· Web viewTUGAS MAKALAH. PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN DI INDONESIA. ... Untuk lebih jelas...
Transcript of · Web viewTUGAS MAKALAH. PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN DI INDONESIA. ... Untuk lebih jelas...
TUGAS MAKALAH
PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN DI INDONESIA
OLEH TOKOH FILSAFAT : JOHN DEWEY
Tugas ini diajukan untuk mata ajaran Pilsafat IlmuDosen Pengampu : DR. VIRGANA, MA
DISUSUN OLEH
S U P R I Y A D INPM: 2011980023
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN 2012
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 0
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan YME karena Rahmat_Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini
sesuai dengan waktu yang ditentukan. Tugas makalah ini membahas hasil analisa terhadap salah
satu tokoh filsafat: JOHN DEWEY mengenai pendidikan di indonesia dengan tinjauan kritis.
Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata ajar Pilsafat Ilmu Program Magister Ilmu
Keperawatan Peminatan Keperawatan Medical Bedah. Kami menyadari makalah ini tidaklah
sempurna oleh karena itu kami mohon saran dan kritikan dari semua pihak untuk pembelajaran
yang lebih lanjut.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
Jakarta, 13 Januari 2012
S U P R I Y A D I NPM : 2011980023
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 1
BIODATA/RIWAYAT HIDUP
Nama : Ns. Supriyadi, S.Kep
Umur : 28 Tahun
Jenis Kelamin : Laki – Laki
Tempat / Tgl Lahir : Loteng, 28 Oktober 1984
Alamat Rumah : BTN LA Resort Jln. Flamboyan 1 Blok F No 48, Parampuan, Labuapi,
Mataram, NTB
HP : 081931949588
Ema_il : [email protected]
Tempat Bekerja : STIKES YARSI Mataram
D/A: Jln. TGH. Ali Batu Lingkar Selatan, Jempong, Mataran, NTB
Riwayat Pendidikan : SD : SD 2 Teruwai, Kec. Pujut. Loteng, tahun 1996
SPM : SMPN 3 Pujut, Loteng. tahun 1999
SMA : SPK Yarsi Mataram, NTB tahun 2002
PT : STIKES Ngudi Waluyo Ungaran Semarang
S1 Keperawatan (S.Kep) tahun 2006
Ners (Ns) tahun 2007
Magister : Keperawatan Medikal Bedah di FKK UMJ Masuk tahun
2011
Pengalaman Bekerja : Perawat Ruang Rawat Inap di PKM Sengkol, Pujut, Loteng mulai tahun
2007 Akhir s/d 2009
Dosen Tetap di STIKES YARSI Mataram dari tahun 2008 s/d Sekarang
Jakarta, 13 Januari 2012,TTD
Mahasisa UJM
Ns. Supriyadi, S.Kep NPM: 2011980023
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kondisi kehidupan manusia, kadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa
yang kita inginkan. Dan mungkin kita tidak tahu alasan mengapa kita berbuat sesuatu. Kalau
kita mau bercermin pada pendapat Paulo Freire, maka kita dapat membaca jalan pikiran
seseorang. Apakah ia termasuk pada kategori orang yamg berkesadaran magic, naif, atau
kritis.Adanya wacana tentang tingkatan kesadaran tersebut, mau tidak mau guru atau dosen
sebagai penanggungjawab akan perubahan pada peserta didik harus memformat pola
pendidikan untuk membawa kesadaran manusia pada tingkatan yang lebih tinggi.
Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai
tujuan pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan manusia. Banyak tokoh pendidikan
berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu
sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.John Dewey
sebagai salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola
pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam
jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif membawa peserta didik untuk mampu
berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada dilingkungannya. Sehingga, peserta
didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang
ada.Konsep pendidikan John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi Indonesia.
Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika. Oleh karena
itulah maka saat kita akan menerapkan konsep tersebut maka dasar psikologis dan
sosiologis pun perlu kita perhatikan.
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 3
B. RIWAYAT HIDUP JOHN DEWEY
Ia dilahirkan di Burlington Amerika pada tanggal 20 Oktober tahun 1859 M, dan
meninggal 1 Juni 1952 M, di New York. Sesudah mendapat diploma ujian kandidat, ia 2
tahun menjadi guru (1879). Tiga tahun kemudian ia menjadi mahasiswa lagi dan mendapat
gelar doctor dalam filsafat (1884). Ia diangkat menjadi dosen lalu asisten professor dan
kemudian professor di Michingan. Sebagai professor dalam filsafat di Chicago, ia
memimpin juga dibidang Pedagogik dan mendirikan suatu sekolah percobaan untuk
menguji dan mempraktekkan teorinya. Sepuluh tahun ia bekerja keras pada universitas ini
dan mengumpulkan serta mendidik orang-orang yang akan meneruskan cita-citanya.Pada
tahun 1904 sampai 1931 ia bekerja pada Universitas Columbia di New York, disamping
memberikan kuliah filsafat ia juga sering di undang oleh berbagai negara untuk memberikan
kuliah, seperti : Jepang, China, Turki, Mexico, Rusia, dan Inggris. Dan pada usianya yang
ke-93 ia meninggal dunia pada tahun 1952.
