Dr. Obsatar Sinaga - Pustaka Ilmiah Universitas...

224
Dr. Obsatar Sinaga

Transcript of Dr. Obsatar Sinaga - Pustaka Ilmiah Universitas...

Dr. Obsatar Sinaga

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT

© LEPSINDO

All right reserved

Penulis:Dr. H. Obsatar Sinaga

Editor :Dadi J. Iskandar

Desain :Adhy M. Nuur

Diterbitkan oleh:LEPSINDO

[email protected]

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT)ISBN : 978-602-96935-0-8

““Untuk Anak-anak & Istriku “

i

Kata PengantarDekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Padjadjaran

Kecenderungan regionalisme dan terbentuknya berbagai kelompok kerja sama, baik geografis

maupun fungsional, mewarnai era percaturan politik dan ekonomi global dewasa ini. Globalisasi tanpa disadari telah merasuki ranah kehidupan masyarakat-bangsa di jagat ini; bahkan telah ikut mengaliri urat nadi tatanan kehidupan negara-negara di muka bumi, termasuk di Indonesia.

Sebagai sebuah arus kekuatan yang dampaknya sulit dielakkan oleh Negara mana pun di dunia ini, mainstream globalisasi berwajah kembar: di satu sisi ia membuka peluang besar bagi kemajuan perekonomian Negara-negara yang mampu menyikapi secara proaktif-responsif, dengan bertumpu pada seperangkat kemampuan memanfaatkannya, sedangkan di sisi lain, arus globalisasi dengan segala dampak ikutannya ternyata tidak selalu berdampak menguntungkan, atau jangan-jangan malah merugikan, terutama bagi Negara-negara yang sedang berkembang.

Secara teoretis, persoalan utama dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas yang terindikasi mulai massif dewasa ini, sangat tergantung pada kemampuan menangkap peluang

ii

yang ada, sekaligus memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia. Memang tidak mudah, untuk katakan saja memberi definisi operasional terhadap ungkapan pernyataan tersebut. Dari perspektif akademis misalnya, suatu kajian yang mendalam perlu dilakukan sehingga diperoleh informasi yang akurat dan berguna dalam menghadapi tantangan tersebut. Kendatipun demikian, dapat dikatakan dalam bahasa terang, bahwa optimalisasi dari totalitas kemampuan dan kapasitas sumber daya yang dimiliki suatu bangsa merupakan kerangka dasar yang visioner yang perlu dikedepankan dalam upaya merespons secara positif arus kekuatan globalisasi. Berbagai pemahaman yang hanya memaknai arus globalisasi sekadar sesuatu hal yang buruk dan menyedihkan—karena kita merasa tidak atau belum siap, semestinya tidak menjadi wacana yang justru dapat mengganggu kesiapan kita menghadapi tantangan besar ini.

Dengan demikian, betapa mutlaknya peningkatan sumber daya manusia dalam arti yang seluas-luasnya, karena hanya dengan cara demikian kita dapat menampilkan keunggulan kompetitif (competitive advantage), atau daya saing yang akan menentukan keberhasilan dan kemajuan ekonomi suatu Negara-bangsa, termasuk bagi bangsa Indonesia.

Suatu hal yang menggembirakan, dalam beberapa tahun terakhir ini konstelasi dunia di bidang ekonomi dan perdagangan, tampak mulai bergerak secara berarti ke kawasan Asia-

iii

Pasifik. Rupanya hal ini tidak terlepas dari semakin meningkatnya bobot dan peranan Negara-negara industri di Asia Timur dan Asia Tenggara, antara lain melalui APEC dan AFTA.

Seiring dengan diterapkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana memberikan otonomi yang luas, nyata dan dinamis bagi setiap daerah di Indonesia, tentunya harus merangsang elit-elit dan stakeholders pembangunan di daerah untuk mewujudkan keberhasilan penerapan otonomi daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat daerah yang bersangkutan. Misalnya dengan mengembangkan kualitas produk terunggulkan yang memiliki daya saing ekonomi, selain membangun relasi atau jaringan kerja sama dalam pemasarannya. Dengan demikian, setiap daerah—sesuai dengan pemahaman otonomi yang di dalamnya terdapat desentralisasi, sudah selayaknya memiliki kecenderungan membuka diri, karena hal itu tidak bertentangan dengan globalisasi atau regionalisasi.

Dalam konteks tersebut, kerja sama luar negeri untuk memajukan perekonomian dan pemberdayaan potensi daerah, dalam kaitannya dengan perdagangan internasional dalam kerangka AFTA, merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Demikian halnya bagi Jawa Barat, yang memiliki potensi dan peluang yang besar dalam perdagangan, jasa, industri, dan agrobisnis, perlu merespons secara cermat dengan mengimplementasikan kesepakatan perdagangan

iv

bebas di kawasan Asia Tenggara (AFTA). Saya menyambut dengan rasa gembira

kehadiran buku Implementasi ASEAN Free Trade Agreement di Jawa Barat, yang ditulis Sdr. Dr. H. Obsatar Sinaga. Buku ini sangat menarik karena mengungkapkan, bahwa dalam implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat, ditemui beberapa faktor yang cukup berarti. Antara lain: tidak lancarnya komunikasi, terbatasnya sumberdaya, kurang sesuainya perilaku pelaksana, dan tidak jelasnya struktur birokrasi menjadi penyebab tidak tercapainya daya saing Jawa Barat di dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara. Selain itu juga, dalam buku ini mengungkapkan, bahwa implementasi suatu kebijakan tidak terlepas dari keadaan masyarakat atau publik dimana kebijakan tersebut diberlakukan.

Buku ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan sekaligus sebagai bahan pertimbangan bagi perumus kebijakan, serta pengayaan informasi bagi masyarakat pada umumnya. Sekaligus buku ini dapat meningkatkan rasa nasionalisme di tengah era globalisasi.

Selamat atas karya ini.

Bandung, Mei 2010

Prof. Dr. H. Asep Kartiwa, Drs., S.H., M.Si.

v

Seuntai Kata

Globalisasi perekonomian yang sedang berlangsung dewasa ini, maraknya liberalisasi

perdagangan, investasi maupun jasa baik pada tingkat regional maupun global telah menuntut negara-negara di seluruh dunia untuk meningkatkan kemampuan bersaingnya seiring dengan semakin terbukanya pasar internasional. Indonesia dalam hal ini juga tidak luput dari tuntutan yang sama dengan komitmen terhadap liberalisasi perdagangan ASEAN Free Trade Agreement (AFTA).

Hal itu perlu secara saksama dikaji karena dewasa ini pelaksanaan otonomi daerah telah membuka peluang keikutsertaan daerah sebagai salah satu komponen dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri. Pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri (Deplu) RI memberikan peluang seluas-luasnya kepada daerah untuk menjalin kerja sama dengan luar negeri. Buku ini merupakan salah satu upaya telaah kritis terhadap proses regionalisme ASEAN melalui implementasi AFTA dengan studi kasus di Jawa Barat.

Kami berharap buku ini dapat menjadi semacam referensi bagi para penstudi Hubungan Internasional untuk mendalami lebih lanjut

vi

kompleksitas Hubungan Internasional baik sebagai fenomena maupun disiplin ilmu yang bersifat interdisipliner, khususnya dinamika hubungan internasional di kawasan ASEAN.

Akhir kata, kami berharap kontribusi kami yang tertuang dalam buku ini bukan saja dapat bermanfaat bagi para penstudi dan peminat Hubungan Internasional di Indonesia namun juga dapat memperkaya khasanah referensi Hubungan Internasional berbahasa Indonesia dalam mengem-bangkan disiplin ilmu Hubungan Internasional di Indonesia.

Bandung, Mei 2010

vii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Padjajaran .............................................. iSeuntai Kata ............................................................... vDa ar Isi ...................................................................vii

BAB IPENGANTAR ............................................................ 1

BAB IIREGIONALISME ASEAN: PERSPEKTIF TEORETIS ................................................................ 172.1 Organisasi Internasional .................................. 172.2 Bentuk Organisasi Internasional..................... 312.3 Konsensus dalam Organisasi Internasional.. 342.4 Kerja Sama dalam Organisasi Internasional . 382.5 Kebijakan ........................................................... 42

2.5.1 Kebijakan Nasional ................................. 46 2.5.2 Politik Luar Negeri .................................. 47 2.5.3 Implementasi Kebijakan.......................... 50

2.6 Liberalisasi Perdagangan Agro ....................... 57 2.6.1 Motif Perdagangan dan Tekanan Liberalisasi ................................................ 58 2.6.2 Kebijakan Pemerintah di Bidang Agro.. 61 2.6.3 Skenario dan Dampak Liberalisasi ........ 62

2.6.3.1 Skenario Liberalisasi..................... 62 2.6.3.2 Sisi Positif dan Negatif Liberalisasi .................................... 63

viii

2.6.4 Pendekatan Daya Saing dalam Pengembangan Usaha Industri Agro ... 68

2.7 Kerangka Kerja untuk Analisis Implementasi AFTA di Jawa Barat .................. 69

BAB IIIKONFIGURASI PERKEMBANGAN LINGKUNGAN REGIONAL ............................... 753.1 Lingkungan Strategis ASEAN: Peluang dan Kendala......................................... 753.2 Struktur Organisasi dan Keanggotaan ASEAN................................................................. 833.3 ASEAN Free Trade Agreement (AFTA).......... 933.4 Kesepakatan AFTA Bagi Indonesia ................. 96

BAB IVSTUDI KASUS IMPLEMENTASI KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBASASEAN DI JAWA BARAT (BIDANG KOMODITAS AGRO) ......................................... 1074.1 Pengembangan Agrobisnis dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD) Jawa Barat 2005-2025 ....................................... 1094.2 Faktor-Faktor Daya Saing dan Model Strategi Pengembangan Ekspor Komoditas Agro Jawa Barat dalam Kerangka AFTA ..... 116

4.2.1 Faktor-Faktor Penentu Daya Saing Jawa Barat................................................ 116 4.2.2 Strategi Pengembangan Ekspor Komoditas Agro Jawa Barat dalam Kerangka AFTA ..................................... 119

ix

4.3 Kondisi Riil Kesiapan Jawa Barat Melakukan Implementasi AFTA Bidang Perdagangan Komoditas Agro (Model Edward III) .......................................... 123 4.3.1 Kegiatan Komunikasi ............................. 124 4.3.2 Faktor Transmisi dari Komunikasi....... 130 4.3.3 Kecenderungan dari Para Pelaksana (Disposisi)................................................. 160 4.3.4 Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)................................................... 1674.4 Implikasi Kebijakan ........................................ 173

BAB VPENUTUP ............................................................... 187

DAFTAR PUSTAKA ................................................ 191

x

BAB IPENGANTAR

Paska era Perang Dingin interaksi antarnegara dalam pola hubungan internasional sifatnya

semakin mengarah pada kompleksitas kepentingan yang lebih berorientasi pada bidang ekonomi daripada konteks hubungan yang mengarah pada politik dan keamanan. Terlihat dengan tumbuhnya kecenderungan regionalisme berdasarkan kepentingan ekonomi negara-negara yang ditandai dengan terwujudnya berbagai kerangka kerja sama bidang ekonomi yang bersifat regional.

Sejalan dengan perkembangan politik dan ekonomi dunia yang semakin pesat, kekuatan ekonomi dewasa ini mengacu pada sistem global, gejala pengelompokkan ekonomi regional semakin jelas, ditandai dengan munculnya blok ekonomi yang mengembangkan kerja sama regional seperti Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), Single European Market (UNI Eropa) dan North America Free Trading Area/NAFTA (Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko).

Globalisasi dan liberalisasi dikenali dengan meningkatnya kerangka kerja sama ekonomi antarnegara anggota organisasi internasional yang bersifat regional, cenderung erat dan berusaha menghilangkan berbagai hambatan di

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

2 Pengantar

bidang perdagangan secara koordinatif untuk memperkuat perekonomian regional dalam menghadapi tantangan blok ekonomi regional lain yang menimbulkan keyakinan efektivitas dan modalitas kerja sama internasional.

ASEAN adalah organisasi regional yang merupakan perhimpunan bangsa-bangsa, dibentuk oleh pemerintah lima negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, dengan ditanda-tanganinya deklarasi ASEAN yang terkenal dengan sebutan “Bangkok Declaration” oleh Wakil Perdana Menteri Malaysia dan para Menteri keanggotaan ASEAN mencakup hampir seluruh negara di kawasan Asia Tenggara kecuali keanggotaan negara Kamboja yang sampai saat ini masih ditangguhkan.

Isu mengenai “musuh” bersama, mampu membawa para anggota untuk menyadari pentingnya ASEAN. Ancaman Uni Soviet, misalnya, yang hadir di kawasan Asia Tenggara khususnya di Vietnam mampu memperkuat ikatan ASEAN dengan satu interpretasi bahwa perdamaian dan stabilitas nasional masing-masing negara anggota ASEAN harus ditingkatkan melalui perdamaian dan stabilitas regional.

Untuk itu, secara formal ASEAN merupakan kerja sama ekonomi, sosial dan budaya. Namun demikian, Deklarasi Bangkok yang memuat maksud dan tujuan dibentuknya ASEAN, juga mengacu pada upaya mewujudkan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

3Pengantar

perdamaian dan stabilitas regional yang bisa menunjang pembangunan nasional di segala bidang bagi negara anggotanya. Di samping itu juga untuk meningkatkan kerja sama yang aktif dan saling menguntungkan, membantu menyelesaikan masalah-masalah yang merupakan kepentingan bersama di bidang ekonomi, sosial, teknik, komunikasi, ilmu pengetahuan, administrasi.

Kerja sama intra-ASEAN bukan koordinasi yang bersifat integratif melainkan kooperatif dengan landasan utama musyawarah, kepentingan bersama, saling membantu dengan semangat ASEAN. Setelah lebih dari 30 tahun, ASEAN terkait dengan proses dinamis yang berlangsung sejak awal perkembangannya, para pendiri maupun pimpinan ASEAN menyadari realitas kehidupan sosial, budaya, ekonomi, latar belakang sejarah maupun sikap politik negara anggotanya masih menentukan saling pengertian satu-sama lain (international understanding) untuk mencapai dan memelihara kelangsungan harmonis di antara anggota. Untuk itu diperlukan adanya koordinasi dalam pencapaian tujuan ASEAN.

Pada konteks demikian, pertumbuhan ASEAN menurut sebagian pengamat relatif lamban, namun pengamat lain memandang sebagai konsekuensi upaya internal. Minimal hal ini merupakan tahapan dalam upaya memantapkan saling pengertian melalui penanggulangan dan pemupukan solidaritas

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

4 Pengantar

dan kesatuan sikap dengan kerja sama yang saling menguntungkan dengan memanfaatkan forum regional, bahkan dapat diartikan sebagai masa konsolidasi untuk menyelesaikan masalah persepsi yang negatif di antara anggota ASEAN sendiri.

Makna keyakinan tersebut melandasi pula upaya Indonesia untuk lebih memajukan perkembangan ASEAN hingga dewasa ini, yakni sejauh yang termanifestasikan pada kebijakan luar negeri Indonesia dalam bidang kerja sama intra-ASEAN di era globalisasi.

Globalisasi perekonomian yang sedang berlangsung dewasa ini, maraknya liberalisasi perdagangan, investasi maupun jasa baik pada tingkat regional maupun global, menuntut negara-negara di seluruh dunia untuk meningkatkan kemampuan bersaingnya seiring dengan semakin terbukanya pasar internasional. Indonesia pun tidak luput dari tuntutan yang sama dengan komitmen terhadap liberalisasi perdagangan ASEAN Free Trade Agreement (AFTA).

AFTA ditandatangani dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-IV tahun 1992. Peluncuran AFTA ini dilatarbelakangi oleh keberhasilan kerja sama regional lainnya seperti NAFTA, Pasar Tunggal Eropa, dan keinginan negara-negara anggota ASEAN sendiri untuk lebih membuka perekonomiannya. Melalui pembentukkan AFTA, ASEAN yang akan berpenduduk lebih dari 500 juta jiwa pada tahun

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

5Pengantar

2010 akan merupakan suatu pasar potensial, sekaligus mempunyai daya tarik yang lebih besar bagi investasi intraregional maupun dari luar ASEAN.

Upaya perwujudan AFTA ini sangat memberikan harapan. Hal itu secara jelas tercermin dari kesediaan negara-negara ASEAN untuk memulai pelaksanaan AFTA terhitung sejak tanggal 1 Januari 1993 ketika semua negara anggota telah menyampaikan jadwal penurunan tarifnya dan mencapai puncaknya pada tahun 2002 ketika suatu kawasan perdagangan bebas AFTA telah terbentuk di Asia Tenggara.

Indonesia mendukung diberlakukannya AFTA secara bertahap melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT), yaitu da ar barang-barang komoditi yang diperjualbelikan antar negara-negara ASEAN yang telah dikurangi tarif bea masuknya. Implementasi penurunan tarif beberapa komoditas yang tertuang dalam ketentuan CEPT dalam agenda AFTA terbagi dalam tiga kelompok yaitu:1. Katagori CEPT (Fast Track).2. Katagori Normal (Normal Track) dan3. Katagori perkecualian sementara (Temporary

Exclusion List)

Penurunan tarif dari beberapa komoditas tersebut telah dimulai pada tahun 1993 dan (diharapkan) akan berakhir pada tahun 2008. Maksudnya tingkat tarif seluruh komoditas manufaktur dan hasil olahan pertanian akan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

6 Pengantar

diturunkan menjadi 0 - 5% dalam waktu 15 tahun.

Hambatan-hambatan teknis dan nonteknis yang melingkupi perdagangan intra-regional ASEAN juga akan dihilangkan. Untuk komoditas yang termasuk dalam katagori cepat (fast track) yang meliputi 15 kelompok komoditas dan konon mencapai 40% dari volume perdagangan ASEAN, setiap negara anggota ASEAN bahkan diharapkan untuk mengurangi tingkat tarif pada perdagangan intra-ASEAN lebih kecil 5% paling lambat pada akhir tahun 2003.

Untuk komoditas yang termasuk dalam katagori perkecualian (temporary exclusion list), walaupun bersifat untuk sementara, negara anggota mempunyai komitmen moral untuk melepas status eksklusivitas itu pada akhir tahun 2001. Tahapan menuju ke sana telah dimulai, misalnya pada pertemuan para Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) ke-26 di Thailand (September 1994), penurunan tarif kedua jalur pertama (cepat dan normal) dapat diikhtisarkan sebagai berikut:1. Jalur Normal (normal track) Komoditas dengan tingkat tarif di atas 20%

akan dikurangi hingga 20% sebelum 1 Januari 1998, dan secara bertahap dikurangi dari 20% menjadi 0-5% sebelum 1 Januari 2003. Komoditas dengan tingkat tarif sebesar 20 % atau kurang akan dikurangi hingga 0-5% sebelum 1 Januari 2000.

2. Jalur Cepat (fast track)

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

7Pengantar

Komoditas dengan tarif di atas 20% akan dikurangi menjadi 0-5% sebelum 1 Januari 2000. Komoditas dengan tarif sebesar 20% atau kurang akan dikurangi hingga 0-5% sebelum 1 Januari 1998.

Secara keseluruhan melalui skema CEPT

terdapat lebih dari 14.800 komoditas yang termasuk dalam katagori cepat, dan hampir 26.000 dalam katagori perekonomian sementara.

Tabel 1.1Jumlah Komoditas dalam CEPT

Sumber: Sekretariat Nasional ASEAN, 2003.

Sejak tahun 2003 daftar perkecualian sementara umumnya meliputi bahan kimia, plastik dan sektor kendaraan bermotor yang mencapai lebih dari 45%. Dari da ar perekonomian itu, Indonesia bahkan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

8 Pengantar

memasukkan jumlah komoditas terbesar, yaitu sebesar 1.648 terutama pada sektor bahan kimia. Sementara Brunei memasukkan daftar perkecualian sementara pada sektor mesin dan barang-barang elektronik, kendaraan di Malaysia, tekstil di Filipina dan kendaraan di Thailand.

Sementara itu, hasil kesepakatan AEM ke-26 di Thailand (September 1994) juga antara lain memasukkan semua komoditas pertanian yang belum diolah ke dalam skema CEPT. Para anggota ASEAN pun sementara telah mengelompokkan komoditas pertanian ke dalam tiga jalur:

1. Da ar normal/cepat.2. Da ar perkecualian dan.3. Da ar sensitif.

Pada pertemuan tingkat Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) dan tingkat Menteri Pertanian dan Kehutanan ASEAN (AMAF) telah berhasil menghasilkan sejumlah da ar yang termasuk

ke dalam tiga katagori tersebut. Hal yang cukup

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

9Pengantar

mengagumkan adalah bahwa 68% dari hampir 200 komoditas yang semula tidak termasuk CEPT, kini telah dimasukkan dalam daftar normal cepat (immediate inclusion).

Tabel 1.2Komoditas Pertanian Belum Diolah

Sumber: Sekretariat Nasional ASEAN, 2007.Berdasarkan tabel 1.2 terlihat bahwa

komoditas yang masuk daftar cepat/normal sebagai agenda penting AFTA mencatat angka yang tinggi. Hal tersebut sekaligus menjadi penyebab lambatnya proses implementasi kebijakan AFTA secara menyeluruh. Hambatan pelaksanaannya adalah pertama, hambatan prosedur dan administrasi. Kedua, perbedaan tarif efektif di negara-negara anggota ASEAN atas suatu barang yang sama setelah dikenakan MOP (Margin of Preference). Ketiga, perbedaan kebijakan dan program di antara negara-negara atas produk yang termasuk dalam CEPT. Keempat, produk-produk CEPT masih terkena halangan nontarif, seperti pembatasan jumlah impor. Berdasarkan hal tersebut tentu saja dibutuhkan suatu terobosan bagi kerja sama ASEAN.

Meskipun AFTA sudah dilaksanakan sejak tahun 2003, namun pada kenyataannya terus mengalami kemunduran karena terdapat sejumlah produk-produk yang masih dipersoalkan tarifnya, terutama komoditas pertanian. Secara khusus, Indonesia sebagai salah

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

10 Pengantar

satu negara anggota ASEAN juga tidak dapat menghindar dari proses liberalisasi perdagangan di kawasan Asia Tenggara ini.

Sekretariat ASEAN (ASEAN Secretariat) memiliki perwakilan di setiap negara anggota ASEAN yakni Sekretariat Nasional ASEAN di bawah Departemen Luar Negeri. Dengan kata lain di era reformasi Indonesia, implementasi AFTA di tingkat nasional meliputi instansi terkait seperti Seknas ASEAN, pemerintahan pusat, dan pemerintah daerah. Hal itu perlu secara saksama dikaji karena dewasa ini pelaksanaan otonomi daerah telah membuka peluang keikutsertaan daerah sebagai salah satu komponen dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri. Pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri (Deplu) RI memberikan peluang seluas-luasnya kepada daerah untuk menjalin kerja sama dengan luar negeri.

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dalam beberapa pasalnya mengatur mengenai kerja sama dimaksud. Salah satu di antaranya disebutkan bahwa “daerah dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama”.

Sementara dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, antara lain disebutkan hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan pemerintah

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

11Pengantar

di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi masyarakat, LSM atau warga negara Indonesia (Pasal 1, Ayat 1).

Hubungan luar negeri diselenggarakan sesuai dengan Politik Luar Negeri, peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasaan internasional. Ketentuan ini berlaku bagi semua penyelenggara Hubungan Luar Negeri, baik pemerintah maupun non-pemerintah (Pasal 5, Ayat 1 dan 2).

Kaitannya dengan implementasi AFTA, Departemen Luar Negeri RI memberi peluang kepada daerah untuk melakukan kerja sama luar negeri dalam kerangka AFTA dengan berpedoman pada UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Peran Deplu yaitu memadukan seluruh potensi kerja sama daerah agar tercipta sinergi dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri. Selain itu, mencari terobosan baru, menyediakan data yang diperlukan dan mencari mitra kerja di luar negeri, mempromosikan potensi daerah di luar negeri, memberikan perlindungan kepada daerah, memfasilitasi penyelenggaraan hubungan luar negeri.

Kemudian sesuai dengan perkembangan ekonomi dan politik di dalam negeri, penyeleng-garaan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri tampaknya cenderung memberikan penekanan pada kepentingan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

12 Pengantar

ekonomi. Dalam mengintensifkan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri di bidang ekonomi, Indonesia lebih mendorong keterlibatan lembaga-lembaga non-pemerintah (second track diplomacy) di bidang ekonomi, seperti Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), baik di tingkat nasional maupun daerah.

Untuk mencapai tujuan tersebut, UU Nomor 37 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional telah memberikan dasar hukum yang lebih baik bagi koordinasi dan keterpaduan pelaksanaan hubungan luar negeri. Pola diplomasi yang kini berkembang pun tidak lagi semata-mata bertumpu pada jalur first track diplomacy yang bersifat formal antar pemerintah, melainkan juga semakin sering terlaksana melalui jalur second track diplomacy yang bersifat informal antarlembaga non-pemerintah.

Kaitannya dengan keterlibatan aktif pemerintahan daerah dalam proses perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara, Propinsi Jawa Barat mempunyai potensi dan peluang yang sangat besar menjadi salah satu pusat perdagangan, jasa, agrobisnis dan agroindustri terkemuka di Indonesia melalui pengembangan kerja sama luar negeri dalam kerangka AFTA.

Lebih lanjut, dasar hukum kerja sama daerah, khususnya Propinsi Jawa Barat, dengan luar negeri yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

13Pengantar

tentang Pemerintahan Daerah;2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional;

4. UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri;

5. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;

6. Keputusan Menlu RI Nomor SK.03/A/OT/X/2003/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri oleh Daerah;

7. Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pedoman Kerja sama antara Daerah dengan Pihak Luar Negeri.

Secara khusus, di Propinsi Jawa Barat telah dikeluarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pedoman Kerja sama antara Daerah dengan Pihak Luar Negeri.

Keputusan Gubernur Jawa Barat ini merupakan salah satu bentuk upaya sungguh-sungguh membangun kerja sama luar negeri dalam rangka pemberdayaan potensi daerah Jawa Barat, termasuk upaya keterlibatan Jawa Barat dalam perdagangan bebas komoditas pertanian di bawah aturan AFTA.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

14 Pengantar

Perkembangan agrobisnis dan agroindustri di Jawa Barat mempunyai prospek yang sangat baik. Hal itu dikarenakan beberapa faktor yakni didukung oleh sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah, permintaan komoditas dari dalam dan luar negeri tinggi, variabilitas produk yang dapat dihasilkan untuk pasar domestik dan ekspor tinggi, usaha dalam bidang agrobisnis dan agroindustri merupakan bisnis dengan nilai milyaran dollar sehingga dapat menjadi sumber devisa. Secara demikian pengembangan agrobisnis dan agroindustri dapat memiliki keunggulan komparatif dengan bangsa lain.

Hasil pengamatan awal di lapangan terdapat berbagai kendala yang dihadapi agrobisnis dan agroindustri di Jawa Barat antara lain: pertama, berkenaan dengan ketersediaan sumber logistik bahan baku yang memiliki ketidakpastian yang tinggi karena pemetaan potensi sumber bahan baku belum adikuat serta kapasitas, kualitas, dan kuantitas yang belum memadai karena kerap menerapkan manajemen uji coba (trial and error); kedua, masih terdapat mismanajemen dalam produksi, keuangan, perawatan, persediaan, dan organisasi; ketiga, masih terbatasnya informasi pasar yang dapat menunjang kelancaran distribusi dan pemasaran karena terdapatnya hambatan dalam akses dan distribusi informasi, sistem dan tataniaga, metode distribusi dan transportasi, implementasi MSTQ (Measurement, Standard, Testing and

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

15Pengantar

Quality) yang tidak berjalan dengan baik; keempat, masih rendahnya tingkat pelayanan purnajual dan nilai tambah komoditas karena latar belakang pendidikan, pengetahuan, teknologi dan inovasi yang masih rendah di kalangan petani serta standar mutu dan HAKI yang minim.

Kondisi di atas memunculkan ketertarikan untuk menelaah secara mendalam tentang bagaimana sebenarnya kondisi riil kesiapan komunitas pertanian Jawa Barat di dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara.

Alasan pemilihan komoditas pertanian karena dalam konteks implementasi AFTA terdapat empat da ar produk yang masuk dalam skema CEPT, yaitu:- Inclusion list (hambatan nontarifnya harus

dihapuskan dalam 5 tahun; tidak ada pembatasan kuantitatif);

- General exception list (daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional. Misalnya: senjata, amunisi, arkeologis, narkotik, dsb);

- Temporary exclusion list (da ar produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT. Misalnya: barang manufaktur, produk pertanian olahan);

- Sensitive list (produk pertanian bukan olahan.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

16 Pengantar

Misalnya: beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, cengkeh, dsb.

Tahun 2008 diharapkan semua negara anggota ASEAN sudah menerapkan skema CEPT terhadap sensitive list (produk pertanian bukan olahan). Padahal perdagangan agrikultur intra-ASEAN masih memiliki tingkat proteksi yang tinggi, hanya Singapura, Brunei (0%), Vietnam (0,92%) yang sudah menerapkan tarif di bawah 5%. Sedangkan Malaysia (5%), Filipina

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

17Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

BAB IIREGIONALISME ASEAN: PERSPEKTIF TEORETIS

2.1 Organisasi InternasionalPerkembangan peradaban manusia senantiasa

memerlukan adanya organisasi yang berkembang mulai dari organisasi yang bentuknya sederhana seperti organisasi keluarga, organisasi rukun tetangga, kelurahan sampai organisasi yang kompleks seperti organisasi negara/pemerintah. Keterkaitan organisasi dengan kehidupan manusia ditegaskan sebagai berikut: “Individu dengan organisasinya adalah tidak mungkin melepaskan diri dari jalin-menjalin. Adalah sangat sulit untuk memikirkan tentang seseorang tanpa orang lain. Orang itu banyak berbuat pada pekerjaannya dan menikmati manfaat yang besar dari organisasi. Keadaan itu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang besar dari organisasi” (Hicks dan Gullet, 1995:25).

Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa manusia dalam kehidupannya tidak akan terlepas dari suatu organisasi. Organisasi sangat diperlukan oleh setiap manusia dalam kelangsungan hidupnya. Tidak ada seorang pun dari umat manusia di dunia ini yang dapat menghindari suatu organisasi. Bahkan sejak dilahirkan sampai dengan mati pun manusia tetap terkait dengan organisasi.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

18 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

Begitu juga halnya dalam bidang manajemen, organisasi sangat berkaitan dengan manajemen dalam rangka menunjang pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Organisasi merupakan salah satu fungsi dari manajemen. Manajemen selalu berkaitan dengan kehidupan organisasional dimana terdapat seseorang atau sekelompok orang yang menduduki jabatan atau tingkatan kepemimpinan dan sekelompok orang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugas.

Keberhasilan seseorang bukan hanya dilihat dari kemampuannya secara individual, melainkan dari bagaimana kemampuannya dalam melaksanakan salah satu fungsi manajemen yang disebut actuating yaitu menggerakkan orang lain untuk melakukan tugasnya dalam kegiatan yang telah ditentukan dalam suatu organisasi.

Keterkaitan manajemen dengan organisasi adalah sebagai berikut: 1) Keberhasilan organisasi sesungguhnya merupakan hubungan antara kemahiran manajerial dan keterampilan teknis para pelaksana kegiatan operasional; 2) Kedua kelompok utama dalam organisasi yaitu kelompok manajerial dan kelompok pelaksana mempunyai bidang tanggung jawab masing-masing yang secara konseptual dan teorika dapat dipisahkan, akan tetapi secara operasional menyatu dalam berbagai tindakan nyata dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Siagian, 1988:4).

Beberapa faktor yang mempengaruhi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

19Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

keberhasilan suatu organisasi menurut Siagian (1988:5) antara lain:1. Mampu tidaknya kelompok manajerial dalam

organisasi menjalankan fungsinya.2. Tersedianya tenaga operasional yang matang

secara teknis dan mempunyai keterampilan sesuai dengan berbagai tuntutan tugas.

3. Tersedianya anggaran yang memadai untuk pembiayaan kegiatan.

4. Tersedianya sarana dan prasarana dalam menjalankan kegiatan.

5. Mekanisme kerja yang tingkat formalitasnya disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.

6. Adanya iklim kerja dalam organisasi yang harmonis.

7. Situasi lingkungan diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan kerja.

Faktor tersebut perlu dipahami setiap pimpinan organisasi untuk efektivitas tujuan dan kelangsungan perkembangan organisasi. Efektivitas organisasi merupakan tujuan yang ingin dicapai setiap organisasi, sedangkan ukuran untuk menentukan efektivitasnya adalah: 1) Produksi, 2) Efisiensi, 3) Kepuasan, 4) Keadaptasian, 5) Pengembangan (Gibson, 1994:34).

Dalam memahami organisasi internasional, perlu dipahami terlebih dahulu konsep-konsep dasar organisasi. Berbagai pengertian, definisi dan konsep tersebut, yang disajikan para pakar menunjukkan ada kesamaan arti secara mendasar, walaupun cara pengungkapannya berbeda-beda. Dapat dijelaskan sebagai rujukan antara lain

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

20 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

pendapat Hodges (1956: 114):“Organization was defined as the process of building, for any enterprise a structure that will provide for the separation of activities to be performed and for the arrangement of these activities in a framework which indicated their hierrachical importance and functional associations. (organisasi sebagai proses pembentukan bagi macam-macam badan usaha, suatu kerangka yang akan memberikan pembagian aktivitas yang dilakukan dan untuk pengaturan aktivitas-aktivitas ini dalam suatu kerangka yang menunjukkan kepentingan tingkatan mereka dan hubungan Internasional)”.

Sedangkan Mooney menyatakan bahwa: “Organisasi merupakan suatu bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya” (Manullang, 1990:67).

Merujuk pada konsep-konsep tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya organisasi mempunyai tiga unsur inti, yaitu:1. Adanya sekelompok orang-orang 2. Antar hubungan terjadi dalam suatu kerja sama

yang harmonis. Kerja sama didasarkan atas hak: a. Kejelasan tujuan;b. Pemahaman tujuan.

3. Penerimaan tujuan oleh para anggota. Kewajiban atau tanggung jawab masing-masing orang

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

21Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

untuk mencapai tujuan.Terdapat beberapa prinsip dasar yang perlu

dipahami oleh setiap anggota organisasi, yaitu:a. Adanya kesatuan arah;b. Kesatuan perintah;c. Fungsionalisasi;d. Deliniasi berbagai tugas;e. Keseimbangan antara wewenang dan

tanggung jawab;f. Pembagian tugas;g. Kesederhanaan struktur;h. Pola dasar organisasi yang relatif permanen;i. Adanya pola pendelegasian wewenang;j. Rentang pengawasan;k. Jaminan pekerjaan;l. Keseimbangan antara jasa dan imbalan

(Siagian, 1988:94).

Kemudian Allen dalam Sutarto (1988:44) mengemukakan bahwa prinsip organisasi adalah:

a. Objective (tujuan)b. Distribution of function (pembagian fungsi)c. Responsibility and authority (tanggung jawab

dan wewenang)d. Delegation (pelimpahan)e. Supervision (pengawasan)f. Control (kontrol).

Keberhasilan suatu organisasi dalam pengem-bangan ke arah yang telah diprogramkan sangat

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

22 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

tergantung kepada konfigurasi struktural yang dipilih. Hal ini menyangkut kemampuan seorang pemimpin organisasi untuk menentukan bentuk konfigurasi mana yang efektif dalam menjalankan pencapaian tujuan organisasi.

Jika kebutuhan organisasi sangat kompleks maka diusahakan untuk menggunakan konfigurasi struktural yang kompleks juga. Mintzberg menyatakan bahwa setiap organisasi mempunyai lima bagian dasar:1. The Operating Core

Para pegawai yang merupakan kelompok pelaksana yang melaksanakan pekerjaan pokok yang berhubungan dengan upaya menghasilkan barang atau jasa.

2. The Strategic ApexManajer tingkat puncak merupakan kelompok puncak strategis yang bertanggung jawab atas seluruh kegiatan organisasi.

3. The Middle LinePara manajer sebagai pimpinan pelaksana yang menjadi penghubung antara operating core dengan strategic apex.

4. The TechnostructurePara analis atau tenaga ahli yang bertanggung jawab atas efektifnya bentuk-bentuk standardisasi tertentu dalam organisasi.

5. The Support StaffOrang-orang sebagai staf pembantu yang mengisi unit staf yang memberi jasa pendukung tidak langsung kepada organisasi (Robbins,

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

23Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

1994:304).

