makalah kebebasan

download makalah kebebasan

of 23

description

tentang kebebasan

Transcript of makalah kebebasan

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.Kebebasan merupakan problem yang terus-menerus digeluti dan diperjuangkan oleh manusia. Keinginan manusia untuk bebas merupakan keinginan yang sangat mendasar.[footnoteRef:1] Oleh karena itu tidak mengherankan kalau dalam sejarah perkembangan pemikiran muncul berbagai pendapat yang berusaha menjawab problem tersebut. Meskipun demikian tetap harus diakui bahwa persoalan kebebasan manusia merupakan suatu persoalan yang masih tetap terbuka sampai dewasa ini. Hal tersebut ada, karena titik tolak yang digunakan untuk menjawab persoalan itu bukan hanya sering kali berbeda, namun juga sering kali bertentangan[footnoteRef:2]. Salah satu sebab munculnya kontroversial dalam hal penjelasan dan pemberian jawaban itu adalah perbedaan latar belakang dan pengalaman hidup para pemikir. J.P Sartre yang lahir dan dibesarkan serta bergumul dalam lingkungan industri jelas memiliki pola pemikiran yang berbeda dengan Albert Camus yang hidup dalam masa revolusi Aljazair yang berusaha menuntut kebebasan dari Perancis. Pengalaman Camus berhadapan langsung dengan teror-teror dan kemiskinan membuahkan pola pemecahan yang berbeda dengan pemikiran Sartre yang lebih bersifat teoretis dan abstrak. Dalam konteks ini dapat diambil contoh pemikiran Louis Leahy tentang kebebasan manusia. Louis Leahy berpendapat bahwa kebebasan merupakan salah satu karakter dasar manusia. Manusia adalah makhluk yang secara esensial berkehendak. Dalam perbuatan berkehendaknya kelakuan manusia hadir dalam dirinya dan menguasainya. Karena itu pada dasarnya manusia tidak dapat tidak berkehendak.[footnoteRef:3] [1: Bdk. DR. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta,1993, hal 5 ] [2: Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal xviii] [3: Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal, hal 1.]

Begitu esensial dan konkrit unsur kebebasan bagi eksistensi atau adanya manusia di dunia, sehingga kebebasan dalam peziarahan hidup manusia menjadi suatu yang secara terus-menerus diperjuangkan. Di antara masalah yang menjadi bahan perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang adalah masalah kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan. Dalam ini kebebasan tekait erat dengan aspek moralitas, banyak kalangan berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan yang akan dilakukannya sendiri, sementara golongan yang lain menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasannya secara proporsional. Saat ini, banyak suara-suara miring yang diperdengarkan oleh para ahli dan masyarakat pada umumnya tentang persoalan moralitas anak bangsa yang diduga telah berjalan dan mengalir ke luar dari garis-garis humanitas yang sejati. Banyak kalangan yang mengkhawatirkan akan dan atau bahkan mungkin telah adanya dekadensi moral berkepanjangan yang tentu akan meniscayakan penurunan harkat dan martabat kemanusiaan. Kondisi kemanusiaan semacam ini dipertegas lagi dengan derasnya arus informasi dan komunikasi di era globalisasi saat ini yang mana setiap saat orang berhadapan dengan berbagai macam pandangan, ideologi dan gaya hidup yang sedemikian rupa yang dapat saja menggoncangkan kestabilan moralitas yang telah terbangun rapi selama ini. Bahkan kondisi ini tidak jarang pula akan menerpa sendi-sendi kehidupan keberagamaan sebagai bangunan dasar moralitas itu sendiri.Kondisi kehidupan manusia yang semakin plural seiring dengan konsekuensi logis arus komunikasi dan globalisasi yang mengubah cara pandang dan gaya hidup yang tentu berdampak pada akulturasi budaya, dapat pula terimplikasi dalam menentukan dan memilih nilai-nilai moral. Berbagai kebebasan dan kesempatan yang modernitas saat ini berikan menempatkan suatu rangkaian pilihan yang membingungkan dihadapan banyak masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah Mobilitas modern telah mengoyak nilai-nilai moral yang telah ditanamkan dalam masyarakat. Aroma kebebasan pribadi merebak dan merasuk di udara. Mobilitas dan nilai-nilai modern yang dikomunikasikan melalui media massa memberikan tantangan-tantangan yang tidak terduga terhadap komunitas di mana-mana.Disatu sisi kebebasan dapat menimbulkan decak kagum. Tetapi disisi lain kebebasan juga bisa menimbulkan cemooh dan hinaan jika tidak bisa menanganinya. Kemampuan menangani kebebasan membutuhkan kesadaran atas sikap dan perilaku tanggung jawab. Seseorang perlu sikap dan perilaku tanggung jawab seketika dirinya menerima hak istimewa berupa kebebasan, karena tidak ada kebebasan tanpa ada sikap tanggung jawab.Sehingga salah satu tantangan yang penting dalam menghadapi global saat ini adalah bagaimana menanamkan tanggung jawab yang merupkan dasar dari ketertiban dalam diri individu di tengah-tengah kebebasan-kebebasan yang luar biasa yang diberikan modernitas?.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. Kebebasan.2.1.1 PengertianMenurut Kamus Bahasa Indonesia arti dari kebebasan adalah kemerdekaan atau keadaan bebas.[footnoteRef:4] Dalam hal ini kebebasan berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu dan sebagainya, sehingga boleh bergerak berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa. [4: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 2008, Hal 154]

Menurut teori filsafat pengertian kebebasan adalah Kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan lebih bermakna positif, dan ia ada sebagai konsekuensi dari adanya potensi manusia untuk dapat berpikir dan berkehendak. Sudah menjadi kodrat manusia untuk menjadi mahluk yang memiliki kebebasan, bebas untuk berpikir, berkehandak, dan berbuat.

