Riau oleh PT. RAPP seluas 152.866 ha, dengan
perincian termasuk dalam Kabupaten Bengkalis (sekarang menjadi bagian Kabupaten
Kepulauan Meranti tepatnya Pulau Padang) seluas 42.600 ha, Kabupaten Siak sleuas 20.000
ha dan Kabupaten Pelalawan seluas 90.266 ha, sehingga dengan demikian keputusan
Gubernur Riau nomor 667/XI/2004 tanggal 11 November dinyatakan tidak berlaku lagi.
6. PT. RAPP mendapatkan Rekomendasi Bupati tentang Perluasan Areal sebagai Areal Pengganti
sebagai berikut:
a. Bupati Pelalawan melalui suratnya No. 522.1/DISHUT/III/2005/233 tanggal 8 Maret 2005
dan No. 522/DISHUT/801 tanggal 18 Juni 2005;
b. Bupati Bengkalis (sekarang menjadi bagian Kabupaten Kepulauan Meranti tepatnya
Pulau Padang) melalui suratnya No. 522.1/HUT/820 tanggal 11 Oktober 2005
25
c. Bupati Siak melalui suratnya No. 523.33/EK/2006/17 tanggal 24 Januari 2006;
7. Berdasarkan kelengkapan-kelengkapan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan seperti
dimaksud diatas, Menteri Kehutanan RI menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No.
SK.327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, seluas ± 350.165 (tiga ratus lima puluh ribu
seratus enam puluh lima) hektar, dimana salah satu lokasinya berada di Pulau Padang,
Kabupaten Bengkalis (yang sekarang menjadi Kab. Kepulauan Meranti), Provinsi Riau
41.205 Ha, dengan status TGHK berupa Hutan Produksi Terbatas (HPT).
8. Berdasarkan kelengkapan-kelengkapan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan seperti
dimaksud diatas, Menteri Kehutanan RI menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No.
SK.327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, seluas ± 350.165 (tiga ratus lima puluh ribu
seratus enam puluh lima) hektar, dimana salah satu lokasinya berada di Pulau Padang,
Kabupaten Bengkalis (yang sekarang menjadi Kab. Kepulauan Meranti), Provinsi Riau
41.205 Ha, dengan status TGHK berupa Hutan Produksi Terbatas (HPT). Surat keputusan ini
diterbitkan berdasarkan atas permohonan Direktur Utama PT.RAPP nomor 02/RAPP-DU/I/04
tanggal 19 Januari 2004 dan surat keputusan Gubernur Riau nomor Kpts.667/XI/2004 tanggal
11 November 2004 yang sudah dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya Keputusan
Gubernur Riau nomor 326/VII/2006 tanggal 6 Juli 2006.
9. Terhadap keputusan Menteri Kehutanan nomor 327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009,
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau dengan surat nomor 522.2/Pemhut/2621 tanggal 2
September 2009 menyampaikan bahwa :
a. Hasil analisa menunjukkan IUPHHHK-HTI PT. RAPP tumpang tindih dengan Suaka
Marga Satwa Tasik Pulau Padang seluas ± 340, 69 Ha dan terdapat Hutan Produksi
Konversi (HPK) seluas ± 23.411, 13 Hektar.
b. Keputusan Menteri Kehutanan nomor 327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, perlu
ditinjau ulang dan direvisi, dan keputusan tersebut perlu mengacu dan mengakomodir
surat keputusan gubernur Riau nomor 522/EKBANG/33.10 tanggal 2 Juli 2004.
c. Agar mengurangi areal yang tumpang tindih dengan kawasan suaka alam.
d. Menunda terlebih dahulu pelayanan sampai dengan dilakukan pengukuran dan penataan
batas lapangan
e. Terlebih dahulu melaksanakan perubahan fungsi kawasan hutan.
10. PT. RAPP memperoleh pengesahan atas Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) Periode 2009 – 2018, sesuai Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. SK.186/VI-BPHT/2009 tanggal 10 Agustus 2009, yang mencakup areal
di Pulau Padang, yang selanjutnya direvisi dan telah mendapat pengesahan sesuai Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.173/VI-BPHT/2010 tanggal 22 Desember 2010 tentang
26
Persetujuan Revisi RKUPHHK-HTI untuk jangka 10 tahun periode 2010-2019 atas nama PT.
RAPP.
11. PT. RAPP memperoleh pengesahan atas Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Hutan Tanaman Industri (RKTPHHK-HTI) Tahun 2010, sesuai Surat Keputusan
Direktur Bina Pengembangan Hutan Tanaman No. SK.10/BPHT-3/2010 tanggal 24 Maret
2010, luas ± 14.711 Ha di Pulau Padang, yang berlaku sampai tanggal 24 Maret 2011. Namun
TKT 2010 ini belum terlaksana di lapangan karena :
a. Masih dalam tahap persiapan berupa perizinan koridor Desa Tanjung Padang yang baru
diperoleh pada 8 September 2010 sesuai surat Gubernur Riau No. Kpts/1223/IX/2010.
b. Izin pembuatan dermaga di Desa Tanjung Padang baru diperoleh pada 27 Desember 2010,
sesuai surat Bupati Kepulauan Meranti No. 552/PU-HUB/2010/901.
c. Kendala adanya klaim masyarakat terhadap kawasan hutan karena alasan tertentu seperti
bekas garapan masyarakat, tanah ulayat dan sebagainya.
12. PT. RAPP mengesahkan Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman Industri (RKTPHHK-HTI) Tahun 2011 secara mandiri (self approval), sesuai Surat
Keputusan Direktur Utama PT. RAPP No. SK.06/RAPP/III/2011 tanggal 24 Maret 2011, luas ±
30.087 Ha di Pulau Padang, yang berlaku sampai tanggal 24 Maret 2011.
13. Hingga saat ini Tata Batas areal PT. RAPP di Pulau Padang belum dilaksanakan, namun
demikian PT. RAPP telah melaksanakan proses :
a. Pengajuan permohonan tata batas areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang melalui
surat No. 216/RAPP-DIR/V/2010 tanggal 18 Mei 2010 yang ditujukan ke Direktur
Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan sepanjang 217,88 Km.
b. Pembuatan kontrak penataan batas areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau dengan
konsultan PT. Wicaksana Mega Cipta tertanggal 20 Agustus 2010.
c. Pembahasan draft pedoman tata batas di Ditjen Planologi, pada tanggal 7 Oktober 2010.
d. Pengajuan kembali permohonan pengesahan pedoman tata batas areal IUPHHK-HT PT.
RAPP di Pulau Padang dan permohonan tenaga teknis pengawasan pelaksanaan tata batas
ke Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, sesuai surat No. 74/RAPP-
DIR/IV/2011 tanggal 5 April 2011.
e. Hingga saat ini dalam proses pengesahan pedoman tata batas dan penyediaan tenaga
pengawas tata batas di Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan.
f. Hingga saat ini Tata Batas Areal PT. RAPP di Pulau Padang belum dilaksanakan,
namun demikian operasi PT. RAPP di lapangan telah berjalan dengan mengacu pada tata
27
ruang yang dibuat sendiri oleh PT. RAPP di lokasi Pulau Padang, dengan luas total 41.205
Ha, terdiri dari :
a) Tanaman Pokok : 27.375 Ha (66 %),
b) Tanaman Unggulan : 4.121 Ha (10 %),
c) Tanaman Kehidupan : 1.904 Ha ( 5 %),
d) Kawasan Lindung : 4.102 Ha (10 %),
e) Sarana prasarana : 808 Ha ( 2 %),
f) Areal Tidak Produktif : 2.895 Ha ( 7 %). (termasuk didalamnya areal tambang
Kondur Petroleum SA, Bakrie Group).
2. Kronologis Kasus
Konflik Masyarakat Pulau Padang dengan PT. RAPP di Pulau Padang kabupaten Kepulauan
Meranti dimulai sejak tahun 2009 sebelum Kabupaten ini dimekarkan dari Kabupaten induk
Bengkalis. Kronologis kasus ini dijelaskan sebagai berikut :
Tanggal 26 Agustus 2009
Pj. Bupati Kepulauan Meranti Drs. Syamsuar, M.Si. mengajukan surat kepada Direktur
Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor 100/Tapem/189 tentang Peninjauan ulang terhadap
semua IUPHHK-HTI PT. LUM, PT. SRL dan PT RAPP di Kabupaten Kepualauan Meranti.
Tanggal 30 Desember 2009
MASYARAKAT dari berbagai desa di Kabupaten Kepulauan Meranti khususnya desa-desa
dari Pulau Padang antara lain Tanjung Padang, Selat Akar, Kudap, Dedap, Mengkopot,
Mengkirau, Bagan Melibur, Pelantai, dan beberapa desa diluar Pulau Padang seperti
Semukut, Renak Dungun, Sungai Tohor, dan desa-desa lain yang berjumlah 1000an orang
mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti (di Selat Panjang)yang saat itu di Jabat Oleh
Bupati Pj. Syamsuar, M.Si. masyarakat dan Kepala Desa-kepala desa yang memimpin aksi
tersebut dengan tegas menolak rencana operasional PT. RAPP di Pulau Padang. Bupati
Syamsuar yang saat itu menjabat, sangat mendukung apa yang dilakukan Masyarakat untuk
menolak kehadiran PT. RAPP beroperasi di Pulau Padang.
Tanggal 30 Desember 2009 (Laporan Investigasi Eyes on the Forest)
Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Kepulauan Meranti (FMPL-KM)
mengirim Surat ke Menteri Kehutanan, Perihal Penolakan IUPHHK-HT PT. Sumatera Riau
28
Lestari Blok Pulau Rangsang, PT. LUM dan PT. RAPP blok Pulau Padang di Kabupaten
Kepulauan Meranti.
Tanggal 10 Februari 2010
WARGA PULAU PADANG KE JAKARTA yang PERTAMA
Perwakilan Masyarakat dan Kepala Desa Pulau Padang yang berjumlah 9 orang dan beberapa
organisasi/LSM seperti Meranti Center, Walhi, Mahasiswa Bengkalis, masyarakat Padang
Lawas mendatangi Kantor Kementrian Kehutanan di Jakarta menuntut tinjau ulang SK
Menhut No. 327 tahun 2009 sekaligus menuntut pencabutan izin HTI di Kepulauan Meranti.
Setelah masyarakat mendatangi Kantor Kementrian Kehutanan kemudian Masyarakat Pulau
Padang mendatangi Kantor PT. RAPP di Jakarta menuntut hal yang sama.
Tanggal 12 Februari 2010
Perwakilan Masyarakat dan Kepala Desa Pulau Padang yang berjumlah 9 orang dan beberapa
organisasi/LSM al. Meranti Center, Walhi, Mahasiswa Bengkalis, masyarakat Padang Lawas
mendatangi dan menemui DPD-RI wilayah Riau Instiawati Ayus di Gedung DPR-RI dan
Anggota DPR-RI Komisi IV di Jakarta menuntut tinjau ulang SK Menhut No.327 tahun 2009
sekaligus menuntut pencabutan izin HTI di Kepulauan Meranti. (Sumber: wawancara dengan
Toha Kepala Desa Mengkirau di Mengkirau, tanggal 12 Juli 2011)
Tanggal 6 Maret 2010
11 orang perwakilan masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti untuk yang kedua kalinya ke
Jakarta mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes Polri sekaligus
menuntut pencabutan SK Menhut No. 327 tahun 2009. (wawancara dengan Toha Kepala
Desa Mengkirau di Mengkirau, tanggal 12 Juli 2011)
Tanggal 26 Juli 2010
Masyarakat Kec. Merbau sebanyak 350an orang mendatangi Kantor DPRD Kepulauan
Meranti dan menuntut penghentian operasional dan Pencabutan izin HTI di Kabupaten
Kepulauan Meranti seperti PT. SRL dan PT. LUM dan PT. RAPP Dialog antara perwakilan
masyarakat dan anggota-anggota DPRD yang juga hadir ketua DPRD Hafizoh, wakil ket.
DPRD Taufikurrahman dan puluhan anggota DPRD lainnya. Dalam kesempatan tersebut
terjadi perdebatan antara masyarakat dan anggota dewan. Dalam menanggapi aspirasi dan
tuntutan masyarakat, Ketua DPRD Kab. Kepulauan Meranti Hafizoh menyatakan “jika
29
bapak-bapak seratus persen menolak HTI di Kepulauan Meranti, saya juga menolak bahkan
seratus limapuluh persen. Akan tetapi kami tidak memiliki wewenang untuk menghentikan
operasional HTI di Kabupaten kepulauan Meranti, yang memiliki wewenang ini adalah
bapak Bupati”. Dalam dialog tersebut DPRD juga berjanji akan turun meninjau kelapangan.
Tanggal 30 Juli 2010
DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti mengajukan surat kepada Kementerian Kehutanan RI
Nomor 661/DPRD/VII/2010 tentang Permohonan Peninjauan ulang izin operasional PT.
SRL, PT. LUM, dan PT. RAPP (terlampir)
Tanggal 19 Agustus 2010
Masyarakat Pulau Padang dan Masyarakat Pulau Rangsang sebanyak 700 orang lebih,
mendatangi Kantor DPRD Kepulauan Meranti masih dengan tuntutan yang sama menuntut
pencabutan izin PT. RAPP di Pulau Padang dan menuntut penghentian operasional PT. SRL
dan PT. LUM.
Tanggal 3 September 2010
Bupati Kepulauan Meranti mengajukan surat kepada Menteri Kehutanan RI di Jakarta nomor
100/TAPEM/IX/2010/70 perihal Peninjauan Ulang IUPHHK-HTI PT. LUM, PT. SRL dan
PT. RAPP terkait dengan penolakan HTI yang dilakukan oleh masyarakat.
Tanggal 8 September 2010
Gubernur Riau mengeluarkan Surat No. 223/IX/2010 tanggal 8 September 2010, tentang izin
Pembuatan Koredor pada IUPHHK-HT, PT. RAPP Pulau Padang di Kabupaten kepulauan
Meranti. Setelah sekian hari sejak tanggal dikeluarkan Surat Gubernur tentang izin koredor
tersebut, wargapun kemudian mengetahuinya. Surat tersebut memunculkan keresahan bagi
warga pulau padang dan memancing amarah masyarakat, yang seharusnya setelah hari raya
idul Fitri masyarakat menfokuskan untuk berkebun memperbaiki perekonomian setelah
berkunjung kesanak saudara pada hari raya. Lagi-lagi masyarakat di “paksa” untuk
mendatangi kantor Bupati di selatpanjang. Dan masyarakat semakin marah ketika 2 orang
buruh warga Pulau Rangsang yang mengolah kayu dijadikan Papan/bahan kapal ditangkap
oleh pihak keamanan. Padahal mereka memiliki surat kelompok Tani yang legal.
Tanggal 11 Oktober 2010
30
Merespon surat Gubernur tentang izin pembuatan Koredor, Masyarakat Pulau Padang dan
Rangsang mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti antara lain menuntut pembebasan 2
orang wagra petani Rangsang yang di tangkap oleh pihak keamanan AIRUT karena menjual
kayu hasil olahan ke Selatpanjang, dan menuntut penghentian Operasional PT. SRL, dan
pencabutan izin PT. RAPP di pulau padang. Dalam aksi ini masyarakat diterima oleh wakil
Bupati untuk berdialog dengan beberapa wakil masyarakat terkait penolakan masyarakat
terhadap operasional Perusahaan-perusahaan Pembabat Hutan Alam di kabupaten Kepulauan
Meranti. Judul dalam Pernyataan sikap Aksi tersebut adalah; “Pemerintahan Kabupaten
Kepulauan Meranti HARUS MAMPU Mengusir keberadaan PT RAPP di Kabupaten
Kepulauan Meranti…!” Kutipan pernyataan Sikap aksi masyarakat tanggal 11 Oktober
2010: ”Penangkapan terhadap 2 (dua) masyarakat Desa Bungur Kecamatan Rangsang yang
merupakan rekan seperjuangan kita atas Nama Agus alias Sanum dan Ruslan alias Jun Oleh
AIRUT Tanjung Samak dengan Petugas Bernama Jefri, Ardian Syah, dan Saudara Iwan
Dengan No kapal: 004 Pada hari Selasa Tanggal 28 September 2010 pada Pukul 5.30 WIB
di Perairan Kelautan Selatpanjang dengan Tuduhan Ilegal logging atau membawa kayu
dengan dokumen tidak lengkap tersebut adalah merupakan Tindakan Yang sangat Merugikan
Bagi Kehidupan Buruh Tani yang pada akhirnya penangkapan terhadap Rekan kita tersebut
dapat kita simpulkan bahwa Kebijakan Politik Pemerintah saat Ini lagi-lagi hanya
menguntungkan Pemilik Modal Asing di Negeri Ini. Karna jelas terbukti keberadaan
PT.SRL, PT. LUM dan PT. RAPP di Kabupaten Kepulauan Meranti yang jelas-jelas
keberadaan mereka sangat di tentang oleh rakyat, Namun pada kenyataanya kebijakan
Politik Pemerintah di tingkatan Bupati dan Dewan dalam merespon aksi kita dengan
mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi tidaklah membawa capaian besar untuk
menguntungkan perjuangan Rakyat. Terbukti hingga saat ini Oprasional mereka tidak
pernah Berhenti dan Bahkan dengan Leluasa Mengeluarkan Puluhan Ribu Ton Kayu dari
Kabupaten kepulauan ini dan Tidak mendapat suatu apapun.”
Massa denganjumlah 1500 orang lebih dalam pernyataannya sebagai berikut:
1. Mendesak Bupati dan DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti untuk SEGERA
mengeluarkan surat penolakan terhadap SK Gubernur Riau Nomor : KPTS/1223/IX/2010
tanggal 08 September 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman (IUPHHK-HT) PT. RAPP Pulau Padang (Desa Sungai Hiu Tanjung Padang)
Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti.
2. Bebaskan kawan kami Agus alias Sanum dan Ruslan alias Jun sekarang Juga !!!
31
3. Usut dan Tangkap Mafia Tanah dengan Modus Kelompok tani yang telah disahkan
olehkepala desa setempat di Kecamatan Merbau dan Kecamatan Rangsang.
4. Bupati dan DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti harus menegaskan sikap politiknya
terhadap pemerintahan Pusat maupun Propinsi atas surat yang pernah di keluarkan,
agar di lakukan peninjauan ulang SK menhut tersebut demi kepentingan rakyat atau
Mundur Sekarang Juga !!!
Tanggal 29 Oktober 2010
Perwakilan Masyarakat Pulau Padang berdasarkan undangan pihak perusahaan, bertemu
dengan managemen PT. RAPP di Hotel Gran Zuhri Pekanbaru. Dalam pertemuan tersebut
masyarakat menuntut Pihak perusahaan sebelum beroperasi di Pulau Padang untuk
melakukan Mapping (pemetaan ulang), inclaving, dan pembuatan tapal batas permanen
sebelum PT. RAPP melakukan operasional di Pulau Padang. Secara lisan pihak perusahaan
menyetujui semua tuntutan masyarakat Pulau Padang yang saat itu diwakili oleh 10 orang
petani Pulau Padang yang didampingi oleh Teri Hedra Caniago Ketum KPP-STR Propinsi
Riau dan Dessri Kurniawati, SH Sekjen KPP-STR Prop Riau. namun secara tertulis berbeda
dengan apa yang disepakati secara lisan. Sehingga pihak masyarakat tidak mau
menandatangani berita acara dan notulensi hasil pertemuan.
Tanggal 30 Oktober 2010
PT. RAPP mengelar sosialisasi dengan mengundang masyarakat Pulau Padang, perwakilan
petani, LSM, Mahasiswa, DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti Herman, Aziz, Fauzi Hasan,
Asmawi, pejabat sekretariat DPRD Kep. Meranti Burhanuddin yang sebelumnya adalah
pejabat dinas Kehutanan kepulauan Meranti yang telah mengesahkan dan membuat berita
acara survey lokasi jalan koredor (tanggal 17 Mei 2010) dan rekomendasi untuk pembuatan
jalan Koredor di Sungai Hiu Pulau Padang. Diundang juga orang-orang yang dianggap tokoh
masyarakat oleh pihak perusahaan. Dalam acara tersebut Salah satu perwakilan masyarakat
meminta pihak perusahaan untuk menunjukkan AMDAL sebagai syarat untuk
dikeluarkannya SK Menhut. Namun pihak perusahaan menjawab bahwa AMDAL adalah
domainnya Pemerintah.
Tanggal 3 November 2010
Direktorat Jenderal Bina Usaha kehutanan tertanda Direktur jenderal Imam Santoso, No.
S.1055/VI-BPHT/2010 tanggal 3 November 2010 perihal: Mohon ditinjau ulang Izin
32
Operasional PT. SRL, PT. LUM dan PT. RAPP yang ditujukan kepada ketua DPRD
Kabupaten kepulauan Meranti. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa IUPHHK-HTI ketiga
perusahaan tersebut adalah sah dan aktif yang memiliki Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Hutan tanaman Industri dan Rencana kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan kayu pada Hutan tanaman Industri (RKTUPHHK-HTI) tahun berjalan. Dan
seluruh areal Kerka IUPHHK-HTI tersebut berada dalam kawasan Hutan produksi.
Tanggal 26 November 2010
Bupati Kepulauan Meranti mengirimkan surat kepada Camat Merbau No.
100/TAPEM/XI/2010/96 perihal; Rekomendasi.Pada hakekatnya bias di pahami bahwa surat
tersebut adalah sebuah perintah kepada camat untuk menfasilitasi pihak perusahaan PT.
RAPP yang akan menjalankan operasionalnya di Pulau Padang
Tanggal 29 November 2010,
Perwakilan Masyarakat Pulau Padang bertemu lagi dengan Pihak Managemen PT. RAPP
untuk membicarakan rencana Masyarakat Pulau Padang akan membuat kegiatan SEMINAR
TERBUKA dan akan dijadikan wadah untuk mempertemukan semua unsure pemerintahan
baik Bupati, Dishut, DPRD, Camat, Kepala Desa, BPD, Tokoh Masyarakat dan masyarakat
umum dan pihak Perusahaan PT. RAPP dalam acara SEMINAR TERBUKA tersebut. Dalam
pertemuan untuk yang kedua kalinya dengan PT. RAPP di hotel Gren Zuhri Pekanbaru, pihak
perusahaan di samping tidak mengakui kesepakatan dan kesanggupan pada pertemuan
tanggal 29 Oktober 2010 justru juga malah menyampaikan bahwa pihak perusahaan akan
segera beroperasi di Pulau Padang.
Tanggal 10 Desember 2010
Bupati Kepulauan Meranti mengirimkan surat kepada Camat Merbau No.
100/TAPEM/XII/2010/97, perihal; Sosialisasi
Tanggal 13 Desember 2010,
Masyarakat Pulau Padang Kec. Merbau dari berbagai desa antara lain warga Desa Lukit,
Meranti Bunting, Pelantai, Mekar sari, Kelurahan Teluk Belitung, Bagan Melibur, Mengkirau
dan desa-desa lain, lebih kuran 1300an orang lebih melaksanakan Do’a Bersama
(ISTIGHOTSAH) di Masjid Raya Teluk Belitung, ibukota Kec. Merbau, dengan harapan
Rencana Operasional PT. RAPP yang diyakini sebagai musibah dan malapetaka besar karena
33
bakal menghabiskan lahan dan perkebunan warga dan hutan yang selama ini menjadi sumber
kehidupan masyarakat setempat. Istighotsah di pempin oleh KH. Mas’ud (Mekarsari), K.H.