Mengacu kepada pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa bagian yang bersifat mendasar dalam setiap organisasi dapat mendominasi organisasi tersebut. Bila kontrol bertitik berat pada operating core, konfigurasi ini akan melahirkan birokrasi profesional dan keputusan lebih bersifat desentralistis. Peranan strategic apex yang lebih dominan maka kontrol bersifat sentralistis dan organisasi akan berstruktur sederhana. Jika middle management memegang posisi mengontrol, maka organisasi bersifat divisional, karena merupakan kelompok-kelompok pelaksana yang pada dasarnya bersifat otonom. Apabila kontrol dipegang oleh para analis dalam teknostruktur maka akan melahirkan birokrasi mesin karena alat pengendalinya adalah pembakuan (standardisasi) dan jika kontrol dipegang oleh Support staff maka akan melahirkan adhocracy.

Organisasi mempunyai bermacam ragam dan bentuk juga dapat dilihat dari berbagai faktor. Dilihat dari kepastian tingkatan struktur menurut Hicks dan Gullet ada dua macam, yaitu:1. Organisasi formal

Organisasi formal adalah organisasi yang mempunyai struktur yang dinyatakan dengan baik yang dapat menggambarkan hubungan-hubungan wewenang, kekuasaan, akuntabilitas, dan tanggung jawab.

2. Organisasi informalOrganisasi informal disusun secara bebas,

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

24 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

fleksibel, tidak pasti dan spontan. Keanggotaan diperoleh secara sadar atau tidak sadar dan sukar untuk menentukan waktu yang pasti kapan seseorang akan menjadi anggota (Hicks dan Gullet, 1995:103).

Jika dilihat dari pendapat tersebut, jelas bahwa ASEAN merupakan suatu organisasi formal, yang pembentukan dan keanggotaannya ditentukan oleh peraturan.

Struktur organisasi digambarkan secara jelas, dimana terdapat pembagian tugas dan wewenang serta hubungan tugas antar unit-unit yang tergambar dalam struktur organisasinya dengan tujuan yang jelas dan sudah ditetapkan. Di samping itu organisasi disusun melalui berbagai kreasi, komunikasi untuk rencana perluasan organisasi yang disesuaikan dengan kesanggupan organisasi. Hal ini terlihat dari adanya pelaksanaan berbagai pertemuan yang diselenggarakan oleh ASEAN baik itu Konferensi Tingkat Tinggi ataupun Konferensi Tingkat Menteri dan pertemuan lainnya untuk mengkaji tindak, mengevaluasi eksistensinya dan menghasilkan kebijakan-kebijakan sebagai pedoman untuk bertindak.

Berdasarkan ruang lingkup daerahnya, klasifikasi organisasi terdiri atas:1. Organisasi Daerah

Organisasi daerah luas wilayahnya meliputi suatu satuan daerah sesuai dengan pembagian wilayah yang berlaku dalam suatu negara.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

25Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

Misalnya: Desa, Kecamatan, Kabupaten dan sebagainya.

2. Organisasi NasionalOrganisasi nasional luas wilayahnya meliputi seluruh daerah negara. Misalnya: Pemerintah Pusat.

3. Organisasi RegionalOrganisasi regional luas wilayahnya meliputi kawasan tertentu. Misalnya: ASEAN

4. Organisasi InternasionalOrganisasi Internasional luas wilayahnya meliputi seluruh atau sebagian negara anggota PBB. Misalnya: WHO (Sutarto, 1988:16).

Istilah umum yang digunakan untuk organisasi Internasional berdasarkan keanggotaannya adalah organisasi yang beranggotakan dua negara atau lebih disebut organisasi Internasional, sedangkan bila dilihat dari ruang lingkupnya bisa berbentuk organisasi Internasional yang bersifat regional dan global. Kedua sifat organisasi tersebut perbedaannya terletak pada ruang lingkup, tujuan dan maksud pendirian organisasi tersebut. Uraian berikut bermaksud untuk menjelaskan istilah organisasi Internasional dengan berbagai pertimbangannya. Organisasi Internasional dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan tujuan dan kontrak antar negara dan bangsa.

Organisasi Internasional mempunyai konsep yang kompleks yang dapat didefinisikan tergantung

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

26 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

kebutuhan analisis. Couloumbis dan Wolfe men-definisikan organisasi Internasional melalui tiga tingkat sesuai dengan permasalahannya, yaitu:1. International organization could be defined in

term of its intended purposes (Organisasi Internasional dapat didefinisikan menurut tujuan pembentukkan organisasi tersebut).

2. It could be defined in term of exsiting international institutions or term of ideal models and blueprints for future institutions (organisasi Internasional dapat didefinisikan dengan mengacu pada keberadaan lembaga-lembaga Internasional yang ada atau menurut model ideal dan cetak biru institusi-institusi di masa depan).

3. International organization could be defined as a process approximating government regulation of relations (organisasi Internasional dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mendekati pengaturan pemerintahan mengenai hubungan di antara para aktor negara dan nonnegara) (Couloumbis dan Wolfe, 1986:276).

Suatu organisasi Internasional dapat dipandang sebagai hal yang ekstrem bila sudut pandangnya adalah mengemukakan kemunculan pemerintah dunia, dan sebaliknya suatu uji coba dalam memacu kerja sama di antara negara-negara berdaulat.

Hal tersebut menjadikan negara-negara dewasa ini memiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang merupakan unit politik utama, maka perubahan, akomodasi dan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

27Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

perluasan hubungan antara negara dan kontrak-kontrak transnasional merupakan ciri meningkatnya kesalingtergantungan. Perwujudannya direfleksikan melalui eksistensi suatu organisasi Internasional.

Keberadaan organisasi Internasional dewasa ini semakin kompleks bentuknya, tujuan pembentukan-nya secara umum adalah:1. Regulation of international relations primarily

through techniques of peaceful settlement of diputes among nation states (Regulasi Hubungan Internasional terutama melalui teknik-teknik penyelesaian damai mengenai sengketa antar negara).

2. Minimization, or, at the least, control of international conflict and war (Meminimalkan atau paling tidak mengendalikan konflik/perang Internasional).

3. Promotion of cooperative, developmental activities among nation-states for the social and economic benefit of certain regions or humankind in general (Meningkatkan kerja sama dan pembangunan sosial ekonomi antar negara baik regional ataupun untuk manusia pada umumnya).

4. Collective defence of a group of nation-states against external threat (Pertahanan bersama sekelompok negara dalam menghadapi ancaman luar) (Couloumbis dan Wolfe, 1986:276).

Dari sudut pandang institusinya, Couloumbis dan Wolfe menggolongkan organisasi Internasional dalam kategori utama, yaitu inter-govermental

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

28 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

organizations (IGOs) dan Non Govermental Organizations (NGOs). IGOs beranggotakan perwakilan resmi suatu negara. Sedangkan NGOs private (swasta), terdiri dari kelompok-kelompok swadaya dengan orientasi bervariasi, bisa keagamaan, ilmu pengetahuan, budaya, kemanusiaan, teknik ataupun ekonomi yang tidak melibatkan pemerintah secara aktif.

Dari sudut pandang prosesnya organisasi Internasional dapat mengandung berbagai makna, paling tepat digambarkan sebagai suatu bentuk yang belum sempurna dari pengaturan global yang telah maju dari pemerintah nasional yang mempunyai kedaulatan dan memiliki klasifikasi khusus.

Perbedaan antara pemerintahan nasional dengan organisasi Internasional menurut Couloumbis dan Wolfe adalah:1. Subyek pemerintahan pada umumnya meliputi

individu-individu, keluarga-keluarga, desa-desa, kelas-kelas sosial, perusahaan, kota dan kelompok-kelompok nasional lainnya.

2. Subyek organisasi Internasional adalah Negara-negara yang mewakili pemerintahannya. Fungsi pemerintahan nasional biasanya inklusif dan sangat dalam meresap pada gaya hidup subyeknya, dan hanya mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap anggotanya dengan fungsi yang terbatas pada aktivitas-aktivitas tertentu.

3. Organisasi pemerintahan nasional mempunyai

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

29Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

pandangan yang berbeda dengan organisasi Internasional terhadap arti kedaulatan. Dalam organisasi pemerintahan nasional, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam arti tidak ada kekuasaan lain yang dapat melebihinya, tetapi dalam organisasi Internasional pengertiannya tak mutlak karena harus mempertimbangkan kedaulatan negara anggota lain. Negara berdaulat dalam arti selama dalam tindakannya itu tidak ada campur tangan asing.

Seringkali organisasi regional didefinisikan berdasarkan letak geografis tertentu dari sistem keanggotaannya. Seperti ASEAN yang merupakan organisasi regional dimana anggota-anggotanya adalah negara-negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara.

Namun organisasi regional bisa juga didefinisikan berdasarkan kepentingan khusus seperti halnya commonwealth, disebut organisasi regional padahal anggotanya tersebar di seluruh dunia sebagai negara bekas jajahan Inggris (Bennet, 1984:347).

Rumusan mengenai organisasi regional yang dapat lebih menjelaskan pengertiannya adalah mengacu pada pendapat bahwa:

“Regional organization is a segment of the world bound together by a common set of objectives based on geographical, social, cultural, economic, organization, political ties and possessing a formal structure provide for in formal intergovernmental agreements (Organisasi regional adalah

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

30 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

organisasi yang terikat oleh tujuan bersama yang didasarkan atas wilayah, sosial, budaya, ekonomi, atau ikatan politik yang memiliki struktur formal untuk menjalin kesepakatan-kesepakatan antar pemerintah)” (Bennett, 1984:348).

Dasar pembentukkan organisasi regional itu bervariasi, bisa berdasarkan kawasan tertentu, sosial, budaya, ekonomi, atau berdasarkan politik, tetapi yang penting adalah merupakan kerja sama antar negara dalam struktur organisasi yang formal.

Ciri-ciri keunggulan regionalisme yang disebut oleh Benne adalah bahwa suatu organisasi regional cenderung alamiah yang berdasarkan kondisi homogenitas dari kepentingan tradisi dan nilai dalam kelompok kecil negara-negara sekitar atau negara tetangga (Benne , 1984:348).

Integrasi politik, ekonomi dan sosial lebih mudah dilakukan dalam jumlah terbatas dalam kawasan tertentu daripada yang bersifat global. Kerja sama ekonomi regional terbukti lebih efisien dan berhasil dalam pemasaran dunia karena dalam bentuk-bentuk yang lebih kecil. Ancaman terhadap perdamaian lokal di kawasan dapat diselesaikan sendiri oleh pemerintah/negara yang tergabung dalam kawasan tertentu. Adanya berbagai organisasi regional dapat memelihara keseimbangan kekuatan, perdamaian dan keamanan dunia, juga merupakan langkah pertama untuk memelihara perdamaian dan pembangunan dalam bidang-bidang yang telah dikonsensuskan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

31Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

dalam kerangka koordinasi antar pemerintah dan dapat mengakomodasikan perbedaan-perbedaan yang lebih heterogen.

Regionalisme terbentuk atas dorongan perkembangan dan kemajuan bidang-bidang teknologi transportasi, teknologi komunikasi dan teknologi informasi.

2.2 Bentuk Organisasi InternasionalDalam buku ini, pembahasan bentuk

organisasi dititikberatkan pada IGOs karena dampaknya dalam hubungan antar pemerintah. IGOs diciptakan oleh dua negara berdaulat atau lebih. Mereka mengadakan pertemuan reguler dan mempunyai staf pekerja penuh waktu. Dalam IGOs kepentingan dan kebijakan negara anggota dikemukakan oleh perwakilan secara tetap. Keanggotaannya bersifat sukarela, secara teknik IGOs tidak akan mengganggu kedaulatan negara meskipun mungkin saja pada kenyataannya muncul sebagai pengganggu kedaulatan.

Lebih jauh Couloumbis dan Wolfe mengemukakan, IGOs dikatagorikan berdasarkan keanggotaan atau tujuannya, yaitu bersifat global, regional atau lainnya, contohnya liga bangsa-bangsa (LBB) atau perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dianggap organisasi global dengan keleluasaan anggotanya. IGOs regional seringkali didefinisikan berdasarkan letak geografis seperti ASEAN, atau berdasarkan kepentingan khusus. Organisasi Internasional adalah bentuk keterikatan bersama

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

32 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

dari tujuan berdasarkan wilayah, sosial, budaya, ekonomi, politik dan struktur formal yang mengatur persetujuan antar pemerintah. Klasifikasi IGOs adalah sebagai berikut: 1. General-membership and general-purposes

organizations. (organisasi yang keanggotaannya juga tujuannya umum). Katagori ini khusus dapat diacukan kepada PBB dan LBB. Organisasi seperti itu ruang lingkupnya adalah global dan melakukan berbagai fungsi, seperti keamanan, kerja sama sosial-ekonomi, perlindungan hak-hak azasi manusia, dan pembangunan serta pertukaran kebudayaan.

2. General-membership and limited purpose organizations (organisasi yang keanggotaannya umum dan tujuannya terbatas). Organisasi ini juga dikenal sebagai organisasi yang fungsional karena organisasi tersebut diabdikan kepada suatu fungsi yang spesifik. Contoh yang khas adalah badan-badan PBB seperti International Bank For Reconstruction and development (Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan, World Bank (Bank Dunia), International Labour Organization (ILO/Organisasi Buruh Internasional), World Health Organization (WHO/Organisasi Kesehatan Internasional), dan United Nations Educational. Scientific, and Cultural Organization (UNESCO/ Organisasi PBB Bidang Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan).

3. Limited-membership and general-purpose organizations (organisasi yang keanggotaannya

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

33Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

terbatas dan tujuannya umum). Organisasi seperti ini merupakan organisasi regional yang fungsinya bertanggung jawab dalam hal keamanan, politik, dan sosial ekonomi dan berskala luas. Contohnya adalah Organizations of American States (OAS/Organisasi Negara-negara Amerika), Organizations of African Unity (OAU/Organisasi Persatuan Afrika), Arab League (Liga Arab), dan European Communities (Masyarakat Eropa).

4. Limited-membership and limited purpose organizations (organisasi yang keanggotaannya dan tujuannya terbatas). Organisasi ini dibagi menjadi organisasi sosial-ekonomi dan organisasi militer/pertahanan. Contohnya adalah: Latin American Free Trade Association (LAFTA/Asosiasi Perdagangan Bebas Amerika Latin). Soviet-East European Common Market (Pasar Bersama Soviet-Eropa Timur) yang disebut Council for Mutual Economic Assistance (CMEA/Dewan Bantuan Ekonomi Bersama), North Atlantic Treaty Organization (NATO/Pakta Pertahanan Atlantik Utara) dan Warsaw Treaty Organization (Warsaw Pact/Pakta Warsawa) (Couloumbis dan Wolfe, 1986 : 278).

Organisasi-organisasi Internasional dapat dilihat dari struktur dan fungsinya. Organisasi ini didirikan berdasarkan pada perjanjian (treaty) atau persetujuan khusus. Negara-negara yang membentuk organisasi internasional sebagai

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

34 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

suatu alat dan forum untuk bekerja sama antar negara menawarkan sejumlah manfaat bagi seluruh ataupun sebagian besar negara anggotanya. Area kerja sama organisasi Internasional ini dapat berupa kerja sama di bidang politik, ekonomi, militer, budaya, sosial, teknik, hukum atau kerja sama yang bersifat pembangunan.

Hal tersebut lebih ditegaskan oleh Couloumbis dan Wolfe bahwa, organisasi Internasional mem-punyai peran yang sangat penting dimana fungsi utama dari organisasi tersebut adalah: 1. Menyelenggarakan kerja sama antarnegara/

bangsa;2. Saluran komunikasi dari berbagai masalah suatu

bangsa;3. Untuk melakukan perubahan kondisi, misalnya

dari situasi konflik ke arah kompromistis.

Berdasarkan fungsinya, organisasi Internasional berperan dalam menangani masalah-masalah yang bersifat Internasional yang terjadi sebagai refleksi kompleksitas dan meluasnya kehidupan dunia sehingga tidak dapat diselesaikan secara nasional, khususnya dalam hubungan Internasional.

2.3 Konsensus dalam Organisasi InternasionalPerbedaan aspirasi dan keinginan negara-

negara anggota ASEAN merupakan fenomena yang harus dipecahkan dalam menyusun program kerja. Setiap negara anggota ASEAN menyadari

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

35Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

dan berusaha untuk memadukan program kerja negaranya menjadi program kerja ASEAN yang akan menguntungkan ASEAN. Untuk itu perlu adanya ketepatan dalam pengambilan keputusan dengan memperhatikan kepentingan bersama dan pemilihan beberapa alternatif yang merupakan usulan-usulan dari anggota ASEAN.

Konsensus adalah pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan bersama secara mufakat. Hicks dan Gullet (1994:550) mengungkapkan bahwa “Pengambilan keputusan adalah proses suatu kegiatan dari sejumlah pilihan kegiatan adalah apa yang dimaksud dengan keputusan.”

Tingkat keputusannya menjadi sebagai berikut:1. Keputusan otomatis.2. Keputusan memori.3. Keputusan pengamatan.

Pengertian-pengertian yang membedakan kebijakan dengan keputusan, adalah:1. Kebijakan mempunyai ruang lingkup lebih luas

dari keputusan.2. Penelaahan dalam kebijakan dilakukan pada

langkah-langkah permulaan dan langkah-langkah selanjutnya.

3. Dalam keputusan tergantung kepada decision making, sedangkan pada kebijakan tergantung pada usaha penelusuran interaksi yang berlangsung antar individu kelompok organisasi (Wahab, 1989:34).

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

36 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

Keputusan adalah pengakhiran dari suatu proses perkiraan tentang apa yang dianggap sebagai masalah, sebagai suatu yang merupakan penyimpangan daripada yang dikehendaki, direncanakan atau dituju dengan menyatukan pilihan pada salah satu alternatif pemecahan” (Atmosudirjo, 1982:45). Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakekat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta

dan data, penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi dan pengambilan tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat.” (Suradinata, 1996:66).

Keputusan merupakan hasil pemilihan beberapa alternatif, jika keputusan merupakan suatu sistem, terdapat input, process dan output, maka pengambilan keputusan dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Sistem Pengambilan Keputusan ASEAN

Dari gambar tersebut, dalam pengambilan keputusan harus ada masukan yang diolah melalui suatu proses sehingga akan menghasilkan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

37Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

keluaran berupa pemilihan beberapa alternatif yang menyangkut kepentingan bersama. Pengambilan keputusan merupakan bagian dari proses

Dalam organisasi Internasional, tidak tertutup kemungkinan berkembangnya aneka pemikiran tentang berbagai isu. Hal ini cenderung untuk melemahkan organisasi itu sendiri, terutama dalam mencapai tujuan-tujuan prinsip sesuai dengan anggaran dasar atau statusnya. Karena organisasi Internasional didirikan berdasarkan suatu konsensus, maka dalam menghadapi permasalahan dalam kerangka eksistensi dan pelaksanaan fungsinya, dikenal suatu mekanisme yang disebut sebagai mekanisme konsensus.

Terdapat berbagai mekanisme konsensus, misalnya melalui voting dengan perhitungan suara setengah plus satu, dianggap sebagai suara mayoritas dan merupakan konsensus. Atas dasar konsensus ini setiap kebijakan dirancang dan dilaksanakan, karenanya akan membawa konsekuensi kekuatan yang mengikat (secara hukum) bagi negara-negara anggota untuk memenuhinya.

Dalam situasi yang tengah berubah (seperti halnya sistem Internasional dimana organisasi Internasional berbeda), diperlukan adanya suatu proses pembuatan kebijakan yang efektif, yaitu dengan berbasis pada suatu kosensus sosial yang kuat. Konsensus ini diperlukan dalam suatu dunia yang modern, yang menampakkan banyak perbedaan sistem, perubahan sosial yang tidak berimbang serta bermobilitas sosial yang tinggi.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

38 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

Negara-negara yang merasa memiliki tujuan yang sama dan membentuk organisasi Internasional karena berbagai hal kedinamisannya, akan menghadapi visi dan interpretasi tersendiri mengenai situasi dan kondisi dunia. Pada dasarnya mereka ingin memaksakan keinginannya dan mengambil keuntungan maksimal. Di sini timbul pergesekan kepentingan, yang dapat menjadi awal perpecahan dan ketidakutuhan organisasi mengadakan kesepakatan bersama yang dinamakan konsensus.

Dalam situasi tertentu, ada “konsensus politik”, yaitu konsensus yang melibatkan hubungan para pelaku yang berimbang atau setidaknya mendekati keseimbangan. Di sini masyarakat terdiri dari unit-unit politik (individu, kelompok dan negara) yang tingkat informasinya tinggi, aktif dan otonom, yang bersama-sama berupaya untuk mempertahankan kemerdekaan dan kemakmuran mereka, juga mengakui pentingnya kerja sama dan pengaturan koeksistensi bagi kepentingan mereka masing-masing demi kebaikan seluruh masyarakat. Konsensus di sini dapat diasumsikan sebagai suatu hal yang dipraktekkan dalam suatu masyakarat yang memiliki cukup barang dan jasa untuk memuaskan permintaan dan penawaran dari para anggotanya. Contoh penerapan konsensus ini, misalnya bahwa konsensus dalam hubungan antara AS dengan sekutu NATO-nya yang lebih kecil, seperti Portugal, Yunani dan Turki.

Dengan demikian dalam organisasi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

39Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

Internasional perlu ada konsensus untuk mempersatukan pandangan negara anggotanya, biasanya konsensus dibuat oleh adanya kesederajatan antaranggota, antara lain melalui “one state one vote”. Dalam arti lain, konsensus bisa dilakukan oleh negara-negara yang berperan politik pengaruhnya lebih besar.

2.4 Kerja sama dalam Organisasi InternasionalKerja sama dimaksud dalam arti kerja sama

Internasional. Dalam hal ini tingkah laku negara dapat mengacu kepada dua bentuk ekstrim, yaitu kerja sama atau konflik. Konflik sebenarnya diusahakan untuk dihindari, karena berdasarkan pengalaman telah memicu timbulnya peperangan, baik perang dunia maupun perang dingin, sebagian besar disebabkan adanya konflik (mispersepsi). Adanya pemahaman persepsi dengan pengetahuan yang penuh, sebaliknya dapat menghindarkan konflik dan mendorong ke arah kerja sama.

Kerja sama Internasional dapat terjadi karena adanya saling pengertian (mutual understanding) antara negara atau pemerintah yang satu dengan yang lain. Apalagi pada masa sekarang ini setiap negara yang ingin diakui eksistensinya tidak mungkin lagi terpenuhi secara domestik sehingga membutuhkan adanya ikatan dalam bentuk kerja sama untuk memenuhi kesalingtergantungan antar negara.

Dewasa ini kerja sama Internasional dapat diacukan pada kerangka multilateral, yaitu

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

40 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

kerangka yang diinginkan oleh suatu kerja sama Internasional karena dapat memberikan pengaturan yang dapat diaplikasikan oleh semua negara anggota, yang sebaliknya memenuhi kriteria nondiskriminatif dan penggabungan secara timbal balik, yang biasanya tercakup dalam suatu persetujuan Internasional.

Suatu konsep kerja sama melibatkan negara secara nyata hingga prinsip-prinsip dan praktek-praktek dari lembaga-lembaga yang ada. Arti kerja sama tersebut menyertakan asumsi tentang each participant’s rational advantage.

Bentuk-bentuk kerja sama regional masa kini dapat dijumpai di sektor seperti: European Economic Community (EEC). Central American Common Market (CACM), Association Of South East Asian Nations (ASEAN), dan lain-lain.

Organisasi-organisasi Internasional ini dapat dibedakan berdasarkan intensitas kerja sama dan tujuan pembentukannya. Terdapat perbedaan antara kerja sama di bidang ekonomi dengan integrasi ekonomi.

Suatu organisasi regional diklasifikasikan sebagai wadah dari kerja sama ekonomi, jika tujuan dari organisasi regional tersebut hanya untuk mengadakan koordinasi dalam kerja sama di bidang ekonomi tanpa mencantumkan perangkat-perangkat kerja sama untuk mencapai suatu integrasi ekonomi. Sedangkan integrasi ekonomi bertujuan untuk memadukan pasar dan perekonomian negara-negara anggota organisasi melalui beberapa tahapan.

Untuk mencapai tujuan mengadakan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

41Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

koordinasi dalam kerja sama di bidang ekonomi tersebut, diperlukan struktur organisasi yang bersifat “supranasional” di mana negara-negara anggota organisasi tersebut bersedia melimpahkan sebagian kedaulatannya, yaitu melalui pengambilan keputusan bersama oleh “organ pusat” yang bersifat mengikat.

Secara teoretis, integrasi ekonomi terdapat beberapa bentuk dan menunjukkan derajat intensitas integrasi, yaitu:

a. Free Trade Area (FTA) b. Customs Union (CU) c. Common Market (CM) d. Economic Union (EU) e. Total Economic Integration (TEI) (Departemen

Luar Negeri Republik Indonesia, 1996:15-17).

a. Free Trade Area (FTA)Dua negara atau lebih dapat dikatakan membentuk FTA apabila mereka sepakat untuk menghilangkan semua kewajiban impor (import duties) atau hambatan-hambatan perdagangan (trade barriers), baik dalam bentuk tarif (tariff barrier) maupun nontarif (non Tariff barrier) terhadap semua barang yang diperdagangkan di antara mereka, sedangkan terhadap negara-negara bukan anggota, masih tetap diberlakukan menurut ketentuan masing-masing negara. Dalam keadaan terjadi penghapusan tarif di antara sesama anggota, sementara terhadap pihak ketiga tetap dikenakan tarif, dimungkinkan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

42 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

terjadinya trade deflection. Artinya sulit untuk menghindari kemungkinan impor barang dari negara ketiga ke negara anggota yang mengenakan tarif yang relatif tinggi melalui negara yang mengenakan tarif yang relatif rendah.

b. Customs Union (CU) Dua negara atau lebih dikatakan membentuk CU bila mereka sepakat untuk menghilangkan semua kewajiban impor atau hambatan-hambatan perdagangan dalam bentuk tarif maupun nontarif terhadap semua barang yang diperdagangkan di antara sesama mereka, sedangkan terhadap negara-negara lain yang bukan anggota diberlakukan penyeragaman ketentuan. Hal ini ditempuh untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya trade reflection pada kondisi FTA.

c. Common Market (CM) Dua negara atau lebih dikatakan membentuk CM jika terpenuhi kondisi CU plus mengizinkan adanya perpindahan yang bebas dari seluruh faktor produksi di antara sesama negara anggota.

d. Economic Union (EU) Dua negara atau lebih dikatakan membentuk CU jika terpenuhi kondisi CM plus, adanya harmonis dalam kebijakan makroekonomi nasional di antara sesama negara anggota. Dengan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

43Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

begitu dapat dihindari kebijakan yang saling bertentangan dan kontroversial satu sama lain.

e. Total Economic Integration (TEI) TEI terwujud apabila telah terjadi penyatuan kebijakan makroekonomi maupun sosial dan memfungsikan suatu badan yang “supranasional” dengan kewenangan yang luas dan sangat mengikat.

2.5 Kebijakan Kebijakan merupakan hasil suatu proses, jika

melihat teori sistem, kebijakan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Adanya input

Dalam merumuskan suatu kebijakan yang terpenting adanya masukan, berupa berbagai informasi yang menyangkut kepentingan umum. bukan kepentingan pribadi. Informasi tersebut diharapkan sesuai dengan tuntutan, dukungan dan sumber-sumber yang ada pada masyarakat.

2. Adanya proses Dari berbagai tuntutan tersebut, pemerintah mempertimbangkan baik buruknya tuntutan tersebut disesuaikan dengan kemampuan dari pemerintah dan manfaatnya bagi kepentingan umum.

3. Adanya output Hasil dari proses tersebut dapat keluar suatu kebijakan atau peraturan yang diharapkan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

44 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

mampu menjawab berbagai fenomena masyarakat, dan membantu kendala-kendala bagi masyarakat bukan memberatkan (Islamy, 1984:7).

Kebijakan ASEAN mengandung aspirasi negara-negara anggotanya. Aspirasi yang dituangkan merupakan keputusan politik, ide-ide yang dimasukkan dalam program ASEAN merupakan kebijakan atau putusan politik. Dalam menentukan keputusan politik berpedoman pada beberapa faktor, antara lain: ideologi, konstitusi, undang-undang, anggaran, sumber daya, etika, moral, dan sebagainya. Alternatif politik secara umum meliputi program perilaku untuk mencapai tujuan masyarakat orang-orang yang akan menyelenggarakan kebijakan umum. Unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kebijakan adalah: 1. Jumlah orang yang ikut mengambil keputusan 2. Peraturan pembuatan keputusan 3. Informasi (Surbakti, 1992:190).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan adalah:

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

45Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

1. Lingkungan 2. Persepsi pembuat kebijakan 3. Aktivitas pemerintah 4. Aktivitas masyarakat perihal kebijakan (Surbakti,

1992:194).

Menurut Dunn, pada dasarnya efektivitas kebijakan sangat tergantung pada tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan, dan isi kebijakan tersebut. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut: Sumber: Dunn, 1995:63

Gambar 2.2Kaitan antara pelaku kebijakan, lingkungan

kebijakan dan kebijakan publik.Hogwood dan Gunn mengelompokkan

kebijakan sebagai: 1. Kebijakan sebagai merek bagi suatu bidang

kegiatan tertentu. 2. Kebijakan sebagai suatu pernyataan mengenai

tujuan umum atau keadaan tertentu. 3. Kebijakan sebagai usulan-usulan khusus .4. Kebijakan sebagai keputusan-keputusan

pemerintah. 5. Kebijakan sebagai pengesahan formal. 6. Kebijakan sebagai program. 7. Kebijakan sebagai keluaran. 8. Kebijakan sebagai hasil akhir. 9. Kebijakan sebagai teori dan model.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

46 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

10. Kebijakan sebagai proses (Wahab, 1989: 13-14).

Telah dijelaskan bahwa kebijakan adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk memecahkan masalah dengan berbagai tindakan terarah. Penyusunan kebijakan dapat dilakukan tidak hanya pada organisasi nasional, tetapi juga pada berbagai organisasi Internasional, baik regional maupun global.

Penyusunan kebijakan yang diambil oleh ASEAN juga merupakan pengambilan keputusan yang ditujukan untuk memecahkan suatu masalah dalam menyusun kebijakan-kebijakan. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Adanya dukungan (Support) 2. Adanya tuntutan (Demand) 3. Adanya sumber-sumber (Resources) 4. Adanya keputusan (Decision) 5. Adanya tindakan (Action) 6. Adanya kebijakan (Policy) (Islamy, 1984:46).

Faktor-faktor tersebut merupakan proses penyusunan kebijakan meliputi input yaitu dukungan, tuntutan, dan sumber-sumber output keputusan, tindakan, dan kebijakan (kebijakan ASEAN dalam menghadapi AFTA).

Kebijakan dalam konteks negara yang direferensikan pemerintah adalah serangkaian keputusan yang diproses dan dihasilkan atas kemufakatan bersama pada strategi-strategi di atasnya yang diimplementasikan dalam rangka

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

47Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

merespon isu tersebut. Kebijakan ini biasa disebut sebagai “kebijakan luar negeri” karena kebijakan tersebut merupakan respon suatu negara terhadap lingkungan eksternal yang merupakan bagian politik luar negeri. Kebijakan di sini adalah terjemahan dari kata policy, suatu political, yaitu tindakan yang telah disetujui (Lexicon, 1991:290)

Dengan demikian kebijakan dapat dibedakan dari kebijaksanaan, karena kata ini hanya berarti kearifan (wisdom) semata tanpa adanya unsur politis atau berpedoman pada strategi di atasnya, merupakan keputusan spontan dan dijadikan landasan ke dua belah pihak.

2.5.1 Kebijakan Nasional Setiap negara atau bangsa yang modern harus

membuat suatu kebijakan luar negeri untuk diim-plementasikan ke dalam lingkungan eksternalnya, baik lingkungan yang bersifat multilateral, regional maupun bilateral, dan dalam kerangka organisasi IGOs maupun NGOs.

Kebijakan luar negeri didefinisikan sebagai suatu strategi yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara/bangsa dalam upaya menghadapi negara lain, untuk mencapai tujuan nasionalnya yang spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional. (Plano dan Olton, 1990:5).

Hal tersebut masuk ke dalam konteks kebijakan nasional, yaitu suatu kebijakan negara yang dirancang oleh para pelaku nasional (elit politik nasional) negara tersebut dalam rangka

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

48 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

merespons lingkungan eksternalnya. Kebijakan nasional yang berkaitan dengan

operasional pembentukan AFTA perlu dibuat pedomannya berdasarkan pada suatu strategi dengan pertimbangan adanya kemajuan di bidang teknologi dan sistem ekonomi internasional yang membuat suatu negara/bangsa secara ekonomi dan budaya menjadi dekat satu sama lain. Inilah yang akan dimanisfestasikan melalui suatu politik luar negeri.

2.5.2 Politik Luar Negeri Politik luar negeri menurut Kusumaatmadja

adalah merupakan suatu pencerminan dari berbagai kepentingan nasional yang ditujukan ke luar negeri dan merupakan bagian dari keseluruhan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalnya (Kusumaatmadja, 1983:7).

Pendapat berikutnya adalah: “Reduced to its most fundamental ingredients, foreign policy consists of two elements : national objective to be achieved and means for achieving them. The interaction between national goals and the resources for a aining them is the perennial subject of statecra . In its ingredients the foreign policy of all nations, great and small, is the same”. (Jika dilihat dari unsur unsur fundamental, politik luar negeri terdiri dari dua unsur, yaitu tujuan-tujuan nasional yang akan dicapai dan alat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Interaksi antara tujuan-tujuan nasional dengan sumber-sumber untuk mencapainya

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

49Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

merupakan suatu subyek kenegaraan yang abadi. Dalam unsur-unsur tersebut terdapat politik luar negeri semua negara, baik besar maupun kecil adalah sama) (Couloumbis dan Wolfe, 1986:125).

Dalam setiap pembuatan kebijakan luar negeri, terdapat banyak tipe, tingkatan dan dimensinya. Dari hal-hal inilah kemudian dibedakan mengenai sifat dan karakteristik kebijakan yang diambilnya. Apakah itu bersifat kritis, penting atau hanya rutin saja. Di samping itu, kebijakan luar negeri dapat pula dilihat dari aspeknya. Antara lain apakah itu militer, politik, ekonomi, teknik, budaya, kemanusiaan dan tipe yang paling umum adalah kebijakan campuran.

Dalam setiap pembuatan kebijakan luar negeri, terdapat sasaran dan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu negara/bangsa, sedikitnya ada tiga kriteria yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Nilai yang berada pada tujuan atau tingkat

nilai yang mendorong pembuat kebijakan dan penggunaan sumber daya negara untuk mencapai tujuan.

2. Unsur waktu untuk mencapai tujuan.3. Jenis tuntutan tujuan yang dibedakan terhadap

negara lain di dalam sistem.

Tujuan tujuan berdasarkan kebijakan dikategorikan sebagai berikut:

a Core interest and values, yaitu tujuan yang mendorong pemerintah untuk

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

50 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

mempertahankan eksistensinya dan yang harus dicapai sepanjang waktu, serta mempertimbangkan perpaduan lingkungan Internasional dan kapabilitas negara. Tujuan inti ini umumnya berhubungan dengan kelangsungan hidup suatu negara dan dinyatakan sebagai prinsip dasar yang harus diterima tanpa dipertanyakan.

b Middle range objectives, adalah tujuan yang relatif kurang penting dan kurang segera dalam pembuatan keputusan dan lebih membutuhkan kerja sama dari negara lain. Banyak hal yang menjadi hirauan pada tujuan ini termasuk di dalamnya pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial dan lain sebagainya.

c Long Range Goals, yaitu tujuan yang paling kurang segera bagi pembuat keputusan, dan termasuk didalamnya rencana-rencana, harapan dan visi yang berkaitan dengan tujuan akhir organisasi politik dan ideologi dari sistem Internasional serta peraturan-peraturan hubungan negara tertentu (Holsti, 1987:145).

2.5.3 Implementasi KebijakanImplementasi kebijakan dapat diidentifi-

kasikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, baik secara individu maupun kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam kebijakan. Secara sederhana kegiatan implementasi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

51Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

kebijakan merupakan suatu kegiatan penjabaran suatu rumusan kebijakan yang bersifat makro (abstrak) menjadi tindakan yang bersifat mikro (konkret); atau dengan kata lain, melaksanakan keputusan (rumusan) kebijakan yang menyangkut aspek manajerial dan teknis. Proses implementasi baru dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun, serta dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut.