2.1.2 Bentuk KebebasanDengan semakin besarnya perhatian masyarakat Internasional terhadap kebebasan yang dapat dianologikan bahwa setiap orang tidak boleh dipaksa atau dituntut membuat satu pilihan tunggal seumur hidup atau dipaksa meninggalkan agama orang tua, pasangan, pemimpin agama, komunitas atau masyarakat. Dengan demikian bentuk kebebasan terbagi menjadi dua yaitu : [footnoteRef:5] [5: Rafael Edy Bosko dan M. Rifai Abduh 2010), Kebebasan Beragama atau berkeyakinan, Seberapa Jauh, Kanisius, Yogyakarta, Hal 438]

2.1.2.1 Kebebasan Internal. Hak menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihan sendiri. Kebebasan itu disebut internal freedom (kebebasan internal) yang patut dihargai siapa pun. Tidak ada satu pihak pun yang bias membatasi kebebasan internal. Negara juga tidak dapat membatasi dan memaksakan. Kebebasan internal memberikan keleluasaan penuh setiap saat bagi individu untuk menggali atau mendalami keyakinan-keyakinan atau agama lain dan membuat pilihan pribadi untuk menganut, melepaskan, menjauhi atau menolak secara terbuka suatu agama atau keyakinan jika itu yang diinginkan. Negara tidak boleh membuat batasan-batasan apapun terhadap kebebasan internal dan karena itu negara tidak boleh campur tangan terhadap pilihan atau keyakinan pribadi seseorang. Oleh karena itu kebebasan internal memberikan kepada setiap orang untuk berhak atas kebebasan berfikir, berkepercayaan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk setiap orang menganut, menetapkan, merpertahankan atau pindah agama atau kepercayaan.2.1.2.2 Kebebasan Eksternal. Kebebasan ini didefinisikan sebagai kebebasan pribadi, baik secara individu ataupun dalam masyarakat bersama orang lain, didepan umum atau di ruang yang bersifat pribadi, untuk menyatakan kehendaknya ataupun keyakinannya dan ketaatan terhadap aturan-aturan. Kebebasan eksternal tentu bukan semata-mata urusan sangat pribadi seorang individu, melainkan bisa juga dilaksanakan di ruang yang bersifat pribadi atau didepan umum dan secara individu atau dalam masyarakat bersama orang lain. Dalam menetapkan kebebasan ekstenal sulit dilakukan suatu negara, karena ketiga pilar tersebut sering ditafsir secara berbeda-beda. Khususnya kepentingan-kepentingan negara (public order, public safety dan public health) yang disebut dalam persyaratan yang kedua sering sulit didefinisikan secara jelas. Oleh karena itu, keharusan (neccessity) yang disebut dalam pilar/persyaratan yang ketiga mengimplementasikan sifat relativitas. Artinya makna-maknanya bisa berubah sesuai keadaan dan negara. Kebebasan eksternal (forum externum) adalah kebebasan seseorang untuk mengekspresikan, mengomunikasikan, atau memanifestasikan eksistensi spiritual yang diyakininya itu kepada publik dan membela keyakinannya. Kebebasan eksternal (forum externum), yakni hak kondisional yang bisa menjadi subjek pembatasan karena bersinggungan dengan hak-hak asasi orang lain

Sedangkan menurut pandangan dan bentuk pemikiran dari Isaiah Berlin yang merupakan seorang tokoh dan guru besar di Universitas Oxford, Inggris.[footnoteRef:6] Didalam bukunya Four Essays on Liberty, ia menjelaskan masalah kebebasan dengan menyatakan bahwa kebebasan itu ada dua macam, terdiri : [6: Abdullah Haidar (2003), Kebebasan Seksual Dalam Islam, Jakarta; Pustaka Jahra, Hal 30]

1) Kebebasan Negatif.Kebebasan negatif lebih ditekankan pada kebebasan dari segala tekanan (menekankan pada state of nature dan individu). Kata kuncinya adalah Freedom from lebih menekankan pada pentingnya keberadaan individu jadi sifatnya subjektifisme.Dari uraian tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwasannya Kebebasan negatif adalah suatu wilayah yang didalamnya terdapat seseorang dapat melakukan perbuatan yang hendak ia perbuat, dan orang lain tidak dapat melarang ataupun mencegah perbuatannya itu. 2) Kebebasan Positif.Kebebasan positif secara garis besar adalah lebih mengarah pada apa yang bisa saya perbuat untuk orang lain atau orang banyak. Kata kuncinya adalah Freedom to dan lebih ditekankan pada masyarakat banyak yang tentunya relasi yang ada dalam masyarakat itu diatur melalui hukum. Menurut Thomas Aquinas dan St. Agustinus yang merupakan filusuf dari abad pertengahan mengatakan bahwa perbuatan yang bebas menuntut suatu konotasi normatif, sehingga kebebasan berarti berbuat apa yang harus diperbuat. Hal senada juga diungkapkan oleh Boutrouxyang mengatakan bahwa kebebasan yang sebesar-besarnya harus ditemukan dalam kehidupan moral (Lorens Bagus,1996,411).Jadi hakikat kebebasan terletak dalam kemampuan kita untuk menentukan diri kita sendiri. Kebebasan itu disebut eksistensial karena merupakan sesuatu yang menyatu dengan manusia, artinya termasuk eksistensinya sebagai manusia. Kebebasan itu termasuk kemanusiaan kita. Sebagai manusia kita bebas. Karena kebebasan itu merupakan eksistensial kita dan kita biasanya tidak sadar bahwa kita memilikinya. Itulah mengapa kebebasan biasanya kita hayati dalam hubungan dengan orang lain. Kebebasan dalam arti kemampuan untuk menentukan diri kita sendiri sedemikian kita andaikan hingga tidak banyak yang kita fikirkan. Yang menjadi keprihatinan kita adalah mengapa kebebasan kita terhadap usaha orang lain untuk menggerogotinya. Maka dalam bahasa kita sehari-hari kebebasan difahami sebagai realitas negatif; keadaan dimana kemungkinan kita untuk menentukan tindakan kita sendiri tidak dibatasi oleh orang lain. (Jadi negatif bukan sebagai penilaian, melainkan dalam arti logika untuk menjelaskan apa itu kebebasan sosial, kita harus memakai kata tidak). Manusia itu bebas apabila kemungkinan-kemungkinan nya untuk bertindak tidak dibatasi oleh orang lain. Karena kebebasan itu secara hakiki dihayati dalam hubungan dengan orang lain dan itulah yang dinamakan dengan kebebasan sosial. Memang tidak dapat disangkal bahwa bannyak orang mempunyai motivasi untuk mengurangi kebebasan kita, artinya untuk berkuasa atas kita. Berhadapan dengan ancaman itu kita menjadi sedemikian sadar akan nilai kemampuan untuk menentukan diri kita sendiri, sehingga keadaan dimana kita tidak berada di bawah paksaan atau penentuan orang lain kita beri nama kebebasan. Jadi kebebasan sosial adalah keadaan di mana kemungkinan kita untuk bertindak tidak dibatasi dengan sengaja oleh orang lain. Kebebasan sosial manusia terdiri dari tiga macam yaitu : a) Kebebasan jasmani, apabila kita tidak di bawah paksaan.b) Kebebasan rohani, apabila kita bebas dari tekanan psikis.c) Kebebasan normatis, apabila kita bebas dari kewajiban dan larangan. Antara kebebasan jasmani dan rohani terdapat hubungan yang erat. Kebebasan jasmani bersumber pada kebebasan rohani dan sekaligus mengungkapkan dan menyatakannya. Bebas dalam arti jasmani dan rohani berarti kita dapat atau sanggup untuk melakukan sesuatu. Sedangkan bebas dalam arti normatif tidak mengatakan sesuatu tentang kesanggupan kita, melainkan bahwa kita boleh melakukan sesuatu. Maka gangguan terhadap kebebasan jasmani dan rohani langsung memasuki otonomi manusia terhadap dirinya sendiri karena membuat kita tidak sanggup melakukan sesuatu, sedangkan pembatasan kebebasan normatif membiarkan otonomi kita tetap utuh. Dengan demikian kita dapat memerincikan kebebasan sosial sebagai berikut; seseorang adalah bebas dalam arti sosial. Apabila ia tidak berada di bawah paksaan, tekanan atau kewajiban dan larangann dari fihak orang lain. 2.2 Ketertiban 2.2.1 Pengertian Ketertiban asal kata tertib yang berarti teratur,menurut aturan,rapi[footnoteRef:7].Sedangkan ketertiban yaituperaturan (dl masyarakat dsb);ataukeadaan serba teratur baik.Ketertiban adakalanya diartikan sebagai ketertiban, Kesejahteraan, dan Keamanan, atau disamakan dengan ketertiban umum, atau synonym dari istilah keadilan. [7: http://kamus.sabda.org/kamus/ketertiban diakses senin 1 oktober 2012 pukul 20.08 ]