AHMADI (Mengkirau), Ustad Sudarman (Sungai anak kamal), Ustad Yakup, Kepala Desa
dan anggota DPRD Kab. Kep. Meranti. H.Muhammad Adil, SH. Juga hadir dalam acara
istighotsah tersebut dan bahkan memberikan sambutan.
Tanggal 15 Desember 2010,
Masyarakat membuat kegiatan SEMINAR TERBUKA di hadiri oleh 2500 orang masyarakat
Pulau padang dan Pulau Rangsang dengan tema “Dampak HTI terhadap Lingkungan dan
kehidupan Masyarakat”, dengan mengundang seluruh pejabat dari Bupati sampai LPMD
dan pihak Perusahaan PT. RAPP (Bupati dan wakil Bupati, DPRD, Camat, Kepala Desa,
BPD, Tokoh Masyarakat, Pimpinan-pimpinan Parpol di Kep. Meranti). Masyarakat sangat
menyesalkan bahwa bahwa pihak perusahan tidak ada satupun yang hadir termasuk Bupati
sendiri. Pendanaan Seminar Terbuka ini dilaksanakan dengan swadaya masyarakat ditambah
Iuran masyarakat Pulau Padang 20.000/orang (anggota STR). Masyarakat sangat
menyayangkan pihak Pemda BUPATI, Wakil Bupati, dan pejabat-pejabat terkait tidak hadir
termasuk Managemen PT. RAPP.
Sedang yang hadir dalam SEMINAR TERBUKA tersebut HANYA Wakil Ketua DPRD
Taufikurrhman, Basiran, Edi AMin, Ketua DPC PKS. Camat Merbau, Kapolsek Merbau,
Danramil Merbau, beberapa Kepala Desa di wilayah Pulau Padang, BPD, tokoh Masyarakat,
dan Tokoh-tokoh Agama. Sebagai Pemateri antara lain; Sekjen STN Wiwik Widjanarko, dan
Direktur Tansparansi Indonesia (TI) Rafles, S.Sos.
in-put dari SEMINAR TERBUKA tersebut adalah bahwa; 1). areal konsesi PT. RAPP di
Blok Pulau Padang berada pada areal yang tumpang tindih dengan lahan/kebun warga. 2).
Dengan dibukanya kanal-kanal akan menyebabkan intrusi air masin ke darat dan pengeringan
lahan yang cukup signifikan pada musim kemarau yang akan menyebabkan mudah terbakar.
3). Dari sisi perijinan, di ketahui bahwa Rekomendasi oleh pejabat bengkalis yang dijadikan
acuan oleh pemerintah pusat sebagai dasar dikeluarkannya SK Menhut 327 2009, sama sekali
tidak diketahui oleh DPRD Kabupaten Bengkalis.
Tanggal 20 Desember 2010,
Camat Merbau melayangkan surat kepada kepala Desa Tanjung Padang, nomor:
100/tapem/2010/451, perihal sosialisasi (perusahaan PT. RAPP di Tanjung Padang), yang
isinya antara lain adalah agar kepala desa Tanjung Padang menfasilitasi segala sesuatu yang
34
diperlukan oleh pihak Perusahaan. Cukup lama tidak diketahui oleh masyarakat bahwa Dirjen
Kementerian Kehutanan sudah membalas surat yang diajukan oleh DPRD Kabupaten
kepulauan Meranti menyatakan bahwa izin ketiga Perusahaan di Kep. Meranti dinyatakan sah
dan aktif. Sehingga Bupati Kepulauan Meranti secara diam-diam dua kali mengirimkan surat
kepada camat Merbau
Tanggal 3 Januari 2011,
Masyarakat cukup menunjukkan sikap amarah yang luar biasa dan mendatangi Kantor Camat
Merbau sebanyak 1500 orang dan menuntut camat untuk mencabut surat yang dikirim ke
kepala desa Tanjung Padang dan menggagalkan rencana Sosialisasi PT. RAPP di Tanjung
Padang yang berujung kepada memasukkan alat berat Ke Pulau Padang. Masyarakat juga
menuntut Pemerintah RI untuk mencabut Izin Operasional PT RAPP di Pulau Padang.
Sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya, Massa membakar tiga gambar yang pada bagian
kepala ditempel wajah gambar Camat Merbau Duriat, gambar Bupati Kepulauan Meranti
Irwan Nasir dan Gambar Gubernur Riau Rusli Zainal.
Selain itu, massa juga mengusung Keranda Mayat dan ayam putih yang keduanya di
hadiahkan kepada camat Merbau.
Tanggal 4 Januari 2011,
Malam hari setelah solat Isya’ dan setelah aksi di kantor camat Merbau pada pagi harinya,
Masyarakat dari berbagai Desa sebanyak 313 orang antara lain dari desa Lukit, Meranti
Bunting, Pelantai, Mekarsari, Kelurahan Teluk Belitung, Mengkirau dan puluhan warga
Tanjung Padang dengan 4 kapal pompong, memblokir acara sosialisasi PT RAPP di Dusun
Suka Jadi desa Tg. Padang dan menggagalkan Sosialisasi PT. RAPP yang terbukti sesuai
pengakuan masyarakat Tanjung Padang bahwa sosialisasi tersebut adalah tahapan akan
memasukan alat berat ke Pulau Padang pada tgl 6 Januari 2011. Saat-saat menegangkan
terjadi ketika pihak kepolisian dan perusahaan datang, baru saja duduk beberapa detik di
kursi-kursi yang tersedia rapi disertai oleh panitia, ratusan masyarakat keluar dari semak
belukar berbaris rapi dengan satu komando “sepuluh langkah maju jalan…….” disertai
Takbir “ALLAHU AKBAR…!!!!!. ALLAHU AKBAR……!!!! dan Yel-yel “R A P P……”
“perampas Tanah Rakyat….Usir….Usir….Usir”, Kapolsek Merbau pun tidak lengah ibarat
orang yang sedang termenung tersengat api bergegas lari menghampiri warga, khawatir
masyarakat melakukan hal-hal yang anarkis.
35
Sosialisasi PT. RAPP yang direncanakan cukup meriahkan disertai hiburan orgen tunggal,
setelah dilakukan dialog yang cukup menegangkan antara pihak masyarakat dan kepolisian
(kapolsek Merbau) dan pihak PT. RAPP, akhirnya mendapat kata putusan dengan
pertimbangan jika sosialisasi dilanjutkan dapat dipastikan akan terjadi pertempuran antara
pihak masyarakat dan pihak perusahaan. Akhirnya kemudian diumumkan oleh panitia secara
resmi bahwa sosialisasi PT. RAPP di Sukajadi dibatalkan. Meski demikian masyarakat pun
belum merasa puas dan tidak akan beranjak dari lapangan bola yang di jadikan tempat
sosialisasi, sebelum tenda dan bangsal di bongkar dan di angkut keluar dari lokasi.
Tanggal 20 Januari 2011,
Masyarakat Pulau Padang sekitar 1000 orang lebih yang berangkat pada malam hari dengan 7
kapal pompong memblokir akan masuknya alat berat di dusun sg. Hiu Desa Tanjung Padang.
Tanggal 1-2 februari 2011,
Masyarakat Pulau Padang mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti bahkan menginap di
depan Kantor Bupati sebanyak 3000an orang. Dengan menggunakan 14 kapal pompong
berangkat dari rumah masing-masing ada yang jam 04.00 subuh dan ada yang setelah
maghrib seperti desa Tanjung Padang. Masyarakat Menuntut Pencabutan Izin PT. RAPP, SK
No. 327 Menhut 2009, dan menyerahkan Petisi Penolakan Masyarakat terhadap Rencana
Operasional PT. RAPP di Pulau Padang PT. SRL di rangsang dan PT. LUM di Tebing Tinggi
kepada Pemerintah Kabupaten yang di terima oleh asisten I Setdakab Kepulauan Meranti
Drs. Ikhwani.
Tanggal 11 Februari 2011
Merespon aksi massa tanggal 1 dan 2 Februari 2011 di Kantor Bupati Kepulauan Meranti,
Komisi B DPRD Propinsi Riau, yang diwakili oleh wakil komisi B Zulfan Heri, Sumiyati,
dan Mahdinur melakukan kunjungan dinas untuk bertemu masyarakat di pulau padang (usai
solat jum’at) yang menolak akan beroperasinya PT. RAPP di Pulau Padang dan akan melihat
langsung lokasi kegiatan operasional PT. SRL di Pulau Rangsang. Dialog langsung antara
anggota Komisi B DPRD Propinsi dengan masyarakat pulau Padang dilaksanakan di aula
kantor camat Merbau yang juga dihadiri oleh beberapa pejabat Pemkab Kep. Meranti. Zulfan
Heri dalam penyampaiannya berjanji bahwa DPRD Propinsi Riau akan membentuk Pansus
36
HTI Riau secepat-cepatnya, agar pansus tersebut dapat mengakaji secara obyektif tentang
dampak negative dan positif yang bakal ditimbulkan oleh operasional PT. RAPP di Pulau
padang dan secara umum di Propinsi Riau. Sementara Kadishutbun Kab. Kep. Meranti
Makmun Murad menyampaikan bahwa izin PT. RAPP di pulau padang adalah wewenang
Menhut.
Tanggal 22 Februari-14 April 2011
AKSI DUA BULAN WARGA P. PADANG & MAHASISWA DI DPRD PROP. RIAU
Hampir 2 bulan penuh Mahasiswa yang tergabung dalam Posko Perjuangan Rakyat Meranti
(PPRM), Aliansi Mahasiswa Peduli Lingkungan (AMPEL) dari berbagai Kampus, Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas yang ada di Pekanbaru dan beberapa perwakilan
masyarakat Kepulauan Meranti Pulau Padang, mendirikan Tenda dan Posko di depan Kantor
DPRD Propinsi Riau menuntut DPRD Prop. Untuk segera mengesahkan PANSUS HTI Riau.
Disekitar Posko juga dipasang berbagai Spanduk dengan ukuran besar yang bertuliskan
berbagai tuntutan, seperti: “Cabut SK Menteri Kehutanan Nomor 327/Menhut-II/2009”,
“Usir RAPP dari Pulau Padang” “jangan Politisasi Pansus HTI”. BEM UNRI menulis;
“Selamatkan Rakyat Meranti dari Kediktatoran RAPP dan Pemerintah”. “Hentikan
Penyerobotan Tanah di Propinsi Riau”, Dewan Penghianat Rakyat Daerah Propinsi Riau” dan
masih banyak lagi spanduk-spanduk lain yang pada intinya menolak Operasional Perusahaan
bubur Kertas di Kepulauan Meranti. Posko yang digelar selama hamper dua bulan mereka
juga beberapi kali menggelar aksi Massa menuntut DPRD Prop untuk segera mengesahkan
Pansus HTI Riau yang juga hadir masyarakat petani pulau Padang, hingga pemblokiran mobil
anggota DPRD Prop. Agar tidak keluar dari areal Kantor DPRD dan mencederai mahasiswa,
seperti yang terjadi pada sidang paripurna Pembentukan Pansus HTI Riau tanggal 5 April
2011 yang gagal.
Tanggal 23 Februari 2011
PEMBENTUKAN TIM PENGKAJI KELAYAKAN OPERASIONAL PT.RAPP DI P.
PADANG BERUBAH MENJADI TIM PENGAWAS OPERASIONAL
Pertemuan Multipihak di Aula RSUD Selatpanjang, dalam rangka “MENCARI SOLUSI
ADIL DAN DAMAI KONFLIK MASYARAKAT DAN PT. RAPP” terkait penolakan
Masyarakat terhadap HTI di Kepulauan Meranti, hadir Bupati Kepulaua Meranti, DPRD,
Camat se Kabupaten Kep. Meranti, Kepala Desa Se Pulau Padang, Tokoh Agama (MUI)
LSM seperti JMGR, Scael Up, Walhi, termasuk 69 perwakilan petani Pulau Padang.
37
Dalam sambutan Bupati Kepulauan Meranti, Irwan Nasir secara tegas mengatakan terkait
maraknya aksi massa yang menolak keberadaan HTI di Kepulauan Meranti “mari kita bentuk
Tim yang akan mengkaji secara obyektif, jika memang izin HTI di Kepulauan Meranti
berdampak positif sama-sama kita terima, akan tetapi jika HTI berdampak Negatif sama-
sama kita tolak”.
Setelah Bupati meninggalkan Aula RSUD, ruang pertemuan multipihak tersebut. Rapat
dipimpin langsung oleh Makmun Murad dan beliau mengerucutkan pada perwakilan-
perwakilan Tim yang dimasukkan kedalam TIM. Pada saat itu disepakati yang masuk
kedalam TIM adalah Kadishutbun Kep. Meranti (Makmun Murad), semua Kepala Desa yang
hadir yang berasal dari Pulau padang, Pakar/Tim ahli, 10 orang Wakil Masyarakat Petani dari
Pulau Padang, dari LSM/NGO adalah Walhi, Scael Up, dan JMGR. Tugas Tim adalah
Mengkaji kelayakan Operasional PT. RAPP di Blok Pulau padang. Hasil kajian inilah yang
kemudian akan dijadikan acuan atau rekomendasi, jika memang hasil kajian Tim menyatakan
bahwa rencana Operasional PT. RAPP berdampak positif dari berbagai sisi silakan
dilanjutkan, akan tetapi jika hasil kajian Tim berdampak buruk akan sama-sama ditolak.
Tanggal 16 Maret 2011
Dalam rapat (di Kantor Dishutbun Kep. Meranti)tersebut hadir Asisten I setdakab. Ikhwani,
Ketua Komis I DPRD Kep.Meranti Herman, Ketua Komisi II Rubi Handoko, Makmun
Murad (kadishutbun), Pihak PT. RAPP, LSM/NGO, Kepala desa se Pulau Padang dan 8
orang wakil Petani Pulau Padang. Dalam pertemuan sempat terjadi ketegangan. Hal ini
disebabkan oleh sikap kadishutbun Makmun Murad yang mengarahkan Tim, sebagai Tim
Pengawas operasional. Pembentukan TIM Pengkaji sebagaimana ditetapkan pada tgl 23
Februari 2011 di Aula RSUD Selatpanjang tentang “Tim Pengkaji Kelayakan” di Rubah serta
merta menjadi “TIM Pengawas Operasional PT. RAPP di Pulau padang”. Rapat sama sekali
tidak mengakomodir aspirasi yang berkembang dan melenceng dari kesepakatan tanggal 23
februari 2011.
Tanggal 27 Maret 2011
PT. RAPP mulai beroperasi di PULAU PADANG
PT RAPP memasukkan ALAT BERAT ke Pulau Padang Sungai Hiu Desa Tanjung Padang,
pada dini hari jam 01.00 wib, mendengar informasi alat berat PT. RAPP TEPATNYA DI
SUNGAI HIU DESA TANJUNG PADANG, (di ujung utara pulau Padang), sontak saja
masyarakat Tanjung Padang bergegas memberitahukan yang lain bahkan masyarakat yang
38
tinggal diujung selatan pulau padang seperti Lukit, Meranti Bunting, Pelantai, Mekar sari,
Mengkirau, Kelurahan Teluk Belitung. Tidak lengah dari berbagai penjuru desa mulai dari
jam 03.00 wib (dini hari) suasana kampong-kampung di Pulau Padang hiruk-pikuk, Sama-
sama berduyun-duyun menuju ke Tg. Padang dengan menggunakan sepeda motor meskipun
harus melewati jalan tanah gambut yang cukup becek karena belum semuanya di semenisasi.
Sekitar 500 orang menghadang di lokasi naiknya alat berat lebih kurang jam 11.00-12.00
siang. Sedangkan 34 warga tanjung padang sudah sampai dilokasi dan menghadang alat berat
dengan menaiki pompon jam 3.30 wib (dini hari) Di pantai hutan bakau dusun sg. Hiu desa
Tanjung Padang. Seharian penuh sampai menjelang maghrib masyarakat tidak beranjak dari
bibir pantai tempat 2 unit alat berat akan di turunkan Menjelang maghrib malam Senin
tanggal 27 Maret 2011 terjadi perdebatan antara masyarakat dengan pihak kepolisin. Pihak
kepolisian mengatakakan setengah mengancam bahwa masyarakat tidak berhak menghadang
alat berat PT. RAPP dengan alasan bahwa hutan bakau tempat naiknya alat berat sudah
diganti rugi oleh pihak perusahaan. Mendengar ancaman pidana dari pihak kepolisian
akhirnya masyarakat meninggalkan lokasi. Dan keesokan harinya…….
Tanggal 28 Maret 2011
“AKSI STEMPEL DARAH dan TAHLIL di DEPAN KANTOR BUPATI”, Masyarakat
sekitar 1000 lebih warga Pulau padang, Mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti dan
melakukan AKSI STEMPEL DARAH. Sebagai wujud perlawanan masyarakat terhadap
masuknya alat Berat PT. RAPP di Pulau padang, dan Bahwa Penolakan Masyarakat terhadap
operasional PT. RAPP di Pulau padang adalah harga Mati. Masyarakat siap mempertahankan
setiap jengkal tanah di Pulau padang. Tahlil sholawat dan takbir tidak henti-hentinya
demikian haru mengirinya masyarakat yang menitiskan setetes Darahnya ke kain putih yang
di pajang di Pagar Kantor Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti di Selatpanjang, sebagai
symbol ketidakrelaan masyarakat yang akan terus memperjuangkan pulau padang dari
kehancuran Pembabatan Hutan secara besar-besaran.
DALAM PADA ITU, sekitar 15 orang perwakilan masyarakat diterima oleh wakil bupati
untuk melakukan dialog terkait tuntutan masyarakat. Dalam pertemuan tersebut hadir hamper
semua pejabat tinggi tinggi di kabupaten kepualauan meranti termasuk juga Kadishutbun
Kep. Meranti Ir. Makmun Murad, Asisten I Setdakab. Drs. Ikhwani. Jawaban Wakil Bupati
Masrul Kasmi dan Makmun Murad adalah kami tidak punya wewenang untuk
menghentikan/menarik mundur 2 unit eskavator yang masukm ke pulau padang. Dan SK
Menhut adalah wewenang Menteri Kehutanan untuk mencabutnya. Sedangkan Makmun
39
Murad dalam menanggapi aspirasi dan pengaduan masyarakat, justru malah mengarahkan
supaya masyarakat menggugat PT. RAPP melalui jalur hukum ke pengadilan.
Tanggal 14 April 2011
Sesuai informasi dari Lokasi Operasional PT. RAPP di Sungai Hiu desa Tanjung Padang
kecamatan Merbau (Pulau Padang), 8 unit eskavator mulai meluluhlantakkan hutan bakau
dan hutan alam yang ada di pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Keberadaaan 8
unit Escavator tersebut sangat memicu amarah warga dan sangat rentan terhadap konflik dan
bentrok fisik antara penduduk dan pekerja lapangan PT. RAPP
Tanggal 14 April 2011
WARGA PULAU PADANG KE JAKARTA YANG KE II
46 perwakilan masyarakat Pulau Padang, berangkat ke Jakarta untuk melakukan aksi jahit
mulut, meskipun setelah selama di sana satu bulan terpaksa harus diurungkan.
Tanggal 21 April 2011
Petani Pulau Padang berjumlah 46 orang di damping STN dan STR Mendatangi Kementerian
Kehutanan dan di sana bertemu dengan Hadi Daryanto (Setjen Kemenhut RI), Imam santoso
(Ditjen Kemenhut), Bedjo Santoso (Dir. Bina Pengembangan Hutan Tanaman), Kabiro
Hukum Kemenhut, Staf Ahli Kemenhut, Ali Tahir dan beberapa pejabat Kemenhut lainya.
Ketika masyarakat mendesak untuk menghentikan dan menarik mundur excavator yang
sedang melakukan operasional, pihak Kementerian Kehutanan berkilah akan mendengar dulu
penjelasan dari pemerintah daerah. Dirjen kehutanan Berjanji hari senin tanggal 25 April
2011, akan mengeluarkan surat pemanggilan Bupati Kepulauan Meranti ke Jakarta, untuk
membahas penolakan masyarakat Pulau padang terhadap operasional PT. RAPP di Pulau
Padang yang dipaksakan.
Tanggal 25 April 2011
Jam 09.00 pagi 46 orang Petani Pulau Padang, melakukan aksi Mogok Makan Massal di
pintu masuk KEMENHUT DAN MENDIRIKAN TENDA. Lebih kurang pada tengahhari
Kemenhut mengeluarkan surat pemanggilan Bupati Kepulauan Meranti Irwan Nasir untuk
datang ke Jakarta pada tanggal 28 April 2011. Tekad Petani Pulau Padang akan melakukan
aksi hingga Menteri Kehutanan benar-benar memberikan jawaban atas tuntutan petani dan
40
mencabut SK Menhut No. 327 tahun 2009 yang memberikan izin pada PT. RAPP di Pulau
Padang serta menunggu Bupati hadir ke Jakarta, namun tepat jam 19.00 para petani
dibubarkan oleh aparat kepolisian dengan alasan melanggar batas waktu unjuk rasa.
Tanggal 26 April 2011
Para Petani Pulau Padang Masih dengan kondisi Mogok Makan dengan menggunakan 2 buah
Bus, membuat pengaduan KE KOMNAS HAM terkait operasional PT. RAPP di Pulau
Padang. Pengaduan para Petani diterima langsung oleh Komisioner Pemantaun dan
Penyelidikan Johny Nelson Simanjuntak. Inti pengaduan menyangkut tiga hal, petama bahwa
SK Menhut No. 327 tahun 2009 telah meresahkan masyarakat Pulau Padang, karena warga
pulau padang akan kehilangan hak hidup dan sumber-sumber kehidupan juga berpotensi
mengadu-domba warga, kedua, dengan masuk dan beropersinya eskavator PT. RAPP ke
Pulau Padang sejak tanggal 27 Maret 2011 adalah bentuk provokasi terhadap warga. Dan
ketiga meminta izin kepada Komnas HAM untuk memberikan tempat bagi para petani untuk
melanjutkan AKSI MOGOK MAKAN. Ketiga tuntutan tersebut pihak KOMNAS HAM
memenuhi semua tuntutan petani dengan jalan akan segera menyurati Pihak Menhut atas
potensi terjadinya pelanggaran HAM atas turunnya SK Menhut No. 327 tahun 2009 dan
memberikan ruang kepada para petani Pulau Padang untuk melanjutkan aksi mogok makan.
Usai pertemuan tersebut petani mendirikan tenda di luar gedung Komnas HAM dan
melanjutkan aksi mogok makan dengan memasang spanduk-spanduk ukuran besar yang
berisikan Peta Pulau Padang dan areal konsesi PT. RAPP di blok Pulau Padang seluas 41.205
ha bertuliskan 1. Hentikan operasional PT. RAPP di Pulau Padang dan 2. Cabut SK Menhut
No. 327 tahun 2009.
Tanggal 27 April 2011
Para petani mandatangi KANTOR KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI(KPK)
untuk melaporkan dugaan adanya korupsi dalam proses dikeluarkannya SK Menhut No. 327
tahun 2009.
Dalam surat pengaduan tersebut perwakilan petani berkas-berkas antara lain:
1. SK No. 327/Menhut-II/2009
2. Rekomendasi Wakil Bupati Bengkalis tahun 2005 tentang penambahan/perluasan areal
kerja IUPHHK-HT atas nama PT. RAPP di Pulau Padang.
