All About MEDIASI

download All About MEDIASI

of 38

Transcript of All About MEDIASI

1

PEMBERDAYAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI INDONESIAPidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum, diucapkan di Hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara

Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 1 April 2006

Oleh: RUNTUNG

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2006

2

3

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

Yang terhormat, Bapak Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Sumatera Utara, Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Senat Akademik Universitas Sumatera Utara, Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak/Ibu Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara, Para Dekan, Ketua Lembaga dan Unit Kerja, Dosen dan Karyawan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, Bapak dan Ibu para undangan, keluarga, teman sejawat, mahasiswa, dan hadirin yang saya muliakan.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Pertama sekali marilah kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas nikmat dan karunia yang dilimpahkan kepada kita, sehingga kita dapat sama-sama hadir di gedung Gelanggang Mahasiswa Universitas Sumatera Utara ini dalam acara pengukuhan kami sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya, izinkanlah saya untuk menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada para hadirin sekalian yang telah berkenan meringankan langkah menghadiri acara pengukuhan kami pada hari ini. Atas izin dan ridho Allah SWT perkenankanlah saya untuk membacakan pidato ilmiah saya di hadapan Bapak/Ibu hadirin sekalian, yang berjudul: PEMBERDAYAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI INDONESIA

1

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN Satu persoalan besar yang sedang dihadapi bangsa kita adalah dilema yang terjadi di bidang penegakan hukum. Di satu sisi kuantitas dan kualitas sengketa yang terjadi dalam masyarakat cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Sedangkan di sisi lain, pengadilan negara yang memegang kewenangan mengadili menurut undang-undang mempunyai kemampuan yang relatif terbatas. Terlebih-lebih lagi akhir-akhir ini pengadilan negara sedang dilanda krisis kepercayaan. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan terjadi berlarut-larut, karena cukup potensial memicu terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) atau peradilan massa, yang dapat menimbulkan kekacauan (chaos) dalam masyarakat. Solusinya pengembangan penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolution (ADR), adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kata sepakat (konsensus) yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa baik tanpa ataupun dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Mas Achmad Santosa (1999) mengemukakan sekurang-kurangnya ada 5 faktor utama yang memberikan dasar diperlukannya pengembangan penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia, yaitu: 1. sebagai upaya meningkatkan daya saing dalam mengundang penanaman modal ke Indonesia. Kepastian hukum termasuk ketersediaan sistem penyelesaian sengketa yang efisien dan reliabel merupakan faktor penting bagi pelaku ekonomi mau menanamkan modalnya di Indonesia. Penyelesaian sengketa alternatif yang didasarkan pada prinsip kemandirian dan profesionalisme dapat menepis keraguan calon investor tentang keberadaan forum penyelesaian sengketa yang reliabel (mampu menjamin rasa keadilan); 2. tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien dan mampu memenuhi rasa keadilan; 3. upaya untuk mengimbangi meningkatnya daya kritis masyarakat yang dibarengi dengan tuntutan berperan serta aktif dalam proses pembangunan (termasuk pengambilan keputusan terhadap urusanurusan publik). hak masyarakat berperan serta dalam penetapan kebijakan publik tersebut menimbulkan konsekuensi diperlukannya wadah atau mekanisme penyelesaian sengketa untuk mewadahi perbedaan pendapat (conflicting opinion) yang muncul dari keperansertaan masyarakat tersebut;

2

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

4. menumbuhkan iklim persaingan sehat (peer pressive) bagi lembaga peradilan. kehadiran lembaga-lembaga penyelesaian sengketa alternatif dan kuasi pengadilan (tribunal) apabila sifatnya pilihan (optional), maka akan terjadi proses seleksi yang menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat sengketa terhadap ini lembaga penyelesaian sengketa tertentu. kehadiran pembanding (peer) dalam bentuk lembaga penyelesaian alternatif diharapkan mendorong lembaga-lembaga penyelesaian sengketa tersebut meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat; 5. sebagai langkah antisipatif membendung derasnya arus perkara mengalir ke pengadilan. Banyak negara di dunia yang telah mencoba mengembangkan penyelesiaan sengketa alternatif sebagai upaya mengurangi derasnya arus perkara yang masuk ke pengadilan, antara lain Amerika, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Singapura (M. Yahya Harahap, 1997). Di Amerika Serikat sebagai negara yang pertama sekali mengemukakan gagasan mengenai penyelesaian sengketa alternatif, saat ini telah dikembangkan berbagai bentuk penyelesaian sengketa alternatif, seperti: negosiasi, mediasi, konsiliasi, mintrial, dan summary jury trial, dan settlement conference (M. Yahya Harahap, 1997). Salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang cukup pesat perkembangannya adalah mediasi. Langkah menuju pengembangan mediasi telah dilakukan oleh Indonesia dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di mana tentang mediasi diatur dalam Pasal 6 ayat (3) yang berbunyi: Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator. Mahkamah Agung RI juga telah memasukkan mediasi dalam proses peradilan tingkat pertama, melalui Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang mulai diberlakukan sejak 11 September 2003.

3

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

Mengapa Mediasi? Mengapa harus mediasi yang dikembangkan di Indonesia? Sekurang-kurangnya ada 2 alasan yang melandasi pemikiran dalam memilih mediasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang tepat untuk dikembangkan di Indonesia. Pertama, dalam masyarakat Indonesa yang dikenal sebagai masyarakat konsensus, cara penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga netral (mediasi) ini mempunyai basis sosial yang kuat, baik di perdesaan (rural community) maupun perkotaan (urban community). Hasil studi perkembangan hukum di Indonesia menyimpulkan bahwa penyelesaian sengketa alternatif telah digunakan oleh masyarakat tradisional di Indonesia dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Penyelesaian sengketa alternatif secara tradisional dianggap sangat efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup dalam masyarakat. Di banyak daerah di Indonesia kepala desa atau kepala suku masih dianggap kekuasaan tertinggi dalam memimpin desa, dan sebagai perantara atau memberikan keputusan dalam persengketaan antara rakyat. Oleh karena itu masyarakat Indonesia yang pada dasarnya non-litigasi, mempercayai bahwa merupakan suatu kesalahan jika sengketa itu dibuka di tengah masyarakat. Dalam banyak sengketa orang lebih suka mengusahakan suatu dialog (musyawarah), dan biasanya minta pihak ketiga seperti kepala desa atau kepala suku untuk bertindak sebagai mediator, konsiliator atau malahan sebagai arbitrator (Ali Budiardjo, 2000). Hudson dalam tulisannya berjudul Paju Epat mengemukakan banyak sengketa di daerah pedalaman Kalimantan yang diselesaikan oleh tua-tua adat. Di mana tua-tua adat itu karena keteladanan dan keahliannya di bidang hukum adat setempat, dianggap mempunyai pengaruh dan wibawa dalam masyarakat. Sehingga dengan sifat-sifatnya tersebut warga masyarakat yang terlibat dalam sengketa menganggap bahwa tua-tua adat itu mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan sengketa secara adil (T. O. Ihromi, 1993). Di daerah Toraja di sekitar Rantepao dan Maakele juga ada dikenal suatu dewan diberi nama hadat yang anggota-anggotanya orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin dalam suatu desa, merupakan lembaga adat asli yang sejak dulu telah berfungsi untuk menyelesaikan sengketa (T. O. Ihromi, 1993). Di Minangkabau juga ada dikenal Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang masih cukup berperan menyelesaikan sengketa secara musyawarah mufakat (Anrizal, 1998), di Lombok ada begundem (Koesnoe, 1979).4

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

Studi empiris yang dilakukan oleh Rehngena Purba (1992) di Desa Rumah Kabanjahe, Tanah Karo menunjukkan bahwa runggun sebagai forum penyelesaian sengketa dengan pendekatan konsensus masih tetap eksis. Penelitian yang dilakukan di Kota Binjai menyimpulkan bahwa lurah merupakan salah satu tokoh yang banyak berperan sebagai mediator menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat (Runtung, 2004). Kedua, dengan melihat pengalaman yang terjadi di Amerika sebagai negara di mana masyarakatnya dikenal kecenderungannya menggunakan pengadilan cukup tinggi (litigation minded), ternyata mediasi perkembangannya sangat pesat. Di mana hingga tahun 1986 telah tercatat sebanyak 220 jaringan umum mediasi (public mediate network) yang beroperasi di seluruh 40 negara bagian, yang menangani sekitar 250.000 kasus per tahun, dengan sejumlah 1,5 juta orang yang terlibat di dalamnya (M. Yahya Harahap, 1997).