Ketertiban umum dikenal dengan berbagai istilah, dalam bahasa Belanada disebut openbare orde, dalam bahasa Prancis ordre public, dalam bahasa Jerman vorbehaltklausel dan di negara negara dengan sistem common law disebut public policy[footnoteRef:8]. [8: Dr.Tineke Louise Tuegeh Longdong,S.H.,M.H, Asas Ketertiban Umum Dan Konvensi New York 1958. Pt Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998 Hal 97]

Tidak ada kesatuan pendapat tentang ketertiban umum antara para pakar hukum, namun mereka semua berpendirian bahwa ketertiban umum itu memegang peranan yang penting dalam arti bahwa setiap sistem hukum negara manapun memerlukan semacam veiligheidsklep atau rem darurat yang disebut dengan istilah ketertiban umum[footnoteRef:9]. [9: Ibid hal 98]

2.2.2 Ketertiban Dalam HidupDi setiap aspek kehidupan sudah barang tentu terdapat sebuah aturan yang mengatur. Baik di lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, atau pun di bidang sosial, politik maupun agama. Kenapa? Karena dengan adanya aturan akan menciptakan ketertiban dan membuat keadaan menjadi lebih tenang, damai, aman, dan sentosa. Bahkan, dengan adanya ketertiban itulah terselenggaralah kehidupan di dunia modern sekarang ini.Aturan merupakan sebuah kata yang mempunyai makna sesuatu yang harus dipatuhi. Aturan juga disebut dengan norma. Sebuah norma adalah sebuah aturan, patokan atau ukuran, yaitu sesuatu yang bersifat pasti dan tidak berubah. Dengan adanya norma kita dapat memperbandingkan sesuatu hal lain yang hakikatnya, ukurannya, serta kualitasnya kita ragukan. Norma berguna untuk menilai baik-buruknya tindakan masyarakat sehari-hari. Sebuah norma bisa bersifat objektif dan bisa pula bersifat subjektif. BIla norma objektif adalah norma yang dapat diterapkan diterapkan secara langsung apa adanya, maka norma subjektif adalah norma yang bersifat moral dan tidak dapat emmberikuan ukuran atau patokan yang memadai.Jika dunia ini tidak ada aturan dan prisnip kebeasan tanpa batas di agungkan tentunya dunia ini akan kacau/chaos. Orang akan saling membunuh, saling mencerca, saling fitnah. Perampokan, pencurian, penipuan akan merajalela. Tidak ada lagi jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi, tidak ada rasa aman, tidak ada lagi perlindungan terhadap hak milik, tidak ada lagi kebenaran. Semua serba kacau dan orang akan melakukan sesuatu dengan sesuka hatinya. Tidak ada bedanya antara benar dan salah, tidak ada bedanya antara kebijaksanaan dan keegoisan, antara giat dan malas, antara sukses dan gagal.Oleh karena itu aturan sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena aturan itu akan menciptakan kedamaian, ketentraman. Aturan juga harus jelas, sehingga antara yang menjalankan maupan yang melanggarnya tahu akan akibat dari pelanggaran aturan yang ia lakukan. Ketertiban pada prinsipnya dapat membuat seseorang disiplin, sebab Ketertiban dan Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan tertib dan disiplin adalah matra yang amat menentukan keberhasilan sebuah proses pencapaian tujuan. Dengan ketertiban, kita berusaha mengetahui dan mencermati aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang diperlukan untuk menjalani proses tersebut.2.2.3 Pembatasan Kebebasan Manusia itu sebagai mahkluk sosial. Itu berarti bahwa manusia harus hidup bersama dengan manusia-manusia lain dalam ruang dan waktu yang sama, dan dengan mempergunakan alam yang terbatas sebagai dasar untuk memenuhi kebutuhannya. Hal itu berarti bahwa kita disatu fihak saling membutuhkan dan dilain fihak bersaing satu sama lain. Dan oleh karena itu kelakuan harus kita sesuaikan dengan adanya orang lain. Bagaimanapun juga, kepentingan semua orang lain yang hidup dalam jangkauan tindakan kita perlu kita perhatikan. Kalaupun kita tidak mau menghiraukan mereka, kita terpaksa akan melakukannya kalau tidak mau terus menerus bertabrakan. Jadi pertanyaannya bukan apakah kebebsan sosial kita memang boleh dibatasi atau tidak. Sebagai mahluk sosial yang hidup bersama dalam dunia yang terbatas, sudah jelas manusia harus menerima bahwa masyarakat membatasi kesewenangannya. Pertanyaan yang sebenarnya berbunyi sejauh mana, dan dengan cara mana, kebebasan kita boleh dibatasi? Jadi bahwa kebebasan sosial kita terbatas, sudah jelas dengan sendirinya yang perlu ialah agar pembatasan itu dapat dipertanggung jawabkan. Karena kalaupun kebebasan kita harus dibatasi, hal itu tidak berarti bahwa segala macam pembatasan dapat dibenarkan. Pada dasarnya ada dua alasan untuk membatasi kebebasan manusia. Alasan pertama ialah hak setiap manusia atas kebebasan yang sama. Keadilan menutut agar apa yang kita tuntut bagi kita sendiri, pada prinsipnya