41
3. Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor 326/VII/2006 tentang kelayakan lingkungan
kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman di areal tambahan
kabupaten Pelalawan, Siak dan Bengkalis Prop. Riau oleh PT. RAPP
4. Surat Pjs. Bupati Kepulauan Meranti tentang Peninjauan Ulang terhadap IUPHHK-HTI di
Kepulauan Meranti No. 100/TAPEM/189 tahun 2009
5. Surat Bupati Kepulauan Meranti perihal Peninjauan Ulang terhadap IUPHHK-HTI PT.
LUM, PT. SRL dan PT. RAPP No. 100/TAPEM/IX/2010/70
6. Surat DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti prihal Tinjau Ulang izin operasional PT. SRL,
PT. LUM dan PT. RAPP
7. Kronologis Perluasan Areal PT. RAPP oleh Dinas Kehutanan Propinsi Riau, Januari 2010,
yang berisikan 12 item cacat administrasi dalam proses dikeluarkannya SK Menhut No.
327 tahun 2009 dan merekomendasikan untuk di tinjau ulang
8. Petisi atau tanda tangan penolakan masyarakat Pulau Padang terhadap PT. RAPP di Pulau
Padang berbaur menjadi satu baik dari tokoh masyarakat, tokoh agama, RT, RW, Kepala
Dusun, Kepala Desa, perangkat desa, dan BPD.
Berkas-berkas tersebut diterima langsung oleh Kuswanto dari Penerima laporan Pengaduan
Masyarakat.
Tanggal 28 April 2011
Hari yang ke empat para petani Pulau Padang sudah melakukan AKSI MOGOK MAKAN
MASAL berangkat dari POSKO di depan Kantor Komnas HAM jam 06.00 pagi kembali
mendatangi KANTOR KEMENHUT DAN MENDIRIKAN TENDA di depan pintu keluar
masuk Kantor Menteri Kehutanan. Aksi Mogok Makan Massal semakin massif ketika para
mahasiswa asal Riau yang berada di Jakarta yang tergabung dalam Ikatan Pelajar dan
Mahasiswa Riau Jakarta(IPMRJ) ikut ambil bagian dan dan memberikan orasi-orasi tuntutan
untuk mencabut SK No. 327 tahun 2009.
Para petani dengan kondisi yang sangat lemah karena sudah memasuki hari yang keempat
MOGOK MAKAN sambil menanti kehadiran Bupati sebagaimana yang telah dijanjikan
Menhut tidak kunjung tiba, maka sekitar jam 14.00 wib, karena para petani tidak diizinkan
masuk untuk menemui Bupati dan Menteri, para petani memblokir jalan Raya di depan
Kantor Kemenhut. Akibatnya jalan Gatot Subroto depan Kemenhut macet total. Pihak
keamanan yang dari pagi hari mengawal aksi para petani pulau padang yang menuntut
pencabutan SK Menhut No. 327 tahun 2009 kewalahan dan panic sehingga terjadi perdebatan
42
antara pihak keamanan dan para petani. Akhirnya 7 orang perwakilan Petani Pulau padang
diperkenankan untuk masuk dan menemui Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.
Pertemuan para petani dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang didampingi oleh Hadi
Daryanto (Setjen Kemenhut) Iman Santoso (Dirjen), Bedjo Santoso (Direktur Bina
Kehutanan) dan beberapa pejabat lain dilingkungan Kementerian Kehutanan, tidak seindah
bayangan dan harapan, malah justru para petani diprovokasi dan ditantang oleh Menhut.
Pertama, Menhut menyangsikan bahkan tidak percaya bahwa para petani yang sudah
berhari-hari melakukan aksi penolakan Operasional PT. RAPP di Pulua Padang di Jakarta
dan menuntut Pencabutan SK Menhut No. 327 tahun 2009 bukan asli warga Pulau Padang,
kedua, Menhut menyatakan bahwa “pulau Padang tidak berpenghuni”, dan ketiga,
mengancam dengan pernyataanya “saudara-saudara mau demo silakan, satu hari, dua hari,
tiga hari, sebulan, setahun silakan, tapi jangan ganggu kami, kalau ganggu kami saya
lawan”.
Tanggal 11 Mei 2011,
7 (tujuh) orang Perwakilan Petani Pulau Padang mendatangi Mabes Polri di Jakarta guna
untuk mengadukan pernyataan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (tanggal 28 April 2011,
sekitar jam 16.00 WIB ketika menemui masyarakat Pulau Padang)yang menyatakan bahwa
“Pulau Padang tidak berpenghuni berdasarkan laporan Bupati Kepulauan Meranti”.
Pernyataan yang dinilai provokatif, dan meresahkan warga pulau padang.
Senin 30 Mei 2011
900 orang lebih warga pulau padang dari berbagai desa melakukan aksi PENGHENTIAN
OPERASIONAL PT. RAPP “secara paksa” di lokasi operasional Desa Tg. Padang tepatnya
di Sungai Hiu, tepat di jalan koridor. Masyarakat yang sudah cukup marah, di karenakan
Surat Komnas HAM yang di alamatkan Ke Menhut maupun ke Pihak Perusahaan prihal
penghentian Operasional tidak di indahkan baik oleh Menhut maupun pihak perusahaan.
Berduyun-duyun menuju lokasi jalan koredor di Sg Hiu dengan lengkap membawa alat-alat
petani sebagaimana pekerjaan sehari-hari. Tekad masyarakat sudah bulat yakni berperang di
lokasi jika memang pihak perusahaan memaksakan kehendak terus melanjutkan membabat
hutan alam ataupun lahan warga. Nyaris peperangan terbuka pun tak terhindarkan, namun
kecakapan korlap aksi dalam situasi yang cukup mengerikan itu akhirnya dapat dikendalikan.
Seluruh alat petani dalam bentuk benda tajam mampu di kumpulkan dalam sebuah rumah di
pelabuhan Tg. Padang dalam jumlah sesuai jumlah aksi massa.
43
Perdebatan yang dilakukan oleh perwakilan massa aksi dengan pihak perusahaan berjalan
cukup sengit dengan di mediasi oleh pihak kepolisisan. Hingga akhirnya massa
membubarkan diri dan pulang setelah memblokir jalan dengan beberapa pohon kelapa besar
di tengah jalan koredor dengan menancapkan bendera STR, LPTR dan Merah putih serta
memasang sepanduk ukuran besar surat KOMNAS HAM, yang berisi desakan kepada
Menhut dan PT. RAPP untuk menghentikan operasional.
Tanggal 30 MEI 2011 (23.00 WIB.)
Setelah Massa Aksi Pulang Di Kampung halaman masing-masing, menggunakan 6 kapal
pompong, diketahui dari berbagai media local bahwa di areal Jalan Koredor PT. RAPP Sg.
Hiu Desa Tg. Padang, terjadi pembakaran 2 alat berat dan 2 Camp PT. RAPP. Akibat
peristiwa tersebut warga Desa Tanjung Padang diburu pihak aparat meskipun tanpa bukti dan
alasan yang jelas. Beberapa orang warga desa Tg. Padang di tangkap, diantaranya adalah pak
Zainal (warga dusun tanjung padang) rumahnya dikepung pada pagi hari oleh lebih kurang 14
aparat kepolisian bersenjata lengkap dan kemudian dibawa ke Mapolresta Bengkalis untuk
dimintai keterangan. Namun kemudian dilepaskan. Hingga detik ini (tgl 7 Januari
2012)masih ada 24 nama warga Desa Tanjung Padang , yang terus di buru oleh pihak aparat
kepolisian tanpa alasan yang jelas, kebanyakan mereka tidak berani pulang ke desa sampai
saat ini.
Tanggal 9 Juni 2011
PENCULIKAN 3 (tiga) ORANG WARGA DESA LUKIT
Pagi dini hari, sekitar jam 04.00 wib, pasukan keamanan menggunakan 1 kapal Dinas dari
Polres Bengkalis mendatangi beberapa warga desa Lukit dan menculik 3 orang. Solehan (34
tahun) Dalail (54 tahun) dan Yahya (45 tahun). Ketiga orang tersebut diperlakukan seperti
teroris, dengan memborgol kedua tangan dan menutup kepala dengan sebo sambil di pukuli
kepalanya dalam kondisi muka tertutup.
Solehan dan dalail sempat dibawa kedalam kapal aparat yang sudah standby di pelabuhan
desa Lukit. Menyusul kemudian pak Yahya di kroyok oleh lebih kurang 10 orang aparat.
Sempat terjadi adu jotos antara aparat dan pak yahya. Karena pak yahya tidak bersedia di
bawa ke Polres bengkalis dengan alasan pihak kepolisian tidak membawa surat perintah dan
surat penahanan atas nama Yahya.
Sebelum pak Yahya sempat dimasukkan kedalam kapal, setiba mobil yang membawa pak
Yahya di Pelabuhan, masyarakat yang tidak terima atas penangkapan terhadap Solehan,
44
Dalail, dan Yahya. Ratusan warga desa Lukit sudah memblokir pelabuhan dan menghadang
mobil PT Kondur yang digunakan aparat kepolisian untuk membawa pak Yahya. Beberapa
tembakan peringatan dilepaskan aparat, untuk menakuti warga, namun warga tidak peduli.
Akhirnya warga pun menahan pihak aparat. Meskipun aparat berulang kali menodongkan
pistol ke dada beberapa warga, dan sempat juga aparat melepaskan tembakan ke Paha
Sumarno yang memang menghalangi aparat yang akan masuk kedalam kapal.
Akhirnya negosiasi barter pun terjadi. Warga bersedia untuk melepaskan pihak aparat dengan
syarat pak Solehan dan pak Dalail juga dilepaskan dan dikeluarkan dari kapal. Setelah
dilepaskan, Mendengar Laporan bahwa pak dalail dan pak Solehan diperlakukan secara tidak
manusiawi oleh aparat, warga pun marah dan menuntut kasus pemukulan yang dilakukan
oleh aparat untuk diselesaikan di Kantor Desa. Pihak aparat menolak, seketika itulah rentetan
tembakan senjata otomatis tak terhitung jumlahnya pada sekitar jam 06.00 wib. Desakan
warga membuat salah satu aparat menjatuhkan diri ke laut karena di desak warga (di
pelabuhan Jeti PT Kondur) untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Sambil salah
seorang yang berada dikapal menyelamatkan salah seorang aparat yang menjatuhkan diri ke
laut, pihak aparat juga melepaskan tembakan senapan otomatis yang terhitung jumlahnya,
terkadang diarahkan ke warga dan kadang ke atas sambil meninggalkan pelabuhan.
Tanggal 29 Agustus 2011
Warga Pulau Padang di tengah terik Matahari pada bulan puasa, yakni 2 hari menjelang hari
Raya Idul Fitri berbondong-bondong mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti, untuk
yang kesekian kalinya tanpa henti menuntut Pemerintah Daerah dan Pusat untuk
mengabulkan tuntutan cabut SK No. 327 Menhut-II/2009, meskipun penuh dengan pelecehan
oleh Satpol PP, pandangan sinis dan lain sebagainya.
Tanggal 30 Oktober 2011
79 orang warga Pulau Padang berangkat dari pelabuhan desa lukit dengan menggunakan 2
kapal Pompong, dan menuju ke Pekan baru menggunakan 1 bus 4 buah travel. Dan kemudian
mendirikana Posko di Kantor DPRD Prop. Riau.
Tanggal 31 Oktober 2011
79 warga Pulau Padang melakukan Hearing dengan Komisi A DPRD Prop. Riau.
Menyampaikan tuntutan Kepada DPRD Prop. Khususnya Komisi A untuk
merekomendasikan Tinjau Ulang SK. No. 327/ Menhut-II/2009. Komisi A Bagus Santoso,
45
berjanji akan menyampaikan aspirasi warga Pulau Padang tersebut kepada Ketua DPRD
Prop. Riau. Karena jawaban Komisi A, mengambang dan tidak ada ketegasan warga Pulau
Padang mengancam akan melakukan AKSI JAHIT MULUT. Bagus santoso yang juga ketua
Komisi A meyampaikan bahwa beliau tidak punya kewenangan untuk mengeluarkan
rekomendasi tersebut. Wewenang tersebut terletak pada Ketua DPRD.
Tanggal 1 November 2011
Lima orang dari 79 orang melakukan aksi JAHIT MULUT di Masjid Komplek DPRD Prop.
Riau, meraka adalah M. Riduan, Sulatra, Sapridin, Khusaini dan Soim. Aksi jahit mulut ini di
lakukan untuk mendesak para pengambil kebijakan di semua tingkatan, supaya
memperhatikan dan mendengar mempertimbangkan aspirasi yang sudah bertahun-tahun di
suarakan.
Tanggal 2 November 2011
Beberapa perwakilan dari 9 desa di pulau Padang hearing dengan Komisi B dan diterima
langsung oleh Ketua Komisi B T. Azwir. Komisi B berulang-ulang memberikan jawaban
untuk rekomensasi Pencabutan/tinjau ulang SK No. 327 tahun 2009 tidak sesuai dengan
harapan.
Tanggal 3 November 2011
Tiga orang perwakilan warga Pulau Padang menemui Ketua DPRD Prop. Riau Johar Firdaus
di Ruang Kerjanya, terkait dengan tuntutan warga Pulau Padang, jawaban juga masih sama
dan bahkan lebih menyakitkan, dengan mengatakan “Laporan dari Komisi A belum saya baca
dan secara teknis itu wewenang Komisi A, dan permasalahan ini sepenuhnya saya serahkan
kepada Komisi A.
Tanggal 4 November 2011
Empat (4) dari lima (5) orang peserta aksi Jahit Mulut bersama sejumlah 70 warga Pulau
Padang melakukan Aksi ke Kantor Gubernur Riau, agar Gubernur Riau bertanggung jawab
terhadap Operasioanal PT. RAPP di Pulau Padang. Hal itu dikarenakan operasional PT RAPP
di Pulau Padang berdasarkan Surat Izin Koredor yang di keluarkan Oleh Gubernur Riau.
Warga menuntut agar Gubernur Riau Mencabut Rekomendasi yang pernah di keluarkan
untuk izin operasional PT. RAPP di Pulau Padang. Suasana Aksi sempat gempar, wartawan,
46
aparat kepolisian, satpol PP menangis dan menitiskan air mata karena tidak sampai hati dan
haru barangkali melihat salah seorang dari Peserta Aksi Jahit Mulut sempat kejang-kejang
dan pingsan di tengah terik matahari tepat jam 11.00 siang, di depan Pintu Gerbang Kantor
Gubernut. Hal itu terjadi karena sudah 4 hari tidak mengkonsumsi makanan dalam kondisi
mulut di Jahit.
Jam 11.30 wib. Massa Aksi mendatangi Radio Republik Indonesia (RRI) Pekanbaru,
menyiarkan secara langsung penolakan terhadap operasioanal PT. RAPP di Pulau Padang,
dan menuntut kepada Pemerintah Republik Indonesia pada semua tingkatan untuk
mengabulkan tuntutan warga pulau Padang yakni Cabut SK No. 327/Menhut-II/2009 Blok
Pulau Padang seluas 41.205 ha. Jam 14.00 wib beberapa perwakilan warga Pulau Padang
dialog dengan Pejabat Pemprov Riau di Kantor Gubernur, terkait dengan kinerja Tim
Terpadu “PALSU” Pemda Meranti. Hasil dialog adalah Pemprov dan Tim Terpadu berjajni
akan turun ke lapangan. Jika hasilnya ternyata ada tumpang tindih lahan, akan segera
mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin operasioanl PT. RAPP di Blok Pulau Padang.
Namun, kenyataanya kemudian setelah Tim turun ke lokasi areal konsesi dan di dapati
adanya banyak lahan warga yang tertindih dan dirampas pihak perusahaan, Gubernur Riau
tidak juga mengeluarkan Rekomendasi Pencabutan SK. NO. 327 Menhut Tahun 2009 Blok
Pulau Padang.
Tanggal 17 November 2011
Berdasarkan undangan DPD RI dapil Riau, tertanggal 3 November 2011, di gedung DPRD
Prop. Riau yang di Fasilitasi Anggota DPD RI dapil Riau, Drs. H. M. Gafar Usman, MSc,
Intsiawati Ayus, SH,MH, Dra. Hj.Maimanah Umar, MA, Muhammad Gazali, Lc, diadakan
dialog multi pihak dalam rangka menyelesaikan kasus Pulau Padang dan tuntutan warga.
Pertemuan yang dihadiri oleh berbagai pihak, an. Bupati kep. Meranti dan seluruh pejabat
Pemda Meranti, ketua DPRD Prop Riau,Kepala Dinas Kehutanan Prop. Riau, DPD RI dapil
Riau Masyarakat Pulau Padang dll. Namun, lagi-lagi hasilnya sangat-sangat mengecewakan
warga Pulau Padang.
Tanggal 13 Desember 2011
Jam 15.00 wib, Di Masjid Raya Desa Bagan Melibur berkumpul 400an orang dari berbagai
desa dari Pulau Padang, dalam rangka melepaskan 82 orang PESERTA AKSI JAHIT
47
MULUT ke Jakarta. Pelepasan di pimpin oleh kades SAMAUN, S.Sos, alim ulama tokoh
masyarakat dan tokoh agama.
Tanggal 16 Desember 2011
Warga Pulau Padang sampai di JAKARTA, Sampai di Jakarta langsung aksi ke Gedung
Manggala Wanabakti Kemenhut, jl. Gatot Subroto, menghasilkan:
Poin 6: Tuntutan masyarakat Pulau Padang akan ditindak lanjuti sebagai berikut
a. Akan dibuat surat kepada Bupati Kepulauan Meranti untuk menerbitkan rekomendasi
pencabutan HTI atas nama PT. RAPP
b. Akan dibuat surat kepada kepala dinas Kehutanan Provinsi Riau untuk tidak
menerbitkan RKT atas nama perusahaan PT. RAPP
HINGGA SAAT INI MASIH BERTENDA DI DEPAN GEDUNG DPR RI JAKARTA
(DARI 16 DESEMBER 2011—MINGGU 8 JANUARI 2012)
Tanggal 20 Desember 2011
Di depan Gedung DPR RI di Jakarta, 8 orang warga Pulau Padang melakukan AKSI JAHIT
MULUT, tanpa TIM MEDIS, dengan menusukkan jarum secara sendiri-sendiri.
Tanggal 21 Desember 2011
Penambahan 10 Peserta AKSI JAHIT MULUT warga Pulau Padang, yang dibantu oleh TIM
MEDIS, karena tidak adanya respon dari pemerintah
Tanggal 22 Desember 2011
Penambahan Peserta AKSI JAHIT MULUT 10 orang warga Pulau Padang.
Tanggal 27 Desember 2011
Pagi mulai jam 06.00 wib, Warga Pulau Padang dari berbagai desa sekitar 5000an orang laki,
perempuan, anak-anak dengan menggunakan 16 buah kapal kapasitas 400an orang sampai
kapasitas 100an orang dan 300an sepeda motor, menuju Selatpanjang, menduduki Kantor
Bupati Kepulauan Meranti dengan segala perlengkapan memasak, beras, kuwali, panci,
tenda, dll. Massa menolak berdialog, namun massa secara resmi menyerahkan
PERNYATAAN SIKAP tuntutan MASYARAKAT kepada Bupati Kepulauan Meranti yang
di terima langsung oleh Asisten I Kabupaten Kep. Meranti H. Nuriman, dan beberapa pejabat
Pemda yang isinya: meminta Bupati untuk mengeluarkan rekomendasi Pencabutan SK.
48
327/menhut/2009 (Revisi SK No. 327/2009- yakni mengeluarkan hamparan Pulau Padang
seluas 41.205 ha keluar dari SK tersebut). Aksi pendudukan kantor Bupati Kepulauan
Meranti oleh warga Pulau Padang berlangsung hingga 5 hari-4 malam,
Tanggal 28 desember 2011
Massa aksi warga Pulau Padang yang menginap di kantor Bupati tersebut, mendatangi DPRD
Kep. Meranti menuntut sikap tegas DPRD Kep. Meranti terhadap penolakan Terhadap
Operasional PT. RAPP di Pulau Padang.
Tanggal 29 Desember 2011
Massa masih bertahan di depan Kantor BupatiMendengar pernyataan Bupati Kep. Meranti
Via Telp dari SINGAPURA Kepada Korlap Aksi Sumarjan: menanyakan “berapa massa
aksi?” dijawab korlap “mendekati lima ribu orang (5000) orang pak”, bupati menjawab “ apa
tidak Cuma lima ratus (500) orang” Masyarakat di kampung mendengar ejekan Bupati di
atas, tidak lengah, malam jumat meluncur lagi masyarakat Pulau Padang dengan
menggunakan 4 buah kapal, (Kamis Malam Jumat)
Tanggal 29 Desember 2011
ISTIGHOTSAH AKBAR DI DEPAN KANTOR BUPATI, Warga Pulau Padang yang
memang mayoritas adalah warga Nahdliyyin (NU) menggelar Shlat Isya’ berjamaah di Jalan
RAYA, sholat Hajat, ISTIGHOTSAH AKBAR dan wirid yasin, yang di pimpin oleh Tokoh-
tokoh agama dari berbagai Desa; memohon Kepada ALLAH SWT agar tuuntutan warga
Pulau Padang diberikan pertolongan oleh ALLAH SWT.
Tanggal 30 Desember 2011
MASYARAKAT Pulau Padang yang masih berada di kampung meluncur ke kantor Bupati
bergabung dengan 5000an massa yang sudah 3 hari menginap di Depan Kantor Bupati,
sebanyak 500an sepeda motor berboncengan. Masyarakat menolak uang pemberian Bupati,
satu ikat uang pecahan Rp. 100.000, (kira-kira 10.000.000,-) ditolak massa, mereka berteriak
“yang kami butuhkan Rekomendasi Pencabutan/Revisi SK. No. 327 Menhut 2009 BUKAN
UANG” Perwakilan massa 10 orang dialog dengan Bupati di dalam kantor menghasilkan:
Bupati Kepulauan Meranti bersama 3 orang perwakilan Tokoh Masyarakat untuk menemui
menteri kehutanan perihal revisi SK. No. 327 Menhut Tahun 2009.
49
Tanggal 30 Desember 2011 (Di Jakarta)
Warga Pulau Padang mendatangi Kantor Menteri kehutanan, menolak dan mendesak
kemenhut:
1. Meminta kementrian kehutanan segera merealisasikan hasil kesepakatan tanggal 16 dan 27
Desember 2011
2. Moratorium dengan menhentikan opersional PT RAPP di Pulau Padang secepatnya
3. Menolak TIM Mediasi yang di bentuk Kemenhut.
4. Mengundang Menteri Kehutanan untuk bersama-sama masyarakat Pulau Padang untuk ke
lokasi.
Notulensi di tandatangani oleh Kemenhut Sugeng Marsudiarto dan perwakilan masyarakat
Pulau Padang.