Menurut Howlet dan Ramesh (1995:153), “Its is defined as the process whereby programs or policies are carried out; it donotes the translation of plans into practice”. Kemudian Lane (1993:197) dalam bukunya The Public Sector; Concepts, Models, and Approaches menyebut Paul A Sabatier sebagai pionir dalam implementasi kebijakan khususnya analisis implementasi. Paul A Sabatier mengemukakan bahwa ada dua model yang dipacu (competing) dalam implementasi kebijakan yakni implementasi berdasarkan top down dan berdasarkan bo om up.

“Paul A. Sabatier, a pioneer in implementation analysis, raises some fundamental questions about the nature of implementation in a review of the present state of implementation theory (Sabatier, 1986). Although Sabatier’s analysis of the two competing models of implementation—topdown versus bottom-up implementation….”(Lane, 1993:90).

Jika dilihat dari model pembuatan kebijakan publik maka kedua aspek ini terdapat pada

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

52 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

setiap model dari pembuatan kebijakan tersebut, seperti model elite, model proses (sebagai aktivitas politik), dan model inkrementalis menggambarkan pembuatan kebijakan yang didasarkan pada model top down. Gambar dari model bo om up dapat dilihat pada model kelompok, model kelembagaan dan beberapa model lain yang jika digambarkan akan merupakan model yang berasal dari bawah (bo om up). Lebih lanjut dijelaskan oleh Lane bahwa pada dasarnya implementasi dapat dibedakan berdasarkan implementasi sebagai outcome dan implementasi sebagai suatu proses.

“In addition, because policy implementation is considered to depend on program outcomes, it is’ difficult to separate the fate of policies from that of their constituent programs…… Its success programs as designed. In turn, overall policy implementation can be evaluated by measuring program outcomes against policy goals. ” (Grindle,1980:7).

Hubungan antara kebijakan dan program dalam suatu implementasi kebijakan merupakan fungsi dari implementasi program yang mempunyai pengaruh dalam mencapai outcome sebagai konsekuensi dari studi implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan senantiasa melibatkan hasil penulisan dan analisis dari pelaksanaan program nyata yang mempunyai bentuk sebagai sarana yang dapat menjadi sasaran kebijakan yang luas.

Walaupun studi implementasi merupakan suatu pendekatan atau kecenderungan baru dalam studi Administrasi Negara (administrasi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

53Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

pembangunan), pada hakekatnya bukanlah hal yang sama sekali baru, paling tidak dalam arti konsep dan ruang lingkup yang telah lama menjadi bidang perhatian studi administrasi pembangunan. Namun harus diakui bahwa konseptualisasi, model, pendekatan penerapan dalam penulisan dan pengkajian terhadap proses pembangunan nasional, dengan studi kasus terhadap beberapa program pembangunan nasional tertentu, memang merupakan sesuatu yang relatif baru di Indonesia.

Masalah implementasi kebijakan (policy implementation) sejak kurang lebih dua dekade terakhir, telah menarik perhatian para ahli ilmu sosial, khususnya ilmu politik dan Administrasi Negara, baik di Negara maju atau industri maupun di Negara berkembang. Masalah implementasi kebijakan (pembangunan) telah menarik perhatian karena dari berbagai pengalaman di Negara maju dan di Negara berkembang menunjukkan bahwa terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhinya, mulai dari yang sederhana sampai yang rumit. Faktor tersebut antara lain berupa sumberdaya manusia sampai pada struktur organisasi dan hubungan kerja antarorganisasi; dari masalah komitmen para pelaksana sampai sistem pelaporan yang kurang lancar, dan dari sikap politisi yang kurang setuju sampai faktor lain yang sifatnya kebetulan.

Dalam kenyataan, hal itu dapat mempengaruhi program-program pembangunan, baik dalam arti mendorong keberhasilan maupun menjadi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

54 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

penyebab berbagai kegagalan atau kurang berhasilnya mencapai apa yang telah dinyatakan semula sebagai tujuan kebijakan dibandingkan dengan apa yang sesungguhnya terwujud dan diterima oleh masyarakat. Upaya untuk memahami adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang sesungguhnya terlaksana atau yang diwujudkan dan diterima oleh masyarakat sebagai “outcome” dari kebijakan telah menimbulkan kesadaran mengenai pentingnya studi implementasi.

Secara umum implementasi adalah meng-hubungkan antara tujuan kebijakan terhadap realisasi dengan hasil kegiatan pemerintah seperti yang dikemukakan oleh Grindle (1980:6) bahwa:

In general, the task of implementation is to establish a link that allows the goals of public policies to be realized as outcomes of governmental activity. It involves, therefore, the creation of a “policy delivery system”, in whuch specific are designed and pursued in the expectation of arriving at particular ends.

Menurut Lane (1993:191), implementasi dapat dinyatakan dalam formula-formula sebagai berikut:

(DF1) Implementation = F = (Intention, Output, Outcome). Dimana implementasi mengacu kepada menghasilkan output dan outcome yang kongruen dengan maksud awalnya. Dengan demikian implementasi memiliki pengertian

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

55Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

ganda, yaitu: (1) “eksekusi” di satu sisi dan, (2) “fulfil” atau penyelesaian (accomplishment) di sisi lain.Konsep implementasi mencakup dua hal pokok yaitu program kebijakan (policy) yang kemudian akan menghasilkan outcome. Tujuan-tujuan dari kebijakan dirumuskan oleh berbagai aktor dalam proses politik, sehingga definisi aktor ini meliputi dua kelompok yaitu formator dan implementator.Dengan mengembangkan formula awal, maka implementasi dapat dikemukakan dalam formula berikut:(DF2) Implementation = F (Policy, Outcome, Formator, Implementor, Initiator, Time).

Berdasarkan definisi implementasi kebijakan tersebut, maka menurut Lane (1993:91), terdapat dua konsep dalam implementasi yang memiliki fokus yang berbeda, yaitu:

1. Implementasi sebagai tujuan akhir atau pencapaian kebijakan (policy achievement). Focus dalam konsep ini adalah evaluasi, yaitu menilai (implementation judgment) sampai sejauh mana keberhasilan implementasi (fungsi penyelesaian/accomplishment function);

2. implementasi sebagai proses atau eksekusi kebijakan yang memberikan fokus pada prosesnya (fungsi sebab akibat/causal function).

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

56 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

Selanjutnya Lane mengemukakan bahwa konsep implementasi memiliki dua aspek, yaitu:

1. Hubungan antara tujuan (objective) dan hasil (outcome), sisi tanggung jawab (responsibility side);

2. Proses untuk membawa kebijakan kedalam efek yang merupakan sisi keepercayaan (trust side) (Lane, 1993:102)

Berdasarkan sisi tanggung jawab dan kepercayaan tersebut dalam proses kebijakan terdapat dua model, yaitu:

1. Top-down model yang memberikan tekanan berlebih pada sisi tanggungjawab (responsibility);

2. Bo om-up model yang menekankan pada sisi kepercayaan (trust side), yang berusaha untuk memberikan kebebasan kepada implementor, sebagai alat untuk menangani ketidakpastian dengan fleksibilitas dan pembelajaran (Lane, 1993:103).

Proses implementasi adalah kombinasi dari tanggung jawab (responsibility) dan kepercayaan (trust) dalam kaitan antara warga negara dan sektor publik secara umum, dan dalam hubungan antara politisi dan pejabat. Dalam proses implementasi sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak harus ada, yaitu: (1) adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan; (2) kelompok target, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran, dan diharapkan akan menerima

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

57Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

manfaat dari program tersebut, baik perubahan atau peningkatan; dan (3) adanya pelaksana (implementor), baik organisasi atau perorangan, yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan maupun pengawasan dari proses implementasi tersebut.

Ketidakberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan yang sering dijumpai antara lain disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya, struktur organisasi yang kurang memadai dan kurang efektif, dan atau karena komitmen (nilai) yang rendah di kalangan pelaksana. Faktor-faktor politik atau waktu yang kurang tepat serta bermacam alasan lainnya, turut pula mempengaruhi sebuah kebijakan atau program hingga tidak dapat terlaksana dengan baik.

Terdapat beberapa teori utama tentang implementasi. Donald S. Van Meter and Ccarl E. Van Horn (1978) menyatakan implementation as a linear process. Pandangan ini melihat implementasi meliputi proses linear yang terdiri atas enam variabel yang mengkaitkan kebijakan dengan performance: (a) Standar dan tujuan; (b) Sumber daya; (c) Komunikasi dan aktivitas antarorganisasi; (d) Karakteristik agen-agen implementasi; (e) Kondisi ekonomi, dan politik; (f) Sikap dari pelaksana.

Kemudian secara sederhana dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan penterjemahan dari pernyataan kebijakan ke dalam tindakan (Cooper, 1998:185). Keterkaitan yang sangat kuat antara perumusan kebijakan dan implementasi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

58 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

dikemukakan oleh Hogwood dan Gunn (Hogwood and Gunn, 1986:198).

“………there is not sharp divide between (a) formulating a policy and (b) implementing that policy. What happens at the so – called “Implementation” stage will influence the actual policy outcome. Conversely the probability of a successful outcome (which we define for the moment as that outcome desired by the initiators of the policy) will be increased if thought is given as the policy design stage to potential problems of implementation”.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perumusan kebijakan harus dilakukan dalam “perspektif” implementasi, agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan secara efektif.

2.6 Liberalisasi Perdagangan AgroSebagai negara ekonomi terbuka, situasi pasar

domestik di Indonesia tidak terlepas dari gejolak pasar dunia yang semakin liberal. Proses liberalisasi pasar tersebut dapat terjadi karena kebijakan unilateral dan konsekuensi keikutsertaan meratifikasi kerja sama perdagangan regional maupun global yang menghendaki penurunan kendala-kendala perdagangan (tarif dan nontarif).

Isu liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan komoditas di pasar internasional dalam era globalisasi dewasa ini, tidak terkecuali perdagangan komoditas agro. Sebagai negara

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

59Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

ekonomi terbuka dan ikut meratifikasi berbagai kesepakatan kerja sama ekonomi dan perdagangan regional maupun global, tekanan liberalisasi melalui berbagai aturan kesepakatan kerja sama tersebut, bukan tidak mungkin pada akhirnya akan berbenturan dengan kebijakan internal dan mengancam kepentingan nasional.

2.6.1 Motif Perdagangan dan Tekanan Liberalisasi Menurut Chacholiades (1978:5) partisipasi

dalam perdagangan internasional bersifat bebas (free) sehingga keikutsertaan suatu negara pada kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela. Dari sisi internal, keputusan suatu negara melakukan perdagangan internasional merupakan pilihan (choice). Oleh sebab itu sering dikatakan bahwa perdagangan seharusnya memberikan keuntungan pada kedua pihak (mutually benefited). Dalam sistem ekonomi tertutup (autarky) negara hanya dapat mengkonsumsi barang dan jasa sebanyak yang diproduksi sendiri. Akan tetapi dengan melakukan perdagangan (open economic) suatu negara memiliki kesempatan mengkonsumsi lebih besar dari kemampuannya berproduksi karena terdapat perbedaan harga relatif dalam proses produksi yang mendorong spesialisasi (Chacoliades, 1978:7; Chaves et al., 1993:19). Perbedaan harga relatif itu muncul sebagai dampak perbedaan penguasaan sumberdaya dari bahan baku proses produksi (resource endowment) antar negara. Derajat penguasaan sumberdaya dan kemampuan mencapai skala usaha dalam proses produksi secara

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

60 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

bersama akan menjadi determinan daya saing dan menentukan arah serta intensitas partisipasi negara dalam pasar internasional (Susilowati, 2003:17).

Ilham (2003:9) menyebut liberalisasi sebagai penggunaan mekanisme harga yang lebih intensif sehingga dapat mengurangi bias anti ekspor dari rezim perdagangan. Disebutkan pula bahwa liberalisasi juga menunjukkan kecenderungan makin berkurangnya intervensi pasar sehingga liberalisasi dapat menggambarkan situasi semakin terbukanya pasar domestik untuk produk-produk luar negeri. Percepatan perkembangan liberalisasi pasar terjadi karena dukungan revolusi di bidang teknologi, telekomunikasi dan transportasi yang mengatasi kendala ruang dan waktu (Kariyasa, 2003:7).

Menurut pendapat Kindleberger dan Lindert (1978:9), perdagangan antar negara sebaik-nya dibiarkan secara bebas dengan seminimum mungkin pengenaan tarif dan hambatan lainnya. Hal ini didasari argumen bahwa perdagangan yang lebih bebas akan memberikan manfaat bagi kedua negara pelaku dan bagi dunia, serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan. Dijelaskan oleh Hadi (2003:17), selain meningkatkan distribusi kesejahteraan antar negara liberalisasi perdagangan juga akan meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan peningkatan efisiensi ekonomi.

Namun demikian, oleh karena terdapat perbedaan penguasaan sumberdaya yang menjadi komponen pendukung daya saing, sebagian pakar

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

61Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

yang lain berpendapat liberalisasi pasar berpotensi menimbulkan dampak negatif karena mendorong persaingan pasar yang tidak sehat. Atas dasar itu maka timbul pandangan pentingnya upaya-upaya proteksi terhadap produksi dalam negeri dan kepentingan lainnya dari tekanan pasar internasional melalui pemberlakuan kendala atau hambatan perdagangan (Abidin, 2000: 89).

Pada kondisi semakin kuatnya tekanan untuk meliberalisasi pasar, efektivitas pemberlakuan kendala atau hambatan tersebut dalam perdagangan akan menentukan derajat keterbukaan pasar. Keterbukaan pasar semakin tinggi bila pemerintah suatu negara menurunkan tarif (bea masuk) produk yang diperdagangkan (tariff reduction) dan menghilangkan hambatan-hambatan nontarif (non tariff barriers). Hal sebaliknya terjadi bila pemerintah cenderung menaikkan tarif dan meningkatkan hambatan nontarif.

Secara internal, Indonesia mulai mereformasi kebijakan di bidang perdagangan sejak pertengahan dekade 1980-an, ketika terjadi penurunan harga minyak mentah di pasar dunia yang merupakan andalan ekspor nasional. Namun dalam hal ini pemerintah melakukan serangkaian deregulasi ekonomi untuk mendorong ekspor yang menghasilkan devisa (Erwidodo, 1999:17; Feridhanusetyawan dan Pangestu, 2003:57).

Makin terbuka dan terintegrasinya perdagangan (pasar) antar negara juga didorong faktor eksternal seperti karena terikat ratifikasi perjanjian perdagangan antar negara, kawasan,

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

62 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

atau bahkan yang bersifat global (Anugerah, 2003:69; Kanyasa, 2003:17). Dijelaskan oleh Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003:60), tekanan eksternal liberalisasi selain karena dorongan upaya regionalisasi yang terjadi pada akhir 1900-an hingga pertengahan 1990-an (seperti dengan pembentukan AFTA dan APEC) juga karena keterikatan komitmen terhadap Kesepakatan Putaran Uruguay (the Uruguay Round Agreement) sebagai bagian dari rangkaian putaran GATT (General Agreement on Tax and Tariff) yang kemudian diubah menjadi organisasi formal bernama WTO (World Trade Organization). Kesepakatan dalam AFTA dan WTO bersifat mengikat (binding), sedangkan dasar kesepakatan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) bersifat sukarela. Namun demikian semangat yang dibawa oleh ketiga bentuk kelembagaan relatif sama, yaitu liberalisasi melalui penurunan kendala perdagangan (tarif dan kendala nontarif).

2.6.2 Kebijakan Pemerintah di Bidang AgroSelain kebijakan yang bersifat protektif dalam

perdagangan juga dikenal kebijakan promotif. Kebijakan promotif ditujukan untuk mendorong pertumbuhan perdagangan dari dalam negeri (ekspor). Salah satu contoh kebijakan promotif terdapat pada sektor pertanian.

Pada dasarnya terdapat dua tipe kebijakan pemerintah di bidang pertanian yaitu development policy dan compensating policy (Suryana, 2001:7). Development policy biasanya dilakukan pemerintah

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

63Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

untuk mendorong produksi pertanian dengan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Dalam compensating policy, tujuan utama kebijakan adalah meningkatkan pendapatan petani tetapi dengan kecenderungan menekan produksi. Development policy banyak dilakukan oleh negara yang kekurangan (defisit) produk pertanian, sedangkan compensating policy banyak dilakukan oleh negara yang mengalami surplus dan sulit memasarkan produknya. Misalnya, kebijakan harga dasar dan kebijakan subsidi, seperti kebijakan harga gabah dan subsidi pupuk yang pernah diberlakukan di Indonesia, dapat dikatagorikan sebagai development policy. Tujuan kedua kebijakan tersebut adalah mendorong produksi beras agar meningkat, di sisi lain petani mendapat harga yang wajar.

2.6.3 Skenario dan Dampak Liberalisasi2.6.3.1 Skenario Liberalisasi

Budiono (2001:37-42) menyebutkan, terda-pat lima manfaat dibukanya Iiberalisasi perdagangan. Pertama. akses pasar lebih luas sehingga memungkinkan diperoleh efisiensi karena liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan saling menunjang sehingga biaya produksi dapat diturunkan. Kedua, iklim usaha menjadi lebih kompetitif sehingga mengurangi kegiatan yang bersifat rent seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi,

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

64 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

bukan bagai-mana mengharapkan mendapat fasilitas dari pemerintah. Ketiga, arus perdagangan dan investasi yang lebih bebas mempermudah proses alih teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Keempat, perdagangan yang lebih bebas memberikan signal harga yang “sesuai” sehingga meningkatkan efisiensi investasi. Kelima, dalam perdagangan yang lebih bebas kesejahteraan konsumen meningkat karena terbuka pilihan-pilihan baru. Namun untuk dapat berjalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif perlu dukungan perundang-undangan yang mengatur persaingan yang sehat dan melarang praktek monopoli.

Dalam praktek, proses liberalisasi perdagangan dapat dilakukan melalui berbagai skenario. Selain proses liberalisasi unilateral, ratifikasi kerja sama perdagangan internasional melalui pembentukan kelembagaan seperti AFTA dan WTO merupakan pilihan skenario liberalisasi bagi negara pelaku perdagangan, termasuk Indonesia. Akan tetapi, oleh karena memiliki sasaran dan mekanisme implementasi yang berbeda-beda maka masing--masing skenario proses liberalisasi tersebut akan menghasilkan dampak berbeda pula.

2.6.3.2 Sisi Positif dan Negatif Liberalisasi Menurut Indrawati (1995:89), Putaran

Uruguay merupakan kesepakatan yang paling ambisius dibandingkan putaran-putaran GATT sebelumnya karena bertujuan mengontrol proliferasi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

65Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

segala bentuk proteksionisme baru untuk menuju pada kecenderungan liberalisasi perdagangan antarnegara, termasuk aturan internasional dalam bidang Hak Properti Intelektual, dan memperbaiki mekanisme penyelesaian perselisihan dengan menerapkan keputusan dan mematuhi aturan-aturan GATT. Misalnya proteksi yang dilakukan negara maju terhadap sektor pertanian melalui kebijaksanaan harga (price support), bantuan langsung (direct payment), dan bantuan pasokan (supply management program) telah menyebabkan distorsi perdagangan hasil pertanian dunia. Distorsi terjadi seiring dengan meningkatnya hasil produksi pertanian dari negara-negara maju yang mengakibatkan penurunan harga dunia untuk produk pertanian. Meskipun harga produk pertanian yang rendah menolong negara pengimpor tetapi faktor rendahnya harga produk pertanian tersebut juga akan merugikan negara-negara berstatus produsen ne o.

Secara umum menurut Indrawati (1995: 94), liberalisasi akan menguntungkan bagi negara berkembang dan penduduk miskin dari kelom pok pendapatan menengah karena ekspor produk yang bersifat padat karya akan meningkat. Namun demikian, derajat manfaat dan keuntungan liberalisasi perdagangan sangat tergantung pada reformasi kebijaksanaan yang diambil dan keadaan struktur perekonomian domestik negara berkembang itu sendiri.

Pada studi keterkaitan liberalisasi dengan aspek lingkungan Abimanyu (1995:189)

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

66 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

berpendapat, bahwa dalam liberalisasi perdagangan masing-masing negara sebenarnya dibolehkan menerapkan kebijaksanaan subsidi. pajak, dan peraturan pemerintah lainnya selama tidak membedakan antara perusahaan domestik dan asing, sebagaimana klausul dalam aturan GATT. Adanya peluang tersebut menurut Abimanyu dapat menimbulkan dampak positif dalam hal fairness kompetisi dan kemampuan suatu perusahaan asing untuk menyesuaikan dengan kondisi (khususnya teknologi) di negara di mana perusahaan berlokasi. Akan tetapi di sisi lain, peluang tersebut juga berpotensi menimbulkan dampak negatif, yaitu masuknya teknologi dan produk “kolor” ke negara tujuan perdagangan, khususnya negara berkembang yang lebih rendah standar lingkungannya.

Dalam studinya tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap pertanian di Indonesia, Erwidodo (1999) menunjukkan beberapa temuan sebagai berikut: Pertama, sebelum tahun 1985 Indonesia sangat mengutamakan kebijakan proteksi pasar domestik. Kebijakan ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan manfaat ekonomi lebih banyak dinikmati oleh sebagian besar penerima proteksi tersebut. Dalam rangka mendorong reformasi menuju perdagangan bebas yang digulirkan sejak awal 1980-an pemerintah memperkenalkan beberapa kebijakan berikut: 1) penyederhanaan prosedur kepabeanan termasuk dikeluarkannya undang-undang kepabeanan yang baru; (2) menurunkan tarif dan pungutan-pungutan; 3) mengurangi lisensi impor dan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

67Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

hambatan nontarif; 4) deregulasi dari sistem distribusi; 5) deregulasi rejim investasi; dan 6) memantapkan batas wilayah dan prosedur ekspor. Salah satu sektor yang mendapat proteksi cukup tinggi adalah sektor makanan dan minuman (food and beverage).

Kedua, liberalisasi perdagangan secara potensial akan memperluas akses pasar untuk Indonesia, khususnya ke negara industri. Ketiga, liberalisasi perdagangan diperkirakan akan meningkatkan pendapatan dunia secara signifikan dan terdistribusi secara luas di antara negara maju dan negara berkembang. Hasil studi juga menunjukkan indikasi adanya deregulasi perdagangan dengan partner dagang Indonesia mengakibatkan tidak hanya kehilangan daya saing ekspor tetapi juga kemungkinan penurunan kesejahteraan masyarakat.

Keempat, seberapa besar Indonesia akan memperoleh manfaat diterapkannya liberalisasi perdagangan tergantung tidak hanya pada penurunan hambatan perdagangan di pasar partner dagang Indonesia tetapi juga upaya dalam membuka pasar Indonesia sendiri.

Amang dan Sawit (1997:27-35) mengingatkan bahwa dampak perdagangan bebas cukup serius buat Indonesia, tidak hanya menyangkut bidang ekonomi tetapi juga bidang non-ekonomi. Perpindahan faktor produksi seperti tenaga kerja, lahan, kapital secara cepat dan berlebihan dalam waktu yang relatif singkat dari sektor pertanian dan jasa ke sektor manufaktur, akan menimbulkan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

68 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

masalah baru yang lebih sulit dan mahal untuk mengatasinya. Hampir tidak mungkin dibangun infrastruktur perkotaan yang cukup untuk menampung pesatnya urbanisasi, sehingga akan muncul masalah kekumuhan dan kemiskinan di kota, kepadatan kota, kekurangan tempat tinggal, tidak cukupnya tanah, kekurangan air bersih (kualitas dan kuantitasnya), memburuknya lingkungan hidup dan meningkatnya kriminalitas. Di samping itu distribusi pendapatan masyarakat akan semakin timpang.

Indikasi dampak negatif dari liberalisasi terhadap petani (pertanian) juga terjadi di negara maju seperti Jepang. Studi Kamiya (2002) menyebutkan, liberalisasi menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar domestik Jepang yang semula sangat tinggi karena diproteksi menjadi terus menurun. Penurunan harga tersebut mengakibatkan pengusahaan komoditas pertanian menjadi tidak menguntungkan. Akibat selanjutnya, banyak areal pertanian yang dibiarkan tidak tergarap, di samping semakin sedikit petani yang bersedia mengusahakan areal tersebut menjadi produktif.

Meskipun secara teori liberalisasi perdagangan disebutkan akan meningkatkan perolehan manfaat bagi para pelaku perdagangan, akan tetapi pada kenyataannya implementasi liberalisasi juga membawa dampak buruk yang mengancam pasar domestik dan kepentingan domestik lain, khususnya menyangkut kesejahteraan petani produsen. Sejumlah kajian terdahulu telah mengulas

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

69Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

cukup banyak sisi positif dan negatif liberalisasi perdagangan dari berbagai sisi perekonomian.

2.6.4 Pendekatan Daya Saing dalam Pengembangan Usaha Industri Agro

Porter (1990:19-27) menyatakan bahwa faktor-faktor penentu yang menciptakan keunggulan bersaing adalah:

1) Kondisi Faktor (Factor Conditions), 2) Kondisi Permintaan (Demand Conditions), 3) Industri Terkait dan Industri Pendukung

(Related and Supporting Industries). 4) Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan

(Firm Strategy, Structure and Rivalry)

Merujuk pada faktor-faktor penentu daya saing di atas dapat dinyatakan bahwa kemakmuran bangsa ditentukan oleh produktivitas ekonomi, yang diukur dengan nilai barang dan jasa yang diproduksi per satuan sumber daya manusia, modal, dan alam. Produktivitas tergantung dari nilai produk dan jasa, diukur dengan harga yang dapat membuka pasar dan efisiensi dalam produksinya.

Daya saing yang benar diukur dengan produktivitas. Produktivitas memberikan kemampuan sebuah negara untuk mendukung upah tinggi, mata uang yang kuat, dan pengembalian modal yang menarik dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi. Produktivitas adalah tujuan, bukan hanya sekadar ekspor. Hanya negara yang meningkatkan ekspor produk atau jasa dengan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

70 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

cara produktif akan menaikkan produktivitas nasional.

Dalam lingkup mikro, daya saing perusahaan dapat didefinisikan sebagai suatu tingkat di mana perusahaan mampu, dalam kondisi pasar kerja yang bebas dan adil, menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi pasar internasional, dan secara bersamaan meningkatkan dan memelihara penghasilan riil dari orang-orangnya dalam jangka panjang,

Perbedaan dalam pemilikan sumber daya, penguasaan teknologi produksi, perkembangan ekonomi dan komitmen pemerintah untuk membela kepentingan produsen di dalam negeri, sangat menentukan kemampuan suatu negara bersaing dalam pasar global yang makin liberal.

2.7. Kerangka Kerja untuk Analisis Implementasi AFTA di Jawa Barat

Setiap kebijakan perlu dianalisis dalam rangka pemecahan masalah yang terjadi. Ilmu administrasi memberikan bantuan untuk melakukan analisis kebijakan tersebut, mulai dari tahap formulasi, implementasi sampai dengan evaluasi kebijakan. Salah satu analisis yang dijelaskan oleh Dunn adalah analisis kebijakan yang tujuannya bersifat penandaan (designative), penilaian (evaluative) dan anjuran (advocative) yang dapat diharapkan menghasilkan informasi-informasi dan argumen-argumen yang masuk akal (Dunn, 1995:50).

Dengan kata lain, kebijakan dapat dilukiskan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

71Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

sebagai sistem dalam kerangka input dan output melalui transformasi dan merangkum feedback yang merupakan proses, sehingga bermakna sebagai sesuatu yang bersifat dinamis.

Kebijakan Publik selalu mengandung tiga komponen dasar, yaitu: tujuan, sasaran dan cara mencapai sasaran dan tujuan tersebut. Tiga komponen ini biasa disebut sebagai implementasi. Implementasi kebijakan dapat didefinisikan sebagai suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dengan sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu (Hoogerwerf, 1983:157). Implementasi kebijakan berarti pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai dicapainya hasil kebijakan (Dunn, 1995:80). Jones (1994:26) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan merupakan serangkaian aktivitas atau kegiatan yang ditujukan untuk memberikan dampak tertentu.

Dengan demikian, implementasi kebijakan merujuk pada pelaksanaan kebijakan publik secara efektif, sehingga implementasi kebijakan juga memuat aktivitas-aktivitas program yang akan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, dan dirasakan hasilnya atau manfaatnya oleh kelompok sasaran yang dituju melalui berbagai sarana.

Berdasarkan makna tersebut, implementasi kebijakan mengandung unsur-unsur: 1) Proses, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan sasaran yang ditetapkan; 2) Tujuan, yaitu sesuatu yang hendak dicapai melalui aktivitas

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

72 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

yang dilaksanakan; dan 3) Hasil atau dampak, yaitu manfaat yang dirasakan oleh kelompok sasaran.

Pembentukkan AFTA dapat dianggap sebagai kebijakan yang dikeluarkan oleh sejumlah negara yang terhimpun dalam asosiasi. ASEAN, dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi kepentingan di kawasan Asia Tenggara (Bennet, 1984:348). Untuk keperluan mensikapi lingkungan tersebut ASEAN sebagai organisasi regional mengeluarkan kebijakan yang dipandang perlu bagi kepentingan bersama, yang dikatagorikan sebagai kebijakan regional (Anderson, 1984:24). Meskipun dasar pembentukkan organisasi regional ini bervariasi, namun ASEAN merupakan kerja sama antar negara yang dalam struktur formal didasari oleh kawasan (Bennet, 1984:349).

Pada tataran tingkat nasional, Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN perlu tanggap terhadap perubahan di lingkungan ASEAN khususnya proses pelaksanaan kesepakatan AFTA. Dengan kata lain, secara administratif pemerintah Indonesia perlu mengimplementasikan kebijakan publik yang berkenaan dengan implementasi AFTA di Indonesia.

Susunan kebijakan publik di Indonesia meliputi pertama, di Indonesia kebijakan publik tertinggi dibuat oleh Legislatif. Hal ini sejalan dengan ajaran pokok dari Montesquieu yang berkembang pada abad ke-17 yang pada intinya mengatakan bahwa: Formulasi kebijakan dilakukan oleh Legislatif, implementasi oleh eksekutif, sedangkan Yudikatif bertugas menerapkan sanksi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

73Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

jika terjadi pelanggaran oleh Eksekutif. Pada perkembangannya yaitu pada abad ke-19 ajaran Montesquieu ini kemudian ditindaklanjuti dengan teori administrasi publik yang dikenal dengan paradigma “When the politics end administration begin”.

Bentuk kebijakan yang ke dua: Kebijakan yang dibuat secara bersama oleh Legislatif dan Eksekutif. Hal ini mencerminkan kompleksnya masalah yang harus dihadapi, yang tidak mungkin hanya dihadapi oleh legislatif saja. Contoh di tingkat nasional: Undang-Undang, Perpu; sedangkan di tingkat daerah Prop/Kab/Kota: Perda.

Bentuk kebijakan yang ke tiga: Kebijakan yang dibuat oleh eksekutif saja. Sebagai konsekuensi dari kompleksnya kehidupan masyarakat maka eksekutif pun dapat membuat kebijakan turunan dari kebijakan tingkat atasnya.

Kaitannya dengan implementasi AFTA, tersidik bahwa pemerintahan tingkat pusat bertindak sebagai implementor pada tataran nasional dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan publik dengan pola top-down yakni ratifikasi Pemerintah RI terhadap skema CEPT dalam kerangka AFTA yang tertuang dalam Keppres Nomor 228/M Tahun 2001; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional; UU Nomor 37 Tahun

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

74 Regionalisme Asean : Perspektif Teoretis

1999 tentang Hubungan Luar Negeri; UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional; Keputusan Menlu RI Nomor SK.03/A/OT/X/2003/2001 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri oleh Daerah; Keputusan Menkeu RI Nomor 392/KMK.01/2003 tentang Penetapan Bea Masuk Atas Impor Barang dalam Rangka Skema CEPT.

Pada tataran tingkat daerah Jawa Barat, Lembaga Pemerintah dan non-Pemerintah tingkat Jawa Barat bertindak sebagai implementor dengan dikeluarkannya kebijakan publik Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pedoman Kerja sama antara Daerah dengan Pihak Luar Negeri.

BAB IIIKONFIGURASI PERKEMBANGAN

LINGKUNGAN REGIONAL

3.1 Lingkungan Strategis ASEAN: Peluang dan Kendala

Eksistensi ASEAN telah berusia lebih dari tiga dasawarsa, sebagai organisasi regional, ASEAN terbukti mampu bertahan dan menjalankan tujuannya sebagai wadah aspirasi negara-negara anggota. ASEAN didirikan di tengah berkecamuknya perang dingin dan struktur sistem internasional bipolar yang ketat (tight-bipolarity). Saat itu, Asia Tenggara diwarnai oleh pergolakan antarnegara maupun kekuatan di luar kawasan sehingga sulit bagi negara-negara anggota ASEAN untuk menjalankan kebijakan luar negerinya yang independen tanpa harus condong ke salah satu blok (lean to one block). Namun berdasarkan komitmen politiknya negara-negara anggota ASEAN bertekad untuk bersatu dan bekerja sama dalam suatu organisasi sudah tidak dapat ditunda lagi, mengingat stabilitas kawasan perlu dipelihara dan dibina oleh negara-negara kawasan sendiri tanpa campur tangan asing karena stabilitas itulah yang dapat menunjang pembangunan nasional negara-negara anggota ASEAN.

ASEAN resmi didirikan pada tanggal 8

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

76 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

Agustus 1967, dengan ditandatanganinya Deklarasi Bangkok (lebih sering disebut Deklarasi ASEAN) oleh lima negara pendirinya: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand dengan maksud dan tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ini melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai.

2. Untuk meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum di dalam hubungan antar negara-negara di kawasan ini serta mematuhi prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

3. Untuk meningkatkan kerja sama yang aktif dan saling membantu dalam masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama di bidang: ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi.

4. Untuk saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana-sarana pelatihan dan penulisan dalam bidang-bidang pendidikan, profesi, teknik dan administrasi.

5. Untuk bekerjasama secara lebih efektif guna meningkatkan pemanfaatan pertanian dan industri mereka, memperluas perdagangan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

77Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

dan pengkajian masalah-masalah komoditi internasional, memperbaiki sarana-sarana pengangkutan dan komunikasi, serta mening-katkan taraf hidup rakyat mereka.

6. Untuk memajukan pengkajian mengenai Asia Tenggara.

7. Untuk memelihara kerja sama yang erat dan berguna dengan berbagai organisasi Internasional dan regional yang mempunyai tujuan serupa, dan untuk menjajagi segala kemungkinan untuk saling bekerjasama secara erat di antara mereka sendiri (Sekretariat Nasional ASEAN, 1997: 4).

Lingkungan global ASEAN pada satu dasawarsa pertama berdirinya tidak memberikan peluang yang berarti bagi usaha-usaha dalam melaksanakan Deklarasi ASEAN sesuai dengan maksud dan tujuannya. Hal ini berkembang dalam pengaruh tight bipolarity di lingkungan eksternal ASEAN, antara lain:1. Pangkalan militer yang keberadaannya tetap

dipertahankan oleh beberapa negara (Thailand dan Filipina), menjadikan ASEAN terjebak dalam dilema “kepanjangan tangan” strategi imperialisme Barat seperti yang dituduhkan oleh beberapa Negara Blok Timur.

2. Kerja sama ekonomi yang tidak berkembang dikarenakan tingkat pertumbuhan ekonomi dan industri yang tidak seimbang, serta kesamaan sebagai negara berkembang yang segaris

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

78 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

menyebabkan kesamaan produk hasil komoditi, kecuali Singapura.

3. Latar belakang kolonialisme menyebabkan perbedaan visi dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri, dimana sebagai negara lebih senang mengambil strategi non-blok, sebagian mengem-bangkan hubungan dengan negara bekas penjajah melalui commonwealth of nations, dan sebagian lagi mengambil strategi aliansi militer, serta ada negara yang masih dijajah.

4. Masih besarnya rasa saling curiga akibat pemikiran tradisional dan belum bangkitnya sense of asiness, menyebabkan kawasan ini tertantang untuk suatu perlombaan senjata.