juga kita akui sebagai hak orang lain. Oleh karena itu hak seseorang atas kebebasannya menemukan batasnya pada hak sesama saya yang sama luasnya. Tidak masuk akal kalau di ruang kuliah seseorang mau menggunakan dua kuris, selama masih ada mahasiswa yang belum dapat duduk. Dengan demikian maka kebebasan seseorang tidak boleh sampai mengurangi kebebasan orang lain yang sama luasnya. Alasan yang kedua bagi pembatasan kebebasan adalah bahwa setiap orang bersama semua orang lain merupakan anggota masyarakat. Setiap individu mempunyai eksistensi, hidup dan berkembang hanya karena pelayanan dan bantuan banyak orang lain, jadi berkat dukungan masyarakat. Maka masyarakat berhak untuk membatasi kesewenangan kita demi kepentingan bersama, baik dengan melarang kita mengambil tindakan-tindakan yang dinilai merugikan masyarakat, maupun dengan meletakkan kewajiban-kewajiban tertentu pada kita yang harus kita penuhi. Dengan demikian masyarakat berhak untuk membatasi kebebasan kita sejauh itu perlu untuk menjamin hak-hak semua anggota dan demi kepentingan dan kemajuan masyarakat sebagai keseluruhan, menurut batas wewenang masing-masing. Pembatasan itu tidak boleh melebihi apa yang perlu untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Maka lembaga-lembaga masyarakat itu harus mempertanggung jawabkan pembatasan kebebasan anggota masyarakat. Masyarakat tidak boleh mengadakan pembatasan yang sewenang-wenang. Suatu pembatasan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Justru agar pertanggung jawaban selalu dapat dituntut pembatasan kebebasan harus dilakukan secara terbuka dan terus terang, tak perlu ditutup tutupi. Masyarakat dan berbagai lembaga di dalamnya dalam batas wewenang masing-masing memang berhak untuk membatasi kebebasan manusia dan oleh karena itu tidak perlu malu malu melakukannya. Mereka hendaknya dengan terbuka mengemukakan peraturan-peraturan dan larangan-larangan yang memang meraka anggap perlu. Dengan demikian masyarakat yang bersangkutan seperlunya dapat menuntut pertanggung jawaban. Kalau aturan-aturan dan larangan-larangan itu perlu, hendaknya hal itu diperhatikan. Kalau perlunya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, peraturan-peraturan itu bersifat sewenang-wenang dan harus dicabut. Jadi kebebasan dibatasi atas nama kebebasan yang sebenarnya. Yang buruk pada cara pembatasan kebebasan ini ialah bahwa tidak dipertanggung jawabkan. Dengan argumen bahwa kebebasan yang sebenarnya tidak dibatasi, mereka yang membatasinya menghindar dari pertanggung jawaban. Jadi hendaknya dia memilih; membiarkan bebas atau tidak. Kalau tidak, katakan dengan terus terang dan berikan pertanggung jawabab. Kalau pertanggung jawaban itu masuk akal pembatasan akan kita terima. Tetapi kalau kita memang bebas, hendaknya bebas sungguhan, artinya kita bebas sekehendak kita. Bahwa kita harus mempertanggung jawabkan kebebasan kita secara moral terhadap kita sendiri adalah lain masalah. Tetapi dari fihak masyarakat kebebasan sosial kita berarti kita boleh menentukan sendiri apa yang kita kehendaki. Pembenaran pembatasan kebebasan dengan alasan kebebasan bertanggung jawab sebenarnya tidak lebih daripada pengakuan bahwa pembatasan yang dikehendaki tidak diberanikan dikemukakan dengan terus terang karena rupa rupanya tidak dapat dipertanggung jawabkan didepan umum. Jadi yang tidak bertanggung jawab adalah fihak yang mau membatasi kebebasan atas nama kebebasan yang bertanggung jawab itu. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwasannya kebebasan manusia memang jelas boleh dan bahkan harus dibatasi tetapi pembatasan itu harus dikemukakan dengan terus terang dan dapat dipertanggung jawabkan. Adapun pembatasan-pembatasan yang dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut:1) Pembatasan dari dalam. Segala keterbatasan yang dimiliki manusia secara fisik maupun secara psikis.2) Pembatasan dari lingkungan. Kondisi-kondisi lingkungan tertentu yang membuat berbagai keinginan dan tindakan manusia tidak mungkin dilakukan.3) Pembatasan dari masyarakat. Setiap manusia memiliki kebebasannya masing-masing dan hal tersebut menjadi pembatas bagi kebebasan menusia yang lainnya.Kebebasan manusia tidak sama dengan kesewenangan. Kebebasan kita secara hakiki terbatas oleh kenyataan bahwa kita adalah anggota masyarakat. Keterbatasan itu dapat diperinci kedua arah: Pertama: Hak kita untuk bertindak menemukan batasnya dalam hak setiap orang lain atas kebebasan yang sama. Kedua: kita hanya dapat hidup karena kebutuhan kita terus menerus dipenuhi oleh orang lain, oleh masyarakat. Karena itu masyarakat berhak membatasi (secara terbuka) kesewenangan saya demi kepentingan bersama.