Tanggal 4 Januari 2012
Bupati KEPULAUAN MERANTI, RIAU di kroyok RIBUAN massa dan di SIRAM AIR
hingga 2 kali oleh seorang ibu yang di ajak bersalaman tidak lama turun dari mobil SERTA
di USIR dari pulau PADANG. Ribauan Massa menyerbu Kantor CAMAT MERBAU, setelah
mendengar Bupati yang agendanya adalah ke JAKARTA untuk pertemuan dengan Menhut
dan warga Pulau Padang, malah datang ke Pulau Padang.(Sumber: Rajiono warga desa
Lukit/saksi mata)
Tanggal 5 Januari 2012
Warga Pulau Padang 90an orang, yang berada di Jakarta mendatangi Kemenhut untuk
pertemuan denga Bupati dan Menteri Kehutanan. Namun pertemuan hanya dilakukan dengan
Kemenhut dan 20 orang perwakilan masyarakat. Pulau Padang yang juga di sertai oleh
Anggota DPD RI asal Riau INSTIAWATI AYUS, menghasilkan;
1. Agenda hari Jumat tgl 6 Januari 2012 untuk pertemuan dengan Bupati Kep. Meranti dan
Menteri Kehutanan dari masyarakt sejumlah orang yang sama pada pertemuan saat ini
(tgl 5 Januari 2012)
2. Kemenhut siap untuk mengeluarkan surat Pencabutan/revisi SK. No. 327 Menhut/2009
dengan MENGELUARKAN HAMPARAN PULAU PADANG dari SK. No. 327
Menhut tahun 2009 seluas 41.205 ha jika Bupati Kepulauan Meranti merekomendasikan
pencabutan/revisi SK. Menhut tersebut.
Tanggal 6 Desember 2012
50
Jam 13.00 wib, Massa warga Pulau padang mendatangi Kemenhut, sampai di pintu masuk
GEDUNG GRAHA WANA BAKTI, Kemenhut hanya meminta perwakilan tiga (3) orang
sebagaimana permintaan bupati dengan Mengatakan “tiga orang perwakilan masyarakat
pulau padang saya tunggu lima (5) menit, jika tidak mau say akan pulang…….!”
Masyarakat Pulau Padang yang sudah hamper satu bulan bertenda di Depan Gedung DPR RI,
MENDENGARpenyampaian Pihak Kemenhut pun kemudian massa Warga Pulau Padang
bersikukuh, justru seharusnya yang bisa masuk menjadi 23 orang, tapi kenapa hanya di
izinkan Tiga (3) orang, sebagaimana di sampaikan oleh pihak Kemenhut.
Jam 14.30 wib ibu Instiawati Ayus anggota DPD RI menghampiri warga masyarakat
Pulau Padang, setelah menyampaikan banyak hal kepada Media Massa/wartawan, kemudian
mengajak empat (4) orang perwakilan untuk menemui Ketua DPD RI H. Irman Gusman, dan
Sekjen DPD RI Siti Nurbaya (Mantan Setjen Kemendagri) di lantai 7 gedung DPR RI.
Perwakilan masyarakat Pulau Padang menyampaikan semua aspirasi dan lika-liku perjuangan
Masyarakat Pulau Padang menolak kehadiran PT. RAPP di Pulau Padang, sejak
dikeluarkannya SK. No. 327 Menhut tahun 2009, (sebagaimana dalam kronologis Penolakan
ini) H. Irman Gusman Ketua DPD RI berjanji akan menyelesaikan permasalahn penolakan
warga Pulau Padang. Beliau mengatakan “percayakan pada kami persoalan bapak-bapak,
kami juga sama seperti bapak-bapak, kita sama-sama berjuang”, bahkan ketika salah satu
perwakilan menyampaikan tentang data-data kepalsuan PT. RAPP dan akan menunjukan
kepada beliau, beliau mengatakan “udah, udah kami percaya apa yang semua bapak-
bapak sampaikan”. Masyarakat menyampaikan bahwa peta satelit tahun 2002 yang di
publikasikan oleh PT. RAPP adalah PEMBOHONGAN yakni dengan menonjolkan tingkat
degradasi hutan dan tingkat deforestasi dan penurunan emisi yang tinggi di Pulau Padang
adalah tidak benar. Hampir semua data yang tercantum dalam AMDAL PT. RAPP tidak
benar karena ketebalan gambut Pulau Padang hanya berkisar 1-2 m. Perwakilan masyarakat
memiliki data dan dokumen pembanding hasil penelitian/pengeboran April 2011 (Oka
Karyanto dkk), dan data ketebalan gambut di Pulau Padang yang mencapai 12 meter
(Brady, 1997) yang secara ilmiah bahwa Pulau Padang dengan segala karateristik dan
kelebihannya tidak layak untuk di HTI kan.
Tanggal 8 Januari 2012
51
Warga Pulau Padang Masih tetap bertahan dan bertenda di depan gedung DPR RI, kehujanan,
kepanasan, makan apa adanya dan tidak akan pulang sebelum SK. No. 327 Menhut tahun
2009 di revisi dengan mengeluarkan Hamparan Pulau Padang di keluarkan dari SK.Tersebut.
C. HASIL PERTEMUAN DENGAN STAKEHOLDER
Berdasarkan SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011 tentang Pembentukan Tim
Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang Kabupaten
Kepulauan Meranti Provinsi Riau, salah satu tugas Tim Mediasi adalah melakukan pertemuan
dengan berbagai stakeholder terkait dengan tuntutan masyarakat. Bagian ini mencoba
menggambarkan rangkuman hasil pertemuan dengan para stakeholder terkait.
1. Pertemuan Dengan LSM
Pertemuan dengan LSM dilakukan di Pekanbaru pada pada hari Kamis, 05 Januari 2012
di Sekretariat Jikalahari Jl. Angsa 1 No 4A Pekanbaru, Riau. Selama pertemuan dan
berdasarkan data-data yang diberikan kepada tim mengemuka isu-isu terkait lingkungan
dan perizinan.
Terkait dengan isu-isu lingkungan, berdasarkan wawancara dan data-data, dapat
disimpulkan isu lingkungan ini bertumpu pada hal-hal sebagai berikut :
1. Pulau Padang adalah pulau kecil yang diatur secara khusus.
2. Pulau Padang adalah pulau Gambut Dalam.
3. Pembukaan hutan gambut secara besar-besaran di Pulau Padang akan menyebabkan
pulau itu akan tenggelam.
Tabel di bawah ini menggambarkan selintas pernyataan dan sikap masyarakat dan LSM
terkait dengan isu lingkungan ini.
Aktor SumberSurat Pernyataan Media
Masyarak "Kawasan HTI itu merupakan hutan gambut berkedalaman
52
at lebih dari 6 meter. Semestinya tak boleh jadi HTI," kata Isnadi Esman, perwakilan warga”
"Kalau lahan gambut dibabat dan tanaman kayu diambil, pulau ini akan tenggelam," ujar M Ridwan, salah seorang warga. Perluasan penguasaan HTI mengakibatkan sebagian tanah garapan masyarakat terampas.
(http://megapolitan.kompas.com/ read/ 2011/12/21/ 05373320 / Jahit.Mulut.Perjuangan. Warga.Pulau.Padang)
LSM Hasil interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksi ground-check ketinggian tajuk tegakan pohon pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pemukiman dan kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga adanya rencana HTI dengan kanalisasi besarbesaran berpotensi menyebabkanPercepatan tenggelamnya Pulau Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat pemanasan global. (pernyataan sikap Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari lsm, ormas dan organisasi mahasiswa No: Istimewa/I/2012 )
Hasil interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksi ground-check ketinggian tajuk tegakan pohon pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pemukiman dan kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga adanya rencana HTI dengan kanalisasi besar-besaran berpotensi menyebabkan percepatan tenggelamnya Pulau Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat pemanasan global.
(http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/siaran-pers/1961-organisasi-masyarakat-sipil-yang-terdiri-dari-lsmormas-dan-organisasi-mahasiswa.html)
PT RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper), a subsidiary of Indonesian pulp and paper giant APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd), is targeting the clearing of 23,914 hectares of peatland forest on Pulau Padang, a small island in Riau Province, Indonesia. The peatland forest that is targeted for clearance is quite intact in the PT RAPP concession, which in all covers an area of 41,205 hectares, or more than half of the land area of Singapore. (Grenomic 2012, APRIL must refrain from pulping peatland forest on a small Indonesian island )
Selain isu lingkungan di atas, sejak lama masyarakat sipil (LSM) menyampaikan analisis
terkait dengan perizinan dan lingkungan yang terangkum dalam “PERNYATAAN
SIKAP ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL YANG TERDIRI DARI LSM, ORMAS
DAN ORGANISASI MAHASISWA No: Istimewa/I/2012, Tanggal 5 Januari 2012”,
sebagai berikut :
53
A. Isu AMDAL
Proses AMDAL yang bertentangan dengan PP 27/1999 pasal 16 ayat 4 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, khususnya ketidaksesuaian peruntukan kawasan
hutan yang dicadangkan sebagai areal HTI dengan dokumen TGHK, RTRWN, RTRWP
Riau (Perda No. 10 tahun 1994), dan RTRWK Bengkalis (Perda No. 19 tahun 2004).
Dalam pengambilan data-data di lapangan saat penyusunan AMDALtim penyusun tidak
mengambil sampel biofisik lapangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berkaitan dengan AMDAL, antara lain :
1. Tim penyusun AMDAL tidak melakukan pengukuran sampel kedalaman lahan
gambut secara representatif dan akurat.
a) Menurut data ANDAL kedalaman gambut di areal pencadangan HTI secara umum
< 2,5 m, dan sebagian kecil saja yang ketebalan gambutnya antara 2,5 – 5 meter
(sumber: Dokumen ANDAL Areal tambahan PT. RAPP, 2006 halaman V-32), .
b) Menurut hasil penelitian Fakultas Kehutanan UGM kedalaman gambut (sebanyak
70 titik bor) di Pulau Padang > 3 meter, bahkan dibanyak tempat kedalaman
gambutnya > 6,5 meter).(Penjelasan lebih lanjut silahkan dibaca pada Lampiran
2. Pengelolaan Landskape Pulau Padang)
c) Menurut Disertasi Michael Allen Brady Universitas British Columbia (sekarang
menjabat Executive Director GOFC-GOLD (Global Observation of Forest and
Land Cover Dynamics (GOFC-GOLD)GOFC-GOLD adalah Panel of the Global
Terrestrial Observing System (GTOS), yang disponsori oleh FAO, UNESCO,
WMO, ICSU and UNEP yang mengambil Pulau Padang sebagai site kajian utama,
menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan Pulau Padang memiliki kedalaman
gambut 9 – 12 meter. (penjelasan lebih lanjut tentang Disertasi tersebut silahkan
dilihat pada Lampiran 3.)
Menurut Keppres 32/1990, dan PP No. 47/1997, kawasan gambut dengan kedalaman
> 3 meter yang berada di hulu sungai dan rawa termasuk kawasan lindung. Menurut
Keppres 32/1999 pasal 37 ayat 1 tentang Pengendalian Kawasan Lindung,
menyebutkan bahwa di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan
budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung. Pengusahaan HTI skala
54
besar yang menggunakan sistem land clearing dan silvikultur THPB akan
menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi lindung di kawasan Pulau Padang.
2. Tim penyusun AMDAL tidak melakukan survey sosial pada masyarakat terdampak akibat
operasional HTI (sesuai PP 27/1999 pasal 34), khususnya di Desa Lukit dimana sebagian
besar areal HTI termasuk wilayah administratif desa tersebut. Tetapi lokasi survey sosial
Tim penyusun AMDAL justru ke Desa Tanjungkulim dan Desa Kurau yang lokasinya
berada diluar areal HTI. (sumber: Dokumen ANDAL Areal Tambahan PT. RAPP Halaman
V-68 s.d. V-82).
3. Hasil interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksiground-check ketinggian tajuk tegakan
pohon pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan
pemukiman dan kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga
adanya rencana HTI dengan kanalisasi besar-besaran berpotensi menyebabkan percepatan
tenggelamnya Pulau Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat
pemanasan global
B. Dampak Lingkungan Yang Berasal Dari Menurunnya Permukaan Tanah
Seperti yang diuraikan di atas, Masyarakat Sipil dan LSM berpendapat bahwa hasil
interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksi ground-check ketinggian tajuk tegakan pohon
pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pemukiman dan
kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga adanya rencana HTI
dengan kanalisasi besar-besaran berpotensi menyebabkan percepatan tenggelamnya Pulau
Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat pemanasan global.
Indikasi ini sudah terbukti di lapangan, dimana masyarakat Pulau Padang dalam beberapa
tahun terakhir ini sudah mengalami bencana banjir rob/pasang air laut. Padahal sampai
dengan saat ini belum ada pembelajaran tentang dampak kanalisasi HTI skala besar terhadap
keseimbangan ekosistem pulau-pulau kecil.
C. Isu Deforestasi Pulau Padang
1. Telah terjadi pembentukan opini oleh PT. RAPP berkaitan dengan tingkat deforestasi
di kawasan Pulau Padang yang dilakukan saat forum Sosialisasi kepada komponen
masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti tanggal 30 Oktober 2010:
55
2. Menurut analisis peta Citra Landsat tahun 2002 yang dilakukan PT. RAPP, kawasan
kebun karet dan kebun sagu (yang dikelola masyarakat Pulau Padang selama puluhan
tahun) diidentifikasi sebagai areal deforestasi, sehingga tingkat deforestasi di Pulau
Padang termasuk kategori tinggi. Kenyataan ini akan dapat mempengaruhi para pihak
yang berkepentingan dalam mengambil keputusan yang berpotensi menguntungkan
PT. RAPP terutama dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan Pulau Padang di
masa depan. (penjelasan lebih lanjut dapat dibaca pada Lampiran 4.)
3. Menurut hasil analisis peta citra Landsat pada tahun 2002 dan Citra Landsat tahun
2010 yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan UGM, ternyata laju deforestasi di
Pulau Padang selama rentang waktu 2002-2010 sangat minimum. (penjelasan lebih
lanjut dapat dibaca pada Lampiran 2.)
4. Kreteria Areal IUPHHK-HTI Kontroversi kriteria areal yang dapat dijadikan
IUPHHKHT/HTI (1). UU 41/1999 tentang Kehutanan; (2). PP 6/1999 tentang
Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi; (3). Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan; (4).
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; (5).
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 10.1/Kpts-II/2000 Tentang Pedoman
Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman; (6).
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 21/Kpts-II/2001 Tentang Kriteria Dan Standar
Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi; dan
(7). Keputusan Menteri Kehutanan No: SK. 101/Menhut-II/2004, jo
P.05/Menhut-II/2004 tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman untuk
Pemenuhan Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas).
D. Isu Pulau Kecil
Berdasarkan UU No 27/2007 pasal 1 ayat 3 yang dimaksud Pulau Kecil adalah pulau
dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometerpersegi) beserta
kesatuan ekosistemnya. Di dalam UU No 27/2007 pasal 23 ayat 2 dinyatakan
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah
satu atau lebih kepentingan berikut: a). konservasi; b). pendidikan dan pelatihan; c).
penelitian dan pengembangan; d). budidaya laut; e). pariwisata; f). usaha perikanan dan
kelautan dan industri perikanan secara lestari; g). pertanian organik; dan/atau h).
56
peternakan. Pada pasal 23 ayat 3, kegiatan lain diperbolehkan namun wajib memenuhi
persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan sistem tata air
setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Mendasar pada pasal 23
UU No 27/2007 tersebut, maka pengelolaan kawasan Pulau Padang tidak diperuntukan
untuk kegiatan pengusahaan hutan.
E. Isu Lain
SK 327/Menhut-II/2009 menggunakan Keputusan Gubernur Riau no. Kpts 667/XI/2004
yang telah kadaluarsa sebagai konsideran.
Selain itu, berkembang pula isu mengenai moratorium gambut terkait dengan Inpres No
10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola
Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini dikeluarkan bulan Mei 2011 untuk
memerintahkan 10 Institusi Pemerintah segera mengambil langkah-langkah penurunan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan menunda pemberian izin baru hutan
alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan
produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat
dikonversi) dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif
Penundaan Izin Baru yang menjadi Lampiran Instruksi Presiden. Merespons Inpres ini,
Kementerian Kehutanan pun mengeluarkan SK 323/Menhut-II/2011 tentang Penetapan
Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan
Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain.
Salah satu wilayah yang dimoratorium oleh SK ini adalah sebagian dari sebelah utara
Pulau Padang (lihat peta).
57
Ket: warna hijau adalah wilayah moratorium & Warna Merah adalah Wilayah Gambut
Inpres tidak hanya melarang izin di lahan gambut dengan kedalaman tertentu tetapi
mencakup seluruh lahan gambut yang belum dibebani izin. Isu Pulau Padang kemudian
dikaitkan dengan moratorium gambut dan statement Internasional Presiden untuk
mengurangi emisi 26% dalam KTT G-20 di Pittsburg 25 September 2009
Selain temuan-temuan diatas, secara khusus perwakilan LSM Riau, yaitu Raflis
menyampaikan hal-hal sebagai berikut dalam pertemuan Pakar sebagai anggota Tim dari
Oka Karyanto, S.Hut:
1. Ada indikasi izin HTI PT. RAPP bermasalah, karena bertentangan dengan RTRWN,
RTRWP, dan RTRWK.
2. Diduga AMDAL HTI PT. RAPP di Pulau Padang bermasalah
3. Terkait butir 1 dan 2, perlu pemeriksaan lebih dalam oleh pihak yang berwenang dan
kompeten.
1. Perusahaan
58
Tim mediasi menjalankan pertemuan dengan perusahaan di Manggala Wanabakti pada
hari Senin Tanggal 9 Januari 2011. Perusahaan telah melakukan upaya penanganan
masalah sosial di Pulau Padang melalui :
1. Sosialisasi tentang rencana pembangunan HTI PT. RAPP di Pulau Padang antara lain :
a. Pertemuan dengan kepala desa dan tokoh masyarakat Dusun Merbau, Lukit pada
tanggal 25 Juni 2009.
b. Mengajak tokoh masyarakat dan aparat desa Tanjung Padang dan Lukit ke RAPP pada
tanggal 26-26 Juli 2009.
c. Pertemuan dengan kelompok pelajar Meranti tanggal 18 Agustus 2010.
d. Pertemuan dengan tokoh masyarakat Sei Hiu tanggal 19 September 2010.
e. Sosialisasi rencana operasional HTI PT. RAPP kepada Serikat Tani Riau (STR) pada 29
Oktober 2010.
2. Program pengembangan masyarakat di Pulau Padang antara lain :
a. Training Pertanian Terpadu di Training Center PT. RAPP yang diikuti 31 orang dari P.
Padang yang terdiri tiga kelompok yaitu 30 Nov 2009, 12 Mei 2010 dan 13 Juli 2010.
b. Pembentukan kelompok tani sebanyak 65 keluarga di Desa Teluk Belitung, Lukit dan
Tanjung Padang.
c. Pembagian sarana produksi pertanian melalui kelompok tani di Desa Lukit, Tanjung
Padang, dan Teluk Belitung pada Agustus & Oktober 2010.
d. Bantuan beasiswa untuk 26 siswa SMP selama satu tahun dan 5 siswa SMU selama
satu tahun, pada 2009. Bantuan beasiswa 290 siswa tahun 2010 serta bantuan
komputer.
e. Pembuatan taman bacaan di Lukit dan Desa Pulau Padang sebanyak 1000 judul buku
pada Oktober 2009.
f. Pelatihan guru di Pekanbaru pada 2-5 Agustus 2010 yang diikuti 5 guru.
g. Pembangunan infrastruktur seperti bantuan pembangunan masjid Ar Rahman di Lukit,
Kubah masjid Tanjung Padang pada September 2009.
h. Bantuan meja kursi sekolah sebanyak 100 set pada Juni 2010.
i. Pemeriksaan kesehatan masyarakat Oktober dan Nopember 2009 di Desa Tanjung
Padang dan bantuan nutrisi tambahan untuk 100 anak di Desa Tanjung Padang.
j. Pelatihan mekanik motor pada Oktober 2009 dan Juni 2010 di Desa Lukit, Tanjung
Padang dan Teluk Belitung.
k. Bantuan bingkisan lebaran 400 paket di 11 Desa di Pulau Padang pada Nopember 2009.
59
3. Penandatangan kesepakatan Bersama masyarakat 14 desa dengan PT. RAPP tanggal 27
Oktober 2011 yang difasilitasi tim terpadu pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti.
Belakangan 3 kepala desa yaitu desa Mengkirau, Bagan Melibur dan Lukit telah mencabut
dukungan terhadap kesepakatan tersebut. Kesepakatan ini berisikan mekanisme atau tata cara
penyelesaian konflik jika areal RAPP tumpang tindih dengan hak masyarakat setempat dan
pembangunan tanaman kehidupan
Berdasarkan hal-hal tersebut Perusahaan menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
1) Terkait dengan Isu lahan
Perusahaan menjalankan operasional IUPHHK-HTI di Pulau Padang berdasarkan izin
yang diberikan pemerintah dan dalam hubungannya dengan masyarakat, perusahaan
berpedoman kepada Surat Kesepakatan Bersama No. 001/PPD-KM/X/2011 Tentang
Pengelolaan IUPHHK-HTI PT. RAPP di Pulau Padang Kecamatan Merbau, Kabupaten
Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Perusahaan menyampaikan data tentang tumpang
tindih areal IUPHHK-HTI yang dimilikinya dengan wilayah masyarakat sebagai berikut :
Tabel List Klaim Lahan Pulau Padang Per 31 Desember 2011NO NAMA/POKTAN DUSUN LUASAN YANG
TELAH DISELESAIKAN
LUASAN DALAMPROSES
PENYELESAIAN
KETERANGAN
DESATANJUNG PADANG
1 ASING CS SEI.LABU 90.11 Ha 27 Juli 2011
2 ABAS CS SEI.LABU 270.3 Ha 12-Sep-l 13 PUTRI PUYUH I&II
(KheruddinCs)TANJUNG PADANG
292.92 Ha 20 Okt 2011
4 AMBANG SEJAHTERA (Auzar Cs)
SEI.HIU 21.75 Ha 20 Okt 2011
5 PERMATA HIJAU (Auzar dan Endang Cs)
SEI.HIU 37.5 Ha 20 Okt 2011
6 ABAS CS Tahap II SEI.LABU 60.22 Ha 12-Nov-ll7 RAMLAN (KT.
Makmur, KT. Seroja,dan Pribadi)
SEI.HIU 57.1 Ha Desember 2011
8 AIZAN SEI.HIU0.
Ha sdg dalam proses
60
9 ASING CS Tahap II (JAYA INDAH dan KanikC s)
SEI.LABU2.
Ha sdg dalam proses
10 ARIL CS (KT. USAHA BERSAMA)
SEI HIU2.
Ha sdg dalam proses
11 RAMLI (KT. MAJU SEJAHTERA)
SEI HIU Ha sdg dalam proses
12 KLAIM DUSUN SUNGAI PERMATA
SEI.PERMATA 772.125
Ha sdg dalam proses
TOTAL 8955 Ha 1019.765
Ha
Lampirkan tabel penyelesaian Pemilik Lahan Sei Kuat-Perusahaan
2) Terkait Dengan Isu Lingkungan
Terkait dengan masalah-masalah lingkungan di Pulau Padang, PT. RAPP menjawab
dengan melakukan pendekatan Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (HCV).17
Langkah-langkah yang dilakukan diantaranya melakukan beberapa penelitian sebagai
berikut :
1. INRR mengenai penilaian awal HCV, Pulau Padang pada Tahun 2005
Penelitian ini menghasilkan hal-hal sebagai berikut :
1. Kesimpulan
a. Di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang)
teridentifikasi sebanyak 7 HCVF, meliputi : HCVF1 (HCVF-1.1, HCVF-1.2,
dan HCVF-1.3), HCVF-2 (HCVF-2.2), HCVF-4 (HCVF-4.2 dan HCVF-4.3),
dan HCVF-6.
