DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

155
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Luas kawasan hutan di Indonesia tercatat jumlahnya kurang lebih 136,88 juta hektar, termasuk kawasan konservasi perairan. Sebagai negara yang terletak pada kawasan tropis dunia, hutan Indonesia terdiri dari 15 formasi hutan dan sebagian besar didominasi oleh tipe hutan hujan tropis. Hutan tropis Indonesia dikenal sebagai tempat megadiversity sehingga menjadi pusat konsentrasi keragaman hayati, baik di daratan maupun perairan. 1 Sektor kehutanan telah memberikan kontribusi secara signifikan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, pada periode tahun 1990- 1995 sektor kehutanan Indonesia menguasai pasar kayu tropis (hardwood) dunia, dan menyumbangkan devisa 16 miliar dolar AS/tahun dan terbesar ke-2 setelah migas. Industri kehutanan juga memberikan multiplier effect terhadap peningkatan sosial- ekonomi bagi masyarakat di sekitar hutan berupa kesempatan kerja, infrastruktur dan percepatan pembangunan wilayah. Namun, sejak lima tahun terakhir, kinerja produksi dan ekspor industri kehutanan (kecuali pulp) mengalami kemerosotan. Industri kehutanan saat ini menghadapi berbagai permasalahan, seperti penurunan secara drastis khususnya bahan baku industri (BBI) dari hutan alam. Industri kehutanan belum siap menggunakan BBI kayu fast growing species berdiameter kecil, 1 Kementerian Kehutanan, Rencana Strategis 2010-2014, (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.08/Menhut-II/2010 Tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014) hlm 4

Transcript of DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

Page 1: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Luas kawasan hutan di Indonesia tercatat jumlahnya kurang lebih 136,88

juta hektar, termasuk kawasan konservasi perairan. Sebagai negara yang

terletak pada kawasan tropis dunia, hutan Indonesia terdiri dari 15

formasi hutan dan sebagian besar didominasi oleh tipe hutan hujan tropis.

Hutan tropis Indonesia dikenal sebagai tempat megadiversity sehingga

menjadi pusat konsentrasi keragaman hayati, baik di daratan maupun

perairan.1

Sektor kehutanan telah memberikan kontribusi secara signifikan dalam

pertumbuhan ekonomi nasional, pada periode tahun 1990-1995 sektor

kehutanan Indonesia menguasai pasar kayu tropis (hardwood) dunia, dan

menyumbangkan devisa 16 miliar dolar AS/tahun dan terbesar ke-2

setelah migas. Industri kehutanan juga memberikan multiplier effect

terhadap peningkatan sosial-ekonomi bagi masyarakat di sekitar hutan

berupa kesempatan kerja, infrastruktur dan percepatan pembangunan

wilayah. Namun, sejak lima tahun terakhir, kinerja produksi dan ekspor

industri kehutanan (kecuali pulp) mengalami kemerosotan. Industri

kehutanan saat ini menghadapi berbagai permasalahan, seperti

penurunan secara drastis khususnya bahan baku industri (BBI) dari hutan

alam. Industri kehutanan belum siap menggunakan BBI kayu fast growing

species berdiameter kecil, inefisiensi produksi, biaya ekonomi tinggi,

distorsi pasar akibat krisis ekonomi global, dukungan kebijakan dan

regulasi kurang kondusif, serta hambatan eksternal trade barrier dan isu

lingkungan. Jika keadaan tersebut berlanjut, dikhawatirkan industri

kehutanan semakin terpuruk dan kalah dalam persaingan di pasar global.2

1 Kementerian Kehutanan, Rencana Strategis 2010-2014, (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.08/Menhut-II/2010 Tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014) hlm 42 http://agroindonesia.co.id/2010/10/11/selamatkan-industri-kehutanan-nasional/ Dibuka tanggal 21-01-2011

Page 2: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

2

Pembangunan kehutanan tahun 2011 secara umum dilatarbelakangi

dengan kondisi bahwa perspektif optimalisasi pemanfaatan hutan perlu

lebih dikembangkan tidak hanya bertumpu pada produk kayu tetapi juga

hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan sebagai penyedia udara

bersih, penyerap karbon, keanekaragaman hayati, penyedia air dan

wisata alam. Era sektor kehutanan yang berbasis kayu dan diluar

kemampuan hutan untuk memproduksinya sudah saatnya dibatasi dan

selanjutnya dilakukan penggalian potensi di luar kayu. Banyak ahli yang

berpendapat bahwa kayu berkontribusi hanya sebesar 1% dari seluruh

potensi hutan yang ada, dan ketika pohon di eksploitasi, 99% potensi

lainnya ikut hilang3

Kementrian kehutanan mencatat, di dalam dan di sekitar kawasan hutan

di Indonesia terdapat masyarakat yang kehidupannya terkait erat dengan

hutan. Pada tahun 2003 dari 220 juta penduduk Indonesia terdapat 48,8

juta orang diantaranya tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan, dan

kurang lebih 10,2 juta secara struktural termasuk kategori

miskin/tertinggal. Penduduk tersebut sebagian bermata pencaharian

langsung dari hutan yang ada disekitarnya, sedangkan yang bekerja

disektor swasta kurang lebih 3,4 juta orang. Upaya untuk meningkatkan

kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang dilakukan

pemerintah antara lain melalui Pembangunan Masyarakat Desa Hutan

(PMDH) oleh para pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan

(IUPHH)/Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di luar Pulau Jawa dan

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Pulau Jawa, serta

bentuk pemberdayaan masyarakat lainnya seperti melalui kegiatan hutan

kemasyarakatan, hutan rakyat dan hutan desa.4

Namun demikian, pengelolaan dan pemanfaatan hutan seringkali diikuti

dengan munculnya konflik. CIFOR dan FWI menyatakan bahwa antara

tahun 1997 – 2003, terdapat 359 kasus konflik. Sebesar 39% konflik

3 Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Pada Pembukaan Rakornis Ditjen Planologi Kehutanan Tahun 2010, Jakarta, Rapat Koordinasi Teknis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Tahun 2010, 26 Juli 20104 Ibid hlm 7

Page 3: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

3

terjadi di areal HTI, 34% di kawasan konservasi (termasuk hutan lindung

dan taman nasional), dan 27% di areal HPH. Akibat konflik ini, warga

masyarakat sebagai pihak yang lemah kehilangan hak atas hutan atau

dipenjara bahkan sering terjadi korban jiwa karena dianggap menghuni

kawasan hutan negara secara melawan hukum atau illegal.5

Hasil pendokumentasian HuMa dan mitranya, sedikitnya 69 kasus

sengketa Kehutanan yang terjadi di sepuluh Provinsi.6 Sementara itu, KPA

mencatat, konflik agraria khususnya di sektor kehutanan mengalami

peningkatan dalam setahun terakhir. Konflik itu melibatkan masyarakat

dan perusahaan. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

mencatat sepanjang 2011 terdapat 163 konflik agraria atau meningkat

35% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 106 konflik.

Sebanyak 33 koflik di antaranya merupakan konflik yang berada di areal

kehutanan.7

Berdasarkan fakta-fakta pengelolaan hutan dan kondisi kehutanan

umumnya, Kementrian Kehutanan menyusun kerangka kerja jangka

panjang untuk memperbaiki posisi sektor kehutanan dalam pembangunan

bangsa. Kondisi sumberdaya hutan yang secara kualitas semakin

menurun, maka esensi pembangunan kehutanan dalam 20 tahun kedepan

dimulai dari awal periode Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN), adalah mengoptimalkan pemanfaatan potensi yang masih ada,

melalui penerapan secara ketat kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari,

termasuk mencegah laju kerusakan, serta melakukan percepatan

rehabilitasi hutan dan lahan yang telah terdegradasi guna memulihkan

fungsi dan/atau meningkatkan produktivitasnya. Berdasarkan arah

kebijakan dan strategi pembangunan nasional di atas ditetapkan visi

pembangunan kehutanan dalam Renstra Kementerian Kehutanan Tahun

5 Cahya Wulan, Yuliana, Purba, Christian, Yasmi, Yurdi, Wollenberg, Eva, 2004, Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003, Bogor: Center for International Forestry Research, hal. 1 dan 86 http://nasional.kompas.com/read/2011/11/17/11370470/Konflik.Kehutanan.Mencemaskan. Dibuka tanggal 21-01-20117 Media Indonesia, Jumat, 06 Januari 2012, http://idsps.org/idsps-news-indonesia/berita-media/kemenhut-terus-atasi-konflik-kehutanan/

Page 4: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

4

2010-2014, yaitu “Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang

Berkeadilan”.8

Ketika isu perubahan iklim bergulir, hutan Indonesia menjadi sorotan

dunia. Masyarakat dunia mengharapkan hutan Indonesia memberikan

kontribusi penting terhadap penyerapan dan penyimpanan karbon yang

menjadi satu penyebab terjadinya perubahan iklim. Untuk itu Indonesia

berkomitmen untuk menurunkan emisi gas-gas rumahkaca sebanyak 26

persen dari level “business as usual,” pada tahun 2020, atau 41 persen

bila ada bantuan keuangan dari negara-negara maju. Pengumuman ini

dibuat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di pertemuan G20

di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, pada September 2009.9

Sebagai tindak lanjut kongkrit dari komitmen tersebut, pemerintah

Indonesia telah menerbitkan Inpres No 10 Tahun 2011 tentang Penundaan

Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer

dan Lahan Gambut. Inpres ini dikeluarkan bulan Mei 2011 untuk

memerintahkan 10 Institusi Pemerintah segera mengambil langkah-

langkah penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan

menunda pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang

berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan

produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat

dikonversi) dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta

Indikatif Penundaan Izin Baru yang menjadi Lampiran Instruksi Presiden.

Merespons Inpres ini, Kementerian Kehutanan pun mengeluarkan SK

323/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan

Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan

dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain.

Kementrian Kehutanan dalam Renstranya telah mempertimbangkan

sebagai respon terhadap pengurusutamaan pembangunan berkelanjutan 8 Opcit, Kementerian Kehutanan, Rencana Strategis 2010-2014, (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.08/Menhut-II/2010 Tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014) hlm 49 http://iklimkarbon.com/2010/02/24/komitmen-penurunan-emisi-indonesia-2020%E2%80%A8-26-%E2%80%93-41-di-bawah-bau/ dibuka tanggal 21-01-2012

Page 5: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

5

guna mewujudkan kelestarian pemanfaatan sumberdaya hutan, serta

respon terhadap pengurusutamaan perubahan iklim menuju penurunan

emisi karbon sektor kehutanan sebesar kurang lebih 13% pada tahun

2020 melalui upaya-upaya sistematis dalam skema mitigasi dan adaptasi

terhadap perubahan iklim.10

Bangsa Indonesia, telah menyadari berbagai masalah yang muncul dalam

pemanfaatan kekayaan alam ini sudah lama berlangsung. Sehingga poin-

poin penting mengenai ini beserta langkah penyelesaiannya telah menjadi

komitmen bangsa yang tertuang dalam dokumen negara yaitu TAP

IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam memerintahkan sejumlah langkah-langkah konkrit untuk

mewujudkan pembaruan agraria dan pengelolan sumber daya alam

mendukung kualitas lingkungan, menghapus ketimpangan struktur

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta

mencegah konflik. Pada pasal 5 disebutkan bahwa arah kebijakan

pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam adalah :

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka

sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan

perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip

sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan

dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.

c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan

registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan

tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan

landreform.

d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya

agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi

potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya

10 Renstra Kehutanan halaman 67

Page 6: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

6

penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip

sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka

mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan

konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang

terjadi.

f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam

melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-

konflik sumber daya agraria yang terjadi.

Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah :

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber

daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang

berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4

Ketetapan ini.

b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam

melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber

daya alam sebagai potensi pembangunan nasional.

c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat

mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong

terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi

ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.

d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber

daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah

dari produk sumber daya alam tersebut.

e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang

timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di

masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum

dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal

4 Ketetapan ini.

f. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat

eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Page 7: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

7

g. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan

pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi,

kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun

nasional. 11

Terkait dengan konflik kehutanan, guna mengatasi dan mencegah konflik

meluas, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menggunakan berbagai

macam langkah-langkah, termasuk memberdayakan masyarakat yang

tinggal di areal konflik. “Kita harus jamin kepastian dan keadilan, harus

berdayakan masyarakat. Jangan justru membuat pagar berduri, tapi pagar

mangkuk atau kesejahteraan bagi masyarakat,” kata Menteri Kehutanan

Zulkifli Hasan, Rabu (4/1).12

Selain itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan pada 2012

kementeriannya berfokus menyelesaikan konflik lahan. “Tahun depan,

pemanfaatan lahan diutamakan untuk masyarakat. Pengusaha nanti

dulu,” ujar Zulkifli di kantornya, Rabu, 28 Desember 2011. Program

penyelesaian konflik ini, menurut Zulkifli, bakal melibatkan pemerintah

daerah dan didukung lembaga swadaya masyarakat. Pemerintah daerah,

dia menjelaskan, berperan membagi lahan kepada masyarakat.

Sedangkan LSM kebagian tugas mendata lahan yang disengketakan.13

Salah satu konflik kehutanan yang mengemuka kepermukaan dua bulan

terakhir ini adalah konflik kehutanan yang terjadi di Pulau Padang Riau.

Kasus ini bermula dari terbitnya Surat keputusan yang menambah luasan

areal HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper (PT. RAPP) seluas 235.140 hektar

menjadi 350.167 hektar pada tahun 2009. Dari jumlah itu, 41.205 hektar

11 Oleh UU No 12 Tahun 2011, TAP ini telah ditempatkan dalam struktur peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-undang. Karena itu, TAP ini harus dijalankan oleh berbagai regim hukum sumber daya alam, termasuk bidang kehutanan.12 Media Indonesia, Jumat, 06 Januari 2012, http://idsps.org/idsps-news-indonesia/berita-media/kemenhut-terus-atasi-konflik-kehutanan/dibuka tanggal 21-01-201113 http://www.tempo.co/read/news/2011/12/29/206374192/2012-Menteri-Kehutanan-Bereskan-Konflik-Lahan, dibuka tanggal 21-01-2012

Page 8: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

8

berada di Pulau Padang.14 Perluasan ini mendapat penolakan dari

masyarakat Pulau Padang dan lembaga swadaya masyarakat dengan

alasan utama yaitu 1) pelanggaran proses perizinan, 2) isu lingkungan

terkait dengan Pulau Padang sebagai pulau yang seluruh daerahnya

terdiri dari lahan gambut dalam dan 3) tumpang tindihnya pemanfaatan

lahan dan hutan di Pulau Padang yang dilakukan oleh masyarakat dengan

area konsesi perusahaan. Konflik ini kemudian mengemuka di media-

media nasional seiring dengan aksi jahit mulut yang dilakukan perwakilan

warga Pulau Padang di depan gedung DPR RI.

Mensikapi hal tersebut, kementrian kehutanan kemudian mengambil dua

opsi yaitu 1) meminta rekomendasi pencabutan/pengurangan izin dari

pemerintah daerah dan 2) membentuk tim mediasi konflik tersebut. Tim

mediasi konflik ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan

Nomor : SK.736/Menhut-II/2011II/2011 Tentang Pembentukan Tim Mediasi

Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di

Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau.

1.2. Tujuan dan Sasaran

Laporan ini adalah laporan hasil kerja tim yang bertujuan untuk :

1. Menjelaskan posisi kasus Pulau Padang, dan keinginan para pihak

terkait dengan penyelesaian kasus tersebut.

2. Memberikan gambaran arah penyelesaian dan rekomendasi-

rekomendasi kepada Kementrian Kehutanan.

1.3. Proses Mediasi

Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :

SK.736/Menhut-II/2011II/2011 Tentang Pembentukan Tim Mediasi

Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha 14 http://cetak.kompas.com/read/2011/12/21/03523413/jahit.mulut.warga.pulau.padang.berlanjut., dibuka tanggal 21-01-2011

Page 9: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

9

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di

Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau Menteri

Kehutanan memberikan tugas kepada tim sebagai berikut :

1. Melakukan desk analisis atas data dan informasi perijinan hutan

tanaman dan tuntutan masyarakat setempat;

2. Mengumpulkan dan menelaah fakta, data dan informasi di

lapangan;

3. Mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait

tuntutan masyarakat setempat;

4. Melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder terkait dengan

tuntutan masyarakat;

5. Melaksanakan mediasi terhadap masyarakat setempat;

6. Melaporkan hasil kerja Tim kepada Menteri Kehutanan paling

lambat pada minggu IV bulan Januari 2012.

Felix Oentoeng Soebagjo, Partner, Konsultan Hukum pada Soebagjo,

Jatim, Djarot - Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mendeskripsikan pengertian

mediasi diantaranya 1) “Mediasi” adalah proses negosiasi penyelesaian

masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak

bekerja dengan para pihak yang besengketa, membantu mereka (yang

bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang

memuaskan (Goodpaster, 1999 : 241), 2) “Mediation is a process in which

two or more people involved in a dispute come together, to try to work out

a solution to their problem with the help of a neutral third person, called

the “Mediator” (Lovenheim, 1996 : 1.3) dan 3) “Mediasi” adalah proses

penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para

pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk

kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang

disengketakan (PBI No. 8/5/PBI/2006, angka 5). Dari perumusan-

perumusan diatas dapat disimpulkan bahwa 1) Tidak sebagaimana halnya

seorang hakim atau arbiter, seorang mediator tidak dalam posisi (tidak

mempunyai kewenangan) untuk memutus sengketa para pihak, 2) Tugas

Page 10: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

10

dan kewenangan mediator hanya membantu dan memfasilitasi pihak

pihak yang bersengketa dapat mencapai suatu keadaan untuk dapat

mengadakan kesepakatan tentang hal-hal yang disengketakan. “The

assumption…….is that third party will be able to alter the power and social

dynamics of the conflict relationship by influencing the beliefs and

behaviors of individual parties, by providing knowledge and information ,

or by using a more effective negotiation process and thereby helping the

participants to settle contested issues” (Goodpaster, Tinjauan Dalam

Penyelesaian Sengketa, dalam Soebagjo dan Radjagukguk, 1995 : 11-12 )

dan 3) 3. Mediasi adalah Non-Coercive. Ini berarti bahwa tidak ada suatu

sengketa (yang diselesaikan melalaui jalur mediasi) akan dapat

diselesaikan, kecuali hal tersebut disepakati / disetujui bersama oleh

pihak-pihak yang bersengketa.15

Di Indonesia, mediasi adalah sebuah cara penyelesaian sengketa

alternatif yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan

diantaranya yaitu; 1) UU-30 /1999 (Alternatif Penyelesaian Sengketa

adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui

prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar

pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau

penilaian ahli), 2) PP-54/2000 (Mediator atau Pihak ketiga lainnya adalah

seorang atau lebih yang ditunjuk dan diterima oleh para pihak yang

bersengketa dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang

tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan) dan 3) PERMA NO. 01

TAHUN 2008 (Cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan

untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator

(Pasal 1 angka 7)).

15 Felix Oentoeng Soebagjo, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dibidang Perbankan, bahan Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia Dan Pembentukan Lembaga Independen Mediasi Perbankan”. Kerjasama Magister Hukum Bisnis Dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dan Bank Indonesia. Yogyakarta, 21 Maret 2007, hlm 1

Page 11: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

11

Berdasarkan pengertian mediasi dan tugas-tugas yang ada dalam SK

Menteri Kehutanan Nomor : SK.736/Menhut-II/2011II/2011 tersebut, tim

kemudian menterjemahkan menjadi tahapan mediasi yaitu :

1.2 Tim Mediasi

a. Dasar Hukum :

1. SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011 tentang

Pembentukan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat

Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang Kabupaten

Kepulauan Meranti Provinsi Riau.

2. Surat Perintah Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan

Nomor : PT.I/II-KUM/2012 tanggal 3 Januari 2012.

3. Surat Perintah tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan

Nomor : PT.I/II-KUM/2012 tanggal 3 Januari 2012.

b. Tugas dan Tanggungjawab :

Page 12: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

12

1) Melakukan desk analisys atas data dan informasi perijinan hutan

tanaman dan tuntutan masyarakat setempat;

2) Mengumpulkan dan menelaah fakta, data dan informasi di

lapangan;

3) Mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait

tuntutan masyarakat setempat;

4) Melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder terkait dengan

tuntutan masyarakat;

5) Melaksanakan mediasi terhadap masyarakat setempat;

6) Melaporkan hasil kerja Tim kepada Menteri Kehutanan paling

lambat pada minggu IV bulan Januari 2012.

c. Susunan Tim Mediasi

Pengarah : 1. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan

2. Staf Ahli Hubungan Antar Lembaga Kementerian

Kehutanan

3. Ketua Presidium DKN

Ketua : Andiko SH (Presidium DKN-Ketua Perkumpulan

Huma/LSM)

Sekretaris : Ir. Timbul Batubara MSi (Kasubdit Rencana Kerja dan

Produksi Ditjen BUK)

Anggota Tim :

1. Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar (Presidium DKN-Dosen Universitas

Sumatera Utara)

2. Jomi Suhendri, SH (Presidium DKN-Wakil Masyarakat)

3. Ir. Iman Harmaen, MBA (Presidium DKN-Asosiasi Pengusaha Hutan

Indonesia)

4. Ahmad Zazali (Presidium DKN-Scaleup Riau/LSM)

Page 13: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

13

5. Dr. Ir. Wawan, MP (Tim Pakar Independent Post Evaluation

Terhadap Rencana Dan Pelaksanaan Pengelolaan Ekohidro Di Areal

Kerja PT. RAPP Di Lahan Gambut HTI-Ring Semenanjung Kampar

Riau-Dosen Universitas Riau)

6. Ir. Agus Setiadi (Plt Kasubdit Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan

Ditjen Planologi)

7. Iman Sukendar,S.Hut, M.Si (Dinas Kehutanan Propinsi Riau)

8. Kaselan S.Hut (Dinas Kehutanan Dishutbun Kab.Kep.Meranti)

9. Camat Kecamatan Tanjung Belitung.

Pada tahap Pra Mediasi, tim mendapat tugas sesuai SK Menhut sebagai

berikut :

1. Melakukan desk analisis atas data dan informasi perijinan hutan

tanaman dan tuntutan masyarakat setempat;

2. Mengumpulkan dan menelaah fakta, data dan informasi di

lapangan;

3. Mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait

tuntutan masyarakat setempat;

4. Melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder terkait dengan

tuntutan masyarakat;

Dalam melaksanakan aktifitas Pra Mediasi, Tim Mediasi telah melakukan

kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

a) Melakukan penggalian data kepada pihak-pihak terkait seperti

masyarakat, perusahaan, pemerintah (Kementrian Kehutanan,

Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten) dan Lembaga Swadaya

Masyarakat

b) Melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait seperti

masyarakat, perusahaan, pemerintah (Kementrian Kehutanan,

Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten) dan Lembaga Swadaya

Masyarakat

Page 14: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

14

c) Melakukan investigasi lapangan untuk mencari data-data primer

melalui teknik wawancara, diskusi terfokus dan observasi lapangan.

d) Melakukan diskusi terfokus dengan para pakar.

e) Menggali pilihan-pilihan penyelesaian kasus kepada para pihak

terkait.

f) Melakukan analisis data.

Output dari kegiatan-kegiatan pra mediasi (tugas 1-4) dihasilkan Laporan

Akhir yang berisi antara lain :

1. Gambaran Konflik PT. RAPP dan masyarakat di Pulau Padang

2. Kronologis Konflik

3. Temuan Investigasi

4. Analisis Temuan

5. Rekomendasi

Selanjutnya, untuk melaksanakan tugas ke lima, yaitu melaksanakan

proses mediasi diperlukan sejumlah prasyarat, antara lain :

1. Mendapatkan mandat dari para pihak tentang kesediaan untuk

dimediasi

2. Membangun Kesepakatan Para Pihak tentang protokol Mediasi

(Subjek-Objek-Mediator)

3. Proses Mediasi-Perundingan Antar Pihak dipandu Mediator

4. Kesepakatan para pihak terhadap hasil mediasi

Page 15: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

15

BAB II

DATA, FAKTA DAN INFORMASI LAPANGAN

A. DESKRIPSI PULAU PADANG

1. Topografi dan Demografi Pulau Padang

Berdasarkan letak geografis, Pulau Padang terletak di sebelah timur Pulau Sumatera yang

dipisahkan dengan Selat Panjang, dengan batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah barat dengan pulau Sumatera

- sebelah timur dengan pulau Merbau

- Sebelah tenggara denan pulau Rantau

- sebelah Utara dengan pulau Bengkalis

Panjang Pulau Padang dari utara ke Selatan adalah 60 km, lebarnya 29 km dan sebagian besar

merupakan areal dengan topografi datar/landai dengan ketinggian 0-6 m dpl. Berdasarkan

wilayah administratif pemerintahan, Pulau Padang termasuk wilayah Kecamatan Merbau,

Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan

kabupaten termuda di Propinsi Riau yang baru berdiri tahun 2009 sebagai pemekaran wilayah

Kabupaten Bengkalis. Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti terdiri dari 13 pulau-pulau

kecil yaitu pulau Tebing Tinggi, Pulau Padang, Pulau Merbau, Pulau Ransang, Pulau Topang,

Pulau Manggung, Pulau Panjang, Pulau Jadi, Pulau Setahun, Pulau Tiga, Pulau Baru, Pulau

Paning, dan Pulau Dedap.

Sebagai daerah Kepulauan, Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan daerah yang terdiri

dari daratan-daratan rendah, dengan ketinggian rata-rata sekitar 1-6,4 meter diatas permukaan

laut. Didaerah ini juga terdapat beberapa sungai dan tasik (danau) seperti Sungai Siur dan

Page 16: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

16

Tasik Nembus di Pulau Tebing Tinggi; Sungai Merbau, Sungai Selat Akar dan Tasik Putri

Puyu di Pulau Padang; Tasik Air Putih dan Tasik Penyagun di Pulau Rangsang. Gugusan

daerah pulau ini terdapat beberapa pulau seperti Pulau Tebingtinggi (1.438,83 km2), Pulau

Rangsang (922,10 km2), Pulau Padang (1.109 km2) dan Pulau Merbau (1.348, 91 km2).

Sebelum pemekaran, Kecamatan Merbau terdiri dari Pulau Padang, Pulau Merbau dan Pulau

Dedap. Namun setelah pemekaran Kecamatan Merbau tinggal Pulau Padang dan Pulau

Dedap. Pulau Padang terdiri dari 13 desa dan 1 kelurahan, dan semuanya termasuk wilayah

Kecamatan Merbau. Sedangkan untuk wilayah Pulau Dedap (luas sekitar 2 ha) kondisinya

tidak berpenghuni.

Pulau Padang terbagi atas 14 desa, uraian singkat terhadap 14 desa tersebut disajikan sebagai

berikut:

1. Kelurahan Tanjung Belitung,Jumlah Penduduk : 1.179 KK / 5.120

jiwaSuku : Melayu (75%),

Jawa, Akit, Batak, Padang, Sunda, Lombok, Bugis, Cina

Agama : Islam (90%)Mata Pencaharian : Petani Karet

(70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

2. Desa Tanjung Padang,Jumlah Penduduk : 400 KKSuku : Melayu (80%),

Akit (15%) dan Jawa, Batak,dll (5%).

Agama : Islam (85%) dan lainnya beragama Kristen, Budha dan konghucu.

Mata Pencaharian : Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

3. Desa DedapJumlah Penduduk : 638 KK / 2.590

jiwaSuku : Banjar (70%),

Melayu (20%), Jawa, Cina dan Akit (10%).

Agama : Islam (85%) dan lainnya beragama Kristen, Budha dan konghucu.

Mata Pencaharian : Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

4. Desa KudapJumlah Penduduk : 560 KK / 2.590

jiwaSuku : Akit (70%),

Melayu (30%), Jawa (25%), Cina, Batak, Padang dan Banjar (5%).

Agama : Islam (55%), Budha (45%) dan Kristen

Mata Pencaharian : Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

5. Desa BandulJumlah Penduduk : 812 KKSuku : Melayu (80%),

6. Desa Selat AkarJumlah Penduduk : 574 KK / 2.406

jiwa.

Page 17: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

17

Akit, Jawa, Cina, Batak, Padang (20%).

Agama : Islam (95%), Budha dan Kristen

Mata Pencaharian : Petani Karet (80%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

Suku : Melayu (90%), Jawa, Cina, Batak, dll.

Agama : Islam (85%), Budha, Kristen dan Konghucu (15%)

Mata Pencaharian : Petani Karet (80%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

7. Desa MengkopotJumlah Penduduk : 636 KK / 2.245

jiwaSuku : Melayu (85%),

Jawa, Akit, Cina, Batak, Padang (15%).

Agama : Islam (95%), Budha dan Kristen

Mata Pencaharian : Petani Karet (60%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

8. Desa Bagan MeliburJumlah Penduduk : 716 KK / 2.915

jiwaSuku : Melayu (75%),

Melayu, Akit, Batak, Lombok, Bugis, Cina (10%)

Agama : Islam (98%), Budha, Kristen

Mata Pencaharian : Petani Karet (60%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

9. Desa MengkirauJumlah Penduduk : 537 KK / 2.186

jiwaSuku : Melayu (90%),

Jawa, Cina, Batak, dll (10%).

Agama : Islam (95%), Budha dan Kristen

Mata Pencaharian : Petani Karet (60%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

10. Desa Mekar SariJumlah Penduduk : 273 KKSuku : Melayu (50%),

Jawa (40%), Akit, Batak, Lombok, Bugis, Cina (10%)

Agama : Islam (90%), Budha, Kristen

Mata Pencaharian : Petani Karet (70%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

11. Desa PelantaiJumlah Penduduk : 485 KK / 2.192

jiwaSuku : Melayu (55%),

Jawa (45%).Agama : Islam (100%)

Mata Pencaharian : Petani Karet (80%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

12. Desa Meranti buntingJumlah Penduduk : 354 KK Suku : Melayu (95%),

Jawa, Lombok (5%).