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 4
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. TEORI BELAJAR JOHN DEWEY
Kondisi kehidupan manusia, kadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang
kita inginkan. Dan mungkin kita tidak tahu alasan mengapa kita berbuat sesuatu. Kalau kita
mau bercermin pada pendapat Paulo Freire, maka kita dapat membaca jalan pikiran
seseorang. Apakah ia termasuk pada kategori orang yamg berkesadaran magic, naif, atau
kritis.Adanya wacana tentang tingkatan kesadaran tersebut, mau tidak mau guru atau dosen
sebagai penanggungjawab akan perubahan pada peserta didik harus memformat pola
pendidikan untuk membawa kesadaran manusia pada tingkatan yang lebih tinggi.
Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai
tujuan pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan manusia. Banyak tokoh pendidikan
berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu
sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.John Dewey
sebagai salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola
pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik.
Pendidikan partisipatif membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung
dengan realitas yang ada dilingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan
antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada.Konsep pendidikan John
Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi Indonesia. Sebab, secara psikologis dan
sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika. Oleh karena itulah maka saat kita akan
menerapkan konsep tersebut maka dasar psikologis dan sosiologis pun perlu kita
perhatikan.
2. METODE-PEMBELAJARAN
Metode adalah cara atau teknik yang digunakan seseorang dalam mencapai suatu tujuan.
Metode – metode yang kami pilih dibawah ini merupakn metode yang kami pikir sesuai
dengan pernyataan John Dewey dalam teori pragmatisme. Metode – metode yang kami pilih
diantaranya:
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 5
Metode Proyek
Metode belajar proyek adalah metode yang dimaksudkan agar peserta didik mampu
mendiasain suatu alat yang berhubungan dengan materi pembelajaran yang ada. Metode
ini bertujuan agar peserta didik mampu berkreasi sekaligus menguasai konsep dari
materi yang dipelajari..mengapa kami memilih metode ini? Kami memilih metode ini
karena menurut kami metode ini sesuai dengan pernyataan John Dewey yang
menyebutkan bahwa pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme yang
dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experience), pertumbuhan
(growth), eksperimen (experiment), dan transaksi (transaction) memiliki kedekatan yang
akrab, sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan.
Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama lain; dimana tanpa filosofi,
pendidikan kering akan arahan inteligensi. Dalam Democracy and Education, Dewey
(1961) mendefinisikan pendidikan sebagai penuntun secara intelegensia terhadap
pengembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada kebiasaan
pengalaman.
METODE-KARYAWISATA
Metode Karyawisata adalah metode dalam proses belajar mengajar siswa perlu diajak
keluar sekolah, untuk meninjau tempat tertentu atau objek yang mengandung sejarah, hal
ini bukan rekreasi, tetapi untuk belajar atau memperdalam pelajarannya dengan melihat
langsung atau kenyataan. Karena itu, dikatakan teknik karyawisata, adalah cara
mengajar yang dilaksanakan dengan mengajak siswa ke suatu tempat atau objek yang
bersejarah untuk mempelajari atau meneliti sesuatu, seperti meninjau peninggalan-
peninggalan sejarah di Indonesia sendiri,, metode ini dilakukan dalam waktu singkat dan
ada pula waktu yang panjang. Metode ini kami pilih karena sesuai dengan konsepsi
instrumentalisme yang dibangun John Dewey, dimana konsep-konsep dasar pengalaman
(experience), pertumbuhan (growth), eksperimen (experiment), dan transaksi
(transaction) memiliki kedekatan yang akrab. Dapat dikaitkan bahwa dengan adanya
karyawisata, anak memperoleh pengalaman baru di luar sekolah.
METODE-PROBLEM-SOLVING
Metode problem solving dapat dikatan pula sebagai metode pemacahan masalah.
Metode ini dilakukan dengan membangkitkan akal dan kemampuan berfikir anak didik
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 6
secara logis. Metode ini adalah metode mendidik dengan membimbing anak didik untuk
memahami problema yang dihadapi dengan menemukan jalan keluar yang benar dari
berbagai macam kesulitan denga melatih anak didik menggunakan pikirannya dalam
menata dan menginventarisasi masalah, dengan cara memilah-milah, membuang mana
yang salah, meluruskan yang bengkok dan mengambil yang benar. Metode ini sesuai
dengan pernyataan dewey bahwa Pengalaman adalah suatu proses yang bergerak terus
menerus dari suatu tahap ke tahapan rekonstruksi sebagaimana problem baru mendorong
inteligensi untuk memformulasikan usulan-usulan baru untuk bertindak.