17 Kawasan bernilai konservasi tinggi (KBKT) atau High Conservation Value Areamerupakan suatu kawasan yang memiliki satu atau lebih dari nilai konservasi tinggi(NKT).
61
b. Areal-areal di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang)
yang mengandung HCVF, meliputi : KLG dan buffer KLG (7.444 ha), areal
riparian (2.931,4 ha), dan lokasi tempat keramat/situs budaya.
c. Di areal KLG dan buffer KLG mengandung HCVF-1 (HCVF-1.1, HCVF-1.2,
HCVF-1.3' HCVF-2 (HCVF-2.2), HCVF-4 (HCVF-4.2 dan HCVF-4.3).
d. Di areal riparian mengandung HCVF-1 (HCVF-1.2, HCVF-1.3), HCVF-2
(HCVF-2.2 dan HCVF-4 (HCVF-4.2).
2) Rekomendasi
Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis keberadaan HCVF serta permasalahan
seperti diuraikan di atas, maka untuk memastikan kelestarian spesies dilindungi dan
terancam punah serta pemulihan kualitas daya dukung kawasan lindung dan
sempadan sungai, berikut ini disajikan beberapa rekomendasi pengelolaan dan
pemantauan HCVF yang perlu dilakukan oleh unit manajemen PT. Musi Hutan
Persada, sebagai berikut :
1. Pengelolaan HCVF
a) Penyusunan rencana pengelolaan HCVF secara detail. Kegiatan ini
dimaksudkan agar pengelolaan areal HCVF yang akan dilakukan lebih
terarah dan tepat sasaran sesuai skala prioritas dan urgensi permasalahan
yang dihadapi;
b) Pemantapan areal HCVF, mencakup kegiatan : (1) penataan batas secara
partisipatif, (2) pengamanan areal, dan (3) sosialisasi areal HCVF kepada
pihak terkait;
c) Pengelolaan areal HCVF, mencakup kegiatan : (1) inventarisasi dan
identifikasi areal HCVF yang rusak, (2) penyusunan rencana pengelolaan
areal HCVF, dan (3) rehabilitasi/perbaikan areal HCVF yang rusak.
Berkaitan dengan upaya rehabilitasi areal HCVF, maka ada dua kegiatan
utama yang perlu dilakukan, meliputi : (1) penyusunan rencana
rehabilitasi yang memuat aspek (a) pemilihan jenis tumbuhan, (b)
penentuan jenis bibit yang akan ditanam, (c) desain penanaman, dan (d)
penetapan sistem penanaman; dan (2) pelaksanaan rehabilitasi areal
HCVF sesuai kerangka rencana yang sudah disusun,
62
d) Penguatan Kelembagaan dalam pengelolaan HCVF, mencakup aspek : (1)
penataan organisasi; (2) penyusunan sistem pemanfaatan HHNK oleh
masyarakat secara lestari; (3) penyusunan SOP, juklak dan juknis
pengelolaan dan pemantauan HCVF; (4) peningkatan SDM; (5)
pengadaan sarana prasarana untuk perlindungan, pengamanan,
pemantauan areal HCVF; dan (6) penguatan kelembagaan di tingkat
masyarakat.
3) Pemantauan HCVF
Agar usaha pemantauan HCVF lebih efisien dan efektif, maka perlu dilakukan hal-
hal sebagai berikut:
a. Penyusunan rencana pemantauan HCVF yang mencakup pemantauan flora,
fauna dan pemanfaatan hasil hutan non-kayu (HHNK) oleh masyarakat
melalui kegiatan pengumpulan bahan dan informasi, serta penyusunan rencana
pemantauan lima tahun (RKL) dan rencana tahunan.
b. Pelaksanaan pemantauan secara periodik setiap tahun terhadap flora dan fauna
serta pemanfaatan HHNK oleh masyarakat, berdasarkan kerangka rencana
pemantauan HCVF yang telah disusun dengan melakukan kegiatan-kegiatan :
(1) survei flora, fauna dan pemanfaatan HHNK oleh masyarakat, (2)
pengolahan data/informasi, penilaian (evaluasi) hasil survey, dan (3)
penetapan upaya perbaikan untuk pengelolaan selanjutnya berdasarkan hasil
survey dan penilaiannya.
4) Pendampingan Pengelolaan dan Pemantauan HCVF
Dalam rangka implementasi rencana pengelolaan dan pemantauan HCVF di
kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang), maka perlu
dilakukan kegiatan pendampingan oleh lembaga yang berkompeten, mulai dari
kegiatan penyusunan rencana detail pengelolaan dan pemantauan areal HCVF di
wilayah tersebut, serta implementasi kegiatan pengelolaan dan pemantauannya.
2. Laporan akhir identifikasi dan analisis keberadaan HCV di Kawasan Hutan
IUPHHK-HTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper (Pulau Padang, Propinsi Riau) oleh
Fakultas Kehutanan IPB, 2008.
63
Penelitian ini menghasilkan hal-hal sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1) Di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang)
teridentifikasi sebanyak 7 HCVF, meliputi : HCVF1 (HCVF-1.1,
HCVF-1.2, dan HCVF-1.3), HCVF-2 (HCVF-2.2), HCVF-4
(HCVF-4.2 dan HCVF-4.3), dan HCVF-6.
2) Areal-areal di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau
Padang) yang mengandung HCVF, meliputi : KLG dan buffer KLG
(7.444 ha), areal riparian (2.931,4 ha), dan lokasi tempat
keramat/situs budaya.
3) Di areal KLG dan buffer KLG mengandung HCVF-1 (HCVF-1.1,
HCVF-1.2, HCVF-1.3' HCVF-2 (HCVF-2.2), HCVF-4 (HCVF-4.2
dan HCVF-4.3).
4) Di areal riparian mengandung HCVF-1 (HCVF-1.2, HCVF-1.3),
HCVF-2 (HCVF-2.2 dan HCVF-4 (HCVF-4.2).
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis keberadaan HCVF serta permasalahan
seperti diuraikan di atas, maka untuk memastikan kelestarian spesies dilindungi
dan terancam punah serta pemulihan kualitas daya dukung kawasan lindung dan
sempadan sungai, berikut ini disajikan beberapa rekomendasi pengelolaan dan
pemantauan HCVF yang perlu dilakukan oleh unit manajemen PT. Musi Hutan
Persada, sebagai berikut :
1) Pengelolaan HCVF
a. Penyusunan rencana pengelolaan HCVF secara detail. Kegiatan ini
dimaksudkan agar pengelolaan areal HCVF yang akan dilakukan lebih
terarah dan tepat sasaran sesuai skala prioritas dan urgensi
permasalahan yang dihadapi;
b. Pemantapan areal HCVF, mencakup kegiatan : (1) penataan batas
secara partisipatif, (2) pengamanan areal, dan (3) sosialisasi areal
HCVF kepada pihak terkait;
64
c. Pengelolaan areal HCVF, mencakup kegiatan : (1) inventarisasi dan
identifikasi areal HCVF yang rusak, (2) penyusunan rencana
pengelolaan areal HCVF, dan (3) rehabilitasi/perbaikan areal HCVF
yang rusak. Berkaitan dengan upaya rehabilitasi areal HCVF, maka ada
dua kegiatan utama yang perlu dilakukan, meliputi : (1) penyusunan
rencana rehabilitasi yang memuat aspek (a) pemilihan jenis tumbuhan,
(b) penentuan jenis bibit yang akan ditanam, (c) desain penanaman, dan
(d) penetapan sistem penanaman; dan (2) pelaksanaan rehabilitasi areal
HCVF sesuai kerangka rencana yang sudah disusun,
d. Penguatan Kelembagaan dalam pengelolaan HCVF, mencakup aspek :
(1) penataan organisasi; (2) penyusunan sistem pemanfaatan HHNK
oleh masyarakat secara lestari; (3) penyusunan SOP, juklak dan juknis
pengelolaan dan pemantauan HCVF; (4) peningkatan SDM; (5)
pengadaan sarana prasarana untuk perlindungan, pengamanan,
pemantauan areal HCVF; dan (6) penguatan kelembagaan di tingkat
masyarakat.
2) Pemantauan HCVF
Agar usaha pemantauan HCVF lebih efisien dan efektif, maka perlu
dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Penyusunan rencana pemantauan HCVF yang mencakup pemantauan
flora, fauna dan pemanfaatan hasil hutan non-kayu (HHNK) oleh
masyarakat melalui kegiatan pengumpulan bahan dan informasi, serta
penyusunan rencana pemantauan lima tahun (RKL) dan rencana
tahunan.
b. Pelaksanaan pemantauan secara periodik setiap tahun terhadap flora
dan fauna serta pemanfaatan HHNK oleh masyarakat, berdasarkan
kerangka rencana pemantauan HCVF yang telah disusun dengan
melakukan kegiatan-kegiatan : (1) survei flora, fauna dan pemanfaatan
HHNK oleh masyarakat, (2) pengolahan data/informasi, penilaian
(evaluasi) hasil survey, dan (3) penetapan upaya perbaikan untuk
pengelolaan selanjutnya berdasarkan hasil survey dan penilaiannya.
3. Pendampingan Pengelolaan dan Pemantauan HCVF
65
Dalam rangka implementasi rencana pengelolaan dan pemantauan HCVF di
kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang), maka perlu
dilakukan kegiatan pendampingan oleh lembaga yang berkompeten, mulai
dari kegiatan penyusunan rencana detail pengelolaan dan pemantauan areal
HCVF di wilayah tersebut, serta implementasi kegiatan pengelolaan dan
pemantauannya.
4. HCV Rapit Risk Assessment Report for RKT 2010 in Southern Padang Island, Ideas
Consultancy Service, 2010
Penelitian ini memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1) In southern part of Padang Island HCV 1.1; HCV 1.2; HCV 4.1; HCV 4.2;
HCV 4.3 HCV 5 are PRESENT. HCV 1.3; HCV 2.3; HCV 3 are potentially
PRESENT. HCV 1.4. HCV 2.1, HCV 2.2, and HCV 6 are ABSENT, (see
Annex 1)
2) With the presence of several HCVs, several recommendations, monitoring
and evaluation related to RKT 2010 such as elaborated in Annex 1 shall be
established to create such pre-condition to support the forest operational in
RKT 2010. Under certain circumstances where these are not applies then
RAPP will face with serious problems related to land conflict with local
community, environmental degradation along the riparian and coastal areas,
and water subsidence that is unsuitable with the ideal condition for peat
land ecosystem management.
3) Particularly for social aspect, RAPP shall put more focus on several
important measures such as: Conflict Resolution including conflicts
mapping, Tenurial Reinforcement, and FPIC implementation
4) RAPP needs to create a flagship to promote brand image that RAAP is a
Pro Poor and Pro Conservation company. This can be done by establishing
a community based agroforestry scheme focusing on the southern part of
Padang Island.
5) Based on analysis from map-based tenurial conflict as it is presented in
Figure 35, there was a secure zone to conduct forest operation in RKT 2010
66
6) RAPP shall develop a Management Plan document considering the basic
principle of sustainable management of peat swamp ecosystem including
the optimum use of natural resources and environmental services.
7) The management plant document shall cover an adaptive management
system based on ecological, socio-economic and political information
generated from periodic monitoring data.
8) RAPP shall delineate and map each type of ecosystem existed within their
working areas in various geographical scale. This should be integrated with
local spatial planning as well as proper scientific study to anticipate the
ecological and socio-political changes.
Berdasarkan hasil diskusi dengan perusahaan, perusahaan menyampaikan kesediaannya
untuk menerima penyelesaian kasus ini dan bersedia untuk mengakomodir keinginan
masyarakat terkait dengan hak-hak atas lahan mereka.
Selain dengan PT. RAPP, Tim Mediasi juga melakukan pertemuan dengan Asosiasi
Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) tanggal 11 Januari 2001. Kegiatan yang dilakukan
pada dasarnya adalah tukar pendapat soal permasalahan/konflik yang terjadi antara PT
RAPP dengan masyarakat Pulau Padang.
Tim Mediasi menyampaikan perkembangan konflik yang terjadi dan data-data serta fakta-
fakta yang diperoleh oleh Tim selama berada di lapangan. Juga disampaikan bahwa Tim
telah bertemu dengan Menhut dan telah menyampaikan rekomendasi awal berdasarkan
kegiatan pelaksanaan kegiatan. Proses mediasi sendiri belum dilakukan, namun pra
kondisi untuk itu telah dilakukan dan terus dikembangkan untuk mendapat ruang mediasi
yang tepat buat para pihak.
APHI sendiri juga telah menyampaikan posisinya dan menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaaan kepada Tim Mediasi yang telah bekerja sungguh-sungguh. APHI
sendiri juga sudah mulai menyikapi konflik-konflik yang terjadi pada anggotanya dan ada
bidang tertentu yang menanganinya. APHI juga menyampaikan harapannya agar Tim
Mediasi dapat melakukan tugasnya secara objektif dan APHI siap mendukung kegiatan
mediasi yang dilakukan. Harapan selanjutnya adalah bahwa APHI akan terus
67
berhubungan dengan Tim Mediasi dan melakukan pertemuan-pertemuan untuk sharing
informasi yang diperoleh.
3. Masyarakat
Fakta di lapangan, masyarakat terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu Masyarakat yang
Pro dan Masyarakat yang Kontra terhadap HTI PT. RAPP di Pulau Padang. Pendapaat
dua kelompok masyarakat tersebut diuraikan sebagai berikut:
a. Masyarakat yang Pro
Dari pertemuan dan dialog dengan perangkat desa dan masyarakat desa Tanjung Padang di
rumah Kepala Desa Tanjung Padang, dan beberapa tokoh desa Lukit di Selat Panjang,
diperolah data/info :
1. Mereka mendukung dan dapat menerima kehadiran HTI PT.RAPP di wilayah desa mereka
karena yakin akan memperoleh banyak manfaat.
2. Manfaat yang sudah nyata :
a. Penyerapan tenaga kerja bagi warga mereka antaralain bidang penanaman HTI,
Satpamhut. Total tenaga kerja RAPP disana sekitar 300 orang.
b. Penanaman HTI seluas + 1.050 Ha yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas
lahan.
c. Bantuan dana CSR berupa biaya sekolah/beasiswa murid sekolah serta
infrastruktur/sarana umum.
d. Pembuatan kanal-kanal ecohydro yang terbukti mengurangi banjir.
e. Sagu hati (ganti rugi lahan masyarakat)
f. Kemitraan dengan koperasi desa berupa pemberian kontrak penyediaan transportasi
antar jemput (6 speed boat) bagi karyawan.
3. PT.RAPP akan membangun/menanam tanaman kehidupan bagi masyarakat seluas 1.900
Ha dan 1.100 Ha (total 3.000 ha).
4. Mereka sangat resah dengan sepak terjang oknum-oknum STR yang sangat militan yang
mengancam masyarakat yang tidak mendukung perjuangan STR serta penyebaran
informasi yang tidak benar (menjelek-jelekan PT.RAPP melalui penyayangan Video).
5. Akibat butir 4, masyarajat di Desa Lukit terbelah dua menjadi kelompok yang mendukung
STR (bersikap militant/agresif) dan kelompok yang mendukung HTI PT.RAPP (bersikap
menahan diri).
68
6. Kelompok masyarakat yang mendukung HTI mengharapkan agar PT. RAPP tetap
diizinkan menjalankan usaha (pembangunan HTI) di Pulau Padang.
b. Masyarakat yang Kontra
Tim Mediasi melakukan pendalaman di kasus Pulau Padang, khususnya terhadap 3 desa
yaitu: desa Lukit, Desa Mengkirau dan Desa Merbau, tetapi untuk desa lain tim mediasi
menggali informasi dari tokoh-tokoh masyarakat. Berdasarkan informasi awal yang tim
kumpulkan pada tiga desa ini adalah episentrum penolakan terhadap keberadaan perusahaan
PT. RAPP di Pulau Padang dan hampir semua tokoh gerakan ini bertempat tinggal di tiga
desa ini. Meskipun demikian, berdasarkan pertemuan wawancara dengan tokoh masyarakat di
Jakarta yaitu Ridwan dan Isnadi Esman serta kawan-kawan, mereka menyatakan bahwa yang
melakukan penolakan adalah 12 (dua belas) desa di Pulau Padang18. Dalam wawancara
dilapangan, masyarakat menyatakan bahwa penolakan dari desa-desa diluar tiga desa yang
didalami ini lebih pasif.
Inti masalah yang menyebabkan penolakan masyarakat Pulau Padang khususnya pada tiga
desa ini dan beberapa tokoh dari desa lain terhadap perusahaan karena menurut mereka
kehadiran perusahaan akan mengakibatkan cepatnya penurunan tanah sehingga kedepan akan
mengakibatkan tenggelamnya Pulau Padang dan akan hilangnya hak kepemilikan tanah
masyarakat yang sudah lama mereka kelola.19
Dari hasil analisis data, wawancara dan temuan di lapangan, Tim Mediasi menemukan
pokok-pokok masalah sebagai berikut :
1) Ruang Kelola dan Klaim Masyarakat
a. Status Tata Kuasa dan Tata Kelola di Pulau Padang
Di Indonesia dan banyak tempat di dunia, terdapat sekumpulan hak
yang berlaku dan bekerja pada sebidang lahan yang sama. Situasi ini
terjadi karena berbagai hak tersebut bersumber dari beberapa sumber
yang berbeda. Bentuk-bentuk situasi (niche) dari sistem penguasaan
tanah dapat mempengaruhi jenis-jenis hak penguasaan atas tanah dan
18 Lihat Surat Pernyataan Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamatan Pulau Padang (FKMP3) tanggal 13 Januari 201219 Lihat Rekaman Proses Diskusi Tim Mediasi dengan Masyarakat Lukit, tanggal 19 Januari 201, di Desa Lukit
69
tanaman di atasnya. Situasi dari sistem penguasaan tanah dapat
dikategorikan ke dalam berbagai kepemilikan hak penguasaaan oleh
pihak-pihak berikut:
1. Privat: disini bentuk hak penguasaan tanah diberikan kepada
individu, rumah tangga, sekelompok masyarakat atau korporasi
seperti entitas komersial atau organisasi nirlaba. Hak-hak
penguasaan tanah oleh entitas privat bukan hanya terbatas pada
pemanfaatan saja, tetapi juga hak pengalihan (rights of transfer)
seperti jual beli atau waris, dan hak mengecualikan (rights to
exclude).
2. Komunal: bentuk hak penguasaan tanah komunal melekat pada
kelompok masyarakat tertentu dimana setiap anggotanya
memiliki hak guna (rights of use) atas tanah-tanah komunal.
Setiap anggota tidak memiliki hak mengecualikan (rights to
exclude) kepada anggota lainnya.
3. Akses terbuka (open access): Situasi akses terbuka adalah
keadaan dimana hak penguasaan tanah tidak diberikan kepada
siapapun, namun tidak seorangpun dapat dikecualikan dari
penggunaan tanah tersebut. Situasi akses terbuka sering terjadi
di wilayah hutan, dan padang penggembalaan dimana semua
pihak ‘bebas menggunakannya’.
4. Pemerintah: unit-unit pemerintah (pusat maupun daerah) dapat
memiliki hak penguasaan tanah hutan dan berusaha menjaga
sumber daya hutan tersebut. Tanah-tanah hutan tersebut dapat
saja berupa hutan lindung dan konservasi, demi pelestarian
satwa, tumbuhan serta perlindungan hidrologi, atau dapat juga
berupa hutan produksi untuk komersial, sebagai areal
penebangan dan penanaman secara periodik. Hak-hak
penguasaan tanah oleh masyarakat atas tanah-tanah hutan
pemerintah beragam, tergantung pada aturan-aturan pemerintah.
Ditinjau dari pembagian tersebut, maka nampak dengan jelas bagaimana
berbagai jenis hak penguasaan tanah (bundle of rights) dapat berlaku atas
70
sebidang tanah/kawasan daratan.20Tim Mediasi menerima berbagai data dan
informasi terkait mengenai hal ini. Data dan informasi tersebut diperkuat juga
dengan kunjungan lapangan ke Pulau Padang.
Pada bagian ini Tim Mediasi berusaha menggambarkan temuan-temuan yang
terkait dengan isu penguasaan dan pengelolaan lahan di Pulau Padang.
2.1.1. Status Tata Kuasa
Di Pulau Padang dalam hal penguasaan tanah, menyangkut soal peruntukan,
kepemilikan, dan peralihan hak atas tanah. Masyarakat Pulau Padang dalam kepemilikan
tanah ada yang bersifat individual dan ada juga komunal. Dan pada umumnya tanah-
tanah yang ada di Pulau Padang banyak dimiliki secara individual. Tanah-tanah yang
sudah dimiliki secara individu dan kolektif jarang diperjual belikan oleh masyarakatnya.
Karena tanah-tanah yang sudah dimiliki, ditanami karet dan sagu untuk mendukung
ekonomi masyarakat.
Sejak dahulu kepemilikan lahan/tanah penduduk di Pulau Padang memiliki ciri khas
tersendiri, yang sangat jauh berbeda dengan kepemilikan tanah di Pulau Jawa. Bagi
masyarakat Pulau Padang kepemilikan cukup hanya dengan bermusyawarah antar
sesama warga (kelompok) yang bersepakat mengambil sebuah kawasan. Sampai
sekarang masih banyak masyarakat yang tidak memiliki SKT dari Kepala Desa (alas
hak) untuk perumahan dan kebun karet yang mereka miliki atau lahan-lahan baru yang
mereka jadikan untuk perkebunan baru. Namun demikian secara turun temurun masing-
masing mengakui bahwa lahan/kebun tersebut dulunya miliknya si Polan, maka sampai
hari ini pun tanah tersebut adalah milik ahli waris si Polan.21
Dari hasil wawancara tanggal 19 Januari 2012 di Desa Lukit, banyak masyarakat pada
saat ini yang mengurus SKT. Hal ini disebabkan ketakutan masyarakat akan terjadinya
pengambilan lahan yang sudah lama di kelola oleh PT. RAPP.
Ada beberapa cara penguasaan (kepemilikan) terhadap tanah yang berlaku:
20 Gamma Galudra, Gamal Pasya, Martua Sirait, Chip Fay, Rapid Land Tenure Assessment (RaTA), Panduan Ringkas Bagi Praktisi, 2006 World Agroforestry Centre, hlm 721 Teguh Yuwono, Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAPP Di Pulau Padang, Analisis Kasus Pulau Padang, Jogjakarta 7 Januari 2012
71
1. Mendapatkan warisan dari orang tua, dimana tanah yang diwariskan tersebut adalah
tanah yang sudah dibuka oleh orang tuanya terdahulu.
2. Melalui Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kepala Desa. SKT ini diurus setelah
dibuka dan dikelola oleh masyarakat.
3. Melalui Surat Keterangan Ganti Rugi. Biasanya dikarenakan ada suatu kebutuhan
yang mendesak maka lahan/tanah yang sudah dikelola bisa dipindah tangankan
kepada masyarakat lain berada di wilayah desa tersebut.