Pengertian Mediasi Terdapat banyak pengertian mediasi yang dikemukakan oleh para ahli. Kamus Hukum Ekonomi ELIPS (1997) memberikan batasan bahwa mediation, mediasi: salah satu alternatif pengelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah. Mediator, penengah: seseorang yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya. Christopher W. Moore menyebutkan bahwa mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan (Rachmadi Usman, 2003). Rachmadi Usman (2003) menyimpulkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (non-intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut disebut mediator atau penengah yang tugasnya hanya5

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan perkataan lain, mediator di sini hanya bertindak sebagai fasilitator saja. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi di tangan para pihak yang bersengketa. PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Batasan tentang mediator dan mediasi diatur dalam Pasal 1 angka 5 dan 6, sebagai berikut; Angka 5 : Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Angka 6 : Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan bantuan pihak ketiga. Dengan demikian mediasi merupakan perluasan dari proses negosiasi. Di mana pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mampu menyelesaikan sengketanya menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka dalam mencapai suatu kesepakatan.

Keuntungan Mediasi Terdapat beberapa keunggulan dari mediasi jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau arbitrase. Pemutusan perkara baik melalui pengadilan maupun arbitrase bersifat formal, memaksa, menengok ke belakang, berciri pertentangan dan berdasar hak-hak. Artinya, bila para pihak melitigasi suatu sengketa prosedur pemutusan perkara diatur ketentuan-ketentuan yang ketat dan suatu konklusi pihak ketiga menyangkut kejadian-kejadian yang lampau dan hak serta kewajiban legal masing-masing pihak akan menentukan hasilnya. Kelemahan-kelemahan dalam penyelesaian sengketa secara litigasi di negara-negara Barat dan Timur antara lain memakan waktu yang lama, memakan biaya yang tinggi, dan merenggangkan hubungan pihak-pihak yang bersengketa (Erman Rajagukguk, 2000).

6

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan juga menempatkan para pihak pada dua sisi yang bertolak belakang, satu pihak sebagai pemenang (winner), dan pihak lainnya sebagai pihak yang kalah (looser). Dalam bahasa Karo diumpamakan dengan bagi si naka buluh, sembelah i angkat, sembelah i perjak, yang artinya bagaikan membelah bambu, sebelah diangkat, sebelah lagi diinjak. Sehingga putusan pengadilan tidak pernah menyelesaikan masalah secara tuntas. Bahkan kemungkinan akan semakin meruncing dan meningkatkan eskalasi sengketa. Sebagaimana dikemukakan oleh seorang sosiolog hukum terkemuka Jepang bernama Takeyoshi Kawashima:membawa perkara ke pengadilan berarti mengisukan suatu tantangan umum, dan membakar suatu pertengkaran. Gagasan untuk menghindari penyelesaian sengketa secara litigasi dan anjuran berkompromi pernah disampaikan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1850 dengan ucapan: Discourage litigation. Persuade your neighbours to compromise whenever you can. Point out to them how the nominal winner is often a real loser in fees, expenses, and waste of time (http://www.inta.org/adr.html.:2000). Sedangkan mediasi sifatnya tidak formal, sukarela, melihat ke depan, kooperatif dan berdasar kepentingan. Seorang mediator membantu pihakpihak yang bersedia merangkai suatu kesepakatan yang memandang ke depan, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memenuhi standar kejujuran mereka sendiri. Seperti halnya para hakim dan arbiter, mediator harus tidak berpihak dan netral, tetapi mereka tidak mencampuri untuk memutuskan dan menetapkan suatu keluaran substantif, para pihak sendiri memutuskan apakah mereka akan setuju atau tidak (Gary Goodpaster, 1996). Dengan meminjam istilah Koesnoe yang disebutnya dengan ajaran menyelesaikan, sebagai lawan dari ajaran memutus. Ajaran menyelesaikan menitikberatkan pada penyelesaian sebuah sengketa dengan cara musyawarah mufakat, sehingga hasilnya dapat memulihkan kembali hubungan di antara para pihak yang bersengketa seperti sebelum terjadinya sengketa (Koesnoe, 1979). Christopher W. Moore (1995) mengemukakan ada beberapa keuntungan yang seringkali didapatkan dari hasil mediasi, yaitu: 1. keputusan yang hemat, mediasi biasanya memakan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan litigasi;7

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

penyelesaian secara cepat; hasil yang memuaskan bagi semua pihak; kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan customized; praktik dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif; 6. tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga; 7. pemberdayaan individu; 8. melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan dengan cara yang lebih ramah; 9. keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan; 10.kesepakatan yang lebih baik dari pada hanya menerima hasil kompromi atau prosedur menang-kalah; 11.keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.

2. 3. 4. 5.

Bekerjanya Mediasi Untuk membedakan proses negosiasi dengan mediasi, hanya terletak pada keterlibatan pihak ketiga netral (mediator) dalam proses mediasi. Oleh karena itu peran mediator sangat memegang peranan penting bagi keberhasilan suatu mediasi. Harus juga dipahami bahwa mediasi itu sendiri meliputi orang-orang dan interaksi dari orang-orang tersebut. Oleh karena itu tidak ada mediasi yang dapat menjadi efektif tanpa aspek-aspek berikut ini: 1. keberadaan perwakilan pihak-pihak dengan otoritas untuk menegosiasikan suatu penyelesaian sengketa; 2. keinginan pihak-pihak untuk mendapatkan solusi di luar pengadilan. Mediator yang terlibat dalam proses mediasi biasanya mereka-mereka yang dihormati dalam keluarga, masyarakat atau di kalangan profesi tertentu. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang itu dianggap berpengaruh dan berwibawa dalam masyarakat. Antara lain, sifat ketauladanannya, keahliannya, kekayaannya, atau karena kekuatan dan keberaniannya, ataupun karena gabungan dari beberapa unsur tersebut. Takeyoshi Kawashima (1988) mengatakan pada prinsipnya orang ketiga yang campur tangan untuk menyelesaikan pertikaian, si penengah, dianggap orang yang mempunyai status lebih tinggi dari pada pihak-pihak yang bertikai. Bilamana orang demikian mengusulkan kondisi untuk perbaikan hubungan, wibawa dan otoritasnya biasanya sudah cukup untuk mengajak kedua belah pihak untuk menerima penyelesaian.

8

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

Amir Ul Islam mengemukakan bahwa di Bangladesh ada satu bentuk mediasi tradisional yang dijumpai di desa dalam bentuk shalish, di mana tua-tua di desa sebagai mediator berusaha menyelesaikan sengketa (Valerine J.L.K., 1993). Di kalangan masyarakat Batak Karo anak beru sebagai salah satu unsur dalam sangkep si telu, selalu tampil sebagai mediator guna menyelesaikan sengketa yang terjadi pada kelompok kalimbubu-nya, baik diminta ataupun tidak diminta. Christopher W. Moore (1996) membedakan mediator dalam 3 tipe yakni: Pertama, social network mediators, yaitu mediator yang berperan dalam suatu penyelesaian sengketa atas dasar adanya hubungan sosial dengan para pihak yang bersengketa; Kedua, authoritative mediators, yaitu mediator yang berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan memiliki posisi yang kuat, sehingga mereka memiliki potensi atau kapasitas untuk mempengaruhi hasil akhir dari suatu proses mediasi. Akan tetapi authoritative mediator selama menjalankan perannya tidak menggunakan kewenangan atau pengaruhnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan atau pandangan bahwa pemecahan yang terbaik terhadap sebuah kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya sendiri selaku pihak yang berpengaruh, melainkan harus dari dihasilkan oleh upaya pihak-pihak yang bersengketa sendiri; Ketiga, independent mediators, yaitu mediator yang menjaga jarak antarpribadi maupun dengan persoalan yang tengah dihadapi. Mediator yang dapat digolongkan ke dalam tipe social network mediators ini di Indonesia antara lain: tua-tua adat di desa-desa, kelompok anak beru dalam masyarakat Batak Karo, tuan-tuan tanah, pemimpin agama, ketuaketua asosiasi, kepala desa, lurah, dan lain-lain, yang terlibat dalam penyelesaian sengketa sebagai penengah atas dasar adanya hubungan sosial dengan pihak-pihak yang bersengketa. Mediator yang dapat digolongkan ke dalam tipe authoritative mediators di Indonesia, antara lain: hakim pengadilan yang ditunjuk sebagai mediator berdasarkan PERMA Nomor 2 Tahun 2003, polisi yang melakukan diskresi guna mendamaikan perkara yang sedang ditanganinya.