2.2.3.1 Cara pembatasan kebebasan.Dengan cara apakah kebebasan kita dibatasi, maka pada prinsipnya ada tiga cara untuk membatasi kebebasan manusia yang diantaranya : 1) Melalui paksaan atau pemerkosaan fisik. 2) Melalui tekanan atau manipulasi psikis.3) Melalui pewajiban dan larang. Pembatasan kebebasan tersebut otomatis akan mengurangi esensi dari kebebasan tersebut, dari ketiga cara diatas harus dilakukan dengan disertai tanggung jawab agar pembatasan tersebut tidak menciderai kebebasan itu sendiri.2.2.4 Tanggung Jawab2.2.4.1 Pengertian.Menurut Kamus Bahasa Indonesia arti dari tanggung jawab adalah keadaan wajib dan menanggung segala sesuatunya.[footnoteRef:10] Dalam hal ini tanggung jawab berarti keadaan yang mewajibkan seseorang yang apabila kalau terjadi sesuatu apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. [10: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 2008, Hal 154]

Dalam filsafat pengertian tanggung jawab adalah kemampuan manusia yang menyadari bahwa seluruh tindakannya selalu mempunyai konsekuensi. Perbuatan tidak bertanggung jawab, adalah perbuatan yang didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan juga.Menurut Anton Adi Wiyoto dijelaskan bahwa arti tanggung jawab adalah mengambil keputusan yang patut dan efektif.[footnoteRef:11] Patut berarti menetapkan pilihan ynag terbaik dalam batas-batas normal sosial dan harapan yang umum diberikan, untuk meningkatkan hubungan antar manusia yang positif, keselamatan, keberhasilan, dan kesejahteraan mereka sendiri, misalnya : menanggapi sapaan dengan senyuman. Sedangkan tanggapan yang efektif berarti tanggapan yang memampukan anak mencapai tujuan-tujuan yang hasil akhirnya adalah makin kuatnya harga diri mereka, misalnya : bila akan belajar kelompok harus mendapat izin dari orang tua. [11: Adiwiyato, Anton. 2001. Melatih Anak Bertanggung Jawab. Jakarta. Mitra Utama, Hal 2]

Sedangkan menurut Pam Schiller dan Tamera Bryan pengertian tanggung jawab adalah perilaku yang menentukan bagaimana kita bereaksi terhadap situasi setiap hari, yang memerlukan beberapa jenis keputusan yang bersifat moral.[footnoteRef:12] [12: Tamara Bryant. Pam Schiller. 2002. 6 Modal Dasar Bagi Anak. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo, Hal 131]

Menurut Prof. Burhan Bungin (2006: 43), tanggung jawab merupakan restriksi (pembatasan) dari kebebasan yang dimilik oleh manusia, tanpa mengurangi kebebasan itu sendiri. Tidak ada yang membatasi kebebasan seseorang, kecuali kebebasan orang lain. Jika kita bebas berbuat, maka orang lain juga memiliki hak untuk bebas dari konsekuensi pelaksanaan kebebasan kita. Dengan demikian kebebasan manusia harus dikelola agar tidak terjadi kekacauan. Dan norma untuk mengelola kebebasan itu adalah tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sendiri merupakan implementasi kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Maka demi kebaikn bersama, maka pelaksanaan kebebasan manusia harus memperhatikan kelompok sosial di mana ia berada.Teori tanggung jawab sosial adalah respons terhadap kebuntuan liberalisme klasik di abad ke-20. Dalam laporan Hutchins Commision di tahun 1947, teori tanggung jawab sosialmenerima banyak kritik dari sistem mdia laissez-faire. Keritik ini menyatakan adanya kecenderungan monopoli pada media, bahwa masyarakat atau publik tidak kurang memperhatikan dan tidak berkepentingan dengan hak-hak atau kepentingan golongan di luar mereka, dan bahwa komersialisasi menghasilkan budaya rendah dan politik yang serakah. Teori tanggung jawab sosial menyatakan bahwa media harus meningkatkan standar secara mandiri, menyediakan materi mentah dan pedoman netral bagi warga negara untuk mengatur dirinya sendiri. Hal ini sangat penting bagi media, karena kemarahan publik akan memaksa pemerintah untuk menetapkan peraturan untuk mengatur media. Teori tanggung jawab sosial dirumuskan pada saat Amerika mengalami masa kapitalisme akhir. Sebleum PD II, organisasi-organisasi berita ternama di Amerika berada dalam dominasi media tycoon, seperti William Randolph Hearst, Robert R. McCormick dan Henry Luce. Para pemilik media yang sangat sukses ini mengatur surat kabar, layanan via kabel, stasiun radio, studio film, dan majalah. Mereka aktif secara politik dan menggunakan posisinya untuk mendukung calon presiden dan mempengaruhi pemilu dan penerapan undang-undang. Pada saat yang sama, kekuatan pemerintahan federal meingkat secara drastis. Program New Deal Franklin D. Roosevelt membentuk program-program baru yang memperluas pengaruh pemerintahan federal dan merubah sikap publik terhadap hubungan pemerintah dengan sektor swasta. Kebijakan anggaran yang liberal membuatnya dibenci oleh para tokoh media. Roosevelt mampu menggunakan oposisi mereka untuk mengarahkan simpati publik terhadap pemerintahannya. Teori tanggung jawab sosial dikembangkan setelah kematian Roosevelt, ketika para penerbit berpengaruh tidak populer di kalangan publik. Publik selalu curiga terhadap pers, bahkan ketika para pemimpin industri ini diganti dengan yang baru. Pers telah merumuskan kode etika selama berdekade (Masyarakat Editor Surat Kabar Amerika (ASNE) menerapkan aturan jurnalisme (The Canons of Journalism) di tahun 1923) dan televisi menjadi media paling populer pada saat itu.Untuk bisa memahami nilai penting teori tanggung jawab sosial, kita harus melihat pada konsep dasar yang membentuknya. Pada essay di tahun 1958, Sir Isaiah Berlin membedakan kebebasan negatif dan positif sebagai dua aliran dalam filosofi politik demokratis ua model yang membedakan John Locke dari Jean-Jacques Rousseau. Berlin menyatakan bahwa politik liberal menjalankan kompomi dalam hubungan keseharian, menempatkan kebebasan positif sebagai penyeimbang kebebasan negatif; nilai-nilai utama dari politik liberal positif hak-hak, untuk berpartisipasi dalam pemerintahan adalah sarana untuk menjaga nilai-nilai utama mereka, yaitu individualisme negatif kebebasan. Kebebasan positif adalah poros konseptual tempat berkembangnya tanggung jawab sosial. Implikasi hukum dari kebebasan positif dikembangkan oleh Zechariah Chafee dalam karya dua jilid nya Government and Mass Communciation (1947). Dalam penekenannya terhadap hak-hak dan kecurigaannya terhadap tindakan pemerintah, terlihat jelas hubungan antara Chafee dengan tradisi liberal. Teori tanggung jawab sosial tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Ia menjelaskan bahwa wilayah hak-hak moral berbeda dengan wilayah hak-hak hukum. Teori ini secara filosofi radikal dan konservatis secara programnya.