Bukti klaim penguasaan masyarakat telah menguasai tanah di Pulau Padang selama
puluhan tahun bisa dilihat dari:
1. Pohon karet yang berumur puluhan tahun.
2. Pohon sagu yang berumur ratusan tahun
3. Kuburan orang suku Akit yang pertama kali menduduki Pulau Padang
4. Surat Keterangan Tanah (SKT) yang sudah dikeluarkan oleh Kepala Desa
2.1.2. Status Tata Kelola
Lahan di Pulau Padang dialokasikan untuk lahan perkebunan seperti sagu dan karet. Juga
ada sedikit tanaman sawit tapi tidaklah seluas tanaman sagu dan karet, ini karena ketidak
tertarikan masyarakat terhadap tanaman ini. Awal budaya bercocok tanam masyarakat
dimulai dengan penanaman sagu. Cara pembukaan areal/lahan oleh masyarakat untuk
kebun adalah melalui proses landclearing, kemudian dibakar, dibuat tali kemudian baru
dilakukan penanaman.
Untuk sagu jumlah tanaman adalah sebanyak 120 batang per ha. Sagu dapat dipanen bila
telah berumur 12 tahun, kemudian dipanen setiap tahun. Nilai 1 (satu) batang sagu saat
ini Rp. 300.000/batang dengan asumsi 120 batang/ha, maka pengahasilan masyarakat
sekitar Rp. 36.000.000/ha/tahun Rp. 3.000.000/ha/bulan. Untuk tanaman karet pertama
kali dipanen pada umur 8 tahun. Selanjutnya dapat dipanen setiap hari, setiap hari rata-
rata produksi karet 12,5 kg/ha/hari. Rata-rata harga karet saat ini adalah Rp. 13.000/kg,
sehingga jika dihitung rata-rata penghasilan masyarakat per bulan dari tanaman karet
adalah Rp. 4.875.000/ha/bulan.
72
Berdasarkan perhitungan hasil budidaya karet dan sagu yang didapatkan oleh
masyarakat, secara ekononomis sudah mencukupi/sejahtera (wawancara, 19 Januari
2012) masyarakat Pulau Padang. Jadi kehadiran perusahaan belum tentu berpengaruh
untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, namun justru dikhawatirkan akan
menghilangkan mata pencaharian dan lahan-lahan masyarakat, karena tanah yang akan
dikuasai oleh perusahaan PT. RAPP.
Pengelolaan lahan di Pulau Padang cukup beragam, umumnya model yang terjadi dalam
pengelolaan lahan adalah sebagai berikut:
1. Membuka dan mengelola lahan dengan tangan sendiri.
2. Dengan mengupah (sistem upahan). Upah diberikan berupa uang, dengan perhitungan
masa kerjanya seharian (harian) dan besar upah disepakati antara yang punya tanah
dengan orang yang berkerja. Sistem upahan ini dilakukan karena tidak mampunya
pemilik tanah dalam mengelola tanahnya sendiri.
Selain pertanian intensif seperti perkebunan karet dan sagu, masyarakat yang berasal dari
suku Akit melakukan aktifitas pemanfaatan hutan dengan memanfaatkan hasil hutan non
kayu. Selain itu suku ini juga mengembangkan usaha pembuatan atap dari daun pohon nipah.
Lampirkan Foto terkait pengelolaan hutan oleh masyrakat
2.2. Masalah-Masalah Terkait Tata Kuasa dan Tata Kelola
Konflik antara masyarakat Pulau Padang dengan PT. RAPP, terjadi ketika perusahaan masuk
ke Pulau Padang. Penolakan terhadap perusahaan sudah dilakukan oleh masyarakat ketika
perusahaan melakukan sosialisasi yang dilakukan pada tanggal 17 Nopember 2009. Dalam
konteks tata kuasa dan tata kelola, masalah yang timbul adalah :
1. Tumpang tindih lahan
Menurut masyarakat di Pulau Padang menyampaikan bahwa perusahaan belum
melakukan pemetaan terhadap batas wilayah kelola masyarakat sehingga terjadi tumpang
tindih dengan konsesi perusahaan dengan wilayah kelola masyarakat. Dengan ketidak
73
jelasan batas ini, lahan-lahan yang menjadi perkebunan dan pemukiman masyarakat
masuk dalam wilayah konsesi perusahaan.
Beberapa desa sudah melakukan tata batas Desa dan telah dilakukan penandaan berupa
patok-patok Pal Batas permanen sebagaimana peta Batas Wilayah Administrasi
Pemerintahan dan posisi/letak Astronomi Patok Batas yang ditandatangani Bupati
Bengkalis. Penataan batas ini dilakukan di Desa Mengkirau.
2. Penyimpangan terhadap proses sagu hati
Salah satu cara perusahaan menyelesaiakan masalah lahan di Pulau Padang adalah dengan
memberikan “sagu hati”. Sagu Hati adalah sebuah konsep penghargaan terhadap
penguasaan masyarakat atas lahan yang ditemukan dilapangan.
Dalam proses pemberian sagu hati, Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai salah satu
bukti penguasaan sangat penting. Dilapangan, tim menemukan bahwa SKT adalah bukti
hak/alas hak atas kepemilikan tanah masyarakat. SKT ini dikeluarkan oleh kepala desa.
Kehadiran SKT-SKT ini yang membuat konflik antara masyarakat dengan masyarakat.
SKT ini bisa dijadikan bukti untuk mendapatkan SAGU HATI dari perusahaan.
Dalam pelaksanaannya, menurut masyarakat, terdapat kekeliruan perusahaan dalam
pemberian Sagu Hati yaitu Sagu Hati diberikan kepada masyarakat yang bukan pemilik-
yang menguasai secara fisik tanah dan kejadian ini menjadi pemicu konflik di Desa Lukit.
Kebanyakan Sagu Hati yang diberikan, bukan kepada orang pemilik sah terhadap
tanah/lahan tersebut, akan tetapi diberikan kepada pihak lain yang SKT nya ditenggarai
dipalsukan melalui mantan kepala desa. Dan dari dokumen yang didapatkan, terlihat ada
pemalsuan terhadap dokumen yang ada. Kelalaian perusahan RAPP yang tidak
memastikan siapa pemilik tanah, menyebabkan masyarakat tidak senang dengan
kehadiran perusahaan dan sagu hati yang diberikan tidak tepat sasaran.
3. Hilangnya Sumber Ekonomi Masyarakat
Kedatangan pertama kali masyarakat Jawa di Desa Mengkirau yaitu tahun 1918
dipelopori Mbah Yusri. Setelah Mbah Yusri Wafat kemudian digantikan oleh Mbah
74
Tukiman terjadi tahun 1945, kemudian digantikan oleh Haji Amat yang digantikan oleh
Selamat dan Jumangin (Haji Ridwan).
Selamat, membuka lahan ke arah Mengkirau dan haji Ridwan ke arah Bagan Melibur.
Ketika masyarakat Jawa pertama kali masuk ke daerah ini (1918) sudah ada masyarakat
Melayu yang dipimpin oleh Wan Husen.
Kedatangan masyarakat Jawa sekitar tahun 1918 tersebut untuk bekerja di kilang-kilang
Sagu. Hasil bekerja di kilang Sagu tersebut dipergunakan untuk membuka
lahan-lahan/kebun dipinggir sungai. Karena terjadinya abrasi di pinggir sungai kemudian
masyarakat pindah ke arah dalam.
Sekitar tahun 1970 sampai 1975 di daerah ini terdapat operasional perusahaan kayu yang
mengekspor logs ke luar negeri. Lahan-lahan eks perusahaan yang ditinggalkan itulah
yang kemudian menjadi areal yang dibuka untuk perluasan pertanian/kebun masyarakat
yang berlangsung hingga saat ini.
Awal budaya bercocok tanam masyarakat dimulai dengan penanaman Sagu. Cara
pembukaan areal/lahan oleh masyarakat untuk kebun adalah landclearing, kemudian
dibakar, dibuat tali air kemudian baru dilakukan penanaman. Untuk sagu 120 batang per
ha. Sagu dapat dipanen pertama umur 12 tahun, kemudian dipanen setiap tahun. Nilai 1
(satu) batang sagu saat ini Rp.300.000,- / batang dengan asumsi 120 batang/ha maka
penghasilan masyarakat sekitar Rp.36.000.000,-/ha/tahun atau Rp.3.000.000,-/ha/bulan.
Sementara untuk tanaman Karet pertama kali dipanen pada umur 8 tahun. Selanjutnya
dapat dipanen setiap hari, setiap hari rata-rata produksi karet 12,5 kg/ha/hari. Harga karet
saat ini adalah ± Rp.13.000,-/kg, sehingga jika dihitung rata-rata penghasilan masyarakat
per bulan dari tanaman karet adalah Rp.4.875.000,-/ha/bulan.
Sebagaimana di desa lain di Pulau Padang, di Desa Mengkirau tidak ada bahan bangunan
berupa pasir dan batu sehingga harus mendatangkan dari luar antara lain Tanjung Balai
Karimun (Pulau Sumatera) dan harganya mahal. Sehingga tingkat ketergantungan
terhadap kebutuhan kayu sangat tinggi mulai dari rumah, perabot, Mesjid, Kantor Desa
dan bahkan untuk keranda jenazah menggunakan kayu (6 keping papan ukuran 5x30
75
cm /keranda). Sehingga ada kekhawatiran keberadaan perusahaan akan mengganggu
kebutuhan dasar masyarakat berupa kayu perumahan dan rumah tangga.
Menurut masyarakat, mereka sudah sejahtera sebelum adanya perusahaan PT. RAPP di
Blok Pulau Padang, karena itu, dengan kehadiran PT. RAPP akan menjadikan situasi
lebih sulit karena:
a. Hancurnya pola ekonomi lokal yang berbasiskan sagu dan perkebunan karet.
b. Menyempitnya lahan pertanian dan perkebunan
c. Makin sulitnya memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kayu untuk pembangunan
rumah, mengebumikan orang meninggal, dimana karena Pulau Padang adalah pulau
dengan kawasan gambut, maka pengebumian orang yang meninggal membutuhkan
peti yang terbuat dari kayu
Berdasarkan observasi lapangan dengan pengambilan titik GPS Terjadi tumpang tindih
ruang kelola masyarakat di desa Mengkirau termasuk pemukiman yang dengan ijin
RAPP. Bukti hak masyarakat banyakan diantaranya yang sudah bersertifikat. Titik
tumpang tindih tersebut diantaranya :
a. Pada koordinat 01007’58,4” LU dan 102024’14,2” terdapat rumah penduduk dengan
kebun Karet disekitarnya dan telah dilengkapi dengan Sertifikat Hak Milik Nomor :
559 Tahun 1987 atas nama Maryam (copy/dokumentasi sertifikat terlampir).
b. Pada koordinat 01007’52,8” LU dan 102024’12,8” terdapat rumah penduduk dengan
kebun Karet disekitarnya dan telah dilengkapi dengan Sertifikat Hak Milik Nomor :
557 Tahun 1987 atas nama Misgiman (copy/dokumentasi sertifikat terlampir).
Dengan adanya perusahaan yang masuk ke desa mereka, timbul kekhawatiran masyarakat
bahwa lahan-lahan yang sudah lama mereka kelola akan digusur oleh perusahaan.22
2) Keterwakilan/Penyelesaian Konflik Lahan
Dalam penyelesaian masalah lahan Pulau Padang, pemerintah daerah membentuk tim terpadu
berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepulau Meranti No. 146 Tahun 2011 tanggal 7
September 2011 tentang Pembentukan tim Terpadau Penyelesaian konflik Antara Masyarakat
22 Lihat Rekaman Proses Diskusi Tim Mediasi dengan Masyarakat Lukit, tanggal 19 Januari 201, di Desa Lukit
76
dengan Perusahaan dalam Kabupaten Kepulauan Meranti.Upaya-upaya yang dilakukan oleh
tim terpadu dalam penyelesaian konflik lahan adalah :
1. Telah dibuat kesepakatan (MoU) antara PT.RAPP dengan masyarakat yang diwakili
oleh masing-masing Kepala Desa yang berisikan tentang protokol penyelesaian konflik
dan rencana pembangunan tanaman kehidupan untuk masyarakat.
Kesepakatan antara kepala desa dengan PT.RAPP ini, setelah di telaah dan berdasarkan
hasil wawancara, sesungguhnya berisi tata cara (protocol) penyelesaian konflik jika
terjadi, bukan merupakan kesepakatan final antara masyarakat pemegang-penguasa lahan
dengan perusahaan. Tetapi dilapangan, kesepakatan ini bekerja seolah-olah masyarakat
telah setuju dengan keberadaan IUPHHK-HTI tersebut. Kesepakatan inipun mendapat
bantahan dan penolakan dari masyarakat luas dimana kemudian 3 Kepala Desa (Lukit,
Mengkirau dan Bagan Melibur) mencabut kembali persetujuannya. Selain itu masyarakat
menyampaikan data pembanding yaitu kesepakatan penolakan Badan Perwakilan Desa
dan Tokoh Masyarakat beserta ulama.
Adapun proses negosiasi yang sudah dan sedang berlangsung baru terjadi di sebagian di
desa tanjung padang tepatnya di sungai hiu, dan sebagian kecil di desa lukit tepatnya di
sungai kuat. Pihak pemilik tanah yang diajak bernegosiasi, menurut masyarakat masih
dalam status bermasalah karena merupakan pemilik yang didasarkan atas klaim SKT
yang baru dibuat dan rata-rata mereka ditenggarai adalah spekulan tanah dan mantan
logging.
2. Praktek penyelesaian konflik di lapangan diselesaikan per kelompok tani dan per
Kepala Keluarga dan hingga saat ini penyelesaian baru dilakukan di sebagian kecil
wilayah Pulau Padang (Desa Tanjung Padang dan Desa Lukit) dengan bentuk
penyelesaian Sagu Hati/ganti rugi tanaman.
Namun demikian, berdasarkan wawancara dan data, Tim Terpadu belum melakukan
identifikasi/pemetaan hak masyarakat yang menyeluruh untuk seluruh wilayah Pulau
Padang. Untuk itu penting melakukan identifikasi/pemetaan terhadap hak-hak
masyarakat.
77
3. PT. RAPP telah memiliki Protokol penyelesaian konflik yang mengadopsi prinsip
Free, Prior, Informed and Consent (FPIC) tapi belum tercermin nyata dalam
mengantisipasi terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik yang terjadi di Pulau
Padang.
4. Isu Lingkungan terkaitan penurunan gambut diperlihatkan masyarakat dari tanda-
tanda yang sudah terjadi, dimana dalam 25 tahun terahir ini terjadi penurunan permukaan
gambut sampai dengan 1meter lebih. Terlihat dari tanaman karet, kelapa, tiang rumah,
dan tangga rumah. Tim juga diarahkan masyarakat untuk membandingkan penurunan
tanah di Pulau Padang dengan melihat perbandingan di areal perusahaan Kondur
Petrolium.
Tabel Foto Penurunan Tanah (sajikan pada lampiran)
Area Kondur Petrolium Kebun Karet Masyarakat
Pengikisan bibir pantai yang tinggi dalam kondisi normal saat ini, membuat masyarakat
berpikir bahwa pembukaan hutan secara masif oleh RAPP akan menyebabkan abrasi
pantai semakin tinggi dan itu berarti menyebabkan pulau semakin menyempit dan lambat-
laut akan sampai ke kebun dan pemukiman masyarakat.
Berdasarkan analisis data, wawancara dan temuan lapangan di 3 desa yang menolak, tim
kemudian menangkap inti masalah yang disampaikan oleh masyarakat yaitu :
Lukit Mengkirau Bagan Melibur
Pulau akan Tenggelam Pulau akan tenggelam Pulau akan tenggelamProses pemberian sagu hati yang tidak transparan dan salah sasaran dalam pemberian sagu hati
Hilangnya sumber ekonomi masyarakat
Hilangnya sumber ekonomi masyarakat
Tumpang tindih lahan Keberadaan perusahaan PT. RAPP tidak pernah di sosialisasikan kepada
Lahan masyarakat akan digusur oleh perusahaan
78
masyarakatLahan perkebunan masyarakat yang masuk dalam konsesi
Lahan masyarakat akan digusur oleh perusahaan
Tidak adanya ruang kehidupan untuk generasi masa depan
Tumpang tindih dalam pemberian SKT
Tumpang tindih lahan antara apa dan apa?
Hilang sumber ekonomi masyarakat
Makin sulitnya kebutuhan masyarakat terhadap kayu untuk pembangunan rumah
3.c Lembaga Adat Melayu
Seiring dengan unjuk rasa jahit mulut yang dilakukan di Jakarta, pada tanggal 16 Januari
2011 masyarakat yang tergabung dalam FKMP3 kembali menyelenggarakan unjuk rasa ke
kantor Bupati Kepulau Meranti untuk meminta Bupati mengeluarkan surat rekomendasi
pencabutan ijin IUPHHK_HTI di Pulau Padang. Tetapi unjuk rasa ini batal dilakukan karena
di pelabuhan Selat Panjang, masyarakat FKMP3 dihadang oleh masa lain. Menurut FKMP3,
sempat beredar isu bahwa unjuk rasa FKMP3 pada saat itu akan berujung pada tindakan
anarkis sehingga menimbulkan reaksi dari masyarakat di Selat Panjang.
SELAT PANJANG(DP)-RENCANA aksi demo secara besar-besaran oleh ribuan
massa dari Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP)
di depan Kantor Bupati Kepulauan Meranti dan DPRD, Senin (16/1) siang akhirnya
batal. Meski telah berada di tengah laut, beberapa unit kapal pengangkut massa
terpaksa harus balik kanan, karena mereka khawatir terjadi bentrok dengan massa
demo tandingan masyarakat peduli Kabupaten Meranti, yang telah menunggu
kedatangan mereka di setiap penjuru Kota Selatpanjang. Sejak pagi, ribuan massa
dari berbagai elemen masyarakat di Kota Selatpanjang telah berkumpul di setiap
sudut kota. Kemudian mereka berkumpul ke ujung Jalan Dorak, untuk menghadang
massa FKM-PPP yang berencana melakukan aksi unjuk rasa. Lengkap dengan
atribut dan delapan sepanduk berwarna putih, mereka pun duduk dengan tenang
dengan pengawasan ratusan aparat kepolisian, TNI dan Satpol PP.23
23 http://www.dumaipos.com/berita.php?act=full&id=5284&kat=13
79
Tim Mediasi dalam kunjungannya juga menemui tokoh masyarakat yang ada di Selat
Panjang. Pada pertemuan tersebut, tokoh masyarakat ini menyampaikan bahwa reaksi yang
timbul disebabkan oleh demonstrasi yang menurut mereka sudah anarkis dan melanggar
kesopanan. Sikap ini dinyatakan dalam Pernyataan Sikap Lembaga Adat, Paguyuban, Ormas
dan OKP, Kabupaten Kepulauan Meranti tanggal 11 Jauari 2012.
Menolak Unjuk rasa Pulau Padang Enam Tokoh Masyarakat Meranti Datangi Polres
Bengkalis Riauterkini–BENGKALIS- Terkait niat aksi unjukrasa sekitar ribuan massa
dari Pulau Padang Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti dan aksi
penghadangan massa di Kota Selatpanjang, Senin (16/1/12) lalu. Enam tokoh
masyarakat Selatpanjang, dan dua pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Kepulauan Meranti, mendatangi Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Bengkalis, Rabu
(18/1/12) siang..........“Kami menyatakan sikap menolak aksi demo itu. Tidak perlu
dilakukan di Selatpanjang tetapi harus di Jakarta. Bupati Meranti dalam suratnya
telah dinyatakan dengan tegas. Sebenarnya hanya ada tiga desa yang bermasalah dan
14 desa yang ada di Pulau Padang itu,” kata Muzamil yang juga memimpin Akindo
Selatpanjang. Senada disampaikan Ketua LAM Kabupaten Kepulauan Meranti Ridwan
Hasan, adanya aksi demo diinformasikan ribuan massa dari Pulau Padang itu, adalah
sangat disayangkan. Kabupaten Kepulauan Meranti yang baru berdiri sudah harus
dipenuhi dengan kerusuhan dan akhirnya merugikan masyarakat itu sendiri. “Kita
merasa risih dengan aksi-aksi unjukrasa yang tidak memandang norma luhur
kemelayuan. Apalagi adanya isu pengunjukrasa itu akan membumi hanguskan Kota
Selatpanjang. Kami dari tokoh-tokoh paguyuban di Selatpanjang tidak akan menerima
hal itu,” tegas Ridwan. “Kami berharap Polres Bengkalis mengambil tindakan tegas
dengan aksi-aksi yang merugikan. Kami siap dukung dan kami berada dibelakang
Polres untuk menciptakan Selatpanjang selalu dalam situasi kondusif apalagi sebentar
lagi perayaan Imlek. Kami harap pihak kepolisian tidak mengeluarkan izin aksi itu,”
imbuhnya.24
5. Pemerintah Provinsi Riau
24 http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=43027
80
Terkait dengan tuntutan masyarakat Pulau Padang Kabupaten Kepulauan meranti, Pemerintah
Provinsi Riau telah mengambil langkah-langkah Sbb:
1. Tehadap terbitnya SK Menhut No. SK. 327/MENHUT-II/2009 tentang perubahan ke 3
atas keputusan menteri kehutanan No. 130/KPTS-II/1993 tanggal 27 Pebruari 1993
tentang pemberian HPHTI kepada PT. RAPP, Dinas kehutanan Prov. Riau telah
menyurati Menteri Kehutanan dengan surat No. 522.2/Pemhut/2621 Tanggal 2
September 2009 yang intinya agar Menteri Kehutanan meninjau ulang dan merevisi SK
Menteri tersebut di atas.
2. Pemerintah Provinsi Riau (Asisten Bidang Pemerintahan Setda Prov. Riau) telah
menyurati Bupati Kepulauan Meranti dengan surat No. 100/TAPEM/90.25 Tanggal 7
Nopember 2011 yang intinya :
a. agar Tim Terpadu yang telah dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti
melakukan inventarisasi dan identifikasi lahan masyarakat di dalam HTI PT. RAPP
Pulau Padang.
b. Pihak masyarakat dan STR akan menyerahkan data-data kepemilikan lahan
masyarakat didalam konsesi PT.RAPP di Pulau Padang.
3. Pemerintah Provinsi Riau (Asisten Bidang Pemerintahan Setda Prov. Riau) telah
menyurati PT. RAPP dengan surat No. 100/TAPEM/92.25 Tangga 7 Nopember 2011
yang intinya bahwa Pemerintah Provinsi Riau telah menginstruksikan kepada Bupati
Kepulauan Meranti melalui Tim Terpadu untuk melaksanakan inventarisasi dan
identifikasi lahan masyarakat di areal HTI PT. RAPP Pulau Padang agar PT. RAPP dapat
membantu pelaksanaan kegiatan dimaksud.
4. Terkait dengan notulen rapat pada tanggal 16 Desember 2011, yang dihadiri oleh Kepala
Pusat Humas Kementerian Kehutanan, FKMPPP dan PPJ yang isinya pada butir 6,
Kapus Humas Kementerian Kehutanan menyurati Kepala Dinas Kehutanan Prov. Riau
dengan surat No. S.58/II-PHM/I/2011 Tanggal 28 Desember 2011 yang intinya mohon
klarifikasi kegiatan pembangunan HTI PT. RAPP Pulau Padang, Kepala Dinas
Kehutanan Prov. Riau telah menanggapi surat tersebut dengan surat No.