9

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

Sedangkan mediasi yang dapat digolongkan ke dalam tipe independent mediators, belum ada dikembangkan di Indonesia. Hasil penelitian PT. Qipra Galang Kualita yang didukung oleh The Asia Foundation dan BAPPENAS, telah merekomendasikan bahwa satu jasa industri penyelesaian sengketa alternatif yang profesional sebagai cara untuk melembagakan penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia, dan asosiasi profesi para mediator dan arbitrator sebaiknya segera diciptakan. Kemungkinan untuk mengangkat mediator independen ini mulai dikembangkan melalui Undang-Undang No.25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 70 diatur bahwa ketentuan mengenai persyaratan untuk menjadi mediator, pengangkatannya dan tata kerja mediasi ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. PERMA Nomor 2 Tahun 2003 juga menghendaki adanya mediator independen sebagai mitra pengadilan menyelesaikan sengketa melalui mediasi. Model mediator ini mulai dipraktikkan dan dikembangkan di Amerika Serikat, seperti Public Mediation Center yang dibentuk berdasarkan Dispute Resolution Act, 1980. Agar mediator dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, seorang mediator harus memahami fungsi apa saja yang harus ia perankan dalam suatu proses mediasi. Fuller mengidentifikasikan ada 7 fungsi yang harus dijalankan oleh mediator (Leonard L. Riskin and James E. Westbrook, 1987), yaitu: Pertama, sebagai katalisator, yang mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi. Kedua, sebagai pendidik, berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, ia harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan di antara para pihak. Ketiga, sebagai penerjemah, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul. Keempat, sebagai narasumber, berarti seorang mediator mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia. harus

10

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

Kelima, sebagai penyandang berita jelek, berarti seorang mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan. Keenam, sebagai agen realitas, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui perundingan. Ketujuh, sebagai kambing hitam, berarti mediator harus siap disalahkan dalam membuat kesepakatan hasil perundingan. Tidak ada suatu persyaratan khusus keterampilan dan pengetahuan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat menjadi mediator. Adakalanya keterampilan dan kemampuan sebagai mediator sebagai bakat yang melekat pada diri seseorang. Namun demikian ada satu badan di Amerika Serikat yang bernama The Society of Profesional in Dispute Resolution (SPIDR) telah membentuk suatu komisi untuk mempelajari kualifikasi mediator dan arbitrator. Komisi ini telah mengidentifikasikan ada sembilan keterampilan sebagai persyaratan penting menjadi mediator, yaitu: 1. kemampuan untuk memahami proses negosiasi dan peran advokasi; 2. kemampuan untuk melahirkan kepercayaan dan mempertahankan tanggung jawab; 3. kemampuan untuk mengubah posisi pihak-pihak ke dalam kebutuhan dan kepentingan; 4. kemampuan untuk menyelidiki masalah-masalah non mediasi; 5. kemampuan untuk membantu pihak-pihak menetapkan pilihan kreatif; 6. kemampuan untuk membantu pihak-pihak mengidentifikasi prinsip dan kriteria yang akanmengarahkan pembuatan keputusan; 7. kemampuan untuk membantu pihak-pihak menetapkan alternatifalternatif non penyelesaian; 8. kemampuan untuk membantu pihak-pihak membuat pilihan-pilihan khusus; dan 9. kemampuan untuk membantu pihak-pihak menetapkan apakah perjanjian dapat dilaksanakan atau tidak. (Jacqueline M.Nolan-Haley, 1992). Dari 9 kemampuan yang diharapkan tersebut, satu kemampuan yang saya anggap merupakan prasyarat adalah kemampuan untuk melahirkan kepercayaan para pihak, karena tanpa adanya kepercayaan kedua belah11

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

pihak kepada mediator, bahwa mediator akan bersikap netral, dan kepercayaan bahwa mediator dianggap mampu untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui kesepakatan, mustahil proses mediasi dapat dimulai. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan kepercayaan para pihak terhadap mediator, mungkin dari pengalaman masa lalu bahwa mediator tersebut telah banyak mendamaikan perkara orang lain, atau karena mediator tersebut memang orang yang disegani di masyarakat. Hal ini hanya dimungkinkan jika pihak-pihak memang telah mengenal atau memiliki banyak informasi tentang diri mediator. Jika mediator masih merupakan orang yang asing bagi para pihak, atau salah satu pihak, maka salah satu cara yang cukup efektif dilakukan untuk melahirkan kepercayaan tersebut adalah dengan melakukan penelusuran interkoneksitas. Yang dimaksud dengan penelusuran interkoneksitas di sini adalah menelusuri hubungan sosial antara mediator dengan para pihak yang bersengketa, apakah itu hubungan keluarga (hubungan darah atau karena persemendaan), hubungan pekerjaan atau profesi, hobi, dan lainlain. Dalam memediasi sengketa-sengketa orang Batak Karo, salah satu sarana yang dianggap baik untuk membangun kepercayaan itu dengan melalui perkenalan (ertutur). Ertutur merupakan aktivitas yang selalu mengawali suatu proses mediasi, karena selain mampu menumbuhkan kepercayaan, ertutur juga dimaksudkan untuk menelusuri hubungan kekeluargaan (perkade-kaden). Sehingga di antara para pihak yang terlibat dalam proses mediasi dapat ditetapkan posisinya dalam struktur sangkep si telu (Runtung, 2002). Dengan bekal berbagai kemampuan yang telah dikemukakan di atas mediator diharapkan mampu melaksanakan perannya mendiagnosis dan menganalisis suatu sengketa tertentu. Kemudian mendesain serta mengendalikan proses intervensi lain dengan tujuan menuntun para pihak dalam mencapai suatu mufakat yang sehat. Dalam menjalankan perannya mediator memerlukan informasi sebanyakbanyaknya tentang sengketa yang dihadapinya dari pihak-pihak yang bersengketa, maupun pihak lain. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi tersebut. Seperti dengan mengamati sendiri apa yang12

dilakukan

pihak-pihak,

dan

bagaimana

mereka

bertindak

bila

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

berhadapan satu sama lain; mendengar dari penuturan para pihak, atau bertanya dilakukan kepada dengan para pihak atau pihak lain yang juga dianggap dapat dengan dengan memberikan informasi penting mengenai sengketa tersebut. Hal ini dapat pertemuan bersama. (Richard Bisa Hill, dilakukan yaitu menggunakan tertutup. Berkenaan dengan pendekatan caucusing ini Takdir Rachmadi (1994) mengemukakan bahwa proses perundingan dalam masyarakat Minangkabau lebih didasarkan pada pendekatan-pendekatan kepada masing-masing pihak dalam pertemuan terpisah atau bilik ketek antara penengah dengan satu pihak dari pada pertemuan lengkap para pihak. Kesamaan pandangan lebih dahulu dimatangkan melalui pendekatan-pendekatan semacam itu, sehingga dalam pertemuan lengkap para pihak tidak mengalami kesulitan dalam mencapai keselamatan. Dalam memediasi kasus-kasus orang Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi, lurah yang bertidak sebagai mediator pada umumnya menerapkan teknik caucusing ini. Biasanya para pihak baru dipertemukan setelah mediator meyakini akan tercapainya kata sepakat di antara mereka (Runtung, 2002). Satu hal yang penting diingat, adalah mediasi merupakan permainan informasi. Semakin banyak informasi mengenai sengketa tersebut yang diperoleh maka semakin besar kemungkinan untuk dapat menyelesaikannya. Oleh karena itu mediator harus memasang kuping lebar-lebar, dan jadilah sebagai pendengar yang baik. Jangan sekali-kali memotong pembicaraan dari pihak-pihak, biarkan saja ia mengeluarkan segala keluhan dan uneg-unegnya. Keuntungan lain dari penggunaan taktik caucusing ini mediator dapat memanipulasi informasi dari pihak-pihak demi untuk tujuan-tujuan yang positif. Hasil penelitian Runtung (2002) pada masyarakat perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi juga terungkap bahwa keberhasilan mediator menyelesaikan berbagai sengketa melalui mediasi tidak terlepas dari penggunaan taktik caucusing ini. Keberhasilan penggunaan teknik caucusing dalam memediasi sengketa-sengketa orang Batak Karo antara lain disebabkan metode ini sangat mendukung dan sesuai dengan sifat-sifat13