5. Adanya pemetaan politik dengan corak ideologi yang bertentangan.

Lingkungan global ASEAN pada dua dasawarsa pertama pembentukannya telah memberikan kontribusi yang besar untuk meningkatkan aspirasi “sekawasan” bagi negara-negara anggotanya. Untuk sebagian besar hal ini didukung oleh situasi dan kondisi lingkungan eksternal ASEAN sendiri yang merupakan subsistem dari lingkungan global yang tengah bergeser ke self-bipolarity. Dengan dicapainya persetujuan perlucutan senjata nuklir Strategic and Arms Limited Talk (SALT) antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet pada tahun 1972 yang mendorong dunia pada situasi perbedaan ketegangan (détente). Peredaan ketegangan antara dua negara adikuasa

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

79Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

ini menjadikan struktur sistem internasional berubah menjadi multipolar, dalam artian aspek politik ideologis dan militer tidak lagi menjadi penentu hubungan internasional. Akan tetapi aspek-aspek lainnya seperti ekonomi, sosial, budaya, koalisi diplomasi dan peran PBB menjadi faktor penentu hubungan internasional yang lain.

Menyongsong perubahan lingkungan yang kondusif ke arah peredaan Perang Dingin, ASEAN menyiapkan suatu konsepsi strategis untuk menciptakan stabilitas kawasan. Tanggal 28 November 1971 ASEAN melansir Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN). ASEAN berupaya untuk mendinamisasikan kawasan dengan suatu pertanyaan, apakah kawasan Asia Tenggara akan dipelihara stabilitasnya dengan menggadaikan pada kekuatan besar atau pada daya kemampuan sendiri? Ternyata ZOPFAN tidak didukung oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya di luar ASEAN.

Masalah stabilitas kawasan kembali muncul ketika Amerika Serikat kalah dalam perang di Vietnam. Namun situasi ini justru tidak mendorong ke arah kemandirian Asia Tenggara, karena kehadiran Amerika Serikat tetap dipertahankan di Filipina dan adanya ketakutan negara-negara non komunis di Asia Tenggara yang kebetulan terhimpun dalam ASEAN akan terbuktinya Teori Domino. Kehadiran Amerika Serikat dianggap dapat memberikan perlindungan sebagai containment policy. Di sinilah titik awal konflik dua adikuasa di Asia Tenggara seolah terbagi dua ke

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

80 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

dalam strategi global, yaitu kapitalisme-liberalisme dan sosial-komunisme.

Dalam situasi ini ASEAN mengadakan KTT I di Bali (1976) tujuannya untuk membuat visi ke depan sehubungan perubahan situasi dan kondisi lingkungan global, yaitu dengan reorientasi visi dasawarsa pertama ASEAN yang tidak berjalan sesuai dengan rencana. KTT ASEAN I menghasilkan Deklarasi kesepakatan ASEAN (Declaration of ASEAN Concord) dan perjanjian persahabatan dan kerja sama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia-TAC). Kerja sama ASEAN ditingkatkan melalui apa yang dinamakan kerja-sama intra-ASEAN.

Lingkungan global ASEAN pasca KTT I, sekalipun tidak memberikan peluang yang besar untuk meningkatkan kerja sama ASEAN, karena Asia Tenggara mulai diwarnai konflik Indocina. Tetapi ada peluang yang dapat diraih ASEAN, terutama setelah konsolidasi ASEAN pasca KTT ASEAN II (1997) di Kuala Lumpur. Namun pada tahun 1979 ditandai peristiwa besar yang mendorong dunia ke arah Perang Dingin II, yaitu invasi Uni Sovyet ke Afganistan.

Di Asia Tenggara, Vietnam yang telah mengadakan perjanjian aliansi dengan Uni Sovyet bulan Agustus 1978, pada bulan Desember tahun itu juga melakukan invasi ke Kamboja. Inilah peristiwa yang mengguncangkan ASEAN, karena semakin menjauhkan kawasan Asia Tenggara dari kondisi stabil, sehingga ancaman Teori Domino

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

81Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

menjadi semakin dekat.Diplomasi ASEAN dimainkan sepenuhnya

untuk menyelesaikan masalah krusial dan multi dimensi ini. Lingkungan global yang mengacu pada perang dingin kembali semakin suram oleh turut campurnya Republik Rakyat Cina (RRC) dan membanjirnya “manusia perahu” ke negara-negara ASEAN. Vietnam sendiri tidak mau menyelesaikan permasalahan ini melalui dimensi internasional (PBB) seperti yang diusulkan oleh ASEAN, tetapi menginginkan penyelesaian dimensi regional, dimana tidak melibatkan negara-negara di luar ASEAN. Perbedaan metoda penyelesaian yang mendasar ini membuat permasalahan menjadi maju mundur karena masing-masing pihak menarik dan mengulur waktu saja.

Diplomasi Indonesia sebagai center point of ASEAN atau yang national role-nya adalah sebagai regional leader dilakukan secara gencar. Namun di satu pihak, Indonesia mendukung pendirian pemerintah koalisi, di lain pihak secara piawai Indonesia mengetengahkan beberapa formula.

Dimulai dengan cocktail party, yaitu suatu pertemuan informal untuk mencari solusi masalah kamboja dari perspekif Vietnam, dilanjutkan dengan Jakarta Informal Meeting (JIM) I dan Jakarta Informal Meeting ( JIM) II. Kesemuanya menggunakan kerangka regional sesuai dengan keinginan Vietnam tetapi jalan tengahnya adalah “informal”. Diplomasi inilah yang kemudian dapat menggiring Vietnam ke konferensi. Dengan demikian masalah Kamboja yang berdimensi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

82 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

regional dan internasional, telah terselesaikan tinggal yang berdimensi internal, yang dicarikan solusi rekonsiliasinya.

Formula yang digunakan oleh Indonesia sangat tepat, yaitu face saving formula, yaitu menyelamatkan “muka” Vietnam di Forum Internasional. Vietnam pada akhirnya menarik pasukannya dari Kamboja.

Situasi dan kondisi global menjelang penyelesaian krisis Kamboja, Mikail Gorbachev, mengadakan gebrakan inward-looking melalui strategi Perestroika dan Glasnot. Keterlibatan Uni Soviet di berbagai kawasan dunia dikurangi, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Pada KTT ASEAN II tahun 1987 di Manila, ASEAN mencari strategi untuk menghadapi gerak dan dinamika perubahan global. Kelihatannya situasi dan kondisi global memberikan peluang bagi ASEAN, hal ini antara lain disebabkan oleh:1. Pertumbuhan ekonomi ASEAN yang cukup

tinggi, ditandai dengan kemunculan industri-industri manufaktur.

2. Perdamaian di Asia Tenggara yang mendorong terciptanya stabilitas kawasan dan pada gilirannya stabilitas nasional yang dapat mendinamiskan pembangunan nasional di negara masing-masing.

3. Kemitraan ASEAN dengan beberapa kekuatan ekonomi dunia dipandang sebagai kawasan yang dinamis yang potensial.

4. Pangkalan militer asing di Asia Tenggara

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

83Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

mulai berkurang fungsinya sebelum kemudian dibongkar.

5. Dikembangkannya kawasan ekonomi berikat untuk kerja sama intra-ASEAN.

Peluang yang lebih besar yang diberikan oleh lingkungan global ASEAN adalah pada awal tahun 1990-an, yaitu dengan apa yang dinamakan Pasca Perang Dingin. Uni Sovyet sebagai kekuatan polar adikuasa runtuh kemudian digantikan oleh Rusia dan Commonwealth of Independent States (CIS). Dampak perubahan tersebut terhadap kawasan Asia Tenggara adalah berubahnya orientasi politik luar negeri Vietnam, yang pada gilirannya menjadi anggota ASEAN (Juli 1995) dan diikuti oleh Laos dan Myanmar (Juli 1997). RRC-pun menjalankan diplomasi persahabatan dan membuka kembali hubungan diplomatik dengan negara-negara ASEAN.

Perubahan global yang mengacu pada kerja sama antar bangsa yang lebih dinamis ini diantisipasi oleh ASEAN, yaitu dengan jalan diselenggarakannya KTT ASEAN IV pada tahun 1992 di Singapura yang menghasilkan suatu upaya untuk meliberalisasikan perdagangan di Asia Tenggara melalui pembentukan kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area-AFTA).

3.2 Struktur Organisasi dan Keanggotaan ASEAN

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

84 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

Struktur organisasi ASEAN sejak berdirinya dikembangkan sesuai dengan tuntutan perkembangan kerja sama, dan telah mengalami beberapa perubahan yang hingga saat ini adalah sebagai berikut:1. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN.

KTT merupakan pertemuan para kepala negara atau kepala pemerintahan, merupakan lembaga yang mempunyai otoritas tertinggi pada organisasi ASEAN. KTT I diadakan di Bali pada tanggal 23-25 Februari 1976, KTT II di Kuala Lumpur, pada tanggal 4-5 Agustus 1977 dan KTT III di Manila, pada tanggal 14-15 Desember 1987. Pada KTT IV di Singapura, pada tanggal 27-28 Januari 1992, ditetapkan bahwa KTT diselenggarakan setiap tiga tahun sekali, sedangkan pertemuan informal diadakan sekurang-kurangnya sekali di antara dua KTT. KTT diselenggarakan untuk menentukan arahan-arahan bagi kegiatan kerja sama ASEAN, Deklarasi KTT V di Bangkok, tanggal 14-15 Desember 1995, antara lain menyatakan keinginan untuk segera mewujudkan ASEAN yang meliputi sepuluh negara di Asia Tenggara. Pada KTT ini diputuskan bahwa di antara dua KTT akan diadakan KTT informal ASEAN setiap tahun. KTT informal I diseleng-garakan di Jakarta pada tanggal 30 November 1996.

2. Sidang tahunan para Menteri Luar Negeri (KTM) ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting—AMM) :Pertemuan tahunan para Menteri Luar Negeri

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

85Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

ini mempunyai peran dan tanggung jawab untuk merumuskan garis-garis kebijakan dan koordinasi dari kegiatan-kegiatan ASEAN yang merupakan penjabaran keputusan-keputusan KTT. Dalam situasi khusus, para Menteri Luar Negeri dapat mengadakan pertemuan lebih dari sekali dalam setahun. Pada KTT ASEAN III disetujui bahwa KTM ASEAN dapat melibatkan Menteri-menteri lainnya jika diperlukan.

3. Sidang Menteri-menteri Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Ministers—AEM):Sidang ini merupakan badan tertinggi dalam menentukan kebijakan kerja sama ekonomi ASEAN. Sidang AEM pada mulanya diadakan dua kali setahun, kemudian diadakan setahun sekali. AEM mulai dilembagakan sejak KTT ASEAN II. Pada KTT IV dibentuk Dewan AFTA untuk mengawasi, melaksanakan koordinasi dan memberikan penilaian terhadap skema Tarif Preferensi Efektif yang sama (Common Effective Prefential Tariff-CEPT) menuju kawasan perdagangan bebas ASEAN. AMM maupun AEM memberikan laporan bersama kepada kepala pemerintahan negara-negara ASEAN pada saat KTT.

4. Sidang Menteri-menteri Sektoral ASEAN :Sidang Menteri-menteri yang menyangkut bidang-bidang tertentu dalam kerja sama ekonomi, yaitu bidang energi, pertanian, dan kehutanan dilaksanakan bila diperlukan untuk memberikan arahan bagi kerja sama ASEAN.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

86 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

Sidang para Menteri tersebut memberikan laporan kepada AEM.

5. Sidang Menteri-menteri ASEAN lainnya :Sidang-sidang Menteri Lingkungan Hidup, Tenaga Kerja, Kesehatan, Sosial, Kehakiman, Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang diadakan menurut keperluan. Sidang tersebut dikoordinasikan dengan AMM dan dapat menyampaikan langsung kepada kepala pemerintahan.

6. Sidang gabungan para Menteri Luar Negeri dan Menteri Ekonomi (Joint Ministerial Meeting--JMM):Sidang ini dibentuk pada KTT III, dan diadakan bila diperlukan untuk menyusun koordinasi lintas sektoral serta konsultasi mengenai kegiatan-kegiatan ASEAN. Pertama kali diselenggarakan di Kuching bulan Februari 1991 membahas tentang peran ASEAN dan APEC.

7. Sekretaris Jenderal ASEAN:Diangkat oleh kepala-kepala pemerintahan ASEAN dengan rekomendasi AMM berdasarkan kecakapan. Ia diberi status setingkat Menteri dengan mandat yang diperluas untuk mem-prakarsai, memberikan, melakukan koordinasi, melaksanakan kegiatan-kegiatan ASEAN, mengepalai Sekretariat ASEAN (di Jakarta); bertangung jawab kepada KTT dan seluruh pertemuan para Menteri ASEAN dalam

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

87Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

persidangan serta kepada ketua Panitia Tetap (Pantap) ASEAN atas nama ketua Pantap (kecuali sidang Pantap pertama dan terakhir), Joint Consultative Meeting-JCM) yang terdiri dari Senior Officials Meeting (SOM), Senior Economic Officials Meeting (SEOM) dan pertemuan para Direktur Jenderal ASEAN.

8. Panitia tetap ASEAN (ASEAN Standing Commi ee—ASC) :Segala kegiatan ASEAN yang dilakukan selama setahun di antara dua KTM menjadi tanggung jawab Pantap ASEAN yang terdiri dari ketuanya, Menteri Luar Negeri Negara tuan rumah, Sekretaris Jenderal dan para Direktur Jenderal Sekretariat Nasional ASEAN. Pantap ASEAN menyampaikan laporan langsung kepada AMM.

9. Sidang-sidang Pejabat Tinggi ASEAN (Senior Officials Meeting—SOM):Secara resmi dilembagakan sebagai bagian dari mekanisme ASEAN, pada KTT III dan bertanggung jawab untuk menangani kerja sama di bidang politik dan keamanan. SOM diselenggarakan bila diperlukan dan menyampaikan laporan tanggung jawab kepada AMM.

10.Sidang Pejabat-pejabat Tinggi Ekonomi ASEAN (Senior Economic Officials Meeting—SEOM):Dibentuk secara resmi pada KTT III. Pada

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

88 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

KTT IV disetujui bahwa lima komite yang ada dibubarkan yaitu: Committee of Finacial and Banking (COFAB), Commi ee on Food, Agricultural and Foresty (COFAF), Committee on Industry, Mineral and Energy (COIME), Committee on Transportation and Communication (COTAC) serta Commi ee on Trade and Tourism (COTT). Kegiatan-kegiatan dalam kerja sama ekonomi selanjutnya diambil alih dan dilaksanakan oleh SEOM.

11. Sidang Pejabat-Pejabat Tinggi ASEAN bidang lainnya: merupakan sidang para pejabat yang menangani sosial budaya/kerja sama fungsional ASEAN. Sidang tersebut sudah melembaga. Komite-komitenya terdiri dari: Committee on Culture and Information (COCI), Committee on Social Development (COSD), Commi ee on Science and Technology (COST), ASEAN Senior Officials on Drug Ma ers (ASOD), ASEAN Officials on Environment (ASOEN), dan ASEAN Conference on Civil Service Ma ers (ACCSM). Komite-komite tersebut menyampaikan laporan kepada Pantap ASEAN dan Sidang para Menteri yang terkait.

12.Sidang Konsultasi Gabungan (Joint Consultative Meeting—JCM):Sidang ini dibentuk pada KTT III, meliputi Sekretaris Jenderal ASEAN, SOM, SEOM, dan para Direktur Jenderal ASEAN. Sidang dilaksanakan bila diperlukan dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal, untuk keperluan koordinasi lintas sektoral, kegiatan-kegiatan ASEAN pada

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

89Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

tingkat pejabat-pejabat pemerintah. Sekretaris Jenderal melaporkan kegiatan ini secara langsung kepada AMM dan AEM.

13.Sidang ASEAN dengan para Mitrawicara:Dalam kerja sama ASEAN dengan para Mitrawicara, setiap anggota diberi tanggung jawab sebagai koordinator. Berdasarkan keputusan AMM XVIII di Kuala Lumpur, negara koordinator bergilir setiap tiga tahun secara alfabetis.

14.Sekretariat Nasional :Dibentuk untuk melaksanakan maksud dan tujuan ASEAN di setiap negara anggota dalam rangka melaksanakan tugas perhimpunan atas nama negara masing-masing, dan melayani Sidang Tahunan atau Sidang khusus para Menteri Luar Negeri, sidang-sidang Pantap dan komite-komite ASEAN. Strukturnya di dalam negara anggota berada di dalam departemen luar negeri. Tentu saja fungsinya tidak akan dapat seluas ASEAN Secretariat yang diketuai oleh seorang Sekretaris Jenderal.

15.Komite-komite ASEAN di negara ketiga:Dibentuk di setiap negara mitrawicara berfungsi sebagai penghubung dialog ASEAN. Komite-komite ini di negara mitra wicara beranggotakan para Duta Besar negara-negara ASEAN di negara akreditasi sebagai berikut :1) ASEAN Brussels Commi ee (ABC);2) ASEAN Canberra Commi ee (ACC);

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

90 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

3) ASEAN O awa Commi ee (AOC);4) ASEAN Washington Commi ee (AWC);5) ASEAN Commi ee in Tokyo (ACT)6) ASEAN Commi ee in Wellington (ACW);7) ASEAN New Delhi Commi ee (ANDC).

Sidang komite ASEAN di negara ketiga yang lain/markas besar PBB yaitu :1) ASEAN London Committee (ALC);2) ASEAN Paris Committee (APC);3) Bonn ASEAN Committee (BAC);4) ASEAN Geneva Committee (AGC).

16. ASEAN Secretariat: Dibentuk atas persetujuan negara-negara ASEAN

pada KTT I dan mulai berfungsi sejak 7 Juni 1976 sebagai badan administratif dan bertugas untuk menyelaraskan, memperlancar dan memantau segala kegiatan ASEAN.

17.Jaringan Informasi ASEAN (ASEAN Web): ASEAN menyediakan jaringan pelayanan dan

informasi mengenai ASEAN melalui komputer yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya.Untuk melaksanakan maksud dan tujuan ASEAN, maka dibentuk Sekretariat Nasional ASEAN di setiap negara anggota atas nama negara masing-masing yang ditentukan dalam Deklarasi Bangkok tahun 1967. Indonesia membetuk Sekretariat Nasional ASEAN dengan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

91Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

keputusan Presiden No.237/1967 tanggal 5 Desember 1967, yang menempatkan Sekretariat Nasional di bawah koordinator Menteri Sekretaris Negara, dan dipimpin Sekretaris Umum. Pada tahun 1982 mengalami perubahan. Sebagaimana diatur Keputusan Presiden No.15/1982 kedudukan Sekretariat Nasional ASEAN diintegrasikan sepenuhnya ke Departemen Luar Negeri dan dipimpin Direktur Jenderal yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri.

Sekretariat nasional ASEAN merupakan organisasi formal dari setiap negara anggota ASEAN yang mempunyai tugas–tugas pokok dalam melaksanakan berbagai fungsinya seperti tercantum dalam pasal 823 Keputusan Menteri Luar Negeri Nomor SK.203/OR/II/83/01 mengenai organisasi dan tata kerja departemen luar negeri, yaitu:

1. Memberikan rekomendasi kepada menteri luar negeri mengenai kerja sama ASEAN dalam bidang ekonomi dan sosial budaya serta bidang lainnya.

2. Mengadakan hubungan dan melaksanakan koordinasi dengan instansi-instansi pemerintah dan organisasi non-pemerintah mengenai perencanaan dan pelaksanaan keputusan di bidang kerja sama antar ASEAN dan organisasi regional lainnya atau dengan negara-negara ketiga.

3. Melaksanakan dan membantu penyelenggaraan sidang-sidang ASEAN.

4. Menyusun rencana kerja nasional dan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

92 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

melaksanakan kegiatan program-program kerja sama ASEAN.

5. Memprakarsai penulisan dan pengkajian pelaksanaan bidang-bidang kerja sama ASEAN.

6. Melaksanakan koordinasi antar instansi pemerintah guna penentuan sikap Indonesia dalam rangka pelaksanaan kegiatan ASEAN serta mengadakan evaluasi tentang hasil-hasilnya.

7. Melaksanakan koordinasi dan mengikuti serta menunjang kegiatan-kegiatan komite ASEAN yang berada di Indonesia.

8. Mengadakan kerja sama dan koordinasi dengan ASEAN Secretariat, dan dengan Seketariat Nasional di negara anggota lainnya, serta dengan komite-komite ASEAN di negara ketiga.

Secara struktural, susunan organisasi Sekretariat Nasional ASEAN terdiri atas beberapa biro dengan tugas dan wewenang masing-masing. Pembagian tugas dari biro-biro pada dasarnya dalam praktek adalah sama tugasnya secara umum, yang berada hanya biro umum yang tidak operasional

Dalam melaksanakan kerja sama intra-ASEAN atau antara ASEAN dengan Negara-negara ketiga, organisasi regional dan internasional dalam bidang ekonomi dan sosial budaya merupakan tugas-tugas dari Biro Ekonomi dan Biro Sosial Budaya

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

93Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

ASEAN. Masalah pengembangan kerja sama, baik kerja sama intra-ASEAN ataupun ASEAN dengan negara-negara maju dan berkembang, dengan organisasi-organisasi regional dan internasional menjadi tugas dari Biro Pengembangan dan Analisis ASEAN.

Bila ditelaah sebagai kajian dari sub bidang administrasi dan organisasi internasional maka akan terlihat Direktur Jenderal dan para Kepala Biro dalam melaksanakan tugasnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip sinkronisasi baik dalam lingkungan masing-masing maupun antara satuan organisasi dalam departemen atau dengan instansi di luar departemen, sesuai tugas pokoknya masing-masing.

3.3 ASEAN Free Trade Agreement (AFTA)ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) lahir

berdasarkan kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara anggota ASEAN. KTT ASEAN IV tahun 1992 di Singapura mempunyai bobot keputusan-keputusan semua dimensi kerja sama ASEAN.

Hasil dari penilaian dan pengkajian ulang dari KTT IV tersebut menuntut ASEAN untuk menyesuaikan arah dan kebijakan-kebijakannya di bidang politik, ekonomi dan keamanan, baik intra-ASEAN ataupun ekstra ASEAN. Dalam menggalang solidaritas sekaligus untuk menunjang usaha-usaha ASEAN untuk meningkatkan kerja samanya di berbagai bidang, maka dilakukan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

94 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

kerja sama yang sifatnya fungsional. Melalui KTT ASEAN IV tahun 1992 di Singapura telah disepakati dokumen untuk meningkatkan kerja sama intra-ASEAN yang melahirkan AFTA.

AFTA bertujuan untuk meningkatkan daya saing barang-barang manufaktur negara anggota ASEAN di pasar dunia, untuk mempromosikan investasi asing langsung di negara-negara ASEAN dan investasi antar negara anggota. Para anggota setuju untuk memulai AFTA pada Januari 1993 melalui tahapan-tahapan tertentu.

Perdagangan intra-ASEAN sulit berkembang, karena negara-negara anggotanya memproduksi barang-barang sejenis yang menimbulkan persaingan di antara mereka, sedangkan masing-masing negara ASEAN juga masih lebih banyak melakukan aktivitas perdagangan dengan negara-negara lain di luar ASEAN.

Pendorong gagasan pembentukan AFTA adalah semakin ketatnya persaingan antar negara yang memperlemah perdagangan intra-ASEAN dan sulitnya menarik investor asing ke negara-negara ASEAN, sehingga perlu diperluas pasar dan peluang investasi melalui penggabungan pasar termasuk membebaskan lalu lintas barang dan jasa.

Tujuan itu disepakati untuk dilaksanakan secara bertahap melalui common effective preferential tariff (CEPT) untuk menggantikan ASEAN preferential trading agreement (ASEAN-PTA) yang dianggap sudah tidak memadai lagi dalam perdagangan antar negara ASEAN.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

95Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

ASEAN-PTA merupakan kerja sama di mana setiap negara anggota memberikan kemudahan di bidang tarif kepada negara anggota lainnya, berupa margin of preference (MOP) sebesar antara 25-50% untuk sekitar 15,75 produk. Efektivitas kerja sama ini sangat rendah karena produk-produk yang disepakati tersebut memiliki nilai perdagangan sangat rendah di antara negara-negara ASEAN.

Hambatan pelaksanaannya adalah pertama, sebagian besar barang-barang yang termasuk dalam ASEAN-PTA bukan barang-barang bernilai tinggi. Kedua, hambatan prosedur dan administrasi. Ketiga, perbedaan tarif efektif di negara-negara anggota ASEAN atas suatu barang yang sama setelah dikenakan MOP. Keempat, perbedaan kebijakan dan program di antara negara-negara atas produk yang termasuk dalam ASEAN-PTA. Kelima, produk-produk ASEAN PTA masih terkena halangan nontarif, seperti pembatasan jumlah impor, karena itu, ASEAN-PTA tidak memberikan keuntungan timbal balik bagi negara-negara anggota ASEAN, dari sini dibutuhkan suatu terobosan bagi kerja sama ASEAN. Untuk maksud itu, Indonesia mengusulkan beberapa hal penting yang kemudian disetujui dalam sidang para menteri ekonomi ASEAN ke-22 di Bali.

Tujuan skema CEPT adalah untuk meningkatkan kegiatan perdagangan dan investasi cepat dan adil melalui pemberian preferensi tarif kepada produk-produk yang sama, hasil produksi negara anggota ASEAN. Hal ini akan memberikan tarif efektif yang sama di pasar-pasar ASEAN.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

96 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

Dalam sepuluh tahun, terhitung sejak Januari 1993, diharapkan dapat terwujudnya AFTA secara bertahap melalui pelaksanaan skema CEPT, yaitu dengan penurunan tarif menjadi 0-5% dalam jangka waktu 10 tahun.

Realisasi AFTA itu sendiri dipercepat dari 15 tahun menjadi 10 tahun, karena didasarkan pada keyakinan bahwa semua negara ASEAN akan mampu melakukan penurunan tarif dan memasuk-kan exclusion list ke dalam inclusion list. Di lain pihak, dipandang perlu adanya pendalaman dan perluasan AFTA, yakni perluasan sektor yang ikut dalam skema CEPT terutama sektor pertanian dan jasa, serta mempercepat AFTA dan mengurangi daftar produk sensitif. Hal lain yang juga mengemuka adalah perluasan dan penambahan anggota baru negara-negara tetangga seperti Vietnam, Kamboja, Myanmar yang tujuannya untuk memperbesar skala ekonomi AFTA. Diharapkan bahwa AFTA akan benar-benar dapat terwujud pada tahun 2003, dengan meliputi seluruh negara yang ada di Asia Tenggara.

3.4 Kesepakatan AFTA Bagi IndonesiaIndonesia sebagai negara yang merdeka dan

berdaulat, merupakan anggota yang aktif dalam masyarakat internasional. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk memelihara dan memperjuangkan kepentingan dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Keanggotaan Indonesia dalam ASEAN merupakan salah satu karakteristik

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

97Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

utama dari kebijakan luar negerinya. Kebijakan luar negeri Indonesia umumnya ditentukan atau terkait dengan faktor-faktor domestik. Berbagai informasi yang dikumpulkan berikut ini merupakan rangkuman dari serangkaian wawancara dan bahan tertulis yang diterima dari sumber di departemen luar negeri.

Pada periode 1967-1984 politik luar negeri Indonesia kurang aktif mengambil prakarsa-prakarsa politik karena sangat terkait dengan kepentingan nasional sehingga dipandang sebagai “Inward looking policy”. Keterlibatan diplomatik cenderung dibatasi hanya pada peran regional dalam ASEAN sebagai upaya mencari penyelesaian dalam konflik kawasan. Namun demikian, Indonesia tetap melaksanakan keputusan yang telah disepakati dalam Deklarasi Bangkok untuk mencapai tujuan bersama anggota yang tergabung dalam ASEAN.

Pembinaan dan peningkatan kerja sama di segala bidang antar-negara anggota ASEAN adalah penting untuk memperkokoh ketahanan nasional masing-masing negara anggota yang kemudian akan memperkuat ketahanan regionalnya. Karena semakin besar kekuatan yang dimiliki oleh para anggota asosiasi, maka akan memperkuat kedudukan Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari berbagai pertimbangan politis, antara lain bahwa stabilitas dan keamanan regional merupakan syarat/prakondisi dalam usaha-usaha melaksanakan pembangunan; antara lain dengan jalan memahami aspirasi negara-negara tetangga yang ditujukan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

98 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

sejauh fungsional untuk menghindarkan berbagai perbedaan yang dapat menimbulkan konflik dan atau konfrontasi, termasuk juga untuk meningkatkan kerja sama di segala bidang pada masa perang dingin yang marak dengan pertentangan ideologi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka arah dan kebijakan pembangunan di bidang hubungan luar negeri Indonesia dituangkan ke dalam kebijakan konkret melalui Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan TAP MPR No. II/1973 kemudian dalam GBHN tahun 1988 dan tahun 1993, dimana sasarannya masih belum berubah.

Indonesia sebagai negara anggota ASEAN merupakan kekuatan utama dalam hal ukuran demografi dan sumber daya, juga merupakan salah satu negara pencetus gagasan pembentukan dan pendiri ASEAN, sehingga kurangnya konsensus atas peran Indonesia dalam ASEAN pada kenyataannya akan menghambat keberhasilan upaya menuju kerja sama regional. Indonesia dianggap sebagai Central point ASEAN, baik oleh para anggota maupun para pengamat dari luar ASEAN. Oleh karena itu kebijakan luar negeri Indonesia terhadap ASEAN menjadi bahan kajian bagi anggota ASEAN yang lainnya.

Secara struktural-fungsional ASEAN telah mengalami perkembangan yang bertujuan untuk meningkatkan perdamaian, kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan negara-negara ASEAN, melalui stabilitas politik di kawasan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

99Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

Asia Tenggara. Pada KTT ASEAN I tahun 1976 di Bali, telah disempurnakan berbagai hal yang menyangkut kerja sama regional dalam menghadapi dinamisme perubahan dalam lingkup internasional, yakni dengan menyetujui pembentukan Sekretariat ASEAN, Deklarasi kesepakatan ASEAN (Declaration of ASEAN Concord), perjanjian persahabatan dan kerja sama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) merupakan tata perilaku yang mengatur hubungan internasional (Code of Conduct) bagi pergaulan di Asia Tenggara.

Dalam KTT ASEAN III di Manila (1987), dilakukan terobosan besar yang mengubah model kerja sama ekonomi ASEAN, yang selama ini tidak berlangsung mulus. Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah karena situasi politik Asia Tenggara yang pada saat itu masih diwarnai oleh konflik politik dan pertentangan ideologi, selain kurangnya perekat untuk menciptakan komplemen-taritas komoditi unggulan ASEAN, model kerja sama ASEAN pun yang terlalu berdasarkan pada Declaration of ASEAN Concord dan Treaty or Amity and Cooperation in Southeast Asia padahal ASEAN harus berpandangan jauh ke depan. Mengingat situasi dan kondisi internasional sedang mengacu ke arah perubahan yang kondusif ke arah perdamaian yang dapat menjamin kelangsungan hidup ASEAN. Situasi dan kondisi tersebut antara lain ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:1. Tercapainya persetujuan pengurangan dan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

100 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

pembatasan senjata nuklir jarak menengah antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet pada tahun 1987;

2. Munculnya Mikhail Gorbachev sebagai tokoh reformis Uni Sovyet dengan gebrakan inward looking melalui strategi Glasnost dan Perestroika;

3. Rapprochment antara Beijing dan Moskow yang membawa dampak dalam hubungan negara-negara di Asia Tenggara; dan

4. Pendekatan Timur-Barat yang mengubah pandangan selama ini, bahwa sosialisme-komunisme tidak dapat berhubungan dengan kapitalisme-liberalisme.

Hal ini menjadi masukan bagi Indonesia, dimana stabilitas regional akan mendukung stabilitas nasional negara-negara di kawasan. Karenanya segala konflik yang menyebabkan instabilitas kawasan harus segera diakhiri. Untuk maksud tersebut solidaritas ASEAN perlu ditingkatkan, khususnya dalam menghadapi konflik Kamboja yang saat itu dianggap sebagai prasyarat, sekaligus faktor dominan untuk menciptakan stabilitas kawasan. Indonesia menjadi pelopor diplomasi penyelesaian masalah Kamboja melalui forum internasional dan mendirikan pemerintah koalisi Kamboja (CGDK). Kini mencoba diplomasi gaya baru untuk membuat terobosan, dengan menawarkan konsep Cocktail Party atau pertemuan tidak formal antara pihak-pihak yang bersengketa atas Kamboja. Formula ini

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

101Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

menggunakan model penyelesaian regional, tanpa melibatkan negara-negara besar. Hal ini sesuai dengan keinginan Vietnam, dan prasyarat bagi terwujudnya perdamaian sesuai dengan tuntutan ASEAN yakni keluarnya Vietnam dari Kamboja.

Gagasan Indonesia menyelenggarakan Cocktail Party ini diramu dalam kerangka “face saving formula” dalam arti menyelamatkan muka Vietnam yang sudah mulai terdesak di forum internasional. Upaya ini menampakkan keberhasilan sehingga kemudian dilanjutkan dengan Jakarta Informal Meeting I ( JIM I) dan Jakarta Informal Meeting II (JIM II). Pada akhirnya Vietnam menyetujui untuk menggunakan formula internasional dalam penyelesaian masalah Kamboja, yaitu dengan diselenggarakannya Konferensi Paris pada tahun 1990.

Upaya penyelesaian masalah Kamboja, diimbangi konsolidasi ASEAN di bidang ekonomi. Declaration of ASEAN Concord, khususnya yang mengatur kerja sama joint venture dan bidang industri, perlu direvisi. Di sinilah kerja sama intra-ASEAN mulai diwujudkan, yaitu bahwa kerja sama ASEAN tidak selalu harus meliputi semua negara ASEAN, tapi dapat secara bilateral atau trilateral, yang dapat dilakukan oleh sesama negara anggota ASEAN. Indonesia juga beranggapan belum saatnya untuk melakukan kerja sama integrasi ekonomi melalui kawasan perdagangan bebas di Asia Tenggara, mengingat masih terdapatnya berbagai kendala antara lain:

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

102 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

1. Masih belum berimbangnya perkembangan ekonomi antara negara ASEAN.

2. Sektor industri belumlah dapat dijadikan andalan ekspor penerimaan devisa.

3. Masih terjadi kompetisi perdagangan komoditi yang sama.

Dalam mempersiapkan diri ke arah perdagangan bebas ASEAN dilakukan dengan mengembangkan konsep yang diajukan oleh Singapura “Growth Triangle” atau segitiga pertumbuhan; suatu model kerja sama tiga negara yang mempunyai kedekatan geografis dan mengembangkan kawasan berikat untuk kerja sama di bidang ekonomi. Sebagai produk percontohannya adalah apa yang dinamakan IMS-GT (Indonesia-Malaysia-Singapua Growth Triangle), dan IMT-GT (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle). Model kerja sama inilah yang diupayakan untuk perdagangan intra-ASEAN agar saling komplementer.

Dalam mengkonsolidasikan diri pada kerja sama ekonomi intra-ASEAN, tahun 1991 Indonesia mulai tampil sebagai negara pembina kerukunan di kawasan Asia Tenggara, termasuk mencari cara untuk menghindarkan konflik di masa mendatang. Pasca konflik Kamboja, antisipasi bahwa klaim tumpang tindih atas kepulauan Spartly di laut China Selatan dan Ligitan (Malaysia dengan Indonesia) akan menjadi konflik potensial di masa mendatang. Karena itu, pemerintah Indonesia secara antisipatif mengajak pihak-pihak yang

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

103Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

bersengketa agar sejak dini berunding dan menghindarkan pertentangan yang memuncak, maka diadakanlah sejumlah lokakarya, yang rutin diselenggarakan setiap tahun.

Di samping kebijakan luar negeri yang diarahkan ke ASEAN dan Asia Tenggara, Indonesia ikut berperan aktif dalam kegiatan forum internasional. Pada periode pasca perang dingin (1990-sekarang), terlihat berbagai upaya Indonesia untuk memainkan peran yang lebih besar di dunia internasional disertai prinsip bebas aktif yang dijalankan lebih tegas. Indonesia mulai meningkatkan kredibilitasnya dan peduli terhadap masalah-masalah yang dihadapi negara berkembang. Manifestasinya terlihat dari adanya kesepakatan untuk normalisasi hubungan diplomatik dengan RRC (1990), adanya kesepakatan para Menteri Luar Negeri Gerakan Non Blok (GNB) yang menempatkan Indonesia sebagai tuan rumah KTT GNB X tahun 1992 telah membuka peluang bagi Indonesia untuk memimpin GNB (sebagai Ketua pada periode 1992-1995).

Guna menghadapi lingkungan strategis baru, Indonesia mulai mencoba melakukan penyeimbangan antara aspek bebas dan aktif dalam politik luar negerinya.