Agama : Islam (100%)Mata Pencaharian : Petani Karet, Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

13. Desa Tanjung Belitung 14. Desa LukitJumlah Penduduk : 548 KK / 2.192

jiwaSuku : Melayu, Jawa, Akit

(90%), Cina, Padang, Bugis, tapanuli (10%).

Agama : Islam (95%), Budha dan Kristen

Page 18: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

18

(5%)Mata Pencaharian : Petani Karet (80%), Petani Sagu, buruh, nelayan, pedagang, guru, PNS.

Asal Usul Kepemilikan dan Sejarah Masyarakat Pulau Padang

Masyarakat yang ada di desa-desa di Pulau Padang sudah ada sebelum tahun 1918. Terdiri

dari 14 desa yaitu Lukit, Tanjung Padang, Kudap, Dedap, Mengkirau, Bagan Melibur, Mekar

Sari, Meranti Bunting, Mengkopot, Selat Akar, Bandul,dan satu kelurahan; Belitung. Jumlah

penduduk Pulau Padang sekitar 35.224 penduduk, berasal dari Etnis Melayu, Jawa, Bugis,

Minang, Lombok, Batak dan Akit. Walaupun terdapat heterogenitas, namun kehidupan

masyarakat Pulau Padang hidup rukun dan damai.

Ragam Mata pencaharian utama dari penduduk Pulau Padang adalah 70% petani, dan

sisanya adalah nelayan, PNS, buruh lepas, dan karyawan swasta. Rencana pembangunan HTI

di Pulau Padang telah mengubah dinamika yang sebelumnya kondusif menjadi berpotensi

konflik terbuka.

Di Pulau Padang juga terdapat contoh budidaya tanaman keras (karet, sagu) yang telah

berlangsung puluhan tahun pada kawasan gambut dalam dengan tata kelola air menggunakan

kanal berukuran kecil, dan menjadi andalan ekonomi Pulau Padang.

Pulau Padang sejak zaman kolonial sudah dihuni oleh masyarakat. Hal ini terlihat pada peta

yang dibuat pada tahun 1933 oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Pada peta tersebut dapat

dijelaskan letak beberapa perkampungan yang sudah ada sejak dibuatnya peta tersebut,

seperti Tandjoeng Padang, Tg. Roembia, S. Laboe, S. Sialang Bandoeng, Meranti, Boenting,

Tandjoeng Kulim, Lukit, Gelam, Pelantai, S. Anak Kamal dan lain-lain. Dari waktu ke waktu

desa Lukit dan desa-desa lain di Pulau Padang, sebagaimana telah disebutkan diatas semakin

ramai didiami oleh masyarakat, baik penduduk asli pedalaman suku Akid /Sakai, Melayu,

Jawa dan Cina.

Dari informasi masyarakat, bahwa kedatangan pertama kali masyarakat jawa di Desa

Mengkirau yaitu tahun 1918 yang dipelopori oleh Mbah Yusri. Setelah Mbah Yusri wafat

kemudian digantikan oleh Haji Amat yang digantikan oleh Selamat dan Jumangin (Haji

Ridwan). Selamat membuka lahan ke arah Mengkirau dan Haji Ridwan ke arah Bagan

Melibur. Ketika masyarakat Jawa pertama kali masuk ke daerah ini (1918) sudah ada

masyarakat Melayu yang dipimpin oleh Wan Husen. Kedatangan masyarakat Jawa sekitar

tahun 1918 tersebut untuk bekerja di kilang-kilang sagu. Hasil bekerja di kilang sagu tersebut

Page 19: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

19

dipergunakan untuk membuka lahan-lahan/kebun dipinggir sungai. Seiiring terjadinya abrasi

di pinggir sungai, masyarakat kemudian pindah kearah dalam sehingga terjadi penyebaran

penduduk seperti saat ini.

a. Perekonomian16

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Meranti pada tahun 2009 yaitu sebesar 6,59

persen,dibandingkan dengan tahun 2008 berkisar 7,34 persen. PDRB per kapita dan

pendapatan regional per kapita tahun 2009 mengalami peningkatan. Atas dasar harga

berlaku,PDRB per kapita tahun 2008 sebesar Rp 20,67 juta menjadi Rp 24,43 juta pada tahun

2009. Atas dasar harga konstan 2000, PDRB per kapita tahun 2009 mengalami peningkatan

dari sebesar Rp 6,13 juta pada tahun 2008 menjadi Rp 6,46 juta pada tahun 2009. Nilai

ekspor di Kabupaten Kepulauan Meranti hingga Desember 2009 mencapai US$ 10.759.426 .

Nilai ekspor tersebut hanya dari Pelabuhan Selatpanjang. Nilai impor di Kabupaten

Kepulauan Meranti selama 2009 mencapai US$ 155.313 melalui pelabuhan Selatpanjang.

Sagu

Meranti termasuk salah satu Kawasan Pengembangan Ketahanan Pangan Nasional karena

penghasil sagu terbesar di Indonesia. Selain itu masih ada kelapa, karet, kopi, pinang dan

perikanan. Luas area tanaman sagu di Kepulauan Meranti ( 44,657 Ha / 2006 )yaitu 2,98%

luas tanaman sagu nasional.Perkebunan sagu di Meranti telah menjadi sumber penghasilan

utama hampir 20% masyarakat Meranti.Tanaman sagu atau rumbia termasuk dalam jenis

tanaman palmae tropical yang menghasilkan kanji (starch) dalam batang (steam). Sebatang

pohan sagu siap panen dapat menghasilkan 180 – 400 kg tepung sagu kering. Tanaman sagu

dewasa atau masak tebang (siap panen) berumur 8 sampai 12 tahun atau setinggi 3 – 5 meter.

(Jong Foh Soon, Ph.D, PT National Timber Forest product) Produksi sagu (Tepung Sagu) di

Kepulauan Meranti pertahun mencapai 440.339 Ton (tahun 2006). Produktivitas lahan

tanaman sagu per tahun (kondisi eksisiting) dalam menghasilkan tepung sagu di Kepulauan

Meranti mencapai 9,89 Ton/Ha. Pada tahun 2006 di Kepulauan Meranti 440.000 ton lebih

tepung sagu dihasilkan dari pabrik pengolahan sagu (kilang sagu). Tak didapat data pasti

mengenai jumlah kilang dan kapasitas kilang pengolahan, namun diperkirakan terdapat 50

16 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kepulauan_Meranti, dibuka tanggal 23-01-2012

Page 20: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

20

kilang sagu dengan mengunakan teknologi semi mekanis dan masih memanfaatkan sinar

matahari untuk pengeringan (penjemuran). Terdapat dua kilang sagu yang telah beroperasi

dan memproses sagu secara modern dengan kapasitas desain 6.000 dan 10.000 Ton tepung

sagu kering per tahun. Selain itu limbah dari pengolahan tual sagu berupa kulit batang sagu

(ruyung), dapat dikembangkan jadi bio energi sebagai pengganti minyak tanah ataupun dibuat

pellet sebagai bahan pencapur bahan bakar batubara untuk keperluan ekspor ke Eropa yang

mulai dilirik investor Finlandia.

Migas

Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki potensi sumber daya alam, baik sektor Migas

maupun Non Migas, di sektor Migas berupa minyak bumi dan gas alam, yang terdapat di

daerah kawasan pulau Padang. Di kawasan ini telah beroperasi PT Kondur Petroleum S.A di

daerah Kurau desa Lukit (Kecamatan Merbau), yang mampu produksi 8500 barel/hari.Selain

minyak bumi, juga ada gas bumi sebesar 12 MMSCFD (juta kubik kaki per hari) yang

direncanakan penggunaannya dimulai 2011–2020. Di sektor Non MIgas kabupaten

Kepulauan Meranti memiliki potensi beberapa jenis perkebunan seperti sagu(Metroxylon sp)

dengan produksi 440.309 ton/tahun(2006), kelapa: 50.594,4 ton/tahun, karet: 17.470

ton/tahun, pinang: 1.720,4 ton/tahun, kopi: 1.685,25 ton/tahun. Hingga kini potensi

perkebunan hanya diperdagangkan dalam bentuk bahan baku keluar daerah Riau dan belum

dimaksimalkan menjadi industri hilir, sehingga belum membawa nilai tambah yang

mendampak luas bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Sementara di sektor kelautan dan

perikanan dengan hasil tangkapan: 2.206,8 ton/tahun. Selain itu masih ada potensi dibidang

kehutanan, industri pariwisata, potensi tambang dan energi.

Industri Pengolahan Arang Bakau

Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan,jumlah lokasi dan kapasitas produksi

perusahaan industri arang bakau adalah : 1) 22 perusahaan berlokasi di Kecamatan Tebing

Tinggi dengan kapasitas produksi 2.710/ton, 2) 14 perusahaan berlokasi di Kecamatan

Rangsang dengan kapasitas produksi 1.540/ton dan 3) 11 perusahaan berlokasi di Kecamatan

Merbau dengan kapasitas produksi 1.300/ton

Perdagangan

Page 21: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

21

Survei potensi industri dan perdagangan pada sektor industri mikro kecil terakhir kali

dilakukan pada kabupaten yang memiliki empat pulau besar itu yakni Pulau Padang, Pulau

Merbau, Pulau Rangsang, dan Pulau Tebing Tinggi menyebutkan industri rumah tangga

hampir merata terdapat disetiap kecamatan. Sebagian besar industri rumah tangga itu terdapat

di Kecamatan Tebing Tinggi dengan jumlah 234 unit usaha, kemudian disusul Kecamatan

Rangsang Barat 114 unit usaha, Kecamatan Rangsang 109 unit usaha, Kecamatan Merbau 38

unit usaha dan Kecamatan Tebing Tinggi Barat 37 unit usaha. Usaha yang digeluti itu antara

lain anyaman tikar pandan, atap rumbia, pembuatan tempe, makanan ringan, arang, perabotan

rumah tangga, batu bata, batako, pembuatan perahu/sampan, kopra, tepung sagu, mie sagu,

sagu rendang, dan kopi. Sebagian produk dari industri rumah tangga itu juga dipasarkan ke

luar daerah, seperti Batam, Cirebon bahkan sampai ke negeri jiran Malaysia dan Singapore

dalam bentuk industri hulu.

Perikanan

Masyarakat Kepulauan Meranti,khususnya daerah pesisir pantai Pulau Rangsang memiliki

ketergantungan tinggi terharap produk produk perikanan hal itu sebagai produk yang

diperdagangkan lokal sebagai sumber pemasukan pendapatan bagi masyarakat

setempat.Setidaknya terdapat 47 spesies ikan yang telah dikenal sebagai ikan tangkapan

masyarakat.Di antara ikan spesies yang dikenal ditangkapan masyarakat juga merupakan ikan

komsumsi yang dikenal luas dan diperdagangan di restoran-restoran besar baik di Riau

maupun Luar Riau, antara lain Baung, Patin, Selais dan Toman. Ikan-ikan tersebut sangat

potensial untuk dibudidaya sebagai alternatif mata pencaharian masyarakat Meranti

khususnya masyarakat Pulau Rangsang.

Budidaya Sarang Burung Walet

Sejak awal keberadaannya budidaya sarang burung walet menjadi primadona bagi masyarat

Kabupaten Meranti,terutama daerah kawasan Kota Selatpanjang.Dalam Jangka 10 tahun dari

tahun 2000 sampai sekarang telah menjamur ratusan penangkaran burung walet.hal tersebut

dikarena permintaan komoditas sarang burung walet sangat tinggi.Dari tempat ini sarang

burung walet diekspor ke Singapore dan Hongkong(China).Ditempat ini harga sarang burung

walet untuk kualitas terbaik bisa mencapai 20 juta per kg,walaupun disinyalir pola

perdagangan melalui Black Market.Pedagang atau perantara biasa mendatangi langsung ke

Page 22: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

22

lokasi lokasi produsen sarang walet dan perkilonya dihargai cuma 9 - 12 juta per kg,Nilai itu

jauh berbeda bila sarang burung walet dikelolah sendiri dan dijual langsung ke pusat

perdagangan yang ada di Singapore dan Hongkong. Tempat atau rumah penangkaran burung

walet di daerah kawasan kota Selatpanjang,pada umumnya dimiliki oleh masyarakat yang

dimiliki kemampuan finansial yang mapan,karena untuk membangun satu rumah biasa(kayu)

perlu dana sekitar 100 juta untuk ukuran 5x10x12 m.Biaya sebesar itu untuk komponen:

Upah borongan tenaga kerja sekitar 25 juta,bahan baku kayu 17 juta, dan sisanya untuk

perangkat budidaya itu sendiri.Pemelihara rumah walet tidak terlalu sulit kecuali pada saat

awal dengan memasang perangkap suara buatan dan membuat sumber makanan walet dari

nanas yan mulai membusuk.

b. Gambaran Singkat Kawasan Hutan Di Pulau Padang

Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan Menteri Kehutanan menerbitkan Penujukan

Kawasan Hutan dalam Keputusan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang

penunjukan kawasan hutan di Provinsi Dati I Riau seluas ± 4.686.075 Ha.

Kawasan Hutan di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti berdasarkan Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor Keputusan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang

penunjukan kawasan hutan di Provinsi Dati I Riau seluas ± 4.686.075 Ha (berdasarkan

TGHK) terdiri dari :

1. SM. Tasik Tanjung Padang selus ± 4.925 ha

2. HPT seluas ± 72.346 ha

3. HPK seluas ± 33.300 ha

Total luasan Kawasan Hutan Pulau Padang adalah seluas 110.939 Ha. SM Tasik Tanjung

Padang telah ditatabatas sesuai berita acara tatabatas yang ditandatangani oleh Panitia Tata

Batas Kabupaten Bengkalis tanggal 5 Maret 1997 dan disahkan oleh Menteri Kehutanan pada

tanggal 25 Mei 1999.

B. KRONOLOGIS PERIZINAN DAN KASUS

Awal mula penolakan masyarakat terhadap PT.RAPP terjadi pada akhir tahun 2009, dimana

saat itu Masyarakat Kepulauan Meranti melalui wadah Forum Masyarakat Peduli Lingkungan

Kabupaten Kepulauan Meranti (FMPL-KM) mengirim Surat ke Menteri Kehutanan yang

isinya menolak keberadaan PT RAPP di Pulau Padang, PT. SRL di Pulau Rangsang dan PT.

LUM di Pulau Tinggi. Kemudian masyarakat Pulau Padang terutama dari Desa Lukit, Bagan

Page 23: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

23

Melibur dan Mengkirau mengajukan tuntutan kepada Kementerian Kehutanan berupa

pencabutan/pembatalan blok areal HTI PT.RAPP di Pulau Padang hingga saat ini.

Alasan-alasan yang dikemukakan pada tuntutan tersebut antara lain :

1. Adanya HTI di Pulau Padang akan mengakibatkan tenggelamnya Pulau Padang.

2. Beberapa wilayah desa masuk dalam areal konsesi PT.RAPP.

3. Banyak lahan masyarakat desa yang terambil oleh PT.RAPP.

4. PT.RAPP kurang menyerap/melibatkan masyarakat desa setempat.

5. Perizinan/Amdal HTI PT.RAPP ada yang tidak sesuai aturan.

1. Kronologis Perizinan

Kronologis perizinan yang diberikan pada PT. RAPP dijelaskan sebagai berikut :

1. PT. Riau Andalan Pulp and Paper mengajukan permohonan persetujuan penambahan IUPHHK

pada hutan tanaman kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia dengan surat No. 02/RAPP-

DU/I/04 tanggal 19 Januari 2004.

2. Berdasarkan permohonan dimaksud Menteri Kehutanan memberikan persetujuan

Penambahan/perluasan areal kerja IUPHHK pada Hutan Tanaman atas nama PT. RAPP sesuai

surat Menhut No. S.143/MENHUT-VI/2004 tanggal 29 April 2004, dengan meminta kepada

PT. RAPP antara lain yaitu :

a. Memperoleh perubahan rekomendasi Gubernur yang semula ditujukan untuk PT. Nusa

Prima Manunggal (NPM) dan PT. Selaras Abadi Utama (SAU) menjadi rekomendasi atas

nama PT. RAPP dan memperoleh rekomendasi Bupati

b. Menyusun dan menyampaikan suplemen studi kelayakan hutan tanaman, sesuai dengan

areal penambahan/perluasannya.

c. Menyusun dan menyampaikan AMDAL berdasarkan areal penambahan/perluas-annya.

d. Konsultasi dengan Badan Planologi Kehutanan untuk Peta areal kerja penambahan

perluasan dimaksud

3. Berdasarkan point 2 di atas pihak PT. RAPP memohon rekomendasi Rekomendasi

Penambahan/ Perluasan Areal Kerja IUPHHK Hutan Tanaman atas nama PT. RAPP kepada

Gubernur Riau sesuai dengan surat permohonan Direktur Utama PT.RAPP nomor

05/RAPP/VI/2004 tanggal 15 Juni 2004.

4. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau melalui surat nomor 522.1/PR/0914 tanggal 16 Juni

2004 mendukung perubahan/perluasan areal kerja IUPHHK-HT PT. Nusa Prima Manunggal

(PNM) seluas 150.000 ha dan PT. Selaras Abadi Utama seluas 64.870 ha kepada PT.RAPP,

dengan syarat sebagai berikut :

Page 24: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

24

a. Sebelum menteri kehutanan memberikan persetujuan prinsip pembangunan

IUPHHK-HT kepada PT. RAPP, harus terlebih dahulu mengaddendum surat

keputusan HPH yang tumpang tindih dengan areal yang dicadangkan kepada

PT.RAPP.

b. Perlu dilakukan perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan

produksi tetap (HP)

c. PT.RAPP diwajibkan menyelesaikan hak-hak masyarakat dan perusahaan lain yang

berada di dalam areal pencadangan.

5. Gubernur Riau memberikan persetujuan perubahan Rekomendasi Penambahan/ Perluasan Areal

Kerja IUPHHK Hutan Tanaman PT. NPM dan PT. SAU kepada PT. RAPP, melalui surat

Gubernur No. 522/EKBANG/33.10 tanggal 2 Juli 2004, yang ditujukan kepada Bapak Menteri

Kehutanan RI, dengan persyaratan sebagai berikut :

a. Sebelum menteri kehutanan memberikan persetujuan prinsip pembangunan

IUPHHK-HT kepada PT. RAPP, harus terlebih dahulu mengaddendum surat

keputusan HPH yang tumpang tindih dengan areal yang dicadangkan kepada

PT.RAPP.

b. Perlu dilakukan perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan

produksi tetap (HP)

c. PT.RAPP diwajibkan menyelesaikan hak-hak masyarakat dan perusahaan lain yang

berada di dalam areal pencadangan.

6. PT. RAPP mendapatkan Keputusan Gubernur Riau No. Kpts.667/XI/2004 tanggal 11

November 2004 tentang Kelayakan Lingkungan Kegiatan IUPHHK-HT di Areal Tambahan

Kabupaten Pelalawan, Siak dan Bengkalis Provinsi Riau oleh PT. RAPP seluas 152.866 ha.

5. PT. RAPP mendapatkan Keputusan Gubernur Riau No. Kpts.326/VII/2006 tanggal 6 Juli 2006

tentang Kelayakan Lingkungan Kegiatan IUPHHK-HT di Areal Tambahan Kabupaten

Pelalawan, Siak dan Bengkalis Provinsi Riau oleh PT. RAPP seluas 152.866 ha, dengan

perincian termasuk dalam Kabupaten Bengkalis (sekarang menjadi bagian Kabupaten

Kepulauan Meranti tepatnya Pulau Padang) seluas 42.600 ha, Kabupaten Siak sleuas 20.000

ha dan Kabupaten Pelalawan seluas 90.266 ha, sehingga dengan demikian keputusan

Gubernur Riau nomor 667/XI/2004 tanggal 11 November dinyatakan tidak berlaku lagi.

6. PT. RAPP mendapatkan Rekomendasi Bupati tentang Perluasan Areal sebagai Areal Pengganti

sebagai berikut:

a. Bupati Pelalawan melalui suratnya No. 522.1/DISHUT/III/2005/233 tanggal 8 Maret 2005

dan No. 522/DISHUT/801 tanggal 18 Juni 2005;

b. Bupati Bengkalis (sekarang menjadi bagian Kabupaten Kepulauan Meranti tepatnya

Pulau Padang) melalui suratnya No. 522.1/HUT/820 tanggal 11 Oktober 2005

Page 25: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

25

c. Bupati Siak melalui suratnya No. 523.33/EK/2006/17 tanggal 24 Januari 2006;

7. Berdasarkan kelengkapan-kelengkapan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan seperti

dimaksud diatas, Menteri Kehutanan RI menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No.

SK.327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, seluas ± 350.165 (tiga ratus lima puluh ribu

seratus enam puluh lima) hektar, dimana salah satu lokasinya berada di Pulau Padang,

Kabupaten Bengkalis (yang sekarang menjadi Kab. Kepulauan Meranti), Provinsi Riau

41.205 Ha, dengan status TGHK berupa Hutan Produksi Terbatas (HPT).

8. Berdasarkan kelengkapan-kelengkapan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan seperti

dimaksud diatas, Menteri Kehutanan RI menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No.

SK.327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, seluas ± 350.165 (tiga ratus lima puluh ribu

seratus enam puluh lima) hektar, dimana salah satu lokasinya berada di Pulau Padang,

Kabupaten Bengkalis (yang sekarang menjadi Kab. Kepulauan Meranti), Provinsi Riau

41.205 Ha, dengan status TGHK berupa Hutan Produksi Terbatas (HPT). Surat keputusan ini

diterbitkan berdasarkan atas permohonan Direktur Utama PT.RAPP nomor 02/RAPP-DU/I/04

tanggal 19 Januari 2004 dan surat keputusan Gubernur Riau nomor Kpts.667/XI/2004 tanggal

11 November 2004 yang sudah dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya Keputusan

Gubernur Riau nomor 326/VII/2006 tanggal 6 Juli 2006.

9. Terhadap keputusan Menteri Kehutanan nomor 327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009,

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau dengan surat nomor 522.2/Pemhut/2621 tanggal 2

September 2009 menyampaikan bahwa :

a. Hasil analisa menunjukkan IUPHHHK-HTI PT. RAPP tumpang tindih dengan Suaka

Marga Satwa Tasik Pulau Padang seluas ± 340, 69 Ha dan terdapat Hutan Produksi

Konversi (HPK) seluas ± 23.411, 13 Hektar.

b. Keputusan Menteri Kehutanan nomor 327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, perlu

ditinjau ulang dan direvisi, dan keputusan tersebut perlu mengacu dan mengakomodir

surat keputusan gubernur Riau nomor 522/EKBANG/33.10 tanggal 2 Juli 2004.

c. Agar mengurangi areal yang tumpang tindih dengan kawasan suaka alam.

d. Menunda terlebih dahulu pelayanan sampai dengan dilakukan pengukuran dan penataan

batas lapangan

e. Terlebih dahulu melaksanakan perubahan fungsi kawasan hutan.

10. PT. RAPP memperoleh pengesahan atas Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan

Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) Periode 2009 – 2018, sesuai Surat Keputusan

Menteri Kehutanan No. SK.186/VI-BPHT/2009 tanggal 10 Agustus 2009, yang mencakup areal

di Pulau Padang, yang selanjutnya direvisi dan telah mendapat pengesahan sesuai Surat

Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.173/VI-BPHT/2010 tanggal 22 Desember 2010 tentang

Page 26: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

26

Persetujuan Revisi RKUPHHK-HTI untuk jangka 10 tahun periode 2010-2019 atas nama PT.

RAPP.

11. PT. RAPP memperoleh pengesahan atas Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan Hasil Hutan

Kayu Hutan Tanaman Industri (RKTPHHK-HTI) Tahun 2010, sesuai Surat Keputusan

Direktur Bina Pengembangan Hutan Tanaman No. SK.10/BPHT-3/2010 tanggal 24 Maret

2010, luas ± 14.711 Ha di Pulau Padang, yang berlaku sampai tanggal 24 Maret 2011. Namun

TKT 2010 ini belum terlaksana di lapangan karena :

a. Masih dalam tahap persiapan berupa perizinan koridor Desa Tanjung Padang yang baru

diperoleh pada 8 September 2010 sesuai surat Gubernur Riau No. Kpts/1223/IX/2010.

b. Izin pembuatan dermaga di Desa Tanjung Padang baru diperoleh pada 27 Desember 2010,

sesuai surat Bupati Kepulauan Meranti No. 552/PU-HUB/2010/901.

c. Kendala adanya klaim masyarakat terhadap kawasan hutan karena alasan tertentu seperti

bekas garapan masyarakat, tanah ulayat dan sebagainya.

12. PT. RAPP mengesahkan Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan

Tanaman Industri (RKTPHHK-HTI) Tahun 2011 secara mandiri (self approval), sesuai Surat

Keputusan Direktur Utama PT. RAPP No. SK.06/RAPP/III/2011 tanggal 24 Maret 2011, luas ±

30.087 Ha di Pulau Padang, yang berlaku sampai tanggal 24 Maret 2011.

13. Hingga saat ini Tata Batas areal PT. RAPP di Pulau Padang belum dilaksanakan, namun

demikian PT. RAPP telah melaksanakan proses :

a. Pengajuan permohonan tata batas areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang melalui

surat No. 216/RAPP-DIR/V/2010 tanggal 18 Mei 2010 yang ditujukan ke Direktur

Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan sepanjang 217,88 Km.

b. Pembuatan kontrak penataan batas areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau dengan

konsultan PT. Wicaksana Mega Cipta tertanggal 20 Agustus 2010.

c. Pembahasan draft pedoman tata batas di Ditjen Planologi, pada tanggal 7 Oktober 2010.

d. Pengajuan kembali permohonan pengesahan pedoman tata batas areal IUPHHK-HT PT.

RAPP di Pulau Padang dan permohonan tenaga teknis pengawasan pelaksanaan tata batas

ke Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, sesuai surat No. 74/RAPP-

DIR/IV/2011 tanggal 5 April 2011.

e. Hingga saat ini dalam proses pengesahan pedoman tata batas dan penyediaan tenaga

pengawas tata batas di Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan.

f. Hingga saat ini Tata Batas Areal PT. RAPP di Pulau Padang belum dilaksanakan,

namun demikian operasi PT. RAPP di lapangan telah berjalan dengan mengacu pada tata

Page 27: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

27

ruang yang dibuat sendiri oleh PT. RAPP di lokasi Pulau Padang, dengan luas total 41.205

Ha, terdiri dari :

a) Tanaman Pokok : 27.375 Ha (66 %),

b) Tanaman Unggulan : 4.121 Ha (10 %),

c) Tanaman Kehidupan : 1.904 Ha ( 5 %),

d) Kawasan Lindung : 4.102 Ha (10 %),

e) Sarana prasarana : 808 Ha ( 2 %),

f) Areal Tidak Produktif : 2.895 Ha ( 7 %). (termasuk didalamnya areal tambang

Kondur Petroleum SA, Bakrie Group).

2. Kronologis Kasus

Konflik Masyarakat Pulau Padang dengan PT. RAPP di Pulau Padang kabupaten Kepulauan

Meranti dimulai sejak tahun 2009 sebelum Kabupaten ini dimekarkan dari Kabupaten induk

Bengkalis. Kronologis kasus ini dijelaskan sebagai berikut :

Tanggal 26 Agustus 2009

Pj. Bupati Kepulauan Meranti Drs. Syamsuar, M.Si. mengajukan surat kepada Direktur

Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor 100/Tapem/189 tentang Peninjauan ulang terhadap

semua IUPHHK-HTI PT. LUM, PT. SRL dan PT RAPP di Kabupaten Kepualauan Meranti.

Tanggal 30 Desember 2009

MASYARAKAT dari berbagai desa di Kabupaten Kepulauan Meranti khususnya desa-desa

dari Pulau Padang antara lain Tanjung Padang, Selat Akar, Kudap, Dedap, Mengkopot,

Mengkirau, Bagan Melibur, Pelantai, dan beberapa desa diluar Pulau Padang seperti

Semukut, Renak Dungun, Sungai Tohor, dan desa-desa lain yang berjumlah 1000an orang

mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti (di Selat Panjang)yang saat itu di Jabat Oleh

Bupati Pj. Syamsuar, M.Si. masyarakat dan Kepala Desa-kepala desa yang memimpin aksi

tersebut dengan tegas menolak rencana operasional PT. RAPP di Pulau Padang. Bupati

Syamsuar yang saat itu menjabat, sangat mendukung apa yang dilakukan Masyarakat untuk

menolak kehadiran PT. RAPP beroperasi di Pulau Padang.

Tanggal 30 Desember 2009 (Laporan Investigasi Eyes on the Forest)

Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Kepulauan Meranti (FMPL-KM)

mengirim Surat ke Menteri Kehutanan, Perihal Penolakan IUPHHK-HT PT. Sumatera Riau

Page 28: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

28

Lestari Blok Pulau Rangsang, PT. LUM dan PT. RAPP blok Pulau Padang di Kabupaten

Kepulauan Meranti.

Tanggal 10 Februari 2010

WARGA PULAU PADANG KE JAKARTA yang PERTAMA

Perwakilan Masyarakat dan Kepala Desa Pulau Padang yang berjumlah 9 orang dan beberapa

organisasi/LSM seperti Meranti Center, Walhi, Mahasiswa Bengkalis, masyarakat Padang

Lawas mendatangi Kantor Kementrian Kehutanan di Jakarta menuntut tinjau ulang SK

Menhut No. 327 tahun 2009 sekaligus menuntut pencabutan izin HTI di Kepulauan Meranti.