METODE-PRAKTEK
Dimaksudkan supaya mendidik dengan memberikan materi pendidikan baik
menggunakan alat atau benda, seperti diperagakan dengan harapan anak didik menjadi
jelas dan mudah sekaligus dapat mempraktekkan materi yang dimaksud. Metode ini juga
sesuai dengan pernyataan dewey bahwa pendidikan sejalan dengan konsepsi
instrumentalisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman
(experience), pertumbuhan (growth), eksperimen (experiment), dan transaksi
(transaction).
3. AJARAN JOHN DEWEY
John Dewey adalah sorang pragmatis. Menurut dia, tugas filsafat ialah memberikan
garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu filsafat tidak
boleh tenggelam dalam pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak
pada pengalaman (experience) dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-
kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu system norma-norma dan
nilai.Menurut Dewey, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak
kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera ketika
dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia sekitarnya, dan
gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam diri kita
sendiri. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang mengandung di
dalamnya pemisahan antara subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sasarannya. Di
dalam pengalaman langsung itu keduanya bukanlah dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 7
yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai suatu hal yang penting atau
yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman
melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah yang menyusun
sasaran pengetahuan.Menurut Dewey penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau
terpimpin dari suatu keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang tertentu.
Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan
sengaja. Oleh karena itu penyelidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumen).
Jadi yang dimaksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu
teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-
penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan cara pertama-tama
meyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan
pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.Sekolah sebagai
lembaga penyelengara pendidikan menurut John Dewey mempunyai maksud dan tujuan
untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk memperkembangkannya. Hal ini
harus dilakukan dengan berpangkal kepada pengalaman-pengalaman anak. Harus diakui
bahwa tidak semua pengalaman berfaedah. Oleh karena itu sekolah harus memberikan
sebagai “bahan pelajaran” pengalaman-pengalaman yang bermanfaat bagi masa depan anak
sekaligus juga anak dapat mengalaminya sendiri. Sehingga anak didik dapat menyelidiki,
menyaring, dan mengatur pengalaman-pengalaman tadi. Pandangan progresivisme
mengenai konsep belajar bertumpu pada anak didik. Disini anak didik dipandang sebagai
makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk lain, yaitu akal dan
kecerdasan. Dan dalam proses pendidikanlah peserta didik dibina untuk meningkatkan
keduanya.Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis
dan sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau
daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang
berpengaruh di Amerika, yaitu pikologi dari aliran behaviorisme dan pragmatisme. Dari
segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbing.John
Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus diabdikan pada kehidupan
sosial; jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah
adalah suatu lembaga sosial.
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 8
4. ANALISIS TERHADAP PRAGMATISME JOHN DEWEY
Secara etimologi pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragma yang berarti
guna, sesuatu yang dilakukan, tindakan kerja. Adapun secara terminologi pragmatisme
dapat diartikan sebagai aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja
yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan akibat-akibat (konsekuensi) yang
bermanfaat secara praktis. Sehingga disini benar atau tidaknya suatu teori tergantung pada
bermanfaat atau tidaknya teori itu bagi kehidupan manusia; dan ukuran untuk segala
perbuatan tergantung pada manfaatnya dalam praktek. Aliran Pragmatisme ini
dikembangkan oleh orang-orang Amerika. Dengan dipelopori oleh Pierce, William James
dan John Dewey. Sehingga orang-orang Amerika yang pada saat itu sedang sibuk
mempelajari filsafat dari luar mulai sadar bahwa sebenarnya dinegara mereka terdapat
filsafat yang telah digali dan digarap di tanah airnya sendiri.Untuk menganalisis teori
kebenaran bagi Dewey, saya sedikit mengutip dari penjelasan Dewey dalam bukunya Harun
Hadiwijono: “Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali ditentukan dan tidak boleh
diganggu gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap.
Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah”. Dari sedikit
penyataan itu setidaknya bisa dipahami bahwa menurut Dewey kebenaran itu selalu
berubah-ubah, progresif, dan bukan final. Jika memang demikian maksud Dewey alangkah
sulitnya untuk mengatur kehidupan di dunia ini. Bisa dibayangkan apabila semua kebenaran
yang ada sekarang hanya bersifat sementara, dan tidak ada kebenaran tetap. Kita akan hidup
pada pegangan hidup yang tidak kuat dan serba bimbang. Memang banyak kebenaran yang
sifatnya sementara, sedang menjadi, belum final, tetapi apakah itu berlaku pada semuanya.