2.2.4.2 Hubungan Kebebasan Dan Tanggung Jawab

Bertanggung jawab merupakan sikap moral yang dewasa. Dan tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan, maka disinilah letak hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab. Sejalan dengan adanya kebebasan atau kesengajaan, orang akan bertanggung jawab atas tindakannya yang di sengaja dan berarti bahwa ia harus dapat mengatakan dengan jujur bahwa tindakannya itu sesuai dengan penerangan. Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk dan semacamnya tidak dapat di katakan sebagai perbuatan yang dapat di pertanggung jawabkan karena perbuatan tersebut tidak dilakukan berdasarkan akal sehatnya.Pembahasan mengenai hubungan kebebasan dan tanggung jawab sama halnya dengan uraian tersebut diatas. Namun kebebasan dari paksaan, tekanan dan larangan pada artinya sendiri belum bernilai positif, melainkan hanya merupakan kesempatan atau ruang bagi kita. Ruang itu perlu diisi, yang mengisinya adalah kita, dan pengisian itu disebut kebebasan eksistensial. Adanya kebebasan berarti bahwa masyarakat menyediakan ruang bagi kebebasan eksistensial kita. Jadi sekarang kitalah yang bertanggung jawab bagaimana mempergunakannya. Apakah ruang kebebasan itu bernilai atau tidak tergantung pada bagaimana kita menentukan diri kita didalamnya. Kebebasan berarti bahwa kitalah yang bertanggung jawab atas sikap dan tindakan kita dan bukan masyarakat. Kita tidak dapat lari dari tanggung jawab itu, kalaupun kita ikut-ikutan saja dan tidak berani untuk mengambil sikap sendiri, hal itu pun tanggung jawab kita. Dari hal tersebut, maka hubungan kebebasan dan tanggung jawab adalah a. Ruang Kebebasan harus diisi dengan sikap dan tindakan b. Kebebasan memungkinkan kita sendiri yang menentukan tindakan c. Tindakan yang diambil dalam kebebasan menjadi tanggungjawab kita Kekebasan bukan tanggung jawab kita dalam arti bahwa apa yang kita putuskan tidak dapat kita lemparkan pada orang lain, melainkan keputusan itu sendiri harus dipertanggung jawabkan. Bukan sembarang keputusan dapat disebut bertanggung jawab. sikap dan tindakan-tindakan yang harus kita ambil tidak berdiri diruang kosong, melainkan harus kita pertanggung jawabkan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya, terhadap tugas yang menjadi kewajiban kita dan terhadap orang lain. Sikap yang kita ambil secara bebas hanya memadai apabila sesuai dengan tanggung jawab obyektif itu.Jadi adanya kebebasan itu tidak berarti bahwa kita boleh memutuskan apa saja dengan seenaknya. Bahwa kita diberi kebebasan sosial oleh masyarakat berarti, bahwa kita dibebani tanggung jawab untuk mengisi ruang kebebasan itu secara bermakna. Kita dapat juga memutskan sesuatu secara tidak bertanggung jawab. Prinsip-prinsip moral dasar merupakan tolak ukur apakah kebebasan telah kita gunakan secara bertanggung jawab. Jadi kita berada di bawah kewajiban berat untuk mempergunakan kebebasan kita secara bertanggung jawab. Kadang-kadang orang menolak untuk bertanggung jawab dengan argumen, bahwa kalau ia harus menyesuaikan diri dengan suatu tanggung jawab atau kewajiban obyektif, maka ia tidak bebas lagi. Misalnya orang dihimbau agar ia dalam mempergunakan perpustakaan juga memperhatikan kepentingan mahasiswa-mahasiswa lain, misalnya dengan tidak memotong halaman-halaman tertentu dari buku ensiklopedi, lalu ia menjawab bahwa kewajiban itu ditolaknya karena kalau ia menerimanya, ia tidak lagi seratus persen bebas. Seakan-akan kebebasan eksistensial hanya terjamin dalam sikap sewenang-wenang. Apakah yang dapat dikatakan terhadap anggapan ini ? Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus menganalisis apa yang sebenarnya terjadi apabila seseorang menolak untuk bertanggung jawab dengan argumen bahwa dengan demikian ia akan kehilangan kebebasannya. Perlu diperhatikan bahwa yang dipersoalkan disini bukan suatu pandangan yang berbeda mengenai kewajiban. Dapat saja terjadi bahwa dua orang yang berbeda pendapat tentang apa yang wajib dilakukan. Misalnya kakak yang hidup diluar negeri berpendapat bahwa adiknya yang telah berkeluarga, wajib untuk menampung ibunya dalam rumah tangganya supaya ibunya itu tidak merasa sendirian (meskipun secara ekonomis ibu itu terjamin). Tetapi adiknya menolak dengan argumen bahwa kehadiran ibunya akan membahayakan ketentraman dalam keluarganya dan bahwa ia berkewajiban untuk mendahulukan kepentingan keluarganya. Dalam kasus ini adik itu tidak menolak untuk bertanggung jawab, melainkan hanya mempunyai pandangan lain tentang apa yang merupakan kewajibannya. Yang perlu dibahas disini adalah apabila orang memang tidak mau bertanggung jawab dengan argumen kebebasan. Untuk menganalisis argumentasi ini kita harus bertanya; apa artinya kebebasan kalau orang menolak untuk bertanggung jawab ? apa ia lantas lebih bebas ? Menolak untuk bertanggung jawab berarti; Tahu dan sadar tentang apa seharusnya dilakukannya, tetapi tidak melakukannya juga. Mengapa ia tidak mau, padahal ia menyadari tanggung jawabnya? Tentu karena melakukan tanggung jawab dirasakan sebagai terlalu berat. Ada banyak kemungkinan mengapa orang tidak mau bertanggung jawab; ia suka malas dan tidak bertanggung jawab adalah lebih ringan. Ada urusan lain yang lebih menarik, jadi ia acuh tak acuh. Ia takut suatu bahaya. Ada yang tidak setuju untuk melawan. Atau ia sedang sentimen, ia lagi tersinggung. Atau ia tidak dapat mengatasi hawa nafsu atau emosi.Orang yang tidak mau bertanggung jawab berada dalam situasi itu; disatu fihak, ia sadar akan tanggung jawabnya. Jadi ia sebenarnya tahu perbuatan apa yang paling bernilai baginya, yang paling pantas dan paling wajar. Tetapi karena ia malas, tak suka susah, takut, lemas, emosi, sentimen atau dikuasai hawa nafsu