Setelah masyarakat mendatangi Kantor Kementrian Kehutanan kemudian Masyarakat Pulau

Padang mendatangi Kantor PT. RAPP di Jakarta menuntut hal yang sama.

Tanggal 12 Februari 2010

Perwakilan Masyarakat dan Kepala Desa Pulau Padang yang berjumlah 9 orang dan beberapa

organisasi/LSM al. Meranti Center, Walhi, Mahasiswa Bengkalis, masyarakat Padang Lawas

mendatangi dan menemui DPD-RI wilayah Riau Instiawati Ayus di Gedung DPR-RI dan

Anggota DPR-RI Komisi IV di Jakarta menuntut tinjau ulang SK Menhut No.327 tahun 2009

sekaligus menuntut pencabutan izin HTI di Kepulauan Meranti. (Sumber: wawancara dengan

Toha Kepala Desa Mengkirau di Mengkirau, tanggal 12 Juli 2011)

Tanggal 6 Maret 2010

11 orang perwakilan masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti untuk yang kedua kalinya ke

Jakarta mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes Polri sekaligus

menuntut pencabutan SK Menhut No. 327 tahun 2009. (wawancara dengan Toha Kepala

Desa Mengkirau di Mengkirau, tanggal 12 Juli 2011)

Tanggal 26 Juli 2010

Masyarakat Kec. Merbau sebanyak 350an orang mendatangi Kantor DPRD Kepulauan

Meranti dan menuntut penghentian operasional dan Pencabutan izin HTI di Kabupaten

Kepulauan Meranti seperti PT. SRL dan PT. LUM dan PT. RAPP Dialog antara perwakilan

masyarakat dan anggota-anggota DPRD yang juga hadir ketua DPRD Hafizoh, wakil ket.

DPRD Taufikurrahman dan puluhan anggota DPRD lainnya. Dalam kesempatan tersebut

terjadi perdebatan antara masyarakat dan anggota dewan. Dalam menanggapi aspirasi dan

tuntutan masyarakat, Ketua DPRD Kab. Kepulauan Meranti Hafizoh menyatakan “jika

Page 29: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

29

bapak-bapak seratus persen menolak HTI di Kepulauan Meranti, saya juga menolak bahkan

seratus limapuluh persen. Akan tetapi kami tidak memiliki wewenang untuk menghentikan

operasional HTI di Kabupaten kepulauan Meranti, yang memiliki wewenang ini adalah

bapak Bupati”. Dalam dialog tersebut DPRD juga berjanji akan turun meninjau kelapangan.

Tanggal 30 Juli 2010

DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti mengajukan surat kepada Kementerian Kehutanan RI

Nomor 661/DPRD/VII/2010 tentang Permohonan Peninjauan ulang izin operasional PT.

SRL, PT. LUM, dan PT. RAPP (terlampir)

Tanggal 19 Agustus 2010

Masyarakat Pulau Padang dan Masyarakat Pulau Rangsang sebanyak 700 orang lebih,

mendatangi Kantor DPRD Kepulauan Meranti masih dengan tuntutan yang sama menuntut

pencabutan izin PT. RAPP di Pulau Padang dan menuntut penghentian operasional PT. SRL

dan PT. LUM.

Tanggal 3 September 2010

Bupati Kepulauan Meranti mengajukan surat kepada Menteri Kehutanan RI di Jakarta nomor

100/TAPEM/IX/2010/70 perihal Peninjauan Ulang IUPHHK-HTI PT. LUM, PT. SRL dan

PT. RAPP terkait dengan penolakan HTI yang dilakukan oleh masyarakat.

Tanggal 8 September 2010

Gubernur Riau mengeluarkan Surat No. 223/IX/2010 tanggal 8 September 2010, tentang izin

Pembuatan Koredor pada IUPHHK-HT, PT. RAPP Pulau Padang di Kabupaten kepulauan

Meranti. Setelah sekian hari sejak tanggal dikeluarkan Surat Gubernur tentang izin koredor

tersebut, wargapun kemudian mengetahuinya. Surat tersebut memunculkan keresahan bagi

warga pulau padang dan memancing amarah masyarakat, yang seharusnya setelah hari raya

idul Fitri masyarakat menfokuskan untuk berkebun memperbaiki perekonomian setelah

berkunjung kesanak saudara pada hari raya. Lagi-lagi masyarakat di “paksa” untuk

mendatangi kantor Bupati di selatpanjang. Dan masyarakat semakin marah ketika 2 orang

buruh warga Pulau Rangsang yang mengolah kayu dijadikan Papan/bahan kapal ditangkap

oleh pihak keamanan. Padahal mereka memiliki surat kelompok Tani yang legal.

Tanggal 11 Oktober 2010

Page 30: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

30

Merespon surat Gubernur tentang izin pembuatan Koredor, Masyarakat Pulau Padang dan

Rangsang mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti antara lain menuntut pembebasan 2

orang wagra petani Rangsang yang di tangkap oleh pihak keamanan AIRUT karena menjual

kayu hasil olahan ke Selatpanjang, dan menuntut penghentian Operasional PT. SRL, dan

pencabutan izin PT. RAPP di pulau padang. Dalam aksi ini masyarakat diterima oleh wakil

Bupati untuk berdialog dengan beberapa wakil masyarakat terkait penolakan masyarakat

terhadap operasional Perusahaan-perusahaan Pembabat Hutan Alam di kabupaten Kepulauan

Meranti. Judul dalam Pernyataan sikap Aksi tersebut adalah; “Pemerintahan Kabupaten

Kepulauan Meranti HARUS MAMPU Mengusir keberadaan PT RAPP di Kabupaten

Kepulauan Meranti…!” Kutipan pernyataan Sikap aksi masyarakat tanggal 11 Oktober

2010: ”Penangkapan terhadap 2 (dua) masyarakat Desa Bungur Kecamatan Rangsang yang

merupakan rekan seperjuangan kita atas Nama Agus alias Sanum dan Ruslan alias Jun Oleh

AIRUT Tanjung Samak dengan Petugas Bernama Jefri, Ardian Syah, dan Saudara Iwan

Dengan No kapal: 004 Pada hari Selasa Tanggal 28 September 2010 pada Pukul 5.30 WIB

di Perairan Kelautan Selatpanjang dengan Tuduhan Ilegal logging atau membawa kayu

dengan dokumen tidak lengkap tersebut adalah merupakan Tindakan Yang sangat Merugikan

Bagi Kehidupan Buruh Tani yang pada akhirnya penangkapan terhadap Rekan kita tersebut

dapat kita simpulkan bahwa Kebijakan Politik Pemerintah saat Ini lagi-lagi hanya

menguntungkan Pemilik Modal Asing di Negeri Ini. Karna jelas terbukti keberadaan

PT.SRL, PT. LUM dan PT. RAPP di Kabupaten Kepulauan Meranti yang jelas-jelas

keberadaan mereka sangat di tentang oleh rakyat, Namun pada kenyataanya kebijakan

Politik Pemerintah di tingkatan Bupati dan Dewan dalam merespon aksi kita dengan

mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi tidaklah membawa capaian besar untuk

menguntungkan perjuangan Rakyat. Terbukti hingga saat ini Oprasional mereka tidak

pernah Berhenti dan Bahkan dengan Leluasa Mengeluarkan Puluhan Ribu Ton Kayu dari

Kabupaten kepulauan ini dan Tidak mendapat suatu apapun.”

Massa denganjumlah 1500 orang lebih dalam pernyataannya sebagai berikut:

1. Mendesak Bupati dan DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti untuk SEGERA

mengeluarkan surat penolakan terhadap SK Gubernur Riau Nomor : KPTS/1223/IX/2010

tanggal 08 September 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan

Tanaman (IUPHHK-HT) PT. RAPP Pulau Padang (Desa Sungai Hiu Tanjung Padang)

Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti.

2. Bebaskan kawan kami Agus alias Sanum dan Ruslan alias Jun sekarang Juga !!!

Page 31: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

31

3. Usut dan Tangkap Mafia Tanah dengan Modus Kelompok tani yang telah disahkan

olehkepala desa setempat di Kecamatan Merbau dan Kecamatan Rangsang.

4. Bupati dan DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti harus menegaskan sikap politiknya

terhadap pemerintahan Pusat maupun Propinsi atas surat yang pernah di keluarkan,

agar di lakukan peninjauan ulang SK menhut tersebut demi kepentingan rakyat atau

Mundur Sekarang Juga !!!

Tanggal 29 Oktober 2010

Perwakilan Masyarakat Pulau Padang berdasarkan undangan pihak perusahaan, bertemu

dengan managemen PT. RAPP di Hotel Gran Zuhri Pekanbaru. Dalam pertemuan tersebut

masyarakat menuntut Pihak perusahaan sebelum beroperasi di Pulau Padang untuk

melakukan Mapping (pemetaan ulang), inclaving, dan pembuatan tapal batas permanen

sebelum PT. RAPP melakukan operasional di Pulau Padang. Secara lisan pihak perusahaan

menyetujui semua tuntutan masyarakat Pulau Padang yang saat itu diwakili oleh 10 orang

petani Pulau Padang yang didampingi oleh Teri Hedra Caniago Ketum KPP-STR Propinsi

Riau dan Dessri Kurniawati, SH Sekjen KPP-STR Prop Riau. namun secara tertulis berbeda

dengan apa yang disepakati secara lisan. Sehingga pihak masyarakat tidak mau

menandatangani berita acara dan notulensi hasil pertemuan.

Tanggal 30 Oktober 2010

PT. RAPP mengelar sosialisasi dengan mengundang masyarakat Pulau Padang, perwakilan

petani, LSM, Mahasiswa, DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti Herman, Aziz, Fauzi Hasan,

Asmawi, pejabat sekretariat DPRD Kep. Meranti Burhanuddin yang sebelumnya adalah

pejabat dinas Kehutanan kepulauan Meranti yang telah mengesahkan dan membuat berita

acara survey lokasi jalan koredor (tanggal 17 Mei 2010) dan rekomendasi untuk pembuatan

jalan Koredor di Sungai Hiu Pulau Padang. Diundang juga orang-orang yang dianggap tokoh

masyarakat oleh pihak perusahaan. Dalam acara tersebut Salah satu perwakilan masyarakat

meminta pihak perusahaan untuk menunjukkan AMDAL sebagai syarat untuk

dikeluarkannya SK Menhut. Namun pihak perusahaan menjawab bahwa AMDAL adalah

domainnya Pemerintah.

Tanggal 3 November 2010

Direktorat Jenderal Bina Usaha kehutanan tertanda Direktur jenderal Imam Santoso, No.

S.1055/VI-BPHT/2010 tanggal 3 November 2010 perihal: Mohon ditinjau ulang Izin

Page 32: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

32

Operasional PT. SRL, PT. LUM dan PT. RAPP yang ditujukan kepada ketua DPRD

Kabupaten kepulauan Meranti. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa IUPHHK-HTI ketiga

perusahaan tersebut adalah sah dan aktif yang memiliki Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Kayu Hutan tanaman Industri dan Rencana kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan kayu pada Hutan tanaman Industri (RKTUPHHK-HTI) tahun berjalan. Dan

seluruh areal Kerka IUPHHK-HTI tersebut berada dalam kawasan Hutan produksi.

Tanggal 26 November 2010

Bupati Kepulauan Meranti mengirimkan surat kepada Camat Merbau No.

100/TAPEM/XI/2010/96 perihal; Rekomendasi.Pada hakekatnya bias di pahami bahwa surat

tersebut adalah sebuah perintah kepada camat untuk menfasilitasi pihak perusahaan PT.

RAPP yang akan menjalankan operasionalnya di Pulau Padang

Tanggal 29 November 2010,

Perwakilan Masyarakat Pulau Padang bertemu lagi dengan Pihak Managemen PT. RAPP

untuk membicarakan rencana Masyarakat Pulau Padang akan membuat kegiatan SEMINAR

TERBUKA dan akan dijadikan wadah untuk mempertemukan semua unsure pemerintahan

baik Bupati, Dishut, DPRD, Camat, Kepala Desa, BPD, Tokoh Masyarakat dan masyarakat

umum dan pihak Perusahaan PT. RAPP dalam acara SEMINAR TERBUKA tersebut. Dalam

pertemuan untuk yang kedua kalinya dengan PT. RAPP di hotel Gren Zuhri Pekanbaru, pihak

perusahaan di samping tidak mengakui kesepakatan dan kesanggupan pada pertemuan

tanggal 29 Oktober 2010 justru juga malah menyampaikan bahwa pihak perusahaan akan

segera beroperasi di Pulau Padang.

Tanggal 10 Desember 2010

Bupati Kepulauan Meranti mengirimkan surat kepada Camat Merbau No.

100/TAPEM/XII/2010/97, perihal; Sosialisasi

Tanggal 13 Desember 2010,

Masyarakat Pulau Padang Kec. Merbau dari berbagai desa antara lain warga Desa Lukit,

Meranti Bunting, Pelantai, Mekar sari, Kelurahan Teluk Belitung, Bagan Melibur, Mengkirau

dan desa-desa lain, lebih kuran 1300an orang lebih melaksanakan Do’a Bersama

(ISTIGHOTSAH) di Masjid Raya Teluk Belitung, ibukota Kec. Merbau, dengan harapan

Rencana Operasional PT. RAPP yang diyakini sebagai musibah dan malapetaka besar karena

Page 33: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

33

bakal menghabiskan lahan dan perkebunan warga dan hutan yang selama ini menjadi sumber

kehidupan masyarakat setempat. Istighotsah di pempin oleh KH. Mas’ud (Mekarsari), K.H.

AHMADI (Mengkirau), Ustad Sudarman (Sungai anak kamal), Ustad Yakup, Kepala Desa

dan anggota DPRD Kab. Kep. Meranti. H.Muhammad Adil, SH. Juga hadir dalam acara

istighotsah tersebut dan bahkan memberikan sambutan.

Tanggal 15 Desember 2010,

Masyarakat membuat kegiatan SEMINAR TERBUKA di hadiri oleh 2500 orang masyarakat

Pulau padang dan Pulau Rangsang dengan tema “Dampak HTI terhadap Lingkungan dan

kehidupan Masyarakat”, dengan mengundang seluruh pejabat dari Bupati sampai LPMD

dan pihak Perusahaan PT. RAPP (Bupati dan wakil Bupati, DPRD, Camat, Kepala Desa,

BPD, Tokoh Masyarakat, Pimpinan-pimpinan Parpol di Kep. Meranti). Masyarakat sangat

menyesalkan bahwa bahwa pihak perusahan tidak ada satupun yang hadir termasuk Bupati

sendiri. Pendanaan Seminar Terbuka ini dilaksanakan dengan swadaya masyarakat ditambah

Iuran masyarakat Pulau Padang 20.000/orang (anggota STR). Masyarakat sangat

menyayangkan pihak Pemda BUPATI, Wakil Bupati, dan pejabat-pejabat terkait tidak hadir

termasuk Managemen PT. RAPP.

Sedang yang hadir dalam SEMINAR TERBUKA tersebut HANYA Wakil Ketua DPRD

Taufikurrhman, Basiran, Edi AMin, Ketua DPC PKS. Camat Merbau, Kapolsek Merbau,

Danramil Merbau, beberapa Kepala Desa di wilayah Pulau Padang, BPD, tokoh Masyarakat,

dan Tokoh-tokoh Agama. Sebagai Pemateri antara lain; Sekjen STN Wiwik Widjanarko, dan

Direktur Tansparansi Indonesia (TI) Rafles, S.Sos.

in-put dari SEMINAR TERBUKA tersebut adalah bahwa; 1). areal konsesi PT. RAPP di

Blok Pulau Padang berada pada areal yang tumpang tindih dengan lahan/kebun warga. 2).

Dengan dibukanya kanal-kanal akan menyebabkan intrusi air masin ke darat dan pengeringan

lahan yang cukup signifikan pada musim kemarau yang akan menyebabkan mudah terbakar.

3). Dari sisi perijinan, di ketahui bahwa Rekomendasi oleh pejabat bengkalis yang dijadikan

acuan oleh pemerintah pusat sebagai dasar dikeluarkannya SK Menhut 327 2009, sama sekali

tidak diketahui oleh DPRD Kabupaten Bengkalis.

Tanggal 20 Desember 2010,

Camat Merbau melayangkan surat kepada kepala Desa Tanjung Padang, nomor:

100/tapem/2010/451, perihal sosialisasi (perusahaan PT. RAPP di Tanjung Padang), yang

isinya antara lain adalah agar kepala desa Tanjung Padang menfasilitasi segala sesuatu yang

Page 34: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

34

diperlukan oleh pihak Perusahaan. Cukup lama tidak diketahui oleh masyarakat bahwa Dirjen

Kementerian Kehutanan sudah membalas surat yang diajukan oleh DPRD Kabupaten

kepulauan Meranti menyatakan bahwa izin ketiga Perusahaan di Kep. Meranti dinyatakan sah

dan aktif. Sehingga Bupati Kepulauan Meranti secara diam-diam dua kali mengirimkan surat

kepada camat Merbau

Tanggal 3 Januari 2011,

Masyarakat cukup menunjukkan sikap amarah yang luar biasa dan mendatangi Kantor Camat

Merbau sebanyak 1500 orang dan menuntut camat untuk mencabut surat yang dikirim ke

kepala desa Tanjung Padang dan menggagalkan rencana Sosialisasi PT. RAPP di Tanjung

Padang yang berujung kepada memasukkan alat berat Ke Pulau Padang. Masyarakat juga

menuntut Pemerintah RI untuk mencabut Izin Operasional PT RAPP di Pulau Padang.

Sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya, Massa membakar tiga gambar yang pada bagian

kepala ditempel wajah gambar Camat Merbau Duriat, gambar Bupati Kepulauan Meranti

Irwan Nasir dan Gambar Gubernur Riau Rusli Zainal.

Selain itu, massa juga mengusung Keranda Mayat dan ayam putih yang keduanya di

hadiahkan kepada camat Merbau.

Tanggal 4 Januari 2011,

Malam hari setelah solat Isya’ dan setelah aksi di kantor camat Merbau pada pagi harinya,

Masyarakat dari berbagai Desa sebanyak 313 orang antara lain dari desa Lukit, Meranti

Bunting, Pelantai, Mekarsari, Kelurahan Teluk Belitung, Mengkirau dan puluhan warga

Tanjung Padang dengan 4 kapal pompong, memblokir acara sosialisasi PT RAPP di Dusun

Suka Jadi desa Tg. Padang dan menggagalkan Sosialisasi PT. RAPP yang terbukti sesuai

pengakuan masyarakat Tanjung Padang bahwa sosialisasi tersebut adalah tahapan akan

memasukan alat berat ke Pulau Padang pada tgl 6 Januari 2011. Saat-saat menegangkan

terjadi ketika pihak kepolisian dan perusahaan datang, baru saja duduk beberapa detik di

kursi-kursi yang tersedia rapi disertai oleh panitia, ratusan masyarakat keluar dari semak

belukar berbaris rapi dengan satu komando “sepuluh langkah maju jalan…….” disertai

Takbir “ALLAHU AKBAR…!!!!!. ALLAHU AKBAR……!!!! dan Yel-yel “R A P P……”

“perampas Tanah Rakyat….Usir….Usir….Usir”, Kapolsek Merbau pun tidak lengah ibarat

orang yang sedang termenung tersengat api bergegas lari menghampiri warga, khawatir

masyarakat melakukan hal-hal yang anarkis.

Page 35: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

35

Sosialisasi PT. RAPP yang direncanakan cukup meriahkan disertai hiburan orgen tunggal,

setelah dilakukan dialog yang cukup menegangkan antara pihak masyarakat dan kepolisian

(kapolsek Merbau) dan pihak PT. RAPP, akhirnya mendapat kata putusan dengan

pertimbangan jika sosialisasi dilanjutkan dapat dipastikan akan terjadi pertempuran antara

pihak masyarakat dan pihak perusahaan. Akhirnya kemudian diumumkan oleh panitia secara

resmi bahwa sosialisasi PT. RAPP di Sukajadi dibatalkan. Meski demikian masyarakat pun

belum merasa puas dan tidak akan beranjak dari lapangan bola yang di jadikan tempat

sosialisasi, sebelum tenda dan bangsal di bongkar dan di angkut keluar dari lokasi.

Tanggal 20 Januari 2011,

Masyarakat Pulau Padang sekitar 1000 orang lebih yang berangkat pada malam hari dengan 7

kapal pompong memblokir akan masuknya alat berat di dusun sg. Hiu Desa Tanjung Padang.

Tanggal 1-2 februari 2011,

Masyarakat Pulau Padang mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti bahkan menginap di

depan Kantor Bupati sebanyak 3000an orang. Dengan menggunakan 14 kapal pompong

berangkat dari rumah masing-masing ada yang jam 04.00 subuh dan ada yang setelah

maghrib seperti desa Tanjung Padang. Masyarakat Menuntut Pencabutan Izin PT. RAPP, SK

No. 327 Menhut 2009, dan menyerahkan Petisi Penolakan Masyarakat terhadap Rencana

Operasional PT. RAPP di Pulau Padang PT. SRL di rangsang dan PT. LUM di Tebing Tinggi

kepada Pemerintah Kabupaten yang di terima oleh asisten I Setdakab Kepulauan Meranti

Drs. Ikhwani.

Tanggal 11 Februari 2011

Merespon aksi massa tanggal 1 dan 2 Februari 2011 di Kantor Bupati Kepulauan Meranti,

Komisi B DPRD Propinsi Riau, yang diwakili oleh wakil komisi B Zulfan Heri, Sumiyati,

dan Mahdinur melakukan kunjungan dinas untuk bertemu masyarakat di pulau padang (usai

solat jum’at) yang menolak akan beroperasinya PT. RAPP di Pulau Padang dan akan melihat

langsung lokasi kegiatan operasional PT. SRL di Pulau Rangsang. Dialog langsung antara

anggota Komisi B DPRD Propinsi dengan masyarakat pulau Padang dilaksanakan di aula

kantor camat Merbau yang juga dihadiri oleh beberapa pejabat Pemkab Kep. Meranti. Zulfan

Heri dalam penyampaiannya berjanji bahwa DPRD Propinsi Riau akan membentuk Pansus

Page 36: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

36

HTI Riau secepat-cepatnya, agar pansus tersebut dapat mengakaji secara obyektif tentang

dampak negative dan positif yang bakal ditimbulkan oleh operasional PT. RAPP di Pulau

padang dan secara umum di Propinsi Riau. Sementara Kadishutbun Kab. Kep. Meranti

Makmun Murad menyampaikan bahwa izin PT. RAPP di pulau padang adalah wewenang

Menhut.

Tanggal 22 Februari-14 April 2011

AKSI DUA BULAN WARGA P. PADANG & MAHASISWA DI DPRD PROP. RIAU

Hampir 2 bulan penuh Mahasiswa yang tergabung dalam Posko Perjuangan Rakyat Meranti

(PPRM), Aliansi Mahasiswa Peduli Lingkungan (AMPEL) dari berbagai Kampus, Badan

Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas yang ada di Pekanbaru dan beberapa perwakilan

masyarakat Kepulauan Meranti Pulau Padang, mendirikan Tenda dan Posko di depan Kantor

DPRD Propinsi Riau menuntut DPRD Prop. Untuk segera mengesahkan PANSUS HTI Riau.

Disekitar Posko juga dipasang berbagai Spanduk dengan ukuran besar yang bertuliskan

berbagai tuntutan, seperti: “Cabut SK Menteri Kehutanan Nomor 327/Menhut-II/2009”,

“Usir RAPP dari Pulau Padang” “jangan Politisasi Pansus HTI”. BEM UNRI menulis;

“Selamatkan Rakyat Meranti dari Kediktatoran RAPP dan Pemerintah”. “Hentikan

Penyerobotan Tanah di Propinsi Riau”, Dewan Penghianat Rakyat Daerah Propinsi Riau” dan

masih banyak lagi spanduk-spanduk lain yang pada intinya menolak Operasional Perusahaan

bubur Kertas di Kepulauan Meranti. Posko yang digelar selama hamper dua bulan mereka

juga beberapi kali menggelar aksi Massa menuntut DPRD Prop untuk segera mengesahkan

Pansus HTI Riau yang juga hadir masyarakat petani pulau Padang, hingga pemblokiran mobil

anggota DPRD Prop. Agar tidak keluar dari areal Kantor DPRD dan mencederai mahasiswa,

seperti yang terjadi pada sidang paripurna Pembentukan Pansus HTI Riau tanggal 5 April

2011 yang gagal.

Tanggal 23 Februari 2011

PEMBENTUKAN TIM PENGKAJI KELAYAKAN OPERASIONAL PT.RAPP DI P.

PADANG BERUBAH MENJADI TIM PENGAWAS OPERASIONAL

Pertemuan Multipihak di Aula RSUD Selatpanjang, dalam rangka “MENCARI SOLUSI

ADIL DAN DAMAI KONFLIK MASYARAKAT DAN PT. RAPP” terkait penolakan

Masyarakat terhadap HTI di Kepulauan Meranti, hadir Bupati Kepulaua Meranti, DPRD,

Camat se Kabupaten Kep. Meranti, Kepala Desa Se Pulau Padang, Tokoh Agama (MUI)

LSM seperti JMGR, Scael Up, Walhi, termasuk 69 perwakilan petani Pulau Padang.

Page 37: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

37

Dalam sambutan Bupati Kepulauan Meranti, Irwan Nasir secara tegas mengatakan terkait

maraknya aksi massa yang menolak keberadaan HTI di Kepulauan Meranti “mari kita bentuk

Tim yang akan mengkaji secara obyektif, jika memang izin HTI di Kepulauan Meranti

berdampak positif sama-sama kita terima, akan tetapi jika HTI berdampak Negatif sama-

sama kita tolak”.

Setelah Bupati meninggalkan Aula RSUD, ruang pertemuan multipihak tersebut. Rapat

dipimpin langsung oleh Makmun Murad dan beliau mengerucutkan pada perwakilan-

perwakilan Tim yang dimasukkan kedalam TIM. Pada saat itu disepakati yang masuk

kedalam TIM adalah Kadishutbun Kep. Meranti (Makmun Murad), semua Kepala Desa yang

hadir yang berasal dari Pulau padang, Pakar/Tim ahli, 10 orang Wakil Masyarakat Petani dari

Pulau Padang, dari LSM/NGO adalah Walhi, Scael Up, dan JMGR. Tugas Tim adalah

Mengkaji kelayakan Operasional PT. RAPP di Blok Pulau padang. Hasil kajian inilah yang

kemudian akan dijadikan acuan atau rekomendasi, jika memang hasil kajian Tim menyatakan

bahwa rencana Operasional PT. RAPP berdampak positif dari berbagai sisi silakan

dilanjutkan, akan tetapi jika hasil kajian Tim berdampak buruk akan sama-sama ditolak.

Tanggal 16 Maret 2011

Dalam rapat (di Kantor Dishutbun Kep. Meranti)tersebut hadir Asisten I setdakab. Ikhwani,

Ketua Komis I DPRD Kep.Meranti Herman, Ketua Komisi II Rubi Handoko, Makmun

Murad (kadishutbun), Pihak PT. RAPP, LSM/NGO, Kepala desa se Pulau Padang dan 8

orang wakil Petani Pulau Padang. Dalam pertemuan sempat terjadi ketegangan. Hal ini

disebabkan oleh sikap kadishutbun Makmun Murad yang mengarahkan Tim, sebagai Tim

Pengawas operasional. Pembentukan TIM Pengkaji sebagaimana ditetapkan pada tgl 23

Februari 2011 di Aula RSUD Selatpanjang tentang “Tim Pengkaji Kelayakan” di Rubah serta

merta menjadi “TIM Pengawas Operasional PT. RAPP di Pulau padang”. Rapat sama sekali

tidak mengakomodir aspirasi yang berkembang dan melenceng dari kesepakatan tanggal 23

februari 2011.

Tanggal 27 Maret 2011

PT. RAPP mulai beroperasi di PULAU PADANG

PT RAPP memasukkan ALAT BERAT ke Pulau Padang Sungai Hiu Desa Tanjung Padang,

pada dini hari jam 01.00 wib, mendengar informasi alat berat PT. RAPP TEPATNYA DI

SUNGAI HIU DESA TANJUNG PADANG, (di ujung utara pulau Padang), sontak saja

masyarakat Tanjung Padang bergegas memberitahukan yang lain bahkan masyarakat yang

Page 38: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

38

tinggal diujung selatan pulau padang seperti Lukit, Meranti Bunting, Pelantai, Mekar sari,

Mengkirau, Kelurahan Teluk Belitung. Tidak lengah dari berbagai penjuru desa mulai dari

jam 03.00 wib (dini hari) suasana kampong-kampung di Pulau Padang hiruk-pikuk, Sama-

sama berduyun-duyun menuju ke Tg. Padang dengan menggunakan sepeda motor meskipun

harus melewati jalan tanah gambut yang cukup becek karena belum semuanya di semenisasi.

Sekitar 500 orang menghadang di lokasi naiknya alat berat lebih kurang jam 11.00-12.00

siang. Sedangkan 34 warga tanjung padang sudah sampai dilokasi dan menghadang alat berat

dengan menaiki pompon jam 3.30 wib (dini hari) Di pantai hutan bakau dusun sg. Hiu desa

Tanjung Padang. Seharian penuh sampai menjelang maghrib masyarakat tidak beranjak dari

bibir pantai tempat 2 unit alat berat akan di turunkan Menjelang maghrib malam Senin

tanggal 27 Maret 2011 terjadi perdebatan antara masyarakat dengan pihak kepolisin. Pihak

kepolisian mengatakakan setengah mengancam bahwa masyarakat tidak berhak menghadang

alat berat PT. RAPP dengan alasan bahwa hutan bakau tempat naiknya alat berat sudah

diganti rugi oleh pihak perusahaan. Mendengar ancaman pidana dari pihak kepolisian

akhirnya masyarakat meninggalkan lokasi. Dan keesokan harinya…….