Lalu bagaimana misalnya dengan pernyataan-pernyataan sederhana berikut ini ;“Gajah
adalah hewan yang lebih besar dari semut”, Membunuh orang yang tidak bersalah adalah
perbuatan salah”, “Memberi maaf pada seseorang adalah lebih baik dari pada membenci
seseorang” Bagaiman Dewey memberikan penjelasan terhadap pernyataan tersebut. Sesuai
dengan filsafat pragmatismenya, menurut pandangan Dewey tidak menghendaki adanya
norma atau kaidah yang tetap dan yang terlebih dulu ditentukan oleh sejarah atau agama,
karena ia tidak turut campur tangan pada waktu membuatnya. Norma harus timbul dari
masyarakat sendiri yang selalu berubah, berganti sesuai dengan keadaan masyarakat yang
senantiasa mengalami proses dan pergantian, dari suatu zaman ke zaman yang lain. Juga
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 9
tujuan hidup yang erat hubungannya dengan kaidah itu wajib pula selalu berubah dan
berganti menurut masanya. “Tak ada sesuatu yang tetap”Disamping itu juga, istilah bahwa
segala sesuatu itu baik “apabila berguna” juga perlu di kritisi. Apabila itu dipergunakan
secara umum dapat membahayakan. Karena nanti orang boleh berkata, “pergaulan bebas,
kumpul kebo, atas dasar suka sama suka, adalah baik”, karena berguna, minuman keras
boleh, karena “berguna”. Belum lagi ini berguna bagi siapa? bagi saya, bagi kamu. Dewey
menolak ‘yang umum’; ia menerima yang khusus. Sehingga bisa dibayangkan hal itu akan
menimbulkan kekacauan nilai, akan mengancam manusianya itu juga.
5. PEMIKIRAN JOHN DEWEY PADA PENDIDIKAN DI INDOENSIA
Pendidikan partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada
keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para
peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif, mendengar,
mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru. Tanpa mengetahui apakah yang diikutinya baik
atau buruk. Dalam pendidikan partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai tenaga
fasilitator, sedangkan keaktivan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan
partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada proses
pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan
emosional, keterampilan, kreatifitas. Dengan cara melibatkan siswa secara langsung ke
dalam proses belajar. Sehingga nantinya peserta didik dapat secara mandiri mencari problem
solving dari masalah yang ia hadapi.Model pendidikan partisipatif bertumpu pada nilai-nilai
demokratis, pluralisme, dan kemerdekaan peserta didik. Dengan landasan nilai-nilai tersebut
fungsi pendidik lebih sebagai falisitator yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta
didik untuk berekspresi, berdialog, dan berdiskusi.Kalau kita membandingkan antara konsep
pendidikan John Dewey dengan kurikulum yang sekarang dialami, maka kita akan
menemukan kesamaan, yaitu adanya kebebasan kepada para pendidik untuk membuat
kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Tidak lagi tersentral separti
pemerintahan Soeharto.Sekolah yang akan dihasilkan adalah sekolah yang sedikit mata
pelajaran. Namun, itu berguna bagi masyarakat. Sebab, kadang pelajaran yang ada tidak
sesuai dengan kebutuhan masrakat yang ada. Sebenarnya di Indonesia sudah banyak sekolah
seperti tersebut. Diantaranya; SMK dan STM.Dari segi gurunya, dengan menggunakan
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 10
pendidikan partisipatif, maka guru bukan lagi sebagai sentral pengajaran. Akan tetapi fungsi
guru lebih sebagai fasilitator, sehingga setiap siswa turut berpartisipaif dalam proses belajar.
Dengan demikian maka seorang guru akan dapat membawa siswa menuju apa yang dicita-
citakannya.
6. KONSEP PENDIDIKAN JOHN DEWEY SEBUAH TINJAUAN KRITIS
John Dewey (1859-1952) adalah seorang tokoh pendidikan Amerika yang memper-
kenalkan konsep pendidikan progresif. Dewey membangun konsep tersebut dengan beberapa
landasan filosofis. Pertama, teori evolusi. Teori yang digagas Darwin ini memandang manusia
sebagai makhluk hasil evolusi dan terus mengalami evolusi. Teori ini juga digunakan untuk
melihat suatu kebenaran. Bagi Dewey, kebenaran tidak akan pernah mencapai titik final.
Artinya, tidak ada kebenaran yang absolut, yang ada adalah kebenaran sementara sebelum
kebenaran lainnya datang (Bertrand Russell, 1946).
Kedua, pragmatisme. Sebuah aliran filsafat yang lahir dari peradaban Barat, khususnya
Amerika, dipelopori oleh Pierce, William James dan John Dewey sendiri. Pragmatisme adalah
paham filsafat yang menitikberatkan nilai pengetahuan berdasarkan kegunaan praktisnya.
Kegunaan praktis artinya suatu yang bisa memenuhi kepentingan-kepentingan subjektif
individu. Sehingga kebenaran dalam pandangan pragmatisme harus dikaitkan dengan
konsekuensi-konsekuensinya (hasil atau kegunaannya). Suatu ide dikatakan benar apabila
dapat diuji secara objektif-empirik dan bermanfaat atau bernilai praksis bagi kepentingan
manusia serta memberikan kepuasan (Loren Bagus, 2005).