Sejalan dengan perkembangan liberalisasi dan globalisasi dunia yang mempunyai ciri dan dampak tertentu yang didorong oleh adanya kemajuan di bidang teknologi komunikasi, teknologi transportasi, teknologi informasi, ternyata menimbulkan terjadinya hal-hal berikut ini:

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

104 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

1. Interlinkages yang sangat erat antara berbagai faktor yang terjadi dari kepentingan negara-negara sebagai pelaku politik luar negeri, menjadi sangat integrated dari kepentingan subjek di luar negara termasuk pelaku ekonomi, pelaku bisnis, dan juga LSM yang saling terkait.

2. Sektor-sektor dalam hubungan luar negeri dan internasional dalam bidang ekonomi, politik sosial dan budaya tidak bisa dipisahkan, karena terdapat saling ketergantungan (interdependensi).

3. Pendekatan bilateral, regional, antar regional dan global terkait artinya, dan tidak bisa dipisahkan.

Liberalisasi dan globalisasi dunia dalam perkembangannya ternyata mengarah pada kerja sama ekonomi dan telah membentuk blok-blok perdagangan seperti ME, UE dengan single market-nya, termasuk NAFTA untuk Amerika, Kanada dan Meksiko.

Hal ini merupakan ancaman eksternal terhadap Survival Economic Cooperation ASEAN di samping adanya faktor lain yang bersifat internal yaitu yang menimbulkan kesadaran bahwa tidak baik apabila terdapat ketergantungan terhadap komoditi tertentu. Secara faktual yang terjadi pada akhir tahun 70-an dan pada awal tahun 80-an, ketika terjadi dua krisis yaitu krisis energi dan krisis komoditi, harga minyak jatuh sangat tajam setelah

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

105Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

naik begitu tinggi. Disusul kemudian jatuhnya komoditi primer.

Kenyataan tersebut membuat banyak negara termasuk Asia Timur, Asia Tenggara sadar, bahwa memang tergantung pada komoditi tertentu itu sangat tidak baik. Untuk menjawab tantangan-tantangan eksternal dan internal tersebut maka ASEAN melakukan penyesuaian dan adjustment di dalam kebijakannya sehingga secara berangsur-angsur dapat tercapai. Perubahan-perubahan antara lain mengenai komoditi yang dihasilkan oleh negara-negara anggota ASEAN yang pada awalnya bersifat kompetitif menjadi komplementer. Dalam waktu 10-15 tahun terlihat adanya situasi internal kerja sama ASEAN berubah ke arah yang lebih kondusif, dimana perubahan struktur ini menghasilkan perekonomian ASEAN yang mulai strategis.

Pada KTT ASEAN IV di Singapura (1992), ASEAN memutuskan menerapkan kawasan perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan untuk kawasan Asia Tenggara. Hal ini dimung-kinkan karena secara politis-ideologis negara-negara di Asia Tenggara tidak terlibat konflik yang serius. Adapun yang tersisa hanyalah konflik-konflik internal seperti di Kamboja dan Myanmar. Dengan kondisi seperti ini maka Indonesia beranggapan bahwa kawasan berikat kini dapat ditingkatkan melalui AFTA atas pertimbangan:1. Negara-negara ASEAN, khususnya Thailand,

Malaysia, Indonesia dan Filipina, berkembang

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

106 Konfigurasi Perkembangan Lingkungan Regional

menjadi negara industri manufaktur. Mengikuti Singapura yang kerja sama ekonominya komple-menter;

2. Konflik-konflik regional telah surut;3. Adanya blok-blok perdagangan dari luar

kawasan yang bersifat ekslusif; dan4. Peran swasta ASEAN mulai dilibatkan dalam

mekanisme kerja sama ekonomi intra-ASEAN.

AFTA yang telah disetujui dan mulai direalisasikan sejak 1 Januari 1993 sampai kurun waktu 15 tahun, dipercepat menjadi 10 tahun (tahun

BAB IVSTUDI KASUS IMPLEMENTASI

KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN DI JAWA BARAT

(BIDANG KOMODITAS AGRO)

Propinsi Jawa Barat merupakan bagian dari rangkaian pegunungan yang membentang dari

ujung Utara Pulau Sumatera atau Bukit Barisan melalui Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara sampai ke ujung Utara Pulau Sulawesi, yang berupa deretan gunung api yang masih aktif maupun tidak aktif serta membentuk suatu rangkaian pegunungan. Secara umum, Propinsi Jawa Barat terbagi menjadi wilayah pegunungan di bagian Selatan, serta wilayah dataran dan lereng yang landai di bagian Utara. Wilayah Selatan pada umumnya terdiri atas pegunungan yang secara morfologi dapat dibedakan atas pegunungan batuan tua dan kerucut-kerucut gunung api muda serta morfologi pantai yang relatif curam apabila dibandingkan wilayah utara yang landai selain dataran pantainya yang luas.

Kondisi geografis Jawa Barat yang strategis merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat dalam bidang komunikasi dan perhubungan. Kawasan Utara merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan Selatan berbukit-bukit dengan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

108 Studi Kasus Implementasi...

sedikit pantai dan dataran bergunung-gunung ada di kawasan tengah. Jawa Barat memiliki lahan yang subur yang berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai menyebabkan sebagian besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian, sehingga Jawa Barat ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional.

Agribisnis sebagai salah satu core business pembangunan Jawa Barat, berkonotasi bahwa sektor ini adalah sebagai penggerak dan titik bertemunya sektor ekonomi lainnya yaitu industri manufaktur dan jasa-jasa. Adanya keterbatasan infrastruktur agribisnis akibat ketimpangan perhatian terhadap pertanian di masa lalu, kurangnya sinkronisasi dan koordinasi antara instansi pengemban pembangunan, serta keterbatasan sumberdaya pembangunan yang dimiliki pemerintah maupun masyarakat dunia usaha, menjadi dasar perlunya perhatian dalam akselerasi penataan dan pengembangan agribisnis sebagai salah satu sumberdaya ekonomi di Jawa Barat.

Permasalahan utama yang kini dirasakan dan memerlukan pemecahan segera dalam pengembangan agribisnis di Jawa Barat, antara lain:1. Produk agribisnis Jawa Barat masih lemah

dalam tingkat pemenuhan kuantitas, kualitas, harga yang proporsional dan kontinuitas supply sebagaimana yang diinginkan oleh pasar.

2. Belum adanya Sistem Penjaminan/Sertifikasi Mutu produk agribisnis yang kredibel,

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

109Studi Kasus Implementasi...

independen, terakreditasi dan diakui pasar dunia internasional.

3. Masih lemahnya sistem informasi yang meng-hubungkan antara kebutuhan pasar dengan produksi yang ada di produsen (petani), sehingga segmen pasar yang tersedia tidak dapat dimasuki oleh produk yang ada. Di lain pihak, berlimpahnya produksi menimbulkan terjadinya stagnasi di sentra-sentra produsen sebagai akibat dari keterbatasan informasi pasar yang terlalu mengandalkan pasar langganan yang sudah ada, sekalipun jumlahnya masih terbatas.

4. Terbatasnya fasilitas transaksi antara produsen dengan segmen pasar yang ada.

4.1 Pengembangan Agrobisnis dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Jawa Barat 2005-2025Misi ketiga dari Misi Pembangunan Jawa

Barat 2005-2025 menyebutkan “Mewujudkan perekonomian. yang tangguh berbasis pada agrobisnis; adalah mengembangkan dan memperkuat perekonomian regional yang berdaya saing global dan berorientasi pada keunggulan komparatif, kompetitif dan kooperatif dengan berbasis pada potensi lokal terutama dalam agribisnis. Pengembangan ekonomi regional didukung oleh penyediaan infrastruktur yang memadai, tenaga kerja yang berkualitas dan regulasi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

110 Studi Kasus Implementasi...

yang mendukung pencapaian iklim. investasi yang kondusif”.

Terwujudnya perekonomian yang tangguh berbasis pada agribisnis, ditandai oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Meningkatnya keterkaitan antara sektor primer,

sektor sekunder dan sektor tersier dalam suatu sistem yang produktif, bernilai tambah dan berdaya saing serta keterkaitan pembangunan ekonomi antar wilayah.

2. Tersedianya jaringan infrastruktur transportasi yang andal dan terintegrasi, terpenuhinya pasokan energi yang andal dan efisien, tersedianya infrastruktur komunikasi yang efisien dan modern serta tersedianya infrastruktur sumber daya air yang berkualitas.

3. Meningkatnya PDRB, laju pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, investasi di daerah, nilai ekspor produk serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor.

4. Tercukupinya kebutuhan pangan masyarakat Jawa Barat.

5. Tersedianya penunjang perkembangan ekonomi dalam bentuk regulasi yang efektif, pembiayaan yang berkelanjutan, sumberdaya manusia yang berkualitas, teknologi tinggi dan tepat guna, jaringan distribusi efektif dan efisien serta sistem informasi yang andal.

Berikut beberapa poin penting yang disarikan dari RPJPD Jawa Barat Tahun 2005-2025:1. Arah pencapaian pertumbuhan ekonomi yang

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

111Studi Kasus Implementasi...

lebih tinggi harus berkelanjutan dan berkualitas, dalam arti meningkatkan kemakmuran bagi seluruh masyarakat Jawa Barat yang didukung oleh iklim usaha yang berdaya saing secara global.

Keberhasilan pencapaian visi pembangunan sangat ditentukan oleh kemampuan daerah untuk memanfaatkan potensi wilayah melalui pengembangan kegiatan utama (core business). Pembangunan ekonomi daerah Jawa Barat tahun 2005-2025 diarahkan kepada peningkatan nilai tambah segenap sumberdaya ekonomi melalui industri pengolahan dan jasa dalam arti luas yang berbasis pada agribisnis serta revitalisasi pertanian dalam arti luas

Agribisnis di Jawa Barat sudah ada dan tumbuh di masyarakat serta masih memiliki potensi yang besar dan variatif untuk didukung agroekosistem yang cocok, untuk pengembangan komoditas pertanian sehingga komoditas pertanian memiliki citra yang positif dan berdaya saing baik pada tingkat lokal, regional dan internasional.

Pengembangan agribisnis di Propinsi Jawa Barat diarahkan pada: 1) pengembangan industri input yang memadai dari segi jumlah, kualitas dan waktu sesuai dengan tuntutan pengembangan agribisnis hiIir; 2) pengembangan teknologi budidaya dan organisasi produksi yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman, ternak dan ikan dengan menggunakan lahan minimal dan ramah lingkungan untuk

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

112 Studi Kasus Implementasi...

menghasilkan produk yang berkualitas dan aman bagi konsumen; 3) peningkatan nilai tambah melalui pengolahan hasil produk primer; 4) pengembangan sistem pemasaran yang berorientasi pada perubahan permintaan konsumen; 5) pengembangan penunjang sistem agribisnis yang berfungsi mengatur dan memandu sistem agribisnis, dan 6) pengembangan jejaring bisnis terintegrasi yang menggambarkan harmoni antar pelaku bisnis pada tingkat institusi pemerintah terkait, produsen dan pelaku jasa agribisnis dalam lingkup wilayah dan lingkup fungsional.

2. Dalam rangka meningkatkan daya saing, pengembangan industri Jawa Barat diarahkan pada; Pertama, peningkatan nilai tambah dan produktivitas melalui diversifikasi produk (pengembangan ke hilir), pendalaman struktur (hulu-hilir), penguatan hubungan antar industri, dan pendukungan infrastruktur produksi yang antara lain tersedianya sarana dan.prasarana fisik (transportasi, komunikasi, energi, serta sarana dan prasarana teknologi), prasarana pengukuran standardisasi, pengujian dan pengendalian kualitas; serta sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan tenaga kerja industri. Kedua, pembangunan industri yang berkelanjutan, dimana produksi industri harus memperhatikan faktor lingkungan sehingga dapat menghasilkan industri produksi bersih (green product/ecological product). Ketiga, pengembangan Industri Kecil dan Menengah

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

113Studi Kasus Implementasi...

(IKM) sehingga mampu berdaya saing baik di pasar lokal maupun internasional.

3. Pengembangan perdagangan dalam negeri diarahkan pada peningkatan sistem informasi pasar dan penguasaan akses pasar lokal dan regional, meningkatkan sistem distribusi yang efektif dan efisien dengan harapan akan terjaminnya ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat. Adapun untuk pengembangan perdagangan luar Negeri diarahkan pada penguatan akses dan jaringan perdagangan ekspor, sehingga diharapkan dapat memperkuat posisi produk Jawa Barat di mata internasional. Upaya tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap pembangunan pereko-nomian Jawa Barat sehingga diharapkan dapat memberikan nilai tambah yang sebesar-besarnya terhadap kesejahteraan masyarakat.

4. Kini dalam memasuki RJPM tahap Kedua (2008-2013) pengembangan agribisnis terfokus pada beberapa hal dimulai dengan penataan agribisnis yang ada dan penyelesaian permasalahan yang dihadapi di setiap sub sistem agribisnis. Dari segi sistem agribisnis yang perlu dilakukan pada tahap ini yaitu: 1) penataan agribisnis yang ada; 2) perbaikan subsistem agribisnis yang bermasalah; 3) revitalisasi agribisnis untuk pembangunan ekonomi; 4) mengubah proporsi peran agribisnis dalam struktur PDRB Propinsi Jawa Barat; dan 5) realokasi sumberdaya, pendanaan, dan wilayah

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

114 Studi Kasus Implementasi...

pertumbuhan agribisnis.Dengan menempatkan agribisnis sebagai

suatu sistem, konsekuensinya akan mengubah proporsi peran agribisnis dalam perekonomian Propinsi Jawa Barat. Implikasi lebih lanjut dari reposisi ini adalah realokasi sumberdaya ekonomi yang lebih berat ke pengembangan agribisnis. Sedangkan pada sektor perdagangan diharapkan dapat mengoptimalkan pasar dalam negeri, penataan distribusi barang dan meningkatkan orientasi ekspor.

5. Pada RPJM tahap Ketiga (2013-2018) akan terjadi tahap pemantapan mutu. Ini merupakan tahap pengembangan teknologi agribisnis hulu dengan agribisnis hilir, diperoIehnya komitmen terhadap pembangunan agribisnis di Propinsi Jawa Barat. Pemantapan mutu merupakan komitmen Propinsi Jawa Barat untuk merespons setiap tuntutan konsumen, terutama terhadap mutu, kenyamanan, keamanan, kesehatan, kelestarian dan isu-isu lingkungan lainnya. Tuntutan tersebut memerlukan rekayasa teknologi di semua subsistem agribisnis. Pada tahap ini diperlukan: 1) Supply Chain Management yang efektif dan efisien; 2) Budaya mutu dan merek; 3) Sertifikasi dan standardisasi produk; 4) Respons terhadap upaya mencapai kepuasan konsumen; dan 5) Kelembagaan penunjang yang efisien. Pada faktor industri dan perdagangan tahapan pembangunan ini diarahkan pada penciptaan lingkungan bisnis yang nyaman dan kondusif, pengembangan kemampuan inovasi,

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

115Studi Kasus Implementasi...

peningkatan kemampuan sumber daya industri dan mengembangkan industri kecil yang tangguh. Sedangkan pada sektor perdagangan diarahkan pada perluasan kawasan perdagangan ekspor dan penataan distribusi barang, pemberdayaan produk dalam negeri dan pengembangan pasar dalam negeri.

6. Pada RPJM tahap Keempat (2018--2023) pengem-bangan pertanian Propinsi Jawa Barat harus sudah menguasai jaringan bisnis yang luas. Hal ini ditunjukkan dengan adanya integrasi vertikal dan integrasi horizontal dalam sistem agribisnis. Untuk itu diperlukan: 1) Holding Company dan integrasi integrasi vertikal tingkat lokal, regional, dan internasional; 2) Kolaborasi bisnis di tingkat Jawa Barat dan propinsi lain; dan 3) Relasi bisnis di pasar internasional. Pada tahap ini agribisnis Propinsi Jawa Barat sudah berkembang menembus batas--batas wilayah propinsi dan negara. Konsekuensinya adalah pada tahap ini persaingan global akan semakin kuat. Selama tahapan sebelumnya dapat dilalui dengan baik, pada tahap pengembangan jaringan ini akan dapat dilalui dengan baik. Dalam faktor industri dan perdagangan, tahapan pemantapan diarahkan pada peningkatan daya saing industri yang berorientasi ekspor, menciptakan kesempatan kerja dalam jumlah besar dan mengoptimalkan pendayagunaan potensi dalam negeri serta perluasan perdagangan luar negeri.

7. Pada tahap Kelima (2023-2025), pertanian

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

116 Studi Kasus Implementasi...

Propinsi Jawa Barat harus sudah memasuki tahap pemenangan persaingan baik nasional maupun global. Untuk itu diperlukan: 1)Penguatan keunggulan kompetitif; 2)Terpenuhinya konsumsi Propinsi Jawa Barat dan domestik; 3) Tingginya daya terima pasar internasional; dan 4) Nilai tambah ekspor yang tinggi. Kegiatan agribisnis pada tahap ini dicirikan dengan komitmen yang tinggi terhadap tujuan memenangkan keunggulan kompetitif di pasar global, dengan ciri bisnis yang berorientasi pada efisiensi, kualitas, keamanan, dan keberlanjutan.

4.2 Faktor-Faktor Daya Saing dan Model Strategi Pengembangan Ekspor Komoditas Agro Jawa Barat dalam Kerangka AFTA 4.2.1 Faktor-Faktor Penentu Daya Saing Jawa Barat

Berdasarkan hasil wawancara dengan Dirjen ASEAN Departemen Luar Negeri serta kalangan pengusaha agro, baik di tingkat nasional maupun Propinsi Jawa Barat dapat dimaknakan bahwa dengan diterapkannya otonomi daerah pembahasan mengenai daya saing wilayah, misalnya propinsi atau wilayah administrasi lebih rendah, di Indonesia saat ini menjadi sangat relevan. Persaingan tidak hanya dalam perdagangan eksternal tetapi juga dalam menarik investasi dari luar, dan persaingan juga tidak hanya antara suatu wilayah dengan wilayah di negara (tetangga) tetapi juga antar wilayah di Indonesia. Pertanyaan sekarang adalah

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

117Studi Kasus Implementasi...

apakah Jawa Barat mampu menarik lebih banyak investor asing dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Juga, apakah Jawa Barat mampu untuk lebih banyak mengekspor ke wilayah lain daripada mengimpor dari wilayah lain di dalam negeri atau luar negeri.

Daya saing Jawa Barat ditentukan terutama oleh daya saing dari sektor-sektor atau unit-unit kegiatan usaha, misalnya sektor industri dan sektor pertanian di Jawa Barat. Kemudian daya saing Propinsi Jawa Barat sangat tergantung pada kapasitas masyarakatnya (terutama pengusaha) untuk berinovasi dan melakukan pembaharuan terus menerus, dan untuk ini diperlukan teknologi dan SDM. Oleh karena itu, berbeda dengan keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif sifatnya sangat dinamis: teknologi berubah terus, demikian juga kualitas SDM berkembang terus.

Lebih lanjut, dalam perdagangan eksternal (atau internasional), kemampuan Jawa Barat untuk menembus pasar eksternal (global) atau mening-katkan ekspornya ditentukan oleh suatu kombinasi dari sejumlah faktor keunggulan relatif yang dimiliki masing-masing perusahaan di Jawa Barat atas pesaing-pesaingnya dari wilayah/negara lain. Dalam konteks ekonomi/perdagangan internasional pengertian daripada keunggulan relatif dapat didekati dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Suatu wilayah memiliki keunggulan bisa secara alami (natural advantages) atau yang dikembangkan (acquired advantages).

Keunggulan alami yang dimiliki Jawa Barat

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

118 Studi Kasus Implementasi...

adalah jumlah tenaga kerja, khususnya dari golongan berpendidikan rendah dan bahan baku yang berlimpah. Kondisi ini membuat upah tenaga kerja dan harga bahan baku di Indonesia relatif lebih murah. Keunggulan alamiah ini sangat mendukung perkembangan ekspor komoditas-komoditas primer Jawa Barat hingga saat ini yaitu minyak dan pertanian; dan sebagian besar ekspor manufaktur khususnya yang padat karya dan berbasis sumber daya alam (seperti produk-produk dari kulit, bambu, kayu dan rotan) hingga saat ini. Sedangkan yang dimaksud dengan keunggulan yang dikembangkan adalah misalnya tenaga kerja yang walaupun jumlahnya sedikit memiliki pendidikan atau keterampilan yang tinggi dan penguasaan teknologi sehingga mampu membuat bahan baku sintesis yang kualitasnya lebih baik daripada bahan baku asli, atau berproduksi secara lebih efisien dibandingkan wilayah/negara lain yang kaya sumber daya alam.

Inti daripada keunggulan kompetitif adalah bahwa keunggulan suatu wilayah atau industri di dalam persaingan global, selain ditentukan oleh keunggulan komparatif yang dimilikinya, yang diperkuat dengan proteksi atau bantuan dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Faktor-faktor keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan/pengusaha nasional, khususnya Jawa Barat, untuk dapat unggul dalam persaingan di pasar internasional di antaranya yang paling penting yaitu:

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

119Studi Kasus Implementasi...

a. Penguasaan teknologi dan know-how; b. SDM (pekerja, manajer, insinyur, saintis)

dengan kualitas tinggi, dan memiliki etos kerja, kreativitas dan motivasi yang tinggi, dan inovatif;

c. Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi dalam proses produksi;

d. Kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan;

e. Promosi yang luas dan agresif; f. Sistem manajemen dan struktur organisasi yang

baik; g. Pelayanan teknis maupun nonteknis yang baik

(service a er sale); h. Adanya skala ekonomis dalam proses produksi; i. Modal dan sarana serta prasarana lainnya yang

cukup; j. Memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama

di luar negeri yang baik; k. Proses produksi yang dilakukan dengan sistem

just in time; l. tingkat entrepreneurship yang tinggi, yakni

seorang pengusaha yang sangat inovatif, inventif, kreatif dan memiliki visi yang luas mengenai produknya dan lingkungan sekitar usahanya (ekonomi, sosial, politik, dll.), dan bagaimana cara yang tepat (efisien dan efektif ) dalam menghadapi persaingan yang ketat di pasar global.

m.Pemerintahan yang solid dan bersih, serta sistem pemerintahan transparan dan efisien.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

120 Studi Kasus Implementasi...

4.2.2 Strategi Pengembangan Ekspor Komoditas Agro Jawa Barat dalam Kerangka AFTA

Dalam upaya menciptakan sistem penyediaan dan distribusi pangan di Jawa Barat yang direncanakan, perlu melibatkan beberapa komponen sebagai berikut:1. Fungsi/peran pemerintah daerah, mulai dari

tahap penyiapan/perencanaan dan pengoperasian pasar;

2. Peran sektor swasta dan publik, mulai dari tahap penyiapan/perencanaan dan pengoperasian pasar;

3. Indikator kinerja, yang dapat digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan dalam melakukan monitoring dan evaluasi khususnya dalam pengoperasian pasar;

4. Prioritas pengembangan, disesuaikan dengan sumberdaya yang dimiliki dalam upaya mengem-bangkan pengelolaan dan pengoperasian yang maksimal menuju sasaran yang diinginkan;

5. Tahapan pengembangan.

Penulis mengamati secara langsung beberapa kegiatan antara lain koordinasi dan sinergitas implementasi AFTA di Jawa Barat yang melibatkan para birokrasi pemerintahan di Jawa Barat seperti rapat koordinasi dan seminar-seminar sehingga dapat menangkap ungkapan-ungkapan pikiran, perasaan, yang dikemukakan para birokrasi pemerintahan berkenaan dengan implementasi AFTA di Jawa Barat. Kemudian pada tataran akar

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

121Studi Kasus Implementasi...

Gambar 4.1 Keterpaduan Upaya Peningkatan Ekspor

Komoditi Agro Jawa Barat dalam Kerangka AFTA

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

122 Studi Kasus Implementasi...

rumput banyak aktivitas di tingkat masyarakat yang dapat diamati secara langsung oleh penulis, misalnya proses di lapangan yang berkenaan dengan pengadaan komoditas, pengolahan dan pemasaran komoditas pertanian Jawa Barat dalam kerangka AFTA. Dari keseluruhan proses di atas penulis mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai upaya terpadu peningkatan ekspor komoditi agro Jawa Barat dalam kerangka AFTA seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.1

Sebagaimana terlihat, dalam gambar 4.1 tampak adanya tahapan-tahapan yang saling terkait satu sama lain dalam proses peningkatan ekspor komoditi agro dalam kerangka AFTA yaitu:1. Tahap penulisan dan pengkajian kebijakan yang

di dalamnya terdapat proses pembuatan analisis ekspor.

2. Tahap pengembangan operasional; meliputi bimbingan ekspor terpadu dan bimbingan program internet homepage ekspor.

3. Tahap pengembangan sistem informasi industri dan perdagangan; meliputi pengembangan jaringan informasi pusat data dan pengembangan sistem informasi industri dan perdagangan.

4. Tahap Penataan Struktur Industri dan Perdagangan; meliputi pengembangan iklim peningkatan ekspor, peningkatan pasar ekspor komoditi, pengembangan industri olahan produk agro berorientasi ekspor, dan identifikasi produk ekspor potensial/unggulan/ diunggulkan.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

123Studi Kasus Implementasi...

5. Tahap pengembangan dan diversifikasi produk agro; meliputi sistem informasi industri dan perdagangan peningkatan desain produk dan promosi, sertifikasi komoditi agro, akses pasar lokal, regional dan internasional, dan pengembangan kemitraan usaha dan pembiayaan.

6. Tahap pengembangan dan pembinaan usaha nasional; meliputi identifikasi produk BUMN untuk ekspor dan peningkatan ekspor melalui BUMN.

7. Tahap pengembangan ekspor; meliputi pelatihan ekspor, identifikasi pelaku ekspor, identifikasi pelaku ekspor di daerah, pameran dan promosi ekspor, informasi muatan ruang kapal, pengamatan dan intelejen pasar, pengembangan bursa komoditi, analisis produk-produk agro, pengem-bangan ekspor daerah, pelayanan informasi ekspor, pembinaan mutu produk untuk komoditi ekspor, forum komunikasi dan konsultasi ekspor, identifikasi hambatan prosedur dan dokumentasi ekspor, dan peningkatan perdagangan imbal beli.

8. Tahap pengembangan kerja sama perdagangan internasional; meliputi penyusunan pedoman kontak hubungan dagang, identifikasi hambatan akses pasar, pembentukan tim pengkajian strategi ekspor, dan penyusunan dan penyebarluasan informasi perdagangan bilateral, regional, dan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

124 Studi Kasus Implementasi...

multilateral.

4.3 Kondisi Riil Kesiapan Jawa Barat Melakukan Implementasi AFTA Bidang Perdagangan Komoditas Agro (Model Edward III)

Lebih lanjut, kaitannya dengan kondisi riil kesiapan Jawa Barat melakukan implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat, berdasarkan panduan teoretis dari pemikiran Edward III, hasil observasi dan wawancara terkaji beberapa hal sebagai berikut:

4.3.1 Kegiatan KomunikasiDari pengamatan di lapangan, kegiatan

komunikasi dalam kerangka perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat tidak berjalan sesuai dengan entitas dassein. Pemerintah seharusnya menunjuk implementor yang dinilai akan menjalankan seluruh proses komunikasi. Di tingkat propinsi Jawa Barat implementor tersebut hanya bertumpu pada satu instansi yakni Dinas Industri dan Perdagangan Agro. Padahal proses komunikasi yang dijalankan berkenaan dengan implementasi AFTA bidang komoditas pertanian di Jawa Barat memerlukan suatu institusi yang tingkat kewenangannya dapat bersifat lintas sektoral dan implementor yang dimaksud diharapkan dapat mengawasi dan mengendalikan transmisi seluruh pesan yang menjadi dasar dari pemahaman perdagangan komoditas pertanian dalam kerangka AFTA di Jawa Barat.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

125Studi Kasus Implementasi...

Dari pengamatan di lapangan, tidak berjalannya kegiatan komunikasi sesuai yang diharapkan misalnya terkaji dalam tataran Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat. Tugas komunikasi yang menjadi tanggung jawab dari instansi dimaksud hanya berkisar pada penyuluhan kepada komunikan dengan mempergunakan media seminar-seminar dan lokakarya. Kegiatan seperti ini hanya diikuti oleh para pelaku pasar yang berada di tingkat organisasi profesi seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadinda) atau asosiasi yang bergerak di bidang pertanian, seperti DPD Asosiasi Pengusaha Komoditas Pertanian Jawa Barat, KUD dan kelompok-kelompok tani.

Kegiatan yang menjadi substansi dari faktor komunikasi ini tidak dapat dilaksanakan karena persepsi terhadap komunikasi yang lebih dipahami sebagai suatu proses untuk menyampaikan pesan dalam tatanan stuktural saja. Dalam pemahaman para implementor, perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat hanya berkisar pada para pelaku pasar saja. Informasi yang disampaikan sebagai pesan tidak dirasakan oleh para petani secara langsung, bahkan persyaratan perdagangan bebas yang kemudian menjadi tujuan dari informasi yang disampaikan tidak dipahami secara jelas.

Para petani juga tidak merasa berkewajiban untuk menyesuaikan dengan kebutuhan hasil produksi mereka dalam kerangka perdagangan bebas yang menjadi tuntutan untuk dilaksanakannya AFTA. Hal ini merupakan bukti dari pemahaman yang dimiliki komunikator/

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

126 Studi Kasus Implementasi...

implementor terhadap komunikasi yang dimaknakan hanya sebagai sosialisasi. Lebih tegasnya, implementor merasa berkewajiban untuk mensosialisasikan kondisi kesiapan untuk perdagangan komoditas pertanian dalam kerangka AFTA. Sosialisasi yang dimaksud tidak dengan pemahaman yang mendalam tentang berbagai substansi mendasar dari sebuah persyaratan perdagangan bebas.

Pemahaman yang terbatas terhadap situasi dan kondisi yang menjadi persyaratan bagi pelaksanaan perdagangan bebas dalam kerangka AFTA tersebut, berdasarkan catatan wawancara, tidak sepenuhnya menjadi kesalahan dari para implementor. Setidaknya, keputusan pelaksanaan AFTA merupakan sebuah kesepakatan mengikat yang menjadi hasil dari berbagai pertemuan di tingkat tinggi antarnegara anggota ASEAN. Kesepakatan tersebut lebih banyak merupakan hasil dari pertemuan tingkat kepala negara anggota ASEAN atau tingkat menteri. Bahkan apabila dilihat dari kajian pustaka yang ada, mulai dari pembentukan ASEAN (8 Agustus 1967), KTT ASEAN IV di Singapura sampai dengan pertemuan yang sama tahun 1997 terlihat lebih banyak pertemuan dan kesepakatan AFTA dilakukan oleh para eksekutif di tingkat menteri luar negeri. Menteri luar negeri dari negara-negara ASEAN ini bertindak sebagai pengambil keputusan meneruskan struktur sistem ASEAN Secretariat yang ada dalam tataran supranasional dari negara-negara anggota.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

127Studi Kasus Implementasi...

Kondisi seperti itu memungkinkan terjadinya ketidakjelasan perintah yang ada bagi pelaksanaan komunikasi. Paling tidak, kebijakan yang merupakan hasil dari kesepakatan ASEAN melalui menteri luar negeri tidak akan mudah untuk disampaikan secara langsung kepada Departemen Perdagangan. Kebijakan tersebut harus melalui proses panjang mulai dari ratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat sampai kepada keputusan presiden yang dilanjutkan kepada Departemen Perdagangan (pada masa itu Departemen Perdagangan dan Industri).

Kesulitan selanjutnya justru berada di tingkat pemerintah daerah yang sudah menganut pola kerja otonomi daerah. Pemberlakuan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan direvisi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memperlihatkan adanya ketimpangan hubungan instansi departemen terhadap struktur yang sama di pemerintah daerah. Artinya, struktur Dinas Perdagangan yang ada di pemerintah daerah tidak akan sama kedudukannya dengan ketika menjadi bagian integral dari Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Demikian halnya Dinas Industri dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat bukan merupakan “bawahan” dari Departemen Perdagangan Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Pola kerja yang ada pun hanya bersifat koordinatif tidak bersifat intruksif, sehingga masih harus berdasarkan persetujuan (tembusan) dari kepala daerah atau gubernur.

Pola hubungan yang tidak langsung seperti

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

128 Studi Kasus Implementasi...

ini mengakibatkan sulitnya komunikasi yang terjadi dari Departemen Perdagangan kepada Dinas Industri dan Perdagangan di pemerintah daerah. Kesulitan yang sama juga dialami oleh implementor dari posisi Dinas Industri dan Perdagangan Agro yang oleh pemerintah Daerah Jawa Barat dikatagorikan secara mandiri terpisah dari Dinas Industri dan Perdagangan induk. Dengan kondisi tersebut dapat dimengerti sulitnya menemukan faktor ketegasan dalam informasi yang diberikan oleh implementor dari pejabat di Dinas Industri dan Perdagangan Jawa Barat. Selain posisinya sebagai Dinas yang baru berdasarkan Perda tentang SOTK Pemerintah Daerah Jawa Barat, implementor perdagangan agro ini berhadapan dengan persoalan klasik dari posisi Dinas Industri dan Perdagangan Jawa Barat yang masih memposisikan diri sebagai induk organisasi dari Dinas Industri dan Perdagangan Agro.

Pada praktiknya, informasi kebijakan yang turun dari Departemen Perdagangan RI mengenai kerangka pelaksanaan AFTA sudah berhadapan dengan struktur yang ada di Departemen Luar Negeri. Setidaknya, ejawantah dari kebijakan perdagangan bebas sebagai kesepakatan ASEAN dari Departemen Luar Negeri masih menjadi bagian dari proses kerja yang dihasilkan dari Direktorat Jenderal ASEAN. Berdasarkan wawancara dengan pejabat di lingkungan Direktorat ASEAN dinyatakan bahwa kesulitan struktural merupakan kendala yang sering dihadapi dalam pelaksanaan kesepakatan perdagangan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

129Studi Kasus Implementasi...

bebas ASEAN (AFTA). Kendati keputusan yang diambil atas nama

menteri luar negeri dan disampaikan kepada departemen terkait dalam pelaksanaan AFTA, kerapkali keputusan tersebut dipandang “sebelah mata” oleh instansi dimaksud. Hal ini sebagai akibat dari arogansi sektoral yang berkembang dari budaya organisasi di negeri ini. Seorang menteri pemimpin departemen tertentu tidak akan merasa berkewajiban untuk melaksanakan kebijakan yang datang dari struktur direktorat jenderal, apalagi dari departemen lain. Bahkan keputusan sejenis yang datang dari menteri di lingkungan yang berbeda pun sulit untuk dilaksanakan oleh menteri di departemen lain.

Keadaan ini, menurut Dirjen ASEAN akan membuat kebijakan tentang AFTA menjadi bias dan sulit dipahami sampai pada tingkat “akar rumput”. Masyarakat awam (man in the street) tidak akan bisa memahami secara utuh, bagaimana sesungguhnya makna dari sebuah kebijakan perdagangan bebas yang menjadi kesepakatan ASEAN itu. Apalagi kenyataan akan adanya perdagangan bebas dunia justru diartikan sebagai praktek liberalisasi yang negatif sehingga terkadang maknanya sama dengan kolonialisme. Selain substansi dari kebijakan yang terkadang bias (perintah yang tidak jelas), tidak jarang kebijakan tersebut berjalan lambat karena keterlambatan dari sampainya informasi tentang kebijakan itu kepada masyarakat pelaku ekonomi dan petani yang berkepentingan dengan kebijakan AFTA.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

130 Studi Kasus Implementasi...

Penulis berpendapat bahwa kondisi di atas menyiratkan adanya bias komunikasi antara para implementor kebijakan tingkat nasional, tingkat propinsi, para pelaku bisnis sampai dengan tataran akar rumput. Secara teoretik isi pesan yang disampaikan tidak diterima dengan baik oleh komunikan. Ini berarti, proses efek dari transformasi informasi yakni kesan yang didapat oleh komunikan, setelah dia mendapatkan pesan pun tidak berlangsung semestinya.

Dalam konteks implementasi AFTA di tataran akar rumput terlihat bahwa para petani tidak memberikan feed-back positif yang mendukung implementasi AFTA. Hal itu karena komunitas petani agro di Jawa Barat tidak memperoleh informasi berkenaan dengan apa manfaat yang secara langsung dapat mereka dapatkan dengan adanya keikutsertaan komunitas petani agro Jawa Barat dalam kerangka perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara.

Dengan demikian, tidak mengherankan apabila di masa depan implementasi AFTA di tataran akar rumput tampaknya tidak akan mendapatkan dukungan penuh dari komunitas agro Jawa Barat apabila sosialisasi untung ruginya implementasi AFTA tidak disampaikan sebagaimana mestinya.