Tanggal 28 Maret 2011

“AKSI STEMPEL DARAH dan TAHLIL di DEPAN KANTOR BUPATI”, Masyarakat

sekitar 1000 lebih warga Pulau padang, Mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti dan

melakukan AKSI STEMPEL DARAH. Sebagai wujud perlawanan masyarakat terhadap

masuknya alat Berat PT. RAPP di Pulau padang, dan Bahwa Penolakan Masyarakat terhadap

operasional PT. RAPP di Pulau padang adalah harga Mati. Masyarakat siap mempertahankan

setiap jengkal tanah di Pulau padang. Tahlil sholawat dan takbir tidak henti-hentinya

demikian haru mengirinya masyarakat yang menitiskan setetes Darahnya ke kain putih yang

di pajang di Pagar Kantor Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti di Selatpanjang, sebagai

symbol ketidakrelaan masyarakat yang akan terus memperjuangkan pulau padang dari

kehancuran Pembabatan Hutan secara besar-besaran.

DALAM PADA ITU, sekitar 15 orang perwakilan masyarakat diterima oleh wakil bupati

untuk melakukan dialog terkait tuntutan masyarakat. Dalam pertemuan tersebut hadir hamper

semua pejabat tinggi tinggi di kabupaten kepualauan meranti termasuk juga Kadishutbun

Kep. Meranti Ir. Makmun Murad, Asisten I Setdakab. Drs. Ikhwani. Jawaban Wakil Bupati

Masrul Kasmi dan Makmun Murad adalah kami tidak punya wewenang untuk

menghentikan/menarik mundur 2 unit eskavator yang masukm ke pulau padang. Dan SK

Menhut adalah wewenang Menteri Kehutanan untuk mencabutnya. Sedangkan Makmun

Page 39: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

39

Murad dalam menanggapi aspirasi dan pengaduan masyarakat, justru malah mengarahkan

supaya masyarakat menggugat PT. RAPP melalui jalur hukum ke pengadilan.

Tanggal 14 April 2011

Sesuai informasi dari Lokasi Operasional PT. RAPP di Sungai Hiu desa Tanjung Padang

kecamatan Merbau (Pulau Padang), 8 unit eskavator mulai meluluhlantakkan hutan bakau

dan hutan alam yang ada di pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Keberadaaan 8

unit Escavator tersebut sangat memicu amarah warga dan sangat rentan terhadap konflik dan

bentrok fisik antara penduduk dan pekerja lapangan PT. RAPP

Tanggal 14 April 2011

WARGA PULAU PADANG KE JAKARTA YANG KE II

46 perwakilan masyarakat Pulau Padang, berangkat ke Jakarta untuk melakukan aksi jahit

mulut, meskipun setelah selama di sana satu bulan terpaksa harus diurungkan.

Tanggal 21 April 2011

Petani Pulau Padang berjumlah 46 orang di damping STN dan STR Mendatangi Kementerian

Kehutanan dan di sana bertemu dengan Hadi Daryanto (Setjen Kemenhut RI), Imam santoso

(Ditjen Kemenhut), Bedjo Santoso (Dir. Bina Pengembangan Hutan Tanaman), Kabiro

Hukum Kemenhut, Staf Ahli Kemenhut, Ali Tahir dan beberapa pejabat Kemenhut lainya.

Ketika masyarakat mendesak untuk menghentikan dan menarik mundur excavator yang

sedang melakukan operasional, pihak Kementerian Kehutanan berkilah akan mendengar dulu

penjelasan dari pemerintah daerah. Dirjen kehutanan Berjanji hari senin tanggal 25 April

2011, akan mengeluarkan surat pemanggilan Bupati Kepulauan Meranti ke Jakarta, untuk

membahas penolakan masyarakat Pulau padang terhadap operasional PT. RAPP di Pulau

Padang yang dipaksakan.

Tanggal 25 April 2011

Jam 09.00 pagi 46 orang Petani Pulau Padang, melakukan aksi Mogok Makan Massal di

pintu masuk KEMENHUT DAN MENDIRIKAN TENDA. Lebih kurang pada tengahhari

Kemenhut mengeluarkan surat pemanggilan Bupati Kepulauan Meranti Irwan Nasir untuk

datang ke Jakarta pada tanggal 28 April 2011. Tekad Petani Pulau Padang akan melakukan

aksi hingga Menteri Kehutanan benar-benar memberikan jawaban atas tuntutan petani dan

Page 40: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

40

mencabut SK Menhut No. 327 tahun 2009 yang memberikan izin pada PT. RAPP di Pulau

Padang serta menunggu Bupati hadir ke Jakarta, namun tepat jam 19.00 para petani

dibubarkan oleh aparat kepolisian dengan alasan melanggar batas waktu unjuk rasa.

Tanggal 26 April 2011

Para Petani Pulau Padang Masih dengan kondisi Mogok Makan dengan menggunakan 2 buah

Bus, membuat pengaduan KE KOMNAS HAM terkait operasional PT. RAPP di Pulau

Padang. Pengaduan para Petani diterima langsung oleh Komisioner Pemantaun dan

Penyelidikan Johny Nelson Simanjuntak. Inti pengaduan menyangkut tiga hal, petama bahwa

SK Menhut No. 327 tahun 2009 telah meresahkan masyarakat Pulau Padang, karena warga

pulau padang akan kehilangan hak hidup dan sumber-sumber kehidupan juga berpotensi

mengadu-domba warga, kedua, dengan masuk dan beropersinya eskavator PT. RAPP ke

Pulau Padang sejak tanggal 27 Maret 2011 adalah bentuk provokasi terhadap warga. Dan

ketiga meminta izin kepada Komnas HAM untuk memberikan tempat bagi para petani untuk

melanjutkan AKSI MOGOK MAKAN. Ketiga tuntutan tersebut pihak KOMNAS HAM

memenuhi semua tuntutan petani dengan jalan akan segera menyurati Pihak Menhut atas

potensi terjadinya pelanggaran HAM atas turunnya SK Menhut No. 327 tahun 2009 dan

memberikan ruang kepada para petani Pulau Padang untuk melanjutkan aksi mogok makan.

Usai pertemuan tersebut petani mendirikan tenda di luar gedung Komnas HAM dan

melanjutkan aksi mogok makan dengan memasang spanduk-spanduk ukuran besar yang

berisikan Peta Pulau Padang dan areal konsesi PT. RAPP di blok Pulau Padang seluas 41.205

ha bertuliskan 1. Hentikan operasional PT. RAPP di Pulau Padang dan 2. Cabut SK Menhut

No. 327 tahun 2009.

Tanggal 27 April 2011

Para petani mandatangi KANTOR KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI(KPK)

untuk melaporkan dugaan adanya korupsi dalam proses dikeluarkannya SK Menhut No. 327

tahun 2009.

Dalam surat pengaduan tersebut perwakilan petani berkas-berkas antara lain:

1. SK No. 327/Menhut-II/2009

2. Rekomendasi Wakil Bupati Bengkalis tahun 2005 tentang penambahan/perluasan areal

kerja IUPHHK-HT atas nama PT. RAPP di Pulau Padang.

Page 41: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

41

3. Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor 326/VII/2006 tentang kelayakan lingkungan

kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman di areal tambahan

kabupaten Pelalawan, Siak dan Bengkalis Prop. Riau oleh PT. RAPP

4. Surat Pjs. Bupati Kepulauan Meranti tentang Peninjauan Ulang terhadap IUPHHK-HTI di

Kepulauan Meranti No. 100/TAPEM/189 tahun 2009

5. Surat Bupati Kepulauan Meranti perihal Peninjauan Ulang terhadap IUPHHK-HTI PT.

LUM, PT. SRL dan PT. RAPP No. 100/TAPEM/IX/2010/70

6. Surat DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti prihal Tinjau Ulang izin operasional PT. SRL,

PT. LUM dan PT. RAPP

7. Kronologis Perluasan Areal PT. RAPP oleh Dinas Kehutanan Propinsi Riau, Januari 2010,

yang berisikan 12 item cacat administrasi dalam proses dikeluarkannya SK Menhut No.

327 tahun 2009 dan merekomendasikan untuk di tinjau ulang

8. Petisi atau tanda tangan penolakan masyarakat Pulau Padang terhadap PT. RAPP di Pulau

Padang berbaur menjadi satu baik dari tokoh masyarakat, tokoh agama, RT, RW, Kepala

Dusun, Kepala Desa, perangkat desa, dan BPD.

Berkas-berkas tersebut diterima langsung oleh Kuswanto dari Penerima laporan Pengaduan

Masyarakat.

Tanggal 28 April 2011

Hari yang ke empat para petani Pulau Padang sudah melakukan AKSI MOGOK MAKAN

MASAL berangkat dari POSKO di depan Kantor Komnas HAM jam 06.00 pagi kembali

mendatangi KANTOR KEMENHUT DAN MENDIRIKAN TENDA di depan pintu keluar

masuk Kantor Menteri Kehutanan. Aksi Mogok Makan Massal semakin massif ketika para

mahasiswa asal Riau yang berada di Jakarta yang tergabung dalam Ikatan Pelajar dan

Mahasiswa Riau Jakarta(IPMRJ) ikut ambil bagian dan dan memberikan orasi-orasi tuntutan

untuk mencabut SK No. 327 tahun 2009.

Para petani dengan kondisi yang sangat lemah karena sudah memasuki hari yang keempat

MOGOK MAKAN sambil menanti kehadiran Bupati sebagaimana yang telah dijanjikan

Menhut tidak kunjung tiba, maka sekitar jam 14.00 wib, karena para petani tidak diizinkan

masuk untuk menemui Bupati dan Menteri, para petani memblokir jalan Raya di depan

Kantor Kemenhut. Akibatnya jalan Gatot Subroto depan Kemenhut macet total. Pihak

keamanan yang dari pagi hari mengawal aksi para petani pulau padang yang menuntut

pencabutan SK Menhut No. 327 tahun 2009 kewalahan dan panic sehingga terjadi perdebatan

Page 42: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

42

antara pihak keamanan dan para petani. Akhirnya 7 orang perwakilan Petani Pulau padang

diperkenankan untuk masuk dan menemui Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Pertemuan para petani dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang didampingi oleh Hadi

Daryanto (Setjen Kemenhut) Iman Santoso (Dirjen), Bedjo Santoso (Direktur Bina

Kehutanan) dan beberapa pejabat lain dilingkungan Kementerian Kehutanan, tidak seindah

bayangan dan harapan, malah justru para petani diprovokasi dan ditantang oleh Menhut.

Pertama, Menhut menyangsikan bahkan tidak percaya bahwa para petani yang sudah

berhari-hari melakukan aksi penolakan Operasional PT. RAPP di Pulua Padang di Jakarta

dan menuntut Pencabutan SK Menhut No. 327 tahun 2009 bukan asli warga Pulau Padang,

kedua, Menhut menyatakan bahwa “pulau Padang tidak berpenghuni”, dan ketiga,

mengancam dengan pernyataanya “saudara-saudara mau demo silakan, satu hari, dua hari,

tiga hari, sebulan, setahun silakan, tapi jangan ganggu kami, kalau ganggu kami saya

lawan”.

Tanggal 11 Mei 2011,

7 (tujuh) orang Perwakilan Petani Pulau Padang mendatangi Mabes Polri di Jakarta guna

untuk mengadukan pernyataan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (tanggal 28 April 2011,

sekitar jam 16.00 WIB ketika menemui masyarakat Pulau Padang)yang menyatakan bahwa

“Pulau Padang tidak berpenghuni berdasarkan laporan Bupati Kepulauan Meranti”.

Pernyataan yang dinilai provokatif, dan meresahkan warga pulau padang.

Senin 30 Mei 2011

900 orang lebih warga pulau padang dari berbagai desa melakukan aksi PENGHENTIAN

OPERASIONAL PT. RAPP “secara paksa” di lokasi operasional Desa Tg. Padang tepatnya

di Sungai Hiu, tepat di jalan koridor. Masyarakat yang sudah cukup marah, di karenakan

Surat Komnas HAM yang di alamatkan Ke Menhut maupun ke Pihak Perusahaan prihal

penghentian Operasional tidak di indahkan baik oleh Menhut maupun pihak perusahaan.

Berduyun-duyun menuju lokasi jalan koredor di Sg Hiu dengan lengkap membawa alat-alat

petani sebagaimana pekerjaan sehari-hari. Tekad masyarakat sudah bulat yakni berperang di

lokasi jika memang pihak perusahaan memaksakan kehendak terus melanjutkan membabat

hutan alam ataupun lahan warga. Nyaris peperangan terbuka pun tak terhindarkan, namun

kecakapan korlap aksi dalam situasi yang cukup mengerikan itu akhirnya dapat dikendalikan.

Seluruh alat petani dalam bentuk benda tajam mampu di kumpulkan dalam sebuah rumah di

pelabuhan Tg. Padang dalam jumlah sesuai jumlah aksi massa.

Page 43: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

43

Perdebatan yang dilakukan oleh perwakilan massa aksi dengan pihak perusahaan berjalan

cukup sengit dengan di mediasi oleh pihak kepolisisan. Hingga akhirnya massa

membubarkan diri dan pulang setelah memblokir jalan dengan beberapa pohon kelapa besar

di tengah jalan koredor dengan menancapkan bendera STR, LPTR dan Merah putih serta

memasang sepanduk ukuran besar surat KOMNAS HAM, yang berisi desakan kepada

Menhut dan PT. RAPP untuk menghentikan operasional.

Tanggal 30 MEI 2011 (23.00 WIB.)

Setelah Massa Aksi Pulang Di Kampung halaman masing-masing, menggunakan 6 kapal

pompong, diketahui dari berbagai media local bahwa di areal Jalan Koredor PT. RAPP Sg.

Hiu Desa Tg. Padang, terjadi pembakaran 2 alat berat dan 2 Camp PT. RAPP. Akibat

peristiwa tersebut warga Desa Tanjung Padang diburu pihak aparat meskipun tanpa bukti dan

alasan yang jelas. Beberapa orang warga desa Tg. Padang di tangkap, diantaranya adalah pak

Zainal (warga dusun tanjung padang) rumahnya dikepung pada pagi hari oleh lebih kurang 14

aparat kepolisian bersenjata lengkap dan kemudian dibawa ke Mapolresta Bengkalis untuk

dimintai keterangan. Namun kemudian dilepaskan. Hingga detik ini (tgl 7 Januari

2012)masih ada 24 nama warga Desa Tanjung Padang , yang terus di buru oleh pihak aparat

kepolisian tanpa alasan yang jelas, kebanyakan mereka tidak berani pulang ke desa sampai

saat ini.

Tanggal 9 Juni 2011

PENCULIKAN 3 (tiga) ORANG WARGA DESA LUKIT

Pagi dini hari, sekitar jam 04.00 wib, pasukan keamanan menggunakan 1 kapal Dinas dari

Polres Bengkalis mendatangi beberapa warga desa Lukit dan menculik 3 orang. Solehan (34

tahun) Dalail (54 tahun) dan Yahya (45 tahun). Ketiga orang tersebut diperlakukan seperti

teroris, dengan memborgol kedua tangan dan menutup kepala dengan sebo sambil di pukuli

kepalanya dalam kondisi muka tertutup.

Solehan dan dalail sempat dibawa kedalam kapal aparat yang sudah standby di pelabuhan

desa Lukit. Menyusul kemudian pak Yahya di kroyok oleh lebih kurang 10 orang aparat.

Sempat terjadi adu jotos antara aparat dan pak yahya. Karena pak yahya tidak bersedia di

bawa ke Polres bengkalis dengan alasan pihak kepolisian tidak membawa surat perintah dan

surat penahanan atas nama Yahya.

Sebelum pak Yahya sempat dimasukkan kedalam kapal, setiba mobil yang membawa pak

Yahya di Pelabuhan, masyarakat yang tidak terima atas penangkapan terhadap Solehan,

Page 44: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

44

Dalail, dan Yahya. Ratusan warga desa Lukit sudah memblokir pelabuhan dan menghadang

mobil PT Kondur yang digunakan aparat kepolisian untuk membawa pak Yahya. Beberapa

tembakan peringatan dilepaskan aparat, untuk menakuti warga, namun warga tidak peduli.

Akhirnya warga pun menahan pihak aparat. Meskipun aparat berulang kali menodongkan

pistol ke dada beberapa warga, dan sempat juga aparat melepaskan tembakan ke Paha

Sumarno yang memang menghalangi aparat yang akan masuk kedalam kapal.

Akhirnya negosiasi barter pun terjadi. Warga bersedia untuk melepaskan pihak aparat dengan

syarat pak Solehan dan pak Dalail juga dilepaskan dan dikeluarkan dari kapal. Setelah

dilepaskan, Mendengar Laporan bahwa pak dalail dan pak Solehan diperlakukan secara tidak

manusiawi oleh aparat, warga pun marah dan menuntut kasus pemukulan yang dilakukan

oleh aparat untuk diselesaikan di Kantor Desa. Pihak aparat menolak, seketika itulah rentetan

tembakan senjata otomatis tak terhitung jumlahnya pada sekitar jam 06.00 wib. Desakan

warga membuat salah satu aparat menjatuhkan diri ke laut karena di desak warga (di

pelabuhan Jeti PT Kondur) untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Sambil salah

seorang yang berada dikapal menyelamatkan salah seorang aparat yang menjatuhkan diri ke

laut, pihak aparat juga melepaskan tembakan senapan otomatis yang terhitung jumlahnya,

terkadang diarahkan ke warga dan kadang ke atas sambil meninggalkan pelabuhan.

Tanggal 29 Agustus 2011

Warga Pulau Padang di tengah terik Matahari pada bulan puasa, yakni 2 hari menjelang hari

Raya Idul Fitri berbondong-bondong mendatangi Kantor Bupati Kepulauan Meranti, untuk

yang kesekian kalinya tanpa henti menuntut Pemerintah Daerah dan Pusat untuk

mengabulkan tuntutan cabut SK No. 327 Menhut-II/2009, meskipun penuh dengan pelecehan

oleh Satpol PP, pandangan sinis dan lain sebagainya.

Tanggal 30 Oktober 2011

79 orang warga Pulau Padang berangkat dari pelabuhan desa lukit dengan menggunakan 2

kapal Pompong, dan menuju ke Pekan baru menggunakan 1 bus 4 buah travel. Dan kemudian

mendirikana Posko di Kantor DPRD Prop. Riau.

Tanggal 31 Oktober 2011

79 warga Pulau Padang melakukan Hearing dengan Komisi A DPRD Prop. Riau.

Menyampaikan tuntutan Kepada DPRD Prop. Khususnya Komisi A untuk

merekomendasikan Tinjau Ulang SK. No. 327/ Menhut-II/2009. Komisi A Bagus Santoso,

Page 45: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

45

berjanji akan menyampaikan aspirasi warga Pulau Padang tersebut kepada Ketua DPRD

Prop. Riau. Karena jawaban Komisi A, mengambang dan tidak ada ketegasan warga Pulau

Padang mengancam akan melakukan AKSI JAHIT MULUT. Bagus santoso yang juga ketua

Komisi A meyampaikan bahwa beliau tidak punya kewenangan untuk mengeluarkan

rekomendasi tersebut. Wewenang tersebut terletak pada Ketua DPRD.

Tanggal 1 November 2011

Lima orang dari 79 orang melakukan aksi JAHIT MULUT di Masjid Komplek DPRD Prop.

Riau, meraka adalah M. Riduan, Sulatra, Sapridin, Khusaini dan Soim. Aksi jahit mulut ini di

lakukan untuk mendesak para pengambil kebijakan di semua tingkatan, supaya

memperhatikan dan mendengar mempertimbangkan aspirasi yang sudah bertahun-tahun di

suarakan.

Tanggal 2 November 2011

Beberapa perwakilan dari 9 desa di pulau Padang hearing dengan Komisi B dan diterima

langsung oleh Ketua Komisi B T. Azwir. Komisi B berulang-ulang memberikan jawaban

untuk rekomensasi Pencabutan/tinjau ulang SK No. 327 tahun 2009 tidak sesuai dengan

harapan.

Tanggal 3 November 2011

Tiga orang perwakilan warga Pulau Padang menemui Ketua DPRD Prop. Riau Johar Firdaus

di Ruang Kerjanya, terkait dengan tuntutan warga Pulau Padang, jawaban juga masih sama

dan bahkan lebih menyakitkan, dengan mengatakan “Laporan dari Komisi A belum saya baca

dan secara teknis itu wewenang Komisi A, dan permasalahan ini sepenuhnya saya serahkan

kepada Komisi A.

Tanggal 4 November 2011

Empat (4) dari lima (5) orang peserta aksi Jahit Mulut bersama sejumlah 70 warga Pulau

Padang melakukan Aksi ke Kantor Gubernur Riau, agar Gubernur Riau bertanggung jawab

terhadap Operasioanal PT. RAPP di Pulau Padang. Hal itu dikarenakan operasional PT RAPP

di Pulau Padang berdasarkan Surat Izin Koredor yang di keluarkan Oleh Gubernur Riau.

Warga menuntut agar Gubernur Riau Mencabut Rekomendasi yang pernah di keluarkan

untuk izin operasional PT. RAPP di Pulau Padang. Suasana Aksi sempat gempar, wartawan,

Page 46: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

46

aparat kepolisian, satpol PP menangis dan menitiskan air mata karena tidak sampai hati dan

haru barangkali melihat salah seorang dari Peserta Aksi Jahit Mulut sempat kejang-kejang

dan pingsan di tengah terik matahari tepat jam 11.00 siang, di depan Pintu Gerbang Kantor

Gubernut. Hal itu terjadi karena sudah 4 hari tidak mengkonsumsi makanan dalam kondisi

mulut di Jahit.

Jam 11.30 wib. Massa Aksi mendatangi Radio Republik Indonesia (RRI) Pekanbaru,

menyiarkan secara langsung penolakan terhadap operasioanal PT. RAPP di Pulau Padang,

dan menuntut kepada Pemerintah Republik Indonesia pada semua tingkatan untuk

mengabulkan tuntutan warga pulau Padang yakni Cabut SK No. 327/Menhut-II/2009 Blok

Pulau Padang seluas 41.205 ha. Jam 14.00 wib beberapa perwakilan warga Pulau Padang

dialog dengan Pejabat Pemprov Riau di Kantor Gubernur, terkait dengan kinerja Tim

Terpadu “PALSU” Pemda Meranti. Hasil dialog adalah Pemprov dan Tim Terpadu berjajni

akan turun ke lapangan. Jika hasilnya ternyata ada tumpang tindih lahan, akan segera

mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin operasioanl PT. RAPP di Blok Pulau Padang.

Namun, kenyataanya kemudian setelah Tim turun ke lokasi areal konsesi dan di dapati

adanya banyak lahan warga yang tertindih dan dirampas pihak perusahaan, Gubernur Riau

tidak juga mengeluarkan Rekomendasi Pencabutan SK. NO. 327 Menhut Tahun 2009 Blok

Pulau Padang.

Tanggal 17 November 2011

Berdasarkan undangan DPD RI dapil Riau, tertanggal 3 November 2011, di gedung DPRD

Prop. Riau yang di Fasilitasi Anggota DPD RI dapil Riau, Drs. H. M. Gafar Usman, MSc,

Intsiawati Ayus, SH,MH, Dra. Hj.Maimanah Umar, MA, Muhammad Gazali, Lc, diadakan

dialog multi pihak dalam rangka menyelesaikan kasus Pulau Padang dan tuntutan warga.

Pertemuan yang dihadiri oleh berbagai pihak, an. Bupati kep. Meranti dan seluruh pejabat

Pemda Meranti, ketua DPRD Prop Riau,Kepala Dinas Kehutanan Prop. Riau, DPD RI dapil

Riau Masyarakat Pulau Padang dll. Namun, lagi-lagi hasilnya sangat-sangat mengecewakan

warga Pulau Padang.

Tanggal 13 Desember 2011

Jam 15.00 wib, Di Masjid Raya Desa Bagan Melibur berkumpul 400an orang dari berbagai

desa dari Pulau Padang, dalam rangka melepaskan 82 orang PESERTA AKSI JAHIT

Page 47: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

47

MULUT ke Jakarta. Pelepasan di pimpin oleh kades SAMAUN, S.Sos, alim ulama tokoh

masyarakat dan tokoh agama.

Tanggal 16 Desember 2011

Warga Pulau Padang sampai di JAKARTA, Sampai di Jakarta langsung aksi ke Gedung

Manggala Wanabakti Kemenhut, jl. Gatot Subroto, menghasilkan:

Poin 6: Tuntutan masyarakat Pulau Padang akan ditindak lanjuti sebagai berikut

a. Akan dibuat surat kepada Bupati Kepulauan Meranti untuk menerbitkan rekomendasi

pencabutan HTI atas nama PT. RAPP

b. Akan dibuat surat kepada kepala dinas Kehutanan Provinsi Riau untuk tidak

menerbitkan RKT atas nama perusahaan PT. RAPP

HINGGA SAAT INI MASIH BERTENDA DI DEPAN GEDUNG DPR RI JAKARTA

(DARI 16 DESEMBER 2011—MINGGU 8 JANUARI 2012)

Tanggal 20 Desember 2011

Di depan Gedung DPR RI di Jakarta, 8 orang warga Pulau Padang melakukan AKSI JAHIT

MULUT, tanpa TIM MEDIS, dengan menusukkan jarum secara sendiri-sendiri.

Tanggal 21 Desember 2011

Penambahan 10 Peserta AKSI JAHIT MULUT warga Pulau Padang, yang dibantu oleh TIM

MEDIS, karena tidak adanya respon dari pemerintah

Tanggal 22 Desember 2011

Penambahan Peserta AKSI JAHIT MULUT 10 orang warga Pulau Padang.

Tanggal 27 Desember 2011

Pagi mulai jam 06.00 wib, Warga Pulau Padang dari berbagai desa sekitar 5000an orang laki,

perempuan, anak-anak dengan menggunakan 16 buah kapal kapasitas 400an orang sampai

kapasitas 100an orang dan 300an sepeda motor, menuju Selatpanjang, menduduki Kantor

Bupati Kepulauan Meranti dengan segala perlengkapan memasak, beras, kuwali, panci,

tenda, dll. Massa menolak berdialog, namun massa secara resmi menyerahkan

PERNYATAAN SIKAP tuntutan MASYARAKAT kepada Bupati Kepulauan Meranti yang

di terima langsung oleh Asisten I Kabupaten Kep. Meranti H. Nuriman, dan beberapa pejabat

Pemda yang isinya: meminta Bupati untuk mengeluarkan rekomendasi Pencabutan SK.

Page 48: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

48

327/menhut/2009 (Revisi SK No. 327/2009- yakni mengeluarkan hamparan Pulau Padang

seluas 41.205 ha keluar dari SK tersebut). Aksi pendudukan kantor Bupati Kepulauan

Meranti oleh warga Pulau Padang berlangsung hingga 5 hari-4 malam,

Tanggal 28 desember 2011

Massa aksi warga Pulau Padang yang menginap di kantor Bupati tersebut, mendatangi DPRD

Kep. Meranti menuntut sikap tegas DPRD Kep. Meranti terhadap penolakan Terhadap

Operasional PT. RAPP di Pulau Padang.

Tanggal 29 Desember 2011

Massa masih bertahan di depan Kantor BupatiMendengar pernyataan Bupati Kep. Meranti

Via Telp dari SINGAPURA Kepada Korlap Aksi Sumarjan: menanyakan “berapa massa

aksi?” dijawab korlap “mendekati lima ribu orang (5000) orang pak”, bupati menjawab “ apa

tidak Cuma lima ratus (500) orang” Masyarakat di kampung mendengar ejekan Bupati di

atas, tidak lengah, malam jumat meluncur lagi masyarakat Pulau Padang dengan

menggunakan 4 buah kapal, (Kamis Malam Jumat)

Tanggal 29 Desember 2011

ISTIGHOTSAH AKBAR DI DEPAN KANTOR BUPATI, Warga Pulau Padang yang

memang mayoritas adalah warga Nahdliyyin (NU) menggelar Shlat Isya’ berjamaah di Jalan

RAYA, sholat Hajat, ISTIGHOTSAH AKBAR dan wirid yasin, yang di pimpin oleh Tokoh-

tokoh agama dari berbagai Desa; memohon Kepada ALLAH SWT agar tuuntutan warga

Pulau Padang diberikan pertolongan oleh ALLAH SWT.

Tanggal 30 Desember 2011

MASYARAKAT Pulau Padang yang masih berada di kampung meluncur ke kantor Bupati

bergabung dengan 5000an massa yang sudah 3 hari menginap di Depan Kantor Bupati,

sebanyak 500an sepeda motor berboncengan. Masyarakat menolak uang pemberian Bupati,

satu ikat uang pecahan Rp. 100.000, (kira-kira 10.000.000,-) ditolak massa, mereka berteriak

“yang kami butuhkan Rekomendasi Pencabutan/Revisi SK. No. 327 Menhut 2009 BUKAN

UANG” Perwakilan massa 10 orang dialog dengan Bupati di dalam kantor menghasilkan:

Bupati Kepulauan Meranti bersama 3 orang perwakilan Tokoh Masyarakat untuk menemui

menteri kehutanan perihal revisi SK. No. 327 Menhut Tahun 2009.