522.2/Pemhut/4008 Tanggal 29 desember 2011 yang intinya :
a. Kapus Humas kurang berkoordinasi di dalam Kementerian Kehutanan terhadap
terbitnya surat Kapus Humas tersebut.
81
b. Terhadap poin 6b notulen rapat pada tanggal 16 Desember 2011 tersebut agar Kapus
Humas menyurati PT. RAPP dan berkoordinasi dengan Dirjen BUK.
c. Melihat suasana saat izin diterbitkan Dinas Kehutanan Prov. Riau telah memprediksi
akan muncul permasalahan, akan tetapi Dinas Kehutanan Prov. Riau sangat
menyayangkan kepekaan pihak Kementeriaan Kehutanan terhadap masalah yang
berkembang saat ini dari awal sangat kurang.
4. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti
Dari pihak Pemerintah Kabupaten terdiri dari antara lain Bupati Kepulauan Meranti, Ketua
dan Tim Terpadu, bertempat di Kantor Bupati tanggal 4 Januari 2012 malam.
Informasi/data yang diperoleh :
1. Masyarakat yang menuntut dicabutnya konsesi HTI PT.RAPP umumnya dari 3 desa
yang tidak menandatangani MoU, mereka dimotori oleh STR dan FKPPP.
2. Tuntutan mereka berubah-ubah, dari semula mempermasalahkan tumpang tindih areal
konsesi HTI, ruang kelola masyarakat, cacatnya proses perizinan dan ancaman di
lingkungan hidup/Amdal bermasalah.
3. Saat ini tuntutan mereka : pencabutan izin HTI RAPP di Pulau Padang.
4. Aksi tuntutan diatas mulai marak sejak Pemerintah Kabupaten giat memberantas illegal
logging. Pemerintah Kabupaten menilai bahwa aksi-aksi demonstrasi ini ada yang
memelihara.
5. Sejumlah tokoh penuntut di depan DPR-RI dan yang menjahit mulut, teridentifikasi oleh
Kesbangpol sebagai terduga pelaku illegal logging yang sedang diburu Polres Kepulauan
Meranti, yang resah karena sejumlah jalur anak sungai untuk memilirkan log ditutup oleh
petugas RAPP.
6. Masyarakat yang menerima kehadiran HTI RAPP di Pulau Padang, jumlahnya jauh lebih
besar, terdiri dari antaralain 11 desa yang sudah menandatangani MoU yang diketahui
Tim Terpadu, Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti dan Bupati Kepulauan
Meranti
7. Masyarakat yang menerima tersebut, merasa kiprah RAPP di Pulau Padang dapat
mengakomodasi aspirasi mereka antaralain penyerapan tenaga kerja, kemitraan dengan
koperasi desa, csr/bantuan dana pendidikan, sagu hati, dll.
8. Pemerintah Kabupaten pun menilai bahwa selama ini PT.RAPP sangat kooperatif
mematuhi arahan/permintaan Pemerintah Kabupaten antaralain penambahan luas
82
tanaman kehidupan, menjaga lingkungan (kanal ecohydro) dan bantuan sarana prasarana
umum.
9. Saat ini PT.RAPP sudah menghentikan operasinya di Pulau Padang, meskipun mereka
memiliki perizinan yang lengkap serta tidak ada pelanggaran. Kerugian mereka cukup
besar.
10. Bupati belum merasa sebagai pihak yang tepat membuat rekomendasi pencabutan izin
PT.RAPP kepada Kementerian Kehutanan.
11. Salah satu langkah untuk menyelesaikan masalah tuntutan tersebut adalah penataan
batas-batas areal kerja PT.RAPP dan desa-desa termasuk lahan pribadi warga.
6. Kemenhut
Pada hari Selasa tanggal 25 Januari 2012, bertempat di Gedung Kementrian Kehutanan, Tim
Mediasi melakukan pertemuan dengan Menteri Kehutanan untuk menanyakan tawaran
Kementrian Kehutanan untuk penyelesaian kasus Pulau Padang ini. Inti dari yang
disampaikan oleh Kementrian Kehutanan yaitu :
a. Kementrian kehutanan menginginkan solusi yang dihasilkan sesuai dengan Hukum
yang ada dan tidak melanggar hukum.
b. Kementrian kehutanan menginginkan agar penyelesaian kasus ini bertumpu pada
keinginan untuk mensejahterakan masyarakat dan menjaga iklim investasi.
D. PENDAPAT PAKAR
1. Pengantar
Sejak tahun 2008 masyarakat Pulau Padang khususnya di 3 desa yaitu Desa Lukit, Bagan
Melibur dan Mengkirau menolak beroperasinya HTI PT. RAPP di daerahnya. Namun,
semenjak aktivitas pembangunan HTI di mulai tuntutan masyarakat ke 3 desa tersebut
semakin meningkat, bahkan sampai melakukan demo jahit mulut, membangun tenda dan
bermalam di depan Pintu Gerbang Gedung DPR RI di Jakarta. Tuntutan utama masyarakat di
ke 3 desa tersebut adalah pencabutan izin HTI PT. RAPP Blok Pulau Padang yang
dikeluarkan Menteri Kehutanan berdasarkan SK NO. 327/Menhut-II/2009.
83
Dalam merespon tuntutan masyarakat Pulau Padang tersebut, Menteri Kehutanan RI
membentuk Tim Mediasi penyelesaian tuntutan masyarakat setempat terhadap ijin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang dengan
SK Nomor: SK. 736/Menhut-II/2011. Salah satu tugas tim mediasi adalah mengumpulkan
masukan dari para pakar berbagai bidang terkait tuntutan masyarakat setempat (Pulau
Padang).
Berdasarkan hasil studi lapangan tim dan analisis terhadap informasi yang diperoleh
ditemukan isu yang menjadi dasar tuntutan penolakan HTI PT RAPP adalah terkait
lingkungan dan perizinan. Isu lingkungan tersebut berupa tanah gambut yang tidak cocok
untuk HTI dan tenggelamnya Pulau Padang. Isu perizinan terkait dengan proses memperoleh
izin termasuk Amdal. Isu lain terkait dengan pemanfaatan hutan Pulau Padang yang tidak
sesuai dengan UU No 27 Tahun 2007, karena dianggap sebagai pulau kecil.
Dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih valid terhadap isu-isu tersebut, maka Tim
mediasi mengundang pakar yang kompeten dari beberapa Perguruan tinggi.
2. Tujuan
Pertemuan dengan pakar ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan masukan dan
informasi yang lebih valid terkait dengan isu lingkungan dan perizinan yang menjadi dasar
tuntutan masyarakat Pulau Padang.
3. Metode
1. Pakar yang diundang dan peserta pertemuan
Pakar yang diundang adalah pakar yang memiliki kompetensi sesuai dengan isu lingkungan
dan perizinan yang menjadi dasar tuntutan masyarakat Pulau Padang. Pakar yang diundang
dan kompetensinya disajikan pada Tabel berikut ini:
No Nama Pakar Kompetensi Keterangan1. Dr. Basuki Sumawinata Ahli tanah gambut
84
IPB2. Prof. Dr. Budi Indra Setiawan Ahli Fisika Tanah IPB3. Dr. Oka Karyanto Ahli kehutanan UGM4. Dr. Teguh Yuwono Ahli kehutanan UGM5. Prof. Dr. Muhajir Utomo Ahli tanah UNILA6. Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf Ahli Hukum
Administrasi Negara
Pertemuan ini akan dihadiri oleh seluruh tim mediasi termasuk tim pengarah penyelesaian
tuntutan masyarakat Pulau Padang.
2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pertemuan dengan pakar akan dilaksanakan pada Hari Rabu, pukul 09.00 di Gedung
Manggala Wanabakti, Jakarta.
3. Pelaksanaan Pertemuan
Pertemuan dengan pakar akan diatur sebagai berikut:
a. Pakar yang diundang menyerahkan bahan presentasi berupa soft copy dan print outnya
b. Pakar yang diundang menyampaikan presentasi tentang isu lingkungan dan perizinan yang
menjadi dasar tuntutan masyarakat Pulau Padang
c. Tim mediasi melakukan pendalaman terhadap materi presentasi yang disampaikan pakar
dengan mengajukan pertanyaan.
4. Hasil Masukan Pakar
1. Oka Karyanto, S.Hut. MSc.
Berdasarkan paparannya dan diskusi terkait isu lingkungan berupa ketidak cocokan Pulau
Padang untuk HTI dan Tenggelamnya Pulau Padang bila HTI PT. RAPP beroperasi di Pulau
Padang dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Pulau Padang tidak cocok untuk HTI karena ada gambutnya. Argumentasi yang
dikemukakan: 1) gambut di Pulau Padang memiliki kedalaman > 3m, 2) Didasarkan pada
85
data primer hasil pengukuran CO2 yang menyimpulkan bahwa: a). Pemanfaatan kawasan
gambut untuk hutan alam dan sagu (tanpa drainase) lebih lestari karena tingkat emisi
(konsekuensinya tingkat subsidensi) lebih kecil, b). Emisi CO2 pada gambut dalam untuk
budidaya karet rakyat berumur muda lebih kecil dibanding karet berumur tua, 3).Tingkat
subsidensi di Pulau Padang didsarkan pada data sekunder hasil penelitian .
b. Beroperasinya HTI PT. RAPP di Pulau Padang dapat menyebabkan tenggelamnya Pulau
Padang. Hasil pendalaman Tim Mediasi diketahui bahwa opini tersebut merupakan hipotesis.
Selain itu argumentasi yang dikemukakan adalah sebagai berikut: 1). Hipotesis didasarkan
pada asumsi subsidensi 4 cm/tahun dan kenaikan muka air laut 4 mm/tahun, sehingga
dihiptesis dalam kurun waktu 60-70 tahun Pulau Padang tenggelam. 2). terdapat bukti di
lapangan bahwa saat ini telah terjadi subsidensi, 3). Didasarkan pada hasil penelitian Hooijer,
et al (2011).3). Didasarkan pada hasil penelitian dari peneliti asing yang menyatakan bahwa
Selama 8 tahun setelah didrainase, telah terjadi 1,5 m subsiden dan akan berlangsung kurang lebih
linear; hal ini serupa dengan yg dialami di tempat lain (Malaysia bahkan USA).
c. Pendapat lain Pakar Oka adalah sebagai berikut:
1). Belum ada kajian mengenai kelestarian produktifitas pada lahan gambut dalam
2). Belum ada kajian dampak lingkungan drainase lahan gambut dalam
3). Belum ada kajian kelestarian produktifitas tapak pada areal HTI pada lahan gambut
dalam, paling tidak yang telah diakui secara internasional
4). Interpolasi dari 70 titik-titik hasil pengeboran (April, 2011) menunjukkan bahwa sebagian
besar pulau Padang merupakan gambut dalam (Data primer).
5). Pulau Padang bertopografi rata, ketinggian maksimum 15 m dpl (dari permukaan laut), hampir
semua pemukiman berada pada ketinggian kurang dari 6 m dpl (Hasil analisis peta DEM dan
Topografi berdasarkan SRTM 30 m). Selain itu disimpulkan kawasan pemukiman dan kebun
berada pada ketinggian 1-6 m dpl sehingga rentan terhadap kenaikan muka air laut.
6). Terjadi penurunan kualitas tutupan hutan scr gradual namun tidak terjadi deforestasi secara drastis
kecuali ketika (1) pembukaan koridor jalan tambang dan (2) land-clearing HTI
7). Deforestasi di Pulau Padang versi PT. RAPP berbeda dengan versi Pakar Oka. Selain itu beliau
juga menyimpulkan tidak terdapat deforestasi yang menyolok antara 2002-2010, bahkan banyak
deforested area yang recover. Degradasi terjadi pada kawasan gubah gambut.
86
8). Dengan ketinggian dpl rendah, sebagian besar pemukiman dan kebun karet di bagian pinggir akan
tenggelam akibat kombinasi peat subsidens dan kenaikan muka air laut
9). Pakar Oka mengemukakan adanya fenomena intrusi air laut. Selanjutnya dinyatakan Fenomena
intrusi air laut ini salah satunya dapat dikarenakan penurunan muka air tanah akibat kanalisasi
lahan gambut. Fenomena ini telah menarik perhatian penggiat lingkungan dari Pekanbaru terutama
mengenai masa depan pulau Padang. Diperkirakan dengan kondisi yg ada sekarang, kawasan
hunian dan kebun di pulau Padang akan tenggelam 60 th kemudian
10). Telah terjadi abrasi lapisan gambut sepanjang pantai timur pulau Padang.
2. Prof. Dr. Budi Indra Setiawan
Berdasarkan paparan yang telah disampaikannya dan pendalaman Tim Mediasi dapat
dinyatakan bahwa pendapat Prof. Budi sebagai berikut:
a. Data primer hasil penelitian pada lahan gambut yang ditanamai HTI Akasia Crassicarfa di
Sumatera Selatan menunjukkan:terjadi penaikan dan penurunan permukaan tanah
tergantung pergerakan permukaan air tanah (water level).
b. Data primer hasil penelitian pada lahan gambut yang ditanamai HTI Akasia Crassicarfa di
Sumatera Selatan menunjukkan: terjadi penambahan biomassa ke lahan sebesar 60%,
sedangkan biomassa yang diangkut ke luar lahan sebesar 40%. Artinya, HTI Akasia
Crassicarfa di lahan gambut bisa mengurangi penurunan tanah bahkan menaikan
permukaan tanah (Data disajikan pada Lampiran..).
c. Tidak ada satu pun negara di dunia kecuali di Indonesia yang melarang penggunaan lahan
gambut untuk kebun, HTI dan lain-lain.
d. HTI yang ditujukan untuk pulp dan kertas memiliki arti strategis yang positif bagi
kemajuan bangsa Indonesia, baik dari segi ekonomi, pendidikan dan budaya masyarakat.
e. Teknologi pengelolaan gambut yang lestari masih dalam proses penelitian, karena untuk
menyatakan pengelolaan itu lestari butuh penelitian jangka panjang. Walaupun demikian,
tidak berarti masyarakat dilarang memanfaatkan lahan gambut.
3. Dr. Basuki Sumawinata
87
Berdasarkan paparan dan pendalaman yang dilakukan Tim Mediasi terkait isu
lingkungan yang mendasari tuntutan masyarakat Pulau Padang, Dr. Basuki Sumawinata
berpendapat sebagai berikut:
a. Terkait isu Pulau Padang tidak cocok untuk HTI karena ada gambutnya. Dr. Basuki
Sumawinata menyatakan: 1) HTI Akasia Crassicarfa di lahan gambut dengan pengelolaan
yang baik tumbuh dengan subur seperti di Bukit Batu, Pelalawan, dan Sumatera Selatan.
Dengan kata lain, Akasia Crassicarfa cocok untuk tanah gambut. Bahkan beliau
menambahkan, bahwa
b. Terkait isu Pulau padang tenggelam bila PT. RAPP beroperasi di Pulau Padang. Dr. Basuki
menyampaikan pendapatnya sebagai berikut:
1). Pembukaan lahan gambut untuk HTI menghasilkan subsidensi tetapi tidak linier. Pada
awal pembukaan lahan gambut (± 1 tahun) subsidensi dapat mencapai 35 cm, namun
bila tinggi muka air dipertahankan tetap tinggi (40-80 cm) subsidensi berlangsung
lambat. Hal itu terjadi karena pada awal pembukaan subsidensi yang terjadi berupa
subsidensi fisik akibat kehilangan air dari ruang pori tanah.
2). Berdasarkan data primer hasil penelitian selama satu tahun pada HTI PT. BBHA di
Bukit Batu (Data terlampir) dinyatakan bahwa dekomposisi yang ditunjukkan dengan
ukuran partikel tanah hanya berlangsung di bagian tanah permukaan, sedangkan yang
dekat dengan permukaan air tidak berlangsung yang dicirikan oleh ukuran partikel
tanahnya kasar. Dengan demikian, beliau menyimpulkan bahwa bila permukaan air
tanah dipertahankan tetap tinggi (40-80 cm) subsidensi bisa dijaga sangat rendah.
Bahkan, bila serasah (daun dan ranting) Akasia Crassicarfa yang jatuh ke permukaan
diperhitungkan subsidensi itu bisa sangat kecil (tidak terjadi)
3). Hingga saat ini belum ada informasi (pengalaman) bahwa pulau yang lahannya berupa
tanah gambut di Indonesia yang tenggelam.
4). Tidak masalah (bahkan lebih disukai) lahan gambut dalam (> 3 m) dimanfaatkan untuk
pertanian termasuk HTI Akasia Crassicarfa, asal melakukan pengelolaan air yang.
Artinya, mampu mempertahankan tinggi muka air yang rendah sekalipun di musim
kemarau.
88
5). Berdasarkan pengelaman beliau survey dan penelitian gambut, Dr. Basuki menyatakan
bahwa anak bangsa telah menguasai Teknologi pengelolaan gambut berkelanjutan.
Beliau menjelaskan sejarah perkembangan penguasaan teknologi pengelolaan gambut
di Indonesia. Pada teknologi pengelolaan gambut yang paling akhir ditemukan, peluang
subsidensi sangat rendah, kebakaran dapat dihindari, dll.
4. Prof. Dr. Muhajir Utomo
Prof. Muhajir tidak menyampaikan paparan, namun beliau mendukung pendapat Prof. Budi
Indra Setiawan dan Dr. Basuki Sumawinata. Beliau berpendapat bahwa dengan penerapan
Eco-Hydro lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk HTI Akasia Crassicarfa. Selain itu,
dengan penerapan Eco-Hydro, subsidensi dapat ditekan bahkan dengan penambahan daun
dan ranting yang gugur subsidensi bisa sangat rendah.
5. Prof. Asep Warlan Yusuf
Untuk mendalami isu yang terkait dengan perizinan, Tim Mediasi mengundang pakar hukum
Prof. Asep Yusuf Warlan. Berdasarkan paparan dan pendalam oleh Tim Mediasi dapat
dinyatakan sebagai berikut:
1).5 Pokok terkait dengan Izin :
a. Tujuan
b. Kewenangan
c. Substansi
d. Prosedur
e. Penegakan
2). Konsekuensi Pemegang Izin tidak memenuhi persyaratan
a. Penolakan
b. Penundaan
c. Pembekuan
d. Pembatalan
e. Pencabutan
89
1). Izin harus memenuhi azas-azas penyelenggaraan pelayanan perizinan a.l. kepastian
hukum bagi penerima
2). Izin PT. RAPP di Pulau Padang tetap sah karena belum ada bukti –bukti pelanggaran.
3). Rekomendasi Gubernur/Bupati hanya bersifat sebagai suatu pertimbangan, saran dan usul.
E. Analisis dan Kesimpulan
Isu pertama yang mendasari tuntutan masyarakat Pulau Padang adalah HTI tidak
cocok di Pulau Padang karenda ada gambutnya. Pakar Oka menyatakan bahwa Pulau Padang
sebagian besar ditempati gambut ber- kedalaman > 3 m. Beliau berpendapat gambut > 3m
tidak bisa dimanfaatkan untuk HTI karena melanggar Keppres 32 Tahun 1990. Keppres 32
tahun 1990 pada pasal 10 yang menyatakan bahwa lahan gambut > 3m yang berada di hulu
sungai dan rawa termasuk kawasan lindung gambut. Hal itu dimaknai sebagai pelarangan
untuk digunakan untuk budidaya tanaman. Namun, Prof Budi dan Dr. Basuki mengemukakan
bahwa Keppres 32 tahun1990 tidak didasarkan pada hasil kajian ilmiah. Padahal, secara
akademis gambut > 3 m tidak masalah dimanfaatkan untuk pertanian termasuk HTI asal
menerapkan Teknologi pengelolaan HTI yang baik termasuk praktek pengelolaan air terbaik
(Best practicewater management). Dr. Basuki memberi contoh HTI Akasia Crassicarfa di
beberapa tempat yang bertanah gambut pertumbuhan dan produksinya baik, sehingga secara
agronomis gambut dalam cocok untuk HTI. Hasil kunjungan Tim Mediasi ke Lokasi
operasional PT. RAPP pertumbuhan Akasia Crassicarfa tumbuh baik. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa secara agronomi gambut di Pulau Padang cocok untuk HTI.
Berkaitan dengan ketidaksesuaian lahan gambut dalam (>3 M) karena melanggar
Keppres 32 Tahun 1990. Dr. Basuki mengemukakan bahwa sampai saat ini banyak lahan
gambut dalam telah dimanfaatkan untuk perkebunan, HTI, dan lain-lain, sehingga akan sulit
bila Keppres ini ditegakkan. Walaupun demikian Prof. Asef Yusuf Warlan berpendapat
bahwa pada ayat ... Keppres 32 dinyatakan bahwa larangan bisa diterabas bila ada teknologi
yang dapat menyelesaikan masalah dalam pemanfaatan gambut dalam. Selain itu, beliau juga
menjelaskan bahwa bila ada pihak yang merasa dirugikan sebaiknya diajukan ke Komisi
Yudisial. Berdasarkan pendapat pakar tersebut maka langkah terbaik yang harus dilakukan
adalah mengajukan masalah tersebut ke Komisi Yudisial.
90
Isu lingkungan yang kuat mendasari tuntuan masyarakat Pulau Padang adalah Pulau
Padang bisa tenggelam bila HTI PT. RAPP beroperasi di Pulau Padang. Isu ini muncul dari
Hipotesis Raflis yang diadopsi oleh Pakar Oka dengan asumsi bahwa bila subsidensi
berlangsung tetap 4 cm/tahun dan kenaikan permukaan air laut 4 mm/tahun dan ketinggian
permukaan tanah dari permukaan laut rata-rata 5 m, maka Pulau Padang akan tenggelam
dalam waktu 60-70 tahun. Namun, Dr. Basuki Sumawinata, Prof. Dr. Budi Indra Setiawan,
dan Prof. Dr. Muhajir Utomo. berpendapat bahwa subsidensi tidak berlangsung secara linier,
karena banyak faktor yang mempengaruhi. Dr. Basuki menyampaikan beberapa contoh
pemanfaatan gambut bila dengan pengelolaan air yang cukup baik, wilayah berlahan gambut
tidak tenggelam. Tetapi bila tanpa pengelolaan yang tepat subsidensi berlangsung terus dan
gambutnya habis, tetapi Dr. Basuki menegaskan bahwa wilayahnya tidak tenggelam.
Berdasarkan pendapat para pakar tersebut, Tim Mediasi menyimpulkan bahwa terdapat dua
pendapat yang kontradiktif tentang tenggelamnya Pulau Padang bila HTI PT. RAPP
beroperasi disana.
F. Rekomendasi
Berdasarkan analisis dan kesimpulan tersebut di atas, terkait isu lingkungan Tim Mediasi
merekomendasikan sebagai berikut:
1. Dalam rangka memberi kepastian hukum maka perlu dilakukan yudisial review terhadap
Keppres 32 tahun 1990.
2. Untuk menguji hipotesis Tenggelamnya Pulau Padang, perlu dilakukan penelitian
kolaboratif antara ke dua kelompok pakar yang memiliki pendapat yang kontradiktif.