taktik

caucusing

1985),

mengadakan pertemuan pribadi dengan masing-masing pihak secara

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

orang Batak Karo yang mudah tersinggung (pergelut), temperamen tinggi, dan tidak mau mengungkapkan kelemahannya di muka umum. Agar peran yang dimainkan oleh seorang mediator dapat membantu para pihak yang bersengketa dapat mencapai penyelesaian, maka mediator harus menggunakan serangkaian taktik (kiat) dalam sebuah forum mediasi. Gary Goodpaster (1999) mengemukakan ada 4 taktik yang harus dimainkan mediator: Pertama, taktik pembuatan kerangka keputusan. Taktik ini dilakukan melalui langkah-langkah: menyusun agenda, upaya untuk menyederhanakan agenda, dengan mengeliminasi atau mengkombinasikan masalah-masalah; mengembangkan suatu kerangka kerja untuk negosiasi; menjaga agar negosiasi tetap terfokus; melakukan suatu upaya untuk menyelesaikan masalah yang sederhana dan masalah penentu atau yang lebih produktif serta mengubah harapan para pihak. Kedua, taktik mendapatkan wewenang dan mendapat kooperasi. Taktik ini dilakukan melalui suatu rangkaian langkah-langkah, seperti berupaya mendapatkan kepercayaan dari para pihak. Untuk itu sikap berat sebelah atas masalah tersebut harus dihindari. Dalam berbicara sebaiknya menggunakan bahasa para pihak. Mediator juga harus meyakinkan para pihak mengenai kejujuran dan itikad baik dari pihak lawannya, mengembangkan hubungan dan bersikap menyimak dengan aktif. Mediator lebih memberi bobot keuntungan ketimbang kemungkinan rugi, dan memberi bobot pada kemiripan dan kebersamaan, meminimalisir atau mengabaikan perbedaan-perbedaan. Mediator juga harus menghindari ciri pertikaian pada masalah. Ketiga, taktik mengendalikan emosi. Untuk itu langkah-langkah yang harus dilakukan menyusun aturan dasar bagi interaksi para pihak, mengendalikan sikap permusuhan dan menggunakan humor untuk meringankan suasana. Mediator juga harus membiarkan setiap orang untuk membersihkan atau mengenyahkan emosinya, memperlihatkan senang atau tidak senang atas perkembangan negosiasi dan memperlihatkan optimisme bahwa solusi itu mungkin. Selanjutnya membuat model perilaku yang tepat, dan membersihkan masalah yang berciri pertengkaran dari meja perundingan merupakan bagian dari taktik ini.

14

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

Keempat, taktik melakukan kaukus-kaukus untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya sebagai bahan untuk merumuskan alternatif-alternatif solusi yang akan ditawarkan kepada para pihak. Di samping itu bagi seorang mediator otoritatif dapat pula menggunakan strategi ancaman untuk mengarahkan para pihak kepada kesepakatan. Seperti yang pernah dilakukan oleh Kapolsekta Brastagi ketika memediasi kasus pidana pengrusakan Hotel M.H. yang dilakukan sekelompok pemuda Desa S.J., ternyata Kapolsekta Brastagi mengancam pihak pengrusak untuk melanjutkan pemeriksaan perkara, dan jika perlu menahan para tersangka, jika tidak tercapai perdamaian. Ternyata penggunaan strategi ini berhasil. Jumlah tahapan dalam proses mediasi bersifat variatif. Sifat proses ini bergantung kepada inti variabel yang berkisar dari masalah subyek sampai kepada gaya mediasi yang diterapkan. Akan tetapi ada aktivitas khusus yang berhubungan dengan proses mediasi yang bersifat konstan, yaitu: memeriksa sengketa, menjelaskan proses mediasi kepada pihak-pihak, membantu pihak-pihak dengan pertukaran informasi dan tawar menawar, serta membantu pihak-pihak mendefinisikan dan mendraf perjanjian. Kegiatan pemeriksaan kasus berkisar pada persoalan apakah masalah tersebut tepat sebagai obyek mediasi, dan apakah pihak-pihak siap menjalankan proses ini. Jika jawabannya positif, maka masih diperlukan penyelidikan berikutnya, yaitu apakah ada ketidakseimbangan kekuasaan di antara pihak-pihak yang bertikai? Apakah ada pihak-pihak yang siap untuk proses mediasi atau apakah mereka terlalu enggan untuk bernegosiasi? Tahap berikutnya yang perlu dilakukan mediator menjelaskan proses dan peranan mediator. Meskipun salah satu atau kedua belah pihak dapat memahami bagaimana mediasi bekerja, namun sangat bermanfaat apabila mediator menjelaskan prosesnya dihadapan kedua belah pihak dalam pertemuan bersama. Penjelasan ini terutama sekali berkaitan dengan identitas dan pengalaman mediator, sifat netral dari mediator, proses mediasi, mekanisme pelaksanaannya, kerahasiaannya, dan hasil-hasil dari mediasi. Selanjutnya mediator membantu pihak-pihak dalam pertukaran informasi dan proses tawar-menawar. Mediator dalam proses perundingan menjadi katalisator untuk mendorong lahirnya suasana yang kondusif bagi diskusi. Di samping itu tugas yang harus dilaksanakan mediator mengumpulkan15

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

semua informasi yang relevan, mengidentifikasi masalah-masalah yang sudah disepakati dengan yang belum disepakati dan menetapkan alternatifalternatif penyelesaian. Pada tahap akhir dari proses mediasi, mediator akan membantu pihak-pihak untuk menyusun kesepakatan. Kesepakatan mediasi dapat bersifat lisan atau tulisan.

Proses Mediasi Menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 6 ayat (3) s.d. (9), mengatur proses berlangsungnya mediasi, sebagai berikut: 1. adanya kesepakatan secara tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa atau beda pendapat mereka melalui seorang mediator; 2. apabila para pihak dalam waktu 14 hari dengan bantuan seorang mediator tidak berhasil mencapai kesepakatan, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator; 3. setelah penunjukan mediator, dalam waktu paling lama 7 hari usaha mediasi harus sudah dimulai; 4. usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait; 5. kesepakatan tersebut wajib didaftarkan ke pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanggal penandatanganan; 6. kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 hari; 7. apabila usaha perdamaian tidak dapat dicapai, para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan penyelesaian melalui arbitrase.