Page 49: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

49

Tanggal 30 Desember 2011 (Di Jakarta)

Warga Pulau Padang mendatangi Kantor Menteri kehutanan, menolak dan mendesak

kemenhut:

1. Meminta kementrian kehutanan segera merealisasikan hasil kesepakatan tanggal 16 dan 27

Desember 2011

2. Moratorium dengan menhentikan opersional PT RAPP di Pulau Padang secepatnya

3. Menolak TIM Mediasi yang di bentuk Kemenhut.

4. Mengundang Menteri Kehutanan untuk bersama-sama masyarakat Pulau Padang untuk ke

lokasi.

Notulensi di tandatangani oleh Kemenhut Sugeng Marsudiarto dan perwakilan masyarakat

Pulau Padang.

Tanggal 4 Januari 2012

Bupati KEPULAUAN MERANTI, RIAU di kroyok RIBUAN massa dan di SIRAM AIR

hingga 2 kali oleh seorang ibu yang di ajak bersalaman tidak lama turun dari mobil SERTA

di USIR dari pulau PADANG. Ribauan Massa menyerbu Kantor CAMAT MERBAU, setelah

mendengar Bupati yang agendanya adalah ke JAKARTA untuk pertemuan dengan Menhut

dan warga Pulau Padang, malah datang ke Pulau Padang.(Sumber: Rajiono warga desa

Lukit/saksi mata)

Tanggal 5 Januari 2012

Warga Pulau Padang 90an orang, yang berada di Jakarta mendatangi Kemenhut untuk

pertemuan denga Bupati dan Menteri Kehutanan. Namun pertemuan hanya dilakukan dengan

Kemenhut dan 20 orang perwakilan masyarakat. Pulau Padang yang juga di sertai oleh

Anggota DPD RI asal Riau INSTIAWATI AYUS, menghasilkan;

1. Agenda hari Jumat tgl 6 Januari 2012 untuk pertemuan dengan Bupati Kep. Meranti dan

Menteri Kehutanan dari masyarakt sejumlah orang yang sama pada pertemuan saat ini

(tgl 5 Januari 2012)

2. Kemenhut siap untuk mengeluarkan surat Pencabutan/revisi SK. No. 327 Menhut/2009

dengan MENGELUARKAN HAMPARAN PULAU PADANG dari SK. No. 327

Menhut tahun 2009 seluas 41.205 ha jika Bupati Kepulauan Meranti merekomendasikan

pencabutan/revisi SK. Menhut tersebut.

Tanggal 6 Desember 2012

Page 50: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

50

Jam 13.00 wib, Massa warga Pulau padang mendatangi Kemenhut, sampai di pintu masuk

GEDUNG GRAHA WANA BAKTI, Kemenhut hanya meminta perwakilan tiga (3) orang

sebagaimana permintaan bupati dengan Mengatakan “tiga orang perwakilan masyarakat

pulau padang saya tunggu lima (5) menit, jika tidak mau say akan pulang…….!”

Masyarakat Pulau Padang yang sudah hamper satu bulan bertenda di Depan Gedung DPR RI,

MENDENGARpenyampaian Pihak Kemenhut pun kemudian massa Warga Pulau Padang

bersikukuh, justru seharusnya yang bisa masuk menjadi 23 orang, tapi kenapa hanya di

izinkan Tiga (3) orang, sebagaimana di sampaikan oleh pihak Kemenhut.

Jam 14.30 wib ibu Instiawati Ayus anggota DPD RI menghampiri warga masyarakat

Pulau Padang, setelah menyampaikan banyak hal kepada Media Massa/wartawan, kemudian

mengajak empat (4) orang perwakilan untuk menemui Ketua DPD RI H. Irman Gusman, dan

Sekjen DPD RI Siti Nurbaya (Mantan Setjen Kemendagri) di lantai 7 gedung DPR RI.

Perwakilan masyarakat Pulau Padang menyampaikan semua aspirasi dan lika-liku perjuangan

Masyarakat Pulau Padang menolak kehadiran PT. RAPP di Pulau Padang, sejak

dikeluarkannya SK. No. 327 Menhut tahun 2009, (sebagaimana dalam kronologis Penolakan

ini) H. Irman Gusman Ketua DPD RI berjanji akan menyelesaikan permasalahn penolakan

warga Pulau Padang. Beliau mengatakan “percayakan pada kami persoalan bapak-bapak,

kami juga sama seperti bapak-bapak, kita sama-sama berjuang”, bahkan ketika salah satu

perwakilan menyampaikan tentang data-data kepalsuan PT. RAPP dan akan menunjukan

kepada beliau, beliau mengatakan “udah, udah kami percaya apa yang semua bapak-

bapak sampaikan”. Masyarakat menyampaikan bahwa peta satelit tahun 2002 yang di

publikasikan oleh PT. RAPP adalah PEMBOHONGAN yakni dengan menonjolkan tingkat

degradasi hutan dan tingkat deforestasi dan penurunan emisi yang tinggi di Pulau Padang

adalah tidak benar. Hampir semua data yang tercantum dalam AMDAL PT. RAPP tidak

benar karena ketebalan gambut Pulau Padang hanya berkisar 1-2 m. Perwakilan masyarakat

memiliki data dan dokumen pembanding hasil penelitian/pengeboran April 2011 (Oka

Karyanto dkk), dan data ketebalan gambut di Pulau Padang yang mencapai 12 meter

(Brady, 1997) yang secara ilmiah bahwa Pulau Padang dengan segala karateristik dan

kelebihannya tidak layak untuk di HTI kan.

Tanggal 8 Januari 2012

Page 51: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

51

Warga Pulau Padang Masih tetap bertahan dan bertenda di depan gedung DPR RI, kehujanan,

kepanasan, makan apa adanya dan tidak akan pulang sebelum SK. No. 327 Menhut tahun

2009 di revisi dengan mengeluarkan Hamparan Pulau Padang di keluarkan dari SK.Tersebut.

C. HASIL PERTEMUAN DENGAN STAKEHOLDER

Berdasarkan SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011 tentang Pembentukan Tim

Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang Kabupaten

Kepulauan Meranti Provinsi Riau, salah satu tugas Tim Mediasi adalah melakukan pertemuan

dengan berbagai stakeholder terkait dengan tuntutan masyarakat. Bagian ini mencoba

menggambarkan rangkuman hasil pertemuan dengan para stakeholder terkait.

1. Pertemuan Dengan LSM

Pertemuan dengan LSM dilakukan di Pekanbaru pada pada hari Kamis, 05 Januari 2012

di Sekretariat Jikalahari Jl. Angsa 1 No 4A Pekanbaru, Riau. Selama pertemuan dan

berdasarkan data-data yang diberikan kepada tim mengemuka isu-isu terkait lingkungan

dan perizinan.

Terkait dengan isu-isu lingkungan, berdasarkan wawancara dan data-data, dapat

disimpulkan isu lingkungan ini bertumpu pada hal-hal sebagai berikut :

1. Pulau Padang adalah pulau kecil yang diatur secara khusus.

2. Pulau Padang adalah pulau Gambut Dalam.

3. Pembukaan hutan gambut secara besar-besaran di Pulau Padang akan menyebabkan

pulau itu akan tenggelam.

Tabel di bawah ini menggambarkan selintas pernyataan dan sikap masyarakat dan LSM

terkait dengan isu lingkungan ini.

Aktor SumberSurat Pernyataan Media

Masyarak "Kawasan HTI itu merupakan hutan gambut berkedalaman

Page 52: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

52

at lebih dari 6 meter. Semestinya tak boleh jadi HTI," kata Isnadi Esman, perwakilan warga”

"Kalau lahan gambut dibabat dan tanaman kayu diambil, pulau ini akan tenggelam," ujar M Ridwan, salah seorang warga. Perluasan penguasaan HTI mengakibatkan sebagian tanah garapan masyarakat terampas.

(http://megapolitan.kompas.com/ read/ 2011/12/21/ 05373320 / Jahit.Mulut.Perjuangan. Warga.Pulau.Padang)

LSM Hasil interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksi ground-check ketinggian tajuk tegakan pohon pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pemukiman dan kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga adanya rencana HTI dengan kanalisasi besarbesaran berpotensi menyebabkanPercepatan tenggelamnya Pulau Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat pemanasan global. (pernyataan sikap Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari lsm, ormas dan organisasi mahasiswa No: Istimewa/I/2012 )

Hasil interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksi ground-check ketinggian tajuk tegakan pohon pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pemukiman dan kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga adanya rencana HTI dengan kanalisasi besar-besaran berpotensi menyebabkan percepatan tenggelamnya Pulau Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat pemanasan global.

(http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/siaran-pers/1961-organisasi-masyarakat-sipil-yang-terdiri-dari-lsmormas-dan-organisasi-mahasiswa.html)

PT RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper), a subsidiary of Indonesian pulp and paper giant APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd), is targeting the clearing of 23,914 hectares of peatland forest on Pulau Padang, a small island in Riau Province, Indonesia. The peatland forest that is targeted for clearance is quite intact in the PT RAPP concession, which in all covers an area of 41,205 hectares, or more than half of the land area of Singapore.  (Grenomic 2012, APRIL must  refrain from  pulping  peatland forest on a small Indonesian  island )  

Selain isu lingkungan di atas, sejak lama masyarakat sipil (LSM) menyampaikan analisis

terkait dengan perizinan dan lingkungan yang terangkum dalam “PERNYATAAN

SIKAP ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL YANG TERDIRI DARI LSM, ORMAS

DAN ORGANISASI MAHASISWA No: Istimewa/I/2012, Tanggal 5 Januari 2012”,

sebagai berikut :

Page 53: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

53

A. Isu AMDAL

Proses AMDAL yang bertentangan dengan PP 27/1999 pasal 16 ayat 4 tentang Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, khususnya ketidaksesuaian peruntukan kawasan

hutan yang dicadangkan sebagai areal HTI dengan dokumen TGHK, RTRWN, RTRWP

Riau (Perda No. 10 tahun 1994), dan RTRWK Bengkalis (Perda No. 19 tahun 2004).

Dalam pengambilan data-data di lapangan saat penyusunan AMDALtim penyusun tidak

mengambil sampel biofisik lapangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berkaitan dengan AMDAL, antara lain :

1. Tim penyusun AMDAL tidak melakukan pengukuran sampel kedalaman lahan

gambut secara representatif dan akurat.

a) Menurut data ANDAL kedalaman gambut di areal pencadangan HTI secara umum

< 2,5 m, dan sebagian kecil saja yang ketebalan gambutnya antara 2,5 – 5 meter

(sumber: Dokumen ANDAL Areal tambahan PT. RAPP, 2006 halaman V-32), .

b) Menurut hasil penelitian Fakultas Kehutanan UGM kedalaman gambut (sebanyak

70 titik bor) di Pulau Padang > 3 meter, bahkan dibanyak tempat kedalaman

gambutnya > 6,5 meter).(Penjelasan lebih lanjut silahkan dibaca pada Lampiran

2. Pengelolaan Landskape Pulau Padang)

c) Menurut Disertasi Michael Allen Brady Universitas British Columbia (sekarang

menjabat Executive Director GOFC-GOLD (Global Observation of Forest and

Land Cover Dynamics (GOFC-GOLD)GOFC-GOLD adalah Panel of the Global

Terrestrial Observing System (GTOS), yang disponsori oleh FAO, UNESCO,

WMO, ICSU and UNEP yang mengambil Pulau Padang sebagai site kajian utama,

menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan Pulau Padang memiliki kedalaman

gambut 9 – 12 meter. (penjelasan lebih lanjut tentang Disertasi tersebut silahkan

dilihat pada Lampiran 3.)

Menurut Keppres 32/1990, dan PP No. 47/1997, kawasan gambut dengan kedalaman

> 3 meter yang berada di hulu sungai dan rawa termasuk kawasan lindung. Menurut

Keppres 32/1999 pasal 37 ayat 1 tentang Pengendalian Kawasan Lindung,

menyebutkan bahwa di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan

budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung. Pengusahaan HTI skala

Page 54: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

54

besar yang menggunakan sistem land clearing dan silvikultur THPB akan

menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi lindung di kawasan Pulau Padang.

2. Tim penyusun AMDAL tidak melakukan survey sosial pada masyarakat terdampak akibat

operasional HTI (sesuai PP 27/1999 pasal 34), khususnya di Desa Lukit dimana sebagian

besar areal HTI termasuk wilayah administratif desa tersebut. Tetapi lokasi survey sosial

Tim penyusun AMDAL justru ke Desa Tanjungkulim dan Desa Kurau yang lokasinya

berada diluar areal HTI. (sumber: Dokumen ANDAL Areal Tambahan PT. RAPP Halaman

V-68 s.d. V-82).

3. Hasil interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksiground-check ketinggian tajuk tegakan

pohon pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan

pemukiman dan kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga

adanya rencana HTI dengan kanalisasi besar-besaran berpotensi menyebabkan percepatan

tenggelamnya Pulau Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat

pemanasan global

B. Dampak Lingkungan Yang Berasal Dari Menurunnya Permukaan Tanah

Seperti yang diuraikan di atas, Masyarakat Sipil dan LSM berpendapat bahwa hasil

interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksi ground-check ketinggian tajuk tegakan pohon

pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pemukiman dan

kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga adanya rencana HTI

dengan kanalisasi besar-besaran berpotensi menyebabkan percepatan tenggelamnya Pulau

Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat pemanasan global.

Indikasi ini sudah terbukti di lapangan, dimana masyarakat Pulau Padang dalam beberapa

tahun terakhir ini sudah mengalami bencana banjir rob/pasang air laut. Padahal sampai

dengan saat ini belum ada pembelajaran tentang dampak kanalisasi HTI skala besar terhadap

keseimbangan ekosistem pulau-pulau kecil.

C. Isu Deforestasi Pulau Padang

1. Telah terjadi pembentukan opini oleh PT. RAPP berkaitan dengan tingkat deforestasi

di kawasan Pulau Padang yang dilakukan saat forum Sosialisasi kepada komponen

masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti tanggal 30 Oktober 2010:

Page 55: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

55

2. Menurut analisis peta Citra Landsat tahun 2002 yang dilakukan PT. RAPP, kawasan

kebun karet dan kebun sagu (yang dikelola masyarakat Pulau Padang selama puluhan

tahun) diidentifikasi sebagai areal deforestasi, sehingga tingkat deforestasi di Pulau

Padang termasuk kategori tinggi. Kenyataan ini akan dapat mempengaruhi para pihak

yang berkepentingan dalam mengambil keputusan yang berpotensi menguntungkan

PT. RAPP terutama dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan Pulau Padang di

masa depan. (penjelasan lebih lanjut dapat dibaca pada Lampiran 4.)

3. Menurut hasil analisis peta citra Landsat pada tahun 2002 dan Citra Landsat tahun

2010 yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan UGM, ternyata laju deforestasi di

Pulau Padang selama rentang waktu 2002-2010 sangat minimum. (penjelasan lebih

lanjut dapat dibaca pada Lampiran 2.)

4. Kreteria Areal IUPHHK-HTI Kontroversi kriteria areal yang dapat dijadikan

IUPHHKHT/HTI (1). UU 41/1999 tentang Kehutanan; (2). PP 6/1999 tentang

Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi; (3). Peraturan

Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan; (4).

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; (5).

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 10.1/Kpts-II/2000 Tentang Pedoman

Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman; (6).

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 21/Kpts-II/2001 Tentang Kriteria Dan Standar

Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi; dan

(7). Keputusan Menteri Kehutanan No: SK. 101/Menhut-II/2004, jo

P.05/Menhut-II/2004 tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman untuk

Pemenuhan Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas).

D. Isu Pulau Kecil

Berdasarkan UU No 27/2007 pasal 1 ayat 3 yang dimaksud Pulau Kecil adalah pulau

dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometerpersegi) beserta

kesatuan ekosistemnya. Di dalam UU No 27/2007 pasal 23 ayat 2 dinyatakan

Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah

satu atau lebih kepentingan berikut: a). konservasi; b). pendidikan dan pelatihan; c).

penelitian dan pengembangan; d). budidaya laut; e). pariwisata; f). usaha perikanan dan

kelautan dan industri perikanan secara lestari; g). pertanian organik; dan/atau h).

Page 56: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

56

peternakan. Pada pasal 23 ayat 3, kegiatan lain diperbolehkan namun wajib memenuhi

persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan sistem tata air

setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Mendasar pada pasal 23

UU No 27/2007 tersebut, maka pengelolaan kawasan Pulau Padang tidak diperuntukan

untuk kegiatan pengusahaan hutan.

E. Isu Lain

SK 327/Menhut-II/2009 menggunakan Keputusan Gubernur Riau no. Kpts 667/XI/2004

yang telah kadaluarsa sebagai konsideran.

Selain itu, berkembang pula isu mengenai moratorium gambut terkait dengan Inpres No

10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola

Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini dikeluarkan bulan Mei 2011 untuk

memerintahkan 10 Institusi Pemerintah segera mengambil langkah-langkah penurunan

emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan menunda pemberian izin baru hutan

alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan

produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat

dikonversi) dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif

Penundaan Izin Baru yang menjadi Lampiran Instruksi Presiden. Merespons Inpres ini,

Kementerian Kehutanan pun mengeluarkan SK 323/Menhut-II/2011 tentang Penetapan

Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan

Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain.

Salah satu wilayah yang dimoratorium oleh SK ini adalah sebagian dari sebelah utara

Pulau Padang (lihat peta).

Page 57: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

57

Ket: warna hijau adalah wilayah moratorium & Warna Merah adalah Wilayah Gambut

Inpres tidak hanya melarang izin di lahan gambut dengan kedalaman tertentu tetapi

mencakup seluruh lahan gambut yang belum dibebani izin. Isu Pulau Padang kemudian

dikaitkan dengan moratorium gambut dan statement Internasional Presiden untuk

mengurangi emisi 26% dalam KTT G-20 di Pittsburg 25 September 2009

Selain temuan-temuan diatas, secara khusus perwakilan LSM Riau, yaitu Raflis

menyampaikan hal-hal sebagai berikut dalam pertemuan Pakar sebagai anggota Tim dari

Oka Karyanto, S.Hut:

1. Ada indikasi izin HTI PT. RAPP bermasalah, karena bertentangan dengan RTRWN,

RTRWP, dan RTRWK.

2. Diduga AMDAL HTI PT. RAPP di Pulau Padang bermasalah

3. Terkait butir 1 dan 2, perlu pemeriksaan lebih dalam oleh pihak yang berwenang dan

kompeten.

1. Perusahaan

Page 58: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

58

Tim mediasi menjalankan pertemuan dengan perusahaan di Manggala Wanabakti pada

hari Senin Tanggal 9 Januari 2011. Perusahaan telah melakukan upaya penanganan

masalah sosial di Pulau Padang melalui :

1. Sosialisasi tentang rencana pembangunan HTI PT. RAPP di Pulau Padang antara lain :

a. Pertemuan dengan kepala desa dan tokoh masyarakat Dusun Merbau, Lukit pada

tanggal 25 Juni 2009.

b. Mengajak tokoh masyarakat dan aparat desa Tanjung Padang dan Lukit ke RAPP pada

tanggal 26-26 Juli 2009.

c. Pertemuan dengan kelompok pelajar Meranti tanggal 18 Agustus 2010.

d. Pertemuan dengan tokoh masyarakat Sei Hiu tanggal 19 September 2010.

e. Sosialisasi rencana operasional HTI PT. RAPP kepada Serikat Tani Riau (STR) pada 29

Oktober 2010.

2. Program pengembangan masyarakat di Pulau Padang antara lain :

a. Training Pertanian Terpadu di Training Center PT. RAPP yang diikuti 31 orang dari P.

Padang yang terdiri tiga kelompok yaitu 30 Nov 2009, 12 Mei 2010 dan 13 Juli 2010.

b. Pembentukan kelompok tani sebanyak 65 keluarga di Desa Teluk Belitung, Lukit dan

Tanjung Padang.

c. Pembagian sarana produksi pertanian melalui kelompok tani di Desa Lukit, Tanjung

Padang, dan Teluk Belitung pada Agustus & Oktober 2010.

d. Bantuan beasiswa untuk 26 siswa SMP selama satu tahun dan 5 siswa SMU selama

satu tahun, pada 2009. Bantuan beasiswa 290 siswa tahun 2010 serta bantuan

komputer.

e. Pembuatan taman bacaan di Lukit dan Desa Pulau Padang sebanyak 1000 judul buku

pada Oktober 2009.

f. Pelatihan guru di Pekanbaru pada 2-5 Agustus 2010 yang diikuti 5 guru.

g. Pembangunan infrastruktur seperti bantuan pembangunan masjid Ar Rahman di Lukit,

Kubah masjid Tanjung Padang pada September 2009.

h. Bantuan meja kursi sekolah sebanyak 100 set pada Juni 2010.

i. Pemeriksaan kesehatan masyarakat Oktober dan Nopember 2009 di Desa Tanjung

Padang dan bantuan nutrisi tambahan untuk 100 anak di Desa Tanjung Padang.

j. Pelatihan mekanik motor pada Oktober 2009 dan Juni 2010 di Desa Lukit, Tanjung

Padang dan Teluk Belitung.

k. Bantuan bingkisan lebaran 400 paket di 11 Desa di Pulau Padang pada Nopember 2009.

Page 59: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

59

3. Penandatangan kesepakatan Bersama masyarakat 14 desa dengan PT. RAPP tanggal 27

Oktober 2011 yang difasilitasi tim terpadu pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti.

Belakangan 3 kepala desa yaitu desa Mengkirau, Bagan Melibur dan Lukit telah mencabut

dukungan terhadap kesepakatan tersebut. Kesepakatan ini berisikan mekanisme atau tata cara

penyelesaian konflik jika areal RAPP tumpang tindih dengan hak masyarakat setempat dan

pembangunan tanaman kehidupan

Berdasarkan hal-hal tersebut Perusahaan menyampaikan hal-hal sebagai berikut :

1) Terkait dengan Isu lahan

Perusahaan menjalankan operasional IUPHHK-HTI di Pulau Padang berdasarkan izin

yang diberikan pemerintah dan dalam hubungannya dengan masyarakat, perusahaan

berpedoman kepada Surat Kesepakatan Bersama No. 001/PPD-KM/X/2011 Tentang

Pengelolaan IUPHHK-HTI PT. RAPP di Pulau Padang Kecamatan Merbau, Kabupaten

Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Perusahaan menyampaikan data tentang tumpang

tindih areal IUPHHK-HTI yang dimilikinya dengan wilayah masyarakat sebagai berikut :

Tabel List Klaim Lahan Pulau Padang Per 31 Desember 2011NO NAMA/POKTAN DUSUN LUASAN YANG

TELAH DISELESAIKAN

LUASAN DALAMPROSES

PENYELESAIAN

KETERANGAN

DESATANJUNG PADANG

1 ASING CS SEI.LABU 90.11 Ha 27 Juli 2011

2 ABAS CS SEI.LABU 270.3 Ha 12-Sep-l 13 PUTRI PUYUH I&II

(KheruddinCs)TANJUNG PADANG

292.92 Ha 20 Okt 2011

4 AMBANG SEJAHTERA (Auzar Cs)

SEI.HIU 21.75 Ha 20 Okt 2011

5 PERMATA HIJAU (Auzar dan Endang Cs)

SEI.HIU 37.5 Ha 20 Okt 2011

6 ABAS CS Tahap II SEI.LABU 60.22 Ha 12-Nov-ll7 RAMLAN (KT.

Makmur, KT. Seroja,dan Pribadi)

SEI.HIU 57.1 Ha Desember 2011

8 AIZAN SEI.HIU0.

Ha sdg dalam proses

Page 60: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

60

9 ASING CS Tahap II (JAYA INDAH dan KanikC s)

SEI.LABU2.

Ha sdg dalam proses

10 ARIL CS (KT. USAHA BERSAMA)

SEI HIU2.

Ha sdg dalam proses

11 RAMLI (KT. MAJU SEJAHTERA)

SEI HIU Ha sdg dalam proses

12 KLAIM DUSUN SUNGAI PERMATA

SEI.PERMATA 772.125

Ha sdg dalam proses

TOTAL 8955 Ha 1019.765

Ha

Lampirkan tabel penyelesaian Pemilik Lahan Sei Kuat-Perusahaan

2) Terkait Dengan Isu Lingkungan

Terkait dengan masalah-masalah lingkungan di Pulau Padang, PT. RAPP menjawab

dengan melakukan pendekatan Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (HCV).17

Langkah-langkah yang dilakukan diantaranya melakukan beberapa penelitian sebagai

berikut :

1. INRR mengenai penilaian awal HCV, Pulau Padang pada Tahun 2005

Penelitian ini menghasilkan hal-hal sebagai berikut :

1. Kesimpulan

a. Di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang)

teridentifikasi sebanyak 7 HCVF, meliputi : HCVF1 (HCVF-1.1, HCVF-1.2,

dan HCVF-1.3), HCVF-2 (HCVF-2.2), HCVF-4 (HCVF-4.2 dan HCVF-4.3),

dan HCVF-6.

17 Kawasan bernilai konservasi tinggi (KBKT) atau High Conservation Value Areamerupakan suatu kawasan yang memiliki satu atau lebih dari nilai konservasi tinggi(NKT).

Page 61: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

61

b. Areal-areal di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang)

yang mengandung HCVF, meliputi : KLG dan buffer KLG (7.444 ha), areal

riparian (2.931,4 ha), dan lokasi tempat keramat/situs budaya.

c. Di areal KLG dan buffer KLG mengandung HCVF-1 (HCVF-1.1, HCVF-1.2,

HCVF-1.3' HCVF-2 (HCVF-2.2), HCVF-4 (HCVF-4.2 dan HCVF-4.3).

d. Di areal riparian mengandung HCVF-1 (HCVF-1.2, HCVF-1.3), HCVF-2

(HCVF-2.2 dan HCVF-4 (HCVF-4.2).

2) Rekomendasi

Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis keberadaan HCVF serta permasalahan

seperti diuraikan di atas, maka untuk memastikan kelestarian spesies dilindungi dan

terancam punah serta pemulihan kualitas daya dukung kawasan lindung dan

sempadan sungai, berikut ini disajikan beberapa rekomendasi pengelolaan dan

pemantauan HCVF yang perlu dilakukan oleh unit manajemen PT. Musi Hutan

Persada, sebagai berikut :

1. Pengelolaan HCVF

a) Penyusunan rencana pengelolaan HCVF secara detail. Kegiatan ini

dimaksudkan agar pengelolaan areal HCVF yang akan dilakukan lebih

terarah dan tepat sasaran sesuai skala prioritas dan urgensi permasalahan

yang dihadapi;

b) Pemantapan areal HCVF, mencakup kegiatan : (1) penataan batas secara

partisipatif, (2) pengamanan areal, dan (3) sosialisasi areal HCVF kepada

pihak terkait;

c) Pengelolaan areal HCVF, mencakup kegiatan : (1) inventarisasi dan

identifikasi areal HCVF yang rusak, (2) penyusunan rencana pengelolaan

areal HCVF, dan (3) rehabilitasi/perbaikan areal HCVF yang rusak.

Berkaitan dengan upaya rehabilitasi areal HCVF, maka ada dua kegiatan

utama yang perlu dilakukan, meliputi : (1) penyusunan rencana

rehabilitasi yang memuat aspek (a) pemilihan jenis tumbuhan, (b)

penentuan jenis bibit yang akan ditanam, (c) desain penanaman, dan (d)

penetapan sistem penanaman; dan (2) pelaksanaan rehabilitasi areal

HCVF sesuai kerangka rencana yang sudah disusun,

Page 62: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

62

d) Penguatan Kelembagaan dalam pengelolaan HCVF, mencakup aspek : (1)

penataan organisasi; (2) penyusunan sistem pemanfaatan HHNK oleh

masyarakat secara lestari; (3) penyusunan SOP, juklak dan juknis

pengelolaan dan pemantauan HCVF; (4) peningkatan SDM; (5)

pengadaan sarana prasarana untuk perlindungan, pengamanan,

pemantauan areal HCVF; dan (6) penguatan kelembagaan di tingkat

masyarakat.

3) Pemantauan HCVF

Agar usaha pemantauan HCVF lebih efisien dan efektif, maka perlu dilakukan hal-

hal sebagai berikut:

a. Penyusunan rencana pemantauan HCVF yang mencakup pemantauan flora,

fauna dan pemanfaatan hasil hutan non-kayu (HHNK) oleh masyarakat

melalui kegiatan pengumpulan bahan dan informasi, serta penyusunan rencana

pemantauan lima tahun (RKL) dan rencana tahunan.

b. Pelaksanaan pemantauan secara periodik setiap tahun terhadap flora dan fauna

serta pemanfaatan HHNK oleh masyarakat, berdasarkan kerangka rencana

pemantauan HCVF yang telah disusun dengan melakukan kegiatan-kegiatan :

(1) survei flora, fauna dan pemanfaatan HHNK oleh masyarakat, (2)

pengolahan data/informasi, penilaian (evaluasi) hasil survey, dan (3)

penetapan upaya perbaikan untuk pengelolaan selanjutnya berdasarkan hasil

survey dan penilaiannya.

4) Pendampingan Pengelolaan dan Pemantauan HCVF

Dalam rangka implementasi rencana pengelolaan dan pemantauan HCVF di

kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang), maka perlu

dilakukan kegiatan pendampingan oleh lembaga yang berkompeten, mulai dari

kegiatan penyusunan rencana detail pengelolaan dan pemantauan areal HCVF di

wilayah tersebut, serta implementasi kegiatan pengelolaan dan pemantauannya.

2. Laporan akhir identifikasi dan analisis keberadaan HCV di Kawasan Hutan

IUPHHK-HTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper (Pulau Padang, Propinsi Riau) oleh

Fakultas Kehutanan IPB, 2008.