Ketiga, psikologi behaviorisme. Suatu kajian tentang kejiawaan manusia yang diamati
melalui prilaku-prilaku empirik manusia. Menurut paham ini, prilaku atau perbuatan manusia
ditentukan oleh stimulus dari luar diri manusia. Sehingga paham ini, seperti dikatakan Erich
Fromm, tidak mempercayai adanya unsur kejiwaan yang susunan dan ketentuannya berdiri
sendiri (Erich Fromm, 1979).
Ketiga, landasan filosofis tersebut mendasarkan nilai pengetahuan pada empirisme,
liberalisme dan ateisme. Empirisme bermakna, sesuatu dianggap benar apabila bisa
dibuktikan secara empirik. Liberalisme bermaksud, memberikan ruang bebas kepada
manusia, tanpa harus terikat dengan dogma agama. Ateisme artinya, suatu kebenaran
ditentukan tanpa ada unsur ketuhanan yang terlibat di dalamnya, yang biasanya di-
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 11
representasikan dalam bentuk wahyu dalam kitab suci. Akibatnya, persoalan metafisika
tidak bisa dimasukkan kedalam wilayah pengetahuan.
Berangkat dari dasar filosofis di ataslah, membangun konsep-konsep John Dewey
mengenai pendidikan. Hal ini terlihat jelas dalam berbagai karyanya, seperti The School and
society (1899) How We Think (1910) dan Democracy and Education (1916), Freedom and
Cultural Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922),
Experience and Nature (1925).
7. KONSEP PENDIDIKAN JOHN DEWEY
Menurut Dewey, pendidikan merupakan all one with growing; it has no end beyond it
self, sehingga tidak akan pernah permanen tapi selalu evolutif. Selain selalu on going process,
pendidikan menurutnya juga harus bertumpu pada nilai-nilai demokratis, partisipatif,
pluralisme, dan liberalisme. Sehingga di Amerika yang merupakan penganut filsafat Dewey,
falsafah pendidikannya lebih mementingkan kebebasan individu (Abdul Fatah Hasan, 2007).
Karenanya, setiap individu digalakkan untuk mencapai kejayaan yang setinggi-tingginya dalam
ilmu pengetahuan dan kekayaan yang membawa kesenangan hidup. Keberhasilan pendidikan
bagi Dewey terletak pada partisipasi setiap individu yang didukung oleh kesadaran umum
masyarakat (L. Murbandono Hs., 2004).
Konsep pendidikan yang diusung oleh John Dewey ini dikenal dengan dengan
pendidikan progresifisme. Yaitu, pendidikan yang dijalankan secara demokratis. Pada tataran
praksisnya, dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, peserta didik harus berperan aktif
dalam proses belajar ataupun dalam menentukan materi pelajaran. Fungsi pendidik lebih sebagai
fasilitator yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk berekspresi,
berdialog, berdiskusi, berpikir, berkeinginan, dan bertujuan. Selain itu, peserta didik juga harus
diberikan kebebasan dalam menentukan suatu kebenaran yang diperoleh melalui hasil
pengalaman dan eksperimen peserta didik. Pendidik tidak bisa memaksakan kebenaran sepihak
kepada peserta didik tanpa terlebih dahulu dilakukan eksperimen atau observasi oleh peserta
didik. Sehingga kebenaran yang dihasilkan benar-benar berdasarkan kesepakatan dari peserta
didik.
Selain itu, bagi Dewey, pihak sekolah harus memberikan pendidikan yang pragmatis
kepada anak didik. Artinya, materi pendidikan yang diberikan bisa bermanfaat secara praksis
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 12
dalam kehidupan nyata. Ini berarti, pendidikan tidak perlu ditempuh dalam waktu lama, yang
terpenting adalah bagaimana anak didik melakukan kegiatan yang menjadikan mereka bisa
menyelesaikan persoalan-persolan kehidupan yang bersifat materil. Karenanya dalam proses
belajar, Dewey menekankan metode praktik, eksperimen, atau melakukan permainan yang
menunjang materi pelajaran.
Dari uraian di atas dapat dilihat konsep pendidikan John Dewey adalah, pendidikan itu
harus bersifat pragmatik, liberal, demokratis, empirik, evolutif, dan ateistik.
8. KRITIK TERHADAP KONSEP PENDIDIKAN JOHN DEWEY
Dari konsep yang ditawarkan Dewey, ada beberapa prinsip mendasar yang perlu dikritisi.