Lebih lanjut, seperti yang disampaikan pada kajian teoretis pada pembahasan sebelumnya, interpretasi penulis ini dapat dijelaskan secara lebih mendalam seperti di bawah ini.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

131Studi Kasus Implementasi...

4.3.1.1 Faktor Transmisi dari KomunikasiSejak tahun 2002 kesepakatan AFTA ini sudah

dilaksanakan. Perintah kebijakan telah dikeluarkan akan tetapi komunikasi dari kebijakan ini tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Berbagai hal yang menjadi entitas transmisi dari komunikasi kebijakan ini adalah: 1) pertentangan pendapat; 2) distorsi/penyimpangan karena informasi; dan 3) persepsi pribadi pelaksana. Tiga hal tersebut akan dibahas secara akumulatif dan bersama-sama dalam subjudul ini.

1. Pertentangan PendapatApabila ditinjau dari hasil observasi dan

wawancara dengan berbagai informan di Dinas Industri dan Perdagangan Agro, terlihat adanya pertentangan pendapat yang cukup tajam antar-para pelaksana kebijakan kesepakatan AFTA. Masing-masing informan memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang aplikasi kesepakatan AFTA. Sebagian di tataran Subdinas menilai bahwa kebijakan AFTA ini tidak realistik sehingga akan sulit dilaksanakan di lapangan. Kekhawatiran mereka ini diawali oleh tuduhan bahwa perdagangan bebas akan memaksa masuknya para pelaku ekonomi asing yang sudah pasti memiliki tingkat kemampuan kompetisi yang tinggi. Kemampuan kompetisi yang tinggi tersebut akan mengalahkan seluruh komponen pelaku ekonomi khususnya pedagang komoditas agro di Jawa Barat.

Sebagian yang lain menilai bahwa kebijakan AFTA ini merupakan kebijakan yang sempurna

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

132 Studi Kasus Implementasi...

dan harus segera dilaksanakan untuk mewujudkan kemajuan bagi para petani di Jawa Barat. Asumsi dari pendapat ini adalah bahwa perdagangan bebas tidak mungkin dapat dibendung, sehingga yang mungkin adalah memanfaatkan arus perdagangan bebas untuk kemakmuran petani di Jawa Barat. Apabila pola adaptasi yang cepat dilaksanakan kepada seluruh jajaran petani dan pelaku ekonomi (pedagang komoditas agro) di Jawa Barat maka ke depan perdagangan bebas akan menguntungkan bagi seluruh komponen komunitas agro di Jawa Barat.

Pandangan lain lagi juga muncul, bahwa perdagangan bebas hanya akan menjadi isu rejim internasional yang tidak membawa perubahan signifikan bagi perdagangan agro di Jawa Barat. Pandangan ini menilai bahwa perkembangan dunia tentang perdagangan bebas tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Perdagangan bebas hanya akan menjadi isu politik dari negara-negara kaya untuk bisa menyerap sumber daya alam yang ada di negara-negara berkembang. Akan tetapi perdagangan bebas tersebut tidak akan berjalan lama, sehingga pada saatnya akan pupus seperti isu-isu globalisasi yang lainnya.

Perbedaan pandangan ini menimbulkan cara-cara yang berbeda dalam implementasi kebijakan kesepakatan AFTA di Jawa Barat khususnya dalam bidang perdagangan komoditas agro. Dengan perbedaan ini ketegasan untuk menentukan teknis pelaksanaan kebijakan juga tidak terlihat. Sebagian pihak menginginkan agar komunikasi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

133Studi Kasus Implementasi...

dilaksanakan dengan menggunakan penyuluhan yang mendalam dan pelatihan-pelatihan agar pemahaman mendalam juga diperoleh dari komunikan. Akan tetapi kemudian muncul pertentangan dari pihak yang berbeda bahwa pelatihan dan penyuluhan akan memakan biaya mahal dan tujuan tidak terlalu efektif. Akhirnya komunikasi hanya disepakati dengan penyampaian pesan melalui seminar dan lokakarya yang bertujuan untuk mengefisienkan penggunaan anggaran dan kewajiban dasarnya sudah dilaksanakan.

2. Penyimpangan (distorsi) Faktor kedua yang muncul adalah

penyimpangan (distorsi) karena adanya informasi melalui lapisan birokrasi yang panjang. Dalam faktor ini yang mengemuka adalah lapisan birokrasi yang terjadi di Dinas Industri dan Perdagangan Agro di Jawa Barat tidak memiliki komunikasi yang cukup baik dan intensif dengan pusat pemerintahan di Gedung Sate. Kondisi ini diakibatkan oleh posisi Dinas Industri dan Perdagangan Agro yang merupakan struktur baru dari “pecahan” dari Dinas Industri dan Perdagangan Jawa Barat. Keputusan pemisahan Dinas ini pun lebih didasarkan pada kebijakan dari keinginan kepala daerah untuk meningkatkan perdagangan dan industri agro di Jawa Barat.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya, Dinas ini lebih banyak overlaping dengan Dinas Industri dan Perdagangan induk sehingga nuansa kerjanya tidak bisa maksimal untuk menyampaikan informasi.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

134 Studi Kasus Implementasi...

Berbagai institusi di masyarakat masih lebih meletakkan kepercayaan kepada Dinas Industri dan Perdagangan induk. Kadin dan asosiasi komoditas pertanian yang ada di Jawa Barat lebih banyak mempercayakan komunikasi institusi mereka kepada Dinas Industri dan Perdagangan induk. Hal seperti ini yang mengakibatkan komunikasi dari implementor berjalan dalam distorsi lapisan birokrasi.

3. Persepsi Pribadi PelaksanaFaktor terakhir yang menjadi entitas

komunikasi adalah persepsi pribadi pelaksana yang selektif dan penolakan atas persyaratan-persyaratan. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi sumber daya manusia yang memiliki latar belakang berbeda-beda di lingkungan Dinas industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat. Dari kajian faktor ini dapat disebutkan bahwa peran dan posisi Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat ini tidak diminati oleh personil birokrasi di pemerintah daerah. Personil staf di lingkungan pemerintah daerah memiliki persepsi yang sama dalam pengakuan bahwa Dinas Industri dan Perdagangan Agro ini merupakan wadah bagi personil yang sudah tidak terpakai di lingkungan pemerintah daerah. Posisinya tidak berbeda jauh dengan lembaga-lembaga tertentu yang dipandang sama yang ada di lingkungan pemerintah daerah, seperti Badan Litbangda (Penelitian dan Pengembangan Daerah).

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

135Studi Kasus Implementasi...

Bahkan Dinas Industri dan Perdagangan Induk pun memiliki nilai yang sama sebagai “Dinas Buangan”, apalagi Dinas Industri dan Perdagangan Agro. Semua gambaran ini memberikan persepsi pribadi dari pelaksana yang selektif. Tidak setiap personil yang berkedudukan atau ditempatkan di Dinas Industri dan Perdagangan Agro merasa nyaman untuk berada dalam posisi tersebut. Bahkan posisi puncak dari jajaran eselon tertinggi di Dinas bersangkutan juga masih melakukan manuver untuk bisa sesegera mungkin mendapat mutasi dari posisinya saat ini.

Wajar kiranya apabila berbagai persyaratan yang ada dalam pelaksanaan kesepakatan AFTA dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu oleh personil yang ada di dalam Dinas Industri dan Perdagangan. Penolakan tersebut kemudian ditularkan dengan memberikan penetrasi kepada institusi yang bergerak di bidang agro pula. Karena dinilai secara pribadi sebagai nilai-nilai yang persyaratannya bertentangan dengan persepsi pribadi tersebut maka informasi yang disampaikan tidak sepenuhnya, sehingga tidak jarang komunikasi terjadi tidak sesuai dengan harapan dalam komunikasi kebijakan. Persepsi yang selektif terhadap pesan yang disampaikan mengakibatkan pesan tidak seluruhnya disampaikan dan akibatnya kebijakan kesepakatan AFTA tidak dimengerti.

4.3.1.2 Faktor Kejelasan (Clarity)Faktor ini mensyaratkan agar komunikasi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

136 Studi Kasus Implementasi...

berjalan dengan baik, maka diperlukan kejelasan dari petunjuk-petunjuk yang ada dalam kebijakan kesepakatan AFTA. Kejelasan dalam petunjuk-petunjuk itu menghadapi kendala sebagai akibat pula dari simpang siur dan biasnya pesan yang ada dari kebijakan pemerintah pusat sebagai kesepakatan AFTA sampai kepada kebijakan di bidang perdagangan komoditas pertanian agro di Jawa Barat.

Sebagai kebijakan yang dihasilkan dari keseluruhan bentuk kerja sama ASEAN dan menanggapi adanya perdagangan bebas dunia, maka kebijakan kesepakatan AFTA itupun bermakna dalam kompleksitas yang cukup tinggi. Kompleksitas kebijakan itu merupakan faktor yang sulit untuk dipahami dalam pelaksanaannya mengingat di tingkat akar rumput maupun di tingkat implementor di daerah akan berhadapan dengan kesulitan dalam memahami makna yang terkandung secara menyeluruh dalam kebijakan perdagangan bebas tersebut. Entitas dari perdagangan bebas ASEAN yang mengandung barang-barang/jasa bersifat fast track, normal track dan lain-lain bukan merupakan hal yang mudah untuk dipahami katagorisasinya oleh masyarakat pelaku ekonomi dan petani agro secara umum.

Selain itu, terdapat banyak keanekaragaman yang terjadi dalam struktur masyarakat di Jawa Barat. Keanekaragaman tersebut memunculkan berbagai kelompok kepentingan baik di bidang sosial, ekonomi dan politik, misalnya para pemilik modal, termasuk para tengkulak yang kerap menerapkan sistem ijon kepada para petani agro;

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

137Studi Kasus Implementasi...

masuknya parpol yang berupaya menjadikan para petani agro sebagai bagian dari konstituennya dengan cara mengelompokkan mereka dalam organisasi-organisasi bawahan parpol tersebut; oligarki dalam sistem pemasaran yang dikuasai oleh kelompok etnis tertentu.

Berbagai kelompok yang ada juga memiliki kekuatan sosial yang tidak mudah untuk ditembus atau bahkan memiliki kekuatan penekan tertentu bagi kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, tidak jarang pemerintah daerah (dalam hal ini Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat) berhadapan dengan kepentingan kelompok ekonomi tersebut dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi. Implementasi kebijakan kesepakatan AFTA juga berbenturan dengan berbagai kepentingan dari kelompok-kelompok ekonomi dimaksud. Petani Gula, misalnya, memiliki kepentingan yang sudah diformulasikan ke dalam kebijakan para petani gula dalam organisasi petani Tebu. Demikian juga kelompok kepentingan lainnya yang ada di Jawa Barat dalam kaitannya dengan perdagangan komoditas agro.

Tegasnya, Dinas Industri dan Perdagangan Agro juga merasa tidak dapat melaksanakan kebijakan kesepakatan AFTA terhadap substansi tertentu apabila berhadapan dengan kelompok masyarakat dimaksud. Bahkan keinginan untuk tidak mengganggu kelompok masyarakat tertentu tersebut merupakan faktor yang mengakibatkan komunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

138 Studi Kasus Implementasi...

Kondisi tidak berjalannya komunikasi tersebut ditambah lagi dengan kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan yang tidak dipahami oleh setiap personil yang ada dalam Dinas Industri dan Perdagangan Agro. Para staf yang ada sebagai SDM dalam Dinas dimaksud tidak memiliki konsensus yang kuat terhadap tujuan-tujuan dari kebijakan kesepakatan AFTA untuk mewujudkan perdagangan bebas dan mendorong komoditas agro di Jawa Barat. Bahkan banyak masalah baru yang muncul bersamaan dengan munculnya kebijakan baru yang tidak dapat diselesaikan di tingkat dinas.

Apabila sebuah faktor kebijakan yang ada berkaitan dengan dinas lain di lingkungan pemerintah Jawa Barat, maka faktor kebijakan tersebut cenderung tidak berjalan dikarenakan tidak mendapat respon yang baik dari dinas terkait bersangkutan. Sebagai contoh: apabila informasi dari Dinas Industri dan Perdagangan Agro mengharuskan agar produk tertentu harus memenuhi standar perdagangan bebas yang menjadi patokan dari komoditas pertanian agro di pasar bebas, maka Dinas Pertanian tidak merasa berkewajiban untuk menyesuaikan dalam substansi penyuluhan atau pengarahan kepada petani di lapangan. Hal demikian sering terjadi sehingga arogansi lintas sektoral ini membutuhkan penanganan yang memadai dan berkesinambungan. Meskipun terlalu dini apabila disebutkan bahwa dibutuhkan sebuah struktur yang memadai dalam menangani hal demikian, lintas sektoral di antara

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

139Studi Kasus Implementasi...

Dinas ini baru dapat dikoordinasikan dengan lembaga Asisten Daerah atau setingkat Biro pelaksana koordinasi.

Dari keseluruhan paparan pada kegiatan komunikasi termaktub di atas, penulis dapat menginterpretasikan bahwa dari sudut pandang faktor transmisi dan faktor kejelasan (Clarity) dari komunikasi sebagaimana yang tertuang dalam kajian teoretis pada Bab II dari Edward III, kegiatan komunikasi implementasi AFTA perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat belum berlangsung sebagaimana yang diharapkan sehingga belum mampu mendorong tercapainya daya saing Jawa Barat di dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara

4.3.2 Keadaan Sumber Daya (resources) Seperti yang disampaikan kajian teoretis

pada Bab II, tampaknya, faktor sumber daya ini merupakan faktor penting yang sangat menentukan dalam keberhasilan sebuah implementasi kebijakan. Implementor sebagai sumber daya utama juga membutuhkan sumber daya lainnya yang dianggap penting dalam melaksanakan kebijakan. Di samping sumber daya manusia sebagai staf dengan kriteria jumlah dan kualitas (kuantitas dan keahlian/skill), sumber daya yang dibutuhkan implementor adalah informasi, wewenang, dan fasilitas-fasilitas.

Berikut ini akan dianalisis sesuai rambu-rambu teoritis pada Bab II mengenai sumber daya yang ada dalam implementasi kebijakan perdagangan komoditas pertanian dalam kerangka

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

140 Studi Kasus Implementasi...

AFTA di Jawa Barat.

4.3.2.1 Staf yang MelaksanakanFaktor pertama dan utama dalam pelaksanaan

sebuah kebijakan adalah sumber daya manusia dalam pengertian staf yang melaksanakan membantu implementor. Sejumlah staf yang ada di jajaran Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat tergolong staf yang berada dalam taraf “terbuang”. Jajaran staf di bawah eselon II lebih bermakna sebagai posisi dilempar dari dinas/instansi lain yang tak dibutuhkan. Tidak jarang SDM yang ada merupakan personil yang “dihukum” sebagai akibat kesalahan tertentu dalam melaksanakan tugas, misalnya saja melanggar disiplin bekerja, berseberangan dengan kebijakan atasan di instansi sebelumnya.

Lebih jauh, posisi alamat kantor yang bertempat di lokasi yang cukup jauh dari pusat pemerintahan induk memberikan kesan jarangnya lokasi tersebut dikunjungi; atau mendapat kunjungan dari kepala daerah. Hal tersebut, memang benar adanya. Dengan demikian, sangat memungkinkan apabila staf yang ada di jajaran eselon III ke bawah akan memiliki tingkat keaktifan yang rendah dibandingkan dengan dinas lain yang lebih terkontrol dari pusat pemerintahan. Mekanisme kerja staf juga diwarnai oleh suasana tidak aktif yang biasa terjadi di instansi yang jarang sekali melaksanakan kegiatan inti. Posisi Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat yang sangat jarang memiliki inisiatif untuk melaksanakan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

141Studi Kasus Implementasi...

kegiatan secara mandiri juga menjadi penyebab kenapa instansi ini kurang diminati.

Kondisi ini seiring dengan struktur sumber daya manusia yang ada di lingkungan dinas tersebut menjadi sangat rendah kualitasnya. Meskipun secara kuantitas dinas ini memiliki struktur yang sama dengan dinas lain di lingkungan pemerintah daerah Jawa Barat, akan tetapi jumlah personil staf yang ada tidak memadai dalam melaksanakan tugas seiring dengan semangat untuk mengimplementasikan kebijakan kesepakatan AFTA di bidang komoditas agro. Meskipun secara menyeluruh pendidikan staf berdasarkan penjenjangan yang berlaku umum di lingkungan pemerintah daerah, akan tetapi staf dimaksud sangat jarang mengalami proses mutasi apabila sudah masuk di lingkungan Dinas Industri dan Perdagangan Agro, termasuk Dinas Industri dan Perdagangan induk. Bahkan diklat penjenjangan yang pernah diikuti tidak berdasarkan bidang kerja yang digeluti. Staf perdagangan luar negeri misalnya, sangat jarang mengalami diklat tentang proses perdagangan luar negeri. Bahkan untuk memahami proses perdagangan bebas hanya mendapat informasi dari pelaku pasar atau informasi media massa yang beredar dan menjadi langganan dari Dinas tersebut.

Secara menyeluruh keahlian dari staf yang ada sebagai sumber daya manusia di lingkungan Dinas yang menangani perdagangan komoditas pertanian agro ini sangat minim sehingga sangat sulit untuk melaksanakan secara maksimal.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

142 Studi Kasus Implementasi...

Keahlian kesarjanaan yang ada juga tidak memadai, meskipun 20% dari staf bergelar Strata 2 (termasuk Kepala Dinas), namun keahlian yang ditempuh melalui jalur formal tersebut tidak bersesuaian langsung dengan keahlian yang dibutuhkan. Dari sejumlah S-2 dimaksud 85% merupakan strata 2 dengan keahlian bidang pertanian, atau spesialisasi perikanan.

Tentu saja kondisi sumber daya manusia dengan struktur demikian ini lebih mengarah pada semakin sulitnya pelaksanaan kebijakan perdagangan bebas dengan mengandalkan komoditas agro. Selain itu, sangat tidak mudah untuk menemui staf Dinas yang ada di tempat pada jam-jam kerja. Kesibukan yang tidak terjadwal dengan pasti semakin mempersulit intensitas pelaksanaan kebijakan apa pun di lingkungan Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat. Kenyataan yang kerapkali terjadi apabila Kepala Dinas tidak berada di tempat (atau melakukan tugas di luar kantor) dalam waktu yang cukup lama. Hal ini pun akan secara otomatis memberikan peluang kepada staf di bawahnya untuk tidak masuk kantor dengan berbagai alasan selama kegiatan Kepala Dinas tersebut tidak berada di kantor. Sebuah kebijakan atau surat disposisi yang tersalurkan ke para staf pun akan mengalami penundaan sebagai akibat dari tidak adanya staf di kantor.

Kesulitan dalam menyelesaikan segala surat-menyurat yang berkaitan dengan kewenangan Dinas Industri dan Perdagangan Agro ditemukan dalam kerangka sulitnya staf berada di tempat.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

143Studi Kasus Implementasi...

Berbagai wawancara dengan asosiasi petani dan stakeholder di bidang komoditas agro (pengurus Kadinda) yang berkepentingan dengan dinas ini ditemukan adanya kesulitan dalam penyelesaian persoalan perdagangan agro sebagai konsekuensi dari jarangnya staf ada di kantor. Semua hal di atas memperlihatkan sumber daya manusia yang terhitung minim dari Dinas yang melaksanakan impelementasi kebijakan kesepakatan AFTA selaku implementor.

4.3.2.2 InformasiSumber daya kedua yang cukup penting

dalam pelaksanaan kebijakan adalah informasi. Pengertian informasi dimaksud sebagai sumber daya adalah petunjuk pelaksanaan kebijakan dan data ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan pemerintah yang dikeluarkan dalam kerangka AFTA. Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan diperoleh data bahwa kebijakan tentang AFTA sampai ke tingkat pemerintah daerah Jawa Barat didukung oleh Keputusan Gubernur No. 21 Tahun 2004. Akan tetapi kebijakan tersebut tidak didukung secara teknis dengan petunjuk pelaksanaannya di lapangan, sehingga masing-masing Dinas memberikan penafsiran tersendiri. Sebagai contoh Dinas Industri dan Perdagangan Induk Jawa Barat yang menterjemahkan bahwa kawasan perdagangan bebas diimplementasi dengan membentuk zona ekonomi di lima kawasan di Jawa Barat.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

144 Studi Kasus Implementasi...

Tentu saja pembentukkan zona ekonomi khusus yang disebut sebagai langkah menuju zona perdagangan bebas internasional ini dianggap sebagai langkah tepat untuk mengimplementasikan kebijakan perdagangan bebas. Kawasan perdagangan yang sudah dilaksanakan di Kawasan Industri Cikarang-Bekasi ini lebih merupakan langkah untuk memberikan stimulasi gerakan kepada industri yang ada di kawasan di maksud. Namun kebijakan tersebut tidak mendorong persiapan aturan yang akan memberikan dorongan bagi pelaksanaan sistem perdagangan bebas. Sebagai sebuah gerakan, seperti halnya gerakan lainnnya (GDN—Gerakan Disiplin Nasional) hanya merupakan kebijakan sesaat yang tidak berkesinambungan. Bahkan banyak kalangan pelaku ekonomi seperti para investor baik dalam maupun luar negeri, distributor perdagangan, pengembang (develover) infrastruktur perdagangan serta termasuk para pedagang menilai gerakan tersebut sebagai kebijakan “latah” akibat dari gencarnya isu perdagangan bebas.

Demikian halnya dengan kebijakan kesepakatan AFTA yang menjadikan Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat sebagai implementor langsung. Dinas ini juga tidak menerima petunjuk pelaksanaan yang seragam sebagai bagian integral dari kebijakan tersebut. Kebijakan yang diejawantahkan ke dalam Keputusan Gubernur No. 21 Tahun 2004 sebagai respon dari Surat Keputusan Menteri Luar Negeri No. 3 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

145Studi Kasus Implementasi...

No. 392 Tahun 2003. Keputusan Gubernur tersebut berisikan tentang pedoman daerah dalam melaksanakan kerja sama dengan luar negeri. Keputusan tersebut tidak berisikan petunjuk pelaksanaan teknis tentang pasar bebas yang dijalankan sebagai derivasi dari kebijakan kesepakatan AFTA. Bahkan Keputusan Gubernur No. 21 Tahun 20004 tidak secara langsung menyentuh kepentingan implementasi kebijakan tentang AFTA. Apalagi menyangkut komoditas pertanian agro di Jawa Barat.

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa petunjuk pelaksanaan kebijakan tentang AFTA melalui Dinas Industri dan Perdagangan lebih banyak didasarkan pada informasi yang diperoleh dari tingkat kementerian luar negeri dan atau kementerian perdagangan. Informasi tersebut bermakna sebagai sumber daya yang sangat lemah untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan di tingkat implementator. Sebab informasi tersebut hanya bersifat garis besar saja dari sebuah kebijakan yang menjadi kesepakatan negara-negara anggota ASEAN itu.

Lebih jauh lagi, berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku ekonomi di tingkat nonpemerintah, seperti pengusaha (Kadin) dan asosiasi produksi pertanian, para pengelola pasar induk, dan para petani, dapat disimpulkan bahwa peraturan yang diterapkan untuk mewujudkan sebuah mekanisme pasar yang menguntungkan bagi pihak pelaku ekonomi dinilai tidak jelas. Petani di Karawang dan Bekasi mengetahui tentang kebijakan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

146 Studi Kasus Implementasi...

AFTA sebagai kebijakan pasar bebas, akan tetapi mereka tidak mengerti harus bagaimana mensikapinya. Petani di Indramayu, Kuningan, Cirebon, Majalengka juga memahami mekanisme pasar bebas, hanya saja mereka tidak mengerti peranan AFTA dalam mekanisme tersebut. Petani di Garut, Tasikmalaya, Ciamis sampai ke Banjar tidak begitu peduli dengan kondisi pasar bebas. Petani di Kab/Kota Bandung memahami sepenuhnya tentang mekanisme pasar bebas AFTA tetapi tidak mendapat persiapan yang cukup untuk menghadapinya.

Mereka yang bergerak di sektor pelaku ekonomi tidak merasakan adanya langkah-langkah yang memadai untuk mewujudkan kebijakan kesepakatan AFTA dalam bidang pertanian. Bahkan pelayanan dari lembaga yang menjadi implementor juga dirasakan belum cukup dalam membantu pelaku ekonomi mempersiapkan diri menghadapi era pasar bebas. Pola-pola mekanisme pasar bebas yang mengandung unsur-unsur mekanisme pasar tidak dijelaskan dalam interaksi pasar bebas Asia Tenggara.

Oleh karena itu pada kenyataannya banyak bagian-bagian yang terdapat dalam ketetapan tentang pasar bebas dalam kesepakatan AFTA yang dipilih berdasarkan kebutuhan dari pelaku pasar sendiri. Pelaku pasar menilai tidak semua ketentuan yang menjadi kesepakatan menguntungkan apabila dilaksanakan sehingga harus dipilih bagian mana dari kesepakatan AFTA tersebut yang bisa menguntungkan dalam pelaksanaannya.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

147Studi Kasus Implementasi...

Kesepakatan tentang peningkatan produk ekspor barang komoditas pertanian yang tidak memiliki daya saing serta-merta mendapat persetujuan dari pelaku ekonomi. Sebaliknya, kesepakatan yang substansinya berkaitan dengan produk barang-barang substitutif dengan persaingan yang ketat akan segera mendapat penolakan, kalau tidak dikatakan tidak dihiraukan ketetapan tersebut.

Observasi di lapangan menemukan data tentang ketaatan akan kesepakatan yang cukup rendah sehingga dapat dipastikan data ini menjadi sumber daya yang melemahkan implementasi kebijakan AFTA di bidang pertanian. Data ini merupakan informasi dari sumber daya yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan kebijakan pasar bebas. Beberapa pelaku ekonomi yang ditemui memberikan pernyataan yang sama bahwa perilaku menolak atas aturan yang tidak menguntungkan dari kesepakatan AFTA merupakan langkah pragmatis menghadapi persaingan usaha. Bahkan para petani sendiri menyetujui bahwa sikap pragmatis yang dilakukan oleh asosiasi dan pengusaha merupakan upaya untuk melindungi petani dari persaingan yang tidak dapat dihadapi secara langsung.

4.3.2.3 Kewenangan (Authority)Faktor sumber daya yang tidak kalah

pentingnya adalah kewenangan (authority). Kewenangan dimaknakan sebagai hak untuk memanggil dengan menggunakan surat panggilan,

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

148 Studi Kasus Implementasi...

hak mengeluarkan perintah kepada pejabat lain, hak menarik dana dari suatu program, dan hak untuk menyediakan dana, staf serta bantuan teknis pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah.

Kewenangan yang terlihat dalam hasil penulisan di Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat sangat terbatas. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya tentang komunikasi, Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat posisinya tidak sekuat dinas/instansi lain di lingkungan pemerintahan daerah. Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam melakukan pemanggilan terhadap pejabat lain di luar lingkungan dinas dimaksud. Seperti telah dijelaskan di atas, apabila terdapat persoalan dalam pelaksanaan teknis kebijakan perdagangan bebas misalnya, maka dinas terkait tidak memberikan respon positif dan tanggap sesuai dengan permintaan dari Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat. Sudah dicontohkan sebelumnya bahwa produk pertanian yang tidak memenuhi standar perdagangan bebas pun tidak dapat dikoordinasikan dengan mudah kepada Dinas Pertanian Jawa Barat yang memiliki kewenangan tentang hal tersebut. Ketika dikonfirmasi ke Dinas Pertanian Jawa Barat mengenai hal ini, diberikan penjelasan bahwa memang hal semacam itu sering terjadi. Menurut informan yang dihubungi di Dinas Pertanian Jawa Barat, kondisi tersebut sebagai akibat dari tidak sinkronnya program kerja yang ada di Dinas Pertanian Jawa Barat dengan program kerja yang ada di Dinas Industri dan Perdagangan Agro

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

149Studi Kasus Implementasi...

Jawa Barat. Meskipun Dinas Pertanian menerima permintaan dari Dinas Implementor dalam AFTA, namun semua tidak dapat dilaksanakan begitu saja sebab menyangkut dana/anggaran yang alokasinya tidak diperuntukkan bagi kegiatan tersebut. Setiap mata anggaran yang ada dalam garis kerja Dinas Pertanian Jawa Barat sudah merupakan hasil pembahasan berdasarkan Standard Operating Procedures.

Keterbatasan kewenangan tersebut ditambah lagi dengan ketidakmampuan Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat dalam mengeluarkan perintah langsung kepada dinas lain yang terkait dengan implementasi perdagangan komoditas pertanian ini. Perintah tersebut harus dikeluarkan melalui kepala daerah, Sekretaris Daerah atau asisten, sedikitnya di tingkat Kepala Biro. Sedangkan rekomendasi untuk melaksanakan perintah dimaksud bisa berjalan cukup lama atau bahkan terkadang tidak mendapat tanggapan sama sekali. Pemerintah Daerah (dalam hal ini Kepala Daerah, Sekda dan Asisten serta Kepala Biro) lebih memfokuskan diri pada tugas-tugas pemerintahan, ekonomi makro dan administratif. Tugas-tugas tersebut memiliki nuansa politik yang tinggi sehingga menarik perhatian yang tinggi dari opini masyarakat umum. Sedangkan tugas yang bersifat teknis dalam penanganan masalah seperti yang dihadapi oleh Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat kurang bernuansa politis alias tidak menarik perhatian publik.

Apabila dilihat dari sisi anggaran, Dinas

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

150 Studi Kasus Implementasi...

Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat tidak berbeda dengan dinas-dinas lainnya di lingkungan pemerintah daerah Jawa Barat. Dinas ini bergerak berdasarkan anggaran yang telah ditentukan dalam penyusunan anggaran tahunan bersama-sama dengan pihak legislatif. Hanya saja, seperti halnya sifat Dinas ini yang tidak bersentuhan langsung dengan nuansa politik, maka anggaran yang diajukan oleh dinas ini pun tidak menarik perhatian. Bahkan proposal ajuan anggaran pemerintah daerah secara menyeluruh, apabila harus dikurangi secara gradual, maka angka pengurangannya dapat dipastikan akan menyentuh pada dinas-dinas bukan penghasil seperti Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat ini.

Dengan demikian, hak untuk menarik dana dari sebuah program terbatas pada rencana anggaran yang sudah ditetapkan sebelumnya dalam Rencana Kerja Dinas. Selain besarnya yang terbatas, anggaran Dinas ini juga terkadang mengalami kesulitan dalam pengalokasian program. Hal tersebut akibat dari perencanaan yang berjalan lebih lambat ketimbang perkembangan situasi dan tantangan yang menjadi bidang kerjanya. Apalagi perencanaan dari Dinas ini juga menyertakan pula kemampuan SDM yang tidak memadai dalam menyusun mekanisme kerja ke depan. Hal yang terjadi kemudian adanya tuntutan perkembangan situasi tidak memungkinkan untuk ditangani secara lebih cepat dalam waktu yang bersamaan ketika masalah muncul, justru terhambat oleh tersedianya anggaran. Perencanaan anggaran yang akan datang

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

151Studi Kasus Implementasi...

sudah tidak relevan secara menyeluruh pada saat anggaran tersebut dikeluarkan. Hal ini terlihat misalnya langkah yang dilakukan Sub Dinas Perdagangan Disindagro Jawa Barat untuk melakukan pelatihan ekspor impor produk agro terakhir di empat wilayah (Kota Cirebon, Kab. Kuningan, Kab. Bandung, Kab. Ciamis, Kab. Purwakarta, Kota Bogor, Kab. Bekasi, Kab. Sukabumi) dengan pembagian waktu pelaksanaan; Kota Cirebon tanggal 6-8 Maret 2006 bertempat di Jln. RA. Kartini No.60 Cirebon, Kab. Kuningan tanggal 13-15 Maret 2006 bertempat di Jln. Raya Panautan No.98 Sangkanurip, Kuningan, Kab. Bandung 20-22 Maret 2006 bertempat di Jln. Dokter Junjunan No. 153 Bandung, Kab. Ciamis tanggal 27-29 Maret 2006 bertempat di Jln. Jend. Sudirman No.185 Ciamis, Kab. Purwakarta tanggal 3-5 April 2006 bertempat di Jln. Rasamala No. 1 Jatiluhur Purwakarta, Kota Bogor tanggal 24-26 April 2006 bertempat di Jln. Sawo Jajar No. 38 Bogor, Kab. Bekasi tanggal 8-10 Mei 2006 bertempat di Jln. Teuku Umar Km. 45 Bekasi, Kab. Sukabumi tanggal 18-20 Mei 2006 bertempat di Jln. Cikukulu Sukabumi.

Kewenangan menyediakan dana, staf dan bantuan teknis pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah juga merupakan kewenangan dari Dinas Industri dan Perdagangan Agro sebagai implementor. Akan tetapi kewenangan ini tidak otomatis memberikan otoritas mutlak kepada Dinas ini untuk melakukan perintah langsung kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota se-Jawa Barat. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai distribusi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

152 Studi Kasus Implementasi...

kewenangan yang ada sampai ke tingkat Kab/Kota memberikan kesulitan lain kepada Dinas ini untuk melakukan perintah mewujudkan implementasi kebijakan kesepakatan AFTA terutama dalam bidang komoditas pertanian.

Hal tersebut menunjukkan bahwa kewenangan Dinas ini sebagai sumber daya yang dimiliki untuk melaksanakan kebijakan kesepakatan AFTA dalam bidang perdagangan komoditas pertanian agro sangat terbatas. Keterbatasan ini memperlihatkan pula kesulitan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan.

4.3.2.4 Fasilitas-fasilitas Fisik MaterialFaktor dari sumber daya yang lain adalah

fasilitas-fasilitas (berupa bangunan-bangunan, perlengkapan dan perbekalan). Fasilitas yang dimiliki secara menyeluruh dalam kajian ini merupakan fasilitas dari pelaksana kebijakan yang dimulai dari Departemen Luar Negeri, Departemen Perdagangan sampai Dinas Industri dan Perdagangan Agro. Fasilitas di Departemen Luar Negeri memang tergolong memadai sebatas tugas Departemen ini untuk melaksanakan implementasi kebijakan AFTA sampai pada taraf penyampaian informasi. Akan tetapi fasilitas tersebut tidak bermanfaat langsung kepada institusi pelaksana terutama dalam tataran dinas. Demikian halnya dengan fasilitas di Departemen Perdagangan yang sudah pasti memadai dalam taraf penyampaian informasi dan pengukuran teknis dari implementasi kebijakan AFTA. Sekali

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

153Studi Kasus Implementasi...

lagi fasilitas yang ada tidak dapat dipergunakan dalam kondisi teknis implementasi kebijakan terutama dalam bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat. Dengan demikian, secara umum sumber daya yang ada tidak memadai sehingga implementasi kebijakan tidak berjalan dengan baik. Dibutuhkan penyediaan sumber daya yang memadai dalam dinas yang menjadi pelaksana (implementator) dari kebijakan perdagangan bebas bidang komoditas pertanian di Jawa Barat.

Kemudian juga dari segi infrastruktur, Jawa Barat sangat minim memiliki Pusat Perdagangan Komoditas Agro (PPKA). Terdapat beberapa masalah yang masih perlu dikaji dan dikembangkan agar diperoleh gambaran serta arah penyelesaian yang lebih jelas, antara lain:

1. Gambaran kondisi Pusat Perdagangan Komoditi Agro di Jawa Barat yang ingin dicapai, atau biasa disebut visi, masih belum jelas, sehingga arah yang akan dituju pun (misi) belum dapat ditentukan.

2. Pasar yang ada saat ini di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, belum ada yang berfungsi seperti PPKA berstandar internasional, sehingga perlu dicari acuan lain yang dapat digunakan untuk menentukan dan menyusun regulasinya.

3. Kegiatan yang ditampung di kawasan Pusat Perdagangan Komoditi Agro, misalnya di Purwasuka masih bersifat umum, sehingga

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

154 Studi Kasus Implementasi...

perlu dilakukan analisis yang lebih rinci untuk dapat menentukan perkiraan kebutuhan fasilitasnya.

4. Dalam menyusun perkiraan kebutuhan fasilitas tersebut dilakukan pengkajian, seperti:a. Kegiatan utama yang akan terjadi dan perlu

ditampung, baik jenis maupun kapasitas/ besarannya.

b. Besaran/volume tiap komoditi unggulan dari kawasan perencanaan yang bisa/dapat ditampung di Pusat Perdagangan Komoditi Agro di Jawa Barat.