Page 63: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

63

Penelitian ini menghasilkan hal-hal sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1) Di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang)

teridentifikasi sebanyak 7 HCVF, meliputi : HCVF1 (HCVF-1.1,

HCVF-1.2, dan HCVF-1.3), HCVF-2 (HCVF-2.2), HCVF-4

(HCVF-4.2 dan HCVF-4.3), dan HCVF-6.

2) Areal-areal di kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau

Padang) yang mengandung HCVF, meliputi : KLG dan buffer KLG

(7.444 ha), areal riparian (2.931,4 ha), dan lokasi tempat

keramat/situs budaya.

3) Di areal KLG dan buffer KLG mengandung HCVF-1 (HCVF-1.1,

HCVF-1.2, HCVF-1.3' HCVF-2 (HCVF-2.2), HCVF-4 (HCVF-4.2

dan HCVF-4.3).

4) Di areal riparian mengandung HCVF-1 (HCVF-1.2, HCVF-1.3),

HCVF-2 (HCVF-2.2 dan HCVF-4 (HCVF-4.2).

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis keberadaan HCVF serta permasalahan

seperti diuraikan di atas, maka untuk memastikan kelestarian spesies dilindungi

dan terancam punah serta pemulihan kualitas daya dukung kawasan lindung dan

sempadan sungai, berikut ini disajikan beberapa rekomendasi pengelolaan dan

pemantauan HCVF yang perlu dilakukan oleh unit manajemen PT. Musi Hutan

Persada, sebagai berikut :

1) Pengelolaan HCVF

a. Penyusunan rencana pengelolaan HCVF secara detail. Kegiatan ini

dimaksudkan agar pengelolaan areal HCVF yang akan dilakukan lebih

terarah dan tepat sasaran sesuai skala prioritas dan urgensi

permasalahan yang dihadapi;

b. Pemantapan areal HCVF, mencakup kegiatan : (1) penataan batas

secara partisipatif, (2) pengamanan areal, dan (3) sosialisasi areal

HCVF kepada pihak terkait;

Page 64: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

64

c. Pengelolaan areal HCVF, mencakup kegiatan : (1) inventarisasi dan

identifikasi areal HCVF yang rusak, (2) penyusunan rencana

pengelolaan areal HCVF, dan (3) rehabilitasi/perbaikan areal HCVF

yang rusak. Berkaitan dengan upaya rehabilitasi areal HCVF, maka ada

dua kegiatan utama yang perlu dilakukan, meliputi : (1) penyusunan

rencana rehabilitasi yang memuat aspek (a) pemilihan jenis tumbuhan,

(b) penentuan jenis bibit yang akan ditanam, (c) desain penanaman, dan

(d) penetapan sistem penanaman; dan (2) pelaksanaan rehabilitasi areal

HCVF sesuai kerangka rencana yang sudah disusun,

d. Penguatan Kelembagaan dalam pengelolaan HCVF, mencakup aspek :

(1) penataan organisasi; (2) penyusunan sistem pemanfaatan HHNK

oleh masyarakat secara lestari; (3) penyusunan SOP, juklak dan juknis

pengelolaan dan pemantauan HCVF; (4) peningkatan SDM; (5)

pengadaan sarana prasarana untuk perlindungan, pengamanan,

pemantauan areal HCVF; dan (6) penguatan kelembagaan di tingkat

masyarakat.

2) Pemantauan HCVF

Agar usaha pemantauan HCVF lebih efisien dan efektif, maka perlu

dilakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Penyusunan rencana pemantauan HCVF yang mencakup pemantauan

flora, fauna dan pemanfaatan hasil hutan non-kayu (HHNK) oleh

masyarakat melalui kegiatan pengumpulan bahan dan informasi, serta

penyusunan rencana pemantauan lima tahun (RKL) dan rencana

tahunan.

b. Pelaksanaan pemantauan secara periodik setiap tahun terhadap flora

dan fauna serta pemanfaatan HHNK oleh masyarakat, berdasarkan

kerangka rencana pemantauan HCVF yang telah disusun dengan

melakukan kegiatan-kegiatan : (1) survei flora, fauna dan pemanfaatan

HHNK oleh masyarakat, (2) pengolahan data/informasi, penilaian

(evaluasi) hasil survey, dan (3) penetapan upaya perbaikan untuk

pengelolaan selanjutnya berdasarkan hasil survey dan penilaiannya.

3. Pendampingan Pengelolaan dan Pemantauan HCVF

Page 65: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

65

Dalam rangka implementasi rencana pengelolaan dan pemantauan HCVF di

kawasan hutan IUPHHK HTI PT. RIAUPULP (Pulau Padang), maka perlu

dilakukan kegiatan pendampingan oleh lembaga yang berkompeten, mulai

dari kegiatan penyusunan rencana detail pengelolaan dan pemantauan areal

HCVF di wilayah tersebut, serta implementasi kegiatan pengelolaan dan

pemantauannya.

4. HCV Rapit Risk Assessment Report for RKT 2010 in Southern Padang Island, Ideas

Consultancy Service, 2010

Penelitian ini memberikan kesimpulan sebagai berikut :

1) In southern part of Padang Island HCV 1.1; HCV 1.2; HCV 4.1; HCV 4.2;

HCV 4.3 HCV 5 are PRESENT. HCV 1.3; HCV 2.3; HCV 3 are potentially

PRESENT. HCV 1.4. HCV 2.1, HCV 2.2, and HCV 6 are ABSENT, (see

Annex 1)

2) With the presence of several HCVs, several recommendations, monitoring

and evaluation related to RKT 2010 such as elaborated in Annex 1 shall be

established to create such pre-condition to support the forest operational in

RKT 2010. Under certain circumstances where these are not applies then

RAPP will face with serious problems related to land conflict with local

community, environmental degradation along the riparian and coastal areas,

and water subsidence that is unsuitable with the ideal condition for peat

land ecosystem management.

3) Particularly for social aspect, RAPP shall put more focus on several

important measures such as: Conflict Resolution including conflicts

mapping, Tenurial Reinforcement, and FPIC implementation

4) RAPP needs to create a flagship to promote brand image that RAAP is a

Pro Poor and Pro Conservation company. This can be done by establishing

a community based agroforestry scheme focusing on the southern part of

Padang Island.

5) Based on analysis from map-based tenurial conflict as it is presented in

Figure 35, there was a secure zone to conduct forest operation in RKT 2010

Page 66: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

66

6) RAPP shall develop a Management Plan document considering the basic

principle of sustainable management of peat swamp ecosystem including

the optimum use of natural resources and environmental services.

7) The management plant document shall cover an adaptive management

system based on ecological, socio-economic and political information

generated from periodic monitoring data.

8) RAPP shall delineate and map each type of ecosystem existed within their

working areas in various geographical scale. This should be integrated with

local spatial planning as well as proper scientific study to anticipate the

ecological and socio-political changes.

Berdasarkan hasil diskusi dengan perusahaan, perusahaan menyampaikan kesediaannya

untuk menerima penyelesaian kasus ini dan bersedia untuk mengakomodir keinginan

masyarakat terkait dengan hak-hak atas lahan mereka.

Selain dengan PT. RAPP, Tim Mediasi juga melakukan pertemuan dengan Asosiasi

Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) tanggal 11 Januari 2001. Kegiatan yang dilakukan

pada dasarnya adalah tukar pendapat soal permasalahan/konflik yang terjadi antara PT

RAPP dengan masyarakat Pulau Padang.

Tim Mediasi menyampaikan perkembangan konflik yang terjadi dan data-data serta fakta-

fakta yang diperoleh oleh Tim selama berada di lapangan. Juga disampaikan bahwa Tim

telah bertemu dengan Menhut dan telah menyampaikan rekomendasi awal berdasarkan

kegiatan pelaksanaan kegiatan. Proses mediasi sendiri belum dilakukan, namun pra

kondisi untuk itu telah dilakukan dan terus dikembangkan untuk mendapat ruang mediasi

yang tepat buat para pihak.

APHI sendiri juga telah menyampaikan posisinya dan menyampaikan ucapan terima

kasih dan penghargaaan kepada Tim Mediasi yang telah bekerja sungguh-sungguh. APHI

sendiri juga sudah mulai menyikapi konflik-konflik yang terjadi pada anggotanya dan ada

bidang tertentu yang menanganinya. APHI juga menyampaikan harapannya agar Tim

Mediasi dapat melakukan tugasnya secara objektif dan APHI siap mendukung kegiatan

mediasi yang dilakukan. Harapan selanjutnya adalah bahwa APHI akan terus

Page 67: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

67

berhubungan dengan Tim Mediasi dan melakukan pertemuan-pertemuan untuk sharing

informasi yang diperoleh.

3. Masyarakat

Fakta di lapangan, masyarakat terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu Masyarakat yang

Pro dan Masyarakat yang Kontra terhadap HTI PT. RAPP di Pulau Padang. Pendapaat

dua kelompok masyarakat tersebut diuraikan sebagai berikut:

a. Masyarakat yang Pro

Dari pertemuan dan dialog dengan perangkat desa dan masyarakat desa Tanjung Padang di

rumah Kepala Desa Tanjung Padang, dan beberapa tokoh desa Lukit di Selat Panjang,

diperolah data/info :

1. Mereka mendukung dan dapat menerima kehadiran HTI PT.RAPP di wilayah desa mereka

karena yakin akan memperoleh banyak manfaat.

2. Manfaat yang sudah nyata :

a. Penyerapan tenaga kerja bagi warga mereka antaralain bidang penanaman HTI,

Satpamhut. Total tenaga kerja RAPP disana sekitar 300 orang.

b. Penanaman HTI seluas + 1.050 Ha yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas

lahan.

c. Bantuan dana CSR berupa biaya sekolah/beasiswa murid sekolah serta

infrastruktur/sarana umum.

d. Pembuatan kanal-kanal ecohydro yang terbukti mengurangi banjir.

e. Sagu hati (ganti rugi lahan masyarakat)

f. Kemitraan dengan koperasi desa berupa pemberian kontrak penyediaan transportasi

antar jemput (6 speed boat) bagi karyawan.

3. PT.RAPP akan membangun/menanam tanaman kehidupan bagi masyarakat seluas 1.900

Ha dan 1.100 Ha (total 3.000 ha).

4. Mereka sangat resah dengan sepak terjang oknum-oknum STR yang sangat militan yang

mengancam masyarakat yang tidak mendukung perjuangan STR serta penyebaran

informasi yang tidak benar (menjelek-jelekan PT.RAPP melalui penyayangan Video).

5. Akibat butir 4, masyarajat di Desa Lukit terbelah dua menjadi kelompok yang mendukung

STR (bersikap militant/agresif) dan kelompok yang mendukung HTI PT.RAPP (bersikap

menahan diri).

Page 68: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

68

6. Kelompok masyarakat yang mendukung HTI mengharapkan agar PT. RAPP tetap

diizinkan menjalankan usaha (pembangunan HTI) di Pulau Padang.

b. Masyarakat yang Kontra

Tim Mediasi melakukan pendalaman di kasus Pulau Padang, khususnya terhadap 3 desa

yaitu: desa Lukit, Desa Mengkirau dan Desa Merbau, tetapi untuk desa lain tim mediasi

menggali informasi dari tokoh-tokoh masyarakat. Berdasarkan informasi awal yang tim

kumpulkan pada tiga desa ini adalah episentrum penolakan terhadap keberadaan perusahaan

PT. RAPP di Pulau Padang dan hampir semua tokoh gerakan ini bertempat tinggal di tiga

desa ini. Meskipun demikian, berdasarkan pertemuan wawancara dengan tokoh masyarakat di

Jakarta yaitu Ridwan dan Isnadi Esman serta kawan-kawan, mereka menyatakan bahwa yang

melakukan penolakan adalah 12 (dua belas) desa di Pulau Padang18. Dalam wawancara

dilapangan, masyarakat menyatakan bahwa penolakan dari desa-desa diluar tiga desa yang

didalami ini lebih pasif.

Inti masalah yang menyebabkan penolakan masyarakat Pulau Padang khususnya pada tiga

desa ini dan beberapa tokoh dari desa lain terhadap perusahaan karena menurut mereka

kehadiran perusahaan akan mengakibatkan cepatnya penurunan tanah sehingga kedepan akan

mengakibatkan tenggelamnya Pulau Padang dan akan hilangnya hak kepemilikan tanah

masyarakat yang sudah lama mereka kelola.19

Dari hasil analisis data, wawancara dan temuan di lapangan, Tim Mediasi menemukan

pokok-pokok masalah sebagai berikut :

1) Ruang Kelola dan Klaim Masyarakat

a. Status Tata Kuasa dan Tata Kelola di Pulau Padang

Di Indonesia dan banyak tempat di dunia, terdapat sekumpulan hak

yang berlaku dan bekerja pada sebidang lahan yang sama. Situasi ini

terjadi karena berbagai hak tersebut bersumber dari beberapa sumber

yang berbeda. Bentuk-bentuk situasi (niche) dari sistem penguasaan

tanah dapat mempengaruhi jenis-jenis hak penguasaan atas tanah dan

18 Lihat Surat Pernyataan Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamatan Pulau Padang (FKMP3) tanggal 13 Januari 201219 Lihat Rekaman Proses Diskusi Tim Mediasi dengan Masyarakat Lukit, tanggal 19 Januari 201, di Desa Lukit

Page 69: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

69

tanaman di atasnya. Situasi dari sistem penguasaan tanah dapat

dikategorikan ke dalam berbagai kepemilikan hak penguasaaan oleh

pihak-pihak berikut:

1. Privat: disini bentuk hak penguasaan tanah diberikan kepada

individu, rumah tangga, sekelompok masyarakat atau korporasi

seperti entitas komersial atau organisasi nirlaba. Hak-hak

penguasaan tanah oleh entitas privat bukan hanya terbatas pada

pemanfaatan saja, tetapi juga hak pengalihan (rights of transfer)

seperti jual beli atau waris, dan hak mengecualikan (rights to

exclude).

2. Komunal: bentuk hak penguasaan tanah komunal melekat pada

kelompok masyarakat tertentu dimana setiap anggotanya

memiliki hak guna (rights of use) atas tanah-tanah komunal.

Setiap anggota tidak memiliki hak mengecualikan (rights to

exclude) kepada anggota lainnya.

3. Akses terbuka (open access): Situasi akses terbuka adalah

keadaan dimana hak penguasaan tanah tidak diberikan kepada

siapapun, namun tidak seorangpun dapat dikecualikan dari

penggunaan tanah tersebut. Situasi akses terbuka sering terjadi

di wilayah hutan, dan padang penggembalaan dimana semua

pihak ‘bebas menggunakannya’.

4. Pemerintah: unit-unit pemerintah (pusat maupun daerah) dapat

memiliki hak penguasaan tanah hutan dan berusaha menjaga

sumber daya hutan tersebut. Tanah-tanah hutan tersebut dapat

saja berupa hutan lindung dan konservasi, demi pelestarian

satwa, tumbuhan serta perlindungan hidrologi, atau dapat juga

berupa hutan produksi untuk komersial, sebagai areal

penebangan dan penanaman secara periodik. Hak-hak

penguasaan tanah oleh masyarakat atas tanah-tanah hutan

pemerintah beragam, tergantung pada aturan-aturan pemerintah.

Ditinjau dari pembagian tersebut, maka nampak dengan jelas bagaimana

berbagai jenis hak penguasaan tanah (bundle of rights) dapat berlaku atas

Page 70: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

70

sebidang tanah/kawasan daratan.20Tim Mediasi menerima berbagai data dan

informasi terkait mengenai hal ini. Data dan informasi tersebut diperkuat juga

dengan kunjungan lapangan ke Pulau Padang.

Pada bagian ini Tim Mediasi berusaha menggambarkan temuan-temuan yang

terkait dengan isu penguasaan dan pengelolaan lahan di Pulau Padang.

2.1.1. Status Tata Kuasa

Di Pulau Padang dalam hal penguasaan tanah, menyangkut soal peruntukan,

kepemilikan, dan peralihan hak atas tanah. Masyarakat Pulau Padang dalam kepemilikan

tanah ada yang bersifat individual dan ada juga komunal. Dan pada umumnya tanah-

tanah yang ada di Pulau Padang banyak dimiliki secara individual. Tanah-tanah yang

sudah dimiliki secara individu dan kolektif jarang diperjual belikan oleh masyarakatnya.

Karena tanah-tanah yang sudah dimiliki, ditanami karet dan sagu untuk mendukung

ekonomi masyarakat.

Sejak dahulu kepemilikan lahan/tanah penduduk di Pulau Padang memiliki ciri khas

tersendiri, yang sangat jauh berbeda dengan kepemilikan tanah di Pulau Jawa. Bagi

masyarakat Pulau Padang kepemilikan cukup hanya dengan bermusyawarah antar

sesama warga (kelompok) yang bersepakat mengambil sebuah kawasan. Sampai

sekarang masih banyak masyarakat yang tidak memiliki SKT dari Kepala Desa (alas

hak) untuk perumahan dan kebun karet yang mereka miliki atau lahan-lahan baru yang

mereka jadikan untuk perkebunan baru. Namun demikian secara turun temurun masing-

masing mengakui bahwa lahan/kebun tersebut dulunya miliknya si Polan, maka sampai

hari ini pun tanah tersebut adalah milik ahli waris si Polan.21

Dari hasil wawancara tanggal 19 Januari 2012 di Desa Lukit, banyak masyarakat pada

saat ini yang mengurus SKT. Hal ini disebabkan ketakutan masyarakat akan terjadinya

pengambilan lahan yang sudah lama di kelola oleh PT. RAPP.

Ada beberapa cara penguasaan (kepemilikan) terhadap tanah yang berlaku:

20 Gamma Galudra, Gamal Pasya, Martua Sirait, Chip Fay, Rapid Land Tenure Assessment (RaTA), Panduan Ringkas Bagi Praktisi, 2006 World Agroforestry Centre, hlm 721 Teguh Yuwono, Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAPP Di Pulau Padang, Analisis Kasus Pulau Padang, Jogjakarta 7 Januari 2012

Page 71: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

71

1. Mendapatkan warisan dari orang tua, dimana tanah yang diwariskan tersebut adalah

tanah yang sudah dibuka oleh orang tuanya terdahulu.

2. Melalui Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kepala Desa. SKT ini diurus setelah

dibuka dan dikelola oleh masyarakat.

3. Melalui Surat Keterangan Ganti Rugi. Biasanya dikarenakan ada suatu kebutuhan

yang mendesak maka lahan/tanah yang sudah dikelola bisa dipindah tangankan

kepada masyarakat lain berada di wilayah desa tersebut.

Bukti klaim penguasaan masyarakat telah menguasai tanah di Pulau Padang selama

puluhan tahun bisa dilihat dari:

1. Pohon karet yang berumur puluhan tahun.

2. Pohon sagu yang berumur ratusan tahun

3. Kuburan orang suku Akit yang pertama kali menduduki Pulau Padang

4. Surat Keterangan Tanah (SKT) yang sudah dikeluarkan oleh Kepala Desa

2.1.2. Status Tata Kelola

Lahan di Pulau Padang dialokasikan untuk lahan perkebunan seperti sagu dan karet. Juga

ada sedikit tanaman sawit tapi tidaklah seluas tanaman sagu dan karet, ini karena ketidak

tertarikan masyarakat terhadap tanaman ini. Awal budaya bercocok tanam masyarakat

dimulai dengan penanaman sagu. Cara pembukaan areal/lahan oleh masyarakat untuk

kebun adalah melalui proses landclearing, kemudian dibakar, dibuat tali kemudian baru

dilakukan penanaman.

Untuk sagu jumlah tanaman adalah sebanyak 120 batang per ha. Sagu dapat dipanen bila

telah berumur 12 tahun, kemudian dipanen setiap tahun. Nilai 1 (satu) batang sagu saat

ini Rp. 300.000/batang dengan asumsi 120 batang/ha, maka pengahasilan masyarakat

sekitar Rp. 36.000.000/ha/tahun Rp. 3.000.000/ha/bulan. Untuk tanaman karet pertama

kali dipanen pada umur 8 tahun. Selanjutnya dapat dipanen setiap hari, setiap hari rata-

rata produksi karet 12,5 kg/ha/hari. Rata-rata harga karet saat ini adalah Rp. 13.000/kg,

sehingga jika dihitung rata-rata penghasilan masyarakat per bulan dari tanaman karet

adalah Rp. 4.875.000/ha/bulan.

Page 72: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

72

Berdasarkan perhitungan hasil budidaya karet dan sagu yang didapatkan oleh

masyarakat, secara ekononomis sudah mencukupi/sejahtera (wawancara, 19 Januari

2012) masyarakat Pulau Padang. Jadi kehadiran perusahaan belum tentu berpengaruh

untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, namun justru dikhawatirkan akan

menghilangkan mata pencaharian dan lahan-lahan masyarakat, karena tanah yang akan

dikuasai oleh perusahaan PT. RAPP.

Pengelolaan lahan di Pulau Padang cukup beragam, umumnya model yang terjadi dalam

pengelolaan lahan adalah sebagai berikut:

1. Membuka dan mengelola lahan dengan tangan sendiri.

2. Dengan mengupah (sistem upahan). Upah diberikan berupa uang, dengan perhitungan

masa kerjanya seharian (harian) dan besar upah disepakati antara yang punya tanah

dengan orang yang berkerja. Sistem upahan ini dilakukan karena tidak mampunya

pemilik tanah dalam mengelola tanahnya sendiri.

Selain pertanian intensif seperti perkebunan karet dan sagu, masyarakat yang berasal dari

suku Akit melakukan aktifitas pemanfaatan hutan dengan memanfaatkan hasil hutan non

kayu. Selain itu suku ini juga mengembangkan usaha pembuatan atap dari daun pohon nipah.

Lampirkan Foto terkait pengelolaan hutan oleh masyrakat

2.2. Masalah-Masalah Terkait Tata Kuasa dan Tata Kelola

Konflik antara masyarakat Pulau Padang dengan PT. RAPP, terjadi ketika perusahaan masuk

ke Pulau Padang. Penolakan terhadap perusahaan sudah dilakukan oleh masyarakat ketika

perusahaan melakukan sosialisasi yang dilakukan pada tanggal 17 Nopember 2009. Dalam

konteks tata kuasa dan tata kelola, masalah yang timbul adalah :

1. Tumpang tindih lahan

Menurut masyarakat di Pulau Padang menyampaikan bahwa perusahaan belum

melakukan pemetaan terhadap batas wilayah kelola masyarakat sehingga terjadi tumpang

tindih dengan konsesi perusahaan dengan wilayah kelola masyarakat. Dengan ketidak

Page 73: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

73

jelasan batas ini, lahan-lahan yang menjadi perkebunan dan pemukiman masyarakat

masuk dalam wilayah konsesi perusahaan.

Beberapa desa sudah melakukan tata batas Desa dan telah dilakukan penandaan berupa

patok-patok Pal Batas permanen sebagaimana peta Batas Wilayah Administrasi

Pemerintahan dan posisi/letak Astronomi Patok Batas yang ditandatangani Bupati

Bengkalis. Penataan batas ini dilakukan di Desa Mengkirau.

2. Penyimpangan terhadap proses sagu hati

Salah satu cara perusahaan menyelesaiakan masalah lahan di Pulau Padang adalah dengan

memberikan “sagu hati”. Sagu Hati adalah sebuah konsep penghargaan terhadap

penguasaan masyarakat atas lahan yang ditemukan dilapangan.

Dalam proses pemberian sagu hati, Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai salah satu

bukti penguasaan sangat penting. Dilapangan, tim menemukan bahwa SKT adalah bukti

hak/alas hak atas kepemilikan tanah masyarakat. SKT ini dikeluarkan oleh kepala desa.

Kehadiran SKT-SKT ini yang membuat konflik antara masyarakat dengan masyarakat.

SKT ini bisa dijadikan bukti untuk mendapatkan SAGU HATI dari perusahaan.

Dalam pelaksanaannya, menurut masyarakat, terdapat kekeliruan perusahaan dalam

pemberian Sagu Hati yaitu Sagu Hati diberikan kepada masyarakat yang bukan pemilik-

yang menguasai secara fisik tanah dan kejadian ini menjadi pemicu konflik di Desa Lukit.

Kebanyakan Sagu Hati yang diberikan, bukan kepada orang pemilik sah terhadap

tanah/lahan tersebut, akan tetapi diberikan kepada pihak lain yang SKT nya ditenggarai

dipalsukan melalui mantan kepala desa. Dan dari dokumen yang didapatkan, terlihat ada

pemalsuan terhadap dokumen yang ada. Kelalaian perusahan RAPP yang tidak

memastikan siapa pemilik tanah, menyebabkan masyarakat tidak senang dengan

kehadiran perusahaan dan sagu hati yang diberikan tidak tepat sasaran.

3. Hilangnya Sumber Ekonomi Masyarakat

Kedatangan pertama kali masyarakat Jawa di Desa Mengkirau yaitu tahun 1918

dipelopori Mbah Yusri. Setelah Mbah Yusri Wafat kemudian digantikan oleh Mbah

Page 74: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

74

Tukiman terjadi tahun 1945, kemudian digantikan oleh Haji Amat yang digantikan oleh

Selamat dan Jumangin (Haji Ridwan).

Selamat, membuka lahan ke arah Mengkirau dan haji Ridwan ke arah Bagan Melibur.

Ketika masyarakat Jawa pertama kali masuk ke daerah ini (1918) sudah ada masyarakat

Melayu yang dipimpin oleh Wan Husen.

Kedatangan masyarakat Jawa sekitar tahun 1918 tersebut untuk bekerja di kilang-kilang

Sagu. Hasil bekerja di kilang Sagu tersebut dipergunakan untuk membuka

lahan-lahan/kebun dipinggir sungai. Karena terjadinya abrasi di pinggir sungai kemudian

masyarakat pindah ke arah dalam.

Sekitar tahun 1970 sampai 1975 di daerah ini terdapat operasional perusahaan kayu yang

mengekspor logs ke luar negeri. Lahan-lahan eks perusahaan yang ditinggalkan itulah

yang kemudian menjadi areal yang dibuka untuk perluasan pertanian/kebun masyarakat

yang berlangsung hingga saat ini.

Awal budaya bercocok tanam masyarakat dimulai dengan penanaman Sagu. Cara

pembukaan areal/lahan oleh masyarakat untuk kebun adalah landclearing, kemudian

dibakar, dibuat tali air kemudian baru dilakukan penanaman. Untuk sagu 120 batang per

ha. Sagu dapat dipanen pertama umur 12 tahun, kemudian dipanen setiap tahun. Nilai 1

(satu) batang sagu saat ini Rp.300.000,- / batang dengan asumsi 120 batang/ha maka

penghasilan masyarakat sekitar Rp.36.000.000,-/ha/tahun atau Rp.3.000.000,-/ha/bulan.

Sementara untuk tanaman Karet pertama kali dipanen pada umur 8 tahun. Selanjutnya

dapat dipanen setiap hari, setiap hari rata-rata produksi karet 12,5 kg/ha/hari. Harga karet

saat ini adalah ± Rp.13.000,-/kg, sehingga jika dihitung rata-rata penghasilan masyarakat

per bulan dari tanaman karet adalah Rp.4.875.000,-/ha/bulan.

Sebagaimana di desa lain di Pulau Padang, di Desa Mengkirau tidak ada bahan bangunan

berupa pasir dan batu sehingga harus mendatangkan dari luar antara lain Tanjung Balai

Karimun (Pulau Sumatera) dan harganya mahal. Sehingga tingkat ketergantungan

terhadap kebutuhan kayu sangat tinggi mulai dari rumah, perabot, Mesjid, Kantor Desa

dan bahkan untuk keranda jenazah menggunakan kayu (6 keping papan ukuran 5x30

Page 75: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

75

cm /keranda). Sehingga ada kekhawatiran keberadaan perusahaan akan mengganggu

kebutuhan dasar masyarakat berupa kayu perumahan dan rumah tangga.

Menurut masyarakat, mereka sudah sejahtera sebelum adanya perusahaan PT. RAPP di

Blok Pulau Padang, karena itu, dengan kehadiran PT. RAPP akan menjadikan situasi

lebih sulit karena:

a. Hancurnya pola ekonomi lokal yang berbasiskan sagu dan perkebunan karet.

b. Menyempitnya lahan pertanian dan perkebunan

c. Makin sulitnya memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kayu untuk pembangunan

rumah, mengebumikan orang meninggal, dimana karena Pulau Padang adalah pulau

dengan kawasan gambut, maka pengebumian orang yang meninggal membutuhkan

peti yang terbuat dari kayu

Berdasarkan observasi lapangan dengan pengambilan titik GPS Terjadi tumpang tindih

ruang kelola masyarakat di desa Mengkirau termasuk pemukiman yang dengan ijin

RAPP. Bukti hak masyarakat banyakan diantaranya yang sudah bersertifikat. Titik

tumpang tindih tersebut diantaranya :

a. Pada koordinat 01007’58,4” LU dan 102024’14,2” terdapat rumah penduduk dengan

kebun Karet disekitarnya dan telah dilengkapi dengan Sertifikat Hak Milik Nomor :

559 Tahun 1987 atas nama Maryam (copy/dokumentasi sertifikat terlampir).

b. Pada koordinat 01007’52,8” LU dan 102024’12,8” terdapat rumah penduduk dengan

kebun Karet disekitarnya dan telah dilengkapi dengan Sertifikat Hak Milik Nomor :

557 Tahun 1987 atas nama Misgiman (copy/dokumentasi sertifikat terlampir).

Dengan adanya perusahaan yang masuk ke desa mereka, timbul kekhawatiran masyarakat

bahwa lahan-lahan yang sudah lama mereka kelola akan digusur oleh perusahaan.22

2) Keterwakilan/Penyelesaian Konflik Lahan

Dalam penyelesaian masalah lahan Pulau Padang, pemerintah daerah membentuk tim terpadu

berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepulau Meranti No. 146 Tahun 2011 tanggal 7

September 2011 tentang Pembentukan tim Terpadau Penyelesaian konflik Antara Masyarakat

22 Lihat Rekaman Proses Diskusi Tim Mediasi dengan Masyarakat Lukit, tanggal 19 Januari 201, di Desa Lukit

Page 76: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

76

dengan Perusahaan dalam Kabupaten Kepulauan Meranti.Upaya-upaya yang dilakukan oleh

tim terpadu dalam penyelesaian konflik lahan adalah :

1. Telah dibuat kesepakatan (MoU) antara PT.RAPP dengan masyarakat yang diwakili

oleh masing-masing Kepala Desa yang berisikan tentang protokol penyelesaian konflik

dan rencana pembangunan tanaman kehidupan untuk masyarakat.