Di antaranya, pertama, prinsip kebebasan yang diserahkan kepada peserta didik dalam
melakukan eksperimen dan menentukan kebenaran. Ibarat kita memberikan pilihan kepada anak
kecil berupa api dan nasi. Sangat mungkin anak tersebut akan memilih api karena api lebih
menarik dalam penglihatannya. Anak itu memilih sesuatu yang menurutnya lebih menarik,
meski berbahaya. Artinya, kalau semua fakta tentang sesuatu yang baik dan yang buruk itu
diserahkan semuanya kepada peserta didik tanpa ada arahan dari guru, maka bisa jadi peserta
didik akan salah pilih. Seperti yang terjadi di bebarapa perguruan tinggi Islam, misalnya.
Banyak mahasiswa lebih memilih dan mendukung pendapat para orientalis tentang Islam
daripada pendapat para ulama. Hal ini disebabkan karena pendidik tidak memberikan arahan
mana yang harus dipilih dan mana yang harus ditolak. Terlebih lagi, dalam konsep Dewey,
peran Tuhan dalam kehidupan manusia tidak dilibatkan. Akibatnya manusia tidak mempunyai
pijakan moral dan spiritual dalam kehidupan. Karenanya, konsep tentang kebebasan dalam
pendidikan seperti yang ditawarkan Dewey itu bisa membuat anak didik disorientasi.
Kedua, pendidikan yang hanya berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan materi
manusia, tanpa mengindahkan unsur spiritual. Ketika aktivitas keilmuan dilakukan hanya untuk
menghasilkan sesuatu yang mempunyai daya guna untuk manusia an sich, maka manusia akan
melakukan apa saja untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini bisa saja ditempuh dengan
mengorbankan sesama manusia. Konsep ini akan menghasilkan manusia-manusia yang skill
oriented dan materialist oriented. Dengan kata lain, model pendidikan yang menitikberatkan
pada pelatihan akan menghasilkan individu-individu yang pragmatis dan belajar hanya untuk
memenuhi kebutuhan materinya.
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 13
Hasilnya seperti yang ditampilkan Amerika. Sebuah negara adikuasa yang menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Untuk lebih jelas mengenai dampak kebebasan
melakukan eksperimen ilmiah ini, bisa dlihat dalam buku Jerry D. Gray, Deadly Mist: Upaya
Amerika Merusak Kesehatan Manusia. (Jakarta: Sinergi, 2009). Kebebasan dalam pendidikan
yang ditawarkan Dewey yang sejatinya ingin membahagiakan manusia, justru akan
memberangus kemanusiaan.
Ketiga, asumsi dasar bahwa kebenaran selalu mengalami evolusi dan tidak ada yang
bersifat absolut. Asumsi ini bersebrangan dengan logika umum. Karena dalam tataran keilmuan,
kebenaran absolut itu pasti ada. Cotohnya dalam hitungan, bilangan dua ditambah dua pasti
hasilnya empat. Kebenaran ini tidak bisa dibantah, konklusi seperti ini bersifat absolut. Begitu
juga dengan penyataan, setiap manusia akan mati, Ahmad adalah manusia, maka Ahmad akan
mati. Pernyataan seperti ini juga bersifat absolut, karena tidak ada manusia yang tidak mati.
Karena itu, logika yang tidak mengakui adanya kebenaran yang absolut itu tidak bisa
dipertahankan.
Selain itu, menafikan kebenaran yang absolut itu akan berdampak pada kebingungan
konseptual pada peserta didik dalam menyikapi realitas kehidupan. Karena bagaimanapun
dalam kehidupan harus ada pegangan yang pasti. Barometer tersebut harus mempunyai
kebenaran yang absolut. sehingga manusia tidak kehilangan arah dan bertindak tanpa pijakan
moral. Karenanya, pengingkaran terhadap kebenaran yang absolut akan berakibat pada tindakan
anarkisme.
Dari pemaparan konsep pendidikan John Dewey di atas dan beberapa konsekuensi logis
yang akan muncul darinya, jelaslah bahwa konsep pendidikan Dewey ini sangat bertentangan
dengan tujuan dan konsep pendidikan dalam Islam.
Tujuan pendidikan Islam ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencapai
kebahagian bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat. Sehingga setiap ilmu yang diperoleh
harus mengarah kepada tujuan tersebut.
Adapun dalam tataran praksisnya, tujuan pendidikan dalam Islam sebagaimana digagas
pemikir Islam abad ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas, ialah membangun individu-individu
yang beradab. Yaitu, individu-individu yang menjadikan Worldview of Islam sebagai landasan
pijak dalam menyikapi segala persolan kehidupan.