BAB III
ANALISIS DATA, FAKTA DAN INFORMASI LAPANGAN
1. Analisis Sengketa
Konflik atau sengketa dapat terjadi antara masyarakat dan antar lembaga. Sengketa
merupakan perbedaan kepentingan antar individu atau lembaga pada objek yang sama
yang dimanifestasikan dalam hubungan-hubungan di antara mereka. Menganalisis siapa
dan mengapa mereka terlibat adalah salah satu aspek yang penting dalam studi tentang
sengketa sistim penguasaan tanah. Untuk itu perlu dipahami dengan baik siapa subjek
91
yang terlibat dalam sistim penguasaan tanah dalam sengketa tersebut. Subjek
didefinisikan sebagai para pelaku yang terlibat dalam sengketa sistim penguasaan tanah,
baik pelaku yang mempengaruhi ataupun yang dipengaruhi. Subjek dapat berupa
individu, masyarakat, kelompok sosial atau institusi.
Objek sengketa juga perlu dipahami, objek sengketa dapat didefinisikan sebagai benda,
baik berupa tanah maupun sumber daya alam lainnya yang disengketakan oleh para
pelaku. Untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap konflik/sengketa yang
terjadi perlu diperjelas melalui pendekatan terhadap subjek dan objek sehingga menjadi
lebih jelas.
Secara tegas objek yang disengketakan oleh masyarakat Pulau Padang adalah terbitnya
izin kepada PT. RAPP yang mengakibatkan :
1. Kekhawatiran terhadap masa depan kehidupan (sustainability of livelihood) karena
soal isu lingkungan terhadap penurunan tanah dan lebih lanjut tenggelamnya Pulau
Padang.
2. Ruang kelola dan hak atas tanah yang simpang siur dan tidak adanya kejelasan
terhadap tata batas terhadap izin PT. RAPP. Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran
yang sangat mendalam pada masyarakat.
3. Proses sosialisasi atas izin tidak dilakukan dengan baik oleh si pemberi izin, penerima
izin kepada masyarakat Pulau Padang. Ini mengakibatkan keresahan pada masyarakat
karena munculnya informasi yang tidak akurat yang diterima.
Analisis konflik/sengketa merupakan proses untuk mengkaji dan memahami realitas konflik
dari berbagai perspektif yang beragam. Di sisi lain, analisis konflik bisa dijadikan dasar
pijakan dalam pengembangan strategi dan rencana aksi penyelesaian. Proses analisis konflik
dimulai dengan proses identifikasi (desk analysis, pengumpulan fakta dan data, pendapat para
ahli serta pendapat berbagai stakeholder).
Analisis konflik didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat memiliki struktur dan tingkat
yang kompleks dan membutuhkan kerangka kerja komprehensif untuk memahami masalah,
persepsi, pelaku dan informasi pelengkap.
Secara umum untuk melakukan analisis konflik diperlukan beberapa hal, yaitu :
1. Kecermatan dalam pemilahan terhadap persepsi yang muncul
92
2. Melakukan analisis dari berbagai sudut pandang
3. Mendapatkan fakta dan data yang akurat dari sumbernya.
Analisis konflik ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih cermat dan
komprehensif terhadap dinamika, hubungan dan isu terkait dengan situasi sehingga
rekomendasi untuk rencana aksi menjadi lebih tepat dilakukan serta para pihak paham
atas rencana aksi tersebut.
Hasil analisis terhadap konflik akan digunakan untuk :
1. Memberikan pemahaman tentang latar belakang dan sejarah situasi konflik dan
peristiwa terkini.
2. Mengidentifikasi semua kelompok yang relevan.
3. Memahami perspektif dari semua kelompok.
4. Mengetahui hubungan para pihak yang bersengketa.
5. Mengetahui faktor yang mendukung dan dasar-dasar konflik yang terjadi.
Hasil analisis konflik masyarakat Pulau Padang dan PT. RAPP disajikan seperti pada Gambar
Pohon di bawah ini (Gambar....). Pada pohon dapat dipilah menjadi tiga bagian penting, yaitu
ekspresi, tipologi dan akar konflik. Daun, merupakan ekspresi konflik yang antara lain berupa
demontrasi, pembakaran, pembunuhan sampai kepada pembentukan opini pada publik.
Batang Pohon, merupakan tipologi konflik yang dapat berupa tenurial sistim, pemanfaatan,
identitas, komunikasi sampai konflik tenaga kerja. Akar Pohon, merupakan akar konflik
yang dapat berupa hak dan tenurial kawasan sampai perbedaan nilai dan struktur.
93
Gambar. Gambar Pohon Konflik Berupa Ekspresi, Tipologi dan Akar konflik Pulau Padang
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai munculnya konflik masyarakat Pulau
Padang dengan PT. RAPP, baik persoalaan yang menyangkut kepada akar, batang dan daun
pohon. Analisis yang dilakukan oleh Tim Mediasi berbasis kepada informasi, data dan fakta
yang diperoleh.
Setelah melakukan analisis data, menelaah hasil wawancara dengan para pihak dan
melakukan kunjungan lapangan seperti yang diuraikan pada bagian sebelumnya, di bawah ini
tim ingin menyampaikan beberapa poin yang menjadi benang merah dari kasus ini dan
gambaran alternatif solusi yang dapat diambil terhadap beberapa masalah terkait dengan
mediasi kasus Pulau Padang.
Analisis Terhadap Temuan
Analisis temuan lapangan ini mencoba memberikan gambaran benang merah (Kesimpulan)
yang menjadi inti pokok dari kasus Pulau Padang yaitu :
1) Isu Penduduk Asli
Dalam perjalanan kasus, tim menemui beberapa pernyataan berbagai pihak terkait dengan
keberadaan penduduk Pulau Padang. Setelah melakukan analisis atas data sekunder dan
primer, tim ingin menggaris bawahi bahwa :
a. Sejak lama, jauh sebelum Indonesia merdeka, Pulau Padang adalah pulau yang
memiliki penduduk plural yang berasal dari berbagai etnis.
b. Sejak lama penduduk yang plural ini membangun interaksi sosial dengan sangat baik
diantara mereka.
2) Tata Batas Kawasan Hutan
94
Berdasarkan telaahan data yang ada, tim ingin mengagrisbawahi bahwa di Pulau
Padang belum ada kepastian tanda batas kawasan hutan negara, konsesi dengan
kawasan kelola masyarakat.
3) Ruang Kelola dan Klaim Masyarakat
Berdasarkan analisis data dan temuan lapangan, terkait dengan poin ruang kelola dan
klaim masyarakat atas lahan di Pulau Padang, tim ingin menggaris bawahi hal-hal sebagai
berikut :
a) Status Tata Kuasa
a) Masyarakat Pulau Padang memperoleh tanah dan lahan melalui pewarisan turun
temurun
b) Masyarakat memiliki sistem penguasaan tanah dilapangan baik berdasarkan
kebiasaan maupun berdasarkan hukum yang ada.
c) Tim menemukan penguasaan-penguasaan berupa Surat Keterangan Tanah (SKT)
dari Kepala Desa dan Sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional.
d) Sistem penguasaan lain adalah berupa penguasaan fisik dilapangan dengan bukti
pohon-pohon tua, kuburan tua, kampung tua dan sebagainya.
b) Status Tata Kelola
Masyarakat Pulau Padang melakukan pengelolaan lahan dilapangan berupa :
Perkebunan Karet dan Sagu.
Khususnya masyarakat suku Akit melakukan pemanfaatan hasil hutan non kayu
seperti daun nipah untuk atap dan berburu.
4) Masalah-Masalah Terkait Tata Kuasa dan Tata Kelola
Berdasarkan analisis dari data sekunder dan temuan lapangan, terkait dengan tata
kuasa dan tata kelola, tim ingin menggarisbawahi hal-hal sebagai berikut:
a. Ada kebun dan pemukiman yang tumpang tindih dengan areal perizinan
IUPHHK-HTI PT. RAPP
b. Ditemukan adanya penyimpangan terhadap proses pemberian Surat Keterangan
Tanah yang berdampak pada tidak tepatnya penerima Sagu Hati.
c. Hilangnya Sumber Ekonomi Masyarakat
95
e) Kekhawatiran hilangnya sumber-sumber ekonomi lokal bersumber dari
ketidakpastian hak penguasaan masyarakat
f) Kekhawatiran hilangnya sumber-sumber ekonomi lokal bersumber dari
kemungkinan rusaknya Pulau Padang karena
5) Keterwakilan/Penyelesaian Konflik Lahan
Keterwakilan memiliki keterkaitan kuat dengan diterima atau tidak diterimanya
IUPHHK-HTI di Pulau Padang dan sekaligus berhubungan langsung dengan proses
pelaksanaan negosiasi pemberian ganti rugi atau sagu hati.
a) Terjadi perpecahan di tingkat aparatur desa dalam mensikapi IUPHHK-HTI
yaitu :
Kepala desa sepulau Padang menandatangani surat kesepakatan dengan
perusahaan yang intinya memuat protokol/cara-cara bernegosiasi untuk
operasional IUPHHK-HTI di Pulau Padang.
3 (Tiga) Kepala Desa kemudian mencabut persetujuannya di surat perjanjian
tersebut.
12 (Dua Belas) Ketua Badan Permusyawaratan Desa di Pulau Padang
membuat surat pernyataan menolak keberadaan IUPHHK-HTI di Pulau
Padang.
b) Terjadi kekeliruan dalam pemberian Sagu Hati kepada pihak yang bukan pemilik
lahan
6) Perizinan Termasuk Lingkungan
Berdasarkan analisis data, wawancara dan hasil pertemuan dengan ahli, maka Tim
Mediasi ingin menyampaikan benang merah sebagai berikut :
a) Terkait dengan perizinan ada kontroversi yang mengemuka mengenai pemenuhan
keabsahan syarat pemberian izin dan ada situasi tumpang tindih peraturan
perundang-undangan, tidak singkron sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum soal perizinan.
b) Terkait dengan isu lingkungan ada kontroversi mengenai pengelolaan gambut
dalam di Pulau Padang
96
Terdapat dua pandangan berbeda terhadap pengelolaan gambut dalam dan
kerentanan Pulau Padang
Secara akademis kedua pandangan tersebut belum dapat diterima karena
data-data yang diperlukan untuk menjawab isu lingkungan di Pulau Padang
belum lengkap.
7) Potensi Konflik Horizontal
Kontroversi yang terjadi dilapangan terkait dengan adanya IUPHHK-HTI di Pulau
Padang jika tidak tertangani dengan baik maka akan menimbulkan hal-hal sebagai
berikut:
a) Ada potensi konflik horizontal diantara masyarakat yang menerima dengan
yang menolak perizinan IUPHHK-HTI dan dengan pekerja perusahaan.
b) Ada potensi konflik antara masyarakat Pulau Padang dengan masyarakat di
Selat Panjang karena isu ketertiban dan keamanan yang timbul akibat
terjadinya demonstrasi ke ibu kota kabupaten.
8) Faktor-Faktor Lain Yang Mempengaruhi Konflik dan Respons Terhadap Proses
Mediasi.
Selama perjalanan kerja Tim Mediasi, terdapat situasi-situasi dan proses-proses
lain untuk penanganan kasus Pulau Padang yang mempengaruhi perjalanan tim
diantaranya adanya berbagai pembicaraan antara masyarakat dengan Kementrian
Kehutanan yang mempengaruhi diterima atau tidaknya proses mediasi ini oleh
masyarakat.
9) Inti Penolakan Masyarakat Pulau Padang
Berdasarkan analisis data, wawancara dan temuan lapangan, tim kemudian
menangkap inti masalah yang disampaikan oleh masyarakat yaitu :
Lukit Mengkirau Bagan Melibur
Pulau akan Tenggelam Pulau akan tenggelam Pulau akan tenggelam
97
Proses pemberian sagu hati yang tidak transparan dan salah sasaran dalam pemberian sagu hati
Hilangnya sumber ekonomi masyarakat
Hilangnya sumber ekonomi masyarakat
Tumpang tindih lahan Keberadaan perusahaan PT. RAPP tidak pernah di sosialisasikan kepada masyarakat
Lahan masyarakat akan digusur oleh perusahaan
Lahan perkebunan masyarakat yang masuk dalam konsesi
Lahan masyarakat akan digusur oleh perusahaan
Tidak adanya ruang kehidupan untuk generasi masa depan
Tumpang tindih dalam pemberian SKT
Tumpang tindih lahan
Hilang sumber ekonomi masyarakat
Makin sulitnya kebutuhan masyarakat terhadap kayu untuk pembangunan rumah
Berdasarkan benang-benang merah yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka pada
bagian ini akan diurakan alternatif solusi yang dapat Tim Mediasi rekomendasikan. Tetapi
sebelumnya, Tim ingin menggambarkan tawaran terakhir para pihak yang disampaikan
kepada Tim Mediasi yaitu:
Tabel Tawaran Penyelesaian Konflik oleh Para Pihak
Masyarakat dan LSM PT. RAPP PemerintahMengeluarkan seluruh konsesi PT. RAPP dari Pulau Padang dengan alasan :1. Operasi RAPP dapat
menyebabkan Pulau Padang tenggelam
2. Perizinan RAPP cacat hukum karena :a. Proses Amdal yang
tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
b. Berada di lahan gambut dengan kedalaman di atas 3 mater.
c. Berada di Pulau kecil
1. Penyelesaian konflik mengacu pada kesepakatan bersama kepala Desa tanggal 27 Oktober 2011, dengan cara :a. Pembuktian fisik dan
legalitasb. Pemberian sagu hati,
kerjasama pengelolaan dan isolasi.
c. Pembangunan tanaman kehidupan.
2. Dampak Lingkungan dapat diminimalisasi dengan teknologi
1. Solusi yang ditawarkan harus sesuai dengan Hukum yang berlaku, khususnya Hukum Kehutanan
2. Mengeluarkan semua wilayah-wilayah kelola dan wilayah yang menjadi hak masyarakat yang tumpang tindih dengan konsesi.
3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat
98
(menurut UU Nomor 27 tahun 2007)
3. Menghilangkan kebutuhan dasar masyarakat akan kayu (perumahan, keranda jenasah, perahu, dll)
ecohydro (pengaturan tata air)
Berdasarkan analisis terhadap kasus masyarakat Pulau Padang dengan PT. RAPP, Tim
mediasi dapat menggambarkannya melalui diagramatis sebagai berikut :
99
BAB IV
REKOMENDASIRekomendasi Umum
Mencermati tingginya eskalasi konflik tenurial khususnya di sektor kehutanan akhir-akhir ini,
maka Tim Mediasi Konflik menyampaikan rekomendasi umum sebagai berikut:
1. Percepatan proses pengukuhan kawasan hutan.
2. Perluasan wilayah kelola rakyat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan.
3. Harmonisasi regulasi perizinan secara terpadu bidang kehutanan untuk menghindari
kasus hukum bagi pengambil kebijakan dan memberikan kepastian hukum bagi
pelaku usaha.
4. Pelembagaan mekanisme penyelesaian konflik di Kementrian Kehutanan.
100
5. Menyelesaikan gap antara perkembangan ilmu dan teknologi dengan kebijakan
terkait pengelolaan kawasan gambut.
6. Membuat peraturan perundang-undangan yang dapat memperkuat hak masyakat adat
dalam pengelolaan hutan.
7. Mengefektifkan prinsip Free, Prior, Informed and Consent (FPIC) dalam
pengelolaan hutan.
Rekomendasi Khusus
Berdasarkan analisis data dan temuan lapangan, maka Tim Mediasi merekomendasikan hal-
hal sebagai berikut untuk menjadi pertimbangan bagi Kementrian Kehutanan untuk
mengambil keputusan penyelesaian Kasus Pulau Padang ini.
Pilihan-pilihan rekomendasi berdasarkan hasil analisis :
a. Solusi Alternatif berupa Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No 327/Menhut-II/2009
dengan mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang dari area konsesi.
Kekuatan Kelemahan Langkah Yang Harus Diambil
Mengangkat citra dephut terkait penyelamatan gambut dan perubahan iklim
Akan di gugat di PTUN karena keputusan ini sangat lemah, antara lain tanpa surat peringatan atas suatu pelanggaran yang dilakukan PT. RAPP
Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Biro Hukum Kemenhut, Dirjen BUK, NGO)
Menyelesaikan perdebatan isu lingkungan
Mengeluarkan ganti rugi pada pemegang izin
Menegosiasikan ganti rugi kepada pemegang perizinan
Menyelesaikan konflik sosial
Hutan Pulau Padang menjadi Open Access dan cepat hancur akibat tidak ada pihak yang diwajibkan menjaganya
Review kerentanan dampak lingkungan terhadap Pulau Padang yang dilakukan tim independen (Ahli, LSM, Masyarakat)
Menjawab masalah ketergantungan masyarakat
Tidak ada kepastian hukum dan usaha serta kepastian
101
terhadap kebutuhan kayu lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja
B. Solusi Alternatif berupa Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No 327/Menhut-II/2009
dengan mengurangi luasan IUPHHK-HTI blok Pulau Padang.
Kekuatan Kelemahan Langkah Yang Harus Diambil
1. Adanya bukti fisik penguasaan lahan dan pemanfaatan hutan masyarakat ada
1. Berpeluang di gugat di PTUN jika luas yang dikurangi azas ekonomi
1. Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Bagian Hukum Dephut, Dirjen BUK, NGO)
2. Proses penyusunan tata ruang sedang berlangsung
2. Tidak menjawab isu lingkungan jika AMDAL tidak direvisi
3. Review kerentanan dampak lingkungan terhadap Pulau Padang yang dilakukan tim independen (Ahli, LSM, Masyarakat)
4. Melanjutkan mediasi dengan masyarakat
3. Tata batas areal IUPHHK sedang berlangsung
3. Tidak menjawab isu gambut dan perubahan iklim
4. Menjawab isu tumpang tindih kelola masyarakat
5. Memperluas ruang kelola masyarakat
4. Belum menjawab kebutuhan kayu masyarakat dimasa yang akan datang
Jika Solusi A yang dipilih maka yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
8. Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Biro Hukum
Kemenhut, Dirjen BUK, NGO)
9. Review kerentanan dampak lingkungan terhadap Pulau Padang yang dilakukan tim
independen (Ahli, LSM, Masyarakat)
10. Menyiapkan langkah antisipasi terhadap konsekuensi hukum antara lain gugatan perdata
dan gugatan PTUN.
11. Menegosiasikan ganti rugi kepada pemegang perizinan
Untuk detail kegiatan sebagai berikut :
102
a) Kementrian Kehutanan membuat rencana pemanfaatan hutan Pulau Padang.
b) Mempercepat proses padu serasi RTRWP dengan TGHK terkait keberadaan desa-
desa yang berada di Pulau Padang dengan menerbitkan SK Penetapan Sementara
oleh Menteri Kehutanan terhadap areal yang tidak bermasalah.
c) Melakukan analisis tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan dan hutan
sebagai dasar penyelesaian konflik dan model pemberdayaan masyarakat di Pulau
Padang.
Jika solusi B yang dipilih maka perlu dilakukan hal-hal sebegai berikut :
1. Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Bagian Hukum
Dephut, Dirjen BUK, NGO)
2. Melanjutkan mediasi dengan masyarakat
Untuk detail kegiatan sebagai berikut :
a. Pemetaan Partisipatif ruang kelola masyarakat yang tumpang tindih dengan
konsesi PT. RAPP. Pemetaan partisipatif yang melibatkan instansi terkait,
perusahaan, LSM dan masyarakat diarahkan semaksimal mungkin mengeluarkan
wilayah kelola masyarakat.
b. Mempercepat proses padu serasi RTRWP dengan TGHK terkait keberadaan desa-
desa yang berada di Pulau Padang dengan menerbitkan SK Penetapan Sementara
oleh Menteri Kehutanan terhadap areal yang tidak bermasalah dan tidak tumpang
tindih dengan.
c. Melakukan identifikasi dan pemetaan partisipatif wilayah kelola masyarakat di
semua desa di pulau padang yang tumpang tindih dengan konsesi RAPP dan
HPT.
d. Merasionalisasi ijin RAPP dengan mengeluarkan ruang kelola masyarakat yang
berada dalam HPT dan dikelola dengan skema HTR atau hutan desa.
e. Penyelesaian lahan pemukiman dan lahan garapan, kebun dan masyarakat yang
ada di HPK diselesaikan melalui revisi RTRWP dan penataan batas kawasan
hutan.
103
f. Melakukan analisis tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan dan hutan
sebagai dasar penyelesaian konflik dan model pemberdayaan masyarakat di Pulau
Padang.
g. Revisi terhadap protokol penyelesaian konflik dengan menambahkan pihak
independen untuk melakukan pemantauan.
h. Meninjau ulang proses negosiasi sagu hati yang sudah ada dan sedang
berlangsung dengan menitikberatkan pada penerapan prinsip Keputusan Bebas
Diinformasikan dan Didahulukan (Free, Prior, Informed and Consent).
i. Membentuk tim kecil (3 orang) yang bertugas untuk mentransformasi gagasan
penyelesaian, mendorong rekonsiliasi dan mementoring proses negosiasi/mediasi.
Tim juga ini harus memiliki kewenangan untuk menata ulang dan
mengkonsilidasikan inisiatif penyelesaian yang sudah dilakukan oleh tim terpadu
pemda kabupaten maupun tim land dispute perusahaan serta Tim 9 di setiap desa.
j. Kementerian Kehutanan membentuk tim yang Independen yang bertugas untuk
Menelaah dan memverifikasi kontoversi proses perijinan dalam pendekatan
legal audit untuk menjernihkan kesimpang siuran informasi dan kajian-
kajian hukum yang beredar bebas.
Mengkaji resiko lingkungan terhadap rencana operasional PT. RAPP di
Pulau Padang.
Melakukan study mendalam oleh gabungan para pakar (ekosistem gambut,
sosiologi, antropologi, dan ekonomi pedesaan) untuk melihat secara
objektif dampak pembukaan hutan alam skala luas terhadap penurunan
gambut dan kehidupan social, ekonomi dan budaya masyarakat setempat
serta melihat kerentannya sebagai pulau kecil.
k. Proses mediasi telah dilakukan oleh Tim Mediasi berupa proses pra mediasi yang
memenuhi tugas tim poin 1, 2, 3, 4, dan 6 yaitu : 1) Melakukan desk analisys atas
data dan informasi perijinan hutan tanaman dan tuntutan masyarakat setempat, 2)
Mengumpulkan dan menelaah fakta, data dan informasi di lapangan, 3)
Mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait tuntutan
masyarakat setempat, 4) Melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder
terkait dengan tuntutan masyarakat dan 5) Melaporkan hasil kerja Tim kepada
Menteri Kehutanan paling lambat pada minggu IV bulan Januari 2012. Khusus
mengenai tugas poin lima yaitu “Melaksanakan mediasi terhadap masyarakat
setempat dengan RAPP” belum dapat dilaksanakan karena penolakan dari
104
masyarakat yang tetap menginginkan Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No
327/Menhut-II/2009 dengan mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang dari area
konsesi dengan alasan lingkungan, dimana mereka tetap meminta kementrian
Kehutanan langsung melakukan hal tersebut. Mereka beranggapan bahwa proses
mediasi bukanlah proses yang tepat saat ini. Karena itu, Tim Mediasi
merekomendasikan proses mediasi saat ini diakhiri sesuai dengan batas waktu
tugas tim mediasi yang sudah tetapkan di surat keputusan
SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011 tentang Pembentukan Tim
Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau
Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Untuk selanjutnya, mediasi
dapat dilakukan kembali ketika ada permintaan tertulis dari masyarakat yang
menolak keberadaan IUPHHK-HTI tersebut.