Kesepakatan antara kepala desa dengan PT.RAPP ini, setelah di telaah dan berdasarkan

hasil wawancara, sesungguhnya berisi tata cara (protocol) penyelesaian konflik jika

terjadi, bukan merupakan kesepakatan final antara masyarakat pemegang-penguasa lahan

dengan perusahaan. Tetapi dilapangan, kesepakatan ini bekerja seolah-olah masyarakat

telah setuju dengan keberadaan IUPHHK-HTI tersebut. Kesepakatan inipun mendapat

bantahan dan penolakan dari masyarakat luas dimana kemudian 3 Kepala Desa (Lukit,

Mengkirau dan Bagan Melibur) mencabut kembali persetujuannya. Selain itu masyarakat

menyampaikan data pembanding yaitu kesepakatan penolakan Badan Perwakilan Desa

dan Tokoh Masyarakat beserta ulama.

Adapun proses negosiasi yang sudah dan sedang berlangsung baru terjadi di sebagian di

desa tanjung padang tepatnya di sungai hiu, dan sebagian kecil di desa lukit tepatnya di

sungai kuat. Pihak pemilik tanah yang diajak bernegosiasi, menurut masyarakat masih

dalam status bermasalah karena merupakan pemilik yang didasarkan atas klaim SKT

yang baru dibuat dan rata-rata mereka ditenggarai adalah spekulan tanah dan mantan

logging.

2. Praktek penyelesaian konflik di lapangan diselesaikan per kelompok tani dan per

Kepala Keluarga dan hingga saat ini penyelesaian baru dilakukan di sebagian kecil

wilayah Pulau Padang (Desa Tanjung Padang dan Desa Lukit) dengan bentuk

penyelesaian Sagu Hati/ganti rugi tanaman.

Namun demikian, berdasarkan wawancara dan data, Tim Terpadu belum melakukan

identifikasi/pemetaan hak masyarakat yang menyeluruh untuk seluruh wilayah Pulau

Padang. Untuk itu penting melakukan identifikasi/pemetaan terhadap hak-hak

masyarakat.

Page 77: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

77

3. PT. RAPP telah memiliki Protokol penyelesaian konflik yang mengadopsi prinsip

Free, Prior, Informed and Consent (FPIC) tapi belum tercermin nyata dalam

mengantisipasi terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik yang terjadi di Pulau

Padang.

4. Isu Lingkungan terkaitan penurunan gambut diperlihatkan masyarakat dari tanda-

tanda yang sudah terjadi, dimana dalam 25 tahun terahir ini terjadi penurunan permukaan

gambut sampai dengan 1meter lebih. Terlihat dari tanaman karet, kelapa, tiang rumah,

dan tangga rumah. Tim juga diarahkan masyarakat untuk membandingkan penurunan

tanah di Pulau Padang dengan melihat perbandingan di areal perusahaan Kondur

Petrolium.

Tabel Foto Penurunan Tanah (sajikan pada lampiran)

Area Kondur Petrolium Kebun Karet Masyarakat

Pengikisan bibir pantai yang tinggi dalam kondisi normal saat ini, membuat masyarakat

berpikir bahwa pembukaan hutan secara masif oleh RAPP akan menyebabkan abrasi

pantai semakin tinggi dan itu berarti menyebabkan pulau semakin menyempit dan lambat-

laut akan sampai ke kebun dan pemukiman masyarakat.

Berdasarkan analisis data, wawancara dan temuan lapangan di 3 desa yang menolak, tim

kemudian menangkap inti masalah yang disampaikan oleh masyarakat yaitu :

Lukit Mengkirau Bagan Melibur

Pulau akan Tenggelam Pulau akan tenggelam Pulau akan tenggelamProses pemberian sagu hati yang tidak transparan dan salah sasaran dalam pemberian sagu hati

Hilangnya sumber ekonomi masyarakat

Hilangnya sumber ekonomi masyarakat

Tumpang tindih lahan Keberadaan perusahaan PT. RAPP tidak pernah di sosialisasikan kepada

Lahan masyarakat akan digusur oleh perusahaan

Page 78: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

78

masyarakatLahan perkebunan masyarakat yang masuk dalam konsesi

Lahan masyarakat akan digusur oleh perusahaan

Tidak adanya ruang kehidupan untuk generasi masa depan

Tumpang tindih dalam pemberian SKT

Tumpang tindih lahan antara apa dan apa?

Hilang sumber ekonomi masyarakat

Makin sulitnya kebutuhan masyarakat terhadap kayu untuk pembangunan rumah

3.c Lembaga Adat Melayu

Seiring dengan unjuk rasa jahit mulut yang dilakukan di Jakarta, pada tanggal 16 Januari

2011 masyarakat yang tergabung dalam FKMP3 kembali menyelenggarakan unjuk rasa ke

kantor Bupati Kepulau Meranti untuk meminta Bupati mengeluarkan surat rekomendasi

pencabutan ijin IUPHHK_HTI di Pulau Padang. Tetapi unjuk rasa ini batal dilakukan karena

di pelabuhan Selat Panjang, masyarakat FKMP3 dihadang oleh masa lain. Menurut FKMP3,

sempat beredar isu bahwa unjuk rasa FKMP3 pada saat itu akan berujung pada tindakan

anarkis sehingga menimbulkan reaksi dari masyarakat di Selat Panjang.

SELAT PANJANG(DP)-RENCANA aksi demo secara besar-besaran oleh ribuan

massa dari Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP)

di depan Kantor Bupati Kepulauan Meranti dan DPRD, Senin (16/1) siang akhirnya

batal. Meski telah berada di tengah laut, beberapa unit kapal pengangkut massa

terpaksa harus balik kanan, karena mereka khawatir terjadi bentrok dengan massa

demo tandingan masyarakat peduli Kabupaten Meranti, yang telah menunggu

kedatangan mereka di setiap penjuru Kota Selatpanjang. Sejak pagi, ribuan massa

dari berbagai elemen masyarakat di Kota Selatpanjang telah berkumpul di setiap

sudut kota. Kemudian mereka berkumpul ke ujung Jalan Dorak, untuk menghadang

massa FKM-PPP yang berencana melakukan aksi unjuk rasa. Lengkap dengan

atribut dan delapan sepanduk berwarna putih, mereka pun duduk dengan tenang

dengan pengawasan ratusan aparat kepolisian, TNI dan Satpol PP.23

23 http://www.dumaipos.com/berita.php?act=full&id=5284&kat=13

Page 79: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

79

Tim Mediasi dalam kunjungannya juga menemui tokoh masyarakat yang ada di Selat

Panjang. Pada pertemuan tersebut, tokoh masyarakat ini menyampaikan bahwa reaksi yang

timbul disebabkan oleh demonstrasi yang menurut mereka sudah anarkis dan melanggar

kesopanan. Sikap ini dinyatakan dalam Pernyataan Sikap Lembaga Adat, Paguyuban, Ormas

dan OKP, Kabupaten Kepulauan Meranti tanggal 11 Jauari 2012.

Menolak Unjuk rasa Pulau Padang Enam Tokoh Masyarakat Meranti Datangi Polres

Bengkalis Riauterkini–BENGKALIS- Terkait niat aksi unjukrasa sekitar ribuan massa

dari Pulau Padang Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti dan aksi

penghadangan massa di Kota Selatpanjang, Senin (16/1/12) lalu. Enam tokoh

masyarakat Selatpanjang, dan dua pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab)

Kepulauan Meranti, mendatangi Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Bengkalis, Rabu

(18/1/12) siang..........“Kami menyatakan sikap menolak aksi demo itu. Tidak perlu

dilakukan di Selatpanjang tetapi harus di Jakarta. Bupati Meranti dalam suratnya

telah dinyatakan dengan tegas. Sebenarnya hanya ada tiga desa yang bermasalah dan

14 desa yang ada di Pulau Padang itu,” kata Muzamil yang juga memimpin Akindo

Selatpanjang. Senada disampaikan Ketua LAM Kabupaten Kepulauan Meranti Ridwan

Hasan, adanya aksi demo diinformasikan ribuan massa dari Pulau Padang itu, adalah

sangat disayangkan. Kabupaten Kepulauan Meranti yang baru berdiri sudah harus

dipenuhi dengan kerusuhan dan akhirnya merugikan masyarakat itu sendiri. “Kita

merasa risih dengan aksi-aksi unjukrasa yang tidak memandang norma luhur

kemelayuan. Apalagi adanya isu pengunjukrasa itu akan membumi hanguskan Kota

Selatpanjang. Kami dari tokoh-tokoh paguyuban di Selatpanjang tidak akan menerima

hal itu,” tegas Ridwan. “Kami berharap Polres Bengkalis mengambil tindakan tegas

dengan aksi-aksi yang merugikan. Kami siap dukung dan kami berada dibelakang

Polres untuk menciptakan Selatpanjang selalu dalam situasi kondusif apalagi sebentar

lagi perayaan Imlek. Kami harap pihak kepolisian tidak mengeluarkan izin aksi itu,”

imbuhnya.24

5. Pemerintah Provinsi Riau

24 http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=43027

Page 80: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

80

Terkait dengan tuntutan masyarakat Pulau Padang Kabupaten Kepulauan meranti, Pemerintah

Provinsi Riau telah mengambil langkah-langkah Sbb:

1. Tehadap terbitnya SK Menhut No. SK. 327/MENHUT-II/2009 tentang perubahan ke 3

atas keputusan menteri kehutanan No. 130/KPTS-II/1993 tanggal 27 Pebruari 1993

tentang pemberian HPHTI kepada PT. RAPP, Dinas kehutanan Prov. Riau telah

menyurati Menteri Kehutanan dengan surat No. 522.2/Pemhut/2621 Tanggal 2

September 2009 yang intinya agar Menteri Kehutanan meninjau ulang dan merevisi SK

Menteri tersebut di atas.

2. Pemerintah Provinsi Riau (Asisten Bidang Pemerintahan Setda Prov. Riau) telah

menyurati Bupati Kepulauan Meranti dengan surat No. 100/TAPEM/90.25 Tanggal 7

Nopember 2011 yang intinya :

a. agar Tim Terpadu yang telah dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti

melakukan inventarisasi dan identifikasi lahan masyarakat di dalam HTI PT. RAPP

Pulau Padang.

b. Pihak masyarakat dan STR akan menyerahkan data-data kepemilikan lahan

masyarakat didalam konsesi PT.RAPP di Pulau Padang.

3. Pemerintah Provinsi Riau (Asisten Bidang Pemerintahan Setda Prov. Riau) telah

menyurati PT. RAPP dengan surat No. 100/TAPEM/92.25 Tangga 7 Nopember 2011

yang intinya bahwa Pemerintah Provinsi Riau telah menginstruksikan kepada Bupati

Kepulauan Meranti melalui Tim Terpadu untuk melaksanakan inventarisasi dan

identifikasi lahan masyarakat di areal HTI PT. RAPP Pulau Padang agar PT. RAPP dapat

membantu pelaksanaan kegiatan dimaksud.

4. Terkait dengan notulen rapat pada tanggal 16 Desember 2011, yang dihadiri oleh Kepala

Pusat Humas Kementerian Kehutanan, FKMPPP dan PPJ yang isinya pada butir 6,

Kapus Humas Kementerian Kehutanan menyurati Kepala Dinas Kehutanan Prov. Riau

dengan surat No. S.58/II-PHM/I/2011 Tanggal 28 Desember 2011 yang intinya mohon

klarifikasi kegiatan pembangunan HTI PT. RAPP Pulau Padang, Kepala Dinas

Kehutanan Prov. Riau telah menanggapi surat tersebut dengan surat No.

522.2/Pemhut/4008 Tanggal 29 desember 2011 yang intinya :

a. Kapus Humas kurang berkoordinasi di dalam Kementerian Kehutanan terhadap

terbitnya surat Kapus Humas tersebut.

Page 81: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

81

b. Terhadap poin 6b notulen rapat pada tanggal 16 Desember 2011 tersebut agar Kapus

Humas menyurati PT. RAPP dan berkoordinasi dengan Dirjen BUK.

c. Melihat suasana saat izin diterbitkan Dinas Kehutanan Prov. Riau telah memprediksi

akan muncul permasalahan, akan tetapi Dinas Kehutanan Prov. Riau sangat

menyayangkan kepekaan pihak Kementeriaan Kehutanan terhadap masalah yang

berkembang saat ini dari awal sangat kurang.

4. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti

Dari pihak Pemerintah Kabupaten terdiri dari antara lain Bupati Kepulauan Meranti, Ketua

dan Tim Terpadu, bertempat di Kantor Bupati tanggal 4 Januari 2012 malam.

Informasi/data yang diperoleh :

1. Masyarakat yang menuntut dicabutnya konsesi HTI PT.RAPP umumnya dari 3 desa

yang tidak menandatangani MoU, mereka dimotori oleh STR dan FKPPP.

2. Tuntutan mereka berubah-ubah, dari semula mempermasalahkan tumpang tindih areal

konsesi HTI, ruang kelola masyarakat, cacatnya proses perizinan dan ancaman di

lingkungan hidup/Amdal bermasalah.

3. Saat ini tuntutan mereka : pencabutan izin HTI RAPP di Pulau Padang.

4. Aksi tuntutan diatas mulai marak sejak Pemerintah Kabupaten giat memberantas illegal

logging. Pemerintah Kabupaten menilai bahwa aksi-aksi demonstrasi ini ada yang

memelihara.

5. Sejumlah tokoh penuntut di depan DPR-RI dan yang menjahit mulut, teridentifikasi oleh

Kesbangpol sebagai terduga pelaku illegal logging yang sedang diburu Polres Kepulauan

Meranti, yang resah karena sejumlah jalur anak sungai untuk memilirkan log ditutup oleh

petugas RAPP.

6. Masyarakat yang menerima kehadiran HTI RAPP di Pulau Padang, jumlahnya jauh lebih

besar, terdiri dari antaralain 11 desa yang sudah menandatangani MoU yang diketahui

Tim Terpadu, Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti dan Bupati Kepulauan

Meranti

7. Masyarakat yang menerima tersebut, merasa kiprah RAPP di Pulau Padang dapat

mengakomodasi aspirasi mereka antaralain penyerapan tenaga kerja, kemitraan dengan

koperasi desa, csr/bantuan dana pendidikan, sagu hati, dll.

8. Pemerintah Kabupaten pun menilai bahwa selama ini PT.RAPP sangat kooperatif

mematuhi arahan/permintaan Pemerintah Kabupaten antaralain penambahan luas

Page 82: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

82

tanaman kehidupan, menjaga lingkungan (kanal ecohydro) dan bantuan sarana prasarana

umum.

9. Saat ini PT.RAPP sudah menghentikan operasinya di Pulau Padang, meskipun mereka

memiliki perizinan yang lengkap serta tidak ada pelanggaran. Kerugian mereka cukup

besar.

10. Bupati belum merasa sebagai pihak yang tepat membuat rekomendasi pencabutan izin

PT.RAPP kepada Kementerian Kehutanan.

11. Salah satu langkah untuk menyelesaikan masalah tuntutan tersebut adalah penataan

batas-batas areal kerja PT.RAPP dan desa-desa termasuk lahan pribadi warga.

6. Kemenhut

Pada hari Selasa tanggal 25 Januari 2012, bertempat di Gedung Kementrian Kehutanan, Tim

Mediasi melakukan pertemuan dengan Menteri Kehutanan untuk menanyakan tawaran

Kementrian Kehutanan untuk penyelesaian kasus Pulau Padang ini. Inti dari yang

disampaikan oleh Kementrian Kehutanan yaitu :

a. Kementrian kehutanan menginginkan solusi yang dihasilkan sesuai dengan Hukum

yang ada dan tidak melanggar hukum.

b. Kementrian kehutanan menginginkan agar penyelesaian kasus ini bertumpu pada

keinginan untuk mensejahterakan masyarakat dan menjaga iklim investasi.

D. PENDAPAT PAKAR

1. Pengantar

Sejak tahun 2008 masyarakat Pulau Padang khususnya di 3 desa yaitu Desa Lukit, Bagan

Melibur dan Mengkirau menolak beroperasinya HTI PT. RAPP di daerahnya. Namun,

semenjak aktivitas pembangunan HTI di mulai tuntutan masyarakat ke 3 desa tersebut

semakin meningkat, bahkan sampai melakukan demo jahit mulut, membangun tenda dan

bermalam di depan Pintu Gerbang Gedung DPR RI di Jakarta. Tuntutan utama masyarakat di

ke 3 desa tersebut adalah pencabutan izin HTI PT. RAPP Blok Pulau Padang yang

dikeluarkan Menteri Kehutanan berdasarkan SK NO. 327/Menhut-II/2009.

Page 83: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

83

Dalam merespon tuntutan masyarakat Pulau Padang tersebut, Menteri Kehutanan RI

membentuk Tim Mediasi penyelesaian tuntutan masyarakat setempat terhadap ijin usaha

pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang dengan

SK Nomor: SK. 736/Menhut-II/2011. Salah satu tugas tim mediasi adalah mengumpulkan

masukan dari para pakar berbagai bidang terkait tuntutan masyarakat setempat (Pulau

Padang).

Berdasarkan hasil studi lapangan tim dan analisis terhadap informasi yang diperoleh

ditemukan isu yang menjadi dasar tuntutan penolakan HTI PT RAPP adalah terkait

lingkungan dan perizinan. Isu lingkungan tersebut berupa tanah gambut yang tidak cocok

untuk HTI dan tenggelamnya Pulau Padang. Isu perizinan terkait dengan proses memperoleh

izin termasuk Amdal. Isu lain terkait dengan pemanfaatan hutan Pulau Padang yang tidak

sesuai dengan UU No 27 Tahun 2007, karena dianggap sebagai pulau kecil.

Dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih valid terhadap isu-isu tersebut, maka Tim

mediasi mengundang pakar yang kompeten dari beberapa Perguruan tinggi.

2. Tujuan

Pertemuan dengan pakar ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan masukan dan

informasi yang lebih valid terkait dengan isu lingkungan dan perizinan yang menjadi dasar

tuntutan masyarakat Pulau Padang.

3. Metode

1. Pakar yang diundang dan peserta pertemuan

Pakar yang diundang adalah pakar yang memiliki kompetensi sesuai dengan isu lingkungan

dan perizinan yang menjadi dasar tuntutan masyarakat Pulau Padang. Pakar yang diundang

dan kompetensinya disajikan pada Tabel berikut ini:

No Nama Pakar Kompetensi Keterangan1. Dr. Basuki Sumawinata Ahli tanah gambut

Page 84: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

84

IPB2. Prof. Dr. Budi Indra Setiawan Ahli Fisika Tanah IPB3. Dr. Oka Karyanto Ahli kehutanan UGM4. Dr. Teguh Yuwono Ahli kehutanan UGM5. Prof. Dr. Muhajir Utomo Ahli tanah UNILA6. Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf Ahli Hukum

Administrasi Negara

Pertemuan ini akan dihadiri oleh seluruh tim mediasi termasuk tim pengarah penyelesaian

tuntutan masyarakat Pulau Padang.

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Pertemuan dengan pakar akan dilaksanakan pada Hari Rabu, pukul 09.00 di Gedung

Manggala Wanabakti, Jakarta.

3. Pelaksanaan Pertemuan

Pertemuan dengan pakar akan diatur sebagai berikut:

a. Pakar yang diundang menyerahkan bahan presentasi berupa soft copy dan print outnya

b. Pakar yang diundang menyampaikan presentasi tentang isu lingkungan dan perizinan yang

menjadi dasar tuntutan masyarakat Pulau Padang

c. Tim mediasi melakukan pendalaman terhadap materi presentasi yang disampaikan pakar

dengan mengajukan pertanyaan.

4. Hasil Masukan Pakar

1. Oka Karyanto, S.Hut. MSc.

Berdasarkan paparannya dan diskusi terkait isu lingkungan berupa ketidak cocokan Pulau

Padang untuk HTI dan Tenggelamnya Pulau Padang bila HTI PT. RAPP beroperasi di Pulau

Padang dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Pulau Padang tidak cocok untuk HTI karena ada gambutnya. Argumentasi yang

dikemukakan: 1) gambut di Pulau Padang memiliki kedalaman > 3m, 2) Didasarkan pada

Page 85: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

85

data primer hasil pengukuran CO2 yang menyimpulkan bahwa: a). Pemanfaatan kawasan

gambut untuk hutan alam dan sagu (tanpa drainase) lebih lestari karena tingkat emisi

(konsekuensinya tingkat subsidensi) lebih kecil, b). Emisi CO2 pada gambut dalam untuk

budidaya karet rakyat berumur muda lebih kecil dibanding karet berumur tua, 3).Tingkat

subsidensi di Pulau Padang didsarkan pada data sekunder hasil penelitian .

b. Beroperasinya HTI PT. RAPP di Pulau Padang dapat menyebabkan tenggelamnya Pulau

Padang. Hasil pendalaman Tim Mediasi diketahui bahwa opini tersebut merupakan hipotesis.

Selain itu argumentasi yang dikemukakan adalah sebagai berikut: 1). Hipotesis didasarkan

pada asumsi subsidensi 4 cm/tahun dan kenaikan muka air laut 4 mm/tahun, sehingga

dihiptesis dalam kurun waktu 60-70 tahun Pulau Padang tenggelam. 2). terdapat bukti di

lapangan bahwa saat ini telah terjadi subsidensi, 3). Didasarkan pada hasil penelitian Hooijer,

et al (2011).3). Didasarkan pada hasil penelitian dari peneliti asing yang menyatakan bahwa

Selama 8 tahun setelah didrainase, telah terjadi 1,5 m subsiden dan akan berlangsung kurang lebih

linear; hal ini serupa dengan yg dialami di tempat lain (Malaysia bahkan USA).

c. Pendapat lain Pakar Oka adalah sebagai berikut:

1). Belum ada kajian mengenai kelestarian produktifitas pada lahan gambut dalam

2). Belum ada kajian dampak lingkungan drainase lahan gambut dalam

3). Belum ada kajian kelestarian produktifitas tapak pada areal HTI pada lahan gambut

dalam, paling tidak yang telah diakui secara internasional

4). Interpolasi dari 70 titik-titik hasil pengeboran (April, 2011) menunjukkan bahwa sebagian

besar pulau Padang merupakan gambut dalam (Data primer).

5). Pulau Padang bertopografi rata, ketinggian maksimum 15 m dpl (dari permukaan laut), hampir

semua pemukiman berada pada ketinggian kurang dari 6 m dpl (Hasil analisis peta DEM dan

Topografi berdasarkan SRTM 30 m). Selain itu disimpulkan kawasan pemukiman dan kebun

berada pada ketinggian 1-6 m dpl sehingga rentan terhadap kenaikan muka air laut.

6). Terjadi penurunan kualitas tutupan hutan scr gradual namun tidak terjadi deforestasi secara drastis

kecuali ketika (1) pembukaan koridor jalan tambang dan (2) land-clearing HTI

7). Deforestasi di Pulau Padang versi PT. RAPP berbeda dengan versi Pakar Oka. Selain itu beliau

juga menyimpulkan tidak terdapat deforestasi yang menyolok antara 2002-2010, bahkan banyak

deforested area yang recover. Degradasi terjadi pada kawasan gubah gambut.

Page 86: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

86

8). Dengan ketinggian dpl rendah, sebagian besar pemukiman dan kebun karet di bagian pinggir akan

tenggelam akibat kombinasi peat subsidens dan kenaikan muka air laut

9). Pakar Oka mengemukakan adanya fenomena intrusi air laut. Selanjutnya dinyatakan Fenomena

intrusi air laut ini salah satunya dapat dikarenakan penurunan muka air tanah akibat kanalisasi

lahan gambut. Fenomena ini telah menarik perhatian penggiat lingkungan dari Pekanbaru terutama

mengenai masa depan pulau Padang. Diperkirakan dengan kondisi yg ada sekarang, kawasan

hunian dan kebun di pulau Padang akan tenggelam 60 th kemudian

10). Telah terjadi abrasi lapisan gambut sepanjang pantai timur pulau Padang.

2. Prof. Dr. Budi Indra Setiawan

Berdasarkan paparan yang telah disampaikannya dan pendalaman Tim Mediasi dapat

dinyatakan bahwa pendapat Prof. Budi sebagai berikut:

a. Data primer hasil penelitian pada lahan gambut yang ditanamai HTI Akasia Crassicarfa di

Sumatera Selatan menunjukkan:terjadi penaikan dan penurunan permukaan tanah

tergantung pergerakan permukaan air tanah (water level).

b. Data primer hasil penelitian pada lahan gambut yang ditanamai HTI Akasia Crassicarfa di

Sumatera Selatan menunjukkan: terjadi penambahan biomassa ke lahan sebesar 60%,

sedangkan biomassa yang diangkut ke luar lahan sebesar 40%. Artinya, HTI Akasia

Crassicarfa di lahan gambut bisa mengurangi penurunan tanah bahkan menaikan

permukaan tanah (Data disajikan pada Lampiran..).

c. Tidak ada satu pun negara di dunia kecuali di Indonesia yang melarang penggunaan lahan

gambut untuk kebun, HTI dan lain-lain.

d. HTI yang ditujukan untuk pulp dan kertas memiliki arti strategis yang positif bagi

kemajuan bangsa Indonesia, baik dari segi ekonomi, pendidikan dan budaya masyarakat.

e. Teknologi pengelolaan gambut yang lestari masih dalam proses penelitian, karena untuk

menyatakan pengelolaan itu lestari butuh penelitian jangka panjang. Walaupun demikian,

tidak berarti masyarakat dilarang memanfaatkan lahan gambut.

3. Dr. Basuki Sumawinata

Page 87: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

87

Berdasarkan paparan dan pendalaman yang dilakukan Tim Mediasi terkait isu

lingkungan yang mendasari tuntutan masyarakat Pulau Padang, Dr. Basuki Sumawinata

berpendapat sebagai berikut:

a. Terkait isu Pulau Padang tidak cocok untuk HTI karena ada gambutnya. Dr. Basuki

Sumawinata menyatakan: 1) HTI Akasia Crassicarfa di lahan gambut dengan pengelolaan

yang baik tumbuh dengan subur seperti di Bukit Batu, Pelalawan, dan Sumatera Selatan.

Dengan kata lain, Akasia Crassicarfa cocok untuk tanah gambut. Bahkan beliau

menambahkan, bahwa

b. Terkait isu Pulau padang tenggelam bila PT. RAPP beroperasi di Pulau Padang. Dr. Basuki

menyampaikan pendapatnya sebagai berikut:

1). Pembukaan lahan gambut untuk HTI menghasilkan subsidensi tetapi tidak linier. Pada

awal pembukaan lahan gambut (± 1 tahun) subsidensi dapat mencapai 35 cm, namun

bila tinggi muka air dipertahankan tetap tinggi (40-80 cm) subsidensi berlangsung

lambat. Hal itu terjadi karena pada awal pembukaan subsidensi yang terjadi berupa

subsidensi fisik akibat kehilangan air dari ruang pori tanah.

2). Berdasarkan data primer hasil penelitian selama satu tahun pada HTI PT. BBHA di

Bukit Batu (Data terlampir) dinyatakan bahwa dekomposisi yang ditunjukkan dengan

ukuran partikel tanah hanya berlangsung di bagian tanah permukaan, sedangkan yang

dekat dengan permukaan air tidak berlangsung yang dicirikan oleh ukuran partikel

tanahnya kasar. Dengan demikian, beliau menyimpulkan bahwa bila permukaan air

tanah dipertahankan tetap tinggi (40-80 cm) subsidensi bisa dijaga sangat rendah.

Bahkan, bila serasah (daun dan ranting) Akasia Crassicarfa yang jatuh ke permukaan

diperhitungkan subsidensi itu bisa sangat kecil (tidak terjadi)

3). Hingga saat ini belum ada informasi (pengalaman) bahwa pulau yang lahannya berupa

tanah gambut di Indonesia yang tenggelam.

4). Tidak masalah (bahkan lebih disukai) lahan gambut dalam (> 3 m) dimanfaatkan untuk

pertanian termasuk HTI Akasia Crassicarfa, asal melakukan pengelolaan air yang.

Artinya, mampu mempertahankan tinggi muka air yang rendah sekalipun di musim

kemarau.

Page 88: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

88

5). Berdasarkan pengelaman beliau survey dan penelitian gambut, Dr. Basuki menyatakan

bahwa anak bangsa telah menguasai Teknologi pengelolaan gambut berkelanjutan.

Beliau menjelaskan sejarah perkembangan penguasaan teknologi pengelolaan gambut

di Indonesia. Pada teknologi pengelolaan gambut yang paling akhir ditemukan, peluang

subsidensi sangat rendah, kebakaran dapat dihindari, dll.

4. Prof. Dr. Muhajir Utomo

Prof. Muhajir tidak menyampaikan paparan, namun beliau mendukung pendapat Prof. Budi

Indra Setiawan dan Dr. Basuki Sumawinata. Beliau berpendapat bahwa dengan penerapan

Eco-Hydro lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk HTI Akasia Crassicarfa. Selain itu,

dengan penerapan Eco-Hydro, subsidensi dapat ditekan bahkan dengan penambahan daun

dan ranting yang gugur subsidensi bisa sangat rendah.