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 14
Dalam praktik pendidikan Islam, semua bidang keilmuan harus didasari dengan konsep
tauhid yang benar dan dipagari dengan prinsip-prinsip syariah yang jelas. Sehingga tidak ada
lagi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Karena semua ilmu terbangun melalui jalinan
semua konsep-konsep dasar dalam Islam yang saling terkait satu dengan yang lainnya
(conceptual networking). Dengan demikian, seorang ilmuan harus menggunakan epistemologi
ilmu secara benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil, serta memilah dan
mengidentifikasi pengetahuan-pengetahuan yang salah. Dengan konsep pendidikan yang benar,
pada gilirannya, akan terbangun masyarakat yang beradab. Dengan masyarakat yang
beradablah, kedamaian dunia akan terwujud dan martabat manusia dipertahankan.Wallahu
a`lam bish shawab.
9. TOKOH ALIRAN PRAGMATISME
John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat, yang termasuk Mazhab
Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir
dalam bidang pendidikan.
Dewey dilahirkan di Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di
Baltimore, ia menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kemudian dalam bidang
pendidikan pada beberapa universitas Sepanjang kariernya, Dewey menghasilkan 40 buku
dan lebih dari 700-an artikel. Dewey meninggal dunia pada tahun 1952.
Dari tahun 1884 sampai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam
bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir
tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat.
Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika ia pindah ke Universitas Chicago yang
membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di
kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di
universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama
The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai
pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis
sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang
mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 15
pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah.
Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang
telah mempengaruhinya. Jadi selain menekuni pendidikan, ia juga menukuni bidang logika,
psikologi dan etika.
Menurut Dewey, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata
dalam kehidupan. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-
pemikiran metafisik belaka. Filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan menyelidiki serta
mengolah pengalaman tersebut secara kritis. Dengan demikian, filsafat dapat menyusun
suatuistemnilaataunorma.
Cara-cara non-ilmiah (unscientific) membuat manusia tidak meruasa puas sehingga mereka
menggunakan cara berpikir deduktif atau induktif. Kemudian orang mulai memadukan cara
berpikir deduktif dan induktif, dimana perpaduan ini disebut dengan berpikir reflektif
(reflective thinking). Metode ini diperkenalkan oleh John Dewey antara lain:
1. The Felt Need (adanya suatu kebutuhan): Seseorang merasakan adanya suatu kebutuhan
yang menggoda perasaanya sehingga dia berusaha mengungkapkan kebutuhan tersebut.
2. The Problem (menetapkan masalah): Dari kebutuhan yang dirasakan pada tahap the felt
need diatas, diteruskan dengan merumuskan, menempatkan dan membatasi permasalahan
(kebutuhan). Penemuan terhadap kebutuhan dan masalah boleh dikatakan parameter yang
sangat penting dan menentukan kualitas penelitian. Studi literatur, diskusi, dan
pembimbingan dilakukan sebenarnya untuk men-define kebutuhan dan masalah yang
akan diteliti.
3. The Hypothesis (menyusun hipotesis): Jawaban atau pemecahan masalah sementara yang
masih merupakan dugaan yang dihasilkan misalnya dari pengalaman, teori dan hukum
yang ada.
4. Collection of Data as Avidance (merekam data untuk pembuktian): Membuktikan
hipotesis dengan eksperimen, pengujian dan merekam data di lapangan. Data-data
dihubungkan satu dengan yang lain untuk ditemukan kaitannya. Proses ini disebut dengan
analisis. Kegiatan analisis dilengkapi dengan kesimpulan yang mendukung atau menolak
hipotesis.
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 16
5. Concluding Belief (kesimpulan yang diyakini kebenarannya): Berdasarkan analisis yang
dilakukan pada tahap ke-4, dibuatlah sebuah kesmpulan yang diyakini mengandung
kebenaran, khususnya untuk kasus yang diuji.
6. General Value of the Conclusion (memformulasikan kesimpulan umum): Kesimpulan
yang dihasilkan tidak hanya berlaku untuk kasus tertentu, tetapi merupakan kesimpulan
(bisa berupa teori, konsep dan metode) yang bisa berlaku secara umum, untuk kasus lain
yang memiliki kemiripan-kemiripan tertentu dengan kasus yang telah dibuktikan diatas.
10. PANDANGAN DEWEY TENTANG PERILAKU SOSIAL
Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan
pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-instink
biologis - lalu dikenal dengan penjelasan "nature" - dan (2) perilaku bukan diturunkan
melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka - dikenal dengan
penjelasan "nurture". Penjelasan "nature" dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles
Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua
perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup.
Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial
manusia didasarkan pada pandangan ini (instinktif).
Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber
perilaku sosial. John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul
berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah
oleh lingkungan - "situasi kita" - termasuk tentunya orang lain.
Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses
yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental.
John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat
bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu adat-istiadat
masyarakat - atau struktur sosial.
Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi
kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala
perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di
lain pihak, manusia manurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 17
alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan
dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin.
Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan
alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyrakat yang ada di sekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur
kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting
dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat fleksibel.
Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan
Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis manusia atau
kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan
itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang
berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara
seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai
dengan tuntutan kesekitarnya.