16

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF MENURUT PASAL 6 UU NO.30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

PENYELESAIAN MELALUI PERTEMUAN LANGSUNG PARA PIHAK (NEGOSIASI)Sepakat

30 Hari

30 Hari

Gagal

PENANDATANGAN AN KESEPAKATAN TERTULIS

PENDATARAN KESEPAKATAN KE PENGADILAN NEGERI

PELAKSANAAN KESEPAKATAN

KESEPAKATAN TERTULIS PARA PIHAK MENUNJUK AHLI ATAU MEDIATORGagal Sepakat

PARA PIHAK MENGHUBUNGI LEMBAGA ARBITASE ATAU LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA MENUNJUK SEORANG MEDIATOR

7 Hari

PROSES MEDIASI HARUS SUDAH DIMULAI30 Hari

GAGAL

SEPAKAT

PARA PIHAK BERDASARKAN KESEPAKATAN TERTULIS DAPAT MENGAJUKAN PENYELESAIAN MELALUI ARBITASE ATAU ARBITASE AD-HOC

17

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

Ketentuan tersebut mengandung beberapa kejanggalan dan terkesan dirumuskan secara tidak cermat, seperti: 1. ketentuan ayat (4), cukup membingungkan, karena jika penasihat ahli atau mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, yang berarti proses mediasi sudah mengalami kegagalan, untuk apa lagi para pihak menghubungi lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk mediator? Juga dalam ayat (4) tidak perlu ada kalimat para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase, dan juga ayat (9), karena selain hal ini mencampuradukkan proses arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, juga membatasi hak para pihak, karena jika kesepakatan tidak tercapai di antara arbitrase atau pengadilan; 2. ketentuan ayat (6), mengandung arti bahwa dalam setiap proses mediasi itu harus tercapai kesepakatan, padahal tidak selamanya proses mediasi berhasil mencapai kesepakatan. para pihak yang bersengketa melalui negosiasi atau mediasi, para pihak bebas memilih

Proses Mediasi Menurut PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Salah satu hal yang cukup sebagai menggembirakan alternatif berkenaan dengan di

pemberdayaan

mediasi

penyelesaian

sengketa

Indonesia adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung RI No.2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang mulai berlaku sejak tanggal 11 September 2003. Di mana melalui PERMA No.2 Tahun 2003 ini mediasi sudah dimasukkan ke dalam proses peradilan formal. Dalam Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Menurut PERMA Nomor 2 Tahun 2003 proses mediasi terdiri dari beberapa tahap, sebagai berikut: Tahap Pra Mediasi 1. setelah perkara perdata didaftar di pengadilan, ketua pengadilan menetapkan hakim/majelis hakim dari perkara yang bersangkutan;

18

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

2. pada persidangan yang pertama hakim mewajibkan para pihak yang berperkara untuk menempuh mediasi terlebih dahulu. Hakim menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh mediasi; 3. hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur mediasi; 4. paling lambat satu hari kerja setelah sidang pertama, para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib berunding untuk memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki pengadilan, atau mediator di luar daftar pengadilan; 5. jika dalam waktu satu hari kerja para pihak tidak atau kuasanya tidak sepakat menunjuk mediator, para pihak wajib memilih mediator dalam daftar pengadilan; 6. jika dalam waktu satu hari kerja para pihak tidak sepakat memilih seorang mediator dari daftar pengadilan, ketua majelis hakim berwenang menunjuk seorang mediator dari daftar pengadilan, dengan penetapan. Tahap Mediasi 1. Paling lama 7 hari kerja sejak pemilihan/penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen dan surat-surat yang diperlukan kepada mediator. 2. Proses mediasi berlangsung selama 30 hari untuk mediator dari luar daftar pengadilan, dan 20 hari untuk mediator dari daftar pengadilan. Dalam proses mediasi mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli. 3. Apabila mediasi berhasil mencapai kesepakatan: a. para pihak dengan bantuan mediator merumuskan dan menandatangani kesepakatan tertulis; b. para pihak memberitahukan hasil kesepakatan kepada hakim dan sekaligus dapat memohonkan pengukuhan kesepakatan; c. hakim mengukuhkan kesepakatan sebagai akta perdamaian oleh hakim; d. jika tidak dimintakan pengukuhan kesepakatan, pihak penggugat wajib mencabut gugatannya di pengadilan. 4. Apabila mediasi gagal menghasilkan kesepakatan: a. mediator wajib memberitahukan kepada hakim; b. hakim melanjutkan pemeriksaan perkara.

19

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

20

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

Tempat dan Biaya Mediasi Dalam 15 PERMA No.2 Tahun 2003 ditegaskan bahwa mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruangan pengadilan tingkat pertama atau ditempat lain yang disepakati para pihak. Jika penyelenggaraannya di ruangan pengadilan tidak dikenakan biaya, tapi jika di tempat lain biayanya ditanggung bersama oleh para pihak. Demikian juga halnya tentang honorarium mediator, jika yang digunakan mediator hakim tidak dipungut biaya, tetapi jika mediator bukan hakim biayanya ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Dalam PERMA No.2 Tahun 2003 juga terdapat beberapa kelemahan, yaitu: 1. adanya ketentuan yang kontradiksi, yaitu tentang sifat dari proses mediasi, di dalam Pasal 1 angka 11 dikatakan proses mediasi terbuka untuk umum, sedangkan dalam Pasal 14 dikatakan tidak bersifat terbuka untuk umum, bagi kecuali sengketa Padahal publik. salah Hal ini bisa membingungkan mediator. satu karakteristik

terpenting dari proses penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution) adalah sifat kerahasiaannya (tertutup); 2. tentang jangka waktu (time frame) yang disebutkan dalam Pasal 4, yang masing-masing hanya satu hari kerja saja, suatu hak yang dapat diprediksi tidak akan dapat dilaksanakan oleh para pihak atau kuasanya. Tidak ada ketentuan yang menegaskan kekuatan hukum dari kesepakatan tertulis yang dicapai melalui mediasi yang tidak dikukuhkan oleh pengadilan; dan juga tidak ditegaskan tindak lanjut dari kesepakatan yang telah dikukuhkan oleh pengadilan menjadi akta perdamaian, yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak.

Mediasi dalam Perkara Pidana Studi empiris menunjukkan bahwa mediasi tidak hanya dapat dilakukan terhadap sengketa-sengketa keperdataan saja, tetapi banyak kasus-kasus pidana yang diselesaikan di luar pengadilan melalui mediasi. Hasil penelitian di Kabanjahe dan Brastagi menunjukkan bahwa banyak kasus pidana orang-orang Batak Karo yang diselesaikan melalui kesepakatan. Salah satu di antaranya adalah kasus pidana pengrusakan yang dilakukan oleh sekelompok pemuda Desa S.J. terhadap Hotel M.H. di21

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

Brastagi, yang mengakibatkan kerugian materil yang cukup besar bagi pengusaha Hotel M.H. Sengketa ini dapat diselesaikan melalui mediasi, di mana waktu itu sebagai mediatornya adalah Kapolsek Brastagi (Runtung, 2002).

Pengembangan dan Pemberdayaan Mediasi di Indonesia Pengembangan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia dan di Amerika mempunyai latar belakang historis yang berbeda. Di Indonesia mediasi merupakan bagian dari tradisi dari masyarakat, oleh karena itu pengembangannya lebih dipengaruhi oleh faktor budaya. Namun seringkali faktor ketidakefisienan penyelesaian sengketa melalui pengadilan turut memperkuat komitmen mereka menggunakan mediasi. Sedangkan di Amerika mediasi secara sengaja dikembangkan karena pertimbangan efisiensi, guna menghindari penyelesaian sengketa di pengadilan yang dianggap tidak lagi efisien. Dengan demikian budaya masyarakat Indonesia telah memberikan landasan yang kuat bagi pengembangan mediasi di Indonesia. Berbagai upaya pengembangan dan pemberdayaan mediasi telah dilakukan di Indonesia. Temuan dari kajian diagnostik (BAPPENAS dan Bank Dunia) menggariskan bahwa beberapa catatan yang berkaitan dengan pengembangan penyelesaian sengketa alternatif. Antara lain: pertama, walaupun pola penyelesaian sengketa secara konsensus dan musyawarah telah dikenal dan mengakar dalam masyarakat, namun konsensus dan musyawarah sebagai embrio dari penyelesaian sengketa alternatif modern belum dipahami oleh masyarakat luas; kedua, pengembangan kelembagaan penyelesaian sengketa alternatif harus didasarkan pada praktik-praktik penyelesaian sengketa alternatif dalam masyarakat tradisional, sehingga lebih cepat diterima dan mengakar dalam masyarakat; ketiga, dukungan serta komitmen pemerintah terhadap penyelesaian sengketa alternatif sangat besar (Mas Achmad Santosa, 1999). Antara lain dengan pengembangan peraturan perundang-undangan sebagai landasan penerapannya. Seperti: 1. Di bidang lingkungan hidup melalui UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.22