5. Prof. Asep Warlan Yusuf

Untuk mendalami isu yang terkait dengan perizinan, Tim Mediasi mengundang pakar hukum

Prof. Asep Yusuf Warlan. Berdasarkan paparan dan pendalam oleh Tim Mediasi dapat

dinyatakan sebagai berikut:

1).5 Pokok terkait dengan Izin :

a. Tujuan

b. Kewenangan

c. Substansi

d. Prosedur

e. Penegakan

2). Konsekuensi Pemegang Izin tidak memenuhi persyaratan

a. Penolakan

b. Penundaan

c. Pembekuan

d. Pembatalan

e. Pencabutan

Page 89: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

89

1). Izin harus memenuhi azas-azas penyelenggaraan pelayanan perizinan a.l. kepastian

hukum bagi penerima

2). Izin PT. RAPP di Pulau Padang tetap sah karena belum ada bukti –bukti pelanggaran.

3). Rekomendasi Gubernur/Bupati hanya bersifat sebagai suatu pertimbangan, saran dan usul.

E. Analisis dan Kesimpulan

Isu pertama yang mendasari tuntutan masyarakat Pulau Padang adalah HTI tidak

cocok di Pulau Padang karenda ada gambutnya. Pakar Oka menyatakan bahwa Pulau Padang

sebagian besar ditempati gambut ber- kedalaman > 3 m. Beliau berpendapat gambut > 3m

tidak bisa dimanfaatkan untuk HTI karena melanggar Keppres 32 Tahun 1990. Keppres 32

tahun 1990 pada pasal 10 yang menyatakan bahwa lahan gambut > 3m yang berada di hulu

sungai dan rawa termasuk kawasan lindung gambut. Hal itu dimaknai sebagai pelarangan

untuk digunakan untuk budidaya tanaman. Namun, Prof Budi dan Dr. Basuki mengemukakan

bahwa Keppres 32 tahun1990 tidak didasarkan pada hasil kajian ilmiah. Padahal, secara

akademis gambut > 3 m tidak masalah dimanfaatkan untuk pertanian termasuk HTI asal

menerapkan Teknologi pengelolaan HTI yang baik termasuk praktek pengelolaan air terbaik

(Best practicewater management). Dr. Basuki memberi contoh HTI Akasia Crassicarfa di

beberapa tempat yang bertanah gambut pertumbuhan dan produksinya baik, sehingga secara

agronomis gambut dalam cocok untuk HTI. Hasil kunjungan Tim Mediasi ke Lokasi

operasional PT. RAPP pertumbuhan Akasia Crassicarfa tumbuh baik. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa secara agronomi gambut di Pulau Padang cocok untuk HTI.

Berkaitan dengan ketidaksesuaian lahan gambut dalam (>3 M) karena melanggar

Keppres 32 Tahun 1990. Dr. Basuki mengemukakan bahwa sampai saat ini banyak lahan

gambut dalam telah dimanfaatkan untuk perkebunan, HTI, dan lain-lain, sehingga akan sulit

bila Keppres ini ditegakkan. Walaupun demikian Prof. Asef Yusuf Warlan berpendapat

bahwa pada ayat ... Keppres 32 dinyatakan bahwa larangan bisa diterabas bila ada teknologi

yang dapat menyelesaikan masalah dalam pemanfaatan gambut dalam. Selain itu, beliau juga

menjelaskan bahwa bila ada pihak yang merasa dirugikan sebaiknya diajukan ke Komisi

Yudisial. Berdasarkan pendapat pakar tersebut maka langkah terbaik yang harus dilakukan

adalah mengajukan masalah tersebut ke Komisi Yudisial.

Page 90: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

90

Isu lingkungan yang kuat mendasari tuntuan masyarakat Pulau Padang adalah Pulau

Padang bisa tenggelam bila HTI PT. RAPP beroperasi di Pulau Padang. Isu ini muncul dari

Hipotesis Raflis yang diadopsi oleh Pakar Oka dengan asumsi bahwa bila subsidensi

berlangsung tetap 4 cm/tahun dan kenaikan permukaan air laut 4 mm/tahun dan ketinggian

permukaan tanah dari permukaan laut rata-rata 5 m, maka Pulau Padang akan tenggelam

dalam waktu 60-70 tahun. Namun, Dr. Basuki Sumawinata, Prof. Dr. Budi Indra Setiawan,

dan Prof. Dr. Muhajir Utomo. berpendapat bahwa subsidensi tidak berlangsung secara linier,

karena banyak faktor yang mempengaruhi. Dr. Basuki menyampaikan beberapa contoh

pemanfaatan gambut bila dengan pengelolaan air yang cukup baik, wilayah berlahan gambut

tidak tenggelam. Tetapi bila tanpa pengelolaan yang tepat subsidensi berlangsung terus dan

gambutnya habis, tetapi Dr. Basuki menegaskan bahwa wilayahnya tidak tenggelam.

Berdasarkan pendapat para pakar tersebut, Tim Mediasi menyimpulkan bahwa terdapat dua

pendapat yang kontradiktif tentang tenggelamnya Pulau Padang bila HTI PT. RAPP

beroperasi disana.

F. Rekomendasi

Berdasarkan analisis dan kesimpulan tersebut di atas, terkait isu lingkungan Tim Mediasi

merekomendasikan sebagai berikut:

1. Dalam rangka memberi kepastian hukum maka perlu dilakukan yudisial review terhadap

Keppres 32 tahun 1990.

2. Untuk menguji hipotesis Tenggelamnya Pulau Padang, perlu dilakukan penelitian

kolaboratif antara ke dua kelompok pakar yang memiliki pendapat yang kontradiktif.

BAB III

ANALISIS DATA, FAKTA DAN INFORMASI LAPANGAN

1. Analisis Sengketa

Konflik atau sengketa dapat terjadi antara masyarakat dan antar lembaga. Sengketa

merupakan perbedaan kepentingan antar individu atau lembaga pada objek yang sama

yang dimanifestasikan dalam hubungan-hubungan di antara mereka. Menganalisis siapa

dan mengapa mereka terlibat adalah salah satu aspek yang penting dalam studi tentang

sengketa sistim penguasaan tanah. Untuk itu perlu dipahami dengan baik siapa subjek

Page 91: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

91

yang terlibat dalam sistim penguasaan tanah dalam sengketa tersebut. Subjek

didefinisikan sebagai para pelaku yang terlibat dalam sengketa sistim penguasaan tanah,

baik pelaku yang mempengaruhi ataupun yang dipengaruhi. Subjek dapat berupa

individu, masyarakat, kelompok sosial atau institusi.

Objek sengketa juga perlu dipahami, objek sengketa dapat didefinisikan sebagai benda,

baik berupa tanah maupun sumber daya alam lainnya yang disengketakan oleh para

pelaku. Untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap konflik/sengketa yang

terjadi perlu diperjelas melalui pendekatan terhadap subjek dan objek sehingga menjadi

lebih jelas.

Secara tegas objek yang disengketakan oleh masyarakat Pulau Padang adalah terbitnya

izin kepada PT. RAPP yang mengakibatkan :

1. Kekhawatiran terhadap masa depan kehidupan (sustainability of livelihood) karena

soal isu lingkungan terhadap penurunan tanah dan lebih lanjut tenggelamnya Pulau

Padang.

2. Ruang kelola dan hak atas tanah yang simpang siur dan tidak adanya kejelasan

terhadap tata batas terhadap izin PT. RAPP. Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran

yang sangat mendalam pada masyarakat.

3. Proses sosialisasi atas izin tidak dilakukan dengan baik oleh si pemberi izin, penerima

izin kepada masyarakat Pulau Padang. Ini mengakibatkan keresahan pada masyarakat

karena munculnya informasi yang tidak akurat yang diterima.

Analisis konflik/sengketa merupakan proses untuk mengkaji dan memahami realitas konflik

dari berbagai perspektif yang beragam. Di sisi lain, analisis konflik bisa dijadikan dasar

pijakan dalam pengembangan strategi dan rencana aksi penyelesaian. Proses analisis konflik

dimulai dengan proses identifikasi (desk analysis, pengumpulan fakta dan data, pendapat para

ahli serta pendapat berbagai stakeholder).

Analisis konflik didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat memiliki struktur dan tingkat

yang kompleks dan membutuhkan kerangka kerja komprehensif untuk memahami masalah,

persepsi, pelaku dan informasi pelengkap.

Secara umum untuk melakukan analisis konflik diperlukan beberapa hal, yaitu :

1. Kecermatan dalam pemilahan terhadap persepsi yang muncul

Page 92: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

92

2. Melakukan analisis dari berbagai sudut pandang

3. Mendapatkan fakta dan data yang akurat dari sumbernya.

Analisis konflik ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih cermat dan

komprehensif terhadap dinamika, hubungan dan isu terkait dengan situasi sehingga

rekomendasi untuk rencana aksi menjadi lebih tepat dilakukan serta para pihak paham

atas rencana aksi tersebut.

Hasil analisis terhadap konflik akan digunakan untuk :

1. Memberikan pemahaman tentang latar belakang dan sejarah situasi konflik dan

peristiwa terkini.

2. Mengidentifikasi semua kelompok yang relevan.

3. Memahami perspektif dari semua kelompok.

4. Mengetahui hubungan para pihak yang bersengketa.

5. Mengetahui faktor yang mendukung dan dasar-dasar konflik yang terjadi.

Hasil analisis konflik masyarakat Pulau Padang dan PT. RAPP disajikan seperti pada Gambar

Pohon di bawah ini (Gambar....). Pada pohon dapat dipilah menjadi tiga bagian penting, yaitu

ekspresi, tipologi dan akar konflik. Daun, merupakan ekspresi konflik yang antara lain berupa

demontrasi, pembakaran, pembunuhan sampai kepada pembentukan opini pada publik.

Batang Pohon, merupakan tipologi konflik yang dapat berupa tenurial sistim, pemanfaatan,

identitas, komunikasi sampai konflik tenaga kerja. Akar Pohon, merupakan akar konflik

yang dapat berupa hak dan tenurial kawasan sampai perbedaan nilai dan struktur.

Page 93: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

93

Gambar. Gambar Pohon Konflik Berupa Ekspresi, Tipologi dan Akar konflik Pulau Padang

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai munculnya konflik masyarakat Pulau

Padang dengan PT. RAPP, baik persoalaan yang menyangkut kepada akar, batang dan daun

pohon. Analisis yang dilakukan oleh Tim Mediasi berbasis kepada informasi, data dan fakta

yang diperoleh.

Setelah melakukan analisis data, menelaah hasil wawancara dengan para pihak dan

melakukan kunjungan lapangan seperti yang diuraikan pada bagian sebelumnya, di bawah ini

tim ingin menyampaikan beberapa poin yang menjadi benang merah dari kasus ini dan

gambaran alternatif solusi yang dapat diambil terhadap beberapa masalah terkait dengan

mediasi kasus Pulau Padang.

Analisis Terhadap Temuan

Analisis temuan lapangan ini mencoba memberikan gambaran benang merah (Kesimpulan)

yang menjadi inti pokok dari kasus Pulau Padang yaitu :

1) Isu Penduduk Asli

Dalam perjalanan kasus, tim menemui beberapa pernyataan berbagai pihak terkait dengan

keberadaan penduduk Pulau Padang. Setelah melakukan analisis atas data sekunder dan

primer, tim ingin menggaris bawahi bahwa :

a. Sejak lama, jauh sebelum Indonesia merdeka, Pulau Padang adalah pulau yang

memiliki penduduk plural yang berasal dari berbagai etnis.

b. Sejak lama penduduk yang plural ini membangun interaksi sosial dengan sangat baik

diantara mereka.

2) Tata Batas Kawasan Hutan

Page 94: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

94

Berdasarkan telaahan data yang ada, tim ingin mengagrisbawahi bahwa di Pulau

Padang belum ada kepastian tanda batas kawasan hutan negara, konsesi dengan

kawasan kelola masyarakat.

3) Ruang Kelola dan Klaim Masyarakat

Berdasarkan analisis data dan temuan lapangan, terkait dengan poin ruang kelola dan

klaim masyarakat atas lahan di Pulau Padang, tim ingin menggaris bawahi hal-hal sebagai

berikut :

a) Status Tata Kuasa

a) Masyarakat Pulau Padang memperoleh tanah dan lahan melalui pewarisan turun

temurun

b) Masyarakat memiliki sistem penguasaan tanah dilapangan baik berdasarkan

kebiasaan maupun berdasarkan hukum yang ada.

c) Tim menemukan penguasaan-penguasaan berupa Surat Keterangan Tanah (SKT)

dari Kepala Desa dan Sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional.

d) Sistem penguasaan lain adalah berupa penguasaan fisik dilapangan dengan bukti

pohon-pohon tua, kuburan tua, kampung tua dan sebagainya.

b) Status Tata Kelola

Masyarakat Pulau Padang melakukan pengelolaan lahan dilapangan berupa :

Perkebunan Karet dan Sagu.

Khususnya masyarakat suku Akit melakukan pemanfaatan hasil hutan non kayu

seperti daun nipah untuk atap dan berburu.

4) Masalah-Masalah Terkait Tata Kuasa dan Tata Kelola

Berdasarkan analisis dari data sekunder dan temuan lapangan, terkait dengan tata

kuasa dan tata kelola, tim ingin menggarisbawahi hal-hal sebagai berikut:

a. Ada kebun dan pemukiman yang tumpang tindih dengan areal perizinan

IUPHHK-HTI PT. RAPP

b. Ditemukan adanya penyimpangan terhadap proses pemberian Surat Keterangan

Tanah yang berdampak pada tidak tepatnya penerima Sagu Hati.

c. Hilangnya Sumber Ekonomi Masyarakat

Page 95: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

95

e) Kekhawatiran hilangnya sumber-sumber ekonomi lokal bersumber dari

ketidakpastian hak penguasaan masyarakat

f) Kekhawatiran hilangnya sumber-sumber ekonomi lokal bersumber dari

kemungkinan rusaknya Pulau Padang karena

5) Keterwakilan/Penyelesaian Konflik Lahan

Keterwakilan memiliki keterkaitan kuat dengan diterima atau tidak diterimanya

IUPHHK-HTI di Pulau Padang dan sekaligus berhubungan langsung dengan proses

pelaksanaan negosiasi pemberian ganti rugi atau sagu hati.

a) Terjadi perpecahan di tingkat aparatur desa dalam mensikapi IUPHHK-HTI

yaitu :

Kepala desa sepulau Padang menandatangani surat kesepakatan dengan

perusahaan yang intinya memuat protokol/cara-cara bernegosiasi untuk

operasional IUPHHK-HTI di Pulau Padang.

3 (Tiga) Kepala Desa kemudian mencabut persetujuannya di surat perjanjian

tersebut.

12 (Dua Belas) Ketua Badan Permusyawaratan Desa di Pulau Padang

membuat surat pernyataan menolak keberadaan IUPHHK-HTI di Pulau

Padang.

b) Terjadi kekeliruan dalam pemberian Sagu Hati kepada pihak yang bukan pemilik

lahan

6) Perizinan Termasuk Lingkungan

Berdasarkan analisis data, wawancara dan hasil pertemuan dengan ahli, maka Tim

Mediasi ingin menyampaikan benang merah sebagai berikut :

a) Terkait dengan perizinan ada kontroversi yang mengemuka mengenai pemenuhan

keabsahan syarat pemberian izin dan ada situasi tumpang tindih peraturan

perundang-undangan, tidak singkron sehingga menimbulkan ketidakpastian

hukum soal perizinan.

b) Terkait dengan isu lingkungan ada kontroversi mengenai pengelolaan gambut

dalam di Pulau Padang

Page 96: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

96

Terdapat dua pandangan berbeda terhadap pengelolaan gambut dalam dan

kerentanan Pulau Padang

Secara akademis kedua pandangan tersebut belum dapat diterima karena

data-data yang diperlukan untuk menjawab isu lingkungan di Pulau Padang

belum lengkap.

7) Potensi Konflik Horizontal

Kontroversi yang terjadi dilapangan terkait dengan adanya IUPHHK-HTI di Pulau

Padang jika tidak tertangani dengan baik maka akan menimbulkan hal-hal sebagai

berikut:

a) Ada potensi konflik horizontal diantara masyarakat yang menerima dengan

yang menolak perizinan IUPHHK-HTI dan dengan pekerja perusahaan.

b) Ada potensi konflik antara masyarakat Pulau Padang dengan masyarakat di

Selat Panjang karena isu ketertiban dan keamanan yang timbul akibat

terjadinya demonstrasi ke ibu kota kabupaten.

8) Faktor-Faktor Lain Yang Mempengaruhi Konflik dan Respons Terhadap Proses

Mediasi.

Selama perjalanan kerja Tim Mediasi, terdapat situasi-situasi dan proses-proses

lain untuk penanganan kasus Pulau Padang yang mempengaruhi perjalanan tim

diantaranya adanya berbagai pembicaraan antara masyarakat dengan Kementrian

Kehutanan yang mempengaruhi diterima atau tidaknya proses mediasi ini oleh

masyarakat.

9) Inti Penolakan Masyarakat Pulau Padang

Berdasarkan analisis data, wawancara dan temuan lapangan, tim kemudian

menangkap inti masalah yang disampaikan oleh masyarakat yaitu :

Lukit Mengkirau Bagan Melibur

Pulau akan Tenggelam Pulau akan tenggelam Pulau akan tenggelam

Page 97: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

97

Proses pemberian sagu hati yang tidak transparan dan salah sasaran dalam pemberian sagu hati

Hilangnya sumber ekonomi masyarakat

Hilangnya sumber ekonomi masyarakat

Tumpang tindih lahan Keberadaan perusahaan PT. RAPP tidak pernah di sosialisasikan kepada masyarakat

Lahan masyarakat akan digusur oleh perusahaan

Lahan perkebunan masyarakat yang masuk dalam konsesi

Lahan masyarakat akan digusur oleh perusahaan

Tidak adanya ruang kehidupan untuk generasi masa depan

Tumpang tindih dalam pemberian SKT

Tumpang tindih lahan

Hilang sumber ekonomi masyarakat

Makin sulitnya kebutuhan masyarakat terhadap kayu untuk pembangunan rumah

Berdasarkan benang-benang merah yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka pada

bagian ini akan diurakan alternatif solusi yang dapat Tim Mediasi rekomendasikan. Tetapi

sebelumnya, Tim ingin menggambarkan tawaran terakhir para pihak yang disampaikan

kepada Tim Mediasi yaitu:

Tabel Tawaran Penyelesaian Konflik oleh Para Pihak

Masyarakat dan LSM PT. RAPP PemerintahMengeluarkan seluruh konsesi PT. RAPP dari Pulau Padang dengan alasan :1. Operasi RAPP dapat

menyebabkan Pulau Padang tenggelam

2. Perizinan RAPP cacat hukum karena :a. Proses Amdal yang

tidak sesuai dengan kondisi lapangan.

b. Berada di lahan gambut dengan kedalaman di atas 3 mater.

c. Berada di Pulau kecil

1. Penyelesaian konflik mengacu pada kesepakatan bersama kepala Desa tanggal 27 Oktober 2011, dengan cara :a. Pembuktian fisik dan

legalitasb. Pemberian sagu hati,

kerjasama pengelolaan dan isolasi.

c. Pembangunan tanaman kehidupan.

2. Dampak Lingkungan dapat diminimalisasi dengan teknologi

1. Solusi yang ditawarkan harus sesuai dengan Hukum yang berlaku, khususnya Hukum Kehutanan

2. Mengeluarkan semua wilayah-wilayah kelola dan wilayah yang menjadi hak masyarakat yang tumpang tindih dengan konsesi.

3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat

Page 98: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

98

(menurut UU Nomor 27 tahun 2007)

3. Menghilangkan kebutuhan dasar masyarakat akan kayu (perumahan, keranda jenasah, perahu, dll)

ecohydro (pengaturan tata air)

Berdasarkan analisis terhadap kasus masyarakat Pulau Padang dengan PT. RAPP, Tim

mediasi dapat menggambarkannya melalui diagramatis sebagai berikut :

Page 99: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

99

BAB IV

REKOMENDASIRekomendasi Umum

Mencermati tingginya eskalasi konflik tenurial khususnya di sektor kehutanan akhir-akhir ini,

maka Tim Mediasi Konflik menyampaikan rekomendasi umum sebagai berikut:

1. Percepatan proses pengukuhan kawasan hutan.

2. Perluasan wilayah kelola rakyat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar

hutan.

3. Harmonisasi regulasi perizinan secara terpadu bidang kehutanan untuk menghindari

kasus hukum bagi pengambil kebijakan dan memberikan kepastian hukum bagi

pelaku usaha.

4. Pelembagaan mekanisme penyelesaian konflik di Kementrian Kehutanan.

Page 100: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

100

5. Menyelesaikan gap antara perkembangan ilmu dan teknologi dengan kebijakan

terkait pengelolaan kawasan gambut.

6. Membuat peraturan perundang-undangan yang dapat memperkuat hak masyakat adat

dalam pengelolaan hutan.

7. Mengefektifkan prinsip Free, Prior, Informed and Consent (FPIC) dalam

pengelolaan hutan.

Rekomendasi Khusus

Berdasarkan analisis data dan temuan lapangan, maka Tim Mediasi merekomendasikan hal-

hal sebagai berikut untuk menjadi pertimbangan bagi Kementrian Kehutanan untuk

mengambil keputusan penyelesaian Kasus Pulau Padang ini.

Pilihan-pilihan rekomendasi berdasarkan hasil analisis :

a. Solusi Alternatif berupa Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No 327/Menhut-II/2009

dengan mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang dari area konsesi.

Kekuatan Kelemahan Langkah Yang Harus Diambil

Mengangkat citra dephut terkait penyelamatan gambut dan perubahan iklim

Akan di gugat di PTUN karena keputusan ini sangat lemah, antara lain tanpa surat peringatan atas suatu pelanggaran yang dilakukan PT. RAPP

Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Biro Hukum Kemenhut, Dirjen BUK, NGO)

Menyelesaikan perdebatan isu lingkungan

Mengeluarkan ganti rugi pada pemegang izin

Menegosiasikan ganti rugi kepada pemegang perizinan

Menyelesaikan konflik sosial

Hutan Pulau Padang menjadi Open Access dan cepat hancur akibat tidak ada pihak yang diwajibkan menjaganya

Review kerentanan dampak lingkungan terhadap Pulau Padang yang dilakukan tim independen (Ahli, LSM, Masyarakat)

Menjawab masalah ketergantungan masyarakat

Tidak ada kepastian hukum dan usaha serta kepastian

Page 101: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

101

terhadap kebutuhan kayu lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja

B. Solusi Alternatif berupa Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No 327/Menhut-II/2009

dengan mengurangi luasan IUPHHK-HTI blok Pulau Padang.

Kekuatan Kelemahan Langkah Yang Harus Diambil

1. Adanya bukti fisik penguasaan lahan dan pemanfaatan hutan masyarakat ada

1. Berpeluang di gugat di PTUN jika luas yang dikurangi azas ekonomi

1. Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Bagian Hukum Dephut, Dirjen BUK, NGO)

2. Proses penyusunan tata ruang sedang berlangsung

2. Tidak menjawab isu lingkungan jika AMDAL tidak direvisi

3. Review kerentanan dampak lingkungan terhadap Pulau Padang yang dilakukan tim independen (Ahli, LSM, Masyarakat)

4. Melanjutkan mediasi dengan masyarakat

3. Tata batas areal IUPHHK sedang berlangsung

3. Tidak menjawab isu gambut dan perubahan iklim

4. Menjawab isu tumpang tindih kelola masyarakat

5. Memperluas ruang kelola masyarakat

4. Belum menjawab kebutuhan kayu masyarakat dimasa yang akan datang

Jika Solusi A yang dipilih maka yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

8. Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Biro Hukum

Kemenhut, Dirjen BUK, NGO)

9. Review kerentanan dampak lingkungan terhadap Pulau Padang yang dilakukan tim

independen (Ahli, LSM, Masyarakat)

10. Menyiapkan langkah antisipasi terhadap konsekuensi hukum antara lain gugatan perdata

dan gugatan PTUN.

11. Menegosiasikan ganti rugi kepada pemegang perizinan

Untuk detail kegiatan sebagai berikut :

Page 102: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

102

a) Kementrian Kehutanan membuat rencana pemanfaatan hutan Pulau Padang.

b) Mempercepat proses padu serasi RTRWP dengan TGHK terkait keberadaan desa-

desa yang berada di Pulau Padang dengan menerbitkan SK Penetapan Sementara

oleh Menteri Kehutanan terhadap areal yang tidak bermasalah.

c) Melakukan analisis tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan dan hutan

sebagai dasar penyelesaian konflik dan model pemberdayaan masyarakat di Pulau

Padang.

Jika solusi B yang dipilih maka perlu dilakukan hal-hal sebegai berikut :

1. Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Bagian Hukum

Dephut, Dirjen BUK, NGO)

2. Melanjutkan mediasi dengan masyarakat

Untuk detail kegiatan sebagai berikut :

a. Pemetaan Partisipatif ruang kelola masyarakat yang tumpang tindih dengan

konsesi PT. RAPP. Pemetaan partisipatif yang melibatkan instansi terkait,

perusahaan, LSM dan masyarakat diarahkan semaksimal mungkin mengeluarkan

wilayah kelola masyarakat.

b. Mempercepat proses padu serasi RTRWP dengan TGHK terkait keberadaan desa-

desa yang berada di Pulau Padang dengan menerbitkan SK Penetapan Sementara

oleh Menteri Kehutanan terhadap areal yang tidak bermasalah dan tidak tumpang

tindih dengan.

c. Melakukan identifikasi dan pemetaan partisipatif wilayah kelola masyarakat di

semua desa di pulau padang yang tumpang tindih dengan konsesi RAPP dan

HPT.

d. Merasionalisasi ijin RAPP dengan mengeluarkan ruang kelola masyarakat yang

berada dalam HPT dan dikelola dengan skema HTR atau hutan desa.

e. Penyelesaian lahan pemukiman dan lahan garapan, kebun dan masyarakat yang

ada di HPK diselesaikan melalui revisi RTRWP dan penataan batas kawasan

hutan.

Page 103: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

103

f. Melakukan analisis tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan dan hutan

sebagai dasar penyelesaian konflik dan model pemberdayaan masyarakat di Pulau

Padang.

g. Revisi terhadap protokol penyelesaian konflik dengan menambahkan pihak

independen untuk melakukan pemantauan.

h. Meninjau ulang proses negosiasi sagu hati yang sudah ada dan sedang

berlangsung dengan menitikberatkan pada penerapan prinsip Keputusan Bebas

Diinformasikan dan Didahulukan (Free, Prior, Informed and Consent).

i. Membentuk tim kecil (3 orang) yang bertugas untuk mentransformasi gagasan

penyelesaian, mendorong rekonsiliasi dan mementoring proses negosiasi/mediasi.

Tim juga ini harus memiliki kewenangan untuk menata ulang dan

mengkonsilidasikan inisiatif penyelesaian yang sudah dilakukan oleh tim terpadu

pemda kabupaten maupun tim land dispute perusahaan serta Tim 9 di setiap desa.

j. Kementerian Kehutanan membentuk tim yang Independen yang bertugas untuk

Menelaah dan memverifikasi kontoversi proses perijinan dalam pendekatan

legal audit untuk menjernihkan kesimpang siuran informasi dan kajian-

kajian hukum yang beredar bebas.

Mengkaji resiko lingkungan terhadap rencana operasional PT. RAPP di

Pulau Padang.

Melakukan study mendalam oleh gabungan para pakar (ekosistem gambut,

sosiologi, antropologi, dan ekonomi pedesaan) untuk melihat secara

objektif dampak pembukaan hutan alam skala luas terhadap penurunan

gambut dan kehidupan social, ekonomi dan budaya masyarakat setempat

serta melihat kerentannya sebagai pulau kecil.

k. Proses mediasi telah dilakukan oleh Tim Mediasi berupa proses pra mediasi yang

memenuhi tugas tim poin 1, 2, 3, 4, dan 6 yaitu : 1) Melakukan desk analisys atas

data dan informasi perijinan hutan tanaman dan tuntutan masyarakat setempat, 2)

Mengumpulkan dan menelaah fakta, data dan informasi di lapangan, 3)

Mengumpulkan masukan dari para pakar berbagai bidang terkait tuntutan

masyarakat setempat, 4) Melakukan pertemuan dengan berbagai stakeholder

terkait dengan tuntutan masyarakat dan 5) Melaporkan hasil kerja Tim kepada

Menteri Kehutanan paling lambat pada minggu IV bulan Januari 2012. Khusus

mengenai tugas poin lima yaitu “Melaksanakan mediasi terhadap masyarakat

setempat dengan RAPP” belum dapat dilaksanakan karena penolakan dari

Page 104: DRAFT AKHIR Laporan Tim Mediasi

104

masyarakat yang tetap menginginkan Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No

327/Menhut-II/2009 dengan mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang dari area

konsesi dengan alasan lingkungan, dimana mereka tetap meminta kementrian

Kehutanan langsung melakukan hal tersebut. Mereka beranggapan bahwa proses

mediasi bukanlah proses yang tepat saat ini. Karena itu, Tim Mediasi

merekomendasikan proses mediasi saat ini diakhiri sesuai dengan batas waktu

tugas tim mediasi yang sudah tetapkan di surat keputusan

SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011 tentang Pembentukan Tim

Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau

Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Untuk selanjutnya, mediasi

dapat dilakukan kembali ketika ada permintaan tertulis dari masyarakat yang

menolak keberadaan IUPHHK-HTI tersebut.