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 18
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Pandangan-pandangan yang berasal dari pragmatisme John Dewey banyak mempengaruhi
alam bawah sadar dan berdampak pada kehidupan masyarakat Amerika, misalnya saja
pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua
kebenaran belum final. Ini berakibat munculnya sikap subjektifisme, individualisme, dan dua
sikap ini saja cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan
manusianya itu sendiri. Oleh karena itulah saat akan diterapkan di Indonesia maka perlu
dirancang agar sesuai dengan kondisi sosio masyakat Indonesia.Untuk dapat mencapai
pendidikan yang diidealkan maka, kita perlu melakukan pembenahan di segala bidang.
Bukan hanya menyangkut kurikulum yang ada. Tetapi tenaga pendidik pun menjadi faktor
penentu akan berhasilnya tujuan pendidikan yang ada. Sekolah sebagai lembaga pendidikan
bukan hanya melaksanakan rutinitas pembelajaran di kelas. Akan tetapi fungsi sekolah harus
lebih menekankan akan bagaimana siswa mampu mencari problem solving bagi
masyarakatnya. Sehingga, lulusan yang dihasilkan tidak menjadi masalah baru bagi
masyarakat.Disinilah peran pendidikan akan dipertanyakan saat pendidikan tidak mampu
memberikan jalan keluar bagi masalah yang berkembang dimasyarakat. Apalagi kalau
pendidikan tidak bisa mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang ingin ia capai.Namun,
tetap semuanya tidak ada yang sempurna. Konsep pendidikan yang berlandaskan filasafat
pragmatisme nantinya yang menjadi ukuran keberhasilan adalah bisa tidaknya sesuatu
tersebut digunakan untuk kepentingan hidup. Yang nantinya akan melahirkan pola hidup
yang hedonis dan mekanis.
2. SARAN
Dalam konsep pendidikan lama situasi pembelajaran didominasi oleh guru. Siswa
lebih bersifat pasif menerima sepenuhnya materi apa saja yang di sampaikan dan diberikan
guru. Kurikulum, mutlak direncanakan, disusun dan dibuat oleh pemerintah dan guru atau
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 19
sekolah tanpa mengikutsertakan siswa. Berkait dengan hal tersebut berdasarkan studi
psikologi dan sosiologi pendidikan, Masyarakat pendidikan umumnya menghendaki
perubahan dan hendaknya konsep pendidikan terutama dalam pengajaran agar lebih
memperhatikan minat, kebutuhan dan kesiapan siswa untuk belajar.
Sehubungan dengat hal tersebut JOHN DEWEY mengemukakan ide dan
gagasannya dalam konsep " PENDIDIKAN PROGRESIF " sebagai berikut:
1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar secara perorangan (indivudually
learning).
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar melalui pengalaman (learning
experiencing).
3. Guru memberi dorongan semangat dan motivasi bukan hanya pemerintah.
Artinya bahwa guru memberikan penjelasan tentang arah kegiatan pembelajaran yang
merupakan kebutuhan siswa.
4. Guru mengajaksertakan siswa dalam berbagai aktifitas kehidupan belajar di sekolah yang
mencakup pengajaran, administrasi, dan bimbingan.
5. guru memberi arahan dan bimbingan sepenuhnya agar siswa menyadari bahwa hidup itu
dinamis dan mengalami perubahan yang begitu cepat.
Berdasarkan fakta dan realitas tersebut sudah seyogyanya sistem pengajaran lama yang
bersifat hafalan, verbalistik dan berbagai aktifitas yang mekanistik di kelas tidak diterapkan
lagi. Strategi dan metode pembelajaran yang memberi kebebasan siswa dalam melakukan
penelitian dan menemukan sesuatu hal utamanya diberikan kepada siswa, berlebih dalam
berbagai aktifitas ekstra kurikuler.
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 20
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Asmoro. 1995. Filsafat Umum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Baron & Byrne (1988) Social Psychology, Kay Deaux, Lawrence S. Wrightsman, Fifth Edition,
Dewey, John. 1955. Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan. alih bahasa E.M. Aritonang.
Jakarta: Saksana.
Dhofir, Zamahsary. 1990. Kamus Filsafat. Bandung : Rosda Karya.
Djumhur, I. dan H. Danasuparta. 1974. Sejarah Prndidikan. Bandung: CV. Ilmu. Hadiwijono,
James A. Wiggins (1994) Social Psychology, , Beverly B. Wiggins, James Vander Zanden, Fifth
Edition
Harun. 2004. Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta : Kanisius.
Iman, Muis Sad. 2004. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme
John Dewey. Yogyakarta : Safiria Insani Press & MSI UII.
Soejono, Ag.. 1980. Aliran Baru dalam Pendidikan. Bandung : CV. Ilmu.
Suparlan, Y. B.. 1984. Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.
Dosen: Dr. H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 21