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

2. Di bidang perburuhan melalui UU No.25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. 3. Di bidang keperdataan dan bisnis melalui UU No.30 Tahun 1999. 4. Di bidang hak atas kekayaan intelektual, melalui: a. UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten b. UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek c. UU No.29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman d. UU No.30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang e. UU No.31 Tahun 2000 tentang Desain Industri f. UU No.32 Tahun 2000 tentang Desain Tata letak Sirkuit Terpadu; dan g. UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Yang di dalamnya ada mengatur tentang alternatif penyelesaian sengketa sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa. 5. Di bidang perkawinan telah dibentuk Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) melalui SK Menteri Agama RI No.30 Tahun 1977. 6. Melalui PERMA No.2 Tahun 2003 tentang Mediasi di Pengadilan, mediasi telah dimasukkan sebagai bagian dari proses peradilan tingkat pertama. Suatu perkembangan baru yang cukup menggembirakan bagi pemberdayaan mediasi di Indonesia, adalah dengan diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah pada tanggal 4 Mei 1999, dalam Lembaran Negara No.60. Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting dari substansi undang-undang tersebut yang dianggap relevan dengan pemberdayaan mediasi di Indonesia. Pertama, diberikannya tugas dan kewajiban kepada kepala desa untuk mendamaikan perselisihan masyarakat di desanya. Yang berarti memberdayakan kepala desa sebagai mediator bagi penyelesaian sengketa warga masyarakat di desanya. Kedua, dimungkinkannya lembaga adat desa untuk berperan membantu tugas kepala desa mendamaikan perselisihan masyarakat. Ini berarti secara tersirat memerintahkan kepala desa untuk membentuk dan mengaktifkan kembali lembaga adat di desanya untuk membantu tugas-tugas kepala desa dalam menyelesaikan berbagai sengketa yang terjadi di desanya. Tidak terbatas pada sengketa perdata saja, tetapi juga kasus pidana. Ketiga, menegaskan bahwa segala perselisihan yang telah didamaikan oleh kepala desa itu bersifat mengikat pihak-pihak yang bersengketa. Dalam pemberdayaan mediasi di Indonesia masih terdapat banyak kendala, baik dari aspek substansi hukum (legal substance)-nya, aparatur hukum (legal structure)-nya, maupun budaya hukum (legal culture)-nya.

23

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

Dari aspek substansi bersifat sporadis dan sendiri hingga saat menyediakan mediator

hukumnya, pengaturan mengenai mediasi masih belum memadai. Dari aspek aparatur hukumnya ini belum ada dijumpai sentra mediasi yang independen.

Padahal UU menghendaki adanya mediator-mediator independen baik sebagai mitra pengadilan, maupun sebagai tempat masyarakat untuk menyampaikan keluhannya. Dari aspek budaya hukumnya, masyarakat belum mengenal dan belum memahami secara jelas bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa melalui mediasi modern ini. Di sektor penyiapan sumber daya manusia, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) bekerja sama dengan CDR Associates Boulder Colorado telah menyelenggarakan pelatihan untuk pelatih/instruktur mediasi pada bulan April 1998. Satu hal yang sangat menggembirakan adalah dua tahun terakhir ini beberapa fakultas hukum di Indonesia telah memasukkan mata kuliah alternative dispute resolution (ADR) sebagai mata kuliah kurikulum institusional. Seperti di Fakultas Hukum USU mata kuliah ADR menjadi mata kuliah wajib di Departemen Hukum Ekonomi.

KESIMPULAN 1. Pengembangan dan pemberdayaan mediasi sebagai alernatif penyelesaian sengketa di Indonesia merupakan pilihan yang tepat untuk mengurangi derasnya arus perkara yang masuk ke pengadilan; di samping pertimbangan budaya, di mana pola penyelesaian sengketa dengan pendekatan konsensus dan musyawarah mufakat telah lama dikenal dan mengakar dalam masyarakat Indonesia, juga secara empiris penyelesaian sengketa melalui mediasi mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan penyelesaian secara litigasi. 2. Kendala yang dihadapi dalam pemberdayaan mediasi di Indonesia, antara lain: a. Pengaturan mengenai dasar hokum bagi bekerjanya mediasi di Indonesia masih bersifat sumir dan sporadis. b. Minat masyarakat untuk mendirikan sentra-sentra mediasi masih rendah. c. Masih minimnya tenaga-tenaga mediator yang terampil.

24

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

SARAN 1. Perlu segera dibuat satu undang-undang tentang mediasi yang representatif dengan mengadopsi asas-asas mediasi modern, namun tetap memberi tempat bagi pengakuan mediasi tradisional yang ada dalam masyarakat adat di Indonesia. 2. Diharapkan pada Mahkamah Agung RI untuk menjalin kerjasama dengan fakultas-fakultas hukum untuk menyelenggarakan pelatihan mediasi, dalam upaya untuk melahirkan mediator-mediator yang memiliki keterampilan sebagai mitra pengadilan, dan juga sebagai motor penggerak pendirian sentra-sentra mediasi di Indonesa.

UCAPAN TERIMA KASIH Hadirin yang saya muliakan, Sebelum saya mengakhiri pidato pengukuhan ini izinkanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut berjasa dalam mengantarkan saya menjadi Guru Besar pada hari ini Ucapan terima kasih pertama sekali saya sampaikan kepada Bapak Menteri Pendidikan Nasional dan Bapak Direktur Jendral Pendidikan Tinggi yang atas nama pemerintah RI telah memberi kepercayaan dan kehormatan kepada saya untuk memangku jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum USU. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus saya ucapkan kepada Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K) baik selaku Rektor Universitas Sumatera Utara maupun secara pribadi yang sangat banyak berjasa dalam perjalanan studi maupun karir saya di Universitas Sumatera Utara. Beliau telah berkenan menerima saya sebagai peserta studi S-3 Ilmu Hukum melalui Program Ikatan Kerja di Sekolah Pascasarjana USU pada bulan Oktober 1999 yang seluruh biaya studi dan biaya hidup pesertanya ditanggung oleh USU. Program ini sengaja dibuka oleh Bapak Rektor untuk mengejar ketertinggalan kualitas SDM Fakultas Hukum USU. Melalui program ini dalam waktu 2 tahun 9 bulan saya berhasil meraih gelar Doktor pada tanggal 5 Juli 2002. Tanpa adanya Program S-3 Ikatan Kerja tersebut tidak mungkin saya dapat membacakan pidato pengukuhan Guru Besar pada hari ini. Kepercayaan yang Bapak Rektor berikan kepada saya untuk mengemban amanah sebagai Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana selama dua setengah tahun menggantikan25

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

Prof. Rehngena Purba, S.H., M.S. yang waktu itu diangkat menjadi Hakim Agung, dan sebagai Dekan Fakultas Hukum USU sejak bulan Juni 2005 hingga lima tahun ke depan, benar-benar saya sadari sebagai wujud dari kepedulian Bapak Rektor yang sangat besar bagi kemajuan karier saya di Universitas Sumatera Utara. Semuanya itu telah mengubah cita-cita dan mimpi saya ketika masih duduk di kelas VI SD Negeri 1 Kuala Mencirim, Langkat yang hanya menjadi guru SD saja. Namun berkat rahmat dan hidayah Tuhan Yang Maha Bijaksana yang telah membukakan hati setiap orang untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan dan karier saya, hari ini saya telah menjadi Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum USU. Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak dan Ibu para Pembantu Rektor, Ketua dan Sekretaris beserta seluruh anggota Dewan Guru Besar dan Senat Akademik Universitas Sumatera Utara, yang telah turut mempercepat proses pengusulan Guru Besar saya di tingkat Universitas Sumatera Utara. Demikian juga kepada Bapak Hasnil Basri, Siregar S.H., mantan Dekan Fakultas Hukum USU yang telah berkenan memproses dan mengirimkan berkas pengusulan Guru Besar saya kepada Bapak Rektor, saya sampaikan ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada Prof. Dr. Valerine J. L. Kriekhof, S.H., MA., Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM., Ph.D., Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H., Guru Besar (Emiritus) Fakultas Hukum USU, masing-masing selaku Promotor dan KoPromotor, Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LLM., Ph.D., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Prof. Muhammad Abduh, S.H., Guru Besar (Emiritus) Fakultas Hukum USU, masing-masing selaku Penguji Luar Komisi, yang telah banyak memberikan curahan ilmu dan perhatian yang begitu besar kepada saya selama studi S-3 di Sekolah Pascasarjana USU. Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada Prof. Rehngena Purba, S.H., M.S., Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, dan Guru Besar Fakultas Hukum USU, yang bagi saya, selain sebagai Penguji Luar Komisi dalam berbagai tahapan ujian disertasi S-3 dan Dosen senior saya di Fakultas Hukum USU, Prof. Rehngena Purba, S.H., M.S. dan almarhum Prof. Kitab Sembiring, S.H., juga saya anggap sebagai orang tua saya, yang tak henti-hentinya memberikan nasihat, bimbingan, curahan ilmu, kasih sayang, dan pengalamannya sebagai praktisi hukum kepada saya.