maka ia tidak kuat untuk melakukannya. Ia terlalu lemah untuk melakukan apa yang dilihatnya sendiri sebagai paling luhur dan penting. Ia bagaikan orang yang sebenarnya senang berdiri di puncak gunung, tetapi karena tak mau bangun pagi, tak tahan haus dan dignin dan terlalu loyo untuk memaksa diri, maka ia tidak jadi naik.Jadi menolak untuk bertanggung jawab tidak membuat kita menjadi lebih bebas, melainkan sebaliknya. Orang yang tidak bertanggung jawab adalah orang yang tidak kuat untuk melakukan apa yang dinilainya sendiri sebagai paling baik. Jadi ia kurang bebas untuk menentukan dirinya sendiri dan kebebasan eksistensialnya justru memudar. Secara lebih terperinci, penolakan untuk bertanggung jawab mempunyai dua akibat, Pertama persepsi atau wawasan semakin menyemput. Semuanya hanya dilihat dari kepentingan dan perasaan sendiri. Yang penting ialah agar ia tak perlu susah, tak terganggu, aman. Orang yang iri hati, tersinggung atau dendam memang tertutup, mereka tidak dapat memperhatikan sesuatu di luar perasaan mereka sendiri. Mereka berputar sekeliling mereka sendiri yang menyebabkan diri mereka semakin sempit. Kedua, orang yang tak mau bertanggung jawab semakin lemah, semakin tidak bebas lagi untuk menentukan diri sendiri, sebagaimana kita lihat pada remaja akhir akhir ini. Ia semakin membiarkan diri ditentukan oleh dorongan irasional yang tidak dikuasainya, oleh perasaannya, emosinya, oleh sentimennya, oleh kemalasannya, oleh perasaan takut. Ia tidak lagi sanggup untuk merealisasikan sesuatu yang dilihatnya sebagai bernilai, karena mengalah terhadap perasaan-perasaan subrasionalnya. Ia semakin tidak kuat untuk melawan arus. Jadi ia semakin tidak bebas untuk menentukan dirinya sendiri. Sebaliknya orang yang bersedia bertanggung jawab semakin kuat dan bebas dan semakin meluas wawasannya. Ia tidak terhalang oleh segala macam perasaan dalam mengejar apa yang dinilainya sebagai penting. Ia kuat dan terlatih untuk mengatasi segala halangan dan kelemahan. Ia bagaikan pendaki gunung yang tangguh. Kesulitan dan pengorbanan apa pun tidak akan menghalanginya dari mencapai puncak gunung yang dicita-citakan. Memang, kemampuan utnuk berkorban demi suatu tujuan luhur membuat kita menjadi tangguh dan bebas. Orang yang bertanggung jawab dengan demikian adalah orang yang menguasai diri, yang tidak ditaklukan oleh perasaan-perasaan dan emosi-emosinya, yang sanggup untuk menuju tujuan yang disadarinya sebagai penting, meskipun hal itu berat. Jadi semakin kita bertekad untuk bertanggung jawabm semakin kita juga bebas. Orang yang tidak menjadi dirinya sendiri dengan mengelak dari tanggung jawabnya melainkan dengan mengakuinya dan dengan berusaha untuk melaksanakannya.2.2.4.3 Makna Kebebasan dan Tanggung JawabOrang sering berkata Kebebasan harus disertai tanggung jawab. Seringkali orang itu berkata walaupun kita bebas, kita tidak boleh bebas-bebas semena-mena. Semacam ucapan-ucapan retorika yang keluar untuk para kaum muda yang dianggap terlalu bebas. Untuk sementara marilah kita tinggalkan dulu pendapat yang demikian karena itu dapat membuat diri kita tidak akan maju-maju.Kita harus sadar bahwa kebebasan selalu disertai dengan batasan. Ada kebebasan pasti ada juga batasan. Ini terjadi karena kalau tidak ada batasan, tidak ada kebebasan, karena kita sama sekali tidak mengerti apa itu kebebasan kalau tidak pernah ada batasan. Seperti prinsip Yin dan Yang. Kita tidak akan mengenal gelap kalau tidak ada terang. Kita memerlukan batasan untuk bisa memandang kebebasan itu. Sebenarnya sebebas apapun bebasnya manusia, dia pasti memiliki batasan. Sejenak kita lupakan hukum aturan masyarakat, sejak dasar kebebasan kita telah diikat oleh yang namanya hukum alam. Hukum alam ini mengikat kebebasan kita, seperti halnya grafitasi. Grafitasi mengikat kita sehingga kita tak bebas terbang. Jika kita meloncat maka kita akan jatuh dan sakit. Ini adalah hukum mutlak. Alam membatasi pergerakan kita.Sama seperti alam, kebebasan kita akhirnya dibatasi oleh masyarakat juga. Ada hal yang bisa kita lakukan dan ada hal yang tidak bisa kita lakukan. Misalnya kita tidak bisa bernafas di dalam air, kita tidak bisa menumbuhkan tangan. Semua hal itu mustahil. Ini adalah batas dari kebebasan pertama kita. Pembatasan ini natural, karena mengatakan apa yang bisa kita lakukan dan apa yang tidak bisa kita lakukan.Pembatasan kedua dari kebebasan kita adalah etik. Artinya apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Misal, kita bisa saja membunuh teman kita. Kita tidak dihalangi secara alamiah untuk melakukan itu atau tidak melakukan itu. Kita punya kemampuan untuk melakukannya.Namun demikian kita tidak boleh melakukannya. Ini karena adanya pembatasan etis. Pembatasan ini bersifat tidak senatural pembatasan secara alamiah. Karena kita memilih perbuatan kita, maka ini menjadi subjek etika. Pembatasan ini berkaitan dengan konsekuensi, baik secara natural maupun artificial.Ketika melakukan perbuatan kita, maka kita akan mendapat konsekuensinya, misalnya membunuh. Secara natural kita memiliki kebebasan untuk itu. Namun demikian kita bisa mendapat akibat buruk dari hal itu. Akan mengakibatkan kita mendapat konsekuensinya, baik secara langsung seperti rasa bersalah. Ataupun secara artificial, seperti hukuman dari masyarakat.Dalam arti inilah kebebasan harus memiliki tanggung jawab. Ini karena kebebasan orang lain dibatasi oleh kebebasan orang yang lainnya. Jika satu orang memanfaatkan kebebasannya maka dia akan mengurangi kadar kebebasan orang lain. Dan jika demikian orang lain juga berhak mengurangi kebebasannya sehingga kita saling mengatur kebebasan satu sama lain. Karena itulah ada aturan dalam kehidupan masyarakat agar kehidupan terkendali dengan baik.