Pusat Perdagangan Komoditi Agro di Jawa Barat seharusnya dapat dimaksimalkan menjadi Pusat Pasar Lelang komoditi agro Jawa Barat yang berdaya guna. Hal itu karena berdirinya pasar lelang fungsi utamanya sebagai pembentuk harga secara transparan (price discovery) dan Risk Management dengan mem-pergunakan instrumen hedging (lindung nilai), karena transaksi dilakukan secara lelang terbuka. Dengan adanya transparansi harga, maka petani sebagai produsen komoditi akan memiliki bargaining position yang lebih baik. Dengan demikian mereka dapat menjual komoditinya sesuai dengan harga yang berlaku dalam kontrak, sehingga petani dapat meningkatkan kualitas hasil produksinya dan pendistribusiannya sudah jelas. Fluktuasi harga yang selama ini terjadi akan dapat dikendalikan dengan baik karena adanya mekanisme pasar yang wajar. Di sisi lain, petani juga

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

155Studi Kasus Implementasi...

dapat melakukan pola tanam sesuai dengan kontrak pada pasar lelang dan akan mengakibatkan secara otomatis setiap petani yang lain akan melakukan tanam berbeda dan tidak akan terjadi panen raya, sehingga menekan kekhawatiran pada saat panen tiba.

Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa pada tahun 2006 terjadi 171 transaksi, 27 komoditi di antaranya yang terjadi deal, dengan jumlah Rp. 143.564.335.000,-. Adapun yang paling besar terjadi pada komoditi beras sebanyak, 73 transaksi 40.435 ton dengan nilai Rp. 115.069.100.000,- terdiri dari 16 penjual, delapan pembeli dan tiga merangkap penjual/pembeli. Sementara itu, yang paling dominan melakukan transaksi pembelian oleh dua pembeli dari Propinsi DKI Jakarta yaitu 29 transaksi dan 17 transaksi, hal ini akan sulit dalam dalam menentukan harga karena pembeli potensial, lebih sedikit padahal penjualnya cukup banyak, hal ini akan mengakibatkan dalam negosiasi dikendalikan oleh pembeli walaupun harga yang ditawar dengan sistem terbuka. Kalau kita lihat hasil transaksi dengan perdagangan sistem lelang forward yang hanya berjumlah 40.435 ton sedangkan jumlah hasil produk lokal Jawa Barat pada tahun 2005 sebanyak 6.368.816 ton. Hal ini yang terserap dengan melalui perdagangan dengan sistem lelang forward hanya berapa persen saja, yaitu sebesar 0.63%. Sedangkan dari produksi lokal beras Jawa Barat yang keluar Jawa Barat terutama ke Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang dilakukan pedagang besar

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

156 Studi Kasus Implementasi...

sebesar 191.149,01 ton berdasarkan data dari statistik. Apakah data ini sudah termasuk dengan hasil transaksi lelang yang dilakukan oleh dua pembeli sebesar 28.451 ton?

Kemudian melihat keadaan pada tahun 2007-2008 mengindikasikan tingkat persentase yang menggunakan perdagangan dengan sistem lelang masih sangat jauh dengan perdagangan tradisional yang sebesar 99,37%. Sedangkan perdagangan antarpropinsi baru mencapai 14,88%. Peluang ini masih cukup besar tinggal bagaimana manajemen pasar lelang menarik pembeli potensial dari DKI Jakarta untuk bisa mengenal/mengikuti transaksi dengan sistem lelang forward.

Berdasarkan data dari pasar lelang forward Jawa Barat tahun 2007-2008, dimana kepada 61 peserta lelang dilakukan survey, berdasarkan latar belakang, pendidikan, pekerjaan dan frekuensi transaksi, diketahui bahwa sebagian besar peserta lelang yang mengikuti perdagangan dengan sistem lelang forward adalah sebagai berikut: terdapat 38 peserta yang berpendidikan Sarjana (62,4%), paling tinggi, terdapat 10 peserta berpendidikan D3/D4, atau setingkat Sarjana muda 16,4%, disusul peserta yang berpendidikan SLTA 19,6%. peserta lelang yang mengikuti perdagangan dengan sistem lelang forward paling rendah adalah yang berpendidikan SLTP 1,6%. Hal ini menggambarkan bahwa melakukan usaha melalui perdagangan sistem lelang forward komoditi agro diminati oleh para sarjana disebabkan karena dengan pola lelang forward ini menawarkan peluang usaha dan sistem

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

157Studi Kasus Implementasi...

perdagangan modern yang membutuhkan analisa dan strategi pemasaran.

Selanjutnya, peserta lelang yang mengikuti perdagangan dengan sistem lelang forward yang didasarkan pada latar belakang pekerjaan, diketahui bahwa sebagian besar peserta lelang paling tinggi adalah pedagang sebanyak 27 peserta (44,3%), disusul kemudian 18 peserta Swasta (29,5%), 8 peserta eksportir (13,1%) dan 8 lainnya pesertanya petani (13,1%). Bila dilihat persentase dari jumlah 13,1% (petani) yang mengikuti perdagangan dengan sistem lelang, ternyata masih sangat kecil dibandingkan dengan para pengusaha (pedagang, eksportir, swasta) yang mencapai 86,9%. Padahal rohnya pasar lelang bertujuan mengangkat harkat martabat para petani. Gambaran tersebut, tentu saja perlu menjadi perhatian agar dilakukan sosialisasi terus menerus kepada para petani ataupun kelompok tani. Di sisi lain, para pengusaha telah mendapatkan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan pengadaan komoditi agro dimana komoditi yang dicari telah terdapat pada pasar lelang atau sebagai informasi baik mengenai permintaan pasar, komoditi dan harga atau sebagai pasar yang terorganisir. Sebaliknya, para petani tampaknya belum memanfaatkan secara optimal perdagangan dengan sistem lelang tersebut. Frekuensi yang diinginkan sebagian besar peserta lelang yang melakukan transaksi di pasar lelang adalah menginginkan lelang sebulan sekali 30 peserta 49,2%, sebulan dua kali 40,9 % dan sebulan tiga kali hanya 9,9%. Hal ini membuktikan bahwa

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

158 Studi Kasus Implementasi...

peserta lelang lebih cenderung untuk melakukan transaksi dengan sistem lelang forward lebih banyak memilih sebulan sekali dengan alasan disesuaikan dengan spesifikasi hasil pertanian, masa tanam, ketentuan pasar lelang dan kesiapan para peserta lelang dan memudahkan melakukan konsolidasi produknya.

Melihat hasil survey pada peserta lelang berdasarkan pendidikan, pekerjaan dan frekuensi, diperoleh gambaran: sarjana 62,4%, pengusaha 86,9% dan sebulan sekali 49,2%. Hal ini harus menjadi perhatian manajemen pasar lelang sesuai dengan konsep pendirian awal peranannya untuk meningkatkan harkat martabat para petani. Kenyataannya, keberadaan pasar lelang forward belum optimal bagi kepentingan petani. Jadi keunggulan perdagangan di pasar lelang yang menggunakan sistem lelang forward dengan perdagangan lain masih terlalu kecil, bila melihat transaksi tahun 2007 misalnya komoditi beras baru 0,63% atau perdagangan ke luar Jawa Barat hanya mencapai 14,88%. Ini baru satu komoditi belum komoditi yang lain. Hal ini suatu tantangan bagi manajemen pasar lelang yang menggunakan sistem lelang forward sehingga apa yang menjadi keunggulan dalam kenyataannya belum bisa menjadi kebutuhan bagi penjual/pembeli. Pertanyaan lain yang juga perlu dijawab adalah apakah keberadaan pasar lelang manfaatnya sudah dirasakan secara optimal bagi peserta lelang, sehingga ada kebutuhan yang menimbulkan kepuasan/loyalitas peserta lelang terhadap pasar

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

159Studi Kasus Implementasi...

lelang dengan sistem lelang forward. Kondisi ini mengisyaratkan pentingnya perhatian dari penyelenggara pasar lelang yang menggunakan sistem lelang forward apa keunggulannya dengan sistem perdagangan lain yang selama ini telah dilakukan penjual/pembeli. Apakah masih ada kelemahannya? Hal tersebut tentunya memerlukan kajian yang tidak saja lebih mendalam, namun juga berskala nasional.

Dalam mempertahankan keberadaan Pasar Lelang dengan sistem transaksi sistem lelang forward, maka dalam globalisasi perdagangan harus mempunyai orientasi pasar global yang telah mengalami pergeseran dari pendekatan konvensional ke arah pendekatan kontemporer. Pendekatan konvensional menekankan kepuasan pelanggan, sedangkan pendekatan kontemporer pada loyalitas pelanggan. Perlu diingat, bahwa hanya melakukan pendekatan kepuasan pelanggan (konvensional) tentunya belum bisa diandalkan, karena para pelanggan pasar lelang hanya terbatas pada perasaan puas, bukan loyalitas. Artinya, dengan merubah pendekatan secara loyalitas pelanggan, maka pelanggan akan melakukan transaksi ulang dalam pasar lelang.

Konsep Pemasaran Masyarakat menegaskan bahwa “tugas organisasi adalah menentukan kebutuhan, keinginan, dan minat dari pasar sasaran dan memberikan kepuasan yang diinginkan secara lebih efektif dan efisien, dibandingkan pesaing dengan tetap memelihara atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan konsumen”. Uraian

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

160 Studi Kasus Implementasi...

di atas menunjukkan bahwa yang menjadi perhatian dari konsep pemasaran masyarakat adalah sifatnya memperhatikan lingkungan hidup, sumber daya, juga pelayanan sosial.

Dari keseluruhan paparan di atas yang berkenaan dengan ketersediaan sumber daya yang meliputi sumber daya manusia dengan kriteria kuantitas dan kualitas (keahlian/skill), informasi, dan wewenang dan fasilitas-fasilitas, penulis dapat menginterpretasikan bahwa adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki Jawa Barat berdampak pada tidak maksimalnya pendayagunaan potensi daerah Jawa Barat secara maksimal dalam implementasi AFTA komoditas pertanian di Jawa Barat.

Dengan kata lain, penulis juga dapat menginter-pretasikan bahwa dari sudut pandang faktor ketersediaan sumber daya sebagaimana yang tertuang dalam kajian teoretis pada Bab II, diperoleh keterangan bahwa implementasi AFTA perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat belum berlangsung sebagaimana yang diharapkan, sehingga belum mampu mendorong tercapainya daya saing Jawa Barat di dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara

Secara demikian, tampaknya hal itu akan dapat menghambat upaya pembangunan Propinsi Jawa Barat sebagai salah satu pusat unggulan (center of excellence) industri agrobisnis di tingkat nasional. Ketersediaan sumber daya yang andal, lengkap dan terintegrasi adalah suatu keharusan bagi suatu daerah yang ingin berkiprah maju dalam

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

161Studi Kasus Implementasi...

perdagangan luar negeri. Karena itu, kaitannya dengan Jawa Barat,

untuk mengantisipasi kelemahan di atas, ke depan perlu ditingkatkan pengembangan kualitas dan kuantitas sumber daya yang dapat berdayaguna mendukung posisi tawar Jawa Barat dalam perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara.

4.3.3 Kecenderungan dari Para Pelaksana (Disposisi)Penelaahan atas disposisi ini berkisar pada

pelaksana kebijakan, tidak menyentuh kepada pembuat kebijakan awal. Disposisi dipahami sebagai kecenderungan dari para pelaksana kebijakan dalam memahami, mengerti dan kemudian melaksanakan atau tidak melaksanakan kebijakan yang ada sesuai dengan keinginan yang menjadi tujuan dari para pembuat kebijakan awal. Dalam konteks tersebut, Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat merupakan pelaksana kebijakan. Selain itu, Departemen Perdagangan RI termasuk di dalamnya Dinas Industri dan Perdagangan Induk di Jawa Barat menjadi objek dari kajian mengenai hal tersebut.

Perlu diingat, apabila para pelaksana (implementor) sudah memahami latar belakang, maksud dan tujuan kebijakan yang ada, maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan tersebut sebagaimana tujuan yang diinginkan oleh pembuat keputusan kebijakan awal. Demikian halnya dengan kebijakan perdagangan komoditas pertanian. Apabila para pelaksana bersifat baik kepada kebijakan dimaksud, maka

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

162 Studi Kasus Implementasi...

kemungkinan besar para implementor kebijakan tersebut akan melaksanakan dengan baik tujuan dari pembuat kebijakan yang sudah disepakati dalam organisasi regional negara-negara Asia Tenggara.

Namun demikian, Kasi Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Propinsi Jawa Barat mengemukakan bahwa dalam kebijakan perdagangan bebas bidang komoditas pertanian agro ini terdapat kecenderungan dari pelaksana yang kurang baik terhadap kebijakan dimaksud. Implementor di tingkat staf, misalnya, tidak memiliki sense of motivation yang setara dengan kebutuhan dari penanganan terhadap berbagai persoalan yang timbul dari kebijakan perdagangan komoditas pertanian ini.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para pelaku ekonomi yang menikmati pelayanan dari implementor diperoleh informasi bahwa pelayanan yang diberikan tidak memberikan gambaran keinginan untuk berhasilnya sebuah program dari kebijakan perdagangan komoditas pertanian agro di Jawa Barat. Dalam kerangka kesepakatan AFTA, misalnya ketika para calon investor dan pengusaha memerlukan informasi dan data mengenai kondisi objektif kesiapan komoditas-komoditas pertanian unggulan Jawa Barat yang akan dipasarkan dalam kerangka AFTA. Dalam kenyataannya, para implementor tidak dapat memberikan informasi dan data yang komprehensif sesuai harapan para calon investor dan pengusaha tersebut.

Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

163Studi Kasus Implementasi...

semacam Zone of Indifference (Zona Ketidakacuhan) yang diperlihatkan oleh para staf yang ada dalam lembaga implementor. Lebih jauh lagi, dari hasil pengamatan dalam pemberian pelayanan publik juga memang sikap tak acuh tersebut muncul dengan perilaku malas-malasan yang ditunjukkan dalam melakukan pelayanan langsung. Bahkan satu keperluan pembuatan surat untuk pengolahan produksi komoditas agro yang diajukan oleh pelaku ekonomi tertentu, juga membutuhkan waktu yang cukup lama dalam prosesnya. Mereka, dalam hal ini, para pelaksana kebijakan cenderung menjanjikan waktu yang lama untuk sebuah penyelesaian dari kebutuhan mendasar pelaku ekonomi perdagangan komoditas pertanian tersebut.

Boleh jadi, berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat adanya perbedaan pandangan yang cukup tajam antardinas/ instansi terhadap kebijakan kesepakatan AFTA itu sendiri dalam memahami tujuan dasar dari kebijakan tersebut. Berbagai instansi tidak memahami secara utuh kebijakan tentang perdagangan bebas tersebut sehingga muncul sikap yang tidak peduli bahkan menganggap tidak penting kebijakan dimaksud. Seperti sudah dipaparkan di muka, bahwa Dinas Pertanian pun tidak memiliki respon yang memadai dalam menanggapi persoalan yang berkaitan dengan Perdagangan bebas ini. Dinas Pertanian hanya memposisikan bahwa perdagangan bebas AFTA bukan merupakan tugas yang harus ditangani, karena tidak terdapat dalam tupoksi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

164 Studi Kasus Implementasi...

(tugas pokok dan fungsi) Dinas tersebut. Bahkan berdasarkan keterangan informan dari Dinas Pertanian, dalam SOTK hanya terdapat pola koordinasi yang harus dilakukan dengan Dinas Industri dan Perdagangan induk, dan tidak tercantum pola yang sama dengan Dinas Industri dan Perdagangan Agro sebagai implementor kebijakan perdagangan bebas. Belum lagi dinas-dinas yang lain yang memiliki pandangan yang sama terhadap usulan, ajakan atau bahkan permohonan bantuan dari pihak implementor.

Perbedaan pandangan tersebut tidak diperlihatkan dalam kebijakan (sikap) yang vulgar. Perbedaan tersebut lebih terlihat sebagai suatu sikap yang memperlihatkan bahwa ada prioritas yang berbeda dalam pelaksanaan tugas sehari-hari ketimbang harus memberikan perhatian yang khusus kepada pelaksanaan kebijakan tentang AFTA di bidang perdagangan komoditas agro. Prioritas kebijakan yang berbeda tersebut menggiring sikap tak acuh pula dalam memberikan respon dari permintaan yang dilayangkan dalam bentuk surat resmi dari dinas implementor. Tidak sedikit surat yang berhubungan dengan kebijakan AFTA dalam perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat dari Dinas Industri dan Perdagangan yang tidak mendapat respon sama sekali. Bahkan kegiatan yang berupa seminar atau lokakarya yang diadakan oleh Dinas implementor pun tidak mendapat tanggapan berarti. Seringkali yang hadir hanya staf noneselon atau bahkan tidak dihadiri oleh dinas-dinas terkait tersebut.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

165Studi Kasus Implementasi...

Selain itu, terdapat kebijakan lain yang mereka setujui untuk dilakukan, dimana substansi bertentangan secara mendasar dengan kebijakan kesepakatan AFTA. Sebagai contoh Dinas Pertanian Jawa Barat, akan lebih menyetujui kebijakan yang bersifat memberikan proteksi kepada petani tebu, kepada pengrajin rotan dan kepada petani palawija ketimbang harus mempertemukan para petani tersebut dalam tatanan persaingan bebas di pasar dunia. Kesepakatan terhadap kebijakan lain ini memberikan dorongan untuk melakukan sikap “masa bodoh” atau bahkan penolakan terhadap kebijakan kesepakatan pasar bebas, terutama dalam kerangka perdagangan komoditas agro.

Secara internal, di lingkungan Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat juga terdapat sebab lain yang menjadi penghambat dari implementasi kebijakan kesepakatan AFTA. Hal tersebut terindikasi dari adanya sentuhan dari kepentingan pribadi atau organisasi dari staf yang ada pada Dinas implementor ini. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa para staf implementor ternyata memiliki kegiatan sampingan di luar kantor yang berhubungan dengan perdagangan. Kebanyakan dari mereka menjadi konsultan dari perusahaan pelaku ekonomi yang bergerak di berbagai bidang, tidak jarang kegiatan tersebut di luar komoditas pertanian agro. Kegiatan tersebut dapat dikatakan sebagai sesuatu ancaman, meskipun tidak bersentuhan langsung dengan kebijakan kesepakatan AFTA. Adanya pemahaman yang salah dari staf terhadap kebijakan perdagangan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

166 Studi Kasus Implementasi...

komoditas pertanian agro justru menimbulkan pemikiran negatif yang akan menciptakan sikap tak acuh kepada kebijakan tersebut. Belum lagi di antara mereka masih memiliki keinginan yang tinggi untuk bisa dimutasikan ke instansi lain yang lebih “basah” sehingga timbul kesan tak acuh yang tinggi terhadap kebijakan kesepakatan AFTA. Dalam pandangan personil yang demikian, kebijakan AFTA hanya akan menambah kegiatan dan memastikan bahwa mereka dibutuhkan dalam Dinas tersebut sehingga akan sulit untuk mendapat kesempatan mutasi jabatan ke instansi/dinas lainnya yang dikenal sebagai instansi penghasil.

Memang dalam pemahaman teoretis ada upaya yang dapat dilakukan dalam menangani disposisi yang tidak kondusif seperti ini, yakni dengan melakukan perubahan personil birokrasi. Akan tetapi perubahan personil birokrasi sangat tidak tepat apabila dilakukan pada Dinas Industri dan Perdagangan Agro, karena secara umum personil birokrasi dari instansi mana pun tidak menginginkan untuk bisa dipindahtugaskan ke Dinas tersebut. Apalagi untuk menggunakan tenaga profesional di Dinas dimaksud sangat tidak memungkinkan, sebab evaluasi kinerjanya pun tidak mendapat perhatian memadai dari pusat pemerintahan di Gedung Sate. Hal tersebut sejalan dengan yang sudah dijelaskan, bahwa staf yang sudah masuk ke Dinas tersebut akan sulit ke luar atau menerima mutasi ke dinas lain.

Dengan demikian, kecenderungan dari pelaksana kebijakan tidak memperlihatkan adanya

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

167Studi Kasus Implementasi...

dukungan yang memadai untuk melaksanakan kebijakan implementasi AFTA dalam bidang perdagangan komoditas agro. Langkah yang paling mudah berdasarkan saran dari pertimbangan teoretis adalah dengan mengubah sikap implementor melalui manipulasi insentif-insentif. Langkah ini akan sangat berguna apabila kemudian memberikan akibat positif kepada implementor dalam melaksanakan tugasnya. Namun demikian, Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat bukan merupakan dinas penghasil yang memiliki kewenangan tinggi untuk mengeluarkan sejumlah dana kecuali melalui ajuan proposal APBD. Terlebih lagi, proposal tersebut menjadi satu dalam pembahasan panitia anggaran eksekutif di bawah Sekretaris Daerah dan Kepala Biro Keuangan Propinsi Jawa Barat.

Tentu saja, apabila muatan untuk manipulasi insentif tersebut dicantumkan ke dalam APBD cenderung akan ditolak oleh Panitia Anggaran Legislatif dan Panitia Anggaran Eksekutif (Biro keuangan di bawah Sekretaris Daerah) karena dianggap sebagai sesuatu yang di luar kewajaran. Kondisi ini justru akan menghambat dari implementasi kebijakan dimaksud.

Keseluruhan paparan di atas yang berkenaan dengan kecenderungan dari para pelaksana (disposisi), dapat diinterpretasikan bahwa faktor kecenderungan dari para pelaksana kebijakan tidak sedikitpun mengarah pada kepentingan untuk keberhasilan implementasi kebijakan kesepakatan AFTA. Berbagai situasi yang mengitari posisi

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

168 Studi Kasus Implementasi...

Dinas pelaksana implementasi kebijakan semakin mempersulit faktor ini untuk dijadikan pendorong bagi pelaksanaan kebijakan dimaksud. Dapat diinterpretasikan bahwa disposisi tidak menjadi pendukung implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat. Artinya, terbukti bahwa untuk memanfaatkan faktor kecenderungan pelaksana (disposisi) dalam pelaksanaan kebijakan kesepakatan tentang AFTA dalam kerangka perdagangan komoditas pertanian, tidak dapat diwujudkan sebagaimana yang diharapkan.

Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dimaknai bahwa perilaku pelaksana (disposisi) implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat, baru pada tahap pengembangan sistem informasi industri dan perdagangan; yang meliputi pengembangan jaringan informasi pusat data dan pengembangan sistem informasi industri dan perdagangan. Selain itu, pengembangan tahapan ini masih didominasi oleh kepentingan egosektoral masing-masing, dan belum terakomodasi dalam suatu sistem keterpaduan pengembangan ekspor komoditi agro Jawa Barat.

Dengan kata lain, penulis juga dapat mengin-terpretasikan bahwa dari sudut pandang faktor kecenderungan dari para pelaksana (disposisi) sebagaimana yang tertuang dalam kajian teoretis, implementasi AFTA perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat belum berlangsung sebagaimana yang diharapkan, sehingga belum

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

169Studi Kasus Implementasi...

mampu mendorong tercapainya daya saing Jawa Barat di dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara.

4.3.4 Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)Struktur birokrasi setingkat dinas di

lingkungan pemerintahan Jawa Barat tidak berbeda dengan struktur birokrasi dinas lainnya. Bahkan pembentukannya yang didasarkan Sistem Organisasi dan Tata Kerja yang mendapat persetujuan dari DPRD Propinsi Jawa Barat merupakan bentuk umum pada lembaga teknis di lingkungan pemerintahan daerah. Dalam struktur birokrasi dinas yang sudah baku tersebut terdapat Standard Operating Procedures (SOP) yang bersifat rutin dan dirancang atas dasar situasi tipikal yang terjadi di masa lalu.

Sifat dari SOP memang dimaksudkan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang sama seperti yang pernah dihadapi di masa lalu. Demikian halnya dengan Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat yang memiliki struktur organisasi mulai dari Kepala Dinas, Kepala Subdinas, Kepala Seksi, Kepala Bidang, Kepala Tata Usaha sampai staf yang memiliki kekhususan di bawah Kepala Subdinas. Perlu disebutkan di sini bahwa Bendahara Dinas, meskipun memiliki struktur tersendiri dalam jajaran tugas/fungsi, akan tetapi struktur ini tidak dijabat oleh staf yang memiliki eselon. Berdasarkan ketentuan SOTK Pemerintah Daerah, fungsi dan pembagian struktur disamakan dengan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

170 Studi Kasus Implementasi...

dinas-dinas lainnya yang ada di lingkungan pemerintah daerah.

Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya kesulitan ketika terjadi persoalan yang menyangkut isu-isu kekinian (contemporary issues). Sebagaimana sifat dari SOP yang didesain dengan asumsi dari tipikal di masa lalu, maka ketika isu perdagangan bebas mengemuka dan mengharuskan penanganan yang komprehensif, Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat hanya memiliki struktur birokrasi yang berorientasi pada situasi di masa lalu. Hal tersebut semakin didukung pula oleh pengisian staf yang tidak memiliki kemampuan dan pengalaman memadai dalam struktur pada Dinas tersebut.

Seperti telah dijelaskan dalam paparan mengenai sumber daya manusia, personil yang duduk dalam jabatan eselon di lingkungan Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat tergolong personil yang tidak memiliki kualifikasi terhadap tugas yang diemban. Belum lagi masih terdapat persepsi yang menempatkan posisi di Dinas ini sebagai posisi terbuang. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa secara struktural dan personil birokrasi di Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat tidak memadai untuk mendukung implementasi kebijakan AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian.

Tidak hanya itu, tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan merupakan kondisi yang wajar dalam organisasi modern. Sedangkan SOP bersifat menghambat perubahan. Semakin besar

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

171Studi Kasus Implementasi...

kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu organisasi, semakin besar peluang Standard Operating Procedures menghambat jalannya implementasi kebijakan. Dari observasi yang dilakukan terhadap Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat, juga ditemukan kondisi yang sama. Tuntutan perubahan dari suatu kondisi pasar bebas sesuai dengan kesepakatan yang diambil dalam AFTA sangat dibutuhkan untuk dapat melaksanakan tugas implementasi AFTA bidang komoditas pertanian di Jawa Barat. Prosedur standar kerja yang ada pada Dinas tersebut tidak memiliki kemampuan untuk melakukan penyesuaian dengan tuntutan perubahan yang bersamaan datangnya dengan kebijakan AFTA itu sendiri. Beberapa keputusan mengenai jenis barang-barang yang dimasukkan ke dalam kategori fast track yang membutuhkan penanganan cepat di lapangan tidak dapat dilaksanakan oleh Dinas tersebut secara memadai.

Pertimbangan teoretis memang memungkinkan SOP berguna kepada tuntutan perubahan. Akan tetapi kemungkinan tersebut harus dipenuhi dengan syarat SOP yang dirancang bersifat fleksibel dan memiliki kontrol yang memadai, sehingga mampu adaptif terhadap perubahan. Hanya saja, SOP sedemikian itu hanya terdapat dalam struktur organisasi bisnis yang memiliki orientasi keuntungan dalam kebijakannya. Sedangkan SOP yang ada di Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat lebih merupakan keseragaman yang terbentuk dari kondisi SOTK

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

172 Studi Kasus Implementasi...

secara umum. Untuk melakukan perubahan terhadap SOTK dibutuhkan waktu yang cukup panjang dan berbagai liku-liku bernuansa politik, sebab harus berhadapan dengan berbagai kepentingan yang ada di lingkungan lembaga politik legislatif. Artinya, struktur birokrasi yang menjadi kajian penulisan ini tidak fleksibel dan tidak memiliki kontrol yang memadai sehingga dapat adaptif terhadap tuntutan perubahan.

Di samping itu, apabila dilakukan pengkajian secara lebih luas ditemukan bahwa struktur birokrasi di dalam pemerintahan daerah Jawa Barat fungsinya bersifat tumpang tindih. Masih terdapat fungsi-fungsi yang memiliki kaitan erat, namun strukturnya tersebar dalam beberapa instansi yang berbeda. Fragmentasi ini menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian masalah-masalah yang menyangkut beberapa unit kerja yang tersebar di berbagai dinas. Sumber-sumber dan kewenangan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah terdistribusikan dalam unit kerja yang tidak dalam satu lingkup kepemimpinan, sehingga keputusan yang akan diambil akan menghadapi kesulitan ketika akan diimplementasikan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan di tingkat Dinas dimaksud, sebuah keputusan untuk memberikan izin kepada suatu lembaga/badan usaha agro untuk melakukan pengembangan usaha masih harus berurusan dengan Dinas Industri dan Perdagangan induk mengenai Surat Izin Tempat Usahanya (SITU). Contoh ini memberikan bukti bahwa penyebaran

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

173Studi Kasus Implementasi...

tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan yang tersebar di beberapa unit kerja yang berbeda, memberikan kesulitan dalam implementasi kebijakan tentang AFTA. Fragmentasi ini semakin menghambat implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat ketika muncul suatu tekanan dari pihak legislatif, kelompok kepentingan atau pejabat eksekutif yang kesemuanya bermakna tidak mendukung implementasi kebijakan.

Belum lagi adanya pengaruh antarfaktor SOP dan fragmentasi yang dapat menimbulkan keinginan destruktif terhadap struktur birokrasi Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat. Adanya keinginan untuk melikuidasi Dinas Industri dan Perdagangan Agro kembali ke induknya semula, merupakan tanda-tanda ke arah pengaruh langsung dari kedua faktor tersebut. Dalam hal ini, muncul kepentingan dari kelompok tertentu yang mendapat dukungan dari pihak legislatif untuk mengembalikan Dinas tersebut kepada Dinas induknya. Kondisi tersebut semakin mempersulit upaya implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat. Artinya, secara struktural pemerintah daerah tidak siap, sebab isu keinginan untuk mengembalikan Dinas implementor kepada Dinas induknya sudah cukup menciptakan suasana tidak kondusif bagi lingkungan kerja staf pada Dinas tersebut. Sangat wajar apabila para pelaku ekonomi mengeluhkan pelayanan yang bisa diberikan oleh Dinas Industri dan Perdagangan Agro terhadap berbagai

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

174 Studi Kasus Implementasi...

kepentingan yang berkaitan dengan usaha mereka. Hal ini dikarenakan struktur birokrasi terlihat menjadi penghambat dalam implementasi kesepakatan perdagangan bebas ASEAN, terutama pada bidang perdagangan komoditas pertanian.

Mengacu pada paparan di atas yang berkenaan dengan faktor struktur birokrasi, dapat diinterpretasikan bahwa struktur birokrasi yang ada sekarang hanya bertumpu, dan terlalu mengandalkan pada satu institusi teknis yakni Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat dalam menangani keseluruhan permasalahan implementasi AFTA bidang komoditas pertanian di Jawa Barat.

Ini berarti, struktur birokrasi di Propinsi Jawa Barat perlu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang ada. Secara teoretik, lingkungan yang terdiri dari lingkungan ekonomi, sosial, dan politik akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam implementasi kebijakan. Sebagai konsekuensinya, organisasi dituntut mampu menunjukkan kinerja atau prestasi kerja yang baik dalam menghadapi atau memenuhi tuntutan perubahan-perubahan tersebut.

Dalam kaitan kondisi implementasi AFTA bidang komoditas pertanian di Jawa Barat struktur birokrasi perlu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang ada, antara lain melalui perubahan struktur organisasi yang lebih dinamis karena lingkungan strategis perdagangan agro di kawasan Asia Tenggara sudah berubah secara dinamis. Dengan kata lain, pengkajian ulang

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

175Studi Kasus Implementasi...

terhadap keberadaan struktur birokrasi di Propinsi Jawa Barat saat ini, perlu dilakukan agar struktur birokrasi tersebut andal dan adaptif dengan perubahan lingkungan perdagangan agro dalam kerangka AFTA di kawasan Asia Tenggara.

Dari sudut pandang faktor struktur birokrasi sebagaimana yang tertuang dalam kajian teoretis, implementasi AFTA perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat, belum berlangsung sebagaimana yang diharapkan, sehingga belum mampu mendorong tercapainya daya saing Jawa Barat di dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara

4.4 Implikasi Kebijakan Hasil elaborasi dengan berbagai pihak yang

berkepentingan dengan implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat dari tingkat nasional sampai dengan tataran para petani, terdapat pemikiran yang berkenaan dengan implikasi kebijakan sebagai berikut:

Terdapat beberapa implikasi kebijakan yang kiranya perlu diambil oleh setiap pemerintahan daerah di Indonesia, khususnya Jawa Barat, dalam upaya membangun dan atau mengembangkan kerja sama dengan luar negeri. Pertama, pembangunan pangkalan data yang komprehensif dan berstandar internasional tentang potensi-potensi lokal apa saja yang dimiliki oleh Jawa Barat. Kedua, menentukan skala prioritas antisipasi terhadap agenda hubungan internasional yang mendesak, sebab dalam waktu beberapa tahun lagi (immediate years) harus

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

176 Studi Kasus Implementasi...

segera diikuti oleh bangsa Indonesia, termasuk Propinsi Jawa Barat. Ketiga, dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik, perlu dikaji kemungkinan adanya pembangunan struktur baru di tingkat pemerintahan Propinsi, termasuk Jawa Barat. Keempat, perlu dibuat prosedur umum pengembangan kerja sama daerah Jawa Barat dengan luar negeri yang berbasis kebutuhan publik (public needs).

1. Pembangunan Data Base Potensi Lokal Salah satu faktor yang sangat mendesak untuk

dikaji dalam proses membangun kerja sama daerah Jawa Barat dengan luar negeri di era otonomi daerah adalah pembangunan pangkalan data (data base) potensi daerah Jawa Barat yang berstandar internasional sesuai aturan dalam World Intelectual Property Rights Organization (WIPO). Hal ini mutlak segera dibangun terutama untuk perlindungan terhadap hak komunal (adat dan lokal) atas kepemilikan intelektual, dimana saat ini mulai ramai diperbincangkan dalam berbagai pertemuan dan diskusi. Upaya ini perlu dilakukan sebagai usaha untuk melindungi kekayaan intelektual mereka dalam interaksi dengan masyarakat global, terutama sejalan dengan kesepakatan bersama di antara negara-negara WTO (World Trade Organization) yang mengatur berbagai faktor intelectual property rights dalam dunia perdagangan (Trade Related on Intellectual Property Rights/TRIPs).

Gagasan-gagasan yang terkandung dalam Trade Related on Intellectual Property Rights (TRIPs)

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

177Studi Kasus Implementasi...

orientasinya bersifat individual dan bercorak privatisasi. Ide dasar TRIPs lebih menekankan pada hak yang berkaitan dengan hukum benda yang tangible. Di lain pihak, dalam masyarakat tradisional dan lokal yang menjadi pedoman komunitas mereka adalah kepatuhan terhadap pimpinan adat dengan dukungan hukum adat. Dalam hukum adat di Nusantara, diketahui bahwa yang paling utama adalah keterikatan hubungan antara tanah dengan manusia. Artinya, pengaturan kekayaan intelektual tradisional dan lokal tidak hanya memperlakukan benda sebagai benda, tetapi juga benda itu berkaitan dengan tanah, yang erat kaitannya dengan wilayah geografis. Dengan kata lain, paradigma yang dianut oleh masyarakat tradisional dan lokal tersebut berbeda dengan paradigma yang dianut IPRs selama ini.

Pembangunan pangkalan data potensi lokal mutlak diperlukan terutama sebagai alat kontrol bagi daerah-daerah di Indonesia, apabila suatu ketika menghadapi perselisihan yang berkaitan dengan TRIPs. Dewasa ini baru dua negara yang mempunyai pangkalan data yang lengkap dan komprehensif yakni negara India dan Brasil. Padahal keberadaan pangkalan data ini dapat dijadikan sebagai suatu amunisi apabila negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, berselisih dalam konteks TRIPs dengan negara-negara maju.

Misalnya saja ada peluang terjadi perselisihan dengan pihak asing/luar negeri apabila masyarakat Desa Cilembu, Kabupaten Sumedang akan mengekspor produk unggulannya yakni Ubi Manis

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

178 Studi Kasus Implementasi...

Cilembu secara besar-besaran dalam suatu format bisnis yang profesional, sebab dewasa ini hak paten produk ubi manis (sweet potatoes) sudah dimiliki oleh salah satu perusahaan asing di luar negeri.

Pemikiran di atas perlu menjadi peringatan dini untuk mempersiapkan Jawa Barat go international khususnya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa internasional yang dalam waktu dekat harus diikuti oleh bangsa Indonesia, misalnya implementasi Bogor Declaration (Deklarasi Bogor) 2010 bagi negara-negara anggota APEC.