26

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

Kepada semua dosen saya selama mengikuti Program S-2 dan S-3 di Sekolah Pascasarjana USU, semua Dosen Fakultas Hukum USU yang mengajar dari tahun 1977 sampai dengan 1982, Kepala Sekolah dan GuruGuru SMA Negeri 1 Binjai yang mengajar dari tahun 1974 s.d. 1976, Kepala Sekolah dan Guru-Guru SMP Negeri 2 Binjai yang mengajar dari tahun 1971 s.d. 1973, Kepala Sekolah dan Guru-Guru kelas VI SD Negeri Kuala Mencirim yang mengajar tahun 1970, dan Kepala Sekolah dan Guru-Guru Kelas I-V SD Negeri Pekan Sawah dari tahun 1965 s.d. 1969, yang telah mendidik dan mencurahkan ilmunya kepada saya, juga ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada bapak-bapak para Pembantu Dekan, bapak-bapak dan ibu-ibu para Guru Besar, Dosen, Staf Administrasi beserta segenap sivitas akademika Fakultas Hukum USU saya juga tidak lupa mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kerjasama yang baik yang telah kita bina bersama. Selanjutnya ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., D r . S y a f r u d d i n K a l o , S . H . , M . H u m . , D r . T a n K a m e l l o , S.H., M.S., Dr. Muhammad Yamin Lubis, S.H., M.S., CN., Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S., Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI., Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., M.Hum., Malem Ginting, S.H., Kelelung Bukit, S.H., Maria Kaban S.H., M. Hum., Tambah Sembiring, S.H., Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.Hum., Dr. Darwinsyah Minin, S.H., M.S., Dr. Herawan Sauni, S.H., MS., Dr. Soleman Mantaiborbir, S.H., M.Hum., Dr. Supandi, S.H., M.H., dan Lalu Syafruddin, S.H., M.Hum., serta semua teman-teman yang tak dapat saya sebutkan namanya satu per satu yang selama ini selalu berbagi ilmu dan pengalaman, suka maupun duka. Terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada Mr. Manuel von Ribbeck, Mr. Nolan, dan Mrs. Monica, dari Nolan Law Group, Chicago, USA, Walikota Binjai, Bapak H. Ali Umri, S.H., MKn., dan Drs. Petronius Saragih, S.H., M.Sc., Kakanwil Wajib Pajak Besar, Ditjen Pajak, Jakarta, atas bantuan materi dan partisipasinya dalam acara pengukuhan saya ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Mama Tua H.Tinggi Sembiring, S.H. dan mami, Bapak almarhum Datuk H. Usman, S.H. dan ibu, Bapak Tengah Nggelem Sitepu dan keluarga, Bapak Nguda Aman Sitepu dan keluarga, Bibi Ng. br. Sitepu, adikku Menet Sitepu dan keluarga, dan semua keluarga besar Sitepu yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu

27

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

persatu, yang selama ini telah memberikan bantuan materil maupun moril dan mendoakan keberhasilan saya, juga diucapkan terima kasih. Terima kasih juga saya haturkan kepada Kak Tua Malem Peraten Tarigan dan abangda almarhum Ir. Dame Sinulingga, Kak Tengah Rimta Tarigan dan abangda almarhum Drs. Samin Purba, abangda Drs. Akor Tarigan beserta keluarga, abangda Armyn Tarigan beserta keluarga, abangda Ir.Balaman Tarigan, MM.beserta keluarga, dan abangda Muhammad Tarigan beserta keluarga, atas segala bimbingan, bantuan, perhatian dan doanya selama ini kepada kami sekeluarga. Dalam kesempatan ini saya juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada ayahanda tercinta Nasip Sitepu, dan ibunda almarhumah Persadan br.Ginting, yang telah mengorbankan segalanya untuk membesarkan dan menyekolahkan saya hingga ke perguruan tinggi. Pesan-pesan yang pernah ibu sampaikan takkan pernah saya lupakan, dan menjadi pembakar semangat saya untuk terus menuntut ilmu. Sebagai buah dari pengorbanan itu hari ini kupersembahkan kepada ayah dan ibu gelar tertinggi di bidang ilmu hukum. Kepada isteriku tercinta Farida Tarigan dan anak-anakku tersayang Faradila Yulistari, Yan Indra Fajar, dan Febrinka Ananda, kusampaikan rasa kasih sayang, dan penghargaan yang tulus dan mendalam atas ketabahan, kesabaran, pengorbanan, dan pengertian kalian, serta kemesraan dalam suka dan duka, terutama selama Bapak mengikuti pendidikan S-2 dan S-3. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada panitia, para hadirin, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan materil maupun moril, dan telah turut berpartisipasi dalam pelaksanaan pengukuhan ini. Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa diiringi dengan ucapan terima kasih dan permohonan maaf atas berbagai kesalahan dan kekhilafan, perkenankanlah saya mengakhiri pidato ilmiah ini. Wabillahi taufiq wal hidayah, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

28

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA Budiardjo, Ali dkk. 2000. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Cyber Consult. Goodpaster, Gary. 1999. Panduan Negosiasi dan Mediasi. Jakarta: Proyek ELIPS. Harahap, M. Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesian Sengketa. Bandung: PT. Citra Adytia Bakti. Haley-Jacqueline M. Nolan. 1992. Alternative Dispute Resolution in a Nuttshell. St. Paul-Minnesota: West Publishing Co USA. Ihromi, T. O. 1993. Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa, dalam T. O. Ihromi (Ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Koesnoe, Moh. 1979. Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya: Airlangga University Press. Kriekhof, Valerine J. L. 2000. Merelevansikan Hukum sebagai Ilmu tentang Kenyataan: Suatu Upaya Pemberdayaan Hukum Adat, dalam Satjipto Rahardjo (Ed), Wajah Hukum di Era Reformasi. Bandung: PT. Citra Adytia Bakti. Moore, Christopher W. 1996. The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict. San Fransisco: Jossey Bass Publisher. Purba, Rehngena. 1992. Runggun dan Fungsinya Menyelesaikan Masalah di Tanah Karo. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Riskin, Leonard and James E. Westbrook. 1992. Dispute Resolution and Lawyer. St.Paul-Minnesota: West Publishing C USA. Runtung. 2004. Pemberdayaan Lurah Sebagai Mediator dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Studi di Kota Binjai). Penelitian. Runtung. 2002. Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi. Disertasi. Universitas Sumatera Utara.