BAB IIIKESIMPULAN

Kebebasan merupakan sebuah pengertian negatif jika diartikan sebagai tidak adanya suatu larangan, rintangan dan pencegahan apapun. Pengertian kebebasan adalah bersifat umum, dan tatkala belum disandarkan pada pengertian yang lain, maka tidak akan menunjukkan tujuan dan hasil yang jelas. Dengan demikian, maka logika kebebasan memberikan keterangan, kebebasan berbicara, kebebasan berpikir, kebebasan seksual, kebebasan untuk menentap dan berhijrah, kebebasan untuk bekerja dan lain sebagainya. Tidak ada filsuf pun didunia ini yang meyakini bahwa kebebasan itu adalah berarti lepas kendali, tanpa aturan dan undang-undang. Dengan adanya kebebasan maka ketertiban merupakan suatu keadaan yang harus diwacanakan agar kebebasan seseorang tidak menciderai kebebasan orang lain, ketertiban diperlukan untuk mencegah keadaaan yang kacau balau sekaligus untuk mensejahterakan masyarakat. Ketertiban pada dasarnya hadir dari adanya aturan untuk membatasi kebebasan, pembatasan kebebasan tersebut harus di ikuti oleh tanggung jawab dan moral agar pembatasan kebebasan tersebut tidak melukai kebebasan orang lain.Dalam filsafat pengertian tanggung jawab adalah kemampuan manusia yang menyadari bahwa seluruh tindakannya selalu mempunyai konsekuensi. Perbuatan tidak bertanggung jawab, adalah perbuatan yang didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan juga. Tanggung jawab menutut seseorang untuk berfikir sebelum melakukan hal-hal yang sedang di hadapi nya, karena seseorang dapat dituntut, di persalahkan, diperkarakan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.Kebebasan yang di dasarkan dengan tanggung jawab maka akan menjadikan sesorang menjadi di terima di masyarakat. Sama seperti alam, kebebasan kita akhirnya dibatasi oleh masyarakat juga. Ada hal yang bisa kita lakukan dan ada hal yang tidak bisa kita lakukan. Misalnya kita tidak bisa bernafas di dalam air, kita tidak bisa menumbuhkan tangan. Semua hal itu mustahil. Ini adalah batas dari kebebasan pertama kita. Pembatasan ini natural, karena mengatakan apa yang bisa kita lakukan dan apa yang tidak bisa kita lakukan.

DAFTAR PUSTAKABdk. DR. Nico Syukur Dister OFM (1993), Filsafat Kebebasan. Kanisius.Yogyakarta. Bdk. Nusa Putra (1994), Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.Bdk. Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal.Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Rafael Edy Bosko dan M. Rifai Abduh (2010), Kebebasan Beragama atau berkeyakinan, Seberapa Jauh, Kanisius, Yogyakarta, Abdullah Haidar (2003), Kebebasan Seksual Dalam Islam, Jakarta; Pustaka Jahra,.Setyono, Agus (2009), Kebebasan dalam filsafat Louis Leahy Dan Dalam Pemikiran Manusia Jawa, Telaah Filsafat Perbandingan. Melalui Adiwiyato, Anton. 2001. Melatih Anak Bertanggung Jawab. Jakarta. Mitra Utama.Tamara Bryant. Pam Schiller. 2002. 6 Modal Dasar Bagi Anak. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo.Louise Tineke Tuegeh Longdong,S.H.,M.H,(1998) Asas Ketertiban Umum Dan Konvensi New York 1958. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Sumber internet http://dpchanurabone.blogspot.com/2011/04/kebebasan-tanggung-jawab-dan-hati.htmlhttp://kamus.sabda.org/kamus/ketertiban