2. Skala Prioritas Agenda Hubungan Luar Negeri Sesuai dengan namanya Deklarasi Bogor,

deklarasi tersebut ditetapkan di Kota Bogor, Indonesia. Sesuai dengan kesepakatan Deklarasi Bogor, mulai tahun 2010 negara-negara ASEAN akan dapat memanfaatkan preferensi atas dasar Most Favoured Nations (MFN) dari negara-negara maju yang tergabung dalam APEC, yang akan mulai melibera-lisasikan perdagangannya pada tahun 2010. Sesudah itu, mulai tahun 2020, negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, harus memberikan preferensi penuh (baca: membuka penuh pangsa pasarnya) atas dasar MFN kepada negara-negara lain, termasuk kepada negara-negara maju anggota APEC.

Secara bersamaan pada tahun 2020 akan berlaku juga One World Trade (satu perdagangan dunia) oleh WTO serta akhir penerapan dari ASEAN Vision 2020. Pada tahun 2010 juga ada kemungkinan pengaturan ketat dari WIPO (World Intellectual Property Rights Organization) akan mulai

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

179Studi Kasus Implementasi...

diimplementasikan, dan mencapai puncaknya pada tahun 2020 ketika saat itu sudah tercipta satu pasar dunia.

Permasalahannya sekarang, sudah siapkah Pemerintah Pusat (Indonesia), termasuk Pemerintahan tingkat Propinsi Jawa Barat memasuki peluang dan tantangan di atas? Terutama yang paling mendesak adalah persiapan dalam menghadapi implementasi Deklarasi Bogor tahun 2010. Menurut pengamatan penulis, mulai tahun 2010 India dan empat negara ASEAN yaitu Singapura, Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang sudah jauh-jauh hari siap-siap untuk menikmati kemudahan (preferensi) liberalisasi perdagangan yang akan diberikan oleh negara--negara maju anggota APEC. Jaringan mereka sudah dibangun sampai ke tingkat daerah-daerah dengan dukungan teknologi dan informasi yang adikuat untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi nasionalnya masing-masing.

3. Struktur Baru: Biro Kerja sama Luar Negeri di Setda Propinsi Jawa Barat

Mengkaji begitu luas dan kompleksnya peluang dan tantangan yang dihadapi serta dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik, tampaknya sudah saatnya para elit pemerintahan di tingkat Propinsi Jawa Barat membuka wacana pembentukan struktur baru di Sekretariat Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat yaitu Biro Kerja sama Luar Negeri.

Biro Kerja Sama Luar Negeri ini mungkin

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

180 Studi Kasus Implementasi...

paling tidak terdiri dari empat bagian yaitu Bagian Kerja Sama Bilateral, Bagian Kerja sama Regional dan Multilateral, Bagian Administrasi Kerja sama, dan Bagian Humas dan antar Lembaga. Diharapkan keempat bagian ini dapat terintegrasi secara sinergis dan menjadi aparat pemerintah terdepan dalam upaya pemberdayaan potensi daerah dalam membangun kerja sama dengan luar negeri sekaligus peningkatan kualitas pelayanan publik.

Struktur baru ini juga menuntut peningkatan keterampilan dan kompetensi aparat pemerintah, misalnya saja pengetahuan tentang hubungan internasional, ekonomi-politik internasional, hukum internasional, dan keterampilan bahasa asing akan menjadi sangat penting dalam negosiasi internasional, dan dalam setiap forum yang menuntut pengertian tentang sistem dan kerangka pemikiran kebijakan negara lain.

Diharapkan dengan makin meningkatnya pengetahuan dan keterampilan aparat pemerintah daerah yang terlibat dalam pengelolaan hubungan luar negeri, maka upaya membangun kerja sama luar negeri dalam rangka pemberdayaan potensi daerah dapat secara maksimal didayagunakan.

4. Prosedur Umum Pengembangan Kerja Sama Daerah Jawa Barat dengan Luar Negeri yang Berbasis Kebutuhan Publik (Public Needs)

Implikasi kebijakan poin ke empat di atas, sangat erat kaitannya dengan upaya pengembangan kerja sama daerah Jawa Barat dengan luar Negeri, khususnya pengembangan kerja sama daerah

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

181Studi Kasus Implementasi...

Jawa Barat dengan negara-negara anggota ASEAN di bidang perdagangan komoditi agro. Hal itu selaras dengan implementasi kebijakan publik yang berbasis kebutuhan publik karena program-program yang dikerjasamakan sudah terlebih dahulu dilakukan melalui proses bo om-up planning yang terintegrasi dengan melibatkan Government to Government (Local Governments), Business to Business, dan People to People contacts.

Pada tahap ini pengembangan kerja sama daerah Jawa Barat dengan luar negeri sudah memiliki panduan kebijakan publik, yakni Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004 tentang Pedoman Kerja sama antara Daerah dengan Pihak Luar Negeri. Dalam Keputusan Gubernur tersebut dinyatakan bahwa inisiatif kerja sama daerah Propinsi Jawa Barat dalam melakukan kerja sama luar negeri harus melalui prosedur umum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain:a. Dalam perencanaan setiap kegiatan Hubungan

dan atau Kerja Sama Luar Negeri, pihak pembuat inisiatif Hubungan dan atau Kerja sama Luar Negeri perlu menyiapkan Rencana Program yang sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai hal-hal sebagai berikut:1) Identitas, status dan kedudukan hukum

pihak-pihak Pelaku Hubungan atau Kerja Sama;

2) Latar belakang kebutuhan, maksud, dan tujuan pembinaan Hubungan/Kerja Sama;

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

182 Studi Kasus Implementasi...

3) Objek dan atau Bidang atau sub-bidang kerja sama;

4) Ruang lingkup kerja sama berdasarkan kewenangan daerah;

5) Hak, kewajiban dan tanggung jawab utama parapihak dalam kerja sama;

6) Pengorganisasian dan tata cara pelaksanaan kerja sama;

7) Rencana, hak dan kewajiban dalam pembiayaan;

8) Jangka waktu kerja sama;9) (Bila dianggap perlu) Hal-hal lain yang

umumnya harus disepakati di dalam Perjanjian atau Kontrak, seperti misalnya:a) perumusan hak dan tanggung jawab

parapihak dalam menghadapi keadaan memaksa, perubahan kondisi dan situasi pada saat pelaksanaan kontrak;

b) kesepakatan para pihak tentang prosedur penyelesaian sengketa;

c) kesepakatan mengenai kemungkinan perubahan terhadap persyaratan kerja sama;

d) jangka waktu berlangsungnya kerja sama;e) kondisi-kondisi dan persyaratan

pemberlakuan kerja sama.

b. Program Hubungan dan atau Kerja sama Luar Negeri dapat dilakukan berdasarkan prakarsa dari:1) Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati,

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

183Studi Kasus Implementasi...

Walikota);2) Pelaku hubungan luar negeri lainnya di

daerah;3) Pihak asing.

c. Prakarsa Hubungan dan atau Kerja sama Luar Negeri yang diselenggarakan atas dasar prakarsa Pemerintah Daerah dan atau Pelaku Kerja sama Luar Negeri lainnya di Daerah dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut:1) Pihak pemrakarsa (dalam hal ini Kepala

Daerah) mengirimkan Rencana Program Kerja Sama kepada Pemerintah, serta mengajukan permohonan penyelenggaraan rapat koordinasi yang dihadiri oleh Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, dan Departemen atau Lembaga lain di tingkat Pemerintah Pusat yang terkait dengan Rencana Program, dan Gubernur (untuk Rencana Program yang ada dalam kewenangan Propinsi) atau Bupati/Walikota yang terkait (untuk Rencana Program yang ada dalam kewenangan Kabupaten/Kota);

2) Dalam hal pihak pemrakarsa program Hubungan/ Kerja sama Luar Negeri adalah Pelaku Kerja Sama lain selain kepala daerah, maka pihak pemrakarsa harus terlebih dahulu menyampaikan Rencana Program kepada kepala daerah di wilayah rencana tempat pelaksanaan program;

3) Dalam hal Rencana Program tersebut

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

184 Studi Kasus Implementasi...

menyangkut kepentingan masyarakat banyak, maka Rencana Program tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);

4) Kepala Daerah sebelum menyampaikan kepada Pemerintah Pusat, berkonsultasi dan berkoordinasi dahulu tentang Rencana Program yang telah dibuat kepada Propinsi;

5) Kepala Daerah kemudian meneruskannya kepada Pemerintah Pusat sesuai pada butir a di atas;

6) Kepala daerah mengadakan rapat dengan mengundang Departemen Dalam Negeri, departemen Luar Negeri dan Departemen atau Lembaga lain yang dimaksud dalam butir

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

185Studi Kasus Implementasi...

Gam

bar 4

.2.

Baga

n A

lir T

ata

Car

a U

mum

Hub

unga

n da

n K

ejas

amaL

uar N

eger

i In

isia

tif P

emer

inta

h D

aera

h da

n Pe

laku

Hub

unga

n Lu

ar N

eger

i di D

aera

h

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

186 Studi Kasus Implementasi...

a, untuk membicarakan Rencana Program. Sebelum dan sesudah penyelenggaraan rapat konsultasi dan koordinasi, pihak Kepala daerah dapat melakukan komunikasi resmi melalui surat menyurat dengan Departemen Dalam Negeri dan atau Departemen Luar Negeri dan atau Departemen lembaga lain yang terkait;

7) Departemen Luar Negeri akan memberikan masukan dan petunjuk kepada Kepala daerah mengenai hubungan luar negeri sesuai dengan kebijakan luar negeri Indonesia. Departemen Luar Negeri juga akan berperan sebagai fasilitator dalam mengkomunikasikan Rencana dan Pelaksanaan Kerja Sama dengan perwakilan diplomatik dan konsuler pihak asing di Indonesia dan perwakilan Republik Indonesia di luarnegeri;

8) Departemen Dalam Negeri akan memberikan masukan dan petunjuk kepada Kepala Daerah mengenai aspek-aspek kewenangan daerah, masalah-masalah koordinasi, integrasi, sinkronisasi, aspek pelaksanaan dan pengawasan internal serta pembiayaan;

9) Departemen atau Lembaga Pemerintah Pusat lain yang terkait memberikan masukan dan petunjuk mengenai subtansi kerja sama dan korelasi serta konsistensinya dengan

BAB VPENUTUP

Kerja sama luar negeri dalam rangka pemberdayaan potensi daerah dapat

mewujudkan kehidupan sosial budaya di setiap daerah yang berkepribadian, dinamis, kreatif, berdaya saing dan berdaya tahan pengaruh global. Setiap daerah mempunyai potensi, peluang, dan tantangan yang besar menjadi pusat perdagangan, jasa, industri, dan agrobisnis terkemuka di Indonesia.

Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas di kawasan Asia Tenggara (ASEAN Free Trade Agreement/AFTA) merupakan kebijakan publik (public policy) yang diterapkan pemerintah yang bersifat top-down sehingga di tataran pelaksanaan kurang sesuai dengan kebutuhan publiknya sendiri.

Hal itu terkaji dalam implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat, dimana tidak lancarnya komunikasi, terbatasnya sumberdaya, kurang sesuainya perilaku pelaksana, dan tidak jelasnya struktur birokrasi menjadi penyebab tidak tercapainya daya saing Jawa Barat di dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian penulisan memberi informasi untuk membangun konsep baru bahwa

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

188 Penutup

implementasi suatu kebijakan tidak terlepas dari keadaan masyarakat atau publik dimana kebijakan tersebut diberlakukan.

Agar mampu mendorong tercapainya daya saing Jawa Barat di dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara, faktor, koordinasi antar pihak-pihak yang berkepentingan dalam implementasi AFTA bidang komoditas pertanian di Jawa Barat perlu mendapat perhatian dari pemerintah Propinsi Jawa Barat.

Dalam praksisnya ada lima komitmen yang ditawarkan: Pertama, adanya komitmen bersama dari seluruh Dinas/Badan/Lembaga tingkat Jawa Barat agar bekerjasama secara kooperatif. Kedua, perlu adanya sinergi yang bersifat lintas sektoral terutama antara sektor pertanian dengan sektor perindustrian dan perdagangan. Ketiga, para pelaku usaha hendaknya memberikan kontribusi dalam memfasilitasi pembangunan sarana usaha industri dan perdagangan agro, tidak hanya mengandalkan anggaran pemerintah saja. Keempat, mengoptimalkan fungsi dan peran berbagai kelembagaan usaha yang ada di daerah Kabupaten/Kota dalam kegiatan pengembangan ekspor. Kelima, adanya kerja sama yang kooperatif antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah propinsi khususnya dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan.

Peluang dan tantangan kerja sama daerah Jawa Barat dengan luar negeri telah semakin berkembang dan kompleks. Karena itu dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

189Penutup

sudah saatnya perlu dibentuk organ baru setingkat Biro Kerja Sama Luar Negeri dalam struktur organisasi di Setda Propinsi Jawa Barat yang terdiri dari empat bagian yaitu Bagian Kerja Sama Bilateral, Bagian Kerja Sama Regional dan Multilateral, Bagian Administrasi Kerja Sama, dan Bagian Humas dan Antar Lembaga. Diharapkan ke empat bagian ini dapat terintegrasi secara sinergis dan menjadi aparat pemerintah terdepan dalam upaya pemberdayaan potensi daerah dalam membangun kerja sama dengan luar negeri.

Perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan pengembangan kerja sama daerah dengan luar negeri. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas pelatihan ekspor dan impor dalam rangka peningkatan kemampuan, kesejahteraan dan peningkatan pendapatan pelaku usaha komoditi agro di daerah dalam mengantisipasi perubahan di lingkungan tempat usahanya.

Hasil keluaran (output) diharapkan dari pelatihan ini yaitu: Pertama, terwujudnya pemahaman dan kemampuan eksportir/importir agribisnis di daerah tentang kebijakan perdagangan luar negeri. Kedua, terwujudnya pemahaman dan kemampuan eksportir/importir dalam melakukan sosialisasi pada yang lainnya dengan menggunakan komunikasi yang efektif. Ketiga, terinformasikannya kebijakan perdagangan luar negeri bagi eksportir/importir dan pihak-pihak pengambil kebijakan yang merupakan bahan informasi bagi perkembangan

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

190 Penutup

usaha agrobisnis yang akan datang. Keempat, adanya pengetahuan kebijakan perdagangan luar negeri yang cukup di masyarakat sasaran (eksportir/importir) dan tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan ekspor/impor. Kelima,

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syukur. 1991. Budaya Birokrasi di Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Abidin, Z. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Industri Gula Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan. Disertasi, tidak dipublikasikan. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Abimanyu, A. 1995. Liberalisasi Perdagangan dan Biaya Lingkungan, dalam Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan dan Kemiskinan. Soetrisno, L. dan F. Umaya (Editor). Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Amang, B. dan M.H. Sawit. 1997. Perdagangan Global dan Implikasinya pada Ketahanan Pangan Nasional. Agro-Ekonomika No. 2 Tahun XXVII: 1-14. Jakarta: Perhepi.

Anderson, James E. 1984. Public Policy and Politics in America. California: Wadsworth, Inc. Belmont.

Anderson, James E. 1997. Public Policy Making. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Anugerah, I. S. 2003. ASEAN Free Trade Area (AFTA), Otonomi Daerah dan Daya Saing Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia. Forum Agro Ekonomi, Volume 21 (1). Juli 2003. Bogor: Puslilbang Sosial Ekonomi Pertanian.

Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

192 Daftar Pustaka

Atmosudirdjo, Prajudi S. 1976. Beberapa Pandangan Umum tentang Pengambilan Keputusan.Jakarta: Ghalia Indonesia.

Bank Dunia. 2004. Indonesia Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action, Second ed., East Asia and Pacific Region Infrastructure Development, Washington, D.C. and Jakarta.

Bank Dunia. 2005, “Averting an Infrastructure Crisis”, Infrastructure Policy Brief, January, Jakarta.

Bappenas. 2005. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009. Jakarta.

Bellone, Carl J. 1980. Organization Theory and the New Public Administration, Boston: Allyn and Bacon Inc.

Bennet. 1984. International Organization. New York: McGraw Hill.

BPS, BAPPENAS dan UNDP. 2001, Menuju Konsensus Baru. Demokrasi dan Pembangunan manusia di Indonesia, Laporan Pembangunan Manusia 2001, Oktober, Jakarta: Biro Pusat Statistik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan United Nations Development Programme.

BPS, Bappenas dan UNDP. 2004. The Economics of Democracy, Indonesia Human Development Report 2004, Jakarta.

Brian W Hogwood and Lewis A. Gunn, 1984. Policy

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

193Daftar Pustaka

Analysis For The Real World. New York : Oxford University Press.

Bromley Daniel W. 1989. Economic Interest and Institutions. The Conceptual Foundations of Public Policy. Great Britain: Bookcra (Bath) Ltd.

Budiono. 2001. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada.

Bungin, Burhan (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Carl U Pa on and David S Sawacki. 1985. “ Basic Methods Of Policy Analysis and Planning”. New Jersey : Prentice – Hall International Inc, 1985.

Chacholiades, M. 1978. International Trade Theory and Policy. New York: McGraw-Hill.

Chadwich, Bruce A., Howard M. Bahar, Stan L. Albrecht. 1988. Social Research Methods. Englewood cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.

Chaves, R.E., J.A. Frankel dan R.W. Jones. 1993. World Trade and Payments. An Introduction. Sixth Edition. New York: Harper Collins.

Cho, Dong-Sung dan Hwy-Chang Moon. 2003. From Adam Smith to Michael Porter. Evolusi Teori Daya Saing, Jakarta: Salemba Empat.

Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. California: Sage Publications.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

194 Daftar Pustaka

Crozier, Michael. 1964. The Bureaucratic Phenomenon. London: Tavistock publication.

Daniels, John D. dan Radebaugh, Lee H. 1989. International Business, Environments and Operation, Edisi ke 5, Addison-Wesley Publishing Company.

David L. Weiner and Aidan R. Vinning. 1989. Policy Analysis: Concepts and Practice. New Jersey : Prentice Hall Inc.

Davis, Keith & John W. Newstrom. 1985. Perilaku dalam Organisasi. Terjemahan Agus Dharma. Jakarta: Erlangga.

Dollar, David dan E.N. Wolf. 1993. Competitiveness, Convergence, and International Specialization, Cambridge, Mass. the MIT Press

Doz, Yves L. dan C.K. Prahalad. 1987. Multinational Mission, New York: The Free Press.

Dunn, Willian N. 1995. Public Policy Analysis. New Jersey: Prentice Hall International Inc.

Dye Thomas R. 1992. Understanding Public Policy. New Jersey: Englewood Cliffs.

Edward III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington D.C.: Congressional Quarterly Press.

Edward III, George C. and Sarkansky. 1980. The Policy Predicament. San Francisco: W.H. Freeman and Company.

Erwidodo dan P.U. Hadi. 1999. Effects of Trade Liberalization on Agricultureure in Indonesia:

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

195Daftar Pustaka

Commodity Aspects. The CGPRT centre. Working Paper No 48.

Erwidodo. 1999. Effects of Trade Liberalization on Agriculure in Indonesia: Institutional and Structural Aspects. The CGPRT Centre. Working Paper No 41.

Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi-organisasi Modern (Modern Organizations) Terjemahan Suryatin. Jakarta: UI Press.

FAO, 2003. Anti-Hunger Programme. A Twin Track Approach to Hunger Reduction: Priorities for National and International Action.

Farnham, Davis and Sylvia Norton, 1993, Managing in New Public Service. London: Mc. Millans Press.

Feridhanusetyawan, T and M. Pangestu, 2003. Indonesian Trade Liberalization: Estimating The Gains. Buletin of Indonesian Econo-mic Studies, Volume 29 (1). 2003.

Feser and Bergman. 2000. Industrial Cluster. New York: McGraw Hill.

Feser. 2001. Cluster Analysis. New York: McGraw Hill.

Finer, Herman. 1960. The Theory and Practice of Modern Government. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Fitzsimmons, James A & Mona. J. Fitzsimmons, 1994. Service Management for competitive Advantage. New York: Mc Graw-Hill Inc.

Gannon, Marti J. 1979. Organizational Behavior:

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

196 Daftar Pustaka

A Managerial and Organizational Perspective. Toronto: Li le Brown and Co.

Gasperz, Vincent, 1997, Management Kualitas; Penerapan konsep kualitas dalam Manajemen Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

George C Edward III, “Implementing Public Policy”, Washington: Congressional Quartely Press, 1980.

Gibson, L. James, John. M. Ivancevich, & James H. Jr., Donelly. 1986. Organisasi – Perilaku, Struktur, Proses. Terjemahan Jorban Wahid. Jakarta: Erlangga.

Gibson, L. James. 1984. Organization and Management. New York: Mc. Graw-Hill.

Goodall, Merrill. 1975. Bureaucracy and Bureaucrats. Bepal: Experience

Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World. New York: Princeton University Press.

Grossman, G.M. dan E. Helpman. 1993. Innovation and Growth in the Global Economy, Cambridge, Mass.: the MIT Press.

Gwartney, James D. dan Stroup, Richard. 1980. Economics: Private and Public Choice. New York: Academic Press.

Hadi, PU. 2003. Marketing Policy to Improve Competitiveness of Agricultural Commodities Facing Trade Liberalization. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 (2). Juni 2003. Puslitbang

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

197Daftar Pustaka

SosiaI Ekonomi Perta-nian. Bogor. Hamdy, H. 2000. Ekonomi Internasional: Teori dan

Kebijakan Perdagangan Internasional. Buku Kesatu. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Harrison, Ford. 1992. Industrial Cluster. New York: Mc Graw Hill.

Heady, Farrel. 1991. Empowerment: The Politic of Alternative Development. Massachusetts: Blackwell Published.

Henry, Nicholas. 1995. Administrasi Negara dan Masalah-masalah Publik. Terjemahan Luciana D. Lontoh. Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada.

Hermanto. 2002. Perspektif Implementasi Kebijakan Stabilisasi Harga Gabah/Beras Pasca Bulog. Lokakaya Ketahanan Pangan Pasca BuIog. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departermen Pertanian, Jakarta, 22 November.

Hersey, Paul, Kenneth H. Blanchard, & Dewey E. Johnson. 1995. Manajemen Perilaku Organisasi : Pendayagunaan Sumber Daya Manusia. Terjemahan Agus Dharma. Jakarta: Erlangga.

Hidayat dan Sucherly. 1986. Peningkatan Produktivitas Organisasi Pemerintah dan Pegawai Negeri, Kasus Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Hodge, Grame, 1993, Minding Everybody’s Business Performance Management in Public Sector Agency, Public Sector. Sydney: Management Institute. Monash University.

Hoogerwerf, A. 1983. Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Erlangga.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

198 Daftar Pustaka

Hoogwood, Brian W., and Lewis A. Gunn. 1986. Policy Analysis for the Real World. Princeton: Princeton University Press.

Howlet, Michael and M. Ramesh. 1995. Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystems. Oxford: Oxford University Press.

Hughes,Owen,1998,Public Management & Administration. Chipenham: Antony Rowe Ltd,

Husaeni, Martani. 1993. Penyusunan Strategi Pelayanan Prima dalam Suatu Perspektif Reengineering, dalam Bisnis dan Birokrasi. Jakarta: Erlangga.

Ibrahim, Budi. 1997. Total Quality Management, Panduan Untuk Menghadapi Persaingan Global. Jakarta: Djambatan.

Ilham, Nyak. 2003. Dampak Liberalisasi Ekonomi Terhadap Perdagangan dan Kesejahteraan Negara-Ngara di Dunia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, XI (2) 2003. LIPI. Jakarta.

Indrawati, S.M. 1995. Liberalisasi dan Pemerataan dalam Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan dan Kemiskinan. Soetrisno, L. dan F. Umaya (Editor). Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Indrawijaya, Adam. 1989. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru.

Irfan Islamy, “ Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara “, Jakarta: Bina Aksara, 1984.

ISEI. 2005. Rekomendasi ISEI. Langkah-Langkah

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

199Daftar Pustaka

Strategis Pemulihan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia.

Islamy M. Irfan. 2000. Prinsip-prinsip Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Jabra, Joseph. G & Dwivendi OP. 1993. Public Service Accountability, A. Comprehensive Perpective. New York: Kumarian Press Inc.

Jenkins Smith, 1990. Democratic Politics and Policy Analysis: California: California Publishing Company.

Jenkins, W. I., 1970. Policy Analysis : A Political and Organizational Perspective. New York : ST. Martin Press.

Jones, Charles O. 1994. Study of Public Policy. Belmont, California: Wadsworth Inc.

Kaniya, M. 2002. 1990s: A DecacIe for AgricuturaJ Poley Reform in Japan- Breakaway from the Postwar Policies. Food and Agricultural Policy Research Center, Tokyo daIam Hadi, et aI. 2003. Dampak Implementasi Perdagangan Bebas AFTA-2003 Terhadap Pertanian Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penulisan dan Pengem-bangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Kariyasa. K. 2003. Dampak Tarif Impor dan Kinerja Kebijakan Harga Dasar serta Implikasinya Terhadap Daya Saing Beras Indonesia di Pasar Dunia. Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1(4). Desember 2003. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

200 Daftar Pustaka

Kast, Fremont & Rosenzweig, James E. 1985. Organization and Management: A Systemic and Contingency Approach. New York: Mc. Graw-Hill Book Company.

Kerlinger, Fred N, Elazar J. Pedhazur. 1987. Foundation of Behavioral. New York: Research Half Rinehard and Wington.

Kevi , Davit, 1998, Managing core Public Service. London: Black Well Publisher.

Kindleberger, C.P. and P.H. Underl. 1978. International Economics. Six Edition. Illinois. Richard D. Irwin. Inc.

Kompas. 2006. “Paket Kebijakan Infrastruktur”, Bisnis & Keuangan, Sabtu, 18 Februari, hal. 17.

Kotler, Philip, Somkid Jatusripitak, dan Suvit Maesincee. 1997. Pemasaran Keunggulan Bangsa, Jakarta: PT Prenhallindo.

Kotler, Philip. 1991. Marketing Management, Analysis, Planning, Implementation & Control. London: Prentice Hall International Edition.

Kotler, Philip. 1994. Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian. Terjemahan Supranto. Jakarta: Prentice Hall Edisi Indonesia. .

Kristiadi, J.B. 1998. Deregulasi dan Debirokratisasi Dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan, Pembangunan Administrasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

201Daftar Pustaka

Kristiadi, JB. 1998. Pemberdayaan Birokrasi dalam Pembangunan. Jakarta: Sinar Harapan.

Krugman, P.R. 1988, “Introduction: New Thinking about Trade Policy”, dalam Krugman, P.R. dkk. (ed.), Strategic Trade Policy and New International Economics, Cambridge, Mass.: the MIT Press

Krugman. 1991.International Trade. New York: Mc Graw Hill Book Company.

Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara. Jakarta:Rajawali.

La Palombara. 1967. Bureaucracy and Political Development. New Jersey: Princeton University Press.

Lane. 1993. The Public Sectors, Concepts, Models, and Approaches. Prentice Hall, Inc. New Jersey.

Luthans, Fred. 1992. Organization Behavior. Tokyo: Mc. Graw Hill.

Marx. 1996. Administrasi Birokrasi dan Pelayanan Publik. Terjemahan Supriatna. Jakarta: Nimas Multima.

Maxwell, S. and T.R. Frankenberger. 1992. Household Food security: Concepts, Indicators, Measurement. A Technical Review. Jointly Sponsored by United Nation Children’s Fund and International Fund for Agricultural Development.

Mazmanian, Daniel A., and Paul A. Sabatier. 1983. Implementation and Public Policy. Illinois: Scoot, Foresman and Company.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

202 Daftar Pustaka

Milles, Mathew B. and A. Michael Huberman. 1992. Qualitative Data Analysis. California: Sage Publications Inc.

Moleong Lexy J. 1997. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Muhadjir, Noeng. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Nasikun. 1997. Proses Perubahan Sosial dan Pembangunan Nasional. Jakarta: Bulan Bintang.

Newman, Lawrence W. 1997. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon Co. Needham Heights.

Osborne, David & Ted Gabler, 1992, Reiventing Government, New York: A William Patrick Book.

Osborne, David and Plastrik. 2001. Memangkas Birokrasi : Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Tejemahan. Jakarta: Pendidikan Prasetya Mulya.

Pakpahan, Arten T. 2005. “Gambaran Belanja Modal Daerah, Dana Alokasi Khusus dan Hibah Pinjaman Luar Negeri Pemerintah untuk Pembansunan Infrastruktur”, makalah FGD, Jakarta: ISEI.

Pamudji, S., Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia,

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

203Daftar Pustaka

Jakarta: Bina Aksara, 1982.Pardede, Raden. 2005. “Infrastructure Financing:

Indonesia Challenges”, makalah FGD, Jakarta: ISEI.

Parsons, Wayne. 1993. Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Cheltenhan: Edward Elgar.

Pollitt & Bouchaert. 2000. Public Management Reform, New York: Prentice –Hall International edition.

Porter, 1990. Competitive Advantage. New York: McGraw Hill.

Porter, M.E. 1985. Competitive Advantage, New York: Free Press.

Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations, New York: Free Press.

Porter, M.E. 1998a. The Competitive Advantage of Nations: With a New Introduction, New York: The Free Press.

Porter, M.E. 1998b. On Competition, Boston: Harvard Business School Press.

Porter, M.E. ed.. 1986. Competition in Global Industries, Boston: Harvard Business School Press.

Porter, Michael E. 1980. Competitiveness Strategy: Techniques for analyzing industries and companies, New York: Free Press.

Rasahan, CA 1997. Kesiapan Sektor Pertanian Menghadapi Era Perdagangan Bebas. Agro-Ekonomika No. 2 Tahun XXVII : 15-24. Perhepi. Jakarta.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

204 Daftar Pustaka

Rauch, Robert. Industrial Cluster: Relocation, Investment and Production. New York: McGraw Hill.

Rouse, Jhon and Berkley, George. 1997. The Cra of Public Administration, New York: Brown Benchmark, McGraw-Hill.

Saliem, H.P., S.H. Hartini, A Purwoto, dan G.S. Hardono. 2003. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Kinerja Ketahanan Pangan Nasional. Laporan Hasil Penelitian. Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Santoso, Priyo Budi. 1997. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: P.T. Grafindo Persada.

Sarundajang. 2001. Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sawit, MH. 2001. Globalisasi dan NJA-WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya “Ketahanan Pangan” diselenggarakan oIeh YLKI dan Consumers International for Asia and Pacific (CIROAP) 28-29 Agustus 2001, Jakarta.

Sawit, MH. 2003. Indonesia dalam Perjanjian Pertanian WTO: Proposal Harbinson. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume I (1). Maret 2003. Puslitbang SOsial Ekonomi Pertanian. Bogor

Schmidtz, David. 1991. The Limit of Government An Essay on The Public Goods Argument. Colorado: Westview Press. .

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

205Daftar Pustaka

Schwartz, Howard, and Jerry Jacobs. 1979. Qualitative Sociology. New York: The Free Press.

Sco , James. 1986. Introduction to Industrial Cluster. London: Mc Graw Hill.

Simatupang, P. 2001. Food security: Basic Concepts and Measurement in Food Security in Southwest Pacific Island Countries. CGPRT Center Works Towards Enhanching Sustainable Agriculure and Reducing Poverty in Asia and The Pacific

Simbolon, Reobert. 1998. Manajemen Pelayanan Publik. Jakarta: Rajawali. Jakarta.

Simon, Harbert. 1984. Administrative Behavior : Perilaku Administrasi, Suatu Studi Tentang Proses Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Administrasi. Terjemahan St. Dianjung. Jakarta: Bina Aksara.

Siregar, Hermanto. 2005. “Penyediaan dan Pembiayaan Infrastruktur Dasar, “ makalah FGD, Jakarta: ISEI Pusat.

Sjahrir. 1986. Pelayanan dan Jasa-jasa Publik, Telaah Ekonomi serta Implikasi Sosial Politik. Jakarta: LP3ES.

Skelcher, Chris, 1992. Managing For Service Quality. London: Longman.

Storper, William. 1992. Industrial Management. New York: Mc Graw Hill.

Strauss, Anselm and Juliet Corbin. 1990. Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques. California: Sage Publications.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

206 Daftar Pustaka

Sudarsono, Hardjosoekarto. 1994. Beberapa Perspektif Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. 1993. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV. Alfabeta.

Suhadjo, 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan pangan Rumahtangga. Makalah disampaikan pada Lokakarya Keta-hanan Pangan Rumahtangga. Kerja sama Departemen Pertanian dengan UNICEF. Yogyakarta, 26-30 Met

Sunggono, Bambang. 1994. Hukum dan Kebijakan Publik. Jakarta: Sinar Grafika.

Supriatna, Tjahya. 1997. Administrasi Birokrasi dan Pelayanan Publik. Jakarta: Nimas Multima.

Suradinata, Ermaya. 1997. Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Bandung: Ramadan.

Suryana, A 2001. Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapal Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Depar-temen Pertanian, Jakarta, 29 Maret.

Susilowati, S.H. 2003. Dinamika Days Saing Lada. Jumal Agro Ekonomi Vol. 21 No. 2.0ktober 2003. Bogor: Puslilbang Sosial Ekonomi Pertanian.

Syarif. 1990. Teori dan Praktek Kebijaksanaan Negara Dalam Meningkatkan Produktivitas. Bandung: Ramadhan.

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

207Daftar Pustaka

Tambunan, Tulus. 2006. “Kondisi Infrastruktur di Indonesia”, April, Jakarta: Kadin Indonesia

Thoha, Mi ah. 1994. Perilaku Organisasi : Konsep Dasar dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Thomas R. Dye, “ Understanding Public Policy “, New Jersey: Prentice Hall International Inc, 1987.

Thompson, Jhon L. 1993. Strategic Management: Awareness and Changes, 2nd Edition. New York: Chapman & Hall.

Van Meter, D.S., dan C.E. Van Horn. 1978. “The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework”, Administration and Society, Vol. 6, No. 4, Sage Publications Inc.

Wahab, Solichin A. 2002. Analisis Kebijaksanaan. Dari formulasi ke implementasi kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Jakarta.

Warwick, Donal P. 1975. A Theory of Public Bureaucracy: Massachuse s: Harvard University Press.

Weber, Max. 1997. The Theory of Economics and Social Organization. New York: The Free Press.

Weihrich, Heinz & Koontz, Harold, 1994. Introduction to Public Management: A Global Perspective, Tenth edition, McGraw Hill International Edition.

Wibawa Samudera. 1994. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Rajawali Press.

William N Dunn. 1987.Public Policy Analysis:

IMPLEM

ENTA

SI ASEA

N FREE TRA

DE A

GREEM

ENT D

I JAW

A BA

RAT

208 Daftar Pustaka

An Introduction. New Jersey: Prentice Hall International Inc, 1987.

Winoto, Joyo. 2005. Peranan Pembangunan Infrastruktur Dalam Menggerakan Sektor Riil, makalah dalam Sidang Pleno ISEI XI, 22-23 Maret, Jakarta.

Zeithaml, V.A. 1990. Delivering Quality Service, Balancing Customer Perceptions and Expectations. Tnew York: The Free Press.

Dokumen-dokumen Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Tahun 2003-2007.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional;

UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Riwayat Singkat Penulis

Dr. H. Obsatar Sinaga adalah dosen Pascasarjana Universitas Padjajaran. Lahir di Deli Serdang 17 April 1969. Setelah menamatkan sekolah menengah di SMA Negeri 8 Bandung ia melanjutkan studi di

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran dan meraih gelar sarjana ilmu politik (S.IP). Setamat S-1 ia melanjutkan studi ke jenjang strata 2 dan strata 3 (S-2 dan S-3) pada Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, dan berhasil memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) dan gelar Doktor (Dr) dari perguruan tinggi yang sama.

Riwayat pekerjaan pria yang akrab disapa Obi ini antara lain: Wartawan HU Mandala, Kepala Wartawan HU Bandung Pos, Pemimpin Perusahaan HU Bandung Pos, Branch Manager Maranu International Finance, Staf Ahli Walikota Kota Bandung, Staf Ahli Bupati Kabupaten Tabanan Bali.

Sejak studi, ia aktif dalam berbagai kegiatan organisasi dan menduduki jabatan strategis dalam struktural organisasi, mulai organisasi kepemudaan, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi dalam bidang olahraga, antara lain:

Ketua KNPI Kota Bandung, Ketua Pemuda Panca Marga Bandung, Wakil Sekretaris Pemuda Panca Marga Jawa Barat, Sekretaris Patriot Panca Marga Jawa Barat, Sekjen Persatuan Golf Indonesia (PGI) Jawa Barat, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) KONI Jawa Barat, Wakil Ketua Umum Pengda PSSI Jawa Barat, Wakil Ketua Pemuda Panca Marga Jawa Barat, Wakil Ketua Depidar