29

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

Santoso, Mas Achmad. 1999. Perkembangan ADRD Indonesia, Makalah Disampaikan dalam Lokakarya Hasil Penelitian Teknik Mediasi Tradisional, Diselenggarakan The Asia Fondation Indonesia Centre for Environmental Law, kerjasama dengan Pusat Kajian Pilihak Penyelesaian Sengketa Uinversitas Andalas. Di Sedona Bumi Minang, 27 November. Usman, Rachmadi. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung: PT. Citra Adytia Bakti. ADR in Trademark and Unfair http://www.inta.org/adr.html.:2000. Competition Disputes,

30

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

DAFTAR RIWAYAT HIDUP A. DATA PRIBADI Nama NIP Pangkat Tempat/Tanggal lahir Agama Nama Ayah Nama Ibu Nama Isteri Nama Anak

: : : : : : : : :

Alamat Kantor Jabatan

Prof. Dr. Runtung, S.H., M. Hum. 131 460 769 Pembina/IV/b Langkat/10 November 1956 Islam Nasip Sitepu Persadan br. Ginting Farida Tarigan 1. Faradilla Yulistari Sitepu 2. Yan Indra Fajar Sitepu 3. Febrinka Ananda Sitepu : Jalan Sei Kuala Nomor 8 Medan : Jalan Universitas No.4 Kampus USU Medan : Dekan Fakultas Hukum USU

B. PENDIDIKAN a. b. c. d. Lulus SD Negeri Kuala Mencirim, Langkat, tahun 1970. Lulus SMP Negeri 2 Binjai, tahun 1973. Lulus SMA Negeri 1 Binjai, tahun 1976. Memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum USU, tahun 1982. e. Memperloleh gelar Magister Ilmu Hukum, dari Sekolah Pascasarjana USU, tahun 1998. f. Memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum dari Sekolah Pascasarjana USU, tahun 2002. g. Mengikuti Pelatihan Hak atas Kekayaan Intelektual Angkatan IV, diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Hak Atas kekayaan Intelektual kerjasama dengan World Intellectual Property Organization, di Cimanggis, tahun 1997.

C. PEKERJAAN 1. Menjadi dosen tetap Fakultas Hukum USU, sejak tahun 1985 sampai sekarang. 2. Aktif sebagai pengacara praktik, dari tahun 1984 sampai tahun 1995. 3. Menjadi Asisten Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU, dari tahun 1998 sampai 2000.31

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

4. Menjadi Ketua Program Studi Magister Kenotariatan USU, dari tahun 2002 sampai tahun 2005. 5. Menjadi Koordinator Pusat Layanan Penyelesaian Sengketa Alternatif Bidang Kelautan dan Perikanan USU, kerjasama USU dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, dari tahun 2003 sampai sekarang. 6. Menjadi Senat Akademik Universitas Sumatera Utara, Wakil Dosen Bukan Guru Besar dari Fakultas Hukum USU, dari tahun 2004 sampai 2005. 7. Menjadi Anggota Senat Akademik USU ex officio, dari tahun 2005 sampai sekarang. 8. Menjadi Dekan Fakultas Hukum USU, periode 2005 2010.

D. KEGIATAN PENELITIAN 1. Penelitian Pelaksanaan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Sengketa Hak Ulayat dan Keberadaan hak Ulayat di Indonesia, kerjasama Program Studi Magister Kenotariatan USU dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, tahun 2003. 2. Penelitian mengenai Evaluasi Produk-Produk Akta PPAT yang Menimbulkan Masalah Pertanahan, kerjasama Program Studi Magister Kenotariatan USU dengan Puslitbang BPN, tahun 2004. 3. Penelitian tentang Pemberdayaan Lurah sebagai Mediator dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Studi di Kota Binjai), kerjasama dengan Pemko Binjai, tahun 2005.

E. SEMINAR NASIONAL DAN INTERNASIONAL, LOKAKARYA 1. 2. Focus Group Discussion Program Legislasi Nasional di Jakarta, tahun 2002. Peserta Seminar tentang Corporate Sector Workshop Transparansi dan Akuntabilitas Proses Pengadaan Barang Pemerintah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, di Medan, tahun 2003. Peserta Seminar Pemantapan Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif Bidang Kelautan dan Perikanan, di Medan, tahun 2003. Peserta Seminar Pemalsuan Dokumen dan Pemberitahuan yang Salah, di Medan tahun 2003.

3. 4.

32

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

5.

6. 7.

8.

9.

10.

11. 12. 13.

14.

15. 16.

Peserta Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional RI Reformasi Hukum di Indonesia melalui Prinsip Good Governance, tahun 2003. Penyaji dalam Seminar tentang Draf Perda Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Kabupaten Langkat, di Stabat, 2004. Penyaji dalam Seminar tentang Melalui Kepastian Hukum Berkaitan dengan Produk Pelayanan Pertanahan Akan Mendorong Terwujudnya Pembaharuan Agraria, di Bogor, 2004. Peserta Seminar Nasional Reformasi Kembar Hukum dan Ekonomi Sub Tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia, di Medan, 2004. Peserta Seminar Keliling: Pemanfaatan Sistem Hak Kekayaan Intelektual Oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang, di Medan, 2004. Peserta Seminar Pemberantasan Kejahatan di Bidang Kehutanan Melalui Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, di Medan, tahun 2004. Peserta Seminar tentang Penyebaran Informasi Instrumen Pengamanan Perdagangan WTO Anti dumping, Anti subsidi dan Safeguard, di Medan, 2005. Peserta Focus Group Discussion Amandemen Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, di Medan, 2006. Peserta Seminar Nasional Membangun Kejaksaan Agung yang Tangguh Untuk Memberantas Korupsi, di Medan tahun 2006. Peserta Seminar tentang Sistem Pengelolaan TKI Secara Terpadu Melalui Pendekatan Manusia Sebagai Modal (Human Capital) dalam Rangka Penanggulangan Masalah Ketenagakerjaan dan Pengangguran. Peserta Seminar tentang Revitalisasi dan Reinterpretasi Nilai-Nilai Hukum Tidak Tertulis dalam Pembentukan dan Penemuan Hukum, diselenggarakan BPHN kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, di Makassar, tahun 2005. Peserta Konferensi Asian Law Institute, di Singapura, tahun 2004. Peserta Lokakarya Kompetensi Lulusan Fakultas Hukum,di Jakarta, 2005.

F.

KARYA TULIS ILMIAH 1. Menulis Buku berjudul Penyelesaian Sengketa Alternatif: Keberhasilan dan Kegagalan, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan, tahun 2004. Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi, KANUN Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Syahkuala, No.37 Tahun XIII, Desember 2003.33

2.

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara

Perkawinan Antar Agama, Dilema dan Solusinya, JATISWARA Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Vol.19 No.3 April 2004. 4. Menuju Univikasi Hukum Harta Perkawinan di Indonesia, JATISWARA Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Vol.19 No.3 Juli 2004. 5. Perkembangan Budaya Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa di Beberapa Negara di Dunia: Suatu Studi Komparatif, MAHADI Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU, Tahun XIII No.02 April 2004. 6. Perlindungan Hak Cipta Karya Tulis di Indonesia, Majalah Perkasa PPS USU, Vol.4 No.7 September 2003. 7. Mengenal Hak-hak Atas Tanah Menurut Hukum Pertanahan Nasional dan Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Jurnal Compendium Ilmu Hukum dan Kenotariatan PPS USU, Vol.1 No.3 Desember 2003. 8. Kedewasaan dalam Berbagai Sistem Hukum, Jurnal Compendium Ilmu Hukum dan Kenotariatan, PPS USU, Vol2 No.4 April 2004. 9. Tindak Pidana di Bidang Hak Merek dan penegakan Hukumnya, dimuat dalam Buku Perilaku Hukum dan Moral di Indonesia. Kumpulan Tulisan Memperingati 70 Tahun Prof. Muhammad Abduh, S. H. 10. Pluralisme Hukum Mengenai Pengangkatan Anak di Indonesia, KANUN Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unsyah, No.39 Tahun XIV Agustus 2004.

3.

G. PENYULUHAN 1. Sebagai Penceramah tentang Status Hukum Harta Gono-gini dalam Perkawinan, disampaikan pada Anjangsana dan Pertemuan Bulanan Ikatan Keluarga Besar Isteri-isteri PT. Perkebunan Nusantara III, di Medan, 2003. 2. Penceramah tentang Materi Muatan Pokok dalam Penyusunan Perda Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, makalah disampaikan dalam Lokakarya Antar Instansi dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, di Stabat, tahun 2003. 3. Penceramah tentang Peranan Masyarakat dalam Penyusunan Perda, makalah disampaikan pada Pelatihan Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, di Medan, 2002. 4. Penceramah tentang Tata Cara Pendirian PT Menurut UU No.1 Tahun 1995 tentang PT, makalah disampaikan pada Ceramah Mengenai Proses Pendirian PT, diselenggarakan Pertamina Pangkalan Brandan, tahun 2004.

34

Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

35